Kumpulan Renungan Adven 2022 dari Christianity Today

Seluruh bacaan renungan Adven tahun ini.

Christianity Today November 22, 2022
Stephen Crotts

Dari para editor dan kontributor Christianity Today, Pribadi yang Dijanjikan adalah renungan 4 minggu untuk menyertai perjalanan rohani individu, kelompok kecil, dan keluarga di masa Adven 2022.

Allah yang Perkasa

Raja Damai

Terang Dunia

Imanuel

Epifani

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Unduh Gratis: Kumpulan Renungan Adven 2022

Dari editor dan kontributor Christianity Today, Pribadi yang Dijanjikan adalah renungan 4 minggu untuk membantu individu, kelompok kecil dan keluarga selama masa Adven.

Christianity Today November 3, 2022
Christianity Today
Culture

Mengubah Tempo Ibadah

Pernah terjadi, selama seribu tahun ibadah Kristen, orang-orang awam jarang bernyanyi. Kemudian datanglah Luther.

Christianity Today November 2, 2022
Wikimedia Commons

“Setelah Firman Tuhan, musik layak mendapat pujian tertinggi,” kata Luther. Dengan demikian, ia mengambil sikap yang sangat kontras dengan para reformis lain di zamannya.

Ulrich Zwingli, pemimpin gereja baru di Zurich, adalah seorang musisi terlatih. Namun di bawah pengaruhnya, para hakim Zurich melarang semua permainan organ, dan beberapa pengikut Zwingli menghancurkan organ di gereja mereka. Meskipun Zwingli kemudian mengizinkan beberapa musik vokal, ia menolak musik instrumental.

John Calvin, meskipun dia menganggap musik sebagai karunia dari Tuhan, ia melihat musik sebagai karunia hanya dalam wilayah duniawi. Dengan demikian, peran musik dalam gereja sangat terbatas. Dia menganggap musik instrumental “konyol dan tidak masuk akal” dan melarang penggunaan harmoni dalam gereja. Hanya nyanyian Mazmur dengan satu suara (unisono) yang diizinkan.

Tidak demikian halnya bagi Martin Luther. “Saya tidak sependapat dengan pandangan bahwa semua seni harus dibuang dan dihancurkan atas nama Injil, seperti yang diprotes oleh beberapa orang fanatik; sebaliknya, dengan senang hati saya memandang semua seni, terutama musik, dapat digunakan untuk pelayanan bagi Dia yang telah menciptakan dan memberikannya kepada kita,” tulisnya.

Musik dalam ibadah jemaat merupakan salah satu warisan Luther yang paling lestari. “Siapa yang meragukan bahwa pada mulanya semua jemaat menyanyikan lagu-lagu ini bersama, yang sekarang hanya dinyanyikan atau diresponi oleh paduan suara saja ketika uskup melakukan konsekrasi dalam Perjamuan Kudus?” katanya.

Bahkan, himne dia—khususnya “Allah Bentengku yang Teguh”—adalah satu-satunya kontak langsung yang dimiliki banyak orang dengan Luther. Buku Himne Lutheran modern mungkin berisi dua puluh atau lebih himnenya, dan banyak buku himne non-Lutheran hanya mencakup beberapa.

Apa keyakinan Luther tentang musik? Apa peran dari keyakinan Luther itu dalam ibadah? Dan apa sumbangsih Luther dalam hal musik bagi gereja?

Mengagumi Musik

Pada abad keenam belas, komposisi musikal telah berkembang menjadi seni yang agung, dan Luther sendiri adalah seorang musisi yang terlatih. Dia memiliki suara yang indah, dapat memainkan kecapi, dan bahkan mencoba menggubah komposisi musikal dengan tingkat kesulitan yang tinggi. Dia berkenalan dengan karya-karya komposer terkemuka saat itu, seperti Josquin des Pres: “Tuhan telah memberitakan Injil melalui musik, seperti yang dapat dilihat dalam karya Josquin des Prez, yang semua komposisinya mengalir dengan bebas, lembut, dan riang, tidak dipaksakan, atau kaku terjepit oleh aturan, dan seperti nyanyian burung kutilang.”

Luther mengamati bahwa hanya manusialah yang diberi karunia bahasa dan karunia nyanyian. Ini menunjukkan bahwa kita harus “memuji Tuhan dengan kata-kata dan musik.” Lebih jauh lagi, musik adalah sarana untuk mewartakan Sabda Tuhan. Luther senang mengutip contoh-contoh seperti Musa, yang memuji Tuhan dalam nyanyian setelah menyeberangi Laut Merah, dan Daud, yang menyusun banyak mazmur.

Dia berkata, “Saya selalu menyukai musik; siapa pun yang memiliki keterampilan dalam seni ini, memiliki temperamen yang baik, cocok untuk semua hal. Kita harus mengajar musik di sekolah; seorang kepala sekolah harus memiliki keterampilan dalam musik, jika tidak, saya tidak akan menganggap dia layak; kita juga tidak boleh menahbiskan para pemuda sebagai pendeta, kecuali mereka telah dilatih dengan baik dalam musik.”

Reformis Konservatif

Penghargaan Luther yang tinggi terhadap musik diimbangi dengan sikap kehati-hatiannya dalam hal mereformasi praktik ibadah. Luther pernah menulis, “Tidak pernah sekali pun dalam pikiran kami untuk melenyapkan seluruh upacara keagamaan yang formal [ibadah] kepada Tuhan, melainkan untuk membersihkan apa yang selama ini telah digunakan, yang telah dirusak dengan adanya tambahan-tambahan yang sangat menjijikkan, dan untuk menunjukkan bagaimana menggunakannya dengan penuh kesalehan.”

Dia tidak memiliki keinginan untuk membuang liturgi gereja begitu saja. Seruan permohonan belas kasihan dalam Kyrie, pujian kepada Kristus dalam Gloria in Excelsis, pengakuan iman apostolik dalam Credo, proklamasi kecukupan pengorbanan Kristus untuk dosa-dosa dunia dalam Agnus Dei—ini semua adalah hal-hal yang sangat penting untuk memproklamasikan dengan setia tentang makna bahwa kita dibenarkan hanya oleh anugerah semata.

Namun tetap saja, Luther berusaha untuk mereformasi. Salah satu keprihatinannya adalah penggunaan bahasa Latin yang mendominasi dalam ibadah. Rakyat jelata perlu mendengar dan menyanyikan Firman Tuhan dalam bahasa mereka sendiri—Jerman—agar mereka bisa memahami dan diteguhkan imannya. Dalam salah satu tulisannya tentang liturgi, Luther berkata, “Biarlah segala sesuatu dilakukan agar Firman [Tuhan] dapat disampaikan dengan leluasa.”

Luther juga berusaha untuk membersihkan ibadah dari jejak ajaran palsu, yang menurutnya berpusat pada Kanon Misa, kumpulan doa dan kalimat respons seputar ucapan Kristus pada Perjamuan Terakhir. Luther menolak ajaran tersirat bahwa Misa adalah kurban yang dipersembahkan oleh imam kepada Allah. Mengenai Kanon Misa, dia menyimpan beberapa kritik pilihannya, yang ia sebut sebagai, “sebuah ramuan keji yang diambil dari selokan dan tangki septik semua orang.”

Namun Luther mengerti bahwa reformasi yang tergesa-gesa hanya akan memperburuk keadaan. Dalam liturgi pertamanya yang direvisi tahun 1523 (An Order of Mass and Communion for the Church at Wittenberg), Luther berkata, “Saya pernah ragu-ragu dan takut, sebagian karena merasa lemah dalam iman, yang tidak bisa tiba-tiba mengganti tata ibadah lama dan yang sudah terbiasa dengan ibadah baru dan yang belum terbiasa.” Memang benar, jarak enam tahun antara awal Reformasi dan reformasi liturgi pertamanya menunjukkan kehati-hatian Luther.

Karya Luther, Order of Mass (Tata Perayaan Ekaristi), itu pun merupakan upaya reformasi yang konservatif. Tentu saja, Kanon Misa sudah tidak ada, diganti dengan instruksi-instruksi agar Sabda Kristus dilantunkan dengan lantang. Kemudian semua jemaat akan menerima, tidak hanya tubuh, tetapi juga darah Kristus dalam sakramen tersebut. Namun, meskipun nyanyian himne dalam bahasa Jerman dianjurkan, bahasa Latin tetap menjadi bahasa utama.

Pergeseran dari bahasa Latin ke bahasa Jerman juga tertunda karena tidak banyak himne atau bagian dari liturgi yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman. Luther menyerukan kepada para penyair dan musisi yang handal untuk menghasilkan himne dan liturgi dalam bahasa Jerman yang dengan setia mewartakan Firman Tuhan. Menjelang akhir tahun 1523, Luther menulis surat kepada Georg Spalatin, pendeta yang bekerja pada pangeran Saxony, untuk mendesaknya untuk menulis himne berbahasa Jerman berdasarkan Mazmur. Nasihatnya lugas: gunakan kata-kata yang sangat sederhana dan paling umum, lestarikan ajaran murni Firman Tuhan, dan pertahankan maknanya sedekat mungkin dengan Mazmur.

Pada tahun 1526, berbagai materi telah diproduksi secara memadai sehingga memampukan Luther untuk mempersiapkan kebaktian yang utuh dalam bahasa Jerman. Misa Jerman ini mengikuti struktur historikal dari liturgi. Meskipun Luther menyisipkan himne berbahasa Jerman untuk menggantikan bahasa Latin, dia bersikeras bahwa pelayanan berbahasa Latin harus terus dilakukan sesekali. Bahkan, cita-citanya adalah mengadakan kebaktian tidak hanya dalam bahasa Jerman dan Latin, tetapi juga dalam bahasa-bahasa Alkitab, yaitu Yunani dan Ibrani!

Penulis Himne

Antara masa penerbitan liturgi kebaktian tahun 1523 dan 1526, Luther mulai menulis himne. Meskipun dia telah menyatakan keraguan tentang kemampuannya, dia bukan orang yang mau menunggu tanpa kepastian. Selain itu, Thomas Munzer, seorang reformis radikal Jerman, telah memproduksi liturgi ibadah dan himne berbahasa Jerman. Untuk melindungi jemaatnya dari ajaran Munzer, Luther memutuskan untuk menyiapkan himne karyanya sendiri.

Selama bulan-bulan terakhir di tahun 1523 dan awal tahun 1524, Luther menghasilkan lebih dari dua puluh himne—setengah lebih dari total hasil karyanya. Empat di antaranya terbit pada Januari 1524 dalam buku kumpulan himne Lutheran yang pertama (dikenal sebagai “Hymnal of Eight,” karena berisi delapan himne).

Pada musim panas 1524, dua buku himne lainnya terbit di kota dekat Erfurt; masing-masing berisi sekitar dua lusin himne, delapan belas di antaranya adalah karya Luther. Pada tahun 1524, buku himne pertama yang disiapkan di bawah naungan Luther juga dicetak. Tidak seperti himne modern, buku itu sebenarnya adalah buku paduan suara dengan pengaturan multisuara. Dari tiga puluh delapan himne, dua puluh empat di antaranya adalah karya Luther.

Himne berkembang begitu cepat sehingga banyak dari mereka menerbitkan himne karya Luther tanpa izin. Meskipun Luther tidak memiliki keprihatinan zaman modern tentang pelanggaran hak cipta, dia tidak ingin orang lain membuat “perbaikan” pada himnenya, dengan kekuatiran bahwa jangan sampai ajaran murni Firman Tuhan dipalsukan.

Luther telah menulis berbagai himne. Yang pertama, lebih seperti sebuah balada, yang tercipta setelah kematian dua martir Lutheran pertama (di Brussel pada 1 Juli 1523). Luther menggunakan himne ini untuk melawan desas-desus bahwa kedua pria itu telah menarik diri dari imannya sebelum mereka meninggal. Luther menyanyikan bahwa meskipun musuh dapat menyebarkan kebohongan mereka, “Kami bersyukur kepada Tuhan, oleh karena itu, Firman-Nya telah muncul kembali.”

Himne-himne Luther lainnya dibuat untuk digunakan pada kebaktian gereja dan di rumah. Pada tahun 1524, Luther menulis enam dari tujuh himnenya berdasarkan mazmur. Himne mazmur terakhirnya, “Allah Bentengku yang Teguh,” ditulis sekitar tiga tahun kemudian, ketika Luther sedang menjalani pencobaan yang berat. Nyanyian ini menunjukkan gaya yang jauh lebih bebas dan hanya sedikit berhubungan dengan teks Mazmur 46. Namun “Allah Bentengku yang Teguh” mencerminkan perjuangan Luther dan keyakinan dia yang sepenuhnya kepada Tuhan: “Meskipun seluruh dunia dipenuhi si jahat, / Semua ingin mengganyang kita, / Kita tidak gentar, kita tidak akan takut, / Mereka tidak akan mengalahkan kita. ”

Luther juga menulis himne untuk bagian-bagian dari liturgi dan untuk semua perayaan dalam kalender gerejawi. Untuk mengajarkan katekismus, ia menulis dua himne tentang Sepuluh Perintah, sebuah himne untuk Pengakuan Iman Rasuli, satu himne untuk Doa Bapa Kami, dan yang lainnya untuk baptisan dan Perjamuan Kudus. Melalui himne-himne ini, Luther menunjukkan keinginannya yang berkesinambungan untuk mengajarkan iman Kristiani, terutama kepada anak-anak.

Martin Luther menggubah lagu-lagu pujian dan musik gereja baru yang terus mengekspresikan pesan yang dia wartakan.

Paul J. Grime adalah pendeta Gereja Lutheran St. Paul di West Allis, Wisconsin, dan kandidat doktor di Universitas Marquette.

Hak Cipta © oleh penulis atau majalah Christianity Today/Christian History. Klik di sini untuk mencetak ulang informasi tentang Sejarah Kristen.

Diterjemahkan oleh David Alexander Aden.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Books

Martin Luther

Seorang Reformis yang Penuh Semangat

Christianity Today October 31, 2022

“Akhirnya, setelah merenungkan siang dan malam, dengan rahmat Tuhan, saya mulai memahami bahwa kebenaran Tuhan adalah bahwa orang benar hidup oleh karunia dari Tuhan, yaitu oleh iman. Di sini saya merasa seolah-olah saya sepenuhnya dilahirkan kembali dan telah memasuki surga itu sendiri melalui gerbang yang telah dibuka.”

Pada abad keenam belas, dunia berbeda pandangan tentang Martin Luther. Kalangan Katolik mengira Martin Luther adalah “setan dalam rupa manusia.” Kalangan yang lain, yang sebelumnya mempertanyakan teologi Luther, kemudian menyatakan, “Dia sungguh benar!”

Pada zaman kita, hampir 500 tahun kemudian, putusan dari kedua kalangan itu hampir bulat untuk hal yang baik. Baik Katolik maupun Protestan menegaskan bahwa Luther tidak hanya benar dalam banyak hal, melainkan dia juga mengubah arah sejarah Barat menjadi lebih baik.

Pertobatan badai petir

Martin lahir di Eisleben (sekitar 120 mil barat daya Berlin modern) dari pasangan Margaret dan Hans Luder (seperti yang diucapkan secara lokal). Dia dibesarkan di Mansfeld, di mana ayahnya bekerja di tambang tembaga lokal.

Hans mengirim Martin ke sekolah Latin. Kemudian ketika Martin baru berusia 13 tahun, Hans mengirimnya ke University of Erfurt untuk belajar hukum. Di sana Martin memperoleh gelar sarjana muda dan magister dalam waktu tersingkat yang diizinkan oleh statuta universitas. Dia terbukti sangat mahir dalam debat publik sehingga dia mendapat julukan “Sang Filsuf.”

Kemudian pada tahun 1505 hidupnya berubah secara dramatis. Saat Luther, yang ketika itu berusia 21 tahun, berjuang melewati badai petir yang hebat di jalan menuju Erfurt, petir menyambar tanah di dekatnya.

Linimasa
1453 Akhir Kekaisaran Romawi Timur
1456 Gutenberg memproduksi Alkitab cetak pertama
1479 Pendirian Inkuisisi Spanyol
1483 Martin Luther lahir
1546 Martin Luther meninggal
1549 Buku Doa Umum dirilis

“Tolonglah aku, Santa Anna!” teriak Luther. “Aku akan menjadi seorang biarawan!”

Luther yang jujur dan takut berbuat salah itu pun memenuhi sumpahnya: dia menyerahkan semua miliknya dan memasuki kehidupan monastik.

Terobosan spiritual

Luther sangat sukses sebagai seorang biarawan. Dia sangat aktif dalam doa, puasa, dan praktik asketik—bepergian tanpa tidur, menahan dingin yang menusuk tulang tanpa selimut, dan mencambuk dirinya sendiri. Ia kemudian berkomentar, “Jika ada orang yang bisa mendapatkan surga melalui kehidupan seorang biarawan, itu adalah saya.”

Meski dengan cara ini ia berusaha mengasihi Tuhan sepenuhnya, namun ia tidak menemukan ketenangan hati. Ia semakin takut akan murka Tuhan: “Ketika tersentuh oleh luapan keabadian yang sepintas ini, jiwa tidak merasakan dan meminum apa pun kecuali hukuman kekal.”

Selama tahun-tahun awalnya, setiap kali Luther membaca apa yang akan menjadi “teks Reformasi” yang terkenal—Roma 1:17—matanya tidak tertuju pada kata “iman,” tetapi pada kata “benar.” Lagi pula, siapa yang bisa “hidup oleh iman” selain mereka yang sudah benar? Teksnya sudah jelas: “orang benar akan hidup oleh iman.”

Luther berkomentar, “Saya membenci kata itu, ‘kebenaran Allah,’ yang dengannya saya telah diajar menurut kebiasaan dan yang dianut oleh semua guru … [bahwa] Allah itu benar dan menghukum orang berdosa yang tidak benar.” Luther muda tidak dapat hidup dengan iman karena dia tidak benar—dan dia mengetahuinya.

Sementara itu, ia diperintahkan untuk mengambil gelar doktor di bidang Alkitab dan menjadi profesor di Wittenberg University. Selama kuliah tentang Mazmur (di tahun 1513 dan 1514) serta mempelajari kitab Roma, dia mulai melihat jalan keluar dari dilemanya. “Akhirnya, setelah merenungkan siang dan malam, dengan rahmat Tuhan, saya … mulai memahami bahwa kebenaran Tuhan adalah bahwa orang benar hidup oleh karunia dari Tuhan, yaitu oleh iman… Di sini saya merasa seolah-olah saya sepenuhnya dilahirkan kembali dan telah memasuki surga itu sendiri melalui gerbang yang telah dibuka.”

Setelah memperoleh pemahaman baru ini, muncullah pemahaman-pemahaman yang lainnya. Bagi Luther, gereja bukan lagi institusi yang ditentukan oleh suksesi kerasulan; sebaliknya, gereja adalah komunitas orang-orang yang telah dianugerahi iman. Keselamatan datang bukan melalui sakramen-sakramen, melainkan oleh iman. Gagasan bahwa manusia memiliki percikan kebaikan (cukup untuk mencari Tuhan) bukanlah sebuah landasan teologi melainkan hanya diajarkan oleh “orang bodoh.” Kerendahan hati bukan lagi suatu kebajikan yang menghasilkan rahmat melainkan suatu respons yang dibutuhkan terhadap pemberian anugerah dari Tuhan. Iman bukan lagi soal menyetujui ajaran gereja melainkan memercayai janji Allah dan karya Kristus.

Tidak lama kemudian revolusi dalam hati dan pikiran Luther pun terjadi di seluruh Eropa.

“Di sini aku berdiri”

Ini dimulai pada malam perayaan Hari Semua Orang Kudus, tahun 1517, ketika Luther secara terbuka menyatakan keberatan terhadap cara pengkhotbah Johann Tetzel menjual surat pengampunan dosa. Ini adalah dokumen yang disiapkan oleh gereja dan dibeli oleh orang-orang, baik untuk diri mereka sendiri atau dengan mengatasnamakan orang-orang yang sudah meninggal, agar mereka dibebaskan dari hukuman dosa. Seperti yang dikhotbahkan Tetzel, “Begitu koin uang jatuh berdenting di kotak persembahan, jiwa di api penyucian bangkit menuju surga!”

Luther mempertanyakan perdagangan surat pengampunan dosa oleh gereja dan menyerukan debat publik tentang 95 dalil yang telah ditulisnya. Namun 95 dalilnya justru menyebar ke seluruh Jerman sebagai seruan untuk reformasi, dan dengan cepat, persoalan itu bukan lagi menjadi soal surat pengampunan dosa melainkan soal mempertanyakan otoritas gereja: Apakah Paus memiliki hak untuk mengeluarkan surat pengampunan dosa?

Kejadian demi kejadian terjadi dengan cepat. Pada sebuah debat publik di Leipzig di tahun 1519, ketika Luther menyatakan bahwa “seorang awam sederhana yang dipersenjatai dengan Kitab Suci” lebih tinggi daripada Paus dan konsili-konsili yang tanpa Kitab Suci, dia diancam untuk di-ekskomunikasi.

Luther menjawab ancaman itu dengan tiga risalahnya yang paling penting: The Address to the Christian Nobility, The Babylonian Captivity of the Church, dan On the Freedom of a Christian. Yang pertama, dia berargumen bahwa semua orang Kristen adalah imam, dan dia mendesak para penguasa untuk melakukan reformasi gereja. Yang kedua, dia mengurangi tujuh sakramen menjadi dua (baptisan dan Perjamuan Kudus). Yang ketiga, dia mengatakan kepada orang-orang Kristen bahwa mereka bebas dari hukum (khususnya hukum gereja) tetapi terikat dalam kasih kepada sesama mereka.

Pada tahun 1521 ia dipanggil ke majelis di Worms, Jerman, untuk menghadap Charles V, Kaisar Romawi Suci. Luther tiba dengan persiapan untuk debat lain; namun dia dengan cepat menyadari bahwa itu adalah pengadilan di mana dia diminta untuk menarik kembali pandangannya.

Luther menjawab, “Kecuali saya dapat diinstruksikan dan diyakinkan dengan bukti dari Kitab Suci atau dengan alasan yang terbuka, jelas dan kuat … maka saya tidak dapat dan tidak akan menarik kembali apa pun, karena sangatlah tidak tepat atau bijaksana untuk bertindak melawan hati nurani.” Kemudian dia menambahkan, “Di sini saya berdiri. Saya tidak bisa melakukan yang lain. Tuhan tolong saya! Amin.”

Pada saat dikeluarkannya maklumat kekaisaran yang menyebut Luther “seorang penganut bidah,” dia telah melarikan diri ke Kastil Wartburg, di mana dia bersembunyi selama sepuluh bulan.

Pencapaian-pencapaian dari seorang pria yang sakit

Pada awal musim semi 1522, ia dapat kembali ke Wittenberg untuk memimpin, dengan bantuan orang-orang seperti Philip Melanchthon, pemimpin muda dari gerakan reformasi.

Selama tahun-tahun berikutnya, Luther semakin terlibat dalam berbagai perdebatan, banyak di antaranya memecah belah teman dan musuh. Ketika kerusuhan mengakibatkan Perang Petani Jerman di tahun 1524-1525, ia mengutuk para petani dan mendesak para pangeran untuk menghancurkan pemberontakan.

Dia menikah dengan seorang biarawati yang melarikan diri, Katharina von Bora, yang menghebohkan banyak orang. (Bagi Luther, keterkejutannya adalah bangun di pagi hari dengan “kuncir di atas bantal di sebelah saya.”)

Dia mengejek rekan-rekan reformis, terutama reformis Swiss Ulrich Zwingli, dan menggunakan bahasa vulgar ketika mengejek.

Bahkan ia semakin tua semakin tidak sabar dan suka berbantahan. Dalam tahun-tahun terakhirnya, dia mengatakan beberapa hal buruk, antara lain tentang orang-orang Yahudi dan Paus serta para lawan teologisnya, dengan kata-kata yang tidak pantas untuk dicetak.

Meskipun demikian, pencapaian-pencapaiannya juga meningkat: penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Jerman (yang tetap menjadi ciri khas sastra dan biblikal); penulisan himne “Allah Bentengku yang Teguh”; dan menerbitkan Katekismus Besar dan Katekismus Kecil, yang telah memandu tidak hanya kalangan Lutheran saja melainkan juga banyak orang.

Tahun-tahun berikutnya sering ia habiskan dalam sakit dan aktivitas yang berapi-api (pada tahun 1531, meskipun dia sakit selama enam bulan dan menderita kelelahan, dia mengkhotbahkan 180 khotbah, menulis 15 traktat, mengerjakan terjemahan Perjanjian Lama, dan melakukan sejumlah perjalanan). Namun pada tahun 1546, dia akhirnya sangat kelelahan.

Warisan Luther sangat besar dan tidak dapat diringkas secara memadai. Setiap Reformis Protestan—seperti Calvin, Zwingli, Knox, dan Cranmer—dan setiap aliran Protestan—Lutheran, Reformed, Anglikan, dan Anabaptis—diilhami oleh Luther dalam satu atau lain cara. Dalam pandangan yang lebih luas, reformasinya melepaskan kekuatan yang mengakhiri Abad Pertengahan dan mengantar dunia masuk ke era modern.

Dikatakan bahwa di sebagian besar perpustakaan, buku-buku karya dan tentang Martin Luther menempati lebih banyak rak daripada buku-buku yang berkaitan dengan figur lain kecuali Yesus dari Nazaret. Meskipun sulit untuk diverifikasi, orang dapat memahami mengapa hal itu mungkin benar.

DARI BUKU: 131 Orang Kristen Yang Harus Diketahui Semua Orang

Translated by Budi M. Winata.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Books

Wafat: Gordon Fee, Yang Mengajarkan Kaum Injili Menafsirkan Alkitab ‘Dengan Segala Keberhargaannya’

Sebagai seorang “cendekiawan” Perjanjian Baru yang “berapi-api,” ia percaya bahwa Kitab Suci adalah perjumpaan dengan Tuhan.

Gordon Fee

Gordon Fee

Christianity Today October 31, 2022
Regent College / suntingan oleh Rick Szuecs Gordon Fee

Gordon Fee pernah memberi tahu murid-muridnya pada hari pertama kelas Perjanjian Baru di Wheaton College bahwa mereka akan—suatu hari nanti—menemukan tajuk utama yang mengatakan “Gordon Fee wafat.”

“Jangan percaya!” katanya, sambil berdiri di atas meja. “Dia sedang bernyanyi dengan Tuhan dan rajanya.”

Kemudian, alih-alih membagikan silabus seperti profesor pada umumnya, ia memimpin kelas itu menyanyikan himne Charles Wesley, “Walau Seribu Lidahku.”

Fee adalah seorang pengajar Perjanjian Baru yang sangat berpengaruh. Ia percaya bahwa membaca Alkitab, mengajarkan Alkitab, dan menafsirkan Alkitab seharusnya membawa orang-orang ke dalam perjumpaan dengan Tuhan yang hidup. Karena itu ia menggambarkan dirinya sebagai “cendekiawan yang berapi-api.” Ia wafat pada hari Selasa dalam usia 88 tahun—walaupun, seperti yang diketahui orang-orang yang bertemu dengannya di kelas atau melalui buku-bukunya, dia tidak akan menggambarkannya seperti itu.

Fee menulis How to Read the Bible for All Its Worth bersama Douglas Stuart, rekan dari Gordon-Conwell Theological Seminary pada awal 1980-an. Sekarang buku tersebut sudah edisi keempat dan telah terjual sekitar 1 juta eksemplar. Bagi banyak orang, buku itu menjadi teks standar tentang cara terbaik untuk memahami Kitab Suci. Fee juga menulis sebuah buku pegangan yang dipakai secara luas tentang penafsiran yang alkitabiah, beberapa buku tafsiran yang baik tentang surat-surat di Perjanjian Baru, dan penelitian akademis yang inovatif tentang peran Roh Kudus dalam kehidupan dan pelayanan rasul Paulus.

“Jika Anda meminta Paulus untuk mendefinisikan apakah orang Kristen itu,” Fee pernah mengatakan kepada CT, “ia tidak akan mengatakan, ‘Seorang Kristen adalah orang yang percaya doktrin X dan Y tentang Kristus,’ melainkan ‘Seorang Kristen adalah seseorang yang berjalan di dalam Roh, yang mengenal Kristus.’”

Dengan cara yang sama, Fee berargumen bahwa mempelajari bentuk, sejarah, dan konteks Kitab Suci bermanfaat karena itu bukan “sekadar sejarah.” Bila dilakukan dengan benar, penafsiran alkitabiah merupakan sebuah sentuhan yang mencerahkan.

“Eksegesis kita akan membuahkan hasil ketika kita sendiri duduk dengan kekaguman yang tak terkatakan di hadirat Tuhan,” tulisnya. “Kita harus mendengar firman itu dengan hati kita. Kita harus bersukacita dalam kemuliaan Tuhan. Kita harus digerakkan oleh kekaguman yang luar biasa akan kekayaan kemuliaan Tuhan. Kita harus memikirkan kembali akan keajaiban yang luar biasa itu sehingga semua kekayaan firman ini menjadi milik kita di dalam Kristus Yesus. Kemudian kita harus menyembah Allah yang hidup dengan menyanyikan puji-pujian bagi kemuliaan-Nya.”

Seiring berita kematiannya menyebar di media sosial, para pendeta dan profesor seminari dari berbagai kalangan Injili menceritakan tentang buku Fee yang mana yang paling berarti bagi mereka. Profesor Perjanjian Baru dari Western Theological Seminary New Testament bernama Wesley Hill mengatakan bahwa God’s Empowering Presence adalah salah satu teks yang paling berpengaruh yang pernah dia baca. Greg Salazar, seorang pendeta Gereja Presbiterian di Amerika, menulis bahwa dia menggunakan buku tafsiran Fee tentang Filipi untuk seri khotbah. Peter Englert, seorang pendeta di sebuah gereja non-denominasional di New York, memuji tafsiran Fee tentang 1 Korintus.

Profesor Denny Burk dari Southern Baptist Theological Seminary, yang sangat tidak setuju dengan Fee tentang persoalan keterlibatan wanita dalam pelayanan, mengatakan bahwa Fee adalah “salah satu cendekiawan Perjanjian Baru paling berpengaruh yang pernah hidup.”

Fee bukanlah nama yang umum bagi sebagian besar jemaat gereja dari kalangan Injili, tetapi itu mungkin hanya menggarisbawahi betapa penting kontribusinya.

“Tidak ada anggota gereja saya yang dapat memberi tahu Anda siapa Gordon Fee itu,” tulis Griffin Gulledge, pendeta Madison Baptist Church di Madison, Georgia. “Akan tetapi, masing-masing dari mereka telah mendapat manfaat dari karyanya. Saya yakin hal yang sama juga terjadi di puluhan ribu gereja lainnya.”

Memperlakukan Kitab Suci dengan hati-hati

Fee lahir dari pasangan Donald dan Gracy Jacobson Fee di Ashland, Oregon, pada 23 Mei 1934.

Ayahnya, Donald, adalah seorang tukang kayu yang terampil dan pengkhotbah ekspositori di Assemblies of God. Fee bertumbuh dengan memperhatikan perbedaan antara khotbah ayahnya yang penuh kehati-hatian, yang menggali makna dari Alkitab, dibanding dengan beberapa pendekatan yang lebih liar dan tidak beraturan yang dipakai oleh rohaniwan-rohaniwan Assemblies of God lainnya.

Banyak dari kalangan Pentakosta tampaknya berpikir bahwa perencanaan dan pembelajaran akan menghambat Roh Kudus, kata Fee kemudian. Mereka biasanya akan mengambil satu frase dari Kitab Suci dan kemudian berbicara berdasarkan apa yang ada di kepala mereka, dengan percaya bahwa Tuhan dapat membimbing kata-kata mereka jika mereka fleksibel dan spontan. Beberapa orang bahkan tidak akan memilih teks khotbah mereka dari sebelumnya, melainkan lebih memilih untuk membuka Alkitab dan meminta Tuhan memimpin mereka pada saat itu juga.

Hasilnya tidak selalu membuktikan kuasa Roh Kudus.

Namun pada sisi lain, ayah Fee percaya bahwa Tuhan menghargai persiapan dan Kitab Suci, seperti sepotong kayu yang berkualitas, harus diperlakukan dengan keterampilan dan ketelitian.

“Ayah saya adalah cendekiawan pertama yang pernah saya temui,” tulis Fee, “walaupun pada tahun-tahun awal saya tidak menyadarinya. Namun, hasratnya akan kebenaran dan tekad untuk menggali jauh ke dalam Kitab Suci … sungguh menular pada saya.”

Fee memutuskan meneladani ayahnya untuk terlibat dalam pelayanan. Ia pergi ke Seattle Pacific College (sekarang Universitas), di mana dia bertemu dan menikah dengan Maudine Lofdhal, yang juga anak dari seorang pendeta Assemblies of God. Setelah lulus dengan gelar master, Fee mengambil pelayanan penggembalaan di pinggiran kota yang berkembang di selatan bandara Seattle-Tacoma, dan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ia juga mulai mengajar bahasa Inggris di Northwest College (sekarang Universitas), yang merupakan sekolah yang berafiliasi dengan Assemblies of God di Kirkland, Washington.

Fee kemudian menyadari bahwa ia suka mengajar. Ia mengatakan bahwa ia sangat menyukainya, sampai membuat giginya sakit.

Selama beberapa tahun ia bergumul dengan konflik antara panggilan untuk pelayanan—dia dan Maudine mendiskusikan menjadi misionaris ke Jepang—dan panggilan ke dunia akademis. Titik balik pun datang, kenang Fee, ketika seorang rekan berkata, “Gordon, hanya karena Anda ingin melakukannya bukan berarti Tuhan menentangnya.”

Fee menyadari bahwa “tentu saja ini juga bisa menjadi semacam panggilan.” Ia memutuskan untuk pergi ke University of Southern California untuk mengejar gelar doktor dalam studi Perjanjian Baru, dengan berfokus pada kritik tekstual. Ia menulis disertasinya tentang Papirus 66, yang merupakan sebuah salinan Injil Yohanes yang hampir lengkap dan diyakini sebagai salah satu manuskrip Perjanjian Baru tertua yang masih ada.

Bahkan ketika ia mulai meniti karir akademisnya, ia merasakan ketegangan antara identitasnya sebagai seorang akademisi dan seseorang dari kalangan Pentakosta. Kemudian ia mendapat kesempatan mengajar di Wheaton College, dan menemukan bahwa dia adalah orang Pentakosta pertama yang pernah ditemui banyak rekannya—dan tentu saja yang pertama memiliki gelar doktor dalam studi biblika.

Pengaruh pada NIV

Sementara itu, sesama rekannya dari kalangan Pentakosta di Assemblies of God tidak selalu berbahagia dengan keberhasilannya di dunia akademis. Ia pernah memberi tahu seorang pria yang lebih tua tentang penelitian akademisnya, namun ia justru mendapat peringatan tentang bahaya rohani dari studi akademis.

“Lebih baik orang bodoh yang berapi-api,” kata pria itu, “daripada seorang cendekiawan yang terasing.”

Namun, saat dia berdoa tentang hal itu, Fee menyadari bahwa itu adalah pilihan yang salah. Dia bisa menjadi “seorang cendekiawan yang berapi-api.”

Ia mengajar di Wheaton College selama lima tahun dan kemudian meniti karir di Gordon-Conwell Theological Seminary. Dia berada di sana selama lebih dari satu dekade sebelum pindah ke Regent College di Vancouver, British Columbia, di mana dia mengajar Perjanjian Baru sampai dia pensiun.

Fee menulis tafsiran akademis dan populer tentang 1 dan 2 Korintus, 1 dan 2 Timotius, 1 dan 2 Tesalonika, Filipi, dan Wahyu. Ia menulis studi mendalam tentang Kristologi dan Pneumatologi rasul Paulus. Ia mengedit seri New International Commentary yang terkenal dan juga bekerja dengan Committee on Bible Translation, tim cendekiawan yang bertanggung jawab atas penerbitan Alkitab New International Version, selama lebih dari 30 tahun. Menurut Douglas Moo, ketua studi biblika di Wheaton College, pembaca NIV “menjumpai saran terjemahan dari Fee di hampir setiap halaman.”

Meski demikian, kontribusi Fee yang paling signifikan, mungkin berasal dari pengajaran sekolah minggu. Dia mendapati bahwa banyak orang Kristen dewasa, di mana sebagian dari mereka telah terlibat aktif di gereja sekian lama, tidak tahu cara membaca Alkitab. Mereka mengerti pasal dan ayat, dan bahkan mungkin telah menghafal beberapa bagian, tetapi seringkali tidak memahami perbedaan yang signifikan antara bagian-bagian Kitab Suci yang berbeda.

“Apa perbedaan antara cerita pendek dan puisi?” Fee bertanya . “Kalian tidak membaca puisi seperti kalian membaca cerita pendek, atau membaca cerita pendek seperti kalian membaca puisi…. Mengapa ada orang yang ingin menyamakannya menjadi seolah-olah tidak ada bedanya? Padahal perbedaan itu membuat segala perbedaan di dunia! Tuhan memilih untuk melakukannya dengan cara ini. Ini bukan penemuan Gordon. Tuhan melakukan ini.”

Ia dan profesor Perjanjian Lama, Douglas Stuart, menerbitkan buku How to Read the Bible for All Its Worth pada tahun 1981. Fee, dengan agak melebih-lebihkan, mengatakan bahwa editornya di Zondervan mengirimkan buku tersebut ke setiap pengajar Alkitab di Amerika Utara. “Saya tidak tahu berapa ratus eksemplar yang dia kirim,” katanya, “tetapi dalam setahun penjualannya melejit.” Edisi keempat diterbitkan pada tahun 2014.

Karunia-karunia Roh

Posisi Fee sebagai cendekiawan Alkitab beraliran Pantekosta di lembaga-lembaga beraliran Injili yang terkemuka berarti ia kadang-kadang terlibat dalam kontroversi teologis. Pada tahun 1970-an dan 1980-an, ia terlibat dalam perdebatan Pentakosta tentang apakah berbahasa roh adalah “bukti awal” dari kepenuhan Roh Kudus. Beberapa menuduhnya “membuang” doktrin dasar Pentakostalisme.

“Saya tidak membuang bukti awal,” katanya. “Saya membuang bahasanya, karena itu tidak alkitabiah, dan karena itu tidak relevan.”

Fee juga mendukung wanita dalam pelayanan, berdasarkan penafsiran terhadap Perjanjian Baru. Ia mendukung Council for Biblical Equality dan merupakan editor penyumbang untuk koleksi volume buku, Discovering Biblical Equality: Complementarity without Hierarchy. Ia menulis tafsiran 1 Korintus 11:2-6 dan Galatia 3:26-29.

Fee juga menulis tentang peran Roh Kudus dalam gereja Perjanjian Baru: “Berdasarkan bukti Perjanjian Baru, Roh Kudus bersifat gender netral, yang menganugerahkan baik kepada pria maupun wanita, dan dengan demikian berpotensi membebaskan seluruh jemaat untuk melayani semua bagian dan dalam berbagai cara untuk memimpin orang lain. Jadi pada akhirnya, isu yang saya angkat bukanlah sebuah agenda feminis—pembelaan terhadap kaum perempuan dalam pelayanan. Sebaliknya, ini adalah agenda Roh Kudus.”

Posisi itu memberinya lebih banyak kritik daripada segala hal yang pernah ia tulis. Fee mengatakan dia “masuk daftar hitam” di beberapa lingkaran Injili.

“Saya sudah tahan dengan banyak omong kosong,” katanya kepada majalah Charisma. “Namun saya tidak bisa melupakan ketika beberapa orang berpikir bahwa persoalan gender lebih penting daripada karunia.”

Meski demikian, Fee biasanya berusaha menghindari kontroversi, dengan berfokus pada kelasnya dan mengajar orang-orang untuk memahami Alkitab sehingga firman itu mengubah mereka.

“Kelas-kelas Gordon yang penuh ketelitian bahkan lebih dikenal karena perjumpaan dengan Tuhannya,” kata profesor Perjanjian Baru Regent College, Rikk Watts. “Dia mengajar ribuan murid di seluruh dunia agar ada orang yang bisa menjadi seorang ‘cendekiawan yang berapi-api.’”

Fee meninggal di rumahnya di New York. Istrinya telah meninggal terlebih dahulu di tahun 2014. Dia meninggalkan anak-anaknya, yaitu Mark, Cherith Nordling, Brian, dan Craig. Upacara memorial sedang direncanakan untuk diadakan di New York dan Vancouver.

Diterjemahkan oleh Maria Fennita S.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Wahai Pendeta yang Terluka, Kristus Dapat Menebus Penderitaan Anda

Setelah mengalami tahun-tahun yang sulit dalam pelayanan, saya kehilangan kekuatan untuk menjadi pendeta. Namun Kristus menjumpai saya di dalam kelemahan.

Christianity Today October 26, 2022
Illustration by Mallory Rentsch / Source Images: Cary Bates / Unsplash / Runstudio / Getty

Ketika suatu pagi saya berjalan menuju gedung gereja kami tahun lalu, saya merasakan adanya suatu keterpisahan emosional dari gereja. Suatu kehampaan kasih sayang dan hasrat. Pemikiran tentang berjalan menuju gereja, kini menjadi mengerikan bagi saya. Beban rohani terhadap jiwa-jiwa yang dipercayakan Tuhan menjadi sesuatu yang tidak dapat saya tanggung lagi. Para penatua berduka bersama saya, berdoa untuk saya, dan memberi saya cuti dua bulan.

Akumulasi rasa sakit dari dua tahun terakhir telah menghantui saya: kehilangan jemaat, kemurtadan, ghosting, kritik yang sangat pedas, dan banyak lagi. Banyak dari kita telah menghadapi luka yang sama dalam pelayanan. Bagaimana kita mengatasi rasa sakit hati saat kita menggembalakan?

Meski kita mungkin tergoda untuk menyembunyikan rasa sakit kita, namun Paulus memberi teladan dengan mengungkapkan rasa sakitnya. Beberapa orang telah meninggalkan imannya karena cinta akan dunia: “Karena Demas telah mencintai dunia ini dan meninggalkan aku” (2Tim 4:10). Saya tidak bisa memikirkan hal yang lebih menyedihkan lagi. Beberapa orang menyerang kita: “Aleksander, tukang tembaga itu, telah banyak berbuat kejahatan terhadap aku” (4:14). Luka tersebut sangatlah dalam. Lalu beberapa orang yang lain, setelah persahabatan selama bertahun-tahun, justru tiba-tiba menjauhi kita: “Semua mereka yang di daerah Asia Kecil berpaling dari padaku” (1:15).

Terlalu banyak orang Kristen yang memperlakukan pendeta mereka seperti sebuah komoditas agama. Sangat antusias ketika mereka membutuhkannya, namun mudah untuk disingkirkan ketika ada yang lebih baik lagi.

Paulus tidak mengesampingkan pengalamannya melainkan menyuarakan rasa sakit hatinya. Orang-orang mungkin telah menyakiti Anda. Beberapa orang melakukannya secara sengaja, yang lain karena kelalaian, tetapi Anda telah menderita. Namun Paulus tidak berkubang dalam penderitaannya, melainkan ia menggambarkannya secara rinci. Dan itu hanyalah di dalam suratnya. Bayangkan seperti apa percakapannya dengan Lukas atau Timotius.

Agar luka yang ditimbulkan oleh orang lain itu menjadi sembuh, sangatlah penting untuk mengidentifikasi apa yang telah mereka lakukan dan menceritakannya kepada Tuhan dan rekan yang tepercaya. Paulus terbuka tentang lukanya. Dia menyebutkannya dan berduka atasnya. Seringkali hal ini membutuhkan waktu lebih lama dari yang kita sadari. Jika kita mengabaikan kesedihan kita, pada akhirnya hal itu akan meregangkan kita hingga membuat kita terlalu lemah.

Selama suatu masa sakit hati yang luar biasa, saya pergi untuk mendengarkan seniman Makoto Fujimura berbicara. Dia menggambarkan pekerjaan Tuhan dalam penderitaan melalui kintsugi. Kintsugi adalah kesenian Jepang untuk memperbaiki mangkuk atau vas. Para perajin merangkai kembali mangkuk-mangkuk teh yang pecah dengan emas cair yang mahal, sehingga menghasilkan mangkuk-mangkuk indah yang ditandai dengan garis sepuhan emas yang berkelok-kelok. Fujimura menegaskan, “Mereka tidak memperbaiki mangkuk; mereka membuatnya lebih indah.” Tuhan tidak hanya ingin memperbaiki kita; Ia ingin memperindah kita melalui penderitaan kita.

Setelah mendengar Fujimura berbicara, saya menoleh ke teman saya dan menyarankan agar kami pergi sebelum sesi tanya jawab dimulai. Saya menjadi agak emosional dan tidak ingin berlama-lama, tetapi akhirnya kami memutuskan untuk tetap tinggal. Saat tanya jawab, istri Fujimura, Shim, berkata, “Mako, kamu lupa menyebutkan sesuatu yang penting. Sebelum para perajin ahli mangkuk teh tersebut mulai memperbaiki, mereka memegang pecahan-pecahan itu dan menghormati bagian-bagian yang rusak. Kita harus duduk dengan bagian-bagian yang rusak dari hidup kita dan menghormatinya.” Tenggorokan saya pun tercekat, dan saya pun terkesiap. Inilah yang Tuhan ingin untuk saya lakukan: untuk menghormati bagian-bagian hati saya yang hancur.

Meskipun saya ingin belajar dari pengalaman itu dan kembali ke pelayanan, Tuhan tahu saya membutuhkan lebih banyak waktu untuk duduk bersama rasa sakit hati dan kesedihan itu. Apakah ada bagian yang rusak yang perlu Anda hormati? Kisah atau rasa sakit hati apa yang muncul di benak Anda ketika melihat kembali pelayanan Anda? Anda mungkin perlu menggalinya, menamainya, menggambarkan bagaimana perasaan Anda tentang hal-hal itu, dan mengundang Tuhan masuk ke dalamnya. Ciptakanlah waktu bagi emosi Anda untuk mengejar pengalaman-pengalaman yang tertinggal itu di hadapan Bapa surgawi Anda.

Yesus meluangkan waktu untuk menghargai kehancuran yang Ia alami. Dia menangis. Dia adalah “seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan” (Yes. 53:3). Dan pada malam Ia dikhianati, Dia “sangat sedih, seperti mau mati rasanya” (Mat. 26:38). Mungkin menunjukkan sikap yang kuat dalam pelayanan sangatlah menggoda bagi kita, untuk mengubur rasa sakit itu; lagipula, ada begitu banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Namun Tuhan juga sedang bekerja pada diri kita. Paulus membuka diri terhadap sakit hati. Yesus menangis. Kita juga bisa.

Setelah kita menghadapi dan berduka atas rasa sakit hati yang kita alami, kita harus melakukan sesuatu terkait hal itu. Bahkan jika kita berduka dengan baik, kenangan pahit dapat muncul kembali. Saat saya berduka atas rasa kehilangan yang saya alami, saya memeriksa luka hati saya dengan bercermin pada Alkitab. Secara pribadi dan mendalam, Kristus menjumpai saya melalui Yesaya 53, Ratapan 3, dan Mazmur 62. Yesus memakai penderitaan ini untuk mengungkapkan lebih banyak tentang diri-Nya kepada saya. Mesias yang menangis ini berlutut di samping saya. Pribadi yang penuh kesedihan itu menghibur saya—sungguh suatu pengalaman penebusan yang tak ternilai harganya. Itu sangatlah berharga.

Melalui halaman-halaman Kitab Suci, saya memercayakan kesedihan saya kepada Yesus. Saya menyerahkan semua itu ke dalam pemeliharaan-Nya dan memilih untuk memercayai rencana-Nya yang bijaksana dan penuh kebaikan. Hasilnya, penderitaan saya menjadi kesempatan bagi saya untuk menjadi lebih indah.

Dengan tidak menyadari bahwa saya akan mendengar Fujimura berbicara di minggu itu, ibu saya mengirimkan sebuah gambar mangkuk kintsugi yang pernah saya kirim kepadanya bertahun-tahun yang lalu di masa kesusahannya. Dia juga menyertakan pesan berikut ini: “Saya melihat emas di seluruh hidupmu.” Sungguhkah? Saya tidak bisa melihat apa yang Tuhan lakukan di dalam kegelapan, tetapi orang lain bisa. Saudara-saudari, Tuhan ingin menyembuhkan bagian yang rusak dari diri Anda dengan garis sepuhan emas. Apakah Anda bersedia berserah pada karya-Nya untuk memperindah diri Anda? Ia menggunakan anugerah yang luar biasa.

Saat saya membagikan pengalaman-pengalaman ini, Tuhan telah memperluas nilai penebusan dari pengalaman-pengalaman tersebut ke dalam kehidupan orang lain. Banyak orang tidak tahu bagaimana menghadapi rasa sakit hati mereka atau menghormati bagian yang rusak dari diri mereka, dan karena itu mereka tetap tertutup dari pengharapan ini. Saat kita menceritakan kekuatan dari Kristus di dalam kelemahan kita, kita membuka pintu bagi karya penebusan Yesus untuk bekerja di dalam penderitaan.

Tentu saja, pelayanan tidak selalu soal sakit hati dan penderitaan! Tuhan juga senang memberi kita hadiah-hadiah yang baik. Sementara Paulus mengakui rasa sakit hati yang ditimbulkan oleh orang-orang lain, ia juga mengingat persahabatan dengan Timotius, Lukas, Markus, Priskila, Akwila, dan Onesiforus. Dalam Alkitab versi bahasa Inggris, Paulus mengucapkan tiga kali lipat jumlah kata tentang Onesiforus (empat puluh lima kata) daripada yang dia ucapkan mengenai Figelus dan Hermogenes (lima belas kata). Itu disengaja.

Karena itu, sangatlah penting meluangkan waktu untuk hubungan yang menyegarkan kita. Banyak dari hubungan kita terperosok dalam dosa, penderitaan, dan pergumulan. Jika tidak diimbangi dengan hubungan yang menyegarkan, kita akan menjadi mudah terbebani. Jadwalkanlah pertemuan dengan anggota dan teman gereja yang membangkitkan semangat Anda. Beri tahu mereka bahwa Anda membutuhkan dorongan semangat. Berdoalah bersama. Izinkan mereka menyegarkan hidup Anda.

Pemberian-pemberian yang baik dari Allah selalu tersedia bagi kita, tetapi kita harus memilih untuk bersuka di dalamnya. Dalam masa yang sulit, kita sering kali mengembangkan kemampuan hanya untuk melihat hal-hal yang sulit. Jika kita tidak sengaja, kita akan membelok ke hal-hal negatif seperti roda mobil yang tidak selaras.

Dalam rentang minggu tertentu, beberapa anggota gereja yang telah bersama kami selama sepuluh tahun mengirim email kepada kami untuk mengumumkan bahwa mereka akan pergi ke gereja lain di kota. Selain itu, seorang anggota staf memutuskan untuk mengundurkan diri secara tiba-tiba. Lalu ada sebuah kelompok di kota melaporkan pertumbuhan yang menyerupai kebangunan rohani. Kemudian ada pula sesi konseling dengan pasangan yang mengarah pada perceraian setelah tiga puluh tahun menikah. Kami juga membaca laporan yang signifikan tentang kemajuan Injil melalui mitra misionaris kami, dan para penatua kami menerima dorongan semangat profetis yang kuat.

Akan tetapi karena saya terfokus pada hal-hal negatif, saya kehilangan pandangan akan kebaikan Tuhan. Ketika Tuhan meyakinkan saya terkait hal ini, saya tidak hanya dibebaskan untuk mengenali melainkan juga untuk menikmati kebaikan-Nya! Saat saya mengingat setiap anugerah-Nya, saya berhenti sejenak, lalu mengungkapkan rasa syukur untuk setiap anugerah.

Cara lain saya menumbuhkan kegembiraan atas pemberian Tuhan adalah dengan menahan diri dari menghapus email yang menyemangati saya. Alih-alih, saya memindahkannya dari kotak masuk ke berkas email khusus untuk disimpan. Ketika saya tergoda untuk hanya melihat hal-hal yang negatif dalam pelayanan, saya membuka berkas itu dan melihatnya secara cepat, berhenti sejenak dan membacanya. Latihan ini membantu saya untuk menghargai gereja kami dan melihat kebaikan Tuhan yang sedang bekerja.

Akhirnya, saya terinspirasi oleh cara Paulus berdoa untuk gereja. Meskipun dia tahu betul masalah jemaatnya, sering kali dia memilih untuk berterima kasih kepada Tuhan atas jemaat yang ia layani. Mengenai Efesus dia menulis, “Aku pun tidak berhenti mengucap syukur karena kamu. Dan aku selalu mengingat kamu dalam doaku” (1:16). Konteksnya, ia tergerak oleh laporan tentang iman dan kasih dari jemaat tersebut dan meresponinya dengan mengucap syukur atas mereka.

Terlalu sering, ketika saya memikirkan gereja, saya mengingat kegagalannya, melihat ketidakhadiran mereka, dan berfokus pada potensi yang belum dimanfaatkan. Akan tetapi ketika Paulus mengingat jemaat yang ia layani, dia sangat memperhatikan pemberian Allah yang baik, serta mengubah pengamatannya menjadi kesempatan untuk bersyukur di dalam doa. Semoga kita juga mengingat gereja dengan rasa syukur, membuka hati kita untuk karya penebusan Allah di dalam penderitaan pastoral yang kita alami, dan menikmati segala karunia-Nya yang baik.

Artikel ini diadaptasi dari The Unwavering Pastor karya Jonathan K. Dodson dan diterbitkan dengan izin dari The Good Book Company.

Diterjemahkan oleh Maria Fennita S.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Haruskah Orang Kristen Memiliki Senjata untuk Pertahanan Diri? Cuplikan Global

Para pemimpin di sembilan negara menjelaskan bagaimana mereka berpikir secara teologis dan alkitabiah tentang keselamatan pribadi berkaitan dengan penembakan massal yang terjadi di seluruh dunia.

Christianity Today October 18, 2022
Carlos Osorio / AP Images

Pada 6 Oktober 2022, seorang mantan polisi membunuh 36 orang, banyak dari mereka adalah anak-anak, di sebuah tempat penitipan anak di timur laut Thailand. Penembakan dan penusukan terjadi beberapa minggu setelah seorang pria bersenjata menembak dan menewaskan 17 orang di sebuah sekolah di Rusia tengah. Pada bulan Juli, teroris menyerang sebuah kebaktian gereja hari Minggu di barat daya Nigeria, menewaskan puluhan jemaat.

Amerika Serikat telah mengalami banyak penembakan massal tahun ini, termasuk pada parade 4 Juli di pinggiran kota Chicago, di mana tujuh orang terbunuh; di sebuah toko kelontong di Buffalo, New York, di mana 10 orang terbunuh; dan di sebuah sekolah dasar di Uvalde, Texas, di mana 21 orang terbunuh.

Di AS, kaum Injili kulit putih lebih mungkin memiliki senjata (41%) dan cenderung mengatakan bahwa hal itu membuat mereka merasa lebih aman (77%) daripada penganut agama lainnya di Amerika, menurut Pew Research Center. Lebih dari separuh kaum Injili kulit putih (57%) mengatakan bahwa perlindungan adalah satu-satunya alasan terpenting mereka memiliki senjata.

Studi Pew 2017 menemukan bahwa 38 persen kaum Injili kulit putih khawatir menjadi korban penembakan massal, 61 persen khawatir menjadi korban kejahatan kekerasan, dan 66 persen khawatir menjadi korban serangan teroris.

Namun orang Amerika yang menghadiri kebaktian setiap minggu lebih kecil kemungkinannya untuk memiliki senjata dibandingkan mereka yang lebih jarang menghadirinya (27% vs. 31%), [hasil temuan] studi Pew. Dan orang Amerika dengan tingkat komitmen agama yang tinggi lebih kecil kemungkinannya untuk memiliki senjata dibandingkan mereka yang komitmennya rendah (26% vs. 33%).

CT baru-baru ini mewawancarai para pemimpin gereja dari sembilan negara untuk mempelajari lebih lanjut tentang kepemilikan senjata di negara mereka dan pemikiran mereka tentang masalah ini, baik secara teologis maupun alkitabiah. Jawaban mereka disusun (dari atas ke bawah) dari mereka yang percaya orang Kristen boleh memiliki senjata untuk keamanan pribadi hingga mereka yang percaya bahwa hal itu tidak sesuai dengan iman mereka:

Nigeria | Steve Dangana, ketua, Pentecostal Fellowship of Nigeria (PFN), negara bagian Plateau:

Warga negara Nigeria dapat memiliki senjata selama senjata tersebut terdaftar pada pihak berwenang.

Orang-orang Kristen dipanggil untuk menjadi garda depan bagi perdamaian dan pembawa damai di dunia yang penuh dengan kekerasan dan kejahatan. Kekontrasan antara apa yang menjadi panggilan kita untuk menjadi duta Kristus dan realitas dunia kita saat ini menimbulkan tantangan untuk memiliki senjata demi pertahanan diri dan tujuan non-kekerasan lainnya. Saya pribadi percaya bahwa adalah hak orang Kristen untuk memiliki senjata dengan tujuan pertahanan diri.

Tingkat kekerasan yang meningkat di komunitas kita saat ini memiliki dimensi yang mengkhawatirkan. Kecerobohan di mana nyawa tak berdosa dibunuh setiap hari oleh individu tanpa hati nurani meninggalkan pertanyaan di hati banyak orang Kristen terkait tantangan etis atas kepemilikan senjata. Namun, Alkitab menawarkan beberapa wawasan berkenaan dengan praktik-praktik yang menginformasikan masalah ini di masa sekarang.

Pada malam Yesus dikhianati, Ia mendorong para murid-Nya untuk membawa pedang. Mereka memiliki dua pedang, yang menurut-Nya sudah cukup (Luk. 22:36-38). Akan tetapi ketika Yesus ditangkap, Petrus menghunus pedangnya dan memutuskan telinga salah satu hamba imam besar (Yoh. 18:10). Yesus menanggapi dengan menyembuhkan orang itu seketika (Luk. 22:51), kemudian memerintahkan Petrus untuk menyingkirkan pedangnya (Yoh. 18:11). Kepemilikan pedang oleh Petrus tidak dikutuk. Hanya penggunaannya dalam situasi tertentu yang mendorong Yesus untuk menahan diri.

Pada kesempatan lain, tentara datang kepada Yohanes Pembaptis untuk dibaptis. Ketika ditanya apa yang harus dilakukan untuk hidup bagi Tuhan, Yohanes menjawab, “Jangan merampas dan jangan memeras dan cukupkanlah dirimu dengan gajimu.” (Luk. 3:14). Kita melihat Yohanes tidak memberi tahu para prajurit untuk meletakkan senjata mereka.

Jadi bisa dikatakan bahwa Alkitab tidak pernah melarang orang Kristen memiliki senjata, selama itu digunakan sesuai dengan iman dan praktik kristiani kita serta membawa kehormatan bagi Kristus, menghormati dan menghargai umat manusia, serta memuliakan Tuhan.

Orang Kristen didorong untuk taat hukum sebagai duta Kristus dan warga yang setia terhadap negaranya. Roma 13 memberi tahu kita bahwa otoritas pemerintah berasal dari Allah dan harus dipatuhi. Oleh karena itu, undang-undang senjata apa pun, serta undang-undang setempat lainnya, harus dipatuhi.

Pada akhirnya, kita melihat bahwa memiliki senjata api atau senjata lainnya bukanlah dosa atau tidak pantas, selama hal itu untuk pertahanan diri atau penggunaan non-kekerasan lainnya.

Afrika Selatan | Siki Dlanga, koordinator sebuah kampanye yang menentang kekerasan berbasis gender untuk Evangelical Alliance of South Africa:

Warga Afrika Selatan secara legal dapat memiliki hingga empat senjata pada usia 21 tahun atau lebih. Setiap senjata api harus didaftarkan, dengan aturan ketat yang sesuai saat mendaftar.

Mengenai apakah orang Kristen perlu memiliki senjata api atau tidak, itu adalah masalah hati nurani pribadi. Tentang senjata, Kitab Suci mengajarkan sebagai berikut: “Karena senjata kami dalam perjuangan bukanlah senjata duniawi, melainkan senjata yang diperlengkapi dengan kuasa Allah, yang sanggup untuk meruntuhkan benteng-benteng. Kami mematahkan setiap siasat orang dan merubuhkan setiap kubu yang dibangun oleh keangkuhan manusia untuk menentang pengenalan akan Allah. Kami menawan segala pikiran dan menaklukkannya kepada Kristus, dan kami siap sedia juga untuk menghukum setiap kedurhakaan, bila ketaatan kamu telah menjadi sempurna” (2Kor. 10:4-6).

Kitab Suci menempatkan perlindungan orang percaya dari alam spiritual terlebih dahulu. Senjata kita bukanlah duniawi melainkan rohani. Kita tahu bahwa segala sesuatu dimulai secara rohani sebelum hal itu terwujud di alam jasmani. Kita tidak bisa melawan Iblis dengan senjata yang dia ciptakan dan berharap untuk mengalahkannya. Untuk mengalahkan kejahatan, kita diberitahu, harus menggunakan senjata rohani yang “kuat di dalam Tuhan.”

Selanjutnya, “Sebab Allah memberikan kepada kita bukan roh ketakutan, melainkan roh yang membangkitkan kekuatan dan kasih dan ketertiban” (2Tim. 1:7). Mengandalkan senjata api daripada kekuatan kasih bukanlah jalan Kristus. Senjata api telah menaburkan banyak penderitaan di dunia, sampai-sampai kita hanya bisa berharap untuk perdamaian jika kita saling mengancam dengan “kehancuran yang saling menguntungkan.” Itu bukan indikator masyarakat beradab dengan pikiran yang sehat.

Korea Selatan | Kim Seungkyeom, pendeta senior Graceforest Community Church di Yongin:

Di Korea, kepemilikan senjata sangat dibatasi. Hanya senapan berburu yang diperbolehkan. Namun Anda harus mendaftarkannya di kantor polisi.

Menurut pendapat saya, sangatlah tidak disarankan untuk memiliki senjata demi keamanan pribadi. Jika seseorang memiliki senjata untuk keamanan, orang lain akan mencoba melindungi dirinya sendiri dengan memiliki senjata yang lebih kuat. Anda dapat melihat hal ini dari perlombaan senjata nuklir. Kini terdapat semakin banyak senjata nuklir, dan semakin kuat, dan keunggulan komparatif atas negara lain dapat membuat dunia semakin berbahaya.

Pada dasarnya, masalah keamanan pribadi adalah area yang harus menjadi tanggung jawab suatu bangsa. Roma 13:4 mengatakan, “Karena pemerintah adalah hamba Allah untuk kebaikanmu. Tetapi jika engkau berbuat jahat, takutlah akan dia, karena tidak percuma pemerintah menyandang pedang. Pemerintah adalah hamba Allah untuk membalaskan murka Allah atas mereka yang berbuat jahat.

Namun bagi para individu, Tuhan mengatakan ini: ”Masukkan pedang itu kembali ke dalam sarungnya, sebab barangsiapa menggunakan pedang, akan binasa oleh pedang” (Mat. 26:52). Sebenarnya, ini adalah pelajaran tentang balas dendam, bukan masalah keamanan pribadi, namun ini juga pelajaran dasar dalam penggunaan senjata.

Orang Kristen seharusnya tidak menyandarkan keamanan mereka pada kepemilikan senjata, melainkan dalam kasih karunia dan perlindungan Tuhan. Ironisnya, saya menaruh tongkat bisbol di samping tempat tidur saya kalau-kalau ada perampok tiba-tiba masuk.

Swiss | Jean-René Moret, pendeta, Evangelical Church of Cologny:

Kami diizinkan memiliki senjata di Swiss. Kami masih memiliki wajib militer, dan kebanyakan pria Swiss membawa pulang senapan serbu untuk disimpan dan latihan menembak. Senapan serbu diperbolehkan. Para pria yang telah menjalani wajib militer punya pilihan untuk membeli kembali senapan militer mereka dan menyimpannya. Pemilik senjata harus mendaftar.

(Hanya laki-laki yang wajib militer. Wanita dapat mengajukan diri untuk menjadi bagian dari tentara. Mereka yang menolak karena keberatan hati nurani akan melakukan pelayanan masyarakat.)

Ajaran dan teladan Yesus menunjukkan bahwa orang Kristen lebih baik menderita kehilangan harta benda, kehormatan, dan kehidupan mereka daripada melawan kekerasan dengan kekerasan (Mat. 5:38–42; 1Ptr. 2:20–23). Paulus dalam Roma 13:4 mengakui peran negara untuk menyandang senjata agar menekan kejahatan. Namun ini bukanlah peran individu.

Seseorang dapat mempertimbangkan apakah dapat diterima untuk memiliki senjata untuk membela orang lain yang rentan. Ini mungkin terjadi dalam situasi kegagalan negara dan pelanggaran hukum. Sekalipun bahkan dalam kasus seperti itu, seseorang harus bertanya di mana orang Kristen akan menaruh kepercayaan mereka. Akankah mereka percaya pada Tuhan, atau pada senjata, kekuatan, dan kemampuan mereka sendiri? (Yes. 30:15-17).

Kekerasan akibat senjata adalah sebuah konsekuensi, tidak hanya dari kepemilikan senjata, melainkan juga dari budaya di mana senjata dianggap memberikan keamanan dan solusi. Orang Swiss memiliki banyak senjata tetapi tidak berharap untuk menggunakannya selain berburu, menembak secara sportif, dan perang yang tidak mungkin terjadi. Bagi orang Kristen, senjata mungkin adalah berhala, sesuatu yang menuntut kepercayaan yang seharusnya hanya kita berikan kepada Tuhan.

Kanada | Karen Stiller, penulis, editor, dan jurnalis, Ottawa:

Kami dapat memiliki senjata, meskipun Kanada memiliki undang-undang kontrol senjata yang ketat. Diperlukan pemeriksaan latar belakang yang menyeluruh untuk hal itu. Lebih dari 1.500 jenis senjata serbu gaya militer dilarang di Kanada pada tahun 2020. Undang-undang yang lebih ketat diajukan baru-baru ini untuk lebih membatasi kepemilikan senjata.

Ayah saya adalah anggota Royal Canadian Mounted Police. Saya dibesarkan di lingkungan di mana senjata hadir dan diakui sebagai bagian yang berpotensi berbahaya tetapi penting dalam pekerjaan ayah saya. Kami menghormati ayah saya, pekerjaannya, dan seragam Royal Canadian Mounted Police. Saya senang dia memiliki pistol, karena saya tahu itu membantu melindungi dia dan orang-orang yang ia lindungi dalam pekerjaan dan panggilannya.

Tentu saja, senjata memiliki tempat di dunia, tetapi senjata bukan bagian dari kehidupan sehari-hari dan budaya di Kanada seperti di AS, atau saya duga, di banyak tempat lain di dunia. Negara kami memiliki sejarah yang berbeda, dan kami tidak memiliki Amandemen Kedua dan semua yang mewakilinya.

Peran senjata dalam kehidupan mungkin berbeda di berbagai negara bagian Kanada (saya adalah orang kota sejak kecil), tetapi saya masih tidak percaya mereka yang akan melobi untuk mengurangi kontrol kepemilikan senjata di Kanada akan sama seperti mereka yang memiliki senjata di AS. Bahkan pertanyaan Haruskah orang Kristen memiliki senjata untuk keamanan pribadi? terasa sangat Amerika. (Dan pernyataan saya itu terasa sangat Kanada.)

Tidak terpikir oleh saya jika keluarga kami, yang adalah orang Kristen, memiliki senjata yang khusus ditujukan untuk keamanan pribadi. Jika kami melakukannya, dan kami mengikuti hukum negara (yang kami percaya bahwa kami harus mengikutinya sebagai orang percaya), senjata itu akan dibongkar, dikunci, dan disimpan secara terpisah dari amunisi. Jadi, secara umum, pengaturan tidak terlalu membantu dalam hal perlindungan pribadi, tidak peduli posisi teologis seseorang.

Australia | Sam Chan, penginjil dengan City Bible Forum di Sydney:

Di Australia, Anda dapat memiliki senjata, tetapi Anda harus memiliki lisensi dan mendaftarkan senjata tersebut. Akan tetapi Anda tidak dapat membeli senjata otomatis atau semi otomatis.

Saya pernah tinggal di sebuah peternakan dan menyaksikan petani menembak hewan liar. Saya juga punya teman yang hobi menembak. Namun, pada umumnya, kepemilikan senjata bukanlah bagian utama dari budaya Australia.

Orang Australia mungkin merasa perlu memiliki mobil atau rumah, tetapi bukan senjata untuk keamanan pribadi. Itu bukan sesuatu yang umum di Australia. Justru yang membuat kami merasa aman di Australia adalah karena sedikitnya senjata, bukan ketersediaannya.

Di Australia kami memprioritaskan keamanan komunal, dan kami berharap pemerintah mewujudkannya. Saya pikir kami adalah negara pertama yang memberlakukan undang-undang tentang wajib sabuk pengaman untuk mobil, helm untuk pengendara sepeda, dan tes napas secara acak bagi para pengemudi.

Untuk itu, kami membatasi hak kepemilikan senjata demi keselamatan masyarakat. Belum ada penembakan massal besar-besaran sejak tahun 1996.

Paulus juga menghimbau hal ini dalam 1 Korintus 10:23–24: “Segala sesuatu diperbolehkan.” Benar, tetapi bukan segala sesuatu berguna. “Segala sesuatu diperbolehkan.” Benar, tetapi bukan segala sesuatu membangun. Jangan seorangpun yang mencari keuntungannya sendiri, tetapi hendaklah tiap-tiap orang mencari keuntungan orang lain."

Paulus mengatakan bahwa kita memiliki hak individu, tetapi kita juga memiliki tanggung jawab pribadi untuk melakukan yang terbaik bagi masyarakat.

Honduras | Miguel lvarez, presiden dari Central American Biblical Pentecostal Seminary di Quetzaltenango, Guatemala:

Di Honduras, orang-orang dapat membawa senjata, tetapi untuk melakukannya mereka harus mendaftar, sesuai dengan persyaratan yang diminta oleh departemen pertahanan. Sayangnya, bahkan dalam proses yang bermaksud baik ini, mungkin ada tanda-tanda korupsi. Namun demikian, undang-undang itu ketat bagi mereka yang memilih untuk membawa senjata.

Saya tidak yakin bahwa orang percaya di dalam Kristus harus membawa senjata. Membawa senjata bertentangan dengan pesan Injil. Tidak ada alasan teologis atau alkitabiah yang membenarkan penggunaan senjata. Panggilan orang percaya di dalam Kristus adalah membawa damai, bukan berperang. Tuhan telah memberi kita kemampuan untuk berdialog sebagai makhluk beradab tentang perbedaan kita untuk menyelesaikan kontroversi dengan cara damai. Setiap orang percaya yang membawa senjata jelas meragukan kekuatan rohani yang ada di dalam dirinya.

Menurut Yakobus 3:17, “Tetapi hikmat yang dari atas … pendamai, peramah, penurut, penuh belas kasihan dan buah-buah yang baik, tidak memihak dan tidak munafik.” Selanjutnya, menurut Roma 12:18, “Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang!” Tuhan memanggil kita untuk hidup dalam damai. Kehadiran senjata bertentangan dengan perdamaian. Tidak ada pembenaran alkitabiah atau teologis untuk penggunaan senjata.

Orang-orang yang bersikeras untuk mengangkat senjata tidak mengenal damai Tuhan, mereka juga tidak dapat memahami keadilan Tuhan. Oleh karena itu, penting untuk menyatakan diri sebagai orang yang menentang perang dan penggunaan senjata untuk menyelesaikan konflik manusia serta menyatakan diri mendukung perdamaian dan keadilan.

Filipina | Emil Jonathan Soriano, pendeta Gereja @ No. 71, San Pedro, Laguna:

Di Filipina, orang bisa memiliki senjata secara legal, meski sulit. Pemerintah memiliki persyaratan yang sangat ketat. Namun demikian, saya pribadi mengenal orang Kristen yang memiliki izin untuk membawa senjata untuk tujuan rekreasi.

Saya rasa orang Kristen tidak harus memiliki senjata untuk keamanan pribadi. Pekerjaan Tuhan di dunia adalah untuk menghasilkan kehidupan dalam segala kelimpahannya (Yoh. 10:10) dan menaklukkan kematian (1Kor. 15). Senjata bertentangan dengan pekerjaan Tuhan karena senjata adalah alat kematian yang dirancang untuk membunuh. Di Filipina, senjata api lepas digunakan untuk kejahatan dan pembunuhan di luar proses hukum, yang telah menyebabkan pembunuhan gaya main hakim sendiri di masa lalu. Kitab Suci menegaskan bahwa alat-alat kematian harus dibongkar dan diubah menjadi alat-alat produksi dan penghidupan (Yes. 2:4; Mi. 4:3).

Lebih penting lagi, Yesus mencontohkan etika antikekerasan, yang Ia tunjukkan melalui kasih yang memberi dan rela menderita bersama kita. Kasih inilah yang memanggil kita untuk mempersembahkan hidup agar orang lain dapat hidup (Mat. 5:38–48; Rm. 12). Dalam Yesus, kita melihat bahwa seseorang tidak membutuhkan senjata untuk membela diri dan menjadi aman. Orang Kristen mula-mula mengikuti teladan-Nya; mereka tidak berusaha membela diri dengan mengangkat senjata tetapi sebaliknya dengan rela menyerahkan hidup mereka sebagai saksi Injil. Ini tidak berarti bahwa orang Kristen harus menjadi martir dan tidak mengambil tindakan pencegahan. Orang-orang Kristen diundang untuk hidup dengan berhikmat sambil berusaha untuk mengubah dunia menjadi dunia yang didasarkan pada perdamaian. Seperti yang pernah dikatakan Clement dari Alexandria, seorang bapa Gereja mula-mula, “Para saudari yang sederhana dan pendiam, kedamaian dan kasih tidak memerlukan senjata. Karena kita dilatih bukan dalam perang, melainkan dalam damai.”

Singapura | Edric Sng, pendiri dan editor Salt&Light dan Thir.st:

Di Singapura, penggunaan senjata dikontrol secara ketat di bawah undang-undang Arms Offences Act. Selain polisi dan angkatan bersenjata, kami hampir tidak mengetahui siapa pun yang terlihat membawa atau menggunakan senjata. Kalau ada yang melakukannya akan segera menjadi berita utama di halaman depan.

Ini berarti kami di Singapura dapat menjalani hidup tanpa pernah mengkhawatirkan ancaman kekerasan senjata.

Dalam Lukas 22, tepat setelah Perjamuan Terakhir, Yesus mempersiapkan murid-murid-Nya untuk masa yang akan datang ketika mereka harus menjalankan misi tanpa guru mereka. “Siapa yang tidak mempunyainya [pedang] hendaklah ia menjual jubahnya dan membeli pedang,” kata Yesus kepada mereka di ayat 36. Pedang pada masa itu akan berguna untuk banyak hal. Untuk berburu. Untuk memanen. Sebagai alat serbaguna.

Dan, ya, itu adalah senjata—tetapi jelas itu bukan maksud Yesus. Jika Yesus bermaksud agar para murid membawa senjata untuk berperang, Dia tidak akan mengatakan kepada mereka bahwa dua pedang di antara mereka sudah cukup (ay. 38). Dia akan memberitahu mereka untuk membawa lebih banyak! Semakin banyak semakin aman!

Akan tetapi jelas pedang itu bukan untuk menyerang atau membela diri. Dalam beberapa jam selanjutnya, dalam Lukas 22:49–51, Yesus ditangkap. Petrus menghunus pedangnya untuk menghalangi rombongan yang dipimpin oleh Yudas si pengkhianat. Namun alih-alih pujian, dia malah mendapatkan teguran Yesus: “Sarungkan pedangmu itu!” (menurut Yohanes 18:11).

Apakah suatu kebodohan untuk menjadi tidak berdaya di dunia yang jahat, di mana semua orang membawa senjata? Menurut manusia, mungkin. Akan tetapi apakah lebih bijaksana menurut Tuhan untuk memegang senjata yang dapat dengan mudah merenggut nyawa orang lain, sekalipun untuk membela diri? Mengapa membayangkan kehidupan Anda atau keluarga Anda—lebih berharga daripada kehidupan orang lain?

Jika dunia dipersenjatai, haruskah kita mengikuti—atau apakah itu akan membuat kita seperti dunia?

Dengan bantuan laporan dari Jennifer Park

Diterjemahkan oleh Denny Pranolo.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Penolong: Anda Terus Memakai Kata Itu untuk Wanita

Namun arti dari kata tersebut tidak seperti yang Anda pikir selama ini.

Christianity Today October 17, 2022
Illustration by Christianity Today / Source Images: WikiMedia Commons / Getty

Penelitian Arecent LifeWay Research menanyakan para pendeta Protestan Amerika apakah wanita di jemaat mereka diizinkan untuk mengambil enam peran spesifik dalam kepemimpinan.

Sesuai dugaan, pandangan tentang wanita berkhotbah terbagi dua, tetapi kira-kira “9 dari 10 pendeta mengatakan wanita dapat menjadi pelayan komisi anak-anak (94%), pemimpin bidang (92%), pelayan komisi remaja (89%), atau pengajar pendalaman Alkitab untuk jemaat dewasa (85%) di gereja mereka,” menurut Aaron Earls. Sementara itu, lebih sedikit pendeta (64%) mengatakan wanita bisa menjadi diaken.

Pertanyaan tentang di mana seorang wanita dapat melayani di gereja “telah diperdebatkan selama berabad-abad di mana para ahli Alkitab dari berbagai denominasi memiliki kesimpulan yang berbeda-beda tentang apa yang dimaksudkan Kitab Suci,” kata Scott McConnell, direktur eksekutif Lifeway Research.

Bagian pertama dari Alkitab, secara khusus, memainkan peranan yang penting. Generasi orang-orang Kristen secara turun-temurun telah memakai kisah penciptaan dalam Kejadian 1 sampai 3 sebagai paradigma atau acuan terkait peran gender. “Seiring dengan Kejadian 1-3, demikian pula seluruh perdebatan Alkitab (soal peran gender) terjadi,” kata Raymond C. Ortlund Jr.

Kata “penolong” dari Kejadian 2:18 telah lama menjadi titik penting dalam perdebatan ini. Sebagian orang menggunakannya untuk berargumen bahwa peran utama seorang istri adalah mendukung kepemimpinan suaminya. Sebagian lain menyebarkannya untuk membenarkan pandangan yang kuat tentang ketundukan dan pelayanan perempuan. Dan yang lain lagi menafsirkan gagasan itu sehalus mungkin, dengan mengatakan, “Tuhan menjadikan pria sebagai pemimpin yang baik budi dan wanita sebagai penolong yang penting dalam pernikahan.”

Namun bagaimana jika selama ini kita telah salah mengartikan kata itu? Nada merendahkan yang sering menyertai peran perempuan tidak ditemukan di mana pun dalam Kitab Suci. Dan misinterpretasi kita telah membuat kita masuk ke dalam masalah tentang bagaimana cara kita memandang peran laki-laki dan perempuan.

Pengertian yang lebih akurat, setidaknya seperti yang saya lihat, sangatlah signifikan bagi mereka yang berada di kubu komplementarian (memandang bahwa pria dan wanita memiliki peran dan fungsi yang berbeda di dalam pernikahan dan pelayanan) maupun kubu egalitarian (memandang bahwa tidak ada perbedaan atau pembatasan antara peran dan fungsi pria dan wanita di dalam pernikahan dan pelayanan). Setiap orang dapat memperoleh sesuatu jika melihat lebih dekat dan cermat pada teks di kitab Kejadian dan apa yang dikatakannya: Bahwa seorang “penolong” sebenarnya adalah mitra sepenuhnya dalam pekerjaan yang Tuhan berikan kepada manusia.

Bisa dibilang bagian terpenting untuk memahami keutuhan manusia adalah Kejadian 1:26–28. Tuhan menjadikan laki-laki dan perempuan sebagai puncak dari ciptaan. Kita dirancang menurut “gambar Tuhan,” sebuah status yang dalam konteks Timur Dekat kuno berarti bahwa manusia secara fisik mewakili kehadiran Tuhan di bumi.

Dalam Kejadian 1, status itu dinyatakan melalui keberkuasaan—tugas yang diberikan tanpa memandang jenis kelamin. Laki-laki dan perempuan berkuasa bersama atas nama Tuhan dengan menjaga ketertiban dan memastikan perkembangan ciptaan.

Meski demikian, anehnya, manusia tidak diperintahkan untuk berkuasa satu sama lain. Model yang Tuhan tetapkan adalah kerja tim.

Dasar ini penting untuk diingat saat kita melanjutkan ke Kejadian 2, di mana penciptaan manusia diceritakan kembali dengan lebih mendalam. Laki-laki pertama yang ditempatkan di taman Allah itu diberi tugas untuk dikerjakan: mengusahakan dan memelihara taman itu (Kej. 2:15).

Akan tetapi laki-laki itu punya masalah: Dia sendirian. Meski banyak binatang yang menghuni taman itu, tidak satu pun dari mereka yang sepadan dengan dia. Jika laki-laki itu membutuhkan seseorang untuk menerima perintah, dia bisa memilih seekor lembu atau bagal. Jika dia membutuhkan seseorang yang mengikutinya ke mana-mana, dia bisa memilih seekor anjing. Akan tetapi tidak satu pun dari binatang-binatang ini yang dapat membantu dia menjalankan tanggung jawab sebagai mitra sepenuhnya, dan tidak ada yang dapat meminta pertanggungjawabannya dalam menjaga batas-batas yang Tuhan telah tetapkan.

Apa yang tidak dimiliki pria itu, adalah ʿēzer kenegdô, “penolong yang sepadan dengannya.”

Lalu masuklah perempuan. Perempuan menyelesaikan konflik plot dari Kejadian 2 dengan menawarkan apa yang tidak bisa ditawarkan oleh binatang apa pun di taman itu: kesepadanan yang seutuhnya. Bagi sebagian orang Kristen, bagian ini menawarkan bukti untuk dua klaim utama:

Pertama: Tuhan menunjuk laki-laki untuk memimpin dan memiliki otoritas atas perempuan.

Kedua: Perempuan diciptakan untuk mendukung kepemimpinan laki-laki dengan mengikuti.

Namun, kedua asumsi umum ini ternyata memiliki kesalahan saat diteliti dengan cermat. Inti utama dari cerita tersebut bukanlah perbedaan antara laki-laki dan perempuan, meskipun itu penting, melainkan kesamaan esensial dan status yang setara di hadapan Tuhan.

Perempuan memiliki kesamaan dengan laki-laki yang tidak dimiliki oleh makhluk ciptaan lain. Dia berasal dari tubuh laki-laki itu sendiri—sama seperti setiap laki-laki di masa mendatang akan berasal dari tubuh perempuan. Hal ini memperlihatkan keterhubungan mereka yang misterius. Dia (perempuan) “sepadan dengan dia (laki-laki)” (Ibrani kenegdô, Kej. 2:18, 20). Dan dia (perempuan) memenuhi peran sebagai seorang rekan untuk mendukung apa yang Tuhan tugaskan kepada laki-laki. Bersama-sama mereka akan mendiami bumi, dan bersama-sama mereka akan menguasainya.

Lalu mengapa menyebut perempuan sebagai “penolong” laki-laki? Bukankah itu berarti laki-laki adalah bosnya?

Dalam terjemahan bahasa Inggris dari Kejadian 2:18 (NIV, NLT, ESV, NRSV, NASB), kata “penolong” menunjukkan laki-laki yang memimpin dan perempuan hadir sebagai peran pendukung. Dia (perempuan) adalah resepsionis bagi sang CEO, pemandu sorak untuk pemain quarterback, atau perawat bagi ahli bedah.

Sepanjang sejarah, perempuan sering mengisi peran-peran seperti ini, dan mereka telah banyak berkontribusi dengan melakukannya. Meski demikian, model ini melewatkan sesuatu tentang kata Ibrani ʿēzer.

Bantuan seperti apa yang ditawarkan seorang ʿēzer? Siapakah para ʿēzer dalam Alkitab?

Sepanjang Perjanjian Lama menggunakan kata ʿēzer dalam dua cara utama. Pertama, mengacu pada tentara sekutu yang membantu dalam pertempuran. (Lihat, misalnya, Yosua 1:14 atau 1 Tawarikh 12:1–22.) Kedua, ini merujuk kepada Allah sebagai penolong Israel. (Lihat Kejadian 49:25; 2 Tawarikh 32:8; Mazmur 10:14; Yesaya 41:10-14).

Jelas, dalam bagian-bagian itu, kata “penolong” tidak memiliki peran terkait ketundukan yang buta. Kalaupun ada, justru sebaliknya. Tuhan menyediakan apa yang tidak dimiliki Israel. Seperti yang dijelaskan oleh pakar Perjanjian Lama, Mary Conway, “frasa kenegdo paling baik diterjemahkan sebagai ‘sepadan dengan dia,’ sebuah istilah yang menyiratkan kompetensi dan kesetaraan, dibandingkan subordinasi atau inferioritas.”

Faktanya, kata ʿēzer muncul sebagai kata benda umum lebih dari 90 kali dalam Perjanjian Lama tetapi tidak pernah merujuk pada apa yang dilakukan para pelayan atau bawahan untuk tuan mereka.

Jika Anda berada dalam bahaya akan kalah dalam pertempuran, yang Anda butuhkan adalah ʿēzer—skuadron pasukan lain atau intervensi ilahi—untuk hadir bersama-sama dan memperkuat pasukan Anda yang lesu.

Apa artinya ini bagi perempuan? Laki-laki tidak membutuhkan sekretaris, kaki tangan, atau seseorang untuk menjalankan perintahnya. Sebaliknya, dia membutuhkan mitra sepenuhnya dalam tugas berkuasa atas ciptaan, mengusahakan taman itu, dan menjaganya dari para penyusup. Dia membutuhkan seorang wanita.

Kata “penolong” tidak sesuai dengan peran yang Tuhan rancang untuk diisi oleh perempuan dalam Kejadian 2. “Sekutu yang diperlukan” atau “mitra yang penting” mungkin merupakan cara yang lebih baik untuk menerjemahkan kata ini.

Sebagai anggota dari gerakan Injili, merupakan misteri bagi saya untuk mengetahui betapa banyak segmen dari komunitas kita yang memiliki doktrin tentang peran gender yang berakar dari Kejadian 3 daripada dari Kejadian 2. Memang benar bahwa Kejadian 3 menyajikan hierarki gender: “engkau akan berahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu” (Kej. 3:16).

Akan tetapi dinamika itu berasal dari konsekuensi mengerikan akibat pemberontakan manusia. Hawa akhirnya gagal dalam tugasnya membantu Adam menjalankan amanat mereka untuk menjaga taman tersebut. Seorang penyusup cerdik telah melemparkan keraguan akan kebenaran perintah Tuhan, dan suami istri itu percaya kebohongannya—tanpa ragu. Akibatnya, hubungan mereka dengan Tuhan retak sangat parah, begitu pula hubungan mereka satu sama lain dan dengan bumi yang seharusnya mereka kelola.

Namun, perhatikan, perempuan itu bertanggung jawab sepenuhnya atas dosanya sendiri, begitu pula dengan sang laki-laki. Jika Hawa hanyalah seorang kaki tangan, Tuhan tidak akan memanggilnya sebagai seorang agen moral seutuhnya (orang yang memiliki kemampuan untuk membedakan yang benar dari yang salah)—yang bertanggung jawab atas ketaatannya sendiri pada perintah Tuhan. Lalu jika kesalahan itu hanya milik Hawa saja, maka laki-laki itu juga tidak akan menanggung kesalahan.

Inilah poin saya: Adalah suatu kesalahan untuk melihat Kejadian 3 sebagai paradigma untuk hubungan manusia dan terutama hubungan pria-wanita. Teks ini menggambarkan konsekuensi dari pemberontakan manusia, bukan maksud orisinal dari Tuhan.

Tuhan menyatakan bahwa perempuan itu akan mengalami masa sulit karena suaminya akan mendominasi, bukan karena hal-hal tersebut harus seperti demikian, melainkan karena dosa manusia telah membawa mereka ke suatu tempat yang disfungsi. Mereka memilih untuk memercayai hikmat mereka sendiri daripada hikmat Tuhan, dan kesalahan itu tidak berakhir dengan baik.

Tuhan tidak menginginkan duri, onak, dan dominasi laki-laki lebih dari orang tua yang sedang menantikan kelahiran anaknya, yang dengan hati-hati merancang sudut ruang untuk tempat pendisiplinan bagi anak-anak mereka sebelum lahir. Jika kita ingin menangkap kembali visi Tuhan tentang penciptaan, maka, kita perlu bersandar pada Kejadian 1 dan 2, di mana pria dan wanita berdiri berdampingan sebagai sekutu yang sepadan dalam tugas yang Tuhan rancang untuk kita kerjakan.

Namun, bukankah Adam yang memberi nama Hawa? Dan bukankah penamaan menyiratkan hierarki? Saya sama sekali tidak yakin bahwa penamaan menyiratkan hierarki. (Misalnya, Hagar menamai Tuhan dalam Kejadian 16:13.) Namun meskipun demikian, seperti yang ditunjukkan oleh profesor teologi, Glenn Kreider, Adam menamai Hawa setelah kejatuhan, bukan sebelumnya (Kej. 3:20).

Dengan mengingat semua ini, mari kita merevisi dua asumsi umum tentang apa yang diajarkan pasal-pasal ini:

Tuhan menunjuk laki-laki dan perempuan untuk memimpin bersama.

Perempuan diciptakan untuk mendukung kepemimpinan laki-laki dengan memimpin bersamanya.

Jangan dengar apa yang tidak saya katakan. Saya tidak menyangkal bahwa perempuan harus menjadi pelayan. Alkitab sangat jelas bahwa kita semua, tanpa memandang jenis kelamin, harus menunjukkan sikap kehambaan dalam relasi satu sama lain. Yesus adalah hamba dari semua, dan Ia memanggil kita semua untuk meneladani Dia.

Menurut Kitab Keluaran, pelayanan adalah ekspresi yang esensial dari panggilan Israel. Seluruh kisah itu dibingkai sebagai suatu perubahan besar dari melayani Firaun menjadi melayani Yahweh (Kel. 7:16).

Seperti yang kita pikirkan tentang kehidupan kita hari ini, panggilan itu belumlah kedaluwarsa. Masalah muncul ketika kita membaca “pelayanan” kembali ke kata “penolong” dalam Kejadian 2:18 dan menerapkannya secara tidak merata berdasarkan jenis kelamin. Itu tidak ada di Kejadian 2. Mengatakan sebaliknya adalah melakukan pengingkaran terhadap teks.

Meskipun ide-ide ini bukanlah kata terakhir Alkitab tentang peran gender, ide-ide ini memberikan ruang yang penting untuk memulai percakapan. Dan ini adalah ruang yang sangat membantu untuk memulainya.

Carmen Joy Imes adalah lektor kepala Perjanjian Lama di Biola University’s Talbot School of Theology dan penulis Bearing God’s Name: Why Sinai Still Matters.

Bagian dari artikel ini diadaptasi dari Being God’s Image: Why Creation Still Matters oleh Carmen Joy Imes (InterVarsity Academic, 2023). Diterbitkan dengan izin.

Speaking Out kolom opini tamu Christianity Today dan (tidak seperti editorial) tidak selalu mewakili opini dari penerbitan ini.

Diterjemahkan oleh Mellie Cynthia.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Books

Wafat: Brother Andrew, yang Menyelundupkan Alkitab ke Negara-Negara Komunis

Pendiri Open Doors mengatakan dia bukanlah seorang “evangelical stuntman” melainkan seorang Kristen yang setia mengikuti tuntunan dari Roh Kudus.

Brother Andrew (Anne van der Bijl), dikenal sebagai “penyelundup Allah.”

Brother Andrew (Anne van der Bijl), dikenal sebagai “penyelundup Allah.”

Christianity Today September 28, 2022
Courtesy of Open Doors / suntingan oleh Mallory Rentsch

Anne van der Bijl, seorang penginjil Belanda yang dikenal oleh orang Kristen di seluruh dunia sebagai Brother Andrew, pria yang menyelundupkan Alkitab ke negara-negara komunis yang tertutup, telah wafat pada usia 94 tahun.

Van der Bijl menjadi terkenal sebagai “penyelundup Allah” ketika kisah tentang perjalanan misinya diterbitkan pada tahun 1967, yang mengisahkan tentang bagaimana ia melewati penjaga perbatasan dengan Alkitab yang disembunyikan di mobil Volkswagen Beetle biru miliknya. Buku God’s Smuggler (diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul "Penyelundup Allah") ditulisnya bersama jurnalis dari kalangan Injili, John dan Elizabeth Sherrill, dan diterbitkan dengan nama samarannya, “Brother Andrew.” Buku tersebut terjual lebih dari 10 juta eksemplar dan diterjemahkan ke dalam 35 bahasa.

Buku itu mengilhami banyak misionaris lainnya, mencukupkan dana bagi pelayanan van der Bilj di Open Doors, dan menarik perhatian kaum Injili terhadap situasi membahayakan yang dialami oleh orang-orang percaya di berbagai negara di mana kepercayaan dan praktik Kristen dianggap ilegal. Meski demikian, van der Bijl memprotes bahwa orang-orang tidak menangkap maksudnya, ketika mereka mengagungkan dia sebagai orang yang heroik dan luar biasa.

“Saya bukan seorang evangelical stuntman,” katanya. “Saya hanyalah seorang pria biasa. Apa yang saya lakukan, siapa pun bisa melakukannya.”

Tidak ada yang tahu berapa banyak Alkitab yang dibawa van der Bijl ke Polandia, Cekoslowakia, Yugoslavia, Jerman Timur, Bulgaria, dan negara-negara blok Soviet lainnya dalam dekade sebelum kesuksesan buku God’s Smuggler mengharuskannya menjadi tokoh utama dan penggalang dana untuk Open Doors. Estimasinya berkisar hingga jutaan. Sebuah lelucon Belanda yang populer di akhir 1960-an mengatakan, “Apa yang akan ditemukan orang Rusia jika mereka tiba lebih dulu di bulan? Brother Andrew dengan banyak Alkitab.”

Brother Andrew.Open Doors International
Brother Andrew.

Bagi Van der Bijl sendiri, ia tidak mencatat jumlahnya secara pasti dan menurutnya jumlah itu tidaklah penting.

“Saya tidak peduli dengan statistik,” katanya dalam sebuah wawancara tahun 2005. “Kami tidak menghitung. … Namun Tuhan adalah pencatat yang sempurna. Dia tahu.”

Van der Bijl lahir di Belanda pada tahun 1928, sebagai putra seorang pandai besi yang miskin dan seorang ibu yang cacat. Dia berusia 12 tahun ketika militer Jerman menginvasi negara netral itu dalam Perang Dunia II. Sebagaimana yang ia ceritakan kepada John dan Elizabeth Sherrill, dia melewatkan masa pendudukan Jerman itu dengan bersembunyi di parit untuk menghindari kerja paksa oleh para tentara Nazi. Ketika kelaparan melanda Belanda pada tahun 1944, van der Bijl, seperti banyak orang Belanda lainnya, memakan umbi tulip untuk bertahan hidup.

Setelah perang tersebut, van der Bijl bergabung dengan tentara Belanda dan dikirim ke Indonesia sebagai bagian dari pasukan kolonial yang berusaha untuk menggagalkan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Kala itu, ia sangat bersemangat untuk berpetualang hingga penembakan pun dimulai dan dia membunuh orang-orang. Menurut pengakuannya sendiri, van der Bijl terlibat dalam pembantaian sebuah desa di Indonesia, membunuh semua orang yang tinggal di sana tanpa pandang bulu.

Setelah itu, ia dihantui oleh suatu penglihatan tentang seorang ibu muda dan anak laki-lakinya, yang dibunuh dengan peluru yang sama. Ia pun mulai memakai topi anyaman yang aneh ke dalam hutan, berharap cara itu akan membuatnya terbunuh. Van der Bijl mengadopsi moto, “Jadilah pintar—hilangkanlah akal sehatmu.”

Dia pun tertembak di pergelangan kaki dan mulai membaca Alkitab yang diberikan ibunya selama masa pemulihannya. Setelah ia kembali ke Belanda, dia mulai merasa tergerak untuk pergi ke gereja, dan pada awal 1950, ia menyerahkan dirinya kepada Tuhan.

“Tidak banyak iman dalam doa saya,” kata van der Bijl. “Saya hanya berkata, ‘Tuhan, jika Engkau akan menunjukkan jalan kepada saya, saya akan menaati-Mu. Amin.’”

Van der Bijl menyerahkan hidupnya untuk pelayanan dan pergi ke Skotlandia untuk belajar di sekolah misionaris Worldwide Evangelization Crusade pada tahun 1953. Ketika ia berbicara kepada Christianity Today pada tahun 2013, ia mengingat satu pelajaran penting dari seorang perwira Bala Keselamatan yang mengajar tentang penginjilan di jalanan. Pria yang lebih tua darinya itu mengatakan bahwa kebanyakan calon penginjil menyerah terlalu cepat, karena Roh Kudus hanya mempersiapkan hati satu dari 1.000 orang.

“Seketika itu juga hati saya memberontak. Saya berkata pada diri sendiri, ‘Sungguh sia-sia,’” kenang van der Bijl. ”Mengapa pergi dan menghabiskan energi Anda pada 999 orang yang tidak akan merespons? Tuhan mengetahuinya, iblis mengetahuinya, dan dia tertawa karena setelah 1.000 orang pertama saya menyerah dalam keputusasaan.”

Lalu ia memutuskan untuk meminta Tuhan agar membimbingnya kepada satu-satunya orang yang siap bagi Injil. Alih-alih menghabiskan waktunya untuk menghitung dan menyusun strategi, ia memilih untuk mengikuti bimbingan Roh Kudus.

Tidak lama kemudian, ia merasa Tuhan berbicara kepadanya melalui Wahyu 3:2: “Bangunlah, dan kuatkanlah apa yang masih tinggal yang sudah hampir mati.” Van der Bijl mengerti bahwa dia seharusnya mendukung gereja di negara-negara yang dikuasai Komunis. Pada tahun 1955, ia melakukan tur ke Polandia yang dikendalikan pemerintah, tetapi ia menyelinap pergi dari kelompoknya untuk mengunjungi kelompok-kelompok orang percaya di gereja bawah tanah. Dalam perjalanan kedua ke Cekoslowakia, ia melihat bahwa gereja di negara-negara Komunis membutuhkan Alkitab.

“Saya berjanji kepada Tuhan bahwa sesering saya bisa meletakkan tangan saya di atas sebuah Alkitab, saya akan membawanya kepada anak-anak Tuhan yang berada di balik tembok yang dibangun manusia,” van der Bijl kemudian mengenang, “ke setiap … negara di mana Tuhan membuka pintu cukup lama bagi saya untuk menyelinap masuk.”

Saudara Andrew di Yugoslavia.Open Doors International
Saudara Andrew di Yugoslavia.

Pada tahun 1957, ia melakukan perjalanan penyelundupan pertamanya melintasi perbatasan negara Komunis, memasuki Yugoslavia dengan membawa traktat, Alkitab, dan bagian-bagian dari Alkitab yang disembunyikan di Volkswagen biru miliknya. Saat ia melihat para penjaga menggeledah mobil di depannya, ia berdoa apa yang kemudian dia sebut sebagai “Doa Penyelundup Allah”:

“Tuhan, di bagasi saya terdapat Kitab Suci yang ingin saya bawa kepada umat-Mu di seberang perbatasan ini. Ketika Engkau berada di bumi, Kau membuat mata yang buta menjadi melihat. Kini, saya berdoa, buatlah mata yang melihat menjadi buta. Jangan biarkan para penjaga melihat hal-hal yang Engkau tidak ingin mereka lihat.”

Van der Bijl melanjutkan awal keberhasilannya di Yugoslavia dengan melakukan lebih banyak perjalanan dan akhirnya bahkan menyelundupkan Alkitab ke Uni Soviet. Ia merekrut orang Kristen lain untuk membantunya, dan mereka mengembangkan strategi untuk menghindari perhatian penjaga perbatasan dan polisi rahasia. Terkadang para penyelundup Alkitab itu melakukan perjalanan secara berpasangan, menyamar sebagai pasangan yang sedang berbulan madu. Kadang-kadang mereka menggunakan penyeberangan di luar jalur perbatasan. Mereka bereksperimen dengan berbagai cara untuk menyembunyikan Kitab Suci di dalam mobil kecil mereka yang tak mencolok. Mereka senantiasa mengikuti pimpinan Roh Kudus, dan tidak seorang pun yang pernah ditangkap.

Penyelundupan Alkitab dikritik oleh sejumlah organisasi Kristen, termasuk Baptist World Alliance, Southern Baptist Foreign Mission Board, dan American Bible Society. Mereka menganggap hal itu berbahaya—terutama bagi orang Kristen yang tinggal di negara-negara Komunis—dan tidak efektif. Menurut para krititus tersebut, cerita-cerita sensasional memang baik untuk pengumpulan uang, tetapi tidak banyak manfaat untuk yang lainnya.

Sejarawan Perang Dingin telah memperdebatkan dampak penyelundupan Alkitab terhadap rezim Komunis. Francis D. Raška menulis bahwa hal tersebut “mungkin signifikan,” tetapi “bukti dari usaha-usaha tersebut sangat lemah, dan cenderung didramatisir serta dibesar-besarkan secara pribadi.” Setidaknya ada beberapa bukti bahwa KGB terus mengawasi aktivitas van der Bijl dan mungkin memiliki informan di dalam jaringannya, menurut Raška.

Brother Andrew.Open Doors International
Brother Andrew.

Setelah keberhasilan buku God’s Smuggler, van der Bijl menyerahkan pelayanan penyelundupan Alkitab tersebut kepada orang Kristen lainnya yang tidak terlalu terkenal. Ia mengalihkan perhatiannya pada penggalangan dana bagi Open Doors dan bagi peluang pelayanan di negara-negara Muslim. Ketika Amerika Serikat menginvasi Afganistan pada tahun 2001 dan Irak pada tahun 2003, ia menjadi seorang kritikus yang vokal terhadap dukungan kalangan Injili Amerika untuk perang melawan teror. Ia mengatakan bahwa orang-orang Kristen hanya bisa menaruh kepercayaan mereka pada intervensi militer jika mereka telah melepaskan kepercayaan mereka pada misi.

Ketika berbicara kepada audiens Amerika di awal 2000-an, van der Bijl bertanya kepada orang-orang Kristen apakah mereka telah berdoa untuk Osama bin Laden, pemimpin al-Qaeda. Ketika pasukan AS membunuh bin Laden pada 2011, dia mengungkapkan kesedihannya.

“Saya yakin semua orang bisa dijangkau. Orang-orang tidak pernah menjadi musuh—hanya si iblis,” kata van der Bijl. “Bin Laden ada dalam daftar doa saya. Saya ingin bertemu dengannya. Saya ingin memberi tahu dia siapa majikan sebenarnya di dunia.”

Pada saat kematiannya, pelayanan yang didirikan van der Bijl telah membantu orang-orang Kristen di lebih dari 60 negara. Open Doors mendistribusikan 300.000 Alkitab dan 1,5 juta buku Kristen, materi-materi pelatihan, dan buku manual pemuridan setiap tahunnya. Lembaga ini juga memberikan bantuan pemulihan, bantuan kemanusiaan, pengembangan masyarakat, dan konseling trauma, sambil mengadvokasi orang-orang Kristen yang teraniaya di seluruh dunia.

Ketika ditanya apakah ia memiliki penyesalan tentang pelayanan yang ia lakukan selama hidupnya, van der Bijl berkata, “Jika saya bisa menjalani hidup saya lagi, saya akan jauh lebih radikal.”

Diterjemahkan oleh Maria Fennita S.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Books

Wafat: Ratu Elizabeth II, Penguasa Inggris yang Menaruh Kepercayaannya kepada Tuhan

Dalam tujuh dekade pemerintahannya, beliau sering kali berbicara tentang betapa penting iman pribadinya.

Christianity Today September 9, 2022
Joe Giddens - oleh WPA Pool/Getty Images / disunting oleh Mallory Rentsch

Ratu Elizabeth II, penguasa terlama dalam sejarah Inggris, wafat di usia 96 tahun.

Sepanjang masa pemerintahannya yang belum pernah terjadi sebelumnya, Ratu Elizabeth II sering berbicara tentang iman Kristen pribadinya. Ketika menyampaikan Pidato Natal pertama kalinya pada tahun 1952, sebuah tradisi yang dimulai oleh kakeknya, Raja George V, sang Ratu meminta doa untuk penobatannya yang akan datang.

“Saya ingin meminta Anda semua, apa pun agama Anda, untuk mendoakan saya pada hari itu,” katanya, “doakan agar Tuhan memberi saya kebijaksanaan dan kekuatan untuk melaksanakan janji-janji sakral yang akan saya buat, dan agar saya dapat dengan setia melayani Dia dan Anda, sepanjang hidup saya.”

Sebagai salah satu pemimpin dunia yang paling terkenal dan ternama selama lebih dari tujuh dekade setelah Natal itu, sang Ratu menunjukkan bagaimana menjaga iman Kristen seseorang agar tetap personal, privat, inklusif, dan penuh kasih saat melayani dalam suatu peran publik yang global di bawah pengawasan ketat di hampir setiap sektor.

Ratu Elizabeth II mewarisi tanggung jawab keagamaan sebagai Pembela Iman dan Pemimpin Tertinggi Gereja Inggris, gelar yang diberikan kepada penguasa Inggris yang memerintah sejak Henry VIII menolak otoritas Kepausan pada tahun 1534. Pada penobatannya di tahun 1953, Yang Mulia Ratu Elizabeth mengambil sumpah untuk “menjaga dan melestarikan penyelesaian keagamaan Gereja Inggris yang tidak dapat diganggu gugat, dan oleh karena itu termasuk juga doktrin penyembahan, disiplin, dan pemerintahannya, seperti yang ditetapkan oleh hukum di Inggris.”

Tugas beliau meliputi mengangkat uskup agung, uskup, dan pejabat tinggi Gereja Inggris sesuai saran perdana menteri. Pada tahun 1970, beliau menjadi penguasa pertama yang meresmikan dan berpidato di Sinode Umum gereja secara langsung, sebuah praktik yang terus ia lakukan setiap lima tahun setelah pemilihan keuskupan.

Tiga minggu setelah penobatannya, sang Ratu mengikuti sejarah sebelumnya dan bersumpah untuk mempertahankan Gereja Skotlandia, menghormati tugasnya untuk “melestarikan penyelesaian agama Kristen Protestan yang sejati sebagaimana ditetapkan oleh hukum yang dibuat di Skotlandia.” Gereja Skotlandia adalah Presbiterian dan hanya mengakui Yesus Kristus sebagai “Raja dan Kepala Gereja.” Hal ini mengakibatkan Yang Mulia Ratu tidak memiliki gelar resmi dan partisipasi sebagai anggota tetap.

Lebih dari tradisi

Akan tetapi keimanan sang Ratu lebih dari sekedar hasil penghormatan yang sopan terhadap tradisi sejarah. Sepanjang masa pemerintahannya, beliau mengartikulasikan pentingnya iman dan merekomendasikan hal itu kepada rakyatnya.

“Bagi saya ajaran Kristus dan pertanggungjawaban pribadi saya di hadapan Tuhan memberikan kerangka untuk mengarahkan hidup saya,” katanya pada tahun 2000. “Saya, seperti banyak dari kalian, telah mendapatkan penghiburan besar di masa-masa sulit dari perkataan dan teladan Kristus.”

Pada tahun 2002 sang Ratu mengalami tahun yang menyakitkan dan kehilangan yang besar karena kematian saudara perempuannya, Putri Margaret, dan Ibu Suri. Dalam pidato Natalnya di tahun itu, beliau berbicara tentang bagaimana iman telah menopang dirinya.

“Saya menyadari betapa saya mengandalkan iman untuk membimbing diri saya melewati saat-saat yang baik maupun buruk,” katanya. “Setiap hari adalah awal yang baru. Saya tahu bahwa satu-satunya cara untuk menjalani hidup adalah dengan mencoba melakukan apa yang benar, memandang jauh ke depan, memberikan yang terbaik dalam segala hal yang saya alami hari ini, dan menaruh kepercayaan saya kepada Tuhan.”

Sang Ratu secara konsisten memperluas pengaruhnya untuk mengakui dan merayakan keberagaman agama serta toleransi di Inggris Raya, Persemakmuran, dan di seluruh dunia. Pesan-pesan dari Yang Mulia Ratu di Natal dan Hari Persemakmuran sering kali mengangkat tema kerukunan lintas agama dan toleransi yang saling menghormati. Para pemimpin dari berbagai agama dan denominasi secara teratur menghadiri upacara kerajaan, termasuk pernikahan dan kebaktian syukur, atas undangan sang Ratu dan suaminya, Duke of Edinburgh.

Merayakan enam puluh tahun masa pemerintahannya (Jubilee Diamond) pada tahun 2012, sang Ratu menghadiri resepsi multi-agama di Istana Lambeth, yang diselenggarakan oleh Uskup Agung Canterbury, menampilkan para pemimpin delapan agama di Inggris Raya termasuk Budha, Yudaisme, Islam, dan Hindu. Pada acara ini, Ratu berkata, “Iman memainkan peranan kunci dalam identitas jutaan orang, yang tidak hanya memberikan sistem kepercayaan melainkan juga rasa memiliki. Iman dapat berperan sebagai pendorong bagi tindakan sosial. Sungguh, kelompok-kelompok agama memiliki rekam jejak yang membanggakan dalam membantu mereka yang paling membutuhkan, termasuk orang-orang yang sakit, orang yang sudah tua, orang yang kesepian, dan orang yang kurang beruntung. Mereka mengingatkan kita akan tanggung jawab yang kita miliki di luar diri kita sendiri.”

Upaya Ratu mendapat pengakuan pada tahun 2007 oleh Three-Faiths Forum, sebuah organisasi yang didedikasikan untuk membangun pemahaman dan hubungan yang langgeng antara orang-orang dari semua agama dan kepercayaan. Ini membuat Yang Mulia Ratu diberi Sternberg Interfaith Gold Medallion, yang diberikan kepada individu-individu yang telah membantu mempromosikan perdamaian dan toleransi di antara orang-orang dari agama yang berbeda.

Calon kuat pewaris takhta

Lahir pada 21 April 1926, Elizabeth Alexandra Mary Windsor adalah anak sulung dari Duke dan Duchess of York serta cucu pertama dari raja yang memerintah saat itu, Raja George V. Raja George V diketahui senang dengan anak yang bijaksana dan berperilaku baik itu, yang dikenal oleh keluarga sebagai Lilibet. Ayah Elizabeth naik takhta pada tahun 1936 sebagai Raja George VI ketika saudaranya, Raja Edward VIII, turun takhta demi menikahi Wallis Simpson yang pernah bercerai.

Sebagai calon kuat pewaris takhta, Elizabeth dibimbing secara pribadi dan bertugas di Auxiliary Territorial Service selama Perang Dunia II. Pada tahun 1947 ia menikah dengan Philip Mountbatten, keturunan dari kerajaan Yunani dan Denmark. Pernikahan mereka berlangsung selama 73 tahun hingga kematian suaminya pada tahun 2021 dan menghasilkan empat anak: Charles, Prince of Wales dan pewaris takhta; Anne, Princess Royal; Andrew, Duke of York; dan Edward, Earl of Wessex. Selain anak-anaknya, Ratu meninggalkan delapan cucu dan 12 cicit.

Sejak awal pemerintahannya, Ratu secara konsisten mengutip referensi dari Alkitab, terutama dalam siaran Natal tahunannya.

“Manakah inspirasi dan nasihat yang lebih besar yang dapat kita andalkan,” beliau bertanya, “selain dari kebenaran yang tidak dapat binasa yang ditemukan di dalam rumah harta karun ini, yaitu Alkitab?”

Dalam pidatonya di tahun 2016, Yang Mulia Ratu menjelaskan, “Milyaran orang sekarang mengikuti ajaran Kristus dan di dalam Dia mereka menemukan cahaya penuntun bagi kehidupan mereka. Saya salah satu dari mereka karena teladan Kristus membantu saya melihat nilai dalam melakukan hal-hal kecil dengan cinta yang besar, siapa pun yang melakukannya dan apa pun yang mereka percayai.”

Relasi dengan Billy Graham

Teman dan orang kepercayaannya, Billy Graham, membuktikan cinta sang Ratu kepada Alkitab, begitu pula kekuatan dan kedalaman iman Kristennya, dalam otobiografinya, Just As I Am.

“Tidak ada seorang pun di Inggris yang lebih ramah kepada kami selain Yang Mulia Ratu Elizabeth II,” tulis Graham. “Hampir setiap kesempatan saya bersamanya berada dalam suasana yang hangat dan informal, seperti makan siang atau makan malam, baik sendiri atau dengan beberapa anggota keluarga atau teman dekat lainnya.”

Mereka jarang mempublikasikan pertemuan mereka atau meningkatkan hubungan mereka secara profesional, tetapi keduanya menikmati persahabatan yang bertahan selama lebih dari 60 tahun hingga Graham meninggal pada tahun 2018. Ia menulis, “Saya selalu melihat beliau sangat tertarik pada Alkitab dan pesannya.”

Kecintaan Ratu terhadap Alkitab dan pesan Injilnya mengarahkan beliau untuk berpartisipasi pada penerbitan buku khusus dalam rangka memperingati ulang tahunnya yang ke-90. Dengan judul The Servant Queen and the King She Serves, yang ditulis oleh Catherine Butcher dan Mark Greene, buku yang berisi ikhtisar tentang iman Kristen Yang Mulia Ratu ini diterbitkan oleh Bible Society UK, di mana sang Ratu berperan sebagai penyokong, bersama dengan HOPE dan London Institute for Contemporary Christianity.

Yang Mulia Ratu secara pribadi menulis kata pengantar, berterima kasih kepada para pembaca atas doa dan harapan baik dari mereka. “Saya telah—dan tetap—sangat berterima kasih kepada … Tuhan atas kasih setia-Nya. Saya sungguh-sungguh telah melihat kesetiaan-Nya,” tulis beliau.

Buku tersebut didistribusikan ke ribuan gereja di Inggris dan di banyak negara Persemakmuran sebelum ulang tahun Ratu pada tahun 2016. Buku itu terbukti sangat populer sehingga Bible Society harus mencetak 150.000 eksemplar lagi untuk memenuhi permintaan.

Memenuhi sumpahnya

Berperan sebagai putri raja maupun pemimpin agama, pelindung maupun nenek buyut, diplomat maupun murid, Yang Mulia Ratu menjalani semuanya dengan tenang, menstabilkan negaranya dan Persemakmuran selama periode penuh gejolak perubahan sejarah dan kemajuan teknologi.

“Pada akhirnya, kerajaan menunjukkan keagungan Tuhan di luar dirinya sendiri,”tulis Ian Bradley, profesor di University of St Andrews School of Divinity. “Kerajaan mendorong kemampuan manusia yang diberikan Tuhan untuk menghormati, setia, dan menyembah. Kerajaan memperoleh persetujuan dan otoritas sejatinya dari atas, bukan dari bawah.”

Ratu Elizabeth II adalah penguasa yang demikian. Menjembatani abad ke-20 dan ke-21, modernitas dan postmodernitas, Yang Mulia Ratu mempercayakan iman personalnya kepada Tuhan dan mempercayai Kristus sebagai sauh beliau di tengah banyaknya badai yang ia alami, baik publik maupun pribadi. Sampai pada akhirnya, ia memenuhi sumpah sakral penobatannya kepada Tuhan, hidup dengan setia dan melayani mereka yang dipercayakan kepadanya.

Dudley Delffs adalah penulis The Faith of Queen Elizabeth.

Diterjemahkan oleh Maria Fennita S.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube