Books
Excerpt

Orang-orang yang Tuhan Utus, Dia Rendahkan Terlebih Dahulu

Yesaya 6 memenuhi saya dengan semangat untuk mengubah dunia. Namun saya perlu memperhitungkan seluruh bagian perikopnya.

Christianity Today March 29, 2023
Ilustrasi oleh Abigail Erickson / Sumber Gambar: Unsplash

Saya berasal dari generasi “Jangan sia-siakan hidupmu!”, generasi muda di gereja yang percaya bahwa panggilan terbesar mereka adalah untuk tidak merasa puas dengan kehidupan Kristen yang biasa-biasa saja.

Curious Faith

Curious Faith

Baker Pub Group/Baker Books

192 pages

$5.49

Saya tidak akan pernah lupa ketika pergi ke sebuah konferensi dewasa muda di awal usia 20 tahunan di mana kami mendengar Yesaya 6 dikhotbahkan dengan begitu bersemangat sehingga walaupun kami sudah mengaku percaya dan diselamatkan, kami melakukannya lagi. Hasrat yang berapi-api adalah bukti dari keselamatan, semangat yang menggebu-gebu adalah bukti dari iman kami, “Utuslah aku!” adalah mantra kami, dan “pengubah dunia” adalah identitas kami. Kami semua ingin dipakai oleh Tuhan, tetapi tidak ada seorang pun dari kami yang ingin melipat kursi setelah itu.

Pada saat saya mencapai akhir usia 20 tahunan, saya sangat lelah karena berusaha sangat keras untuk dipakai oleh Tuhan sehingga saya merasa, secara harfiah, dimanfaatkan oleh Tuhan. Dimanfaatkan oleh-Nya, dibuat menjadi sangat kosong oleh Dia sehingga saya tidak punya apa-apa lagi untuk diberikan kepada siapa pun, termasuk diri saya sendiri. Saya memukulkan tinju ke setir mobil, meneriakkan sumpah serapah kepada-Nya dalam perjalanan saya menuju sebuah gereja untuk melayani. Saya menangis terisak-isak di lantai kamar tidur pada malam hari lalu hadir untuk melayani di pelayanan kampus kami. Saya menulis pertanyaan demi pertanyaan kepada Dia di buku catatan dan kemudian berpura-pura memiliki jawabannya dalam acara Pemahaman Alkitab. Saya adalah definisi dari kuburan yang dilabur putih yang Yesus bicarakan dalam Matius 23:27: berpura-pura bersih di luar tetapi membusuk sampai mati di dalam.

Kita menyukai bagian pesan “Ini aku, utuslah aku!” dari Yesaya 6 (ay. 8). Kita bahkan menyukai penglihatan tentang ruang takhta, para serafim yang terbang ke sana ke mari, menyanyikan pujian bagi Yang Mahakudus. Tentu saja kita ingin mengabdi kepada Tuhan Allah yang Mahakuasa. Tentu saja kita ingin diutus oleh-Nya. Tentu saja kita tidak akan berani berkata apa-apa lagi di hadapan kekudusan itu.

Kecuali Yesaya. Dan jika kita melewatkan apa yang dikatakan Yesaya sebelum dia menjawab pertanyaan Tuhan, maka kita melewatkan segalanya. Dia berdiri di hadapan kemuliaan dan merasa tidak berarti. “Celakalah aku! aku binasa! Sebab aku ini seorang yang najis bibir, dan aku tinggal di tengah-tengah bangsa yang najis bibir, namun mataku telah melihat Sang Raja, yakni Tuhan semesta alam” (ay. 5).

Ketika kita sampai pada akhir dari diri kita sendiri, kita pun mulai melihat bahwa suatu iman yang dibangun di atas keterampilan, karunia, karisma, atau perbuatan baik kita kepada Tuhan adalah bagaikan sebuah rumah yang terbuat dari kartu. Kalau tidak, saya tidak tahu bagaimana kita bisa memiliki momen “Utuslah aku!” Tidak juga. Tidak secara berkelanjutan.

Di suatu tempat di sepanjang jalan, kita akan membentur tembok dalam iman kita di mana pertanyaan dan keraguan kita tidak dapat diatasi karena pekerjaan yang kita lakukan tidak lagi terlihat begitu agung atau bermanfaat.

Pada saat itulah kita melihat bahwa kemuliaan yang kita coba raih sebagian besar adalah untuk diri kita sendiri. Dan kita menemukan bahwa melayani Tuhan adalah lebih seperti memikul salib daripada berdiri di atas panggung.

Lore Ferguson Wilbert, A Curious Faith, Brazos, sebuah divisi dari Baker Publishing Group, © 2022. Digunakan atas izin dari penerbit. www.bakerpublishinggroup.com.

Diterjemahkan oleh Maria Fennita S.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Instagram.

Sindrom Down Anak Saya Menunjukkan kepada Saya Imago Dei yang Sebenarnya

Ini sama sekali tidak terlihat seperti yang saya kira.

Christianity Today March 23, 2023
JS Cook / Getty Images

Selama sebagian besar kehidupan saya yang diperlengkapi secara teologis, gagasan saya tentang apa artinya menyandang gambar Allah cukup konvensional—warisan yang mudah diperoleh dari teologi sistematika atau buku-buku. Kita dapat mengasihi karena Allah adalah kasih. Kita memiliki kemampuan untuk bernalar; Tuhan adalah Pribadi yang tidak irasional. Kepribadian kita berasal dari Allah yang berkepribadian. Kita menjalankan kehendak; Tuhan memiliki kehendak. Kita kreatif; Tuhan kita adalah sang Kreator Utama. Kita adalah makhluk yang berbahasa; Tuhan adalah Logos, Allah yang berbicara.

Doktrin-doktrin kita yang paling mendasar sering kali merupakan doktrin yang kita bangun dengan cara yang paling buruk. Namun, dasar-dasarnya tetap ada. Ajaran bahwa kita diciptakan menurut gambar Allah merupakan prinsip doktrinal yang digunakan orang Kristen untuk memahami apa artinya menjadi manusia. Dengan berpegang pada klaim dari Kejadian 1:27 bahwa “Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia,” yang didukung oleh catatan Perjanjian Baru (lih. 1Kor. 11:7; Ef. 4:24; Yak. 3:9), para pengikut Kristus berpendapat bahwa setiap orang menyandang imago Dei.

Kemudian hadirlah putra saya, Augustus, yang terlahir dengan sindrom Down. Gus menjungkirbalikkan asumsi-asumsi teologi saya.

Melihat ke Arah versus Melihat Searah

Sampai saat itu, dalam benak saya, kecerdasan, rasionalitas, dan bahasa diukur berdasarkan sebuah standar kompetensi. Mereka yang paling mampu menunjukkan karakteristik-karakteristik ini adalah yang paling sesuai dengan gambar Allah.

Namun Gus, dengan lidahnya yang menjulur keluar, badannya yang lunglai, dan bicaranya yang tidak terartikulasi dengan jelas, tentu menimbulkan pertanyaan baru. Bagaimana dengan mereka yang tidak akan pernah bisa bernalar atau berbicara normal? Bagaimana orang-orang dengan sindrom Down—seperti putra saya—menyandang imago Dei? Memandang gambar Allah hanya melalui sudut pandang doktrin yang kaku telah membuat saya mengalami semacam astigmatisme. Kini kehidupan menawarkan saya koreksi terhadap pengalaman.

Dalam esainya yang berjudul “Meditation in a Tool Shed,” C.S. Lewis menarik pelajaran yang mendalam dari sebuah peristiwa sederhana yang akan membantu saya menemukan bahasa yang tepat untuk menjelaskan perspektif saya yang baru. Lewis memperhatikan, ketika berdiri di dalam sebuah gudang yang gelap, seberkas cahaya masuk melalui pintu. Awalnya, ia melihat ke arah cahaya tersebut. Cahaya itu bersinar sangat kontras dengan kegelapan. Kemudian ia bergerak sehingga cahaya itu menyinari matanya secara langsung. Ketika melihat searah dengan pancaran cahaya itu, ia melihat dunia hijau di luar sana dan asal cahaya itu, yaitu matahari. “Melihat searah dengan pancaran cahaya itu, dan melihat ke arahnya adalah pengalaman yang sangat berbeda,” kata Lewis.

Pengalaman yang biasa ini membuat Lewis berpikir tentang cara-cara yang kita gunakan untuk memahami suatu masalah. Ia menunjukkan bahwa budaya abad pencerahan akan berasumsi bahwa cara untuk memahami sesuatu adalah dengan melihat ke arahnya. Kita akan berteori. Kita akan menganalisa. Kita akan mewujudkan. Jika kita ingin memahami cinta, kita tidak pergi kepada orang-orang yang mencintai, tetapi kepada para psikolog yang menjadikan cinta sebagai topik makalah dengan telaah rekan sejawat. Jika kita ingin memahami agama, kita mengabaikan pengalaman orang yang beragama demi pendapat seorang antropolog.

Namun, seberharga apa pun pengetahuan yang kita kumpulkan karena melihat sesuatu, hal itu bukanlah jenis pengetahuan paling benar dari pengalaman kita. Tanpa pengalaman akan sesuatu, pemahaman kita akan hal tersebut tidaklah lengkap. Pemahaman terbaik kita tentang cinta adalah ketika kita mengalaminya sendiri. Kita mengetahui pengalaman religius karena kita mengalaminya. Pengetahuan berdasarkan pengalaman ini mirip dengan melihat searah, bukan hanya melihat ke arah cahayanya.

Sekarang yang saya lihat melalui pengalaman saya dengan Gus adalah sesuatu yang tidak pernah saya lihat hanya dengan melihat ke arah dia. Dengan melihat ke arah dia, yang berarti menganalisanya, saya dapat dengan mudah tergelincir ke dalam pengamatan terhadap penanda-penanda dari imago Dei yang terukur. Perkembangan kognitifnya yang terhambat dan pemahaman ekspresifnya yang terbelakang, mengganggu penilaian saya yang kaku tentang seperti apa gambaran ilahi yang seharusnya itu. Namun ketika melihat searah dengan pancaran cahaya pengalaman saya dengan Gus, saya melihat lebih banyak. Saya melihat kemurnian.

Apa yang Dimaksud dengan Kemurnian dan Apa yang Bukan

Secara alkitabiah, kemurnian Allah dibuktikan melalui ketidakberdosaan-Nya, kekudusan-Nya, dan ketiadaan pengalaman-Nya dalam hal kejahatan (Im. 11:44–47; Yes. 6:1–13; 1Ptr. 2:22; Yak. 1:13). Kita bahkan bisa melangkah lebih jauh dengan mengatakan bahwa Allah sama sekali tidak kompeten dalam hal berdosa.

Pengalaman manusiawi kita tidak akan pernah bisa menandingi hal ini. Dalam pengalaman manusia, kemurnian berarti tanpa tipu muslihat. Ini adalah kesederhanaan yang berasal dari kurangnya pengetahuan atau pemahaman, yang menghasilkan keluguan yang tak berbahaya yang menghalangi timbulnya kelicikan. Dalam kasus mereka yang mengidap sindrom Down, kemurnian eksis karena tidak adanya kompetensi yang memalukan. Mereka naif terhadap kedengkian dan amoralitas yang tidak dapat dilampaui oleh kita semua.

Saya tidak mengatakan bahwa orang dengan sindrom Down bukan orang berdosa. Saya percaya setiap keturunan Adam dan Hawa, berapa pun jumlah kromosomnya, dilahirkan dalam keberdosaan. Kondisi genetik tidak meniadakan kondisi spiritual. Akan tetapi dosa memanifestasikan dirinya secara berbeda dalam kehidupan orang-orang dengan Trisomi 21.

Semakin lama saya melihat searah dengan pancaran pengalaman saya bersama sindrom Down, semakin saya menyadari bahwa kecenderungan saya untuk berbuat dosa diperkuat oleh kecerdasan, kelicikan, dan tindakan berencana yang tidak terdapat di dalam diri orang-orang yang mengidap sindrom Down. Orang-orang dengan sindrom Down tidak memahami atau mempraktikkan kedengkian, keserakahan, kecemburuan, atau penipuan seperti yang dilakukan orang lain. Mereka berbicara dengan kejujuran yang tak terselubung. Mereka mencintai tanpa kepura-puraan dan tanpa sikap melindungi diri yang berlebihan yang dapat menodai relasi kita.

Imago Dei pada Diri Gus

Orang-orang dengan sindrom Down membawa gambar Allah di dalam hati yang jujur. Bukanlah sifat alami mereka untuk berjalan menurut nasihat orang fasik, berdiri di jalan orang berdosa, atau duduk dalam kumpulan pencemooh.

Saya jarang melihat jenis kemurnian seperti yang dimiliki Gus di tempat lain. Namun melihat searah dengan kebutuhan khusus anak saya, imago itu memenuhi cara pandang saya. Ketika Gus senang, dia melambai-lambaikan tangannya dengan sangat bebas. Jika saudara laki-laki atau perempuannya mengambil mainan darinya, Gus membalas dengan penerimaan disertai mata yang berbinar. Dia bahagia jika saudara-saudarinya senang dengan benda yang dia inginkan beberapa saat yang lalu. Ia tidak menegosiasikan kebutuhannya kepada orang lain; ia mengungkapkannya tanpa meminta maaf. Dia menjerit kegirangan tanpa malu-malu ketika saya mendekat, menangis dengan sepenuh hati ketika saya pergi, dan masih memercayai bahwa bahkan ketidakhadiran sekalipun merupakan sebuah tindakan dengan niat baik.

Atribut-atribut kemurnian ini tidak terlalu berkaitan dengan apa yang bisa atau tidak bisa dilakukan oleh mereka yang mengidap sindrom Down, melainkan lebih berkaitan dengan siapa diri mereka. Inilah yang saya pelajari ketika “melihat searah dengan pancaran cahaya,” seperti yang disarankan Lewis. Dengan melihat ke arah Gus, yang pertama kali saya lihat adalah semua kompetensi yang pernah saya kaitkan dengan gambar Allah. Akan tetapi kemurnian bukanlah kompetensi. Ini adalah ketidakmampuan dalam hal berbuat buruk. Ini adalah perwujudan dari kesederhanaan ilahi, yang sering kali memanifestasikan dirinya dengan tangan yang gemuk, mata yang berbentuk seperti kacang almon, dan senyuman tanpa rasa malu.

Trisomi 21 adalah suatu pancaran cahaya yang telah kami lihat selama beberapa waktu. Akan tetapi dengan melihat searah dengannya, melangkah ke dalam cahaya kemurniannya yang secara misterius menjadi bagian darinya, kita justru akan dapat melihat imago Dei dengan sangat jelas.

Corey Latta adalah penulis C.S. Lewis and the Art of Writing dan buku yang akan segera terbit yaitu Serve the Work: Reflections on Christ and the Artist’s Life. Corey dan istrinya, Jennifer, tinggal di Memphis bersama keempat anak mereka, Justice, London, Emma Jane, dan Gus.

Diterjemahkan oleh Vika Rahelia.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Instagram.

Merayakan Kebangunan Rohani di Zaman yang Sinis

Kebangunan rohani Asbury mengingatkan kita bahwa Tuhan bekerja dengan cara yang tidak dapat kita kendalikan.

Christianity Today March 23, 2023
Ilustrasi oleh Christianity Today / Sumber Gambar: Casey Johnson / Lightstock / Pexels

Bagian ini diadaptasi dari buletin Russell Moore. Berlangganan di sini.

Selama beberapa minggu terakhir, dunia telah melihat sebuah fenomena yang dianggap banyak orang sebagai suatu era yang telah berlalu: kebangunan rohani.

Bagi sebagian orang, kebangunan rohani Asbury telah membangkitkan harapan baru untuk masa depan gereja. Namun, bagi sebagian orang lainnya, laporan tentang kebangunan rohani ini disambut dengan sesuatu yang lain—perasaan sinis yang berlebihan.

Yang saya maksud dengan kesinisan di sini bukanlah mengacu kepada para penentang media sosial profesional dari kalangan atau suku tertentu—yang bagi mereka hampir semua hal bisa menjadi kesempatan untuk mengungkit-ungkit pertikaian lama dengan siapa pun yang mereka anggap sebagai “musuh.”

Namun saya merujuk kepada Anda yang hanya merasa kecewa dan lelah. Anda telah melihat begitu banyak hal yang palsu sehingga sulit bagi Anda untuk memercayai bahwa sesuatu yang luar biasa dapat menjadi nyata.

Beberapa minggu yang lalu, teman saya Yuval Levin mengatakan sesuatu dalam percakapan kami di siniar saya, yang belum bisa saya hilangkan dari pikiran saya. Ia berkomentar bahwa kebanyakan orang menganggap kesinisan sebagai kebalikan dari kenaifan—padahal sebenarnya, itu hanyalah cara lain untuk menjadi naif. Semakin saya merenungkan maksudnya, semakin saya pikir dia benar.

Rasul Paulus memberi tahu kita agar “ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik” (1Tes. 5:21). Ada tipe orang yang mengabaikan pentingnya kerja keras dari pengujian dengan hanya menerima segala sesuatunya—atau, setidaknya, segala sesuatu yang telah disetujui sebelumnya oleh suku, ideologi, atau gerakannya.

Itu adalah pola pikir malas yang mengarah tepat ke tempat yang dikatakan Alkitab kepada kita—mengundang serigala-serigala yang tahu cara mengeksploitasinya. Akan tetapi sinisme juga menunjukkan jenis kemalasan yang sama. Seseorang tidak perlu melakukan kerja keras untuk menguji roh jika ia menganggap segala sesuatunya tidak otentik sejak awal.

Bagi sebagian orang, sinisme didasarkan pada semacam naturalisme materialistis yang menganggap bahwa satu-satunya hal yang “nyata” adalah hal-hal yang dapat diukur. Orang lain mungkin berpegang pada ideologi politik tertentu yang menganggap bahwa satu-satunya hal yang “nyata” adalah hal-hal yang dapat dimobilisasi untuk tujuan seseorang. Orang yang lainnya mungkin bersikap sinis karena fundamentalisme agama yang menghindari misteri apa pun yang tampaknya tidak sejalan dengan silogisme seseorang.

Bagi sebagian orang lainnya—bahkan bagi banyak orang—sinisme bukanlah hasil dari semangat juang tetapi dari patah hati. Ini bukanlah sinisme seperti yang kita pikirkan, melainkan sebuah bentuk perlindungan diri. Asumsinya, seseorang tidak dapat disakiti, jika ia tidak berharap banyak. Keletihan yang seperti ini dianggap masih lebih baik daripada mati rasa.

Hal itu dapat dimengerti. Beberapa orang yang saya kenal paling gelisah tentang peristiwa-peristiwa seperti kebangunan rohani Asbury berasal dari gerakan gereja yang merupakan hasil dari kebangunan rohani lainnya, mungkin seperti Jesus Movement tahun 1960-an dan 70-an. Orang-orang Kristen ini kadang-kadang kelelahan oleh semacam gejolak emosi yang dibuat-buat, yang merupakan upaya para pemimpin untuk menciptakan kembali apa yang pernah mereka alami ketika api kebangunan rohani tampak lebih dekat dan kuat.

Seorang teman yang berasal dari salah satu tradisi semacam itu mengatakan kepada saya bahwa dia tidak mempertanyakan keotentikan kebangunan rohani Asbury. Bahkan dia—seperti saya—merasa dikuatkan karenanya. Ia juga mengatakan bahwa dirinya tidak mengkhawatirkan para mahasiswa itu maupun pimpinan sekolah. Akan tetapi, dia prihatin akan adanya berbagai macam pengekor yang tertarik pada momen spiritual yang luar biasa itu, dan pastinya, ia prihatin pada mereka yang akan ada di sana untuk menjual barang atau memanfaatkannya demi meraih kekuasaan.

Jika Anda merasa gelisah atau skeptis tentang kebangunan rohani Asbury, saya akan membawa Anda ke salah satu tempat yang saya rasa paling menimbulkan kesinisan, melelahkan, dan menjijikkan: sungai Yordan.

Selama bertahun-tahun, saya telah membawa berbagai kelompok mahasiswa seminari dan lainnya ke Israel serta negeri-negeri sekitarnya untuk mempelajari Alkitab di tempat-tempat di mana peristiwa Kitab Suci terjadi. Kebanyakan orang dalam perjalanan ini bepergian ke Timur Tengah untuk pertama kalinya.

Banyak dari mereka berkomentar tentang betapa mereka sangat menyukai Galilea secara khusus. Duduk di lapangan dekat danau Tiberias dapat memberikan gambaran imajinatif tentang bagaimana rasanya duduk di atas bukit seperti itu—mungkin di tempat yang sama persis—sambil mendengarkan Yesus mengajar. Banyak situs lainnya juga mendapat respons serupa.

Namun kemudian tibalah kami di sungai Yordan.

Kami sering kali harus menunggu, terkadang setengah jam atau lebih, untuk melihat sungai tersebut karena beberapa penginjil teologi kemakmuran ada di sana untuk mencelupkan orang-orang yang datang ke sana dengan bus-bus, untuk “mendedikasikan kembali” hidup mereka kepada Kristus. Menurut Anda, berapa banyak dari orang-orang ini yang juga membayar sejumlah uang kepada para pengkhotbah tersebut sebagai imbalan atas “berkat” yang mereka yakini dapat mereka peroleh?

Dan, tentu saja, orang-orang harus masuk dan keluar dari sungai Yordan dengan melewati toko-toko suvenir. Di sana orang dapat membeli gantungan kunci sungai Yordan, hiasan Natal, dan “air sungai Yordan yang asli.” Tempat itu tampak sangat berorientasi pada pasar dan kehilangan kesakralannya sehingga saya sampai berharap jika Yesus ada di sana sekarang, Ia mungkin akan membalikkan meja para penukar uang sebelum mencari sepupunya, Yohanes Pembaptis.

Para mahasiswa biasanya pergi sambil bergumam, “Itu tidak terlihat seperti sungai Yordan.” Tentu saja, secara definisinya, sungai itu benar sungai Yordan—tetapi saya tahu apa yang mereka maksud.

Apakah para penjual, penyalur, dan pengekor di sungai Yordan membuat apa yang terjadi di sana menjadi batal? Apakah mereka meniadakan fakta bahwa Yesus—di sungai itu sendiri—dengan berada di dalam air dan dibaptis, Ia menyetarakan diri-Nya dengan kita orang-orang berdosa? Apakah suara para pedagang yang menjajakan barang menenggelamkan suara yang bergemuruh di atas kepala Yesus, ”Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan” (Mat. 3:17)? Sama sekali tidak.

Dalam catatan Injil Yohanes, Yesus luput dari para pemimpin agama yang berusaha menangkap-Nya setelah Ia mengatakan apa yang mereka tafsirkan dengan benar sebagai klaim keilahian. Ke mana Yesus pergi? Kembali ke sungai Yordan, “ke tempat Yohanes membaptis dahulu” (10:40). Alkitab memberi tahu kita bahwa banyak orang menemukan Yesus di sana dan berkata, ”Yohanes memang tidak membuat satu tanda pun, tetapi semua yang pernah dikatakan Yohanes tentang orang ini adalah benar” (ayat 41).

Novelis Jonathan Miles pernah menulis, “Setelah terjadi mukjizat, datanglah para peziarah, dan di belakang mereka, tak pelak lagi, para penjual suvenir.” Jika Pentakosta terjadi hari ini, orang-orang mungkin akan berswafoto di depan Simon Petrus yang sedang berkhotbah. Lalu seseorang akan mengeluarkan album Worship Songs from Pentecost dalam beberapa bulan. Dan banyak dari kita akan bertanya-tanya apakah itu yang dimaksud dengan Pentakosta—hanya saja dengan lebih banyak sensasi.

Pertanyaan bagi kita hari ini adalah pertanyaan yang sama yang ditanyakan oleh mereka, yang menemukan Yesus di sungai Yordan, kepada diri mereka sendiri. Entah apakah kita melihat tanda-tanda itu atau tidak—atau apakah kita dapat memercayai indra kita sendiri ketika kita melihat tanda-tanda tersebut—pertanyaannya adalah apakah yang kita dengar tentang Anak Allah itu benar?

Kita dapat yakin bahwa hal itu benar.

Kebangunan rohani, menurut definisinya, adalah sesuatu yang cepat berlalu. Itu sebabnya kita harus bersyukur ketika kita melihat kebangunan rohani, sebagai efek samping dari angin kuasa Roh Kudus yang berhembus di sekitar kita. Namun, hal ini juga berlaku untuk semua perjumpaan kita dengan Tuhan. T.S. Eliot mengingatkan kita bahwa kita hanya melihat sekilas dari momen-momen yang tak terkontrol itu di mana tampaknya waktu bersinggungan dengan sesuatu yang abadi.

Sering kali, kita melihat ke suatu masa dalam hidup kita ketika Tuhan sangat aktif dan bertanya-tanya, Apa yang terjadi saat itu? Kadang-kadang, karena kita tidak dapat menjelaskan atau mengulanginya, kita bertanya-tanya apakah hal tersebut nyata atau tidak. Hal ini sebagian disebabkan karena kita juga adalah penjual suvenir. Kita ingin mengubah perjumpaan-perjumpaan dengan Yesus tersebut menjadi tanda mata yang dapat kita kendalikan.

Kita menginginkan botol air kecil sungai Yordan padahal yang benar-benar kita butuhkan adalah Dia yang keluar dari air itu. Kebangunan rohani—secara pribadi atau korporat—dapat mengingatkan kita bahwa kita tidak memegang kendali, tetapi kita juga tidak ditinggalkan di dalam kekacauan.

Dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk melihat dampak penuh dari kebangunan rohani Asbury. Dan apa yang terjadi di sungai Yordan, jauh lebih dari itu, akan terus mengalir selama ribuan tahun. Kita yang terkadang bersikap sinis dapat berargumen dengan meyakinkan bahwa sinisme semacam itu memang pantas.

Akan tetapi mungkin yang dapat menerobos semua itu adalah dengan sungguh-sungguh berharap bahwa Tuhan akan mendengar, seperti yang pernah Ia lakukan sebelumnya, permohonan kita yang tulus: “Bangkitkanlah kami kembali.”

Russell Moore adalah pemimpin redaksi di Christianity Today dan memimpin Proyek Teologi Publik.

Diterjemahkan oleh Mellie Cynthia.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Instagram.

History

Hal-hal yang Dapat Kita Pelajari dari Kebangunan Rohani

Seorang sejarawan kebangunan rohani melihat empat kemungkinan pelajaran dari Asbury.

Auditorium Hughes di Universitas Asbury

Auditorium Hughes di Universitas Asbury

Christianity Today March 10, 2023
Courtesy of Asbury University

Penafsir kebangunan rohani Injili yang paling terkenal, Jonathan Edwards, mengajarkan bahwa tidak seorang pun dapat menilai suatu kebangunan rohani berdasarkan pendapat orang lain. Edwards hidup sebelum kemajuan telekomunikasi, tetapi saya pikir ia akan mengatakan bahwa realitas spiritual dari sebuah kebangunan rohani tidak dapat dinilai dari jarak jauh, betapapun canggihnya transmisi itu. Gambaran dari sesuatu bukanlah sesuatu itu sendiri.

Jadi lima tahun setelah saya pergi ke Universitas Asbury untuk mengajar kuliah tentang kebangunan rohani Amerika, saya pun pergi untuk melihatnya sendiri.

Banyak orang percaya dapat mengingat momen luar biasa dalam kehidupan mereka selama berjemaah—mungkin selama khotbah yang tidak biasa, jenis khotbah yang hanya disampaikan satu kali oleh banyak pengkhotbah, atau saat mendapat berkat atau penderitaan luar biasa yang menimpa semua orang. Pada saat-saat seperti itu, seluruh jemaat dipersatukan dalam kejernihan pikiran dan fokus kepada Allah, dan jemaat menjadi “sehati” atau homothumadon, menggunakan istilah Yunani dari Kisah Para Rasul.

Yang luar biasanya, perasaan jemaat ini—yang diekspresikan dalam nyanyian dan penyembahan, diperkuat dengan pembacaan Alkitab dan kesaksian singkat—sekarang terjadi tidak hanya di Asbury tetapi juga di kapel perguruan tinggi di seluruh negeri. Para mahasiswa serta pengunjung datang dan pergi, tetapi bagi mereka yang baru berkumpul akan merasakan “kesatuan hati.”

Kata revival dalam bahasa Inggris menunjukkan suatu periode waktu di mana komunitas Kristen mengalami revitalisasi. Istilah ini didefinisikan sebagai “sebuah periode kebangkitan agama: minat yang diperbarui terkait agama,” dengan “pertemuan-pertemuan yang sering kali ditandai dengan kegembiraan emosional.”

Menyebut sebuah pertemuan sebagai kebangunan rohani menunjukkan bahwa telah terjadi suatu intensifikasi pengalaman. Orang banyak yang berkumpul bukanlah merupakan suatu kebangunan rohani. Yang membedakan kebangunan rohani adalah kedalaman perasaan dan ekspresi spiritualnya.

Kebangunan rohani adalah peristiwa yang bersifat korporat dan penuh pengalaman. Sering kali dalam peristiwa itu terjadi penularan rohani, yang menyebabkan pengalaman seseorang mengalir kepada orang lain. Istilah pembaharuan tidak didefinisikan sebaik kebangunan rohani, namun istilah ini menunjukkan kembalinya semangat atau vitalitas sekelompok orang Kristen yang telah menurun dalam pengabdian mereka.

Sejak pertengahan tahun 1700-an, laporan-laporan tentang kebangunan rohani Kristen dari berbagai daerah dan kelompok budaya telah menunjukkan tema yang sama. Para partisipan berbicara tentang perasaan mereka yang jelas akan hal-hal rohani, sukacita dan iman yang besar, kesedihan yang mendalam atas dosa, hasrat yang menggebu-gebu untuk menginjili orang lain, dan perasaan cinta yang semakin kuat kepada Tuhan dan sesama manusia.

Pada saat kebangunan rohani, orang-orang mungkin memadati gedung-gedung yang disediakan untuk kebaktian, memenuhinya hingga melebihi kapasitas. Kebaktian dapat berlangsung dari pagi hingga tengah malam. Berita tentang kebangunan rohani biasanya menyebar dengan cepat, dan terkadang laporannya—baik secara langsung, cetak, atau melalui media penyiaran—menyentuh kebangunan rohani yang baru di tempat lain.

Terkadang orang secara terbuka mengakui dosa mereka di depan umum. Tanda kebangunan rohani lainnya adalah kemurahan hati—adanya individu-individu yang bersedia menyumbangkan waktu, uang, atau sumber daya mereka untuk mendukung pekerjaan tersebut. Kebangunan rohani sering kali menjadi kontroversial, karena adanya para penentang dan pendukung yang saling mengkritik. Muncullah anti-revivalisme setelah bangkitnya kebangunan rohani.

Dalam kebangunan rohani juga mungkin terjadi manifestasi tubuh yang tidak biasa, seperti jatuh, berguling-guling di tanah, mengalami gerakan otot yang tidak disengaja, tertawa, berteriak, dan melakukan tarian rohani. Ciri-ciri lain mungkin berupa apa yang disebut sebagai tanda dan mukjizat, seperti penyembuhan orang sakit, pernyataan nubuatan, penglihatan atau mimpi yang mengungkapkan pengetahuan rahasia, pembebasan dari kuasa setan, dan berbicara dalam bahasa roh.

Berbagai kebangunan rohani di masa lalu memberi bentuk-bentuk komunitas yang baru serta ekspresi iman yang praktis dan aktif. Kebangunan rohani membentuk kembali struktur sosial dan gerejawi dengan memindahkan kekuasaan dari pusat ke bagian pinggiran. Orang-orang yang sebelumnya tidak diberi suara atau kesempatan untuk memimpin, kini telah menjadi pusat perhatian. Para wanita, orang kulit berwarna, kaum muda, dan mereka yang kurang berpendidikan, semuanya memainkan peranan penting dalam kebangunan rohani Kristen modern.

Kebangunan rohani memicu perdebatan—tentang kerohanian yang asli versus yang palsu, aktivitas dan dampak dari iblis, bahaya dari fanatisme agama, pelayanan kaum awam, peran perempuan dalam gereja, kebutuhan akan perkumpulan-perkumpulan baru di antara kaum beriman, dan seruan-seruan untuk reformasi dan keadilan sosial.

Selama abad terakhir, gereja global telah menjamur melalui kebangkitan agama atau, sebagaimana penulis Mark Shaw menyebutnya, “gerakan orang-orang karismatik.” Gerakan-gerakan seperti itu membangkitkan visi akan masa depan dan apa yang disebut Shaw sebagai “fatalisme optimis,” yaitu keyakinan bahwa tidak ada masalah—baik pribadi, keluarga, maupun politik—yang terlalu besar atau terlalu sulit untuk diselesaikan.

Pertanyaan umum yang diajukan oleh para pengamat—Apakah ini benar-benar sebuah kebangunan rohani?—mungkin bukanlah pertanyaan yang terbaik untuk diajukan, karena pertanyaan ini menyiratkan bahwa ada satu tolok ukur yang harus digunakan untuk mengukur setiap kegerakan rohani yang baru. (Beberapa orang di Asbury lebih memilih istilah pencurahan daripada kebangunan rohani, dengan demikian menghindari asosiasi yang membatasi istilah terakhir).

Karena Roh Kudus adalah Allah, maka Roh tidak terbatas—dan ini berarti ada banyak cara yang tidak terbatas di mana Roh dapat menemukan ekspresi manusia. Winkie Pratney membandingkan kebangunan rohani dengan romansa. Sama seperti seseorang yang pernah jatuh cinta sebelumnya mungkin menemukan bahwa jatuh cinta dengan orang baru adalah pengalaman yang baru, demikian juga romansa Roh Kudus tidak akan pernah persis sama pada dua kesempatan yang berbeda.

Kebangunan-kebangunan rohani yang muncul antara tahun 1900 dan 1909 di Wales, India, Amerika Serikat, Korea, Cile, dan di tempat lain saling berkaitan namun menunjukkan variasi lokal. Orang-orang di Wales menyanyikan himne, dan banyak yang bertobat. Orang-orang di Los Angeles berbicara dalam bahasa roh. Siswa-siswi sekolah di India secara terbuka bertobat dari dosa-dosa mereka, seperti halnya yang dilakukan oleh banyak orang dalam kebangunan rohani di Korea. Para penyembah di Cile mendapat penglihatan tentang surga.

Siapa yang bisa berkata mengapa satu manifestasi Roh berlaku di tempat ini tetapi tidak di tempat itu? Kitab Suci mengatakan: “Ada rupa-rupa karunia, tetapi satu Roh. … Kepada tiap-tiap orang dikaruniakan pernyataan Roh untuk kepentingan bersama” (1Kor. 12:4, 7).

Daripada mempertanyakan “Apakah ini kebangunan rohani?” mungkin lebih baik menanyakan “Apakah ini Roh Kudus?” Pengakuan akan karya Roh Kudus yang beraneka ragam seharusnya menjauhkan kita dari penilaian sekejap secara rohani dan dari ketergantungan pada pengalaman kita sendiri sebagai ukuran untuk menilai pengalaman orang lain.

Pengertian rohani, seperti yang Yesus ajarkan, menuntut kita untuk membedakan yang asli dari yang palsu “dari buahnya” (Mat. 7:20). Dalam risalahnya Religious Affections, Edwards menjadikan “praktik kekudusan” sebagai tanda terpenting baginya dari spiritualitas sejati. Masalahnya adalah bahwa “praktik kekudusan” hanya menjadi nyata seiring berjalannya waktu, sementara jari-jari para pengguna Twitter akan menghakimi dalam hitungan detik. Kita harus terlibat dalam refleksi yang sabar dan penuh doa, serta menahan diri agar tidak mudah menghakimi orang lain jika kita ingin melihat dengan benar dan alkitabiah.

Empat pelajaran yang dapat diperoleh dari Asbury

Asbury adalah kebangunan rohani yang sulit untuk tidak disukai. Selama berada di sana, saya tidak melihat sesuatu yang ekstrem, aneh, atau penuh perselisihan. Orang-orang yang mengantre berjam-jam selalu sopan. Ddalam ruang kapel, saya tidak melihat adanya perilaku-perilaku yang menarik perhatian yang sering terjadi pada kebangunan rohani di masa lalu dan menimbulkan kontroversi.

Saat kami menyanyikan lagu-lagu pujian favorit seperti “Open the Eyes of My Heart,” “Revelation Song,” “10.000 Reasons (Bless the Lord),” dan “No Longer Slaves,” saya teringat kisah-kisah dari Kebangunan Rohani Welsh pada tahun 1904–1905_, yang menampilkan kebaktian berjam-jam yang diisi dengan nyanyian jemaat, tanpa pemimpin yang menonjol, dan tanpa banyak khotbah—tetapi ada 100.000 orang yang bertobat.

Seorang wanita dari Cile, yang berbicara melalui seorang penerjemah, mengatakan bahwa berita dari Asbury telah menggemparkan Amerika Latin. Para pemimpin menyuruh kami untuk berdiri dan mengulurkan tangan ke arah selatan untuk berdoa bagi kebangunan rohani di Amerika Latin. Saya teringat akan permintaan yang dikirimkan pada tahun 1905 dari orang-orang percaya di Los Angeles kepada Evan Roberts—pemimpin kebangunan rohani di Welsh—agar ia dan yang lainnya dapat berdoa untuk kebangunan rohani di California. Dia membalas surat itu, meyakinkan mereka tentang doa-doanya. Kalangan Pentakosta menganggap Kebangunan Rohani di Jalan Azusa tahun 1906, setidaknya sebagian, merupakan jawaban atas permohonan-permohonan tersebut yang dipersembahkan kepada Tuhan dari jarak lebih dari 5.000 mil jauhnya.

Para pemimpin Asbury mengakui bahwa mereka tidak tahu ke mana arah selanjutnya, tetapi DNA spiritual dari kebangunan rohani baru-baru ini menunjukkan beberapa kesimpulan awal:

1. Menolak kultus dan budaya selebritas kebangunan rohani

Seiring berkembangnya media selama abad terakhir ini, demikian pula para selebritas kebangunan rohani. Orang-orang seperti itu dianggap sangat diurapi dan dikaruniai Roh Kudus sehingga kata-kata atau kehadiran fisik mereka akan mengubah atmosfer rohani dan mengantarkan banyak orang ke dalam perjumpaan dengan Tuhan yang mengubahkan jiwa.

Namun, terlalu sering, para selebritas kebangunan rohani ini gagal memenuhi janji mereka. Yang lain menunjukkan janji di awal tetapi kemudian jatuh ke dalam kompromi seksual atau keuangan yang mengakhiri pelayanan mereka.

Akan tetapi bagaimana jika ada kebangkitan spiritual tanpa selebritas? Sang pangeran kegelapan (iblis) mungkin akan menjadi bingung. Bagaimana dia bisa merusak sebuah kebangunan rohani di mana para pemimpin menghindar agar tidak menjadi pusat perhatian dan melayani dengan rendah hati serta tanpa dikenali demi kebaikan bersama? Tanpa seorang pemimpin yang menonjol yang bisa dipakai untuk merusak kebangunan rohani tersebut melalui kesombongan, keserakahan, atau nafsu, bagaimana dia bisa membuat skandal di hadapan publik?

Dari atas panggung di Asbury, para pemimpin berbicara dengan mengatakan, “Tidak ada selebritas dalam hal ini. Satu-satunya selebritas adalah Yesus” dan mendesak gereja untuk “menyadari fakta bahwa generasi muda saat ini sangat lapar akan hal-hal supranatural dan menentang segala bentuk hiburan religius.”

2. Memikirkan kembali hubungan antara kehidupan rohani dan media digital

Deskripsi tentang Asbury mungkin terdengar biasa saja: Orang-orang berkumpul, bernyanyi, membaca Kitab Suci, menceritakan karya Allah dalam hidup mereka. Bukankah ini yang terjadi di banyak gereja setiap minggu? Kualitas pengalaman di Asbury yang sulit dipahami hanya akan masuk akal bagi seseorang yang telah hadir secara pribadi.

Elemen yang tak berwujud ini—je ne sais quoi dari kehadiran ilahi dan perasaan yang dirasakan secara berjemaah—tidak dapat ditransmisikan secara elektronik, sekalipun mereka yang memimpin gerakan ini ingin melakukannya.

Karena itu, Asbury merupakan sebuah gerakan tiba-tiba dan penting bagi spiritualitas yang diwujudkan dan menentang mediatisasi yang tak berwujud. Jangan berpikir bahwa YouTube, Facebook, atau TikTok akan memberi Anda pengalaman yang sama.

Pesan ini mungkin tidak cocok untuk semua orang. Ini bertentangan dengan anggapan luas bahwa segala sesuatu yang penting bagi manusia dapat ditransmisikan secara elektronik. Asbury berkata, Tidak demkian, dan jangan coba-coba.

3. Merekonsiliasi pendekatan kaum Calvinis dan Wesleyan-Arminian tentang kebangunan rohani

Sejak awal 1800-an dan seterusnya, kaum Calvinis melihat momok kesesatan Pelagian dalam fokus revivalistik pada kepribadian manusia dan teknik-teknik emosional. Bila diterapkan pada kebangunan rohani Kristen, sikap Pelagian adalah bahwa “jika kita harus mengalami kebangunan rohani, maka kita bisa.” Premis ini mengarah pada suatu fokus tentang teknik dan metode untuk mewujudkan kebangunan rohani.

Berbeda dengan kebangunan rohani yang “dikerjakan” oleh usaha, tenaga, dan manipulasi manusia, kaum Calvinis Cahaya Baru (New Light Calvinists) memahami kebangunan rohani sebagai sesuatu yang “diturunkan” oleh anugerah Allah yang tiba-tiba dan tak terduga. Menurut analogi umum, seorang petani mungkin membajak tanah tetapi harus menunggu hujan dari surga untuk menyirami tanaman tersebut.

Bagi kaum Calvinis, teknik-teknik yang dianggap dapat menjamin terjadinya kebangunan rohani bukan hanya keliru tetapi juga mirip dengan penghujatan, karena teknik-teknik itu menyatakan bahwa sesuatu yang supranatural—kehadiran Allah yang kudus—dapat dimanipulasi oleh manusia. Sebaliknya, kaum Metodis dan Arminian lainnya acap kali melihat argumentasi kaum Calvinis sebagai selubung untuk sikap berpuas diri atau fatalisme.

Namun kontras antara “kebangunan rohani” Calvinis dan “revivalisme” non-Calvinis terlalu dibesar-besarkan. Kaum Arminian, yang seharusnya “mengusahakan” kebangunan rohani mereka dengan usaha manusia, namun mereka melakukan banyak hal untuk mencari, berdoa, dan menantikan Tuhan. Kaum Calvinis, yang konon tidak melakukan apa pun selain mencari, berdoa, dan menantikan kebangunan rohani yang “diturunkan,” namun mereka bekerja keras untuk menyalakan kilatan-kilatan kecil dari anugerah yang hadir di antara mereka.

Tidak ada satu hal pun tentang Asbury yang sesuai dengan kritik yang biasa dilontarkan terhadap kebangunan rohani yang berpusat pada manusia. Meskipun terjadi di kampus Metodis, kebangunan rohani Asbury menunjukkan tanda-tanda spontanitas dan kesetiaan pada Alkitab yang menurut kaum Calvinis merupakan prasyarat untuk mengenali sebuah “gerakan Allah.” (Sebagai seorang Calvinis, saya berharap rekan-rekan saya sesama Calvinis tidak menentangnya. Paling tidak, saya berharap mereka menerima nasihat Edwards dengan datang mengunjungi kebangunan rohani sebelum menghakimi.)

4. Menjembatani kebangunan rohani tipe Pentakosta dan kritik anti-Pentakosta

Beberapa orang dari kaum Injili mendefinisikan kebangunan rohani sebagai “berkat yang luar biasa dari sarana anugerah yang biasa.” Itulah Asbury. “Sarana-sarana biasa,” seperti nyanyian jemaat, pembacaan Kitab Suci, dan doa, menuai “berkat yang luar biasa” selama masa anugerah ini. Tradisi kebangunan rohani Metodis dapat menjadi balsem untuk membantu menyembuhkan keretakan Pentakosta versus anti-Pentakosta yang sangat menghancurkan.

Gerakan Metodis berada di posisi penengah, ada di tengah-tengah antara kelompok karismatik independen yang paling ekstrem dan kelompok anti-revivalisme yang pantang menyerah yang berasal dari beberapa kelompok yang mengaku sebagai Protestan. John Wesley terbuka terhadap pengalaman-pengalaman rohani yang tidak biasa, namun tidak toleran terhadap spiritualitas yang mengganggu, doktrin-doktrin yang aneh, dan penginjil-penginjil yang bandel yang menolak koreksi secara persaudaraan.

Sikap kaum Wesleyan yang terbuka dan hati-hati ini memungkinkan kebangunan rohani Asbury untuk menjembatani jurang pemisah di antara orang-orang Kristen dalam hal kebangunan rohani. Asbury dapat mendorong kaum Pentakosta dan anti-Pentakosta untuk bertemu di tengah-tengah kaum Metodis serta membuka hati dan pikiran mereka satu sama lain.

Sebagai seorang karismatik, saya melihat sebuah pelajaran khusus bagi rekan-rekan saya yang Pentakosta dan karismatik. Beberapa bagian dari gerakan kepenuhan Roh masa kini telah menyimpang dari ajaran-ajaran yang mendasar seperti Alkitab, keselamatan orang yang terhilang, pertobatan, ketaatan, dan salib Kristus, demi mengutamakan tentang penglihatan ruang takhta, perjumpaan dengan malaikat, dan spekulasi akhir zaman. Hal ini perlu dikoreksi, dan Asbury menyarankan bagaimana melakukan ini, tanpa harus menjadi anti-Pentakosta.

Saat ini bukan hanya kaum anti-Pentakosta yang membatasi Roh Kudus. Ketika kaum karismatik memperlakukan pengalaman-pengalaman spektakuler, atau daftar karunia-karunia roh dalam 1 Korintus 12, sebagai satu-satunya fenomena supranatural, maka ini akan menghilangkan banyak hal. Alkitab mengajarkan bahwa Roh Kudus adalah Pribadi yang menginsafkan, mengubahkan, Penghibur, yang menguduskan, dan Roh Kebenaran, sebagaimana Dia juga adalah Penyembuh dan Pemberi karunia.

Asbury adalah pengingat bahwa keselamatan itu supranatural. Firman Tuhan adalah supranatural. Keyakinan akan dosa juga supranatural. Belas kasihan kepada mereka yang menderita dan terhilang juga merupakan supranatural. Kita membutuhkan gambaran yang luas dan spektrum yang penuh tentang karya Roh Kudus.

Paradigma baru untuk masa depan

Seorang penulis yang menarik terkait kebangunan rohani adalah ilmuwan sosial Anthony Wallace. Berdasarkan presentasi Mark Shaw tentang teori Wallace, “gerakan revitalisasi” hadir dalam tiga fase—yaitu tahap masalah, paradigma, dan kekuasaan.

Pada tahap masalah, orang-orang merasa peta realitas mereka tidak lagi berfungsi. Jalan-jalan lama telah membawa mereka pada jalan buntu. Pada tahap paradigma, muncullah seorang pemimpin atau sekelompok pemimpin yang tidak reaksioner (berpegang teguh pada masa lalu) maupun radikal (menolak masa lalu). Pada tahap kekuasaan, paradigma baru tersebut menjadi sebuah gerakan massa.

Jika kita menerapkan wawasan ini pada situasi saat ini dalam gereja global, maka seseorang bisa berpendapat sebagai berikut:

Gereja membutuhkan pembaruan dan reformasi, namun kita terjebak dalam tahap masalah. Jalan-jalan lama telah menuju ke jalan buntu, termasuk perpecahan yang tampaknya tak dapat terselesaikan—Calvinis versus Arminian, Pentakosta versus anti-Pentakosta—yang menyita waktu, perhatian, dan tenaga kita, membuat kita jauh dari fokus kepada Tuhan dan panggilan untuk melakukan penginjilan dan pemuridan. Salah satu tanda bahwa kita berada dalam tahap masalah adalah bahwa perdebatan tentang kebangunan rohani telah menjadi basi dan mudah diprediksi.

Kebangunan rohani di Asbury mungkin mewakili tahap paradigma. Sebuah paradigma baru, seperti yang dijelaskan Wallace, tidak akan sepenuhnya baru tetapi merupakan pengerjaan ulang dari pola-pola sebelumnya. Sejalan dengan teori ini, pendekatan Asbury bukanlah reaksioner maupun radikal.

Tahap paradigma melibatkan para pemimpin untuk menggali kembali Perjanjian Baru serta akar dari gagasan dan praktik mereka sendiri. Seperti sebuah pohon, paradigma yang baru muncul ini perlu menancapkan akarnya dengan mendalam sebelum pohon itu dapat mulai menumbuhkan cabang-cabangnya.

Tantangan terhadap sebuah gerakan baru akan datang terutama pada pergeseran dari tahap paradigma ke tahap kekuasaan, ketika sebuah gerakan mulai menantang status quo. Oposisi di tahap kekuasaan akan datang, baik dari kaum konservatif maupun radikal.

Jika paradigma baru untuk revitalisasi rohani ini dapat tetap berpusat pada Tuhan—dan tidak dikuasai oleh kaum konservatif maupun radikal—maka ada harapan bahwa paradigma baru ini akan menjadi paradigma yang dominan, dan kemudian revitalisasi serta reformasi yang meluas dan sistemik dalam gereja akan dapat terjadi.

Nasihat kebangunan rohani

Sambil kita menunggu untuk melihat paradigma baru apa yang akan muncul, izinkan saya menutup dengan beberapa nasihat kebangunan rohani, dari seseorang yang menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk membaca dan menulis tentang kebangunan rohani Kristen dan yang telah berkesempatan untuk mengamati apa yang terjadi di Asbury.

Jika Anda adalah seorang beriman dan mendengar laporan tentang pengalaman baru akan kasih Allah di antara umat-Nya, serta adanya keinginan yang mendalam di antara mereka untuk berdoa dan beribadah, maka bersukacitalah. Reaksi standar kita—sebelum yang lainnya—seharusnya adalah sukacita.

Berhati-hatilah terhadap orang-orang yang menampilkan dirinya sebagai ahli Roh Kudus (bahkan orang seperti saya, yang menulis artikel seperti ini). Tidak ada seorang pun yang mengetahui segalanya tentang Roh Kudus. Setiap kita adalah pembelajar.

Izinkan Tuhan untuk membimbing Anda dan memberi Anda pengertian, dengan mengandalkan Alkitab dan dalam percakapan dengan rohaniwan serta rekan-rekan rohani lainnya. Tuhan ingin agar Anda “dapat memilih apa yang baik” (Flp. 1:10). Ia tidak akan mengecewakan Anda. Ketahuilah bahwa peristiwa-peristiwa rohani, tidak seperti peristiwa jasmani. Peristiwa rohani tidak dapat diakses oleh panca indera. Hal-hal rohani haruslah dimengerti secara rohani—yang berarti dilihat melalui dampaknya secara bertahap yang akan terungkap seiring waktu.

Berdoalah untuk para pemimpin dan partisipan dalam kebangunan rohani serta untuk kebangunan rohani di dalam hati Anda sendiri. Bergabunglah bersama dengan orang-orang percaya lainnya untuk berdoa dengan sungguh-sungguh bagi kebangunan rohani di komunitas Anda sendiri. Bangunlah persekutuan dengan orang-orang yang berpikiran sama dari ras, etnis, kelompok sosial, atau denominasi lain. Kesatuan yang lebih besar dengan mereka mungkin merupakan bagian dari rencana Allah.

Mengikuti teladan Asbury, satukanlah orang-orang Kristen yang masih muda dengan para pemimpin yang lebih berpengalaman. Semangat orang muda dan hikmat orang dewasa adalah perpaduan yang kuat.

Michael McClymond adalah profesor Kekristenan Modern di Universitas Saint Louis. Ia adalah satu-satunya editor dari Encyclopedia of Religious Revivals in America, 2 jilid, dan rekan penulis (bersama Gerald McDermott) dari buku The Theology of Jonathan Edwards. Buku terbarunya adalah _Martyrs, Monks, and Mystics: An Introduction to Christian Spirituality (Penerbit Paulist, musim gugur 2023).

Diterjemahkan oleh Timothy Daun.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Apa yang Terungkap Tentang Kita dari Reaksi Kita terhadap Kebangunan Rohani

Kebangunan rohani di Asbury menyingkapkan ketegangan dalam gerakan Injili modern—dan di dalam hati kita sendiri.

Christianity Today March 6, 2023
Lisa Weaver Swartz

Reaksi terhadap kebangunan rohani yang dimulai di Asbury hampir sama menariknya dengan peristiwa itu sendiri. Pada umumnya, respons yang muncul adalah kekaguman dan harapan-karena banyak pendeta dan orang Kristen awam, termasuk saya sendiri, berbondong-bondong datang ke Wilmore untuk merasakan apa yang sedang terjadi.

Namun, ada juga banyak reaksi kritis dari berbagai penjuru budaya Kristen yang mencakup spektrum ideologi.

“Kebangunan rohani lebih dari sekadar bernyanyi dan menangis,” saya telah melihat beberapa orang berkata demikian. “Saya akan percaya ini kebangunan rohani ketika mereka mencela teologi mereka yang beracun dan kasar,” kata yang lain. Terus terang, Anda dapat menyebutkan hampir semua topik dan menemukan seseorang bercuit di Twitter atau membuat blog tentang bagaimana kebangunan rohani di Asbury sudah cukup mengatasinya atau tidak.

Ada yang bilang pertemuan itu terlalu Injili, kurang Injili, terlalu sadar sosial, kurang sadar sosial, terlalu meneguhkan LGBT, kurang meneguhkan LGBT, dan sebagainya.

Ada juga orang yang menilai peristiwa ini sepenuhnya melalui lensa polarisasi politik—menyamakan para mahasiswa Asbury dengan keluhan mereka terhadap kaum Injili kulit putih pada umumnya dan menuduh mereka bersalah karena punya kaitan dengan hal tersebut. Dan meskipun beberapa tokoh karismatik yang selaras dengan Trump telah mendukung acara tersebut, namun para pemimpin mahasiswa, yang beberapa di antaranya bahkan tidak berkulit putih, telah menyatakan tidak memiliki keterkaitan dengan mereka.

Reaksi-reaksi semacam itu telah mengungkapkan garis-garis kesalahan dalam gerakan Injili masa kini yang, secara superfisial, mewakili kegelisahan dan perang budaya saat ini. Meski demikian, pada akarnya, banyak dari kritikan ini merujuk pada kegelisahan teologis yang lebih fundamental. Dengan menanyakan apa yang seharusnya atau tidak seharusnya dirayakan sebagai kebangunan rohani, kita dengan cepat mendapati diri kita bertanya apa yang merupakan Injil dan yang bukan.

Seperti yang dikatakan oleh John Frame dan Vern Poythress (dan dikembangkan lebih lanjut oleh Tim Keller), “Injil” dapat merujuk kepada salah satu dari tiga paradigma yang saling berkaitan: Injil sebagai salib, yang berfokus pada karya penebusan Allah melalui Yesus; Injil sebagai kerajaan, yang berfokus pada penciptaan segala sesuatu yang baru; atau Injil sebagai kasih karunia, yang berfokus pada pengadopsian orang-orang berdosa oleh Allah Bapa.

Menekankan salah satu aspek ini daripada yang lainnya—seperti yang cenderung dilakukan oleh aliran-aliran yang berbeda dalam gerakan Injili dan gereja secara lebih luas—memiliki efek yang kuat pada bentuk pelayanan dan jenis bahasa yang digunakan untuk menjelaskan Injil.

Misalnya, menonjolkan Injil sebagai salib dapat menghasilkan kesadaran yang lebih besar akan dosa dan kekudusan (menurut John Stott). Menyoroti Injil sebagai kerajaan dapat menuntun pada rasa tanggung jawab yang lebih kuat seputar transformasi sosial dan budaya (menurut N. T. Wright). Menggarisbawahi Injil sebagai kasih karunia dapat menciptakan komunitas yang memiliki penerimaan yang radikal (menurut Brennan Manning).

Terlalu menekankan salah satu dari perspektif Injil ini daripada yang lainnya juga memiliki kelemahan. Terlalu bersandar pada Injil sebagai salib dapat membuat Injil menjadi transaksional: “Saya mempercayai hal-hal yang benar, dan Tuhan mengampuni saya.” Dengan pemikiran ini, Anda bisa melupakan Injil sebagai pemberian, dan doktrin ortodoksi menjadi penentu siapa yang masuk dan siapa yang keluar.

Ketergantungan yang berlebihan pada Injil sebagai kerajaan dapat berubah menjadi semacam legalismenya sendiri, di mana siapa pun yang tidak mengabdi pada tujuan sosial tertentu berarti menyangkali iman. Dan jika Injil sebagai kasih karunia dibingkai dengan cara yang menutupi dua pendekatan lainnya, kita dapat kehilangan pandangan akan ortodoksi atau menemukan diri kita mendukung semangat antinomian yang berpikir, “mari kita ‘terus berbuat dosa sehingga kasih karunia dapat bertambah’” (Rm. 6:1).

Lensa-lensa ini dapat membantu dalam memikirkan berbagai reaksi terhadap kebangunan rohani di Asbury.

Mereka yang memiliki mentalitas Injil sebagai salib mungkin merasa cemas tentang apakah dosa dan kekudusan cukup dikonfrontasi atau apakah ortodoksi doktrinal cukup diawasi. Mereka yang memiliki pola pikir Injil sebagai kerajaan mungkin khawatir tentang bagaimana kebangunan rohani di Asbury mencerminkan atau berdampak pada isu-isu sosial lain yang relevan, yang mengganggu komunitas Injili saat ini seperti rasisme, otoritarianisme politik, krisis kepemimpinan, dan pelecehan di dalam gereja.

Menurut saya, orang-orang yang memercayai Injil sebagai kasih karunia cukup puas dengan peristiwa akhir-akhir ini, dan mungkin hal ini menambah satu alasan lagi bagi dua kelompok lainnya untuk bersikap kritis.

Kini, ada versi iman yang baik dan iman yang buruk dari semua kritik ini. Selalu ada baiknya untuk menanyakan apakah suatu kebangunan rohani berpusat pada Yesus dan menghadirkan Dia sebagai satu-satunya pengharapan dalam hidup dan mati kita. Dan dalam waktu yang saya habiskan di pertemuan itu, saya menemukan hal ini sangat jelas.

Mungkin kritik yang paling menggelitik bagi saya berasal dari kaum Injili yang kecewa—sebuah komunitas yang sangat saya sayangi, karena dalam banyak hal, saya termasuk di antara mereka.

Saya seorang anak era 80-an dan 90-an. Saya pergi ke acara doa See You at the Pole, mengisi kartu komitmen kesucian True Love Waits, dan berpartisipasi dalam banyak pertemuan ibadah dengan intensitas yang lebih tinggi daripada yang bisa saya hitung. Saya bahkan pernah mengalami beberapa pengalaman dengan peristiwa karismatik gelombang ketiga, menyaksikan segala sesuatu mulai dari janji-janji kesembuhan hingga gonggongan kudus.

Baik dan buruknya, saya telah mengalami segala pengalaman "puncak gunung" yang menggugah emosi yang ditawarkan oleh dunia Injili.

Peristiwa-peristiwa yang penuh sensasi seperti ini memang memiliki reputasi yang buruk akhir-akhir ini, terutama bagi mereka yang masih terguncang oleh skandal pelecehan dan perebutan kekuasaan politik. Dengan demikian, sejumlah kecurigaan tentang peristiwa semacam itu dapat dibenarkan.

Akan tetapi di zaman kita, skeptisisme juga tidak dapat dihindari, karena kita hidup dalam apa yang disebut oleh filsuf Charles Taylor sebagai “tekanan silang”—persimpangan dari banyak pertimbangan kepercayaan dan ketidakpercayaan. Sementara pergumulan antara iman dan keraguan bukanlah hal baru, zaman di mana kita hidup telah memperkuatnya dengan menjadikan keraguan terhadap hal-hal yang supranatural sebagai pengaturan bawaan, artinya imajinasi dan naluri kita cenderung meragukan berbagai hal dengan cara modern yang unik.

Bagi orang Kristen yang imannya terdisrupsi oleh penderitaan atau duka, narasi “kecewa” itu memiliki intensitas yang tidak hanya mempertanyakan pengalaman kita sendiri, melainkan juga mempertanyakan kemungkinan adanya pengalaman spiritual. Ada garis tipis antara ketajaman yang benar dan sinisme yang tidak semestinya—dan bagi kita yang berpegang teguh pada iman di saat mengalami duka dan kehilangan, perbedaan itu sangatlah penting.

Tekanan silang juga dapat membuat kita memperkuat pandangan kita sendiri dan menghindarkan kita dari tantangan-tantangan yang sehat terhadap titik-titik buta teologis kita. Dengan mendefinisikan iman sebagai doktrin yang benar, praktik yang benar, atau politik yang benar, kita mereduksi iman itu menjadi sesuatu yang dapat diatur. Kita juga membangun batas-batas yang dapat dengan jelas menentukan siapa yang “masuk” dan siapa yang “keluar.”

Akan tetapi kasih karunia bukanlah hal yang jinak, hanya konsisten dalam kecenderungannya untuk menentang nalar dan menertawakan harapan kita. Ada kemewahan di dalamnya, baik dalam kecenderungan Tuhan untuk menyelamatkan “orang yang paling berdosa” atau dalam cara Yesus yang tidak pandang bulu dalam memberikan mukjizat dan belas kasihan dalam pelayanan-Nya.

Menyadari fakta ini tidak berarti kita harus menepis keprihatinan tentang doktrin-doktrin di dalam gereja maupun aksi sosial di luar gereja. Sejarah kebangunan rohani seharusnya mengingatkan kita bahwa kedua hal tersebut penting dalam “kesuksesan” jangka panjang dari setiap gerakan.

Namun itu berarti kita harus memiliki kerendahan hati ketika kasih karunia muncul dengan cara yang tidak kita duga, serta kesabaran terhadap karya Tuhan yang mungkin mengikutinya.

Perlu juga ditanyakan apakah—seperti banyak hal lain dalam hidup—"puncak gunung" (pengalaman yang menggugah emosi) pada umumnya harus dipandang dengan kecurigaan. Atau, dengan kata lain, apa peran dari peristiwa-peristiwa besar, seperti berkumpulnya para mahasiswa di Kapel Hughes, dalam kehidupan Kristen?

Beberapa "puncak gunung" ada yang direkayasa, dan pada waktunya runtuh dan mengecewakan. Namun tidak semuanya. Faktanya adalah bahwa Tuhan tampaknya menyukai pengalaman puncak ini. Ia menunjukkan kemuliaan-Nya di langit penuh bintang kepada Abraham dan dalam api serta asap di puncak gunung Sinai. Yakub bergumul dengan hadirat Allah dan ia menjadi pribadi yang tidak pernah sama lagi. Petrus, Yakobus, dan Yohanes melihat Yesus dalam segala kemuliaan-Nya pada peristiwa Transfigurasi. Paulus diangkat ke “tingkat yang ketiga dari surga” (apa pun artinya itu).

Hikmat juga memperhatikan sejarah gereja, di mana tokoh-tokoh seperti Teresa dari Avila memiliki pengalaman keintiman yang mendalam dengan Tuhan, atau di mana John dan Charles Wesley mengalami kebangkitan religius di usia paruh baya saat sudah melayani dan bekerja dalam pelayanan.

Ada kalanya Tuhan menunjukkan diri-Nya di hidup kita dengan cara yang unik, beraneka, penuh kuasa, dan sederhana. Semua itu tidak dapat diprediksi dan sering kali cepat berlalu, tetapi tampaknya semua itu menjadi bagian dari cara Dia bekerja dalam kehidupan orang percaya. Kita harus menyambut semua itu untuk diri kita sendiri dan orang lain, dan kita harus menahan diri agar tidak menanggapinya dengan sikap yang pesimis.

Mungkin hal terpenting yang harus kita berikan kepada mereka yang telah berkumpul di dalam Kapel Hughes adalah perhatian kita.

Ketika saya berada di sana, saya melihat bahwa para pemimpin telah membuat keputusan yang disengaja untuk hanya memperkuat suara para mahasiswa dan pemimpin di kampus. Mereka menolak para selebritas Kristen yang bermaksud baik maupun para penjaja barang yang murah hati. Tidak ada lampu sorot, asap, ataupun laser. Yang ada hanyalah banyak doa, Firman Tuhan, dan kesaksian. Tidak seperti keluhan beberapa orang di media sosial, banyak yang berbicara tentang kekudusan Allah, keberdosaan kita, dan karya keselamatan dari Kristus di kayu salib.

Tidak ada pembicaraan tentang perang budaya, tidak ada pemuasan terhadap permusuhan identitas. Sebaliknya, para mahasiswa berseru kepada Tuhan untuk kelegaan dari depresi, kecemasan, pikiran bunuh diri, dan kecanduan. Mereka berdoa untuk teman dan anggota keluarga mereka yang terhilang. Mereka mengakui dosa mereka sendiri dan memohon akan kekudusan. Kata “kerendahan hati” muncul berulang-ulang kali.

Dan inilah yang membuat hati saya hancur.

Begitu banyak kehidupan di gereja modern dirancang untuk bersaing dengan kebisingan dan kekuatan dunia di sekitarnya: selebritas, produksi, sensasi, konsumsi barang-barang Kristen yang mencolok. Di Asbury, saya menyaksikan komunitas anak muda yang menemukan apa yang mereka cari di tempat yang sama sekali berbeda. Mereka mendengar cerita tentang kebangunan rohani di Asbury beberapa dekade sebelumnya, berlutut, dan memohon kepada Tuhan, “Lakukanlah lagi. Lakukan dengan generasi kami. Lakukanlah di sini.”

Itu mengingatkan saya pada pengalaman "puncak gunung" terbaik saya, yang tidak terjadi di konser besar atau retret yang terencana dengan baik. Sebaliknya, itu terjadi di tempat-tempat biasa atau sunyi: kebaktian Rabu Abu, ruang tamu, atau ruang bawah tanah biara. Seperti orang-orang yang saya temui di Asbury, saya tidak memiliki kata-kata untuk menggambarkan pengalaman-pengalaman itu selain mengatakan bahwa semua itu mengubah saya dan membuat saya merasakan kasih karunia, kehadiran, dan kebaikan Tuhan yang lebih mendalam.

Pihak Asbury telah memilih untuk mengembalikan kampus kepada ritme regulernya. Mereka telah mendorong gereja dan pelayanan lain untuk membawa semangat kebangunan rohani itu ke tempat mereka masing-masing, menghidupkan kembali komunitas mereka sendiri dengan komitmen baru untuk berdoa dan beribadah. Para mahasiswa akan kembali ke kelas, layar raksasa di halaman akan diturunkan, dan bus serta mobil-mobil rumah akan meninggalkan tempat itu.

Harapan saya adalah bahwa hal ini akan tetap menjadi tonggak sejarah bagi mereka yang berkumpul di sana dan berjumpa Yesus melalui nyanyian, doa, dan air mata. Saya berharap kita akan terus melihat buah kebangunan rohani—komitmen yang diperbarui untuk memberitakan Injil, untuk mengasihi sesama kita, untuk mengusahakan keadilan bagi yang miskin dan tertindas.

Mungkin apa yang dicemooh oleh sebagian orang sebagai kebodohan anak muda hanyalah kesungguhan mereka. Mungkin suara hati yang mengolok-olok kenaifan mereka adalah suara iblis. Mungkin kita tidak tahu kisah orang-orang muda di ruangan itu dan apa yang telah mereka derita.

Dan mungkin kita tidak tahu seberapa banyak pengalaman "puncak gunung" kita yang telah menopang iman kita selama bertahun-tahun—bahkan di saat kita kehilangan dan berduka.

Betapa pun mengecewakannya dekade terakhir ini, sewaspada apa pun kita terhadap krisis kepemimpinan dan pelecehan yang terjadi di gereja, Asbury seharusnya menjadi pengingat bagi kita bahwa kita tidak dapat memprediksi apa yang mungkin dilakukan Allah pada waktu tertentu—dan bahwa kemungkinan terjadinya kebangunan rohani tidak pernah tertutup bagi gereja. Saya berharap dan berdoa agar kita semua memiliki percikan harapan untuk mengingat perjumpaan kita di masa lalu dengan rahmat Tuhan dan berdoa, “Tuhan, lakukanlah lagi. Lakukan di sini. Lakukanlah dengan saya.”

Mike Cosper adalah direktur CT Media. Dia adalah pembawa acara The Rise and Fall of Mars Hill dan siniar The Bulletin.

Diterjemahkan oleh George Hadi Santoso.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Kebangunan Rohani di Asbury: Tidak Ada Selebritas Selain Yesus

Sementara puluhan ribu orang datang berbondong-bondong ke kampus, pejabat sekolah bertemu di sebuah ruang lemari penyimpanan.

Christianity Today March 6, 2023
Asbury University

Tiupan shofar (sangkakala yang biasa dibunyikan sebelum kebaktian karismatik) baru dimulai pada hari Sabtu. Bersamaan dengan hadirnya sangkakala-sangkakala itu, datanglah para calon nabi yang ingin menjadi pusat perhatian di kapel Universitas Asbury di mana para mahasiswa berdoa dan memuji Tuhan sejak Rabu pagi; para calon pemimpin yang ingin mengklaim kebangunan rohani untuk pelayanan, agenda, dan kepopuleran mereka; dan para calon pengganggu yang datang untuk mengacaukan apa pun yang terjadi di sekolah Kristen yang kecil di Kentucky itu dengan cemoohan, pidato yang agresif, dan yang lebih buruk lagi.

Akan tetapi pada hari Sabtu itu, Universitas Asbury sudah siap.

Sekolah itu tidak merancangkan terjadinya pencurahan Roh. Namun ketika sesuatu mulai terjadi pada pertengahan minggu pertama Februari—pertengahan semester, beberapa hari sebelum pertandingan Super Bowl—secara mendadak, gabungan dari administrator, staf, fakultas, teman-teman, dan universitas di sekitarnya bergerak dengan cepat. Mereka berkumpul di sebuah ruang lemari penyimpanan di sisi Auditorium Hughes dan kemudian mengubah fungsi sebuah ruang kelas untuk memfasilitasi dan mendukung apa pun yang Tuhan sedang lakukan.

Ketika berita menyebar, orang banyak berdatangan, dan perdebatan berkecamuk di dunia maya tentang apakah ini merupakan kebangunan rohani yang “nyata," namun para pria dan wanita ini bekerja berjam-jam untuk memastikan bahwa setiap orang yang mencari Tuhan memiliki makanan dan air minum serta tersedianya kamar kecil dan semua orang aman. Bagian cerita di balik kisah kebangunan rohani ini adalah pekerjaan yang hampir tak terlihat yang dilakukan untuk melindungi kebangunan ini.

“Ada 100 orang yang menjadi sukarelawan pada satu waktu, hanya untuk membuat kebaktian-kebaktian ini berjalan lancar,” kata presiden Universitas Asbury, Kevin Brown, kepada CT. “Ada sebuah ruang kelas yang diubah fungsinya menjadi hampir mirip pusat komando. Jika Anda masuk, ada bagan alur di dinding dan papan-papan tulis dipenuhi dengan informasi. Ada tempat pendaftaran untuk sukarelawan. … Itu adalah salah satu prestasi teknis paling mengesankan yang pernah saya lihat."

Kebangunan rohani dimulai di kebaktian kapel pada 8 Februari. Zach Meerkreebs, asisten pelatih sepak bola yang juga koordinator pengembangan kepemimpinan untuk organisasi misi Envision, berkhotbah tentang mewujudkan kasih dalam perbuatan. Teksnya adalah Roma 12.

Saat ia mulai, Meerkreebs memberi tahu para mahasiswa, yang diharuskan menghadiri tiga kebaktian kapel per minggu, bahwa dia tidak bermaksud untuk menghibur mereka. Dan dia tidak ingin mereka fokus padanya.

“Saya harap kalian melupakan saya tetapi apa pun yang berasal dari Roh Kudus dan Firman Tuhan akan menemukan tanah subur di hati kalian dan menghasilkan buah,” katanya. “Roma 12. Itu bintangnya, oke? Firman Tuhan dan Yesus serta Roh Kudus bergerak di tengah kita, itulah yang kita harapkan.”

Meerkreebs juga berbicara kepada mereka tentang pengalaman akan kasih Tuhan, yang sangat berbeda dengan “cinta yang sangat buruk” yang narsis, kasar, manipulatif, dan egois.

“Beberapa dari kalian telah mengalami cinta yang buruk itu di gereja,” katanya. “Mungkin itu bukan kekerasan, mungkin itu bukan penganiayaan, dan bukan dimanfaatkan—tetapi rasanya seperti seseorang telah memperdayaimu.”

Meski demikian, tidak ada yang maju ke depan di akhir kebaktian, dan Meerkreeb yakin dia “benar-benar gagal.” Dia mengirim pesan singkat kepada istrinya: “Pecundang terakhir. Aku akan segera pulang.”

Lalu tiga orang penyanyi berkulit hitam menyanyikan lagu terakhir dan kebaktian kapel pun selesai—tetapi ada 18 atau 19 mahasiswa tetap tinggal. Mereka duduk dalam beberapa kelompok: beberapa di sepanjang dinding kanan, beberapa di tempat duduk mereka, beberapa di lantai di lorong, dan beberapa di kaki panggung. Mereka terus berdoa.

Zeke Atha, seorang mahasisa tingkat pertama, memberi tahu seorang pembuat film dokumenter beberapa hari kemudian bahwa dia adalah salah satu yang tetap tinggal di kapel itu. Dia meninggalkan kapel itu setelah satu jam untuk pergi ke kelas, tetapi kemudian ketika ia keluar, dia mendengar nyanyian.

“Saya bilang, ‘Oke, itu aneh,’” kata Atha. “Saya naik kembali, dan kelihatannya seperti mimpi. Kedamaian yang ada di ruangan itu tidak bisa dijelaskan.”

Dengan segera, ia dan beberapa temannya pergi, berlari mengelilingi kampus, masuk ke ruang-ruang kelas dengan pengumuman: “Kebangunan rohani sedang terjadi.”

Sekolah berbasis gerakan Wesleyan ini memiliki tradisi kebangunan rohani dan teologi yang mengajarkan orang untuk menunggu dan menyaksikan angin ilahi bertiup. Nama universitas ini berasal dari nama Francis Asbury, uskup Metodis mula-mula di Amerika yang mendorong dan merayakan kebangunan rohani dari Maine ke Georgia dan Maryland ke Tennessee.

Ada juga orang-orang di komunitas Kentucky yang telah lama berdoa untuk kebangunan rohani baru di sekolah tersebut, termasuk seorang pengajar teologi dari Malaysia yang kadang-kadang berjalan di jalanan dengan papan karton bertuliskan, “Roh Kudus, Engkau Disambut Di Sini.”

Meski demikian, para administrator tidak segera berasumsi bahwa kebangunan rohani telah dimulai, bahkan ketika para pemuda berlarian di sekitar kampus meneriakkan pengumuman itu. Hanya ketika kebaktian spontan tersebut berlangsung hingga sore dan malam hari, barulah para pejabat sekolah menyadari bahwa mereka mungkin harus membuat keputusan tentang bagaimana menanggapinya.

Bertemu di ruang lemari penyimpanan

Sebuah panitia kebangunan rohani yang bersifat_ad hoc_, yang terdiri dari sekitar tujuh orang berkumpul di satu tempat yang sunyi di Hughes—di sebuah ruang lemari penyimpanan. Menurut beberapa orang yang ada di sana, mereka menyingkirkan peralatan drum dan keyboard serta duduk bersimpuh. Seseorang menemukan papan tulis, dan mereka saling bertanya, “Apa yang akan kita lakukan dalam dua jam ke depan?”

Kemudian mereka mulai berpikir jangka panjang: “Apakah para mahasiswa akan tetap berada di sana sepanjang malam? Seperti apa situasinya? Haruskah kita membiarkan sound system tetap menyala? Haruskah kita membiarkan para mahasiswa terus membawa gitar ke kapel?”

Panitia itu memutuskan agar para rohaniwan kampus tetap tinggal di Hughes dan meminta satpam mengawasi gedung itu tetapi mengizinkannya tetap buka. Mereka akan membiarkan para mahasiswa tinggal dan berdoa serta bernyanyi selama yang mereka mau.

Keputusan-keputusan lain yang mereka buat dalam beberapa hari ke depan tampaknya, sebagaimana yang kini direnungkan oleh panitia ad hoc itu, seperti terjadi secara naluriah. Tidak ada waktu untuk diskusi berlarut-larut. Mereka akan bertemu di ruang lemari penyimpanan itu dan membuat keputusan dari menit ke menit. Apakah mereka ingin memasang layar untuk lirik lagu penyembahan? Tidak. Haruskah para rohaniwan yang berbicara di panggung berhenti untuk memperkenalkan diri? Tidak. Haruskah mereka memasang tanda yang meminta orang untuk tidak melakukan penyiaran langsung? Ya.

“Kami hanya berusaha untuk mengikuti,” kata wakil presiden bidang kemahasiswaan, Sarah Thomas Baldwin, kepada CT. “Ada banyak orang yang datang dan mereka sangat membutuhkan Tuhan. Kami hanya berusaha untuk tetap tinggal dan menghormati apa yang sedang terjadi.

Pada hari kedua, kabar telah menyebar ke seminari Asbury, sekitar se-lapangan sepak bola jauhnya, yang memiliki kesamaan nama dan tradisi tetapi merupakan lembaga yang terpisah. Orang-orang juga mulai berdatangan dari kota Wilmore dan kemudian dari daerah Lexington yang lebih luas.

Alexandra Presta, editor surat kabar mahasiswa, menulis laporan secara daring.

“Selama panggilan pengakuan dosa, setidaknya seratus orang berlutut dan bersujud di depan altar,” tulisnya. “Tangan diletakkan di atas bahu, saling menghubungkan para individu itu bersama untuk benar-benar mewakili Tubuh Kristus. Seruan tentang kecanduan, kesombongan, ketakutan, kemarahan dan kepahitan pun terdengar, masing-masing diikuti dengan proklamasi yang mengubahkan hidup: ‘Kristus mengampunimu.’”

Teman-teman dari negara bagian lain mulai mengirim pesan singkat kepada Presta, menanyakan apa yang terjadi dan juga mengapa. Ia mengatakan kepada mereka bahwa dia tidak tahu. Namun Tuhan tetap bergerak.

‘Semua Chick-fil-A’

Pada Jumat sore, sekelompok mahasiswa mulai berdatangan dari bagian lain Kentucky, juga dari Tennessee, Ohio, Indiana, bahkan Michigan. Beberapa berasal dari sekolah Kristen. Beberapa dari pelayanan-pelayanan kampus. Beberapa baru saja datang.

Menjelang sore, jumlah pengunjung telah bertambah menjadi sekitar 3.000 orang, dan universitas itu harus menyiapkan ruangan tambahan. Pada saat yang sama, infrastruktur pendukung yang tidak terkoordinasi pun mulai terlihat. Seorang mahasiswa Asbury menyiapkan meja dan mulai membagi-bagikan teh dan kopi. Ia berkata bahwa Yesus menyuruhnya. Seorang wanita di Indianapolis memanggang kue kering coklat selama sehari penuh dan kemudian pergi berkendara menuju ke sana untuk membagi-bagikannya. Seorang profesor pergi dan membawakan air minum kemasan.

Pizza juga ada, tanpa diminta, bersama dengan sup kentang buatan sendiri, kue, satu meja berisi camilan berprotein, dan makanan yang disebut oleh seorang sukarelawan sebagai “semua Chick-fil-A.” Seseorang dengan sukarela mulai mengatur penginapan dan memasang tanda-tanda petunjuk dengan kode QR sehingga orang dapat memindai untuk memulai proses pencarian tempat untuk tidur.

Pejabat sekolah tidak punya waktu lagi untuk mempertimbangkan apakah kebaktian yang sedang berlangsung dan tidak direncanakan itu memenuhi syarat sebagai kebangunan rohani. Bahkan ketika sudah berakhir, beberapa orang tidak yakin apakah kebangunan rohani adalah kata yang tepat. Akan tetapi mereka harus memutuskan saat itu juga bagaimana mereka akan berespons karena orang-orang terus berdatangan dari tempat yang lebih jauh.

“Kami mulai mendapat laporan dari orang-orang yang melihat postingan di media sosial tentang orang-orang yang datang, tidak hanya dari wilayah kami, tetapi juga dari jarak yang cukup jauh,” kata Mark Whitworth, wakil presiden bidang komunikasi. “Saya tidak ingat siapa itu, tetapi seseorang berkata, ‘Menjadi viral belum tentu merupakan kebangunan rohani,’ dan kami semua setuju dengan itu. Akan tetapi fokusnya adalah pada hal-hal yang praktis. Seperti, apakah tim ibadah perlu istirahat, dan apakah kita memiliki dukungan pendoa yang cukup di altar?”

Beberapa rohaniwan di organisasi-organisasi yang berfokus pada kebangunan rohani dan mengatur pertemuan doa, termasuk David Thomas dari Awakening Project dan JD Walt dan Mark Benjamin dari SeedBed, mendorong pihak administrasi Asbury untuk mempersiapkan apa yang akan terjadi.

Panitia ad hoc berkumpul di ruang kelas yang telah diubah fungsinya pada hari Jumat untuk membahas apa yang akan mereka lakukan. Presiden Brown memberi tahu sekitar 15 orang di sana bahwa menurutnya ada satu pertanyaan besar.

“Sesuatu yang sangat bersejarah dan sangat unik sedang terjadi di sini,” katanya. “Ini akan hidup lebih lama dari kita. Setelah kita mati, orang-orang akan membicarakan hal ini. Apakah kita akan menampungnya?”

Kelompok ini dengan cepat mencapai kesepakatan bahwa mereka tidak memulai pencurahan Roh ini, tidak merancangkan semua ini, tetapi mereka tetap terpanggil di saat itu untuk bersikap ramah dan menyambut para pendatang. Mereka akan bekerja untuk menjadi tuan rumah dan melaksanakan tugas tersebut, sambil mengingat bahwa bukan mereka yang memegang kendali.

“Ada sebuah ketegangan,” kata Brown kepada CT, “antara ‘Bagaimana kami menjaga ketertiban?’ dan ‘Bagaimana kami menciptakan ruang untuk penyingkapan rohani yang belum kami rencanakan? Kami tidak tahu ke mana arahnya, tetapi kami tahu itu baik dan lebih besar dari kami.’”

Shofar, eksorsis, dan doa yang penuh amarah

Saat berita tentang para mahasiswa yang bernyanyi dan berdoa itu tersebar di media sosial dan "menggema" di sekitar Twitter, TikTok, dan Facebook, tim dari Asbury merencanakan dan mengatur, serta menyusun perincian tentang cara mengatasi ketegangan itu. Jadi ketika seseorang mulai meniup shofar —sangkakala/terompet tanduk domba jantan yang telah diubah oleh beberapa orang Kristen karismatik menjadi simbol politik MAGA dan peperangan rohani—staf kapel tidak memiliki protokol untuk situasi seperti itu, tetapi mereka tahu apa yang harus dilakukan. Mereka meminta orang tersebut untuk mengenali cara Tuhan menampakkan diri di kapel dan setia pada pencurahan Roh yang indah, rendah hati, dan penuh kedamaian.

Mereka melakukan hal yang sama, kata staf Asbury kepada CT, ketika seseorang mulai berdoa dengan suara keras dan agresif. Dan saat seseorang mulai mencoba melakukan eksorsis—mereka tidak berdebat tentang demonologi atau mengutip peraturan universitas, melainkan menggunakan otoritas dari pencurahan Roh itu sendiri.

“Kami ingin bersikap benar tentang bagaimana Roh Kudus hadir bersama murid-murid kami,” kata Baldwin, wakil presiden bidang kemahasiswaan. “Kami mengalami sukacita. Kami mengalami kasih. Kami mengalami kedamaian. Ada begitu banyak nyanyian dan kesaksian. Itulah yang menjadi rambu-rambu kami. Di depan mata kami, seperti inilah kami melihat Roh Kudus turun ke atas murid-murid kami, dan kami ingin menghormati hal itu.”

Kebanyakan orang menurut, meskipun beberapa harus diminta untuk pergi. Seorang pengkhotbah jalanan datang mengenakan T-shirt yang mengutuk seks gay dan sebuah rencana, yang menurut staf, ingin meneriaki para mahasiswa tentang penyimpangan. Dia pun dikawal keluar dari tempat itu. Orang lainnya tidak berhenti berdoa dengan agresif dan diberitahu bahwa dia harus keluar.

Ketika staf kapel membuka kesempatan lagi untuk kesaksian, mereka mulai memeriksa orang-orang tersebut terlebih dahulu. Sebagai tambahan tindakan pencegahan, tim Asbury memegang mikrofon saat orang-orang berbicara.

“Sabtu dan Minggu, kami ditanyai sepanjang hari, ‘Bisakah saya berbicara?’ ‘Boleh bicara?’ ‘Boleh bicara?’” kata Baldwin. “Baiklah, beri tahu kami dulu apa yang akan Anda katakan.”

Matt Smith, seorang pendeta Wesley dari sebuah gereja non-denominasional di Johnson City, Tennessee, melihat para rohaniwan memegang mikrofon ketika dia masuk ke kapel pada hari Senin, 13 Februari. Setelah melihat laporan tentang kebangunan rohani di media sosial, dia, pendeta kaum mudanya, dan ayahnya yang juga pendeta, berkendara selama empat setengah jam untuk menyaksikannya sendiri. Mereka langsung terpukau dengan hadirat yang indah dan penuh damai di tempat itu, dan sebagai rohaniwan, mereka juga memperhatikan para staf bekerja keras.

“Saya pikir sebagian besar kita di kalangan Injili pernah mengikuti kebaktian di mana seseorang berjalan sambil membawa sebuah mikrofon,” kata Smith kepada CT. “Pada saat yang sama, Tuhan bekerja melalui orang-orang, jadi Anda tidak ingin menghentikannya. Anda tidak dapat mengontrol semua yang dikatakan, tetapi Anda harus memiliki pengawasan rohani yang sehat.”

Smith mengatakan dia terkesan dengan bagaimana para rohaniwan menjaga keseimbangan yang rentan. Akan tetapi, orang-orang Wesley memiliki tradisi yang panjang dalam memelihara pencurahan Roh. Suatu ketika pada tahun 1804, sekolah Wesley memiliki 20 penjaga yang membawa tongkat panjang yang sudah dikupas untuk melindungi pertemuan kamp dari penjahat perbatasan. “Pekerjaan Tuhan itu luar biasa,” tulis Francis Asbury di lain waktu, ketika beberapa orang muncul untuk mencoba mengendalikan kebangunan rohani di Delaware. “Namun betapa besar_keributan_ yang ditimbulkan!”

Tidak ada selebritas di sini

Di media sosial, sejumlah tokoh karismatik yang kontroversial mengumumkan bahwa mereka akan menuju Asbury. Todd Bentley, yang pernah mengklaim Tuhan menyuruh dia untuk menyembuhkan seorang wanita dengan menampar wajahnya dan pernah dianggap tidak layak untuk pelayanan oleh sekelompok pendeta pada tahun 2020, mencuit di Twitter “Saya pergi.” Greg Locke, yang mendapatkan ketenaran karena menentang mandat kesehatan COVID-19 dan menyebarkan informasi yang salah tentang pemilu 2020, mengumumkan bahwa dia juga merencanakan perjalanan serupa.

Staf Asbury berhasil mencegah siapa pun yang berusaha mengambil alih mikrofon, dan menghindari terlalu banyak konfrontasi yang mengganggu.

Ada juga tokoh-tokoh Kristen yang hadir secara diam-diam, hanya berdoa dan berpartisipasi tanpa berusaha naik panggung. Kari Jobe, penyanyi musik Kristen kontemporer yang memenangkan Dove Award untuk lagu “The Blessing” pada tahun 2021, pergi ke Asbury dan turun ke altar. Beberapa mahasiswa berdoa untuknya, menurut staf Asbury, tanpa mereka tahu siapa dia. Seorang pemimpin Gereja Vineyard datang dan pergi tanpa mengumumkan apa pun di media sosial.

Pada saat kebangunan rohani memasuki minggu kedua, ada pengumuman rutin yang dibuat tentang para selebritas yang tampil di panggung. Sepanjang hari, para rohaniwan yang tidak berhenti menyebutkan nama atau jabatan mereka sendiri akan berkata, “Tidak ada selebritas di sini, tidak ada superstar, kecuali Yesus.” Istilah “kerendahan hati yang radikal” digunakan secara teratur.

Ada juga pengumuman bahwa jika orang digerakkan oleh Roh Kudus untuk melompat-lompat, mereka tidak boleh melakukannya di balkon yang berusia hampir 100 tahun.

Di tengah semua ini, penyembahan para mahasiswa terus berlanjut. Meskipun kapel terasa penuh sesak dan seperti akan disingkirkan oleh para “pemburu kebangunan rohani,” banyak anak muda masih bersaksi tentang transformasi yang mereka lihat sedang terjadi.

“Saya sangat mengenal kampus ini. Kampus ini kecil,” kata Alison Perfater, ketua organisasi mahasiswa di Asbury, kepada seorang dokumenter. “Dan saya tahu persis mana mahasiswa di kampus ini yang saling membenci. Mereka adalah orang-orang yang saya lihat berdoa bersama, bernyanyi bersama, berpelukan, menangis. … Ini benar-benar mengubahkan hidup.

Pengaturan logistik menjadi sedikit lebih mudah pada minggu kedua, karena segala sesuatunya sudah berjalan sebagaimana mestinya, menurut administrator Asbury. Beberapa tim dibentuk untuk setiap kebutuhan khusus, dan panitia kebangunan rohani mengiyakan lebih banyak sukarelawan yang menawarkan layanan profesional—seperti pengelola acara dari Phoenix yang muncul tanpa pemberitahuan dengan rencana untuk mengoordinasikan sukarelawan. Staf terjun langsung ke mana pun sesuai kebutuhan. Seorang koordinator sumber daya manusia, misalnya, menghabiskan waktu seminggu untuk menjawab telepon, karena orang-orang dari penjuru negeri dan bahkan dari luar negeri menghubungi sekolah itu untuk informasi kedatangan.

Para mahasiswa seminari juga terlibat, terkadang secara formal, terkadang secara informal. Hermann Finch, seorang pendeta kaum muda Metodis dari Zimbabwe yang sedang belajar di seminari, mengatakan kepada CT bahwa dia ditanya arah menuju toilet. Jadi begitulah cara dia memutuskan untuk menjadi sukarelawan, mengarahkan orang-orang menuju kamar kecil untuk suatu malam.

Setia pada bagian mereka

Meski demikian, memasuki akhir pekan kedua, panitia kebangunan rohani memutuskan bahwa mereka perlu mengumumkan batas penampungan mereka. Kota Wilmore kewalahan, lalu lintas tidak memungkinkan, dan berita kebangunan rohani menyebar lebih cepat. Tucker Carlson, pembawa acara berita TV yang paling banyak ditonton, menyiarkan segmen yang mengagumkan tentang Asbury dan memberi tahu pemirsa keesokan harinya bahwa dia “masih memikirkan tentang hal itu.” Carlson berkata dia “tidak memahaminya…tetapi apa pun yang sedang terjadi, itu tampak luar biasa.” Pada hari Jumat, mantan wakil presiden Mike Pence mencuit di Twitter bahwa dia “sangat tersentuh melihat kebangunan rohani terjadi di @AsburyUniv!” dan mengenang kebangkitan religiusnya sendiri di sebuah festival musik di sana pada tahun 1978.

Sabtu pagi sekolah itu memasang dua layar besar di lapangan rumput setengah lingkaran di luar kapel untuk mencoba mengakomodir semua orang. Diperkirakan 7.000 orang hadir di hari itu—lebih dari dua kali lipat jumlah orang di Wilmore. Sebagian besar harus berada di luar kapel, meski suhu mencapai 4 derajat Celcius. Beberapa laporan menyebutkan jumlah total pengunjung akhir pekan itu sekitar 20.000 orang.

Dalam ruang kelas yang diubah menjadi pusat komando, tim tersebut membahas keprihatinan terhadap para mahasiswa dan tanggung jawab sekolah atas pendidikan mereka. Memelihara pengalaman dan pembinaan spiritual mereka mungkin, pada titik tertentu, berarti sekolah perlu berhenti menerima orang datang ke kampus.

Tim itu juga berbicara tentang kelelahan para relawan. Presiden Brown mencatat bahwa dia telah melihat satu orang membantu pada jam 8 pagi, kemudian pada jam 1 pagi, dan pada jam 8 pagi keesokan harinya. Kemurahan hati yang luar biasa itu tidaklah berkelanjutan, dan mereka perlu segera mengakhirinya.

Pada saat yang sama, sekolah itu mendengar laporan tentang kebaktian doa di perguruan tinggi dan universitas Kristen lainnya. Di Universitas Samford, Alabama, seorang mahasiswa mulai bernyanyi di kapel pada malam hari dan segera diikuti oleh ratusan orang. Hal itu terus berlangsung semalaman dan berlanjut keesokan harinya. Di Universitas Lee, Tennessee, para mahasiswa terlihat berlarian menuju kapel. Seorang mahasiswa baru mengatakan kepada reporter lokal bahwa dia pikir itu hanya acara tiruan sampai dia pergi melihatnya sendiri.

“Roh Kudus 100 persen bergerak di tempat itu,” katanya.

Hal serupa juga terjadi di Universitas Cedarville di Ohio. Dan ada laporan tentang doa, nyanyian, pengakuan dosa, dan kesaksian yang diperpanjang di Baylor, Belmont, Campbellsville, Hannibal-LaGrange, Valley Forge, Milligan, dan sekolah-sekolah lainnya.

“Ini mengingatkan saya pada kebaktian Malam Natal,” kata juru bicara Asbury, Abby Laub, kepada CT. “Kami memegang lilin, dan sekarang kami menyebarkannya. Dan itulah yang kami inginkan. Kami tidak ingin menjadi satu-satunya yang memegang lilin."

Panitia ad hoc merasakan kelegaan. Api kebangunan rohani itu menyebar, dan mereka telah setia pada bagian mereka. Mereka memutuskan untuk mengumumkan bahwa semuanya akan mereda. Mulai Selasa, 21 Februari, mereka akan membatasi kebaktian hanya untuk orang-orang di bawah usia 25 tahun, tetapi siaran langsung dilakukan setiap malam mulai pukul 7.30 malam Kemudian mereka akan berakhir pada Rabu tengah malam, dua minggu penuh setelah beberapa mahasiswa tetap berada di kapel untuk berbicara, berdoa, bernyanyi, dan kemudian merasakan angin kudus.

Pada Rabu malam, seorang anggota staf di depan Auditorium Hughes menyapa di ruangan yang penuh dengan para mahasiswa yang lahir setelah tahun 1998. “Selamat datang di kegerakan Tuhan,” katanya.

Beberapa jam kemudian, menjelang tengah malam, seorang wanita muda dengan kaus abu-abu bertuliskan “Zionsville” mengangkat satu tangan ke atas dan memimpin para mahasiswa menyanyikan lagu Chris Tomlin “How Great Is Our God.”

The Godhead three in one (Allah tiga di dalam satu),” dia bernyanyi. “Father, Spirit, Son (Bapa, Roh, dan Putra). … How great is our God (Betapa besar Allah kita). Sing with me (Bernyanyilah bersama saya).”

Lebih dari 1.000 mahasiswa melakukannya, mengangkat tangan dan suara mereka. Gelora ibadah mereka memenuhi kapel hingga ke langit-langit, mengalahkan audio yang samar-samar dari siaran langsung.

How great is our God (Betapa besar Allah kita),” mereka bernyanyi. “All will see how great, how great is our God (Semua orang akan melihat betapa besar, betapa besar Allah kita).”

Diterjemahkan oleh Mellie Cynthia.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Profesor Asbury: Kami Menyaksikan ‘Karya Tuhan yang Mengejutkan’

Mengapa saya penuh pengharapan akan kebangunan rohani yang terjadi di kapel kami dan implikasinya bagi kampus dan sekitarnya.

Kebaktian kebangunan rohani di Universitas Asbury-Kentucky telah berlangsung sejak 8 Februari.

Kebaktian kebangunan rohani di Universitas Asbury-Kentucky telah berlangsung sejak 8 Februari.

Christianity Today February 28, 2023
Alex Griffith / Courtesy of Baptist Press

Sebagian besar Rabu pagi di Universitas Asbury sama seperti hari-hari lainnya. Beberapa menit sebelum pukul 10, para mahasiswa mulai berkumpul di Auditorium Hughes untuk mengikuti ibadah di kapel. Para mahasiswa diharuskan menghadiri sejumlah ibadah kapel setiap semester, sehingga mereka cenderung mengikutinya hanya sebagai rutinitas semata.

Namun Rabu yang lalu ini berbeda. Setelah doa berkat, paduan suara mulai menyanyikan pujian terakhir—dan kemudian mulailah terjadi sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dengan mudah. Para mahasiswa tidak pergi. Mereka dikejutkan oleh perasaan transendensi yang tenang namun kuat, dan mereka tidak ingin pergi. Mereka tetap tinggal dan terus beribadah. Mereka masih di sana. Saya mengajar teologi di seberang jalan di Asbury Theological Seminary, dan ketika saya mendengar apa yang terjadi, saya segera memutuskan untuk pergi ke kapel tersebut untuk melihat sendiri. Ketika saya tiba, saya melihat ratusan mahasiswa bernyanyi dengan tenang. Mereka memuji dan berdoa sungguh-sungguh untuk diri mereka sendiri dan sesama serta dunia kita—mengungkapkan pertobatan dan penyesalan atas dosa dan berdoa syafaat untuk kesembuhan, keutuhan, kedamaian, dan keadilan.

Beberapa orang membaca dan melafalkan Kitab Suci. Yang lainnya berdiri dengan tangan terangkat. Beberapa orang berkerumun dalam kelompok kecil berdoa bersama. Beberapa berlutut di selusur altar di depan auditorium. Beberapa bersujud, sementara yang lain berbicara satu sama lain, wajah mereka cerah karena sukacita.

Mereka masih beribadah ketika saya pergi di sore hari dan ketika saya kembali lagi di malam hari. Mereka masih beribadah ketika saya tiba di Kamis dini hari—dan menjelang tengah hari ratusan orang memenuhi auditorium itu lagi. Saya menyaksikan banyak mahasiswa berlari menuju kapel itu setiap hari.

Pada Kamis malam, ruangan telah terisi penuh. Para mahasiswa mulai berdatangan dari universitas-universitas lain: Universitas Kentucky, Universitas Cumberlands, Universitas Purdue, Universitas Indiana Wesleyan, Universitas Kristen Ohio, Universitas Transylvania, Universitas Midway, Universitas Lee, Perguruan Tinggi Georgetown, Universitas Mt. Vernon Nazarene, dan banyak lainnya.

Ibadah berlanjut sepanjang hari pada Jumat dan benar-benar sepanjang malam. Pada Sabtu pagi, saya kesulitan mencari tempat duduk; pada malam hari gedung itu penuh sesak melebihi kapasitas. Setiap malam, sejumlah mahasiswa dan orang lainnya tetap berada di kapel untuk berdoa sepanjang malam. Dan hingga Minggu malam, momentumnya tidak menunjukkan tanda-tanda melambat.

Beberapa orang menyebut hal ini sebagai suatu kebangunan rohani, dan saya tahu bahwa dalam beberapa tahun terakhir istilah itu diasosiasikan dengan aktivisme politik dan nasionalisme Kristen. Akan tetapi izinkan saya memperjelas: tidak ada seorang pun di Asbury yang memiliki agenda itu.

Rekan saya Steve Seamands, seorang teolog yang telah pensiun dari seminari, memberi tahu saya bahwa apa yang terjadi itu mirip dengan Kebangunan Rohani yang terkenal di Asbury pada tahun 1970 yang ia alami ketika masih mahasiswa. Kebangunan rohani itu membuat Asbury harus menutup kelas perkuliahan selama seminggu, lalu berlanjut lagi selama dua minggu dengan kebaktian malam. Ratusan mahasiswa pergi ke sekolah-sekolah lain untuk menceritakan apa yang terjadi.

Namun yang tidak disadari banyak orang adalah bahwa Asbury memiliki sejarah panjang dengan kebangunan rohani—termasuk yang terjadi pada awal tahun 1905 dan pada tahun 2006, ketika sebuah kebaktian kapel mahasiswa menyebabkan terjadinya ibadah, doa, dan pujian selama 4 hari berturut-turut.

Banyak orang mengatakan bahwa di kapel itu mereka bahkan hampir tidak menyadari berapa lama waktu yang telah berlalu. Seolah-olah waktu dan keabadian sama-sama tidak terlihat dengan jelas saat langit dan bumi bertemu. Siapa pun yang telah menyaksikannya dapat setuju bahwa sesuatu yang tidak biasa dan tanpa naskah sedang terjadi.

Sebagai seorang teolog analitis, saya lelah dengan hal-hal yang sensasional dan sangat waspada terhadap manipulasi. Saya berasal dari latar belakang (khususnya dalam segmen revivalis dari tradisi kekudusan hidup Metodis) di mana saya telah melihat upaya untuk membuat “kebangunan rohani” dan “gerakan Roh Kudus” yang terkadang tidak hanya hampa tetapi juga berbahaya. Saya tidak menginginkan apa pun terkait hal itu.

Dan sejujurnya, pengalaman ini tidak seperti itu. Tidak ada tekanan atau gegap gempita. Tidak ada manipulasi. Tidak ada semangat emosional bernada tinggi.

Sebaliknya, kebangunan rohani tersebut sejauh ini sangatlah tenang dan tenteram. Perpaduan antara harapan, kegembiraan, dan kedamaian menjadi sangat kuat dan bahkan nyaris gamblang—perasaan shalom yang hidup dan luar biasa kuat. Tidak dapat disangkali, pelayanan Roh Kudus begitu kuat tetapi juga sangat lembut.

Kebangunan rohani Asbury 2023: Kerumunan dengan kapasitas 1.500 orang berkumpul di Auditorium Hughes di kampus Universitas Asbury pada 10 Februari.Alex Griffith / Courtesy of Baptist Press
Kebangunan rohani Asbury 2023: Kerumunan dengan kapasitas 1.500 orang berkumpul di Auditorium Hughes di kampus Universitas Asbury pada 10 Februari.

Kasih suci dari Allah Tritunggal terlihat jelas, dan ada keindahan dan daya tarik hakiki yang tak terlukiskan pada kebangunan rohani tersebut. Sangat jelas terlihat mengapa tidak ada orang yang mau pergi dan mengapa mereka yang harus pergi ingin kembali secepat mungkin. Saya tahu bahwa Tuhan bekerja dengan cara yang misterius; Yesus memberi tahu kita bahwa Roh bertiup ke mana Ia mau (Yoh. 3:8). Dan terkadang Tuhan melakukan apa yang disebut Jonathan Edwards sebagai “karya yang mengejutkan” dan apa yang disebut John Wesley sebagai pelayanan yang “luar biasa.”

Saya sangat percaya bahwa banyak hal penting dan vital dalam kehidupan Kristen terjadi pada momen-momen keseharian—dalam disiplin dan liturgi sehari-hari (baik formal maupun informal), dalam keputusan saat ini untuk mengejar kebenaran, dalam tindakan kasih yang penuh pengorbanan terhadap sesama, dalam doa yang dipanjatkan di tengah keputusasaan yang senyap.

Saya tahu bahwa tindakan Tuhan yang “luar biasa” ini bukanlah pengganti pelayanan “biasa” yang dikerjakan Roh Kudus melalui Firman dan sakramen. Demikian pula, karya-karya Allah yang “mengejutkan” ini bukanlah pengganti dari perjalanan panjang pemuridan. Jika itu masalahnya, sebagaimana rekan saya Jason Vickers mengingatkan saya, kita akan bergantung pada pengalaman ini untuk menopang kita, daripada bergantung pada Roh Kudus yang dengan murah hati memberikan pengalaman tersebut. Namun saya juga percaya bahwa kita harus bersedia mengenali dan merayakan perjumpaan yang menakjubkan dengan Roh Kudus ini. Tuhan kita berjanji bahwa mereka yang “lapar dan haus akan kebenaran” akan dipuaskan. Ia berjanji bahwa Ia akan mengutus “Penghibur lain” (KJV)—dan memang akan lebih baik bagi-Nya untuk pergi dan mengirimkan Roh-Nya.

Dan siapa pun yang telah menghabiskan waktu di Auditorium Hughes selama beberapa hari terakhir dapat bersaksi bahwa Penghibur yang dijanjikan ini sungguh hadir dan berkuasa. Saya tidak dapat menganalisis—atau bahkan menjelaskan secara memadai—semua yang terjadi, tetapi tidak ada keraguan dalam pikiran saya bahwa Tuhan hadir dan aktif.

Beberapa mahasiswa dan alumni memberi tahu saya bahwa selama beberapa tahun mereka telah berdoa bersama untuk kegerakan Tuhan, dan mereka sangat senang melihat apa yang terjadi. Saya mengajar kelas antropologi teologis di universitas tersebut semester ini, dan saat kami bertemu Jumat lalu, saya mengingatkan para mahasiswa bahwa kita adalah makhluk hidup yang diciptakan untuk menyembah dan bersekutu dengan Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Ini adalah telos kita, tujuan akhir kita diciptakan. Kita tidak pernah benar-benar hidup dan utuh sepenuhnya daripada saat kita beribadah. Dan apa yang sedang kita alami sekarang—rasa damai, keutuhan, kekudusan, rasa memiliki, dan kasih yang sangat mendalam dan tak terlukiskan ini—hanyalah jendela terkecil menuju kehidupan yang untuknya kita diciptakan.

Jelas ini bukanlah penglihatan indah karena melihat Kristus dalam segala kemuliaan Dia—tetapi jika yang kita lihat adalah bayangan yang paling samar dari realitas tersebut, maka apa yang ada di depan kita adalah sukacita dan kasih suci yang tak terkatakan.

Kebangunan rohani Asbury 2023: Ella Blacey dan Lauren Powell berdoa selama kebaktian di Universitas Asbury.Alex Griffith / Courtesy of Baptist Press
Kebangunan rohani Asbury 2023: Ella Blacey dan Lauren Powell berdoa selama kebaktian di Universitas Asbury.

Saya juga mengingatkan murid-murid saya bahwa kita diciptakan untuk menyembah Tuhan bersama-sama dalam kesatuan dan persekutuan satu sama lain. Jadi, ibadah yang kita alami di kapel haruslah memiliki implikasi yang nyata bagi persekutuan kita di luar kapel. Hal ini sangatlah penting karena saat ini kami sedang menangani masalah yang sulit seputar ras dan etnis.

Dalam kebangunan rohani sebelumnya, selalu ada buah yang memberkati, baik gereja maupun masyarakat. Misalnya, bahkan sejarawan sekuler mengakui bahwa Kebangkitan Besar Kedua sangat penting untuk mengakhiri perbudakan di negara kita. Demikian juga, saya menantikan untuk melihat buah apa yang akan Tuhan bawa dari kebangunan rohani seperti itu dalam generasi kita.

Saat makan siang pada hari Jumat, putra saya Josiah menemui saya dan memberi tahu bahwa dia dan teman-temannya telah berlutut di altar dan berdoa bersama. Ada empat orang dalam kelompoknya, dan mereka masing-masing berdoa dalam bahasa yang berbeda. Dia kemudian bertanya kepada saya, “Apakah nantinya surga akan seperti ini?” Saya mengatakan kepadanya bahwa saya pikir demikian, meskipun merupakan cerminan samar dari apa yang “tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga.” Seolah-olah sepotong kecil surga menjumpai kita di bumi ini.

Injil bukan hanya benar melainkan juga sangat mengagumkan dan indah secara misterius. Setiap kali saya meninggalkan auditorium kapel itu, saya merasa telah mengecap dan melihat bahwa Tuhan itu baik.

Thomas H. McCall adalah profesor teologi Timothy C. dan Julie M. Tennent di Asbury Theological Seminary di Wilmore, Kentucky.

Diterjemahkan oleh Maria Fennita S.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Skandal Polisi Terburuk di Indonesia Melibatkan Orang Kristen. Apa Dampaknya?

Seiring terungkapnya kasus Ferdy Sambo, empat tokoh Kristen merenungkan bagaimana hidup setia di bawah kekuasaan yang korup.

Rosti Simanjuntak (tengah), ibunda mendiang Brigadir Yosua Hutabarat, memegang foto anaknya usai mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Kepolisian Indonesia, Ferdy Sambo divonis mati dalam sidang vonis di Jakarta.

Rosti Simanjuntak (tengah), ibunda mendiang Brigadir Yosua Hutabarat, memegang foto anaknya usai mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Kepolisian Indonesia, Ferdy Sambo divonis mati dalam sidang vonis di Jakarta.

Christianity Today February 22, 2023
Aditya Aji / Getty

Selama setahun terakhir, masyarakat Indonesia terpaku pada sidang pembunuhan yang melibatkan seorang jenderal polisi Kristen berpangkat tinggi. Pekan lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis mati mantan Jenderal Polisi Ferdy Sambo karena memerintahkan dan menutup-nutupi pembunuhan pengawalnya, Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, yang menurut Sambo melakukan pelecehan seksual terhadap istrinya.

Awalnya, Sambo mengklaim Hutabarat tewas dalam baku tembak dengan salah satu ajudannya, Richard Eliezer, di rumahnya. Namun keluarga Hutabarat menjadi curiga setelah polisi berusaha menghentikan mereka untuk melihat jenazahnya. Eliezer kemudian mengaku menembak Hutabarat atas perintah langsung dari Sambo. Sambo kemudian menembakkan peluru ke kepala pengawalnya, ungkap Eliezer.

Kasus pembunuhan tersebut dianggap sebagai skandal terburuk dalam sejarah kepolisian Indonesia dan telah menurunkan kepercayaan publik terhadap polisi. Lusinan petugas polisi terlibat dalam upaya menutup-nutupi kasus tersebut dan sejak itu dikenai sanksi pelanggaran kode etik hingga diberhentikan dengan tidak hormat. Jajak pendapat dari Oktober 2022, selama persidangan Sambo, menemukan bahwa kepercayaan publik terhadap polisi turun menjadi 53 persen dari 80 persen setahun sebelumnya. Insiden lain—termasuk penggunaan gas air mata yang agresif oleh polisi dalam penyerbuan di stadion sepak bola yang mematikan di Oktober tahun lalu, kasus korupsi polisi, dan serentetan pembunuhan di luar hukum yang melibatkan Polisi—telah menimbulkan sinisme yang meluas.

Menambah kerumitan masalah ini, Sambo, Eliezer, dan Hutabarat semuanya beragama Kristen, di negara dengan mayoritas muslim tersebut.

CT bertanya kepada empat orang Kristen Indonesia bagaimana seharusnya tanggapan orang percaya ketika ditempatkan di bawah otoritas yang korup, seperti dalam kasus Eliezer, dan sebagai warga negara di mana skandal polisi biasa terjadi. Mereka juga membahas bagaimana kasus Sambo berdampak pada persepsi publik tentang polisi dan orang Kristen, serta bagaimana orang Kristen dapat memandang polisi dengan benar dan mendorong pertanggungjawaban untuk memerangi penyalahgunaan kekuasaan.

Lotnatigor Sihombing, dosen etika dan kepemimpinan di Sekolah Tinggi Teologi Amanat Agung-Jakarta

Sebagai umat kristiani, anggota masyarakat, dan warga negara, kita memandang polisi sebagai alat negara yang memiliki otoritas. Oleh karena itu, aparat kepolisian harus menaati hukum untuk melindungi masyarakat dan memberikan rasa aman kepada masyarakat. Namun, hak dan kewajiban mereka harus seimbang, karena itu adalah bentuk dasar dari keadilan. Ketika mereka menyimpang dari kewenangan yang diberikan oleh negara, mereka harus bertanggung jawab atas tindakannya karena mereka telah bersumpah berdasarkan agama dan kepercayaan mereka di hadapan Tuhan.

Dalam Alkitab, dosa yang paling sering disebutkan adalah pelanggaran keadilan. Setiap dosa adalah pelanggaran keadilan, baik itu keadilan distributif, keadilan balas dendam, atau keadilan legalis. Bahkan dalam Pengkhotbah 3:16 tertulis, “Di tempat penghakiman—kejahatan ada di sana, di tempat keadilan—kejahatan ada di sana.” Karena itu, polisi, jaksa, hakim, dan pengacara Kristen harus benar-benar takut akan Tuhan, sumber keadilan, dan menegakkan keadilan. Demikian pula, orang Kristen dalam posisi apa pun tidak boleh menjadi penyuap dan pelanggar hukum.

Dalam kasus Eliezer, kita tidak bisa sepenuhnya memahami posisi dan situasi yang dialaminya saat itu. Kemudian dia bekerja sama dengan polisi (di Indonesia dikenal sebagai kolaborator keadilan), di mana hal itu adalah sebuah keputusan berharga yang harus dihormati. Itu berarti Eliezer tahu apa yang dia lakukan adalah salah. Membunuh adalah tindakan yang salah karena meniadakan dan melenyapkan keberadaan. Tuhan menciptakan sesuatu dari ketiadaan, sementara membunuh memusnahkan apa yang sudah ada. Oleh karena itu, membunuh adalah tindakan melawan Tuhan, tindakan ateistik. Tentu saja, fakta bahwa Sambo dan Eliezer adalah orang Kristen dapat membuat orang non-Kristen menilai, “Wah, Kristen atau non-Kristen—mereka semua sama saja.” Memang, kita semua membutuhkan anugerah Tuhan.

Pastor Franz Magnis-Suseno, filsuf, teolog, dan saksi ahli dalam persidangan Eliezer, di Jakarta

Pembunuhan perwira polisi junior Hutabarat oleh seorang perwira tinggi polisi Indonesia adalah salah satu kejahatan polisi paling kotor dalam sejarah Indonesia. Fakta bahwa baik korban maupun terdakwa beragama Kristen tentu sangat memalukan bagi umat Kristen, meski media belum banyak berkomentar tentang hal ini. Ini memperkuat opini publik bahwa polisi kita korup. Kita perlu mengungkap dan memerangi korupsi di semua dimensi.

Setiap manusia bertanggung jawab atas tindakannya, bahkan mereka yang yang berada di posisi kepemimpinan. Kami berharap para pemimpin kami dapat dipercaya, mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan mereka, dan mematuhi hukum dengan sungguh-sungguh. Pemimpin yang melanggar hukum harus dihukum lebih keras dari warga negara biasa.

Dalam kasus Eliezer, kewajiban untuk mematuhi perintah berakhir ketika apa yang diperintahkan itu jahat. Ini adalah salah satu norma moral paling mendasar bahwa perintah jahat tidak boleh dipatuhi. “Slogan Nazi 'Befehl ist Befehl (Perintah adalah perintah)' sangat tidak bermoral. Namun, ketika Eliezer tetap menjalankan perintah menembak Hutabarat, hal itu tidak cukup untuk menyatakan Eliezer bersalah. Sebagai seorang perwira muda, dia dididik dalam budaya polisi yang tanpa ragu mematuhi perintah langsung dari perwira tinggi. Tanpa kesempatan untuk memikirkan atau membicarakannya, kesalahan hukum dan moral Eliezer mungkin mendekati nol.

Tiurma M. Pitta Allagan, dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Jakarta

Kepolisian merupakan alat negara yang ditugaskan untuk melayani masyarakat. Tanpa membedakan apakah polisi itu Kristen atau bukan, kita harus melihat mereka sebagai manusia berdosa. Artinya, polisi pun bisa salah karena tidak lepas dari dosa. Sebagai pejabat publik, mereka membutuhkan doa para umat untuk bertahan hidup dan melindungi kepentingan umat Kristen dan agama minoritas lainnya. Semakin besar tanggung jawab seseorang, semakin besar tuntutan akuntabilitasnya. Tanggung jawab petugas polisi tidak hanya mematuhi aturan tertulis tetapi juga norma dan moral yang dianut dalam masyarakat yang mereka layani.

Tindakan Eliezer sulit dinilai karena posisinya sebagai polisi yang tunduk dalam sebuah divisi khusus yang dipimpin Sambo. Ia pernah mengenyam pendidikan sebagai polisi di Divisi Dalam Negeri Polri, di mana etika dan aturan yang tertanam dalam hati dan pikirannya berbeda dengan kebanyakan orang. Saya juga tidak yakin dia menjadi kolaborator keadilan karena dia seorang Kristen. Namun saya melihat hati nuraninya masih terjaga. Dalam hal ini, hati nurani Eliezer sejalan dengan nilai-nilai Kristen. Tidak seorang pun akan tahu apakah pertimbangan ini karena nilai-nilai Kristen Eliezer atau bukan, kecuali dia dan Tuhan.

Kita dapat mendukung akuntabilitas dan transparansi dengan bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan ombudsman atau menulis artikel penelitian tentang kasus ini. Mudah-mudahan, kasus Sambo bisa kita pandang sebagai peringatan bahwa pejabat adalah manusia yang penuh dosa. Berada di posisi teratas dan melindungi kepentingan rakyat Indonesia, termasuk kepentingan umat Kristen, tidaklah mudah.

Yakub Tri Handoko, pendiri Gerakan Apologetika Indonesia (API) dan Grace Alone Ministry (GRAMI), dosen, pendeta di Reformed Exodus Community (REC) di Surabaya

Setiap orang Kristen harus menanggapi dosa dengan serius. Kasih dan pengampunan tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk mengabaikan kesalahan. Injil bukan hanya tentang kasih karunia tetapi juga tentang kebenaran (Yoh. 1:14). Keadilan harus ditegakkan.

Setiap pelanggaran publik yang dilakukan oleh seorang Kristen terkenal pasti akan memberikan kesan buruk pada kekristenan. Apalagi dalam konteks Indonesia sebagai negara mayoritas muslim. Saya kira masyarakat kita akan lebih mengasosiasikan kasus pembunuhan dengan budaya kepolisian di Indonesia karena sudah bukan rahasia lagi bahwa korupsi merajalela di lembaga ini. Namun, hal itu niscaya akan melemahkan kekuatan persuasif dari kekristenan. Tidak mengherankan bahwa bagi sebagian orang dan dalam konteks tertentu, penginjilan lebih sulit dari sebelumnya.

Kasus Eliezer sangat disayangkan. Dia berada di bawah tekanan yang sangat besar. Tidak seorang pun boleh menyederhanakan situasi yang dia alami. Namun, rasa takut terhadap pemimpin hendaknya tidak menghalangi ketaatan kita kepada Tuhan. Menghormati pemimpin bukan berarti kesetiaan buta.

Ketika seorang pemimpin memaksa kita untuk melakukan tindakan tertentu yang bertentangan dengan hukum moral di dalam hati kita atau ajaran Alkitab, kita berhak untuk tidak patuh. Para rasul mengajarkan kita bahwa kita harus lebih taat kepada Tuhan daripada manusia. Beberapa pahlawan iman dari Perjanjian Lama juga memberikan contoh yang baik, seperti Daniel dan teman-temannya atau nabi Elia. Risiko dan bahaya seringkali tak terhindarkan bagi para pengikut Kristus.

Umat Kristen harus berbicara tentang mendesaknya upaya yang lebih serius untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Para pemimpin gereja juga harus menyadarkan jemaatnya bahwa penyalahgunaan kekuasaan terjadi dalam berbagai bentuk, bahkan di rumah dan gereja. Gereja-gereja lokal harus berupaya membuat gereja mereka aman bagi semua orang dari penyalahgunaan kekuasaan. Singkatnya, kita harus lebih aktif memperjuangkan keadilan dalam berbagai konteks.

Pada akhirnya, kebenaran Firman Tuhan dari Kisah Para Rasul 5:29 berfungsi sebagai pengingat yang menggema dengan keras bagi kita: “Kita harus lebih taat kepada Tuhan daripada manusia!”

Dengan bantuan pelaporan oleh Ivan K. Santoso.

Diterjemahkan oleh Mellie Cynthia.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Ketenangan akan Keabadian

Selama Paskah, memikirkan hari kematian Anda akan membawamu menuju cakrawala yang cerah.

Joshua Commanding the Sun to Stand Still upon Gibeon

Joshua Commanding the Sun to Stand Still upon Gibeon

Christianity Today February 21, 2023
Image: John Martin / National Gallery of Art Open Access

Sebab itu kami tidak tawar hati, tetapi meskipun manusia lahiriah kami semakin merosot, namun manusia batiniah kami dibaharui dari sehari ke sehari. Sebab penderitaan ringan yang sekarang ini, mengerjakan bagi kami kemuliaan kekal yang melebihi segala-galanya. –
2 Korintus 4:16-17

Unduh Renungan Prapaskah

Pada usia lima tahun, saya merumuskan istilah memento mori versi saya sendiri. Ini benar-benar sebuah kebetulan—tidak ada latar belakang yang khusus selain dari seorang anak (adopsi) yang penasaran berjuang untuk memahami keberadaannya. Pengalaman itu selalu terkenang karena sangat traumatis. Anda dapat membayangkan sendiri apa yang terjadi ketika seorang anak berbaring di tempat tidurnya dan menatap ke dalam kegelapan sambil mengulangi kalimat, “selamanya, dan selama-lamanya, dan selama-lamanya, dan selama-lamanya, dan selama-lamanya…”

Jika skenario itu membuat Anda merasakan sedikit simpati, terima kasih. Saya jadi jengkel sendiri sampai histeris, melompat dari tempat tidur dan berlari ke bawah dan ke dalam pelukan ibu saya yang khawatir. Saya tidak dapat ditenangkan, terus mengoceh tentang “selama-lamanya” dan “keabadian.” Walaupun beberapa kali di awal kejadian membuat saya dan ibu merasa khawatir, akhirnya ini menjadi kebiasaan. Jadi, dengan latar belakang acara televisi Andy Griffith, ibu saya akan mencoba menjawab satu-satunya pertanyaan saya: “Apa yang terjadi ketika kita mati?” Sebagaimana para ibu mana pun yang sayang pada anaknya, dia akan menyebut “surga” dan “Tuhan” dan “menjadi orang baik” dan seterusnya sampai saya akhirnya tenang dan kembali ke tempat tidur. Namun, tidak peduli seberapa keras dia berusaha, saya tidak pernah mendengar jawaban yang benar-benar memuaskan kuatnya percampuran rasa takut dan rasa ingin tahu saya.

Syukurlah, 'perjalanan' saya ke lantai bawah mereda seiring berjalannya waktu, tetapi obsesi saya terhadap pertanyaan itu tidak. Sampai hampir dua dekade kemudian saya menemukan jawaban yang saya cari. Ternyata inilah yang selama ini ingin disampaikan oleh ibu saya: pemahaman yang tepat tentang kematian tidak diragukan lagi terkait dengan konsep tentang Tuhan dan surga dan Alkitab—hanya saja perlu banyak pencarian untuk memahami seluk-beluknya.

Faktanya adalah orang akhirnya mati, mimpi mati, cinta mati, kebiasaan mati, hewan mati, tumbuhan mati, bahkan tokoh utama mati. Kematian itu esensial: “Bunuh kesayanganmu” kata penulis William Faulkner, “Kematian tersenyum pada kita” kata para pejuang Gladiator, “Sampai maut memisahkan kita” kata para kekasih di hari pernikahan mereka. Kematian memainkan peran yang penting dalam setiap aspek kehidupan, jadi mengapa umat manusia begitu penuh perjuangan untuk menghadapi memento mori, atau, kematian kita yang tak terhindarkan?

Meski demikian, ironisnya adalah sementara kita mungkin lari dari kenyataan akan kefanaan diri kita sendiri, kita terobsesi dengan kematian. Kematian dalam dunia hiburan adalah bisnis yang besar. Kita terpikat oleh cerita tentang pembunuh berantai, pembunuh bayaran, vampir, mayat hidup, perang—apa pun yang berhubungan dengan kematian, baik di buku atau di layar TV, dan kita terpikat olehnya. Setiap kita memiliki rasa ingin tahu yang tidak wajar, yang memicu dorongan alam bawah sadar yang mendalam untuk mencari jawaban tentang kematian tanpa henti. Paradoksnya terletak pada kenyataan bahwa jika percakapannya adalah tentang kematian kita sendiri atau kematian seseorang yang kita cintai, kita menghindari topik itu, tetapi jika kita berbicara tentang kematian orang lain, kita tidak dapat berpaling.

Ketertarikan dan penghindaran terhadap kematian tidak hanya terjadi di era modern, para penulis selama ribuan tahun telah terpesona oleh subjek tersebut. Nyatanya, di sepanjang sejarah sastra, kematian sering dinobatkan sebagai “antagonis yang agung.” Kita ternyata telah mengajukan pertanyaan yang sama sejak dahulu kala.

Dalam setiap kebudayaan, terdapat unsur-unsur tertentu yang membatasi kemampuan kita untuk memiliki pemahaman yang tepat tentang kematian. Dalam budaya kemakmuran, kita sering terlindungi dari kematian dengan cara yang unik. Semakin kaya sebuah komunitas, semakin banyak harta benda yang kita gunakan untuk mengalihkan perhatian kita dari hal-hal yang kita takuti. Seorang pengkhotbah dan teolog yang sangat terkenal, Charles Haddon Spurgeon, pernah berkata ketika dia mengunjungi rumah mewah seorang jemaat, “Ini adalah hal-hal yang membuat kematian menjadi sulit.” Ketika kita memiliki banyak sumber daya, kita dapat meringankan, atau setidaknya, melembutkan realita hidup yang keras. Saat kita tidak memiliki kebutuhan mendesak, kita tidak memiliki keinginan untuk menyelidiki hal-hal yang lebih mendalam dan hal terakhir yang ingin kita lakukan adalah berurusan konsep seperti memento mori. Mengapa harus diingatkan tentang satu hal yang tidak dapat kita selesaikan?

Jelas tidak ada yang baru di bawah matahari dalam hal hubungan cinta dan benci kita dengan kematian, terutama dalam hal kesia-siaan hidup kita. Kita sering mengatakan pada diri sendiri, yang terpenting bukanlah apa yang nampak di luar, melainkan siapa kita di dalam. Jika industri kesehatan dan kecantikan merupakan indikasi di mana nilai-nilai kita yang sebenarnya berada, maka mereka yang lebih fokus pada apa yang di “dalam” akan jauh tertinggal di belakang. Kesehatan fisik memang sangat penting—namun, ketika kesehatan fisik kita menjadi penanda identitas kita, kita kehilangan pandangan akan surga. Tidak ada subjek yang lebih menakutkan daripada kematian bagi seseorang yang takut akan penuaan. Namun, tidak peduli berapa mil kita berlari, berapa putaran kita berenang, atau berapa banyak Botox yang kita suntikkan, tidak ada jalan keluar: akhirnya setiap dari kita akan berjumpa dengan kematian. Terlepas dari segala upaya kita, kefanaan mengetuk pintu kita: mata yang meredup, rambut menipis, pinggang menebal, otot menyusut, tubuh mengendur, jam tidur berkurang, dan ingatan kita akan memudar. Seiring bertambahnya usia, kita merasakan penurunan suhu dan tekanan udara meningkat, kita mendengar daun-daun bergetar saat badai yang disebut kematian itu membayang di cakrawala. Pemazmur menggambarkannya sebagai “kegentaran terhadap dunia orang mati,” yang melukiskan tentang jurang besar dan tak terpahami di mana “tali-tali maut telah meliliti aku / kegentaran terhadap dunia orang mati menimpa aku; / aku mengalami kesesakan dan kedukaan” (Mzm. 116:3).

Jadi kuatkanlah hati Anda, masalah kita bukanlah bahwa kita mengalami ketakutan sehubungan dengan kematian—semua orang mengalaminya. Potensi kerugian dan keuntungan terletak pada bagaimana kita menanggapi ketakutan ini. Pandangan yang sehat tentang kematian bisa sangat membantu kita dalam memandang hidup ini. Saat kita merengkuh kefanaan kita, kemampuan kita untuk melihat akan berubah. Mata duniawi kita yang redup sebenarnya menjadi lebih cemerlang saat terfokus pada keabadian. Konsep memento mori memupuk visi semacam itu. Seperti yang dikatakan rasul Paulus: “Sebab kami tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tak kelihatan, karena yang kelihatan adalah sementara, sedangkan yang tak kelihatan adalah kekal”. (2Kor. 4:18).

Ketika saya memikirkan “pencarian makna kematian” yang traumatis bagi saya sebagai anak muda, saya sangat bersyukur bahwa pada usia 19 tahun saya menemukan jawaban yang mengubah saya dan jalan hidup saya. Beberapa hal menakutkan yang tidak diketahui tentang kefanaan tidak pernah benar-benar hilang—bahkan, saya masih bisa merasa ketakutan ketika saya mencoba memenuhi kepala saya dengan kata “selama-lamanya.” Namun, hari ini yang menjadi fokus perhatian saya adalah pertama, sebuah pengakuan; kedua, pertanyaan baru; dan ketiga, permintaan. Pengakuan saya sederhana: “Tuhan, saya khawatir tentang apa yang saya miliki, saya khawatir tentang penampilan saya, dan saya khawatir tentang masa depan saya.” Pertanyaan saya praktis: “Tuhan, bagaimana saya akan hidup hari ini dalam perspektif bahwa saya akan menghabiskan kekekalan bersama-Mu?” Dan permintaan saya: “Tuhan, tolong saya benar-benar melihat apa yang benar-benar penting sehingga saya dapat melakukan apa yang paling penting di mata-Mu.”

Paskah ini, saat Anda menghidupi dunia di sekitarmu, harapan kami adalah agar Anda memikirkan hari kematian Anda. Kami percaya bahwa tema memento mori akan membawa Anda ke tempat-tempat baru dengan cakrawala yang cerah. Lagi pula, apa yang muncul di cakrawala itu bukanlah badai, melainkan kumpulan orang kudus yang telah pergi mendahului kita, menantikan untuk menyambut kita masuk ke dalam keabadian.

Pertanyaan Refleksi:



1. Apakah Anda pernah memiliki pengalaman mengejutkan ketika berhadapan langsung dengan kefanaan diri Anda sendiri?

2. Ketakutan apa yang dapat Anda akui kepada Tuhan? Kekhawatiran apa yang dapat Anda bawa kepada salib Yesus?

3. Saat Anda memikirkan tentang kehidupan dan kematian Anda, apakah Anda merasakan adanya gejolak tentang apa yang Tuhan anggap paling penting dalam hidup Anda?

Erik Petrik adalah kepala tim kreatif di Christianity Today. Ia dan istrinya, Kelli, memiliki 5 anak dan tinggal di Edwards, Colorado.

Artikel diterjemahkan oleh David Alexander Eden.

Artikel ini merupakan bagian dari New Life Rising yang menampilkan artikel dan pendalaman Alkitab yang merefleksikan makna kematian dan kebangkitan Yesus. Terbitan khusus ini yang dapat digunakan selama masa Prapaskah, Paskah, atau kapan saja. Pelajari lebih lanjut di http://orderct.com/lent.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Hidup Saat Kedatangan

Yesus, ketika Ia bangkit dari kubur, dikira seorang penunggu taman. Kisah ini adalah kisah favorit saya.

Christianity Today February 21, 2023
Image: Illustration by Bethany Cochran

Aku akan membuat sungai-sungai memancar di atas bukit-bukit yang gundul, dan membuat mata-mata air membual di tengah dataran; Aku akan membuat padang gurun menjadi telaga dan memancarkan air dari tanah kering. – Yesaya 41:18

Unduh Renungan Prapaskah

Seringkali ketika dalam kondisi paling lembap dan gelap, ketika hujan sudah turun dan kesabaran mulai menipis, tunas-tunas hijau kehidupan baru akan mulai muncul. Benih yang telah mati dan terpendam adalah benih yang akan muncul di sisi lain dari pembusukan dalam kehidupan yang baru.

Saya memegang segenggam sisa-sisa tanaman kering di tangan saya dan menatap teman saya yang baru saja memberikannya kepada saya. “Apa ini?” tanya saya sambil membolak-balikkannya untuk melihat sisa-sisa tanah yang mengering dan menempel di sulur-sulur yang sepertinya dulu adalah akar. Lyndon Penner, teman baik saya yang telah menulis buku-buku tentang berkebun pada kondisi ekstrem di padang rumput Kanada, menunduk pada bongkahan kering tersebut dan tersenyum. “Bongkahan ini menyimpan rahasia,” katanya, “ini hidup, dan ini adalah hadiah saya untukmu.” Bongkahan itu terlihat sangat tidak hidup. Saya meremas batangnya, dan meskipun tampak mati, tidak ada dedaunan yang rontok—sebuah petunjuk bahwa tidak semuanya seperti yang terlihat.

Mawar Palsu Yerikho (The False Rose of Jericho) bukanlah mawar ataupun dari Yerikho. Ini adalah jenis tanaman paku kawat yang, ketika dihadapkan pada kondisi yang buruk, akan mengering, menyusut, lepas dari tanah, dan menggulung menjadi bulatan sampah rapuh seukuran bola bisbol. Warnanya tidak hijau lagi, dan bagi mata saya yang tidak terlatih, benda itu kelihatan benar-benar mati. Beberapa orang menyebutnya “tanaman batu” untuk alasan yang bagus (tanaman ini dijual di toko permata lokal kami), tanaman ini juga disebut “lumut kebangkitan” karena bahkan setelah beberapa tahun, tanaman ini akan menyingkapkan suatu rahasia. Kami mengumpulkan anak-anak perempuan kami di sekitar piring kecil berisi air dan meletakkan tanaman paku kawat yang kecoklatan tersebut di dalamnya. “Tuangkan air di atasnya juga. Biarkan tanaman itu tahu kalau sekarang sudah aman untuk hidup kembali,” saran Lyndon. Dalam beberapa jam tanaman itu mengembang seperti bayi yang meregang untuk napas pertamanya dan berubah warna menjadi hijau cerah. Kami terkagum-kagum. Ketika saya bertanya kepada Lyndon apa yang terjadi, dia menyentuh tepian tanaman yang masih mengembang itu dan menjelaskan bahwa sistem pembuluh tanaman ini tidak seperti pada tanaman lainnya: “Tanaman ini diciptakan berbeda. Tanaman ini diciptakan untuk hidup kembali.

Pakar tanaman seperti Lyndon memiliki perasaan yang berbeda dan penuh makna tentang apa yang hidup dan apa yang mati. Sebuah pohon yang tumbang ke permukaan hutan dapat membawa lebih banyak kehidupan dalam kematiannya daripada ketika pohon itu masih hidup. Biomassa dari sebuah pohon yang mati akan menjadi inang bagi kumpulan bakteri, jamur, tumbuhan, serangga dan hewan, bahkan ruang kosong yang ditinggalkannya di hutan memberi ruang bagi cahaya baru untuk memicu tunas-tunas segar dan pertumbuhan generasi berikutnya. Benih dan umbi memiliki potensi lebih untuk masa depan daripada tanaman tua yang menghasilkannya. Apa yang mati, kering, dan terbang ke sana kemari di kebun dapat menjadi bahan kehidupan baru di tahun depan. Bahkan beberapa benih hanya terbuka dan bertunas setelah kebakaran hutan melahapnya: ini adalah misteri yang membingungkan yang menjalin harapan dan kehilangan secara bersamaan dalam simpul yang hanya bisa diurai oleh kesabaran.

Misteri gereja juga serupa dan sebuah imajinasi yang mempesonakan mungkin akan mengungkapkan apa yang sebenarnya selama ini. Kisah gereja adalah teka-teki dengan kombinasi kata dan gambar yang mengeja kisah salib dalam hidup kita. Seharusnya tidaklah mengejutkan bagi kita jika komunitas Allah akan menjalani kelahiran kembali melalui ritme musim seperti benih yang terkubur dan hidup kembali. Yesaya 41 berbicara tentang kehausan umat Allah yang tercekik debu, yang sangat mirip dengan tanaman paku kawat yang kering kecoklatan—terlepas, rapuh, dan tidak menentu—dan gambaran tersebut memberikan bentuk bagi ketidakpastian kita sendiri. Namun, masih ada gaung pengharapan, sekalipun melalui bahasa yang paling serius: “Aku telah memilih engkau. Aku tidak akan menjatuhkanmu. Jangan panik. Aku ada bersamamu.” (Yes. 41:9–10 terjemahan Alkitab versi The Message).

Gereja akan menyusut ketika tidak dapat bertumbuh, dan akan menjadi hidup ketika menemukan kembali sumber kehidupannya. Dalam pengalaman saya, gereja diciptakan untuk berkembang dengan dua syarat yang telah Yesus tetapkan bagi kita: kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama. Jika gereja tidak berakar dalam kondisi yang sehat ini, gereja akan mengalami kemunduran dan mungkin akan tampak kering dan rapuh, sampai gereja menemukan kondisi tertentu untuk berakar kembali. Saya menyebut ini “katup pengaman” gereja; ketika gereja tidak berakar pada tujuannya yang semula, gereja tidak akan dapat berkembang, sekalipun terlihat seperti ada lapisan pertumbuhan dan kesuksesan. Dapatkah gereja yang tidak mengasihi sesamanya benar-benar disebut gereja? Di dalam gereja terdapat mekanisme untuk penyusutannya, dan sistem pembuluh untuk kelahirannya kembali. Hal ini adalah kabar baik. Ini adalah hal yang pasti untuk tanaman paku kawat. Alih-alih mati, tanaman itu menutup pembuluhnya, "mematikan" diri, dan menanti dengan sabar.

Two Men Contemplating the MoonImage: Caspar David Friedrich / Wikimedia Commons
Two Men Contemplating the Moon

Penyair Malcolm Guite menangkap paradoks kesabaran seperti tanaman paku kawat kering yang terguling-guling tertiup angin. Ia menuliskan kata-katanya dalam “Pujian untuk Pembusukan”:

Dalam kebaruan yang gemerlap,
ada begitu banyak yang mati,
Plastik yang terus ada mencekik hidup kita,
Tempat pembuangan barang-barang yang tak berarti dari ego masing-masing,
Di mana racun dan kepemilikan terus bertambah.
Jadi pujilah Dia di masa yang tua dan membusuk,
Dalam daun berwarna emas muda yang kehilangan bentuk dan ujungnya,
Dalam kompos berbintik-bintik yang gemerisik dan subur,
Dari sanalah materi kehidupan masih tersingkap.

Berdoalah agar kita mempelajari seni yang hilang dari masa lalu kita,
Seni untuk melepaskan dan menabur benih,
Itulah rahasia dari kaum yang rendah dan terlemah Yang mungkin menyelamatkan kita dari hal-hal mengerikan yang masih ada.

Penyanyi dan penulis lagu Kanada, Steve Bell, menulis lagu dengan judul yang sama, meminjam dari tema tersebut, dan merenungkan:

Mungkin tidaklah terlalu buruk hal-hal yang membusuk itu
Gelombang laut yang datang dalam pasang dan surut itu
Cahaya yang naik lalu menetap hingga penghujung hari itu
Detak jantung yang dapat berhenti dan mulai kembali itu.

Sebagai pendeta jemaat di Lake Ridge Community Church, Chestermere, Alberta, dan pendeta Royal Canadian Mounted Police (Polisi Berkuda Kerajaan Kanada) di kota saya, pekerjaan saya adalah berada di hadirat Allah di tengah ritme dari masa kehilangan dan kehidupan yang rapuh. Saya berkumpul dan dengan lembut mencoba untuk merengkuh pengalaman sesama saya yang kering dan menumpuk, serta bertanya-tanya bersama mereka tentang potensi kehidupan. Apakah ada warna hijau di sini? Apakah ada harapan kebangkitan setelah semua yang telah kita lihat? Sinisme, ketakutan, kecemasan, dan kemarahan tidaklah jauh dari tepian pencarian ini; hal-hal tersebut adalah alat tumpul yang kita gunakan saat kita menghadapi kesedihan yang luar biasa. Kita adalah manusia yang memiliki naluri ilahi di dalam diri kita untuk mendorong melawan kegelapan, tetapi sarana kemarahan kita tidak memupuk dasarnya dengan pengharapan. Kehidupan tidaklah datang dengan paksaan.

Yesus, ketika Ia bangkit dari kubur, dikira seorang penunggu taman. Kisah ini adalah kisah favorit saya. “Kata Yesus kepadanya: ‘Ibu, mengapa engkau menangis? Siapakah yang engkau cari?’ Maria menyangka orang itu adalah penunggu taman, lalu berkata kepada-Nya: ‘Tuan, jikalau tuan yang mengambil Dia, katakanlah kepadaku, di mana tuan meletakkan Dia, supaya aku dapat mengambil-Nya.’ Kata Yesus kepadanya: ‘Maria!’ Maria berpaling dan berkata kepada-Nya…” Saya memasuki momen intim dalam Yohanes 20 ini karena di sini Yesus bertemu dengan dunia yang rusak, yang runtuh dengan sendirinya, terhuyung-huyung karena kematian di atas bukit Golgota. Di sini, dalam kisah ini, tampak tindakan kasih pertama dari Yesus setelah kebangkitan-Nya: Ia ketahuan sedang berkebun. Pribadi yang bercerita tentang benih dan rumput liar, dan sudah ada di awal dunia diciptakan, di sini tampak sibuk di taman kuburan, dengan jari-jari yang memindahkan kerikil, membersihkan tanah tersebut dan bertanya-tanya tentang pertumbuhan, seperti yang layaknya dilakukan oleh tukang kebun di mana pun. Yesus, dengan telapak tangan menggenggam debu dunia yang Ia cintai ini, bagi saya menjadi gambaran kehidupan gereja yang paling indah dan paling penuh pengharapan.

Dalam beberapa minggu terakhir, tangan saya telah membuka pintu bagi mereka yang sedang dalam proses menuju penahanan. Tangan saya juga dengan hati-hati telah menerima tali tiang gantungan yang dibuat sendiri oleh orang yang mencoba bunuh diri, yang akhirnya diserahkan dengan tetesan air mata. Dan tangan saya juga telah memegang tangan orang yang sedang menunggu operasi. Saya juga membuat makanan ringan untuk anak-anak tetangga, menuangkan bergalon-galon kopi bagi mereka yang memiliki cerita untuk dibagikan, dan membolak-balik kertas dalam rapat panitia. Kita rapuh, terbatas, dan penuh keraguan—tercabut dari akar dan mencari-cari air, tetapi di sinilah kita menemukan bahwa kita terbuat dari sesuatu yang berbeda. Tangan kita diciptakan untuk merawat permukaan tanah. Dekat permukaan tanah adalah tempat kematian dan kehidupan bertemu.

Agama, perusahaan, dan kerajaan, semua sangat mengkhawatirkan kematian. Mereka memecat, mempekerjakan, menggabungkan, dan memaksakan kehendak mereka untuk memastikan mereka tetap hidup. Yesus disalibkan oleh mereka yang menganggap-Nya terlalu berisiko bagi kehidupan mereka. Ia bukanlah ancaman bagi hidup mereka; Ia menawarkan hidup kepada mereka.

Kita adalah orang-orang yang melangkah di jalan Yesus. Gereja diciptakan untuk hidup kebangkitan, dan untuk memberikan diri kita dalam kasih bagi sesama. Kita telah memiliki pemahaman, yang dibangun di dalam Kristus, bahwa menjadi yang terakhir, terhilang, terpakai, dan kering bukanlah akhir dari diri kita. Di luar makam Lazarus, Yesus mendekat kepada Marta untuk menyingkapkan misteri Paskah: “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati,”(Yoh. 11:25). Bahkan dalam kematian, kita hidup. Begitulah kita diciptakan.

Pertanyaan Refleksi:



1. Kehidupan manusia penuh dengan paradoks, di saat yang sama, kita rapuh dan tangguh, terbatas dan kekal. Bagaimana Anda menghidupi paradoks menjadi manusia tetapi yang juga diciptakan menurut gambar Allah? Bagaimana inkarnasi, kematian, dan kebangkitan Yesus membantu kita mengerti hal ini?

2. Preston menyarankan bahwa ada “katup pengaman” di gereja, yang jika tidak hidup sebagaimana dimaksudkan untuk mengasihi Allah dan sesama, gereja akan tertidur hingga kondisi berubah. Dengan cara apakah gereja dalam sejarah telah dilindungi oleh kemampuan kodratinya untuk mencabut, mengakar kembali, mereformasi, dan bertumbuh kembali? Apa yang Anda lihat?

3. Preston menulis, “beberapa benih hanya terbuka dan bertunas setelah kebakaran hutan melahapnya: ini adalah misteri yang membingungkan yang menjalin harapan dan kehilangan secara bersamaan dalam simpul yang hanya bisa diurai oleh kesabaran.” Sikap sabar apa yang Yesus contohkan dan inginkan untuk kita teladani?

Preston Pouteaux adalah pendeta Lake Ridge Community Church di Chestermere, Alberta, dan penulis dari beberapa buku, di antaranya buku The Bees of Rainbow Falls: Finding Faith, Imagination, and Delight in Your Neighbourhood.

Artikel diterjemahkan oleh Ivan K. Santoso.

Artikel ini merupakan bagian dari New Life Rising yang menampilkan artikel dan pendalaman Alkitab yang merefleksikan makna kematian dan kebangkitan Yesus. Terbitan khusus ini yang dapat digunakan selama masa Prapaskah, Paskah, atau kapan saja. Pelajari lebih lanjut di http://orderct.com/lent.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube