News

Generasi Z Protestan Ingin Dikenal karena Hobi dan Bakat Mereka

“Lebih mudah mengatakan kepada seseorang [bahwa] Anda pandai bernyanyi atau bermain sepak bola daripada memiliki iman atau terlibat aktif di gereja.”

Four young people playing sports on a colorful background.
Christianity Today December 20, 2024
Illustration by Elizabeth Kaye / Source Images: Unsplash

Generasi Z Protestan tidak ingin dikenal karena iman mereka.

Sebaliknya, mereka ingin bakat, minat, hobi, dan tingkat pendidikan menjadi cara mereka untuk dikenal.

Mereka memandang iman mereka sebagai dukungan selama masa-masa sulit. Berdoa merupakan cara kedua yang paling umum dilakukan Generasi Z untuk mengatasi stres, selain mengalihkan perhatian dengan menonton atau membaca sesuatu.

Meskipun mereka sering dianggap sebagai “generasi yang cemas,” mereka optimis tentang masa depan. Empat dari lima orang Generasi Z Protestan meyakini bahwa mereka dapat memberikan dampak yang berarti di dunia bagi generasi mendatang.

Young Life memberikan CT pandangan eksklusif pada terobosan orang-orang Protestan generasi ini dari rilisan penelitian terbaru mereka The Relate Project, sebuah studi yang meneliti keyakinan dan aspirasi 7.261 anak muda berusia antara 13 dan 24 tahun.

Para peneliti memutuskan untuk tidak menggunakan istilah Injili dalam laporan karena “istilah tersebut dapat memiliki arti yang berbeda bagi orang yang berbeda di negara yang berbeda,” kata Kimberly Nollan, direktur penelitian dan evaluasi di Young Life.

“Fokus dari The Relate Project adalah untuk lebih memahami relasi Generasi Z dengan diri mereka sendiri, dengan orang lain, dan dengan Tuhan,” kata Nollan. “Untuk menjaga fokus tersebut dan menghindari salah tafsir, kami memilih untuk menghindari istilah tersebut.”

Studi ini mencakup delapan negara: AS, Inggris, Meksiko, India, Kenya, Uganda, Etiopia, dan Tanzania. Survei ini dilakukan terhadap remaja dari berbagai keyakinan pada bulan Juli dan Agustus 2023. Sampel umat Kristen dari penelitian ini juga mencakup mereka yang mengidentifikasi diri sebagai Katolik, Ortodoks, Koptik, atau lainnya.

Secara keseluruhan, ditemukan bahwa kepercayaan kepada Tuhan merupakan bagian penting dalam meningkatkan tujuan hidup dan kesejahteraan Generasi Z.

“Kaum muda dapat mengalami perkembangan hidup tanpa iman, tetapi penelitian kami menemukan bahwa mereka yang tidak memiliki kerangka iman (misalnya, ateis, agnostik, dan mereka yang menyebut diri sebagai nones atau tidak memiliki afiliasi agama) melaporkan tingkat perkembangan hidup yang lebih rendah,” demikian pernyataan laporan tersebut.

Para peneliti juga mencatat bahwa perbedaan budaya mungkin menjadi faktor yang memengaruhi beragamnya respons. Misalnya, kelompok diskusi menemukan bahwa orang dewasa muda di empat negara Afrika Timur dan India umumnya lebih enggan untuk berbicara dengan orang dewasa yang lebih tua karena mereka takut menghadapi ketidaksetujuan mereka.

Dalam artikel ini, “global” mengacu pada delapan negara yang disurvei oleh Young Life.

Reputasi dan pengakuan

Setidaknya separuh dari kaum muda Protestan di AS dan Inggris mengatakan bahwa mereka ingin dikenal karena bakat mereka (54%), serta minat atau hobi mereka (52%).

Hanya sekitar 1 dari 3 (32%) yang ingin diakui karena agama atau kepercayaannya.

Hasil survei serupa ditemukan di Afrika Timur, India, dan Meksiko. Hampir separuh (43%) Generasi Z Protestan di negara-negara ini lebih suka dikenal karena kualifikasi pendidikan mereka, sementara 2 dari 5 (40%) ingin bakat mereka diakui terlebih dahulu.

Keinginan untuk dikenal berdasarkan agama atau keyakinan mereka menduduki peringkat keempat (27%).

Temuan ini konsisten dengan apa yang diamati Alexis Kwamy tentang orang percaya Generasi Z di Dar Es Salaam, Tanzania, tempat ia tinggal.

“Pergeseran ini menunjukkan cara baru dalam mengintegrasikan iman ke dalam kehidupan sehari-hari, di mana identitas agama tidak selalu diungkapkan secara terbuka, melainkan justru terjalin dengan pencapaian pribadi dan kontribusi sosial,” tutur Kwamy kepada CT.

Chris Agnew, seorang pemimpin Pioneer Mission di Coastal Church di Portrush, Irlandia Utara, setuju. “Agama dianggap sebagai sesuatu yang negatif, atau hal yang bersifat pribadi,” katanya. “Spiritualitas mungkin lebih mudah diterima, tetapi lebih mudah untuk mengatakan kepada seseorang [bahwa] Anda pandai bernyanyi atau bermain sepak bola daripada memiliki iman atau terlibat aktif di gereja.”

Sejumlah pemimpin lain berpendapat hasil survei ini masih bisa diperdebatkan.

“Anak muda yang diperkenalkan kepada Kristus sejak usia dini menghargai [dikenal karena] keyakinan agama mereka,” kata Patrick Barasa, sekretaris umum pelayanan kampus Focus Uganda. “Sementara mereka yang cenderung ke arah sekularisme hidup berdasarkan minat pribadi.”

Format tradisional partisipasi gereja juga dapat berkontribusi pada bagaimana identitas Generasi Z Protestan ini terbentuk, kata Mary Olguin, sekretaris umum pelayanan mahasiswa Compa (Compañerismo Estudiantil) di Meksiko.

Ada anggapan bahwa “seorang Kristen menjadi unggul berdasarkan cara mereka melayani (misalnya, dengan menunjukkan bakat mereka dalam ibadah), bukan berdasarkan buah-buahnya,” ungkapnya.

Raychel Sanders, 21, adalah seorang pelari dan pemanjat tebing yang antusias. Namun, dia juga telah belajar untuk merasa nyaman membangun identitas Kristen secara publik.

Sebagai mahasiswa baru di Mississippi State University, dia pernah mengomentari keindahan dan kerumitan ciptaan selama percakapan dengan seorang profesor agnostik di sekolah. Dia ingat profesor tersebut menatapnya dengan aneh.

Namun, sejak kejadian itu, Sanders telah menjawab pertanyaan profesornya tentang kekristenan dan berbagi imannya dengan profesornya beberapa kali.

Selain dikenal karena kegiatannya di luar, dia ingin dikenal karena “memiliki belas kasihan kepada orang lain demi memenangkan mereka bagi Kristus, tetapi tanpa mengorbankan apa yang benar,” katanya.

Orang muda dewasa lainnya, seperti Ananya Rachel Mathew dari Uttar Pradesh, India, menegaskan bahwa kemampuan seseorang dapat dipakai untuk mewakili dan menghormati Tuhan. “Semua bakat kita merupakan anugerah dari Bapa di surga,” kata pemudi berusia 21 tahun yang gemar menyanyi, menari, dan melukis tersebut. “Bapa yang telah memberikan talenta kepada kita, akan senang jika kita menggunakannya untuk memuji dan memuliakan nama-Nya.”

Doa dan stres

Secara global, doa menempati peringkat kedua (43%) di kalangan Generasi Z Protestan sebagai mekanisme mengatasi stres dan terkait dengan mengalihkan perhatian dengan menonton atau membaca sesuatu (43%). Mendengarkan musik menduduki peringkat pertama (62%), sementara membaca atau merenungkan Kitab Suci menduduki peringkat kelima dari bawah (19%).

Generasi Z cenderung menjalani kehidupan yang serba cepat dan mungkin tidak meluangkan waktu untuk berdoa secara pribadi, kata Olguin di Meksiko. “Dinamika ini sering kali membuat doa, yang sering dianggap sebagai praktik pasif atau tidak langsung terkait dengan pencapaian langsung mereka, menjadi terabaikan atau dilakukan secara cepat dan mekanis,” katanya.

Namun Olguin memperhatikan bahwa lebih banyak mahasiswa menghadiri pertemuan doa Compa setelah pandemi dan percaya hal ini karena mereka senang berdoa dalam komunitas.

Meskipun doa di depan umum mungkin dilakukan dengan mudah oleh generasi muda Kristen di Meksiko, hal itu tidak terjadi dengan para remaja yang bekerja bersama Bruce Campbell di pelayanan kaum mudanya yang berbasis di Irlandia Utara, Exodus.

“Ketakutan paling umum yang saya dengar dari anak muda terkait doa adalah ketakutan mereka untuk berdoa dengan suara keras di tengah kelompok,” katanya.

Campbell telah memperhatikan adanya peningkatan minat untuk mendengarkan musik penyembahan di kalangan orang muda Kristen di wilayahnya, yang ia duga mungkin terkait dengan meningkatnya keinginan mereka untuk mencari pengalaman emosional.

“Meskipun saya melihat hal ini sebagai hal yang positif, saya terkadang berhati-hati tentang bagaimana tren ini dapat mengarah pada pemuridan yang kurang membutuhkan pengorbanan,” kata Campbell. “Jauh lebih mudah untuk bersantai mendengarkan album Bethel daripada membaca kitab nabi-nabi kecil atau bercerita kepada teman Anda tentang Yesus.”

Kepedulian terhadap kesehatan mental

Memelihara kesehatan mental pribadi dan kesejahteraan mental komunitas merupakan prioritas utama bagi Generasi Z Protestan di delapan negara yang disurvei, melebihi masalah lain seperti kesempatan kerja yang memadai, perubahan iklim, dan ketegangan agama.

Di Inggris, kesehatan mental yang buruk “telah mencapai tingkat yang hampir seperti pandemi,” kata Sonia Mawhinney, direktur regional Young Life untuk Inggris dan Irlandia. Kurangnya bantuan profesional yang tersedia juga telah menempatkan “beban berat bagi para pemimpin muda, baik yang bekerja penuh waktu maupun sukarelawan, untuk mencoba membantu kaum muda dalam krisis kesehatan mental ini,” katanya.

Saat ini, lembaga pelayanan tersebut sedang menjajaki cara untuk bermitra dengan sekolah, gereja, klub olahraga, dan lembaga pemerintah di seluruh wilayah untuk memberikan dukungan dan perawatan bagi kaum muda.

“Dorongan untuk pertolongan mandiri (self help) dan meningkatkan kesejahteraan di masyarakat saat ini dapat membingungkan kaum muda,” kata Agnew, salah satu pemimpin yang berbasis di Irlandia Utara. Ia mencatat bahwa sulit bagi orang-orang percaya dari Generasi Z untuk memahami di mana peran Yesus dalam kehidupan mereka.

“Tantangannya adalah dengan lembut mendampingi orang-orang dalam perjalanan mereka, tetapi juga tidak membiarkan perjuangan pribadi siapa pun menghapus undangan ilahi untuk bermitra dengan Allah [dalam] apa yang Dia lakukan di dunia,” katanya.

Membangun hubungan antargenerasi yang lebih kuat merupakan faktor penting lainnya dalam mengatasi perjuangan kesehatan mental yang dihadapi oleh orang-orang percaya dari Generasi Z, kata para pemimpin kepada CT. “Kebisuan seputar topik kesehatan mental dari generasi yang lebih tua menciptakan jarak dengan generasi berikutnya,” kata Tanita Maddox, asisten direktur regional Young Life di Spokane, Washington. “[Kita seharusnya] menjadi seperti Yesus yang menangis di makam Lazarus, meskipun Yesus tahu bahwa Ia akan membangkitkan Lazarus lagi.”

Pada Maret 2024, Olguin dan timnya menyelesaikan sebuah panduan berjudul Salud mental en la pastoral universitaria (kesehatan mental dalam pelayanan kampus) yang membekali para pemimpin yang bekerja sama dengan Generasi Z di Meksiko.

Panduan tersebut, yang mencakup topik-topik seperti teologi emosi dan sindrom kelelahan (burnout), dibuat bersama dengan Logos and Cosmos Initiative dari International Fellowship of Evangelical Students (IFES). Edisi kedua saat ini sedang dalam proses pengerjaan dan dijadwalkan terbit pada Februari 2025.

Sementara itu, Young Life Meksiko sedang melakukan penelitian untuk memeriksa kesehatan mental, fisik, dan emosional para pemimpin dan anak-anak yang terlibat dalam pelayanan tersebut, menurut direktur regionalnya, Pratt Butler.

Dampak masa depan

Lebih dari 4 dalam 5 (83%) orang Generasi Z Protestan percaya mereka dapat mengubah dunia menjadi lebih baik.

Generasi Z yang berafiliasi dengan agama merasa lebih diberdayakan untuk melakukan perubahan, demikian hasil temuan Relate Project. “Umat Kristen Protestan dan Ortodoks memiliki rasa kemampuan bertindak yang paling kuat, sementara rasa tersebut paling rendah ada di kalangan ateis, agnostik, dan ‘nones’,” menurut laporan tersebut.

Menyebarkan Injil “kepada sebanyak mungkin orang di sekitar” adalah cara Mathew, pemuda berusia 21 tahun di India, membayangkan untuk menciptakan dampak yang berarti bagi generasi mendatang. “Kita adalah umat-Nya yang telah ditetapkan untuk menjalankan tugas yang sangat spesifik—yaitu menyebarkan firman-Nya kepada orang lain yang belum mengenal Tuhan kita,” katanya. Namun, sejumlah pemimpin berpendapat bahwa iman seseorang tidak serta-merta menaikkan tingkat pengaruhnya, khususnya jika iman hanya dianggap sebagai hubungan yang bersifat pribadi dan personal dengan Allah.

“Bagi kaum muda kita, tindakan untuk menjadikan dunia sebagai tempat yang lebih baik masih terpisah-pisah atau terputus dari iman Kristen mereka,” kata Maddox, asisten direktur regional Young Life AS. “[Namun] hubungan kita dengan Allah seharusnya mendorong kita untuk menghadirkan Kerajaan Surga di bumi ini dengan peduli terhadap hal-hal yang Allah pedulikan, dan bertindak sesuai dengan hal-hal tersebut.”

Generasi ini sangat penuh belas kasih, kata Mawhinney, direktur Young Life Inggris dan Irlandia. “Kaum muda merasa sangat takjub ketika mereka menemukan apa yang Alkitab katakan tentang hasrat mereka akan keadilan dan kepedulian terhadap ciptaan,” katanya.

“Ketika kita mengajarkan mereka seluruh meta-narasi Kitab Suci dan bagaimana visi penebusan Allah mencakup perlunya mengasihi sesama dan dunia yang Ia ciptakan, kaum muda terkejut sekaligus terinspirasi untuk melihat bahwa hasrat mereka selaras dengan kehendak Allah.”

Pelaporan tambahan oleh Surinder Kaur

Diterjemahkan oleh Mellie Cynthia.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui emailFacebookTwitterInstagram, atau Whatsapp.

Church Life

Gereja yang Cemas

Mengapa gereja kesulitan menangani penyakit mental dengan baik dan bagaimana kita dapat membantu mereka yang sakit mental dengan lebih baik?

Christianity Today December 20, 2024
Illustration by Elizabeth Kaye / Source Images: Wikimedia Commons, Unsplash

Hampir lima tahun yang lalu, seorang pendeta terkenal—yang dengan berani dan terbuka berbagi tentang perjuangannya melawan depresi mengakhiri hidupnya. Setelah kematiannya, beredar luas seruan di platform media sosial agar pendeta dengan masalah kesehatan mental dibebaskan dari jabatan mereka.

Saya mengerti motivasinya. Argumen itu dikemukakan karena adanya kekhawatiran untuk mencegah tragedi serupa. Namun sebagai pendeta yang telah menanggung siksaan mental kronis, seruan yang sederhana itu membuat saya menganggapnya sebagai contoh kecanggungan yang tersebar luas di dalam gereja dalam menangani penyakit mental. Pengajar-pengajar Kristen terkemuka, termasuk penulis dan pendeta California, John MacArthur, telah membantah adanya kondisi yang dapat didiagnosis seperti OCD dan ADHD.

Dalam pelayanan saya sendiri, pergumulan melawan kecemasan dan OCD telah terbukti menjadi lahan yang subur untuk terkoneksi dengan orang lain. Membuka diri mengenai kehancuran dalam pikiran saya telah menuntun pada hubungan yang lebih dalam saat Allah mengambil penderitaan yang awalnya terasa seperti kekurangan, dan menggunakannya untuk melayani. Kuasa-Nya, sebagaimana yang Ia katakan, tampak dalam kelemahan kita (2Kor. 12:9).

Jadi saya merasa terhibur melihat meningkatnya perhatian pada kesehatan mental dan belas kasihan terhadap penyakit mental dalam budaya kita. Sumber daya Kristen yang membahas persimpangan antara iman dan penyakit mental juga berkembang, memberikan jalur yang berlandaskan teologis menuju perawatan yang lebih baik. Lalu ada banyak sekali contoh jemaat yang dengan kuat menunjukkan kasih Kristus kepada mereka yang sedang bergumul dengan masalah mental.

Namun, stigma yang menyertai penyakit mental tetap ada, dan di lingkungan gereja, masalah ini sering kali semakin rumit karena ketidaktahuan atau teologi yang salah arah. Para pendeta cenderung menjadi “penanggap pertama” bagi orang Kristen yang mengalami tekanan psikologis, tetapi banyak pendeta tidak memiliki kemampuan untuk mengenali atau mengobati penyakit mental.

Kurang dari 10 persen orang yang mencari nasihat dari pendeta akhirnya dirujuk ke profesional kesehatan mental, bahkan ketika mereka terbukti memerlukannya. Kemudian kebutuhannya sangat mendesak, sekitar satu dari lima orang dewasa Amerika menghadapi penyakit mental yang dapat didiagnosis (dengan tingkat keparahan yang sangat bervariasi), menurut Institut Kesehatan Mental Nasional—angkanya meningkat menjadi satu dari dua remaja.

Pada tahun-tahun awal menjadi pendeta, saya tidak siap menghadapi derasnya kebutuhan manusia yang saya hadapi dalam pelayanan. Pelatihan terbatas yang saya terima di seminari mengenai kesehatan mental tidak memberi saya cukup pengetahuan agar merasa lebih siap.

Menabrak tembok mental sendiri secara drastis, mengubah pemahaman saya dan memberi saya belas kasih yang lebih besar. Ternyata ayat-ayat yang sama yang Anda kutip untuk jemaat yang cemas kedengarannya sangat berbeda ketika Anda adalah orang yang lumpuh karena kecemasan.

Ada penghiburan dan kekuatan yang tak tertandingi yang dapat ditemukan di dalam Dia yang menanggung semua kesedihan dan kelemahan kita, termasuk kesedihan pikiran dan jiwa. Namun orang percaya yang terjerumus dalam krisis mental sering kali harus berhadapan dengan komunitas yang menunjukkan rasa yang sangat tidak nyaman ketika melihat penderitaan yang berkelanjutan dan belum terselesaikan.

Baru-baru ini saya mendengar seorang pembicara Kristen terkenal di radio, dengan tegas menyatakan bahwa orang-orang yang terjebak dalam depresi dan kecemasan tidak mengalami urapan Tuhan. Pesannya jelas: Jika Anda merasakan perasaan yang salah, Anda tidak akan menerima berkat Tuhan. Pemikiran seperti itu mungkin terdengar alkitabiah tetapi mempromosikan Injil yang tidak memiliki anugerah.

Jadi bagaimana seharusnya gereja menanggapi penyakit mental? Bagaimana kita bisa lebih peduli terhadap satu sama lain? Saya meminta sekelompok penulis Kristen terkemuka, pakar, dan sesama penderita penyakit mental untuk memberikan tanggapan.

Wawancara ini telah disunting dan diringkas.

Apa sebenarnya definisi kesehatan mental yang baik?

Steve Cuss, penulis dan pembawa acara siniar Being Human di CT: Pertanyaan yang fantastis. Kesehatan mental adalah saat cara Anda melihat diri sendiri, orang lain, dunia, dan Allah sesuai dengan kenyataan. Anda mampu berpikir jernih, dan memiliki akses terhadap beragam emosi tanpa tenggelam di dalamnya.

Aundrea Paxton, salah satu pembawa acara siniar Rise and Form, psikolog klinis dan pendiri Take Heart Counseling: Alkitab memberi kita gambaran sekilas tentang seperti apa kesejahteraan dan kesehatan yang sempurna. Dalam Kejadian 2, kita melihat bahwa manusia berkembang saat mereka memiliki hubungan yang kuat dengan Allah dan sesama, saat mereka merawat tubuh fisik mereka, saat mereka menghargai dan menikmati ciptaan Allah, saat mereka memiliki tujuan, dan saat mereka tidak merasa malu.

O. Alan Noble, profesor madya bahasa Inggris di Oklahoma Baptist University dan penulis On Getting Out of Bed_:_ Salah satu aspek kesehatan mental yang baik adalah kemampuan untuk duduk sendiri tanpa gangguan dan tidak jatuh ke dalam kecemasan, depresi, atau keputusasaan. Hal ini melibatkan perasaan berbagai emosi manusia, tetapi tidak membiarkan emosi tersebut mengesampingkan kemampuan Anda untuk bernalar atau keinginan Anda untuk mengusahakan kebaikan.

Mengapa ketiadaan kesehatan mental yang baik membuat kita tidak tenang? Saya menduga sebagian besar dari kita merasa tidak siap untuk mendampingi orang-orang dengan masalah kesehatan mental. Apakah itu hanya terjadi pada orang Kristen?

Hannah Brencher , pendidik secara daring, pembicara TED, dan penulis Come Matter Here dan Fighting Forward: Mendukung seseorang menghadapi penyakit mental adalah hal yang sulit. Itu kenyataan yang tidak bisa ditutup-tutupi atau diremehkan.

Jujur saja, sebelum saya mengalami depresi, saya rasa saya tidak tahu bagaimana cara untuk mendampingi seseorang yang sedang mengalami depresi. Mengalami dan melewati depresi memungkinkan saya memahami bagaimana saya perlu dirawat dan kemudian mengungkapkannya kepada orang lain.

Paxton: Meskipun gereja telah menjadi lebih kuat, masih ada sisa-sisa asumsi yang salah tentang bagaimana berbagai emosi dan penyakit berhubungan dengan iman dan keselamatan seseorang.

Asumsi macam apa?

Paxton: Asumsi tentang dosa dan rasa malu dapat menyebabkan orang menyembunyikan, menyangkal, dan menekan kebutuhan kesehatan mental mereka, yang membuatnya sulit untuk menoleransi kebutuhan ini pada orang lain.

Brencher: Saya terkejut melihat banyaknya orang Kristen yang masih berasumsi bahwa penyakit mental berhubungan dengan kurangnya iman kepada Tuhan. Hal itu diungkapkan kepada saya berkali-kali selama saya mengalami depresi berat.

Bagaimana dampaknya pada Anda?

Hannah Brencher: Pemikiran itu sangat merusak, terutama karena saya menggunakan semua energi ekstra untuk mencari Tuhan di tengah pergumulan itu. Sekarang saya paham, tetapi sayangnya dulu saya tidak tahu, bahwa Tuhan tidak menggantungkan tingkat keimanan tertentu di atas kepala saya dan meminta saya untuk mencapai tingkat itu sebelum pertolongan datang.

Butuh waktu lama bagi saya untuk melihat bahwa Tuhan adalah teman dalam perjalanan menuju kesehatan mental, bukan musuh.

Noble: Kaum Injili pada dasarnya peduli dengan penginjilan, dan di dunia sekuler tempat kita hidup, penginjilan dengan mudah menjadi promosi penjualan: “Kekristenan akan membuat hidup Anda lebih baik daripada saat ini.” Kekristenan menjadi hanya salah satu pilihan gaya hidup di tengah banyaknya pilihan.

Saat hal itu terjadi, kita menjadi sangat cemas ketika memberikan indikasi apa pun bahwa hidup kita mungkin tidak baik-baik saja. Jadi, kita menyembunyikan penderitaan kita bahkan dari orang Kristen lainnya karena kita tidak ingin memberi kesan bahwa iman kita lemah atau menjadi saksi yang buruk.

Apa tanggapan Anda ketika orang Kristen yang bermaksud baik mengarahkan orang-orang yang mengalami gangguan kecemasan pada ayat-ayat seperti “Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga” (Flp. 4:6)?

Paxton: Pertama, saya akan mendorong mereka untuk membaca seluruh kitab Filipi. Terlalu sering kita mengambil ayat Alkitab di luar konteksnya. Kedua, saya akan mengingatkan mereka tentang peran Roh Kudus dalam menguatkan kita untuk melakukan apa yang baik bagi kita. Kita tidak dapat berbuat baik dengan kekuatan kita sendiri.

Akhirnya, saya akan memfokuskan mereka pada ayat 7 dari Filipi 4, yang mengatakan, “Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus.” Perilaku yang tercantum dalam ayat 6 hanya untuk memfokuskan kembali kita pada sumber kedamaian itu.

Jadi, menurut Anda apa yang sudah benar dilakukan gereja untuk menanggapi krisis kesehatan mental saat ini?

Paxton: Gereja telah membuat langkah signifikan dalam mempromosikan diskusi seputar kesehatan mental dan mengurangi permusuhan terhadap psikologi. Sekarang ada lebih banyak khotbah dan sumber-sumber materi yang didedikasikan untuk kesehatan mental.

Cuss: Banyak gereja yang saya layani telah bermitra dengan profesional kesehatan mental atau memiliki klinik sendiri dengan terapis berlisensi. Saya melihat semakin banyak pendeta yang berbagi secara terbuka tentang kesehatan mental, dan kita perlahan-lahan menjadi lebih terinformasi mengenai trauma, memahami sifat kompleks dari kesehatan seluruh tubuh dan pemicu trauma.

Dan di area mana harus ada perbaikan?

Cuss: Saya masih melihat banyak orang Kristen dan pemimpin gereja yang merasa cemas dan perlu menghibur orang lain. Mereka tidak menyadari bahwa kata-kata dan nasihat mereka sebenarnya bukan ditujukan kepada orang yang sedang berjuang, melainkan merupakan cara untuk meredakan kecemasan mereka sendiri saat berada di dekat seseorang yang sedang berjuang dengan masalah kesehatan mental yang kompleks.

Tantangan lainnya adalah bahwa pergumulan kesehatan mental harus ditangani oleh seorang profesional terlatih, dan kebanyakan dari kita adalah amatir. Saya rasa kita belum menyediakan cukup sumber daya untuk membantu para amatir agar bisa menghadapi teman sebaya atau jemaat yang sedang berjuang menghadapi kesehatan mental.

Noble: Gereja perlu belajar bagaimana menyeimbangkan nilai sejati dari hikmat rohani dengan nilai sejati dari pelayanan kesehatan mental yang profesional. Ada bahaya menyerahkan semua kasus penderitaan mental kepada profesional kesehatan mental. Bahkan bagi orang Kristen pun mudah untuk memprofesionalkan hal-hal seperti bimbingan, nasihat bijak, nasihat orang yang lebih tua, dan persahabatan. Ada bahaya serupa dalam upaya mengobati semua kasus penderitaan mental hanya dengan doa dan nasihat pastoral.

Apakah ada cara agar gereja dapat menjadi sumber penyembuhan yang sangat ampuh?

Paxton: Gereja adalah tempat di mana kita dapat menemukan aset yang paling berharga untuk memenuhi kebutuhan apa pun: Harapan dalam karya Kristus dan kedamaian dalam keselamatan kekal jiwa kita. Meskipun kebenaran ini tidak menghalangi kita dari mengalami cobaan dan penderitaan dalam hidup, kisah kita tidak akan berakhir dengan kepedihan; kebajikan dan nilai-nilai kita dapat menjadi landasan kita di tengah kekacauan; dan Tuhan kita adalah Maha Pengasih, Mahakuasa, dan Mahatahu.

Cuss: Kesehatan mental sungguh membuat seseorang terisolasi. Gereja dapat menawarkan komunitas penyembuhan yang kuat. Kebanyakan orang tidak menginginkan nasihat kita; mereka menginginkan kehadiran kita. Mereka ingin merasa dilihat; mereka ingin tempat yang aman untuk menjadi diri mereka sendiri.

Dalam Life Together, Dietrich Bonhoeffer mengatakan bahwa pelayanan pertama yang kita berikan kepada satu sama lain adalah mendengarkan. Dia yakin bahwa kita sedang melakukan pekerjaan Tuhan saat kita memberikan perhatian seperti itu, yang merupakan pemikiran yang mendalam.

Noble: Itu mungkin satu-satunya elemen terpenting dalam pemulihan Anda. Gereja, khususnya sebagaimana diwujudkan dalam konteks lokal, adalah suatu komunitas indah yang saling peduli. Dunia kontemporer sangatlah mengisolasi, dan banyak orang tidak memiliki teman, apalagi teman yang dapat mereka andalkan untuk berjalan bersama mereka melewati penderitaan. Seharusnya setiap orang Kristen memiliki teman-teman di jemaat lokal mereka yang dapat melayani mereka.

Cuss: Saya benar-benar melihat hal ini terjadi dalam konteks gereja, dan itu sungguh dahsyat. Saya tahu banyak orang yang berjuang melawan gangguan kesehatan mental yang berkata, “Saya akan tersesat tanpa komunitas gereja saya.”

Sebaliknya, meskipun kita mengetahui kuasa Injil untuk mengatasi masalah kesehatan mental, komunitas yang dipercayai dengan Injil itu justru sering menimbulkan trauma religius yang memperparah tantangan kesehatan mental. Bagaimana kita mendamaikan kedua kebenaran itu?

Noble: Tidak aneh. Itu adalah fenomena yang hadir dalam setiap aspek gereja.

Bagaimana bisa demikian?

Noble: Gereja mengajarkan kesetiaan dalam pernikahan, tetapi pendeta sering kali tertangkap basah berselingkuh. Gereja mengajarkan kita untuk memberi dengan murah hati kepada mereka yang membutuhkan, tetapi banyak orang Kristen mempraktikkan apa yang pernah disebut Francis Schaeffer sebagai “[menggunakan kekayaan yang dikumpulkan] tanpa belas kasih.” Orang Kristen gagal memenuhi standar yang ditetapkan oleh Firman Tuhan. Mereka akan terus melakukannya, secara individu dan kolektif, sampai Kristus datang kembali. Ini adalah ajaran yang sulit.

Cuss: Untuk setiap kisah positif tentang gereja yang membantu, saya mendengar dua kisah yang menyebabkan kerugian besar. Saya pikir trauma religius diperparah oleh beberapa dinamika:

  1. Kita tidak menyadari kuasa rohani yang kita miliki sebagai pemimpin gereja, sehingga perkataan kita memiliki kuasa yang signifikan. Namun, begitu juga dengan Kitab Suci, jadi ketika kita “meresepkan” Alkitab, kita dapat secara tidak sengaja menimbulkan kerusakan.
  2. Beberapa pemimpin agama sama sekali tidak memahami hakikat kesehatan mental, dan mereka melihatnya melalui dikotomi malaikat dan setan yang sederhana, atau mereka menganut versi Kristen tertentu yang berkata “Lihatlah sisi baiknya.” Banyak pemimpin Kristen tidak tahu apa yang harus dilakukan atau dikatakan ketika menghadapi penderitaan seseorang yang luar biasa atau rumit.
  3. Sangatlah rentan untuk membagikan dunia batin dan perjalanan hati Anda, dan ketika seseorang meresepkan solusi Kristen yang terlalu sederhana dan tidak tepat, hal itu benar-benar menimbulkan kerusakan dan semakin mengisolasi Anda.

Paxton: Saya percaya bahwa dua hal dapat benar pada saat yang bersamaan, terutama jika menyangkut Allah. Pertama-tama, sebagai manusia, kita memiliki kelemahan dan kekurangan, oleh karena itu, kita akan menyakiti orang lain. Kedua, Allah dapat bekerja melalui manusia yang tidak sempurna dengan cara yang penuh kuasa. Tidak ada manusia yang mampu mencerminkan kepenuhan karakter Allah dengan sempurna, namun Allah tidak dibatasi oleh hal itu.

Mari beralih dari gereja ke pengalaman Anda sendiri dengan penyakit mental. Kemenangan dalam kekristenan sering disamakan dengan terbebas sepenuhnya dari penderitaan. Namun saya terus kembali pada duri yang belum disingkirkan dalam diri rasul Paulus dan bagaimana kuasa Allah lebih nyata dalam kelemahannya daripada dalam penyembuhan ajaib baginya.

Noble: Sejauh ini, Allah telah meminta saya menanggung penderitaan penyakit mental. Saya berharap dan berdoa, serta berusaha untuk sembuh, tetapi saya beristirahat dalam pemahaman bahwa, pada akhirnya, saya akan disembuhkan, meskipun tidak dalam kehidupan ini. Ini adalah sikap yang saya anjurkan bagi setiap orang yang menderita. Berharap, berdoa, dan berusaha untuk kesembuhan Anda—nasihatilah diri Anda sendiri! Namun taruhlah iman Anda kepada Kristus dan terimalah bahwa Anda mungkin diminta untuk bertahan dan memuliakan Kristus dalam kelemahan.

Brencher: Saya percaya kuasa Allah nyata dalam diri saya melalui kehidupan sehari-hari dan menjalani gaya hidup yang mendukung kesehatan mental saya. Sudah hampir satu dekade saya minum obat untuk depresi. Saya tidak tahu apakah saya akan mengonsumsinya selama sisa hidup saya, tetapi saya tahu bahwa itu memungkinkan saya untuk berkembang setiap hari, yang merupakan hal terpenting bagi saya.

Jadi Anda merasa doa Anda telah terjawab meskipun pertempuran terus berlanjut?

Brencher: Saya rasa kisah saya tidak menjadi kurang baik hanya karena saya tidak memperoleh kesembuhan ajaib. Saya pikir kesembuhan adalah sesuatu yang saya lakukan dan jalani setiap hari, dan ada begitu banyak kuasa di sana.

Paxton: Berakhir pernikahan orang tua saya merupakan pengalaman penting yang mendorong saya mempelajari psikologi. Meskipun itu adalah saat menyakitkan yang meninggalkan banyak luka, saya telah melihat Allah menggunakannya untuk kebaikan-Nya. Ketika saya duduk berhadapan dengan klien-klien saya, terkadang saya memiliki hak istimewa untuk bekerja cukup lama bersama mereka sehingga dapat melihat bagaimana Allah hadir bersama mereka dalam penderitaan mereka, lalu menggunakan penderitaan itu sebagai batu loncatan dalam hidup mereka.

Dalam sejarah penderitaan Anda sendiri, apakah Anda memiliki contoh bagaimana Anda mengalami anugerah dan kesembuhan melalui komunitas Kristen?

Noble: Ada banyak sekali, sampai terlalu banyak untuk dihitung. Hampir semua anugerah dan kesembuhan yang saya alami datang melalui komunitas, melalui teman-teman yang bersedia menelepon saya saat saya mengirimi mereka pesan bahwa saya panik, melalui teman-teman yang berbagi nasihat bijak, melalui teman-teman yang memberi saya teguran tegas tetapi perlu.

Cuss: Saya punya banyak contoh nyata tentang mengalami kasih dan perhatian saat saya sedang tidak sehat. Yang paling menyedihkan adalah pada suatu Minggu pagi, saat saya mendapat kabar seorang teman telah bunuh diri. Saya mendapat berita itu sekitar satu jam sebelum berkhotbah, dan saya terkejut tetapi tidak mengenalinya sebagai keterkejutan. Maka saya pun keluar untuk berkhotbah dan benar-benar hancur di hadapan semua orang. Jemaat saya begitu peduli, orang-orang yang dekat dengan saya pun ikut mendekat dan menunjukkan kepedulian. Mereka yang tidak dekat, meninggalkan saya sendiri. Terkadang kepedulian berarti memberi seseorang ruang, ketimbang membelenggunya dengan kepedulian.

Brencher: Dalam perjalanan saya melawan depresi, saya tidak akan pernah melupakan orang-orang yang hadir secara fisik–membawakan makanan, mengantar saya ke tempat pertemuan, memeluk saya, membuatkan teh, dan menemani saya melewati badai. Kehadiran mereka menghidupkan saya kembali.

Tampaknya kita sepakat tentang kekuatan komunitas dan relasi-relasi kristiani. Akan tetapi apa yang akan Anda katakan kepada seseorang yang menginginkan hal itu tetapi belum menemukan keluarga gereja seperti itu?

Noble: Saya ikut sedih jika ini bukan pengalaman Anda. Komunitas-komunitas ini ada, tetapi Anda harus memiliki niat untuk mewujudkannya. Kalau kita tidak berperan aktif dalam memupuk persahabatan, hal itu tidak akan terjadi.

Brencher: Saya harus terus-menerus mengingatkan diri sendiri bahwa gereja terdiri dari orang-orang, dan kita, manusia, sering kali salah. Teruslah mencari tempat yang di mana kita bisa menemukan anugerah dan kekuatan. Teruslah mencari orang-orang yang akan berjalan bersama Anda melewati hujan. Jika Anda bertemu dengan orang yang hanya bisa menerima Anda saat Anda dalam kondisi terbaik, tetapi tidak saat badai, maka mereka bukanlah orang-orang yang Anda cari.

Aundrea, silakan sampaikan kata penutup. Mengetahui bahwa pendeta tidak dapat memaksa siapa pun untuk mencari bantuan profesional, apa saja indikator yang menunjukkan bahwa ini waktunya untuk merekomendasikan seorang jemaat untuk mencari bantuan profesional?

Paxton: Dukungan untuk penyakit mental harus selalu melibatkan komunitas. Namun, jika salah satu dari hal berikut ini terbukti, sudah waktunya Anda mencari seorang profesional kesehatan mental:

  • Risiko keselamatan apa pun yang melibatkan tindakan menyakiti diri sendiri, penggunaan zat terlarang, atau pikiran atau tindakan bunuh diri.
  • Ketika tekanan yang dialami seseorang berdampak pada kemampuan mereka untuk beraktivitas atau menyebabkan tekanan yang terus-menerus dan/atau meningkat.
  • Perubahan signifikan dalam nafsu makan, tidur, tingkat energi, dan keterlibatan sosial.
  • Periode panjang tanpa perubahan hingga kondisi mental yang buruk atau resistensi terhadap perubahan.

Saya mendorong para pendeta untuk mempertimbangkan memiliki seorang profesional kesehatan mental yang mereka percaya, yang dapat menjadi konsultan berkelanjutan dan mendukung mereka secara pribadi.

J.D. Peabody adalah pendeta di New Day Church di Federal Way, Washington, dan penulis Perfectly Suited: The Armor of God for the Anxious Mind.

Diterjemahkan oleh Denny Pranolo.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui emailFacebookTwitterInstagram, atau Whatsapp.

Church Life

Imam Besar Saya Memahami Penderitaan Saya

Belas kasih Yesus terletak pada pemahaman-Nya yang menyeluruh terhadap luka kita, bukan hanya pada kemampuan-Nya untuk membereskan luka tersebut.

Christianity Today December 19, 2024
Gambar: Ilustrasi oleh Simon Fletcher

Dalam seri CLOSE READING ini, para pakar Alkitab merenungkan suatu bagian Alkitab dalam bidang keahlian mereka yang telah membentuk pemuridan diri mereka dan terus memengaruhi mereka hingga saat ini.

Dalam surat kedua Paulus kepada jemaat di Korintus, ia mendengar Tuhan berkata, “Cukuplah anugerah-Ku bagimu” (2Kor. 12:9 LAI TB 2). Selama tahun-tahun pertama setelah saya membuat pernyataan iman kepada Kristus, kata-kata ini memberi saya penghiburan luar biasa. Mula-mula saya menafsirkannya dalam konteks dosa-dosa dan kekurangan saya sendiri: Ketika saya bersikap kasar kepada orang tua saya atau bergosip tentang seorang teman, anugerah-Nya sudah cukup.

Kemudian, saya mengartikan kata-kata tersebut dalam konteks kesusahan atau kesulitan, seperti ketika saya mengalami cedera lutut yang mengakhiri kemampuan saya untuk berlari, bermain sepak bola, dan football—dan banyak hal lainnya yang saya nikmati untuk dilakukan bersama keluarga dan teman-teman. Melalui tantangan-tantangan itu dan ketidakstabilan apa pun yang tengah saya alami, kemurahan hati Tuhan menjadi benang yang kuat. Dia benar-benar penolong saya yang selalu hadir.

Akan tetapi suatu hari, saya menemukan bahwa segala sesuatunya berbeda. Selama masa sakit kronis dan penyakit yang berkepanjangan, kata-kata yang telah memberi saya obat penenang berubah menjadi batu yang menghancurkan, beban yang menyesakkan yang tidak dapat saya singkirkan atau bersikap pura-pura tidak ada. Dalam gereja, semua teman saya berdiri dengan tangan terangkat penuh sukacita, dan semua orang, kecuali saya, melantunkan bagian reff dari sebuah lagu pujian yang populer: “Your grace is enough.” Saya duduk di kursi saya, diliputi gelombang keputusasaan dan kemarahan yang silih berganti. Orang-orang yang gembira dan sehat mengelilingi saya sambil bernyanyi. Di tengah kerumunan penuh gairah, saya sendirian.

Saat saya mendengar kata-kata itu, saya selalu bertanya pada diri sendiri, anugerah-Mu cukup? Cukup untuk apa, tepatnya? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini menyita perhatian saya.

Saya bukannya tidak percaya lagi pada Tuhan atau bahwa keselamatan akan datang pada akhirnya. Bukan pula karena saya tidak percaya lagi bahwa Tuhan akan menyembuhkan dan menolong orang-orang di sekeliling saya. Saya sungguh percaya bahwa Tuhan dengan murah hati menjawab doa-doa. Namun, setelah satu dekade mengalami rasa sakit, kelelahan, dan penyakit yang membuat saya kehilangan harapan dan merasa sangat kesepian, saya tidak lagi memercayai bahwa itu benar untuk saya. Saya pasrahkan diri saya untuk menanggung penderitaan, untuk sekadar bertahan hidup.

Keputusasaan ini membawa saya ke banyak tempat yang gelap. Ketika orang lain memberi saya nasihat, mereka sering mengemukakan Yesus sebagai model kesetiaan dalam penderitaan, dan meskipun saya menghargai kepedulian mereka (dan setuju dengan landasan berpikir mereka), saya sering memikiran fakta bahwa sebagian besar penderitaan Yesus terjadi dalam waktu satu minggu. Tujuh hari. Saya akui bahwa kadang kala saya merasa iri dengan kematian-Nya yang cepat, meskipun menyakitkan. (Seperti yang saya katakan, saya telah mengalami hari-hari yang gelap.)

Saya didiagnosis dengan penyakit kronis pertama dari sekian banyak penyakit yang saya derita pada tahun 2007, dan setiap tahun, keadaan tampak makin memburuk. Saya menghabiskan sebagian besar tahun 2015 dalam penderitaan, merasakan sakit yang terus-menerus. Rasanya seperti ada yang melilitkan barbel ke tubuh saya dengan lakban. Setiap langkah yang saya ambil terasa sulit, dan ada hari-hari saya menangis ketika harus menaiki tangga ke kamar tidur.

Saya sedang menyelesaikan program Ph.D. dalam Perjanjian Baru, terus-menerus membaca, menulis, menyajikan makalah, mengajar, dan masih merasa khawatir apakah saya sudah melakukan cukup untuk mendapatkan pekerjaan. Saya memaksakan diri sepanjang hari dan kemudian terpuruk begitu melewati ambang pintu rumah kami. Hidup terasa mustahil.

Jika mengingat kembali apa yang saya rasakan, saya tidak mengerti bagaimana saya bisa membuat kemajuan dalam pekerjaan saya—kecuali bahwa penelitian itu dikerjakan dengan tidak banyak bergerak dan suami saya begitu murah hati. Yang saya sadari pada saat itu adalah kemungkinan bahwa saya mungkin melakukan pekerjaan ini dengan sia-sia. Jika saya hampir tidak dapat menyelesaikan penelitian, bagaimana mungkin saya dapat mengajar penuh waktu, seperti yang saya impikan?

Penelitian Ph.D. saya berfokus pada pengutipan lisan dalam bahasa Ibrani. Penulis secara konsisten menggambarkan Bapa, Putra, dan Roh mengucapkan kata-kata dari Kitab Suci. Saya telah menyelesaikan tugas saya mengenai apa yang dikatakan Bapa dalam Ibrani 1:5–13 dan selanjutnya beralih ke Ibrani 2:12–13, perkataan yang diucapkan Anak.

Konteks yang lebih luas dari Ibrani 2:12–13 menyoroti kemanusiaan Yesus, dan ketika saya menulis ini, saya mendapati diri saya merenungkan apa artinya bagi Yesus untuk “menjadi manusia seutuhnya [disamakan dengan saudara-saudara-Nya]” (2:17). Saat saya melihat penekanan pada kemanusiaan Yesus dalam Ibrani 2, saya melihat benang-benang yang saling terkait seperti jaring yang tersebar di setiap halaman. Yesus menjadi manusia merupakan hal yang krusial bagi seluruh argumen di kitab Ibrani.

Ibrani 4:14-16 juga termasuk di antara bagian yang saya teliti. Bagian ini tetap menjadi salah satu favorit saya di seluruh Kitab Suci:

Jadi, karena kita sekarang mempunyai Imam Besar Agung, yang telah melintasi semua langit, yaitu Yesus, Anak Allah, baiklah kita berpegang teguh pada pengakuan iman kita. Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita. Sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai dalam segala hal, hanya saja Ia tidak berbuat dosa. Sebab itu, marilah kita dengan penuh keberanian menghampiri takhta anugerah, supaya kita menerima rahmat dan menemukan anugerah untuk mendapat pertolongan pada waktunya. (LAI TB 2)

Bagian ini muncul pada titik yang sangat penting dalam kitab Ibrani. Banyak cendekiawan berpendapat bahwa bagian ini (terkadang diperluas hingga 4:11–16) berfungsi sebagai transisi penulis dari satu bagian utama ke bagian berikutnya. Ketiga ayat ini mengandung beberapa tema penting dari bagian utama berikutnya (4:11–10:25). Misalnya, meskipun penulis telah menyebutkan pelayanan Yesus sebagai imam (1:3; 2:17; 3:1, 6), ia mengisyaratkan bahwa ia akan menjelaskan, dimulai dengan 4:14–16, mengapa hal itu penting bagi para pendengar.

Bagian ini dan konteks sekitarnya sering kali ditafsirkan sebagai penjelasan tentang keunggulan Yesus dibandingkan imam-imam Lewi (yang membangun retorika penulis tentang perjanjian yang lebih agung di mana Yesus melayani, sebagaimana dirujuk dalam 8:6), serta dipandang sebagai kritik yang ditujukan bagi imam-imam Lewi. Banyak penafsir memahami Ibrani 5:1–10 sebagai kritik terhadap orang Lewi juga.

Namun jika Anda perhatikan dengan saksama, bagian ini sebenarnya membahas kualifikasi Yesus sendiri sebagai imam besar. Dengan kata lain, ini bukanlah sebuah kontras; ini adalah sebuah perbandingan. Bagian ini menunjukkan betapa pentingnya bahwa Yesus adalah manusia, karena “setiap imam besar dipilih dari antara manusia” (5:1).

Kembali ke Ibrani 4:14–16, apa yang saya perhatikan adalah fakta bahwa, di tengah argumen tentang apakah Yesus (yang bukan dari suku Lewi) memenuhi syarat untuk melayani sebagai imam, penulis Ibrani menekankan kemampuan Yesus untuk memahami orang-orang yang dilayani-Nya. Ia mampu “merasakan kelemahan-kelemahan kita” dan “sama seperti kita, Ia telah dicobai dalam segala hal” (4:15). Hal ini sesuai dengan gambaran si penulis sebelumnya tentang Dia sebagai “Imam Besar yang menaruh belas kasihan dan setia”, yang “dapat menolong mereka yang sedang dicobai” karena “Ia sendiri telah menderita ketika dicobai” (2:17–18).

Banyak orang tidak menyadari kekayaan kemanusiaan Yesus dalam kitab Ibrani karena kitab tersebut juga menggambarkan Yesus yang perkasa—seseorang yang disebut sebagai “gambar keberadaan Allah” (1:3) dan yang “telah meletakkan dasar bumi” (1:10).

Untuk penggambaran kemanusiaan Yesus, pembaca sering kali beralih ke Injil. Beberapa kalangan bahkan tampak khawatir ketika kemanusiaan Yesus ditekankan—seakan-akan hal itu bertentangan dengan keilahian-Nya.

Dalam Ibrani 4:14–16, penekanan pada Yesus sebagai manusia tidak salah lagi. Namun penulis memadukan gambaran Yesus yang dicobai dalam segala hal dengan kenyataan bahwa Dia adalah Anak Allah yang melintasi semua langit (ay. 14). Yesus sepenuhnya manusia, dan Dia sepenuhnya Allah. Keduanya tercermin dalam Kristologi kitab Ibrani.

Begitu konsep-konsep ini menyatu dalam pikiran saya, saya memahami bahwa Minggu Sengsara hanyalah sekilas dari penderitaan Yesus. Meskipun tantangan paling berat yang dihadapi-Nya terjadi di minggu itu, Ia mengalami kelemahan dalam bentuk kelaparan (Mrk. 11:12) dan kelelahan (Yoh. 4:6) serta mungkin juga penderitaan sepanjang hidup-Nya di bumi.

Selain itu, kemahatahuan-Nya yang dipadukan dengan pengalaman-Nya sebagai manusia adalah sesuatu yang layak untuk direnungkan secara teologis lebih lanjut. Lagipula, penderitaan apakah yang tidak dipahami Yesus?

Dengan susah payah saya menaiki tangga, memaksa kaki saya bergerak inci demi inci, saya memusatkan pandangan saya pada Yesus, sebagaimana penulis Ibrani mendorong kita untuk melakukannya (12:2).

Namun ketika saya melihat, Dia tidak duduk dengan nyaman di atas, menunggu. Yesus turut menyeret diri-Nya menaiki tangga. Yesus lelah dan kesakitan. Dan Dia bersama saya.

Gambaran solidaritas ini mengubah saya. Allah tidak meminta saya menanggung sesuatu yang Ia sendiri tidak tanggung. Saat saya menatap-Nya, saya menyadari bahwa saya kini dapat melihat-Nya lebih jelas, tetapi Dia tidak pernah kehilangan pandangan terhadap saya.

Saya tidak yakin apakah saya telah menemukan jawaban yang “tepat” untuk pertanyaan tentang apa saja yang cukup bagi anugerah Allah, tetapi ketika kata-kata itu terasa menyakitkan, saya dapat berkata, “Cukuplah anugerah-Mu bagiku, sebab Engkau besertaku.”

Pemahaman baru tentang Ibrani 4:14–16 ini juga memengaruhi relasi saya. Menyaksikan bahwa Yesus menunjukkan empati dan belas kasihan terhadap orang lain karena Ia hadir bersama mereka, itu mengubah cara saya berbicara kepada mereka yang sedang menderita di sekitar saya. Selama beberapa waktu, saya menghindari berbagai ungkapan klise yang tidak membantu ketika saya berbicara kepada mereka yang sedang sakit atau berduka, karena saya tahu betapa sedikitnya manfaat hal itu bagi saya; tetapi saya belum menemukan kata-kata pengganti.

Pemahaman yang lebih mendalam tentang solidaritas ini telah mengajarkan saya pentingnya kehadiran—dengan mengatakan, “Saya turut prihatin dengan apa yang Anda alami” dan mencoba memahami penderitaan mereka.

Jika kita hendak meneladani Kristus—atau mendekati-Nya, seperti yang diajarkan kitab Ibrani—maka tentu saja empati-Nya adalah bagian dari apa yang harus kita miliki. Kita tidak memiliki kemampuan untuk menanggung pengalaman orang lain, sebagaimana Yesus mengambil rupa manusia, tetapi kita dapat menyelami lebih dalam penderitaan mereka. Bagian-bagian dalam kitab Ibrani ini membuat saya berdoa kepada Allah agar Ia memberikan saya pemahaman yang lebih mendalam mengenai apa yang dialami orang-orang di sekitar saya, sehingga saya dapat merawat mereka dengan baik.

Penulis kitab Ibrani menawarkan penghiburan di sini dan saat ini—anugerah dari Allah bagi masa sekarang ini. Sering kali dalam masa-masa penderitaan saya, orang-orang mendesak saya untuk berharap akan kesembuhan yang mungkin terjadi; mereka berdoa dengan sungguh-sungguh agar saya mengalami kelegaan. Doa-doa itu tidak salah arah. Juga tidak bermaksud jahat. Namun, doa-doa itu tidak memberikan penghiburan yang sama bagi saya.

Ketika saya menemukan solidaritas dengan orang lain yang mengalami penderitaan dan penyakit kronis, saya mendengar mereka menceritakan frustrasi yang sama. Kami tahu bahwa doa-doa untuk kesembuhan itu baik dan mencerminkan kepercayaan terhadap kuasa Allah, tetapi kami tidak tahu apakah kesembuhan adalah kehendak Allah. Kami membutuhkan doa dan harapan untuk keadaan kami saat ini.

Pada akhirnya, harapan tidak datang dalam bentuk kesembuhan bagi saya. Harapan datang melalui seorang teman baik, yang juga berjuang karena penyakit kronis, dan harapan datang melalui teologi Ibrani.

Setahun atau dua tahun setelah saya menyelesaikan penelitian saya tentang Ibrani 4, seorang teman lain meminta saya untuk berbagi tentang iman saya sehubungan dengan penderitaan dan penyakit kronis yang saya derita. Saat saya mempersiapkannya, saya menyadari betapa besar kemurahan Allah kepada saya. Saya jatuh cinta pada kitab Ibrani saat saya masih kuliah karena saya terpesona dengan cara penulis menggunakan Kitab Suci dan gambaran keimamatannya. Saya begitu tertarik pada teks ini, dan kini menghabiskan waktu untuk mempelajarinya adalah pekerjaan saya. Namun, saat saya bekerja, sebagaimana Allah berbicara melalui para nabi (1:1–2), Dia berbicara kepada saya melalui Anak-Nya.

Madison N. Pierce adalah profesor madya Perjanjian Baru di Western Theological Seminary dan penulis Divine Discourse in the Epistle to the Hebrews.

Diterjemahkan oleh Mellie Cynthia.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui emailFacebookTwitterInstagram, atau Whatsapp.

Tidak Apa-apa Jika Anda Mengalami Tahun Baru yang Tidak Menyenangkan

Kita tahu kekudusan tidak selalu membawa pada kebahagiaan. Namun bagaimana jika ketidakbahagiaan kita itu sendiri bisa menjadi sesuatu yang kudus?

Christianity Today December 19, 2024
Diana Parkhouse / Unsplash

Bagi banyak orang, dimulainya kalender baru bisa menjadi waktu yang paling memotivasi dalam setahun. Kita membuat daftar resolusi yang begitu optimis, berharap bahwa musim mendatang akan dipenuhi dengan kesehatan, kesuksesan, dan kebahagiaan yang lebih besar daripada musim sebelumnya.

Hal ini dapat memiliki makna yang sangat rohani bagi orang Kristen saat kita memulai rencana pembacaan Alkitab dan renungan baru—sering kali dengan keyakinan tak terucapkan, bahwa menjadi lebih setia kepada Tuhan pada akhirnya akan membuat kita lebih dipenuhi kedamaian dan sukacita.

Namun apa yang terjadi ketika, terkadang hanya beberapa minggu di bulan Januari, kita mulai berkecil hati, tidak puas, dan tidak termotivasi—ketika kita mulai merasa seperti kita telah gagal dalam merayakan Tahun Baru yang “bahagia”?

Saya sangat memahami perasaan kecewa ini. Seperti kehidupan kebanyakan orang, kehidupan saya juga mengalami pasang surut. Saya telah mengalami beberapa kehilangan: Kematian mendadak saudara perempuan saya, yang merupakan satu-satunya saudara saya; masa kemandulan; dan satu atau dua tantangan kesehatan. Saya masih merasakan sakit yang mendalam dari pengalaman-pengalaman ini dan ada banyak hari ketika saya menjalani hidup di dunia ini sebagai seorang pelayat.

Akan tetapi, jika dipikir-pikir lagi, keadaan telah berpihak pada saya. Sampai hari ini, saya menjalani kehidupan yang baik menurut standar yang wajar dan merasa nyaman, aman, dan terjamin. Dalam skema sejarah yang agung, saya telah menikmati kemakmuran dan kebebasan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Secara teknis, saya memiliki semua yang saya butuhkan dan sebagian besar yang saya inginkan.

Namun saya juga pernah merasakan ketidakbahagiaan yang mendalam. Bahkan, saya telah menyadari adanya semacam kesedihan tertentu yang turun dalam diri saya selama bertahun-tahun—seperti tetesan ketidakpuasan dan kekecewaan yang perlahan—hampir seperti saya mengharapkan sesuatu dari kehidupan yang belum terwujud. Singkatnya, saya merasa hidup telah mengecewakan saya.

Saya mengerti betapa tidak menyenangkan dan memalukannya hal ini. Saya pernah bekerja di bidang bantuan kemanusiaan serta layanan sosial dan tahu seperti apa wujud kekurangan yang sesungguhnya. Apa yang bisa dikeluhkan oleh orang seperti saya—dengan semua cinta dan kenyamanan materi yang saya nikmati? Mengapa hidup saya yang sangat diberkati ini tidak terasa seperti berkat? Lalu mengapa pengejaran saya terhadap kekudusan tidak selalu terasa seperti kebahagiaan?

Dugaan saya adalah jika Anda bertanya kepada orang-orang masa kini mengapa mereka ikut serta dalam agama atau praktik spiritual, banyak di antara mereka akan mengatakan karena hal-hal tersebut membuat mereka merasa lebih baik. Iman menciptakan rasa terpusat secara emosional dan membawa kedamaian bagi mereka.

Namun saya mulai percaya bahwa perasaan baik ini bukanlah alasan kita memilih mengikuti Yesus. Saya setuju bahwa hal-hal seperti sukacita dan keberanian sering kali merupakan hasil sampingan dari perjalanan mendalam bersama Tuhan. Penelitian menegaskan bahwa kebiasaan beragama memang berdampak positif terhadap kesehatan mental seseorang. Namun hidup bersama Tuhan tidak selalu menjamin kebahagiaan yang sempurna dan tanpa gangguan.

Tiap gereja yang saya hadiri menolak mentah-mentah Injil kemakmuran. Saat tumbuh dewasa, saya diajarkan bahwa kesulitan tidak perlu ditakuti, bahwa kemiskinan dan penyakit bukanlah tanda kegagalan saya atau kurangnya pertolongan Tuhan. Saya tidak merasa berhak atas kemewahan dan tahu bahwa Tuhan itu baik, bahkan ketika keadaan saya tidak baik.

Namun, meskipun teologi saya tentang penderitaan terbentuk dengan baik, ada beberapa unsur nilai Injil kemakmuran yang terasa familiar bagi saya secara samar-samar. Meskipun saya tidak percaya bahwa Tuhan adalah mesin penjual kelimpahan materi, saya berharap Tuhan akan membuat saya bahagia—memberkati saya secara rohani dan secara pengalaman—jika saya mengikut Dia dengan baik.

Saya tahu Tuhan mungkin tidak menganugerahkan saya hal-hal fisik seperti kesehatan dan kekayaan, tetapi setidaknya Dia seharusnya menganugerahkan hal-hal yang tidak berwujud seperti kepuasan dalam pekerjaan, makna dalam pelayanan, dan keintiman yang penuh sukacita dengan-Nya, bersamaan dengan rasa akan tujuan dan penghiburan di tengah penderitaan saya. Saya berasumsi bahwa jika saya memercayai semua hal yang benar, saya akan merasakan hal yang benar.

Namun, yang saya sadari adalah bahwa ini pada hakikatnya adalah sebuah injil kemakmuran emosional—suatu versi penafsiran sakral dari ideologi “kehidupan yang baik” yang secara tidak sadar telah menyusup ke dalam teologi populer kita. Prinsipnya sudah diketahui banyak orang: Temukan kehendak Tuhan bagi hidup Anda, dekatkan diri kepada-Nya, maka Anda akan merasakan kepuasan. Buatlah pilihan yang saleh, maka kedamaian akan menjadi norma, sedangkan penderitaan akan menjadi penyimpangan.

Saya hidup dalam bayang-bayang persamaan kosmik, dalam rumus Jika ini, maka itu. Berikan ini, maka kamu akan menerima itu; tabur ini, maka kamu akan menuai itu. Sebab dan akibat. Modal awal saya adalah kebijaksanaan teologis, perilaku baik, dan pilihan-pilihan tepat. Hasil dari investasi saya, setidaknya, akan berupa kegembiraan yang mendalam dan abadi.

Sementara itu, perasaan-perasaan negatif seperti kesakitan dan kesedihan dipinggirkan dalam komunitas-komunitas agama dan dianggap tidak pantas. Emosi yang sulit sering kali masih dianggap tidak suci—ketakutan, kemarahan, atau kecemasan dianggap sebagai akibat dari kurangnya kepercayaan kepada Tuhan atau mengabaikan disiplin rohani. Maka kita akhirnya merasakan dorongan yang kuat untuk membuktikan kekudusan kita dengan menunjukkan kebahagiaan kita.

Tidak dapat dilebih-lebihkan seberapa besar Pemikiran Baru (pelopor filosofis dari Kekuatan Berpikir Positif) dan Injil kemakmuran telah membentuk ideologi keagamaan ini—yang terwujud dalam buku-buku Kristen, lagu-lagu, rangkaian khotbah, dekorasi dinding, dan bahkan mimbar-mimbar dalam ucapan-ucapan singkat dan menyentuh seperti:

Saya terlalu diberkati untuk merasa stres. Tuhan tidak akan memberikan saya lebih dari apa yang dapat saya tangani. Segala sesuatu terjadi karena suatu alasan. Sebaiknya saya lepaskan saja dan serahkan pada Tuhan. Perbanyak berdoa; kurangi kekhawatiran. Iman atas ketakutan.

Tidak mengherankan kita merasa gagal secara spiritual ketika tidak ada aspek kehidupan kita yang secara konsisten memberikan hasil psikologis yang kita harapkan. Ketika kita sudah membuat pilihan yang benar dan memercayai hal yang benar, kita bahkan bisa merasa seperti Tuhan telah menipu kita terkait perkenanan dan kelimpahan dari-Nya.

Banyak di antara kita yang telah memaksakan hidup kita ke dalam pemahaman yang sempit tentang apa artinya diberkati, terganggu oleh harapan-harapan yang mustahil akan kebahagiaan sempurna dan kepuasan emosional. Akan tetapi pengejaran kebahagiaan yang terus-menerus ini dapat melelahkan. Kebahagiaan bisa menjadi tiran, menuntut seluruh perhatian dan kesetiaan kita. Kemudian, bila diidolakan, hal itu dapat menyedot kehidupan dari hubungan kita, pelayanan kita, dan keluarga kita—yang mana tidak satu pun dari halhal tersebut yang dirancang untuk memberikan kepuasan sepenuhnya.

Iman bukanlah euforia atau sarana untuk mencapai tujuan terapeutik, dan Tuhan bukanlah suatu mekanisme yang dengannya kita mencapai aktualisasi diri. Agama sejati bukanlah metode transendensi pribadi atau emosional. Itu bukan selimut pengaman atau salep yang menenangkan. Bila kita menaruh harapan pada hal-hal ini, maka kita akan selalu kecewa. Menerima dan menanggung kenyataan ini memang sulit, tetapi hal ini membuat dunia ini menjadi rumah yang lebih baik bagi saya.

Jadi, apa gunanya kehadiran Tuhan dalam hidup kita jika kehadiran-Nya tidak selalu terasa seperti kesejahteraan emosional? Mengapa mengatakan “ya” pada iman kepada Yesus?

Iman, sebagaimana saya pahami sekarang, hanyalah respons hati dalam mengenali apa yang benar. Itu berarti mengatakan ya pada apa yang kita tahu adalah benar, baik, dan suci. Hubungan kita dengan Tuhan bukanlah relasi transaksional, seperti pertukaran barang dan jasa secara ilahi. Kekristenan lebih seperti sebuah jalanan yang panjang atau jalan setapak yang kecil dan sempit. Kekristenan adalah soal cara berjalan dan cara bersikap, bukan sekadar cara berpikir atau merasakan. Kehadiran Tuhan itu baik karena menerangi jalan ini dan membantu dunia menjadi masuk akal.

Tuhan memanggil kita untuk melakukan hal-hal sulit dalam hidup ini. Dan ada tujuan dalam penderitaan kita, tetapi bukan dalam pengertian manfaat—seolah-olah penderitaan adalah pengoptimal kerohanian tertinggi. Kebanyakan dari kita sudah akrab dengan ungkapan “Tuhan lebih peduli dengan kekudusanmu daripada kebahagiaanmu,” tetapi bagaimana jika ketidakbahagiaan kita sendiri merupakan hal yang penting?

Saya percaya ketidakbahagiaan dapat mencerahkan kehidupan kita dengan menawarkan kebijaksanaan dan kejelasan yang unik. Terkadang ketidakbahagiaan merupakan cara hati memberi tahu kita bahwa ada sesuatu yang salah atau perlu diperhatikan. Namun terkadang ketidakbahagiaan juga adalah cara Tuhan untuk mengingatkan kita tentang apa yang benar dan baik—tentang bagaimana segala sesuatu seharusnya berjalan di dunia ini.

Sejak meninggalkan Eden, kutukan dosa telah memisahkan kita dari tujuan awal penciptaan kita. Kita memiliki kekekalan di hati kita (Pkh. 3:11)—tetapi kekuatan kita terbatas. Kita tidak mengetahui semua jawabannya, dan kedagingan kita adalah fana. Jiwa kita mendambakan apa yang seharusnya terjadi, sementara tubuh kita hidup dalam kenyataan pahit tentang apa yang terjadi.

Kesedihan merupakan bagian dari kondisi manusia. Kegelisahan merupakan respons yang tepat, bahkan benar, terhadap apa yang rusak. Jika Anda bergumul dengan kekecewaan, frustrasi, atau antisipasi, itu bukan karena Anda belum dewasa secara rohani, melainkan karena kita hidup setelah kejatuhan manusia dalam dosa. Keberadaan akan selalu terasa seperti kalimat yang tidak lengkap, seperti rasa lapar yang tidak pernah terpuaskan, sampai Kristus datang kembali dalam kemuliaan dan mengantar ciptaan baru-Nya.

Entah karena dosa kita, kelemahan kita, atau belum tercapainya cita-cita kita dalam menghadapi kenyataan, akan selalu sulit—kalau bukan mustahil—untuk meraih kebahagiaan sejati dalam hidup ini. Tidak ada resolusi Tahun Baru yang dapat memperbaikinya. Entah apakah penderitaan Anda seperti batu besar atau kerikil di sepatu Anda, penderitaan itu sama sucinya dengan setiap momen kebahagiaan yang mungkin Anda alami. Bahkan dapat berfungsi sebagai ratapan atas kehancuran dunia.

Inilah, wahai teman-teman, kekudusan dalam ketidakbahagiaan kita.

Sepanjang yang dapat saya ingat, saya adalah pengikut setia Injil kemakmuran emosional. Saya telah menganut mitos bahwa hidup saya harus terasa baik, memuaskan, dan bermakna agar diberkati. Namun, saya menyadari bahwa sekadar hidup sebagai anak Tuhan yang terkasih—bisa melihat Dia dan hidup, bergumul dengan-Nya, dan tahu bahwa Dia selalu bersama saya—adalah anugerah yang paling besar.

Kebenaran kita bukanlah alat tawar-menawar untuk mendapatkan berkat, dan Tuhan bukanlah sarana untuk mencapai tujuan yang egois—Dia adalah tujuan itu sendiri. Dia adalah Jalan, dan Dia cukup.

Diadaptasi dari Holy Unhappiness oleh Amanda Held Opelt. (Hak Cipta 2023) Digunakan dengan izin dari Worthy Books, divisi dari Hachette Book Group, Inc.

Amanda Held Opelt adalah pembicara, pencipta lagu, dan penulis buku A Hole in the World: Finding Hope in Rituals of Grief and Healing.

Diterjemahkan oleh Maria Fennita S.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, TwitterInstagram, atau Whatsapp.

12 Artikel Terpopuler dalam Bahasa Indonesia di Christianity Today Tahun 2024

Temukan topik-topik yang paling diminati oleh pembaca CT dalam Bahasa Indonesia sepanjang tahun ini.

Christianity Today December 17, 2024
Illustration by Christianity Today

Dengan mengklik, Anda dapat membaca semua artikel yang tercantum di bawah ini. Artikel-artikel tersebut diurutkan berdasarkan popularitas, dari yang paling sedikit hingga yang paling banyak dibaca.

Berlanggananlah buletin kami untuk menerima artikel-artikel terbaru langsung ke kotak masuk Anda dan tetap terinformasi tentang hal-hal yang memengaruhi gereja global.

12.

11.

10.

9.

8.

7.

6.

5.

4.

3.

2.

1.

Ideas

Tuhan Setia dalam Kemenangan dan Keputusasaan

Saya memilih Kamala Harris dan berduka atas kekalahannya. Namun saya ingin menjaga politik tetap pada tempatnya, tunduk kepada Yesus.

Kamala Harris
Christianity Today December 17, 2024
Saul Loeb / Getty

Saya tidak akan pernah melupakan sore Minggu yang indah itu, ketika kami mengantre di perpustakaan setempat untuk pemungutan suara lebih awal. Itu adalah tahun pertama kami membawa anak-anak kami ke bilik suara. Awalnya mereka tidak begitu gembira berada di sana, tetapi saat kami semakin dekat ke depan, kami dapat merasakan semuanya meningkat: Penantian, kegembiraan, harapan.

Pada usia 9 dan 11 tahun, anak-anak perempuan saya menyaksikan saya dan suami memilih orang yang kami yakini akan menjadi presiden Amerika Serikat yang paling memenuhi syarat, Wakil Presiden Kamala Harris. Kini mereka menyaksikan duka yang timbul karena mengetahui kandidat yang kami dukung telah kalah dalam perlombaan. Mereka menyaksikan wajah kami berubah ketika mendengar hasilnya. Mereka merasakan kesedihan kami, bukan hanya karena kekalahan ini, melainkan juga karena ketakutan akan apa yang mungkin terjadi di hari-hari dan tahun-tahun mendatang.

Dengan mantan presiden Donald Trump sebagai presiden kami berikutnya, saya sangat menyadari kegelapan yang menyelimuti bayang-bayang kemenangannya. Negara kami masih terbagi secara politik, dan sementara banyak pendukungnya merayakan terpilihnya kembali, saya khawatir perpecahan ini akan semakin dalam, yang berpotensi menyebabkan jurang pemisah yang besar antara saya dan mereka yang memilih Trump—banyak dari mereka adalah saudara-saudari di dalam Kristus.

Namun, betapapun cemasnya saya terhadap hasil ini, saya juga sadar bahwa yang dipertaruhkan bukan hanya jabatan presiden. Negara kami telah membuktikan kesetiaannya, dan meskipun saya kesal dan khawatir karena Trump terpilih kembali, saya juga menyadari kelegaan dan kegembiraan yang dialami banyak pendukung Trump.

Reaksi yang berbeda-beda itu memang tidak dapat dihindari, tetapi membenci pesaing politik kita bukanlah hal yang dapat dihindari. Bahkan putri bungsu saya telah memperhatikan kehidupan publik kita yang terpecah. Teman-teman sekelasnya juga menyuarakan pernyataan orang tua mereka bahwa orang yang memilih Trump adalah “bodoh”—atau bahwa mereka yang memilih Harris “bukan penganut Kristen.”

Sebagai orang tua, saya selalu berharap dapat berdiskusi dengan anak-anak saya tentang cara hidup di dalam kasih. Namun pada masa pemilu kali ini, kami harus memperluas pembicaraan tersebut menjadi pelajaran tentang bagaimana anak-anak kami dapat menolak jenis iblis semacam ini dan melindungi diri mereka dari orang-orang yang dapat menjahati mereka atau suami saya dan saya sebagai orang tua mereka.

Seharusnya tidak seperti ini. Saya tidak terpengaruh oleh perayaan politik atas kemenangan atau kekecewaan atas kekalahan, yang merupakan bagian normal dari setiap pemilihan. Namun saya khawatir terlalu sedikit ruang bagi mereka yang menangis untuk bisa berada dalam komunitas yang langgeng bersama mereka yang bersukacita. Tindakan merayakan bersama orang yang berduka—dan sebaliknya—merupakan sumber keseimbangan yang diperlukan, suatu pengendalian yang diperlukan terhadap dorongan untuk tidak peduli dalam kebahagiaan atau kepahitan dalam kesedihan. Bagi orang beriman, keseimbangan itu membantu menjaga politik dalam perspektif yang benar, tunduk kepada Yesus.

Kebutuhan untuk bersama-sama dalam sukacita dan tangisan kita bukanlah sekadar suatu tantangan politik. Hal ini juga mengikuti pola Alkitab yang kita lihat dalam kisah orang Israel yang membangun fondasi bait suci kedua dalam Ezra 3. Mereka yang menangis karena kehilangan apa yang pernah mereka miliki, hadir bersama mereka yang bersukacita karena kemungkinan akan apa yang mungkin terjadi. Menjadi mustahil untuk “membedakan mana suara sorak kegirangandan mana suara tangis rakyat,” catat Ezra, “karena rakyat bersorak-sorai dengan suara nyaring, sehingga bunyinya terdengar sampai jauh” (ay. 13).

Catatan singkat tentang campuran kemenangan dan keputusasaan ini penting karena mengingatkan kita bahwa apa pun perasaan mereka, orang-orang tetap bersama. Perjanjian mereka dengan Tuhan mengharuskan mereka belajar untuk bekerja bersama di tengah segala perbedaan mereka, bukan sekadar demi persatuan di antara mereka sendiri, melainkan demi persatuan melawan musuh-musuh dari luar. Perikop ini hendaknya mengingatkan kita bahwa kita juga membutuhkan persatuan nasional di tengah perbedaan-perbedaan kita, bahwa persatuan diperlukan untuk menjaga kebebasan dan demokrasi kita.

Sementara mereka berbeda dalam hal menangis dan bersukacita, orang banyak di Ezra 3 bersatu dalam memuji dan percaya kepada Tuhan. “Sebab Ia baik! Sesungguhnya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya kepada Israel,” demikianlah mereka bernyanyi bersama (ay. 11). Umat Kristen Amerika dari semua afiliasi politik harus mengingat kebenaran yang lebih tinggi ini dalam minggu-minggu mendatang.

Bagi kita yang tidak senang dengan hasil ini, izinkan saya menyemangati Anda untuk tidak putus asa. Saya berdoa untuk Anda, dan saya harap Anda akan berdoa untuk saya—dan untuk presiden kita berikutnya “dan semua pembesar, agar kita dapat hidup tenang dan tenteram dalam segala kesalehan dan kehormatan” (1Tim. 2:2). Siapa pun yang akan memimpin Amerika, kita dapat mencari hikmat Tuhan untuk bagaimana kita dapat terus “mengusahakan kesejahteraan kota” sekalipun ketika kita merasa berada dalam pengasingan (Yer. 29:7).

Bagi mereka yang senang dengan hasilnya, izinkan kisah Ezra mengingatkan Anda untuk bersikap tegas dalam menuntut akuntabilitas dan keadilan dari pemerintahan yang Anda pilih. Ingatlah bahwa kesetiaanmu kepada dunia tidak boleh menggantikan kesetiaanmu kepada Tuhan. Kemudian ingatlah untuk berdoa bagi presiden kita berikutnya, kabinetnya, bangsa kita, diri kita sendiri, dan sesama orang Kristen yang khawatir tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.

Minggu ini, saya akan meluangkan waktu untuk berduka bersama putri-putri saya dalam keadaan yang bagi saya terasa seperti kekalahan yang sesungguhnya. Namun saya akan melakukannya bersama para tetangga saya dan banyak saudara Kristen yang merasa tenang atau sangat gembira bahwa Presiden terpilih, Trump, menang. Saya juga akan memuji Tuhan bersama mereka, karena Dia tetap baik, dan kasih-Nya tetap kekal untuk selamanya.

Nicole Massie Martin adalah chief impact officer di Christianity Today.

Diterjemahkan oleh Denny Pranolo.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, TwitterInstagram, atau Whatsapp.

Church Life

Terang Yang Besar Di Masa Depan

Yesaya menubuatkan penantian masa Adven.

Christianity Today December 1, 2024

Klik di sini dan unduh renungan Natal kami secara gratis.

Baca Yesaya 9:1-6

SETELAH TERIKNYA SIANG selama berjam-jam, sore hari menyapa dengan cahayanya yang lembut dan kesejukannya yang menyenangkan. Senja bagaikan telur yang dipecahkan, yang memperlihatkan warna kuning keemasan dari matahari yang terbenam. Akan menjadi usaha yang melelahkan untuk mencoba menjelaskan kegelapan tanpa menggambarkan terang—kemungkinan besar hal ini mustahil untuk dilakukan. Terang tetap mengintip di balik cakrawala, bahkan di saat tergelap sekalipun.

Meski demikian, nabi Yesaya telah terbangun bersama fajar. Ia adalah seorang nabi dari Yehuda yang melayani selama masa pemerintahan empat raja; ia juga keturunan dari keluarga yang memiliki kedudukan dan status tinggi; seorang kepala keluarga; seseorang yang bersemangat untuk melakukan apa pun panggilan Tuhan baginya. Ditugaskan untuk menjadi juru bicara Tuhan, ia dengan lantang menyampaikan pesan kenabian meski kata-katanya tidak didengarkan oleh orang-orang yang tuli dan tenggorokannya pun terasa serak.

Karya dan tulisannya mengandung beberapa kata yang paling mendalam di seluruh Alkitab; menggemakan tema kekudusan, keadilan, kesetiaan, kepercayaan, kebenaran, dan pengharapan. Kata-kata dari Yesaya 9:2–7 ini menyingkapkan percikan-percikan kebenaran ini, yang mencerminkan kontras antara terang dan gelap, pengharapan dan kesesakan, kehormatan dan kesuraman.

Kontras ini bahkan sudah tersirat dalam nama-nama yang diberikan Yesaya kepada kedua putranya: Putra pertama bernama Syear-Yashub, atau, “suatu sisa akan kembali” dan putra kedua bernama Maher-Syalal-Hash-Bas yang merupakan suatu peringatan, “cepat untuk merampas, cepat untuk menjarah.” Kedua nama ini menggambarkan suatu upaya menyeimbangkan, yang tidak bertentangan atau membatalkan satu sama lain, melainkan menyempurnakan tema yang menjadi tujuan kisah terpadu ini sepanjang masa Adven (7:3, 8:1).

Kita tidak dapat menjelaskan kegelapan tanpa menggambarkan terang. “Bangsa yang berjalan di dalam kegelapan telah melihat terang yang besar; mereka yang diam di negeri kekelaman, atasnya terang telah bersinar” (ay. 1).

Ketika kita berpaling dari Allah, ada kegelapan rohani yang akan menghantui dan menggelisahkan kita. Namun setelah hati kita diubah oleh karya Tuhan yang luar biasa, kita mulai mengarahkan diri, mengalihkan rute, mengubah orientasi diri kita menuju terang, dan kita pun mendapati bahwa terang itu sangat nyata, begitu menguatkan, sehingga para kru kapal Dawn Treader dalam kisah Narnia karya C.S. Lewis menyebutnya “dapat diminum.” Kita pun mulai mengalami kebaikan dari hal-hal yang akan datang bagai “terang yang dapat diminum” dan terang yang menerobos celah di antara awan serta sinar matahari di punggung kita yang memicu genderang kebebasan—sebuah kebebasan yang datang dari menyelaraskan nilai-nilai, kesetiaan, ketaatan, kegembiraan, dan pengharapan kita pada Tuhan yang kasih-Nya yang tak pernah gagal.

Yesaya tahu bahwa Betlehem akan menjadi tempat di mana Allah akan mengenakan jubah kekekalan. Sang Raja Damai ini suatu hari nanti akan berhadapan dengan bentuk kegelapan terkelam yang tak terbayangkan—kegelapan yang tidak dapat ditanggung oleh siapa pun. Ia menanggungnya agar kita dapat berjalan dalam terang.

Yesaya melihat cahaya masa depan dan menyambut fajar yang suatu hari akan menyingsing setelah malam yang panjang dan gelap, memancarkan sinar pengharapan untuk 700 tahun ke depan. Dia melihat seorang pewaris cemerlang yang akan datang sebagai rakyat jelata, walaupun sebenarnya Ia adalah Sang Mesias. Yesus memancarkan terang melampaui kegelapan malam, membangunkan fajar, dan menentukan arah sejarah penebusan—seorang bayi yang tumbuh menjadi pria yang akan mengalami kegelapan yang sesungguhnya, sehingga kita, meski dengan mata yang mengantuk, dapat menatap terang yang kekal.

Morgan Mitchell melayani sebagai pendeta di San Diego, dengan spesialisasi pada pemuridan, khotbah, dan kelompok-kelompok kecil di gereja.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, TwitterInstagram, atau Whatsapp.

Church Life

Natal Mengundang Kita Datang Dengan Ketakjuban

Inkarnasi Natal dapat mengubah cara pandang kita.

Christianity Today December 1, 2024

Klik di sini dan unduh renungan Natal kami secara gratis.

Baca Markus 10:13–16

MERTUA SAYA TINGGAL di atas lahan seluas tiga hektar di bagian barat New York. Sebuah sungai mengalir di belakang rumah mereka, menyimpan segala kenangan dari istri saya dan saudara-saudaranya yang bermain di sungai tersebut saat masih kecil. Tawa mereka kini digemakan oleh tawa anak-anak kami. Deretan pepohonan hijau berjejer di sepanjang lahan tersebut, yang menggambarkan suasana pasang surutnya kehidupan keluarga. Pada suatu malam di musim dingin, saat saya berjalan melintasi salju yang menumpuk di jalan setapak dan di ranting-ranting pohon, pikiran saya melayang ke suatu visi tentang “masa yang akan datang.” Saat jutaan kepingan salju dengan ekspresi unik dari kejeniusan Tuhan yang kreatif berjatuhan di sekitar saya, saya sekali lagi dibuat takjub.

Kata inspirer dalam bahasa Prancis, yang merupakan akar dari kata inspiration dalam bahasa Inggris, secara harfiah diterjemahkan sebagai nafas. Dalam jeda di antara napas kita, sesekali kita dibawa ke tempat inspirasi di mana kita dapat mengamati apa yang sebelumnya tersembunyi bagi kita; mata kita melihat sekilas pada hal-hal baru yang suatu hari nanti akan terungkap.

Seperti yang kita lihat melalui mata anak-anak, inspirasi dan ketakjuban adalah postur asli jiwa manusia-seperti yang Yesus katakan, “Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya” (Mrk. 10:15). Penyair Dylan Thomas mengatakan seperti ini: “Anak-anak yang takjub menyaksikan bintang-bintang / adalah tujuan dan akhir.” Sebagai orang dewasa yang matang dan teratur, kita sering kali mendapati diri kita mengabaikan ketakjuban dalam keseharian dan menyimpannya sebagai respons yang paling tepat untuk hal-hal yang monumental dan megah. Kita mengkotak-kotakkan kehidupan kita sehari-hari dan dengan mudah kehilangan rasa rendah hati yang memungkinkan anak-anak untuk terlibat dengan dunia di sekitar mereka dengan penuh ketakjuban. Jika kita tidak berhati-hati, maka kesombongan, pragmatisme, dan ketergantungan diri kita dapat melucuti esensi yang membuat kita menjadi manusia yang sebenarnya, sehingga menyebabkan kita menutup mata terhadap keajaiban yang dapat dilihat dengan mudah oleh anak-anak.

Kisah inkarnasi Allah mengundang sikap takjub seperti anak-anak. Dalam berbagai pra-anggapan tentang kelahiran seorang raja, Kristus dilahirkan dalam keadaan yang biasa-biasa saja. Sama seperti mereka yang menantikan Mesias pada saat itu, mata kita yang modern akan mengabaikan Betlehem dan memilih Yerusalem. Kita akan mengabaikan para gembala di lereng bukit seperti halnya kita mengabaikan para pengemis di jalanan, dan lebih memilih untuk mencari kemegahan dari kemuliaan yang diharapkan. Namun, ketika kita akhirnya menyaksikan bayi yang terbaring di palungan, kita menemukan epitome dari ketakjuban. Dengan mengarahkan pandangan kita kembali kepada Pribadi yang rendah hati dan menakjubkan, Allah menjumpai umat manusia dengan cara yang paling biasa. Inkarnasi mengingatkan kita bahwa saat kita berhenti sejenak, kemampuan kita untuk berdiri dalam ketakjuban tidak lagi didasarkan pada kehebatan, melainkan dalam kesederhanaan.

Ketika kita berkumpul dengan orang-orang yang kita kasihi dan memasuki musim penuh terang dan tanaman holly, lonceng-lonceng dan kelahiran Yesus, ada baiknya kita menatap hal-hal yang sederhana; untuk berdiri dengan penuh ketakjuban saat salju turun, menikmati rasa kue-kue yang baru selesai dipanggang, tertawa bersama dengan suara anak-anak yang sedang bermain, dan membuka pintu menuju iman seperti anak-anak, yang bisa dibuka oleh ketakjuban. Kita tidak hanya akan menemukan Kristus di sana, melainkan kita juga menemukan bahwa Dia mengundang kita untuk berbagi dengan cara Dia memandang dunia yang ciptaan-Nya.

Isaac Gay adalah seorang artis, pemimpin ibadah, dan penulis yang memadukan antara kreativitas, spiritualitas, dan pemikiran kontemporer.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, TwitterInstagram, atau Whatsapp.

Church Life

Setelah Bencana, Tuhan Mendekat

Nubuat Yeremia merujuk pada janji Adven.

Christianity Today November 30, 2024

Klik di sini dan unduh renungan Natal kami secara gratis.

Baca Yeremia 31:31–34

NABI YEREMIA menulis dari lanskap sosial, politik, dan spiritual yang sempit dan gelap, seperti jatuh ke dalam sebuah lubang, lembab dan berat dengan beban penuh penyesalan. Perkataannya, yang merupakan pesan dari Tuhan, sesuai dengan nadanya. Bacalah bagian mana saja dari nubuat Yeremia dan Anda akan melihat temanya: Kegagalan umat Allah. Mereka tidak dapat menepati bagian mereka dari perjanjian yang dibuat Allah dengan mereka, dan nabi muda itu menyampaikan tanggapan Allah dengan kekuatan yang tak tergoyahkan. Sejak mula, penglihatan Yeremia yang paling awal menetapkan apa yang akan terjadi selanjutnya: “Dari utara akan mengamuk malapetaka menimpa segala penduduk negeri ini” (Yer. 1:14).

Seperti Musa, Yeremia awalnya memprotes panggilan pelayanan yang Tuhan ingin untuk dia lakukan, dengan menyatakan usianya sebagai faktor yang membuat dia tidak memenuhi syarat (Yer. 1:6). Menurut catatan tradisional, Yeremia mendengar panggilan Tuhan sekitar tahun 627 SM, yang berarti usianya sekitar 20 tahun ketika kitab tersebut dimulai. Selama 40 tahun, ia terus memperingatkan akan datangnya bencana dari utara.

Tidak jauh berbeda dengan zaman Hakim-hakim, umat Allah sekali lagi terjerumus dalam lingkaran kejahatan yang mereka ciptakan sendiri, yaitu mengingkari komitmen mereka kepada Allah dan mencari pembenaran serta penghiburan di mana-mana. Yeremia menyampaikan berita tentang murka Allah, dan dia bernubuat tentang bagaimana cara Allah akan menanggapi ketidaksetiaan umat-Nya.

Bencana itu terjadi pada tahun 587 SM ketika Babel memusnahkan Yerusalem, membawa kehancuran yang cepat pada apa yang telah terkikis selama berabad-abad. Seperti air bah, pencurahan yang dinubuatkan itu akan menyapu bersih tempat kediaman Tuhan di tanah Israel—suatu kehancuran bagi ciptaan.

Anda dapat berasumsi bahwa bagi orang seperti Yeremia—seorang Israel dari suku Benyamin—hal ini jauh lebih mengerikan daripada yang kita lihat dalam kitab Hakim-hakim. Itu terjadi sebelum zaman Daud, sebelum berdirinya Bait Suci. Dengan hancurnya Yerusalem, kerajaan Daud tersapu bersih dalam air bah kehancuran Babel. Yeremia menempati bagian yang belum terselesaikan ini.

Yeremia juga mendengar perintah Tuhan untuk tidak memiliki istri ataupun anak. Pada titik ini dalam sejarah dan dalam budaya Israel, Anda tidak akan menemukan kategori untuk pria yang tidak memiliki anak. Seorang ahli Perjanjian Lama, Joel R. Soza, bahkan berpendapat bahwa konsep bujangan sangat tidak dapat dipahami sehingga tidak ada kata dalam bahasa Ibrani yang dapat menggambarkannya. Ide yang ingin diperlihatkan adalah bahwa Yeremia tidak sekadar membawa berita tentang tragedi Israel, ia tidak hanya menempati tempat itu, melainkan ia benar-benar mewujudkan kehancuran semuanya itu dalam hidupnya sendiri. Sesuatu yang sarat potensi, kini menjadi tandus.

Yeremia 31 adalah bacaan yang umum dibacakan pada masa Natal. Namun begitu familiernya perikop ini bisa membuat kita kehilangan kekuatan kata-katanya, dan pesan pengharapan yang baru ini seakan disampaikan melalui bibir yang pecah-pecah. Kadang kala, kita yang berada di sisi sejarah sekarang ini hanya bisa mengangguk-angguk pada bagian dari kisah-kisah lama yang seharusnya bisa kita pahami. Itulah bagian dari masa penantian, masa Adven.

Inilah nabi yang tinggal di negeri yang tidak setia, yang menyampaikan penghakiman Allah yang paling keras, yang merasakannya, dan yang bertahan cukup lama untuk mengucapkan kata-kata ini:

“Sesungguhnya, akan datang waktunya, demikianlah firman Tuhan, Aku akan mengadakan perjanjian baru dengan kaum Israel” (Yer. 31:31)

Yeremia memberi tahu umat yang hancur bahwa suatu hari nanti, Allah akan datang mendekat lagi. Kali ini, jalan-Nya akan dituliskan dalam hati mereka dan Dia akan dikenal tanpa umat-Nya perlu diajari. Dia akan mengampuni dan akan menegakkan sebuah perjanjian yang baru, perjanjian yang terbebas dari tindakan dan kelalaian manusia, perjanjian yang memulai kembalinya kedamaian dan keberhasilan, menuju Eden. Meski awalnya masih redup, namun lama-kelamaan akan menjadi semakin terang.

Aaron Cline Hanbury adalah seorang penulis dan editor.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui emailFacebookTwitter, Instagram, atau Whatsapp.

Theology

Inkarnasi Lebih dari Sekadar Palungan

Bagaimana seorang uskup Afrika kuno memperjuangkan kisah penebusan dalam inkarnasi.

An illustration depicting the hands of baby Jesus in the manger, gently grasping his mother's finger.

Christianity Today November 29, 2024
Illustration by Jocelyn O’Leary

Adven merayakan berita yang paling menggembirakan di dunia, tetapi masa ini dapat terasa murahan karena komersialisasi hari raya dan kesibukan dari momen tersebut. Itulah sebabnya saya membaca satu buku setiap tahun, di luar Alkitab itu sendiri, yang mampu menembus lapisan spiritualitas budaya dan membawa saya lebih dalam ke makna Natal.

Buku singkat namun terkenal On the Incarnation—yang mengupas pribadi dan karya Kristus—ditulis 1.700 tahun yang lalu oleh Athanasius dari Aleksandria, seorang uskup Mesir yang sangat berpengaruh dalam pembentukan gereja mula-mula. Saya percaya tulisannya dapat memperbarui gereja kontemporer juga.

Meskipun banyak orang setuju bahwa inkarnasi merupakan kunci iman Kristen, sebagian besar umat Kristen hanya menganggapnya sebagai gambaran kelahiran Kristus. Namun, bagi Athanasius, doktrin tersebut mencakup seluruh karya Kristus, termasuk mengambil rupa sebagai manusia serta kehidupan, kematian, dan kebangkitan-Nya. Pendek kata, Athanasius mengajarkan kita untuk menyelami makna Natal yang hakiki dengan merenungkan secara utuh tentang Kristus, yang membawa keselamatan bagi seluruh ciptaan dan pembaruan bagi seluruh hidup kita.

Sebelum kita mengizinkan Athanasius membawa kita ke inti kisah Natal, mari kita berkenalan sebentar dengan pemandu kita dan bagaimana ia pertama kali memasuki dunia sejarah gereja.

Sebagai seorang pemuda, Athanasius menghadiri Konsili Nicea pada tahun 325 M, di mana ratusan pemimpin gereja setempat berkumpul untuk membahas ajaran Arian yang semakin populer bahwa Yesus tidak selalu ada sebagai Tuhan. Konsili tersebut menegaskan keilahian Yesus yang kekal—seperti yang dirangkum dalam Pengakuan Iman Nicea, yang mengatakan bahwa Yesus adalah “Allah sejati dari Allah sejati, dilahirkan bukan dijadikan, memiliki hakikat yang sama dengan Bapa.

Namun konsensus ini segera runtuh, dan keilahian Kristus menjadi doktrin yang diperdebatkan selama 50 tahun berikutnya.

Kekristenan yang setia membutuhkan seorang juara, dan Athanasius bangkit pada kesempatan itu, mengabdikan hidupnya untuk melihat kebenaran yang telah ditegakkan di Nicea diterapkan dalam kehidupan gereja di seluruh dunia Kristen.

Setelah konsili, Athanasius kembali ke Afrika, tempat ia dilahirkan dan dibesarkan, dan menjadi uskup Aleksandria—pada masa ketika, seperti yang pernah dikatakan oleh rekan sejawat gereja Gregorius dari Nazianzus, “uskup Aleksandria adalah uskup seluruh dunia.”

Selama 45 tahun, Athanasius teguh dalam komitmennya kepada Kristus dan gereja. Namun hidupnya sama sekali tidak stabil. Musuh-musuhnya menjulukinya sebagai “kurcaci hitam” karena perawakannya yang pendek dan kulitnya yang gelap, dan ia diasingkan sebanyak lima kali selama total 17 tahun karena berbagai alasan politik atau teologis. Selama tahun-tahun inilah, yang seringkali dihabiskannya di padang gurun, Athanasius banyak menulis.

Apa yang dapat dipelajari umat Kristen modern dari uskup Afrika kuno ini yang memohon kepada dunia Kristen yang berada di ambang ajaran sesat yang serius?

Pertama, untuk mewartakan Kristus seutuhnya, Athanasius berfokus pada keilahian Kristus. Meskipun doktrin ini mungkin tampak mendasar bagi sebagian besar umat kristiani dewasa ini, namun penekanannya mungkin lebih mendesak dibutuhkan daripada yang kita sadari.

Survei tahun 2022 menunjukkan bahwa 43 persen kaum Injili AS setuju dengan pernyataan “Yesus adalah guru yang hebat, tetapi dia bukan Tuhan.” Athanasius pasti akan berguling-guling di kuburnya jika mendengar itu. Dan rasul Yohanes pasti ingin berbicara dengan 43 persen itu—mengingatkan mereka: “Pada mulanya adalah Firman [Yesus]; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah” (Yoh. 1:1).

Kemanusiaan dan keilahian Yesus yang sepenuhnya adalah penting bagi kekristenan yang alkitabiah. Namun bagi Athanasius, membela keilahian Kristus bukan sekadar menegakkan doktrin yang sehat demi ortodoksi Alkitab. Keyakinannya tentang pribadi Kristus selalu dalam rangka melayani pekerjaan Kristus. Dengan kata lain, tanpa keilahian dan kemanusiaan Yesus yang sepenuhnya, katanya, Injil tidak berdaya untuk menyelamatkan: Hanya sebuah pengumuman kosong.

Lalu, bagaimana Anak Allah yang menjadi anak manusia itu membawa keselamatan bagi umat manusia?

Bagi Athanasius, logika keselamatan dimulai dengan Tuhan menciptakan manusia untuk berbagi dalam kehidupan-Nya yang tidak fana dan untuk memelihara ciptaan-Nya yang indah. Akan tetapi, ketika dosa memasuki dunia, kematian mulai merajalela dan proses de-kreasi menggagalkan maksud baik Tuhan.

Menurut Athanasius, Tuhan menghadapi dilema: Membiarkan dosa tidak dihukum akan bertentangan dengan karakter-Nya; tetapi tidaklah tepat menciptakan manusia hanya untuk membuat mereka jatuh ke dalam kerusakan. “Lalu, apa yang akan dilakukan Tuhan, sebagai pribadi yang baik?” tanyanya. Satu-satunya cara bagi Tuhan untuk menyelamatkan manusia dan menegakkan karakter-Nya adalah dengan mengutus Anak-Nya dalam rupa manusia untuk menanggung dosa dunia. Tuhan harus menjadi manusia. Jadi, dalam solidaritas dengan kemanusiaan, Sang Putra ilahi mengambil rupa sebagai manusia.

Namun, menjadi manusia saja tidak cukup: Yesus datang untuk mati. Seperti yang dikatakan Athanasius, Kristus “mengambil tubuh yang dapat binasa, supaya tubuh itu, yang dimiliki oleh Sang Firman yang di atas segalanya, dapat menjadi penebus yang memadai bagi semua orang.” Sebagai Manusia-Tuhan, ketika Yesus menghadapi kematian, kemanusiaan-Nya memberinya kemampuan untuk mati, tetapi keilahian-Nya memberi Dia kuasa untuk mengalahkan kematian. Dengan cara ini, penyaliban-Nya membayar hutang kematian sehingga kita bisa memperoleh kehidupan kekal.

Gregorius dari Nazianzus menegaskan kembali pentingnya pengorbanan keilahian-kemanusiaan Kristus, dengan menulis bahwa Yesus harus mengambil rupa manusia untuk menyelamatkan tubuh kita: “Apa yang tidak ditanggung-Nya, tidak akan disembuhkan-Nya, tetapi apa yang dipersatukan dengan keilahian-Nya, akan diselamatkan-Nya.”

Lebih jauh, menurut Athanasius, kebangkitan Kristus adalah jaminan kemenangan salib, sebab hal itu menyatakan dan meresmikan keselamatan dari Kristus. Bahkan, kebangkitan Yesus memberikan dasar bagi kebangkitan kita, agar kita dapat mengalami kehidupan Allah yang kekal dan tidak dapat binasa—yang pernah hilang dari kita di Taman Eden.

Jadi pada Natal ini, marilah kita merenungkan kemuliaan yang paradoks dari Raja kita yang menjadi seorang hamba, Yang Tak Terbatas menjadi seorang bayi. Namun, kiranya kita juga ingat juga bahwa palungan bukanlah akhir dari cerita. Raja yang telah lahir itu akan bertumbuh dan mengantarkan Kerajaan-Nya melalui cara yang berlawanan dengan intuisi, yakni dengan mengorbankan diri-Nya sendiri di atas kayu salib—dan kemudian membuka lebar-lebar gerbang kehidupan kekal dengan bangkit dari kematian.

Selama Natal, kita merayakan malam sunyi senyap ketika “Kristus Sang Juru Selamat lahir.” Namun, bagi banyak orang Kristen Amerika, keselamatan telah menjadi gagasan yang abstrak dan spiritual, seolah-olah Yesus datang hanya untuk menyelamatkan jiwa kita, mengampuni dosa-dosa kita, dan menjanjikan kekekalan bagi kita di surga. Athanasius akan melihat bahwa gagasan itu benar tetapi belum lengkap. Yesus datang untuk menebus jiwa kita, tetapi juga untuk memperbarui dunia.

Athanasius mengemukakan argumen ini dengan merujuk pada hubungan penciptaan dan penciptaan kembali dalam alur kisah Alkitab. Sama seperti dunia diciptakan melalui Firman, demikian pula dunia akan diciptakan kembali oleh Firman. Dengan menyelamatkan dunia dari kerusakan akibat dosa—yang menggagalkan tujuan-tujuan Allah dengan menempatkan dunia pada lintasan kehancuran dan kematian—Yesus mengambil apa yang rusak dan memulihkannya dalam kasih.

Gereja, sebagai tubuh Kristus, juga menemukan tempatnya di dalam kisah penciptaan kembali oleh Allah yang agung. Kita diantar ke hadirat Tuhan, diundang untuk bersukacita dalam kebaikan Tuhan, dan dipanggil untuk berpartisipasi dalam karya pembaruan dari Tuhan. Bahkan sekarang, Tuhan sedang menciptakan kembali dunia dengan anugerah-Nya, dan Dia akan melakukannya sampai Kristus datang kembali untuk memperbarui segala sesuatu secara penuh dan kekal.

Pesan ini menyegarkan, terutama dalam konteks Barat, di mana pemahaman kita tentang karya Kristus sering ditandai oleh reduksionisme yang tidak menentu—seolah-olah Kristus datang untuk mengampuni dosa-dosa kita dan menaklukkan Iblis. Meskipun Athanasius memprioritaskan pemulihan kehidupan yang tidak dapat binasa (2Tim. 1:10), diperbarui menurut gambar Allah (Kol. 3:10), dan berpartisipasi dalam kodrat Allah (2Ptr. 1:4), ia merangkul pemahaman yang komprehensif tentang karya Kristus bagi kita. Seperti dia, kita dapat merayakan banyak aspek dari keselamatan—seperti kemenangan, pengampunan, dan rekonsiliasi—dalam kerangka yang lebih luas tentang Allah yang menciptakan dunia kembali melalui Kristus.

Saint Athanasius by Peter Paul RubensWikiMedia Commons
Santo Athanasius oleh Peter Paul Rubens

Bagi Athanasius, visi alkitabiah tentang keselamatan dari Kristus dimulai dengan hati manusia, yang suatu hari nanti akan menjangkau sampai ke ujung ciptaan, dan menyentuh setiap aspek kehidupan. “Begitu banyak pencapaian Juru Selamat yang merupakan hasil dari Inkarnasi-Nya,” tulis Athanasius, “sehingga mencoba menghitungnya ibarat menatap lautan lepas dan mencoba menghitung ombaknya.”

Sama seperti Allah memperbarui ciptaan melalui Putra-Nya, kehidupan orang Kristen adalah kehidupan yang diperbarui menjadi serupa dengan Kristus, oleh Roh Kudus, dan bagi kemuliaan Bapa: “Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang” (2Kor. 5:17). Kita diberikan hati yang baru, roh yang baru (Yeh. 36:26), pikiran yang baru (Rm. 12:2), identitas baru, keluarga baru (Mrk. 3:31–35), dan harapan untuk hidup di dunia yang baru (Mat. 19:28).

Athanasius adalah seorang teolog, tetapi ia juga seorang pendeta yang mengasihi orang-orang seperti ia mengasihi kebenaran. Ia percaya bahwa teologi Injil kita tidak hanya berlaku untuk “kerohanian” kita atau waktu yang kita habiskan di gereja, melainkan juga pada kehidupan kita sehari-hari. Sama seperti rasul Paulus yang memberi tahu Timotius untuk memperhatikan baik doktrin maupun kehidupannya dengan saksama (1Tim. 4:16), Athanasius mengakhiri bukunya dengan menasihati para pembacanya bahwa kebenaran biblikal harus berjalan seiring dengan kehidupan yang saleh.

Natal merupakan waktu ketika kita menerima hadiah yang tidak layak kita terima sebagai cerminan dari hadiah terbesar yang tidak dapat kita raih—kasih karunia Allah di dalam Kristus. Namun, Natal juga merupakan pengingat bahwa Injil menyelamatkan kita dan mendorong kita masuk ke dalam kehidupan yang mencabut dosa, melawan ketidakadilan, dan mencari kerajaan Allah. Athanasius membantu kita memahami bahwa, dalam narasi Kitab Suci yang lebih besar, keselamatan Kristus tidak berarti pelarian dari ciptaan melainkan pembaruan ciptaan. Athanasius menantang kita untuk menerobos permukaan spiritualitas Natal yang sederhana dan mengalami kedalaman maknanya yang berlapis-lapis. Uskup dari Aleksandria ini memohon kepada kita untuk merangkul Kristus seutuhnya, yang datang untuk membawa keselamatan bagi seluruh ciptaan dan pembaruan bagi seluruh kehidupan kita. Pada Natal kali ini, saat kita berseru, “Biarlah surga dan alam semesta bernyanyi!” kiranya kita ingat bahwa keduanya sedang diperbarui dan dipersatukan oleh Raja Penyelamat kita.

Jeremy Treat adalah pendeta bidang khotbah dan visi di Reality LA di Los Angeles dan asisten profesor teologi di Universitas Biola. Ia adalah penulis Renewal in Christ: Athanasius on the Christian Wikimedia Commons Life and The Atonement.

Diterjemahkan oleh Maria Fennita S.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, TwitterInstagram, atau Whatsapp.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube