Orang Buangan di Sepanjang Perjalanan Pulang

Kita merindukan kepindahan ajaib dari padang belantara ke tempat yang aman, dari pengasingan kepada kepemilikan.

Empty Tomb

Empty Tomb

Christianity Today February 20, 2023
Image: Illustration by Bethany Cochran

Dan apabila Aku telah pergi ke situ dan telah menyediakan tempat bagimu, Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku, supaya di tempat di mana Aku berada, kamupun berada. Dan ke mana Aku pergi, kamu tahu jalan ke situ. – Yohanes 14:3-4

Unduh Renungan Prapaskah

Belum lama ini saat pandemi, secara tak terduga seorang rekan di gereja kami kehilangan suaminya yang sudah bersamanya selama lebih dari lima puluh tahun. Saat suaminya meninggal di rumah sakit, rekan ini tidak diizinkan berada di samping tempat tidur suaminya, dan dia tidak bisa mengadakan pemakaman yang layak untuknya. Dia pulang sendirian ke rumah kosong yang baru saja dibeli bersama suaminya, kotak-kotak masih belum dibuka sejak mereka pindah. Kehangatan dan janji rumah hari tua yang nyaman telah membeku karena dinginnya kuburan.

Rumah lebih dari sekadar bangunan fisik—rumah adalah tempat kepunyaan yang permanen, yang sering dipakai bersama dengan orang yang kita kasihi. Yesus, yang mengetahui bahwa kematian-Nya sudah dekat, berjanji kepada para murid-Nya bahwa Dia akan pergi untuk mempersiapkan tempat bagi mereka di rumah Bapa-Nya (Yoh. 14:2–4). Saya sering bertanya-tanya, mengapa Dia menjanjikan hal ini secara khusus?

Mungkin salah satu jawabannya adalah bahwa janji-Nya memunculkan tema penting bagi para murid-Nya, yang merupakan bagian dari bangsa yang identitas naratifnya ditandai dengan masa pengasingan dan persinggahan. Para murid mungkin bukan pengembara di padang gurun seperti nenek moyang mereka, tetapi mereka telah meninggalkan segalanya untuk mengikuti Dia yang tidak memiliki tempat untuk meletakkan kepala-Nya. Janji akan rumah kekal pasti sangat bergema di hati mereka.

Hari ini, sebagai murid Yesus, janji-Nya juga bergema bagi kita. Dalam masa Prapaskah dan sepanjang tahun, dengan berbagai cara kita juga merindukan kepindahan ajaib dari padang belantara ke tempat yang aman, dari pengasingan kepada kepemilikan, dari persinggahan ke rumah.

Salah satu cara kerinduan ini diungkapkan oleh gereja adalah melalui kalender liturgikal. Selama berabad-abad, gereja dengan tepat mengaitkan masa Prapaskah dengan padang gurun, lambang pengasingan. Misalnya, kumpulan doa untuk Minggu Prapaskah pertama dalam Buku Doa Umum berfokus pada pencobaan Kristus di padang gurun, dan bacaan harian untuk masa itu dipenuhi dengan ayat-ayat dari Keluaran, Ulangan, Yeremia, dan bagian terakhir dari kitab Kejadian, yang menunjuk kepada sejarah panjang bangsa Israel tentang persinggahan dan kemudian pembuangan ke negeri asing. Dalam masa ini, gereja-gereja di seluruh dunia sedang merenungkan apa artinya mengarahkan kaki kita ke rumah.

Dalam hidup saya sendiri, kerinduan akan rumah tertanam dalam diri saya sejak lahir. Ibu saya berimigrasi ke AS dari Korea Selatan bersama ayah saya pada tahun 1980-an, hanya membawa barang-barang yang muat di kopernya. Dia meninggalkan segalanya—orang tuanya, cita-cita pribadinya, kemampuan untuk berkomunikasi, segala yang familier—dan menghabiskan sebagian besar hari-harinya sendirian di sebuah apartemen kecil, kehilangan harapan dan rambutnya karena depresi. Saya lahir tidak lama kemudian. Setiap tahun pada hari ulang tahun saya ketika saya makan miyeok-guk (sup rumput laut) untuk menghormati ibu saya, seperti yang telah dilakukan orang Korea selama berabad-abad, saya berpikir tentang bagaimana rasa sup itu membuat saya menitikkan air mata.

Pada sisi lain, keluarga suami saya telah tinggal selama lebih dari seratus tahun di pertanian yang sama seluas delapan ribu hektar di Oklahoma. Dalam rumah yang dibangun oleh kakek-nenek dari suami saya, selimut yang dijahit oleh tangan nenek buyut, yang disatukan dari gaun tua dan kemeja kerja, dengan lembut menghangatkan anak-anak kami, generasi keenam, yang sedang tidur di malam hari.

Namun, saya dan suami serta anak-anak kami tinggal di Michigan, dan kami biasanya pergi ke rumah pertanian setahun sekali. Setiap tahun permukaan air tanah turun lebih rendah, etalase toko di kota menjadi kosong, dan lebih banyak properti berubah menjadi pasir. Sungguh menyayat hati menyadari bahwa kita bisa menjadi generasi terakhir yang memiliki kenangan akan tempat ini. Bahkan di sini, di mana keadaan permanen dulunya tampak begitu pasti, kini orang-orang mulai kehilangan rumah mereka.

Saya rasa setiap kita, dengan cara masing-masing, tahu apa artinya kehilangan rasa rindu akan rumah dan waktu serta tempat di mana kita merasa aman dalam rumah milik kita sendiri. Kadang-kadang rumah kita direnggut dari kita secara fisik, seperti ketika angin topan menghancurkan halaman belakang, perang datang ke ambang pintu, atau pencuri masuk. Kadang-kadang kita bisa duduk di ruang keluarga dan merasakan kehilangan yang menghancurkan, seperti ketika pelecehan mengancam keselamatan kita, seorang anggota keluarga meninggal dunia, atau keretakan yang semakin melebar di antara kita dan orang yang kita cintai. Bahkan rumah rohani kita—gereja, kelompok kecil, dan pelayanan kita—dapat diambil dari kita sehingga kita ditinggalkan dan sendirian. Sekalipun kita, entah bagaimana, berhasil untuk tidak pernah mengalami kerugian seperti ini, kenyataannya adalah bahwa di bumi ini, kita semua adalah orang buangan di hadapan kematian. Pada akhirnya, kita semua harus meninggalkan rumah duniawi kita.

ShoesImage: Vincent Van Gogh / Wikimedia Commons
Shoes

Jika kematian adalah pengasingan yang final, maka Paskah adalah janji yang final untuk pulang. Sebab meskipun benar kita adalah umat yang familier dengan perasaan rindu akan rumah, kita juga adalah umat yang di dalamnya Allah berdiam. Sama seperti orang Israel yang mengembara memiliki hadirat Allah yang menyertai mereka, kita juga memiliki Juruselamat yang telah bangkit yang berkata, “Aku akan selalu bersamamu.”

Baru-baru ini, teman saya yang telah menjanda memulai sesuatu yang dia sebut Monday Manna. Dari kesedihannya yang mendalam, dia bangkit, memasak sepanci sup, memanggang sepotong roti, dan mengundang teman-teman setiap minggu untuk datang sebagai ucapan syukurnya. Wajahnya bersinar di hadapan halaman-halaman Alkitab usang saat dia membacakannya dan berdoa untuk kami, senyumnya merupakan ekspresi yang lahir dari abu kedukaannya. Makan bersama di mejanya berarti melihat sekilas masa ketika kematian, air mata, dan pengasingan tidak akan ada lagi. Bahkan sekarang, batu itu perlahan menggelinding dan malaikat melayang di atas kubur.

Para leluhur dari keluarga suami saya mengikatkan jam ke wagon dan berjalan dengan susah payah untuk mencari sesuatu yang lebih baik, seperti yang dilakukan oleh orang tua saya. Mereka haus akan susu dan madu yang datang bersama pasir di gurun, dan mereka menelannya dengan hati yang teguh. Sekarang generasi keenam telah datang, berlari melintasi padang rumput, mengejutkan belalang, dan hujan akhir musim panas membuat ladang kembali hijau. Sementara itu, orang tua saya—pasangan imigran yang kesepian—menemukan sebuah gereja di mana mereka menyerahkan hidup mereka kepada Kristus dan menemukan teman-teman yang menjadi seperti keluarga. Dengan mempersatukan hidup mereka bersama Yesus, mereka menjadi sarana bagi banyak orang lain untuk menjadi bagian dari keluarga Kristus selama bertahun-tahun—termasuk saya. Cerita berlanjut.

Meski tidak ada mata yang pernah melihat dan tidak ada telinga yang telah mendengar, tetapi kita dapat menebak bahwa rumah Paskah kita bersama Yesus akan terasa seperti semangkuk miyeok-guk ibu saya dan terasa seperti selimut tua yang menyelimuti anak-anak kami. Ini akan seperti melihat kakek tercinta berdiri di depan bajak sekali lagi, yang berbalik untuk memeluk kita. Ini akan seperti duduk mengelilingi meja sambil tertawa dengan orang-orang terkasih, seperti melihat senyum mekar di wajah teman saya yang janda itu. Ini akan menjadi seperti pulang ke rumah.

“Berbahagialah manusia yang kekuatannya di dalam Engkau, yang berhasrat mengadakan ziarah!” demikian nyanyian bani Korah dalam Mazmur 84. “Apabila melintasi lembah Baka, mereka membuatnya menjadi tempat yang bermata air.” Paskah berarti kerinduan kita akan rumah bukannya tanpa tujuan dan tanpa hasil. Hati kita dilapisi dengan jalan menuju rumah Bapa kita. Seperti bangsa Israel, seperti para murid, seperti semua orang yang ada sebelum kita, kita hanya perlu terus berjalan⁠. Dan saat kita berjalan, kita menemukan bahwa Kristus, yang berjalan di samping kita, membuat langkah kaki kita menyirami bumi.

Pertanyaan Refleksi:



1. Dengan cara apa Anda merasakan rasa sakit karena pengasingan atau rindu akan rumah dalam hidup Anda?

2. Apa satu permintaan doa yang dapat Anda bawa ke hadapan Tuhan agar kegelapan saat ini dapat ditembus dengan terang Paskah?

3. Seperti sang janda dalam tulisan di atas, bagaimana Anda dapat “menyirami bumi” saat Anda menjalani keadaan saat ini?

Sara Kyoungah White melayani sebagai staf editor senior di Lausanne Movement. Ia tinggal di Grand Rapids, Michigan, bersama keluarganya.

Artikel diterjemahkan oleh Denny Pranolo.

Artikel ini merupakan bagian dari New Life Rising yang menampilkan artikel dan pendalaman Alkitab yang merefleksikan makna kematian dan kebangkitan Yesus. Terbitan khusus ini yang dapat digunakan selama masa Prapaskah, Paskah, atau kapan saja. Pelajari lebih lanjut di http://orderct.com/lent.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Our Latest

Laporan Lausanne: Sebagian Besar Misionaris Menjangkau yang Sudah Terjangkau

Laporan Keadaan Amanat Agung (The State of the Great Commission) menelaah tantangan dan peluang di tengah lanskap misi yang terus berubah.

Ketika Pelayanan Melukai Keluarga Anda

Nasihat yang berasal dari pengalaman sulit untuk menyeimbangkan antara keluarga dan pekerjaan Tuhan.

Saya Menemukan Penghiburan dalam Pahlawan Ilahi

Sebuah mazmur yang mencengangkan mengubah pandangan saya tentang kehadiran Allah selama masa-masa pencobaan.

Gereja Adalah Keluarga, Bukan Acara

Alkitab menyebut sesama orang Kristen sebagai “saudara laki-laki dan perempuan,” tetapi seberapa sering kita memperlakukan mereka sebagai keluarga?

News

Wafat: Andar Ismail, Penulis Produktif yang Membuat Teologi Menjadi Sederhana

Dengan seri Selamat karyanya, pendeta Indonesia ini menulis lebih dari 1.000 cerita pendek yang menyoroti kehidupan dan ajaran Yesus.

Kematian karena Swafoto

Kita tidak akan pernah melihat kemuliaan Tuhan jika kita hanya melihat pada diri kita sendiri.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube