Tiupan shofar (sangkakala yang biasa dibunyikan sebelum kebaktian karismatik) baru dimulai pada hari Sabtu. Bersamaan dengan hadirnya sangkakala-sangkakala itu, datanglah para calon nabi yang ingin menjadi pusat perhatian di kapel Universitas Asbury di mana para mahasiswa berdoa dan memuji Tuhan sejak Rabu pagi; para calon pemimpin yang ingin mengklaim kebangunan rohani untuk pelayanan, agenda, dan kepopuleran mereka; dan para calon pengganggu yang datang untuk mengacaukan apa pun yang terjadi di sekolah Kristen yang kecil di Kentucky itu dengan cemoohan, pidato yang agresif, dan yang lebih buruk lagi.
Akan tetapi pada hari Sabtu itu, Universitas Asbury sudah siap.
Sekolah itu tidak merancangkan terjadinya pencurahan Roh. Namun ketika sesuatu mulai terjadi pada pertengahan minggu pertama Februari—pertengahan semester, beberapa hari sebelum pertandingan Super Bowl—secara mendadak, gabungan dari administrator, staf, fakultas, teman-teman, dan universitas di sekitarnya bergerak dengan cepat. Mereka berkumpul di sebuah ruang lemari penyimpanan di sisi Auditorium Hughes dan kemudian mengubah fungsi sebuah ruang kelas untuk memfasilitasi dan mendukung apa pun yang Tuhan sedang lakukan.
Ketika berita menyebar, orang banyak berdatangan, dan perdebatan berkecamuk di dunia maya tentang apakah ini merupakan kebangunan rohani yang “nyata," namun para pria dan wanita ini bekerja berjam-jam untuk memastikan bahwa setiap orang yang mencari Tuhan memiliki makanan dan air minum serta tersedianya kamar kecil dan semua orang aman. Bagian cerita di balik kisah kebangunan rohani ini adalah pekerjaan yang hampir tak terlihat yang dilakukan untuk melindungi kebangunan ini.
“Ada 100 orang yang menjadi sukarelawan pada satu waktu, hanya untuk membuat kebaktian-kebaktian ini berjalan lancar,” kata presiden Universitas Asbury, Kevin Brown, kepada CT. “Ada sebuah ruang kelas yang diubah fungsinya menjadi hampir mirip pusat komando. Jika Anda masuk, ada bagan alur di dinding dan papan-papan tulis dipenuhi dengan informasi. Ada tempat pendaftaran untuk sukarelawan. … Itu adalah salah satu prestasi teknis paling mengesankan yang pernah saya lihat."
Kebangunan rohani dimulai di kebaktian kapel pada 8 Februari. Zach Meerkreebs, asisten pelatih sepak bola yang juga koordinator pengembangan kepemimpinan untuk organisasi misi Envision, berkhotbah tentang mewujudkan kasih dalam perbuatan. Teksnya adalah Roma 12.
Saat ia mulai, Meerkreebs memberi tahu para mahasiswa, yang diharuskan menghadiri tiga kebaktian kapel per minggu, bahwa dia tidak bermaksud untuk menghibur mereka. Dan dia tidak ingin mereka fokus padanya.
“Saya harap kalian melupakan saya tetapi apa pun yang berasal dari Roh Kudus dan Firman Tuhan akan menemukan tanah subur di hati kalian dan menghasilkan buah,” katanya. “Roma 12. Itu bintangnya, oke? Firman Tuhan dan Yesus serta Roh Kudus bergerak di tengah kita, itulah yang kita harapkan.”
Meerkreebs juga berbicara kepada mereka tentang pengalaman akan kasih Tuhan, yang sangat berbeda dengan “cinta yang sangat buruk” yang narsis, kasar, manipulatif, dan egois.
“Beberapa dari kalian telah mengalami cinta yang buruk itu di gereja,” katanya. “Mungkin itu bukan kekerasan, mungkin itu bukan penganiayaan, dan bukan dimanfaatkan—tetapi rasanya seperti seseorang telah memperdayaimu.”
Meski demikian, tidak ada yang maju ke depan di akhir kebaktian, dan Meerkreeb yakin dia “benar-benar gagal.” Dia mengirim pesan singkat kepada istrinya: “Pecundang terakhir. Aku akan segera pulang.”
Lalu tiga orang penyanyi berkulit hitam menyanyikan lagu terakhir dan kebaktian kapel pun selesai—tetapi ada 18 atau 19 mahasiswa tetap tinggal. Mereka duduk dalam beberapa kelompok: beberapa di sepanjang dinding kanan, beberapa di tempat duduk mereka, beberapa di lantai di lorong, dan beberapa di kaki panggung. Mereka terus berdoa.
Zeke Atha, seorang mahasisa tingkat pertama, memberi tahu seorang pembuat film dokumenter beberapa hari kemudian bahwa dia adalah salah satu yang tetap tinggal di kapel itu. Dia meninggalkan kapel itu setelah satu jam untuk pergi ke kelas, tetapi kemudian ketika ia keluar, dia mendengar nyanyian.
“Saya bilang, ‘Oke, itu aneh,’” kata Atha. “Saya naik kembali, dan kelihatannya seperti mimpi. Kedamaian yang ada di ruangan itu tidak bisa dijelaskan.”
Dengan segera, ia dan beberapa temannya pergi, berlari mengelilingi kampus, masuk ke ruang-ruang kelas dengan pengumuman: “Kebangunan rohani sedang terjadi.”
Sekolah berbasis gerakan Wesleyan ini memiliki tradisi kebangunan rohani dan teologi yang mengajarkan orang untuk menunggu dan menyaksikan angin ilahi bertiup. Nama universitas ini berasal dari nama Francis Asbury, uskup Metodis mula-mula di Amerika yang mendorong dan merayakan kebangunan rohani dari Maine ke Georgia dan Maryland ke Tennessee.
Ada juga orang-orang di komunitas Kentucky yang telah lama berdoa untuk kebangunan rohani baru di sekolah tersebut, termasuk seorang pengajar teologi dari Malaysia yang kadang-kadang berjalan di jalanan dengan papan karton bertuliskan, “Roh Kudus, Engkau Disambut Di Sini.”
Meski demikian, para administrator tidak segera berasumsi bahwa kebangunan rohani telah dimulai, bahkan ketika para pemuda berlarian di sekitar kampus meneriakkan pengumuman itu. Hanya ketika kebaktian spontan tersebut berlangsung hingga sore dan malam hari, barulah para pejabat sekolah menyadari bahwa mereka mungkin harus membuat keputusan tentang bagaimana menanggapinya.
Bertemu di ruang lemari penyimpanan
Sebuah panitia kebangunan rohani yang bersifat_ad hoc_, yang terdiri dari sekitar tujuh orang berkumpul di satu tempat yang sunyi di Hughes—di sebuah ruang lemari penyimpanan. Menurut beberapa orang yang ada di sana, mereka menyingkirkan peralatan drum dan keyboard serta duduk bersimpuh. Seseorang menemukan papan tulis, dan mereka saling bertanya, “Apa yang akan kita lakukan dalam dua jam ke depan?”
Kemudian mereka mulai berpikir jangka panjang: “Apakah para mahasiswa akan tetap berada di sana sepanjang malam? Seperti apa situasinya? Haruskah kita membiarkan sound system tetap menyala? Haruskah kita membiarkan para mahasiswa terus membawa gitar ke kapel?”
Panitia itu memutuskan agar para rohaniwan kampus tetap tinggal di Hughes dan meminta satpam mengawasi gedung itu tetapi mengizinkannya tetap buka. Mereka akan membiarkan para mahasiswa tinggal dan berdoa serta bernyanyi selama yang mereka mau.
Keputusan-keputusan lain yang mereka buat dalam beberapa hari ke depan tampaknya, sebagaimana yang kini direnungkan oleh panitia ad hoc itu, seperti terjadi secara naluriah. Tidak ada waktu untuk diskusi berlarut-larut. Mereka akan bertemu di ruang lemari penyimpanan itu dan membuat keputusan dari menit ke menit. Apakah mereka ingin memasang layar untuk lirik lagu penyembahan? Tidak. Haruskah para rohaniwan yang berbicara di panggung berhenti untuk memperkenalkan diri? Tidak. Haruskah mereka memasang tanda yang meminta orang untuk tidak melakukan penyiaran langsung? Ya.
“Kami hanya berusaha untuk mengikuti,” kata wakil presiden bidang kemahasiswaan, Sarah Thomas Baldwin, kepada CT. “Ada banyak orang yang datang dan mereka sangat membutuhkan Tuhan. Kami hanya berusaha untuk tetap tinggal dan menghormati apa yang sedang terjadi.
Pada hari kedua, kabar telah menyebar ke seminari Asbury, sekitar se-lapangan sepak bola jauhnya, yang memiliki kesamaan nama dan tradisi tetapi merupakan lembaga yang terpisah. Orang-orang juga mulai berdatangan dari kota Wilmore dan kemudian dari daerah Lexington yang lebih luas.
Alexandra Presta, editor surat kabar mahasiswa, menulis laporan secara daring.
“Selama panggilan pengakuan dosa, setidaknya seratus orang berlutut dan bersujud di depan altar,” tulisnya. “Tangan diletakkan di atas bahu, saling menghubungkan para individu itu bersama untuk benar-benar mewakili Tubuh Kristus. Seruan tentang kecanduan, kesombongan, ketakutan, kemarahan dan kepahitan pun terdengar, masing-masing diikuti dengan proklamasi yang mengubahkan hidup: ‘Kristus mengampunimu.’”
Teman-teman dari negara bagian lain mulai mengirim pesan singkat kepada Presta, menanyakan apa yang terjadi dan juga mengapa. Ia mengatakan kepada mereka bahwa dia tidak tahu. Namun Tuhan tetap bergerak.
‘Semua Chick-fil-A’
Pada Jumat sore, sekelompok mahasiswa mulai berdatangan dari bagian lain Kentucky, juga dari Tennessee, Ohio, Indiana, bahkan Michigan. Beberapa berasal dari sekolah Kristen. Beberapa dari pelayanan-pelayanan kampus. Beberapa baru saja datang.
Menjelang sore, jumlah pengunjung telah bertambah menjadi sekitar 3.000 orang, dan universitas itu harus menyiapkan ruangan tambahan. Pada saat yang sama, infrastruktur pendukung yang tidak terkoordinasi pun mulai terlihat. Seorang mahasiswa Asbury menyiapkan meja dan mulai membagi-bagikan teh dan kopi. Ia berkata bahwa Yesus menyuruhnya. Seorang wanita di Indianapolis memanggang kue kering coklat selama sehari penuh dan kemudian pergi berkendara menuju ke sana untuk membagi-bagikannya. Seorang profesor pergi dan membawakan air minum kemasan.
Pizza juga ada, tanpa diminta, bersama dengan sup kentang buatan sendiri, kue, satu meja berisi camilan berprotein, dan makanan yang disebut oleh seorang sukarelawan sebagai “semua Chick-fil-A.” Seseorang dengan sukarela mulai mengatur penginapan dan memasang tanda-tanda petunjuk dengan kode QR sehingga orang dapat memindai untuk memulai proses pencarian tempat untuk tidur.
Pejabat sekolah tidak punya waktu lagi untuk mempertimbangkan apakah kebaktian yang sedang berlangsung dan tidak direncanakan itu memenuhi syarat sebagai kebangunan rohani. Bahkan ketika sudah berakhir, beberapa orang tidak yakin apakah kebangunan rohani adalah kata yang tepat. Akan tetapi mereka harus memutuskan saat itu juga bagaimana mereka akan berespons karena orang-orang terus berdatangan dari tempat yang lebih jauh.
“Kami mulai mendapat laporan dari orang-orang yang melihat postingan di media sosial tentang orang-orang yang datang, tidak hanya dari wilayah kami, tetapi juga dari jarak yang cukup jauh,” kata Mark Whitworth, wakil presiden bidang komunikasi. “Saya tidak ingat siapa itu, tetapi seseorang berkata, ‘Menjadi viral belum tentu merupakan kebangunan rohani,’ dan kami semua setuju dengan itu. Akan tetapi fokusnya adalah pada hal-hal yang praktis. Seperti, apakah tim ibadah perlu istirahat, dan apakah kita memiliki dukungan pendoa yang cukup di altar?”
Beberapa rohaniwan di organisasi-organisasi yang berfokus pada kebangunan rohani dan mengatur pertemuan doa, termasuk David Thomas dari Awakening Project dan JD Walt dan Mark Benjamin dari SeedBed, mendorong pihak administrasi Asbury untuk mempersiapkan apa yang akan terjadi.
Panitia ad hoc berkumpul di ruang kelas yang telah diubah fungsinya pada hari Jumat untuk membahas apa yang akan mereka lakukan. Presiden Brown memberi tahu sekitar 15 orang di sana bahwa menurutnya ada satu pertanyaan besar.
“Sesuatu yang sangat bersejarah dan sangat unik sedang terjadi di sini,” katanya. “Ini akan hidup lebih lama dari kita. Setelah kita mati, orang-orang akan membicarakan hal ini. Apakah kita akan menampungnya?”
Kelompok ini dengan cepat mencapai kesepakatan bahwa mereka tidak memulai pencurahan Roh ini, tidak merancangkan semua ini, tetapi mereka tetap terpanggil di saat itu untuk bersikap ramah dan menyambut para pendatang. Mereka akan bekerja untuk menjadi tuan rumah dan melaksanakan tugas tersebut, sambil mengingat bahwa bukan mereka yang memegang kendali.
“Ada sebuah ketegangan,” kata Brown kepada CT, “antara ‘Bagaimana kami menjaga ketertiban?’ dan ‘Bagaimana kami menciptakan ruang untuk penyingkapan rohani yang belum kami rencanakan? Kami tidak tahu ke mana arahnya, tetapi kami tahu itu baik dan lebih besar dari kami.’”
Shofar, eksorsis, dan doa yang penuh amarah
Saat berita tentang para mahasiswa yang bernyanyi dan berdoa itu tersebar di media sosial dan "menggema" di sekitar Twitter, TikTok, dan Facebook, tim dari Asbury merencanakan dan mengatur, serta menyusun perincian tentang cara mengatasi ketegangan itu. Jadi ketika seseorang mulai meniup shofar —sangkakala/terompet tanduk domba jantan yang telah diubah oleh beberapa orang Kristen karismatik menjadi simbol politik MAGA dan peperangan rohani—staf kapel tidak memiliki protokol untuk situasi seperti itu, tetapi mereka tahu apa yang harus dilakukan. Mereka meminta orang tersebut untuk mengenali cara Tuhan menampakkan diri di kapel dan setia pada pencurahan Roh yang indah, rendah hati, dan penuh kedamaian.
Mereka melakukan hal yang sama, kata staf Asbury kepada CT, ketika seseorang mulai berdoa dengan suara keras dan agresif. Dan saat seseorang mulai mencoba melakukan eksorsis—mereka tidak berdebat tentang demonologi atau mengutip peraturan universitas, melainkan menggunakan otoritas dari pencurahan Roh itu sendiri.
“Kami ingin bersikap benar tentang bagaimana Roh Kudus hadir bersama murid-murid kami,” kata Baldwin, wakil presiden bidang kemahasiswaan. “Kami mengalami sukacita. Kami mengalami kasih. Kami mengalami kedamaian. Ada begitu banyak nyanyian dan kesaksian. Itulah yang menjadi rambu-rambu kami. Di depan mata kami, seperti inilah kami melihat Roh Kudus turun ke atas murid-murid kami, dan kami ingin menghormati hal itu.”
Kebanyakan orang menurut, meskipun beberapa harus diminta untuk pergi. Seorang pengkhotbah jalanan datang mengenakan T-shirt yang mengutuk seks gay dan sebuah rencana, yang menurut staf, ingin meneriaki para mahasiswa tentang penyimpangan. Dia pun dikawal keluar dari tempat itu. Orang lainnya tidak berhenti berdoa dengan agresif dan diberitahu bahwa dia harus keluar.
Ketika staf kapel membuka kesempatan lagi untuk kesaksian, mereka mulai memeriksa orang-orang tersebut terlebih dahulu. Sebagai tambahan tindakan pencegahan, tim Asbury memegang mikrofon saat orang-orang berbicara.
“Sabtu dan Minggu, kami ditanyai sepanjang hari, ‘Bisakah saya berbicara?’ ‘Boleh bicara?’ ‘Boleh bicara?’” kata Baldwin. “Baiklah, beri tahu kami dulu apa yang akan Anda katakan.”
Matt Smith, seorang pendeta Wesley dari sebuah gereja non-denominasional di Johnson City, Tennessee, melihat para rohaniwan memegang mikrofon ketika dia masuk ke kapel pada hari Senin, 13 Februari. Setelah melihat laporan tentang kebangunan rohani di media sosial, dia, pendeta kaum mudanya, dan ayahnya yang juga pendeta, berkendara selama empat setengah jam untuk menyaksikannya sendiri. Mereka langsung terpukau dengan hadirat yang indah dan penuh damai di tempat itu, dan sebagai rohaniwan, mereka juga memperhatikan para staf bekerja keras.
“Saya pikir sebagian besar kita di kalangan Injili pernah mengikuti kebaktian di mana seseorang berjalan sambil membawa sebuah mikrofon,” kata Smith kepada CT. “Pada saat yang sama, Tuhan bekerja melalui orang-orang, jadi Anda tidak ingin menghentikannya. Anda tidak dapat mengontrol semua yang dikatakan, tetapi Anda harus memiliki pengawasan rohani yang sehat.”
Smith mengatakan dia terkesan dengan bagaimana para rohaniwan menjaga keseimbangan yang rentan. Akan tetapi, orang-orang Wesley memiliki tradisi yang panjang dalam memelihara pencurahan Roh. Suatu ketika pada tahun 1804, sekolah Wesley memiliki 20 penjaga yang membawa tongkat panjang yang sudah dikupas untuk melindungi pertemuan kamp dari penjahat perbatasan. “Pekerjaan Tuhan itu luar biasa,” tulis Francis Asbury di lain waktu, ketika beberapa orang muncul untuk mencoba mengendalikan kebangunan rohani di Delaware. “Namun betapa besar_keributan_ yang ditimbulkan!”
Tidak ada selebritas di sini
Di media sosial, sejumlah tokoh karismatik yang kontroversial mengumumkan bahwa mereka akan menuju Asbury. Todd Bentley, yang pernah mengklaim Tuhan menyuruh dia untuk menyembuhkan seorang wanita dengan menampar wajahnya dan pernah dianggap tidak layak untuk pelayanan oleh sekelompok pendeta pada tahun 2020, mencuit di Twitter “Saya pergi.” Greg Locke, yang mendapatkan ketenaran karena menentang mandat kesehatan COVID-19 dan menyebarkan informasi yang salah tentang pemilu 2020, mengumumkan bahwa dia juga merencanakan perjalanan serupa.
Staf Asbury berhasil mencegah siapa pun yang berusaha mengambil alih mikrofon, dan menghindari terlalu banyak konfrontasi yang mengganggu.
Ada juga tokoh-tokoh Kristen yang hadir secara diam-diam, hanya berdoa dan berpartisipasi tanpa berusaha naik panggung. Kari Jobe, penyanyi musik Kristen kontemporer yang memenangkan Dove Award untuk lagu “The Blessing” pada tahun 2021, pergi ke Asbury dan turun ke altar. Beberapa mahasiswa berdoa untuknya, menurut staf Asbury, tanpa mereka tahu siapa dia. Seorang pemimpin Gereja Vineyard datang dan pergi tanpa mengumumkan apa pun di media sosial.
Pada saat kebangunan rohani memasuki minggu kedua, ada pengumuman rutin yang dibuat tentang para selebritas yang tampil di panggung. Sepanjang hari, para rohaniwan yang tidak berhenti menyebutkan nama atau jabatan mereka sendiri akan berkata, “Tidak ada selebritas di sini, tidak ada superstar, kecuali Yesus.” Istilah “kerendahan hati yang radikal” digunakan secara teratur.
Ada juga pengumuman bahwa jika orang digerakkan oleh Roh Kudus untuk melompat-lompat, mereka tidak boleh melakukannya di balkon yang berusia hampir 100 tahun.
Di tengah semua ini, penyembahan para mahasiswa terus berlanjut. Meskipun kapel terasa penuh sesak dan seperti akan disingkirkan oleh para “pemburu kebangunan rohani,” banyak anak muda masih bersaksi tentang transformasi yang mereka lihat sedang terjadi.
“Saya sangat mengenal kampus ini. Kampus ini kecil,” kata Alison Perfater, ketua organisasi mahasiswa di Asbury, kepada seorang dokumenter. “Dan saya tahu persis mana mahasiswa di kampus ini yang saling membenci. Mereka adalah orang-orang yang saya lihat berdoa bersama, bernyanyi bersama, berpelukan, menangis. … Ini benar-benar mengubahkan hidup.
Pengaturan logistik menjadi sedikit lebih mudah pada minggu kedua, karena segala sesuatunya sudah berjalan sebagaimana mestinya, menurut administrator Asbury. Beberapa tim dibentuk untuk setiap kebutuhan khusus, dan panitia kebangunan rohani mengiyakan lebih banyak sukarelawan yang menawarkan layanan profesional—seperti pengelola acara dari Phoenix yang muncul tanpa pemberitahuan dengan rencana untuk mengoordinasikan sukarelawan. Staf terjun langsung ke mana pun sesuai kebutuhan. Seorang koordinator sumber daya manusia, misalnya, menghabiskan waktu seminggu untuk menjawab telepon, karena orang-orang dari penjuru negeri dan bahkan dari luar negeri menghubungi sekolah itu untuk informasi kedatangan.
Para mahasiswa seminari juga terlibat, terkadang secara formal, terkadang secara informal. Hermann Finch, seorang pendeta kaum muda Metodis dari Zimbabwe yang sedang belajar di seminari, mengatakan kepada CT bahwa dia ditanya arah menuju toilet. Jadi begitulah cara dia memutuskan untuk menjadi sukarelawan, mengarahkan orang-orang menuju kamar kecil untuk suatu malam.
Setia pada bagian mereka
Meski demikian, memasuki akhir pekan kedua, panitia kebangunan rohani memutuskan bahwa mereka perlu mengumumkan batas penampungan mereka. Kota Wilmore kewalahan, lalu lintas tidak memungkinkan, dan berita kebangunan rohani menyebar lebih cepat. Tucker Carlson, pembawa acara berita TV yang paling banyak ditonton, menyiarkan segmen yang mengagumkan tentang Asbury dan memberi tahu pemirsa keesokan harinya bahwa dia “masih memikirkan tentang hal itu.” Carlson berkata dia “tidak memahaminya…tetapi apa pun yang sedang terjadi, itu tampak luar biasa.” Pada hari Jumat, mantan wakil presiden Mike Pence mencuit di Twitter bahwa dia “sangat tersentuh melihat kebangunan rohani terjadi di @AsburyUniv!” dan mengenang kebangkitan religiusnya sendiri di sebuah festival musik di sana pada tahun 1978.
Sabtu pagi sekolah itu memasang dua layar besar di lapangan rumput setengah lingkaran di luar kapel untuk mencoba mengakomodir semua orang. Diperkirakan 7.000 orang hadir di hari itu—lebih dari dua kali lipat jumlah orang di Wilmore. Sebagian besar harus berada di luar kapel, meski suhu mencapai 4 derajat Celcius. Beberapa laporan menyebutkan jumlah total pengunjung akhir pekan itu sekitar 20.000 orang.
Dalam ruang kelas yang diubah menjadi pusat komando, tim tersebut membahas keprihatinan terhadap para mahasiswa dan tanggung jawab sekolah atas pendidikan mereka. Memelihara pengalaman dan pembinaan spiritual mereka mungkin, pada titik tertentu, berarti sekolah perlu berhenti menerima orang datang ke kampus.
Tim itu juga berbicara tentang kelelahan para relawan. Presiden Brown mencatat bahwa dia telah melihat satu orang membantu pada jam 8 pagi, kemudian pada jam 1 pagi, dan pada jam 8 pagi keesokan harinya. Kemurahan hati yang luar biasa itu tidaklah berkelanjutan, dan mereka perlu segera mengakhirinya.
Pada saat yang sama, sekolah itu mendengar laporan tentang kebaktian doa di perguruan tinggi dan universitas Kristen lainnya. Di Universitas Samford, Alabama, seorang mahasiswa mulai bernyanyi di kapel pada malam hari dan segera diikuti oleh ratusan orang. Hal itu terus berlangsung semalaman dan berlanjut keesokan harinya. Di Universitas Lee, Tennessee, para mahasiswa terlihat berlarian menuju kapel. Seorang mahasiswa baru mengatakan kepada reporter lokal bahwa dia pikir itu hanya acara tiruan sampai dia pergi melihatnya sendiri.
“Roh Kudus 100 persen bergerak di tempat itu,” katanya.
Hal serupa juga terjadi di Universitas Cedarville di Ohio. Dan ada laporan tentang doa, nyanyian, pengakuan dosa, dan kesaksian yang diperpanjang di Baylor, Belmont, Campbellsville, Hannibal-LaGrange, Valley Forge, Milligan, dan sekolah-sekolah lainnya.
“Ini mengingatkan saya pada kebaktian Malam Natal,” kata juru bicara Asbury, Abby Laub, kepada CT. “Kami memegang lilin, dan sekarang kami menyebarkannya. Dan itulah yang kami inginkan. Kami tidak ingin menjadi satu-satunya yang memegang lilin."
Panitia ad hoc merasakan kelegaan. Api kebangunan rohani itu menyebar, dan mereka telah setia pada bagian mereka. Mereka memutuskan untuk mengumumkan bahwa semuanya akan mereda. Mulai Selasa, 21 Februari, mereka akan membatasi kebaktian hanya untuk orang-orang di bawah usia 25 tahun, tetapi siaran langsung dilakukan setiap malam mulai pukul 7.30 malam Kemudian mereka akan berakhir pada Rabu tengah malam, dua minggu penuh setelah beberapa mahasiswa tetap berada di kapel untuk berbicara, berdoa, bernyanyi, dan kemudian merasakan angin kudus.
Pada Rabu malam, seorang anggota staf di depan Auditorium Hughes menyapa di ruangan yang penuh dengan para mahasiswa yang lahir setelah tahun 1998. “Selamat datang di kegerakan Tuhan,” katanya.
Beberapa jam kemudian, menjelang tengah malam, seorang wanita muda dengan kaus abu-abu bertuliskan “Zionsville” mengangkat satu tangan ke atas dan memimpin para mahasiswa menyanyikan lagu Chris Tomlin “How Great Is Our God.”
“The Godhead three in one (Allah tiga di dalam satu),” dia bernyanyi. “Father, Spirit, Son (Bapa, Roh, dan Putra). … How great is our God (Betapa besar Allah kita). Sing with me (Bernyanyilah bersama saya).”
Lebih dari 1.000 mahasiswa melakukannya, mengangkat tangan dan suara mereka. Gelora ibadah mereka memenuhi kapel hingga ke langit-langit, mengalahkan audio yang samar-samar dari siaran langsung.
“How great is our God (Betapa besar Allah kita),” mereka bernyanyi. “All will see how great, how great is our God (Semua orang akan melihat betapa besar, betapa besar Allah kita).”
Diterjemahkan oleh Mellie Cynthia.