Kumpulan Renungan Adven 2021 dari Christianity Today

Seluruh bacaan renungan Adven tahun ini.

Christianity Today November 28, 2021

Di sini Anda akan menemukan semua bacaan renungan harian kami yang akan membantu Anda mempersiapkan diri untuk Natal selama masa Adven ini.

Minggu Adven 1: Kembalinya Kristus dan Pemerintahan Kekal

Minggu Adven 2: Dosa & Penebusan

Minggu Adven 3: Pengorbanan & Keselamatan

Minggu Adven 4: Inkarnasi & Kelahiran

Epifani

Untuk mengunduh kumpulan renungan “Berita Injil di Masa Adven,” klik di sini.

Akhir

Renungan Adven, 28 November 2021.

Christianity Today November 28, 2021

Untuk mengunduh kumpulan renungan “Berita Injil di Masa Adven,” klik di sini.

Minggu Adven 1: Kembalinya Kristus dan Pemerintahan Kekal


Minggu ini, kita berfokus pada Kedatangan Kristus yang kedua kalinya: pengharapan kita yang pasti akan kembalinya Kristus. Kita menggali gambaran Kitab Suci tentang kuasa Kristus dan penghakiman yang adil, serta masa depan gemilang yang kita nantikan bersama Tuhan dalam ciptaan baru.

Baca Titus 2:11–14 & Wahyu 1:7–8

Kita mulai dari akhir. Bukan di palungan. Bukan dari orang Majus yang memberi hadiah atau para gembala yang bersukacita karena keheranan. Bukan dari kunjungan Maria ke Elisabet atau mimpi Yusuf yang didatangi malaikat. Kita mulai bukan dari Kedatangan Kristus yang Pertama, tetapi dari yang Kedua.

Seperti buku cerita yang bab-babnya tidak teratur, masa Adven—dan memang seluruh tahun liturgi Kristen—dimulai di akhir.

Ini bukan akhir yang menjemukan dan menyenangkan di mana, “mereka hidup bahagia selamanya.” Ini akhir yang indah dan menakutkan, mengagumkan dan mengerikan.

Ini akhir yang jauh melampaui batas pemahaman kita sebagai manusia: Dia akan datang kembali dalam kemuliaan, untuk menghakimi orang yang hidup dan yang mati; kerajaan-Nya takkan berkesudahan.

Adven dimulai dengan eschaton (yang akhir): dengan kuasa dan kemuliaan Kristus, penghakiman-Nya yang adil, kemenangan akhir dan pemerintahan kekal-Nya. Ini membuat kita tersadar dari sentimentalitas Natal, mengundang kita masuk ke dalam kisah kosmos yang jauh lebih agung dan luas, di mana Tuhan yang berinkarnasi, dibaringkan di palungan dan melangkah ke salib, yang suatu hari kelak akan duduk di atas takhta, dan setiap lutut akan bertekuk dan segala lidah mengaku bahwa Dialah Tuhan (Flp. 2:6-11).

Sebagaimana respons Yesaya ketika melihat kekudusan Allah, satu-satunya respons natural kita ketika merenungkan keajaiban dan kemuliaan akan Kedatangan Kristus yang Kedua adalah dengan berkata, “Celakalah aku! Aku ini seorang yang najis bibir” (Yes. 6:1-5). Saat kita merenungkan kekudusan dan kuasa Kristus, kita berlutut dalam pertobatan dan kerendahan hati. Dan seperti Tomas dalam perjumpaannya dengan Kristus yang bangkit, kita juga menyatakan, “Ya Tuhanku dan Allahku” (Yoh. 20:28).

Kedatangan Yesus yang Kedua menjelaskan bahwa mengikut Yesus berarti menyerahkan semua pada ketuhanan-Nya dalam ketaatan dan penyembahan. Kita meresponi janji kedatangan Kristus kembali—yang merupakan “pengharapan yang mulia”—dengan kerinduan dan penantian yang membentuk hidup kita di sini dan sekarang ini, yaitu ketika kita mengatakan “Tidak” terhadap godaan dosa dan hidup sebagai orang yang “rajin berbuat baik” (Tit. 2:11-14).

Ketika kita mulai dari akhir, Adven mengejutkan kita dengan cara yang benar: menyentak kita keluar dari kekristenan kita yang nyaman dan pemuridan yang biasa, lalu menarik kita ke dalam pertobatan, pengabdian, dan pengharapan yang lebih dalam. Ketika kita memulai dengan visi eskatologis ini, kita dapat mendekati palungan itu dengan tepat—karena kita tahu bahwa di sanalah sang Juruselamat, terbungkus dengan kain lampin. Kedatangan-Nya yang mulia itu sungguh merupakan pengharapan kita yang indah, “Allah dan Juruselamat kita yang agung, Yesus Kristus.”

Kelli B. Trujillo adalah editor di Christianity Today.

Renungkan Titus 2:11–14 dan Wahyu 1:7–8. (Opsi: Renungkan juga Filipi 2:6–11.)

Bagaimana kedatangan Kristus kembali di masa depan membentuk hidup Anda di sini dan sekarang ini?
Saat Anda merenungkan kedatangan, penghakiman, dan pemerintahan Kristus, bagaimana Anda ingin menanggapinya?

Diterjemahkan oleh: Denny Pranolo

Berita Injil di Masa Adven: Introduksi

Kumpulan Renungan Adven dari Christianity Today.

Christianity Today November 28, 2021

Untuk mengunduh kumpulan renungan “Berita Injil di Masa Adven,” klik di sini.

“Saya datang membawa kabar baik untuk kalian…." (Luk. 2:10, BIS). Dengan kata-kata ini, sang malaikat memulai proklamasi Injil yang menakjubkan: Juruselamat, Mesias yang dijanjikan, Tuhan kita, telah lahir! Ketika kita memikirkan Injil, yaitu Kabar Baik, sudah sewajarnya kita juga berpikir tentang kematian dan kebangkitan Yesus. Kita memikirkan tentang dosa kita, pengorbanan Yesus, keselamatan dan kehidupan kekal yang Kristus tawarkan. Dalam pengertian ini, wajar untuk menganggap Paskah sebagai hari raya “Injil”—ini menandai peristiwa sentral yang memungkinkan penebusan kita.

Tetapi dalam kumpulan renungan ini, kami mengundang Anda untuk memikirkan apa yang dapat diajarkan oleh Adven kepada kita tentang Injil. Banyak ajaran inti dari Injil bergema kuat di berbagai bacaan dan tema tradisional Adven. Dalam Adven, kita merenungkan misteri Inkarnasi, tentang tujuan Kristus sebagai Mesias yang telah lama dinantikan, tentang dosa dan kebutuhan kita akan pertobatan, tentang janji keselamatan dan keadilan dari Allah, serta tentang harapan kita yang teguh akan kedatangan Kristus kembali dan Kerajaan yang kekal. Kita bersiap untuk merayakan Raja yang baru lahir, yang dilahirkan agar manusia tidak mengalami kematian lagi. Dan kita diingatkan lagi dan lagi sepanjang masa Adven bahwa Injil bukan hanya untuk kita, melainkan merupakan sebuah pesan “kesukaan besar untuk seluruh bangsa” (Luk. 2:10)—ini adalah kabar baik yang seharusnya dibagikan.

Ketika Anda membaca dan merenungkan firman Tuhan setiap hari selama empat minggu Adven ini, kami berharap Anda dapat terlibat dengan kebenaran inti Injil dengan cara yang baru. Dan seperti para gembala yang bertemu dengan Kristus di masa kecil-Nya, Anda memuliakan dan memuji Tuhan atas segala hal yang Anda dengar dan lihat.

Kelli B. Trujillo adalah editor di Christianity Today.

Apa yang Pekerja Kemanusiaan Kristen Ingin Anda Ketahui tentang Afganistan?

Pasukan AS meninggalkan Afganistan setelah 20 tahun, tetapi kisah pekerja kemanusiaan Kristen jauh melampaui konflik militer.

Christianity Today November 14, 2021
Andrew Quilty

Edisi September kami terbit sebelum kejatuhan pemerintah Afganistan yang terjadi sangat cepat. Gambar sampul bulan ini didisain untuk menghormati sejarah pelayanan yang dilakukan dengan setia meski tidak terlihat, oleh orang-orang percaya setempat dan para pekerja kemanusiaan Kristen. Dengan Taliban sekarang memegang kendali, mudah untuk melupakan bahwa gereja telah melayani di sana jauh sebelum “perang abadi” Amerika dimulai—dan akan tetap di sana, setelah perang berakhir.

Seperti kebanyakan orang, Arley Loewen tahu persis di mana ia berada ketika peristiwa 9/11 terjadi. Ia berada di Islamabad, Pakistan, bekerja di antara pengungsi Afganistan sebagai seorang tenaga pendidik, dan ia harus mengungsi dari daerah itu karena alasan keamanan.

Tetapi sebagai pekerja kemanusiaan asing, ada juga tanggal lain yang ia pikirkan, tanggal yang berkaitan dengan kematian orang lain. Mereka yang menghabiskan waktu untuk melakukan pekerjaan kemanusiaan di Afganistan dalam 20 tahun terakhir menjadi emosional ketika mengingat orang-orang Afganistan dan orang asing, rekan-rekan kerja, dan sesama yang meninggal.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Telegram.

Pada 27 Maret 2003, seorang insinyur Palang Merah dieksekusi oleh orang-orang bersenjata yang tidak dikenal.

Pada 2 Juni 2004, lima staf Médecins Sans Frontires terbunuh di jalan antara Khair Khana dan Qala-i-Naw.

Pada 14 Januari 2008, serangan di Hotel Serena, Kabul, menewaskan enam orang.

Pada 24 Juli 2014, dua wanita dari Finlandia dengan pelayanan internasional, ditembak dan dibunuh.

Pada 3 Oktober 2015, serangan udara AS menghantam rumah sakit Médecins Sans Frontires dan menewaskan 42 orang.

Pada 24 November 2019, sebuah bom di pinggir jalan menewaskan seorang pria dari California yang merupakan anggota Program Pembangunan PBB dan melukai lima lainnya.

Ada tanggal-tanggal gelap lainnya, dan Loewen, yang saat ini tinggal di Manitoba dan mengajar Alkitab serta hubungan Muslim-Kristen di sebuah perguruan tinggi Kristen, secara teratur memeriksa teleponnya untuk memastikan apakah teman-temannya di Afganistan baik-baik saja.

"Kami cenderung hidup dalam kisah kekerasan, dan hal itu sangat nyata dengan Taliban mengambil alih distrik satu demi satu,” kata Loewen. “Tetapi kemudian ada cerita lainnya dari masyarakat sipil—saya suka cerita itu.”

Menurut laporan terbaru dari Badan Pembangunan Internasional AS, ada sekitar 140 organisasi kemanusiaan non-pemerintah, banyak dari mereka adalah organisasi Kristen, yang memberi bantuan kemanusiaan di Afganistan. Ada banyak juga organisasi PBB lainnya. Mereka menyediakan makanan, perawatan medis, bantuan tunai, pendidikan, serta peralatan dan benih bibit bagi para petani. Mereka menggalakkan musik, seni, sastra, dan olahraga. Di tengah perang dan konflik, mereka telah menyemangati komunitas dan masyarakat sipil.

Tetapi yang terpenting dari semuanya adalah mereka telah membangun hubungan yang mendalam dengan orang-orang Afganistan.

Transformasi yang dibawa oleh rakyat Afganistan

“Para pekerja kemanusiaan berada di sana hanya untuk masyarakat,” kata Patrick Krayer, yang tinggal dan bekerja di Kabul bersama istri dan anak-anaknya. “Kami hanya memfasilitasi. … Kami bukan mesias. Kami tidak ingin masuk ke dalam dinamika kekuasaan yang mengatakan, ‘Kami datang untuk menyelamatkan Anda.’”

Krayer menunjukkan oftalmologi (cabang kedokteran spesialis mata) sebagai salah satu contoh bagaimana pekerja kemanusiaan dapat membantu. Berawal pada 1960-an, sebuah organisasi kemanusiaan Kristen membantu mendirikan departemen oftalmologi di Universitas Kabul, untuk melatih para dokter mata Afganistan. Kemudian dokter-dokter tersebut melatih orang-orang lainnya, dan hari ini semua praktik oftalmologi dilakukan oleh orang Afganistan.

“Seratus persen perawatan mata di negara ini berasal dari departemen tersebut,” katanya.

Krayer dan yang lainnya dengan cepat menunjukkan bahwa meski mereka telah menyediakan sumber daya dan dukungan, transformasi nyata yang telah terjadi di negara itu dilakukan oleh orang Afganistan itu sendiri.

“Kami hanya memberdayakan mereka untuk melakukan apa yang ingin mereka lakukan untuk melayani rakyat mereka,” kata Krayer, yang sekarang mengajar di Universitas Dallas Internasional.

Ia ingat ketika tiba di Kabul pada 2002 dan melihat gedung demi gedung dibom. Pada 2012, kota berpenduduk lebih dari empat juta orang itu sepenuhnya dibangun kembali. Ada juga transformasi lainnya. Para seniman mulai berkreasi lagi. Dengan segera, para wanita berkompetisi dalam atletik dan berpartisipasi dalam tim olahraga, dan pada 2008, Afganistan memiliki peraih medali Olimpiade pertama . Terjadi pula ledakan budaya populer. Afghan Star, sebuah acara kompetisi menyanyi yang menjaring banyak kontestan berbakat dari seluruh negeri, menjadi acara yang terpopuler di televisi Afganistan.

Orang-orang Afganistan melakukan hampir semua pekerjaan transformasional, kata Krayer. Tetapi mereka tidak mendapatkan pujian, dan kisah tentang kekerasan menutupi apa yang telah terjadi dan apa yang sedang terjadi di Afganistan.

“Saya adalah tamu di negara mereka,” katanya. “Mereka mengizinkan saya masuk ke dalam komunitas mereka. Mereka mengizinkan saya masuk ke rumah mereka. Mereka sangat ramah dan murah hati. Sungguh merupakan suatu hak istimewa yang luar biasa untuk bekerja dan hidup di antara orang-orang ini.”

Krayer ingat suatu kali ia mengalami ban kempes di sebuah desa kecil, sekitar empat jam perjalanan dari Kabul. Sebelumnya ia sudah mengganti satu ban yang kempes, jadi ia tidak punya cadangan ban. Kemudian seorang yang tidak dikenal mengambil bannya, naik ke taksi yang lewat, lalu pergi dan memperbaikinya.

Sebuah jalan di Kabul dekat rumah keluarga Loewens ketika mereka tiba pada 2003 (atas) dan dibangun kembali 10 tahun kemudian (bawah).Gambar: Digunakan seizin Arley Loewen
Sebuah jalan di Kabul dekat rumah keluarga Loewens ketika mereka tiba pada 2003 (atas) dan dibangun kembali 10 tahun kemudian (bawah).

Pekerjaan kemanusiaan tidak akan berakhir dengan penarikan militer

Saat militer AS menarik diri dari negara itu, para pekerja kemanusiaan asing sedang bersiap untuk menghadapi perubahan realitas politik di Afganistan. Presiden Joe Biden, presiden AS ketiga yang menjanjikan akan menarik seluruh kekuatan militer dari apa yang dikenal sebagai “perang abadi” Amerika, mengatakan bahwa keamanan kawasan itu perlu diserahkan kepada pasukan Afganistan menjelang peringatan 20 tahun serangan 9/11. Presiden menyatakan keyakinannya bahwa tentara Afganistan memiliki “kapasitas untuk menopang pemerintah” tetapi juga mengakui negara itu akan menangani “masalah internal” yang sedang berlangsung.

Para pengamat mengatakan Taliban mendapatkan kekuasaan di banyak distrik dan konflik tersebut dapat berubah menjadi perang saudara setelah pasukan AS pergi.

Para pekerja kemanusiaan Kristen, yang telah melihat peningkatan kekerasan yang menargetkan kelompok-kelompok kemanusiaan dalam beberapa tahun terakhir, khawatir tentang masa depan yang tidak pasti. Tetapi mereka juga mengatakan bahwa mereka melakukan pekerjaan yang tidak dimulai dengan invasi AS dan tidak akan berakhir dengan penarikan militer AS. Mereka melakukan sesuatu yang berbeda dari militer.

“Kami ingin orang tahu bahwa Tuhan mengasihi mereka,” kata Krayer. “Dan kasih haruslah praktis dan ditunjukkan secara fisik.”

Bantuan kemanusiaan memberikan stabilitas bagi sebuah negara, dan setidaknya bagi pekerja kemanusiaan Kristen, secara eksplisit hal itu bersifat non-politis. Selama masa transisi, bahkan hal itu menjadi lebih penting. Krayer mengatakan bahwa dalam perang saudara Afganistan di tahun 1980-an dan 1990-an, ada banyak pekerja kemanusiaan yang tinggal di wilayah tersebut.

Dalam waktu dekat, banyak pekerja mungkin kembali ke negara mereka karena masalah keamanan. Sebagian yang lain akan menemukan cara untuk tetap tinggal, kata seorang penulis dan pekerja kemanusiaan yang, untuk alasan keamanan, menggunakan nama samaran Anna Hampton.

“Sejarah modern menunjukkan orang asing Kristen sudah ada selama 100 tahun di Afganistan,” kata Hampton. “Jumlahnya akan berkurang, tetapi akan tetap ada.”

Menurut Hampton, motifnya sederhana: “Kami mengasihi Yesus dan kami mengasihi orang-orang Afganistan.”

Itu bukan berarti tidak akan ada bahaya. Dalam 20 tahun terakhir, para pekerja kemanusiaan telah mengalami banyak risiko. Mereka dan keluarganya harus membuat keputusan yang hati-hati dan penuh perhitungan tentang apa yang harus dilakukan dan seberapa jauh mereka bersedia menjadi rentan.

Rumah keluarga Hampton pernah dibobol oleh orang-orang bersenjata, seorang teman dekat keluarga diculik dan dibunuh, dan mereka terpaksa mengungsi dari negara itu. Hampton mengatakan ia masih menghadapi trauma dari serangan terhadap keluarganya tersebut. Tetapi bahaya juga merupakan kesempatan untuk menghidupi imannya.

Hampton sekarang menulis tentang teologi risiko dan mengajari calon pekerja kemanusiaan tentang bagaimana membedakan rasa takut yang sehat dan mengembangkan keberanian yang matang. Banyak orang Kristen memiliki gagasan tentang keberanian yang terlihat seperti seorang pria yang sekarat di medan perang, katanya, tetapi itu bukan gambaran yang alkitabiah.

“Baik Yesus maupun Paulus pernah melarikan diri dari situasi yang berisiko,” katanya. “Para pekerja kemanusiaan perlu melihat di mana Tuhan berbicara dan membimbing serta memimpin mereka untuk terus bergerak menuju situasi berisiko yang lebih tinggi, atau mundur untuk sementara waktu.” Dalam bukunya Facing Danger: A Guide Through Risk, Hampton, sebagai seorang Kristen dan seorang ibu di Afganistan, berbicara tentang apa artinya berusaha untuk menunjukkan kepada anak-anaknya sebuah gambaran tentang bagaimana Yesus akan meresponi kebutuhan orang-orang dan juga bahaya dari manusia.

Loewen mengatakan bahwa orang-orang bertanya kepada dia dan istrinya tentang risiko membawa dua putri kecil mereka ke wilayah itu. Dan memang ada risiko. Tetapi juga ada kekayaan yang luar biasa, membesarkan keluarga dalam budaya itu dan melihat kedua putrinya belajar melintasi batas budaya seolah-olah itu normal.

“Mereka menghargai hidup mereka di Pakistan dan Afganistan,” katanya. “Di sekolah, anak perempuan kami bisa berhubungan dengan anak laki-laki dan perempuan Afganistan sebagai teman.”

Tentu saja, bukan hanya pekerja kemanusiaan dan orang asing Kristen yang menghadapi ancaman. Konflik tersebut berbahaya bagi banyak orang di Afganistan, namun sekelompok kecil orang Kristen Afganistan berdoa dan beribadah di balik tabir perlindungan privasi.

Menurut Pew Research Center, kurang dari 0,3 persen dari 34 juta warga Afganistan adalah kelompok agama minoritas, baik Kristen, Hindu, Sikh, atau Baha’i. Tetapi angka yang akurat sangatlah sulit didapat. Penduduknya mayoritas Muslim Sunni, dan konstitusi menyatakan bahwa Islam adalah agama negara. Minoritas diizinkan untuk mempraktikkan keyakinan mereka, tetapi secara budaya mereka tidak bisa menunjukkan keyakinan mereka di tempat-tempat umum.

Banyak warga Afganistan—sebagian karena alasan agama, sebagian lainnya karena alasan politik—saat ini sedang mempertimbangkan apakah mereka harus meninggalkan negara itu dalam masa transisi ini. Menurut laporan Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) baru-baru ini, hampir 1.000 orang telah meninggalkan Afganistan tiap bulannya sejak April. Mereka akan bergabung dengan jutaan pengungsi yang meninggalkan rumah mereka dalam 40 tahun terakhir.

Janice Loewen mengunjungi seorang teman Afganistan.Gambar: digunakan seizin Arley Loewen
Janice Loewen mengunjungi seorang teman Afganistan.

Orang Afganistan di luar Afganistan

Saat ini, ada 42.000 warga Afganistan tinggal di Toronto, dan ribuan lainnya di kota-kota Amerika Utara lainnya. Di New York ada 18.000 orang dan 12.000 orang di Los Angeles, menurut perkiraan Global Gates.

Negin Ponce adalah salah satu pengungsi itu. Ia tiba di New York pada 1990-an, di mana ia tinggal selama lima tahun lalu pindah bersama orang tuanya ke California. Ia masih berada di sekolah menengah di California ketika peristiwa 9/11 terjadi. Ia langsung teringat seorang tante yang bekerja di World Trade Center. Baru kemudian ia menyadari bahwa, karena ia seorang Muslim dan karena ia berasal dari Afganistan, beberapa orang di sekitarnya akan mengaitkannya dengan pelaku dan bukan sebagai korban dari kekerasan.

“Saya ingin menutupi kepala saya dengan kain, agar orang tidak tahu dari mana saya berasal,” katanya. “Serangan ini disebabkan oleh orang-orang radikal dan ekstremisme radikal, bukan Muslim yang baik hati dan sabar serta penyayang.”

Kemudian, Ponce menjadi pengikut Kristus, setelah ia mendapat penglihatan tentang tiga salib, menemukan sebuah Alkitab, dan kemudian mengunjungi sebuah gereja. Sekarang, karena imannya dan pengalamannya sendiri sebagai seorang anak, ia mendukung para pengungsi Muslim di California dan mendesak rekan-rekannya yang Kristen untuk menjangkau sesama mereka yang Muslim.

“Ini adalah budaya yang sangat hangat dan penuh kasih yang benar-benar berkaitan dengan keluarga,” katanya. “Kami menyukai makanan tradisional kami. Dan jangan pernah berani masuk ke rumah seorang wanita Afganistan yang adalah seorang ibu rumah tangga dan berkata, ‘Saya membawa makanan cepat saji.’”

Orang-orang Amerika dapat mengasihi rakyat Afganistan di tengah mereka dengan mendengarkan kisah mereka, mengajari mereka bahasa Inggris, dan memenuhi kebutuhan praktis seperti perawatan medis dan membantu pekerjaan, kata Jamie Coleman, pendeta dari Nexus Community Church di Dallas. Gereja ini mengadakan pertemuan di pusat komunitas sebuah kompleks apartemen besar yang penuh dengan pengungsi. Ia memperkirakan bahwa sekitar 500 keluarga Afganistan tinggal dalam radius dua mil dari gereja.

Para anggota gereja pun membangun hubungan, mengenal orang Afganistan sebagai warga.

“Memiliki teman yang bisa mendengarkan tentang bagaimana mereka menjalani kehidupan di sini berbeda dengan kehidupan di Afganistan? Mereka suka berbagi tentang hal itu,” katanya. “Di Afganistan, saudara saudari dan orang tua tinggal bersama di rumah besar, sebuah kehidupan komunal. Namun di sini sangatlah berbeda, dengan banyak tekanan untuk membayar tagihan dan bekerja, bekerja, bekerja.”

Wanita Afganistan yang mengenakan kerudung merasa seperti ada target berada di punggung mereka ketika mereka keluar di tempat umum di Amerika, kata Coleman. Banyak perempuan buta huruf dan tidak berpendidikan, tidak bisa mengemudi, serta bergumul dengan isolasi dan hambatan budaya. Orang-orang Amerika dapat menyediakan komunitas yang aman bagi mereka.

“Kami mempelajari kisah mereka. Kami minum teh bersama mereka,” katanya. “Ini sangat organik dan relasional. Hanya perlu mendengarkan dengan baik.”

Coleman mengeluarkan teh safron yang diberikan oleh seorang teman pengungsi Afganistan di Dallas. Hadiah yang bagus, tetapi lebih penting adalah di baliknya.

“Ada ratusan percakapan dengan warga Afganistan dalam paket teh ini,” kata Coleman. “Saya mempersembahkan paket teh itu kepada Tuhan.”

Menurut Loewen, ada kata Yunani untuk ini. Kata itu adalah Philoxenos, atau “mengasihi orang asing.” Begitulah seharusnya orang Kristen memperlakukan sesama mereka, dan itu juga kunci, kata Loewen, untuk pekerjaan kemanusiaan asing.

Kisah Nyata

Ini juga cara orang Afganistan menyambut dia dan para pekerja kemanusiaan asing lainnya: dengan keramahan. Saat Loewen memeriksa ponselnya untuk mengetahui kabar terbaru dari teman-temannya, di saat yang penuh gejolak ini, ia juga merencanakan perjalanan berikutnya ke Afganistan.

Ia tidak bisa pergi tahun lalu karena COVID-19. Ia juga tidak tahu kapan dia bisa datang lagi, tetapi ia berbicara tentang teman-teman yang akan dia kunjungi, percakapan yang akan dia lakukan, puisi yang akan dia nikmati, dan makanan lezat yang akan dia makan.

Ia ingat mendapat undangan untuk membawa beberapa tamu ke rumah seorang Afganistan pada 2006. Loewen mulai khawatir tentang tekanan keuangan yang bisa dialami oleh si tuan rumah karena harus menyiapkan hidangan dalam jumlah besar.

“Saya berkata kepadanya, ‘Tenang saja, jangan berlebihan dengan makanannya,’” kata Loewen. “Dia menepis saya seolah-olah mengatakan, ‘Itu bukan urusanmu’ … dan kemudian berkata, ‘Perut itu milikmu; para tamu itu milik saya.’ Dengan kata lain, Anda bisa makan sesedikit yang Anda mau, tetapi saya akan memuaskan para tamu.”

Malam itu mereka memecahkan roti bersama, sering makan dari piring yang sama, menikmati hidangan daging terbaik yang pernah dimakan para tamu, bersama dengan ravioli ala Afganistan dan makanan lezat lainnya yang rasanya masih terasa di lidah Loewen sampai sekarang.

Ada begitu banyak makanan seperti itu, yang dinikmati oleh begitu banyak orang Afganistan dan para pekerja kemanusiaan asing. Juga, akan ada lebih banyak lagi.

Dan itulah kisah yang ingin diceritakan oleh orang-orang Kristen yang bekerja dengan orang Afganistan di AS dan di Afganistan—sebuah kisah tentang keramahan dan persahabatan.

Rebecca Hopkins adalah seorang jurnalis yang tinggal di Colorado. Dia tinggal selama 14 tahun di Indonesia dan menulis tentang pekerjaan nirlaba internasional.

Diterjemahkan oleh: Denny Pranolo

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Telegram.

Ketika Berdoa bagi Umat Kristen Afganistan, Saya Mengingat Gereja Tiongkok

Pelajaran yang saya peroleh tentang berdoa dan melayani gereja Tiongkok.

Christianity Today November 3, 2021
Illustration by Mallory Rentsch / Source Images: Billy H.C. Kwok / Stringer / Handout / Getty Images

Minggu lalu, seorang teman meminta bertemu dengan saya untuk minum kopi. Ia adalah seorang ibu muda, dan setelah melihat foto yang sekarang terkenal di dunia tentang seorang ibu muda Afganistan yang menyerahkan bayinya lewat pagar kawat berduri kepada seorang tentara Amerika, teman saya mendapati dirinya bergumul untuk memahami secara emosional apa yang telah dilihatnya. Meskipun ia telah berdoa secara konsisten untuk situasi di Afganistan, karena gambar itu terus berputar di benaknya, ia meminta nasihat tentang bagaimana memperhatikan gereja yang sedang menderita tersebut tanpa menyerah terhadap beban emosional yang berat dari semua itu.

Saat melayani gereja Tionghoa selama 16 tahun terakhir, saya harus melakukan beberapa pemrosesan dan pembelajaran setelah menyaksikan saudara-saudari di dalam Kristus yang sangat menderita dalam konteks budaya lain. Pada Desember 2018, saya menyaksikan sekelompok pria dan wanita Tionghoa, yang pernah berdoa dan beribadah bersama saya, diserang dengan kejam dan dipenjarakan. Menyaksikan penderitaan mereka dari kejauhan di tengah kemeriahan Natal di Amerika, sangat memengaruhi pemahaman saya tentang panggilan Kristus.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Telegram.

Kira-kira 70 tahun yang lalu, gereja sedunia menyaksikan apa yang dianggap sebagai akhir dari gereja di Tiongkok. Mirip dengan apa yang kita saksikan hari ini di Afganistan, para warga (dan terutama orang-orang Kristen) bergegas meninggalkan Tiongkok setelah Partai Komunitas Tiongkok mengambil alih. Pemerintah Tiongkok menganiaya gereja pada tahun-tahun berikutnya. Ribuan orang meninggalkan Kristus.

Tetapi ada suatu generasi pria dan wanita yang menyerahkan hidup mereka sebagai benih-benih gereja Tionghoa masa kini. Mereka tetap setia sebagai individu dan sebagai gereja korporat. Dan ketika waktunya tepat, Injil menyebar ke seluruh negara mereka sedemikian rupa sehingga hari ini gereja Tionghoa menjadi gereja dengan jumlah jemaat terbesar di dunia. Orang Kristen di Tiongkok diperkirakan sekitar 5-7 persen dari populasi, ini suatu titik perubahan yang penting, menurut para misiolog.

Memperhatikan gereja global membuat kita menyadari apa yang saudara-saudari kita korbankan dalam perjalanan mereka bersama Kristus. Terlibat dengan gereja yang menderita—dari Afganistan hingga Tiongkok—telah memuridkan hati saya sendiri. Kita tidak boleh membiarkan ketakutan kita akan penderitaan mendikte pemikiran kita, melainkan kita harus dimuridkan oleh orang-orang di Afganistan dan Tiongkok serta di tempat lain.

Pertama, emosi saya terkait gereja yang menderita telah menekan saya untuk memeriksa apa yang sebenarnya saya yakini tentang doa. Saya telah memperhatikan bahwa bagi banyak orang Amerika seperti saya, doa dapat terasa hambar selama masa penderitaan global karena kami tidak percaya bahwa doa merupakan suatu kontribusi yang nyata terhadap situasi tersebut. Saya mendapati bahwa saya berdoa karena saya merasa tertekan dengan apa yang saya lihat dan baca, dan bukan karena keyakinan yang benar bahwa doa-doa saya adalah bagian dari karya objektif Roh Kudus dalam kehidupan gereja. Sejak menyaksikan orang-orang yang pernah melayani bersama saya itu menderita pada 2018, saya telah belajar untuk memandang doa saya tidak hanya sebagai alat untuk meringankan ketidaknyamanan saya, melainkan sebagai senjata saya melawan kekuatan jahat di dunia ini.

Satu pertanyaan yang terus-menerus saya tanyakan pada diri sendiri sejak 2018 adalah apakah saya mampu berdoa untuk keadilan dan penghakiman? Keadilan Tuhan adalah kerangka teologis untuk memahami kekuatan kebaikan di dunia ini dan sebuah janji yang akan digenapi di akhir zaman. Seperti yang ditunjukkan oleh saudara-saudari kita di Tiongkok dan Afganistan, memberitakan Injil adalah tentang mempercayai Tuhan yang menghancurkan kejahatan dan memiliki belas kasihan Kristus. Jika doa kita untuk situasi di Afganistan terasa hampa, maka kita perlu mengkaji ulang bagaimana kita berdoa.

Kedua, menyaksikan penderitaan gereja-gereja yang saya ketahui telah membuat saya memeriksa apa yang saya yakini tentang ketekunan orang-orang kudus. Apa yang terjadi hari ini bukanlah akhir dari cerita. Tetapi apakah saya percaya itu dan apakah saya berdoa sesuai dengan hal tersebut? Ketika saya melihat tentara Amerika terakhir meninggalkan Afganistan, apakah saya percaya bahwa rencana terbaik Tuhan bagi umat-Nya tidak pergi bersama dengan tentara itu? Karena Tuhan sendiri tidak pergi. Saya tidak bermaksud mengatakan hal yang usang. Ini bukan pernyataan sembrono untuk mengatakan bahwa siapa yang berkuasa tidaklah penting atau bahwa realitas jasmaniah kita dalam hidup ini tidaklah penting.

Tetapi jika cara pandang kita terhadap sejarah gereja menghendaki adanya penguasa yang ramah dan kebebasan personal untuk percaya bahwa gereja tidak hanya dapat bertahan tetapi tumbuh, maka kita memiliki pandangan yang salah tentang hubungan Allah dengan gereja-Nya.

Ada banyak hal yang saya doakan untuk Afganistan—keadilan dan perlindungan bagi wanita dari segala usia, keadilan dan pemulihan atas penyalahgunaan pemerintahan, stabilitas ekonomi, dll. Saya berdoa bagi orang-orang Kristen yang mengkhawatirkan hidup mereka dan ingin keluar. Saya berdoa agar terjadi penyelamatan yang ajaib.

Tetapi saya juga berdoa untuk mereka yang tetap tinggal. Saya berdoa kiranya hidup mereka akan menjadi benih dari gerakan Injil, sama seperti yang telah kita lihat di Tiongkok. Saya berdoa agar mereka diberi kuasa untuk menjadi gereja yang kuat dan berani dalam dekade-dekade mendatang sehingga dalam 50 tahun, kita mungkin akan takjub menemukan gereja terbesar di dunia muslim. Saya berdoa agar cinta mereka untuk Afganistan dan rakyatnya akan mendorong mereka untuk melakukan sesuatu.

Ketika kita sadar akan penderitaan saudara-saudari di bagian dunia yang lain, biarlah itu memuridkan kita untuk lebih terlibat di tengah penderitaan yang kita lihat di Afganistan dan di sekitar kita. Kita masih memiliki tetangga yang anaknya meninggal karena kanker. Kita masih memiliki para janda yang terisolasi, yang duduk sendirian di malam hari. Kita masih memiliki masalah penindasan finansial, psikologis, dan rasial. Kita masih memiliki gereja-gereja yang terpecah. Kita masih memiliki luka yang perlu dibalut.

Penderitaan bukanlah suatu fenomena dari gereja yang teraniaya; meskipun kita mencoba untuk menghindarinya, penderitaan hadir di mana-mana. Penderitaan adalah bagian identitas kita sebagai ahli waris dari Tuhan yang menderita, sebuah identitas yang banyak dari kita berusaha untuk melarikan diri daripadanya. Di mana Anda menghindari penderitaan bersama Kristus? Di mana Anda dapat bersaksi tentang nama-Nya dengan mengalami penderitaan itu? Pergilah ke sana ketika Anda tergerak oleh apa yang Anda lihat tentang keberanian saudara-saudarimu di Afganistan.

_Hannah Nation menjabat sebagai direktur pelaksana dari Center for House Church Theology dan direktur konten untuk China Partnership . Dia adalah co-editor dari_ Faith in the Wilderness: Words of Exhortation from the Chinese Church (Kirkdale Press, 2022).

Diterjemahkan oleh: George H. Santoso

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Telegram.

Books
Review

Tuhan Menyukai Doa yang Gigih

Ia tidak tersinggung ketika kita meminta, meminta, dan meminta lagi.

Christianity Today November 3, 2021
Rawpixel / Envato Elements

Setiap minggu penuh dengan krisis—di dunia, di gereja, dan sering kali dalam keluarga kita sendiri. Wajar bagi kita untuk bertanya-tanya: Bagaimana seharusnya saya mendoakan hal-hal tersebut? Sebagai orang Kristen, kita bermimpi memiliki kehidupan doa yang khusyuk, berbuah, dan mengatasi berbagai kesulitan. Tetapi terlalu sering kita akhirnya menyesali doa-doa yang tidak kita panjatkan dan bertanya-tanya apakah Tuhan kecewa dengan kurangnya semangat rohani kita.

Just Ask: The Joy of Confident, Bold, Patient, Relentless, Shameless, Dependent, Grateful, Powerful, Expectant Prayer (Helping Christians to pray so that it is a delight, not a duty.)

Untuk pendoa yang cemas atau ragu-ragu, judul dua kata yang tajam dari buku terbaru J.D. Greear Just Ask— menawarkan kepastian sekaligus nasihat. Kata pertama just (hanya) menyampaikan kesederhanaan doa seperti doa anak-anak. Jangan khawatir tentang apakah Anda mengungkapkannya dengan benar atau tidak, kata Greear, yang adalah seorang pendeta di Carolina Utara dan mantan presiden Southern Baptist Convention. Berdoalah saja.

Subjudul buku ini menggambarkan sikap-sikap yang, menurut pendapat Greear, seharusnya melambangkan pendekatan kita terhadap doa: percaya diri, berani, sabar, tak kenal lelah, tak malu, bergantung, penuh syukur, penuh kuasa, dan penuh harap. Namun terlepas dari nada optimis kata-kata ini, Just Ask bukanlah basa-basi ringan di mana kita tinggal menyebutkan dan mengklaim keinginan kita, dan Greear berusaha keras untuk memberikan alasan mengapa Tuhan mungkin menolak untuk menjawab sebuah doa.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Instagram.

Buku ini berisi tujuh bab yang disusun menjadi dua bagian. Greear memulai dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti “Sejujurnya, apakah doa ada gunanya?” dan “Tetapi serius, mengapa Tuhan tidak menjawab saya?” Kemudian Greear membahas lebih praktis, memetakan berbagai hal yang harus dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Dan dia menutup buku dengan sepuluh saran yang lugas.

Pada awalnya, pembaca mungkin tersentak ketika Greear menusuk mereka dengan klaim bahwa “secara naluriah kita semua berdoa dengan cara yang salah.” Tetapi dia melunakkan sengatannya dengan cara memposisikan dirinya sendiri di antara para pembacanya yang terdakwa. Mengambil wawasan dari figur-figur berotoritas seperti Augustine, G.K. Chesterton, Charles Hodge, Tim Keller, J.I. Packer, John Piper, dan para penulis alkitabiah lainnya, Greear menuntun kita memahami dasar-dasar doa dan memotivasi kita untuk memulainya.

Greear mendorong para pembaca untuk meresponi Yesus secara serius ketika Ia berkata, “Di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yoh. 15:5). Meskipun meminta bukan satu-satunya komponen doa, kita tetap perlu meminta. Bagaimana kita dapat menghindari kekecewaan yang ditimbulkan oleh diri sendiri karena kita menyerah terlalu cepat? Solusinya sederhana, kata Greear—teruslah meminta! Mereka yang adalah anak-anak Allah, diadopsi ke dalam keluarga-Nya melalui penebusan darah Kristus, memiliki segala alasan untuk berani mendekati (dan mendekati lagi) takhta kasih karunia.

Meskipun buku Just Ask berfokus pada satu aspek iman (doa), buku ini pada akhirnya membahas totalitas iman dan hubungan seseorang dengan Tuhan secara umum. Greear terus-menerus menyampaikan tema ini: “Tuhan memberi beberapa hal sebagai tanggapan atas doa yang terus-menerus, sabar, tak kenal lelah, lancang, berani, gigih tanpa malu-malu.” Dengan menjelaskan bahwa “Tuhan dimuliakan melalui ketekunan kita,” ia meyakinkan kita bahwa permohonan kita yang berulang-ulang menunjukkan “bahwa Tuhan adalah satu-satunya tempat [kita] harus datangi.”

Secara keseluruhan, buku Just Ask bersifat persuasif, menarik, dan sering kali menyatakan kesalahan kita. Walaupun demikian, buku ini terkadang menjadi mangsa dari hal yang menurut saya merupakan dikotomi palsu. Saya akan meminta Greear, misalnya, untuk menambahkan beberapa nuansa pada evaluasi diri yang disebutnya “Tes Asam”: yaitu, tindakan menanyakan apakah kita datang kepada Tuhan karena Dia indah atau karena kita ingin mendapatkan sesuatu, seolah-olah dua motivasi ini eksklusif satu sama lain. Tentu saja, kita mungkin mendekati Tuhan secara egois, sebagai Pribadi yang mengabulkan permintaan-permintaan. Namun bukankah keindahan Tuhan dan pemberian-Nya berjalan beriringan? Salah satu aspek yang paling indah dari karakter-Nya adalah bahwa Ia memberi dengan murah hati kepada anak-anak-Nya. Ketika Tuhan memberi, sebagai jawaban atas doa kita, dan kita membalasnya dengan rasa syukur yang tulus, Dia mendapat kemuliaan sebagai sang Pemberi yang baik. Bahkan, kita tidak dapat datang kepada Tuhan tanpa memercayai bahwa Dia memberikan upah kepada kita (Ibr. 11:6).

Pada bagian lain, Greear menasihati kita untuk tidak meminta Tuhan melakukan apa yang telah Dia janjikan. Sekali lagi, saya melihat hal ini sebagai dilema palsu. Sebagai contoh, ketika Tuhan berjanji untuk menguatkan dan menolong kita (Yes. 41:10), bukan berarti kita tidak beriman, melainkan kita beriman untuk meminta agar Ia menyesuaikan janji itu dan memberikan pertolongan yang Ia janjikan itu untuk situasi saat ini. Berikut ini contoh lainnya: Tuhan berjanji untuk memberi kita hikmat, tetapi Yakobus secara eksplisit mengundang kita untuk memintanya (1:5).

Waspadalah membaca buku tentang doa tanpa berdoa (bahkan ketika kita hanya menulis ulasan tentangnya). Saya jadi teringat dengan kuburan kemunafikan yang dilabur putih (Mat. 23:27). Saat membaca buku Just Ask, saya berdoa agar Tuhan membantu saya melihat apa yang harus saya lihat, melakukan apa yang harus saya lakukan, dan menjadi apa yang seharusnya. Mudah-mudahan, buku Greear akan membuat banyak orang lain memiliki kebiasaan yang sama.

Sam Crabtree adalah seorang pendeta di Gereja Baptis Bethlehem di Minneapolis. Beliau adalah penulis_Practicing Thankfulness: Cultivating a Grateful Heart in All Circumstances.

Diterjemahkan oleh: Fanni Leets

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Instagram.

Kembali Tanpa Sensasi: Kembali Bergereja Tidak Akan Menjadi Perayaan Seperti Yang Pernah Kita Bayangkan

Bukannya menjadi sebuah pesta besar, pembukaan kembali gereja membawa emosi yang campur aduk dan panggilan untuk setia setiap hari.

Christianity Today November 1, 2021
Illustration by Dan Bejar

Ketika penutupan gereja akibat COVID-19 dimulai pada 2020, banyak pendeta berpikir bahwa penutupan itu hanya akan berlangsung beberapa minggu saja. Bahkan pada minggu-minggu awal pandemi, kita seringkali tidak sabar untuk bangun dari sofa dan kembali beribadah di tempat ibadah sebagaimana lazimnya. Kita membayangkan dapat memeluk semua orang, beribadah berdampingan, berjalan maju menerima Perjamuan Kudus, dan berlama-lama untuk mengobrol.

Kita semua tahu bagaimana kelanjutan kisah ini. Pendemi ini terus berlangsung bulan demi bulan. Pada 2021 ini, sebagian besar gereja Protestan di Amerika Serikat beribadah, baik dalam kapasitas yang sangat terbatas atau tidak sama sekali.

Bersyukur atas adanya vaksinasi dan menurunnya tingkat infeksi, sehingga keadaan mulai berubah. Pada musim semi dan panas ini, lebih banyak gereja akan mulai berpindah dari ibadah secara virtual menjadi ibadah tatap muka, dari luar kembali ke dalam gereja, dari pertemuan yang tersebar menjadi pertemuan yang utuh. Jika Tuhan mengizinkan, kita akan kembali ke tempat di mana kita dapat bertemu di hari Minggu pagi tanpa risiko terpapar virus yang telah mendominasi kehidupan kita.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Instagram.

Tetapi kemungkinan besar kembalinya kita tidak akan seperti reuni yang ramai yang pernah kita bayangkan. Ketika gereja-gereja mulai dibuka kembali, tetap akan ada tindakan-tindakan pencegahan terkait COVID-19, dan keluarga-keluarga akan kembali secara bertahap, tergantung pada kondisi kesehatan pribadi dan kesadaran mereka.

Kita juga akan diperhadapkan pada emosi kita sendiri yang bercampur aduk. Ketika gereja saya tahun lalu mulai mengadakan pertemuan-pertemuan ibadah yang kecil dan menyesuaikan keadaan, lagu pertama yang kami nyanyikan bersama adalah “Dunia Gemar dan Soraklah.” Saya tidak dapat mendengarkan suara orang lain, karena suara kami teredam oleh masker dan jarak, tetapi saya merasakan kehadiran Roh Kudus di antara kami. Saya langsung menangis kala itu. Saya tak pernah merasakan situasi seperti itu sebelumnya. Hal itu seperti kemenangan dan kepiluan pada saat bersamaan.

Kembali pada alunan lagu-lagu pujian membuat kita mengingat ibadah-ibadah Minggu dan liburan-liburan yang kita lewatkan. Berduka atas waktu-waktu saat kita terpisah juga merupakan bagian dari perayaan berkumpulnya kita kembali.

Dalam satu tubuh yang “tidak terdiri dari satu anggota, tetapi atas banyak anggota" (1Kor. 12:14), kita memperhatikan ada orang-orang yang tidak ada di sekitar kita. Kursi-kursi yang kosong menjadi pengingat akan anggota-anggota gereja yang tidak kembali, yang meninggalkan gereja selama pandemi, atau mereka yang sudah meninggal.

Para ahli kesehatan publik berbeda pendapat tentang standar pengukuran apa yang akan dipakai untuk menentukan bahwa pandemi sudah berakhir, dan jelas tidak ada konsensus di antara para pemimpin gereja–atau bahkan di dalam sebuah jemaat–tentang kapan kita sudah berada dalam keadaan aman. Meskipun demikian, banyak di antara kita yang akan menantikan tanda bahwa masa kehidupan rohani kita ini akan segera berakhir, sehingga masa yang baru dapat dimulai.

David Kinnaman, sebagai presiden dari Barna Group yang telah melakukan survei tentang tren keimanan selama pandemi COVID-19, khawatir bahwa pembatasan sosial selama satu tahun ini akan mengarah pada berjaraknya emosional kita.

“Akan selalu ada berbagai cara di mana para pemimpin gereja berpikir bahwa mereka sedang membuat suatu dampak yang lebih besar sebab orang-orang mulai hadir kembali ke dalam gedung gereja, tetapi hati dan pikiran jemaat tidak akan dapat sepenuhnya diyakinkan,” kata David pada saya, seolah-olah ia mengetahui bahwa saya sendiri telah kehilangan konsentrasi pada ibadah-ibadah hari Minggu. “Mereka akan menjadi enggan untuk bertindak, tidak akan mendaftar di acara-acara gereja, tidak akan menjadi pelayan, tidak akan memberi persembahan seperti dahulu.”

Beberapa survei menunjukkan bahwa bahkan orang-orang beriman yang setia pun akan menghadapi tantangan-tantangan rohani yang berkepanjangan. Angka kehadiran jemaat yang beribadah secara daring turun naik, dengan jumlah antara orang-orang Kristen biasa dan yang berkomitmen hampir sama. Angka pembacaan Alkitab setiap hari juga turun tahun lalu, tak lama setelah orang-orang mulai tidak terhubung dengan komunitas gereja mereka. Lebih dari setengah dari orang-orang Kristen yang biasa beribadah di gereja mengatakan bahwa mereka sudah tidak berhubungan dengan orang-orang lain dari gerejanya selama pandemi ini.

Sama seperti tidak akan ada perayaan besar yang menandai dibukanya kembali pintu-pintu gereja kita, demikian pula mungkin tidak akan ada tanda yang mengisyaratkan kita untuk kembali melayani di gereja. Kita mungkin lebih merasakan kelesuan daripada kebangunan rohani. Tetapi Tuhan bisa mempercepat pemulihan kita. Tangan Dialah yang akan memimpin dan membuka hati kita, untuk kembali pada komunitas yang kita butuhkan dan yang membutuhkan kita.

Yesus sendiri tidak pernah mengadakan pesta pembukaan untuk segala usaha pelayanan-Nya. Sebaliknya, undangan pelayanan-Nya hadir pada saat yang kurang nyaman dan di tengah aktivitas sehari-hari: "Ikutlah Aku."

Pendirian gereja Kristus pada hari Pentakosta di Kisah Para Rasul mungkin merupakan demonstrasi panggilan Allah yang paling mencolok–menakjubkan ribuan orang dengan “suatu bunyi seperti tiupan angin keras” dan “lidah-lidah seperti nyala api” yang hinggap pada diri para pengikut-Nya (2:2-3)

Tetapi di Injil Yohanes, Roh Kudus turun ke atas para murid tidak dengan keriuhan. Yesus “mengembusi mereka dan berkata: 'Terimalah Roh Kudus’” (20:22). Dengan hal itu, para murid mula-mula diutus untuk mengabarkan Injil dan mendirikan gereja.

Sekarang kita punya tugas untuk membangun kembali persekutuan kita setelah lebih dari setahun terpisahkan oleh jarak. Ketika sudah tiba waktunya bagi kita untuk kembali bergereja, marilah kita tidak hanya memenuhi kursi-kursi lama kita yang kosong dan beribadah asal-asalan, melainkan saling melayani, memperhatikan, dan mendoakan satu sama lain. Mari kita melanjutkan kembali bagian kita di dalam gereja, dengan menyadari bahwa Roh Pentakosta ada di dalam diri kita, dan mungkin suatu hari nanti kita akan bisa cukup dekat untuk bernapas bersama lagi.

Kate Shellnutt adalah editor berita senior di Christianity Today.

Diterjemahkan oleh: Joseph Lebani

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Instagram.

Dengan Meningkatnya Kasus Bunuh Diri pada Remaja, Gereja Seharusnya Tidak Memberikan Pesan-pesan yang Campur Aduk Mengenai Kesehatan Mental

Betapa pelayanan dapat berperan dalam memberikan dukungan yang dibutuhkan oleh kaum muda.

Christianity Today October 24, 2021
Don't Give Up Signs

Artikel ini pertama kali diterbitkan pada tahun 2017.

Musim panas ini, pada padang berumput di kampung halaman saya yang kecil, papan-papan tulisan bermunculan. Papan-papan itu menjadi saksi dari apa yang telah terjadi di wilayah kami sepanjang setahun terakhir. Beberapa kasus bunuh diri remaja telah mengguncangkan komunitas kami yang tenang di Lembah Willamette Oregon, dan masyarakat menjadi sangat bingung.

Kami mempertanyakan pertanyaan yang mesti dihadapi oleh berbagai komunitas ketika dikejutkan dan diguncangkan oleh tragedi yang serupa: Mengapa? Mengapa para remaja membunuh diri mereka? Siapa yang harus disalahkan atas keputusasaan mereka? Apa yang bisa dilakukan untuk membendung gelombang kehilangan ini?

Papan-papan tulisan hitam putih tersebut, yang tidak lebih besar daripada papan tulisan yang banyak bermunculan selama masa pemilu, adalah jawaban dari seorang ibu terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut. Pada suatu pagi di akhir pekan, Amy Wolff memasang 20 papan tulisan di sekitaran kota, masing-masing dengan slogan tunggal: “Kamu Berharga." “Jangan Menyerah.” “Kesalahanmu Tidak Menentukan Siapa Engkau.” “Kamu Layak Dicintai.” Hanya dalam beberapa minggu, kampanye Wolff menyebar ke komunitas-komunitas lain di Oregon dan negara-negara bagian sekitarnya.

Berdasarkan bukti pengalaman yang diceritakan, menunjukkan bahwa anak-anak muda, termasuk para siswa di sekolah-sekolah Newberg, menemukan harapan dalam pesan-pesan tersebut; Wolff melaporkan bahwa ia mendengar dari mereka yang telah dikuatkan untuk bertahan hidup meskipun mereka putus asa.

Namun bagi komunitas kita—dan bagi banyak komunitas lainnya, di mana satu kematian akibat bunuh diri berarti terlalu banyak—suatu kampanye positif yang sederhana namun signifikan tidak dapat menjadi akhir dari segala upaya untuk memerangi bunuh diri pada remaja. Sementara menegaskan “Kamu Berharga” merupakan sebuah langkah penting untuk membantu mereka yang sedang berjuang dengan diagnosa gangguan mental, komunitas-komunitas perlu mengambil tindakan lain yang signifikan untuk menjangkau mereka yang sedang bergumul dari waktu ke waktu dengan keputusasaan dan niatan bunuh diri, khususnya di usia yang masih sangat muda.

Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit di AS, tingkat bunuh diri anak perempuan usia 15-19 tahun naik dua kali lipat di antara tahun 2007 dan 2015, dan ada sedikit peningkatan yang signifikan dalam tingkat bunuh diri anak laki-laki. Sebuah artikel majalah Time pada akhir 2016 menunjukkan bahwa meskipun ada peningkatan yang substansial pada remaja yang mengalami depresi, negara tersebut belum melihat pertumbuhan yang sesuai dalam hal sumber-sumber daya bagi kesehatan mental.

Dalam sebuah studi di 2014, lebih dari tiga juta remaja di AS mengalami masa depresi berat dalam satu tahun terakhir, namun sebagian besar sekolah dan komunitas tetap tidak siap untuk mengatasi tantangan-tantangan yang mereka alami. Mengetahui statistik yang mengejutkan ini, kaum muda negara kita sedang menghadapi krisis kesehatan mental yang besar: sebuah krisis yang harus dihadapi oleh gereja dan misinya yang pro-kehidupan, segera dan dengan penuh kasih.

Saat ini, ada lebih banyak orang Kristen menyadari kebutuhan untuk menjangkau mereka yang memiliki diagnosa gangguan kesehatan mental. Penulis seperti Sarah Lund dan Amy Simpson menyebutkan stigma yang sering menyertai gangguan mental dan menantang para pembaca untuk memandang gangguan mental sebagaimana adanya: suatu kondisi kesehatan yang disebabkan oleh perubahan fisiologis di otak, dan yang dapat menimbulkan penderitaan yang luar biasa, terutama jika dibiarkan tidak tertangani.

Namun, bagi beberapa orang, stigma gangguan mental tetap ada, dan orang-orang di gereja dengan diagnosa ini seringkali menderita dalam diam. Setelah mendengar bahwa sukacita dari Tuhan adalah kekuatan mereka atau bahwa mereka perlu lebih banyak berdoa agar disembuhkan atau bahwa kebahagiaan menyertai umat yang setia, banyak orang yang menderita gangguan mental ini merahasiakannya sebagai sebuah rahasia yang memalukan.

Salah satu penderita yang memilih diam adalah Madison Holleran, seorang atlet Ivy League yang setelah berbulan-bulan memasuki tahun pertama kuliahnya, kemudian mengakhiri hidupnya pada 2014. Kisahnya diceritakan dalam buku baru yang luar biasa karya Kate Fagan, What Made Maddy Run: The Secret Struggles and Tragic Death of an All-American Teen. Dalam buku What Made Maddy Run, Fagan—seorang penulis untuk ESPN—menceritakan beberapa bulan terakhir kehidupan Madison Holleran, melalui wawancara dengan keluarga dan teman, bersamaan dengan pesan-pesan teks di telepon genggamnya, email, dan akun-akun media sosialnya, untuk mengumpulkan bukti dorongan potensial yang membuat Holleran mengambil keputusan untuk mengakhiri hidupnya.

Secara penampilan, Holleran adalah gambaran hidup yang sempurna. Dari platform media sosialnya, gadis yang berusia 18 tahun itu menampilkan sosok yang selalu bahagia dan positif. Bahkan dalam pergumulan panjangnya selama berbulan-bulan terkait gangguan mental yang semakin dalam, Holleran berusaha untuk menampilkan kepribadian yang berbeda, sehingga membuat kematiannya menjadi sangat mengejutkan bagi banyak orang yang mengenalnya dengan baik.

Sementara Fagan menahan diri untuk mencari tahu alasan mengapa Holleran bunuh diri, buku What Made Maddy Run menunjukkan bahwa tekanan sebagai seorang atlet perguruan tinggi memiliki peran atas keputusan tersebut. Pengalaman Holleran sebagai pelari lintas alam Pennsylvania mencerminkan tekanan intens yang dibebankan kepada para atlet muda.

Lebih penting lagi, sebagian besar mereka dengan penyakit mental mengalami gangguan awal di akhir masa remaja atau di awal masa dewasa; bagi banyak orang, transisi ke perguruan tinggi memperburuk gejalanya dan juga mengisolir si penderita, yang kerap jauh dari dukungan keluarga dan teman-teman dekat. Konektivitas internet yang tersedia tidak banyak membantu untuk mengurangi isolasi tersebut, dan bagi Holleran, yang terpaksa menampilkan gambaran terbaik dari hidupnya di Pennsylvania, media sosial justru lebih memperparah kesepiannya daripada menguranginya.

Bagian dari reportase Fagan termasuk menganalisis pesan-pesan teks dan riwayat perambanan (browsing history) Holleran. Meskipun tidak ada indikasi bahwa Holleran dirundung secara daring, ini adalah ketakutan parental lainnya yang menghubungkan akses internet dengan bunuh diri, meski mungkin untuk alasan yang baik. Dalam sebuah kasus pengadilan baru-baru ini, Michelle Carter dinyatakan bersalah atas pembunuhan yang tidak disengaja karena meyakinkan pacarnya untuk mengakhiri hidupnya; Film dokumenter Audrie and Daisy (siaran di Netflix), memberikan bukti mengerikan bahwa perundungan secara daring memiliki konsekuensi yang menghancurkan, terutama bagi gadis remaja yang mengalami pelecehan seksual.

Sayangnya, kampanye sederhana “Kamu Berharga” tidak cukup untuk menjangkau seseorang yang sedang berjuang keras terhadap gangguan mental, seperti Holleran. Namun, ideologi yang mendasari kampanye itu harus menjadi inti dari keterlibatan gereja dengan orang-orang muda yang berjuang dengan diagnosis gangguan mental: gagasan bahwa setiap orang berharga, karena setiap orang adalah gambaran dari Pencipta kita.

Namun, sebagus-bagusnya, terlalu sering gereja-gereja memberikan pesan yang campur aduk. Beberapa jemaat menyampaikan bahwa kesalahan-kesalahan kita benar-benar mendefinisikan diri kita dan bahwa hal-hal tersebut tidak cukup berharga bagi kita untuk melakukan perubahan yang nyata dan jangka panjang terhadap cara gereja beroperasi. Legalisme yang tampaknya kaku dari beberapa orang Kristen menyatakan pesan bahwa kita perlu menjadi sempurna—hampir tanpa dosa—untuk menjadi bagian dari komunitas Kristen; tidak mengherankan bahwa penelusuran sederhana dari Google tentang “menjadi sempurna sebagai seorang Kristen” menghasilkan lebih dari lima juta sumber. Meskipun kita mengakui ketidaksempurnaan kita sebagai pengikut Yesus, kita mendengar juga bahwa mereka yang beriman tidak akan memiliki pergumulan—atau, pasti, mereka tidak akan menyebutkan pergumulan mereka di gereja.

Saat membaca buku What Made Maddy Run, saya bertanya-tanya apakah kehidupan Holleran dan kampanye Wolff “Kamu Berharga” dapat menginspirasi gereja-gereja untuk berpikir secara berbeda tentang orang-orang muda di komunitas mereka yang menderita gangguan mental. Apa artinya membuat orang-orang muda tahu—sungguh tahu—bahwa mereka penting? Apa artinya membuat mereka tahu bahwa kesalahan mereka tidak mendefinisikan diri mereka, dan bahwa mereka harus bertahan dalam hidup, bahkan ketika tantangan diagnosis gangguan mental membuat mereka terguncang?

Salah satu mitos tentang bunuh diri adalah bahwa semakin sering dibahas, semakin besar kemungkinan orang muda mempertimbangkan untuk melukai diri sendiri. Penelitian menunjukkan bahwa bukan ini masalahnya, dan bahwa membicarakan tentang pemikiran bunuh diri tidak meningkatkan risiko bunuh diri. Gereja perlu mendiskusikan tentang bunuh diri secara lebih terbuka kepada orang-orang muda, dan mereka yang bergumul dalam pemikiran untuk melukai diri sendiri (dan percayalah, orang-orang seperti ini ada di dalam jemaat) ada dalam posisi yang tepat untuk mendorong diskusi tersebut.

Di komunitas asal saya, Nate McIntyre, seorang konselor penerimaan mahasiswa di Universitas George Fox, telah berbicara di kelompok sekolah menengah pertama dan menengah atas tentang pengalamannya dengan depresi, kecemasan, dan pemikiran tentang bunuh diri. Pembicaraan yang disampaikan McIntyre menjadi salah satu cara untuk mengatasi bunuh diri remaja secara langsung, yang memungkinkan remaja untuk melihat bahwa ada orang yang hidup dan bertahan (dan bahkan berhasil) meskipun menderita gangguan mental.

Diskusi-diskusi yang menghilangkan stigma bunuh diri juga mengharuskan kita untuk mengubah bahasa yang kita gunakan ketika berbicara tentang bunuh diri. Kita mungkin cenderung mengatakan bahwa bunuh diri adalah “tindakan egois” atau bahwa orang muda “yang menyerah pada kehidupan,” tetapi penting sekali untuk merangkai ulang bahasa kita untuk mengakui bahwa yang sering terjadi, bunuh diri muncul dari penyakit seseorang dan merupakan suatu usaha untuk mengakhiri penderitaan yang mendalam dan terus berkanjang. Mengetahui hal ini, bahkan ketika berkata seseorang “melakukan bunuh diri” adalah problematis, karena konotasinya bunuh diri adalah sebuah kejahatan, daripada sebuah tindakan keputusasaan yang tragis.

Menamai keputusasaan yang dapat menyertai gangguan mental bisa menjadi pekerjaan yang sulit, sama seperti halnya berjalan bersama mereka yang menghadapi berbagai tantangan dalam mengasuh remaja dengan gangguan mental. Kecenderungan manusia untuk menghindari ketidaknyamanan terkadang berarti bahwa mereka yang sedang bergumul, menghadapi isolasi yang meningkat ketika yang paling mereka butuhkan adalah keterhubungan dengan orang lain. Bagaimanapun juga, kenyamanan adalah sebuah keistimewaan. Pengikut Yesus dipanggil untuk melangkah mendekati, bukan menjauhi, mereka yang membutuhkan dukungan, kasih, dan pengakuan bahwa mereka eksis dan berharga, apapun tantangan-tantangan yang mereka hadapi.

Pada akhirnya, mereka yang melayani kaum muda di gereja perlu memprioritaskan pencegahan bunuh diri melalui berbagai diskusi dan forum, juga dengan memberi tahu para remaja tentang sumber daya yang tersedia untuk mereka dalam komunitas asal mereka. Upaya ini harus komprehensif dan seharusnya tidak hanya menargetkan mereka yang kita asumsikan sedang mengalami depresi. Buku What Made Maddy Run menjadi pengingat yang penting bahwa terkadang kita tidak bisa dengan mudah mengidentifikasikan mereka yang paling bergumul, dan sangat penting untuk memperlengkapi para remaja agar mengenali tanda-tanda peringatan yang mungkin mengarah pada bunuh diri.

Ketika sumber daya tidak ada, sudah merupakan keharusan bagi gereja untuk mengisi kesenjangan tersebut, menyediakan jaring pengaman bagi orang-orang di dalam komunitas mereka yang sedang bergumul. Dan gereja-gereja perlu tetap terhubung dengan kaum muda dewasa dalam jemaat ketika mereka lulus sekolah menengah dan melanjutkan pendidikan mereka. Seperti yang dicatat Fagan dalam buku What Made Maddy Run, ini adalah waktu yang penting bagi kaum muda dewasa, dan keterhubungan yang otentik dengan orang-orang, baik di rumah maupun di tempat lain, adalah vital.

Saya berbicara dengan putra-putra saya tentang kematian remaja yang terjadi di kampung halaman kami, dan mereka mulai memahami beratnya gangguan mental, serta bagaimana menjangkau teman sebaya mereka yang sedang bergumul. Saya bersyukur atas kampanye “Kamu Berharga” yang dilakukan Wolff, karena kampanye ini telah membangkitkan kesadaran di kampung halaman saya, dan saya sangat yakin jika anak-anak laki-laki saya membutuhkan bantuan, mereka akan menemukan sumber daya yang cukup dan komunitas gereja yang penuh kasih untuk mendukung mereka. Saya juga bersyukur bahwa gereja-gereja lokal lainnya yang mengubah pembicaraan tentang bunuh diri. Gereja Red Hills Newberg bahkan telah membuat komponen utama dari pernyataan misinya bahwa “tidak apa-apa untuk tidak baik-baik saja” dan sedang melakukan pelayanan intensional yang diperlukan untuk menjangkau mereka yang menderita.

Ketika remaja yang merasa putus asa dibombardir dengan berjuta gambaran yang memberi tahu mereka bahwa semua orang tidak apa-apa, inilah jenis pesan yang perlu mereka dengar. Buku yang ditulis Fagan, What Made Maddy Run, menjelaskan hal ini. Jadi, karena buku Fagan juga menginformasikan pemahaman saya tentang gangguan mental, maka saya berencana menjadikan buku What Made Maddy Run sebagai bagian rutin dari seminar tahun pertama yang saya ajar setiap tahun. Sama seperti terhadap remaja lainnya, saya ingin para mahasiswa yang mulai studi di Universitas George Fox menyadari bahwa mereka berharga. Ini adalah pesan yang perlu mereka dengar, tidak hanya sekali atau dua kali, tetapi berulang kali.

Melanie Springer Mock adalah profesor bahasa Inggris di Universitas George Fox dan penulis dan editor lima buku, termasuk Worthy: Finding Yourself in a World Expecting Someone Else (Diterbitkan Herald Press, April 2018). Esai dan ulasannya telah muncul di antara lain di The Nation, The Chronicle of Higher Education, Adoptive Families, dan Mennonite World Review. Dia dan suami serta putranya tinggal di Dundee, Oregon.

Diterjemahkan oleh: Helen Emely

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Telegram.

Bahkan di Masa Krisis, Belajar Tidaklah Pernah Sia-sia

COVID-19 bukanlah alasan untuk mengabaikan panggilan Tuhan untuk belajar.

Christianity Today October 17, 2021
Illustration by Chris Koehler

Saya berbaring sendirian di ranjang rumah sakit dengan rasa sakit menjalar di sekujur tubuh saya. Selama tiga bulan, saya tidak dapat berdiri atau duduk lebih dari 30 menit. Para dokter tidak memiliki solusi untuk mengatasi nyeri saraf yang terus-menerus timbul dan kejang otot yang melemahkan kondisi tubuh saya. Dalam kesakitan ini, saya bertanya-tanya apakah panggilan saya dalam pengajaran kristiani dan pendidikan tinggi telah berakhir?

Sebelum sakit, saya adalah seorang profesor yang cukup sehat dan sukses mengajar di Universitas Baylor. Saya telah menerbitkan banyak buku, menyelesaikan pekerjaan penelitian penting, dan menikmati diskusi-diskusi kelas yang menyenangkan dengan para mahasiswa PhD dalam program yang dibangun dengan bantuan saya. Pada Maret 2017, saya melakukan pemeriksaan kesehatan rutin. Tak lama kemudian, mulailah penderitaan saya.

Saya menjadi tawanan rasa sakit. Agar rasa sakit itu tetap terkendali, saya harus merana di tempat tidur. Saya tidak bisa lagi bekerja, berolahraga, mengemudi, atau duduk semeja bersama keluarga untuk makan malam. Saya merasa terisolasi dari teman-teman dan gereja.

Saya juga tidak dapat memenuhi tanggung jawab sebagai seorang profesor. Selama beberapa bulan itu, saya bahkan tidak bersemangat untuk membaca, apalagi menulis. Dalam "pesta penderitaan seperti Ayub" ini, saya merasa seolah-olah segala sesuatu yang selama ini telah memberi saya kepuasan atau kejelasan identitas diri tiba-tiba dirampas. Saya bertanya-tanya, “Siapakah saya, ketika sekarang saya sepertinya telah kehilangan segalanya?” Apakah suatu saat nanti saya akan bisa kembali mengajar, menulis, dan belajar dengan cara yang sama lagi?

Sangat besar kemungkinan, dampak COVID-19 telah menyebabkan sejumlah pengajar dan pelajar mempertanyakan hal yang sama. Mungkin Anda (atau orang yang Anda kasihi) telah tertular virus tersebut dan mengalami komplikasi jangka panjang. Mungkin pengaturan hidup Anda jungkir balik karena pembelajaran secara daring, karantina wilayah, atau kehancuran ekonomi. Krisis selalu menimbulkan pertanyaan tentang siapa kita dan apa panggilan Tuhan bagi kita. Saya berharap tulisan ini dapat mengingatkan kita tentang alasan dari panggilan kita untuk belajar—dan untuk mengatasi hambatan dan gangguan yang cenderung ditimbulkan oleh krisis dalam hidup kita.

Ambil Alih Kendali dengan Doa

“Saya tidak mau mati,” kata putra bungsu saya saat mendiskusikan COVID-19 pada suatu malam di meja makan. Ia berusia 16 tahun dan memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah, sama seperti istri saya. Anak laki-laki saya yang lain pernah menderita asma. Saya juga memiliki orang tua berusia 81 tahun, salah satunya memiliki paru-paru yang kolaps sebagian. Semua orang yang saya cintai terlihat rentan dan rapuh.

Saya tahu pengalaman saya tidaklah unik. Kita semua takut kehilangan orang yang kita cintai. Momok kematian menghantui kita. Kita mungkin melupakan panggilan yang telah kita terima dari Tuhan. Apa yang kita lakukan ketika rasa takut akan kematian mengalihkan kita dari panggilan itu?

Pertama, kita harus berdoa. Ketika istri saya memberi tahu bahwa dia merasa tidak sehat beberapa bulan yang lalu, saya merasakan ketakutan yang luar biasa. Apakah itu COVID-19? Ketika rasa takut mengancam untuk mengambil alih hidup kita, doa harus mengambil alih kendali. Kita berdoa supaya hati kita selaras dengan hati Tuhan. Melalui doa, Ia menghibur dan membimbing kita, mengingatkan kita tentang siapa Dia dan siapa kita.

Seperti apa doa selama masa krisis? Ada beberapa bentuk doa. Kakak ipar saya, yang hidup dengan sakit kronis sepanjang hidupnya, mengajari saya bahwa terkadang Anda hanya perlu berdoa, “Tuhan, tolong saya untuk bisa hidup satu jam ke depan ini dengan baik” atau “Tuhan, bantu saya untuk bisa hidup lima menit ke depan ini dengan baik.” Pada lain waktu, doa bisa menjadi lebih berwarna. Selama saya menderita masalah kesehatan, banyak doa saya melibatkan lebih dari berteriak-teriak kepada Tuhan. Jika Anda masih bisa berteriak kepada Tuhan, itu bagus. Artinya, Anda masih hidup dalam relasi dengan Dia, meski sedang dalam keadaan stres berat. Lebih dari pada itu, sebagaimana Mazmur mengingatkan kita, Tuhan bisa mengatasinya. Bahkan, Tuhan adalah satu-satunya yang bisa memikul beban ketakutan kita.

Namun Mazmur juga memberi kita sesuatu yang lebih lagi. Selama saya dirawat di rumah sakit, beberapa teman lama di kampus datang dari Virginia untuk berkunjung, dan ini merupakan providensia Tuhan. Mereka berdoa dan menyemangati saya. Kemudian, seseorang mengirimi saya sebuah kitab Mazmur. Tentu saja, saya sudah memiliki Alkitab, tetapi untuk beberapa alasan tertentu, kitab Mazmur yang terpisah itu membuat saya membaca, berdoa, dan menghafalnya lebih lagi.

Dengan mempraktikkan ketiga hal tersebut, saya teringat untuk menjalani hidup dalam rencana Tuhan. Saya memperoleh kata-kata untuk mengungkapkan derita saya dalam ratapan: “Lesu aku karena berseru-seru, kerongkonganku kering” (Mzm. 69:4). Saya menghirup kerinduan yang dipenuhi harapan: “Sebab kepada-Mu, ya TUHAN, aku berharap; Engkaulah yang akan menjawab, ya Tuhan, Allahku” (Mzm. 38:16). Dan saya diingatkan: “TUHAN itu dekat kepada orang-orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya” (Mzm. 34:19).

Ingat Amanat Agung Pertama

Ketika kita menghadapi kelumpuhan emosional dan membenamkan diri kita lagi dalam persekutuan dengan Tuhan, kita dapat fokus kembali untuk memenuhi panggilan kita dalam rencana Tuhan. Khotbah C.S. Lewis “Belajar di Masa Perang,” yang disampaikan di awal Perang Dunia II mengingatkan kita bahwa manusia selalu menghadapi realitas kematian dan penghakiman abadi. Lewis mengajak para pelajar Kristen untuk bertanya pada diri sendiri, “Bagaimana [apakah] benar, atau bahkan mungkinkah secara psikologis, bagi manusia yang setiap saat dapat saja menuju entah ke surga atau neraka, untuk menghabiskan sebagian kecil waktu yang diizinkan di dunia ini untuk hal-hal sepele seperti sastra atau seni, matematika, atau biologi?"

Pada tahun pertama kuliah, saya merenungkan pertanyaan-pertanyaan serupa, dan saya mulai menjawabnya dengan cara yang mengganggu panggilan saya untuk belajar. Dalam pikiran saya, penginjilan dan pemuridan sederhana (seperti yang saya pahami secara sempit) lebih diutamakan daripada ilmu politik dan ekonomi. Saya mendapati diri saya diyakinkan oleh pertanyaan tajam yang sama yang ditanyakan Lewis kepada pendengarnya: “Bagaimana Anda bisa begitu sembrono dan egois sehingga berpikir tentang apa pun selain keselamatan jiwa manusia?”

Saya membutuhkan dua tahun kuliah untuk memahami apa yang esai Lewis jelaskan dalam beberapa paragraf. Anda tidak bisa menjalani seluruh hidup Anda dengan mentalitas medan perang. Seperti yang dicatat Lewis, bahkan tentara garis depan dalam Perang Dunia I jarang membicarakan tentang perang. Sebaliknya mereka menghabiskan sebagian besar waktu mereka untuk melakukan aktivitas normal, seperti membaca dan menulis.

Perang melawan COVID-19 tidak mengubah kenyataan itu. Memang, kita menghabiskan lebih banyak waktu untuk mencuci tangan, menjaga jarak, dan bekerja dari rumah, tetapi kita masih menghabiskan sebagian besar waktu untuk aktivitas sehari-hari seperti makan, menjalin relasi, bekerja, dan belajar. Kelas-kelas, pertemuan, kebaktian gereja, dan pergaulan kita dengan teman-teman terjadi secara virtual atau jarak jauh, tetapi semuanya yang terjadi tetap sama. Seperti yang Lewis katakan kepada rekan pengajar dan mahasiswa pendengarnya, jika Anda menangguhkan semua aktivitas intelektual dan estetika Anda dalam suatu krisis, “Anda hanya akan berhasil menggantikan kehidupan budaya yang lebih baik dengan yang lebih buruk.” Kita masih menghadapi keputusan-keputusan apakah akan menonton Netflix terus, studi di kelas, atau membina hubungan yang mendalam dengan teman dan keluarga—baik secara daring atau berjarak dua meter.

Singkatnya, dalam bahasa teologis, bahkan selama masa krisis, kita seharusnya tidak mengabaikan amanat agung Allah yang pertama (untuk memenuhi dan mengelola bumi) hanya karena amanat agung-Nya yang kedua (untuk memuridkan) tetap mengikat.

Kejadian 1 mengandung sebuah pernyataan yang luar biasa tentang manusia dan panggilannya: “Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi. Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.” (ay.26–27).

Tuhan mencipta. Karena manusia diciptakan menurut gambar-Nya, kita juga dirancang untuk mencipta. Bahkan, Allah dalam amanat agung pertama-Nya memanggil manusia untuk “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu” (Kej. 1:28). Kita diberi kehormatan untuk menciptakan budaya. Kita membuat peralatan, mencipta musik, dan bahkan membangun kota (tindakan yang dijelaskan di pasal keempat kitab Kejadian). Kita membangun seluruh peradaban dengan berbagai jalan dan jembatan, dengan bahasa dan buku. Kita membangun bisnis dan kegiatan-kegiatan amal, mendirikan rumah sakit dan universitas, serta mendirikan galeri seni dan teater.

Dalam semua upaya ini, Tuhan membuat kita mencari Dia dan mengenal pikiran serta karakter-Nya. Ia merancang kita untuk merindukan kebenaran, kebaikan, dan keindahan serta menemukan hikmat-Nya (Ams. 1, 8). Sebagai pendidik abad ke-12, Hugh dari St. Victor mengingatkan kita, mengejar hikmat berarti berjumpa dengan pikiran Tuhan yang hidup, seolah-olah seseorang menjalin “persahabatan dengan Sang Ilahi itu.”

Inilah alasan mengapa kita belajar—tidak hanya untuk mendapatkan uang atau pekerjaan, meskipun hal-hal ini penting. Kita belajar karena Tuhan menciptakan kita menurut gambar-Nya sehingga kita bisa mencerminkan kreativitas, kebenaran, kebaikan, dan keindahan-Nya. Kita juga belajar untuk menemukan kembali kepenuhan gambar Allah itu, bersama dengan Kristus untuk membalikkan efek kejatuhan manusia dalam dosa, baik pada kehidupan individu kita maupun dunia secara keseluruhan. Bahkan, orang-orang Kristen telah memenuhi dunia dengan sekolah-sekolah sebagai bagian untuk mencapai tujuan ini.

Pandemi hanya memperkuat poin ini. Jika para ahli epidemiologi, ilmuwan, dan pekerja kesehatan telah mengabaikan panggilan Tuhan untuk belajar di perguruan tinggi, mereka tidak akan siap untuk melawan virus ini. Kita membutuhkan para ahli ekonomi untuk membantu kita mengatasi krisis keuangan. Kita membutuhkan para psikolog, penyair, penulis, filsuf, dan seniman untuk membantu kita memproses berbagai emosi yang kita rasakan. Kita membutuhkan para pendeta, pemimpin pujian, dan orang awam yang dilengkapi secara teologis untuk membantu kita melihat pandemi dalam terang rencana Tuhan yang lebih besar.

Dalam perspektif ini, orang Kristen harus menjadi pihak yang paling bersemangat untuk belajar. Menghadapi krisis selalu membutuhkan hikmat Tuhan, yang kita temukan dalam Kitab Suci dan dalam tradisi manusia yang terbaik. Sebaliknya, seperti Amsal berulang kali mengatakan, hanya orang bodoh yang meremehkan hikmat, didikan, dan pengertian. Kita berperang melawan pandemi ini dengan mengejar pengetahuan dan mempergunakannya dengan terampil. Tentunya para tenaga kesehatan dan peneliti medis kita harus memanfaatkan semua kemampuan yang dapat diberikan oleh kecerdasan manusia dan rahmat Tuhan.

Mungkin saat ini Anda tidak yakin apakah akan mengejar atau menunda untuk belajar. Jika Anda benar-benar senang belajar dan mendengar panggilan itu untuk Anda (Ams. 1:20–33), Anda harus mengejarnya sekarang daripada menunggu sampai segala sesuatunya “kembali normal.” Sebagaimana yang dijelaskan Lewis tentang para pembelajar yang terhebat: “Mereka menginginkan pengetahuan dan keindahan sekarang, dan tidak akan menunggu saat yang cocok yang tidak pernah datang.”

Bentuk Disiplin yang Baru

Kita tidak perlu heran jika pandemi telah mengganggu jalannya proses belajar-mengajar. Krisis besar cenderung seperti itu. Namun, kita harus waspada agar tidak membiarkan keadaan buruk menguras dan melelahkan kita.

Ketakutan yang obsesif bisa menjadi penghalang utama untuk tetap bertahan. Apakah kecemasan mengambil alih hidup Anda, memenuhi setiap pikiran Anda ketika terjaga? Saya bisa membenarkan bahaya ini. Ketika saya pertama kali mengalami masalah kesehatan, saya membiarkan masalah itu mendominasi segala sesuatunya. Saya menghabiskan waktu berjam-jam mencari jawaban secara daring. Saya tergelincir ke dalam depresi karena rasa sakit dan kelelahan mental.

Saat saya menyerahkan diri pada pengejaran yang sia-sia itu, istri saya membagikan beberapa hikmat yang sangat dibutuhkan. Sepuluh tahun sebelumnya, ketika dia menghabiskan satu tahun di tempat tidur untuk pulih dari masalah kesehatan, dia telah belajar tentang menangani kondisi “karantina” yang harus dihadapinya. Tuhan secara perlahan mengajari dia akan pentingnya menyusun jadwal hariannya. Dia mengingatkan saya untuk memulai hari dengan meluangkan waktu bersama Tuhan dan melakukan peregangan dan latihan yang membantu saya menenangkan otot-otot yang tidak berfungsi dan memfokuskan kembali pikiran yang mengembara. Secara bertahap, saya belajar kembali untuk merawat tubuh, pikiran, dan jiwa saya.

Untuk belajar dengan baik selama pandemi, kita harus membangun struktur dan ritme baru yang menjaga agar tekanan saat ini tidak membebani kita. Sambil tetap berkomitmen pada tugas-tugas yang diberikan Tuhan, kita mungkin perlu bereksperimen dengan cara-cara yang tidak ortodoks untuk menyelesaikannya.

Selama menderita sakit parah, saya tidak bisa lagi duduk atau berdiri untuk waktu yang lama. Untuk bisa terus menulis, saya harus berpikir kreatif dan belajar menggunakan beberapa alat baru. Saya memesan tempat sandaran komputer yang memungkinkan saya menulis sambil berbaring di tempat tidur. Dengan rahmat Tuhan, saya segera menemukan bahwa fokus pada pekerjaan mengalihkan saya dari rasa sakit dan membantu saya menjadi lebih produktif dari sebelumnya. Nyatanya, saya menulis dua buku dengan cara ini.

Sama seperti terbaring di tempat tidur memaksa saya untuk menulis dengan cara baru, COVID-19 telah memaksa kita untuk belajar-mengajar dengan cara baru. Setelah merasakan mengajar secara daring maupun langsung, saya yakin bahwa mengajar secara langsung lebih kondusif untuk belajar. Siswa yang menghadiri kelas daring mudah terganggu oleh ponsel dan lingkungannya, termasuk hewan peliharaan, anggota keluarga lainnya, dan makanan ringan di dapur. Mempertahankan fokus membutuhkan bentuk disiplin yang baru.

Apa yang dapat membantu kita mencapainya? Pertama, kita perlakukan pembelajaran daring, seperti pembelajaran secara langsung, sebagai bagian yang esensial dari panggilan Tuhan dalam hidup kita. Kedua, kita memperlakukannya sebagai disiplin rohani yang meningkatkan proses pengudusan diri. Mendengarkan orang dengan cermat adalah keterampilan mengasihi. Pembelajaran daring mengharuskan kita untuk mempraktikkan kebajikan ini dalam konteks yang menantang. Ketiga, kita melatih pilihan moral. Untuk hal ini, kita perlu untuk tetap fokus secara mental dan menghindari godaan melakukan banyak tugas. (Dengan kata lain, matikan ponsel Anda!) Pembelajaran daring bukanlah alasan untuk usaha yang setengah hati. Seperti yang dikemukakan Lewis dalam Mere Christianity, “Tuhan tidak menyukai pemalas intelektual sama halnya seperti pemalas lainnya.”

Dan akhirnya, kita memberikan penghargaan bagi diri sendiri dengan cara beristirahat pada hari Sabat dan bermain. Jika kita merasa harus bekerja tujuh hari seminggu selama pandemi, kemungkinan besar kita lebih mempercayai kekuatan kita sendiri daripada Tuhan. Jika kita merasa perlu melewatkan persekutuan dengan Tuhan untuk bertahan hidup, kita gagal mempercayakan Tuhan dengan waktu kita.

Krisis COVID-19 hanya menegaskan apa yang seharusnya sudah diketahui orang Kristen: Sejak kejatuhan manusia dalam dosa, hidup tidak pernah “normal,” dan hari-hari selalu jahat (Ef. 5:16). Setan, dunia ini, dan kedagingan kita yang berdosa terus-menerus berkonspirasi untuk mengalihkan kita dari panggilan Tuhan dalam hidup kita. Namun kasih karunia-Nya masih memberdayakan orang-orang Kristen yang setia—di dalam dan di luar ruang kelas—untuk bersekutu bersama dengan Tuhan, untuk mengetahui pikiran dan rancangan-Nya, dan untuk mencapai segala tujuan-Nya di dunia ini.

Perry L. Glanzer adalah profesor yayasan pendidikan di Baylor University, di mana dia juga menjadi peneliti tetap di Institute for Studies of Religion. Dia adalah salah satu penulis The Outrageous Idea of Christian Teaching and Christ-Enlivened Student Affairs: A Guide to Christian Thinking and Practice in the Field.

Diterjemahkan oleh: David Alexander Aden

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Telegram.

J.I. Packer: Panduan Alkitab untuk Aktivisme Kristen

Mencoba memperbaiki masyarakat bukanlah keduniawian, melainkan kasih.

Christianity Today September 30, 2021
Illustration by Rick Szuecs / Source image: Genesis Photos

Teolog J. I. Packer, yang meninggal pada 17 Juli 2020 di usia 93 tahun, telah membantu jutaan orang Protestan Injili mengartikulasikan dan memahami apa yang mereka percayai. Buku-bukunya, seperti Knowing God yang terbit tahun 1973, tidak hanya menjelaskan doktrin—tetapi juga menghidupkan kembali gairah akan otoritas Kitab Suci, keajaiban salib, dan hidup kudus. Namun Christianity Today juga mengingat Packer sebagai seorang kolega. Dia berkontribusi pada beberapa edisi pertama kami dan, mulai tahun 1980-an, menjabat sebagai editor selama lebih dari tiga dekade. “Pompalah kebenaran,” ia mendorong kami untuk melakukannya, melalui lebih dari 70 artikel yang ditulisnya tentang penderitaan, novel misteri, jazz, ekumenisme, doa, dan lusinan topik lainnya.

Fotonya menyertai sebagian besar dari artikel yang ditulisnya, meskipun dalam sebuah artikel tahun 1991 ia mengatakan bahwa dia ingin dikenang karena menantang kultus kepribadian Injili: “Saya ingin dikenang sebagai ‘suara’ (seperti Yohanes Pembaptis, yang berseru-seru di padang gurun) yang menyemangati orang untuk berpikir, bukan sebagai pribadi yang merasa bahwa dengan status dan karismanya membuat mereka berhenti berpikir.” Suatu suara, katanya, “yang memanggil orang kembali ke jalan kebenaran dan hikmat.” Jadi dalam semangat itu, alih-alih menulis penghormatan panjang lainnya (Anda akan menemukan beberapa tulisan yang bagus di situs CT), kami menerbitkan ulang salah satu artikel klasik Packer, yang memompa kebenaran yang sangat dibutuhkan hari ini seperti pada tahun 1985. —Para editor

Dalam Perjanjian Baru, kewajiban sipil diperintahkan dengan sangat tegas bersamaan dengan-bahkan, sebagai bagian dari—kewajiban untuk melayani Tuhan. Ketika Yesus menjawab pertanyaan tentang membayar pajak dengan kata-kata “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah” (Mrk. 12:17), ini bukanlah sebuah cara cerdik untuk menghindari pembayaran pajak, melainkan sebuah pengakuan yang jelas bahwa memberikan apa yang ditetapkan oleh rezim politik yang ada adalah bagian dari panggilan kristiani. Ketika Petrus berkata, “takutlah akan Allah, hormatilah raja!” (1Ptr. 2:17), ia menyoroti kebenaran yang sama; begitu juga Paulus ketika, dalam ikhtisarnya tentang kehidupan yang mensyukuri anugerah adalah kekristenan sejati, ia mengajar orang-orang Kristen Roma untuk “takluk kepada pemerintah yang di atasnya” (Rm. 13:1) dan mengatakan kepada mereka "oleh karena suara hati," mereka harus "bayarlah kepada semua orang apa yang harus kamu bayar: pajak kepada orang yang berhak menerima pajak, cukai kepada orang yang berhak menerima cukai; rasa takut kepada orang yang berhak menerima rasa takut dan hormat kepada orang yang berhak menerima hormat” (ay. 6–7).

Paulus berbicara tentang setiap pejabat negara sebagai “hamba Allah untuk kebaikanmu” (ay. 4). Perhatikan bahwa yang ia maksud di sini adalah pejabat Romawi kafir, dari kaisar sampai ke pejabat terendah, itulah yang dipikirkannya! Dan lebih jauh ia menjelaskan bahwa Tuhan membentuk negara seperti demikian untuk memelihara hukum, ketertiban, keadilan, dan “kebaikan.” “Kebaikan” di sini jelas mencakup perlindungan dan kesejahteraan, dan karenanya tidak jauh dari peluang untuk mengejar kebahagiaan, yang diabadikan dalam Konstitusi Amerika.

Sebab itu, meskipun orang Kristen tidak menganggap diri mereka sebagai bagian dari dunia ini, melainkan sebagai pendatang, para perantau yang melewati negeri asing untuk sampai ke tempat di mana harta mereka tersimpan menunggu kedatangan mereka (lih. 1Pet. 2:11; Mat. 6:19–20), Kitab Suci melarang mereka untuk mengabaikan hal-hal baik yang dilakukan oleh pemerintah yang baik. Oleh karena itu, mereka juga tidak boleh ragu untuk berperan dalam memaksimalkan hal-hal baik ini bagi orang lain, serta bagi diri mereka sendiri. Sama seperti Yusuf, Musa, Daud, Salomo, Nehemia, Mordekhai, dan Daniel (dan masih banyak lagi) menjalankan peran mereka, kita juga perlu menjalankan peran kita sebagai warga negara yang mendukung pemerintah dalam menciptakan pemerintahan yang stabil dengan cara menaati hukum, berpartisipasi dalam pemerintahan sebisa mungkin. Kita harus melihatnya sebagai pelayanan kepada Tuhan dan sesama.

Seperti yang dikatakan salah satu anggota Parlemen Eropa yang beragama Kristen, Sir Frederick Catherwood, “Mencoba memperbaiki masyarakat bukanlah keduniawian, tetapi kasih. Tidak mau ikut campur dengan masyarakat bukanlah kasih tetapi keduniawian.”

Beberapa Perkembangan Kristen yang Salah Arah

Namun, kita harus memerhatikan tiga perkembangan dalam kekristenan modern yang telah menimbulkan konflik yang membingungkan sehubungan dengan tugas politik. Masing-masing topik ini harus dijelaskan terlebih dahulu sebelum kita bisa melangkah lebih jauh.

1. Intensi yang dipolitisasi dari beberapa relativis Kristen. Ketika saya berbicara tentang “relativis” Kristen, yang saya maksud adalah para penganut Kristen Protestan tertentu yang memperlakukan ajaran biblikal bukan sebagai kebenaran yang diwahyukan Allah, tetapi sebagai petunjuk tambal sulam manusia terhadap penyingkapan diri Allah, yang tersusun dalam istilah budaya yang relatif yang tidak wajib digunakan oleh orang Kristen saat ini dan menyuarakan banyak sentimen yang tidak harus didukung oleh orang Kristen saat ini.

Ketika saya berbicara tentang “intensi yang dipolitisasi,” maksud saya adalah bahwa tujuan-tujuan mereka mereduksi iman Kristen, dari jalan peziarah menuju surga menjadi skema sosiopolitik untuk dunia saat ini. Skema ini sering disebut sebagai mendirikan kerajaan Tuhan di bumi dengan mengakhiri dosa kolektif masyarakat—rasisme, eksploitasi ekonomi dan budaya, pembagian kelas sosial, penyangkalan terhadap hak asasi manusia—dan pengaturan shalom (bahasa Ibrani untuk kesejahteraan komunal di bawah pemerintahan Tuhan) di tempat mereka.

Apa yang salah di sini? Tidak berdoa untuk shalom, atau tidak mengusahakannya padahal mereka adalah orang yang memiliki kesempatan untuk melakukannya. Mengasihi sesama di wilayah global menuntut setiap orang Kristen untuk melakukannya—dan melakukannya dalam skala internasional maupun domestik. Tetapi ketika iman Kristen (pemahaman kita tentang tujuan Allah yang dinyatakan di antara manusia) dan ketaatan kristiani (upaya kita untuk melakukan kehendak Allah yang diwahyukan) direduksi dan diidentifikasikan dengan upaya manusia untuk perbaikan sosial, maka yang ada adalah bencana. Hati menjadi terputus dari Injil ketika Kristus dianggap sebagai Penebus dan Tuhan, Pembebas dan yang Manusiawi hanya dalam kaitannya dengan perampasan dan penyalahgunaan tertentu di dunia ini. Namun, ini telah menjadi pandangan standar orang-orang liberal dan radikal di antara para pemimpin Protestan.

Terus terang, apa yang terjadi adalah para rohaniwan dan orang-orang awam yang terlibat dalam pelayanan rohani telah membiarkan diri mereka menafsirkan ulang dan mendefinisikan kembali nilai-nilai dasar agama mereka sebagai nilai-nilai politik. Jadi mereka telah membuat kekristenan menjadi sekuler dengan kedok menerapkannya dalam kehidupan. Sejumlah buku semi-teknis mengungkapkan sudut pandang ini, menggaungkannya di seminari liberal, dan secara verbal mengagungkannya sebagai ilmu “teologi politik” sehingga nilai ini menjadi "terhormat." Propaganda yang terus-menerus dari tokoh utama denominasi Protestan kini membuat banyak orang awam menyamakan peran orang Kristen dengan mempromosikan program ini di mana-mana.

Kesalahan mendasar dalam semua ini adalah bahwa titik referensi transenden kekristenan telah hilang. Mereka yang menghormati ajaran Alkitab sebagai kebenaran ilahi, yang melihat Yesus dalam pemahaman Perjanjian Baru sebagai Juruselamat kita yang pertama dan terutama, yang menyelamatkan kita dari dosa, membebaskan kita dari murka yang akan datang, memperbarui kita dalam kebenaran, dan membuka surga bagi kita, dan yang memandang penginjilan sebagai dasar dimensi kasih terhadap sesama, harus melawan kejahatan sosial sama kuatnya dengan orang lain. Melakukan hal tersebut adalah bagian dari menjadi "orang Samaria yang baik hati," yang merupakan panggilan bagi semua orang Kristen—yaitu, memenuhi kebutuhan dan menghilangkan kesengsaraan dengan segala cara. Tetapi itu semua harus dilakukan dalam pelayanan kepada Kristus, yang kerajaan-Nya bukan dari dunia ini, dan yang menuntut umat manusia untuk memahami kehidupan ini, dengan sukacita dan kekayaan di satu sisi, dan kesulitan dan kesedihan di sisi lain, sebagai tempat latihan moral dan spiritual, sebagai bagian persiapan untuk kekekalan. Namun, jika kita kehilangan perspektif itu, sebagaimana para relativis yang saya maksud telah kehilangannya, maka seluruh usaha kita menunjukkan kasih kepada sesama menjadi salah arah.

2. Hambatan pietistik dari beberapa orang absolutis Kristen. Istilah “absolutis,” sebagaimana yang yang saya gunakan di sini, adalah orang-orang Protestan, Katolik Roma, atau Ortodoks yang percaya bahwa kebenaran Allah yang tidak berubah diberikan kepada gereja, di dalam Kitab Suci, dan hanya dengan menaati kebenaran ini maka seseorang dapat menyenangkan Tuhan. Banyak dari antara kaum absolut Protestan, mungkin sebagian besar, lebih suka disebut Injili, karena Injil (Kabar Baik) Kristus adalah pusat kekristenan mereka.

“Pietistik” merujuk pada sebuah keinginan untuk mencapai kekudusan, menghindari dosa, memenangkan jiwa, bersekutu dengan orang Kristen, dan menentang semua kekuatan anti-Kristen dalam kehidupan pribadi. Hambatan pietistik mengambil bentuk kepasifan politik dan keengganan untuk terlibat dalam pemerintahan apapun bentuknya. Dengan demikian, pendirian mereka sebagai orang Kristen lebih merupakan penarikan diri, alih-alih terlibat dalam proses politik.

Mengapa begini? Ada beberapa faktor. Pertama adalah sebagai reaksi terhadap “Injil sosial” dari Protestantisme yang lebih liberal seperti yang dijelaskan di atas. Yang kedua adalah kesimpulan yang salah dari eskatologi mereka (yaitu, pandangan mereka tentang masa depan), yang melihat dunia secara tak terelakkan semakin buruk menjelang kedatangan Kristus yang makin dekat dan memberi tahu kita bahwa tidak ada yang bisa dilakukan tentangnya; oleh karena itu tidak masalah siapa yang berkuasa secara politik. Faktor ketiga, yang terkait dengan ini, adalah tekanan yang diberikan pada pemisahan dari “dunia,” dengan kekotoran moralnya, komprominya terhadap hal-hal prinsip, dan cara hidup yang terikat pada dunia, mencari kesenangan dan melayani diri sendiri. Politik, yang dianggap sebagai lingkungan yang suram di mana prinsip-prinsip terus-menerus dikorbankan untuk mendapatkan suara dan mempertahankan tujuan seseorang dalam permainan kekuasaan, dipandang sebagai bisnis yang sangat “duniawi,” dan karenanya terlarang bagi orang Kristen. Faktor keempat, yang kuat meski tak terbayangkan akibatnya, adalah individualisme yang menganggap semua masalah sosial menjadi masalah pribadi, merasa bahwa pemerintahan sipil tidak penting karena tidak dapat menyelamatkan jiwa, sehingga pada dasarnya tidak tertarik sama sekali dengan proses politik.

Tetapi semua ini tidak benar. Apapun kesalahan yang mungkin diajarkan oleh “Injil sosial,” dan betapapun benarnya bahwa pelayanan di gereja dan dalam penginjilan harus menjadi perhatian utama kita, tetap ada tugas sosial dan politik yang harus dilakukan oleh orang Kristen.

Bahkan walaupun kedatangan Tuhan yang kedua kali sudah dekat, kita tidak perlu berpikir bahwa di dalam Tuhan, kita tidak dapat membuat dunia ini sedikit lebih baik secara sementara walaupun kita mencobanya, dan rasa takut gagal seharusnya tidak menjadi alasan bagi kita tidak mencoba ketika Tuhan sebenarnya menyuruh kita untuk mengusahakannya.

Politik tentu saja merupakan sebuah permainan kekuasaan, tetapi politik harus dimainkan jika struktur sosial ingin ditingkatkan, dan meskipun politik itu milik dunia ini, politik adalah bidang pelayanan kepada Tuhan dan manusia yang tidak secara intrinsik “duniawi” dalam arti haram. Lagipula, kompromi politik, manuver dasarnya, cukup berbeda dengan mengorbankan prinsip, seperti yang akan kita lihat nanti.

Pada akhirnya, individualisme yang menghancurkan kepedulian politik itu seperti rabun jauh, mengaburkan kesadaran akan manfaat yang dibawa oleh pemerintahan yang baik dan kerusakan yang diakibatkan oleh pemerintahan yang buruk. Tidak. Kepasifan pietistik tidak dapat dibenarkan, dan para pelakunya saat ini perlu dididik agar keluar dari hal ini. Bagi orang Kristen, sikap ini tidak lebih valid daripada sikap politisasi yang kita tolak di atas.

3. Imperialisme politik dari beberapa pendukung biblisisme Kristen. Yang saya maksud adalah semangat perang salib yang saat ini menguasai beberapa anggota gereja dan persekutuan yang mencintai Alkitab. Bagi mereka, tidak ada keraguan dalam mengumumkan tujuan dan terjun ke hiruk pikuk dunia politik untuk meraihnya. Masalahnya muncul, melalui godaan untuk melihat permainan kekuasaan demokratis sebagai padanan modern dari perang suci dalam Perjanjian Lama, di mana Tuhan memanggil umat-Nya untuk menggulingkan orang kafir dan merebut kerajaan mereka.

Dalam perang suci di Alkitab, orang-orang kafir tidak memiliki hak dan tidak mendapat bagian, karena Tuhan menggunakan umat-Nya sebagai algojo-Nya, sarana manusia untuk melakukan penghakiman yang pantas. Sebagai pewahyuan dari keadilan retributif Tuhan (sebuah aspek dari karakter-Nya yang nampak terang di seluruh Alkitab), perang suci membuat pengertian moral yang koheren. Tetapi perang suci bukanlah bagian dari program Tuhan bagi gereja Kristen. Serahkan pembalasan kepada Tuhan, kata Paulus dalam Roma 12:19. Dan sama sekali tidak masuk akal secara moral atau praktis jika perang suci diambil sebagai model tindakan kristiani di ruang politik dari demokrasi pluralistik modern.

Dalam demokrasi, Anda tidak dapat memerintah kecuali jika opini publik mendukung Anda dan membuat Anda tetap menjabat. Oleh karena itu, pencarian konsensus, dan praktik persuasi dengan tujuan mencapai konsensus, sangatlah penting. Bersikap kasar terhadap orang lain seolah-olah mereka tidak masuk hitungan akan selalu memiliki efek bumerang yang merugikan diri sendiri. Kelompok penekan yang berusaha untuk merebut dan menggunakan kekuasaan tanpa memenangkan dukungan publik untuk apa yang mereka tuju akan memprovokasi oposisi yang sama kerasnya dan biasanya akan berumur pendek. Orang Kristen, yang harus memiliki keyakinan kuat tentang benar dan salah secara komunal, harus selalu berhati-hati di sini.

Membuat Demokrasi Berhasil

Demokrasi yang representatif seperti yang kita kenal—di mana legislatif, yudikatif, dan eksekutif memiliki status terpisah, layanan informasi publik (media) tidak berada di bawah kendali pemerintah, administrasi terpilih selalu menghadapi oposisi terpilih, dan pemilu populer yang berdasar pada satu orang, satu suara yang berulang secara reguler—semua itu bukanlah satu-satunya bentuk pemerintahan di mana orang Kristen hidup dan melayani Tuhan. Namun, tidak diragukan lagi bahwa dari sudut pandang Kristen, ini adalah bentuk yang lebih cocok dan lebih bijaksana daripada bentuk yang lain.

Rekomendasi kristiani tentang demokrasi bertumpu pada dua wawasan. Pertama adalah kesadaran bahwa pemerintahan adalah dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, dalam sistem komunitas terbuka yang pada prinsipnya memungkinkan siapa pun yang memenuhi syarat untuk jabatan apa pun. Hal ini paling baik dinyatakan dalam istilah politik yaitu martabat dan harkat yang Tuhan berikan bagi setiap individu. Yang kedua adalah persepsi bahwa karena di dunia yang berdosa ini, seperti yang dikatakan Lord Acton, semua kekuasaan rusak dan kekuasaan absolut benar-benar korup, maka pemisahan kekuasaan dan penjagaan keseimbangan dan pengontrolan ke dalam struktur eksekutif akan membatasi bahaya dari korupsi, sekalipun prosedur pengekangan seperti itu tidak akan pernah menghilangkan korupsi sama sekali.

Wawasan-wawasan kristiani ini bertautan dengan hikmat duniawi yang memandang bahwa semakin warga negara dapat merasa bahwa mereka telah berbagi dalam membuat keputusan yang sekarang membentuk hidup mereka, maka mereka akan semakin teguh untuk mematuhinya. Oleh karena itu, pola pemerintahan yang memaksimalkan persetujuan publik biasanya akan lebih stabil daripada sistem lainnya.

Kemudian orang Kristen diharap untuk menunjukkan komitmen yang kuat terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan melihat diri mereka terikat untuk melakukan semua yang mereka bisa agar membuat demokrasi berjalan. Tetapi itu berarti komitmen yang cermat terhadap proses demokrasi adalah cara terbaik pengambilan keputusan dalam tubuh politik.

Dalam demokrasi yang pluralis secara filosofis dan religius, seperti di Barat, proses demokrasi yang mencapai persetujuan di tengah konflik sangatlah penting. Dalam dunia yang telah bobrok ini, konflik yang timbul dari visi yang terbatas dan kepentingan yang penuh persaingan merupakan bagian yang tak terhindarkan dari panggung politik. Intensitas dan integritas perjuangan publik di mana terjadi keseimbangan di antara pihak-pihak yang bertikai kemudian menjadi indeks kesehatan dan moral masyarakat.

Nama yang diberikan untuk penyelesaian konflik politik melalui debat adalah kompromi. Apa pun yang mungkin benar di bidang etika, kompromi dalam politik berarti tidak meninggalkan prinsip, melainkan kesiapan realistis untuk menerima apa yang dianggap kurang ideal ketika hanya itu yang bisa didapatkannya saat ini. Prinsip yang diungkapkan dalam kompromi adalah bahwa setengah roti lebih baik daripada tidak ada roti.

Memberi dan menerima adalah inti dari kompromi politik, karena kompromi adalah jantung politik dalam demokrasi. Bisa melihat hal ini adalah tanda kedewasaan politik. Sebaliknya, kekakuan orang yang sangat memegang doktrin, yang mengambil posisi berlawanan terhadap semua orang yang tidak sepenuhnya mendukung pandangan dan tujuan seseorang, menyiratkan ketidakdewasaan politik.

Pengambilan keputusan yang demokratis adalah proses yang sebisa mungkin terbuka untuk umum, dan para pejabat diharapkan untuk mempublikasikan alasan tindakan mereka di mana pun hal ini dapat dilakukan tanpa membahayakan masa depan. Tetapi semua keputusan politik yang besar terbukti rumit dan kontroversial di masyarakat. Hal ini tidak bisa dihindari karena setidaknya tiga alasan.

Pertama, pengetahuan setiap orang tentang fakta dari setiap kasus bersifat parsial dan selektif.

Kedua, nilai-nilai, prioritas-prioritas, dan opini-opini tentang kepentingan relatif dari hasil jangka panjang dan jangka pendek akan bervariasi.

Ketiga, perhitungan konsekuensi, terutama konsekuensi yang tidak disengaja dan tidak diinginkan, akan bervariasi juga, dan banyak tindakan yang tampaknya benar bagi beberapa orang akan tampak salah bagi orang lain karena mereka memprediksi konsekuensi yang berbeda. Karena keputusan eksekutif secara teratur memiliki produk sampingan yang tidak diinginkan, maka keputusan itu menjadi pilihan di antara apa yang jahat yaitu memilih yang paling tidak jahat dan menghindari kejahatan yang lebih besar.

Orang Kristen harus menerima bahwa dalam politik, tidak ada jawaban hitam-putih, tetapi Tuhan menghendaki semua dipimpin oleh idealisme tertinggi dan hikmat paling matang yang dapat mereka temukan. Kasus Salomo (1Raj. 3) menunjukkan bahwa pemberian Tuhan kepada para penguasa berbentuk hikmat untuk mengatasi secara kreatif masalah yang mungkin datang, alih-alih solusi yang sudah jadi untuk semua masalah.

Apa yang Harus Dilakukan Orang Kristen?

Perjanjian Baru tidak berbicara tentang partisipasi politik yang aktif, karena alasan yang paling baik adalah bahwa ini bukanlah pilihan bagi orang percaya abad pertama. Kekaisaran Romawi bukanlah negara demokrasi, dan banyak orang Kristen, jika bukan sebagian besar, bukanlah warga negara Romawi. Mereka adalah kaum minoritas dari ujung bawah spektrum sosial ekonomi dan dipandang sebagai penyimpangan eksentrik dari eksentrisitas Yudaisme yang lebih tua. Mereka tidak memiliki pengaruh politik, atau prospek untuk mendapatkan apapun. Jadi satu-satunya hal penting secara politik yang dapat mereka lakukan adalah membayar pajak mereka (Mat. 17:24–27; 22:15–21; Rm. 13:6–7), berdoa untuk penguasa mereka (1Tim. 2:1–4), dan memelihara perdamaian (Rm. 12:18; 1Tes. 5:13–15).

Akan tetapi, demokrasi yang representatif di masa kini membuka pintu bagi kemungkinan-kemungkinan politik yang lebih luas dan karena itu menuntut kita lebih banyak dalam hal komitmen dari kita cara untuk menjalani komitmen yang bertanggung jawab daripada keadaan yang dibutuhkan di zaman Perjanjian Baru.

Komitmen itu dapat diringkas sebagai berikut:

1. Semua orang harus mendapat informasi; jika tidak, kita tidak dapat menilai suatu masalah dengan baik, memberikan suara untuk calon pilihan kita, atau berdoa untuk para penguasa. Ketidaktahuan politik tidak pernah menjadi kebajikan Kristen.

2. Semua orang harus mendoakan mereka yang berkuasa. Doa orang benar seperti yang diungkapkan oleh Kitab Suci, sangatlah besar kuasanya.

3. Semua orang harus memberikan suara dalam pemilihan dan referendum, kapan pun ekspresi opini publik diperlukan. Dalam pemungutan suara kita harus memilih berdasarkan pokok-pokok persoalan alih-alih kepribadian, dan bukan oleh isu tunggal yang dilihat secara terpisah, melainkan oleh visi kita tentang kesejahteraan masyarakat secara total. Ini adalah satu cara nyata walau kecil, di mana kita dapat memberikan pengaruh sebagai garam dan terang dunia (Mat. 5:13–16).

4. Beberapa orang harus mengusahakan pengaruh politik dengan berdebat, menulis, dan bekerja dalam partai politik yang paling dekat dengan mereka. Pendeta biasanya tidak boleh melakukan ini, karena hal itu akan menjadi penghalang bagi penerimaan pelayanan mereka oleh orang-orang yang tidak sepaham dengan pandangan politik mereka. Akan tetapi, orang awam yang memiliki ketertarikan politik sangat didorong untuk melihat perolehan dan penggunaan pengaruh politik sebagai bidang pelayanan Kristen, selain kehidupan gereja, ibadah, dan kesaksian.

5. Beberapa orang harus menerima panggilan politik. Siapa yang harus melakukan ini? Mereka yang memiliki minat, kemampuan, dan peluang yang sesuai, dan yang tidak bermasalah dengan karier mereka jika memilih bidang politik; mereka yang memiliki visi untuk meningkatkan nasib manusia secara global, memajukan perdamaian internasional, mengganti diskriminasi yang tidak berprinsip dengan keadilan, dan memajukan kesusilaan publik; mereka, yang siap untuk bekerja keras dengan kesabaran, kerendahan hati, toleransi, dan integritas, melenyapkan fanatisme, menampik penolakan, dan menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan mereka sendiri. Sejarah Alkitab yang disebutkan sebelumnya menunjukkan bahwa Tuhan menginginkan beberapa hamba-Nya sebagai politisi profesional, memimpin dan membentuk masyarakat dengan baik, dan menemukan bahwa seseorang cocok untuk peran tersebut adalah panggilan yang utama dari Tuhan untuk terus maju dan menjalaninya.

Namun, jangan sampai ada yang menjadi naif pada titik ini: Pilihannya mahal. Jalan politik adalah perjalanan yang tidak rata. Kehidupan yang selalu disorot publik membuat seseorang terus-menerus menghadapi kritik yang kejam, dan untuk bisa menjalani hidup seperti itu dibutuhkan ketahanan dan pengorbanan diri yang besar. Politik adalah sebuah permainan kekuasaan, dan kecemburuan, kebencian, kedengkian, serta kepura-puraan yang mementingkan diri sendiri, yang selalu ditarik keluar dari hati manusia yang berdosa oleh permainan kekuasaan ini, semua itu terlalu umum untuk dikomentari di sini. Tidak ada politisi yang berprinsip dapat mengharapkan jalan yang mudah, itu jelas bukan orang Kristen.

Tetapi siapa yang pernah mengira bahwa pemenuhan aspek apa pun dari panggilan Kristen itu mudah? Kata-kata yang digunakan Sir Frederick Catherwood untuk mengakhiri bukunya The Christian Citizen patut untuk sering direnungkan:

“Kita harus rendah hati dan tidak berprasangka buruk. Kita harus siap untuk menemukan bahwa terkadang kita salah dan mampu untuk mengakuinya. Kita melayani sesama karena kasih kita kepada Tuhan yang memberikan hidup-Nya untuk kita. Ini adalah hutang, yang betapapun baik kita melayani, tidak akan pernah bisa kita bayar. Jadi apa pun yang kita lakukan, kita melakukannya dari rasa tanggung jawab dan karena itu benar. Kita tidak, seperti sekte, mengklaim kepuasan instan. Kita tidak, seperti penjual barang, menjamin kesuksesan. Jangka waktu orang Kristen bukanlah fana. Yang satu menabur dan yang lainnya menuai. Satu orang bekerja dan orang lain ikut membantu. Satu hari bagi Tuhan itu sama seperti seribu tahun dan seribu tahun seperti satu hari. Orang Kristen mengenal artinya kesabaran dan ketekunan, tetapi juga tahu artinya tindakan. Ini adalah formula yang tepat untuk politik Kristen, hanya karena ini adalah formula yang tepat untuk setiap bagian dari kehidupan Kristen.”

Artikel ini pertama kali terbit di Christianity Today edisi 19 April 1985 dan mengalami sedikit penyuntingan karena keterbatasan ruang terbit.

Diterjemahkan oleh: Denny Pranolo

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Telegram.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube