Pelayanan Media Kristen Tiongkok Menghadapi Musim Dingin Penyensoran yang Sangat Menyakitkan

Seiring adanya pelarangan mulai bulan Maret dari pemerintah Tiongkok terhadap ibadah, khotbah, pendidikan, pelatihan, dan video daring keagamaan—bahkan termasuk berbagi tautan—yang tidak memiliki izin, maka saya beralih ke Mazmur 90.

Christianity Today February 25, 2022
Image: Noel Celis / AFP / Getty Images

Banyak orang Kristen Tionghoa meratapi bahwa musim dingin pelayanan misi internet di Tiongkok sedang memasuki masa tergelap dan terdingin.

Minggu ini, media pemerintah Tiongkok mengabarkan bahwa Administrasi Negara untuk Urusan Agama (State Administration for Religious Affairs [SARA]) telah mengumumkan “Langkah-Langkah Penyelenggaraan Layanan Informasi Keagamaan di Internet,” yang akan mulai berlaku pada 1 Maret. SARA akan membatasi pelayanan daring untuk kelompok agama yang memiliki izin dari pemerintah Tiongkok dengan izin khusus pada situs web yang memiliki izin dari pemerintah.

“Tidak ada organisasi atau individu yang boleh berkhotbah di internet, menjalankan pendidikan dan pelatihan agama, mempublikasikan konten khotbah, meneruskan atau menautkan pada konten terkait, mengatur dan melakukan kegiatan keagamaan di internet, atau menyiarkan secara langsung atau memposting video rekaman ibadah keagamaan…” tanpa memiliki izin, demikian ditetapkannya peraturan baru yang dirumuskan bersama oleh lima badan pemerintah, termasuk Kementerian Umum dan Keamanan Nasional.

Beberapa bulan yang lalu, saya bermimpi di mana perikop Alkitab ini muncul berulang kali: “Tuhan, Engkaulah tempat perteduhan kami turun-temurun” (Mzm. 90:1). Dalam mimpi itu, saya berpikir, “Tuhan, apa yang perlu saya ingat dari hal ini?”

Kemudian saya bangun dan menyadari bahwa kanal kedua utama dari WeChat pelayanan kami telah ditutup secara permanen oleh pemerintah Tiongkok, kurang dari sebulan setelah kanal pertama kami dihapus. Ratusan ribu pengikut dari kanal tersebut menguap begitu saja dalam semalam. Dengan diblokirnya kedua kanal utama tersebut berarti akan sangat sulit bagi pelayanan kami untuk mendapatkan kembali pengaruh seluas sebelumnya.

Seperti yang sudah diketahui oleh semua orang Kristen Tionghoa, WeChat adalah sebuah platform media sosial raksasa yang sangat besar dan kuat. Orang Tionghoa menggunakan WeChat untuk memesan, membayar tiket, dan untuk melakukan hampir segala hal. Akun-akun resmi WeChat telah menjadi portal dan titik masuk terpenting untuk semua media. Dibandingkan People’s Daily atau CCTV [surat kabar dan kanal TV resmi milik pemerintah Tiongkok], kanal WeChat lebih penting daripada kanal media milik mereka sendiri.

Untuk waktu yang lama, media Kristen tidak diperbolehkan di Tiongkok, baik berupa surat kabar, majalah, radio, atau televisi. Namun media digital mengubah segalanya. Satu dekade yang lalu, saya melihat peluang besar yang dibawa oleh media baru seperti Weibo [platform “blog-mini” mirip Twitter versi Tiongkok] dan WeChat, untuk penginjilan Kristen dan memulai fokus pada pengembangan, promosi, dan penelitian terhadap pelayanan-pelayanan media yang baru.

Konten Kristen hampir ada di mana-mana di WeChat selama 10 tahun terakhir. Tentu saja ada konten yang baik dan buruk, dan ada informasi yang benar dan salah, serta bahkan ada informasi keagamaan yang berlebihan. Sayangnya, hampir setiap kanal Kristen Tiongkok yang besar telah dihapus dari WeChat pada bulan Juni.

Pemerintah Tiongkok telah menetapkan pembersihan media Kristen yang baru. Ini yang terketat dan paling menyeluruh di tahun ini. Dan serangkaian “langkah penyelenggaraan” yang diumumkan bulan ini telah menunjukkan kepada kita bahwa tidak akan ada lagi penangguhan di masa mendatang—hal ini hanya akan menjadi lebih buruk. Ada yang mengatakan saat ini adalah hari tergelap bagi Tiongkok dalam beberapa dekade terkait hal kebebasan ekspresi keagamaan.

Bagi pelayanan kami, hal ini juga merupakan bencana, krisis, dan tantangan terbesar yang pernah kami hadapi. Selama beberapa bulan terakhir, saya dan rekan kerja telah secara aktif mengeksplorasi strategi untuk mengatasi situasi ini dan berdiskusi dengan mitra organisasi kami lainnya, yang tanggapannya serupa dengan kami.

Misalnya, banyak yang merekomendasikan untuk tidak menonjolkan diri dan menghindari penggunaan istilah-istilah sensitif, yang kami sebut dengan “menari di garis merah.” Kami telah melakukan hal ini dengan baik di masa lalu, tetapi sekarang kami bahkan tidak tahu di mana garis merah tersebut—atau lebih tepatnya, garis merah tersebut ada di mana-mana. Kami telah melakukan banyak upaya dalam “tarian” ini. Setiap artikel dan video yang kami posting telah diuji berulang kali dengan swasensor terlebih dahulu. Tetapi apakah hal ini masih mungkin dilakukan kini? Apakah ini masih berguna?

Tanggapan lainnya adalah mengembangkan platform media sosial yang lain, namun kebijakan pemerintah Tiongkok berlaku untuk semua media sosial. Ketika jumlah pembaca Anda mencapai jumlah tertentu, Anda akan menghadapi risiko yang sama. Faktanya, beberapa platform e-zine (majalah elektronik), siniar, dan video memiliki pembatasan yang sangat ketat pada konten Kristen selama bertahun-tahun, sementara WeChat sebenarnya termasuk yang terakhir untuk mengambil tindakan pembatasan ini. Cara pendekatan lain adalah dengan membangun dan meningkatkan situs web dan aplikasi milik kita untuk membangun ekosistem kita sendiri. Namun, situs web menghadapi masalah yang sama dan kemungkinan besar akan diblokir.

Kita perlu menyadari bahwa kontrol yang ketat oleh pemerintah Tiongkok ini tidak hanya menargetkan kekristenan saja. Dan pengontrolan tersebut bukan hanya untuk WeChat dan media sosial. Dalam beberapa tahun terakhir, kita telah melihat hal ini diterapkan pada industri hiburan dan pendidikan swasta, pada raksasa-raksasa internet dan orang-orang biasa dari semua lapisan masyarakat.

Hal ini menyakiti kelompok Get Rich First atau “menjadi kaya dulu” [ini slogan mantan pemimpin Tiongkok, Deng Xiaoping, untuk mendorong orang-orang Tiongkok mengejar kekayaan pribadi]. Pengontrolan yang ketat ini telah diterapkan di Hong Kong, yang pernah dijanjikan “tidak akan ada perubahan selama 50 tahun.” Bahkan baru-baru ini, Wei Ya, ratu siaran langsung yang selalu menyatakan cintanya kepada Tiongkok dan Partai Komunis Tiongkok, didenda 1,3 miliar yuan [lebih dari 210 juta dollar] atas tuduhan penghindaran pajak. Memang, dalam waktu yang gelap seperti ini, tidak ada tempat yang aman dan tidak ada strategi yang efektif terkait penggunaan internet di Tiongkok.

“Tuhan, Engkaulah tempat perteduhan kami turun-temurun.” Ini adalah kata-kata pembuka dari Mazmur 90, doa Musa abdi Allah. Pada pagi yang penuh frustrasi dan amarah di bulan Juni itu, kata-kata ini penuh dengan kepastian, soliditas, dan memberi saya penghiburan. Ayat tersebut mengingatkan saya bahwa dalam menghadapi tantangan seperti ini, reaksi pertama saya seharusnya tidak terburu-buru untuk menemukan kanal atau platform yang baru, karena di masa tergelap ini, tidak ada tempat yang aman.

Seperti kata pepatah Tionghoa, “Di bawah sarang yang terbalik, bagaimana mungkin ada telur yang tidak pecah?” Tidak ada yang abadi di dunia ini. Sebagai seorang pemimpin pelayanan, seorang Kristen, dan anak Tuhan, hal pertama yang perlu saya ingat adalah, “Tuhan, Engkaulah tempat perteduhan kami turun-temurun.”

Tentu saja, tindakan pencegahan yang spesifik masih perlu dipikirkan. Namun semua pekerjaan yang kita miliki di tangan kita begitu rapuh. Kebijakan pemerintah Tiongkok yang baru diumumkan pada dasarnya dapat diringkas dalam satu kalimat sederhana: Tidak ada yang diperbolehkan.

Tetapi memangnya kenapa? Orang-orang Tionghoa selalu memiliki sikap “Anda punya kebijakan di atas dan saya punya cara untuk mengatasinya di bawah.” Sampai hari ini, saya masih sangat percaya bahwa fitur terbesar dari media yang baru adalah bahwa ini telah menjungkirbalikkan kekuatan, kapital, dan monopoli orang-orang elit atas hak untuk berbicara. Inilah karakteristiknya yang esensial dan tidak akan berubah. Masa depan akan terus melihat persaingan antara kebijakan yang kuat dan (semoga) tindakan pencegahan yang lebih kuat.

Dengan dibatasi oleh pandemi COVID-19, saya jarang keluar dalam dua tahun terakhir, dan saya memiliki kesempatan untuk belajar menanam bunga. Menariknya, setelah kami pindah ke Michigan, saya mengetahui bahwa banyak bunga dan pohon yang ditanam di musim gugur dan musim dingin membuat mereka lebih kuat dan mekar lebih awal. Ternyata musim gugur adalah juga musim tanam; musim dingin yang tampaknya suram sebenarnya juga salah satu musim pertumbuhan.

Pada musim dingin yang menyakitkan bagi WeChat dan internet Tiongkok saat ini, pelayanan misi secara daring di antara gereja-gereja Tiongkok di luar negeri masih berkembang. Pada 17 Desember, Reframe Ministries dan mitra organisasi lainnya mengadakan Forum Pelayanan Misi Internet ke-13 di Zoom. Adapun tema tahun ini adalah “Peluang dan Tantangan bagi Gereja dan Pelayanan Misi di Era Metaverse.” Pada acara tersebut, dengan cepat peserta mencapai jumlah maksimum 500 partisipan, sangat melebihi ekspektasi kami. Untuk memfasilitasi akses bagi peserta dari Tiongkok, kami harus meminta peserta dari Amerika Utara untuk keluar dari Zoom dan menonton siaran langsung di YouTube.

Apakah penerapan pembatasan SARA berarti pertemuan daring seperti itu akan dilarang pada Maret mendatang? Atau haruskah kita beralih ke metaverse? Topik-topik seperti peluang dan tantangan yang dibawa oleh era metaverse mendatang kepada pelayanan misi internet mungkin lebih memerlukan perhatian dan fokus kita daripada peraturan baru dari SARA.

Penerbitan adalah tema musim pelayanan kami yang baru, tetapi kami akan melanjutkan produksi video-video dan penggunaan media yang baru. Kami percaya bahwa setiap periode dan setiap musim ada kehendak Tuhan dan ada dalam kendali Tuhan, entah itu pagi atau sore; musim semi, musim panas, musim gugur, atau musim dingin; masa menabur, menyiram, atau memanen. Marilah kita tidak kita bermalas-malasan, melainkan bersama-sama bersaksi bagi Tuhan yang menguasai musim, Tuhan yang memberi pertumbuhan (Pkh. 11:6; 1Kor. 3:7).

Dalam ayat terakhir Mazmur 90, Musa berdoa, “Kiranya kemurahan [Tuhan], Allah kami, atas kami, dan teguhkanlah perbuatan tangan kami, ya, perbuatan tangan kami, teguhkanlah itu!”

Jerry An adalah seorang pendeta misi Tionghoa dan direktur eksekutif divisi Tiongkok dari Reframe Ministries. Beliau adalah produser dari program “Speaking by Faith” dan penerbit seri buku “New Songs for Wanderers”.

Speaking Out adalah kolom opini tamu dari Christianity Today dan (bukan seperti editorial) tidak selalu mewakili pendapat publikasi.

Diterjemahkan oleh: Janesya Sutedjo

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Telegram.

Gereja Ukraina: ‘Kami Membutuhkan Lebih Banyak Alkitab’

Saat Eropa Timur berperang, Kitab Suci sangat diminati.

Christianity Today February 25, 2022
Image: Courtesy of Ukrainian Bible Society

Pada Minggu pagi baru-baru ini di Ukraina, ada bisikan laporan yang telah menyebar ke gereja-gereja: _Para prajurit di perbatasan sebelah timur memiliki peluncur roket portabel. Bocah laki-laki dari keluarga Bondarenko ditembak di kaki; kabarnya ia tidak akan bisa berjalan lagi. Tahukah Anda bahwa keluarga Kovals telah pergi?_ Bahkan ada pertanyaan yang tak terucapkan: Akankah kita berada di sini lagi minggu depan?

Kemarin, bisikan-bisikan itu berubah menjadi tangisan saat serangkaian rudal menghantam daerah di dekat Kyiv.

Invasi tersebut menempatkan gereja-gereja Ukraina di tengah konflik. Para pemimpin Kristen harus berhadapan dengan keputusasaan masyarakat dan ketidakpastian. Namun mereka bersatu hati, berdiri teguh untuk membantu masyarakat Ukraina agar menemukan harapan di dalam firman Tuhan.

Selaku kepala American Bible Society, saya berhubungan dekat dengan teman dan rekan saya, Anatoliy Raychynets, yang menjabat sebagai wakil sekretaris jenderal dari Ukrainan Bible Society. Selama beberapa bulan terakhir, ia telah menyampaikan laporan yang sangat berat untuk dibaca: para ibu meratapi putra mereka di luar rumah sakit; anak-anak yang tidak akan mengingat wajah ayah mereka; ribuan orang merasa putus asa dan ketakutan.

Namun ada hal lain yang dicatat oleh Anatoliy: para pemimpin gereja bekerja bersama demi perdamaian, dan orang-orang yang mulai mencari harapan dari Alkitab.

Di gereja Anatoliy, ada banyak orang yang takut bahwa mereka akan kehilangan segalanya. Menanggapi hal ini, ia membagikan Mazmur 31 kepada siapa pun yang mencari kepastian. Ia melaporkan bahwa mereka sering terkejut tatkala mendengar firman tersebut, yang menurut mereka terdengar seperti yang seharusnya tertulis di Kyiv pada tahun 2022 ini: “Terpujilah TUHAN! Sangat mengagumkan kasih-Nya bagiku, waktu aku dikepung dan diserang.” (ay.22, BIS).

Ketika orang-orang bergulat dengan hal-hal yang tidak diketahui, banyak dari mereka yang mulai mengalami pesan Alkitab untuk pertama kalinya. Menurut Anatoliy, para pastur dan pendeta selama beberapa minggu terakhir telah berbondong-bondong ke toko Bible Society di Kyiv untuk membeli Alkitab. Permintaan Alkitab menjadi sangat tinggi sehingga mereka kehabisan stok.

Menurut Anatoliy, hal ini adalah salah satu tantangan terbesar mereka: “Kami membutuhkan lebih banyak Alkitab.”

Sumber materi lain yang ditawarkan oleh gereja di Ukraina adalah penyembuhan trauma berbasis Alkitab. Meskipun hal ini baru diperkenalkan enam tahun lalu, program ini sangat efektif, terutama bagi mereka yang memiliki anggota keluarga yang tewas dalam konflik dengan Rusia. Program ini memungkinkan para pemimpin komunitas membimbing kelompok-kelompok kecil dari jemaat untuk menjalani proses pemulihan.

Karena kelompok ini bertumbuh pesat di banyak gereja di Ukraina, Ukrainan Bible Society mengalami kesulitan untuk memenuhi permintaan akan sumber materi dan pelatihan dari program ini.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk membantu?

Saudara-saudari kita di Ukraina membutuhkan Alkitab bagi orang-orang yang tengah mencari penghiburan di masa-masa sulit ini. Mereka membutuhkan sumber materi penyembuhan trauma yang berbasis Alkitab. Dan mereka membutuhkan kita untuk berdoa syafaat bagi mereka.

“Saya memohon kepada Anda, dalam nama Yesus Kristus—siapa pun yang dapat berdoa, tolong dukung kami dalam doa Anda,” kata pendeta dari gereja lokal, Viacheslav Khramov. “Hari ini, perang dimulai di negri kami. Kami meminta semua orang yang mampu berdoa, tolong doakanlah kami. Berdoalah bagi Ukraina. Berdoalah agar banyak nyawa diluputkan, begitu juga tubuh dan jiwa kami.”

Anatoliy juga turut menggemakan permohonan ini.

Dari semua yang ia sampaikan kepada saya, saya sangat terinspirasi dengan solidaritas yang ditunjukkan oleh berbagai gereja di Ukraina, tanpa mempedulikan perbedaan pengakuan iman, batasan-batasan, dan garis partai di antara mereka.

“Kami berbicara dengan rekan-rekan di Rusia,” katanya kepada saya. “Kami, para pemimpin gereja, berbincang satu sama lain, dan kami berdoa bersama. Kami dipersatukan di dalam Tuhan.”

Inilah pesan Injil yang seharusnya kita gemakan kepada dunia yang sedang terluka: Firman Tuhan dapat mendamaikan musuh, mengusir keputusasaan, dan menyembuhkan hati yang menderita.

Ini adalah visi gereja bersatu yang kini sedang bersinar terang di Ukraina. Di tengah berkecamuknya perang, intrik politik, dan perpecahan, gereja milik Yesus Kristus tetap teguh dalam memberitakan Injil dan membangun kerajaan Allah.

Robert L. Briggs adalah presiden dan CEO American Bible Society.

Diterjemahkan oleh: Timothy Daun

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Telegram.

Kebijakan Politik Putin Mengancam Kesaksian Gereja

Kaum Injili Amerika dapat belajar dari Rusia — dengan tidak memakai agama sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan.

Christianity Today February 25, 2022
Image: Alexei Nikolsky / AP Images

Ketika pemimpin Rusia, Vladimir Putin, mengancam keberadaan Ukraina, seharusnya mudah bagi kaum Injli Amerika untuk menyimpulkan bahwa hal ini hanyalah satu masalah kebijakan luar negeri yang jauh di sana.

Namun, Putinisme lebih dari sekadar sebuah ancaman geopolitik; itu juga merupakan ancaman keagamaan. Dan pertanyaan bagi orang Kristen Injili adalah apakah jalan yang ditempuh oleh Vladimir Putin akan diikuti oleh gereja Amerika.

Ancaman terhadap Ukraina bukan hanya mengancam rakyat Ukraina saja. NATO khawatir dengan stabilitas tatanan Eropa. Departemen Luar Negeri AS khawatir tentang orang Amerika yang ada di sana, takut terulangnya bencana Afganistan. Jerman bertanya-tanya apakah ketergantungan mereka pada gas alam Rusia akan menyebabkan krisis energi. Dan seluruh dunia khawatir apakah langkah itu akan membuat Tiongkok berani menyerang Taiwan.

Dan di tengah semua ini, ada satu tokoh dunia lagi yang memikirkan apa langkah selanjutnya: Sang Paus.

Kemerdekaan Gereja Ortodoks Ukraina dari Gereja Ortodoks Rusia telah menjadi badai kontroversi sejak tahun 2018. Dan dalam The Pillar, JD Flynn dan Ed Condon menjelaskan bahwa para pemimpin Katolik dan Ortodoks Ukraina menuduh Gereja Ortodoks Rusia terlibat dalam sikap militer Putin terhadap Ukraina dan rakyatnya.

Pertanyaannya sekarang, menurut para penulis tadi, apakah Paus Fransiskus akan bertemu dalam waktu dekat dengan Uskup Agung Gereja Ortodoks Rusia? Dan jika demikian, apakah hal itu akan menandakan toleransi terhadap potensi penaklukan Ukraina dan gereja nasionalnya?

Bagi kaum Injili Amerika, masih ada juga pertanyaan yang hakiki—bukan hanya tentang bagaimana kita akan menanggapi penggunaan agama oleh Putin untuk tujuan politik, tetapi apakah kita akan menirunya.

Beberapa tahun yang lalu, sebelum hiruk-pikuk di era Trump, saya duduk bersama beberapa perwakilan kaum Injili lainnya di suatu program berita nasional sekuler pada Paskah pagi. Pada satu sisi, di akhir pekan itu, kami semua sepakat—menegaskan bersama tentang kebenaran paling penting di alam semesta: kebangkitan Yesus dari kematian.

Tetapi kami tidak sepakat tentang Vladimir Putin. Saya melihat dia saat itu seperti yang saya lihat sekarang-sebagai seorang musuh. Namun beberapa orang yang lain membela orang kuat yang otoriter itu dan mengatakan bahwa Putin adalah seorang pembela nilai-nilai kristiani.

Pada saat itu, saya pikir kami hanya sekadar tidak setuju tentang masalah kebijakan luar negeri saja. Tetapi ketika melihat lagi ke belakang, sekarang saya dapat memahami bahwa setidaknya bagi sebagian kaum Injili, ada ketidaksepakatan yang lebih besar yang tidak kita ketahui sebelumnya: pertanyaan tentang apa itu “nilai-nilai kristiani.”

Contohnya masalah aborsi. Tidak hanya tingkat aborsi di Rusia yang tinggi, namun bahkan ketika pasukan pro-pemerintah mengartikulasikan sesuatu yang mirip dengan pandangan "pro-kehidupan," biasanya hal tersebut lebih dipahami dalam pengertian membatasi penurunan demografis, daripada melindungi kehidupan manusia yang rentan.

Prinsip utamanya bukanlah “Setiap nyawa itu berharga”, melainkan “Jadikanlah Rusia hebat lagi.” Ini bahkan terlihat lebih nyata dalam perlakuan pemerintah Rusia terhadap anak-anak yang memenuhi panti asuhan dan “rumah sakit bayi” di seluruh negeri.

Tanpa adanya budaya adopsi di negara bekas Uni Soviet ini, banyak dari anak-anak ini keluar dari sistem dan masuk ke dalam kehidupan yang mengerikan akibat penyalahgunaan obat, eksploitasi seksual, dan bunuh diri. Tetapi hal itu tidak menghentikan Putin untuk melakukan segala yang ia bisa demi menghentikan adopsi anak-anak yatim piatu ini oleh orang Amerika dan orang-orang dari negara lain—semua dilakukannya bagaikan salep bagi kebanggaan nasional Rusia yang terluka dan permainan kekuatan geopolitik.

Situasinya bahkan lebih buruk lagi ketika kita melihat tanggapan Putin terhadap Injil. Dengan hati-hati ia mengembangkan Gereja Ortodoks Rusia—bahkan sampai menyetujui mosaik dirinya, Stalin, dan invasi Krimea untuk dipasang di katedral Ortodoks Rusia yang didedikasikan bagi militer.

Selain itu, rezim Rusia tanpa henti berusaha memusnahkan kebebasan agama-agama minoritas—khususnya mereka yang berasal dari kelompok Injili dan misionaris Injili luar negeri yang relatif kecil.

Mengapa Putin—mantan pejabat KGB yang mengatakan bahwa akhir dari Uni Soviet adalah bencana yang mengerikan—ingin bermitra dengan gereja? Mungkin karena ia percaya, seperti Karl Marx, bahwa agama dapat menjadi alat yang berguna untuk mempertahankan kekuasaan politik.

Dan, memang, agama berguna ketika berfokus untuk melindungi nasionalisme dan kehormatan negara. Agama dapat mengubah perasaan gairah kesukuan dan kebencian terhadap orang luar menjadi sentimen yang transenden dan tidak perlu dipertanyakan lagi. Semua itu sesuai dengan paham Machiavelli—kecuali Yesus, yang pada kenyataannya, dibangkitkan dari kematian.

Andai kecenderungan ini terbatas pada negara bekas Uni Soviet saja, kita mungkin dapat mengabaikannya. Meski demikian, kepada siapa pun yang memandang ke balik Tirai Besi untuk menemukan masa depan, perhatikanlah!

Banyak penganut agama konservatif—terutama Katolik Roma, tetapi tidak sedikit juga orang Protestan Injili—telah bersekutu dengan pemimpin otoriter yang kuat dari Hungaria, Viktor Orbán. Seperti yang dicatat oleh komentator libertarian, Matt Welch, perdana menteri Hungaria “menciptakan negara Kristen aneh yang bergaya Amerika.”

“Aborsi menjadi sangat legal di Hungaria, rakyatnya tidak terlalu religius, dan Orbán telah menjalankan kontrol kleptokratis atas gereja-gereja yang berani menentang kebijakannya,” kata Welch. Welch menyimpulkan, alasan utama adanya ketertarikan kepada para pemimpin yang kuat dari Eropa Timur adalah karena mereka melawan musuh yang tepat dan “menang.”

Jika ini hanya pertempuran kecil antara kita yang percaya pada demokrasi liberal dan mereka yang menganggap sebaliknya, itu adalah satu hal. Tetapi masalah lain yang lebih besar dari godaan otoriter ini adalah Injil itu sendiri.

Jika gereja hanyalah sebuah kendaraan budaya demi menjaga stabilitas dan kebanggaan nasional, maka orang tidak dapat mengharapkan para diktator untuk melakukan apa pun selain memanipulasinya. Tetapi jika gereja dibangun, seperti yang dikatakan Alkitab, dari “batu hidup” yang dihasilkan dari hati yang dilahirbarukan melalui iman secara pribadi kepada Yesus Kristus (1Ptr. 2:4–5), maka keserupaan eksternal terhadap seperangkat nilai peradaban sangatlah menyedihkan dan jauh dari kekristenan.

Hal ini berlaku bahkan di tempat yang menggalakkan sedikit atau banyak nilai-nilai kristiani. Namun hal ini semakin berlaku lagi ketika gereja memberkati seorang pemimpin otoriter, seperti Putin, yang dikenal oleh rakyatnya sendiri karena meracuni musuh-musuhnya.

Dalam kasus yang terakhir, kesaksian gereja dipertaruhkan—karena agama yang menolak perilaku yang haus darah tetapi tidak mempercayai ajarannya sendiri tentang moralitas yang objektif, apalagi nanti di takhta pengadilan Kristus yang akan datang. Bagaimana orang akan mau mendengarkan ajaran agama yang demikian untuk menemukan kedamaian dengan Tuhan dan memperoleh jalan masuk ke dalam kehidupan kekal?

Orang Kristen Injili harus memperhatikan apa yang dilakukan Vladimir Putin—dan kita harus menyadarinya setiap kali ada yang berkata bahwa kita membutuhkan seorang Firaun atau Barabas atau Kaisar untuk melindungi kita dari musuh yang sebenarnya atau mereka yang dianggap musuh.

Kapan pun hal itu terjadi, kita harus ingat untuk menjawab dalam bahasa apa pun: “Tidak.”

Russell Moore memimpin Proyek Teologi Publik di Christianity Today.

Diterjemahkan oleh: Denny Pranolo

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Telegram.

Kumpulan Berita

Berbagai berita dari orang-orang Kristen di seluruh dunia.

Christianity Today February 4, 2022
Matteo Jorjoson / Unsplash / Edits by Rick Szuecs

Gereja didirikan di samping gletser yang mencair

Gereja Baptis pertama telah didirikan di Ilulissat, Greenland, sebuah kota yang terletak sekitar 220 mil sebelah utara Lingkaran Arktik. Ilulissat adalah tempat tinggal bagi sekitar 4.600 orang, kira-kira sama jumlahnya dengan anjing penarik kereta luncur, dan gletser yang menumpahkan sekitar 11 mil kubik gumpalan es ke laut setiap tahun karena perubahan iklim. Setiap tahun, ribuan turis datang untuk menyaksikan kehancuran gletser tersebut, dan satu keluarga datang untuk memulai sebuah gereja Independent Fundamentalist Baptist. “Saya meminta Tuhan untuk mengirim saya ke suatu tempat di mana tidak terlalu banyak misionaris Baptis,” kata Chris Shull. Gereja tersebut memiliki sekitar 17 orang dewasa yang rutin beribadah. Shull berkhotbah dalam bahasa Greenland.

Uskup menghadapi tuduhan ujaran kebencian

Seorang uskup dari Keuskupan Misi Lutheran Injili Finlandia diadili pada bulan Januari karena menerbitkan buklet politisi. Jaksa penuntut menuduh bahwa publikasi buklet “Sebagai Pria dan Wanita Dia Menciptakan Mereka” melanggar kesetaraan dan martabat kaum LGBT. Päivi Räsänen, seorang pemimpin kelompok Demokrat Kristen, juga akan diadili karena cuitannya yang mengutip Roma 1:24-27 dan wawancara yang dia berikan di radio. Uskup Juhana Pohjola mengatakan kepada CT bahwa ia tidak khawatir tentang hasil hukum, tetapi khawatir orang banyak akan dibungkam.

Gereja-gereja gusar karena ketua pemilu

Pengangkatan seorang komisioner pemilu yang baru telah menimbulkan kontroversi agama di Republik Demokratik Kongo. Para pemimpin Protestan dan Katolik di negara itu ditugaskan untuk memilih komisioner independen, yang akan merencanakan dan menjamin pemilihan umum yang bebas dan adil. Kandidat terkemuka, Denis Kadima, adalah seorang ahli yang terkenal dengan pengalaman puluhan tahun, tetapi dukungan dari Presiden Felix Tshisekedi menimbulkan kecurigaan bahwa ia tidak akan sepenuhnya independen. Pemilihan terakhir berujung dengan tuduhan penipuan, dan para pemimpin gereja menuduh Tshisekedi telah menyimpang ke arah totalitarianisme. Parlemen pun turun tangan dan menunjuk Kadima ketika gereja-gereja tidak dapat sepakat dengan suara bulat.

Pemimpin Gereja Baptis dibunuh

William Richard Tolbert III, seorang pendeta gereja Baptis dan putra bungsu dari mantan presiden Liberia, William Richard Tolbert Jr., dibunuh di apartemennya pada 1 November. Tolbert senior adalah presiden dari tahun 1971 hingga 1980, ketika dia dibunuh dalam sebuah kudeta. Tolbert junior sendiri adalah seorang tahanan politik selama 20 bulan, kemudian pergi ke AS dan belajar di Southern Baptist Theological Seminary. Ia kembali ke Liberia pada tahun 1999, menjadi pendeta di sebuah gereja di Bentol City sekaligus seorang advokat untuk perdamaian dan rekonsiliasi. Tidak ada yang didakwa atas kematiannya.

Museum untuk melestarikan teks-teks suci

Gereja Ortodoks Kasdim telah membuat sebuah museum baru untuk pelestarian manuskrip kuno Kristen dan Islam yang diselamatkan dari ISIS. Museum ini akan dibangun di sebelah misi Dominikan di Erbil, dan kaum Dominikan akan membantu melestarikan dokumen-dokumen tersebut. Ribuan artefak keagamaan dulu berada di Qaraqosh, sebuah kota yang mayoritas beragama Kristen, sampai akhirnya tentara ISIS mengambil alih Dataran Niniwe pada tahun 2014. Awalnya naskah-naskah itu dianggap hilang, tetapi ketika para pejuang ISIS menghancurkan biara, masjid, dan gereja, seorang pendeta yang melarikan diri berhasil menyelamatkan sebanyak mungkin naskah yang bisa dia bawa dalam sebuah van. Beberapa dokumen yang tersembunyi juga telah ditemukan sejak itu.

Gereja dibuka di penjara

Untuk pertama kalinya, sebuah gereja telah dibangun di dalam penjara di Mesir. Wadi el-Natrun yang terletak di padang gurun sekitar 60 mil dari Kairo, adalah kompleks penjara baru, yang pertama dari serangkaian fasilitas yang direncanakan untuk memodernisasi sistem lembaga pemasyarakatan. Penjara-penjara saat ini diyakini telah terisi hingga 200 persen, dan organisasi hak asasi manusia Amnesty International telah mendokumentasikan pelanggaran ekstensif terhadap tahanan yang mengkritik pemerintah. Para pemimpin Kristen sebelumnya telah diizinkan untuk melayani di penjara, tetapi tidak ada ruangan untuk beribadah. Selain gereja, penjara baru juga akan memiliki fasilitas pelatihan kejuruan.

Gereja dituduh menyebarkan COVID-19

Pendeta karismatik Vo Xuan Loan dan Phuong Van Tan dan 11 anggota jemaat Ho Chi Minh telah diinterogasi di tengah tuduhan bahwa gereja adalah sumber wabah COVID-19. Rupanya beberapa anggota gereja jatuh sakit pada awal penyebaran varian delta di Vietnam. Menurut para pendeta, jemaat telah mengikuti protokol kesehatan yang ditetapkan pemerintah, yang kala itu belum mengetahui bahwa varian delta lebih menular dari virus Corona versi sebelumnya. Setelah wabah yang lebih besar terjadi di tempat lain, pihak berwenang masih fokus menyalahkan gereja.

Peringatan tentang pemimpin yang kejam

Kepala Jamaica Evangelical Alliance (JEA) memakai kasus pembunuhan ritual oleh seorang "nabi apokaliptik" di Teluk Montego untuk memperingatkan bahaya dari pendeta pencari ketenaran yang menjadi kejam. Peter Garth, presiden JEA dan pendeta dari Hope Gospel Assembly di St. Andrew, berkata, “Beberapa pendeta akhirnya memanfaatkan jemaat untuk kepentingan pribadinya, menggunakan orang-orang tersebut untuk memenuhi kebutuhan mereka atau menutupi kelemahan mereka.” Jemaat yang sehat, katanya, menyembah Kristus “dan hanya Dia saja.” Sang "nabi apokaliptik" tersebut meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil di perjalanan untuk diinterogasi polisi.

Kota-kota membatasi ibadah selama pemilu

Beberapa kota di Argentina memberitahukan adanya larangan terhadap perayaan keagamaan dan ibadah selama pemilu, yang dalam beberapa kasus berarti melarang kebaktian gereja selama beberapa hari sebelum atau setelah pemungutan suara. Dewan Kebebasan Beragama Argentina (CALIR) secara resmi telah meminta Kementerian Dalam Negeri, yang mengawasi pemilu, untuk mengklarifikasi bahwa undang-undang pemilu tidak melanggar kegiatan keagamaan. Negara ini telah melihat gelombang kaum konservatif religius yang mencalonkan diri untuk menjabat di tahun ini, setelah masalah legalisasi aborsi menjadi pusat perhatian dalam politik nasional.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Telegram.

Penangkal bagi Gereja Selebritas Adalah Gereja Asali

Kita perlu menemukan kembali ibadah yang terlaksana tanpa bantuan kita.

Christianity Today February 4, 2022
Image: Illustration by Chanelle Nibbelink

Dalam sebuah wawancara, Chris Rock pernah bercerita tentang bagaimana ia mengembangkan materi lawakan tunggal yang baru. Seperti banyak komedian kawakan lainnya, ia tampil di klub komedi yang kecil dan menyampaikan lelucon-leluconnya di atas panggung selama lima atau sepuluh menit. Ia mengembangkan satu atau dua lelucon sekaligus dan menggabungkan lelucon-lelucon yang berhasil untuk tur atau acara khusus dia yang berikutnya.

Rock tahu bahwa penonton akan bereaksi karena dia adalah Chris Rock, seperti halnya mereka bereaksi karena lelucon darinya. Jadi, ketika ia melakukan lawakan singkat, ia menyampaikan leluconnya dengan ekspresi yang sesedikit mungkin. Ia ingin memastikan bahwa lelucon-lelucon tersebut “dapat disampaikan dari balik tirai,” katanya. Jika lelucon-lelucon itu berhasil, ia tahu bahwa ketika ia menyampaikannya dengan persona dirinya di atas panggung, lelucon-lelucon tersebut akan membuat orang tertawa terbahak-bahak.

Saya sering memikirkan hal ini saat mengerjakan siniar CT The Rise and Fall of Mars Hill. Ini adalah kisah tentang sebuah gereja raksasa di Seattle yang menjadi sangat terkenal di awal tahun 2000-an, yang menarik perhatian 15.000 orang di 15 lokasi. Kemudian gereja ini menutup pintunya setelah Mark Driscoll, pendirinya, mengundurkan diri pada tahun 2014. Dalam banyak hal, Mars Hill adalah kasus unik. Dalam banyak hal penting lainnya, ternyata tidak demikian.

Driscoll adalah seorang komunikator dan provokator yang berbakat unik, tetapi fenomena rohaniwan selebritas sekarang mewabah di banyak gereja raksasa. Mars Hill berinovasi dalam produksi musik dan video, penggunaan teknologi, dan media sosial, tetapi apa yang dipeloporinya telah diadopsi secara luas dan mendefinisikan gereja-gereja yang berpengaruh saat ini.

Alat-alat teknologi dan selebritas yang dibangun gereja Mars Hill terus menyebar, dan hal-hal tersebut selalu menjadi godaan, baik di gereja-gereja yang lebih kecil maupun di gereja-gereja besar. Kita telah melewatkan pelajaran bahwa hal-hal ini membentuk struktur yang rapuh: Gereja tidak dapat bertahan setelah keluarnya Driscoll.

Dapat dimengerti, sarana-sarana ini memang menggoda. Hal-hal tersebut menambah kekuatan pada pelayanan seperti yang Chris Rock lakukan dengan personanya (yang sangat tidak gerejawi). Dan meskipun teknologi tidak selalu jahat—mesin cetak menghasilkan Alkitab, Book of Common Prayer (Buku Doa Umum milik gereja Anglikan), dan buku-buku himne bagi miliaran orang awam—namun teknologi juga tidak netral. Teknologi dapat terhubung dengan tubuh dan imajinasi kita dengan cara yang merusak pesan Injil, yaitu tentang mati bagi diri sendiri dan lebih mementingkan kepentingan orang lain daripada kepentingan diri.

Kita memakai video pembesar gambar untuk memproyeksikan pengkhotbah dan pemimpin ibadah yang sangat mengesankan, tanpa pernah menanyakan pesan lain apa yang mungkin dikomunikasikan oleh teknologi pada konser musik rok dan kampanye-kampanye politik. Kita mengimpor pengeras suara yang menggetarkan dada dan mesin penghasil kabut ke dalam gereja. Di atas panggung, para pemimpin ibadah pun membaca dari ponsel cerdas dan tablet. Komisi ibadah mendistribusikan panduan gaya pakaian yang seperti apa yang harus dikenakan oleh para anggota grup musik di atas panggung (saya tidak mengada-ada), dan kita berkumpul di ruangan tanpa jendela yang dilengkapi pengatur suhu seperti bioskop dan kasino.

Dalam konteks itu, jika mayoritas pemimpin Kristen yang kita temui adalah pria dan wanita muda yang berkarisma dengan gigi yang sempurna, apa yang terjadi ketika kita bertemu dengan seseorang yang bersuara pelan, lemah lembut, dan tidak cocok untuk Instagram? Seseorang yang tidak memiliki kepribadian selebritas atau kisah pertobatan yang mengagumkan? Seseorang dengan jenis otoritas spiritual yang membingungkan dunia abad pertama ketika Yesus tidak menuntut kekuasaan atau menunjukkannya sewaktu-waktu?

Saya takut kita akan melewatkannya. Kita bahkan mungkin akan langsung menolak dan mengutukinya. Bahkan mungkin kita pernah melakukannya.

Driscoll sering mengatakan bahwa ia benci mendengarkan sebagian besar pengkhotbah karena mereka membosankan dan tidak menarik. Sebaliknya, ia belajar dari komedian lawakan tunggal, termasuk Rock. Namun, ternyata ia melewatkan etika yang lebih mendalam dari keahlian Rock, yaitu bahwa substansi materi lebih penting daripada presentasinya. Materi tersebut harus berhasil tanpa dirinya.

Chip Stam, seorang mentor saya sebelum beliau meninggal pada tahun 2011, memberitahu saya, “Orang percaya yang dewasa mudah dibentuk.” Yang ia maksud adalah jika orang Kristen berada di tempat di mana firman Tuhan diberitakan, Yesus disembah, dan Roh Kudus hadir di hati umat-Nya, maka ketika mereka meninggalkan tempat itu pasti merasa dikuatkan—tidak peduli apakah pengalaman itu dangkal, ramai, tenang, atau terasa asing.

Saya menganggap ini sebagai undangan menuju “gereja asali,” suatu sikap yang menyadari bahwa hal-hal yang paling berarti di dalam pertemuan gereja adalah hal-hal yang dapat menahan keruntuhan gereja atau keruntuhan sebuah peradaban—sebagaimana yang telah terbukti selama ini.

Setelah satu dekade keruntuhan moral dari para pemimpin Kristen, seperti apa jadinya jika gereja memperbarui komitmennya agar menjadi seperti visi gereja asali ini? Alih-alih pengalaman di pertemuan hari Minggu yang dihasilkan dengan biaya produksi yang tinggi, bagaimana jika kita berkumpul di dalam firman dan Roh, pengakuan dosa dan jaminan pengampunan, roti dan anggur perjamuan?

Hal itu mungkin akan terasa seperti masa di padang gurun, tetapi gereja telah menang menghadapi hal ini sebelumnya. Saya berharap—dan saya percaya—kita bisa melakukannya sekali lagi.

Mike Cosper adalah direktur siniar CT.

Diterjemahkan oleh: Ivan K. Santoso

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Sebuah Drama Keluarga Membantu Saya Melihat Kedaulatan Tuhan di Masa Pandemi.

Menyaksikan para tokohnya berjuang di tengah tragedi memberi saya kejelasan tentang karakter Kristus di saat-saat yang menyakitkan dalam hidup.

Christianity Today January 30, 2022
Illustration by Rick Szuecs / Source images: Hendriyan David / Unsplash / Rudi Suardi / Xijian / Getty

Pertengahan tahun lalu, kami mengumumkan sebuah kontes esai bagi orang-orang Kristen yang menulis dalam Bahasa Indonesia. Esai-esai ini ditinjau dengan cermat oleh editor kami dan kemudian dinilai secara anonim oleh tim juri. Hari ini, dengan bangga kami mengumumkan bahwa pemenang Kontes Esai Christianity Today 2021 adalah Vika Rahelia dengan judul esai “Sebuah Drama Keluarga Membantu Saya Melihat Kedaulatan Tuhan di Masa Pandemi.” Kami juga sangat senang bisa mempublikasikan karyanya kepada para pembaca berbahasa Indonesia dan Inggris. Bagi Anda yang ingin mengetahui tentang bagaimana menulis untuk kami, email kami di christianitytodayID@christianitytoday.com.

Kami juga berterima kasih kepada para juri yang telah berpartisipasi dalam penilaian esai kontes ini:

• Dr. Casthelia Kartika, Ketua Sekolah Tinggi Teologi Amanat Agung (STTAA), Jakarta.
• Ev. Jimmy Setiawan, pendiri Wonders of Worship (WOW) Ministry, Jakarta.
• Pdt. Wahyu Pramudya, gembala Gereja Kristen Indonesia (GKI) Ngagel, Surabaya, dan pendiri ributrukun.net.

Manajer Media Global: Morgan Lee, Hawai’i, Amerika Serikat
Direktur Editorial: Maria Fennita S., Indonesia

Dari sekian banyak film Indonesia yang bagus, film layar lebar Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (NKCTHI) adalah salah satu film yang menarik perhatian saya. Cerita dalam film ini sebenarnya sederhana tetapi sangat menyentuh. Film ini mengisahkan tentang sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan tiga orang anak, yaitu Angkasa, Aurora, dan Awan. Sebagai anak bungsu, Awan selalu dilindungi oleh sang ayah. Sang ayah menuntut Angkasa, anak yang sulung, untuk selalu menjaga Awan, adik perempuannya yang paling kecil itu, serta mengesampingkan kepentingan Angkasa sendiri. Pada sisi lainnya, Aurora, si anak tengah, terkadang merasa diabaikan dan tak dianggap oleh ayah mereka.

Kisah dalam film ini mencapai klimaksnya ketika rahasia kematian saudara kembar Awan mulai terungkap. Rupanya itulah yang menjadi penyebab sikap sang ayah yang over protective terhadap Awan. Mengetahui hal tersebut, Angkasa melampiaskan amarah yang besar terhadap ayahnya. Keluarga yang sebelumnya terlihat harmonis, akhirnya terpecah. Sang ibu, yang selama ini lebih banyak diam, mulai angkat suara dan berusaha untuk menyatukan keluarganya. Setelah itu, sang ayah pun berusaha berdamai dengan dirinya dan belajar untuk membagi perhatian secara merata kepada ketiga anaknya. Film ini selesai dengan akhir yang bahagia.

Saya menonton film ini dua bulan sebelum kasus Covid-19 pertama kali terdeteksi di Indonesia dan menontonnya kembali setelah kita mengalami karantina wilayah. Menyaksikan respons setiap karakter di film tersebut terhadap tragedi membantu saya berempati kepada orang-orang di seluruh dunia yang melakukan berbagai cara untuk menghadapi pandemi ini. Terlebih lagi, film ini juga membantu saya menyadari bahwa reaksi-reaksi tersebut bisa menjadi cerita yang akan kita ceritakan di masa mendatang, entah itu sebagai cerita kenangan bagi cucu-cucu kita atau pelajaran berharga bagi komunitas kita.

Alkitab juga dipenuhi dengan cerita tentang pengalaman orang-orang yang mengalami Tuhan dalam kehidupannya, baik saat sulit maupun senang. Jika kita melihat kehidupan kita sebagai pengikut Tuhan yang berusaha mengenal Dia, kita akan mendapati bahwa cerita kita pun merupakan bagian dari sekian banyak kisah yang sedang Tuhan berikan sebagai kesaksian hidup bersama Tuhan di masa kini.

Terinspirasi kata-kata indah dari film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini, inilah tulisan pertama yang saya pikir suatu hari nanti akan saya ceritakan kepada orang lain ketika pandemi ini berakhir.

“Hidup itu lucu ya, yang dicari, hilang… yang dikejar, lari… yang ditunggu, pergi. Sampai hari kita lelah dan berserah, saat itu semesta bekerja. Beberapa hadir dalam rupa sama, beberapa jauh lebih baik dari rencana. Sang Pencipta baik sekali ya….” —Awan

Kalimat ini adalah ungkapan perasaan Awan terkait keberadaan seorang pria bernama Kale. Awan mengira Kale menyukainya dan berharap lebih, karena segala perhatian yang diberikan Kale baginya menyiratkan hubungan yang lebih dari sekedar pertemanan. Akan tetapi, saat Awan ingin memastikan hubungan mereka sebagai sepasang kekasih, Kale ternyata tidak sepikiran dengannya.

Dalam hidup, sebagian kita pernah mengalami kehilangan sesuatu yang kita harapkan. Saya pernah mengalaminya ketika saya kehilangan ayah saya. Saya akui, sebelumnya saya bukanlah anak yang menyayangi ayah saya. Bahkan bisa dibilang, saya termasuk anak yang paling memberontak terhadap beliau. Segala sesuatu yang saya lakukan menjadi kontestasi untuk menentang beliau, bahkan termasuk niatan awal saya masuk seminari. Tetapi ternyata di seminari Tuhan mengizinkan saya melihat dan mengerti banyak hal yang membuat saya menyadari kesalahan saya. Namun di saat saya sudah berdamai dengan ayah dan hubungan kami dipulihkan, tak lama kemudian Tuhan memanggilnya pulang ke rumah Bapa. Padahal di masa itu saya sangat membutuhkan kehadirannya.

Kepergian ayah membawa kesedihan yang mendalam bagi saya. Meski demikian, saya tidak menyesal, sebab Tuhan sudah mendamaikan kami berdua. Tidak ada lagi persoalan yang mengganjal di antara saya dan ayah. Memahami hal ini membuat saya semakin percaya bahwa Tuhan telah mengatur segala sesuatu sedemikian indah, sehingga saya mampu melewati masa kehilangan ini dengan hati terbuka.

Selama pandemi, saya menyaksikan banyak orang kehilangan apa yang mereka harapkan dengan cara lain: orang-orang yang ekstra hati-hati, malah tertular Covid-19 dan yang tidak percaya akan virus ini malah mengalaminya dan akhirnya percaya bahwa virus ini ada. Sepertinya, semakin berusaha menghindari, virus ini makin merajalela. Virus ini bahkan mampu bermutasi dan semakin banyak variannya, sehingga apa yang dahulu ampuh mengatasinya, kini tidak ampuh lagi.

Menarik bukan, yang tak terlihat dan berukuran mikron ternyata jauh lebih berbahaya dan berkuasa mengubah zaman daripada manusia. Tidak berdayanya manusia dan maha kuasanya Tuhan terlihat nyata melalui virus yang tak kasat mata itu. Namun di atas semua yang terjadi ini, Sang Pencipta tetap berdaulat. Meski Ia tidak terlihat, namun Ia bekerja di tengah kehidupan kita dan memakai segala sesuatu sesuai dengan rencana-Nya. Benar yang dituliskan oleh C. S. Lewis dalam Problem of Pain, bahwa penderitaan adalah megafon Allah, yang menyadarkan kita betapa pentingnya peran Tuhan dalam kehidupan manusia.

Saya paham, kita telah mengalami banyak kehilangan di sepanjang tahun 2020-2021: sakit akibat Covid-19, kematian mendadak dari orang-orang terdekat atau orang yang kita kenal, hilangnya pekerjaan, berkurangnya pemasukan, harus diam di rumah saja-yang sangat membosankan sebagian kita, dll. Entah kapan kita bisa keluar dari pandemi ini, tidak ada kejelasan, tidak ada kepastian.

Pada sisi lain, realitas kehidupan cukup beragam, terutama dalam hal religius, dan tidak hanya kekristenan yang mengalaminya. Sebelum pandemi, semua kegiatan keagamaan dimaknai dengan berkumpul di sebuah gedung atau rumah ibadah yang dianggap sakral. Namun sekarang, terutama pada masa karantina wilayah, mengharuskan kita beribadah dari rumah. Tak perlu lagi berkumpul di suatu tempat yang dianggap sakral. Makna rumah ibadah pun jadi bergeser. Sekali lagi pandemi merubah makna dan mengubah cara beribadah kita juga.

Pada akhirnya, kita menyaksikan segala kejadian di bumi ini bagaikan dagelan. Awalnya berharap seperti ini, tetapi malah berakhir lain. Memang, setiap manusia dapat merencanakan kehidupannya. Manusia juga dapat memilih apakah mau sejalan dengan kehendak Tuhan atau tidak. Namun pada akhirnya, Tuhanlah yang berdaulat dan kita diingatkan untuk menerimanya, baik atau buruk, dengan penuh keterbukaan, sebagaimana teguran yang dikatakan Ayub kepada istrinya, “…Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” (Ayb. 2:10).

Namun seburuk apapun derita kehilangan yang kita alami, jika dimaknai dengan tepat, dapat memperlihatkan penyertaan dan pemeliharaan Tuhan. Entah itu berupa penghiburan-penghiburan dari orang-orang yang tak terduga, kesempatan usaha yang baru terbuka, tawaran pekerjaan yang berasal dari teman lama kita, atau kesempatan melayani orang lain yang menderita hal yang sama seperti yang pernah kita alami. Penderitaan akan kehilangan juga membantu kita untuk lebih menghargai kehidupan dan menjalaninya dengan sungguh-sungguh, karena usia dan waktu sangatlah berharga dan tidak dapat diulang.

“Sedih kadang membawa kita ke arah yang lebih tinggi. Mata angin nggak bisa diatur, tapi arah layar bisa.” —Kale

Kale mengucapkan kalimat di atas untuk menghibur Awan agar dapat menghadapi kesedihannya.

Memang dalam hidup, kita tak bisa menolak penderitaan maupun masalah yang datang menghadang. Tetapi Tuhan memberi kita kemampuan untuk bisa mengatasinya. Apakah hidup kita menjadi menderita atau bahagia, semua itu bergantung dari bagaimana kita menyikapi setiap peristiwa. Bisa saja peristiwa yang menyedihkan, justru pada akhirnya membawa kebahagiaan dan tanpa penyesalan, seperti yang saya alami di tengah duka karena kepergian ayah tercinta. Atau bisa saja di tengah peristiwa yang sulit, Tuhan menyediakan apa yang kita butuhkan, sehingga kita tetap bisa bersyukur meski di tengah kesusahan, sebagaimana yang dialami oleh ibu dan saya.

Dua hari sebelum ayah saya meninggal, ibu saya baru memakamkan jenazah kakak perempuannya. Sekuat-kuatnya ibu, saya tahu dua peristiwa duka yang berturut-turut itu sangatlah berat baginya. Namun saya tahu bahwa Tuhan telah mengatur sehingga saya bisa menemaninya melewati masa berkabung. Berkat situasi pandemi ini, memungkinkan saya untuk bisa kuliah secara daring dan hadir secara fisik mendampingi ibu di masa duka keluarga kami. Terlepas dari penderitaan yang kami alami, saya tetap bisa menyaksikan kedaulatan dan pemeliharaan Tuhan atas keluarga kami.

“Dikira hidup kayak tombol, pas sedih terus dipencet bisa langsung berubah bahagia lagi?” —Aurora

Ucapan Aurora ini menyadarkan kita bahwa tidak mudah mengubah kesedihan menjadi kebahagiaan dalam sekejap. Butuh waktu untuk segala sesuatunya: untuk memproses rasa kehilangan, untuk menghapus airmata kesedihan, untuk memulihkan kita dari luka akibat penderitaan, dan untuk membuat kita kembali merasakan kebahagiaan.

Dalam kisah Ayub, dikisahkan bagaimana tiga sahabatnya yaitu Elifas, Bildad, dan Zofar mengunjungi dan bahkan menemaninya selama tujuh hari tujuh malam lamanya (Ayb. 2:11). Tetapi setelah lewat tujuh hari, satu per satu sahabatnya mulai berbicara karena tak sabar lagi untuk menasihati Ayub, dan di situlah masalah terjadi. Bukan lagi penghiburan yang dirasakan Ayub, melainkan situasi yang runyam. Penderitaan Ayub belum berakhir, lukanya belum pulih, dukanya belum sembuh, ditambah lagi kerumitan dari para sahabatnya.

Dalam segala penderitaan yang sedang kita hadapi kini, yang terpenting adalah kita tetap bisa menikmati dan mensyukuri proses yang terjadi. Tuhan itu pecinta proses. Ia menghargai usaha kita berproses di tengah penderitaan yang kita alami. Sebaliknya, justru ketidaksabaran dan sikap mencari siapa yang bersalah hanya akan membuahkan masalah baru atau menambahkan kerumitan masalah yang telah ada.

“Selalu ada yang pertama kali dalam segala sesuatu, termasuk gagal” —Angkasa

Kalimat ini disampaikan Angkasa kepada Awan, adik perempuannya, yang baru dipecat dari pekerjaannya.

Kegagalan, penderitaan, kesulitan, semua itu adalah bagian dari kehidupan kita. Namun ketika menghadapinya, Tuhan ingin agar kita tidak menyerah, melainkan mencoba dan bangkit lagi, untuk tidak putus asa dan tetap memiliki pengharapan. Pengharapan membuat kita mampu bertahan meski di tengah kegagalan dan penderitaan. Pengharapan menghindarkan kita dari sikap bersungut-sungut. Pengharapan juga membuat kita bersyukur bahwa kita masih diberi kesempatan untuk menikmati hidup, walau hanya beberapa menit saja. Mungkin dalam beberapa menit itu, kita bisa mengucapkan kalimat perpisahan kepada orang yang kita cintai, menyampaikan kepada orang lain betapa kita bersyukur atas keberadaan mereka, atau memberitahu betapa kita menyayangi mereka.

Namun yang terpenting dari semuanya itu adalah dasar pengharapan kita, yaitu Yesus Kristus. Karena Dialah, kita beroleh keselamatan dan selalu punya alasan untuk tetap berharap di tengah penderitaan. “Karena Allah tidak menetapkan kita untuk ditimpa murka, tetapi untuk beroleh keselamatan oleh Yesus Kristus, Tuhan kita, yang sudah mati untuk kita, supaya entah kita berjaga-jaga, entah kita tidur, kita hidup bersama-sama dengan Dia” (1Tes. 5:9-10).

“Terus, kamu bahagianya kapan?” ­­­­—Lika

Pertanyaan ini diungkapkan oleh Lika, kekasih Angkasa, karena Angkasa selalu mendahulukan kepentingan keluarga dibanding kepentingannya sendiri.

Bagaimana respons kita jika seseorang menanyakan pertanyaan ini kepada kita? Sebagai orang Kristen, jawaban kita mungkin dapat ditemukan dalam keputusan kita untuk menghargai kehidupan, menghargai setiap hal kecil dan sederhana yang singgah dalam hidup kita: Keluarga, pertemanan, studi, bahkan kesempatan untuk melakukan sesuatu dan menebus kesalahan. Saya rindu, suatu hari nanti saya bisa menceritakan apa yang pernah saya alami dan berkata: “Tuhan itu baik.” Dengan demikian, saya bisa memberikan kesaksian tentang bagaimana "Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah" (Rm. 8:28).

Vika Rahelia adalah seorang desainer yang berupaya mengenal sumber inspirasinya dengan menjadi imperfect seminarian di Sekolah Tinggi Teologi Reformed Indonesia di Jakarta Selatan, Indonesia. Penulis suka mevisualisasi koleksi kata-katanya lewat graphic, hand lettering dan t-shirt print. Anda dapat mengikuti akun Instagramnya di @imperfectseminarian.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Instagram.

Books

50 Negara Tersulit bagi Pengikut Yesus di Tahun 2022

Menurut laporan terbaru tentang persekusi Kristen, di Nigeria terdapat 4 dari 5 martir, Tiongkok memiliki 3 dari 5 serangan gereja, dan Afganistan sekarang lebih buruk daripada Korea Utara.

Christianity Today January 19, 2022
Illustration by Mallory Rentsch / Source Image: Benne Ochs / Getty Images

Dibanding tahun sebelumnya, tahun lalu ada lebih dari seribu orang Kristen dibunuh karena iman mereka.

Lebih dari seribu orang Kristen ditahan.

Lebih dari enam ratus gereja diserang atau ditutup.

Dan Afganistan menduduki peringkat pertama yang baru, menurut World Watch List (WWL) tahun 2022, yang merupakan hasil penelitian terbaru dari lembaga Open Doors yang mendaftarkan 50 negara teratas yang paling berbahaya dan sulit bagi orang Kristen.

“Temuan tahun ini menunjukkan perubahan yang meluas dalam cakupan wilayah persekusi,” kata David Curry, presiden Open Doors USA.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Sejak Open Doors memulai penghitungannya pada tahun 1992, Korea Utara selalu menempati peringkat tertinggi. Tetapi sejak pengambil-alihan Afganistan oleh Taliban pada Agustus tahun lalu, orang-orang percaya di Afganistan harus meninggalkan negara mereka atau hidup berpindah-pindah di negara tersebut. Menurut laporan ini, banyak orang yang kehilangan segala yang mereka miliki, sementara gereja-gereja rumah ditutup setelah kepindahan mereka.

“Sebelum berkuasanya Taliban, kehidupan di Afganistan tidak terlalu bagus, tetapi cukup baik,” kata seorang warga Afganistan yang dievakuasi dan meminta namanya dirahasiakan, dengan harapan bahwa suatu hari nanti ia akan kembali. “[Kini] orang Kristen hidup dalam ketakutan, secara rahasia, benar-benar di bawah tanah.”

Open Doors dengan segera memberi catatan bahwa perpindahan Korea Utara ke No. 2 tidak mencerminkan adanya peningkatan kebebasan beragama di sana. Sebaliknya, undang-undang pemikiran anti-reaksioner yang baru telah mengakibatkan meningkatnya penangkapan terhadap orang Kristen dan penutupan gereja rumah.

Secara keseluruhan, 360 juta orang Kristen tinggal di negara-negara dengan tingkat persekusi atau diskriminasi yang tinggi. Yang berarti 1 dari 7 orang Kristen di seluruh dunia, termasuk 1 dari 5 orang percaya di Afrika, 2 dari 5 di Asia, dan 1 dari 15 di Amerika Latin.

Tahun lalu, untuk pertama kalinya dalam 29 tahun pelacakan, 50 negara seluruhnya mendapat nilai cukup tinggi pada matriks 84 pertanyaan Open Doors sehingga terdaftar sebagai negara-negara dengan tingkat persekusi yang “sangat tinggi.” Tahun ini, sekali lagi, 50 negara seluruhnya masuk kualifikasi tersebut—diikuti 5 negara lainnya dengan nilai yang tidak jauh berbeda.

Sementara ekstremisme Islam terus menciptakan persekusi paling besar, Open Doors mencatat bahwa pembatasan-pembatasan COVID-19 “telah menjadi cara yang mudah untuk memperketat pengontrolan dan pengawasan terhadap kaum agama minoritas dan pelayanan peribadatan” di Tiongkok dan negara-negara lainnya. Para peneliti juga mendapati bahwa persekusi semakin menggusur orang-orang Kristen dari komunitas mereka, dengan puluhan ribu orang—terutama dari Myanmar—menjadi pengungsi di negara lain.

Tujuan dibuatnya peringkat tahunan WWL—yang mencatat sejarah munculnya para pesaing Korea Utara seiring bertambah parahnya— persekusi adalah untuk memandu umat Kristen agar berdoa lebih spesifik dan mengarahkan kemarahan terhadap persekusi agar menjadi lebih efektif, sambil menunjukkan kepada orang percaya yang teraniaya bahwa mereka tidak dilupakan.

World Watch List versi tahun 2022 menelusuri periode waktu dari 1 Oktober 2020 hingga 30 September 2021, dan dikompilasi dari laporan akar rumput oleh para pekerja Open Doors di lebih dari 60 negara.

https://datawrapper.dwcdn.net/QyLgm

Di mana orang Kristen mengalami persekusi terberat saat ini?

Afganistan tidak mewakili satu-satunya perubahan yang substansial dalam peringkat tahun ini. Myanmar pindah dari peringkat 18 ke 12, terkait meningkatnya kekerasan setelah kudeta dan diskriminasi fasilitasi perawatan kesehatan. Qatar naik dari peringkat 29 ke 18, karena gereja rumah yang sebelumnya diperbolehkan, kini tidak diizinkan untuk dibuka kembali setelah penutupan akibat COVID-19, meskipun izin telah diberikan kepada masjid dan beberapa bangunan gereja yang terdaftar secara resmi. Indonesia naik dari peringkat 47 ke 28, didorong oleh adanya dua serangan kelompok Islam yang mematikan di gereja-gereja sekalipun ada tindakan keras dari pemerintah terhadap teroris. Dan Kuba melompat dari peringkat 51 ke 37, terkait semakin meningkatnya penindakan terhadap para pemimpin dan aktivis Kristen yang menentang prinsip-prinsip Komunis.

Secara keseluruhan, posisi 10 negara teratas hanya saling bergeser dari tahun lalu. Somalia tetap stabil di peringkat 3, begitu pula Libia di peringkat 4, Eritrea di peringkat 6, dan India di peringkat 10. Yaman naik dua peringkat ke nomor 5, menggantikan Pakistan yang turun tiga peringkat ke nomor 8. Iran turun satu peringkat ke nomor 9, dan Nigeria naik dua peringkat ke nomor 7, melengkapi kelompok negara yang kejam tersebut.

Tempat Tersulit bagi Pengikut Yesus:



1. Afganistan
2. Korea Utara
3. Somalia
4. Libia
5. Yaman
6. Eritrea
7. Nigeria
8. Pakistan
9. Iran
10. India

Pada tahun 2020, Nigeria akhirnya ditambahkan dalam daftar tahunan Countries of Particular Concern (CPC) Departemen Luar Negeri AS. Dan secara mengejutkan pada November tahun lalu, negara ini dihapus dari daftar tersebut. Meski demikian Nigeria mendapat perhatian khusus dalam laporan Open Doors.

“Saat Anda menjadi orang Kristen di Nigeria, hidup Anda selalu dipertaruhkan,” kata Manga, yang ayahnya dipenggal oleh kelompok Boko Haram. “[Tetapi] kami tidak punya tempat [lain] untuk pergi, kami tidak punya pilihan.”

Negara terpadat di Afrika ini menempati peringkat pertama dalam subkategori WWL di mana orang Kristen dibunuh, diculik, dilecehkan secara seksual, disiksa secara fisik atau mental, dan rumah serta tempat bisnis diserang karena alasan berbasis agama. Negara ini juga menjadi peringkat kedua dalam subkategori serangan gereja dan pengungsian dalam negri.

“Sudah sangat jelas bahwa orang Kristen (dan kelompok minoritas) tidak dapat mengandalkan aparat keamanan untuk perlindungan mereka,” ungkap laporan itu.

Pelanggaran terhadap kebebasan beragama di Nigeria terkait dengan kehadiran kelompok Islam yang berkembang pesat di Sahel Afrika. Negara Mali naik dari peringkat 28 ke 24, dan Open Doors khawatir negara ini akan naik peringkat lagi tahun depan. Burkina Faso bertahan stabil di peringkat 32, dan Niger melompat dari peringkat 54 ke 33. Negara terdekatnya, Republik Afrika Tengah (RAT) naik dari peringkat 35 ke 31.

“Pusat jihadisme internasional sekarang berada [di] wilayah Sahel,” kata Illia Djadi, analis senior Open Doors untuk urusan kebebasan beragama dan kepercayaan untuk Afrika sub-Sahara. “Terorisme ini bergerak ke selatan … dan negara-negara yang didominasi orang Kristen seperti Benin, Togo, Ghana, Pantai Gading kini terpengaruh.” (Tidak ada peringkat di WWL.)

Negara-negara dengan mayoritas Kristen menempati peringkat yang relatif rendah dalam daftar 50 negara teratas, termasuk di antaranya Kolombia (No.30), Kuba (No.37), Etiopia (No.38), Republik Demokratik Kongo (No.40), Mozambik (No.41), Meksiko (No.43), dan Kamerun (No.44).

Dari daftar 50 negara teratas:

· Ada 11 negara memiliki tingkat persekusi “ekstrem” dan 39 negara dengan tingkat persekusi “sangat tinggi”. Lima negara lainnya di luar daftar 50 negara teratas yang memenuhi kualifikasi “sangat tinggi” adalah Kenya, Sri Lanka, Komoro, Uni Emirat Arab, dan Tanzania.

· Ada 18 negara di Afrika (6 di Afrika Utara), 29 di Asia, 10 di Timur Tengah, 4 di Asia Tengah, dan 3 di Amerika Latin.

· Ada 34 negara yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam, 4 Buddha, 2 Hindu, 1 ateis, 1 agnostik—dan 10 Kristen.

Dalam daftar tahun 2022 ini, ada dua negara baru, yaitu Kuba dan Niger. Dua negara yang keluar dari daftar tersebut adalah Kenya dan Komoro.

Peningkatan peringkat yang penting lainnya mencakup Arab Saudi yang naik dari peringkat 14 ke 11, karena tersedianya informasi yang lebih spesifik tentang situasi para migran yang menjadi petobat baru. Demikian pula, sesama negara Teluk Oman naik peringkat dari 44 ke 36, menyusul peningkatan pengawasan terhadap orang Kristen, terutama para petobat baru, dengan beberapa di antaranya dipaksa meninggalkan negara tersebut. Dan di Asia, Bhutan naik peringkat dari 43 ke 34, karena meningkatnya kekerasan terhadap orang Kristen di negara penganut agama Buddha tersebut yang secara tradisional tidak melakukan kekerasan.

Tempat Orang Kristen Mengalami Kekerasan Terbanyak:



1. Nigeria
2. Pakistan
3. India
4. Republik Afrika Tengah
5. Republik Demokratik Kongo (RDK)
6. Mozambik
7. Kamerun
8. Afganistan
9. Mali
10. Sudan Selatan

Periode Pelaporan Open Doors: 1 Oktober 2020 – 30 September 2021

Tidak semua pergerakan yang penting itu negatif. Irak dan Suriah masing-masing turun tiga peringkat ke nomor 14 dan 15, karena adanya penurunan jumlah gereja yang diserang dan orang Kristen yang terbunuh. Tunisia turun dari peringkat 25 ke 35, seiring semakin sedikitnya orang Kristen yang ditahan, sedangkan penurunan tingkat kekerasan terhadap orang Kristen menyebabkan Tajikistan turun peringkat dari 43 ke 45. Sementara itu, berkurangnya serangan oleh kelompok Hindu radikal di negara Himalaya, yaitu Nepal, menyebabkan peringkatnya merosot ke 48, turun dari peringkat 34.

Meski demikian, Open Doors menyarankan bahwa beberapa penurunan ini mungkin hanyalah dangkal, disebabkan oleh penurunan aktivitas Kristen karena COVID-19. Mesir turun peringkat dari 16 ke 20, dan Turki turun ke peringkat dari 35 ke 42, seiring berkurangnya serangan terhadap gereja. Namun di Mesir, kekerasan terhadap orang Kristen secara individu tetaplah tinggi, dengan terdapatnya delapan orang percaya yang terbunuh, sementara Turki menghadapi retorika pemerintah yang semakin agresif terhadap orang Kristen, yang menderita karena berkembangnya ketidakpercayaan sosial.

Negara-negara lain menghapus perkembangan positif yang sudah ada dan menggantinya dengan yang negatif. Sudan tetap di peringkat 13, karena reformasi kebebasan beragama di tingkat nasional belum diberlakukan di tingkat lokal. Kolombia bertahan di peringkat 30, karena berkurangnya orang Kristen yang terbunuh, namun aktivitas kriminal dan permusuhan sosial meningkat—terutama di komunitas pribumi. Dan Etiopia, yang turun dua peringkat ke 38, mengalami penurunan kekerasan terhadap orang Kristen diimbangi dengan tekanan masyarakat di tengah kondisi perang saudara yang membuat sulit untuk membedakan persekusi agama versus etnis.

Bagaimana orang Kristen dipersekusi di negara-negara ini?

Open Doors melacak terjadinya persekusi dalam enam kategori—termasuk tekanan sosial dan pemerintah terhadap individu, keluarga, dan jemaat—serta menaruh perhatian khusus kepada kaum perempuan. Hampir semua kategori tersebut mengalami peningkatan di tahun ini, dan beberapa bahkan mencapai rekor tertinggi.

Ketika kekerasan dinilai sebagai satu kategori tersendiri, posisi 10 negara penganiaya teratas bergeser secara dramatis—hanya Afganistan, Nigeria, Pakistan, dan India yang tersisa. Bahkan, 16 negara lebih mematikan bagi orang Kristen daripada Korea Utara.

Angka kematian sebagai martir meningkat lebih dari 1.000 dibanding tahun sebelumnya, ketika Open Doors menghitung ada 5.898 orang Kristen yang terbunuh karena iman mereka selama periode pelaporan. Mewakili peningkatan 24 persen, jumlah korban tetap meningkat dari angka tertinggi di tahun 2016 yang mencapai 7.106 kematian. Nigeria menyumbang 79 persen dari total, diikuti oleh Pakistan sebesar 11 persen.

Tempat Martir Kristen Terbanyak:



1. Nigeria: 4,650
2. Pakistan: 620
3. Nama dirahasiakan: 100*
4. Burkina Faso 100*
5. Republik Demokratik Kongo: 100*
6. Mozambik: 100*
7. Republik Afrika Tengah: 29
8. Kamerun: 27
9. Tanzania: 25
10. Indonesia: 15

*Estimasi


Periode Pelaporan Open Doors: 1 Oktober 2020 – 30 September 2021

Open Doors mencantumkan statistik kekerasan di negara-negara dengan peringkat 41 poin atau lebih tinggi. Estimasi Open Doors dikenal lebih konservatif dibanding kelompok peneliti lain, yang kerap menghitung jumlah martir sampai 100.000 per tahun. Bila angka-angkanya tidak dapat diverifikasi, maka estimasinya diberikan dalam angka pembulatan 10, 100, 1.000, atau 10.000, dengan asumsi nilainya lebih tinggi pada realitasnya. Dan beberapa tabulasi nasional mungkin tidak diberikan karena alasan keamanan, yang membuat penyebutan “NN” untuk Afganistan, Maladewa, Korea Utara, Somalia, dan Yaman.

Pada rubrik berikut ini, sebuah negara yang namanya dirahasiakan, Burkina Faso, RDK, dan Mozambik, semuanya dicatat dengan penghitungan simbolis 100 martir.

Untuk kategori kedua, Open Doors melacak serangan terhadap gereja dan bangunan Kristen lainnya seperti rumah sakit, sekolah, dan pekuburan, baik yang dihancurkan, ditutup, atau disita. Perhitungan 5.110 kasus memperlihatkan adanya peningkatan 14 persen dari tahun lalu, tetapi hanya sekitar setengah dari tinggi penghitungan di tahun 2020, yaitu sebanyak 9.488.

Tiongkok (No.17), yang masuk kembali dalam daftar 20 negara teratas tahun lalu untuk pertama kalinya dalam satu dekade, memimpin dengan catatan 59 persen serangan terhadap gereja. Nigeria berada di urutan kedua dengan 470 insiden, diikuti Bangladesh, Pakistan, dan Qatar. Republik Afrika Tengah, Burkina Faso, Mozambik, Burundi, Angola, dan Rwanda semuanya diberi angka simbolis 100 serangan.

Kategori orang Kristen yang ditahan tanpa diadili, ditangkap, dihukum, dan dipenjarakan mencapai rekor baru yang tertinggi pada tahun 2021, dengan total 6.175, sekitar 1.000 kasus lebih banyak dari periode pelaporan sebelumnya. Open Doors membagi kategori ini menjadi dua sub-kategori, dengan 4.765 orang percaya yang ditahan, yang memperlihatkan adanya peningkatan sebanyak 69 persen. India memimpin dengan 1.310 kasus, dan bersama dengan negara yang namanya dirahasiakan, Pakistan, dan Tiongkok, mencakup 90 persen dari total.

Tempat Gereja Paling Banyak Diserang atau Ditutup:



1. Tiongkok: 3,000
2. Nigeria: 470
3. Bangladesh: 200
4. Pakistan: 183
5. Qatar: 100
6. Republik Afrika Tengah: 100*
7. Burkina Faso: 100*
8. Mozambik: 100*
9. Burundi: 100*
10. Angola: 100*

*Estimasi


Periode Pelaporan Open Doors: 1 Oktober 2020 – 30 September 2021

Meski demikian, jumlah 1.410 orang percaya yang dipenjara, memperlihatkan adanya penurunan 4 persen dari periode sebelumnya. Sebuah negara yang namanya dirahasiakan, Eritrea, Tiongkok, dan Bangladesh mencakup 91 persen dari total.

Rekor baru lainnya yang tertinggi adalah jumlah orang Kristen yang diculik, dengan total 3.829 yang memperlihatkan adanya peningkatan sebesar 124 persen dibandingkan periode sebelumnya. Nigeria menyumbang 66 persen dari total, diikuti dengan Pakistan sebesar 26 persen.

Sejauh ini kategori dengan total terbesar adalah pengungsian, dengan 218.709 orang Kristen terpaksa meninggalkan rumah mereka atau bersembunyi karena alasan yang terkait dengan agama, dan 91 persennya terjadi di Myanmar. Tambahan 25.038 orang Kristen terpaksa meninggalkan negara mereka. Dari tambahan ini, 80 persennya juga terjadi di Myanmar.

Open Doors menyatakan bahwa beberapa kategori sangat sulit untuk dihitung secara akurat, yang tertinggi adalah 24.678 kasus kekerasan fisik dan mental, termasuk pemukulan dan ancaman pembunuhan. Dari 74 negara yang disurvei, 36 negara diberi angka simbolis. Nigeria adalah yang tertinggi, diikuti oleh India, dua negara yang namanya dirahasiakan, Eritrea, Pakistan, Myanmar, Tiongkok, Republik Afrika Tengah (RAT), Mozambik, dan Malaysia.

Diperkirakan total ada 4.543 rumah dan properti orang Kristen diserang pada tahun 2021, bersama dengan 1.906 toko dan tempat bisnis. Mengenai yang terakhir, 18 dari 36 negara diberi angka simbolis, dengan Nigeria yang pertama.

Nigeria, Pakistan, dan Mozambik memiliki kasus paling banyak dalam kategori penyerangan terhadap rumah dan properti orang Kristen, dengan hanya Kamerun dan Bangladesh yang mampu mencatatkan kasus yang sebenarnya. Irak, Suriah, Tiongkok, Burkina Faso, dan Republik Demokratik Kongo (RDK) melengkapi daftar 10 besar, masing-masing dengan angka simbolis 100 serangan.

Para peneliti Open Doors juga sulit menghitung secara akurat jumlah kasus untuk kategori yang spesifik terkait wanita. Ada total 3.147 kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual, dipimpin oleh Nigeria dan Pakistan sebagai yang paling tinggi, dengan 36 dari 48 negara diberi angka simbolis. Untuk kategori pernikahan dengan non-Kristen secara paksa, ada total 1.588 kasus, dipimpin oleh Pakistan sebagai yang tertinggi, dengan 25 dari 37 negara diberi angka simbolis.

Mengapa orang Kristen dipersekusi di negara-negara ini?

Alasan utamanya berbeda-beda di setiap negara. Memahami dengan baik alasan-alasan tersebut dapat menolong umat Kristen di negara lain untuk berdoa dan memberikan advokasi yang lebih efektif bagi saudara-saudari dalam Kristus yang sedang mengalami situasi yang sangat sulit.

Open Doors mengategorikan alasan-alasan utama persekusi Kristen dalam delapan kategori:

Penindasan dari kelompok Islam (33 negara): Ini adalah alasan utama persekusi yang dihadapi orang Kristen di banyak negara, lebih dari separuh daftar negara di WWL, termasuk 7 dari 10 negara teratas secara keseluruhan: Afganistan (No.1), Somalia (No.3), Libia (No.4), Yaman (No.5), Nigeria (No.7), Pakistan (No.8), dan Iran (No.9). Sebagian besar dari 33 negara ini merupakan negara Islam atau mayoritas Islam; namun, ada 6 negara yang sebenarnya mayoritas Kristen: Nigeria, Republik Afrika Tengah (No.31), Etiopia (No.38), Republik Demokratik Kongo (No.40), Mozambik (No.41), dan Kamerun (No.44).

Diktator yang paranoid (5 negara): Inilah alasan utama persekusi yang dihadapi orang Kristen di lima negara, sebagian besar di Asia Tengah, dengan mayoritas muslim: Uzbekistan (No.21), Turkmenistan (No.25), Bangladesh (No.29) , Tajikistan (No.45), dan Kazakstan (No.47).

Penindasan dari kelompok komunis dan pasca-komunis (5 negara): Ini adalah alasan utama persekusi yang dihadapi orang Kristen di lima negara, terutama di Asia: Korea Utara (No.2), Tiongkok (No.17), Vietnam (No.19), Laos (No.26), dan Kuba (No.37).

Nasionalisme agama (4 negara): Inilah alasan utama persekusi yang dihadapi orang Kristen di empat negara Asia. Orang-orang Kristen menjadi sasaran utama para nasionalis Hindu di India (No.10) dan Nepal (No.48), dan para nasionalis Buddha di Myanmar (No.12) dan Bhutan (No.34).

Korupsi dan kejahatan terstruktur (2 negara): Inilah alasan utama persekusi yang dihadapi orang Kristen di Kolombia (No.30) dan Meksiko (No.43).

Tekanan kelompok denominasi Kristen tertentu terhadap kelompok denominasi Kristen lainnya (1 negara): Ini adalah alasan utama persekusi yang dihadapi orang Kristen di Eritrea (No.6).

Intoleransi dari kelompok sekuler (0 negara) dan pertikaian antar suku (0 negara): Dua alasan persekusi ini diteliti oleh Open Doors, tetapi ternyata bukan merupakan alasan utama persekusi yang terjadi di lima puluh negara dalam daftar tahun 2022. Namun, dalam WWL tahun lalu, pertikaian antar suku merupakan alasan utama persekusi di Afganistan, Somalia, Laos, Qatar, Nepal, dan Oman.

Bagaimana WWL dibandingkan dengan laporan lain tentang persekusi agama?

Menurut Open Doors, sangat beralasan untuk menyebut kekristenan sebagai agama yang paling banyak mengalami persekusi di dunia. Pada saat yang sama, lembaga ini juga mencatat bahwa tidak ada dokumentasi yang sebanding untuk populasi muslim di dunia.

Sejumlah penelitian lain tentang kebebasan beragama di dunia menguatkan banyak temuan Open Doors. Misalnya, dalam analisis terbaru dari Pew Research Center tentang sikap permusuhan dari pemerintah dan masyarakat terhadap agama, didapati bahwa orang Kristen mengalami intimidasi di 153 negara pada tahun 2019, lebih banyak daripada kelompok agama lainnya. Intimidasi juga dialami umat Islam di 147 negara, disusul umat Yahudi di 89 negara.

Menurut Pew Research Center, ketika hanya meneliti sikap permusuhan oleh pemerintah, umat Islam mengalami intimidasi di 135 negara dan umat Kristen di 128 negara. Ketika hanya meneliti sikap permusuhan oleh masyarakat, umat Islam mengalami intimidasi di 115 negara dan umat Kristen di 107 negara.

Rinciannya sesuai dengan data dari Open Doors. Di Tiongkok, Myanmar, Sudan, dan Suriah masing-masing terdapat lebih dari 10.000 insiden intimidasi dari pemerintah. Sri Lanka, Afganistan, dan Mesir tercatat dengan tingkat permusuhan sosial yang tinggi.

Sebagian besar negara dalam daftar Open Doors juga muncul dalam daftar tahunan Departemen Luar Negeri AS yang secara terbuka menyebutkan pemerintahan-pemerintahan yang telah “terlibat atau menoleransi pelanggaran yang sistematis, berkelanjutan, dan mengerikan terhadap kebebasan beragama.”

Dalam daftar tingkat atas dari Departemen Luar Negeri AS, yaitu Countries of Particular Concern (CPC), termasuk di antaranya Myanmar (No.12 pada WWL 2022), Tiongkok (No.17), Eritrea (No.6), Iran (No.9), Korea Utara (No. 2), Pakistan (No.8), Rusia (yang keluar dari WWL tahun lalu), Arab Saudi (No.11), Tajikistan (No.45), dan Turkmenistan (No.25). Dalam daftar tingkat keduanya, yaitu Special Watch List, termasuk di antaranya Aljazair (No.22), Komoro (yang keluar dari WWL tahun ini), Kuba (No.37), dan Nikaragua (tidak diberi peringkat tetapi dipantau oleh Open Doors).

Departemen Luar Negeri AS juga membuat daftar Entities of Particular Concern, atau kelompok non-pemerintah yang melakukan persekusi, yang semuanya aktif di negara-negara di dalam daftar Open Doors. Ini meliputi Boko Haram dan ISWAP di Nigeria (No.7 di WWL), Taliban di Afganistan (No.1), Al-Shabaab di Somalia (No.4), ISIS terutama di Irak (No.14), Hayat Tahrir al-Sham di Suriah (No.15), Houthi di Yaman (No.5), dan ISIS-Greater Sahara dan Jamaat Nasr al-Islam wal Muslimin di Sahel.

Sementara itu, Komisi AS untuk Kebebasan Beragama Internasional (USCIRF) dalam laporannya di tahun 2021 merekomendasikan negara-negara yang sama untuk daftar CPC, dengan tambahan Nigeria, India (No.10), Suriah, dan Vietnam (No.19). Untuk daftar pantauan Departemen Luar Negeri, USCIRF merekomendasikan negara-negara yang sama kecuali Komoro, dengan penambahan Afganistan, Azerbaijan (tidak masuk peringkat, namun dipantau oleh Open Doors), Mesir (No.20), Indonesia (No.28), Irak, Kazakstan (No.47), Malaysia (No.50), Turki (No.42), dan Uzbekistan (No.21).

Semua negara di dunia dipantau oleh para peneliti dan staf lapangan Open Doors, tetapi perhatian yang mendalam diberikan kepada 100 negara dan fokus khusus pada 76 negara dengan rekor tingkat persekusi yang “tinggi” (dengan skor lebih dari 40 pada skala 100 poin Open Doors).

World Watch List 2022:

Peringkat Negara
1 Afghanistan
2 Korea Utara
3 Somalia
4 Libia
5 Yaman
6 Eritrea
7 Nigeria
8 Pakistan
9 Iran
10 India
11 Arab Saudi
12 Myanmar
13 Sudan
14 Irak
15 Suriah
16 Maladewa
17 Tiongkok
18 Qatar
19 Vietnam
20 Mesir
21 Uzbekistan
22 Aljazair
23 Mauritania
24 Mali
25 Turkmenistan
26 Laos
27 Maroko
28 Indonesia
29 Bangladesh
30 Kolumbia
31 Republik Afrika Tengah
32 Burkina Faso
33 Niger
34 Bhutan
35 Tunisia
36 Oman
37 Kuba
38 Etiopia
39 Yordania
40 Republik Demokratik Kongo
41 Mozambik
42 Turki
43 Meksiko
44 Kamerun
45 Tajikistan
46 Brunei Durassalam
47 Kazakstan
48 Nepal
49 Kuwait
50 Malaysia

Diterjemahkan oleh: Maria Fennita S.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Terang Bagi Bangsa-bangsa

Renungan Adven, Epifani

Christianity Today January 6, 2022

Untuk mengunduh kumpulan renungan “Berita Injil di Masa Adven,” klik di sini.

Epifani:

Pada hari ini, kita memperingati kunjungan para orang Majus dan penyembahan mereka kepada Yesus. Kita merenungkan penyingkapan identitas dan tujuan Yesus kepada bangsa-bangsa di dunia.

Baca Matius 2:1–12

Untuk siapakah Kabar Baik itu? Saat kita mendapat berbagai penawaran produk, terkadang mereka menyebut promosinya dengan sebutan istimewa untuk “teman dan keluarga.”

Beberapa hal memang terlalu bagus untuk disimpan sendiri, tetapi juga terlalu radikal untuk terbuka bagi semua orang. Pendekatan pemasaran ini menyoroti bagaimana kita dikondisikan untuk berpikir bahwa jika sesuatu eksklusif—misalnya kita berstatus orang dalam—itu berharga. Dan sebaliknya, jika sesuatu itu universal, maka tidak berharga.

Itu sebabnya kelahiran Yesus sangat revolusioner. Ini adalah kabar terbaik yang bisa diterima dunia: Tuhan datang untuk menyelamatkan umat-Nya! Tetapi keselamatan ini bukan hanya untuk orang-orang yang telah memiliki kovenan dengan Allah. Ini untuk semua orang—seluruh bangsa, di segala tempat, di setiap saat.

Kita melihat sekilas hal ini di Matius 2 dan kontras yang digambarkannya antara raja Herodes dan Mesias sejati, yaitu Yesus sang Raja. Herodes terkenal karena meraih kekuasaan melalui oportunisme politik dan kebrutalan. Ketika tersiar kabar bahwa raja orang Yahudi baru dilahirkan di Betlehem, Herodes melakukan segala upaya—termasuk membunuh bayi-bayi yang tak bersalah (ay. 13-18)—untuk melindungi kekuasaannya.

Kisah Herodes adalah tentang naik ke tampuk kekuasaan, namun kisah Yesus justru tentang turun dari kekuasaan. Di sana, di palungan itu, ada Pribadi yang “tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan,” yang “mengosongkan diri-Nya” bagi kita (Flp. 2:6-7). Herodes berbohong dan membunuh untuk menyingkirkan orang-orang, namun Yesus sejak awal kehidupan-Nya justru mendekatkan orang-orang kepada-Nya.

Dan itu bukan hanya beberapa orang saja, atau hanya umat Allah saja. Matius memberitahukan tentang orang Majus—para astrolog atau filsuf atau orang bijak—yang datang dari jauh, membawa persembahan untuk Anak ini. Penyembahan kepada Mesias Israel oleh orang-orang non-Yahudi ini, saat mereka sujud di hadapan-Nya, menandakan luasnya cakupan janji Allah.

Anak itu, yaitu Kristus, akan menjadi “terang untuk bangsa-bangsa” agar “keselamatan yang dari pada-Ku sampai ke ujung bumi” (Yes. 42:6; 49:6). Dalam gambaran masa kecil Yesus ini, kita melihat jangkauan global dari Injil: “Bangsa-bangsa berduyun-duyun datang kepada terangmu, dan raja-raja kepada cahaya yang terbit bagimu” (Yes. 60:3).

Terlepas dari segala upaya Herodes untuk merebut kekuasaan duniawi, hanya ada satu Raja yang dalam nama-Nya setiap lutut akan bertelut (Flp. 2:10). Hanya satu Pribadi yang pemerintahan-Nya adalah Kabar Baik, bukan bagi beberapa orang, melainkan bagi semuanya. Tuhan memerintah—biarlah bumi bersukacita! Datang dan sembahlah Yesus, sang Raja!

Glenn Packiam adalah seorang pendeta senior di New Life Church, Colorado Springs. Buku-buku dia di antaranya Worship and the World to Come dan The Resilient Pastor (Februari 2022).

Renungkan Matius 2:1–12.


(Opsi: Baca juga Yesaya 49:1–6; 60:1–6; Filipi 2:6–7.)


Mengapa gambaran orang-orang non-Yahudi yang datang menyembah Yesus ini begitu penting?
Apa yang disampaikan dari gambaran itu tentang Kabar Baik?
Bagaimana respons Anda kepada Tuhan?

Diterjemahkan oleh: Maria Fennita S.

Sepuluh Doa untuk Tahun Baru

2021 adalah tahun yang penuh dengan cobaan dan masalah bagi banyak orang. Mari kita mulai yang berikutnya dengan berlutut.

Christianity Today January 4, 2022
Annie Otzen / Getty

1. Doa untuk awal yang baru:

Tuhan, terima kasih untuk kehidupan satu tahun lagi dan semua yang Engkau berikan untuk kami tahun lalu. Di hadapan-Mu, kami menyerahkan segala kekecewaan dan pekerjaan yang belum selesai, dan kami meminta belas kasihan, kedamaian, dan sukacita-Mu saat kami menatap tahun yang baru. Kiranya kami bersuka dengan karunia kehadiran-Mu ketika kami memahami perjalanan yang Engkau rancangkan bagi kami di tahun yang baru ini.

2. Doa untuk kebiasaan-kebiasaan kita:

Tuhan, kami mengakui bahwa kami memakai sebagian besar hari kami dengan berbagai hal di sekitar kami, tanpa berpikir baik atau tidaknya. Kebiasaan-kebiasaan kami sering kali kurang niat dan membuat kami menjalani kehidupan yang kacau serta berfokus pada diri sendiri. Maukah Engkau menyatakan kepada kami akan cara-cara kami yang tidak sehat dalam memakai waktu, tenaga, pikiran, bakat, dan uang kami? Tunjukkanlah kepada kami kebiasaan-kebiasaan lama yang perlu ditinggalkan dan kebiasaan baru untuk dipraktikkan. Bentuklah kami dengan Roh-Mu, agar menjadi orang-orang yang lebih berbelas kasih, yang mengasihi-Mu dan sesama dengan kerinduan yang lebih besar.

3. Doa untuk pemulihan relasi:

Tuhan, dalam banyak cara kami telah gagal berelasi. Kami gagal untuk saling menanggung beban, kami menyembunyikan berbagai pelanggaran, dan kami menghakimi motif satu sama lain. Tolonglah kami untuk saling mengaku dosa. Bantulah kami untuk memaafkan dan meminta pengampunan. Kiranya Roh-Mu menyembuhkan segala luka dan membawa kesatuan pada hubungan yang retak—agar kami dapat saling mengasihi seperti Engkau mengasihi kami.

4. Doa untuk yang lelah:

Tuhan, beberapa tahun terakhir ini hidup kami dipenuhi dengan penyakit, kematian, kehilangan pekerjaan, isolasi, kecemasan, ketakutan, dan perpecahan. Kami lelah. Dalam keletihan, kami mengakui bahwa kami telah menjadi sinis dan skeptis. Karena itu kami memohon pembaharuan dari-Mu. Berilah kami mata untuk melihat kehidupan Kerajaan Allah yang telah Kristus janjikan—dan penuhilah kami dengan pengharapan yang memungkinkan kami hidup setiap hari dengan ketenangan, kemurahan hati, dan sukacita.

5. Doa untuk yang kesepian:

Tuhan, Engkau adalah Bapa dari anak yatim, dan Engkau menempatkan mereka yang kesepian di dalam keluarga-keluarga. Tahun ini, tolonglah kami bergabung dengan-Mu dalam pekerjaan itu. Berilah kami mata untuk melihat orang-orang di sekitar kami yang mungkin merasa sendirian. Tolonglah kami untuk memperhatikan anak-anak yatim piatu, para orang tua tunggal, lansia, narapidana, tunawisma, dan para pengungsi di tengah kami. Perluaslah kapasitas kami untuk bersikap ramah kepada mereka yang mendambakan rasa untuk dimiliki dan keluarga.

6. Doa untuk mereka yang menderita:

Tuhan, ingatkanlah kami akan mereka yang menderita, dan tolonglah kami untuk setia berdoa serta melayani mereka. Kami juga memohon agar Engkau menguatkan para hamba-Mu, yang tersebar di seluruh dunia, untuk menjadi tangan dan kaki Yesus—terutama di berbagai tempat di mana perang, kekerasan, kelaparan, serta penyakit menghancurkan keluarga dan komunitas.

7. Doa untuk sesama kita:

Tuhan, tolonglah kami untuk lebih memperhatikan sesama kami tahun ini. Kiranya kami mengetahui nama-nama mereka yang tinggal di sebelah rumah kami, orang-orang yang menyajikan kopi kami di kafe dan yang melayani pembelian bensin kami di SPBU setiap minggu, serta keluarga-keluarga yang kami temui di taman. Ingatkan kami untuk menjadi saluran berkat, sekalipun dengan cara yang paling biasa dan sederhana. Kiranya dengan demikian, kami belajar untuk tinggal di dalam kasih-Mu dan menyalurkan kepada sesama kami.

8. Doa untuk pekerjaan kita:

Tuhan, Engkau telah menempatkan orang-orang Kristen di setiap industri dan kota. Bantulah kami untuk mengelola pekerjaan kami tahun ini—tidak hanya untuk keluarga kami, tetapi juga untuk kemajuan orang lain. Izinkanlah agar kehadiran kami membawa restorasi di tempat kerja kami. Selaraskanlah organisasi kami agar mencerminkan kreativitas, kebaikan, dan keadilan-Mu. Tolonglah kami untuk bertindak dengan benar dan murah hati kepada mereka yang pekerjaannya sering kali terpinggirkan oleh masyarakat.

9. Doa untuk komunitas Kristen:

Tuhan, tolonglah kami untuk tidak menjadi konsumen di gereja lokal kami, atau berpikir secara transaksional tentang saudara-saudari seiman kami. Sebaliknya, tunjukkanlah kepada kami bagaimana memelihara komunitas Kristen yang sejati dalam hidup kami tahun ini. Berilah kami inisiatif dan wawasan untuk mengetahui bagaimana menumbuhkan cinta yang lebih besar kepada umat Tuhan. Bantulah kami untuk berbagi hidup satu sama lain sedemikian rupa sehingga orang-orang yang kami temui pada akhirnya menjadi lebih dekat kepada-Mu.

10. Doa untuk tangan dan kaki kita:

Tuhan, berkatilah tangan kami untuk melayani-Mu lebih setia di tahun yang baru. Bimbinglah kaki kami untuk berjalan seturut langkah-Mu, mencontoh teladan yang Engkau beri bagi kami selama Engkau hidup di bumi ini. Tolonglah kami untuk mengikuti dan menaati-Mu. Mampukanlah kami dengan Roh-Mu untuk mengasihi satu sama lain dengan cara-cara yang konsisten dan kreatif.

Dennae adalah co-director untuk The Crete Collective, Surge Network, dan City to City North America. Dia melayani di Roosevelt Community Church di Downtown Phoenix, Arizona. Dennae dan suaminya Vermon memiliki 5 anak.

Diterjemahkan oleh: Maria Fennita S.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Telegram.

Dua Puluh Artikel Terpopuler di Situs Web Christianity Today Bahasa Indonesia

Hasil investigasi RZIM terhadap kasus pelecehan seksual oleh Ravi Zacharias, saran-saran untuk beribadah dengan aman seiring ketersediaan vaksin COVID-19, dan kemerdekaan kita dari perbudakan dosa dan rasa bersalah.

Christianity Today December 30, 2021

In this series

Ingin tahu artikel apa saja yang paling banyak dibaca di situs web Christianity Today bahasa Indonesia sepanjang tahun 2021? Berikut ini daftarnya:

20.

19.

18.

17.

16.

15.

14.

13.

12.

11.

10.

9.

8.

7.

6.

5.

4.

3.

2.

1.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Instagram.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube