Kembali Tanpa Sensasi: Kembali Bergereja Tidak Akan Menjadi Perayaan Seperti Yang Pernah Kita Bayangkan

Bukannya menjadi sebuah pesta besar, pembukaan kembali gereja membawa emosi yang campur aduk dan panggilan untuk setia setiap hari.

Christianity Today November 1, 2021
Illustration by Dan Bejar

Ketika penutupan gereja akibat COVID-19 dimulai pada 2020, banyak pendeta berpikir bahwa penutupan itu hanya akan berlangsung beberapa minggu saja. Bahkan pada minggu-minggu awal pandemi, kita seringkali tidak sabar untuk bangun dari sofa dan kembali beribadah di tempat ibadah sebagaimana lazimnya. Kita membayangkan dapat memeluk semua orang, beribadah berdampingan, berjalan maju menerima Perjamuan Kudus, dan berlama-lama untuk mengobrol.

Kita semua tahu bagaimana kelanjutan kisah ini. Pendemi ini terus berlangsung bulan demi bulan. Pada 2021 ini, sebagian besar gereja Protestan di Amerika Serikat beribadah, baik dalam kapasitas yang sangat terbatas atau tidak sama sekali.

Bersyukur atas adanya vaksinasi dan menurunnya tingkat infeksi, sehingga keadaan mulai berubah. Pada musim semi dan panas ini, lebih banyak gereja akan mulai berpindah dari ibadah secara virtual menjadi ibadah tatap muka, dari luar kembali ke dalam gereja, dari pertemuan yang tersebar menjadi pertemuan yang utuh. Jika Tuhan mengizinkan, kita akan kembali ke tempat di mana kita dapat bertemu di hari Minggu pagi tanpa risiko terpapar virus yang telah mendominasi kehidupan kita.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Instagram.

Tetapi kemungkinan besar kembalinya kita tidak akan seperti reuni yang ramai yang pernah kita bayangkan. Ketika gereja-gereja mulai dibuka kembali, tetap akan ada tindakan-tindakan pencegahan terkait COVID-19, dan keluarga-keluarga akan kembali secara bertahap, tergantung pada kondisi kesehatan pribadi dan kesadaran mereka.

Kita juga akan diperhadapkan pada emosi kita sendiri yang bercampur aduk. Ketika gereja saya tahun lalu mulai mengadakan pertemuan-pertemuan ibadah yang kecil dan menyesuaikan keadaan, lagu pertama yang kami nyanyikan bersama adalah “Dunia Gemar dan Soraklah.” Saya tidak dapat mendengarkan suara orang lain, karena suara kami teredam oleh masker dan jarak, tetapi saya merasakan kehadiran Roh Kudus di antara kami. Saya langsung menangis kala itu. Saya tak pernah merasakan situasi seperti itu sebelumnya. Hal itu seperti kemenangan dan kepiluan pada saat bersamaan.

Kembali pada alunan lagu-lagu pujian membuat kita mengingat ibadah-ibadah Minggu dan liburan-liburan yang kita lewatkan. Berduka atas waktu-waktu saat kita terpisah juga merupakan bagian dari perayaan berkumpulnya kita kembali.

Dalam satu tubuh yang “tidak terdiri dari satu anggota, tetapi atas banyak anggota" (1Kor. 12:14), kita memperhatikan ada orang-orang yang tidak ada di sekitar kita. Kursi-kursi yang kosong menjadi pengingat akan anggota-anggota gereja yang tidak kembali, yang meninggalkan gereja selama pandemi, atau mereka yang sudah meninggal.

Para ahli kesehatan publik berbeda pendapat tentang standar pengukuran apa yang akan dipakai untuk menentukan bahwa pandemi sudah berakhir, dan jelas tidak ada konsensus di antara para pemimpin gereja–atau bahkan di dalam sebuah jemaat–tentang kapan kita sudah berada dalam keadaan aman. Meskipun demikian, banyak di antara kita yang akan menantikan tanda bahwa masa kehidupan rohani kita ini akan segera berakhir, sehingga masa yang baru dapat dimulai.

David Kinnaman, sebagai presiden dari Barna Group yang telah melakukan survei tentang tren keimanan selama pandemi COVID-19, khawatir bahwa pembatasan sosial selama satu tahun ini akan mengarah pada berjaraknya emosional kita.

“Akan selalu ada berbagai cara di mana para pemimpin gereja berpikir bahwa mereka sedang membuat suatu dampak yang lebih besar sebab orang-orang mulai hadir kembali ke dalam gedung gereja, tetapi hati dan pikiran jemaat tidak akan dapat sepenuhnya diyakinkan,” kata David pada saya, seolah-olah ia mengetahui bahwa saya sendiri telah kehilangan konsentrasi pada ibadah-ibadah hari Minggu. “Mereka akan menjadi enggan untuk bertindak, tidak akan mendaftar di acara-acara gereja, tidak akan menjadi pelayan, tidak akan memberi persembahan seperti dahulu.”

Beberapa survei menunjukkan bahwa bahkan orang-orang beriman yang setia pun akan menghadapi tantangan-tantangan rohani yang berkepanjangan. Angka kehadiran jemaat yang beribadah secara daring turun naik, dengan jumlah antara orang-orang Kristen biasa dan yang berkomitmen hampir sama. Angka pembacaan Alkitab setiap hari juga turun tahun lalu, tak lama setelah orang-orang mulai tidak terhubung dengan komunitas gereja mereka. Lebih dari setengah dari orang-orang Kristen yang biasa beribadah di gereja mengatakan bahwa mereka sudah tidak berhubungan dengan orang-orang lain dari gerejanya selama pandemi ini.

Sama seperti tidak akan ada perayaan besar yang menandai dibukanya kembali pintu-pintu gereja kita, demikian pula mungkin tidak akan ada tanda yang mengisyaratkan kita untuk kembali melayani di gereja. Kita mungkin lebih merasakan kelesuan daripada kebangunan rohani. Tetapi Tuhan bisa mempercepat pemulihan kita. Tangan Dialah yang akan memimpin dan membuka hati kita, untuk kembali pada komunitas yang kita butuhkan dan yang membutuhkan kita.

Yesus sendiri tidak pernah mengadakan pesta pembukaan untuk segala usaha pelayanan-Nya. Sebaliknya, undangan pelayanan-Nya hadir pada saat yang kurang nyaman dan di tengah aktivitas sehari-hari: "Ikutlah Aku."

Pendirian gereja Kristus pada hari Pentakosta di Kisah Para Rasul mungkin merupakan demonstrasi panggilan Allah yang paling mencolok–menakjubkan ribuan orang dengan “suatu bunyi seperti tiupan angin keras” dan “lidah-lidah seperti nyala api” yang hinggap pada diri para pengikut-Nya (2:2-3)

Tetapi di Injil Yohanes, Roh Kudus turun ke atas para murid tidak dengan keriuhan. Yesus “mengembusi mereka dan berkata: 'Terimalah Roh Kudus’” (20:22). Dengan hal itu, para murid mula-mula diutus untuk mengabarkan Injil dan mendirikan gereja.

Sekarang kita punya tugas untuk membangun kembali persekutuan kita setelah lebih dari setahun terpisahkan oleh jarak. Ketika sudah tiba waktunya bagi kita untuk kembali bergereja, marilah kita tidak hanya memenuhi kursi-kursi lama kita yang kosong dan beribadah asal-asalan, melainkan saling melayani, memperhatikan, dan mendoakan satu sama lain. Mari kita melanjutkan kembali bagian kita di dalam gereja, dengan menyadari bahwa Roh Pentakosta ada di dalam diri kita, dan mungkin suatu hari nanti kita akan bisa cukup dekat untuk bernapas bersama lagi.

Kate Shellnutt adalah editor berita senior di Christianity Today.

Diterjemahkan oleh: Joseph Lebani

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Instagram.

Our Latest

Inkarnasi Lebih dari Sekadar Palungan

Bagaimana seorang uskup Afrika kuno memperjuangkan kisah penebusan dalam inkarnasi.

Yusuf Adalah ‘Ayah Kandung’ Yesus

Saya tidak memerlukan ikatan biologis untuk menjadi ayah dari embrio yang saya dan istri adopsi.

Cover Story

Sisi Lain dari Natal

Dibutuhkan keberanian bagi Allah untuk menanggalkan kekuasaan dan kemuliaan-Nya serta mengambil tempat bagi-Nya di antara manusia.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube