Setiap hari, tiga belas orang Kristen dibunuh karena iman mereka.
Setiap hari, dua belas gereja atau gedung milik orang Kristen diserang.
Setiap hari, dua belas orang Kristen secara tidak adil ditahan atau dipenjara, lima orang lainnya diculik.
Demikian laporan dari World Watch List (WWL) tahun 2021, hasil penelitian terbaru dari lembaga Open Doors yang mendaftarkan lima puluh negara tempat orang Kristen paling banyak mengalami persekusi karena mengikut Yesus.
“Anda mungkin berpikir bahwa daftar ini bicara tentang penindasan belaka … Namun, sebenarnya daftar ini bercerita tentang ketangguhan,” kata David Curry, presiden sekaligus direktur utama dari Open Doors Amerika Serikat, menjelaskan tentang laporan yang mereka publikasikan pada hari ini.
“Dengan banyaknya umat Allah yang menderita, seharusnya Gereja sudah sekarat—orang-orang Kristen hanya diam, kehilangan iman mereka, dan saling menjauhi,” lanjutnya.
“Namun, bukan itu yang terjadi. Sebaliknya, dengan begitu jelas kita melihat digenapinya firman Allah sebagaimana yang dicatat oleh nabi Yesaya: ‘Aku hendak membuat jalan di padang gurun dan sungai-sungai di padang belantara.’” (Yesaya 43:19 TB).
Daftar tahun ini meliputi 309 juta orang Kristen yang tinggal di tempat-tempat dengan tingkat persekusi ekstrem, lebih banyak dari tahun lalu yang hanya meliputi 260 juta orang Kristen.
Angka ini masih bisa ditambah lagi dengan 31 juta orang dari 24 negara yang peringkatnya sedikit di bawah 50 besar, seperti: Kuba, Sri Lanka, dan Uni Emirat Arab (UAE). Rasionya, satu dari delapan orang Kristen di dunia mengalami persekusi. Termasuk satu dari enam orang percaya di Afrika dan dua dari lima orang percaya di Asia.
Tahun lalu, 45 negara mendapatkan nilai yang cukup tinggi dalam 84-matriks pertanyaan Open Doors, sehingga terdaftar sebagai negara dengan tingkat persekusi “sangat tinggi”. Tahun ini, untuk pertama kalinya dalam 29 tahun penelitian mereka, semua negara dalam daftar 50 besar masuk kualifikasi tersebut—diikuti 4 negara lainnya dengan nilai yang tidak jauh berbeda.
Open Doors mengidentifikasi tiga tren utama yang mendorong peningkatan di tahun lalu:
- “COVID-19 menjadi sebuah katalis terjadinya persekusi terhadap kelompok agama tertentu. Ada yang mengalami diskriminasi saat bantuan dibagikan, ada yang dipaksa pindah agama. Pandemi juga menjadi alasan kuat untuk meningkatkan pengawasan dan penyensoran.”
- “Memanfaatkan situasi yang ada, serangan yang dilancarkan kaum ekstremis makin meluas di kawasan Sub-Sahara Afrika, dari Nigeria dan Kamerun sampai Burkina Faso, Mali, dan seterusnya.”
- “Sistem penyensoran di China terus berkembang dan makin banyak wilayah yang diawasi secara ketat.”
Open Doors telah memonitor persekusi orang Kristen di seluruh dunia sejak tahun 1992. Korea Utara selalu menduduki peringkat pertama selama dua puluh tahun, sejak tahun 2002, saat WWL pertama kali dibuat.
WWL tahun 2021 menelusuri periode waktu dari 1 November 2019 sampai 31 Oktober 2020, dan dikompilasi dari laporan akar rumput oleh para pekerja Open Doors di lebih dari 60 negara.
“Kami tidak hanya bicara dengan para pemimpin agama,” kata Curry, dalam siaran langsung peluncuran WWL tahun ini. “Kami mendengar langsung dari mereka yang mengalami persekusi, dan kami hanya melaporkan kasus-kasus yang bisa kami dokumentasikan.”
Tujuan dibuatnya peringkat tahunan WWL—yang menjadi catatan sejarah munculnya para pesaing Korea Utara seiring bertambah parahnya persekusi—adalah untuk memandu umat Kristen berdoa secara lebih spesifik serta mengarahkan kemarahan (terhadap persekusi) menjadi sesuatu yang konstruktif, sembari menunjukkan kepada orang percaya yang mengalami persekusi bahwa mereka tidaklah dilupakan.
Di mana orang Kristen mengalami persekusi terberat hari ini?
Tahun ini, sepuluh negara tempat terjadinya persekusi terberat relatif tidak berubah. Setelah Korea Utara, ada Afghanistan, diikuti oleh Somalia, Libia, Pakistan, Eritrea, Yaman, Iran, Nigeria, dan India.
Nigeria masuk dalam jajaran sepuluh besar untuk pertama kalinya, meraih nilai sangat tinggi dalam sistem penilaian Open Doors untuk aspek kekerasan. Negara ini, yang memiliki populasi orang Kristen terbesar di Afrika, menempati peringkat kesembilan secara keseluruhan, tetapi ada di peringkat dua persis setelah Pakistan dalam hal tindak kekerasan, dan menempati peringkat pertama dalam hal jumlah orang Kristen yang terbunuh karena alasan yang berhubungan dengan iman mereka.
Sudan keluar dari jajaran sepuluh besar untuk pertama kalinya dalam enam tahun terakhir, setelah mencabut peraturan hukuman mati bagi orang yang meninggalkan keyakinan (Islam). Negara ini menjamin—setidaknya di atas kertas—kemerdekaan beragama dalam konstitusi barunya setelah menjalankan syariat Islam selama tiga dekade. Namun, Sudan masih bertengger di nomor tiga belas dalam daftar, karena para peneliti Open Doors mengamati bahwa orang-orang Kristen dari latar belakang Muslim di sana masih menghadapi serangan, pengucilan, dan diskriminasi dari keluarga dan komunitas mereka, sementara para perempuan Kristen di sana harus menghadapi kekerasan seksual.
(Perubahan dalam kelompok sepuluh besar ini menggaungkan keputusan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat pada bulan Desember yang menambahkan Nigeria dan mengeluarkan Sudan dari “daftar negara yang perlu perhatian khusus”. Daftar ini mengecam pemerintahan yang membiarkan atau terlibat dalam pelanggaran kebebasan beragama yang terstruktur, berkelanjutan, dan mengerikan.)
India tetap berada dalam jajaran sepuluh besar selama tiga tahun berturut-turut karena “terus meningkatnya kekerasan terhadap kelompok agama minoritas akibat dukungan pemerintah bagi kelompok ekstremis Hindu.”
Sementara itu, China masuk jajaran dua puluh besar untuk pertama kalinya dalam dekade terakhir, karena “pengawasan dan penyensoran yang makin banyak dilakukan terhadap orang-orang Kristen dan kelompok agama minoritas lainnya.”
Dari 50 besar negara dalam daftar:
- Ada 12 negara dengan tingkat persekusi “ekstrem” dan 38 negara dengan tingkat persekusi “sangat tinggi”. Empat negara lain di luar 50 besar yang juga memenuhi kualifikasi “sangat tinggi” adalah Kuba, Sri Lanka, Uni Emirat Arab, dan Niger.
- Ada 19 negara yang berada di Afrika (6 di Afrika Utara), 14 di Asia, 10 di Timur Tengah, 5 di Asia Tengah, dan 2 di Amerika Latin.
- Ada 34 negara yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam, 4 Buddha, 2 Hindu, 1 ateis, 1 agnostik—dan 10 Kristen.
Dalam daftar tahun 2021 ini, ada empat negara baru, yaitu: Meksiko (No. 37), Republik Demokratik Kongo (No. 40), Mozambik (No. 45), dan Komoro (No. 50).
Mozambik naik 21 peringkat (dari No. 66) “karena kekerasan kelompok ekstremis Islam di Cabo Delgado, provinsi di wilayah utaranya.” Republik Demokratik Kongo naik 17 peringkat (dari No. 57) “terutama karena serangan Pasukan Aliansi Demokratik (ADF) Islam terhadap orang-orang Kristen.” Meksiko naik 15 peringkat (dari No. 52) karena meningkatnya kekerasan dan diskriminasi terhadap orang-orang Kristen, baik oleh para penyelundup dan geng narkoba, maupun sejumlah komunitas penduduk asli.
Empat negara keluar dari daftar 50 besar: Sri Lanka (tadinya No. 30), Rusia (tadinya No. 46), Uni Emirat Arab (tadinya No. 47), dan Niger (tadinya No. 50).
Perubahan besar lainnya dalam peringkat: Kolombia naik 11 peringkat dari No. 41 menjadi No. 30 akibat kekerasan yang dilakukan kelompok gerilyawan, penjahat, dan sejumlah komunitas penduduk asli, serta bertambahnya intoleransi dari kelompok sekuler. Turki naik 11 peringkat dari No. 36 menjadi No. 25 karena meningkatnya kekerasan terhadap orang-orang Kristen. Bangladesh naik 7 peringkat dari No. 38 menjadi No. 31, karena serangan terhadap orang-orang Kristen baru di antara para pengungsi Rohingya.
Meski demikian, beberapa jenis persekusi bisa lebih berpengaruh daripada tindak kekerasan. Misalnya, Republik Afrika Tengah turun 10 peringkat dari No. 25 menjadi No. 35, meskipun kekerasan terhadap umat Kristen di sana masih ekstrem. Kenya turun 6 peringkat dari No. 43 menjadi No. 49, meskipun serangan-serangan di sana “meningkat secara signifikan”.
Sementara itu, Sudan Selatan merupakan salah satu dari sepuluh negara yang tingkat kekerasannya paling tinggi menurut penelitian Open Doors (No. 9), tetapi tidak masuk dalam daftar 50 besar (No. 69).
Dalam peringatan 25 tahun pelayanannya di tahun 2017, Open Doors menerbitkan sebuah analisis tentang tren persekusi dalam seperempat abad terakhir. Negara-negara yang menempati sepuluh peringkat teratas dalam periode 25 tahun adalah: Korea Utara, Arab Saudi, Iran, Somalia, Afghanistan, Maladewa, Yaman, Sudan, Vietnam, dan China.
Ada lima negara muncul dalam 10 peringkat teratas, baik dalam daftar 25 tahun maupun daftar tahun 2021—sebuah tanda kelanggengan persekusi di negara-negara tersebut, yang sepatutnya membuat kita prihatin, demikian catatan dari Open Doors.
Seperti apa persekusi yang dialami orang Kristen di negara-negara ini?
Open Doors memantau terjadinya persekusi dalam enam kategori—termasuk tekanan masyarakat dan pemerintah terhadap individu, keluarga, dan jemaat—dan menaruh perhatian khusus kepada kaum perempuan.
Apabila kekerasan dinilai secara terpisah sebagai satu kategori sendiri, ada pergeseran dramatis dalam posisi sepuluh besar—hanya Pakistan, Nigeria, dan India yang tetap ada dalam daftar. Bahkan, ada dua puluh negara yang saat ini lebih membahayakan jiwa orang Kristen dibanding Korea Utara.
Daftar martir di seluruh dunia meningkat menjadi 4.761 dalam laporan tahun 2021, naik 60% dari jumlah 2.983 di tahun sebelumnya, dan melampaui angka kematian 4.305 di laporan tahun 2019. (Estimasi Open Doors dikenal lebih konservatif dibanding kelompok peneliti lain, yang kerap menghitung jumlah martir sampai 100.000 dalam setahun).
Sembilan dari sepuluh orang Kristen dibunuh karena iman mereka di Afrika, sisanya di Asia. Nigeria memimpin di dunia dengan 3.530 martir yang dikonfirmasi oleh Open Doors dalam daftar tahun 2021.
Dalam acara peluncuran WWL tahun ini, Curry mewawancarai Afordia, seorang Nigeria Kristen yang berprofesi sebagai tenaga medis. Suaminya tewas di tangan Boko Haram. Setelah memutus jaringan komunikasi di desa mereka, kelompok ekstremis mengumpulkan para lelaki yang ada dan menanyai mereka satu per satu, apakah mereka seorang Muslim atau seorang kafir.
“‘Tidak, saya bukan orang kafir dan bukan pula orang Muslim. Saya adalah seorang Kristen,’ kata suami saya,” perempuan itu mengisahkan kejadiannya. “Lalu ia berlutut di pinggir jalan itu dan berdoa.”
Penculikan orang Kristen naik menjadi 1.710, meningkat 63% dari 1.052 kasus di tahun sebelumnya, saat Open Doors meneliti kategori ini untuk pertama kalinya. Nigeria ada di urutan teratas dengan 990 kasus penculikan.
Pakistan memimpin dalam kategori pernikahan paksa, sebuah kategori baru yang mulai diteliti tahun lalu. Sekitar 1.000 orang Kristen di negara itu dinikahkan dengan orang nonKristen di luar kemauan mereka. Sebanyak 72% kasus yang ditemukan Open Doors terjadi di Asia, sedangkan 28% sisanya terjadi di Afrika, terutama di Nigeria.
China menempati posisi tertinggi dalam dua kategori lain yang diteliti Open Doors.
China banyak menangkap dan memenjarakan orang Kristen tanpa proses pengadilan, karena alasan-alasan yang berkaitan dengan iman mereka. Jumlah yang ditemukan Open Doors mencapai 1.147 orang dari total 4.277 orang yang mengalami hal serupa di seluruh dunia, naik dari total 3.711 di tahun lalu dan 3.150 di tahun 2019.
Sementara itu, serangan dan penutupan paksa gereja mencapai 4.488 kasus di seluruh dunia, paling banyak terjadi di China. Nigeria menyusul setelahnya. Dalam laporan tahun lalu, jumlah ini sudah meroket dari 1.847 kasus menjadi 9.488 kasus. China sendiri mencatatkan 5.576 kasus.
Open Doors memberi catatan bahwa di beberapa negara, pelanggaran kebebasan beragama sebagaimana tersebut di atas, sangat sulit didokumentasikan secara tepat. Angka yang diberikan merupakan angka pembulatan, dengan kecenderungan estimasi konservatif.
Penelitian mereka disertifikasi dan diaudit oleh International Institute for Religious Freedom (Institut Internasional untuk Kebebasan Beragama), salah satu bagian dari World Evangelical Alliance (Aliansi Injili Sedunia) yang berpusat di Jerman.
Mengapa orang Kristen mengalami persekusi di negara-negara ini?
Alasan utamanya berbeda-beda di tiap negara. Memahami dengan baik alasan-alasan yang berbeda itu bisa menolong umat Kristen di negara lain untuk berdoa dan memberikan advokasi yang lebih efektif untuk saudara-saudari dalam Kristus yang sedang menderita.
Sebagai contoh, meski Afghanistan adalah tempat terjadinya persekusi terburuk nomor dua di dunia dan merupakan negara Muslim, alasan utama terjadinya persekusi di sana—menurut penelitian Open Doors—bukanlah ekstremisme Islam, melainkan pertikaian antar suku.
Open Doors membagi alasan-alasan utama yang mendorong terjadinya persekusi Kristen dalam delapan kategori:
Tekanan dari kelompok Islam (29 negara): Ini adalah alasan utama persekusi yang dihadapi orang Kristen di banyak negara, lebih dari separuh daftar WWL, termasuk 5 dari 12 negara tempat orang Kristen menghadapi persekusi yang “ekstrem”: Libia (No. 4), Pakistan (No.5), Yaman (No. 7), Iran (No. 8), dan Suriah (No. 12). Kebanyakan dari 29 negara ini merupakan negara Muslim atau mayoritas Muslim; tetapi ada 7 yang sebenarnya merupakan negara mayoritas Kristen: Nigeria (No. 9), Republik Afrika Tengah (No. 35), Etiopia (No. 36), Republik Demokratik Kongo (No. 40), Kamerun (No. 42), Mozambik (No. 45), dan Kenya (No. 49).
Pertikaian antar suku (6 negara): Ini adalah alasan utama persekusi yang dihadapi orang Kristen di Afghanistan (No. 2), Somalia (No. 3), Laos (No. 22), Qatar (No. 29), Nepal (No. 34), dan Oman (No. 44).
Diktator yang paranoid (5 negara): Ini merupakan alasan utama persekusi yang dihadapi orang Kristen di lima negara, terutama di Asia Tengah dengan mayoritas Muslim: Uzbekistan (No. 21), Turkmenistan (No. 23), Tajikistan (No. 33), Brunei Darussalam (No. 39), dan Kazakhstan (No. 41).
Nasionalisme agama tertentu (3 negara): Ini merupakan alasan utama persekusi yang dihadapi orang Kristen di tiga negara Asia. Orang-orang Kristen menjadi target utama para nasionalis Hindu di India (No. 10), juga para nasionalis Buddhis di Myanmar (No. 18) dan Bhutan (No. 43).
Tekanan dari kelompok komunis dan pascakomunis (3 negara): Ini adalah alasan utama persekusi yang dihadapi orang Kristen di tiga negara, semuanya di Asia: Korea Utara (No. 1), China (No. 17), dan Vietnam (No. 19).
Tekanan kelompok Kristen tertentu terhadap kelompok Kristen lainnya (2 negara): Ini adalah alasan utama persekusi yang dihadapi orang Kristen di Eritrea (No. 6) dan Etiopia (No. 36).
Korupsi dan kejahatan terstruktur (2 negara): Inilah alasan utama persekusi yang dihadapi orang Kristen di Kolombia (No. 30) dan Meksiko (No. 37).
Intoleransi dari kelompok sekuler (0 negara): Alasan ini diteliti Open Doors, tetapi ternyata bukan merupakan faktor pendorong utama persekusi yang terjadi di lima puluh negara yang masuk dalam daftar.
Apa tren utama dalam persekusi orang Kristen?
Open Doors mengidentifikasi empat tren baru atau yang masih berlanjut dalam hal mengapa dan bagaimana orang Kristen mengalami persekusi.
Pertama, pandemi yang terjadi memunculkan model persekusi baru, yaitu diskriminasi terhadap orang Kristen dalam menerima bantuan COVID-19, yang ditemukan Open Doors di Etiopia, Malaysia, Nigeria, Vietnam, dan Timur Tengah.
Di India, mitra Open Doors memberikan bantuan kepada lebih dari 100.000 orang Kristen. Delapan puluh persen dari mereka mengaku sebelumnya “diusir dari pos pembagian makanan. Sebagian harus berjalan berkilo-kilo meter jauhnya dan menyembunyikan identitas Kristen mereka demi mendapatkan makanan di tempat lain”, lapor para peneliti. Laporan bahwa “umat Kristen di sejumlah desa tidak diberi bantuan” juga diterima Open Doors dari Myanmar, Nepal, Vietnam, Bangladesh, Pakistan, Asia Tengah, Malaysia, Afrika Utara, Yaman, dan Sudan. “Adakalanya, diskriminasi dilakukan oleh pejabat resmi pemerintahan, tetapi lebih sering dilakukan oleh para pemimpin desa, panitia yang mengurusi bantuan, atau tokoh pemimpin lainnya di wilayah tersebut.”
Open Doors mencatat:
“Pandemi global membuat persekusi makin nyata terlihat—karena ada begitu banyak orang yang saat ini butuh pertolongan. Diskriminasi dan penindasan yang jelas dialami oleh orang-orang Kristen di tahun 2020 tidak boleh dilupakan, bahkan setelah krisis COVID-19 memudar dari ingatan kita.”
Penerapan karantina wilayah untuk melindungi kesehatan masyarakat juga menyebabkan pengikut Kristus makin rentan mengalami persekusi. “Orang yang meninggalkan agama mayoritas demi mengikut Kristus menyadari bahwa mereka berisiko kehilangan semua dukungan dari pasangan, keluarga, suku, dan komunitas, demikian pula dukungan dari pemerintah pusat dan daerah,” lapor para peneliti. “Jika mereka kehilangan pendapatan karena COVID-19, mereka tidak bisa mengandalkan dukungan keluarga dan teman untuk bertahan hidup.” Sementara itu, para pemimpin gereja dari Mesir sampai Amerika Latin memberitahu Open Doors bahwa larangan mengadakan kebaktian di gereja menyebabkan angka persembahan turun sampai 40%. Selain mengurangi pendapatan mereka, hal itu juga membatasi kemampuan jemaat mereka untuk membantu masyarakat sekitar.
Open Doors memberi catatan:
“Kebanyakan orang percaya baru yang berlatar belakang agama mayoritas mengatakan bahwa pembatasan sosial karena COVID-19 mengurung mereka bersama dengan orang-orang yang paling menentang iman mereka kepada Yesus. Ini terutama mempengaruhi perempuan dan anak-anak sebagai kaum minoritas. Bagi jutaan orang Kristen, kegiatan di luar rumah seperti bekerja, studi, dan aktivitas lainnya, memberi mereka jeda sejenak dari persekusi yang selalu mereka alami. Saat mereka harus dikarantina, jeda itu tidak lagi tersedia.”
“Kami juga menerima laporan bahwa penculikan, pemaksaan pindah agama, dan pemaksaan pernikahan terhadap kaum perempuan meningkat selama pandemi karena peluang untuk melakukan hal-hal itu bertambah. Selain itu, beberapa tempat di Amerika Latin yang kerap menjadi target geng narkoba, kini makin berbahaya bagi orang-orang Kristen, karena kehadiran para polisi yang biasanya menertibkan aksi geng kini berkurang di masa pandemi.”
Kedua, pemantauan kelompok-kelompok agama meningkat seiring dengan berbagai kemajuan dalam teknologi pengawasan digital. Hal ini.menjadi tren penting lainnya.
“China melakukan langkah-langkah tegas untuk menghentikan penyebaran COVID-19 begitu virus tersebut muncul di Wuhan,” kata para peneliti Open Doors. “Namun, bagi 97 juta orang Kristen, harga yang harus dibayar sangatlah mahal. Mereka mengalami pembatasan yang sangat ketat, pengawasan dilakukan sampai ke rumah-rumah, semua interaksi daring dan luring mereka dilacak, wajah mereka pun dipindai ke dalam pangkalan data kepolisian setempat.”
Menurut laporan:
“Laporan-laporan dari wilayah seperti provinsi Henan dan Jiangxi mengatakan bahwa kamera dengan fitur pengenalan wajah sekarang sudah tersedia di berbagai tempat ibadah yang diizinkan negara. Banyak dari kamera ini dipasang bersebelahan dengan kamera CCTV standar. Bedanya, kamera-kamera ini terhubung dengan kepolisian. Artinya, teknologi kecerdasan buatan tersebut bisa dengan cepat berhubungan dengan pangkalan data lain milik pemerintah. Perangkat lunak pengenalan wajah itu juga terhubung dengan “Sistem Penilaian Sosial” di China, yang memonitor kesetiaan warga negara terhadap nilai-nilai utama yang diajarkan paham komunis.”
Hal serupa terjadi di India. Menurut para peneliti Open Doors, “ada ketakutan dari kelompok agama minoritas bahwa aplikasi pelacak kontak akan difungsikan lebih dari yang seharusnya, dan dipakai untuk mengawasi semua gerak-gerik mereka.”
Ketiga, tren “kewarganegaraan yang dikaitkan dengan agama” terus menyebar luas. Para peneliti menemukan, “Di negara-negara seperti India dan Turki, identitas keagamaan makin dikaitkan dengan identitas nasional—artinya, untuk menjadi orang India sejati, Anda harus beragama Hindu; untuk menjadi orang Turki sejati, Anda harus beragama Islam. Seringkali tren ini didorong oleh pemerintah yang sedang berkuasa, baik secara implisit maupun eksplisit.”
Open Doors mencatat:
“Di tengah lonjakan nasionalisme Hindu, orang-orang Kristen di India terus-menerus ditekan oleh propaganda yang kuat. Pesan bahwa ‘untuk menjadi seorang India sejati, Anda harus beragama Hindu’ membuat mereka yang beda keyakinannya seperti orang Kristen dan juga Muslim, terus diserang dan diintimidasi. Orang-orang Kristen yang dianggap ‘bukan orang India sejati’ kerap mengalami diskriminasi dan persekusi tanpa kecuali. India juga terus menghambat aliran dana asing untuk rumah-rumah sakit Kristen, sekolah-sekolah Kristen, dan sejumlah gereja, semua dengan dalih untuk melindungi identitas bangsa India.”
“Di Turki, pemerintah yang sekarang juga telah mengambil peran sebagai pelindung agama Islam secara nasional. Bangunan Hagia Sophia dahulu merupakan sebuah katedral yang kemudian dijadikan masjid, sampai pemerintah Turki modern memutuskan untuk mengubahnya menjadi sebuah museum. Namun, di bulan Juli 2020, presiden Turki meyakinkan pengadilan untuk menjadikan bangunan itu sebagai masjid lagi, memperkuat nasionalisme Turki … Semangat dan cita-cita kaum nasionalis Turki jauh melampaui batas negara itu, tampak sangat jelas dalam dukungan mereka terhadap Azerbaijan yang sedang menghadapi konflik dengan Armenia.”
Keempat, adanya peningkatan serangan dari kelompok-kelompok garis keras, terutama kaum Muslim ekstremis, sekalipun sudah diterapkan karantina wilayah untuk menghentikan penyebaran virus korona. “Di berbagai belahan dunia, kekerasan terhadap orang Kristen sebenarnya menurun pada masa pandemi COVID-19,” kata para peneliti, tetapi kekerasan terhadap orang-orang Kristen di wilayah sub-Sahara Afrika justru “naik 30% dibandingkan tahun lalu.”
Open Doors mencatat:
“Ratusan desa berpenduduk mayoritas Kristen di Nigeria dikuasai atau dijarah para gembala Muslim bersenjata dari suku Hausa-Fulani; adakalanya ladang dan hasil panen warga juga ikut dibakar. Boko Haram—dan kelompok sempalan Negara Islam Provinsi Afrika Barat (ISWAP), yang terhubung dengan ISIS—terus menjadi penyakit di Nigeria dan wilayah utara Kamerun.”
“Di wilayah Sahel, sebelah selatan Gurun Sahara, ulah kelompok ekstrem Islam dipicu oleh ketidakadilan dan kemiskinan. Kelompok-kelompok ekstremis ini memanfaatkan kesalahan pemerintah untuk kepentingan mereka. Kaum jihadis bersenjata menyebarkan propaganda, merekrut anggota, dan melakukan serangan berkala. Tahun ini beberapa kelompok bersumpah memerangi orang-orang yang “tidak beriman sama dengan”, seperti umat Kristen—mereka mengklaim bahwa “Allah telah menghukum kita manusia karena orang-orang yang tidak beriman.”
“Burkina Faso sebelumnya dikenal memiliki kerukunan beragama yang baik antara kelompok Muslim dan Kristen, tetapi sekarang di negara itu sebanyak satu juta orang—1 dari 20 orang dalam populasi—dipaksa meninggalkan rumahnya (dan jutaan orang kelaparan) akibat kekeringan dan kekerasan. Tahun lalu, Burkina Faso secara dramatis masuk dalam WWL untuk pertama kalinya. Tahun ini, kelompok ekstremis Islam terus menjadikan gereja sebagai target serangan mereka (satu serangan menewaskan 14 orang, serangan lain menewaskan 24 orang).”
Bagaimana WWL dibandingkan dengan berbagai laporan lainnya tentang persekusi agama?
Menurut Open Doors, sangat beralasan menyebut kekristenan sebagai agama yang paling banyak mengalami persekusi di dunia. Pada saat yang sama, mereka juga menyebutkan bahwa tidak ada dokumentasi sebanding untuk populasi Muslim di dunia.
Open Doors percaya bahwa sangat beralasan menyebut kekristenan sebagai agama yang paling banyak mengalami persekusi di dunia. Pada saat yang sama, disebutkan bahwa tidak ada dokumentasi sebanding untuk populasi Muslim di dunia.
Sejumlah penelitian lain tentang kebebasan beragama mengonfirmasi banyak temuan Open Doors. Misalnya, dalam analisis terbaru dari Pew Research Center (PRC) tentang sikap permusuhan dari pemerintah dan masyarakat terhadap agama, ditemukan bahwa umat Kristen mengalami intimidasi di 145 negara pada tahun 2018, lebih dari semua kelompok agama lainnya. Intimidasi juga dialami umat Muslim di 139 negara, disusul umat Yahudi di 88 negara.
Apabila aspek yang dinilai adalah sikap permusuhan oleh pemerintah saja, PRC menemukan bahwa intimidasi dialami umat Muslim di 126 negara, sedangkan umat Kristen di 124 negara. Apabila aspek yang dinilai adalah sikap permusuhan oleh masyarakat saja, intimidasi dialami umat Kristen di 104 negara, sedangkan umat Muslim di 103 negara.
Para peneliti dan pekerja lapangan Open Doors melakukan pemantauan di semua negara, tetapi tetapi perhatian mendalam diberikan kepada 100 negara dan fokus khusus diberikan kepada 74 negara yang memiliki riwayat persekusi “tinggi” (skor >40 dari 100 poin).
Pada acara peluncuran WWL, Duta Besar Amerika Serikat untuk urusan kebebasan beragama internasional, Sam Brownback, memberikan apresiasinya.
“Akan datang saatnya semua orang bisa hidup dengan bebas sesuai dengan iman mereka, dan pemerintah akan melindungi hak mereka ini,” katanya. “Saat itu sudah semakin dekat, dan hasil penelitian Open Doors menolong kita menuju ke sana.”
Peringkat World Watch List tahun 2021:
No. |
Negara |
1 |
Korea Utara |
2 |
Afganistan |
3 |
Somalia |
4 |
Libia |
5 |
Pakistan |
6 |
Eritrea |
7 |
Yaman |
8 |
Iran |
9 |
Nigeria |
10 |
India |
11 |
Irak |
12 |
Suriah |
13 |
Sudan |
14 |
Arab Saudi |
15 |
Maladewa |
16 |
Mesir |
17 |
China |
18 |
Myanmar |
19 |
Vietnam |
20 |
Mauritania |
21 |
Uzbekistan |
22 |
Laos |
23 |
Turkmenistan |
24 |
Aljazair |
25 |
Turki |
26 |
Tunisia |
27 |
Maroko |
28 |
Mali |
29 |
Qatar |
30 |
Kolombia |
31 |
Bangladesh |
32 |
Burkina Faso |
33 |
Tajikistan |
34 |
Nepal |
35 |
Republik Afrika Tengah |
36 |
Etiopia |
37 |
Meksiko |
38 |
Yordania |
39 |
Brunei Darussalam |
40 |
Republik Demokratik Kongo |
41 |
Kazakhstan |
42 |
Kamerun |
43 |
Bhutan |
44 |
Oman |
45 |
Mozambik |
46 |
Malaysia |
47 |
Indonesia |
48 |
Kuwait |
49 |
Kenya |
50 |
Komoro |
Diterjemahkan oleh: Echa Puspita