Kita Melihat Bintang Timur Lebih Gemilang Sepanjang Zaman

Gelar Yesus dalam kitab Wahyu semakin diperjelas dengan pengetahuan kita yang lebih baik tentang astronomi.

Christianity Today December 22, 2022
Source Images: Noriakimasumoto / Getty / Wikimedi Commons / Edits by Rick Szuecs

Terkadang para penulis Alkitab berbicara lebih baik daripada yang mereka ketahui. Mereka mengatakan berbagai hal dan memakai gambaran-gambaran yang mendalam serta diperjelas dengan istilah mereka sendiri, tetapi hal tersebut menjadi jauh lebih mendalam dan lebih jelas saat kita belajar lebih banyak tentang dunia ini.

Sebagai contoh, kutipan terkenal dari Mazmur 8: “Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan: apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya?” (ay. 3–4). Saat kita membacanya hari ini, kita terkagum-kagum bahwa ada bintang-bintang yang jumlahnya miliaran kali lebih banyak daripada yang disadari Daud dan bahwa umat manusia sangat jauh lebih kecil dibandingkan dengan alam semesta yang dia pahami saat itu. Atau perhatikan pernyataan Yohanes yang berkata bahwa Allah adalah terang. Kita melihat lebih banyak tentang hal itu daripada yang pernah dibayangkan oleh Yohanes: rentang warna dalam cahaya putih, paradoks gelombang-partikel, jangkauan spektrum yang tidak terlihat, dan sebagainya.

Salah satu contoh yang indah ada pada pasal terakhir Kitab Suci, ketika Yohanes mencatat perkataan Yesus, “Aku adalah tunas, yaitu keturunan Daud, Bintang Timur yang gilang-gemilang” (Why. 22:16). Bagian pertama dari pernyataan itu jelas, meski merupakan sebuah paradoks. Yesus, seperti yang telah dinubuatkan Yesaya, merupakan garis keturunan mesianik (“Keturunan Daud”) dan juga merupakan sumbernya (“tunas”). Akan tetapi bagian kedua dari ayat tersebut mengandung kedalaman yang sama sekali tidak disadari oleh Yohanes.

Tak seorang pun di dunia kuno yang bisa gagal melihat bintang timur. Kecemerlangannya telah menjadikannya titik acuan yang umum dalam sejarah manusia, dari mitos bangsa Sumeria sampai puisi Yunani hingga lukisan The Starry Night karya Vincent van Gogh. Sebagai benda angkasa yang paling gemilang di langit setelah matahari dan bulan, bintang timur adalah simbol yang jelas untuk apa pun atau siapa pun yang bersinar lebih gemilang daripada para pendampingnya. Demikianlah gambaran itu muncul di bagian lain dalam Kitab Suci, baik secara negatif (ketika menggambarkan raja Babel dalam Yesaya 14:12–15) atau secara positif (ketika menggambarkan Kristus dalam 2 Petrus 1:19). Yohanes, dalam kitab Wahyu, dengan jelas menggunakannya dalam pengertian yang terakhir ini.

Dia mungkin telah melihat sesuatu yang lain juga di dalam gambaran tersebut. Pada saat Perjanjian Baru ditulis, orang Yunani-Romawi yang terpelajar menyadari bahwa bintang timur (pagi/fajar) dan bintang senja itu identik: Bintang yang pertama muncul dan yang terakhir menghilang adalah satu dan sama. Mengingat betapa seringnya Yesus digambarkan sebagai yang mengawali dan mengakhiri sejarah dalam Wahyu 22—Alfa dan Omega, yang Pertama dan yang Terkemudian, yang Awal dan yang Akhir, tunas dan keturunan—Yohanes mungkin telah merenungkan hubungan ini juga. Yesus bukan hanya bintang paling terang di cakrawala, tetapi bintang yang ada sebelum yang lain muncul dan setelah semuanya redup.

Namun, apa yang tidak diketahui Yohanes adalah bahwa bintang timur pada dasarnya berbeda dari setiap bintang lain di langit malam. Bintang timur terbuat dari batu, bukan gas. Bintang timur memantulkan cahaya matahari, bukan menghasilkan cahayanya sendiri. Secara fisik, bintang timur lebih mirip bumi daripada bintang. Pada masa kini, kita menyebutnya planet Venus.

Pada saat yang sama, Yohanes tidak memiliki konsep tentang kedekatan yang mengejutkan dari bintang timur yang berhubungan dengan penghuni surga lainnya. Berbagai model alam semesta ada pada zaman Yohanes, dengan berbagai teori tentang bagaimana matahari, bulan, planet, dan bintang saling bertaut. Berapa banyak yang Yohanes ketahui tentang hal-hal ini, kita hanya bisa berspekulasi. Akan tetapi dia hampir tidak dapat membayangkan bahwa bintang timur itu 175.000 kali lebih dekat daripada bintang-bintang terdekat lainnya sekalipun.

Seperti Venus dalam kaitannya dengan bintang-bintang, Yesus sama sekali tidak seperti semua “dewa” yang orang-orang bandingkan dengan-Nya. Dalam langit malam teologis, segala sesuatu yang lain adalah jauh, tidak pernah bergerak sebelumnya, dan tidak sedang bergerak. Sebaliknya, Sang Bintang Timur, tiada tertandingi. Dia bukan hanya lebih terang daripada para pendamping-Nya. Dia bukan hanya membuka dan menutup simfoni angkasa seperti halnya lagu pembuka dan lagu penutup. Secara esensi, Dia benar-benar tidak seperti para dewa. Ia mirip dengan kita dalam berbagai hal yang masih sulit kita percayai, dan Ia sangat jauh lebih dekat daripada yang kita sadari.

Secara eksegesis, biasanya menemukan makna dalam teks yang tidak dimaksudkan oleh penulis aslinya akan dianggap sebagai sesuatu yang buruk. Namun sekali lagi, Kitab Suci memiliki dua penulis asli—yang ilahi dan yang manusia—dan pembicara dalam hal ini adalah Sang Bintang Timur itu sendiri, Pencipta langit dan segala isinya: Tuhan Yesus. Mungkin dalam hal ini ada lebih banyak hal lagi daripada yang kita ketahui.

Andrew Wilson pendeta pengajar di King’s Church London dan penulis dari God of All Things.

Diterjemahkan oleh Janesya S.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Fleming Rutledge: Adven Dimulai Saat Potensi Manusia Berakhir

Masa Adven ini mengajak kita untuk mengarahkan pandangan ke arah masa depan dari Tuhan, bukan manusia.

Christianity Today December 22, 2022
Illustration by Rick Szuecs / Source Images: Envato

Dari Church of the Advent di seberang sungai Charles, berdirilah Harvard yang sangat besar. Di sanalah, profesor psikologi terkenal, Steven Pinker, menganggap dunia semakin baik. Dalam sebuah wawancara baru-baru ini, ia membuat pernyataan bahwa berkat abad pencerahan terutama sains, kehidupan di bumi membaik. Ia membenarkan bahwa manusia memang “cenderung tergelincir ke dalam irasionalitas,” tetapi secara keseluruhan, menurut dia, data menunjukkan bahwa kita sedang membuat kemajuan. Pinker tidak mengabaikan kejahatan manusia, tetapi dia benar-benar percaya bahwa kemajuan manusia tidak dapat dihentikan dan bahwa sains serta teknologi dapat menyelesaikan segala masalah kita jika kita menjadi orang-orang yang rasional dan berpikiran maju—barangkali menjadi orang-orang seperti dirinya.

Alkitab menentang optimisme kenaifan Pinker dan orang-orang seperti dia. Alkitab adalah sebuah kisah, bukan dokumen ilmiah atau kumpulan prinsip-prinsip rohani. Alkitab memberi tahu kita bagaimana menjadi diri kita sendiri di dunia ini, bagaimana kita telah merusak citra Allah dalam diri kita melalui pemberontakan kita, dan bagaimana Pencipta kita datang dalam pribadi-Nya sendiri untuk mentransfigurasi kita menjadi serupa dengan Sang Putra, yang menjelma dalam rupa manusia. Alkitab memberi tahu kita tentang kuasa dosa dan kematian serta cengkeramannya atas kita.

Kisah Alkitab sungguh-sungguh tidak sentimentil. Alkitab tidak menawarkan optimisme. Alkitab juga tidak menawarkan “pemikiran positif.” Alkitab melihat secara mendalam tentang kesengsaraan, kebodohan, penderitaan, dan kekecewaan manusia pada umumnya. Saya suka apa yang dikatakan penulis Lance Morrow tentang era perang dunia dan genosida abad ke-20: “Alih-alih melihatnya sebagai abad pencerahan yang berkembang, ini lebih terlihat seperti abad kegelapan.”

Masa Adven, bila dipahami dengan baik, dirancang untuk membantu kita memahami “abad kegelapan” ini. Masa ini memperkuat kita untuk hidup di dunia nyata, di mana ada kekuatan jahat yang secara aktif bekerja melawan kesejahteraan manusia dan tujuan ilahi Tuhan. Ini adalah dunia di mana tak seorang pun tampaknya tahu apa yang harus dilakukan terhadap bencana kelaparan di Yaman. Ini adalah dunia di mana janji kebebasan dan demokrasi di Polandia dan Hongaria bergeser di depan mata dunia menjadi penindasan dan otokrasi. Ini adalah dunia di mana niat terbaik kita berbalik melawan kita.

Adven selalu dimulai di dalam kegelapan. Namun ada “tetapi,” dan kita menemukannya terungkap dalam kisah yang diceritakan Alkitab.

Secara umum, segala sesuatu di dalam Alkitab dapat dipahami sebagai masa sebelum dan sesudah pembuangan. Sebelum bangsa Babel datang dan menaklukkan bangsa Yahudi, menghancurkan bait suci, dan membawa orang-orang jauh ke pembuangan di negeri penyembah berhala, janji-janji Allah tampak terjamin. Tanah susu dan madu ada di tangan mereka.

Akan tetapi umat Tuhan tidak hidup menurut kehendak Tuhan. Mereka menjadi acuh tak acuh terhadap orang miskin, memutarbalikkan sistem keadilan, dan berpaling kepada dewa-dewa asing. Penghakiman Tuhan, yang telah lama tertunda oleh belas kasihan-Nya, turun ke atas mereka dalam bentuk gerombolan orang Babel, dan mereka dibawa pergi ke negeri tempat dewa-dewa asing itu berkuasa. Atau tampaknya seperti itu. Tantangan terhadap supremasi—bahkan keberadaan Allah Israel itu sendiri—sangat memberatkan. Seluruh kejayaan bangsa Yahudi tampaknya akan berakhir.

Situasi historis ini digambarkan dalam delapan pasal pertama kitab Zakharia. Nabi itu mencari seorang raja yang akan memulihkan kejayaan Israel, tetapi dia bernubuat tentang raja manusia di bumi, Zerubabel. Pandangan ini tipikal dari mentalitas sebelum masa pembuangan di Alkitab: Janji-janji Allah akan terjadi dalam sejarah.

Namun, setelah pasal 8, kita berada di dunia sesudah masa pembuangan, dan teologi biblika pun berubah. Pasal-pasal pada bagian kedua kitab ini membawa kita kepada suatu pandangan dunia yang berbeda, yang kita sebut apokaliptik. Jangan terkecoh oleh kata ini; artinya tidak sama seperti dalam budaya kita. Ini sebenarnya adalah kata yang alkitabiah. Dalam bahasa Yunani kata apocalypse berarti pewahyuan.

Sebelum masa pembuangan, para pemikir Israel melihat sejarah untuk harapan masa depan mereka. Mereka memiliki banyak data yang memperkuat keyakinan mereka tentang kesetiaan Tuhan dalam sejarah bangsanya. Mereka percaya diri, merasa aman, melenturkan otot mereka, yakin akan kedudukan mereka, tidak menghiraukan peringatan dari nabi-nabi sebelum masa pembuangan seperti Yeremia. Setelah masa pembuangan, para nabi mulai menulis dengan gaya yang berbeda. Perkembangan bagian kedua dalam pemikiran alkitabiah inilah yang menjadi dasar teologi yang memperkuat pemahaman tentang masa Adven.

Setelah masa pembuangan, para pemikir Israel berhenti bergantung pada sejarah sebagai sumber terpercaya bagi masa depan umat manusia. Masa Adven mewakili gerakan teologis besar yang mengarahkan pandangannya ke arah masa depan dari Allah, bukan manusia. Bagian awal kitab Zakharia mencari pembenaran secara sejarah, tetapi hal itu tidak terjadi. Setelah itu, seluruh Alkitab bergerak ke arah masa depan: Hari Tuhan yang akan datang.

Inilah alasan utama mengapa Alkitab orang Kristen disusun secara berbeda dari Alkitab Ibrani. Kitab-kitabnya persis sama, tetapi dalam bagian Perjanjian Lama dari Alkitab Kristen, literatur hikmat/puisi berada di tengah dan para nabi berada di akhir, memandang ke depan kepada campur tangan Tuhan yang melampaui dan di luar sejarah.

Perubahan ini sangatlah penting. Di sinilah kita mulai mendengar nubuatan tentang Mesias yang akan datang “dengan awan-awan di langit” (Dan. 7:13–14). Kata-kata terakhir dari Perjanjian Lama mengarahkan kita ke depan, bukan pada data ilmiah tentang kemampuan manusia, melainkan pada janji-janji Allah di tengah ketidakpastian manusia. Ketika harapan dan potensi manusia telah gagal, sang nabi memberi tahu kita tentang kejadian-kejadian kosmik, dengan pergerakan gunung-gunung dan lembah-lembah—“Setiap lembah harus ditutup, dan setiap gunung dan bukit diratakan…” (Yes. 40:4, ITB).

Dalam pergerakan terakhir dari Tuhan itu bagi keselamatan dunia, “…tidak akan ada lagi udara dingin atau keadaan beku, tetapi akan ada satu hari, hari itu diketahui oleh TUHAN dengan tidak ada pergantian siang dan malam, dan malam pun menjadi siang” (Zak. 14:6–7, ITB).

Saya suka pekuburan yang batu nisannya ditulisi ayat-ayat Alkitab. Pada salah satu pekuburan di mana anggota keluarga kami dimakamkan pada abad ke-19, ada sebuah batu nisan bertuliskan, “Dan malam pun menjadi siang” Saya kira syair itu berasal dari puisi zaman Victoria yang sarat emosi. Namun sungguh sangat mengejutkan, seperti suara petir, saya tersadar bahwa itu berasal dari perikop apokaliptik di kitab Zakharia, di mana ciptaan baru dari Tuhan dijadikan! Ini bukan soal kematian seseorang yang sudah tua yang pergi menyelinap meninggalkan senja. Ini adalah tentang penebusan seluruh umat manusia dan alam semesta ciptaan-Nya, yang diubahkan oleh campur tangan Tuhan yang perkasa. Mereka yang ditebus oleh Allah “…tidak memerlukan cahaya lampu dan cahaya matahari, sebab Tuhan Allah akan menerangi mereka, dan mereka akan memerintah sebagai raja sampai selama-lamanya” (Why. 22:5).

Semua nubuatan agung tentang akhir dari sejarah manusia ini terwujud dengan cara yang tak terbayangkan oleh manusia: seorang bayi terlahir dengan cara yang biasa, dalam keadaan yang paling hina. Dia disambut oleh sebagian besar warga dunia dengan ketidakpedulian, oleh beberapa orang dengan ancaman pembunuhan (Herodes), tetapi oleh segelintir orang dengan kekaguman bahwa surga telah datang ke bumi. Tuhan datang ke bumi, bukan sebaliknya. Pergerakan Dia, tujuan Dia, janji Dia digenapi. Karya Tuhan, bukan karya kita. Kita tidak bisa mencapai semua ini dengan seluruh pembelajaran dan pencapaian kita. Hanya Tuhan yang bisa melakukannya.

Penulisan Alkitab pasca-pembuangan selalu menjadi ancaman bagi mereka yang menganggap baik potensi manusia. Sejak zaman Adam dan Hawa, kita selalu berpikir bahwa kita dapat menyelesaikan rancangan ini sendirian. Meski demikian, Adven dimulai dalam kegelapan, di mana segala kemungkinan dan harapan manusia dibingungkan. Sebagaimana yang ditulis Yesaya, “ Bangsa yang berjalan di dalam kegelapan telah melihat terang yang besar” (Yes. 9:1).

Pada titik ini pertanyaan yang sama selalu muncul: Jadi apa yang harus kita lakukan? Jika Tuhan akan melakukan penyelamatan ini, peran apa yang bisa kita mainkan? Ini adalah keluhan berulang-ulang dari natur manusia. Sekali lagi, kita ingin pujian. Kita terus-menerus menolak gagasan tentang anugerah Tuhan yang gratis, cuma-cuma, dan terlaksana dengan sendirinya tanpa bergantung pada kontribusi kita. Jika memang Injil yang menjadi inti dari keajaiban Natal, lalu apa yang harus kita lakukan dalam kegelapan Adven?

Berikut ini adalah cerita yang relevan: Tiga tahun setelah serangan teroris 2015 di Paris yang menewaskan 130 orang dan melukai hampir 500 orang, kota itu berkumpul untuk upacara perkabungan yang suram. Dua reporter surat kabar Amerika mengumpulkan kesaksian dari mereka yang berusaha memproses kemarahan dan kesedihan mereka melalui seni. Artikel tersebut secara khusus berfokus pada satu proyek, sebuah film dokumenter karya dua bersaudara bernama Jules dan Gédéon Naudet, lahir di Prancis, tinggal di New York.

Dua bersaudara ini, sebagaimana yang terjadinya, sebelumnya sedang syuting di Manhattan pada 11 September dan hanya merekalah yang merekam video secara jelas dari pesawat jet pertama yang menabrak Menara Utara. Film dokumenter mereka tentang 9/11 adalah film klasik, ditayangkan secara streaming di sebuah museum di New York. Film dokumenter mereka yang terbaru disebut “November 13: Attack on Paris.”

Saat diwawancarai tentang pengalaman membuat film dokumenter kota Paris itu, Jules Naudet mengatakan bahwa mereka ingin membuat film yang berbeda dari film tragedi 9/11. Kedua bersaudara itu menjelaskan bahwa, alih-alih berfokus pada pengeboman, pembantaian, kengerian, dan kehancuran, mereka mencari orang-orang yang selamat. Mereka mengatakan bahwa kali ini mereka ingin menciptakan kembali efek dari serangan tersebut “dengan memahami isi kepala” orang-orang yang mereka wawancarai.

Mereka terkejut dengan apa yang mereka temukan. Dalam kata-kata mereka, Anda akan melihat hubungannya dengan pesan Adven dan respons manusiawi kita saat kita hidup dalam iman dan pengharapan. Inilah yang dikatakan Gédéon Naudet:

Tak seorang pun dari yang selamat itu berbicara tentang kebencian, balas dendam, dan pembunuhan. Anda punya pilihan: Anda berjalan di jalan gelap atau Anda berjalan dengan [cahaya].

Dalam firman apokaliptik dari Kristus yang dicatat di Injil Lukas, kita mendengar ajakan yang serupa. Yesus berbicara tentang “kebingungan bangsa-bangsa” serta “ketakutan dan kecemasan.” Namun di tengah semua ini, kita diundang untuk “bangkitlah dan angkatlah muka [kita], karena penyelamatan [kita] sudah dekat” (Luk. 21:25, 28).

Itulah pesan Adven: Dalam dunia yang penuh kegelapan dan ketakutan, dosa dan kejahatan merajalela, kita memandang kepada satu terang sejati—Kristus Yesus, Anak Allah.

Fleming Rutledge adalah seorang pendeta Episkopal dan penulis terkenal. Tulisan ini diadaptasi dari khotbah yang disampaikan di masa Adven di Church of the Advent di Boston, Massachusetts.

Diterjemahkan oleh: Vika Rahelia.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Tuhan Sumber Rahmat dan Kuasa

Renungan Adven, 21 Desember 2022.

Kumpulan Renungan Adven 2022.

Kumpulan Renungan Adven 2022.

Christianity Today December 21, 2022
Stephen Crotts

Minggu 4: Imanuel


Saat kita berjalan menyelami peristiwa-peristiwa seputar Kelahiran Yesus, kita merenungkan Inkarnasi. Yesus—Allah yang Perkasa, Raja Damai, Terang Dunia—menjadi manusia dan tinggal di antara kita. Seperti yang dinubuatkan Yesaya, Ia berarti ”Allah beserta kita.” Yesus adalah Imanuel.

Baca Lukas 1:57–80

Terpujilah Tuhan, Allah Israel, sebab Ia melawat umat-Nya dan membawa kelepasan baginya. LUKAS 1:68

Kita, manusia, cenderung tidak bisa menggenggam rahmat dan kuasa dengan tetap baik. Mereka yang mendapatkan kekuasaan sering menikmatinya dan cenderung mencari lebih, sementara mereka yang murah hati cenderung menyerahkan kekuasaan (atau membiarkan itu diambil dari mereka). Tentu saja ada beberapa pengecualian, tetapi pada umumnya, kita tahu dan dapat mengamati bahwa keseimbangan ini tidak mudah untuk dicapai. Namun tidak seperti kita, Tuhan adalah sama penuh kuasa dan rahmat-Nya, sempurna dalam memperlihatkan kedua sifat tersebut satu per satu.

Kita melihat kekuatan kemurahan Tuhan disoroti dengan beberapa cara dalam kisah tentang kelahiran dan masa-masa awal Yohanes Pembaptis ini. Faktanya, tema kekuatan yang murah hati ini tersembunyi di depan mata bagi kita, para pembaca bahasa Indonesia. Kita mengetahui bahwa Elisabet ingin menamai anak laki-laki itu Yohanes sesuai dengan pesan yang diberikan Gabriel kepada Zakharia (Luk. 1:13). Orang-orang di sekitarnya terkejut; ini tidak selaras dengan kebiasaan menamai anak, yang biasanya dinamai dengan nama seseorang di dalam keluarga. Jadi mengapa Yohanes (Yohanan dalam bahasa Ibrani)? Artinya adalah “Tuhan itu pengasih,” dan anak laki-laki ini akan memberitakan karya anugerah Tuhan bagi seluruh dunia.

Zakharia tidak dapat berbicara sejak hari di mana dia mengetahui bahwa istrinya akan mengandung. Namun segera setelah dia menuliskan nama anak laki-laki itu, kemampuan berbicaranya dipulihkan, dan dia meluap-luap dalam pujian. Melalui tanda ini, orang-orang mengetahui bahwa anak laki-laki ini istimewa. Mereka bertanya satu sama lain, “Menjadi apakah anak ini nanti?

Namun Zakharia mengarahkan pandangan mereka ke arah yang benar. Ya, anak laki-laki ini memiliki peran yang khusus, namun Tuhan-lah yang harus dipuji. Tuhan yang berkuasa atas semua “akan melawat kita,” kata Zakharia, dan akan berada di tengah umat-Nya.

Akan tetapi kuasa Tuhan tidak akan diperlihatkan dengan menindas. Sebaliknya, kuasa itu akan memerdekakan. Tuhan telah “menumbuhkan sebuah tanduk keselamatan” untuk “menunjukkan rahmat-Nya kepada nenek moyang kita” dan supaya “kita terlepas dari tangan musuh.”

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Pemikiran tentang Allah yang menunjukkan rahmat terkait dengan pemikiran bahwa umat Allah berada di dalam dosa. Seperti nenek moyang mereka yang menerima nubuatan serupa (1Sam. 2:10; Mik. 7:20; Yeh. 16:60), mereka pantas dihukum tetapi mereka menerima limpahan kasih karunia.

Mengapa Tuhan melakukan ini? Agar kita bisa melayani Dia. Ini adalah sebuah karunia agar kita dapat benar-benar mengalami “Tuhan beserta kita.” Nyanyian pujian Zakharia menjanjikan pengampunan atas dosa-dosa kita dan pencerahan untuk memimpin kita di “jalan damai.” Ketika Lukas melanjutkan Injilnya, ia akan kembali ke tema ini berkali-kali, menyoroti bagaimana kedatangan Mesias mengerjakan pemulihan dan keadilan-kebenaran serta pendamaian yang kekal.

Madison N. Pierce adalah profesor Perjanjian Baru di Western Theological Seminary. Buku-bukunya termasuk di antaranya Divine Discourse in the Epistle to the Hebrews.

Renungkan Lukas 1:57–80.


Pada bagian mana dalam perikop ini Anda melihat kuasa Tuhan yang luar biasa? Pada bagian mana Anda melihat kemurahan dan kasih karunia Allah? Berdoalah, nyatakanlah respons Anda kepada Tuhan.

Diterjemahkan oleh Catharina Pujianto.

Datanglah Penghakiman yang Telah Lama Dinantikan

Masa Adven tidak hanya mempersiapkan kita untuk menyambut Inkarnasi, melainkan juga untuk pemberian keadilan terakhir dari Allah.

Christianity Today December 20, 2022
Illustration by Mallory Rentsch / Source Images: Prixel Creative / Lightstock

Beberapa hari yang lalu, saya berjalan ke toko kelontong vegan New Age di sekitar Austin dan saya melihat sesuatu yang aneh: mereka menjual kalender Adven. Setahu saya, si pemilik toko tidak tiba-tiba tertarik mempersiapkan pelanggan mereka untuk perayaan menyambut Inkarnasi.

Kehadiran kalender Adven yang terasa aneh di toko yang sebagian besar dikhususkan untuk menjual kehebatan penyembuhan dari jamur dan kristal ini merupakan sekularisasi dari masa Adven, yang kini terasa tak jauh berbeda dari dengung komersial dari Natal sekuler. Banyaknya tema kalender Adven—mulai dari Lego, sabun mandi, dan teh, hingga perhiasan Tiffany—menunjukkan bahwa masa Adven telah diambil alih dalam pawai panjang konsumerisme yang dimulai sejak Black Friday hingga hari Natal.

Saya tidak menentang kalender Adven itu sendiri. Dari tiga “kedatangan” Kristus—Inkarnasi, kedatangan-Nya melalui Roh Kudus di dalam gereja, dan kedatangan-Nya yang terakhir sebagai Raja dan Hakim—kalender Adven dapat membantu kita dengan dua “kedatangan” yang pertama. Namun tidak untuk yang ketiga. Sekalipun demikian, seperti yang ditulis oleh Fleming Rutledge dan yang lainnya, justru kedatangan Kristus yang ketiga itulah yang selalu menjadi fokus utama masa kalender gerejawi ini. Dia akan kembali “untuk menghakimi orang yang hidup dan yang mati,” seperti yang disebutkan dalam Pengakuan Iman Rasuli.

Ketika orang Kristen mula-mula mulai berdoa, berpuasa, dan memberi sedekah dalam empat hari Minggu sebelum Natal, sebagian besar dari mereka mempersiapkan diri untuk menerima Dia dalam kemuliaan, Pribadi di palungan yang telah menjadi penyelamat mereka.

Sejak abad keempat dan seterusnya, harapan akan datangnya penghakiman Kristus tertanam dalam bentuk dari masa Adven ini. Pengharapan Adven terutama adalah tentang harapan akan kembalinya Yesus. Bahkan sekarang, dalam liturgi Adven gereja-gereja Anglikan, Katolik Roma, dan Ortodoks, doa dan pembacaan Kitab Suci memiliki fokus seperti laser, yang berfokus pada penghakiman Kristus yang akan datang.

Pesan ini tidak selaras dengan kegembiraan dan kesenangan yang merupakan imbas dari Adven atau Natal sekuler. Siapa yang harus disalahkan untuk hal itu? Saya sama sekali tidak ingin meminimalkan peran komersialisasi dalam merusak karakter masa Natal yang tenang ini. Akan tetapi saya pikir penyebab yang lebih besar—selain tradisi yang telah lama dilupakan oleh orang Kristen Barat—adalah hilangnya kepercayaan bahwa penghakiman terakhir oleh Kristus sebenarnya adalah kabar baik dan oleh karena itu sesuatu yang dinanti-nantikan oleh orang percaya.

Orang-orang yang dikenal antusias memberitakan kembalinya Kristus dalam penghakiman umumnya dikenal pemarah dan memusuhi orang-orang yang mereka anggap sesat dan tidak percaya. Dari antara para pendeta “misional” yang mendukung budaya, berfokus pada keadilan sosial, dan berkomitmen pada pemeliharaan ciptaan, saya dapat menghitung dengan satu tangan berapa jumlah khotbah yang pernah saya dengar tentang betapa penghakiman Yesus sebenarnya adalah kabar baik.

Lalu, mengapa orang-orang Kristen mula-mula yang memberi kita masa Adven tidak mengalami kesulitan seperti itu? Itu karena mereka dipenuhi dengan sukacita dan pengharapan saat mereka merenungkan kedatangan Yesus dalam kemuliaan dan penghakiman. Umat Kristen mula-mula bukanlah orang yang kejam dan sadis, yang dengan gembira melihat tetangga mereka yang tidak percaya dan berfantasi tentang bagaimana darah mereka akan mengalir di jalanan-jalanan ketika Yesus kembali.

Tentu saja, mereka prihatin tentang nasib dari sesama mereka di kekekalan nanti dan tentang pembaruan personal mereka secara pribadi di dalam Yesus. Penghakiman Kristus bukanlah tentang menyerahkan sejumlah besar orang non-Kristen ke neraka. Hal ini justru merupakan kemenangan terakhir atas tiga musuh kosmik Kristus, yaitu dosa, kematian, dan Iblis, menurut Martin Luther.

Kemenangan Kristus atas kuasa-kuasa ini menggarisbawahi kepastian bahwa ciptaan Allah perlahan tetapi pasti dibebaskan dari perbudakan. Umat manusia berangsur-angsur ditinggikan dan dimuliakan—menjadi “binatang yang didewakan,” dalam ungkapan Gregorius dari Nazianzus yang sangat menusuk.

Gereja mula-mula menyatakan bahwa Anak Allah tidak hanya mengambil tubuh. Dia telah mengenakan sifat manusia itu pada diri-Nya sendiri dan menempatkan seluruh umat manusia pada pijakan baru. Inkarnasi memprakarsai sebuah proses yang terjadi secara senyap dan hampir tanpa disadari dalam membentuk kembali kepribadian dari mereka yang bahkan belum pernah mendengar tentang Kristus—dan juga bagi mereka yang dengan tegas menolaknya.

Karena itu, bagi orang Kristen mula-mula, keselamatan lebih dahulu bersifat korporat dan kolektif sebelum bersifat individual. Hal ini merupakan suatu perombakan terhadap kemanusiaan itu sendiri yang bergema ke dalam kehidupan setiap orang.

Agustinus memahami konsep ini dengan baik. Dalam sebuah homili Mazmur 96, dia menulis bahwa Adam jatuh dan hancur menjadi ribuan kepingan yang memenuhi bumi dengan pertikaian, perang, serta kebencian, “tetapi Sang Rahmat Ilahi mengumpulkan pecahan-pecahan itu dari berbagai sisi, menempanya dalam api kasih dan dilas hingga menjadi satu. Hanya Sang Seniman Agung sajalah yang sanggup menciptakan maha karya seperti ini. … Dia yang membuat ulang adalah Sang Pembuat itu sendiri; Dia yang membentuk kembali adalah Sang Pembentuk itu sendiri.”

Penyelesaian dari proses ini menuntut agar setiap lutut bertelut, setiap lidah mengaku bahwa Yesus adalah Tuhan, dan semua musuhnya—terutama dosa, maut, dan Iblis—dihakimi dan ditaklukkan di bawah kuasa-Nya sebagai Raja.

Bagi gereja mula-mula, keselamatan adalah pembebasan yang telah terjadi dan berlangsung terus-menerus, tanpa terlihat namun mengubah realitas. Ini bukanlah semacam promosi penjualan kepada tetangga untuk suatu produk yang tidak mereka inginkan. Inkarnasi, kehidupan Kristus, kematian-Nya di kayu salib, kengerian api neraka, Kebangkitan, Kenaikan, kedudukan-Nya di sebelah kanan Allah sebagai perantara bagi kita—merupakan rentetan peristiwa yang menghadirkan kerajaan Allah di bumi. Dalam konteks ini, penghakiman terakhir dari Kristus menjadi sesuatu yang diharapkan, dipersiapkan, dan layak untuk dinantikan.

Selama berabad-abad, banyak orang Kristen telah menegaskan bahwa takdir dari kosmos itu sendiri, bahkan tumbuhan dan hewan, harus ditinggikan dan ditransfigurasi bersama dengan umat manusia.

“Sama seperti sebuah bejana perunggu yang telah menjadi tua dan tidak berguna kini menjadi baru lagi ketika seorang pengrajin logam meleburnya dalam api dan mencetaknya kembali,” tulis Santo Symeon, sang Teolog Baru pada abad ke sepuluh berujar, “begitu pula dengan ciptaan, setelah menjadi tua dan tidak berguna karena dosa-dosa kita, … akan tampak baru, jauh lebih terang dari saat ini. Apakah Anda melihat bagaimana semua makhluk diperbarui dengan api?”

Dalam sebuah khotbahnya yang terkenal , John Wesley menyatakan bahwa “maka tidak diragukan lagi, seluruh ciptaan yang kasar akan dipulihkan, tidak hanya soal semangat, kekuatan dan kecepatan yang mereka miliki pada saat penciptaan mereka, melainkan hingga mencapai tingkatan yang jauh lebih tinggi dari apa yang pernah mereka nikmati. Mereka akan dipulihkan, tidak hanya sampai tingkat pemahaman yang mereka miliki saat di surga, tetapi pada tingkat yang jauh lebih tinggi dari itu, seperti pemahaman seekor gajah yang melebihi cacing.”

Hal ini membuat Anda bertanya-tanya: Apakah binatang yang bisa bicara di Narnia dan kaum ent (mahkluk pohon) di Middle Earth hanyalah dongeng belaka, atau apakah Lewis dan Tolkien dalam beberapa hal menyuarakan harapan patristik bahwa seluruh semesta akan ditransfigurasi di dalam Kristus?

Adven Kristen berbeda dari Adven yang sekuler sehingga kita dapat memulihkan tema-tema dari gereja mula-mula ini. Hal ini menjadi masa pengharapan bagi kita selama kita mampu memulihkan keyakinan kita bahwa kedatangan Kristus kembali dan penghakiman-Nya atas dosa, maut, dan kejahatan adalah sebuah kabar baik.

Ketika kita membuka kalender Adven dan menyalakan lilin kita, maka Adven dapat mengingatkan kita bahwa Kristus datang untuk menghakimi bumi sehingga kita dapat menyatakan diri kita apa adanya, yaitu sebagai putra putri dari Allah yang hidup, yang disempurnakan dan ditransfigurasi bersama dengan seluruh ciptaan yang diselamatkan melalui kedatangan Kristus.

Jonathan Warren Pagán adalah seorang pendeta Anglikan yang tinggal dan melayani di Austin, Texas.

Diterjemahkan oleh Timothy J. Daun.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Adven Kerendahan Hati

Yesus adalah alasan untuk berhenti fokus pada diri kita sendiri.

Adoration of the Child.

Adoration of the Child.

Christianity Today December 20, 2022
Gerard van Honthorst / WikiArt

Renungan Natal yang tak terhitung banyaknya menunjukkan keadaan yang sederhana dari kelahiran Yesus—di antara para gembala, di kandang yang hina, dengan tempat makanan hewan sebagai buaian bayi. Ketika Yesus sendiri mencoba merangkum mengapa kita harus memikul kuk mengikuti-Nya, Dia mengatakan hal itu karena Dia lemah lembut dan rendah hati (Mat. 11:29). Namun demikian, kita jarang mengeksplorasi implikasi penuh tentang bagaimana kerendahan hati Yesus yang radikal itu membentuk cara kita menjalani hidup setiap hari.

Kerendahan hati sangatlah penting bagi umat Kristen. Kita hanya dapat menerima Kristus melalui kelemahlembutan dan kerendahan hati (Mat. 5:3, 5; 18:3-4). Yesus merendahkan diri-Nya dan ditinggikan oleh Allah (Flp. 2:8-9); karena itu, sukacita dan kekuatan melalui kerendahan hati adalah dinamika kehidupan Kristen (Luk. 14:11; 18:14; 1Ptr. 5:5).

Pengajaran ini tampak sederhana dan jelas. Masalahnya adalah dibutuhkan kerendahan hati yang besar untuk memahami kerendahan hati, dan terlebih lagi untuk melawan kesombongan yang datang begitu alami bahkan ketika kita berdiskusi tentang topik kerendahan hati ini.

Kita berada di tempat yang licin karena kerendahan hati tidak dapat dicapai secara langsung. Begitu kita menyadari racun kesombongan, kita mulai melihatnya di sekitar kita. Kita mendengarnya dalam suara sarkastis dan tajam di berbagai kolom surat kabar dan blog. Kita melihatnya di berbagai pemimpin negara, budaya, dan bisnis yang tidak pernah mengakui kelemahan atau kegagalan. Kita melihatnya di tetangga dan beberapa rekan dengan kecemburuan, sikap mengasihani diri sendiri, dan menyombongkan diri yang mereka perlihatkan.

Jadi kita pun bersumpah untuk tidak berbicara atau bertindak seperti itu. Jika kemudian kita menyadari “perubahan pikiran menjadi rendah hati” dalam diri kita, kita segera menjadi puas akan diri sendiri—tetapi itu adalah kesombongan atas kerendahan hati kita. Jika kita mendapati diri kita melakukan hal itu, maka kita akan sangat terkesan dengan betapa kita telah menjadi sedikit berbeda. Kerendahan hati sangat pemalu. Ketika kita mulai membicarakannya, ia pergi. Bahkan ketika kita mengajukan pertanyaan, “Apakah saya rendah hati?” itu adalah bentuk dari tidak adanya kerendahan hati. Memeriksa hati kita sendiri, sekalipun untuk kebanggaan, sering kali mengarah pada kesombongan atas ketekunan dan kehati-hatian kita.

Kerendahan hati yang kristiani bukanlah berpikir mengenai kekurangan diri, melainkan lebih sedikit memikirkan diri sendiri, seperti yang dikatakan C.S. Lewis dengan sangat mengesankan. Kerendahan hati berarti berhenti untuk selalu memperhatikan diri sendiri, bagaimana keadaan kita dan bagaimana kita diperlakukan. Kerendahan hati berarti “tindakan melupakan diri yang diberkati.”

Kerendahan hati adalah hasil sampingan dari kepercayaan pada Injil Kristus. Dalam Injil, kita memiliki keyakinan yang tidak didasarkan pada prestasi kita melainkan pada kasih Allah di dalam Kristus (Rm. 3:22-24). Ini membebaskan kita dari keharusan untuk selalu melihat diri kita sendiri. Dosa kita begitu besar sehingga hanya kematian Yesus sajalah yang bisa menyelamatkan kita. Dia harus mati untuk kita. Akan tetapi kasih-Nya kepada kita begitu besar sehingga Yesus rela mati untuk kita.

Anugerah, Bukan Kebaikan

Kita berada di tempat yang licin ketika membahas kerendahan hati, karena agama dan moralitas menghambat kerendahan hati. Merupakan hal yang umum bagi komunitas Injili untuk berbicara tentang pandangan dunia seseorang—serangkaian keyakinan dan komitmen dasar yang membentuk cara kita hidup dalam setiap hal. Kalangan yang lain lebih suka istilah “identitas naratif.” Ini adalah serangkaian jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan, “Siapakah saya? Untuk apa hidup saya? Untuk apa saya di sini? Apakah hambatan utama yang menghalangi saya dari pencapaian diri? Bagaimana saya bisa mengatasi hambatan-hambatan tersebut?”

Ada dua identitas naratif dasar yang bekerja di antara orang-orang yang mengaku Kristen. Yang pertama adalah apa yang saya sebut sebagai identitas naratif moral-performa. Ini adalah orang-orang yang dalam hatinya berkata, saya taat; karena itu saya diterima oleh Tuhan. Yang kedua adalah apa yang saya sebut sebagai identitas naratif anugerah. Prinsip dasarnya adalah, saya diterima oleh Allah melalui Kristus; karena itu saya taat.

Orang-orang yang menjalani kehidupan mereka berdasarkan dua prinsip yang berbeda ini mungkin terlihat mirip secara lahiriah. Mereka bisa saja duduk berdampingan di bangku gereja, sama-sama berjuang untuk menaati hukum Allah, berdoa, memberi persembahan dengan murah hati, menjadi anggota keluarga yang baik. Akan tetapi mereka melakukannya karena motif yang sangat berbeda, dalam semangat yang sangat berbeda, menghasilkan karakter pribadi yang sangat berbeda.

Ketika orang yang hidup dalam narasi moral-performa dikritik, mereka marah atau hancur karena mereka tidak dapat menoleransi ancaman terhadap citra diri mereka sebagai “orang baik.”

Namun di dalam Injil, identitas kita tidak dibangun di atas gambaran seperti itu, dan kita memiliki penyeimbang emosional untuk menangani kritik tanpa menyerang balik. Ketika orang yang hidup dalam narasi moral-performa mendasarkan harga diri mereka pada kerja keras atau kuat secara teologis, maka mereka harus memandang rendah orang-orang yang mereka anggap malas atau lemah secara teologis.

Namun mereka yang memahami Injil tidak mungkin memandang rendah siapa pun, karena mereka diselamatkan hanya oleh kasih karunia, bukan oleh doktrin mereka yang sempurna atau karakter moral yang kuat.

Bau Busuk Moralisme

Tanda lain dari narasi moral-performa adalah kebutuhan yang terus-menerus untuk menemukan kesalahan, memenangkan argumen, dan membuktikan bahwa semua lawan tidak hanya bersalah melainkan juga pengkhianat yang tidak jujur. Namun, ketika Injil dipahami secara mendalam, kebutuhan kita untuk memenangkan argumen dihilangkan, dan bahasa kita menjadi penuh kasih karunia. Kita tidak harus mengolok-olok lawan kita, tetapi sebaliknya kita bisa mengajak mereka berdiskusi dengan penuh rasa hormat.

Orang-orang yang hidup dalam narasi moral-performa menggunakan humor sarkastis, yang meremehkan, membenarkan diri sendiri, atau tidak memiliki selera humor sama sekali. Lewis berbicara tentang “konsentrasi tanpa senyum pada Diri Sendiri, yang merupakan tanda-tanda neraka.” Injil, bagaimanapun, menciptakan rasa ironi yang lembut. Kita menemukan banyak hal untuk ditertawakan, dimulai dari kelemahan diri kita sendiri. Kelemahan-kelemahan itu tidak lagi mengancam kita karena nilai tertinggi kita tidak didasarkan pada rekor atau performa kita.

Martin Luther memiliki pengertian yang mendasar bahwa moralisme adalah mode bawaan dari hati manusia. Bahkan orang-orang Kristen yang percaya Injil kasih karunia pada suatu level tertentu dapat terus berpikir dan bertindak seolah-olah mereka telah diselamatkan oleh perbuatan mereka. Dalam bagian “Dosa yang Sangat Besar” di buku Mere Christianity, Lewis menulis, “Jika kita mendapati bahwa kehidupan religius kita membuat kita merasa bahwa kita baik—di atas segalanya, bahwa kita lebih baik daripada orang lain—saya pikir kita bisa yakin bahwa kita sedang ditipu, bukan oleh Tuhan, tetapi oleh Iblis.”

Kerendahan hati yang penuh kasih karunia dan melupakan diri harus menjadi salah satu hal utama yang membedakan orang Kristen dari berbagai jenis orang lain yang bermoral dan baik di dunia. Akan tetapi saya pikir adalah adil untuk mengatakan bahwa kerendahan hati, yang merupakan tanda pembeda utama orang Kristen, sebagian besar telah hilang di gereja. Orang-orang yang tidak percaya, ketika mendeteksi bau busuk kemunafikan, pasti menjauh.

Beberapa orang akan berkata, “Farisi-isme dan moralisme bukanlah masalah besar budaya kita saat ini. Masalah kita adalah penyalahgunaan kebebasan dan antinomianisme. Tidak perlu berbicara tentang kasih karunia sepanjang waktu kepada orang-orang pascamodern.” Akan tetapi orang-orang pascamodern telah menolak kekristenan selama bertahun-tahun karena mereka berpikir bahwa kekristenan tidak ada bedanya dari moralisme. Hanya jika Anda menunjukkan kepada mereka bahwa ada perbedaan—bahwa yang mereka tolak bukanlah kekristenan sejati—barulah mereka akan mulai mendengarkan lagi.

Dapatkan Kerendahan Hati Anda yang Segar di Sini

Ini adalah bagian di mana penulis seharusnya memberikan solusi praktis. Saya tidak punya. Inilah alasannya.

Pertama, masalahnya terlalu besar untuk solusi praktis. Sayap gereja Injili yang paling khawatir kehilangan kebenaran dan tentang kompromi sebenarnya terkenal buruk dalam budaya kita karena merasa paling benar sendiri dan sombong. Namun, ada banyak di kalangan kita yang, sebagai reaksi terhadap apa yang mereka anggap sebagai arogansi, akhirnya mundur dari berbagai doktrin klasik Protestan (seperti Pembenaran yang bersifat Forensik dan Pendamaian Pengganti) yang penting dan tak tergantikan—serta yang merupakan materi yang terbaik untuk kerendahan hati.

Kedua, berbicara langsung tentang cara-cara praktis untuk menjadi rendah hati, baik sebagai individu maupun sebagai komunitas, akan selalu menjadi bumerang. Saya telah mengatakan bahwa sayap utama dari gereja Injili itu salah. Jadi siapa yang tersisa? Saya? Apakah saya mulai berpikir bahwa hanya kami yang sedikit ini, kami yang sedikit dan bahagia ini, yang telah mencapai keseimbangan yang sangat dibutuhkan gereja? Saya pikir saya mendengar Wormwood berbisik menyindir di telinga saya, “Ya, hanya Anda yang benar-benar dapat melihat segala sesuatu dengan jelas.”

Saya sungguh berharap saya bisa memberikan klarifikasi, atau saya tidak akan menulis tentang topik ini sama sekali. Namun tidak ada cara untuk mulai memberi tahu orang lain bagaimana menjadi rendah hati tanpa menghancurkan bagian dari kerendahan hati yang mungkin sudah mereka miliki.

Ketiga, kerendahan hati hanya dicapai sebagai hasil sampingan dari pemahaman, kepercayaan, dan kekaguman pada Injil kasih karunia. Akan tetapi Injil tidak mengubah kita secara mekanis. Baru-baru ini saya mendengar seorang sosiolog mengatakan bahwa sebagian besar kerangka makna yang dengannya kita mengarahkan hidup kita, tertanam begitu mendalam pada diri kita sehingga kerangka-kerangka tersebut bekerja “secara pra-reflektif.” Kerangka makna kita tidak hanya ada sebagai daftar proposisi, melainkan juga sebagai tema, motif, dan sikap. Ketika kita mendengarkan Injil yang dikhotbahkan atau merenungkan Kitab Suci, kita memasukkannya begitu mendalam di hati, imajinasi, dan pemikiran kita sehingga kita mulai secara naluriah “menghidupi” Injil.

Jadi marilah kita memberitakan kasih karunia sampai kerendahan hati mulai tumbuh dalam diri kita.

Tim Keller adalah pendeta dari Redeemer Presbyterian Church di Manhattan, New York, dan penulis The Reason for God.

Hak Cipta © 2008 Christianity Today. Klik untuk informasi cetak ulang.

Tautan terkait:

The Reason for God dapat dibeli di Christianbook.com dan toko buku lainnya.

Untuk artikel lebih lanjut tentang Adven, Inkarnasi, dan banyak lagi, lihat bagian spesial Natal kami.

Diterjemahkan oleh Fanni Leets.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Lima Kesalahan yang Harus Dihapus dari Khotbah Natal Anda

Jika Anda ingin menolong jemaat mamahami Natal dengan pandangan yang segar, mulailah dengan menghentikan kekeliruan umum berikut ini.

Christianity Today December 20, 2022
Abraham Bloemaert / Wikimedia Commons

Wahai para pendeta, pengkhotbah, dan pengajar Alkitab: Sudahkah Anda memikirkan tentang khotbah atau pengajaran Natal Anda? Jika Anda ingin menolong jemaat merayakan Natal tahun ini (dan setiap tahun) sesuai dengan fakta yang ada—bukan berdasarkan legenda, tradisi, atau imajinasi populer belakangan ini—mulailah dengan menghindari kesalahan umum berikut ini:

1. Jangan menambahkan detail yang tidak ada di dalam teks.

Hal ini mungkin sudah jelas tetapi tampaknya perlu diulangi karena ini sering terjadi. Semakin banyaknya kartu Natal, dekorasi pajangan seputar kelahiran Yesus, serta tayangan TV spesial Natal secara besar-besaran setiap tahunnya semakin mengabadikan detail-detail tambahan ini dan memberi kesan bahwa semua yang ditampilkan itu adalah fakta.

Dalam Injil, narasi ketika Yesus masih bayi kurang memiliki banyak detail sehingga menjadi dibuat-buat pada abad-abad berikutnya. Misalnya, narasi tersebut tidak memberi tahu kita tentang natur dari kandang yang digunakan saat Yesus lahir (tentang gua, tempat terbuka, kayu, dll.); bahkan apakah sungguh ada kandang; apakah ada hewan di sekitarnya atau tidak; atau jumlah dari orang majus. Para Magoi ini (bukan raja dan belum tentu berjumlah tiga) hampir pasti tidak tiba pada malam kelahiran Yesus seperti yang digambarkan oleh banyak pertunjukan adegan peristiwa palungan. Dan sebuah bintang tidak akan tergantung tepat di atas garis atap. Tanpa menyebutkan kandang, palungan bisa saja berada di tempat terbuka, di dalam kandang hewan dekat rumah, di dalam sebuah gua kecil, atau di area rumah yang digunakan untuk hewan.

Teks dari firman Tuhan tidak menyebutkan Maria dan/atau Yusuf menunggang keledai. Masuk akal juga jika mereka berjalan kaki dari Nazaret ke Bethlehem (70–80 mil; setidaknya 3 hari berjalan kaki dengan kecepatan stabil). Gagasan tentang Maria menunggang keledai berasal dari sebuah catatan apokrifa abad kedua (Protoevangelium of James, bab 17). Sebenarnya, di zaman kuno bukanlah hal yang tidak masuk akal bagi seorang remaja yang sedang hamil dan dengan gaya hidup yang aktif untuk melakukan perjalanan seperti itu.

Terlepas dari apa yang kita lihat di beberapa pertunjukan Natal, tidak ada penyebutan tentang pemilik penginapan (entah sebagai orang yang kejam dan berhati dingin atau yang penuh penyesalan karena kurangnya tempat yang tersedia); Lukas hanya menyebutkan bahwa tidak ada tempat di kataluma (Luk. 2:7). Makna dari Kataluma bukanlah sebuah penginapan yang profesional dan formal yang disertai dengan adanya seorang pemilik penginapan, melainkan dapat mengacu pada tempat bermalam bagi publik (seperti dalam terjemahan Yunani dari Keluaran 4:24) atau ke kamar tamu di rumah pribadi (seperti dalam Lukas 22:11).

Saat berkhotbah dan mengajar, penting bagi kita untuk berpegang teguh pada fakta yang sudah jelas. Tentu saja tidak ada yang salah dengan penggunaan imajinasi sejarah. Akan tetapi penting untuk mempertahankan perbedaan yang jelas antara pengetahuan kita terkait peristiwa yang sebenarnya dan rekonstruksi imajinatif kita terkait bagaimana peristiwa-peristiwa itu dapat terjadi. Kekristenan berakar pada fakta sejarah. Ini berlaku untuk kelahiran Yesus seperti halnya dengan penyaliban dan kebangkitan.

2. Jangan memberikan penjelasan rohani untuk praktik-praktik budaya demi membuatnya terdengar alkitabiah.

Kita senang menemukan—atau bahkan menciptakan—banyak alasan rohani untuk berbagai praktik budaya yang berkaitan dengan Natal. Misalnya, kita memberi hadiah kepada satu sama lain untuk mengingatkan diri kita tentang pemberian dari Yesus yang luar biasa kepada dunia atau pemberian orang majus kepada Yesus. Kedengarannya bagus, tetapi apakah itu alkitabiah? Atau apakah kita sebenarnya memberi hadiah karena itulah yang dilakukan orang tua kita dan yang dilakukan oleh semua orang yang kita kenal (kecuali Saksi-Saksi Yehovah, kaum sekularis fanatik, dan orang-orang yang mempertahankan kemurnian agama)? Akan menjadi orang tua seperti apa jika Anda tidak memberi sebuah hadiah (atau, dalam banyak kasus, satu ruangan penuh hadiah) Natal kepada anak Anda? Atau, bayangkan saja, jika Anda sama sekali tidak merayakan Natal (seperti kaum Puritan)? Kepercayaan-kepercayaan semacam ini sangat sedikit sekali makna rohaninya atau alkitabiahnya. Hal-hal itu hampir seluruhnya bersifat budaya. Bukan berarti semua itu salah, tetapi kita sebaiknya tidak mengarang-ngarang alasan alkitabiah untuk membenarkannya.

Contohnya sangat banyak. Apa hubungannya dekorasi pohon cemara dengan kedatangan Yesus ke bumi untuk menyelamatkan ciptaan Allah? Kita mungkin mengatakan pada diri sendiri bahwa pohon cemara adalah simbol kehidupan abadi karena selalu hijau, tetapi apakah itu benar-benar alasan untuk memasang pohon Natal setiap tahun? Demikian pula, kita dapat menunjuk lilin sebagai simbol Yesus yang adalah terang dunia, hiasan daun holly sebagai simbol mahkota duri yang diletakkan di atas kepala Yesus, warna merah sebagai simbol darah Yesus yang tertumpah di kayu salib, kayu yule sebagai lambang salib, mistletoe sebagai lambang rekonsiliasi, dan lonceng sebagai lambang untuk memberitakan kabar baik. Sekalipun kaitan dan simbol-simbol ini memang sudah ada sejak lama, itu tidak menjelaskan mengapa kita harus memasukkannya dalam perayaan Natal kita di masa kini. Jika kita jujur, seharusnya kita mengakui bahwa kita merayakan Natal dengan cara kita, terutama karena tradisi budaya kita sendiri, meskipun hanya ada sedikit keterkaitan yang nyata antara tradisi ini dan catatan-catatan alkitabiah tentang kedatangan Yesus yang sebenarnya ke dunia ini sebagai seorang bayi.

Bahaya menanamkan pemikiran rohani ke dalam praktik budaya juga terlihat dalam beberapa lagu Natal yang kita nyanyikan di gereja selama bulan Desember. Pelanggaran yang paling mencolok mungkin adalah lagu “O Christmas Tree.” Perlu usaha keras untuk menemukan makna yang berkaitan dengan Yesus di dalam bait-bait dari lagu ini. Kita seharusnya merasa tidak nyaman menyanyikan lagu ini di tengah kerumunan umat Kristen karena pada dasarnya ini adalah lagu penghormatan kepada sebuah pohon. Hanya karena lagu itu secara budaya atau tradisional diasosiasikan dengan Natal, tidak berarti kita harus memasukkannya ke dalam perayaan Natal kristiani kita.

Bahaya utamanya di sini adalah kita menampilkan praktik budaya seolah-olah memiliki bobot atau otoritas alkitabiah. Mengaburkan batas antara praktik budaya dan pengajaran alkitabiah bukan hanya tidak membantu dan membuat bingung, melainkan juga berpotensi membahayakan iman kita. Ketika kita tidak lagi membedakan mana yang alkitabiah dan mana yang kultural, kita berisiko menerima dan menyebarkan ide-ide yang sinkretis dan campur aduk, yang tidak memiliki dasar alkitabiah. Iman kita pun tidak lagi didasarkan pada kebenaran melainkan pada mitos dan legenda.

Tentu saja, tidak perlu meninggalkan semua praktik budaya ini dalam perayaan keluarga kita. Namun kita harus mempertahankan dan mengomunikasikan perbedaan yang jelas antara aspek perayaan Natal kita yang diwarisi dari budaya dan aspek yang jelas didasarkan pada Kitab Suci.

3. Jangan malu dengan keyahudian dari ayat-ayat yang berhubungan dengan kedatangan Yesus.

Dalam Lukas pasal pertama terdapat dua himne panjang yang secara tradisional disebut Magnificat (nyanyian pujian Maria dalam Lukas 1:46–56) dan Benedictus (nyanyian pujian Zakharia dalam Lukas 1:67–79). Judul dari dua perikop itu berasal dari kata pertama himne ini dalam bahasa Latin. Dua perikop ini—atau setidaknya sebagian darinya—terkadang diabaikan karena terlalu panjang dan mengungkapkan pengharapan orang Yahudi akan keselamatan Tuhan tanpa indikasi yang jelas tentang seperti apa keselamatan itu nantinya. Pembebasan ini, seperti yang kita ketahui, datang dalam rupa kematian dan kebangkitan Yesus, penyebaran Injil yang melampaui Israel dan tersebar kepada bangsa-bangsa bukan Yahudi, dan kembalinya Yesus di akhir zaman.

Magnificat merayakan bagaimana Tuhan, melalui anak dari Maria, akan memulihkan dan menolong Israel seraya melawan para musuh dan penindasnya. Benedictus menggambarkan peran Yohanes Pembaptis dalam kaitannya dengan Yesus, sang tokoh utama dalam penggenapan rencana Allah untuk memulihkan Israel. Himne ini memuji tindakan Tuhan dalam melawat dan menebus umat-Nya dengan membangkitkan Mesias keturunan Daud untuk membebaskan umat-Nya. Semua itu dilakukan dalam rangka memenuhi segala janji-Nya kepada Abraham dan umat-Nya melalui para nabi Perjanjian Lama. Pembebasan ini akan memampukan umat Tuhan untuk melayani Tuhan tanpa rasa takut dan dalam kebenaran selamanya.

Mungkin himne-himne ini terkadang diabaikan dalam khotbah Natal kita karena tidak cukup “kristiani.” Namun, pengabaian ini menimbulkan kerugian yang serius. Kedua himne tersebut menggambarkan keselamatan yang akan dihasilkan dari kedatangan Yesus ke bumi. Selama kedatangan-Nya yang pertama, Dia dengan tegas menangani dosa umat-Nya, sehingga menggenapi perikop-perikop seperti Mikha 7:18–20. Kita masih menantikan kedatangan-Nya yang kedua kali, ketika Dia akan menata segalanya dengan benar—secara politik, ekonomi, sosial, dan rohani—sekali untuk selamanya. Kita masih menunggu penggenapan yang penuh dan final dari deklarasi yang dibuat dalam Magnificat dan Benedictus. Kedua himne tersebut juga merupakan contoh yang kuat tentang bagaimana memuji Allah dengan berfokus pada sifat-sifat Dia—yaitu kuasa, kekudusan, dan belas kasihan—dan segala perbuatan-Nya dalam memenuhi janji-janji Dia di masa lampau kepada umat-Nya, di dalam dan melalui kelahiran Yesus sang Mesias.

Secara tak terpisahkan dan tak terelakkan, iman Kristen berakar dalam keimanan Yahudi. Inilah sebabnya bahkan Lukas, seorang bukan Yahudi, menggambarkan kedatangan Yesus sebagai penggenapan Perjanjian Lama (Luk. 1:1). Seperti Matius, yang menulis Injilnya terutama untuk orang Yahudi, Lukas menyampaikan tentang kedatangan Yesus dalam balutan yang sepenuhnya Yahudi. Jika kita gagal melihat iman Kristen kita berakar sejak lama dalam relasi Allah dengan umat-Nya, Israel, kemungkinan besar iman itu akan tetap dangkal dan hanya menyisakan Injil dan kanon yang terpotong bagi kita, belum lagi pemahaman yang tidak memadai tentang siapa Yesus dan mengapa Dia datang.

4. Jangan terpengaruh dengan tantangan yang meragukan terhadap kesaksian alkitabiah tentang kelahiran Yesus.

Kedua narasi kelahiran dalam Kitab Suci penuh dengan manifestasi peristiwa supernatural seputar kelahiran dari anak dara Maria: penampakan malaikat, mimpi, penglihatan, nubuatan tentang Yesus, Elisabet yang mengandung meski sudah melewati usia subur, Zakharia yang kehilangan kemampuan bicaranya, situasi seputar penamaan Yohanes dan Yesus, hubungan antara dua kelahiran tersebut, dan seterusnya. Matius, misalnya, menjelaskan bahwa Maria adalah ibu Yesus, tetapi Yusuf bukanlah ayah kandungnya. Setelah serangkaian referensi yang panjang tentang laki-laki yang “memperanakkan” anak laki-laki, Matius mengakhiri silsilahnya dengan mengacu pada “Yusuf, suami Maria, yang melahirkan Yesus, yang disebut Kristus” (Mat. 1:16), yang menunjukkan bahwa Yusuf bukanlah ayah kandung Yesus. Yesus dikandung oleh Roh Kudus di dalam rahim Maria.

Jadi jangan terintimidasi oleh keberatan kritis terhadap kelahiran dari anak dara Maria atau aspek supernatural lainnya dari kisah Natal. Ketika Anda membaca tentang penulis seperti Reza Aslan yang mengklaim bahwa cerita tentang kelahiran dan masa kanak-kanak Yesus “secara mencolok tidak ada” dari tulisan-tulisan Perjanjian Baru yang paling awal—seperti surat-surat Paulus dan Injil Markus—dan bahwa orang-orang Kristen mula-mula mengisi celah untuk menyelaraskan kehidupan Yesus dengan berbagai nubuat Perjanjian Lama, termasuk yang berkaitan dengan kelahiran-Nya, jangan khawatir. Menurut Aslan, orang-orang Kristen mula-mula mengarang mitos kelahiran Yesus di Bethlehem untuk “membawa orang tua Yesus ke Bethlehem sehingga Dia bisa dilahirkan di kota yang sama dengan Daud.” Yang lainnya, seperti Andrew Lincoln, menyangkal sejarah tentang kelahiran dari anak dara Maria dengan alasan yang sama. Kami tidak dapat menanggapi secara detail di sini, namun kami telah menanggapinya di tempat lain. Singkatnya, argumen-argumen semacam ini mencerminkan upaya yang menyesatkan untuk mengeringkan narasi alkitabiah tentang kelahiran Yesus dari unsur-unsur transendennya, dengan menggunakan penalaran kritis untuk menafsirkan kembali kejadian-kejadian supernatural dan menulis ulang narasi-narasi itu dalam istilah-istilah yang murni naturalistik.

Pada satu sisi, seperti yang telah disebutkan, mari kita berhati-hati untuk tidak menambahkan detail yang tidak relevan—meski didorong oleh tradisi, bukan penalaran kritis. Marilah kita berusaha keras untuk mempertahankan keandalan kesaksian alkitabiah tentang sifat supernatural dari kelahiran Yesus, yang tidak seperti yang lain dalam sejarah manusia. Alkitab sangat jelas, dan penelitian sejarah yang cermat pasti terbuka terhadap fakta bahwa dibutuhkan keajaiban—bahkan, serangkaian keajaiban—untuk menyelamatkan kita. Hal itu bukan hal yang membuat kita malu atau menjadi terintimidasi.

5. Jangan terjebak dalam hal-hal sepele dan melewatkan makna sebenarnya dari kelahiran Yesus.

Para cendekiawan terus memperdebatkan pertanyaan seperti tahun kelahiran Yesus, dan apakah Yesus lahir pada tanggal 25 Desember atau tidak. Mereka memperdebatkan kesejarahan sensus Kirenius, tahun kematian Herodes Agung, fenomena seputar kelahiran Yesus—bintang Betlehem—dan sejumlah masalah kronologis serta persoalan-persoalan lainnya yang terkait. Mereka juga memperdebatkan kemungkinan asal-usul Natal yang bersifat kafir, seperti misalnya apakah Natal menjadi pengganti fungsional bagi Saturnalia, festival penyembahan bangsa Romawi terhadap dewa Saturnus, dan sebagaimana disebutkan, munculnya berbagai tradisi lain yang terkait dengan perayaan Natal kita. Semua ini adalah pertanyaan menarik yang perlu ditelusuri, tetapi jangan terlalu memikirkan masalah yang kurang penting seperti itu. Alih-alih, berfokuslah pada pesan utama kedatangan Yesus yang pertama, pada kisah yang alkitabiah tentang Inkarnasi.

Siapakah Yesus, dan mengapa Dia datang? Injil Yohanes mengakarkan asal-usul Yesus dalam kekekalan masa lalu, sebagai Firman yang pada mulanya bersama Allah dan Ia sendiri berperan dalam penciptaan. Menurut Yohanes, di dalam Yesus, Allah mengunjungi dunia yang telah Ia ciptakan, tetapi dunia milik-Nya tidak menerima Dia (1:11). Sungguh tragis! Sangat tidak bisa dimaafkan! Firman itu, kata Yohanes kepada kita, menjadi daging di dalam Yesus, atau, seperti yang dikatakan Yohanes, “memasang kemah-Nya” (diam) di antara kita (1:14). Dalam tiga setengah tahun pelayanan-Nya, Yesus melatih kedua belas murid dan yang lainnya untuk menjalankan misi-Nya, membawa Injil keselamatan sampai ke ujung bumi. Kemudian, Dia mati bagi kita di kayu salib untuk membayar dosa-dosa kita dan mendamaikan kita dengan Allah. Hubungan kita yang rusak dengan Tuhan telah diperbaiki. Mereka yang percaya pada-Nya sudah dapat menikmati kepenuhan rohani yang mendalam dan koneksi yang terus-menerus dengan Dia di dunia ini dan sekarang ini, dan akan terus berlanjut hingga kekekalan.

Hal itu layak dirayakan, pada Natal dan di sepanjang tahun, dalam pujian yang penuh sukacita dan dalam kehidupan yang didedikasikan untuk kemuliaan Tuhan di tempat tertinggi yang dinyanyikan para malaikat pada malam berbintang lebih dari dua ribu tahun yang lalu.

Bacaan Terkait: Artikel Andreas J. Köstenberger dan Justin Taylor “Lima Kesalahan yang Harus Dihapus Dari Khotbah Paskah Anda.”

Andreas Köstenberger adalah Profesor Senior Riset Perjanjian Baru dan Teologi Biblika di Southeastern Baptist Theological Seminary di Wake Forest, Carolina Utara. Alex Stewart adalah Dekan Akademik dan Lektor Bahasa dan Sastra Perjanjian Baru di Tyndale Theological Seminary di Badhoevedorp, Belanda. Mereka bersama-sama menulis The First Days of Jesus: The Story of the Incarnation (Crossway, 2015).

Diterjemahkan oleh Maria Fennita S.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Gambaran Adven Bernilai Seribu Kata

Pada masa Adven ini, kita diajak untuk melihat simbol kelahiran Yesus bukan sebagai tambahan yang tidak lazim bagi kebenaran doktrinal, melainkan sebagai undangan yang kuat untuk beriman.

Christianity Today December 20, 2022
Allkindza / Getty

Setiap malam sejak berusia dua tahun, putri saya yang berusia tiga tahun menyatakan, “Saya ingin menjadi seorang gadis gembala.” Dengan handuk menutupi kepalanya, dia mengumpulkan domba-domba mainannya. Dia kemudian mengatur domba-domba itu ke padang rumput— “Hai domba kecil, ayo ke sini, makanlah” —atau mencari mereka karena tersesat. Setelah permainan selesai dan kami menyelesaikan rutinitas dia sebelum tidur, saya atau suami menidurkan dia ke tempat tidur bersama “lambie” (boneka anak domba), miliknya yang paling berharga.

Sebagai orang tua, saya melihat gambaran domba dan gembala ini sebagai cara pertama Kristus mengungkapkan diri-Nya kepada putri saya. Akan tetapi sebagai seorang sarjana teologi dan literatur abad pertengahan, saya melihatnya dengan lebih luas sebagai contoh bagaimana gambaran-gambaran dapat membantu menyampaikan Injil dari masa kuno kepada masa kini. Dengan kata lain, pemahaman kita tentang Kitab Suci seringkali bergantung pada gambaran verbal dan visual, bukan hanya pada prosa eksegetik. Hal ini terutama terjadi pada masa Adven, dengan gambarannya yang kaya dan beragam—dekorasi peristiwa kelahiran Yesus yang terbuat dari kayu lapis di halaman depan, sampul buletin yang menampilkan gembala dan malaikat, pertunjukan Natal dengan bayi yang menangis dan domba yang merangkak.

Saat kita memuridkan anak-anak kita di masa ini dan di waktu yang lainnya, kita mengajari mereka prinsip-prinsip umum untuk kehidupan sehari-hari: “Yesus mengasihimu,” “Tuhan menciptakanmu,” “Allah itu baik.” Seperti yang seharusnya. Namun kita sering lupa bahwa gambaran dan imajinasi adalah inti dari pendidikan agama. Gagasan ini berlaku tidak hanya ketika kita harus mengajar Kitab Suci kepada anak kecil, melainkan juga kepada orang dewasa. Keindahan dari gambaran verbal dan visual adalah bahwa hal-hal tersebut dapat melekat pada kita bahkan ketika kita tidak memiliki kemampuan untuk menghargai signifikansinya, karena gambaran-gambaran itu adalah “kejadian” dalam keberadaan mereka sendiri yang mengarahkan kita kepada kebenaran yang lebih tinggi.

Analoginya seperti ini: Ada perbedaan antara memecahkan kacang supaya bisa dimakan atau menanamnya supaya tumbuh. Ketika kita menganggap gambaran-gambaran itu seperti kacang yang perlu dipecahkan, kita dapat membuang kulitnya karena kita telah memakan dagingnya. Kita tidak membutuhkan ceritanya lagi karena kita sudah mendapatkan pesan moralnya: Allah itu kasih. Namun, jika sebuah cerita adalah benih, signifikansinya berkembang dari waktu ke waktu dan pada awalnya mungkin tidak dapat dipahami sepenuhnya.

Di balik paradigma ini, sebuah kisah Alkitab—baik yang bersifat historis maupun perumpamaan—perlu dinikmati dan dipahami pertama-tama sebagai sebuah cerita, karena maknanya tidak dapat direduksi menjadi sebuah pesan moral yang disederhanakan. Sebaliknya, seiring kisah atau gambaran tersebut dipahami dari waktu ke waktu, maknanya akan terungkap.

Sebagai ilustrasi, putri saya bisa menyukai gambaran dan kisah Alkitab tanpa selalu menghargai signifikansinya bagi hidup dia, tetapi ketika waktunya tepat, selama benih itu telah ditanam dengan benar dan “disirami,” maka maknanya akan terungkap seiring bertambahnya usia. Untuk saat ini, dia bermain sebagai “gadis gembala” dan mendengarkan cerita Alkitab tentang gembala dan domba yang hilang. Seiring waktu, gambaran yang kaya secara teologis ini akan menjadi benih yang bertumbuh dan berkembang.

Gambaran gembala dan domba adalah yang disebut Agustinus sebagai “tanda metaforis.” Seorang ahli retorika bisa menjadi sangat teknis tentang berbagai jenis tanda metaforis; alegori, metafora, tipologi, dan simbolisme adalah berbagai jenis tanda metaforis. Namun, ketika Agustinus berbicara tentang tanda-tanda metaforis, ia berbicara tentang sesuatu yang lebih mendasar yang memengaruhi cara yang diperlukan oleh seorang penafsir ketika melakukan pendekatan dalam membaca. “Sejauh menyangkut tanda-tanda metaforis …,” tulis Agustinus, “di mana pun pembaca menemukan diri mereka terjebak karena ketidaktahuan, mereka perlu menyelidikinya sebagian dengan pengetahuan bahasa, sebagian dengan pengetahuan tentang berbagai hal.”

Jika kita menerapkan prinsip ini pada metafora gembala dan domba di dalam Kitab Suci, maka menafsirkan ayat-ayat ini membutuhkan pembelajaran tentang gembala yang sebenarnya, domba yang sebenarnya, dan keadaan historis seputar penggembalaan. Bahkan orang yang mengerti bahasa Ibrani dan Yunani dengan sangat baik pun tidak dapat memahami gambaran tentang domba dan gembala tanpa mengetahui sesuatu tentang domba dan gembala yang sebenarnya.

Sebagai contoh, kita semua, baik para pakar maupun orang awam, perlu mengetahui bahwa penggembalaan bukanlah pekerjaan yang terhormat di dunia kuno dan sering diturunkan ke anak bungsu. Kita perlu tahu bahwa itu adalah pekerjaan yang biasa dan membosankan. Daud menggembalakan domba. Musa. Yakub dan putra-putranya. Ishak. Rahel. Abraham. Habel. Sebagai pembaca yang mengetahui akhir cerita, mudah untuk berpikir bahwa mereka menjalankan profesi yang terhormat di dunia kuno, tetapi itu karena Kitab Suci telah memupuk imajinasi budaya kita. Sekarang kita perlu melihat bagaimana wawasan biblikal ini di masa lalu dan sekarang menjadi kontra budaya.

Kita juga perlu tahu bahwa fokus Kitab Suci kepada para gembala seringkali menyangkut mereka yang belum melakukan tugasnya. Para nabi di sepanjang Perjanjian Lama mencela prevalensi penggembalaan yang tidak setia yang mengakibatkan para domba tercerai-berai (2Taw. 18:16; 1Raj. 22:17; Yeh. 34:5; Yer. 10:21; Yeh. 34:5–6 dan 21; Yer. 23:1–2; Zak. 13:7; Yes. 13:14). Dengan mengingat latar belakang Alkitab ini, tidaklah mengherankan jika Kristus sering digambarkan sebagai Gembala yang Baik, yang melihat para domba yang tercerai-berai dan berbelas kasihan (Mat. 9:36, Mrk. 14:27, Mat. 26:31, Yoh. 10:12).

Singkatnya: Ketika kita memahami gambaran-gambaran biblikal sebagai kejadian dalam sejarah dan dunia, maka kita mulai memahami kata-kata Kitab Suci, menurut Agustinus.

Ketika saya pertama kali menyadari pentingnya kata-kata Agustinus saat kuliah pascasarjana, saya awalnya kagum, dan kemudian mulai putus asa. Saya kagum karena berpikir bahwa Tuhan telah memilih gambaran yang berhubungan dengan sebagian besar orang di sepanjang sejarah: air, kebun, gandum dan rumput liar, anggur, lilin, minyak, pernikahan, peternakan, dan membangun bangunan. Saya putus asa karena menyadari bahwa kebanyakan dari kita yang hidup dalam masyarakat Barat modern tidak dapat memahami banyak metafora pertanian dalam Kitab Suci, dan hampir semua metafora pernikahan juga sulit untuk dipahami. Membaca buku Wendell Berry (untuk yang pertama) dan menghadiri semua seminar pernikahan di dunia (untuk yang kedua) tidaklah cukup untuk menyelesaikan masalah ini.

Kemudian saya melihat putri saya bermain peran sebagai “gadis gembala.” Tentu saja, aktingnya tidak sama dengan apa yang dilakukan seorang anak gembala di dunia nyata. Meskipun demikian, Tuhan telah memberinya imajinasi yang memungkinkan dia untuk memahami hal ini sampai taraf tertentu sehingga suatu hari nanti, ketika dia sudah cukup dewasa, dia dapat menyingkap maknanya bagi hidup dia. Saya juga kagum dengan kesadaran ini: Tuhan telah memberi manusia kemampuan untuk membayangkan dan memerankan hal-hal yang belum pernah kita alami, dan kuasa Firman-Nya muncul melalui imajinasi tersebut.

“Kamu siapa?” Saya bertanya kepada putri saya ketika suatu malam dia meletakkan handuk di atas kepalanya. “Saya Maria,” jawabnya sambil mengumpulkan domba-domba mainannya lagi. Saya menduga dia berpikir bahwa Maria memakai tutup kepala seperti gembala dan kemudian menganggap bahwa Maria adalah seorang gadis gembala. Saya tidak mengoreksinya. Imajinasi dia, seperti imajinasi saya, perlu dibentuk seiring waktu.

Untuk saat ini dia terutama melihat sisi pengasuhan seorang gadis gembala yang mengasuh anak dombanya dengan memberi makanan dan menidurkannya. Namun saya berharap suatu hari nanti dia juga akan melihat kerendahan hati yang diperlukan untuk mengatakan ya kepada Tuhan, bahkan ketika itu berarti dunia membencinya. Karena baik para gembala maupun Maria dibenci oleh dunia. Para gembala dibenci karena profesi mereka yang hina, dan Maria dibenci karena dunia menganggap dia telah berdosa padahal dia tidak melakukannya. Mereka tidak ditunjuk sebagai pemimpin agama atau politik, tetapi Tuhan memakai mereka, karena ketika Ia berbicara, mereka mendengarkan. Saya berdoa kiranya putri saya akan mendengarkan juga.

Pada masa Adven dan Natal ini, kita diundang untuk melihat gambaran-gambaran kelahiran Yesus bukan sebagai tambahan yang tidak lazim bagi kebenaran doktrinal, melainkan sebagai undangan untuk membentuk dan mereformasi imajinasi kita. Kita dapat bergabung dengan anak-anak kecil dalam kesukaan mereka terhadap gambaran-gambaran dari kisah Natal tanpa terburu-buru untuk menafsirkan. Dan kita dapat melambat dan menikmati pengulangannya, menanti untuk mendengar apa yang ingin Tuhan katakan kepada kita, seperti Maria.

Lesley-Anne Dyer Williams adalah lektor sastra dan bahasa Latin serta direktur Liberal Arts Guild di Universitas LeTourneau. Dia memiliki gelar master filsafat dalam studi teologi dan agama dari Universitas Cambridge dan PhD dalam studi abad pertengahan dari Universitas Notre Dame.

Diterjemahkan oleh Denny Pranolo.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Undangan Inkarnasi

Renungan Adven, 20 Desember 2022.

Kumpulan Renungan Adven 2022.

Kumpulan Renungan Adven 2022.

Christianity Today December 20, 2022
Stephen Crotts

Minggu 4: Imanuel


Saat kita berjalan menyelami peristiwa-peristiwa seputar Kelahiran Yesus, kita merenungkan Inkarnasi. Yesus—Allah yang Perkasa, Raja Damai, Terang Dunia—menjadi manusia dan tinggal di antara kita. Seperti yang dinubuatkan Yesaya, Ia berarti ”Allah beserta kita.” Yesus adalah Imanuel.

Dan berbahagialah ia, yang telah percaya, sebab apa yang dikatakan kepadanya dari Tuhan, akan terlaksana. LUKAS 1:45

Beberapa interupsi dalam hidup sama mengganggunya ketika melakukan perjalanan, terutama dengan kelelahan dan mual di pagi hari yang sering menyertai awal kehamilan. Perjalanan Maria dari Nazaret ke pegunungan di Yehuda tidaklah mudah maupun aman. Namun, dikuatkan oleh imannya, sambil tetap membutuhkan dukungan, Maria tetap melakukan perjalanan itu meski dalam keadaan hamil, miskin, dan mungkin juga bingung. Mengapa membuat pilihan untuk tetap pergi?

Gabriel telah memberi tahu Maria bahwa kerabatnya, Elisabet, juga menantikan lahirnya seorang anak—suatu mukjizat bagi seorang wanita yang telah lanjut usia. Menyadari bahwa Elisabet adalah satu-satunya orang di bumi yang mungkin mengerti apa yang sedang dialaminya, Maria pun mendatangi dia. Dan sewaktu Maria tiba, Elisabet memberikan penegasan tepat seperti yang dibutuhkan Maria: “Diberkatilah engkau di antara semua perempuan, dan diberkatilah buah rahimmu!” Elisabet memuji Maria atas tanggapan imannya. Dengan kata-kata itu, saya membayangkan ketakutan Maria terkait dengan kehamilannya yang tak terduga beserta konsekuensi yang tak diketahui bagi hidupnya, memudar, dan berubah menjadi iman yang lebih besar.

Dorongan Elisabet mengingatkan Maria bahwa interupsi Tuhan atas rencananya juga merupakan sebuah undangan—tidak hanya untuk mengandung dan melahirkan Imanuel, “Tuhan beserta kita,” tetapi juga untuk menjadi bagian komunitas yang lebih dalam, “kita bersama kita.” Diteguhkan oleh ucapan Elisabet, Maria merespons dengan nyanyian pujian. Lalu ia merefleksikan undangan ini ke dalam pemahaman yang saling bergantung satu sama lain dalam kata-kata penutup dari nyanyian pujiannya: “Ia menolong Israel, hamba-Nya, karena Ia mengingat rahmat-Nya, seperti yang dijanjikan-Nya kepada nenek moyang kita, kepada Abraham dan keturunannya untuk selama-lamanya.” Dalam kegembiraannya, Maria merenungkan bagaimana Tuhan yang sama yang “berbicara kepada nenek moyang kita” pada zaman Abraham dahulu, sekarang telah berbicara kepadanya dan kepada Elisabet.

Maria percaya kepada “Tuhan beserta kita,” dan dia mengiyakan sewaktu Gabriel menampakkan diri kepadanya. Namun imannya masih tetap memerlukan pemeliharaan. Inkarnasi berarti interupsi besar dalam hidup Maria; hal itu memang indah, ya, namun juga berat. Sesuatu sedang terjadi padanya, yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah dunia, dan dia membutuhkan dukungan dan pertolongan untuk menerima dan mempersiapkannya.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Jadi dia berpaling kepada Elisabet yang setia. Kita hanya bisa membayangkan bagaimana Maria dikuatkan saat mendengar ucapan berkat dari Elisabet. Bahkan menurut saya, kita tidak akan memiliki nyanyian pujian Maria tanpa kata-kata penguatan dari Elisabet.

Itulah kekuatan dari saling bergantung, oleh iman dalam komunitas. Dalam masyarakat kita yang individualistis, membuka diri untuk diberkati oleh orang lain seringkali sulit untuk dilakukan. Kita dikondisikan untuk mempertimbangkan kemungkinan bahaya yang merusak lebih dari potensi komunitas yang menolong. Akan tetapi kenyataannya adalah, seperti Maria, kita semua membutuhkan dorongan seperti yang diberikan Elisabet. Inkarnasi adalah interupsi dan undangan untuk mengenal “Tuhan beserta kita” dan juga untuk merangkul “kita bersama kita.”

Rasool Berry melayani sebagai pendeta pengajar di The Bridge Church di Brooklyn, New York. Dia juga pembawa acara siniar Where Ya From?.

Renungkan Lukas 1:39–56.


Kebenaran apa yang Anda lihat dalam perikop ini tentang Yesus—Tuhan beserta kita? Bagaimana kata-kata Elisabet dan perannya dalam kehidupan Maria juga berbicara kepada Anda tentang sifat iman “kita bersama kita”?

Diterjemahkan oleh Catharina Pujianto.

Dua Puluh Artikel Terpopuler Tahun 2022 di Situs Web Christianity Today Indonesia

Drama keluarga membantu saya melihat kedaulatan Tuhan di masa pandemi, perang di Ukrania dan gereja lokal, teologi doa kita lebih penting daripada perasaan kita

Christianity Today December 20, 2022
Illustration by Christianity Today

In this series

Ingin tahu artikel apa saja yang paling banyak dibaca di situs web Christianity Today bahasa Indonesia sepanjang tahun 2022? Berikut ini daftarnya:

20.

19.

18.

17.

16.

15.

14.

13.

12.

11.

10.

9.

8.

7.

6.

5.

4.

3.

2.

1.

Lihat daftar artikel akhir tahun 2022 kami di sini.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Telegram.

Paradoks yang Indah

Renungan Adven, 19 Desember 2022.

Kumpulan Renungan Adven 2022.

Kumpulan Renungan Adven 2022.

Christianity Today December 19, 2022
Stephen Crotts

Minggu 4: Imanuel


Saat kita berjalan menyelami peristiwa-peristiwa seputar Kelahiran Yesus, kita merenungkan Inkarnasi. Yesus—Allah yang Perkasa, Raja Damai, Terang Dunia—menjadi manusia dan tinggal di antara kita. Seperti yang dinubuatkan Yesaya, Ia berarti ”Allah beserta kita.” Yesus adalah Imanuel.

Sesungguhnya engkau akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaklah engkau menamai Dia Yesus. Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi. LUKAS 1:31–32

Konsep abstrak mengenai kekuatan mengingatkan kita akan gempa bumi dan badai petir atau mungkin para presiden dan miliarder. Kekuatan yang besar bisa menghentikan kita di jalur yang kita jalani, membuat kita memperhatikan apa pun atau siapa pun yang menggunakannya. Akan tetapi, hanya sedikit dari kita yang mengaitkan kekuatan dengan rahim. Namun rahim Maria membawa sebuah kekuatan sejati, yang tersembunyi dalam kegelapan, yang tak terlihat, yang sulit dibayangkan.

Di sini kita menemukan salah satu paradoks yang paling indah dari iman Kristen: Roh Kudus melahirkan seorang bayi laki-laki kecil di dalam rahim perempuan ini, darah dagingnya sendiri, putra sulungnya; bayi laki-laki yang sama ini tak lain adalah Putra Allah, yang diidentifikasi sebagai “Anak Allah Yang Mahatinggi.”

Jadi, apakah Yesus putra Maria atau Putra Allah? Manusia atau ilahi? Ya! Keduanya benar dalam satu pribadi, dalam diri bayi laki-laki ini. Kita dapat membayangkan Tuhan membawa keselamatan, atau kita mungkin membayangkan seorang manusia melakukan hal-hal revolusioner dengan heroik. Akan tetapi dapatkah kita membayangkan satu pribadi yang sepenuhnya Allah dan sepenuhnya manusia pada saat yang sama, tanpa mengorbankan integritas keduanya? Ini benar-benar paradoks yang indah—paradoks di pusat keselamatan manusia.

Kekuatan ini bukanlah kekuatan yang terekspos dan tak terbatas yang diabstraksikan dari segala definisi, melainkan dari belas kasih Tuhan yang kekal, mulia, dan suci, yang hadir dalam rupa manusia. Kekuatan-Nya mengambil rupa kelemahan dalam solidaritas ilahi dengan umat manusia, yang semua itu didorong oleh kasih-Nya yang suci.

Malaikat itu memberitakan peristiwa yang mulia kepada Maria—dan kepada kita. Yesus memperoleh kemanusiaan sejati-Nya dari Maria, menjadi sama seperti kita dalam segala hal kecuali bahwa Ia menolak dosa (Ibr. 4:15). Namun putra Maria itu telah ada sebelum Maria, karena Dialah Putra Allah yang kekal yang, sebagaimana dinyatakan dalam Pengakuan Iman Nicea, adalah “Allah dari Allah.” Dengan memiliki kodrat Allah yang kekal, Sang Anak datang dengan Roh dari Bapa. Ia tidak pernah berhenti menjadi Allah yang Perkasa, namun Ia benar-benar menjadi sesuatu yang bukan Dia: seorang manusia yang sederhana. Yesus—Allah sejati dan manusia sejati.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Seperti yang ditulis oleh Leo I (400–461) dalam sebuah surat, mengomentari inkarnasi Sang Putra Allah, “Hal yang Ia lakukan adalah untuk meningkatkan kemanusiaan bukan mengurangi keilahian. Melalui pengosongan diri-Nya, yang Tak Terlihat menyatakan diri-Nya, Pencipta dan Tuhan dari segala sesuatu memilih untuk diperhitungkan di antara manusia. Pengosongan diri-Nya ini mendekat dalam belas kasihan, bukan dalam kegagalan kekuasaan.” Dari rahim Maria datanglah Sang Raja Penyelamat, yang “Kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan.” Kiranya kita, seperti Maria, merespons sebagai “hamba Tuhan,” yang bersedia mempercayai Tuhan Yang Mahakuasa yang sangat mengasihi ciptaan-Nya begitu rupa sehingga bersedia tinggal di dalam ciptaan-Nya dengan menjadi manusia, dan dengan demikian membawa kehidupan baru ke dunia. Keilahian dan kemanusiaan-Nya yang sejati menyatakan kuasa-Nya, dan Dia memberi tahu kita, “Jangan takut.”

Kelly M. Kapic adalah seorang teolog di Covenant College dan penulis atau editor dari banyak buku, termasuk Embodied Hope dan You’re Only Human.

Renungkan Lukas 1:26–38.


Apa yang paling mengejutkan Anda dalam pesan Gabriel? Bagaimana Anda ingin menanggapi Yesus dan paradoks indah dari inkarnasi-Nya?

Diterjemahkan oleh Helen Emely.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube