Setiap malam sejak berusia dua tahun, putri saya yang berusia tiga tahun menyatakan, “Saya ingin menjadi seorang gadis gembala.” Dengan handuk menutupi kepalanya, dia mengumpulkan domba-domba mainannya. Dia kemudian mengatur domba-domba itu ke padang rumput— “Hai domba kecil, ayo ke sini, makanlah” —atau mencari mereka karena tersesat. Setelah permainan selesai dan kami menyelesaikan rutinitas dia sebelum tidur, saya atau suami menidurkan dia ke tempat tidur bersama “lambie” (boneka anak domba), miliknya yang paling berharga.
Sebagai orang tua, saya melihat gambaran domba dan gembala ini sebagai cara pertama Kristus mengungkapkan diri-Nya kepada putri saya. Akan tetapi sebagai seorang sarjana teologi dan literatur abad pertengahan, saya melihatnya dengan lebih luas sebagai contoh bagaimana gambaran-gambaran dapat membantu menyampaikan Injil dari masa kuno kepada masa kini. Dengan kata lain, pemahaman kita tentang Kitab Suci seringkali bergantung pada gambaran verbal dan visual, bukan hanya pada prosa eksegetik. Hal ini terutama terjadi pada masa Adven, dengan gambarannya yang kaya dan beragam—dekorasi peristiwa kelahiran Yesus yang terbuat dari kayu lapis di halaman depan, sampul buletin yang menampilkan gembala dan malaikat, pertunjukan Natal dengan bayi yang menangis dan domba yang merangkak.
Saat kita memuridkan anak-anak kita di masa ini dan di waktu yang lainnya, kita mengajari mereka prinsip-prinsip umum untuk kehidupan sehari-hari: “Yesus mengasihimu,” “Tuhan menciptakanmu,” “Allah itu baik.” Seperti yang seharusnya. Namun kita sering lupa bahwa gambaran dan imajinasi adalah inti dari pendidikan agama. Gagasan ini berlaku tidak hanya ketika kita harus mengajar Kitab Suci kepada anak kecil, melainkan juga kepada orang dewasa. Keindahan dari gambaran verbal dan visual adalah bahwa hal-hal tersebut dapat melekat pada kita bahkan ketika kita tidak memiliki kemampuan untuk menghargai signifikansinya, karena gambaran-gambaran itu adalah “kejadian” dalam keberadaan mereka sendiri yang mengarahkan kita kepada kebenaran yang lebih tinggi.
Analoginya seperti ini: Ada perbedaan antara memecahkan kacang supaya bisa dimakan atau menanamnya supaya tumbuh. Ketika kita menganggap gambaran-gambaran itu seperti kacang yang perlu dipecahkan, kita dapat membuang kulitnya karena kita telah memakan dagingnya. Kita tidak membutuhkan ceritanya lagi karena kita sudah mendapatkan pesan moralnya: Allah itu kasih. Namun, jika sebuah cerita adalah benih, signifikansinya berkembang dari waktu ke waktu dan pada awalnya mungkin tidak dapat dipahami sepenuhnya.
Di balik paradigma ini, sebuah kisah Alkitab—baik yang bersifat historis maupun perumpamaan—perlu dinikmati dan dipahami pertama-tama sebagai sebuah cerita, karena maknanya tidak dapat direduksi menjadi sebuah pesan moral yang disederhanakan. Sebaliknya, seiring kisah atau gambaran tersebut dipahami dari waktu ke waktu, maknanya akan terungkap.
Sebagai ilustrasi, putri saya bisa menyukai gambaran dan kisah Alkitab tanpa selalu menghargai signifikansinya bagi hidup dia, tetapi ketika waktunya tepat, selama benih itu telah ditanam dengan benar dan “disirami,” maka maknanya akan terungkap seiring bertambahnya usia. Untuk saat ini, dia bermain sebagai “gadis gembala” dan mendengarkan cerita Alkitab tentang gembala dan domba yang hilang. Seiring waktu, gambaran yang kaya secara teologis ini akan menjadi benih yang bertumbuh dan berkembang.
Gambaran gembala dan domba adalah yang disebut Agustinus sebagai “tanda metaforis.” Seorang ahli retorika bisa menjadi sangat teknis tentang berbagai jenis tanda metaforis; alegori, metafora, tipologi, dan simbolisme adalah berbagai jenis tanda metaforis. Namun, ketika Agustinus berbicara tentang tanda-tanda metaforis, ia berbicara tentang sesuatu yang lebih mendasar yang memengaruhi cara yang diperlukan oleh seorang penafsir ketika melakukan pendekatan dalam membaca. “Sejauh menyangkut tanda-tanda metaforis …,” tulis Agustinus, “di mana pun pembaca menemukan diri mereka terjebak karena ketidaktahuan, mereka perlu menyelidikinya sebagian dengan pengetahuan bahasa, sebagian dengan pengetahuan tentang berbagai hal.”
Jika kita menerapkan prinsip ini pada metafora gembala dan domba di dalam Kitab Suci, maka menafsirkan ayat-ayat ini membutuhkan pembelajaran tentang gembala yang sebenarnya, domba yang sebenarnya, dan keadaan historis seputar penggembalaan. Bahkan orang yang mengerti bahasa Ibrani dan Yunani dengan sangat baik pun tidak dapat memahami gambaran tentang domba dan gembala tanpa mengetahui sesuatu tentang domba dan gembala yang sebenarnya.
Sebagai contoh, kita semua, baik para pakar maupun orang awam, perlu mengetahui bahwa penggembalaan bukanlah pekerjaan yang terhormat di dunia kuno dan sering diturunkan ke anak bungsu. Kita perlu tahu bahwa itu adalah pekerjaan yang biasa dan membosankan. Daud menggembalakan domba. Musa. Yakub dan putra-putranya. Ishak. Rahel. Abraham. Habel. Sebagai pembaca yang mengetahui akhir cerita, mudah untuk berpikir bahwa mereka menjalankan profesi yang terhormat di dunia kuno, tetapi itu karena Kitab Suci telah memupuk imajinasi budaya kita. Sekarang kita perlu melihat bagaimana wawasan biblikal ini di masa lalu dan sekarang menjadi kontra budaya.
Kita juga perlu tahu bahwa fokus Kitab Suci kepada para gembala seringkali menyangkut mereka yang belum melakukan tugasnya. Para nabi di sepanjang Perjanjian Lama mencela prevalensi penggembalaan yang tidak setia yang mengakibatkan para domba tercerai-berai (2Taw. 18:16; 1Raj. 22:17; Yeh. 34:5; Yer. 10:21; Yeh. 34:5–6 dan 21; Yer. 23:1–2; Zak. 13:7; Yes. 13:14). Dengan mengingat latar belakang Alkitab ini, tidaklah mengherankan jika Kristus sering digambarkan sebagai Gembala yang Baik, yang melihat para domba yang tercerai-berai dan berbelas kasihan (Mat. 9:36, Mrk. 14:27, Mat. 26:31, Yoh. 10:12).
Singkatnya: Ketika kita memahami gambaran-gambaran biblikal sebagai kejadian dalam sejarah dan dunia, maka kita mulai memahami kata-kata Kitab Suci, menurut Agustinus.
Ketika saya pertama kali menyadari pentingnya kata-kata Agustinus saat kuliah pascasarjana, saya awalnya kagum, dan kemudian mulai putus asa. Saya kagum karena berpikir bahwa Tuhan telah memilih gambaran yang berhubungan dengan sebagian besar orang di sepanjang sejarah: air, kebun, gandum dan rumput liar, anggur, lilin, minyak, pernikahan, peternakan, dan membangun bangunan. Saya putus asa karena menyadari bahwa kebanyakan dari kita yang hidup dalam masyarakat Barat modern tidak dapat memahami banyak metafora pertanian dalam Kitab Suci, dan hampir semua metafora pernikahan juga sulit untuk dipahami. Membaca buku Wendell Berry (untuk yang pertama) dan menghadiri semua seminar pernikahan di dunia (untuk yang kedua) tidaklah cukup untuk menyelesaikan masalah ini.
Kemudian saya melihat putri saya bermain peran sebagai “gadis gembala.” Tentu saja, aktingnya tidak sama dengan apa yang dilakukan seorang anak gembala di dunia nyata. Meskipun demikian, Tuhan telah memberinya imajinasi yang memungkinkan dia untuk memahami hal ini sampai taraf tertentu sehingga suatu hari nanti, ketika dia sudah cukup dewasa, dia dapat menyingkap maknanya bagi hidup dia. Saya juga kagum dengan kesadaran ini: Tuhan telah memberi manusia kemampuan untuk membayangkan dan memerankan hal-hal yang belum pernah kita alami, dan kuasa Firman-Nya muncul melalui imajinasi tersebut.
“Kamu siapa?” Saya bertanya kepada putri saya ketika suatu malam dia meletakkan handuk di atas kepalanya. “Saya Maria,” jawabnya sambil mengumpulkan domba-domba mainannya lagi. Saya menduga dia berpikir bahwa Maria memakai tutup kepala seperti gembala dan kemudian menganggap bahwa Maria adalah seorang gadis gembala. Saya tidak mengoreksinya. Imajinasi dia, seperti imajinasi saya, perlu dibentuk seiring waktu.
Untuk saat ini dia terutama melihat sisi pengasuhan seorang gadis gembala yang mengasuh anak dombanya dengan memberi makanan dan menidurkannya. Namun saya berharap suatu hari nanti dia juga akan melihat kerendahan hati yang diperlukan untuk mengatakan ya kepada Tuhan, bahkan ketika itu berarti dunia membencinya. Karena baik para gembala maupun Maria dibenci oleh dunia. Para gembala dibenci karena profesi mereka yang hina, dan Maria dibenci karena dunia menganggap dia telah berdosa padahal dia tidak melakukannya. Mereka tidak ditunjuk sebagai pemimpin agama atau politik, tetapi Tuhan memakai mereka, karena ketika Ia berbicara, mereka mendengarkan. Saya berdoa kiranya putri saya akan mendengarkan juga.
Pada masa Adven dan Natal ini, kita diundang untuk melihat gambaran-gambaran kelahiran Yesus bukan sebagai tambahan yang tidak lazim bagi kebenaran doktrinal, melainkan sebagai undangan untuk membentuk dan mereformasi imajinasi kita. Kita dapat bergabung dengan anak-anak kecil dalam kesukaan mereka terhadap gambaran-gambaran dari kisah Natal tanpa terburu-buru untuk menafsirkan. Dan kita dapat melambat dan menikmati pengulangannya, menanti untuk mendengar apa yang ingin Tuhan katakan kepada kita, seperti Maria.
Lesley-Anne Dyer Williams adalah lektor sastra dan bahasa Latin serta direktur Liberal Arts Guild di Universitas LeTourneau. Dia memiliki gelar master filsafat dalam studi teologi dan agama dari Universitas Cambridge dan PhD dalam studi abad pertengahan dari Universitas Notre Dame.
Diterjemahkan oleh Denny Pranolo.
–