50 Negara Tersulit bagi Pengikut Yesus di Tahun 2023

Laporan terbaru tentang penganiayaan terhadap orang Kristen melaporkan Nigeria dan Afrika Sub-Sahara sebagai pusat kekerasan jihadis, sementara Tiongkok memimpin upaya-upaya untuk mendefinisikan kembali hak-hak beragama.

Penganiayaan orang Kristen terburuk terjadi di 50 negara ini, menurut World Watch List Open Doors 2023, sekarang di tahun ke-30.

Penganiayaan orang Kristen terburuk terjadi di 50 negara ini, menurut World Watch List Open Doors 2023, sekarang di tahun ke-30.

Christianity Today January 18, 2023
Illustration by Mallory Rentsch / Source Image: Benne Ochs / Getty Images

Lebih dari 5.600 orang Kristen dibunuh karena iman mereka tahun lalu. Lebih dari 2.100 gereja diserang atau ditutup.

Lebih dari 124.000 orang Kristen terpaksa keluar dari rumah karena iman mereka, dan hampir 15.000 menjadi pengungsi.

Afrika Sub-Sahara, pusat kekristenan global, sekarang juga menjadi pusat kekerasan terhadap umat Kristen, karena ekstremisme Islam telah menyebar jauh ke luar Nigeria.

Lalu Korea Utara kembali ke No. 1, menurut World Watch List (WWL) tahun 2023, yang merupakan penelitian tahunan terbaru dari Open Doors yang mendaftarkan 50 negara teratas yang paling berbahaya dan tersulit bagi orang Kristen.

Jumlah kematian secara martir dan penyerangan gereja sebenarnya lebih rendah dari laporan tahun lalu. Namun Open Doors menekankan bahwa itu adalah “angka minimum absolut,” dan segera memberi catatan bahwa penurunan data tidak menunjukkan peningkatan nyata dalam kebebasan beragama.

Misalnya, berkurangnya penutupan gereja “sebagian besar disebabkan” oleh pejabat Tiongkok yang telah menutup hampir 7.000 gereja selama dua tahun sebelumnya. Kemudian turunnya peringkat Afganistan dari No. 1 tahun lalu ke No. 9 tahun ini “menawarkan sedikit keceriaan” karena didorong oleh bagaimana sebagian besar orang Kristen Afganistan “pergi jauh ke berbagai tempat persembunyian atau melarikan diri ke luar negeri” setelah pengambilalihan oleh Taliban.

Secara keseluruhan, dan sama seperti tahun lalu, 360 juta orang Kristen hidup di negara-negara dengan tingkat penganiayaan atau diskriminasi yang tinggi. Ini berarti 1 dari 7 orang Kristen di seluruh dunia, termasuk 1 dari 5 orang percaya di Afrika, 2 dari 5 di Asia, dan 1 dari 15 di Amerika Latin.

Lalu, untuk ketiga kalinya dalam tiga dekade pelacakan, semua 50 negara mencetak skor cukup tinggi untuk masuk dalam daftar tingkat penganiayaan “sangat tinggi” pada matriks Open Doors yang berisi lebih dari 80 pertanyaan. Begitu pula 5 negara lagi yang berada tepat di luar ambang batas.

Ekstremisme Islam terus menyebabkan penganiayaan terbanyak (31 negara), terutama di Afrika sub-Sahara di mana Open Doors khawatir Nigeria akan segera memicu “bencana kemanusiaan yang luas” di seluruh benua tersebut. Para peneliti juga mencatat bagaimana Tiongkok telah meningkatkan pembatasan dan pengawasan digital serta “menjalin jaringan dengan negara-negara yang berusaha untuk mendefinisikan kembali hak asasi manusia—menjauh dari standar universal dan kebebasan beragama.” Kemudian, negara Amerika Latin keempat, Nikaragua, masuk dalam daftar karena pemerintah yang otoriter semakin memandang orang Kristen sebagai suara oposisi.

Tujuan dibuatnya peringkat tahunan WWL—yang mencatat sejarah munculnya para pesaing Korea Utara seiring bertambah parahnya persekusi—adalah untuk memandu umat Kristen agar berdoa lebih spesifik dan mengarahkan amarah terhadap persekusi agar menjadi lebih efektif, sambil menunjukkan kepada orang percaya yang teraniaya bahwa mereka tidak dilupakan.

Pelaporan WWL versi 2023 menelusuri periode waktu dari 1 Oktober 2021 hingga 30 September 2022, dan disusun dari laporan akar rumput oleh lebih dari 4.000 pekerja Open Doors di lebih dari 60 negara.

Laporan ini juga menandai 30 tahun daftar tersebut, yang pertama kali dibuat pada tahun 1993 setelah negeri Tirai Besi mengalami kejatuhan. Apa yang telah dipelajari Open Doors?

Pertama, jelas bahwa penganiayaan terus memburuk. Jumlah negara yang mencapai ambang batas penelusuran WWL telah meningkat dari 40 pada tahun 1993 menjadi 76 saat ini, dan nilai rata-rata negara telah naik 25 persen.

Namun ancaman terbesar bagi gereja bukanlah dari luar melainkan dari dalam, demikian ungkap Frans Veerman, direktur pelaksana penelitian Open Doors. Dan firman dalam 1 Korintus 12 berarti tidak ada orang percaya yang harus menderita sendirian.

“Ancaman terbesar bagi kekristenan,” kata beliau, “yaitu bahwa penganiayaan menyebabkan isolasi, dan jika terus berlangsung tanpa henti dapat menyebabkan hilangnya harapan.”

Sementara kekerasan dan tekanan menyebabkan trauma dan kehilangan yang signifikan, Veerman mencatat betapa “sangat banyak responden kuesioner kami terus mengatakan bahwa ancaman terbesar tidak datang dari luar tetapi dari dalam gereja: ‘Akankah generasi berikutnya dipersiapkan untuk menghadapi penganiayaan yang sama seperti yang kita saksikan? Apakah mereka kuat dalam iman dan dalam pengenalan akan Kristus serta Injil?’”

“Hal ini menunjukkan bahwa tingkat ketangguhan gereja menentukan masa depan gereja di suatu negara sebagaimana halnya tingkat penganiayaan,” katanya. “Jadi ancaman terbesar bagi gereja di negara-negara dengan penganiayaan adalah berkurangnya ketahanan yang disebabkan oleh penganiayaan yang bertubi-tubi dan perasaan ditinggalkan oleh seluruh tubuh Kristus.”

Setelah melakukan penelitian selama tiga dekade, Open Doors telah mempelajari bahwa ketahanan yang dibutuhkan seperti itu ditemukan dengan “berlabuh di dalam Firman Tuhan dan doa,” kata Veerman. Juga dengan menjadi “berani,” karena gereja yang teraniaya paling sering “aktif dalam menyebarkan Injil” dan “sangat giat dan bertumbuh melawan berbagai rintangan.”

Singkatnya, gereja yang teraniaya telah mengajarkan Open Doors kebenaran dari 1 Korintus 12:26 yaitu “Karena itu jika satu anggota menderita, semua anggota turut menderita; jika satu anggota dihormati, semua anggota turut bersukacita.”

https://datawrapper.dwcdn.net/u1zaK

Di mana orang Kristen mengalami persekusi terberat saat ini?

Afganistan tidak mewakili satu-satunya perubahan yang substansial dalam peringkat tahun ini. Kuba pindah peringkat ke No. 27, naik dari No. 37, karena intensifikasi taktik represif terhadap para pemimpin dan aktivis Kristen yang menentang prinsip-prinsip komunis. Sebelum demonstrasi yang meluas pada tahun 2021, Kuba bahkan tidak masuk peringkat. Burkina Faso pindah peringkat ke No. 23, naik dari no. 32, karena meningkatnya aktivitas jihadis, diperburuk oleh ketidakstabilan serupa di negara-negara sekitar Sahel. Mozambik pindah peringkat ke No. 32, naik dari No. 41, karena militansi Islam di wilayah utaranya. Lalu Kolombia pindah peringkat ke No. 22, naik dari No. 30, karena kekerasan yang ditargetkan terhadap orang Kristen oleh geng kriminal.

Komoro bergabung dalam daftar ini di No. 42, naik 11 peringkat karena meningkatnya paranoia pemerintah (hanya orang asing di kepulauan tersebut yang diperbolehkan memiliki kebebasan beragama). Dan Nikaragua bergabung dalam daftar ini untuk pertama kalinya, naik 11 peringkat ke No. 50 karena meningkatnya tekanan diktatoris, terutama terhadap Gereja Katolik Roma.

Tempat Tersulit bagi Pengikut Yesus:



1. Korea Utara
2. Somalia
3. Yaman
4. Eritrea
5. Libia
6. Nigeria
7. Pakistan
8. Iran
9. Afganistan
10. Sudan
11. India

Secara keseluruhan, selain Afganistan yang turun 8 peringkat, daftar 10 negara teratas ini sebagian besar hanya bertukar posisi dari tahun lalu [lihat sidebar]. Sudan bergabung kembali dalam kelompok ini di No. 10, menggeser India ke No. 11 yang masih termasuk negara dengan tingkat penganiayaan “paling ekstrim” menurut Open Doors.

Pada tahun 2020, Nigeria ditambahkan dalam daftar tahunan Negara-negara yang menjadi Perhatian Khusus (Countries of Particular Concern) Departemen Luar Negeri AS. Namun secara mengejutkan, pada tahun 2021 Nigeria dihapus dari daftar tersebut. Meski demikian, Nigeria diberi perhatian khusus dalam laporan Open Doors, yang mencatat:

Kekerasan terhadap orang Kristen … paling ekstrim di Nigeria di mana militan dari Fulani, Boko Haram, Islamic State West Africa Province (ISWAP) dan lainnya melakukan penggerebekan terhadap komunitas Kristen, membunuh, memutilasi, memperkosa dan menculik demi mendapatkan tebusan atau perbudakan seks. Tahun ini kita juga menyaksikan kekerasan ini meluas kepada mayoritas orang Kristen di selatan negara tersebut. … Pemerintah Nigeria terus menyangkali penganiayaan agama ini, sehingga pelanggaran terhadap hak-hak orang Kristen dilakukan tanpa hukuman.

Seperti tahun lalu, negara terpadat di Afrika ini menduduki peringkat No. 1 dalam sub-kategori WWL di mana orang Kristen dibunuh, diculik, diserang atau dilecehkan secara seksual, dinikahi secara paksa, atau disiksa secara fisik atau mental, serta menjadi peringkat No. 1 di mana terjadi penyerangan di rumah dan tempat bisnis karena alasan-alasan berbasis agama. Negara ini juga sekali lagi menduduki peringkat No. 2 dalam sub-kategori serangan terhadap gereja dan pengungsian dalam negeri.

Pelanggaran terhadap kebebasan beragama di Nigeria menjadi simbol kehadiran kelompok Islam yang berkembang pesat di Afrika Sub-Sahara. Mali naik peringkat ke No. 17 dari No. 24. Burkina Faso naik ke No. 23 dari No. 32, dan Niger naik ke No. 28 dari No. 33. Lebih jauh ke selatan, Republik Afrika Tengah (RAT) naik peringkat ke No. 24 dari No. 31; Mozambik naik ke No. 32 dari No. 41; dan Republik Demokratik Kongo (RDK) naik ke No. 37 dari No. 40.

Negara-negara dengan mayoritas Kristen menempati peringkat yang relatif rendah dalam daftar 50 negara teratas, termasuk [1] di antaranya Kolombia (No. 22), Republik Afrika Tengah (No. 24), Kuba (No. 27), Etiopia (No. 39), Republik Demokratik Kongo atau RDK (No. 37), Mozambik (No. 32), Meksiko (No. 38), dan Kamerun (No. 45), dan Nikaragua (No. 50). (Kenya dan Tanzania tidak berhasil masuk daftar tahun 2023.)

Mengenai Amerika Latin, Open Doors mencatat:

Penindasan langsung dari pemerintah terhadap umat Kristen yang dipandang sebagai suara oposisi, tersebar luas di Nikaragua (No. 50), Venezuela (No. 64), dan Kuba (No. 27), di mana para pemimpin Kristen dipenjarakan tanpa pengadilan karena keterlibatan mereka dalam demonstrasi tahun lalu. Di banyak negara di Amerika Latin, kejahatan terorganisir telah terjadi, terutama di daerah pedesaan terhadap orang-orang Kristen yang menentang kegiatan kartel.

Dari daftar 50 negara teratas:

  • Ada 11 negara dengan tingkat persekusi “ekstrem” dan 39 negara memiliki tingkat “sangat tinggi.” Lima negara lainnya di luar daftar 50 negara teratas yang juga memenuhi kualifikasi “sangat tinggi”: Kenya, Kuwait, Tanzania, Uni Emirat Arab, dan Nepal. (Kemudian Open Doors menelusuri 21 negara lainnya dengan level “tinggi.” Dua negara yang levelnya naik hanyalah Nikaragua dan Sudan, sementara negara yang levelnya turun hanyalah Arab Saudi dan Sri Lanka.)
  • Ada 19 negara di Afrika, 27 di Asia, dan 4 di Amerika Latin.
  • Ada 34 negara dengan Islam sebagai agama utamanya, 4 negara Buddha, 1 negara Hindu, 1 ateisme, 1 agnostisisme—dan 11 negara Kristen. (Nigeria adalah 50/50 Muslim-Kristen.)

Dalam daftar tahun 2023 ini, ada dua negara baru yaitu Komoro dan Nikaragua. Dua negara yang keluar dari daftar yaitu Kuwait dan Nepal.

Tempat Orang Kristen Mengalami Kekerasan Terbanyak:



1. Nigeria
2. Pakistan
3. Kamerun
4. India
5. Burkina Faso
6. Republik Afrika Tengah
7. Mozambik
8. Republik Demokratik Kongo
9. Tanzania
10. Myanmar
11. Kolombia
12. Niger

Periode pelaporan Open Doors: Oktober 2021 hingga September 2022

Peningkatan peringkat lainnya yang juga penting adalah Mali di No. 17, naik dari No. 24, karena ancaman dari jihadis dan pejuang tentara bayaran dalam konteks pemerintahan yang lemah yang menghubungkan beberapa orang Kristen dengan kepentingan Barat. Demikian pula, sesama negara Sahel, Niger naik peringkat ke No. 28 dari No. 33, karena serangan bertubi-tubi oleh militan Islam. Kemudian di Amerika Utara, Meksiko naik peringkat ke No. 38 dari No. 43, karena kejahatan kriminal terhadap umat Kristen yang dianggap sebagai ancaman bagi aktivitas ilegal, serta tekanan sosial yang dihadapi oleh penganut Kristen pribumi yang menolak untuk mengikuti adat leluhur.

Tidak semua perubahan peringkat yang penting itu negatif. Open Doors mencatat “peningkatan toleransi yang lebih besar” di sejumlah negara Timur Tengah, termasuk Bahrain dan Uni Emirat Arab (UEA). Qatar turun 16 peringkat dari No. 18 ke No. 34, karena tidak ada gereja yang ditutup tahun lalu. (Namun, banyak gereja rumah yang sebelumnya ditutup tetap ditutup.) Mesir turun 15 peringkat dari No. 20 ke No. 35, karena laporan serangan terhadap properti orang Kristen lebih sedikit. Oman turun peringkat dari No. 36 ke No. 47 karena alasan yang sama, dan Yordania turun dari No. 39 ke No. 49 karena tidak ada laporan tentang orang Kristen yang diusir dari rumah mereka.

https://datawrapper.dwcdn.net/Hom91

Bagaimana orang Kristen dianiaya di negara-negara ini?

Open Doors menelusuri terjadinya persekusi dalam enam kategori—termasuk tekanan sosial dan pemerintah terhadap individu, keluarga, dan jemaat—serta menaruh perhatian khusus kepada kaum perempuan. Banyak kategori mengalami penurunan tahun ini, meskipun beberapa di antaranya mencapai rekor tertinggi.

Apabila kekerasan dinilai secara terpisah sebagai satu kategori sendiri, maka posisi 10 negara penganiaya teratas bergeser secara dramatis—hanya menyisakan Nigeria, Pakistan, dan India [lihat sidebar]. Bahkan, ada 15 negara yang lebih membahayakan jiwa orang Kristen daripada Korea Utara. (Uganda mengalami peningkatan angka kekerasan tertinggi, naik 3,1 poin bersama Honduras, tetapi keduanya tidak masuk dalam daftar 50 negara teratas. Setelah Afganistan dengan penurunan 10 poin, Qatar mengalami penurunan kekerasan terbesar, diikuti oleh Sri Lanka dan Mesir. Dari antara total negara yang ditelusuri, 12 negara tidak mengalami perubahan angka kekerasan, 27 negara menurun dan 37 negara meningkat).

https://datawrapper.dwcdn.net/79mR5

Daftar martir mengalami penurunan lebih dari 275 dibanding tahun sebelumnya, karena Open Doors menghitung ada 5.621 orang Kristen yang dibunuh karena iman mereka selama periode pelaporan. Mewakili penurunan sebanyak 5 persen, jumlah korban tetap kedua yang tertinggi sejak rekor tahun 2016 sebanyak 7.106 kematian. Nigeria menyumbang 89 persen dari total angka tersebut.

Tempat Martir Kristen Terbanyak:



1. Nigeria: 5.014
2. Nama dirahasiakan: 100*
3. Mozambik: 100*
4. Republik Demokratik Kongo 100*
5. Republik Afrika Tengah: 61
6. Myanmar: 42
7. Kolombia: 21
8. India: 17
9. Meksiko: 14
10. Honduras: 14
11. Pakistan: 12

*Estimasi | Periode pelaporan Open Doors: Oktober 2021 hingga September 2022

Estimasi Open Doors dikenal lebih konservatif dibanding kelompok peneliti lainnya, yang kerap menghitung jumlah kematian martir sampai 100.000 per tahun.

Bila angka-angkanya tidak dapat diverifikasi, maka estimasinya diberikan dalam angka pembulatan 10, 100, 1.000, atau 10.000, dengan asumsi nilainya lebih tinggi pada realitasnya. Dan beberapa tabulasi nasional mungkin tidak diberikan karena alasan keamanan, yang membuat penyebutan “NN” untuk Afganistan, Maladewa, Korea Utara, Somalia, dan Yaman.

Pada rubrik berikut ini, sebuah negara yang tidak disebutkan namanya, Mozambik, dan RDK, semuanya mengikuti Nigeria dengan penghitungan simbolis 100 martir. Kemudian Republik Afrika Tengah (RAT) dengan catatan 61 pembunuhan, Myanmar 42, Kolombia 21, dan India 17.

Untuk kategori kedua, Open Doors menelusuri serangan terhadap gereja dan bangunan Kristen lainnya seperti rumah sakit, sekolah, dan pekuburan, baik yang dihancurkan, ditutup, maupun disita. Penghitungan 2.110 kasus memperlihatkan adanya penurunan 59 persen dari tahun lalu, dan hanya sekitar seperlima dari angka tertinggi (sebanyak 9.488 kasus) di laporan tahun 2020.

Tiongkok (No. 16), yang masuk kembali ke dalam daftar 20 negara teratas pada tahun 2021 untuk pertama kalinya dalam satu dekade, memimpin dengan catatan setengah dari serangan terhadap gereja yang dilaporkan—meskipun diberi penghitungan simbolis 1.000 kasus. Kemudian Nigeria, Myanmar, Mozambik, RDK, Rwanda, dan Angola semuanya diberi angka simbolis 100 serangan. Kemudian India mencatat 67 insiden spesifik, disusul Meksiko 42, Kolombia 37, dan Nikaragua 31 insiden.

Tempat Gereja Paling Banyak Diserang atau Ditutup:



1. Tiongkok: 1.000*
2. Nigeria: 100*
3. Myanmar: 100*
4. Mozambik: 100*
5. Republik Demokratik Kongo: 100*
6. Rwanda: 100*
7. Angola: 100*
8. India: 67
9. Meksiko: 42
10. Kolombia: 37
11. Nikaragua: 31

*Estimasi | Periode pelaporan Open Doors: Oktober 2021 hingga September 2022

Untuk kategori orang Kristen yang ditahan tanpa diadili, ditangkap, dihukum, dan dipenjarakan menurun menjadi 4.542 kasus, turun seperempat dari rekor tertinggi 6.175 kasus dalam laporan tahun lalu, tetapi masih merupakan jumlah tertinggi kedua sejak kategori tersebut ditelusuri.

Open Doors membagi kategori ini menjadi dua sub-kategori, dengan 3.154 orang percaya yang ditahan, yang memperlihatkan penurunan sebesar 34 persen. India memimpin dengan 1.711 kasus dan menyumbang 54 persen dari total. Diikuti Eritrea dengan 244 kasus dan Rusia dengan 200 kasus; kemudian sebuah negara yang tidak disebutkan namanya, Myanmar, Tiongkok, dan Rwanda dengan angka simbolis 100 untuk masing-masing negara; kemudian Kuba dengan 80 kasus, El Salvador dengan 63, dan Nigeria dengan 54 kasus.

Meski demikian, penghitungan 1.388 orang percaya yang dipenjarakan tetap stabil dari 1.410 yang dilaporkan pada periode sebelumnya. Sebuah negara yang tidak disebutkan namanya, Eritrea, Tiongkok, dan India mencakup hampir 90 persen dari total.

Angka tertinggi baru lainnya dicatat dalam kategori jumlah orang Kristen yang diculik, dengan total 5.259 yang mewakili peningkatan 37 persen dari periode sebelumnya. Nigeria menyumbang 90 persen dari total, atau 4.726 penculikan, diikuti Mozambik dan RDK yang masing-masing dengan angka simbolis 100 insiden, kemudian Irak dengan 63, RAT dengan 35, dan Kamerun dengan 25 insiden.

Sejauh ini, total kategori terbesar adalah pengungsian, dengan 124.310 orang Kristen terpaksa meninggalkan rumah mereka atau bersembunyi karena alasan terkait agama. Jumlah ini turun 43 persen dari tahun lalu yang sebanyak 218.709 orang. Tambahan 14.997 orang Kristen terpaksa meninggalkan negara mereka, turun dari 25.038 tahun lalu. Myanmar mengalami 4 dari 5 kasus pengungsian dalam negeri (diikuti oleh Nigeria dan Burkina Faso) dan 2 dari 3 pengungsi yang dihitung juga ada di Myanmar (diikuti oleh Iran).

Open Doors menyatakan bahwa beberapa kategori sangat sulit untuk dihitung secara akurat, yang tertinggi adalah 29.411 kasus kekerasan fisik dan mental, termasuk pemukulan dan ancaman pembunuhan. (Penghitungan tahun lalu adalah 24.678 insiden.) Dari 72 negara yang disurvei, 45 negara diberi angka simbolis. Nigeria dan India adalah yang tertinggi (mencakup dua pertiga dari penghitungan), diikuti oleh sebuah negara yang tidak disebutkan namanya, Myanmar, Mozambik, Indonesia, RDK, dan Rwanda.

Diperkirakan total ada 4.547 rumah dan properti orang Kristen yang diserang pada tahun 2022, bersama dengan 2.210 toko dan tempat bisnis. Mengenai yang terakhir, 27 dari 42 negara diberi angka simbolis, dengan penghitungan terhadap Nigeria sebanyak 1.000 kasus, melebihi jumlah gabungan sembilan negara berikutnya (mengingat penghitungan mereka masing-masing 100). Nigeria, Myanmar, dan RAT memiliki penghitungan tertinggi di kategori sebelumnya (masing-masing dengan angka simbolis 1.000), dengan hanya Indonesia dan India yang mampu mencatatkan kasus yang sebenarnya (211 vs. 180). Eritrea, Suriah, Irak, Burkina Faso, Niger, Mozambik, RDK, dan Kamerun melengkapi daftar 10 negara teratas dan seterusnya, masing-masing dengan penghitungan angka simbolis 100 serangan.

Para peneliti Open Doors juga sulit menghitung secara akurat jumlah kasus untuk kategori yang spesifik terkait perempuan. Kasus perkosaan dan pelecehan seksual menurun dari 3.147 kasus menjadi 2.126, dipimpin Nigeria dengan jumlah hampir setengah dari total, dengan 34 dari 47 negara yang dinilai secara simbolis. Kasus perkawinan paksa dengan orang non-Kristen menurun dari 1.588 menjadi 717, dipimpin lagi oleh Nigeria sebagai yang tertinggi, dengan 22 dari 34 negara yang diberi angka simbolis.

https://datawrapper.dwcdn.net/E4t39
https://datawrapper.dwcdn.net/T3m2j

Mengapa orang Kristen dipersekusi di negara-negara ini?

Alasan utamanya berbeda-beda di setiap negara. Memahami dengan baik alasan-alasan tersebut dapat menolong umat Kristen di negara lain untuk berdoa dan memberikan advokasi yang lebih efektif bagi saudara-saudari dalam Kristus yang sedang mengalami situasi yang sangat sulit.

Open Doors mengategorikan alasan-alasan utama persekusi Kristen dalam delapan kategori:

Penindasan dari kelompok Islam (31 negara): Ini adalah alasan utama penganiayaan yang dihadapi orang Kristen di lebih dari separuh negara yang dipantau, termasuk 8 dari 10 negara teratas secara keseluruhan. Sebagian besar dari 31 negara ini secara resmi merupakan negara Islam atau mayoritas muslim; namun, sebenarnya ada 5 negara dengan mayoritas Kristen: Nigeria, RAT (No. 24), RDK (No. 37), Mozambik (No. 32), dan Kamerun (No. 45). (Selain itu, ini adalah alasan pendorong utama di 15 negara dengan penganiayaan yang cukup untuk ditelusuri oleh Open Doors tetapi peringkatnya berada di bawah ambang batas daftar pantauan, termasuk Kenya dan Tanzania yang mayoritas Kristen.)

Diktator yang paranoid (9 negara): Inilah alasan utama penganiayaan yang dihadapi orang Kristen di sembilan negara, sebagian besar di negara-negara dengan mayoritas muslim—Suriah (No. 12), Uzbekistan (No. 21), Turkmenistan (No. 26), Bangladesh (No. 30), Tajikistan (No. 44), dan Kazakstan (No. 48)—tetapi juga di Eritrea (No. 4), Kuba (No. 27), dan Nikaragua (No. 50). (Juga di enam negara yang ditelusuri: Angola, Azerbaijan, Belarusia, Burundi, Rwanda, dan Venezuela.)

Penindasan dari kelompok komunis dan pasca-komunis (4 negara): Ini adalah alasan utama penganiayaan yang dihadapi umat Kristen di empat negara, semuanya di Asia: Korea Utara (No. 1), Tiongkok (No. 16), Vietnam (No. 25), dan Laos (No. 31).

Nasionalisme agama (3 negara): Ini adalah alasan utama penganiayaan yang dihadapi orang Kristen di tiga negara, semuanya di Asia. Umat Kristen menjadi sasaran utama kelompok nasionalis Hindu di India (No. 11) dan kelompok nasionalis Buddha di Myanmar (No. 14) serta Bhutan (No. 40). (Juga di tiga negara yang ditelusuri: Israel, Nepal, dan Sri Lanka.)

Korupsi dan kejahatan terstruktur (2 negara): Ini adalah alasan utama penganiayaan yang dihadapi umat Kristen di Kolombia (No. 22) dan Meksiko (No. 38). (Juga di tiga negara yang ditelusuri: El Salvador, Honduras, dan Sudan Selatan.)

Proteksionisme Kristen secara denominasi (1 negara): Ini adalah alasan utama penganiayaan yang dihadapi orang Kristen di Etiopia (No. 39).

Intoleransi dari kelompok sekuler (0 negara) dan pertikaian antar suku (0 negara): Open Doors menelusuri dua alasan penganiayaan ini, tetapi ternyata bukan merupakan alasan utama persekusi yang terjadi di lima puluh negara dalam daftar tahun 2023.

https://datawrapper.dwcdn.net/hWcfg

Bagaimana WWL dibandingkan dengan laporan lain tentang persekusi agama?

Menurut Open Doors, sangat beralasan untuk menyebut kekristenan sebagai agama yang paling banyak mengalami persekusi di dunia. Pada saat yang sama, lembaga ini juga mencatat bahwa tidak ada dokumentasi sebanding untuk populasi muslim di dunia.

Sejumlah penelitian lain tentang kebebasan beragama di dunia menguatkan banyak temuan Open Doors. Misalnya, dalam analisis Pew Research Center terbaru tentang sikap permusuhan pemerintah dan masyarakat terhadap agama, didapati bahwa orang Kristen dilecehkan di 155 negara pada tahun 2020, lebih banyak daripada kelompok agama lainnya. Pelecehan juga dialami umat Islam di 145 negara, disusul umat Yahudi di 94 negara.

Rinciannya sesuai dengan data Open Doors. Menurut penelitian Pew Research Center, Tiongkok, Eritrea, dan Iran berada dalam peringkat 10 negara teratas yang mengalami pelecehan dari pemerintah, sementara India, Nigeria, dan Pakistan berada di peringkat 10 besar yang mengalami sikap permusuhan dari masyarakat. Afganistan dan Mesir berada memiliki peringkat di keduanya.

Sebagian besar negara dalam daftar Open Doors juga muncul dalam daftar tahunan Departemen Luar Negeri AS yang secara terbuka menyebutkan pemerintah-pemerintah yang telah “terlibat atau menoleransi pelanggaran yang sistematis, berkelanjutan, dan mengerikan terhadap kebebasan beragama.”

Dalam daftar tingkat atas Negara-Negara yang menjadi Perhatian Khusus (Countries of Particular Concern) termasuk di antaranya Myanmar (No. 14 di WWL 2023), Tiongkok (No. 16), Kuba (No. 27), Eritrea (No. 4), Iran (No. 8), Korea Utara (No. 1), Nikaragua (No. 50), Pakistan (No. 7), Rusia (yang keluar dari WWL tahun lalu), Arab Saudi (No. 13), Tajikistan (No. 44), dan Turkmenistan (No. 26). Dalam tingkat keduanya, yaitu Daftar Pantauan Khusus (Special Watch List), termasuk di antaranya Aljazair (No. 19), Republik Afrika Tengah (No. 24), Komoro (No. 42), dan Vietnam (No. 25).

Departemen Luar Negeri AS juga membuat daftar Entitas yang menjadi Perhatian Khusus (Entities of Particular Concern), atau kelompok non-pemerintah yang melakukan penganiayaan, yang semuanya aktif di negara-negara dalam daftar pantauan Open Doors. Kelompok-kelompok ini termasuk di antaranya Boko Haram dan ISWAP di Nigeria (No. 6 di WWL), Taliban di Afganistan (No. 9), Al-Shabaab di Somalia (No. 2), Hayat Tahrir al-Sham di Syria (No. 12), Houthi di Yaman (No. 3), Kelompok Wagner untuk aktivitasnya di Republik Afrika Tengah (No. 24), dan ISIS-Greater Sahara serta Jamaat Nasr al-Islam wal Muslimin di Sahel.

Sementara itu, Komisi AS untuk Kebebasan Beragama Internasional (USCIRF) dalam laporannya di tahun 2022 merekomendasikan negara-negara yang sama untuk daftar CPC, dengan tambahan Nigeria (No. 6), India (No. 11), Siria (No. 12), dan Vietnam (No. 25). Untuk daftar pantauan Departemen Luar Negeri, USCIRF merekomendasikan negara yang sama kecuali Komoro, dengan penambahan Azerbaijan (tidak masuk peringkat 50 negara teratas tetapi dipantau oleh Open Doors), Mesir (No. 35), Indonesia (No. 33), Irak (No. 18), Kazakstan (No. 48), Malaysia (No. 43), Turki (No. 41), dan Uzbekistan (No. 21).

Semua negara di dunia dipantau oleh para peneliti dan staf lapangan Open Doors, tetapi perhatian mendalam diberikan kepada 100 negara dan fokus khusus pada 76 negara dengan catatan tingkat penganiayaan “tinggi” (angkanya lebih dari 40 pada skala 100 poin Open Doors).

CT sebelumnya juga telah melaporkan peringkat WWL untuk tahun 2022, 2021, 2020, 2019, 2018, 2017, 2016, 2015, 2014, 2013, dan 2012, termasuk menyoroti tempat tersulit untuk percaya Yesus. CT juga bertanya kepada para ahli mengenai apakah Amerika Serikat termasuk dalam daftar penganiayaan, dan CT juga membuat kompilasi kisah-kisah yang paling banyak dibaca tentang gereja teraniaya pada tahun 2019, 2018, 2017, 2016, dan 2015.

Baca laporan lengkap Open Doors tentang World Watch List 2022 di sini.

Diterjemahkan oleh: Maria Fennita S.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Instagram.

Mengapa Kita Begitu Sinis Tentang Perdamaian di Bumi?

Banyak orang Injili percaya perang tidak dapat dihindari. Namun itu seharusnya tidak menghentikan kita untuk berdoa demi perdamaian.

Christianity Today January 12, 2023
Gambar: Ilustrasi oleh Rick Szuecs / Sumber Gambar: David Kovalenko / Unsplash / Creative Commons

Terkadang dibutuhkan kengerian perang yang baru untuk mengingatkan kita kembali bahwa dunia kita ini bukanlah tempat yang damai. Dengan latar belakang kekerasan yang telah berlangsung lama di Myanmar, Yaman, Suriah, Etiopia, Somalia, Afganistan, dan sekitarnya, agresi Rusia di Ukraina menjadi pusat perhatian selama berbulan-bulan di tahun 2022.

Sebagai umat Kristen, kita percaya bahwa dunia seharusnya damai dan suatu hari nanti akan benar-benar damai. Ketika Yohanes Pembaptis lahir dan ayahnya, Zakharia, dipenuhi dengan Roh Kudus serta menubuatkan akan hadirnya penebusan dari Allah, nubuat itu mencapai klimaksnya dengan adanya penglihatan akan perdamaian (Luk. 1:67-79). Zakharia menyatakan bahwa Allah “telah melawat umat-Nya dan membawa kelepasan baginya” dari “dalam kegelapan dan dalam naungan maut.” Dia akan “mengarahkan kaki kita kepada jalan damai sejahtera.”

Ketika para gembala mendengar tentang kelahiran Yesus, pemberitaan itu pun disertai seruan tentang damai sejahtera. Sejumlah besar malaikat memuliakan Allah, dan dari segala berkat yang dapat diberikan pada inkarnasi Kristus, mereka memberitakan “damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya” (Luk. 2:14).

Pesan yang Tuhan nyatakan kepada orang-orang Yahudi, seperti yang kemudian diringkas oleh rasul Petrus, adalah “Kabar Baik tentang damai melalui Yesus Kristus” (Kis. 10:36 BIS). Sebagai umat Kristen, kita memiliki Injil damai sejahtera (Ef. 6:15), Raja Damai (Yes. 9:5), damai sejahtera Allah maupun Allah sumber damai sejahtera (Flp. 4:7, 9), dan harapan terakhir akan kedamaian di dunia baru tanpa ada perkabungan atau ratap tangis, atau dukacita (Why. 21:3–4).

Harapan itu tidak hanya untuk masa depan. Perdamaian tidak hanya berlaku untuk akhir zaman, tetapi justru hal inilah yang terlalu sering dibicarakan oleh orang-orang Injili.

Kita cenderung berbicara seolah-olah mendambakan perdamaian dan mengejarnya adalah urusannya Neville Chamberlain, Jimmy Carter, dan John Lennon, bagaikan suatu tanda kelemahan dalam diri orang-orang yang anti perang dan yang cenderung mengalah demi perdamaian, yang tidak memahami kejahatan yang menimpa kita atau tidak memiliki kemampuan moral untuk melawannya. Saya pernah mendengar bahwa “deru perang dan kabar-kabar tentang perang” (Mat. 24:6) lebih sering dirujuk sebagai pembuktian teks Alkitab bahwa kerusuhan dan kekacauan adalah keadaan yang normal. Hal ini lebih sering saya jumpai daripada tentang keyakinan pengharapan Kristen akan damai sejahtera Allah.

Ketika “sudah tiba waktunya, Yesus benar-benar akan datang kembali, mengakhiri semua perang,” kata penginjil Jerry Falwell dalam esainya yang provokatif di tahun 2004 “God is pro-war” yang mempromosikan Perang Irak. Untuk saat ini, ujarnya, kita “terus hidup dalam masa yang penuh kekerasan.” Falwell berpendapat, Alkitab memberi tahu kita bahwa perang akan menjadi realitas yang berkelanjutan sampai kedatangan Kristus yang kedua kali, dan bahwa saling menanggung beban berarti memilih perang, bukan perdamaian.

Tampaknya kaum Injili memakai ungkapan terkenal dari Chamberlain yaitu “kedamaian di zaman kita” lebih sering sebagai ejekan, bukan sebagai harapan yang tulus. Kita berbicara tentang kedamaian di Natal karena hal itu ada di Alkitab, tetapi kita tidak benar-benar berharap untuk melihatnya dalam waktu dekat, dan kita menjadi sedikit curiga pada diri kita sendiri jika mengharapkan demikian.

Salah satu alasan mengapa ungkapan Chamberlain melekat begitu kuat dalam pemikiran modern adalah karena ungkapan tersebut menggemakan istilah yang umum dari Buku Doa Umum Gereja Inggris tahun 1662. Kumpulan Doa Pagi, yang dipanjatkan setiap hari sepanjang tahun, menghubungkan perdamaian sebagai hal yang tidak terpisahkan dengan rencana keselamatan Allah seperti yang tertulis dalam Injil Lukas.

“Ya Tuhan, selamatkanlah umat-Mu,” kata pemimpin doa, “Berilah kedamaian di zaman kami.” Kemudian jemaat menjawab: “Karena tidak ada yang lain yang berperang untuk kami, selain Engkau, ya Allah.”

Saya memikirkan doa itu pada musim gugur dan masa Adven ini, setelah selama setahun berita-berita utama didominasi oleh perang antara dua negara di mana kelompok agama terbesarnya adalah penganut agama Kristen. (Mayoritas orang Ukraina dan Rusia—termasuk presiden Rusia Vladimir Putin—mengidentifikasi diri sebagai penganut Katolik Ortodoks)

Sangatlah mudah untuk bersikap sinis tentang “kedamaian di zaman kita” di saat seperti ini, atau meremehkan kata-kata Zakharia dan para malaikat sebagai hal yang tidak ada artinya selain sekadar pemberitahuan awal dari pengharapan yang masih jauh.

Doa tersebut di atas bukan berarti mengambil jalan yang mudah. Doa itu mengasumsikan sebuah dunia seperti yang kita pikirkan, di mana perdamaian sangat dibutuhkan dan kita sering tidak dapat mencapai kedamaian yang kita cari dengan kekuatan kita sendiri. Namun, dengan semua kenyataan itu, doa tersebut tidak menyerah untuk mengusahakan perdamaian di hari esok dan menerima kenyataan bahwa perang dan perselisihan memang sesuatu yang harus kita terima hari ini. Kita juga seharusnya bersikap demikian.

Tuhan telah melawat umat-Nya dan menebus mereka. Ia ingin “mengarahkan kaki kita kepada jalan damai sejahtera” dan Dia lebih dari mampu untuk memberikan kedamaian di zaman kita.

Bonnie Kristian adalah seorang kolumnis di Christianity Today dan wakil editor di The Week. Dia adalah penulis A Flexible Faith: Rethinking What It Means to Follow Jesus Today (2018) and Untrustworthy: The Knowledge Crisis Breaking Our Brains, Polluting Our Politics, and Corrupting Christian Community (2022).

Diterjemahkan oleh George H.S.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Haruskah Umat Kristen Indonesia Mendukung KUHP yang Baru?

Para pemimpin lokal memberikan pendapatnya tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru di negara dengan mayoritas penduduk Muslim ini dan tentang apakah pemerintah perlu mengundangkan moralitas.

Para aktivis memprotes KUHP baru Indonesia di luar gedung parlemen di Jakarta.

Para aktivis memprotes KUHP baru Indonesia di luar gedung parlemen di Jakarta.

Christianity Today January 10, 2023
Adek Berry / Getty

Pekan lalu, DPR Indonesia mengesahkan KUHP baru yang mendapatkan reaksi keras dari PBB dan kelompok-kelompok hak asasi manusia di dalam dan di luar negara Asia Tenggara tersebut.

KUHP baru, yang menggantikan KUHP era kolonial yang diberlakukan sejak negara tersebut berada di bawah kekuasaan Belanda, memuat kriminalisasi terhadap kohabitasi dan hubungan seks di luar nikah, melarang penghinaan terhadap presiden, dan tetap mempertahankan undang-undang tentang penodaan agama yang kadang-kadang digunakan terhadap agama minoritas, termasuk orang-orang Kristen. Undang-undang tersebut akan mulai berlaku setelah masa transisi selama tiga tahun.

Sebagai tempat tinggal bagi populasi Muslim terbesar di dunia, Indonesia menjunjung tinggi kerukunan beragama—yang secara resmi dikenal sebagai Pancasila—di antara 277 juta penduduknya, dan konstitusi Indonesia menjamin kebebasan beragama. Umat Kristen, yang berjumlah sekitar 10 persen dari total populasi, sebagian besar tidak berkomentar terhadap KUHP baru tersebut.

CT meminta pendapat lima orang Kristen Indonesia tentang pasal dalam KUHP baru tersebut mengenai kohabitasi dan hubungan seks di luar nikah, serta pasal-pasal lainnya mengenai penistaan agama dan kritik terhadap presiden. Mereka menjelaskan bagaimana pelaksanaan undang-undang tersebut itu penting dan mengapa banyak orang Kristen setuju dengan posisi moral yang diambil tetapi tidak setuju dengan upaya pemerintah untuk mengundangkannya.

Ihan Martoyo, Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Universitas Pelita Harapan (UPH) di Tangerang:

Banyak laporan di media Barat menganggap KUHP baru Indonesia kontroversial, terutama dalam hal yang berkaitan dengan hubungan seks di luar nikah. Namun hanya sedikit yang menjelaskan bahwa delik seks di luar nikah sebenarnya delik aduan, yang tidak berlaku kecuali seorang anggota keluarga dekat—suami/istri, orang tua, atau anak—melaporkan pelanggaran tersebut kepada polisi. Jadi ketakutan bahwa hukum ini akan berdampak pada turis asing yang belum menikah tidaklah mungkin terjadi kecuali jika turis tersebut menyinggung anggota keluarga Indonesia dengan “tidur bersama” (berhubungan seks di luar nikah) dengan orang Indonesia.

Menurut saya, kontroversi dalam media juga menyoroti perbedaan dalam budaya. Dalam budaya Barat, yang biasanya lebih individualistis daripada budaya Timur, seks adalah masalah pilihan dan kebebasan pribadi. Namun, budaya Timur lebih komunal dan menganggap bagaimana relasi seksual dapat menimbulkan dampak dalam masyarakat, terutama bagi anggota keluarga dekat. Tampaknya ada konsensus yang diterima secara luas di kalangan orang-orang Muslim dan Kristen Indonesia yang memandang hubungan seks di luar nikah sebagai kompromi atas nilai-nilai moral yang baik.

Sangat menarik untuk dicatat bahwa banyak nats Alkitab juga mengartikulasikan nilai-nilai agama atau kebajikan komunal. Paulus sering menasihati gereja untuk memerhatikan tubuh Kristus (1Kor. 11:27), sesuatu yang mungkin sulit dipahami oleh orang-orang Kristen modern.

Haruskah pemerintah mengundangkan moralitas? Untuk beberapa isu seperti pernikahan, jawabannya sepertinya cukup rumit. Reformator Yohanes Calvin menghadapi beberapa masalah ketika berbagi tanggung jawab antara Konsistori (pengadilan gereja) dan Dewan Kota terkait perselisihan pernikahan di Jenewa. Di zaman modern kita, perdebatan tentang jenis pernikahan “yang dapat diterima” bersentuhan dengan hukum sipil dan menciptakan beberapa perdebatan yang paling sulit di antara beberapa gereja. Dikotomi antara KUHP dan moralitas ini tampaknya merupakan peninggalan modernitas yang masih kita coba pahami. Bagi orang-orang Indonesia yang religius, mereka tidak percaya bahwa ruang publik harus steril dari nilai-nilai agama.

William Wijaya (nama diubah karena alasan keamanan), seorang dosen seminari di Indonesia:

Sebagai seseorang yang memegang posisi tradisional dalam hal etika seksual, saya setuju bahwa hubungan seks di luar nikah dilarang oleh Kitab Suci. Namun demikian, persoalannya di sini adalah apakah pemerintah harus membuat undang-undang tentang hal ini atau tidak. Saya tidak berpikir bahwa hanya karena sesuatu dilarang dalam etika Kristen, orang-orang Kristen harus mendukung kriminalisasi terhadap hal tersebut.

Saya mengakui bias saya sendiri: Saya mengenyam pendidikan di Barat, di mana privasi itu penting. Undang-undang ini merupakan intrusi terhadap privasi. Sangat sulit—kalau bukan tidak mungkin—untuk menegakkan hukum yang berkaitan dengan urusan-urusan pribadi. Undang-undang ini menetapkan bahwa hanya orang tua atau anak yang dapat membuat tuduhan terhadap seseorang. Namun, bagaimana pemerintah dapat membuktikan bahwa aktivitas seksual telah terjadi?

Saya sangat senang bahwa hukum di Indonesia bukanlah hukum Islam. Saya senang tinggal di negara di mana kelompok mayoritas tidak memaksakan etika mereka pada saya, seorang Kristen. Saya dapat melakukan hal-hal yang dilarang bagi orang-orang Muslim [oleh hukum Islam].

Saya ingin mengatakan kepada saudara-saudari saya sesama Kristen, khususnya di AS, bahwa dalam masyarakat yang majemuk, menurut saya, kita tidak seharusnya menggunakan etika Kristen kita sebagai dasar hukum kita. Kita harus menemukan jalan untuk maju bersama, menemukan titik temu, dan bahkan membiarkan beberapa hal yang dilarang oleh iman kita.

Samuel Soegiarto, Kepala Lembaga Pengembangan Kerohanian dan Kepemimpinan Kristen di Universitas Kristen Petra Surabaya:

Dari sudut pandang Kristen, Allah merancang seks menjadi salah satu hal terindah yang dapat terjadi antara pria dan wanita dalam pernikahan. Jadi ya, hubungan seks di luar nikah bertentangan dengan rancangan Tuhan. Para pemuka agama—Kristen dan Muslim—seharusnya tidak berhenti mendorong para pengikutnya untuk hidup sesuai dengan rancangan Tuhan. Akan tetapi ketika perintah Allah ini dijadikan sebuah hukum—ketika hal tersebut dibuat menjadi undang-undang—kita perlu untuk berhati-hati. Sebagai seorang Kristen, saya ingin semakin banyak orang yang hidup kudus. Namun jika yang mendorong mereka hidup kudus adalah ketakutan akan dipenjara, [maka] ada sesuatu yang salah.

Undang-undang tentang penodaan agama dalam KUHP dirancang untuk melindungi hak-hak pemeluk agama. Akan tetapi beberapa bagian memang ambigu; sebagai contoh, “menyatakan kebencian dan permusuhan terhadap keyakinan agama orang lain” dapat diinterpretasikan dalam berbagai cara, termasuk menyatakan ketidaksetujuan terhadap klaim-klaim agama lain. Pada akhirnya, interpretasinya akan diputuskan oleh kelompok mayoritas.

Saya pikir orang-orang Kristen tidak seharusnya menghina presiden. Kita harus kritis terhadap kebijakan pemerintah dan, jika perlu, melakukan protes. Terkait undang-undangnya, pemerintah perlu memperjelas definisi penghinaan. Jika tidak, UU ini sangat berpotensi disalahgunakan untuk membungkam oposisi.

Martin Lukito Sinaga, pendeta dan ketua Komisi Hubungan Antar Agama di Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia:

Perbuatan seks di luar nikah dan kohabitasi dapat dianggap sebagai kriminal hanya jika anggota keluarga melaporkannya. Beberapa ahli mengatakan kepada saya bahwa ini sejalan dengan undang-undang kekerasan dalam rumah tangga yang di mana dianggap sebagai “tindakan kelalaian” dari orang tua untuk hidup bersama sebagai suami istri dengan orang lain dan dapat dianggap sebagai kriminal. Dalam hal ini, moralitas agama digunakan untuk melindungi anggota keluarga. Masalah kritis dalam hal ini adalah penegakan hukumnya dan apakah hal itu akan digunakan untuk menghukum kohabitasi atau untuk melindungi keluarga dari kelalaian anggota keluarga yang terlibat di dalamnya.

Undang-undang tentang penistaan agama adalah masalah lama. Beberapa LSM percaya bahwa pasal-pasal tentang penodaan agama harus digantikan dengan undang-undang yang memerangi intoleransi, diskriminasi, dan kekerasan terhadap seseorang berdasarkan agama atau kepercayaan. Hal ini membutuhkan lebih banyak pertimbangan dan diskusi publik tentang masalah penistaan.

Undang-undang yang mengkriminalisasi penghinaan terhadap presiden juga diperdebatkan dalam konteks kebebasan berpendapat dan kebebasan untuk mengkritik pemerintah. Maka dari itu, demokrasi dipertaruhkan di sini. Ini juga merupakan delik aduan, dan mudah-mudahan arti dari penghinaan itu didefinisikan secara jelas. Penghinaan dipahami sebagai memberikan informasi palsu tentang kehidupan pribadi presiden. Sekali lagi, bagaimana pengaduan tentang presiden diproses oleh polisi adalah kunci apakah hukum ini akan merugikan demokrasi atau tidak.

Christine Elisia Widjaya, Notaris Hukum Perdata dan Dosen Hukum Perdata di Universitas 45 Surabaya:

Kebanyakan orang setuju bahwa apa yang legal belum tentu adalah apa yang moral. Namun, hukum harus berdasarkan pada—dan selaras dengan—prinsip-prinsip moral masyarakat. Sebagai wakil rakyat Indonesia, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk mengesahkan UU. Dengan mengatur moralitas, pemerintah memainkan peran penting dalam melindungi warganya. Hal itu tidak hanya mencakup hubungan seks di luar nikah tetapi juga penyalahgunaan narkoba, alkohol, dan pornografi karena risiko kesehatan fisik dan mental yang terkait dengan hal-hal tersebut. Sebagai akibatnya, masyarakat akan menghadapi konsekuensinya seperti masalah kesehatan masyarakat, biaya sistem peradilan, dan penurunan produktivitas ekonomi.

Namun, tidak setiap tindakan asusila harus dibuat menjadi ilegal. Yang dimaksud dengan “moralitas” adalah relatif, bergantung pada lingkungan, agama, dan filsafat. Menurut pendapat saya, pemerintah dapat mengundangkan moralitas, tetapi tidak setiap perilaku tidak bermoral harus dapat diproses secara hukum. Kriminalisasi harus digunakan sebagai upaya terakhir. Saya percaya bahwa membatasi perilaku-perilaku ini adalah kebijakan terbaik untuk melindungi masyarakat dari perilaku yang korup secara moral.

Undang-undang tentang penistaan agama akan memengaruhi orang-orang Kristen dalam banyak hal, seperti membungkam oposisi politik dan membenarkan serangan terhadap agama minoritas. Singkatnya, hal tersebut akan mendorong intoleransi dan diskriminasi, melanggar hak-hak dasar kebebasan beragama dan berekspresi, serta menghambat kerukunan antar-umat beragama di negara Indonesia yang multikultural.

Sebagai orang-orang Kristen, kita harus mengikuti ajaran Yesus untuk tunduk kepada pemerintah (Rm. 13:1-7). Pemerintah didirikan oleh Tuhan dan berfungsi untuk mengatur dan memajukan kesejahteraan bersama, jadi tanggung jawab kita untuk menjadi warga negara yang baik adalah dengan tunduk dan patuh kepada hukum.

Namun, satu-satunya pemerintah yang harus kita hormati dan hargai adalah pemerintah yang baik. Jika pemerintah melakukan hal yang jahat di mata Tuhan, gagal dalam memimpin dan mengusahakan kesejahteraan, atau membuat kebijakan yang tidak adil, kita berhak mempertanyakannya. Pasal dalam KUHP Indonesia yang baru tentang penghinaan terhadap presiden mempersulit penggunaan hak untuk mengkritik pemerintah dan membatasi kebebasan berekspresi.

Dengan bantuan pemberitaan oleh Ivan K. Santoso dan Maria Fennita

Diterjemahkan oleh Ivan K. Santoso

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Terang Dunia, Harapan Bangsa-bangsa

Renungan Adven, Epifani

Kumpulan Renungan Adven 2022.

Kumpulan Renungan Adven 2022.

Christianity Today January 6, 2023
Stephen Crotts

Epifani:

Pada hari ini, kita memperingati kunjungan para orang Majus dan penyembahan mereka kepada Yesus. Kita merenungkan penyingkapan identitas dan tujuan Yesus kepada bangsa-bangsa di dunia.

Baca Matius 2:1–12 dan Yesaya 49:6; 60:3

Ketika mereka melihat bintang itu, sangat bersukacitalah mereka. Maka masuklah mereka ke dalam rumah itu dan melihat Anak itu …, lalu sujud menyembah Dia. Matius 2:10-11

Sepanjang sejarah, manusia telah memandangi langit malam demi mencari tanda-tanda dari atas. Kecenderungan itu telah membuat banyak orang menyembah bintang-bintang dan benda-benda langit. Dalam Kejadian 1, istilah matahari dan bulan tidak digunakan; keduanya justru digambarkan sebagai benda penerang yang lebih besar dan yang lebih kecil (ay. 16), kemungkinan untuk menghindari nama-nama yang biasanya muncul dalam penyembahan berhala di Timur Dekat kuno.

Namun pencarian manusia akan tanda-tanda pada bintang-bintang itu segera dipakai oleh Tuhan untuk mengungkapkan kovenan-Nya: Ia memerintahkan Abraham untuk melihat ke atas dan menyaksikan bintang-bintang yang tak terhitung banyaknya, yang menandakan berkat keturunannya bagi bangsa-bangsa. Namun ratusan tahun kemudian, ketika anak-anak Abraham diasingkan ke Babel, tampaknya kegelapan dari bangsa-bangsa telah menelan terang itu. Pengharapan tak terlihat lagi.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Akan tetapi dalam Matius 2, kita menemukan pembalikan penebusan yang tak terduga! Kita bertemu dengan orang Majus—dari kelas elit yang dikenal akan ilmu perbintangan (dan penyembahan berhalanya) dan kemungkinan besar dari wilayah yang sama di mana umat Allah diasingkan. Studi yang dilakukan orang Majus tentang langit mengarahkan mereka kepada iman di dalam janji yang diberikan kepada Abraham. Apakah kisah-kisah yang diturunkan dari Daniel dan orang-orang buangan di Babel akhirnya terjadi? Dengan kemungkinan bertualang dalam perjalanan 900 mil yang sama dari Babel kuno ke Yerusalem seperti yang telah dilakukan oleh umat Allah yang kembali dari pengasingan bertahun-tahun sebelumnya, orang Majus mencari jawaban untuk satu pertanyaan: "Di manakah Dia, raja orang Yahudi yang baru dilahirkan itu?

Penyelidikan mereka menyingkapkan suatu kerinduan rohani yang mendalam, “Kami telah melihat bintang-Nya… dan kami datang untuk menyembah Dia.” Perjalanan mereka adalah penggenapan nubuatan Yesaya dan kecapan awal dari yang akan datang: "Tetapi Aku akan membuat engkau menjadi terang bagi bangsa-bangsa supaya keselamatan yang dari pada-Ku sampai ke ujung bumi" (Yes. 49:6). Bintang yang adalah “penerang yang lebih kecil” itu mengarahkan orang Majus kepada “penerang yang lebih besar” di kota kecil Betlehem, cukup terang untuk menerangi bangsa-bangsa. Terang itu datang ke dunia, dan kegelapan tidak dapat menaklukkan-Nya.

Terang Epifani—penampakan Tuhan dalam kedatangan Yesus—terus menawarkan harapan kepada segala bangsa yang meraba-raba dalam kegelapan untuk kebenaran ilahi. Dan seperti yang ditunjukkan orang Majus kepada kita, kabar ini yang terlalu bagus untuk disimpan sendiri! Orang-orang bijak dari Timur ini terus mengajari kita bahwa kita juga harus melakukan perjalanan jauh dan luas untuk membagikan berita bahwa Yesus adalah Sang Terang Dunia dan harapan bagi bangsa-bangsa. Seperti yang dikatakan Kitab Suci kepada kita: “Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib” (1Ptr. 2:9).

Rasool Berry melayani sebagai pendeta pengajar di The Bridge Church di Brooklyn, New York. Dia juga pembawa acara siniar Where Ya From?.

Refleksikan Matius 2:1–12 dan Yesaya 49:6; 60:3.


Apa yang diungkapkan melalui kunjungan orang Majus tentang identitas dan tujuan Yesus? Bagaimana Roh Kudus menggerakkan Anda untuk merespons kepada Yesus, Sang Terang Dunia?

Diterjemahkan oleh Vika Rahelia

Hari Natal

Renungan Adven, 25 Desember 2022.

Kumpulan Renungan Adven 2022.

Kumpulan Renungan Adven 2022.

Christianity Today December 25, 2022
Stephen Crotts

Minggu 4: Imanuel


Saat kita berjalan menyelami peristiwa-peristiwa seputar Kelahiran Yesus, kita merenungkan Inkarnasi. Yesus—Allah yang Perkasa, Raja Damai, Terang Dunia—menjadi manusia dan tinggal di antara kita. Seperti yang dinubuatkan Yesaya, Ia berarti ”Allah beserta kita.” Yesus adalah Imanuel.

Yesaya 9:5-6

Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang: Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai. Besar kekuasaannya, dan damai sejahtera tidak akan berkesudahan di atas takhta Daud dan di dalam kerajaannya, karena ia mendasarkan dan mengokohkannya dengan keadilan dan kebenaran dari sekarang sampai selama-lamanya.

Baca Yesaya 7:14 dan 9:1–7


Rayakan kelahiran Yesus dengan sukacita.

Melihat Yesus, Mengertilah Mereka

Renungan Adven, 24 Desember 2022.

Kumpulan Renungan Adven 2022.

Kumpulan Renungan Adven 2022.

Christianity Today December 24, 2022
Stephen Crotts

Minggu 4: Imanuel


Saat kita berjalan menyelami peristiwa-peristiwa seputar Kelahiran Yesus, kita merenungkan Inkarnasi. Yesus—Allah yang Perkasa, Raja Damai, Terang Dunia—menjadi manusia dan tinggal di antara kita. Seperti yang dinubuatkan Yesaya, Ia berarti ”Allah beserta kita.” Yesus adalah Imanuel.

Baca Lukas 2:21–40

"Sebab mataku telah melihat keselamatan yang dari pada-Mu, yang telah Engkau sediakan di hadapan segala bangsa." LUKAS 2:30–31

Mengasuh anak itu sulit, dan kali pertama menjadi orang tua akan menambah beban kesulitan tersendiri. Segalanya menjadi hal baru—mulai dari merasakan detak jantung pertama dari kehidupan di dalam rahim hingga kali pertama menggendong dan melihat anak Anda, kali pertama memandikannya, kali pertama menyusuinya, ucapan pertamanya, langkah pertamanya. Begitu banyak hal yang pertama!

Bayangkan bagaimana menjadi Yusuf dan Maria, bepergian dengan bayi mereka yang baru lahir, dari Betlehem ke Yerusalem. Perjalanan itu memakan waktu beberapa jam dengan berjalan kaki. Dalam ketaatan penuh, mereka melakukan perjalanan pertama kalinya sebagai orang tua baru, berpartisipasi dalam tradisi mendedikasikan diri dan anak mereka bagi Tuhan.

Semua berjalan sesuai rencana sampai Simeon yang benar dan saleh itu tiba. Dia telah menantikan pembebasan bagi Israel, dan ketika memasuki pelataran Bait Allah, dialah yang pertama mengalaminya. Pada saat itu, Tuhan memenuhi janji-Nya bahwa Simeon tidak akan mati sebelum ia melihat Mesias. Ketika melihat bayi Yesus, mengertilah dia.

Dan Simeon tidak hanya melihat Dia—Simeon menatang-Nya. Pada momen itu, Simeon secara nyata memahami bahwa keselamatan Tuhan yang telah dinubuatkan oleh para nabi bukan hanya dalam skala global melainkan juga secara intim dan personal. Keselamatan itu sendiri diwujudkan di dalam bayi yang bersuara dan menggeliat di lengannya. Seraya Simeon menyembah dan berbicara tentang keselamatan Tuhan, Maria dan Yusuf kagum, mungkin saja mereka mengingat instruksi para malaikat bahwa mereka harus menamai anak mereka Yesus, nama yang berkaitan dengan keselamatan dari Tuhan.

Sementara Simeon berbicara kepada Maria, Hana mendatangi mereka dan mengkonfirmasi pujian penyembahan nubuatan Simeon dengan mengucap syukur kepada Allah. Selama berdekade-dekade, seluruh hidup Hana berpusat pada ibadah kepada Tuhan, berdoa, dan berpuasa. Ketika melihat Yesus, mengertilah Hana. Dia tahu ini adalah Anak yang mereka nanti-nantikan untuk menebus umat Allah, jadi dia berbicara tentang Yesus kepada semua orang yang mau mendengarkan. Terang yang dijanjikan bagi bangsa-bangsa telah tiba.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Melalui Maria dan Yusuf, serta Simeon dan Hana, kita melihat kilasan gambaran tentang bagaimana pengabdian kepada Tuhan dan kehidupan yang benar. Kita menyaksikan ketaatan dan iman, disiplin dan dedikasi, penantian dan penyembahan. Mereka melihat Imanuel. Mereka menatang Imanuel. Mereka mengenal Imanuel. Mereka berbicara tentang Imanuel.

Saat kita merayakan Imanuel pada Adven ini, marilah kita berjalan dalam ketaatan penuh seperti Maria dan Yusuf. Mari kita mempraktikkan pengabdian, ketulusan, dan kehidupan yang penuh pujian seperti Simeon. Mari kita menjadi seperti Hana, yang berdoa, berpuasa, dan berbicara tentang Yesus kepada semua orang yang mau mendengar. Tidak ada penebusan di dalam nama yang lain.

Kristie Anyabwile adalah penulis Literally: How Understanding Bible Genress Transforms Bible Study dan editor His Testimonies, My Heritage.

Renungkan Lukas 2:21–40.


Apa yang paling menarik bagi Anda dari kisah Simeon dan Hana? Bagaimana teladan mereka—serta teladan Maria dan Yusuf—mendorong dan menginspirasi Anda di Malam Natal ini?

Diterjemahkan oleh Vika Rahelia.

Menghilangkan Ketritunggalan Kristus dari Natal

Sebuah jajak pendapat baru-baru ini menunjukkan hampir setengah dari orang Amerika memercayai ajaran sesat terkait Kristologi.

Christianity Today December 23, 2022
Illustration by Mallory Rentsch / Source Images: Kevin Carden / Lightstock

Siapakah Yesus? Beberapa pertanyaan bisa saja menjadi lebih relevan di saat Natal.

Namun studi Lifeway Research yang baru melaporkan suatu statistik yang berpotensi melemahkan semangat Natal. Hanya 41 persen orang Amerika yang percaya bahwa “Anak Allah sudah ada sebelum Yesus lahir di Bethlehem.” Itu berarti 59 persen tidak percaya atau tidak yakin apakah mereka percaya bahwa Anak Allah sudah ada sebelum peristiwa kelahiran Yesus.

Seiring para pendeta mempersiapkan khotbah Natal tahun ini, mereka mungkin ingin mengingat fakta ini. Banyak orang yang akan berjalan melewati pintu gereja mereka pada hari Minggu pagi—sebagian orang Kristen, sebagian tidak—namun berpegang pada pemahaman yang menyesatkan tentang Tritunggal. Mereka akan mendengarkan khotbah dan menyanyikan pujian-pujian, tetapi pandangan mereka tentang Tuhan tidak ortodoks. Kasarnya, pandangan mereka tentang Tuhan bukanlah pandangan yang kristiani.

Kita bukanlah orang pertama yang bergumul untuk mempertahankan pandangan alkitabiah tentang Tritunggal.

Pada abad keempat, sebuah kelompok di dalam gereja yang dikenal sebagai kelompok Arian juga mengatakan bahwa ada suatu masa ketika Sang Anak tidak ada. Kepopuleran kepercayaan ini begitu mengancam untuk memecah-belah kesatuan gereja sehingga para bapa gereja berkumpul di Nicea dan Konstantinopel.

Dengan otoritas gereja yang am, mereka menyatakan, “Kami percaya… kepada satu Tuhan Yesus Kristus, Anak Allah yang tunggal, yang lahir dari Sang Bapa sebelum ada segala zaman, Terang dari Terang, Allah yang sejati dari Allah yang sejati, diperanakkan bukan dibuat, sehakikat dengan Sang Bapa, yang dengan perantaraan-Nya segala sesuatu dibuat.”

Semuanya bergantung pada satu kata diperanakkan. Ini membedakan Sang Anak dari Bapa—sebagaimana yang sudah kita ketahui dengan jelas, seorang putra adalah seorang putra karena ia diperanakkan oleh seorang ayah. Namun demikian, kata diperanakkan itu juga menjamin Sang Anak itu setara dengan Bapa-Nya. Tidak seperti manusia yang diperanakkan, Anak ini diperanakkan secara kekal oleh Bapa.

Selain itu, Dia diperanakkan secara kekal dari esensi ilahi Sang Bapa. Dia bukan dari esensi yang berbeda atau esensi yang mirip, sehingga keduanya menciptakan hierarki dalam ketritunggalan. Sebaliknya, seperti yang dikatakan oleh penulis Ibrani, Sang Anak adalah “cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah” (1:3).

Konsep inti kekristenan ini diakui oleh gereja yang am selama lebih dari 1.700 tahun. Bahkan hingga pertengahan abad ke-20, C.S. Lewis mengabdikan dua bab dari buku Mere Christianity (Kekristenan Asali) untuk membahas tentang eternal generation. Lewis berpendapat bahwa doktrin eternal generation ini sangat penting untuk memahami apa artinya menjadi seorang Kristen yang Trinitarian.

Kemudian semuanya berubah.

Kedalaman dari perubahan itu melanda saya baru-baru ini ketika keluarga saya merayakan Adven dan saya mengambil buku Hymnal Baptis untuk menyanyikan “O Come, All Ye Faithful (Hai Mari Berhimpun).” Bait kedua, yang menyuarakan Pengakuan Iman Nicea—yang mengakui Sang Anak sebagai Allah sejati dari Allah sejati, diperanakkan, bukan diciptakan—ternyata tidak ada.

Saya bersyukur buku Trinity Hymnal ada di dekat saya, yang saya ambil tepat pada waktunya untuk mengulangi bait kedua. Namun saat kami bernyanyi, pikiran saya berada di tempat lain: Berapa banyak orang Kristen yang menyerap lagu-lagu Natal yang tidak pernah mengajari mereka tentang siapa Yesus selain daripada seorang bayi yang lahir di palungan?

Nampaknya ketiadaan pengajaran Trinitarianisme yang ortodoks bukanlah suatu kebetulan. Pada akhir abad ke-20, kalangan Injili menghapus istilah “diperanakkan” dari terjemahan Alkitab mereka—bahkan Yohanes 3:16 tidak lagi tertulis Allah “telah mengaruniakan Anak tunggal-Nya yang diperanakkan” melainkan bahwa Allah telah mengaruniakan Anak-Nya yang “tunggal.”

Dalam dunia akademis, buku-buku pelajaran utama dalam teologi menolak doktrin tersebut karena kaum Injili tidak dapat menemukan pasal dan ayat yang menjabarkannya secara spesifik atau karena hal itu tidak masuk akal bagi mereka. Para teolog juga mengganti konsep ortodoks seperti eternal generation dengan kategori-kategori sosial, yang mendefinisikan kembali kesatuan kekal Sang Anak dengan Bapa sebagai hubungan kerja sama masyarakat.

Dengan memandang dari Trinitarian yang sosial, beberapa orang Injili melangkah lebih jauh untuk menempatkan Sang Anak menjadi lebih rendah, memasukkan hierarki fungsional dalam kehidupan imanen Allah yang kekal, seolah-olah Sang Bapa lebih besar secara supremasi, kemuliaan, dan otoritas-Nya daripada Sang Putra.

Manuver-manuver baru ini mengungkapkan seberapa jauh kita telah menyimpang dari ortodoksi Trinitarian.

Namun ada harapan.

Pertimbangkanlah beberapa cara agar kita dapat mengembalikan ketritunggalan Kristus ke dalam Natal.

Pertama-tama, sewaktu kita menyampaikan kabar baik pada Natal ini, kita tidak boleh menyingkirkan Tritunggal. Tanpa Tritunggal kita tidak memiliki Injil untuk dirayakan. Seperti yang saya jelaskan dalam Simply Trinity, jika Sang Anak bukanlah Putra tunggal yang diperanakkan, maka tidak ada dasar di mana Bapa dapat mengutus Anak-Nya ke dunia untuk menyelamatkan orang berdosa seperti Anda dan saya.

Hanya satu Pribadi, yang adalah Tuhan sendiri, yang dilahirkan dari esensi sejati Sang Bapa, yang memenuhi syarat untuk mampu menyelamatkan umat manusia yang berdosa. Jika Dia bukan Anak yang kekal—Allah yang sejati dari Allah yang sejati—bagaimana Dia bisa memberi kita hadiah Natal yang terbesar: hidup yang kekal?

Selanjutnya, ingatkan orang-orang di sekitar Anda bahwa pemberlakuan anugerah Allah yang luar biasa kepada kita bergantung sepenuhnya pada Tritunggal. Jika Yesus pada dasarnya bukan Anak, harapan apa yang kita miliki agar kita bisa menjadi anak oleh karena anugerah?

Sebagai anak-anak yang diadopsi-Nya, kita memiliki hidup di dalam Anak-Nya yang kekal, dan melalui Dia, Roh Kudus menyampaikan kebaikan Sang Bapa kepada kita. Sebagai penerima anugerah-Nya yang kekal, sebagai pendukung dari rahmat-Nya yang tiada henti, kita berseru kepada Dia, “Ya Abba, ya Bapa” (Gal. 4:6) dengan penuh keyakinan bahwa Dia akan menerima kita sebagai anak-anak di dalam Putra-Nya (Rm. 8:15).

Terakhir, alih-alih berpuas diri dengan fokus yang sempit pada apa yang Kristus lakukan, perluaslah visi Anda tentang siapa Kristus itu. Contohnya Injil Yohanes: “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah, dan Firman itu adalah Allah. Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah. Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatu pun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan” (1:1–3).

Sang rasul sangat ingin memperkenalkan karya penyelamatan Kristus, tetapi sebelum ia melakukannya, ia mengangkat kita keluar dari batas sejarah untuk merenungkan siapakah Sang Anak yang dari kekekalan ini: Firman yang tidak hanya bersama-sama Allah melainkan juga adalah Allah. Inilah arti sebenarnya dari teologi, yaitu tugas luar biasa untuk merenungkan siapa Tuhan itu di dalam dan dari diri-Nya sendiri.

Daud pernah berkata bahwa dia hanya menginginkan satu hal: “menyaksikan kemurahan Tuhan” (Mzm. 27:4). “Pengharapan kita yang penuh bahagia,” kata Paulus, tidak lain adalah “penyataan kemuliaan Allah yang Mahabesar dan Juruselamat kita, Yesus Kristus” (Tit. 2:13).

Juruselamat kita pada Natal ini adalah “Allah yang agung” itu sendiri, yang turun ke dalam kegelapan kita dari kemuliaan cahaya abadi-Nya. Jika Ia bukan demikian, kita tidak akan pernah menikmati berkat dan kebahagiaan dari visi indah itu.

Matthew Barrett adalah penulis Simply Trinity: The Unmanipulated Father, Son, and Spirit (Baker Books), lektor kepala teologi Kristen di Midwestern Baptist Theological Seminary, dan pembawa acara siniar Credo.

Diterjemahkan oleh Maria Fennita S.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Culture

Lagu-lagu Natal Ini Membawa Sukacita bagi Seluruh Dunia

Para pemimpin dan musisi Kristen di sembilan negara dan wilayah berbagi lagu-lagu Natal favorit mereka, baik dari Barat maupun lokal.

Christianity Today December 23, 2022
George Pachantouris / Getty

Lagu-lagu Natal yang menampilkan tentang Yesus tidak menduduki puncak tangga lagu global, seperti yang dicatat oleh CT baru-baru ini. Lagu-lagu yang popular, kebanyakan merupakan terjemahan dari lagu-lagu Barat. Meskipun lagu-lagu itu kemungkinan bukan asli dari negara tersebut, namun lagu-lagu itu disukai karena kebenaran teologisnya dan karena menceritakan kembali kisah Natal.

Kami meminta para pemimpin dan musisi Kristen yang mewakili sembilan negara dan wilayah untuk membagikan lagu-lagu favorit mereka, baik yang berasal dari Barat maupun dari budayanya sendiri.

Argentina

Mariel Deluca Voth, konsultan pendidikan teologi untuk Amerika Latin dan Karibia, reSource Leadership International:

“La Navidad de Luis,” yang ditulis oleh León Gieco, adalah salah satu lagu Natal favorit saya karena mencerminkan nilai-nilai empati dan solidaritas. Lagu tersebut menyebutkan bahwa Luis tidak menerima anggur dan panettone yang diberikan oleh atasannya karena dia mengerti bahwa amal atau belas kasihan tidak mengurangi kemiskinan dan penindasan. Sebaliknya, ia memilih untuk menerima kata-kata yang diucapkan oleh ayahnya sendiri, kata-kata yang memberinya kehidupan: Yesus seperti saya.

Lagu Natal dari Barat yang menjadi favorit saya adalah “Gloria in Excelsis Deo (Angels We Have Heard on High).” Sebagai seorang anak, saya selalu tinggal di lingkungan perkotaan, tetapi rumah saya memiliki teras besar di mana saya bisa bermain ayunan selama berjam-jam, melihat bentuk-bentuk awan dan mengimajinasikan berbagai cerita. Jadi selama masa Natal, saya akan membuka mata lebar-lebar untuk melihat para malaikat menyanyikan “Gloria in excelsis Deo!” Saya suka lagu ini bahkan sampai hari ini karena saya dapat menerima undangan untuk memuja Yesus dan melakukannya bersama dengan para malaikat, gunung-gunung, dan para gembala.

Tiongkok

Xiaofei Wang, direktur, Xiamen Pastors’ Wives Fellowship:

Lagu Natal dari Tiongkok yang menjadi favorit saya adalah “The Starlit Blessing.” Lirik lagu ini berasal dari Lukas 2:8–14. Liriknya sangat sederhana dan mudah diingat, namun dengan jelas mengungkapkan bahwa kelahiran Tuhan Yesus menerangi hati dunia yang gelap dan membangunkan roh manusia yang tertidur. Dia adalah Terang Injil yang sejati, dan Mesias yang dijanjikan telah datang secara diam-diam. Syukur kepada Tuhan!

Lagu Natal dari Barat yang menjadi favorit di negara kami adalah “Silent Night.” Dengan melodinya yang indah, memberikan perasaan yang sangat damai. Perkembangan dari tiga bagian liriknya menunjukkan bahwa Yesus Kristus adalah satu-satunya harapan kita. Bagian pertama berbicara tentang Perawan Maria dan bayi kudus yang begitu lembut dan halus. Bagian kedua berbicara tentang para gembala dan penghuni surga yang bersukacita. Bagian ketiga mencapai klimaksnya: Allah adalah kasih, dan kasih-Nya dinyatakan melalui Putra-Nya yang kudus, Yesus Kristus, yang membawa anugerah penebusan.

Tiongkok

Aliece Chen, konselor biblika dan direktur eksekutif, Tree of Life Counseling and Research Center:

Sebagian besar lagu Natal yang saya nyanyikan diterjemahkan dari bahasa Inggris. Pujian “Joy to the World” adalah lagu Natal pertama yang saya dengar ketika saya merayakan Natal sebagai seorang Kristen, dan kami menyanyikannya dalam bahasa Mandarin. Setiap kali saya menyanyikan lagu ini, saya diingatkan akan kemuliaan Tuhan.

Pujian “O Come, All Ye Faithful” adalah lagu Natal favorit saya sepanjang masa. Kisah Natal adalah tentang kabar buruk bahwa tidak peduli seberapa baik atau pintar kita, kita tidak dapat menyelamatkan diri dari masalah—karena masalah terdalam berasal dari diri kita. Namun, kisah Natal juga adalah kabar baik tentang Kristus, yang datang ke dunia ini untuk menyelamatkan kita. Ketika saya menyanyikan lagu ini, hati saya dipenuhi dengan sukacita dan keagungan serta kekaguman akan Dia.

El Salvador

Lucía Parker, artis musik, dinominasikan untuk beberapa Penghargaan Dove dan Penghargaan Grammy Latin:

Lagu “Feliz Navidad” oleh José Feliciano diputar di radio non-stop selama Natal, tidak hanya di negara saya, El Salvador, tetapi di seluruh dunia. Yang mengherankan, kami menyukai banyak tarian salsa dan merengue serta musik tropis selama Natal, karena itu artinya kami dapat menari saat keluarga berkumpul. Anda akan mendengar lagu-lagu Natal Amerika di mal, tetapi pada kenyataannya, musik salsa-lah yang digunakan semua orang untuk menari dan merayakannya.

Lagu-lagu Natal dari Barat yang menjadi favorit saya adalah segala sesuatu yang berbicara tentang salju dan cuaca dingin, seperti “Let It Snow” atau “The Christmas Song.” Tempat saya dibesarkan di El Salvador, suhunya 90 derajat selama Natal, jadi lagu-lagu ini akan membawa saya ke tempat yang hanya bisa saya impikan atau lihat di film. Saya tidak dibesarkan dengan cerobong asap, manusia salju, atau rusa kutub, jadi saya hanya menyukai yang klasik-klasik.

Gambia

Marie Gomez, penyanyi, penulis lagu, dan pemimpin ibadah, Abiding Word Ministries:

Lagu Natal favorit saya dalam bahasa Wolof, bahasa lokal saya, adalah “Cha Betlehem (Di Betlehem).” Lagu ini menceritakan seluruh kisah Natal: menarasikan semua peristiwa di Betlehem saat kelahiran Yesus, pemberitaan oleh para malaikat, bintang-bintang di langit, dan orang Majus. Dalam lagu ini kisah Natal disederhanakan agar dapat dipahami oleh orang-orang dari segala usia dan latar belakang pendidikan dalam bahasa yang mereka mengerti.

Lagu Barat favorit saya adalah “O Come, All Ye Faithful.” Lagu ini sangat istimewa bagi saya karena ini adalah sebuah panggilan bagi semua orang yang percaya kepada Yesus untuk melihat Raja yang baru lahir, untuk berbaris dengan penuh kemenangan dan melihat di mana Ia dibaringkan, Sang Raja dari para malaikat. Ini adalah panggilan untuk memuja dan menyembah di kaki-Nya.

Italia

Sarah Breuel, direktur dan koordinator pelatihan penginjilan Revive Europe, IFES Europe:

Aslinya ditulis dalam bahasa Latin, lagu “Veni, Veni, (O Come, O Come) Emmanuel” sangat mirip dengan bahasa Italia “Vieni, Vieni, Emmanuel.” Jiwa saya selalu tersentuh dengan versi instrumental dari lagu ini dengan kemegahan suara cello, seakan membawa saya ke tempat yang saya rindukan. Baris “mourns in lonely exile” dalam bahasa Latin adalah gemit in exilio, yang secara harfiah dapat diterjemahkan menjadi “berkeluh kesah dalam pengasingan.” Hal ini membuat saya berpikir tentang rintihan umat Allah di Mesir (Kel. 2:23). Sungguh gambaran yang kuat tentang kedatangan Imanuel!

Saya suka bahwa “O Come, All Ye Faithful” adalah lagu yang penuh pujian. “O come, let us adore Him”—Saya sering menyanyikan hanya satu baris ini saja secara berulang-ulang. Bagian tersebut membangkitkan jiwa saya untuk melakukan apa yang sebenarnya menjadi tujuan kita diciptakan: pemujaan murni kepada Kristus sebagai Tuhan. Pujian ini mengundang orang beriman untuk datang dan melihat. Lagu ini memanggil paduan suara para malaikat. Pastinya, karena Dia datang, kita bersukacita dan mengalami kemenangan!

Indonesia

Lidya Siah, dosen teologi ibadah dan sejarah ibadah, Sekolah Tinggi Teologi Reformed Indonesia:

Lagu Natal favorit saya yang berasal dari Indonesia adalah “Yesus Arti Natalku (Jesus, the Meaning of My Christmas).” Liriknya yang indah ditulis oleh Pdt. Budianto Lim, suami saya, dan melodinya diciptakan oleh Cindy Pelenkahu, seorang anggota Gereja Presbiterian Bukit Batok (Indonesia) di Singapura. Diawali dengan pesan Natal tentang kelahiran Kristus untuk menyelamatkan umat manusia, lagu tersebut diakhiri dengan respons pribadi untuk melayani dan menyembah Sang Juruselamat, yang menjadi makna Natal yang sebenarnya.

Lagu Natal dari Barat yang menjadi favorit saya adalah “Mary’s Boy Child” oleh Jester Hairston. Lagu itu memiliki kisah Natal yang lengkap di dalamnya dan pesan inti yang berbicara kepada saya hingga hari ini: “And man will live for evermore, because of Christmas Day (Dan manusia akan hidup selama-lamanya, karena Hari Natal).” Kristus telah lahir agar saya dapat hidup. Terima kasih, Tuhanku.

Portugal

Connie Main Duarte, pendeta, Meeting Point Church:

Portugal, sebagai sebuah negara Katolik, memiliki beberapa musik Natal, tetapi itu bukan bagian dari tradisi Injili yang sudah ada lebih dari 150 tahun. Gereja-gereja Injili meminjam dari tradisi musik Protestan dan menerjemahkan himne-himne Natal itu ke dalam bahasa Portugis. Lagu favorit saya adalah “Joy to the World (Kesukaan bagi Dunia).” Lagu ini menjadi pengingat terus-menerus akan sukacita yang kita miliki, bukan karena keadaan kita, melainkan karena berada di dalam Tuhan.

Lagu yang lebih tradisional “O Come, All Ye Faithful (Hai Mari Berhimpun)” adalah murni pujian dan pemujaan—sesuatu yang tidak kita kerjakan dengan baik. Teologinya sederhana, serta menggugah hati dan pikiran untuk berfokus kepada Tuhan yang menjadi manusia!

Juga, lagu “Mary, Did You Know?” memberi kita kisah yang lengkap tentang Yesus. Bukan hanya kelahiran-Nya tetapi juga identitas-Nya sebagai Tuhan dan karya-Nya di kayu salib. Lagu ini mengarahkan kita ke masa lalu, masa kini, dan masa depan.

Puerto Riko

Brenda Rodriguez, direktur mobilisasi misi, Christian and Missionary Alliance–distrik Puerto Riko:

Saya suka lagu-lagu Natal budaya kami atau aguinaldos, yang sangat mirip dengan lagu-lagu Natal tetapi dengan semarak dan instrumen-instrumen ala Karibia. Musik kami mencakup instrumen perkusi seperti pleneras, marakas, güiros, dan rebana, serta gitar dan cuatros Spanyol—perpaduan berbagai instrumen yang dihasilkan dari peleburan tiga budaya kami: Indian Taíno, Spanyol, dan Afrika. Lagu-lagu itu mengingatkan saya pada keluarga yang berkumpul untuk mengunjungi rumah-rumah yang berbeda sepanjang malam dan berkeliaran sampai jam 6 pagi. Rumah terakhir yang dikunjungi akan menyambut semua orang dengan jamuan sarapan kopi, roti, dan buah-buahan.

Lagu Natal favorit saya adalah “El Niño Jess” oleh Tony Croatto. Lagu ini bercerita tentang bagaimana orang kadang-kadang bisa sangat religius sehingga mereka lupa arti sebenarnya dari Natal. Lagu itu membawa sukacita dan kadang-kadang air mata bagi saya.

Satu-satunya ingatan saya tentang lagu-lagu Natal dari Barat adalah ketika saya masih di sekolah menengah di Miami, di mana saya belajar “Little Drummer Boy.” Saya suka liriknya:

Aku tak memiliki hadiah apa-apa …
yang layak dipersembahkan kepada Raja kita …
Aku hanya bisa memainkan drum bagi-Nya …
Aku memainkan yang terbaik untuk-Nya …
Lalu Ia tersenyum kepadaku.

Ukraina

Natalia Bulka, pemimpin regional: Cru Student Led Movements, wilayah Eropa:

Lagu Natal Ukraina yang menjadi favorit saya adalah “Спи, Ісусе, спи! (Tidurlah, ya Yesus, Tidurlah!).” Banyak lagu Ukraina ditulis dalam kunci-kunci minor, yang mencerminkan sejarah dari negara ini dan penderitaan yang dialaminya. Lagu ini unik karena menawarkan cinta dan empati, dengan mencoba menghibur bayi Yesus dan menjaga tidur-Nya. Pada saat yang sama, lagu ini mengungkapkan bahwa kita adalah orang-orang yang akan mempersiapkan salib bagi-Nya, yang akan Ia tanggung demi kita. Baris terakhir lagu ini tertulis: “Biarkan aku di samping-Nya, beristirahat / Di sini di bumi dan di sana di surga.” Baris terakhir ini menawarkan harapan dan jaminan bahwa bersama Dia ada kedamaian, apa pun yang terjadi.

Lagu “Mary, Did You Know?” adalah lagu Natal dari Barat yang menjadi favorit saya. Sungguh suatu misteri yang melampaui pemahaman manusia saat mengetahui Allah yang agung itu menjadi seorang bayi laki-laki. Terkadang saya bertanya-tanya apakah adil untuk bertanya kepada Maria tentang apakah dia tahu. Apakah kita selalu tahu? Bagaimana Anda bisa tahu tentang yang suci di dalam yang terbatas? Sangatlah berisiko untuk melihat dan dilihat seperti itu. Namun demikian, Maria menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya setelah dia setuju untuk berkata, “…jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Luk. 1:38).

Diterjemahkan oleh Vika Rahelia.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Sekawanan Gembala

Renungan Adven, 23 Desember 2022.

Kumpulan Renungan Adven 2022.

Kumpulan Renungan Adven 2022.

Christianity Today December 23, 2022
Stephen Crotts

Minggu 4: Imanuel


Saat kita berjalan menyelami peristiwa-peristiwa seputar Kelahiran Yesus, kita merenungkan Inkarnasi. Yesus—Allah yang Perkasa, Raja Damai, Terang Dunia—menjadi manusia dan tinggal di antara kita. Seperti yang dinubuatkan Yesaya, Ia berarti ”Allah beserta kita.” Yesus adalah Imanuel.

Baca Lukas 2:1–21

Di daerah itu ada gembala-gembala yang tinggal di padang menjaga kawanan ternak mereka pada waktu malam. LUKAS 2:8

Ketika Karin, istri saya, masih berusia prasekolah, dia memainkan peran sebagai Maria kecil dalam adegan drama Natal. Meskipun itu adalah ide yang menggemaskan, nyatanya ide tentang ada hewan hidup berdiri di samping seorang anak berusia tiga tahun terbukti sangat menakutkan baginya. Dia menangis histeris, tidak mau lagi untuk kembali dalam peran dramanya. Untuk menghiburnya, ayahnya melangkah ke tempat kejadian dan berbaring di lantai di antara dia dan hewan tersebut, membentuk barikade manusia sehingga putrinya merasa aman. Ia menutupi dirinya dengan jerami sehingga pengunjung yang melihat drama tersebut tidak ada yang menyadari kehadirannya.

Ini adalah gambaran yang tegas tentang apa itu penggembalaan. Dalam Lukas 2, para gembala “menjaga kawanan ternak mereka pada waktu malam”—menyoroti bahaya kegelapan yang sebenarnya. Saat itulah para pencuri dan pemangsa menjadi ancaman terbesar. Jadi para gembala menempatkan diri mereka dalam bahaya, melindungi domba-domba dengan nyawa mereka sendiri.

Akan tetapi dalam catatan Lukas tentang kelahiran Yesus, para gembala itu juga menjadi domba. Pada Natal pertama, Tuhan menyatakan diri-Nya sebagai Gembala yang Baik, yang merawat para gembala itu sendiri sebagai bagian dari kawanan-Nya.

Renungkanlah betapa perhatian Tuhan kepada para gembala mirip dengan gambaran Daud tentang Tuhan sebagai gembala dalam Mazmur 23. Tuhan memenuhi kebutuhan para gembala—kebutuhan yang bahkan mungkin tidak mereka utarakan. Ia menenangkan jiwa mereka melalui seruan malaikat: “Jangan takut.” Ia memimpin mereka di jalan kebenaran langsung ke palungan. Ia menunjukkan bahwa Ia hadir bersama mereka dengan cara yang paling sederhana dan menyenangkan: sebagai bayi di palungan. Ia memulihkan jiwa mereka dengan sebuah pesan pengharapan dan penerimaan—pesan yang ternyata persis “dengan apa yang telah dikatakan kepada mereka.” Ia mengisi cawan mereka hingga meluap dengan pujian “karena segala sesuatu yang mereka dengar dan mereka lihat.” Ia tidak hanya memenuhi kebutuhan mereka; Ia mengurapi kepala mereka dengan minyak sukacita. Ia menunjukkan kepada mereka kebajikan dan kemurahan yang pasti tetap ada bersama mereka di sepanjang hidup.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Saya membutuhkan perhatian seperti itu. Sebagai seorang pendeta, saya bersyukur atas pengingat ini bahwa para gembala juga merupakan bagian dari kawanan. Saya berterima kasih kepada Juruselamat yang mengenal baik para domba-Nya yang mudah gelisah. Ia mempertaruhkan nyawa-Nya di antara jerami, menempatkan diri-Nya di antara kita dan segala bahaya.

Dan saya bersyukur bahwa ketika jiwa kita yang gelisah membutuhkan pemeliharaan, Tuhan masih mengucapkan perkataan damai di bumi dengan suara yang dapat dikenali, suara dari Gembala kita yang baik. Itu sungguh kabar baik yang sangat menggembirakan bagi semua orang.

J.D. Peabody menggembalakan gereja New Day Church in Federal Way, Washington, dan merupakan penulis Perfectly Suited: The Armor of God for the Anxious Mind.

Renungkan Lukas 2:1–21.
Opsional: Baca juga Mazmur 23 dan Yohanes 10:2–4, 11, 14.


Bagaimana Anda melihat pemeliharaan Tuhan—dan karakter Tuhan—dalam catatan kisah para gembala? Apa yang diajarkan dari kisah ini bagi Anda tentang Yesus?

Diterjemahkan oleh David A. Aden.

Natal Tanpa Ayah

Renungan Adven, 22 Desember 2022.

Kumpulan Renungan Adven 2022.

Kumpulan Renungan Adven 2022.

Christianity Today December 22, 2022
Stephen Crotts

Minggu 4: Imanuel


Saat kita berjalan menyelami peristiwa-peristiwa seputar Kelahiran Yesus, kita merenungkan Inkarnasi. Yesus—Allah yang Perkasa, Raja Damai, Terang Dunia—menjadi manusia dan tinggal di antara kita. Seperti yang dinubuatkan Yesaya, Ia berarti ”Allah beserta kita.” Yesus adalah Imanuel.

Baca Matius 1:18–25

…dan Yusuf menamakan Dia Yesus. Matius 1:25b

Klaim ketenaran terbesar tentang Yusuf justru bukan pada siapa dia sebenarnya. Kita mengenalnya sebagai “bukan ayah yang sebenarnya” dari Yesus. Matius menekankan betapa kecilnya peran Yusuf dengan kisah penebusan yang sedang berlangsung, dari kehamilan Maria hingga lokasi kelahiran Kristus, hingga peristiwa-peristiwa yang menyebabkan keluarga itu melarikan diri ke Mesir.

Kitab Suci juga menunjukkan dengan sangat jelas Yusuf yang diam. Tidak ada satu kata pun darinya yang dicatat. Akibatnya, kisah Yusuf sering kali harus dipoles atau malah menjadi subjek rekaan kita. Kita ingin tahu lebih banyak. Namun mungkin ketidakterlibatan Yusuf justru adalah hal yang Tuhan ingin kita ingat.

Peran paling penting dari pria ini justru adalah kekurang-pentingannya. Kurang terlibatnya Yusuf justru merangkum prinsip utama Injil: Keselamatan hanya milik Allah. Kisah Yusuf mengingatkan bahwa kita bukanlah pemimpin orkestrasi penyelamatan kita sendiri. Malaikat itu tidak memberi tahu Yusuf, “Inilah yang Tuhan inginkan, jadi sekarang lakukanlah.” Malaikat itu berkata, pada dasarnya, “Inilah yang telah Tuhan kerjakan, dan inilah cara menerima kebenaran itu.”

Dapat dimengerti jika Yusuf membenci hidupnya yang tidak berlangsung seperti yang dia harapkan. Akan tetapi, alih-alih berfokus pada segala hal yang harus ia lepaskan, Yusuf justru memberikan ruang untuk kenyataan yang lebih besar: Anak ini adalah Anak yang Dijanjikan, kunci penebusan Allah atas seluruh dunia. Dan jika Yesus benar-benar kabar baik bagi semua orang, itu pun termasuk untuk dia. Rencana yang lebih besar bagi umat manusia juga berarti keselamatan baginya secara pribadi.

Jadi, sangatlah layak untuk dicatat bahwa keheningan Yusuf dipecahkan dengan satu kata. Dia tidak dikutip secara langsung, tetapi kita diberitahu bahwa dia mengucapkannya, dan kata itu adalah Yesus. Hanya Yusuf yang mendapat kehormatan memberi nama kepada Anak itu, nama yang berarti “Tuhan menyelamatkan.”

Matius menghubungkan nama ini dengan teks dalam Yesaya yang mengidentifikasi Mesias sebagai Imanuel—Allah beserta kita. Yesus dan Imanuel sebenarnya adalah nama yang dapat dipertukarkan; Kehadiran Allah memungkinkan keselamatan kita, dan keselamatan kita memungkinkan kita untuk berdiri di hadirat-Nya.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Bagi Yusuf, menetapkan nama ini lebih dari sekadar mengikuti perintah malaikat. Ini adalah sebuah deklarasi. Pria yang biasanya tidak mengatakan apa-apa, berbicara dengan keras di sini. Dalam ketidakberdayaannya, ketika dunianya menyimpang, respons Yusuf adalah Yesus. Tuhan menyelamatkan.

Seiring dengan tersingkapnya berbagai peristiwa, di mana ia hanya memiliki kendali yang sedikit, Yusuf justru dapat mengalami sendiri perkataan sang nabi: Imanuel. Tuhan besertaku. Dan ketika dia akan segera menghadapi bahaya sedemikian rupa sehingga ia dan keluarganya harus melarikan diri untuk menyelamatkan hidup mereka, Yusuf membawa kebenaran ini dalam pelukannya. Yesus. Tuhan menyelamatkan. Imanuel. Tuhan beserta kita.

Meskipun hanya kecil ruang yang diberikan bagi Yusuf dalam narasi kelahiran Yesus, namun mungkin itu hal yang baik. Melalui Yusuf, kita dapat melihat betapa kecil kita dan mengingat bahwa keselamatan adalah milik Juruselamat yang menyertai kita sampai akhir.

J.D. Peabody menggembalakan gereja New Day Church in Federal Way, Washington, dan merupakan penulis Perfectly Suited: The Armor of God for the Anxious Mind.

Bacalah Matius 1:18–25.
Terkait tindakan Yusuf untuk memberi nama kepada Yesus, bagaimanakah hal ini berbicara secara pribadi kepada Anda? Menurut Anda apa arti nama ini bagi Yusuf saat dia merawat bayi Yesus?

Diterjemahkan oleh David A. Aden.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube