Theology

Pemimpin Ibadah Membutuhkan Teolog

Seruan Matt Redman untuk menyembah Tuhan sebagaimana Dia adanya.

Christianity Today September 13, 2024
Courtesy of Integrity Music

Dalam Kisah Para Rasul 17, rasul Paulus tiba di Atena dan menemukan sesuatu yang aneh—sebuah mezbah dengan tulisan “allah yang tidak dikenal.”

Tentu saja, ia dengan cerdik mengubah momen ini menjadi kesempatan untuk menceritakan kisah tentang satu-satunya Tuhan yang benar. Namun, ayat ini selalu membuat saya berpikir betapa tidak bergunanya tulisan di mezbah tersebut bagi para penyembah yang malang itu, yang menyembah allah yang tidak dikenal dan tidak dapat diketahui.

Kita tidak tahu apa-apa tentang sifat, karakter dan atribut allah yang tidak dikenal ini. Kita tidak tahu apakah allah ini juga telah melakukan perbuatan-perbuatan besar, melakukan mukjizat, atau meraih kemenangan. Kita juga tidak tahu apa-apa tentang penampilannya. Kita bahkan tidak tahu namanya. Apa sebenarnya yang allah ini tuntut atau inginkan dari para penyembahnya? Kita benar-benar tidak diberi tahu apa-apa untuk bisa terus menyembahnya.

Bagi para penyembah Yesus, ceritanya benar-benar berbeda. Kita menyembah Tuhan yang menyatakan diri-Nya, yang bersedia untuk dilihat dan dikenal. Setiap halaman dari kitab-Nya menyingkapkan tentang pribadi Dia—dan bukan sekadar petunjuk, isyarat, dan bisikan semata—melainkan deskripsi lengkap tentang siapa Dia, apa yang telah Dia lakukan, dan mengapa Dia sangat layak untuk kita sembah.

Kita tidak perlu ragu lagi bahwa Dia adalah Allah yang agung dan penyayang, berkuasa dan penuh damai, kudus dan rendah hati, mulia dan murah hati. Alkitab juga memberi tahu kita tentang cara terbaik untuk mendekati Tuhan dan persembahan seperti apa yang akan berkenan di mata-Nya.

Dalam hal penyembahan, sudah jelas bahwa kita tidak boleh mengada-ada.

Sebuah pelayanan ibadah mungkin tidak akan pernah bisa memuat setiap aspek kebenaran Tuhan, tetapi, sebagaimana mendiang Marva J. Dawn pernah mengingatkan kita, “Ibadah tidak boleh menghasilkan ketidakbenaran.” Kita juga harus berusaha sebaik mungkin untuk tidak melewatkan elemen-elemen kunci dari Pribadi yang sedang kita jumpai.

Dua puluh tahun yang lalu, saya menulis surat kepada para pendeta, pengkhotbah, serta teolog terkemuka dan menanyakan sebuah pertanyaan sederhana: “Tema-tema penting apa saja di Alkitab yang kurang dalam ekspresi ibadah kita saat ini?”

Banyak jawaban yang merujuk pada Tuhan sebagai pencipta, Tuhan sebagai hakim, dan Tuhan sebagai Tritunggal. Sementara mereka memberikan komentar positif tentang musik ibadah kontemporer, namun ada suatu kesan tantangan: Demi kebaikan gereja dan kemuliaan Tuhan, kita harus berbuat yang lebih baik.

Beberapa dekade kemudian, saya penasaran seberapa besar kemajuan yang telah kita capai. Musik penyembahan telah berevolusi dan berkembang secara kreatif, muncul di lebih banyak genre musik daripada sebelumnya. Aspek produksi ekspresi ibadah kita juga mengalami kemajuan. Akan tetapi, dapatkah kita mengatakan hal yang sama tentang isi lirik dan teologinya?

Beberapa lagu bergaya himne modern dapat bertahan dengan baik di area ini: “King of Kings” dari Hillsong, misalnya, menceritakan begitu banyak kisah tentang Tuhan dan menyebutkan 15 dari 25 tema yang terdapat dalam Pengakuan Iman Rasuli. Lalu “Living Hope” karya Phil Wickham mencakup 11 tema tersebut. Ini adalah lagu-lagu yang dapat dinyanyikan dalam jemaat, indah, dan berbobot. Namun jika dilihat secara umum, kita masih punya banyak pekerjaan yang harus dilakukan.

Satu hal yang saya perhatikan adalah betapa kita cenderung lebih suka bernyanyi tentang pertolongan Tuhan daripada tentang kekudusan-Nya. Kita tertarik pada aspek-aspek Tuhan yang secara langsung dan sangat jelas bermanfaat bagi kita—Tuhan sebagai gembala, penghibur, tempat perlindungan, atau penyelamat.

Jika Anda suka, ini adalah lagu-lagu yang bertemakan tentang pertolongan. Namun penting bagi kita untuk memiliki banyak lagu pujian tentang kekudusan Tuhan, lagu-lagu yang memuji Tuhan atas keberhargaan-Nya, entah kita ada dalam kisah tersebut atau tidak. Lagu-lagu yang condong pada tema-tema seperti keagungan, kebenaran, dan kemuliaan. Sebagaimana kitab Mazmur menggambarkan keseimbangan antara kekudusan dan pertolongan Tuhan, kita juga harus melakukan hal yang sama.

Sebagian besar tanggung jawab atas apa yang kita nyanyikan di gereja berada di pundak para pemimpin ibadah dan penulis lagu di zaman kita. Para pemimpin ibadah dan gerakan penyembahan (worship movements) dengan profil publik harus menjalankan amanah mereka dengan penuh kekaguman yang kudus. Tidaklah cukup hanya dengan merilis rekaman musik baru yang menarik atau memenuhi gedung konser. Hal-hal tersebut mungkin memang menakjubkan—tetapi sebenarnya menjadi menyedihkan jika kita tidak menangani materi pelajaran kita yang sakral dengan hati-hati.

Panggilan yang sama ditujukan kepada setiap pemimpin ibadah di gereja lokal. Apakah kita memilih lagu yang menghormati Tuhan sepenuhnya? Atau apakah kita terkadang sembarangan memilih lagu, tanpa menyaringnya melalui filter teologis apa pun, karena getaran musikalnya terlalu menarik untuk diabaikan? Saya menyukai ekspresi yang segar, inovatif, dan kreatif seperti halnya orang lain, tetapi kita dapat memiliki, harus memiliki, keduanya.

Para rohaniwan, Anda juga memiliki kewenangan dalam area ini. Anda adalah penjaga pintu gerbang pelayanan kita. Hubungi dan desaklah para pemimpin ibadah untuk berbuat lebih baik. Laranglah lagu-lagu yang menurut Anda tidak memiliki substansi yang cukup atau bahkan bertentangan dengan Kitab Suci. Tunjukkan tema-tema yang hilang dan yang Anda ingin kami temukan lagunya (atau bahkan tulis lagunya). Jangan biarkan kami lolos dengan teologi yang kurang bermutu hanya demi mendapatkan pengalaman bermusik yang menyenangkan.

Tidak semua lagu harus memiliki kekuatan lirik yang menyentuh seperti “Nobatkanlah Raja”—tetapi jika banyak lagu kita yang masih jauh di bawah standar yang diperlukan, maka tolong bantu kami untuk menyadarinya, dan untuk berkembang. Hai para rohaniwan, kalian mungkin tidak perlu memberi kami terlalu banyak nasihat mengenai musik—tetapi tolong jangan beri kami tanggung jawab penuh atas semua teologi dari apa yang kami nyanyikan.

Banyak dari kita, termasuk saya sendiri, mengakui bahwa kita membutuhkan bantuan dalam bidang tersebut. Kita kemungkinan besar masuk dalam pelayanan ini bukan melalui jalur seminari atau pelatihan teologi yang intensif, melainkan melalui jalan kecintaan terhadap musik dan mampu memainkan alat musik atau bernyanyi.

Kami dengan rendah hati menyadari bahwa kami tidak dapat melakukan ini sendiri. Kami membutuhkan bantuan dari para pemikir, teolog, dan rohaniwan. Kami juga perlu diasah oleh sesama penulis lagu dan pemimpin pujian.

Bukanlah suatu kebetulan bahwa Alkitab bahasa Inggris versi King James memberi tahu kita lebih dari 1.200 kali untuk behold (ketahuilah; lihatlah). Kita menyembah Tuhan yang ingin dikenal sebagaimana Dia adanya. Doa saya adalah kiranya gereja bertumbuh dalam hal ini—mengetahui lagu-lagu yang maknanya lebih mendalam dan benar—serta memimpin ibadah yang membantu kita memandang Yesus dengan cara yang belum pernah ada sebelumnya.

Matt Redman adalah pemimpin pujian dan penulis lagu. Lagu-lagunya antara lain “The Heart of Worship,” “Blessed Be Your Name,” dan “10,000 Reasons” yang memenangkan dua penghargaan Grammy. Dia adalah pencipta WOR/TH (singkatan dari worship and theology), serangkaian seminar untuk membekali penulis lagu, pemimpin penyembahan, dan musisi, dengan dua acara mendatang di AS.

Diterjemahkan oleh Jeremy Osbert.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, TwitterInstagram, atau Whatsapp.

News

Wafat: Andar Ismail, Penulis Produktif yang Membuat Teologi Menjadi Sederhana

Dengan seri Selamat karyanya, pendeta Indonesia ini menulis lebih dari 1.000 cerita pendek yang menyoroti kehidupan dan ajaran Yesus.

Christianity Today September 13, 2024
Edits by Christianity Today / Source Image: Courtesy of Sunoko Samiadji

Andar Ismail, seorang penulis Kristen produktif yang menyajikan kebenaran teologis menjadi cerita pendek yang mudah dipahami masyarakat Indonesia pada umumnya, meninggal karena gagal jantung kongestif pada 25 Agustus 2024. Ia berusia 84 tahun.

Dari tahun 1981 hingga 2022, pendeta dan dosen sekolah teologi ini telah menulis 33 buku, masing-masing berisi 33 cerita pendek, untuk seri Selamat karyanya. Ismail menggambarkan gaya sastranya sebagai gado-gado (“campuran”) karena ceritanya merupakan gabungan berbagai genre: eksposisi Alkitab, cerita tentang Yesus atau tokoh-tokoh Alkitab, sejarah gereja, biografi tokoh-tokoh Kristen, komentar tentang buku atau seni, anekdot lucu, dan refleksi pribadi.

Sementara para penulis Kristen Indonesia lainnya menulis untuk kalangan terpelajar, buku-buku Andar Ismail sangat menghibur dan cukup sederhana untuk dipahami oleh orang Kristen awam—serta orang-orang dari agama lain. Jumlah pembacanya pun banyak sekali: Buku-bukunya telah terjual puluhan ribu eksemplar, sebuah prestasi yang langka di Indonesia, di mana minat baca sangat rendah.

Bahkan setelah menyelesaikan seri Selamat, ia menerbitkan dua koleksi cerita pendek lagi. Selain sumbangsihnya bagi dunia sastra, dia juga menjadi pendeta Gereja Kristen Indonesia (GKI) Samanhudi di Jakarta selama 40 tahun serta mengajar teologi dan pendidikan Kristen di Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta, seminari tertua di negara ini.

Andar Ismail pernah bercerita kepada Validnews Indonesia bahwa seri Selamat berjumlah 33 buku, dan 33 cerita di setiap buku, sesuai jumlah tahun Yesus hidup di bumi,

“Saya terpesona … oleh 33 tahun kehidupan Yesus,” kata Ismail. “Betapa mudanya Dia, tetapi Dia telah berbuat begitu banyak. Kehidupan yang singkat namun sangat berdampak.”

Lahir dengan nama Siem Hong An pada tahun 1940, Andar Ismail dibesarkan dalam keluarga Tionghoa-Indonesia Kristen miskin di Bandung, Jawa Barat. Saat Andar masih sangat belia, ayahnya yang merupakan seorang pemilik pabrik kecil menderita penyakit paru-paru dalam jangka waktu lama sehingga membuatnya tidak dapat bekerja. Keadaan ini memaksa ibu Andar untuk menghidupi keluarga dengan berjualan kue buatan sendiri. Sebagai anak keempat dari enam bersaudara, Andar Ismail mengingat keluarganya menerima makanan dan pembiayaan sekolah dari gereja lokal mereka.

Namun, meski mereka kekurangan uang, ibu Andar Ismail tetap memupuk imajinasi putranya dengan bercerita dan mendorongnya untuk membuat cerita sendiri. Walau hanya bermodalkan dedaunan dan ranting pohon sebagai mainan, dia menciptakan dunia imajinasinya sendiri.

Sejak berusia empat tahun, ibunya membawanya ke Sekolah Minggu, tempat di mana dia senang mendengarkan cerita Alkitab. Dia mengenang dalam bukunya Tukang Ngantar Selamat, bagaimana suatu kali guru Sekolah Minggunya, Sioe Bing, dengan antusias menceritakan kisah Yesus yang meredakan badai di danau Galilea. Saat dia menggerakkan tangannya untuk menggambarkan lautan yang mengamuk, dia tak sengaja menampar wajah Andar Ismail.

Namun ia mengenang kembali momen itu dengan penuh rasa sayang, karena momen itu membangkitkan mimpi baru dalam dirinya. Ketika “ombak danau Galilea” mendarat tepat di wajahnya, benih masa depannya pun tertanam. Kemudian hal itu berkembang beberapa tahun kemudian ketika dia menulis, “Saya ingin berjalan di jalan yang sama seperti Om Sioe Bing. Saya ingin menjadi pendongeng Alkitab.” Andar Ismail memupuk kecintaannya terhadap cerita dengan sering mengunjungi perpustakaan Bandung, tempat dia membaca buku-buku karya Hans Christian Andersen dan Charles Dickens, serta toko buku Kristen setempat, tempat dia membaca karya-karya teolog Belanda Johannes Verkuyl dan Hendrik Kraemer. Pada usia mudanya, dia melihat kekuatan dari menulis. Sewaktu dia bekerja sebagai pengantar koran, dia menyadari bahwa orang-orang akan menunggu dengan penuh semangat sampai dia membawakan mereka koran edisi terbaru dan penantian seperti ini membuatnya merasa penting. Andar Ismail berpendapat, jika pengantar koran saja ditunggu-tunggu, apalagi penulis koran? “Sejak saat itu, saya ingin menjadi penulis,” kata beliau kepada Validnews.

Pada usia 18 tahun, ia belajar di Institut Pendidikan Theologi Balewiyata di Malang, Jawa Timur, untuk menjadi seorang rohaniwan. Sekali lagi, gerejanya mendukung dia dengan membantu membiayai sekolahnya. Kadang kala, dia merasa guru-gurunya sulit dipahami, karena mereka menggunakan kata-kata yang terasa misterius dan memberikan ceramah yang panjang lebar. Namun tantangan ini justru semakin memotivasinya untuk menjadi penulis dan guru. “Saya menulis, didorong oleh keinginan untuk menjelaskan sesuatu yang sulit dengan mudah, tidak panjang melainkan singkat, tidak membosankan tetapi memikat, dan dengan humor,” kata Andar kepada Validnews.

Setelah lulus pada tahun 1963, dia mulai melayani di GKI Samanhudi, sebuah gereja Presbiterian. Dua tahun kemudian, dia ditahbiskan dan menikah dengan Constance (Stans) Budihalim, seorang guru Sekolah Minggu. Dia mengabdi di GKI Samanhudi selama 40 tahun, dan sesekali belajar ke luar negeri. Beberapa di antaranya, dia pernah belajar di sebuah universitas di Utrecht, Belanda; Universitas Presbiterian dan Seminari Teologi di Seoul; dan Seminari Union Presbiterian di Richmond.

Untuk memperlengkapi generasi pendeta Indonesia berikutnya, Andar Ismail mulai mengajar teologi dan pendidikan Kristen di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta (sekarang Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta) sebagai dosen paruh waktu pada tahun 1978. Dia kemudian menjadi dosen penuh dan mengajar di sekolah teologi tersebut hingga tahun 2005.

Saat pemakaman Andar Ismail, salah seorang muridnya, Nanang, bercerita bahwa dia pernah dipanggil ke kantor Andar setelah mengikuti kelas menulis pedagogi. “Jantung saya berdebar kencang karena beliau dikenal sebagai dosen yang sangat tegas,” kata Nanang. Saat Nanang memasuki ruangan, Andar Ismail sedang memegang kertas yang pernah Nanang serahkan. Kecemasannya memudar ketika Andar meminta izin untuk membagikan tulisan Nanang sebagai contoh bagi murid-muridnya yang lebih muda.

“Saya menganggap ini sebagai cara beliau menghargai tulisan saya,” kata Nanang. Kini sebagai pendeta di gereja GKI Mangga Dua Jakarta, Nanang kerap membagikan tulisannya di media sosial.

Impian Andar Ismail sejak kecil untuk menjadi penulis pertama kali terwujud pada tahun 1981 saat dia belajar di Seoul. Ketika di sana, dia menulis koleksi pertamanya yang terdiri dari 33 cerita pendek, berjudul Selamat Natal. Isinya meliputi biografi Yohanes Pembaptis dan raja Herodes, cerita berjudul “Kalau Sekarang Yesus lahir di Jakarta,” dan esai tentang bagaimana Natal hanya bermakna jika kita menerima kematian Yesus di kayu salib untuk dosa-dosa kita. Buku keduanya, Selamat Paskah, diterbitkan setahun kemudian, pada tahun 1982.

Buku tersebut mendapat tanggapan positif dari para pembaca. Namun butuh satu dekade lagi sebelum akhirnya Andar Ismail menerbitkan lebih banyak buku dalam seri tersebut, karena dia sibuk mengajar dan menempuh pendidikan doktornya di AS. Ketika dia kembali ke Jakarta untuk menjadi dosen penuh waktu di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, penerbit yang menerbitkan bukunya, BPK Gunung Mulia, meminta dia untuk melanjutkan seri tersebut.

Butuh beberapa tahun lagi baginya, tetapi pada tahun 1992, dia menulis buku ketiga dalam seri tersebut, Selamat Pagi Tuhan! kemudian mulai menulis satu buku setiap tahun hingga dia menyelesaikan semua 33 buku pada tahun 2022. Ismail menulis setiap buku dengan tangan, dan teman dekatnya, Sunoko Nugroho Samiadji, kemudian menyalinnya di komputer. Samiadji, yang menganggap Ismail sebagai ayah rohaninya, terinspirasi oleh kedisiplinan dan ketekunan Ismail untuk terus menulis meski dalam kondisi sakit.

“Beliau bahkan telah menyelesaikan sepuluh draf cerita untuk buku-buku berikutnya, meski kesehatannya menurun drastis selama empat bulan terakhir ini,” tutur Samiadji setelah Andar Ismail wafat.

Kisah-kisah dalam seri Selamat karya Andar Ismail berfokus pada kehidupan, ajaran, dan tindakan Yesus, termasuk doa, pelayanan, pengajaran, pekerjaan, integritas, dan kasih. Dengan menggunakan bahasa yang membumi, ia berharap dapat membantu para pembaca menelaah kehidupan dan iman mereka.

Untuk terhubung dengan orang-orang dari agama lain, beberapa ceritanya menggambarkan bagaimana penyair dan seniman muslim memandang Yesus.

Seorang jurnalis dan penulis terkenal, Sobron Aidit, memberi komentar di sampul belakang salah satu buku Andar Ismail bahwa meskipun dia seorang Komunis dan mengenal Islam di masa mudanya, dia “sering kali bingung, mencari jalan keluar dari berbagai masalah.” Lalu teman-temannya mengiriminya seri Selamat, dan dia berkata, “Hati saya tersentuh, dan semakin saya menyukai tulisan Andar. Dari tahun ke tahun, saya terus meneliti buku-bukunya. Akhirnya di usia 66 tahun, saya mengakui Kristus sebagai Juru Selamat saya.”

Selama dua dekade, buku Selamat menjadi buku terlaris BPK Gunung Mulia. Atas kontribusinya terhadap gereja Indonesia, pada Agustus 2018 Andar Ismail memenangkan penghargaan di Festival Seni dan Sastra Kristen untuk kategori Tokoh Inspiratif.

Pada bagian belakang buku Selamat, Konferensi Kristen Asia menyebut Andar Ismail dan rekan penulisnya Eka Darmaputera “tidak diragukan lagi adalah penulis Kristen paling produktif di nusantara ini.” “Tulisan-tulisan mereka didasarkan pada kajian teologis yang mendalam, tetapi mudah dipahami oleh umat pada umumnya. Baik Eka maupun Andar telah menjadi aset penting bagi gereja-gereja di Indonesia … dalam mengomunikasikan inti Injil ke dalam hati umat Kristen.”

Binsen Samuel Sidjabat, dosen di Sekolah Tinggi Alkitab Tiranus, sangat memuji karya Andar Ismail, tetapi dia mencatat adanya pergeseran teologis dalam dua cerita Ismail selanjutnya. Walaupun karya-karya awalnya menekankan keselamatan hanya melalui Yesus, tetapi karya-karya selanjutnya tampaknya mempertanyakan Yohanes 14:6, yang mengatakan, “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” Tulisannya yang berjudul “Satu-satunya Jalan?” mengatakan bahwa ayat ini hanya menunjukkan rasa hormat yang tinggi dari gereja mula-mula kepada Yesus, dan tulisannya yang berjudul “Apakah Kristus Satu-satunya Jalan?” mengatakan bahwa ayat ini menjelaskan hubungan Yesus dengan Bapa.

Anak-anak Andar Ismail ingat, ayah mereka terus-menerus mengarahkan mereka kepada Kristus.

Putrinya, Atikah, mengenang saat dia berusia sekitar 12 tahun dan adiknya Syarif berusia 10 tahun, ayahnya pulang ke rumah suatu malam dan mengatakan dia punya hadiah untuk mereka. Dia menyerahkan Alkitabnya kepada mereka, dan anak-anak bertanya-tanya apakah hadiah itu tersembunyi di dalamnya. Atikah menuturkan, “Kami sudah cari dari halaman depan sampai halaman terakhir, tetapi tidak ditemukan amplop atau barang lainnya.” Kemudian, dia menyadari bahwa ayahnya ingin mengajarkan mereka bahwa hadiah paling berharga yang dapat diberikan seorang ayah kepada anak-anaknya adalah Firman Tuhan.

Menjelang akhir hayat Andar Ismail, Samiadji pindah untuk membantu merawat beliau, yang menjalani operasi prostat pada bulan April, dan istrinya. Saat kesehatan Andar Ismail memburuk pada akhir Agustus, Samiadji mengatakan bahwa beliau pernah berdoa, “Tuhan yang terkasih, Engkau telah memberiku begitu banyak hal. Namun, dengan persetujuan-Mu, aku meminta agar aku tidak jatuh sakit terlalu lama, yang akan membuat orang lain sengsara karena harus merawatku.” Samiadji mengakui Andar khawatir akan membebani istrinya.

Tidak lama kemudian, Andar Ismail meninggal dunia dengan tenang. Ia meninggalkan seorang istri, dua orang anak, dan dua orang cucu.

Diterjemahkan oleh Denny Pranolo.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, TwitterInstagram, atau Whatsapp.

Ideas

Kematian karena Swafoto

Columnist

Kita tidak akan pernah melihat kemuliaan Tuhan jika kita hanya melihat pada diri kita sendiri.

Christianity Today September 12, 2024
Illustration by Mallory Rentsch / Source Images: Getty / WikiMedia Common

Mitologi Yunani memang bukan merupakan panduan bagi kehidupan kristiani, tetapi saya menghargai tafsiran cerdas yang terkandung di dalam kisah-kisah kuno tersebut. Baru-baru ini saya teringat Narcissus, seorang pemuda yang mengabaikan segala cinta dan kebutuhan jasmaninya agar ia bisa menatap pantulan dirinya sendiri tanpa henti. Dalam versi yang paling umum dari cerita ini, Narcissus akhirnya meninggal ketika duduk di tepi kolam, saat ia menyadari pantulan bayangan dirinya sendiri—sungguh akhir cerita yang tragis dan ironis dari cintanya yang egois.

Komedi lama yang kelam ini masih berlaku, terutama untuk ego dan kesombongan kita di masa kini. Jika kita ingin menumbuhkan sikap kerendahan hati pada masa sekarang ini, kita akan berhadapan dengan lebih dari sekadar kolam dan cermin.

Kita adalah penyandang gambar Allah. Namun, berkat kehadiran ponsel dan media sosial, banyak dari kita menghabiskan lebih banyak waktu untuk menatap pantulan diri kita sendiri, melebihi dari yang dilakukan Narcissus. Bahkan lebih banyak daripada yang dilakukan orang-orang pada masa-masa sebelumnya. Mayoritas orang dewasa Amerika sekarang memiliki ponsel pintar. Dengan miliaran perangkat seluler yang beredar di seluruh dunia, situasi yang sama juga terjadi di banyak negara lainnya. Kita adalah masyarakat yang gemar berswafoto (selfie), yang terdorong untuk sering melihat dan mengunggah foto tentang diri kita sendiri, dengan harapan bisa menarik lebih banyak like dan mendongkrak “merek” kita.

Kita melupakan bahaya yang mengancam Narcissus. Namun kita juga melupakan anugerah yang disampaikan melalui kisahnya: Setelah Narcissus meninggal, ia berubah menjadi bunga.

Akhir musim panas lalu, saya mengadakan konser di sebuah perkebunan bunga di daerah pedesaan di negara bagian Washington. Saat itu adalah masa di mana bunga dahlia bermekaran. Deretan bunga dahlia yang mengagumkan bergoyang layaknya kembang api yang meletup-letup dari batang hijaunya yang kokoh. Diiringi gitar, piano, dan drum, di bawah tenda kanopi putih, kami bernyanyi saat matahari terbenam. Komunitas dan para musisi bergabung untuk bernyanyi bersama, mengalunkan lirik lagu di antara bunga-bunga itu. Kami berbagi kesadaran yang nyata terasa akan keramahtamahan Tuhan. Rasanya itu seperti gereja di lapangan.

Setelah konser, seorang gadis kecil memberikan segenggam bunga-bunga segar yang mekar kepada saya: bunga ungu yang bulat, bunga merah muda yang tampak seperti anyelir yang berantakan, bunga dahlia anemon dengan lapisan lavender di atas lapisan warna putih. Saya terpesona oleh bunga-bunga tersebut dan oleh kebaikan hati gadis kecil itu. Kami berbicara sebentar tentang bagaimana masing-masing bunga itu bervariasi dan memiliki semangat hidup seperti kita, yang mencerminkan nilai seni dari Tuhan.

Yesus berkata kepada para sahabat-Nya, “Perhatikanlah bunga bakung, yang tidak memintal dan tidak menenun, namun Aku berkata kepadamu: Salomo dalam segala kemegahannya pun tidak berpakaian seindah salah satu dari bunga itu” (Luk. 12:27).

Bunga-bunga tidak memikirkan diri mereka sendiri; mereka ada begitu saja. Penyanyi Tom Petty menempatkan bunga-bunga sebagai simbol kehidupan yang bebas tanpa beban ketika ia bernyanyi, “You belong among the wildflowers” (Kau berada di antara bunga-bunga liar). Bunga-bunga yang indah ini bermekaran dan menari-nari tertiup angin serta membawa kesukaan bagi Tuhan, bagi kita, dan bagi lebah-lebah. Lukas mengatakan, jika rumput di ladang saja didandani Allah begitu rupa, betapa lebih lagi yang dapat Allah lakukan bagi kita!

Dalam mitos tersebut, Narcissus mengalami akhir yang menyedihkan. Namun mungkin itu juga merupakan suatu rahmat.

Anugerah bagaikan sebuah jendela bidik, yang membantu kita untuk mengetahui ke mana kita harus melihat—bukan pada bayangan kita, melainkan pada kemuliaan Tuhan yang tampak, bahkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Langit menceritakan tentang kemuliaan itu bahkan pada saat ini (Maz. 19), dan dengan melihatnya, dapat membantu kita menemukan tempat kita sebagai bagian yang berharga dari ciptaan Tuhan yang indah.

Bunga yang segar dapat layu, tetapi keindahannya tidak akan berkurang. Saat saya memejamkan mata, saya masih dapat melihat bunga-bunga dahlia itu dalam pikiran saya, dan ingatan akan bunga-bunga itu membuat saya bertanya-tanya: Bunga apa yang telah Tuhan tetapkan untuk saya nikmati saat ini? Lagu apa yang harus saya nyanyikan di musim ini? Lalu siapakah Sumber surgawi yang dilagukan oleh penulis himne Anne Steele?

Engkau Sumber kesukaan sejati yang indah, yang tak terlihat, yang aku puja! Nyatakanlah keindahan-Mu bagi penglihatanku, agar aku semakin mengasihi-Mu.

Jika kita hanya melihat pada diri kita sendiri dan menghabiskan hidup kita dengan terpikat oleh cahaya diri kita sendiri yang redup, itu sama saja dengan mati. Ingat, kematian selalu merupakan tragedi. Akan tetapi, ketika kita memandang Tuhan berarti kita memandang pada kebangkitan dan kehidupan baru.

Kehidupan yang berasal dari kebangkitan akan berbunga karena kasih karunia. Kehidupan seperti itu membebaskan kita untuk tidak terlalu memikirkan diri kita sendiri.

Saat kita memandang Yesus untuk mengingat keberhargaan sejati dari diri kita sepenuhnya, maka kita terbebas dari refleksi diri yang sia-sia, dan sebaliknya kita mengetahui bahwa kita adalah milik dari satu-satunya Sumber kesukaan yang sejati itu. Kita bisa memberi diri kita, seperti untaian lagu di padang bunga dahlia. Kita dapat berlipat ganda dengan indah tanpa perlu memandang keindahan diri kita sendiri, karena kita diingat dan dilihat oleh Pribadi yang paling berharga.

Sandra McCracken adalah seorang penyanyi dan pencipta lagu serta penulis di Nashville. Ia juga merupakan pembawa acara siniar The Slow Work yang diproduksi oleh CT.

Diterjemahkan oleh Fajar Supriono.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, TwitterInstagram, atau Whatsapp.

Cover Story

Monumen Teologis untuk Persatuan di tengah Keberagaman

Lima puluh tahun lalu, solusi Perjanjian Lausanne terhadap perpecahan yang meluas di kalangan Injili bukanlah keseragaman.

Christianity Today September 12, 2024

Dalam film Memento tahun 2000, tokoh utama Leonard Shelby mengalami cedera otak tertentu yang mencegahnya membentuk ingatan jangka panjang yang baru. Dia dapat mengingat informasi selama 30 detik hingga satu menit paling lama, tetapi kemudian dia lupa segalanya.

Terputusnya Leonard dengan masa lalunya membuat dia terus-menerus bingung tentang bagaimana ia bisa berada dalam situasi seperti ini: Musuh apa yang sedang saya hadapi—dan mengapa? Mengapa saya memegang pistol? Kebingungannya adalah akibat amnesia, ketidakmampuan seseorang untuk mengingat sejarahnya sendiri. Andai saja Leonard dapat belajar kembali dan mengingat bagian-bagian penting dari masa lalunya, dia mungkin akhirnya dapat kembali pada kehidupan yang stabil, dengan pemahaman yang waras tentang dirinya sendiri dan orang-orang di sekitarnya.

Menjadi seorang Injili pada masa kini mirip seperti ini. Kita juga terputus dari masa lalu kita, meskipun untuk alasan yang lebih bisa dipulihkan daripada cedera otak. Akibatnya, kaum Injili kini lebih terpecah-belah daripada sebelumnya, dengan banyak dari kita memerangi musuh yang dulunya adalah teman.

Akan tetapi, bagaimana jika kita berhenti sejenak untuk mengingat sejarah kita? Kita tidak hanya akan mengingat kembali siapa kita dan bagaimana kita sampai di sini, melainkan kita bahkan dapat menemukan kembali apa yang terbaik dari gerakan Injili yang pernah ada, sedang ada, dan bisa ada sekali lagi.

Tentu saja, salah satu masalah terbesar saat ini adalah bahwa tampaknya hampir tidak ada kesepakatan tentang apa arti kata evangelical (Injili). Seandainya saja kaum Injili di seluruh dunia dapat menyepakati parameter dasar untuk evangelikalisme (evangelicalism)—sesuatu yang cukup minimal untuk mendorong keberagaman yang sehat tetapi cukup substansial untuk memastikan integritas doktrinal.

Bagaimana jika hal seperti ini sudah ada?

Lima puluh tahun lalu, pada Juli 1974, sekitar 2.700 pemimpin Kristen dari 150 negara melakukan perjalanan ke Lausanne, Swiss, atas amanat penginjil Amerika, Billy Graham, dan teolog Inggris John Stott.

Konferensi tersebut secara resmi diberi nama “Kongres Internasional Penginjilan Sedunia Pertama,” tetapi kemudian dikenal sebagai pertemuan Lausanne pertama tahun 1974. Meskipun kongres ini hanya melibatkan sebagian kecil gereja di dunia, majalah Time pada saat itu melaporkan bahwa kongres tersebut “mungkin merupakan pertemuan umat Kristen dengan cakupan paling luas yang pernah diadakan.”

Atas: Para peserta tiba di Palais de Beaulieu di Lausanne, Swiss, pada tahun 1974. Bawah: Stan-stan tempat menerjemahkan sesi pleno Lausanne ke dalam enam bahasa resmi dari kongres tersebut.

Mungkin hasil yang terpenting dan bertahan lama dari pertemuan ini adalah Perjanjian Lausanne, yang seiring waktu terbukti menjadi salah satu dokumen paling berpengaruh dalam gerakan Injili modern. Tujuan dari dokumen tersebut adalah untuk menjawab pertanyaan utama: Seberapa jauh kita harus sepakat satu sama lain untuk bermitra bersama dalam mengemban tugas misi dunia?

Pada saat itu, seperti halnya sekarang, evangelikalisme tengah merasakan dampak dari kontroversi fundamentalis-modernis, yang menyebabkan perpecahan buruk di hampir setiap lembaga dan denominasi Kristen yang besar. Pendekatan fundamentalis terhadap perbedaan-perbedaan melibatkan uji litmus yang ketat dan kekakuan doktrinal. Sementara pandangan progresif menghindari penetapan batasan doktrinal apa pun, yang berisiko menimbulkan penyimpangan substantif dari sejarah doktrin kekristenan.

Namun kaum Injili mengambil pendekatan yang berbeda.

Pendekatan kaum Injili terhadap keberagaman yang dicontohkan di Lausanne dicirikan oleh (1) negosiasi yang cermat mengenai persatuan di tengah perbedaan yang didasarkan pada pengakuan umum kekristenan historis dan (2) perayaan keberagaman itu sendiri sebagai suatu kebaikan yang hakiki, dan bahkan bukti dari ekspresi rencana Allah bagi gereja global dan universal dari semua orang percaya.

Perjanjian Lausanne memberikan sebuah definisi teologis tentang arti evangelical (Injili) dan secara intensional menghindari elemen-elemen sosial-politik apa pun yang terkait dengan gerakan tersebut. Perjanjian ini juga tidak mempertaruhkan posisi pada sejumlah isu penting namun sekunder, yang terkait dengan teologi, doktrin, dan praksis. Misalnya, tidak ada diskusi tentang baptisan, peran gender dalam pelayanan, atau usia bumi dan evolusi.

Dengan menghindari isu-isu semacam ini, Perjanjian Lausanne mengikutsertakan umat Kristen dari kedua belah pihak yang berselisih pendapat yang mungkin akan terpecah-belah. Sebaliknya, para pemimpin kongres berusaha menciptakan sebuah komunitas perjanjian yang mengatasi perbedaan-perbedaan tersebut dan melayani misi bersama bagi “seluruh Gereja untuk membawa seluruh Injil ke seluruh dunia.”

Dalam satu pengertian, kovenan ini merupakan pernyataan keyakinan bersama yang terdiri dari 15 pasal, sebuah pendahuluan, dan sebuah kesimpulan. Dengan lebih dari 3.100 kata, dokumen ini cukup singkat untuk dicetak dengan jelas pada dua sisi satu halaman. Stott, ketua komite perumus dokumen, memaparkan alasan di balik setiap pasal dalam uraiannya—sebuah pendamping yang wajib dibaca dari perjanjian tersebut.

Adalah suatu kesalahan jika kita melihat dokumen ini hanya sebagai pernyataan keyakinan karena dokumen ini dimaksudkan sebagai suatu perjanjian, tulis Stott—sebuah “kontrak mengikat” yang menyatukan para penandatangannya pada tujuan dan kemitraan bersama. Setelah 10 hari perdebatan, diskusi, dan negosiasi, sebagian besar peserta yang hadir (2.300) menandatangani dokumen itu bersama-sama. Seperti yang dijelaskan Stott, “Kita tidak hanya ingin mendeklarasikan sesuatu, melainkan juga melakukan sesuatu—untuk berkomitmen pada tugas penginjilan dunia.”

Bahkan kini, perjanjian itu dimaksudkan untuk ditandatangani oleh mereka yang membaca dan menyetujuinya—dan dengan demikian, kita berkomitmen untuk bekerja sama satu sama lain dalam misi Allah.

Seperti kebanyakan kalangan Kristen Injili, saya tidak pernah mendengar tentang Perjanjian Lausanne ketika saya tumbuh dewasa, dan saya juga tidak pernah diminta untuk menandatanganinya sampai saya dewasa. Saya adalah seorang India berkulit gelap, lahir di California Selatan pada tahun 1978 dari pasangan imigran generasi pertama yang keduanya beragama Kristen—termasuk ayah saya yang belajar di Universitas Biola.

Sementara mereka yang berada di lembaga Kristen terkadang terlibat dengan Perjanjian Lausanne, saya bersekolah di sekolah menengah umum dan universitas negeri sekuler. Gereja-gereja yang saya hadiri ketika tumbuh dewasa adalah gereja-gereja non-denominasional, yang memiliki kelebihan tetapi juga sedikit amnesia tentang sejarah Kristen.

Saya pertama kali mengetahui perjanjian tersebut pada akhir tahun 2000, 24 tahun lalu, saat saya masih mahasiswa pascasarjana yang tengah belajar untuk menjadi dokter-ilmuwan. Saya mendaftar dan diterima di Harvey Fellowship —beasiswa yang ditawarkan kepada orang Kristen yang masuk ke dalam bidang-bidang yang kurang terwakili—dan semua pelamar diwajibkan menandatangani Perjanjian Lausanne. Pada musim panas berikutnya, saya pergi ke Washington, DC, untuk menghadiri acara selama seminggu guna bertemu dengan sekelompok kecil penerima beasiswa Harvey yang baru.

Acara ini secara substansial memperluas pengalaman saya tentang keberagaman Injili. Ben Sasse, seorang sejarawan Yale dan Reformed Presbiterian, adalah orang Kristen pertama yang saya kenal yang memberikan argumen yang masuk akal untuk baptisan bayi, meskipun dia dan saya tidak sepakat tentang hal itu. Mac Alford, seorang ahli biologi tanaman dari Cornell, adalah orang Kristen pertama yang saya temui yang menyetujui evolusi—yang saat itu saya tolak.

Meskipun perbedaan pendapat ini tidak mengenakkan, setidaknya bagi saya, kami semua telah menandatangani Perjanjian Lausanne (yang tidak mengambil sikap apa pun terhadap salah satu dari isu-isu tersebut) dan telah berkomitmen untuk bekerja sama.

Perjanjian Lausanne menawarkan penjelasan teologis tentang perbedaan-perbedaan kita—berdasarkan keyakinan mendasar bahwa perbedaan-perbedaan ini dapat menjadi sesuatu yang berharga. Para pemimpin kongres tidak merasa puas dengan komunitas yang sempit, yang hanya sepakat dengan beberapa hal, dan sebaliknya mereka mencari komunitas yang luas yang mengatasi perbedaan-perbedaan kita.

Perjanjian ini menjelaskan, dengan menggunakan apa yang disebut Stott sebagai “terjemahan harfiah dari Efesus 3:10,” bahwa pandangan kita yang berbeda tentang Kitab Suci adalah sebuah mekanisme yang dengannya hikmat Allah diungkapkan kepada kita:

Wahyu Allah di dalam Kristus dan di dalam Alkitab tidak dapat diubah. Melalui wahyu Allah, Roh Kudus masih berbicara hingga saat ini. Dia menerangi pikiran umat Allah dalam setiap budaya agar memahami kebenaran Firman Tuhan dengan cara baru melalui mata mereka sendiri dan dengan demikian menyingkapkan kepada seluruh gereja hikmat Allah yang beraneka ragam.

Alih-alih mengurangi batas-batas doktrinal demi mencapai perdamaian yang palsu, undangan kalangan Injili adalah untuk membaca Alkitab kita bersama-sama, memilah-milah perbedaan kita, dan berunding—dan naluri-naluri ini jelas terlihat dalam cara penyusunan Perjanjian Lausanne.

Meskipun konferensi itu sendiri hanya berlangsung selama 10 hari, tetapi proses perumusan perjanjian ini memakan waktu berbulan-bulan untuk berdialog dan bernegosiasi. Namun dengan 2.700 delegasi yang hadir di konferensi itu, berapa banyak kerja sama yang bisa terjadi? Ternyata cukup banyak. Dalam penilaian Stott, “Karena itu, dapat dikatakan bahwa Perjanjian Lausanne mencerminkan kesepakatan pikiran dan hati dari Kongres Lausanne.”

Perumusan dokumen tersebut ditugaskan kepada sebuah komite kecil yang terdiri dari Stott; presiden Wheaton College saat itu, Hudson Armerding; dan Samuel Escobar, seorang teolog asal Peru dari InterVarsity Christian Fellowship.

Beberapa bulan sebelum pertemuan bulan Juli, para peserta dikirimi makalah dari semua pembicara pertemuan dan diminta untuk memberikan umpan balik secara tertulis. Ditulis oleh J.D. Douglas, editor Christianity Today saat itu, draf awal itu didasarkan pada tema-tema utama dan wawasan dari makalah-makalah tersebut.

Dalam pemaparannya, Stott menjelaskan, “Dokumen ini dapat dikatakan benar-benar berasal dari Kongres (meskipun Kongres belum berkumpul), karena dokumen ini mencerminkan kontribusi para pembicara utama yang makalahnya telah dipublikasikan sebelumnya.”

Sebelum konferensi, draf awal itu dikirimkan ke beberapa penasihat, yang komentarnya digunakan untuk memandu revisi pertama dari dokumen tersebut. Kemudian revisi kedua diawasi oleh komite.

Namun para perumus dokumen juga ingin melibatkan, mendengarkan, dan belajar dari para peserta yang hadir. Jadi di tengah pertemuan bulan Juli, setiap peserta diberi salinan perjanjian draf ketiga dan diminta untuk memberikan tanggapan mereka serta berdiskusi dalam kelompok kecil yang dibentuk setiap hari.

Dari umpan balik ini, segala keberatan dan usulan amandemen diajukan untuk dipertimbangkan oleh komite perumus. Menurut Stott, kongres menanggapi dengan sangat tekun. Ratusan masukan diterima (dalam bahasa-bahasa resmi), diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, disortir dan dipelajari. Beberapa usulan amandemen saling membatalkan satu sama lain, akan tetapi komite perumus berupaya memasukkan semua usulan sebisa mereka.

Pada akhirnya, negosiasi ini secara substansial berdampak pada dokumen final dalam tiga tema utama. Pertama, pernyataan yang dinegosiasikan secara cermat mengenai ineransi Alkitab ditambahkan ke dalam dokumen. Kedua, pernyataan perjanjian mengenai tanggung jawab sosial diperkuat. Ketiga, beberapa perubahan dibuat untuk mencerminkan keprihatinan dan kebijaksanaan gereja global di luar dunia Barat. Ketiga tema ini, saya percaya, merangkum pelajaran-pelajaran dari Lausanne bagi kehidupan kita di masa kini.

I. Pasal tentang otoritas Alkitab diperkuat dengan memasukkan pernyataan yang dinegosiasikan secara hati-hati tentang ineransi Alkitab, yang dipengaruhi oleh masukan dari Francis Schaeffer dan lainnya, yang menyatakan bahwa Alkitab “tidak dapat salah dalam segala hal yang ditegaskannya.” Perubahan yang spesifik ini diperdebatkan dengan sengit, menimbulkan tantangan besar bagi komite perumus.

Pada satu sisi, alasan-alasan untuk menyertakan pernyataan tentang ineransi sangatlah kuat. Pandangan yang berbeda tentang Alkitab merupakan akar penyebab dari banyaknya perselisihan mendalam antara kalangan Injili dan Kristen progresif. Klaim kaum modernis, yang didorong oleh kelompok higher criticism (kritik tinggi Alkitab), adalah bahwa Alkitab “berotoritas” tetapi pesannya selalu dapat berubah karena banyaknya kesalahan yang dianggap ada di dalamnya.

Bersamaan dengan pernyataan ini, banyak orang Kristen liberal menolak kepercayaan akan Kebangkitan, Kelahiran dari Perawan Maria, serta keberadaan Adam dan Hawa yang historis. Meski ketiga klaim klasik dari kekristenan ini tidak sama pentingnya, tetapi menolak salah satunya merupakan suatu revisi besar terhadap iman kristiani dengan konsekuensi yang sangat luas.

Mengklarifikasi sifat dari ketidaksepakatan tentang Alkitab ini merupakan hal utama yang dipikirkan para penyelenggara konferensi. Tentu saja ada alasannya mengapa kaum Injili tidak bisa dengan mudah bermitra dalam misi dunia dengan mereka yang pemahamannya tentang Injil tidak mencakup, misalnya, kebangkitan Yesus secara jasmani—karena ini akan menjadi Injil yang berbeda sama sekali (Gal. 1:6–9). Sebagaimana yang dikatakan rasul Paulus, “Dan jika Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah kepercayaan kamu” (1Kor. 15:17).

Selain itu, dalam konteks dekatnya, konferensi Lausanne merupakan respons terhadap Konferensi Bangkok yang bertema Salvation Today, yang diselenggarakan setahun sebelumnya (1973) oleh Dewan Gereja-gereja se-Dunia (DGD). Bahkan lokasi Lausanne dipilih karena kedekatannya dengan Jenewa, tempat kantor pusat DGD.

Konferensi Bangkok dihadiri oleh delegasi Injili serta penganut Kristen liberal dan arus utama, yang mana banyak di antara mereka telah menyimpang dari ortodoksi. Meskipun laporan akhir konferensi itu menyertakan suatu konsesi bagi kaum Injili, yang menegaskan Kisah Para Rasul 4:12 bahwa “tidak ada nama lain [selain Yesus] yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan,” namun permintaan-permintaan lain untuk memperkuat teologi Injil—yang menggemakan Deklarasi Frankfurt tahun 1970, di mana orang Kristen Jerman menolak “pergeseran ke arah humanistik” dalam misi di WCC—ditolak karena dianggap sebagai kontribusi Barat yang tidak mewakili semua orang.

Lebih jauh lagi, laporan Konferensi Bangkok juga memuat pernyataan-pernyataan yang menyebutkan bahwa pembebasan dari penindasan sosial merupakan bentuk keselamatan, termasuk “perdamaian rakyat di Vietnam, kemerdekaan di Angola, keadilan dan rekonsiliasi di Irlandia Utara, serta pembebasan dari belenggu kekuasaan.” Dalam artikel Christianity Today, Peter Beyerhaus menulis,

Di sini, di bawah kedok yang tampaknya alkitabiah, konsep keselamatan telah terlalu diperluas dan kehilangan ciri khas Kristennya sehingga setiap pengalaman pembebasan dapat disebut sebagai “keselamatan.” Dengan demikian, setiap partisipasi dalam upaya pembebasan akan disebut sebagai “misi.”

Beyerhaus menambahkan bahwa konferensi itu juga mempresentasikan Maoisme—komunisme Tiongkok—sebagai alternatif yang dapat diterima bagi kekristenan. Demikian pula, gereja nabi Simon Kimbangu—yang mengklaim dirinya sebagai inkarnasi Allah Bapa dan putranya adalah inkarnasi kedua dari Yesus—disajikan sebagai contoh terpuji dari pelayanan masyarakat pribumi.

Lebih dari sekadar komentar biasa, ini adalah himbauan intensional dari pimpinan DGD kepada gereja-gereja di Asia dan Afrika, dan segala keberatan teologis dianggap sebagai upaya yang tidak berguna untuk mengasimilasi gereja-gereja pribumi ke dalam pemikiran Barat.

Walau tak seorang pun dapat mendikte siapa yang boleh mengidentifikasi dirinya dengan istilah Kristen atau bahkan Injili, Perjanjian Lausanne mendasari kesatuan Kristen dalam misi bersama untuk mewartakan keseluruhan Injil kepada seluruh dunia. Misi inilah yang menjadi alasan kita bergabung dengan komunitas yang sering kali membuat tidak nyaman, yang dikenal sebagai gereja, terlepas dari segala perbedaan di antara kita.

Ketidaksepakatan yang serius tentang sifat Injil sering kali dapat ditelusuri kembali dengan dua cara yang sangat berbeda dalam memahami Kitab Suci. Semua orang yang terlibat dalam perdebatan ini mungkin setuju bahwa Alkitab itu “berotoritas,” tetapi apakah ajaran Alkitab selalu berubah dan penuh kesalahan?

Pada sisi lain, bahkan bagi banyak orang Kristen ortodoks, istilah ineransi masih menjadi pokok bahasan yang krusial. Ineransi adalah kata yang sarat makna, karena kata ini sudah digunakan oleh sebagian orang fundamentalis sebagai uji litmus doktrinal. Yang memperparah masalahnya, istilah ini kurang didefinisikan dengan baik karena masih beberapa tahun sebelum pernyataan Chicago tentang ineransi dan hermeneutika ditulis pada tahun 1978 dan 1982. Karena itu, tidak mengherankan jika banyak peserta yang hadir sangat keberatan dengan penggunaan ineransi dalam pernyataan perjanjian tersebut mengenai Kitab Suci.

Solusi dari Stott untuk kebuntuan ini ditempa dalam proses negosiasi dan merupakan langkah bijaksana. Alih-alih menuntut kata ineransi, ia menggantinya dengan definisi yang ringkas dan jelas dari istilah tersebut, dengan mengatakan bahwa Kitab Suci adalah “tanpa kesalahan dalam semua yang ditegaskannya.” Kaum Injili yang keberatan dengan istilah ineransi kemudian bisa menerimanya, akan tetapi banyak kaum progresif tidak menyepakati hal ini.

II. Kongres ini juga memperkuat pasal perjanjian tentang tanggung jawab sosial. Sekali lagi di sini para perumus perjanjian membedakan diri mereka dari kaum progresif di WCC dan kaum fundamentalis yang bereaksi berlebihan terhadap ajaran Injil sosial kaum liberal.

Menelusuri jejak Billy Graham sendiri dalam isu keadilan sosial telah memberikan beberapa latar belakang yang instruktif. Pada tahun 1953, setelah memutuskan untuk tidak lagi mengikuti norma di bagian Selatan Amerika Serikat tempat ia dibesarkan (yang kala itu menerapkan segregasi ras), Graham mulai menekankan agar para pendengarnya terintegrasi, dengan orang kulit hitam dan kulit putih duduk berdampingan.

Pada tahun 1960, Graham berbicara di sejumlah kebaktian kebangkitan rohani yang dipublikasikan secara luas di beberapa negara di Afrika—mengkhotbahkan Injil kepada orang banyak di stadion yang penuh sesak—tetapi ia menolak memberitakan Injil kepada audiens yang dipisahkan oleh apartheid (sistem politik segregasi rasial) Afrika Selatan.

Tindakan Graham yang disengaja itu adalah pernyataan sosial-politik yang jelas tentang integrasi ras dalam gereja—yang membuat geram banyak orang fundamentalis, termasuk mereka yang berada dalam denominasinya sendiri, Baptis Selatan.

Seminggu setelah penolakan Graham terhadap Afrika Selatan, penginjil fundamentalis dan penyiar, Bob Jones Sr., menanggapi dalam sebuah pesan Paskah di radio berjudul “Apakah Segregasi itu Alkitabiah?” Dengan berargumen dari interpretasi yang salah terhadap pembacaan Kisah Para Rasul 17:26, Jones mengajarkan bahwa jawabannya adalah ya. Upaya untuk mengintegrasikan ras dan mengakhiri segregasi, menurut dia, bertentangan dengan tatanan ciptaan Allah dan mengalihkan perhatian dari tugas pemberitaan Injil. Dalam hal ini, Jones menggemakan pandangan banyak orang Kristen di bagian Selatan Amerika Serikat.

Meskipun apartheid terus berlanjut hingga tahun 1990-an, Graham akhirnya berkhotbah di Afrika Selatan pada tahun 1973, tepat satu tahun sebelum pertemuan di Lausanne—yang mungkin merupakan salah satu pertemuan besar pertama di negara itu yang mempertemukan orang-orang kulit hitam, kulit putih, dan cokelat. Di hadapan 100.000 orang yang hadir, pengkhotbah dari Selatan itu berseru, “Kekristenan bukanlah agama orang kulit putih. … Kristus adalah milik semua orang.”

Kiri atas: A. Jack Dain dan Billy Graham menandatangani Perjanjian Lausanne pada upacara penutupan kongres Lausanne, 1974. Kiri bawah: Para pemimpin kongres Lausanne dalam sebuah konferensi pers, 1974. Kanan: Martin Luther King Jr. dan Billy Graham.

Graham adalah teman Martin Luther King Jr. dan terkadang menjadi sekutu publik bagi perjuangan King, dan keinginannya untuk melihat keadilan rasial terus tumbuh di sepanjang hidupnya. Namun Graham bertanya-tanya apakah ia telah berbuat cukup banyak, dan pada tahun 2005, ia menyatakan penyesalannya karena tidak memperjuangkan hak-hak sipil dengan lebih tegas, dan berharap ia ikut serta dalam aksi protes bersama King di jalanan.

Konteks ini menghidupkan kembali versi final dari teks perjanjian tersebut, yang membedakan pekerjaan pemberitaan Injil—yang berpusat pada pesan Allah kepada kita khususnya dalam kehidupan, kematian, dan kebangkitan Yesus Kristus—dari tugas untuk mewujudkan keadilan sosial:

Di sini kami pun mengungkapkan penyesalan atas kelalaian kami dan karena terkadang menganggap pemberitaan Injil dan kepedulian sosial sebagai hal yang terpisah satu sama lain. Meskipun rekonsiliasi dengan manusia bukanlah rekonsiliasi dengan Tuhan, demikian pula aksi sosial bukanlah penginjilan, dan pembebasan politik bukanlah keselamatan, namun kami menegaskan bahwa penginjilan dan keterlibatan sosial-politik merupakan bagian dari tugas kristiani kita.

Sebagai tanggapan terhadap Konferensi Bangkok, Perjanjian Lausanne menegaskan bahwa pembebasan dari penindasan tidak identik dengan konsep keselamatan dalam Alkitab. Namun perjanjian ini juga menghindari kesalahan kaum fundamentalis yang mengabaikan keadilan sosial dan bahkan menyerukan kaum Injili untuk bertobat karena memisahkan kekristenan dari kepedulian yang semestinya terhadap tatanan sosial.

Ini adalah pelajaran penting bagi kita saat ini. Kesulitan kita di masa kini dalam berbicara dan berpikir tentang ras, keberagaman, dan keadilan sosial bukanlah hal baru. Perdebatan teologis mengenai Injil dan keadilan sosial setidaknya sama tuanya dengan kontroversi kaum modernis-fundamentalis. Kaum Injili dengan tepat menolak Injil sosial dan bentuk-bentuk teologi pembebasan tertentu yang menyebabkan penyimpangan dari ajaran Kristen historis. Namun, kita sering kali terlalu berpuas diri—dan sangat tidak terganggu oleh rasa puas diri kita—dalam mengupayakan keadilan.

Saat ini, perdebatan sengit berkecamuk terkait teori ras kritis (critical race theory; CRT) dan inisiatif keberagaman, kesetaraan, dan inklusi (diversity, equity, and inclusion; DEI). Ada banyak cara untuk mendefinisikan dan mengimplementasikan CRT dan DEI, beberapa di antaranya menyerupai versi teologi pembebasan yang disekularisasi. Namun, keinginan yang memotivasi untuk mengikutsertakan dan mendorong keberagaman dalam masyarakat adalah hal yang patut dipuji dan pada akhirnya mencerminkan kerinduan akan Kerajaan Allah. Inilah sebabnya mengapa banyak seruan Kristen untuk keadilan rasial didorong oleh bahasa serta kepedulian Kitab Suci, dan bahkan didasarkan pada pribadi Yesus Kristus.

Setidaknya pada tingkat yang tinggi, tujuan-tujuan yang dinyatakan CRT dan DEI tidak menjadi masalah, meskipun kita khawatir bahwa banyak pendekatan umum untuk mencapai tujuan ini menjadi salah arah atau merusak. Bagi kita yang khawatir terhadap versi CRT yang tidak alkitabiah, penawar terbaiknya adalah dengan mengikuti teladan Perjanjian Lausanne. Semoga kita dapat mengartikulasikan teologi keadilan yang kuat dan menindaklanjutinya dalam tindakan kita—dan kiranya kita dapat menyesali kegagalan kita di masa lalu dalam mengupayakan keadilan.

III. Ketika mempelajari Gerakan Lausanne, saya selalu terkesima dengan kebanggaan, sukacita, dan kecintaan para anggotanya terhadap keberagaman gereja global non-Barat serta keinginan mereka untuk memperkuat suaranya. Konferensi ini dirancang untuk mengikutsertakan orang-orang dari negara-negara yang paling terpencil, yang kurang terwakili, dan yang kekurangan sumber daya. Konferensi ini menawarkan biaya yang terjangkau untuk memastikan para peserta yang kurang mampu dapat hadir. Bahkan saat para penyelenggara mengumpulkan kelompok umat Kristen global dan yang paling beragam dalam sejarah pada setiap pertemuan, mereka selalu mengungkapkan kesedihan atas bagian-bagian gereja yang tidak dapat hadir.

Meski demikian, komitmen Lausanne terhadap partisipasi global menghadapi beberapa kendala di awal sejarahnya—dimulai dengan pertemuan pertamanya, di mana ada 1.000 peserta lebih dari 2.700 peserta yang hadir berasal dari negara-negara berkembang.

Sebelum Lausanne, beberapa pemimpin Afrika menyerukan “moratorium” terhadap misionaris Barat dan uang yang dikumpulkan melalui jaringan mereka. Hal ini terjadi sebagian karena banyak yang keberatan dengan pola paternalistik yang mereka saksikan dalam pelayanan misi, yang sering kali dipicu oleh ketidakseimbangan kekayaan yang besar.

Misi-misi Barat, meskipun dengan niat baik, kadang kala bersifat eksploitatif dan gagal menciptakan hubungan yang sehat dan kolaboratif, yang dapat melayani negara-negara non-Barat dengan baik. Yang pasti, keterlibatan gerakan misionaris dari budaya Barat dan kekristenan memang telah mendistorsi Injil dan sering menjadi batu sandungan bagi belahan dunia lainnya.

Penyelenggara Lausanne mengundang orang-orang Kristen dari semua pihak yang terlibat dalam perdebatan ini ke kongres, termasuk teolog Kenya John Gatu, penulis moratorium. Pada kongres tersebut, kelompok Strategi Nasional Afrika Timur yang terdiri dari sekitar 60 orang Afrika mengajukan pertanyaan tentang permintaan ini. Perdebatan yang sengit dan masuk akal terjadi antara Gatu, yang mendukung moratorium, dan Festo Kivengere, seorang uskup Anglikan dari Uganda yang menentangnya. Pada akhir minggu, kedua belah pihak telah menyelesaikan perbedaan mereka sehingga dapat memberikan pernyataan konsensus kepada kongres:

Gagasan di balik moratorium ini adalah keprihatinan akan ketergantungan yang berlebihan terhadap sumber daya asing, baik personel maupun keuangan, yang terkadang menghambat inisiatif dan pengembangan tanggung jawab lokal. Kelompok [kami] merasa bahwa penerapan konsep di balik moratorium ini dapat dipertimbangkan untuk situasi-situasi tertentu dan bukan secara umum.

Dengan dicabutnya moratorium secara efektif, seluruh anggota kongres—dan komite penyusun yang sebagian besar berasal dari Barat—sebenarnya bisa saja merespons penuh kemenangan dengan menghindari isu ini sama sekali. Namun sebaliknya, komite tersebut mengakui legitimasi kekhawatiran Afrika dan mengubah draf tersebut dengan menyatakan, “Kami juga mengakui bahwa beberapa misi kami terlalu lamban dalam memperlengkapi dan mendorong para pemimpin nasional untuk memikul tanggung jawab yang seharusnya mereka emban.”

Pada bagian lain, dalam pasalnya tentang “Penginjilan dan Budaya,” perjanjian ini juga menyertakan pengakuan bahwa meskipun “Injil tidak mengandaikan superioritas budaya apa pun atas budaya lain,” namun misi global “sering kali membawa serta budaya asing bersama Injil.”

Gambar: Isi perjanjian yang didistribusikan oleh Komite Lausanne untuk Penginjilan Dunia pada tahun 1970-an.
Gambar: Isi perjanjian yang didistribusikan oleh Komite Lausanne untuk Penginjilan Dunia pada tahun 1970-an.

Dalam pernyataan-pernyataan ini, gereja non-Barat dengan tepat mengoreksi gereja Barat, dan gereja Barat menanggapinya dengan pertobatan. Sekali lagi, “hikmat Allah yang beraneka ragam,” mengutip frasa dari perjanjian tersebut, muncul bukan terlepas dari adanya perbedaan, melainkan justru karena adanya perbedaan yang perlu diselesaikan.

Akar permasalahannya adalah keinginan bersama orang Kristen non-Barat untuk diterima sebagai orang yang setara. Kemudian Perjanjian Lausanne secara terbuka memberi penghormatan terhadap keindahan visi ini:

Kita bersukacita bahwa era misi yang baru telah tiba. Peran dominan misi-misi Barat dengan cepat menghilang … menunjukkan bahwa tanggung jawab untuk menyebarkan Injil ada di pundak seluruh tubuh Kristus.

Lima puluh tahun lalu, kaum Injili mulai menyadari bagaimana gereja-gereja non-Barat menderita ketika Injil terlalu erat dikaitkan dengan budaya dan negara-negara Barat. Lalu pada masa kini, kita melihat secara langsung bahaya dan kerusakan yang ditimbulkan dari keterkaitan ini terhadap gereja-gereja Barat juga.

Setiap kali kita mengidentifikasikan kekristenan dengan Barat, Amerika, atau entitas sosial politik lainnya, kesaksian dan pemahaman kita tentang Injil menjadi terdistorsi. Kemudian ketika kita mengabaikan keberagaman suara dalam gereja global, kita mengabaikan “hikmat Allah yang beraneka ragam”.

Kiri atas: Festo Kivengere. Kanan atas: John Stott. Bawah: Peserta Lausanne II tahun 1989.

Perjanjian Lausanne menciptakan semacam gerakan yang aneh—sebuah jaringan umat Kristen di seluruh dunia dari berbagai denominasi dan organisasi. Meskipun kongres itu sendiri hanya terdiri dari orang-orang Protestan, tetapi perjanjian yang mereka adopsi diselaraskan secara intensional dengan cabang-cabang kekristenan lainnya. Setidaknya di antara anggota program beasiswa Harvey, banyak orang Katolik dan Kristen Ortodoks yang ikut menandatanganinya.

Seorang Kristen dari Tiongkok pernah bercerita kepada saya ketika ia diminta untuk menandatangani perjanjian tersebut, yang membuatnya benar-benar takut dan khawatir. Di Tiongkok, tanda tangan merupakan bukti fisik yang digunakan pemerintah untuk mengidentifikasi orang-orang Kristen dan menganiaya mereka, jadi dia diajarkan untuk tidak pernah menandatangani sesuatu yang dapat secara kuat mengaitkannya dengan kekristenan. Namun, setelah banyak pertimbangan, ia memutuskan untuk menandatangani perjanjian tersebut—yang merupakan satu-satunya pernyataan keyakinan yang pernah ia tandatangani. Banyak dari kita tidak akan pernah menghadapi penganiayaan seperti yang dialaminya, tetapi dengan menandatangani perjanjian ini, kita bergabung dalam solidaritas dengannya dan banyak orang lain seperti dia.

Khususnya di luar Amerika, komunitas Lausanne terus bertumbuh, dan meskipun masih penuh dengan perbedaan pendapat, komunitas ini tetap memandang dengan jelas misi dari Pribadi yang lebih besar daripada semua perbedaan kita.

Atas: Para peserta mendiskusikan program di Lausanne II, 1989. Bawah: Sesi utama selama Lausanne II.

Komunitas Lausanne terus mengumpulkan pemimpin generasi baru. Lima belas tahun setelah kongres 1974, pada tahun 1989, Konferensi Internasional Kedua untuk Penginjilan Dunia diadakan di Manila dan dikenal sebagai Lausanne II. Kongres ini dihadiri oleh 4.300 delegasi dari 173 negara, termasuk Uni Soviet. Lalu pada tahun 2010, 21 tahun kemudian, Kongres Lausanne Ketiga diadakan di Cape Town, Afrika Selatan. Kali ini, 4.000 delegasi dari 198 negara berkumpul secara langsung, tetapi lebih banyak lagi yang berpartisipasi secara virtual.

September ini, kongres keempat akan diadakan di Seoul, di mana 5.000 delegasi—termasuk saya—akan hadir secara langsung dan 5.000 orang lainnya akan hadir secara virtual. Puluhan ribu lainnya akan menghadiri pertemuan satelit di seluruh dunia.

Banyak hal telah berubah sejak pertemuan terakhir di tahun 2010. Perang-perang baru sedang berkecamuk di seluruh dunia, dan rumor-rumor perang bahkan muncul di Korea, tempat kita akan bertemu. Amerika Serikat sedang mempersiapkan diri untuk pemilihan presiden yang penuh perdebatan, bersama dengan banyak negara lainnya, dan beberapa konvensi denominasi terus terpecah karena ketegangan antara fundamentalisme dan progresivisme.

Namun, harapan saya adalah bahwa kaum Injili akan sekali lagi mempunyai kesempatan untuk mengingat siapa kita, dari mana kita berasal, dan mengapa penting bagi kita untuk bekerja sama mengatasi perbedaan-perbedaan kita daripada mengabaikan, mengekang, atau terpecah-belah karenanya. Mungkin, saat kita mengarahkan kembali diri kita kepada pekerjaan misi global milik Allah, kita dapat memperoleh kembali versi terbaik dari apa artinya menjadi seorang Injili.

Seraya kita menantikan konferensi Seoul tahun ini, saya mendorong semua orang beriman—Injili ataupun bukan—untuk membaca, mendiskusikan, dan mempertimbangkan untuk menandatangani Perjanjian Lausanne. Kiranya para pemimpin gereja mengajarkannya dari mimbar sehingga jemaat dapat bergumul dengan apa yang diharapkan dari kita terkait perjanjian tersebut. Biarlah hal ini mengingatkan kita akan komunitas yang indah dan penuh kasih, yang penuh dengan perbedaan dan ketidaksepakatan, dan di sanalah kita dipanggil.

Marilah kita mengikat perjanjian bersama, sekali lagi, untuk mengemban tugas besar misi dunia, agar seluruh gereja Tuhan dapat menyampaikan seluruh Injil ke seluruh dunia.

S. Joshua Swamidass adalah seorang dokter-ilmuwan, profesor laboratorium dan kedokteran genomik di Universitas Washington di St. Louis, pendiri Peaceful Science, dan penulis The Genealogical Adam and Eve.

Diterjemahkan oleh Mellie Cynthia.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, TwitterInstagram, atau Whatsapp.

Books

Mengapa Ada Begitu Banyak Teolog yang Marah?

Teologi seharusnya menghasilkan buah Roh, bukan perbuatan daging.

Christianity Today August 21, 2024
Illustration by Chidy Wayne

Ada apa dengan teologi masa kini? Jauh dari apa yang digambarkan sebagai serangkaian kebajikan yang membentuk buah Roh, justru sebagian besar dari apa yang disebut “teologi” adalah rasa tidak aman dan kemarahan yang disamarkan sebagai dialog atau keprihatinan. Bahkan dengan penelusuran sepintas di media sosial saja bisa membawa Anda pada kesimpulan bahwa Anda harus marah dalam berteologi. Pada masa kini, tidak jarang kita melihat teologi digunakan sebagai senjata dan bukan sebagai sumber sukacita.

Mungkin Anda pernah melihat teologi digunakan sebagai instrumen perpecahan. Dalam praktik teologi yang salah ini, kebenaran kristiani digunakan untuk mengadu domba saudara-saudari seiman satu sama lain. Pokok-pokok doktrin menjadi garis pembatas di mana perang “kita melawan mereka” terjadi. Meski memang ada saat-saat yang baik dan tepat untuk menarik garis batas, namun ada juga orang-orang yang batas-batas teologisnya semakin lama semakin menyusut sehingga hanya mereka dan segelintir pengikutnya yang dipandang sebagai orang-orang yang memiliki kebenaran.

Perselisihan muncul ketika teologi digunakan untuk memecah persatuan dengan sesama pembawa gambar dan rupa Allah, yang seharusnya berjalan bergandengan tangan menuju Tanah Perjanjian.

Mungkin Anda pernah melihat teologi dipersenjatai sebagai instrumen kesombongan. Dalam praktik teologi yang salah ini, akumulasi pengetahuan sama dengan ego yang terus membesar dan pencarian kebenaran hanyalah sebuah pegangan untuk mementingkan diri sendiri. Ketika arus arogansi mengalir dari sumber teologi yang disalahgunakan, maka tujuannya adalah demi memperoleh pujian tepuk tangan dari sesama kita, bukan demi kebaikan mereka.

Alih-alih mengarahkan kehidupan intelektual kita ke arah kebutuhan orang lain, kita malah mengarahkan orang lain untuk mengobservasi kemampuan intelektual kita dengan mengharapkan pujian yang seharusnya diberikan kepada Tuhan. Dengan cara ini, teologi dapat menjadi sebuah pertunjukan; para teolog menjadi sekadar aktor di atas panggung doktrinal yang mengharapkan artikulasi mereka tentang konsep teologis atau pergantian frasa mereka dapat menghibur penonton.

Mungkin Anda pernah melihat teologi dipersenjatai sebagai pengganti pengudusan dan hikmat. Ada godaan untuk salah mengartikan kejelasan dan keyakinan teologis sebagai hikmat kristiani. Namun, pengabdian yang tulus kepada Tuhan tidak diukur dari hafalan istilah-istilah teologis dan logikanya.

Tuhan dapat memakai teologi sebagai sarana pengudusan, dan tampaknya Dia sering kali berkenan melakukannya. Namun kecerdasan teologis bukanlah alasan yang valid untuk meremehkan atau mengabaikan peranan penting dari kecerdasan emosional, kecerdasan relasional, kecerdasan budaya, dan sejenisnya.

Pengudusan kristiani bersifat holistik, dan meskipun teologi adalah unsur yang diperlukan, tetapi teologi tidak dengan sendirinya menjadi unsur yang memadai untuk memenuhi kebutuhan dalam pengudusan tersebut. Kehidupan Kristen memerlukan kedewasaan dan hikmat yang beraneka ragam, di mana kita dipanggil untuk mengasihi Tuhan tidak hanya dengan segenap pikiran kita, tetapi juga dengan segenap hati, segenap jiwa, dan segenap kekuatan kita (Ul. 6:4-7; Mat. 22:37–40).

Alkitab menunjukkan kepada kita bahwa kehidupan dari alam pikiran sebenarnya dapat menuntun pada kehidupan dari jiwa dalam manifestasi buah Roh. Tugas mulia dari perenungan kristiani memang harus berujung pada kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri. Teologi sebagai sarana menumbuhkan kebajikan Kristen, seperti buah Roh, bukanlah sebuah gagasan baru.

Agustinus pernah menyatakan, “Sebab inilah kepenuhan sukacita kita, di mana tidak ada yang lebih besar dari hal ini: menikmati Allah Tritunggal yang menurut gambar-Nya kita diciptakan.” Kita dapat mengobarkan sukacita kita dengan berbagai cara yang tak terhitung banyaknya—keluarga, makanan, pekerjaan, liburan, materi, pengalaman, dan masih banyak lagi. Namun sumber terbesar dalam api sukacita kita adalah Allah Tritunggal “yang menurut gambar-Nya kita diciptakan.”

Kenikmatan akan Allah Tritunggal adalah kenikmatan yang paling murni. Sukacita-sukacita lainnya akan datang dan pergi. Seperti rumput yang menjadi kering dan bunga yang menjadi layu, sukacita hari ini semakin berkurang dan esok pun hilang (Yes. 40:8). Namun Tuhan kita tetap sama, baik kemarin, hari ini, dan selama-lamanya (Ibr. 13:8), sehingga sukacita yang terdapat di dalam Dia adalah sukacita yang tak tergoyahkan dan murni.

Namun, seperti yang dinyatakan dengan luar biasa oleh Jen Wilkin dalam Women of the Word, “Hati tidak dapat mengasihi apa yang tidak diketahui oleh pikiran.” Jika kita ingin memerdekakan hati kita untuk hidup dalam sukacita yang berasal dari mengasihi Allah Tritunggal, kita harus menetapkan pikiran kita untuk mengenal Dia. Pikiran dan afeksi Anda lebih dekat daripada yang Anda sadari, dan Anda akan melihat bahwa apa yang secara konsisten Anda renungkan, akan semakin Anda hargai secara konsisten juga.

Thomas Aquinas pernah menyatakan, “Seluruh hidup kita menghasilkan buah dan meraih pencapaian dalam pengetahuan akan Allah Tritunggal.” Aquinas dalam kutipan ini menunjukkan bahwa ada “buah” karena pencapaian pengetahuan teologi kita. Ada konsekuensi dari meluangkan banyak waktu di kaki Tuhan sambil berpikir: Seluruh kehidupan Anda akan mulai menghasilkan buah.

Merenungkan yang baik, yang benar, yang indah—yang semuanya berpuncak pada Tuhan kita—memiliki kemampuan untuk mengubah kebencian menjadi kasih, keputusasaan menjadi sukacita, perpecahan menjadi perdamaian, kecemasan menjadi kesabaran, permusuhan menjadi keramahan, kejahatan menjadi kebaikan, ketidaktaatan menjadi kesetiaan, kekerasan menjadi kelembutan, dan pemanjaan diri pada pengendalian diri.

Pertanyaan diagnostiknya sederhana: Apakah cara Anda berpikir tentang teologi, cara Anda berteologi, atau cara Anda berbicara tentang teologi biasanya mengarah pada kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri? Atau apakah cara Anda berpikir tentang teologi, cara Anda berteologi, atau cara Anda berbicara tentang teologi biasanya mengarah pada kecemaran moral, penyembahan berhala, kebencian, perselisihan, kecemburuan, ledakan amarah, ambisi yang mementingkan diri sendiri, pertikaian, perpecahan, dan iri hati?

Ketika para teolog mengamuk, amarah mereka ditujukan kepada satu sama lain. Alih-alih bergandengan tangan untuk melaksanakan Amanat Agung sebagai sesama pekerja, mereka malah terlibat dalam perseteruan, berpartisipasi dalam perang yang dibuat-buat tanpa ada yang menang.

Teologi yang dilakukan dalam perbuatan daging ditandai dengan perselisihan, ledakan kemarahan, pertikaian, dan perpecahan. Teologi yang dilakukan dengan cara seperti ini akan berujung pada sikap saling menghancurkan satu sama lain. Sebaliknya, teologi yang dilakukan dalam buah Roh—yang bercirikan kasih, kebaikan, kelemahlembutan, dan sukacita—akan menuntun pada sikap saling menanggung beban dan mengasihi sesama seperti diri sendiri.

Perbedaan drastis dalam hasil yang dicapai ini menunjukkan pentingnya tugas dari teologi: Teologi yang digunakan dengan buruk dapat memberikan hasil yang menyedihkan, tetapi teologi yang dilakukan dengan baik dapat mendorong kebajikan-kebajikan yang membentuk buah Roh jauh di dalam jiwa sehingga kita menjadi orang-orang Kristen yang ditandai oleh hikmat dan stabilitas.

Tiga ayat dari rasul Paulus (Flp. 4:8; Rm. 12:2; 2Kor. 3:18) dapat dirangkum dalam satu kalimat: Renungkanlah kebaikan, kebenaran, dan keindahan di dalam Kristus, dan dengan demikian Anda akan diubahkan oleh pembaharuan budimu dengan memandang Kristus dari satu tingkat kemuliaan ke tingkat kemuliaan lainnya. Atau, dengan memakai kata-kata Paulus: Pikirkanlah semuanya itu, dan berubahlah dengan memandangnya.

Pikirkanlah semuanya itu (Fil. 4:8). Anda memiliki sesuatu yang sangat berharga—yaitu perhatian Anda. Dunia menginginkannya, dan dunia akan berusaha keras untuk mendapatkannya. Ada orang-orang yang tugas utamanya adalah terus memelihara dan meningkatkan algoritme canggih untuk menjamin bahwa perhatian Anda tetap tertuju pada ponsel Anda. Neil Postman benar dalam bukunya yang sangat berwawasan luas, Amusing Ourself to Death, ketika dia memperingatkan bahwa kita adalah orang-orang yang berada dalam bahaya karena hanya menjadi penonton. Dunia adalah panggung di mana tatapan dan perhatian Anda adalah komoditasnya.

Untuk alasan ini dan banyak alasan lainnya, kesimpulan Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Filipi sama relevannya saat ini seperti halnya pada abad pertama di Filipi. Mengakhiri suratnya, Paulus memberikan instruksi kepada orang-orang kudus di Filipi, dengan berkata, “Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu” (Fil. 4:8, penekanan ditambahkan).

Apa yang Paulus pahami, dan apa yang harus kita pahami, adalah bahwa apa pun yang menjadi pusat perhatian kita akan membentuk kita sebagai manusia. Jika pikiran kita terus tertuju pada peristiwa-peristiwa budaya yang terus berubah dan semakin dangkal, maka kita akan terus mengalami kemerosotan dalam hal hikmat dan kewajaran kita sebagai pengikut Kristus. Namun, jika kita membiarkan perintah Paulus meresap ke dalam hidup kita dan memiliki penguasaan diri untuk melihat ke atas dan ke luar dari berbagai gangguan yang memusingkan di sekitar kita, dan sebaliknya, mengarahkan pandangan yang tajam dan berkelanjutan pada apa yang baik, benar, dan indah, maka kita akan ditransformasikan menjadi pria dan wanita yang bijaksana dan stabil.

Diubahkanlah (Rm. 12:2). Dalam suratnya kepada jemaat di Roma, Paulus menulis, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi diubahkanlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna” (Rm. 12:2, penekanan ditambahkan).

Merenungkan Tuhan dalam teologi Kristen bukan sekadar intelektualisme. Sebaliknya, mengarahkan pikiran kita kepada Tuhan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan, memungkinkan kita untuk memandang pada Dia yang adalah kasih. Dengan demikian, kita akan diubahkan oleh pembaharuan pikiran kita. Pikiran yang penuh dengan kebenaran seharusnya menuntun kepada hati yang penuh kasih dan tangan yang penuh kepedulian.

Memandang (behold) kemuliaan Tuhan (2Kor. 3:18). Dalam pasal yang mulia ini, Paulus membandingkan orang-orang kudus di Perjanjian Lama dengan orang-orang kudus di Perjanjian Baru. Ia mengingat kembali peristiwa di mana Musa, setelah menyaksikan kebaikan Tuhan dalam Keluaran 33, turun dari Gunung Sinai dengan wajah terselubung agar dia tidak mengejutkan orang Israel lainnya. Paulus mengatakan bahwa membaca Perjanjian Lama adalah seperti mencoba melihat Tuhan dengan muka yang terselubung, seperti Musa. Sebaliknya, melihat Tuhan dalam wajah Yesus Kristus ibarat melihat Tuhan dengan muka yang tidak terselubung sehingga kita dapat menyaksikan keindahan dan kemegahan-Nya tanpa halangan.

Paulus menulis, “Dan kita semua memandang kemuliaan Tuhan dengan muka yang tidak terselubung. Dan karena kemuliaan itu datangnya dari Tuhan yang adalah Roh, maka kita diubah menjadi serupa dengan gambar-Nya dalam kemuliaan dari satu tingkatan kemuliaan ke tingkatan yang lainnya.” (2Kor. 3:18, penekanan ditambahkan).

Bagian ini penuh dengan keindahan. Meskipun teologi Kristen mempunyai banyak sekali manfaat praktis, salah satu manfaat terbesarnya adalah memandang kemuliaan Tuhan. Salah satu hal yang paling praktis yang dapat Anda lakukan dalam hidup Anda—melawan gagasan bahwa teologi adalah hal yang tidak relevan dan bagai membuang waktu saja—dengan menyaksikan keagungan dan anugerah Allah.

Meskipun kita harus selalu berusaha untuk mengembangkan teologi kita dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan penting seperti “Bagaimana saya dapat menghidupi kebenaran ini di masa kini?” kita tidak boleh lupa bahwa ada hikmah yang luar biasa hanya dengan memandang Tuhan kita yang agung ini. Ketika kita memandang Dia, kita mulai menjadi serupa dengan-Nya, seraya kita diubahkan dari satu tingkat kemuliaan ke tingkat kemuliaan lainnya.

Ronni Kurtz adalah seorang penulis dan asisten profesor teologi di Universitas Cedarville. Tulisan ini diadaptasi dari Fruitful Theology: How the Life of the Mind Leads to the Life of the Soul (B&H Publishing, ©2022). Digunakan dengan izin.

Diterjemahkan oleh: Vika Rahelia

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, Instagram, atau Whatsapp.

Books

Ajaran Aquinas tentang Menggembalakan Orang yang Menderita

Wawasan teologis tentang natur emosi manusia dan cara menafsirkannya.

Christianity Today August 20, 2024
Illustration by Rick Szuecs / Source images: Lucas Sankey / Unsplash / Wikimedia commons

Ketika berumur sepuluh tahun, saya ingat ayah saya mengulurkan tangannya kepada seorang pria yang dengan tegas menaruh tangan dia di belakang punggungnya. Pria itu adalah mantan anggota gereja kami yang marah pada ayah saya.

Pemandangan yang tidak nyaman ini mengajarkan saya tentang apa artinya menjadi seorang pendeta. Saya ingat ayah saya menjelaskan kepada kami tanpa kepahitan mengenai alasan mengapa pria itu marah. Dia menjelaskannya sedemikian rupa sehingga menolong kami melihat derita dari pria tersebut.

Ada pepatah umum dalam psikologi bahwa di balik kemarahan terdapat ketakutan, dan kita dapat menambahkan, di balik ketakutan terdapat derita. Saya mengamati ayah saya memiliki kapasitas yang sehat untuk menilai ulang kemarahan seseorang sebagai derita. Ayah saya tidak menganggap emosi pria itu sebagai penilaian yang jernih terhadap dirinya sendiri. Sebaliknya, dia memilih perspektif yang membuka kemungkinan untuk berempati.

Dalam momen budaya ini, kita diliputi oleh amarah, ketakutan, dan perasaan sakit—tidak terkecuali para pendeta. Kalender kita dipenuhi dengan aliran orang-orang yang marah. Ini sangat melelahkan. Terlalu mudah bagi kita untuk menginternalisasi kemarahan mereka atau menganggap mereka sebagai orang yang sengaja membuat keributan. Namun, ini adalah sebuah kesalahan. Ketika dituduh lalai atas penyakit Lazarus, Yesus menjawab Marta, “Saudaramu akan bangkit” (Yoh. 11:21–23). Dia melihat derita di balik teguran itu.

Kita semua membutuhkan bantuan untuk memahami emosi yang campur aduk dari jemaat kita dan hati kita sendiri. Bagaimana kita bisa menggembalakan orang yang sedang marah, cemas, atau terluka? Seorang teolog mengajarkan saya lebih banyak tentang cara menggembalakan orang yang menderita dibandingkan teolog lain: Thomas Aquinas.

Aquinas mungkin merupakan narasumber yang mengejutkan karena dia lebih dikenal karena keunikan teologinya dibandingkan hati pastoralnya (walaupun G.K. Chesterton menghubungkan keduanya dengan dirinya, dengan menulis bahwa Aquinas “memiliki hati yang besar dan kepala yang besar”). Apa yang Aquinas tawarkan kepada kita adalah kejelasan tentang sifat emosi dan bagaimana menafsirkannya.

Aquinas memiliki beberapa wawasan tentang emosi manusia yang dapat membantu kita dalam pelayanan pastoral. Sebagai awal, dia menekankan bahwa emosi manusia selalu diwujud-nyatakan. Dia menegaskan bahwa kita tidak bisa benar-benar memahami dinamika internal dari kemarahan, ketakutan, atau derita batiniah tanpa memahami tubuh. Lebih lanjut, Aquinas menekankan bahwa emosi tidak bekerja pada level yang disengaja dan disadari seperti halnya berpikir dan memilih. Emosi melibatkan reaksi bawah sadar dan cara pandang.

Emosi Diwujud-nyatakan

Apa artinya menjadi cemas? Jantung saya berdebar kencang; perut saya sakit. Pikiran saya penuh dengan kemungkinan-kemungkinan negatif. Apakah cemas itu perasaan? Atau pikiran? Apa yang menentukan kecemasan saya: tubuh atau pikiran saya?

Thomas Aquinas mengatakan bahwa keduanya adalah bagian dari kecemasan saya. Dia berargumen dalam Summa Theologica-nya bahwa jiwa kita bertanggung jawab bukan hanya atas pemikiran, melainkan juga atas kehidupan itu sendiri dan seluruh kapasitasnya. Jiwa adalah “prinsip pertama kehidupan” dalam semua makhluk hidup. Semua kekuatan kita mengalir dari kesatuan tubuh-jiwa, mulai dari kekuatan pencernaan atau penyembuhan kita hingga kekuatan emosional dan persepsi kita, serta kemampuan berpikir dan memilih. Kita adalah makhluk yang holistik.

Jadi kecemasan, sebagai contoh, adalah pergerakan jiwa yang muncul “melalui perubahan tubuh.” Dalam pandangan Aquinas, kita tidak boleh memisahkan tubuh dan jiwa—serta tidak boleh juga memisahkan emosi.

Oleh karena itu, kesehatan tubuh yang buruk memengaruhi emosi seperti karburator yang bocor memengaruhi kerja mesin mobil. Akan tetapi tidak seperti mesin mobil, tubuh terus-menerus memperbarui dirinya sendiri. Pikiran, tindakan, dan pengalaman kita membentuk kebiasaan, yang berkontribusi pada keadaan emosi di masa depan. Lebih jauh lagi, tubuh kita membentuk kebiasaan melalui jalur neurologis dan iklim hormonal kita.

Sebagai seorang pendeta, saya perlu mengingat bahwa emosi tidak sama dengan tindakan yang disengaja. Ketika kita mengacaukan keduanya, kita berasumsi bahwa manusia mempunyai kendali lebih cepat atas perasaannya dibandingkan yang sebenarnya. Kebiasaan emosional adalah akumulasi respons yang diwujud-nyatakan terhadap apa yang dipikirkan, didengar, dilihat, dan dialami seseorang sepanjang waktu. Hal-hal itu berasal dari interaksi misterius antara alam, pola pengasuhan, dan hak pilihan. Reaksi emosi di seluruh tubuh ini dapat memengaruhi cara seseorang menjalani seluruh kehidupan. Bahan kimia neurologis juga mewarnai perspektif seseorang, baik atau buruk. Mengakui peran tubuh dalam emosi dapat membantu seorang pendeta merespons dengan belas kasihan kepada seseorang yang sedang kewalahan.

Emosi Memiliki Logikanya Sendiri

Telapak tangan saya berkeringat, tetapi saya terkunci erat di kursi roller coaster dengan tali pengaman yang kokoh di atas bahu. Saya tahu bahwa saya baik-baik saja, tetapi apakah tubuh saya mengetahuinya? Bagaimana mungkin saya tidak setuju dengan tubuh saya tentang bahaya yang saya alami? Tubuh pasti punya logikanya sendiri.

Thomas Aquinas membantu kita memahami konflik internal kita—bagaimana kita bisa merasakan sesuatu sekaligus menolak perasaan itu. Dalam Summa Theologica, ia membedakan antara dua bentuk penilaian yang kita buat: “penilaian cepat” terhadap tubuh dan penilaian rasional kita. Kita mungkin menyebutnya mengamati dan berpikir. Hal ini mirip dengan perbedaan antara emosi dan pilihan versi Aquinas. Kenyataannya adalah sebagian besar reaksi emosional kita berasal dari persepsi-persepsi bawah sadar.

Inilah sebabnya mengapa emosi sepertinya sering terjadi pada kita. Misalnya, ketika kita melihat wajah yang marah dan agresif, kita tidak berpikir, Orang ini mungkin berbahaya bagi saya. Kita langsung merasa takut. Ketika orang yang mengalami trauma dipicu oleh suatu pengalaman, mereka tidak berpikir, Apakah masuk akal jika saya mengalami serangan panik saat ini? Mereka langsung mengalami serangan panik itu.

Sebagai seorang pendeta, saya perlu mengingat bahwa persepsi juga bukanlah tindakan yang disengaja. Hal ini membantu saya untuk membedakan antara pikiran-pikiran yang otomatis dan tanpa disadari yang mungkin dimiliki orang-orang, serta pikiran-pikiran mereka yang reflektif dan disertai dengan kesadaran.

Emosi Berespons terhadap Pengalaman

Manusia, di saat yang bersamaan, mirip dan tidak mirip dengan anjing Pavlov. Ya, makanan manis atau gurih memang dapat membuat kita mengeluarkan air liur. Namun, kita juga bisa bereaksi terhadap rangsangan yang kompleks seperti kemungkinan pergi ke tempat kebugaran. Bagaimana kita bisa merasa positif terhadap tempat kebugaran? Tentu tidak hanya dilakukan dengan membicarakannya pada diri kita sendiri. Hal ini juga bisa dilakukan dengan mengunjungi tempat kebugaran itu—mungkin melalui olahraga pribadi atau menjadi bagian dari komunitas tempat kebugaran tersebut. Pengalaman dapat membentuk keinginan kita.

Dalam Summa Theologica, Aquinas menekankan bahwa emosi kita berespons secara langsung terhadap objek-objek konkret dan bahwa kita belajar melalui pengalaman dari objek-objek ini. Misalnya, kita belajar takut akan luka bakar dengan menyentuh kompor yang panas. Akibatnya, pembentukan emosi kita sebagian bergantung pada tindakan kita dan sebagian lagi pada pemikiran kita.

Kata-kata kita membingkai pengalaman kita, dan pengalaman kita memberikan konten emosional pada kata-kata kita. Mengatakan pada diri sendiri bahwa laba-laba itu tidak berbahaya tidaklah cukup untuk mengubah emosi saya terhadap laba-laba. Emosi saya berubah ketika saya bertindak berdasarkan keyakinan tersebut dengan memungut laba-laba itu tanpa membuat saya tersakiti. Pengalaman mengajarkan kita.

Sebagai seorang pendeta, saya perlu mengingat bahwa pelajaran yang diperoleh orang-orang melalui pengalaman, dapat melukai atau menyembuhkan. Sebagai contoh, pengalaman mungkin telah mengajarkan kepada seorang anggota jemaat bahwa laki-laki, ayah, atau pendeta tidak bisa dipercaya. Anggota jemaat ini mungkin bereaksi terhadap penggembalaan Anda dengan cara-cara yang konsisten dengan pengalaman masa lalunya dan tidak ada hubungannya dengan Anda. Memahami luka-luka yang dialami dapat membuka rasa ingin tahu yang penuh belas kasihan dari seorang pendeta terhadap orang yang menderita itu.

Namun seseorang yang menderita juga dapat menemukan kesembuhan melalui pengalaman kehidupan rohani di dalam tubuh Kristus. Komunitas gereja berperan dalam pengudusan dan penyembuhan. Tubuh Kristus melayani Sang Kepala melalui karunia-karunia yang diberikan oleh Roh-Nya (Rm. 12:3-8; Ef. 4:11-16; Kol. 2:19). Liturgi juga mengajarkan tubuh Kristus tentang kematian dan kebangkitan dalam Kristus serta tentang kebergantungan terus-menerus pada asupan rohani dari Kristus.

Kehadiran Allah yang Menyembuhkan

Ada cara terakhir yang Aquinas ajarkan kepada kita untuk membantu orang yang menderita. Saya telah belajar dari Aquinas bahwa kesembuhan dan sukacita sejati datang terutama melalui persekutuan dengan Tuhan. Komunikasi adalah untuk berkomuni (bersekutu). Betapa pun bermanfaatnya memahami diri kita sendiri dan penderitaan kita, pada akhirnya sukacita datang melalui kehadiran Tuhan, Sang Kekasih.

Seluruh umat manusia terasing dari Tuhan dan lapar akan sumber segala kebaikan dan sukacita. Aquinas menyatakannya sebagai berikut dalam tafsirannya atas surat Paulus kepada jemaat di Galatia: “Kesempurnaan tertinggi yang menyempurnakan batin seseorang adalah sukacita, yang berasal dari kehadiran yang dicintai. Barangsiapa mempunyai kasih kepada Allah, dia sudah memiliki apa yang dicintainya, sebagaimana dikatakan dalam 1 Yohanes 4:16: ‘barangsiapa tetap berada di dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia.’ Dan sukacita mengalir dalam hal ini.”

Bagi Aquinas, harapan besar umat manusia adalah bahwa Yesus membawa kita ke dalam persekutuan Tritunggal. Inkarnasi, kehidupan, penderitaan, kematian, dan kebangkitan Yesus mengembalikan kita kepada Tuhan, Sang Kekasih kita. Dengan mengambil rupa sebagai manusia, “Allah yang tidak mungkin merasakan penderitaan, justru menderita dan mati,” mempersatukan kita dengan diri-Nya dalam kematian dan kebangkitan-Nya, tulis Aquinas dalam tafsirannya atas surat 1 Korintus. Dan di dalam Kristus, kita juga memiliki Roh Kudus. Roh Kudus menyembuhkan emosi kita melalui kehadiran dan karunia-karunia-Nya. Aquinas berkata, “Roh Kudus berdiam di dalam diri kita melalui kasih.” Kasih ini menyembuhkan dan mengarahkan emosi kita.

Model penggembalaan yang baik adalah penggembalaan yang meneladani dan melayani hadirat Allah. Kita menemui domba-domba di mana pun mereka berada, yang sering kali tersesat, marah, dan takut. Kita menuntun domba-domba itu kepada Gembala yang lemah lembut dan rendah hati (Mat. 11:29). Gembala ini memberikan Penghibur yang turut mengeluh bersama kita, menjadi perantara bagi kita (Rm. 8:23, 26–27).

Bisa dikatakan, bagi kita, Tuhan adalah kehadiran yang tanpa rasa cemas di saat kita membutuhkan-Nya. Aquinas mengajarkan kita bahwa Allah masuk ke dalam persekutuan dengan kita, bukan untuk mengisi kekurangan di dalam diri-Nya, melainkan untuk menguatkan kita. Kita dimaksudkan untuk mengalami kebaikan dan keutuhan di dalam Dia. Aquinas menulis dalam Summa Theologica, “Allah hanya bermaksud mengomunikasikan kesempurnaan-Nya [kepada kita], yaitu kebaikan-Nya.”

Ketika kita menyalurkan karunia-karunia Kristus kepada kawanan domba-Nya, kita perlu mewujudkan hikmat-Nya yang lembut dan rendah hati yang “murni, selanjutnya pendamai, peramah, penurut, penuh belas kasihan dan buah-buah yang baik, tidak memihak dan tidak munafik” (Yak. 3:17). Kita dapat melakukan hal ini melalui sikap mendengarkan yang tidak defensif, penuh belas kasihan, dan rasa ingin tahu, bahkan ketika menghadapi emosi seperti kecemasan dan kemarahan. Kita menghibur mereka yang menderita “dengan penghiburan yang kami terima sendiri dari Allah” (2Kor. 1:4).

Aquinas membantu kita menghibur orang lain dengan mengajari kita pertanyaan-pertanyaan yang bijak: Bagaimana tubuh terlibat dalam emosi ini? Penilaian apa yang dibuat secara otomatis? Bagaimana pengalaman mengajarkan orang ini untuk membuat penilaian-penilaian tersebut? Pada akhirnya pertanyaan-pertanyaan ini memampukan kita untuk dengan lembut menuntun orang-orang yang menderita ke dalam hadirat Allah, baik sekarang maupun selamanya. Suatu hari nanti, Allah “akan diam bersama-sama dengan mereka. … Ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka, dan maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita” (Why. 21:3–4).

Matthew LaPine adalah penulis The Logic of the Body: Retrieving Theological Psychology. Dia adalah pendeta pengembangan teologi di Cornerstone Church dan dosen di Salt Network School of Theology di Ames, Iowa.

Diterjemahkan oleh Denny Pranolo.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, Instagram, atau Whatsapp.

Silsilah Alkitab Memberitakan Kabar Baik

Pohon keluarga Yesus menyampaikan lebih dari sekadar pelajaran sejarah.

Christianity Today August 19, 2024
RyanJLane / Getty

Kita bergurau bahwa kebanyakan orang lebih takut berbicara di depan umum daripada kematian, tetapi itu tidak berlaku bagi saya. Saya kerap kali berada di belakang mikrofon dan mengajar Alkitab kepada sekelompok besar orang disertai rasa takut yang sehat terhadap teks Alkitab, tetapi hanya dengan sedikit rasa takut terhadap hadirin. Jadi saya terkejut oleh kepanikan yang saya rasakan ketika salah satu pendeta meminta saya untuk membacakan sebuah perikop. Itu saja. Hanya bacaan sederhana sebelum ia berkhotbah—tanpa penafsiran, tanpa embel-embel, hanya membaca saja dan duduk.

Mengapa tiba-tiba saya mengalami krisis kepercayaan diri? Teksnya adalah Lukas 3:23–38, silsilah Yesus, terdiri dari 77 nama yang rumit, memerlukan waktu dua setengah menit untuk membacanya dengan suara lantang dari awal hingga akhir.

Pendeta tersebut, yang juga seorang teman baik saya, memperhatikan ekspresi wajah saya dan bertanya, “Anehkah membaca ayat-ayat sebelum saya berkhotbah?” Dalam hati saya tahu seharusnya saya menjawab tidak, tetapi saya ingin berteriak, “Ya! Jadi saya akan membaca nama-nama yang sangat banyak itu dan kembali ke tempat duduk saya dalam keheningan yang canggung?”

Jangan salah paham. Saya menyukai silsilah-silsilah keluarga dengan segenap hati saya yang menggemari Alkitab. Karena saya mengajar Alkitab baris demi baris setiap minggu, saya secara teratur membahas bagian-bagian teks yang sering diabaikan. Saya tahu bahwa dengan berjuang menggali ayat-ayat yang sulit, aneh, atau membosankan, di sisi yang lain, iman kita akan semakin diperdalam. Bagian-bagian itu menantang saya sebagai pengajar, tetapi tidak membuat saya takut.

Saya sangat tertarik pada bagian silsilah keluarga ketika saya mengajar kitab Kejadian. Untuk pertama kalinya saya diharuskan untuk bertanya mengapa daftar nama-nama individu ini disimpan dengan sangat hati-hati. Seiring bertumbuhnya afeksi saya terhadap nama-nama tersebut, saya menjadi lebih sering menyuarakan tentang perlunya kita memerhatikan daftar-daftar yang sering diabaikan ini.

Berbeda dengan bagian-bagian Kitab Suci yang lebih umum, perikop-perikop silsilah menguji apakah kita benar-benar percaya bahwa seluruh isi Kitab Suci memang bermanfaat. Saya menikmati kesempatan untuk mengajar tentang perikop-perikop silsilah dan menunjukkan manfaatnya.

Akan tetapi, membaca salah satu silsilah yang lebih panjang dari silsilah lainnya dengan suara lantang tanpa komentar membuat saya takut setengah mati. Tampaknya itu adalah cara yang sempurna untuk memperkuat kesalahpahaman bahwa daftar nama tersebut usang, membosankan, dan tak berarti. Jujur saja, tidak banyak yang bisa dilakukan dengan intonasi dan nada suara.

Jadi berdirilah saya, dengan mikrofon yang agak bergetar di satu tangan dan teks silsilah itu di tangan lainnya. Lalu saya membaca di tengah keheningan: “Ketika Yesus memulai pekerjaan-Nya, Ia berumur kira-kira tiga puluh tahun dan menurut anggapan orang, Ia adalah anak Yusuf.” Anak dari anak dari anak dari anak seorang anak. Baris demi baris, nama demi nama. Waktu berjalan lambat. Keheningan makin mendalam. Terbuai oleh irama dari perikop tersebut, ketakutan saya pun mulai sirna. Dua pertiga perjalanan, tenggorokan saya terasa sesak, dan saat saya membaca "Metusalah," pandangan saya kabur karena mata yang berkaca-kaca.

“… anak Enos, anak Set, anak Adam, anak Allah.”

Setiap nama menunjuk pada kebutuhan kita akan Dia yang menyandang Nama di atas segala nama.

Saat saya mengucapkan nama-nama terakhir, tepuk tangan pun mulai terdengar, dan terus bertambah hingga tepuk tangan meriah dan sorak-sorai.

Saya menengadah dengan tak percaya, melihat orang-orang juga berurai air mata, merasakan hal sama yang saya rasakan.

Terkadang saya begitu tidak beriman. Saya sering merasa tergoda bahwa kata-kata Kitab Suci memerlukan bantuan saya, seolah-olah Roh Kudus tidak akan berbicara kecuali saya menambahkan “kebijaksanaan” saya di sekitarnya. Saya tidak percaya bahwa 77 nama itu dengan sendirinya bisa dengan jelas menyampaikan kasih setia Tuhan kepada semua generasi. Dan saya telah salah besar.

Seluruh isi Kitab Suci diilhamkan oleh Allah. Semuanya bermanfaat. Dalam silsilah itu, Allah berbicara kepada kita tentang perhatian-Nya terhadap individu. Ia melihat kita bukan sebagai kumpulan besar umat manusia, tetapi sebagai nama, wajah, dan kepribadian, yang masing-masing memiliki kisah kita sendiri yang berperan dalam kisah penebusan yang lebih besar.

Dalam silsilah itu, Allah membuktikan kesetiaan-Nya untuk melakukan apa yang Ia katakan akan Ia lakukan—bekerja melalui para pahlawan dan penipu yang semuanya jauh dari sempurna. Tak ada satu pun rencana-Nya yang dapat digagalkan. Setiap nama adalah sehelai rumput yang layu, namun tujuan kekal-Nya tetap abadi.

Setiap nama menunjuk pada kebutuhan kita akan Dia yang menyandang Nama di atas segala nama. Setiap nama yang dicatat dan diingat oleh Allah, memberi kita kepastian bahwa nama kita dicatat dan diingat oleh-Nya juga. Oleh karena itu, kita memahami keberhargaan nama-nama tersebut dan memanjatkan rasa syukur kita atas pelestarian nama-nama itu.

Allah kita punya tujuan dengan pemberian nama. Bacalah nama-nama tersebut dan rayakanlah, karena ini—bahkan ini, khususnya ini—adalah Firman Tuhan. Syukur kepada Allah.

Jen Wilkin adalah seorang istri, ibu, dan pengajar Alkitab yang bersemangat untuk melihat para wanita menjadi pengikut Kristus yang berkomitmen. Dia adalah penulis buku None Like Him.

Diterjemahkan oleh Mellie Cynthia.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, Instagram, atau Whatsapp.

Kesengsaraan Perlu menjadi Bagian dalam Khotbah Kita

Matthew D. Kim percaya bahwa membahas tentang penderitaan adalah bagian dari panggilan seorang pengkhotbah.

Christianity Today August 19, 2024
Illustration by Duncan Robertson

Matthew D. Kim tidak asing dengan penderitaan, baik secara pribadi maupun sebagai seorang pendeta. Dalam buku Preaching to People in Pain: How Suffering Can Shape Your Sermons and Connect with Your Congregation—yang memenangkan Penghargaan Buku CT tahun 2022 untuk kepemimpinan gereja dan pastoral—Kim mendorong para pengkhotbah untuk tidak menghindari pembahasan mengenai penderitaan ketika berkhotbah di mimbar. Kim selama bertahun-tahun telah menjabat sebagai direktur Haddon W. Robinson Center for Preaching di Gordon-Conwell Theological Seminary. Dia baru-baru ini ditunjuk sebagai Kepala Kepemimpinan Pastoral Hubert H. dan Gladys S. Raborn di George W. Truett Theological Seminary, Baylor University. Angie Ward, penulis dan profesor di Denver Seminary, berbicara dengan beliau mengenai betapa mengkhotbahkan penderitaan adalah aspek yang sangat penting dalam kesehatan gereja.

Buku Anda berfokus pada realitas yang sering diabaikan oleh para pengkhotbah: Dalam jemaat mana pun yang mendengarkan khotbah, akan ada pendengar yang sedang menderita. Untuk memulainya, bagaimana Anda mendefinisikan penderitaan dan kesengsaraan?

Penderitaan adalah sesuatu yang universal, tetapi juga bersifat individual. Meski kita semua merasakan penderitaan, kita tidak akan mengalami atau memproses penderitaan dan kesengsaraan dengan cara yang sama persis. Jadi menurut saya, kesengsaraan dan penderitaan adalah saat kita masing-masing mengalami keputusasaan atau kehilangan. Keduanya berkaitan dengan kehilangan semangat, frustrasi, atau kemarahan internal terhadap suatu situasi dan keputusasaan terkait hal tersebut.

Dalam buku Anda, Anda menyebutkan enam jenis penderitaan yang universal: keputusan yang menyakitkan, finansial yang menyakitkan, masalah kesehatan yang menyakitkan, kehilangan yang menyakitkan, relasi yang menyakitkan, dan dosa yang menyakitkan. Pernahkah Anda melihat peningkatan dari jenis penderitaan tertentu selama dua tahun terakhir?

Saya rasa sebagian besar dari kita menyadari bahwa kesepian, kecemasan, depresi, dan masalah kesehatan mental lain tampaknya menjadi yang terdepan dalam budaya kita saat ini, bersamaan dengan pencobaan terkait relasi. Ada begitu banyak perselisihan dan perpecahan dalam relasi—bahkan sesama orang Kristen tidak dapat berbicara satu sama lain, tidak dapat menemukan kesatuan di dalam Kristus. Meskipun kita adalah orang Kristen, kita telah membiarkan identitas dan hal-hal yang kita sayangi memecah-belah kita, terutama dalam beberapa tahun terakhir.

Apa seharusnya peran dari ratapan dalam kesehatan gereja? Bagaimana Anda berkhotbah dan memimpin ratapan dari mimbar?

Sebagaimana budaya Kristen, sering kali kita ingin mengesampingkan keadaan kita yang sebenarnya secara emosional, tetapi Peter Scazzero dan tokoh-tokoh lainnya telah berbicara tentang pentingnya memiliki emosi yang sehat, terutama sebagai pemimpin rohani. Cara kita berbicara di mimbar tentang penderitaan—atau jika kita tidak membicarakannya—semua itu mengomunikasikan banyak hal bagi gereja, dalam kaitannya dengan apakah hal itu merupakan topik yang tabu atau tidak. Saya ingin melihat kita, sebagai komunitas kristiani, dapat merangkul apa yang kita rasakan, meski perasaan itu tidak selalu menyenangkan. Kita dapat memimpin dengan tidak selalu menampilkan wajah khusus hari Minggu kita yang mengomunikasikan bahwa “Saya baik-baik saja” dan berusaha menyembunyikan persoalan-persoalan tersebut.

Ini tidak berarti bahwa kita harus membuka diri sepenuhnya dan membagikan segalanya dari mimbar. Harus ada kebijaksanaan dan hikmat dalam mempertimbangkan: Apakah ini saat yang tepat untuk membicarakan persoalan-persoalan ini? Haruskah saya membuka diri atau menunjukkan kerentanan di mimbar saat ini? Sikap apa yang pantas pada saat ini?

Namun pada saat yang sama, dalam pandangan saya, gereja adalah sebuah rumah sakit. Kita dapat menjadi rentan dan saling peduli satu sama lain sebagai komunitas kristiani, yang berarti dari mimbar saya bisa berbagi tentang pergumulan yang saya alami. Dengan demikian, saya dapat menormalkan keterbukaan tentang penderitaan sehingga tidak terlalu tabu lagi untuk membicarakannya.

Dalam beberapa tahun terakhir, jika diperlukan dalam khotbah di mimbar, maka saya akan berbagi tentang penderitaan saya sendiri. Secara khusus, saya akan berbagi tentang penderitaan akibat kehilangan saudara laki-laki saya enam tahun lalu karena pembunuhan. Sebagai contoh mengenai apa yang terjadi ketika saya melakukan ini, suatu saat setelah saya berkhotbah tentang hal ini, seorang wanita mendatangi saya dan dia mulai menangis. Saya tidak mengerti mengapa, tetapi akhirnya dia bercerita kepada saya, “Putri saya dibunuh dua tahun lalu. Saya tidak pernah menyangka bahwa ada pendeta yang mau membicarakan masalah ini dari mimbar.” Intinya dia mengatakan, “Saya terkejut Roh Kudus memimpin Anda membicarakan hal ini secara terbuka.”

Mengkhotbahkan ratapan adalah kemampuan untuk mengungkapkan secara verbal apa yang kita alami dan mampu memberikan ruang untuk hal itu. Jika kita tidak membicarakan persoalan-persoalan ini, maka kita hanya membiarkan si Jahat membuat kita merasa seakan kita sedang sendirian dalam perjalanan ini.

Apa cara-cara yang baik bagi para pendeta untuk memperbaiki kesehatan mereka sendiri sebelum mereka menceritakan penderitaan mereka kepada jemaat?

Kita perlu menghilangkan stigma seputar pendeta yang menerima layanan kesehatan mental. Kita ingin menjadi pendeta yang sehat, tetapi sering kali pendeta tidak mampu mengutarakan kepedihan pribadinya kepada siapa pun. Jadi menurut saya, hal pertama yang harus dilakukan adalah menemukan orang-orang tepercaya yang mengasihi dan peduli kepada kita—seorang pemimpin, teman, atau ahli kesehatan mental—dan dapat membicarakan masalah ini. Akan tetapi, kita juga harus mendapatkan masukan dari pimpinan, apakah saya harus berkhotbah tentang topik ini atau tidak, atau apakah ini sesuatu yang kurang bijaksana untuk dilakukan saat ini?

Anda menulis bahwa salah satu peran seorang pengkhotbah adalah membantu pendengarnya menerima penghiburan dari Tuhan, dan menurut saya, bagian dari kesehatan, baik bagi pengkhotbah maupun jemaatnya, adalah kebergantungan pada Tuhan dan bukan pada pendeta sebagai pengasuh mereka terus-menerus. Sebagai seorang pengkhotbah, bagaimana Anda membantu menggerakkan jemaat dari hanya sekadar pendengar Firman yang Anda sampaikan di Minggu pagi, menuju kebergantungan yang lebih mendalam kepada Tuhan?

Sebagian besar dari kita—baik pendeta dan jemaat awam—begitu sibuk sehingga kita tidak menyediakan waktu khusus untuk perjalanan rohani kita sendiri, dalam rangka memproses rasa sakit hati atau kenyamanan yang kita inginkan. Saya mendorong jemaat untuk menyediakan waktu dalam keseharian mereka untuk menjadikan hal ini sebagai praktik rutin dalam hidup mereka: Mengundang Tuhan ke dalam ruang-ruang yang selama ini kita tutup dari-Nya, dan meminta Tuhan untuk membantu kita memproses beberapa area kehidupan kita yang tidak ingin kita bicarakan secara terbuka dengan Tuhan atau dengan orang lain. Hal ini dapat menjadi ritme yang teratur dalam kehidupan kita, di mana kita dapat meluangkan waktu untuk berserah diri setiap hari, meminta Roh Kudus untuk menyingkapkan area-area dalam hidup kita di mana kita benar-benar bergumul. Saya mendorong kita meluangkan waktu untuk berserah diri setiap hari, untuk mengundang Tuhan bercakap-cakap.

Kita mungkin sering memberikan nasihat di mimbar untuk tidak berbuat dosa dan membuat pilihan-pilihan yang buruk, dengan tujuan menolong para pendengar untuk memupuk hikmat. Namun terkadang kita lupa bahwa mereka yang ada di bangku jemaat sebenarnya sudah mengambil keputusan yang buruk dan mereka merasakan penderitaan sebagai akibatnya. Bagaimana para pengkhotbah dapat menantang sekaligus menghibur para pendengarnya pada saat yang sama?

Salah satu hal yang indah tentang berkhotbah adalah bahwa Tuhan berbicara kepada manusia dengan cara yang berbeda-beda melalui khotbah yang sama. Salah satu praktik yang saya lakukan dengan para mahasiswa seminari yang saya ajar adalah dengan mendorong mereka untuk memikirkan seseorang yang mereka kenal di gereja dan kemudian menulis khotbah untuk orang tersebut. Hal ini membantu mencegah timbulnya perasaan kewalahan karena berbagai jenis penderitaan yang berbeda di dalam ruang kebaktian. Tuliskan seluruh khotbah untuk satu orang tersebut, dan lihatlah apa yang Tuhan lakukan.

Saya telah melakukannya dalam pelayanan saya sendiri. Kadang-kadang saya menulis khotbah dengan memikirkan satu orang tertentu, tetapi setelah berkhotbah, orang yang sama sekali berbeda, mendatangi saya dan berkata, “Bagaimana Anda tahu hal itulah yang sedang terjadi dalam hidup saya?” Saya memberi tahunya, “Bukan saya yang melakukannya. Itu adalah Tuhan.” Tuhan mampu melakukan hal yang jauh melampaui dari apa yang kita harapkan atau pikirkan dalam khotbah-khotbah kita.

Ada pula saat-saat di mana kita perlu mengkonfrontasi dosa. Alkitab memberitahu bahwa kita harus menyatakan dan menegur dengan kesabaran dan pengajaran yang baik, karena itu ketika kita mengkonfrontasi dosa atau pilihan yang buruk, kita perlu mempertimbangkan hal-hal seperti nada bicara kita: Bagaimana kita menyampaikan kebenaran Firman Tuhan ini dengan cara yang penuh kasih, pastoral, dan menguatkan?

Pada suatu hari Minggu saya berkhotbah di sebuah gereja, dan saya mencoba menegaskan bahwa kita bertanggung jawab atas dosa-dosa kita. Setelah itu, seorang wanita duduk di sebelah saya dan dia sangat marah. Singkatnya, dia mengatakan kepada saya, “Saya melakukan aborsi tujuh tahun yang lalu, dan Alkitab berjanji bahwa Tuhan tidak akan mengingat dosa-dosa saya. Jadi mengapa Anda mengungkit dosa saya?”

Saya tidak dapat berkata-kata pada saat itu, jadi saya hanya bisa berdoa bersamanya. Lalu saya berkata, “Saya minta maaf. Jika Roh Kudus meenegur atau berbicara tentang sesuatu dalam hidup Anda, saya percaya itu adalah karya Tuhan. Akan tetapi, saya tidak bermaksud memberikan tanggapan seperti yang Anda tuduhkan karena saya tidak tahu tentang situasi Anda, dan saya minta maaf.”

Karena berbagai potensi reaksi seperti ini dari para pendengar, kita mungkin merasa takut untuk membicarakan isu-isu tersebut di mimbar. Namun kita dapat menghadapi dan mengkonfrontasi para pendengar kita serta berkata, “Mungkin Tuhan sedang mengerjakan sesuatu dalam hidup Anda. Mungkin Tuhan sedang berusaha menyembuhkanmu.” Ya, kita bertanggung jawab atas dosa-dosa kita, tetapi iya, Tuhan juga berjanji bahwa Dia tidak lagi mengingat dosa-dosa kita. Jadi saya mencoba melakukan keduanya dalam khotbah saya—namun pada akhirnya semuanya bergantung pada karya Tuhan yang bergerak dalam kehidupan orang tersebut.

Artikel ini adalah bagian dari CT Pastors edisi musim semi, yang mengeksplorasi kesehatan gereja. Anda dapat menemukan edisi lengkapnya di sini.

Diterjemahkan oleh David A. Aden.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, Instagram, atau Whatsapp.

Books

Selamat tinggal Pascamodernisme, Halo Metamodernisme

Apologetika kita harus berkembang agar dapat terlibat dengan corak budaya baru dari generasi berikutnya.

Christianity Today August 19, 2024
Ilustrasi oleh Elizabeth Kaye / Sumber Gambar: Getty, Unsplash

Selama bertahun-tahun, para pakar telah mengumumkan kematian pascamodernisme. Setelah berpuluh-puluh tahun mendominasi corak budaya, sikap intelektual yang terkenal sinis dan relativistik ini akhirnya tersingkir. Sebagai gantinya, pandangan ideologis lain mulai mengambil alih—seperti yang mungkin telah disadari oleh kita yang menghabiskan banyak waktu bersama generasi berikutnya (Z dan Alpha).

Jadi, pertanyaannya adalah: Disposisi pemikiran baru apa yang sedang terjadi—dan bagaimana orang Kristen bisa terlibat dengan baik dalam batasan budaya kita yang terus berkembang?

Salah satu istilah yang digunakan para ahli untuk mengidentifikasi corak budaya baru ini adalah metamodernisme. Pertama kali digunakan pada tahun 1975 untuk menjelaskan pergeseran di dunia sastra, konsep ini menjadi lebih menonjol pada awal tahun 2000-an berkat karya analis budaya Timotheus Vermeulen dan Robin van den Akker. Dalam artikel mereka di tahun 2010, “Notes on Metamodernism,” mereka memberikan argumen yang meyakinkan tentang semangat zaman baru (zeitgeist) dan memberikan analisis budaya mengenai karakteristiknya.

Metamodernisme, menurut Vermeulen dan Van Den Akker, adalah suatu “struktur perasaan” yang dicirikan dengan “sikap penuh harapan (yang sering kali dijaga) dan ketulusan (yang terkadang pura-pura)”—yang berasal dari kesadaran bahwa “sejarah bergerak dengan cepat melampaui akhir yang dinyatakannya.” Meskipun ada banyak tanggapan akademis terhadap karya mereka, istilah ini kurang mendapat perhatian di ranah publik.

Sebagai seorang guru sekolah menengah atas, rohaniwan kaum muda, dan salah satu anggota generasi Z yang lebih tua, saya tidak hanya tumbuh dengan menghirup udara ideologis metamodernisme, melainkan juga melihat seperti apa wujudnya di lapangan. Hal ini dapat terwujud dalam beberapa cara nyata, termasuk dalam apa yang saya sebut sebagai harapan apokaliptik, pembentukan wawasan dunia yang terbalik, dan identitas yang sangat dinarasikan.

Harapan apokaliptik (atau apa yang Vermeulen dan Van Den Akker sebut sebagai “sikap penuh harapan yang dijaga”) muncul dari pesimisme pascamodernisme dan memiliki karakteristik yang berkebalikan dengannya. Harapan apokaliptik ini mengakui bahwa dunia ini dalam dalam arti tertentu “hancur” atau setidaknya berada dalam krisis, tetapi harapan ini menanggapi fakta tersebut dengan humor gelap, sikap penuh harapan yang tulus (yang sering diungkapkan melalui ironi), dan semangat revolusioner yang secara aktif menolak kepasrahan diri yang pasif dalam beberapa dekade terakhir.

Generasi kaum muda berikutnya sudah terbiasa memandang masa depan mereka dengan cara yang suram, mengharapkan hasil yang distopia dari teknologi dan sikap pemerintah yang berlebihan, bencana alam yang diakibatkan krisis iklim, dan ketidakstabilan global dalam menghadapi visi kaum nasionalis dan globalis yang saling bersaing tentang masa depan.

Terlepas dari semua ini, sebagian besar orang muda belum sampai menganut mentalitas yang tidak peduli demi mempertahankan kepolosan masa muda mereka, dan sebagian besar dari mereka tidak menanggapinya dengan rasa putus asa. Sebaliknya, secara tampilan luar, generasi saya sering menghadapi masa depan dengan menceritakan humor gelap, tetapi di dalam hati kami punya tekad yang kuat untuk mengubah dunia.

Berbeda dengan salah satu aspek yang khas dari pascamodernisme—yang oleh profesor dan ahli teori budaya Ag Apolloni disebut sebagai “era akhir”—generasi metamodernis mendambakan awal yang baru.

Vermeulen dan Van Den Akker menggambarkan metamodernisme sebagai sebuah kesadaran bahwa sejarah belum berakhir. Jika hal itu benar, maka masih ada harapan untuk perubahan—yang menjadi alasan mengapa generasi berikutnya memiliki semangat untuk mencari solusi terhadap permasalahan yang tampaknya tidak dapat diselesaikan. Ketika berbicara tentang masalah lingkungan hidup, ekonomi, atau sosial, generasi muda masa kini cenderung mengidentifikasi suatu masalah dan berusaha mengambil tindakan untuk mengatasinya—mungkin dengan cara drastis yang terlihat seperti alarmisme atau reaksi berlebihan. Karena bertumbuh dengan keyakinan bahwa masa depan kita hanya dapat diselamatkan dengan tindakan drastis, maka masuk akal jika kita menyambutnya dengan humor ketus dan dorongan yang kuat untuk mengubah dunia.

Mengapa hal ini penting bagi gereja? Karena salah satu elemen terpenting dari suatu wawasan dunia adalah ekspektasinya terhadap masa depan. Kaum muda masa kini mengharapkan keadaan akan menjadi lebih buruk sebelum menjadi lebih baik dan merasakan beban yang nyata untuk bertindak cepat guna mencegah berbagai bencana yang disebabkan oleh umat manusia. Dan ketika hal ini terjadi, Kitab Suci dapat berbicara dan menjadi selaras dengan sikap ini.

Dalam Roma 8, Paulus menulis bahwa seluruh ciptaan mengeluh karena menantikan penebusan dan penciptaan kembali. Keluhan ini bukanlah ciri alami dunia kita—ini adalah konsekuensi yang terus berlanjut dari dosa manusia dan dampaknya yang merusak terhadap dunia milik Allah. Kisah realitas Kristen berbicara secara langsung tentang rasa frustrasi dan ketakutan yang melanda generasi metamodernisme: Dunia kita dicemari oleh kejahatan yang telah kita perbuat sendiri.

Untungnya, Kitab Suci tidak berhenti pada diagnosis masalah saja. Injil juga memberikan solusi yang sangat nyata—janji penciptaan kembali, yang dikukuhkan oleh kebangkitan Yesus, di mana orang-orang berdosa dapat ikut menikmati kehidupan baru yang terdapat di dalam Kristus dan menantikan kebangkitan kita yang serupa dengan pola kebangkitan-Nya. Dilihat melalui lensa ini, Injil memberikan substansi yang nyata pada pengharapan apokaliptik dari metamodernisme.

Aspek penting lainnya dari metamodernisme dunia nyata adalah apa yang saya gambarkan sebagai pembentukan wawasan dunia yang terbalik.

Norma historisnya adalah mendasarkan wawasan dunia kita pada landasan metafisik dan membangun kesimpulan-kesimpulan etis. Dengan kata lain, setidaknya di atas kertas, kita mulai dengan pertanyaan-pertanyaan tentang makna tertinggi sebelum beralih ke pertanyaan-pertanyaan tentang tujuan yang sementara. Seperti yang ditulis oleh filsuf Alasdair MacIntyre dalam After Virtue, “Saya baru bisa menjawab pertanyaan ‘Apa yang harus saya lakukan?’ jika saya dapat menjawab pertanyaan sebelumnya, ‘Saya menjadi bagian dari kisah apa?'”

Namun di antara generasi metamodernisme yang sedang naik daun, tampaknya tatanan konvensional ini telah terbalik. Sebagai tanggapan terhadap relativisme moral para pendahulu pascamodernisme, generasi metamodernisme pertama-tama berupaya untuk berpijak pada prinsip-prinsip etika esensial tertentu dan kemudian memilih kerangka ideologis terbaik yang sesuai dengan etika tersebut. Generasi ini adalah generasi “kereta sebelum kuda,” dalam arti bahwa kita sering mendasarkan posisi religius atau filosofis kita pada asumsi-asumsi etis sebelumnya, dan bukan sebaliknya.

Oleh karena itu, maka impuls yang baru ini adalah untuk berupaya mundur dari semacam kepastian etis menuju klaim agama mana pun yang selaras dengan hasil etis yang disukai sebagian besar orang—dan menolak klaim-klaim yang hasil etisnya dianggap “bermasalah.” Menurut absolutisme etis yang baru ini, sebagian orang membuang dan mengecam pandangan agama apa pun yang tampaknya menghasilkan kesimpulan etis yang tidak populer.

Ketika kebenaran dan moralitas dahulu pernah dianggap tidak lebih dari sekadar preferensi pribadi, kini kita melihat orang-orang secara eksplisit mencela banyak aspek ajaran Kristen ortodoks karena kegagalan etisnya. Hal ini juga berarti bahwa “toleransi” pascamodernisme jelas sudah ketinggalan zaman. Dalam bukunya Confronting Injustice Without Compromising Truth, Thaddeus Williams mengamati bahwa “sejak [tahun 1990-an] kita telah menyaksikan budaya yang membanggakan diri sendiri dengan sikap yang tidak menghakimi kini berubah menjadi salah satu masyarakat yang paling menghakimi dalam sejarah.”

Meskipun hal ini dapat menciptakan beberapa tantangan baru bagi penginjilan Kristen, namun corak budaya baru ini bukannya tidak bermanfaat. Setelah berpuluh-puluh tahun melakukan perlawanan terhadap lawan-lawan ideologis yang mengaku menolak realitas moral atau standar etika apa pun, gereja mungkin akan merasa sangat menyegarkan untuk menyampaikan klaim kebenarannya kepada orang-orang yang mengakui bahwa dunia kita sering kali tidak bermoral, alih-alih mencoba membela dunia yang konon tidak bermoral.

Dari sudut pandang apologetika, pergeseran dalam ideologi populer ini juga menuntut adanya pergeseran dalam pendekatan penginjilan. Alih-alih mengajarkan generasi muda Kristen untuk sekadar membela eksistensi kebenaran, kita seharusnya mengajarkan mereka untuk lebih memahami dan mengartikulasikan dasar dan manfaat dari etika yang alkitabiah. Dalam berkomunikasi dengan generasi metamodernisme, sangatlah penting untuk mempertahankan pandangan Alkitab mengenai etika Kristen.

Seperti yang ditunjukkan oleh Rebecca McLaughlin dalam bukunya The Secular Creed, kaum sekuler dan mereka yang telah beralih dari wawasan dunia Kristen berdasarkan hasil etika, sering kali masih berpegang teguh pada prinsip-prinsip etika lainnya (misalnya pihak yang kuat menanggung yang lemah), dan menganggap prinsip-prinsip tersebut adalah “dasar moral yang masuk akal” alih-alih menyadari bahwa banyak dari “kebenaran ini kita pahami dari kekristenan.”

Sebagian besar etika budaya pop saat ini dapat direduksi menjadi “prinsip cedera,” sebuah komponen penting dari liberalisme modern yang diartikulasikan oleh filsuf John Stuart Mill. Filsuf Kristen Charles Taylor menjelaskan prinsip cedera sebagai gagasan “bahwa tidak ada seorang pun yang berhak mengganggu saya demi kebaikan saya sendiri, melainkan hanya untuk mencegah cedera bagi orang lain.” Beberapa orang lebih jauh mencampuradukkan prinsip cedera dengan etika alkitabiah, dengan membayangkan bahwa yang Allah inginkan adalah agar kita menahan diri untuk tidak menyakiti satu sama lain—sebuah konsep yang merupakan penyederhanaan dari Aturan Emas (The Golden Rule; Mat. 7:12). Jika disaring melalui corak metamodernis, hal ini dapat mengarah pada kecaman keras terhadap orang-orang Kristen yang mengajarkan bahwa moralitas lebih penting.

“Perintah ‘kehendak-Mu jadilah’ tidak sama dengan ‘Biarkan manusia berkembang,’” Taylor menunjukkan, “meskipun kita tahu bahwa Tuhan menghendaki manusia berkembang.” Kitab Suci tidak hanya memanggil kita untuk tidak mengganggu orang lain dan melakukan apa yang terasa wajar bagi kita—tetapi juga memanggil kita pada cara hidup yang melampaui apa yang sekadar “alami” dan sering kali mendorong kita untuk mengesampingkan keinginan dan bahkan hidup kita sendiri. Kristus memanggil kita untuk ditransformasi, dan dalam kata-kata Taylor, “Transformasi ini melibatkan kehidupan kita demi sesuatu yang melampaui perkembangan manusia, sebagaimana ditentukan oleh tatanan alam, apa pun itu.”

Komponen terakhir dari metamodernisme yang berpengaruh, seperti yang telah saya amati, adalah kecenderungan terhadap identitas yang sangat dinarasikan.

Salah satu perbedaan praktis terbesar antara generasi muda (dari milenial hingga Gen Alpha) dan pendahulunya adalah tingkat kenyamanan dan familieritas dengan topik kesehatan mental dan perkembangan psikologis. Menurut American Psychological Association, anggota Gen Z “secara signifikan lebih mungkin (27 persen) … melaporkan bahwa kesehatan mental mereka baik atau buruk” dan “juga lebih mungkin (37 persen) … melaporkan bahwa mereka telah menerima pengobatan atau terapi dari seorang profesional kesehatan mental.”

Meningkatnya kenyamanan dan familieritas dengan topik diagnosis dan perkembangan kesehatan mental yang secara historis distigmatisasi tentu bukanlah hal yang buruk. Peningkatan ini berkorelasi dengan peningkatan empati dan transparansi mengenai permasalahan internal dan telah membentuk kembali dunia kerja modern. Namun ada juga efek sampingnya, terutama akibat pengaruh psikologi pop yang menyimpang.

Psikologi pop saat ini mencakup penyebaran opini dan saran terkait psikis dalam skala besar yang ditawarkan dalam porsi kecil di platform media sosial. Madison Marcus-Paddison, seorang terapis trauma dan konselor, menunjukkan bahwa jenis konten ini sering kali mengalami penyederhanaan yang berlebihan, kurangnya konteks, kualifikasi profesional yang terbatas, dan hilangnya personalisasi ketika menyangkut masalah kesehatan mental yang nyata dan kompleks.

Dampak nyata dari rangkaian perubahan positif dan negatif ini adalah corak budaya yang ditandai dengan meluasnya diagnosis diri sendiri, yang dapat menghasilkan narasi berlebihan tentang identitas seseorang dengan kedok memperbaiki kesehatan mentalnya.

Terapis Jessica Jaramillo, yang bekerja terutama dengan mahasiswa di Universitas Colorado, telah menunjukkan bahaya yang merajalela di kalangan anak muda dalam mendiagnosis sendiri penyakit kesehatan mental dan terlalu mengidentifikasikan diri dengan diagnosis mereka. Bahkan tanpa label diagnostik teknis, ada kecenderungan di kalangan anak muda melakukan analisis berlebihan terhadap cerita mereka sendiri untuk menjelaskan, membenarkan, atau memecahkan masalah mereka.

Seperti halnya kecenderungan metamodernis lainnya, gerakan ini membawa serta pergeseran budaya positif dan negatif yang harus disikapi dengan penuh makna oleh orang-orang Kristen.

Pada sisi positifnya, perubahan ini berarti kaum muda jauh lebih bersedia berbicara terbuka mengenai tantangan mental dan emosional yang mereka hadapi serta beban yang mereka tanggung. Keterbukaan ini (sering kali) mengambil bentuk sikap merendahkan diri yang sarkastik, tetapi hal itu tetap saja mencerminkan peningkatan kerentanan yang dapat menjadi titik awal bagi percakapan yang lebih jujur—yang dapat menjadi jalan masuk untuk membagikan Injil.

Namun, sisi gelap dari perubahan ini adalah rasa kelumpuhan yang sering menyertainya. Semakin Anda mengaitkan pemaknaan diri Anda dengan pengalaman negatif di masa lalu, semakin kecil kemungkinan untuk mengharapkan perubahan berarti di masa mendatang. Mungkin rasa determinisme fatalistik ini membantu menjelaskan mengapa angka bunuh diri meningkat tiga kali lipat pada remaja dan meningkat hampir 80 persen pada siswa sekolah menengah atas dalam dekade terakhir.

Dalam pengalaman saya sebagai guru dan pemimpin kaum muda, ciri metamodernisme ini mungkin memiliki dampak paling besar pada interaksi saya dengan para siswa yang saya ajar sehari-hari. Terkubur di bawah humor yang sinis dan mencela diri sendiri, banyak siswa saya merasa mustahil untuk lepas dari kekurangan yang telah terbentuk di masa lalu mereka.

Namun, sekali lagi, Injil dapat menyampaikan suatu pesan pengharapan kepada orang metamodernis. Ya, Anda memang punya kekurangan; Anda seorang pendosa, yang tidak mampu memperbaiki diri sendiri dan tidak mampu menjadi orang yang Anda inginkan. Namun, rahmat Tuhan selalu baru setiap pagi (Rat. 3:23), dan ada harapan yang mendalam dan kekal yang ditemukan di dalam Yesus, yang ke dalam gambar-Nya kita sedang “diubah” (2Kor. 3:18), dan suatu hari kelak, “kita semuanya akan diubah” (1Kor. 15:51).

Identitas Anda saat ini bukanlah perangkap yang tak terhindarkan. Hal ini tidak perlu meremehkan patologi yang nyata dan perlakuannya—ini hanya mengingatkan kita bahwa kita lebih dari sekadar cerita yang kita ceritakan tentang diri kita sendiri.

Tentu saja masih banyak lagi hal yang bisa dikatakan tentang metamodernisme saat ini, tetapi harapan saya adalah untuk membantu mengalihkan pembicaraan populer dari apologetik pascamodern yang sudah ketinggalan zaman. Dan saat kita bekerja bersama untuk mewartakan Kabar Baik di dunia yang terus berubah, dengan anugerah Tuhan, saya berdoa kiranya kita segera melihat kebangkitan di zaman metamodern ini.

Benjamin Vincent adalah seorang rohaniwan dan guru di California Selatan. Dia melayani sebagai asisten pendeta di Journey of Faith Bellflower dan sebagai ketua departemen sejarah dan teologi di Pacifica Christian High School di Newport Beach, California.

Diterjemahkan oleh Denny Pranolo.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, Instagram, atau Whatsapp.

Pelayanan Pastoral bagi Buluh yang Patah Terkulai dan Sumbu yang Pudar Nyalanya

Paulus menunjukkan kepada kita bagaimana memulihkan harga diri orang yang terluka dan lelah.

Christianity Today August 14, 2024
Illustration by Rick Szuecs | Source images: David Suarez / Unsplash | Wikimedia Commons

“Seandainya saja saya bisa menjadi lebih seperti Epafroditus.”

Itulah ungkapan perasaan salah satu anggota kelompok PA setelah diskusi kami lewat Zoom tentang Filipi 2. Epafroditus memberi kesan yang luar biasa meski referensi tentang dirinya sangat singkat (2:25–30 dan 4:18). Paulus dengan penuh semangat menggambarkannya sebagai “saudaraku dan teman sekerja serta teman seperjuanganku, yang kamu utus untuk melayani aku dalam keperluanku” (2:25). Membaca kata-kata Paulus ini membuat teman saya merasa tidak ada apa-apanya dibanding Epafroditus.

Namun saat kita membaca keseluruhan kisah Epafroditus dengan lebih lambat, muncullah gambaran yang agak berbeda dan lebih manusiawi. Gereja di Filipi telah mengutus Epafroditus untuk memberikan sumbangan finansial dan membantu Paulus selama ia berada di penjara. Namun setelah Epafroditus tiba, kesehatannya memburuk dengan cepat. Kita tidak diberitahu apa penyakitnya, tetapi dia nyaris meninggal karenanya. Dalam masa pemulihannya, Epafroditus menjadi sangat rindu akan kampung halaman. Mengetahui semua orang di Filipi mengkhawatirkan kondisinya hanya makin menambah kesusahannya.

Stres yang dialami Epafroditus pada gilirannya menimbulkan stres yang tidak semestinya bagi Paulus. Penolong yang diutus, sekarang membutuhkan pertolongan. Paulus mengatakan kepada jemaat di Filipi bahwa kekhawatirannya akan berkurang (ay. 28) jika ia memulangkan Epafroditus.

Jadi perjalanan misi Epafroditus dihentikan sebelum waktunya. Meskipun Epafroditus mungkin merasa lega karena bisa pulang ke rumah, tetapi kelegaan itu kemungkinan besar diimbangi dengan perasaan gentar. Apakah orang-orang akan menilai dia lemah? Apakah mereka akan kecewa atau dipermalukan?

Jika saya berada di posisi Epafroditus, saya tahu bahwa suara-suara di kepala saya akan penuh dengan tuduhan. Saya akan membandingkan rendahnya stamina saya dengan persediaan daya tahan rasul Paulus yang sepertinya tidak ada habisnya. Bahkan andai tidak ada orang lain yang menganggap saya rendah, saya akan bergumul melawan perasaan gagal dan malu karena tidak menyelesaikan tugas dengan baik. Epafroditus kembali ke kota Filipi dengan perasaan campur aduk; merasa tidak aman, patah semangat, dan meragukan diri sendiri.

Pelayanan Pastoral Paulus

Sungguh luar biasa hadiah yang Paulus berikan kepada Epafroditus dalam suratnya kepada jemaat di Filipi! Epafroditus memegang kata-kata penegasan yang konkret dari Paulus untuk melawan berbagai kebohongan yang mungkin sedang berkecamuk di benaknya. Dan ketika Epafroditus terlibat aktif kembali dengan komunitas yang mengutusnya, Paulus membuka jalan baginya agar diterima dengan hormat dan bermartabat, bukan dengan kritikan dan penghakiman.

Surat ini kemungkinan besar mengubah arah masa depan Epafroditus. Fakta bahwa bahkan para anggota dari PA via Zoom saja bisa sangat menghormatinya, hal itu bercerita banyak tentang betapa besar kepedulian Paulus terhadapnya ketimbang Epafroditus sendiri. Paulus memulihkan harga diri seseorang yang bisa dengan mudah disingkirkan karena tidak menuntaskan tugasnya dengan baik. Cara Paulus melakukan hal ini memberikan contoh yang sangat baik dalam pelayanan pastoral.

Paulus Mengizinkan Epafroditus Hidup dalam Keterbatasannya

Sebelumnya dalam Filipi 2, Paulus memuji kerendahan hati Yesus, dengan menggambarkan bagaimana Kristus secara sukarela mengesampingkan segala sesuatu yang dapat Ia pegang sebagai hak istimewa ilahi, dan memilih untuk hidup dalam keterbatasan sebagai manusia (2:6-8).

Sebaliknya, sebagai manusia kita malah sering menolak keterbatasan. Kita ingin tahu lebih banyak dari yang perlu kita ketahui; kita menginginkan kendali yang lebih besar dari yang kini kita miliki; kita merasa memiliki kapasitas dan kekuatan yang lebih besar dari yang sebenarnya. Faktanya adalah kita semua punya keterbatasan. Terkadang hal itu bersifat mental atau emosional. Terkadang hal itu bersifat finansial. Dan terkadang secara fisik. Epafroditus menyadari bahwa tubuhnya tidak mampu bertahan. Bebannya terlampau besar. Pikiran dan emosinya juga seperti membentur tembok. Dia tidak dapat berfungsi lagi dengan baik.

Pada saat itu, Paulus sebagai seorang gembala mungkin tergoda untuk memberi nasihat. Ini adalah kesempatan bagi seorang murid untuk menerima pelajaran tentang terus maju dan bertahan di tengah kesulitan. Namun Paulus tidak mau sok rohani atau memainkan kartu rasa bersalah. Daripada mencari-cari kesalahan, ia melihat kenyataan dari kondisi pria ini dan berkata kepadanya, “Saya pikir itu sudah cukup.”

Kita salah ketika berasumsi bahwa keterbatasan orang lain seharusnya sama dengan keterbatasan kita. Sebagai contoh, misionaris pionir William Carey yang terkenal dengan tulisannya, “Saya dapat terus bekerja keras. Saya dapat bertahan dalam pengejaran yang pasti. Untuk ini saya berhutang segalanya.” Dan Carey bisa; dia memiliki kapasitas yang luar biasa dan mencapai hal-hal luar biasa setelah bertahun-tahun bertekun. Namun Carey tidak pernah menyadari bahwa keluarganya tidak memiliki ketahanan yang sama dengan dirinya. Tragisnya, beberapa anaknya meninggal pada tahun-tahun tersebut, dan istrinya menderita gangguan mental.

Paulus tahu bahwa orang lain tidak berada pada posisi yang sama dengannya. Dia tidak berharap semua orang tetap melajang seperti dirinya. Dia tidak meminta semua orang menjadi pengkhotbah keliling, menderita perlakuan brutal yang sama seperti yang dialaminya. Paulus melihat Epafroditus apa adanya dan memberinya izin penuh untuk hidup dalam keterbatasan yang Tuhan berikan.

Salah satu alasan Paulus melakukan hal ini adalah karena dia tahu keterbatasan kita adalah karunia dan bukan dosa. Seringkali kita melihat keterbatasan sebagai hambatan yang menghalangi kita untuk mencapai impian dan tujuan kita. Namun pengalaman Paulus sendiri terkait duri dalam daging telah mengajarkannya bahwa kelemahan dan keterbatasan yang dialami merupakan tempat di mana kekuatan Allah justru paling nyata (2Kor. 12:7-10). Sebagai gembala, ketika kita memberi kebebasan kepada orang lain untuk menerima keterbatasan mereka dan bukannya memaksa diri mereka untuk mengatasinya, kita memberikan ruang bagi mereka untuk memperhatikan bagaimana Tuhan bekerja.

Paulus Memulihkan Keberhargaan dengan Berbagi Status

Di seluruh Alkitab, tidak ada seorang pun yang seperti Paulus. Dia memiliki silsilah keagamaan yang panjang (Fil. 3:4-6). Jika itu belum cukup, selama bertahun-tahun ia mengumpulkan riwayat hidup tak tertandingi, yang meliputi pemenjaraan, penganiayaan, pemukulan, kelaparan, dan karam kapal (2Kor. 11).

Sebaliknya, Epafroditus adalah seorang petobat baru yang bukan Yahudi, dengan pengetahuan Alkitab yang terbatas. Tingkat “kesulitan yang harus ia tanggung” adalah sakit fisik (meskipun parah) dan rindu rumah. Sepengetahuan kita, Epafroditus tidak menerima ancaman atas imannya dan tidak mengalami serangan rohani secara terang-terangan. Dia hanya mengalami tantangan-tantangan yang biasa terjadi dalam kehidupan manusia.

Namun Paulus menganggap penyakit Epafroditus sebagai bentuk penderitaan yang sama sahnya dengan penderitaan bagi Kristus (Fil. 2:30). Ia tidak menilai sakit itu sebagai sesuatu yang kurang layak hanya karena bersifat fisik. Ketika ia menyebut Epafroditus sebagai “saudaraku, teman sekerjaku, dan kawan seperjuanganku” (ay. 25), ia mengangkat kedudukan Epafroditus menjadi seorang rekan.

Maya Angelou pernah berkata bahwa hanya orang yang sederajat yang bisa menjadi teman. Paulus mencontohkan konsep tersebut dengan indah di sini. Selain selamat dari penyakit yang mengerikan, Epafroditus belum pernah melakukan apa pun yang bisa membuat dia setara Paulus menurut pemikiran kita. Pauluslah yang memilih untuk memandang dia sebagai orang yang setara, dan dia melakukannya di saat anugerah seperti itu paling tidak pantas diberikan namun paling dibutuhkan.

Sangat mudah untuk memberikan status yang lebih tinggi atau lebih rendah kepada seseorang berdasarkan prestasi, pendidikan, kekayaan, atau pengaruhnya—dan tanpa disadari, kita pun sering melakukannya. Kita mungkin mendapati diri kita terpikat dengan anggota jemaat yang tampaknya memiliki kontribusi paling besar (baik dalam hal keuangan maupun talenta), tertarik kepada para Saul yang mempesonakan kita dengan perawakan mereka, sementara mengabaikan para Daud. Namun teladan Paulus di sini mengingatkan kita bahwa, sebagai manusia, kita semua adalah pembawa imago Dei dan, di saat yang sama, kita semua sama-sama membutuhkan Salib. Dengan tetap berpijak pada realitas inti di mana kita berbagi status, akan memberi kita pijakan yang lebih baik untuk membangun hubungan yang sejati dan menggembalakan dengan baik.

Paulus Menghormati Pribadi Seseorang Tanpa Memandang Kegagalannya

Ketika Epafroditus pulang dengan membawa surat ini, Paulus tetap menyoroti aspek-aspek terhormat dari pelayanan Epafroditus, alih-alih mengulangi kekurangan yang jelas terlihat dari perjalanan misi yang terbatas ini.

Saya mendapati bahwa saya lumayan baik dalam menghargai kegagalan. Saya berpegang pada kenangan menyakitkan tentang kesalahan saya sendiri. Saya bisa saja mengatakan bahwa saya memaafkan seseorang, tetapi terus memandangnya dari sudut pandang bagaimana dia telah mengecewakan saya.

Saya terkejut dengan cerita tentang Clara Barton, pendiri Palang Merah Amerika, yang menghadapi banyak tantangan dan celaan saat mendirikan organisasi tersebut. Seorang kolega pernah mengingatkannya tentang bagaimana orang lain menyerangnya beberapa tahun sebelumnya. Clara tidak ingat kejadian itu, yang membuat temannya bingung. Saat didesak, Clara berkata, “Saya ingat dengan jelas bahwa saya telah melupakan hal itu.”

Dalam surat Filipi, kita dapat melihat bahwa Paulus tidak memikirkan kelemahan fisik dan emosional apa pun yang mungkin dituduhkan oleh orang lain kepada Epafroditus. Karena Paulus memutuskan untuk memandang Epafroditus sebagai orang yang sangat berharga, hal ini berdampak pada bagaimana Epafroditus diterima oleh jemaat di Filipi.

Hal yang Paulus lakukan bagi Epafroditus merupakan perwujudan dari apa yang telah Kristus lakukan bagi setiap kita—Yesus, Juru Selamat kita, yang tidak memutuskan buluh yang patah terkulai dan tidak memadamkan sumbu yang pudar nyalanya (Yes. 42:3). Karena Yesus memilih untuk memberikan keberhargaan kepada kita maka kita disambut dengan kemuliaan oleh Bapa.

Yesus mengizinkan kita hidup dalam keterbatasan kita karena Dia sendiri “tahu apa kita” dan “ingat bahwa kita ini debu” (Mzm. 103:14). Dia juga berbagi status dengan kita, bergabung dengan kita dalam keadaan kita yang hina dan mengangkat kita ke tempat yang baru, bahkan menyebut kita sahabat-sahabat-Nya (Yoh. 15:15). Walaupun Dia mempunyai banyak alasan untuk mengingatkan kita akan semua kesalahan yang telah kita perbuat, Dia memilih untuk menghargai kita melebihi segala kegagalan kita, tidak pernah memperlakukan kita setimpal dengan dosa kita (Mzm. 103:10).

Terlalu sering saya mendapati diri saya begitu terbebani oleh kewajiban pastoral untuk memberikan teguran korektif, untuk menunjukkan kesalahan demi membela kebenaran. Hal itu memang sesuai dengan tugas kita—tetapi itu bukan satu-satunya prioritas, juga bukan prioritas tertinggi. Cara paling ampuh untuk merepresentasikan Gembala yang Baik kepada orang lain adalah melalui anugerah yang kita berikan di saat mereka berada dalam kondisi paling rentan.

Sebenarnya, setiap kita adalah Epafroditus, yang sangat sadar akan kelemahan, kegagalan, dan rasa malu kita sendiri. Kita masing-masing mempunyai kesempatan untuk menjadi seperti Paulus dalam cara kita memperlakukan satu sama lain dengan penuh perhatian.

Sebagai gembala, dapatkah kita lebih bersandar pada kasih yang menutupi banyak dosa? Bisakah kita tidak terlalu khawatir dalam memastikan orang-orang untuk belajar dari kesalahan mereka dan meluangkan lebih banyak waktu untuk mengingatkan mereka akan betapa berharganya mereka di hadapan Tuhan? Hal ini tidak lain adalah bagian dari menghidupi Injil. Dan hal ini mungkin akan mengubah arah bagi mereka yang mempertanyakan pentingnya peran mereka di dalam Kerajaan Allah.

Jeff Peabody adalah seorang penulis dan gembala sidang di New Day Church di Tacoma, Washington.

Diterjemahkan oleh Timothy Daun.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, Instagram, atau Whatsapp.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube