Kesengsaraan Perlu menjadi Bagian dalam Khotbah Kita

Matthew D. Kim percaya bahwa membahas tentang penderitaan adalah bagian dari panggilan seorang pengkhotbah.

Christianity Today August 19, 2024
Illustration by Duncan Robertson

Matthew D. Kim tidak asing dengan penderitaan, baik secara pribadi maupun sebagai seorang pendeta. Dalam buku Preaching to People in Pain: How Suffering Can Shape Your Sermons and Connect with Your Congregation—yang memenangkan Penghargaan Buku CT tahun 2022 untuk kepemimpinan gereja dan pastoral—Kim mendorong para pengkhotbah untuk tidak menghindari pembahasan mengenai penderitaan ketika berkhotbah di mimbar. Kim selama bertahun-tahun telah menjabat sebagai direktur Haddon W. Robinson Center for Preaching di Gordon-Conwell Theological Seminary. Dia baru-baru ini ditunjuk sebagai Kepala Kepemimpinan Pastoral Hubert H. dan Gladys S. Raborn di George W. Truett Theological Seminary, Baylor University. Angie Ward, penulis dan profesor di Denver Seminary, berbicara dengan beliau mengenai betapa mengkhotbahkan penderitaan adalah aspek yang sangat penting dalam kesehatan gereja.

Buku Anda berfokus pada realitas yang sering diabaikan oleh para pengkhotbah: Dalam jemaat mana pun yang mendengarkan khotbah, akan ada pendengar yang sedang menderita. Untuk memulainya, bagaimana Anda mendefinisikan penderitaan dan kesengsaraan?

Penderitaan adalah sesuatu yang universal, tetapi juga bersifat individual. Meski kita semua merasakan penderitaan, kita tidak akan mengalami atau memproses penderitaan dan kesengsaraan dengan cara yang sama persis. Jadi menurut saya, kesengsaraan dan penderitaan adalah saat kita masing-masing mengalami keputusasaan atau kehilangan. Keduanya berkaitan dengan kehilangan semangat, frustrasi, atau kemarahan internal terhadap suatu situasi dan keputusasaan terkait hal tersebut.

Dalam buku Anda, Anda menyebutkan enam jenis penderitaan yang universal: keputusan yang menyakitkan, finansial yang menyakitkan, masalah kesehatan yang menyakitkan, kehilangan yang menyakitkan, relasi yang menyakitkan, dan dosa yang menyakitkan. Pernahkah Anda melihat peningkatan dari jenis penderitaan tertentu selama dua tahun terakhir?

Saya rasa sebagian besar dari kita menyadari bahwa kesepian, kecemasan, depresi, dan masalah kesehatan mental lain tampaknya menjadi yang terdepan dalam budaya kita saat ini, bersamaan dengan pencobaan terkait relasi. Ada begitu banyak perselisihan dan perpecahan dalam relasi—bahkan sesama orang Kristen tidak dapat berbicara satu sama lain, tidak dapat menemukan kesatuan di dalam Kristus. Meskipun kita adalah orang Kristen, kita telah membiarkan identitas dan hal-hal yang kita sayangi memecah-belah kita, terutama dalam beberapa tahun terakhir.

Apa seharusnya peran dari ratapan dalam kesehatan gereja? Bagaimana Anda berkhotbah dan memimpin ratapan dari mimbar?

Sebagaimana budaya Kristen, sering kali kita ingin mengesampingkan keadaan kita yang sebenarnya secara emosional, tetapi Peter Scazzero dan tokoh-tokoh lainnya telah berbicara tentang pentingnya memiliki emosi yang sehat, terutama sebagai pemimpin rohani. Cara kita berbicara di mimbar tentang penderitaan—atau jika kita tidak membicarakannya—semua itu mengomunikasikan banyak hal bagi gereja, dalam kaitannya dengan apakah hal itu merupakan topik yang tabu atau tidak. Saya ingin melihat kita, sebagai komunitas kristiani, dapat merangkul apa yang kita rasakan, meski perasaan itu tidak selalu menyenangkan. Kita dapat memimpin dengan tidak selalu menampilkan wajah khusus hari Minggu kita yang mengomunikasikan bahwa “Saya baik-baik saja” dan berusaha menyembunyikan persoalan-persoalan tersebut.

Ini tidak berarti bahwa kita harus membuka diri sepenuhnya dan membagikan segalanya dari mimbar. Harus ada kebijaksanaan dan hikmat dalam mempertimbangkan: Apakah ini saat yang tepat untuk membicarakan persoalan-persoalan ini? Haruskah saya membuka diri atau menunjukkan kerentanan di mimbar saat ini? Sikap apa yang pantas pada saat ini?

Namun pada saat yang sama, dalam pandangan saya, gereja adalah sebuah rumah sakit. Kita dapat menjadi rentan dan saling peduli satu sama lain sebagai komunitas kristiani, yang berarti dari mimbar saya bisa berbagi tentang pergumulan yang saya alami. Dengan demikian, saya dapat menormalkan keterbukaan tentang penderitaan sehingga tidak terlalu tabu lagi untuk membicarakannya.

Dalam beberapa tahun terakhir, jika diperlukan dalam khotbah di mimbar, maka saya akan berbagi tentang penderitaan saya sendiri. Secara khusus, saya akan berbagi tentang penderitaan akibat kehilangan saudara laki-laki saya enam tahun lalu karena pembunuhan. Sebagai contoh mengenai apa yang terjadi ketika saya melakukan ini, suatu saat setelah saya berkhotbah tentang hal ini, seorang wanita mendatangi saya dan dia mulai menangis. Saya tidak mengerti mengapa, tetapi akhirnya dia bercerita kepada saya, “Putri saya dibunuh dua tahun lalu. Saya tidak pernah menyangka bahwa ada pendeta yang mau membicarakan masalah ini dari mimbar.” Intinya dia mengatakan, “Saya terkejut Roh Kudus memimpin Anda membicarakan hal ini secara terbuka.”

Mengkhotbahkan ratapan adalah kemampuan untuk mengungkapkan secara verbal apa yang kita alami dan mampu memberikan ruang untuk hal itu. Jika kita tidak membicarakan persoalan-persoalan ini, maka kita hanya membiarkan si Jahat membuat kita merasa seakan kita sedang sendirian dalam perjalanan ini.

Apa cara-cara yang baik bagi para pendeta untuk memperbaiki kesehatan mereka sendiri sebelum mereka menceritakan penderitaan mereka kepada jemaat?

Kita perlu menghilangkan stigma seputar pendeta yang menerima layanan kesehatan mental. Kita ingin menjadi pendeta yang sehat, tetapi sering kali pendeta tidak mampu mengutarakan kepedihan pribadinya kepada siapa pun. Jadi menurut saya, hal pertama yang harus dilakukan adalah menemukan orang-orang tepercaya yang mengasihi dan peduli kepada kita—seorang pemimpin, teman, atau ahli kesehatan mental—dan dapat membicarakan masalah ini. Akan tetapi, kita juga harus mendapatkan masukan dari pimpinan, apakah saya harus berkhotbah tentang topik ini atau tidak, atau apakah ini sesuatu yang kurang bijaksana untuk dilakukan saat ini?

Anda menulis bahwa salah satu peran seorang pengkhotbah adalah membantu pendengarnya menerima penghiburan dari Tuhan, dan menurut saya, bagian dari kesehatan, baik bagi pengkhotbah maupun jemaatnya, adalah kebergantungan pada Tuhan dan bukan pada pendeta sebagai pengasuh mereka terus-menerus. Sebagai seorang pengkhotbah, bagaimana Anda membantu menggerakkan jemaat dari hanya sekadar pendengar Firman yang Anda sampaikan di Minggu pagi, menuju kebergantungan yang lebih mendalam kepada Tuhan?

Sebagian besar dari kita—baik pendeta dan jemaat awam—begitu sibuk sehingga kita tidak menyediakan waktu khusus untuk perjalanan rohani kita sendiri, dalam rangka memproses rasa sakit hati atau kenyamanan yang kita inginkan. Saya mendorong jemaat untuk menyediakan waktu dalam keseharian mereka untuk menjadikan hal ini sebagai praktik rutin dalam hidup mereka: Mengundang Tuhan ke dalam ruang-ruang yang selama ini kita tutup dari-Nya, dan meminta Tuhan untuk membantu kita memproses beberapa area kehidupan kita yang tidak ingin kita bicarakan secara terbuka dengan Tuhan atau dengan orang lain. Hal ini dapat menjadi ritme yang teratur dalam kehidupan kita, di mana kita dapat meluangkan waktu untuk berserah diri setiap hari, meminta Roh Kudus untuk menyingkapkan area-area dalam hidup kita di mana kita benar-benar bergumul. Saya mendorong kita meluangkan waktu untuk berserah diri setiap hari, untuk mengundang Tuhan bercakap-cakap.

Kita mungkin sering memberikan nasihat di mimbar untuk tidak berbuat dosa dan membuat pilihan-pilihan yang buruk, dengan tujuan menolong para pendengar untuk memupuk hikmat. Namun terkadang kita lupa bahwa mereka yang ada di bangku jemaat sebenarnya sudah mengambil keputusan yang buruk dan mereka merasakan penderitaan sebagai akibatnya. Bagaimana para pengkhotbah dapat menantang sekaligus menghibur para pendengarnya pada saat yang sama?

Salah satu hal yang indah tentang berkhotbah adalah bahwa Tuhan berbicara kepada manusia dengan cara yang berbeda-beda melalui khotbah yang sama. Salah satu praktik yang saya lakukan dengan para mahasiswa seminari yang saya ajar adalah dengan mendorong mereka untuk memikirkan seseorang yang mereka kenal di gereja dan kemudian menulis khotbah untuk orang tersebut. Hal ini membantu mencegah timbulnya perasaan kewalahan karena berbagai jenis penderitaan yang berbeda di dalam ruang kebaktian. Tuliskan seluruh khotbah untuk satu orang tersebut, dan lihatlah apa yang Tuhan lakukan.

Saya telah melakukannya dalam pelayanan saya sendiri. Kadang-kadang saya menulis khotbah dengan memikirkan satu orang tertentu, tetapi setelah berkhotbah, orang yang sama sekali berbeda, mendatangi saya dan berkata, “Bagaimana Anda tahu hal itulah yang sedang terjadi dalam hidup saya?” Saya memberi tahunya, “Bukan saya yang melakukannya. Itu adalah Tuhan.” Tuhan mampu melakukan hal yang jauh melampaui dari apa yang kita harapkan atau pikirkan dalam khotbah-khotbah kita.

Ada pula saat-saat di mana kita perlu mengkonfrontasi dosa. Alkitab memberitahu bahwa kita harus menyatakan dan menegur dengan kesabaran dan pengajaran yang baik, karena itu ketika kita mengkonfrontasi dosa atau pilihan yang buruk, kita perlu mempertimbangkan hal-hal seperti nada bicara kita: Bagaimana kita menyampaikan kebenaran Firman Tuhan ini dengan cara yang penuh kasih, pastoral, dan menguatkan?

Pada suatu hari Minggu saya berkhotbah di sebuah gereja, dan saya mencoba menegaskan bahwa kita bertanggung jawab atas dosa-dosa kita. Setelah itu, seorang wanita duduk di sebelah saya dan dia sangat marah. Singkatnya, dia mengatakan kepada saya, “Saya melakukan aborsi tujuh tahun yang lalu, dan Alkitab berjanji bahwa Tuhan tidak akan mengingat dosa-dosa saya. Jadi mengapa Anda mengungkit dosa saya?”

Saya tidak dapat berkata-kata pada saat itu, jadi saya hanya bisa berdoa bersamanya. Lalu saya berkata, “Saya minta maaf. Jika Roh Kudus meenegur atau berbicara tentang sesuatu dalam hidup Anda, saya percaya itu adalah karya Tuhan. Akan tetapi, saya tidak bermaksud memberikan tanggapan seperti yang Anda tuduhkan karena saya tidak tahu tentang situasi Anda, dan saya minta maaf.”

Karena berbagai potensi reaksi seperti ini dari para pendengar, kita mungkin merasa takut untuk membicarakan isu-isu tersebut di mimbar. Namun kita dapat menghadapi dan mengkonfrontasi para pendengar kita serta berkata, “Mungkin Tuhan sedang mengerjakan sesuatu dalam hidup Anda. Mungkin Tuhan sedang berusaha menyembuhkanmu.” Ya, kita bertanggung jawab atas dosa-dosa kita, tetapi iya, Tuhan juga berjanji bahwa Dia tidak lagi mengingat dosa-dosa kita. Jadi saya mencoba melakukan keduanya dalam khotbah saya—namun pada akhirnya semuanya bergantung pada karya Tuhan yang bergerak dalam kehidupan orang tersebut.

Artikel ini adalah bagian dari CT Pastors edisi musim semi, yang mengeksplorasi kesehatan gereja. Anda dapat menemukan edisi lengkapnya di sini.

Diterjemahkan oleh David A. Aden.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, Instagram, atau Whatsapp.

Our Latest

Laporan Lausanne: Sebagian Besar Misionaris Menjangkau yang Sudah Terjangkau

Laporan Keadaan Amanat Agung (The State of the Great Commission) menelaah tantangan dan peluang di tengah lanskap misi yang terus berubah.

Ketika Pelayanan Melukai Keluarga Anda

Nasihat yang berasal dari pengalaman sulit untuk menyeimbangkan antara keluarga dan pekerjaan Tuhan.

Saya Menemukan Penghiburan dalam Pahlawan Ilahi

Sebuah mazmur yang mencengangkan mengubah pandangan saya tentang kehadiran Allah selama masa-masa pencobaan.

Gereja Adalah Keluarga, Bukan Acara

Alkitab menyebut sesama orang Kristen sebagai “saudara laki-laki dan perempuan,” tetapi seberapa sering kita memperlakukan mereka sebagai keluarga?

News

Wafat: Andar Ismail, Penulis Produktif yang Membuat Teologi Menjadi Sederhana

Dengan seri Selamat karyanya, pendeta Indonesia ini menulis lebih dari 1.000 cerita pendek yang menyoroti kehidupan dan ajaran Yesus.

Kematian karena Swafoto

Kita tidak akan pernah melihat kemuliaan Tuhan jika kita hanya melihat pada diri kita sendiri.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube