Hal yang Hilang Saat Kita Melakukan Kebaktian Siaran Langsung

Apakah pemirsa daring kita benar-benar menyadari apa yang mereka lewatkan?

Christianity Today February 23, 2024
Sumber Gambar: Ismael Paramo / Nathan Mullet / Unsplash

Ketika gereja-gereja mengalami kuncitara (karantina wilayah) selama fase awal pandemi, banyak pendeta beralih ke pelayanan ibadah siaran langsung sebagai pengganti sementara ibadah tatap muka. Gereja-gereja pun mulai mengadakan pertemuan secara virtual ke rumah-rumah jemaat. Sepertinya ini adalah ide yang bagus pada saat itu. Tentu saja hal ini lebih baik daripada tidak sama sekali.

Namun di sinilah masalahnya: Apa yang sebagian besar dari kita asumsikan akan berlangsung beberapa minggu saja, ternyata berubah menjadi beberapa bulan, kemudian berjalan menjadi lebih dari satu tahun. Hal yang awalnya merupakan alternatif sementara, akhirnya menjadi kebiasaan yang nyaman.

Kebaktian siaran langsung tentu saja memiliki manfaat: Nyaman, jangkauannya luas, dan mudah diakses. Jadi, sekalipun pertemuan tatap muka sudah bisa dilakukan kembali, banyak pendeta yang tetap mempertahankan opsi kebaktian secara daring. Namun ibadah yang disiarkan secara langsung memiliki kelemahan yang jauh lebih besar daripada manfaatnya yaitu persekutuan yang semu. Hal ini memberi kesan hubungan tanpa kedalaman sejati yang berasal dari kedekatan. Ini menimbulkan anggapan bahwa kedekatan tidaklah penting.

Saya sungguh percaya bahwa kebaktian siaran langsung mempunyai manfaat dalam beberapa konteks, misalnya melayani jemaat yang tidak bisa meninggalkan rumah karena sakit atau usia tua atau mereka yang mungkin mengalami gangguan sistem kekebalan tubuh. Namun saat ini, banyak orang Kristen yang tidak mempunyai masalah seperti di atas sudah terbiasa dengan kebaktian siaran langsung seperti ini sehingga mereka memandangnya sebagai alternatif yang lebih baik daripada harus pergi ke gereja di hari Minggu.

Ketika saya dan rekan-rekan sepelayanan memperdebatkan pandangan yang berbeda mengenai siaran langsung di kebaktian Minggu, kami mempersempit fokus kami pada satu pertanyaan: Mengapa gereja lokal perlu berkumpul secara tatap muka? Saya percaya Lukas memberikan empat jawaban dalam deskripsinya tentang gereja abad pertama: “Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa.” (Kis. 2:42). Keempat praktik ini terdampak saat ibadah siaran langsung secara permanen menggantikan persekutuan orang-orang kudus secara tatap muka. Apakah orang percaya yang memilih kebaktian secara daring menyadari apa yang mereka lewatkan?

Pengajaran Para Rasul

Memperlakukan pembelajaran Firman Tuhan sebagai latihan akademis—seperti menonton kuliah daring atau TED Talk—adalah tindakan yang merendahkan wahyu ilahi. Orang-orang percaya adalah partisipan dalam pemberitaan Firman Tuhan selama kebaktian di hari Minggu. Tindakan ini bersifat komunal; tak dapat dilakukan secara terpisah. Meskipun hanya satu orang yang berbicara, khotbah dimaksudkan untuk menjadi sebuah percakapan; idealnya, khotbah memancing dialog dan refleksi di dalam jemaat sebagai tubuh Kristus. Menerima “pengajaran para rasul” bukan hanya sekadar menyaksikan seorang pembicara yang baik secara daring, melainkan juga membuka hati kita terhadap penyingkapan diri Tuhan. Menonton khotbah secara terpisah seharusnya hanya menjadi solusi sementara. Kita perlu secara langsung mendorong anggota gereja kita untuk tidak mengabaikan konteks kebersamaan (korporat) di mana Firman Tuhan dapat bertumbuh. Sebagai umat Tuhan, kita adalah murid-murid dalam komunitas yang bersama-sama mendengarkan dan menikmati apa yang Tuhan katakan.

Persekutuan

Seorang analis bernama Marshall McLuhan menciptakan ungkapan “Medium adalah pesannya.” Internet telah mendefinisikan ulang berbagai relasi; kita sudah terbiasa menyebut orang asing sebagai “teman” dan mengabaikan nilai unik dari komunitas terdekat kita. Bagi gereja mula-mula, arti persekutuan sudah jelas: berkumpulnya sebuah komunitas yang saling menguatkan di mana seseorang dapat benar-benar dikenal (Ibr. 10:25). Setiap minggu di gereja, saya menyambut setiap jemaat secara individu. Kami berbicara satu sama lain, dan saya melihat ekspresi wajah dan bahasa tubuh mereka. Pesan-pesan nonverbal ini hampir tidak terlihat di media daring. Namun ketika umat kristiani berkumpul secara tatap muka, kita melihat hal-hal yang tidak terucapkan. Lebih sulit untuk menyembunyikan sakit hati atau menekan sukacita. Kedekatan secara tatap muka memungkinkan rekan-rekan seiman untuk melihat Anda dan berpartisipasi dalam masa Anda berkabung atau bersukacita (Rm. 12:15). Kebutuhan ini paling baik dipenuhi dalam komunitas terdekat.

Pemecahan Roti

Berjalannya waktu tidak memberikan dampak yang baik terhadap “pemecahan roti.” Pelayanan Perjamuan Kudus yang efisien telah menormalkan penggunaan wafer dan cawan plastik berisi jus anggur. Namun pada abad pertama, Perjamuan Kudus diadakan sebagai bagian dari sebuah jamuan makan. Makan bersama seperti ini adalah sesuatu yang sangat dihargai dan intim. Walaupun gereja kita tentu sangat menghargai simbol-simbol tubuh Kristus yang dihancurkan dan darah yang ditumpahkan, namun pentingnya partisipasi kita dalam perjamuan ini sering kali kurang ditekankan. Ketika para anggota gereja mereduksi Perjamuan Kudus menjadi hanya sekadar formalitas, maka tidak heran jika pertemuan-pertemuan tatap muka tidak terlalu diprioritaskan dibanding kebaktian siaran langsung secara daring. Namun, dengan memahami Perjamuan Kudus sebagai tindakan anugerah yang berulang kali mengingatkan kita akan penderitaan yang dialami Kristus itu sendiri, yang Dia tanggung demi kita, hal ini membantu jemaat kita memahami pentingnya berkumpul untuk menerima Perjamuan Kudus itu secara bersama-sama. Kita berkumpul bukan untuk menjalankan formalitas yang legalistik; kita berkumpul untuk meneladani pengorbanan Yesus.

Doa

Pada hari pertobatan saya, saya ditanya, “Maukah kamu menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat pribadimu ?” Saya menghargai maksud dari pertanyaan ini, namun individualisasi keselamatan dengan cara ini dapat menghilangkan makna identitas komunal kita. Kitab Suci berulang kali menekankan doa dalam komunitas, seperti permohonan bersama dan pertobatan (2Taw. 7:14). Gereja mula-mula menyadari perlunya mengambil bagian dalam tindakan sakral ini bersama-sama. Ketika orang-orang percaya berkumpul, doa memberdayakan kita dengan cara yang unik. Melalui doa bersama, gereja lokal dapat mencari petunjuk dari Tuhan, berserah pada kedaulatan-Nya, dan bersama-sama bersandar pada kuasa Roh Kudus. Tentu saja, ada komponen pribadi yang penting dalam doa, tetapi hal ini tidak boleh mengorbankan ibadah hari Minggu yang menyatukan orang-orang percaya yang berdoa.

Kehilangan Kesempatan

Saya tidak menyarankan gereja untuk meninggalkan ibadah daring sama sekali, tetapi para pendeta harus berpikir secara strategis tentang bagaimana menyediakan pelayanan ini tanpa mempromosikannya sebagai pengganti kehadiran di gereja. Salah satu strategi yang kami gunakan adalah memposting video kebaktian di sepanjang minggu itu ketimbang menyiarkannya secara langsung. Pendekatan lain adalah dengan menayangkan rekaman kebaktian minggu sebelumnya pada slot waktu hari Minggu; jadi para pemirsa masih memiliki pilihan untuk ibadah daring di Minggu pagi tetapi juga menyadari bahwa mereka kehilangan kesempatan untuk berpartisipasi dalam kebaktian tersebut. Merasa kehilangan kesempatan dapat memupuk kecemburuan yang baik.

Meskipun siaran langsung merupakan anugerah pada awal pandemi, tindakan sementara ini tidak dapat sepenuhnya menggantikan pertemuan tatap muka di gereja lokal. Sebagai pendeta, kita tahu akan hal ini—tetapi banyak dari jemaat kita yang perlu mendengar kita mengatakannya. Kita melayani jemaat kita yang beribadah secara daring jika kita mendesak mereka untuk hadir secara tatap muka.

Kita berkumpul demi pengajaran, Perjamuan Kudus, persekutuan, dan doa; inilah karakteristik alkitabiah dari ibadah bersama. Daripada mendorong orang-orang percaya untuk “pergi ke gereja” melalui tayangan di layar, marilah kita secara langsung dan berulang kali mengundang mereka ke pertemuan di mana mereka dapat mewujudkan gereja.

Brandon Washington adalah pendeta di bidang khotbah dan visi di The Embassy Church di Denver. Dia adalah penulis A Burning House (Zondervan, 2023).

Artikel ini adalah bagian dari CT Pastors edisi musim gugur. Anda dapat menemukan edisi lengkapnya di sini.

Diterjemahkan oleh Timothy J. Daun.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Our Latest

Inkarnasi Lebih dari Sekadar Palungan

Bagaimana seorang uskup Afrika kuno memperjuangkan kisah penebusan dalam inkarnasi.

Cover Story

Sisi Lain dari Natal

Dibutuhkan keberanian bagi Allah untuk menanggalkan kekuasaan dan kemuliaan-Nya serta mengambil tempat bagi-Nya di antara manusia.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube