Duduk di seberang meja saya, dia mengambil serbet yang kusut. Di tengah perbincangan kami yang hangat, teman saya—seorang pendeta—menjelaskan persiapan khotbahnya. Dia sangat pintar dan kreatif, begitu peduli dengan Alkitab dan mengapa hal itu penting bagi jemaatnya. Sambil meratakan serbetnya, dia menulis sebuah tanda X di salah satu sudut untuk mewakili teks Alkitab. Kemudian dia menggambar sebuah salib raksasa di tengah serbet berbentuk persegi itu. Terakhir dia menambahkan panah yang bergerak dari X menuju dan melewati salib. Baik berkhotbah dari kitab Pengkhotbah atau Filemon, ia menjelaskan, “Setelah saya membaca sebuah teks selama beberapa waktu, saya selalu bertanya, apa kaitan salib dengan hal ini?”
Gambar salib di serbet itu adalah pendekatan yang bermanfaat dalam penulisan khotbah. Sebagai orang Kristen, kita percaya bahwa seluruh isi Alkitab menunjuk kepada Kristus dan bahwa Dia, sebagai fokus dari Alkitab, memberi kita sudut pandang terbaik untuk memahami apa yang terkandung di dalam isi tulisan suci tersebut. Lebih spesifik lagi, jika salib adalah titik fokus dari kehidupan dan karya Kristus, maka menafsirkan sebuah teks melalui fokus tersebut sepertinya merupakan ide yang bagus. Di sini kita melihat kasih Bapa bekerja, mengampuni dosa-dosa kita dan mendamaikan kita dengan diri-Nya. Rasul Paulus memberi tahu kita bahwa dia hanya memberitakan Kristus, yaitu Dia yang disalibkan (1Kor. 2:1–2). Ia menegaskan bahwa dia tidak akan pernah bermegah dalam apa pun juga selain salib (Gal. 6:14). Jadi, kita sudah benar, kan? Jika kita memiliki salib, apa yang kurang?
Sudut pandang yang berpusat pada salib ini menunjukkan banyak hal kepada kita. Namun jika kita berpegang pada Alkitab, hal itu tidaklah cukup. Perjanjian Baru tidak mengakhiri catatannya tentang karya Yesus dengan penjelasan mengenai penguburan-Nya. Sebaliknya, Perjanjian Baru membuat Paskah menjadi sangat penting. Membatasi penafsiran kita hanya pada salib sama seperti ayunan tongkat golf tanpa tindak lanjut: Bolanya tidak akan sampai ke tempat yang seharusnya.
Izinkan saya perjelas: Saya tidak meminta kurang dari salib; Saya meminta lebih banyak. Harus ada gambar kedua di atas serbet itu. Saya tidak ingin salib itu dihapus, tetapi saya ingin ada kubur kosong yang ditambahkan.
Jelas umat Kristen Injili di Amerika Utara tidak berhenti percaya pada kebangkitan Kristus, tetapi saya penasaran apakah kita benar-benar menghargai makna penting dari kebangkitan Kristus tersebut. Kebangkitan itu bukan hanya bagi mereka yang sudah meninggal, melainkan juga bagi kita yang masih hidup. Masalah muncul ketika kita meremehkan, atau bahkan gagal memahami, makna dari kebangkitan. Bagi Paulus, jika kita ingin memahami keindahan dari Injil, maka salib dan kebangkitan adalah satu kesatuan (1Kor. 15:14).
Dengan mengabaikan kubur yang kosong, pemahaman kita tentang salib itu sendiri menjadi terdistorsi. Hal ini membuka pintu untuk melihat pengampunan dosa pribadi sebagai satu-satunya elemen Injil. Hal ini dapat membuat kita percaya bahwa memberantas dosa pribadi adalah satu-satunya aktivitas dalam hidup kita. Pemahaman tanpa kebangkitan ini menciptakan sebuah kisah yang terlalu kecil untuk kita jalani. Pemahaman seperti ini meninggalkan Yesus di masa lalu, di kayu salib, pada jarak ribuan mil (dari Amerika Utara) dan 20 abad. Terlalu mudah bagi kita untuk menyimpulkan, “Dahulu ada masalah. Namun Ia telah memperbaikinya. Sekarang terserah pada kita untuk membuat hidup kita lurus.” Pemahaman ini meninggalkan aktivitas kasih karunia di masa lalu, seolah-olah Yesus telah mengisi lemari obat dua ribu tahun lalu dan sekarang kita harus menemukan botol obat yang tepat untuk penyakit terbaru kita.
Menggambar sebuah kubur kosong di atas serbet bukan dimaksudkan untuk mengingatkan kita akan peristiwa sejarah yang kedua, melainkan akan realitas masa kini: Kristus yang telah bangkit adalah Tuhan atas langit dan bumi. Dia hadir bersama kita melalui Roh-Nya, memampukan dan membentuk kembali kehidupan kita. Kristus telah mempersatukan kita dengan diri-Nya sehingga kita dibangkitkan bersama-sama dengan Dia dan duduk di sebelah kanan Allah (Kol. 3:1). Hubungan dengan Dia inilah, keadaan baru yang dimasukkan ke dalam kehidupan-Nya sendiri, yang memampukan kita untuk mencari perkara-perkara dari Allah. Rasa syukur—walaupun dibutuhkan dan luar biasa—tidaklah cukup. Pengampunan dosa saja tidaklah cukup untuk menguatkan kehidupan Kristen. Mengikuti Yesus dengan setia memerlukan kuasa-Nya sendiri yang bekerja di dalam kita, dan inilah yang kita miliki. Kebangkitan menunjukkan bahwa Dia hadir dan Dia adalah Tuhan.
Dosa
Akan tetapi, bukankah semua ini akan mengalihkan perhatian kita dari seriusnya dosa? Tidak. Kita diikutsertakan dalam kematian dan kehidupan Kristus (2Kor. 5:14-17). Kata metanoia dalam Perjanjian Baru, biasanya diterjemahkan sebagai “pertobatan,” bukan berarti kita harus bersedih atas perbuatan di masa lalu, melainkan memperbarui pikiran kita dengan berbalik dari dosa kepada Kristus. Seperti yang diingatkan melalui Katekismus Singkat Westminster abad ke-17, pertobatan kita adalah pertobatan “menuju kehidupan.” Oleh karena itu, seluruh hidup kita dimaksudkan untuk terus berpaling dari hal-hal yang membawa kematian menuju hal-hal kehidupan baru di dalam Kristus.
Oleh karena itu, karya Kristus bagi kita bukan hanya sesuatu yang dilakukan di luar imajinasi kita atau yang telah lama berlalu dan nun jauh di sana. Karena telah dipersatukan dengan Kristus oleh Roh Kudus, kita sekarang harus hidup sebagai anak-anak Allah, meskipun kepenuhan keadaan kita kelak masih belum nyata (1Yoh. 3:2). Pengabdian kristiani harus selalu dibentuk oleh kebangkitan Kristus, sekalipun kita tidak menggunakan kata “bangkit” atau “kebangkitan”; hal ini mengingatkan kita bahwa Tuhan tidak hanya melakukan sesuatu di masa lalu, melainkan juga secara aktif berkarya di dalam kehidupan pribadi dan gerejawi kita saat ini.
Bagi rasul Paulus, kebangkitan bukan hanya tentang kehidupan kita setelah kematian, melainkan juga tentang kehidupan kita di masa kini. Paulus berbicara soal berpindah dari kubur yang kosong ke pengalaman hidup kita: “sama seperti Kristus telah dibangkitkan… demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru” (Rm. 6:4). Roh Allah, kata Paulus di bagian lain, membangkitkan Yesus dari kematian, dan Roh yang sama berdiam di dalam kita (Rm. 8:11). Kita telah dihidupkan “bersama-sama dengan Kristus” (Ef. 2:5-6) sehingga sekarang, kuasa kebangkitan-Nya menjiwai hidup kita, memampukan kita untuk turut ambil bagian dalam penderitaan-Nya dan menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya (Flp. 3:10). Melalui Roh-Nya yang memberi kehidupan, kita dimerdekakan untuk menyerupai Dia dengan menjalani hidup kebangkitan-Nya, bukan hanya demi diri kita sendiri melainkan untuk kebaikan orang lain juga.
Paulus menyatakan, “Karena itu, kalau kamu dibangkitkan bersama dengan Kristus, carilah perkara yang di atas, di mana Kristus ada, duduk di sebelah kanan Allah” (Kol. 3:1). Ada dua pilihan, dua pola hidup yang ada di hadapan kita: Kita akan melihat “perkara yang di atas” atau “perkara yang di bumi” (Kol. 3:2). Akan tetapi ini bukan tentang mengadu dunia material dengan dunia non-material. Perkara yang “di bumi” melambangkan pola-pola pemberontakan terhadap Allah dan sesama seperti percabulan, nafsu jahat, keserakahan, dan penyembahan berhala (Kol. 3:5). Hukum Tuhan mencerminkan perdamaian yang orisinal (shalom) antara kita dan Tuhan kita, dengan sesama, dan dengan seluruh isi bumi. Kita masih bergumul dengan dosa, tetapi Paulus mengingatkan bahwa kita bukanlah prajurit tersesat yang hanya diharapkan untuk melakukan yang terbaik yang kita bisa, yang hanya dipersenjatai dengan pengingat akan kemenangan masa lalu di kayu salib. Kita hidup di dalam kehidupan Kristus, di dalam kuasa-Nya. Dia telah mengutus Roh-Nya sendiri kepada kita, bukan sebagai pengganti-Nya ketika Dia tidak ada, melainkan sebagai kekuatan dan wujud dari kehadiran-Nya.
Kerajaan
Injil, pada dasarnya dan terutama, ialah berita bahwa Yesus adalah Tuhan (dan karena itu Kaisar, dalam bentuk politik apa pun, bukanlah Tuhan), bahwa Dia adalah Juruselamat yang menyelamatkan umat-Nya, bahwa Dia memerintah atas langit dan bumi (Kis. 2:32–36). Sang Raja dan kerajaan-Nya ada di sini. Jika pemahaman kita terhadap kabar baik itu hanya sebatas menyatakan bahwa Ia menghapuskan dosa kita (yang memang benar adanya), maka kita berisiko mereduksi Yesus menjadi formula dan metode untuk melawan dosa. Namun Yesus bukan sekadar solusi untuk masalah akuntansi. Dia adalah kehidupan!
Pada sisi lain, jika pemahaman kita akan iman menempatkan Yesus sebagai pusatnya, maka Ia akan menarik setiap aspek kehidupan Kristen agar selaras dengan-Nya. Yesus menuntun kita untuk memuji Dia dengan sukacita, mengakui dosa kita dengan keyakinan bahwa Dia telah menghancurkannya, mendengarkan Firman yang diberitakan dengan harapan bahwa Dia sendiri akan berbicara kepada kita melalui Firman itu saat Ia membimbing kita menuju kehidupan yang setia, dan kemudian pergi dengan sukacita karena mengetahui bahwa Dia adalah Tuhan atas hari Sabat dan Tuhan atas hari Senin hingga Sabtu.
Injil, yang diberitakan dalam kekristenan yang berpusat pada Kristus, menggerakkan kita dari sekadar menghindari dosa menjadi benar-benar mengasihi Tuhan dan sesama kita. Ini bukanlah trik psikologis yang dipupuk oleh mentalitas menolong diri sendiri. Orang-orang Kristen tidak hanya akan tertarik untuk berhenti melakukan hal-hal yang “buruk,” melainkan juga untuk mengalami kehidupan yang menghasilkan banyak buah yang diperintahkan dan dimampukan oleh Roh Kristus. Ya, kita dipanggil untuk mati terhadap dosa. Namun kabar baiknya bukan hanya hal yang negatif, melainkan juga hal yang positif: Kita dihidupkan kembali untuk mengasihi. Ini adalah kasih yang baru, yang memerdekakan kita untuk terhubung kembali dengan Pencipta kita, sesama kita, dan seluruh ciptaan-Nya.
John Owen, tokoh dari kalangan Puritan, kadang-kadang berbicara tentang “kekudusan Injili,” yang menyatukan apa yang cenderung dipisahkan oleh orang lain: kabar baik dan ketaatan Kristen. Acap kali kita merasa ngeri ketika mendengar kata “ketaatan”. Bagi kita, kata tersebut kedengarannya legalistik, bahkan menindas, tetapi hal ini menunjukkan betapa buruknya pandangan kita terhadap Allah dan Injil. Tuhan tidak tertarik untuk membuat daftar peraturan yang sewenang-wenang untuk kita ikuti guna membuktikan ketekunan atau komitmen kita. Ketaatan kristiani adalah tentang kasih: Perintah-perintah Allah memberikan sebuah garis besar, suatu kerangka kerja untuk mengasihi Allah dan sesama. Pemahaman kita terhadap hukum Allah harus selalu bertolak dari dan menuju kasih.
Ketaatan Injili bukan soal meraih perkenanan Allah, melainkan menghidupi perkenanan Allah dalam kuasa kebangkitan Kristus di masa kini. Kehidupan kristiani dibentuk seperti salib dan dimerdekakan seperti kubur yang kosong. Hal ini tidak hanya memandang serius bahaya dan distorsi dosa, melainkan juga menganggap serius kasih karunia dan pengampunan. Hal ini digerakkan oleh anugerah kasih Allah sehingga kita dapat menjadi saluran kasih Allah yang mentransformasikan melalui kita.
Kita tidak membuat, membangun, atau bahkan mendirikan kerajaan Allah. Tuhanlah yang melakukan hal itu—bahkan, Dia memberikannya sebagai hadiah (Luk. 12:32). Akan tetapi, kita hidup di dalam kerajaan Allah sebagai anak-anak-Nya yang merdeka dan sebagai para utusan-Nya. Karena telah dipersatukan dengan Raja yang bangkit melalui Roh-Nya, kita mengupayakan kebaikan bagi para anak yatim serta janda, dan kita peduli terhadap para tahanan atau jiwa kesepian yang bergumul dengan depresi berat. Kita dibebaskan dari dosa dan maut serta dilepaskan menuju kehidupan dan kasih yang membangun yang dimampukan oleh Roh Kudus.
Kemerdekaan
Jika kita mewartakan salib dengan mengabaikan kebangkitan, maka kita melupakan bahwa Kristus hadir bersama kita. Budaya kita yang sangat individualis dapat dengan mudah mereduksi Injil menjadi terapi pengelolaan dosa, yang berkonsentrasi pada modifikasi perilaku eksternal dan perubahan psikologis internal. Kita merasa terjebak dalam siklus berbuat dosa, bertobat, mencari pengampunan, dan kemudian mencari cara untuk mengatasi perasaan bersalah serta malu.
Kehadiran Kristus yang bangkit membuat kita keluar dari pikiran kita sendiri setidaknya dalam dua cara. Pertama, kebiasaan memandang kepada-Nya menjadi sarana anugerah-Nya yang mentransformasi pola pikir dan kehidupan kita. Kedua, Dia memimpin kita untuk melayani orang-orang di sekitar kita, memberi kita kata-kata anugerah untuk disampaikan dalam kehidupan mereka, untuk menghibur mereka yang berduka, mengusahakan kebaikan bagi sesama kita yang terluka. Lalu yang sering kali mengejutkan, kita benar-benar memercayai pengampunan Tuhan bukan dengan mengingatkan diri kita sendiri 10.000 kali bahwa kita telah diampuni oleh Tuhan, melainkan ketika kita—dalam kuasa Roh Kudus yang membangkitkan Yesus dari kematian—mengampuni seseorang yang telah sangat menyakiti hati kita. Apakah sulit membayangkan bahwa kita dapat benar-benar percaya dan mengalami pengampunan Tuhan ketika kita mengampuni orang lain? Inilah kuasa kehidupan kebangkitan-Nya di dalam kita.
Jadi apabila Anak itu memerdekakan kamu, kamu pun benar-benar merdeka (Yoh. 8:36). Kemerdekaan ini adalah kemerdekaan dari dan kemerdekaan ke dalam—kemerdekaan dari dosa dan maut yang mengikat kita di masa lalu dan kemerdekaan yang terus-menerus disegarkan ke dalam kehidupan Kristus di masa kini dan masa mendatang. Dosa memperbudak, tetapi Kristus menyelamatkan dan memerdekakan. Kita telah dibebaskan dalam kasih Yesus, yang membebaskan kita untuk mengasihi Tuhan dan sesama kita. Itulah kemerdekaan! Inilah yang tidak dimiliki oleh para penentang Yesus. Mereka membayangkan bahwa garis keturunan mereka cukup untuk menandai mereka sebagai orang merdeka, tetapi Yesus memperjelasnya—kemerdekaan sejati adalah kebebasan untuk mengasihi Anak yang telah diutus oleh Bapa. Ketika kita tidak mengasihi Bapa atau sesama kita, apakah kita benar-benar merdeka? (Yoh. 8:42; 1Yoh. 4:19–21). Salib dan kebangkitan Kristus sama-sama mengingatkan kita akan kepenuhan kemerdekaan yang dijamin bagi kita melalui karya keselamatan Allah Tritunggal, sebuah penyelamatan dari realitas dosa dan maut yang terkutuk menuju keindahan hidup dan pengharapan.
Sebagian orang Kristen menunjuk pada salib yang kosong sebagai cerita lengkapnya, tetapi salib itu kosong ketika para pengikut-Nya membawa jenazah Kristus ke dalam gua kubur yang gelap itu. Itu bukanlah akhir dari cerita. Salib dan kubur kosong yang bersinar itu, yang mencapai puncaknya pada Kenaikan, itulah yang menunjukkan perjalanan iman kita secara utuh. Melalui karya ini, yang di dalamnya Allah mengukuhkan Kristus sebagai Tuhan atas langit dan bumi, maka kita jadi punya fondasi, kuasa, dan kemerdekaan untuk hidup dan berkembang. Ia memberi kita sukacita dalam hidup, karena Dia telah memberi kita diri-Nya sendiri, dahulu, sekarang, dan selamanya.
Kristus telah mati. Kristus telah bangkit. Kristus akan datang kembali.
Kelly M. Kapic adalah profesor studi teologi di Covenant College dan penulis dari Becoming Whole: Why the Opposite of Poverty Is Not the American Dream (Moody, 2019), yang ditulis bersama Brian Fikkert.
Diterjemahkan oleh Maria Fennita S.