Gerakan hippie mencapai puncaknya pada tahun 1971, dan Stuart Briscoe baru saja menjadi pendeta di Elmbrook Church di Brook-field, Wisconsin. Stuart membujuk sebuah kelompok yang terdiri dari 100 pemuda yang kontra-budaya untuk menghadiri kebaktian pada suatu hari Minggu, dan salah satu pemimpin gereja merasa tidak senang.
“Saya ingin memperjelas satu hal,” kata pemimpin tersebut. “Orang-orang muda yang Anda bawa ke gereja kami harus dipisahkan. Kami telah bekerja keras untuk menjauhkan anak-anak kami dari orang-orang seperti ini.”
Stuart baru-baru ini melakukan perjalanan ke Afrika Selatan, di mana ia menyaksikan bentuk pemisahan serupa yang penuh prasangka. Stuart menggumamkan sesuatu tentang apartheid. Kini, dia berkelakar, “Anda harus ingat, saya adalah seorang pendeta baru saat itu, dan tidak ahli dalam hal diplomasi.”
Ketika “pertukaran posisi yang lengkap dan jujur” telah selesai (deskripsi diplomatis yang lebih berpengalaman dari Stuart), pemimpin tersebut menawarkan solusi yang dapat diterima oleh Stuart. “Saya lelah mendengar tentang kesenjangan generasi—mari kita membangun sebuah jembatan generasi.”
Segera setelah itu Elmbrook memulai kelas baru di hari Minggu pagi. Kegiatan ini berlangsung selama tiga bulan, dan para peserta dipilih dari berbagai kelompok usia.
Kelas tersebut tidak ada pengajar (atau pengawas); pelajaran dipimpin oleh para peserta sendiri, dengan orang yang lebih tua dan orang yang lebih muda berbagi tugas setiap minggunya. Kurikulum mereka adalah kitab Yakobus.
Meski pada awalnya enggan, para partisipan mulai bisa mengatasi tembok prasangka dan kesalahpahaman di antara mereka. Mereka cukup jujur untuk bertanya, “Mengapa kamu memanjangkan rambutmu sehingga terlihat seperti alat pel? Dan jangan bilang bahwa itu alasan yang sama seperti saya memanjangkan rambut saya hingga menyerupai sikat gigi.”
Seiring berjalannya waktu, hubungan pertemanan dan mentoring pun terbangun dan bertahan hingga saat ini. Kelas tersebut membagikan pengalamannya kepada jemaat, dan daftar tunggu pun dibuat untuk kelas Jembatan Generasi berikutnya.
Kini anak-anak dari era hippie itu berupaya untuk terhubung dengan anak-anak dan penerus mereka, yaitu generasi X. Menjembatani generasi, membangun komunitas, dan menyatukan keluarga adalah prioritas baru di banyak gereja. Di beberapa negara, upaya untuk mendukung kesatuan gereja dan kesatuan keluarga telah melahirkan paradigma pelayanan yang baru: pelayanan intergenerasional.
Paradigma ini mengintegrasikan seluruh anggota keluarga—ibu, ayah, janda/duda, lajang, dan anak-anak dari segala usia—ke dalam aktivitas yang sama. Pelayanan intergenerasional (disebut juga inter-generasi, multi-generasi, atau usia terpadu) menyatukan orang berbagai usia di tempat yang sama, dengan materi yang sama, untuk tujuan yang sama. Tujuannya: Membangun hubungan lintas generasi yang memperkuat pembentukan iman dalam komunitas iman dan di rumah.
Stephen Ong, pendeta dan pendiri Victory Baptist Church di Greeley, Colorado, memilih untuk membangun gereja dengan model intergenerasional. “Terlalu banyak keluarga yang menghidupi kekristenan hanya di gereja,” kata Ong. “Namun kekristenannya tidak diterapkan di rumah. Saya pikir jika kita bisa menyatukan keluarga-keluarga dalam perjalanan iman mereka di hari Minggu, hal itu akan menciptakan akuntabilitas timbal balik yang akan melekat pada mereka di sepanjang minggu.”
Para pendukung model pelayanan ini menyebut rumah sebagai pusat utama pembentukan iman. Sering kali prioritas utama mereka adalah melatih para orang tua untuk menanamkan iman kepada anak-anak mereka. Namun pelayanan intergenerasional yang berhasil tidak hanya melibatkan ibu, ayah, dan anak-anak.
“Hal terpenting dalam pelayanan intergenerasional adalah menyertakan unit-unit keluarga non-inti,” kata Eric Wallace, direktur pelayanan pengajaran di Harvester Presbyterian Church di Springfield, Virginia, dan penulis Uniting Church and Home. “Kami menyebut mereka ‘rumah tangga’—para janda/duda, orang lajang, keluarga dengan orang tua tunggal, dll. Jika Anda tidak menyertakan mereka, Anda hanya menciptakan sebuah fragmen ‘keluarga’ dengan kebutuhan dan hubungan yang terpisah dari anggota tubuh lainnya. Tujuannya adalah untuk membangun kesatuan dan iman di setiap rumah, siapa pun yang tinggal di sana.”
Menyatukan semua orang
Pada hari Minggu setiap bulan, Christ Church di Phoenix, Arizona, mengadakan acara di malam hari yang disebut "Petualangan Keluarga/Rumah." Keluarga-keluarga duduk di sekitar meja bundar. Para lajang, janda/duda, dan anak-anak yang orang tuanya tidak ada di sana, bergabung dengan keluarga-keluarga inti untuk memenuhi meja-meja tersebut. Sepanjang malam itu diisi dengan makan bersama, berdoa, belajar, dan bersenang-senang.
“Banyak orang beranggapan bahwa keluarga Kristen hanya makan dan berdoa bersama,” kata Ben Freudenburg, pendeta yang melayani keluarga Kristen di Christ Church. “Akan tetapi kenyataannya tidak demikian. Kegiatan yang terjadwal sering kali mengganggu waktu makan bersama, dan banyak keluarga tidak tahu cara berdoa bersama. Acara malam Petualangan Keluarga kami memulihkan hal-hal tersebut, memberikan kesempatan bagi keluarga untuk mempraktikkan momen berkumpul dan berdoa bersama.” Bahkan, Freudenburg menyuruh keluarga-keluarga di setiap meja untuk berdoa sebelum dan sesudah makan. Hanya untuk latihan.
Kemudian, seperti banyak pelayanan intergenerasional lainnya, orang-orang saling menoleh kepada satu sama lain, bukannya ke arah mimbar. Setiap kelompok mendiskusikan suatu bagian Alkitab dan menyelesaikan suatu aktivitas bersama. Keluarga-keluarga yang dilayani Freudenburg pernah membuat proyek kerajinan tangan, mengarang lagu-lagu pujian, dan menulis pernyataan misi keluarga. Proyek-proyek mereka kemudian dipresentasikan ke seluruh jemaat, dan keluarga-keluarga saling belajar satu sama lain. Tak pelak lagi, kata Freudenburg, percakapan-percakapan pun dimulai antara orang tua dan anak, atau antara janda/duda dan remaja, yang mungkin tidak akan pernah terwujud tanpa adanya acara ini.
Malam aktivitas keluarga memberikan kesempatan bagi jemaat segala usia untuk berbaur. Gereja-gereja lain menyatukan generasi-generasi tertentu.
Grace Church di Edina, Minnesota, misalnya, memadukan kombinasi eklektik. Para ayah dan anak laki-laki di gereja tersebut pernah menghadiri pertandingan bola basket profesional; para siswa SMP mereka pernah menyajikan makanan untuk para lansia yang tinggal di panti jompo; dan gereja tersebut pernah mengadakan acara pertemuan untuk memperkenalkan para siswa pertukaran pelajar mereka kepada berbagai generasi orang Amerika yang berbeda.
Perjalanan misi keluarga, retret orang tua dan anak, pendalaman Alkitab yang terintegrasi dengan usia dan sekolah Minggu, proyek kerja, dan ibadah merupakan platform yang potensial untuk membangun hubungan lintas generasi dan memperkuat keluarga-keluarga.
Namun membangun jembatan dari pelayanan yang terpisah-pisah berdasarkan usia ke paradigma yang terintegrasi usia terpadu sering kali sama sulitnya dengan membangun jembatan di antara generasi-generasi itu sendiri.
Menanggapi tentangan
Pelayanan intergenerasional dimulai dengan salah satu dari dua cara: gereja didirikan dengan nilai-nilai inti antargenerasi, atau gagasan tersebut diperkenalkan secara perlahan. Terkait yang terakhir, para pendukung pelayanan antar-generasi seringkali menghadapi tentangan keras. Norma budaya yang umum berlaku di sekolah dan sebagian besar lingkungan gereja, adalah memisahkan orang–orang, dan terutama anak-anak, berdasarkan usia. Norma budaya tidak mudah diubah.
“Tidak semua orang ingin melakukan hal ini,” kata Mike Sciarra, pendeta keluarga di Voyagers Bible Church di Irvine, California. “Tidak apa-apa. Kami tidak ingin mengubah pendulum pelayanan dari usia yang spesifik menjadi usia yang terpadu sepenuhnya. Keduanya bisa hidup berdampingan.”
Ben Freudenburg menjelaskan: “Pelayanan yang spesifik berdasarkan usia, seperti Sekolah Minggu yang tradisional, gereja anak-anak, dan pendalaman Alkitab untuk orang dewasa, sangat baik untuk mengajarkan kisah-kisah dan konsep-konsep iman. Akan tetapi, pelayanan usia terpadu mengajarkan kita bagaimana menerapkan kebenaran-kebenaran tersebut ke dalam relasi-relasi. Harus ada tempat untuk keduanya.”
Alih-alih melakukan perombakan total, beberapa inovator justru berhasil melakukan percobaan-percobaan kecil dalam pelayanan intergenerasi.
Lightsey Wallace (ayah Eric Wallace) adalah seorang penatua di Harvester ketika ia pertama kali memperkenalkan ide pelayanan intergenerasional kepada gereja. Dia ingin mencoba memasukkan putrinya yang berusia 12 tahun ke dalam kelas Sekolah Minggu dewasa. Dia yakin bahwa putrinya mampu memahami pada tingkat yang lebih dewasa daripada yang ditawarkan oleh kelas Sekolah Minggu.
Wallace meminta kesempatan untuk mencobanya. Setelah dua tahun, eksperimen tersebut sangat berhasil, Sekolah Minggu Harvester dibangun kembali berdasarkan kelas-kelas usia terpadu.
“Jangan berharap prosesnya cepat terjadi ketika Anda menerapkan pendekatan ini,” saran Eric Wallace, kakak laki-laki dari anak perempuan berusia 12 tahun itu, yang kini menjabat sebagai direktur pelayanan pengajaran di gereja tersebut. “Mayoritas gereja akan menerapkan prinsip-prinsip ini pada pelayanan yang sudah ada dengan pemisahan berdasarkan usia dan akan melakukan pendekatan secara bertahap.”
Itulah pendekatan yang diambil Mike Sciarra di Voyagers. Ketika ia bergabung pada tahun 1992, pelayanan dengan pemisahan berdasarkan usia sudah tertanam kuat dalam budaya gereja. Alih-alih mencoba mengubah struktur yang ada, ia melakukan eksperimen “di luar kampus.”
Sciarra mengundang seluruh keluarga, termasuk anak-anak berusia enam bulan ke atas, untuk mengambil bagian dalam perjalanan misi jangka pendek ke Meksiko. Beberapa keluarga menerima.
Seluruh kelompok memulai setiap pagi dengan beribadah dan belajar. Kemudian para wanita dan anak-anak yang lebih kecil berinteraksi dengan orang-orang Meksiko dalam permainan, kerajinan tangan, dan proyek-proyek kecil, sementara para pria dan anak-anak yang lebih besar bekerja sama dalam proyek konstruksi dan pembersihan. Di penghujung hari, mereka berkumpul untuk makan bersama.
Perjalanan tersebut menjadi populer, dan Voyagers kini melakukan empat perjalanan per tahun. Semangat pelayanan dan ibadah secara intergenerasional pun mulai menyebar, pertama-tama ke pelayanan di luar kampus, seperti pendalaman Alkitab dan kelompok-kelompok kecil, kemudian ke pelayanan di dalam kampus.
Goyangkan ayunan secara perlahan
Ketika Ben Freudenburg bergabung dengan staf Christ Church di Phoenix, dia mulai mencari cara untuk “menyesuaikan” pelayanan yang sudah ada untuk memperkenalkan elemen intergenerasi. Freudenburg sebelumnya telah menjadi pendeta kaum muda dan anak-anak di Kirkwood, Missouri, selama 17 tahun. Di sana ia mengembangkan budaya pelayanan intergenerasional, yang kemudian menjadi dasar penulisan buku The Family Friendly Church (Group, 1998). Buku ini memuat bagian tentang perubahan paradigma gereja. Di Christ Church, ia menerapkan prinsip-prinsip transformasinya.
Ia mendapati bahwa setiap masa Adven, gereja akan menampilkan tokoh-tokoh Natal yang berukuran lebih besar dari aslinya, terbuat dari rangka kawat dan dipenuhi dengan lampu Natal. Figur-figur ini ditempatkan di atap jalan setapak tertutup (mereka menempatkan Para Majus di sebelah timur palungan dan memindahkannya ke barat setiap malam). Saat mereka membaca cerita dan setiap tokoh disebutkan, figur di atap akan menyala.
Freudenburg bertanya pada dirinya sendiri, “Bagaimana saya bisa mengubah peristiwa penting ini untuk menyatukan generasi?”
Dia pun mengundang keluarga-keluarga di gereja untuk membawa miniatur adegan Natal mereka sendiri ke ruang kebaktian. Sebelum acara penyalaan lampu Natal, set palungan kecil dipamerkan kepada seluruh jemaat. Mereka merayakan keberagaman dan keanekaragaman internasional dari set miniatur palungan tersebut.
Setelah penyalaan lampu, Freudenburg dan istrinya memimpin suatu perenungan yang mencakup pembacaan dan latihan-latihan untuk dilakukan dan didiskusikan bersama keluarga.
Ada juga ruang bagi keluarga untuk mengenakan kostum tokoh-tokoh Natal. Sambil berdandan, mereka membuat foto dan video untuk dikirim kepada kakek dan nenek mereka yang berada di tempat yang jauh.
Sebuah pertanyaan yang tepat
Memperkenalkan orang-orang pada pelayanan intergenerasi, baik melalui eksperimen atau penyesuaian, adalah hal yang sederhana. Namun, membangun budaya yang permanen untuk kerja sama secara intergenerasional, tidaklah mudah.
“Pelayanan usia terpadu tidak bisa menjadi satu hal lagi yang perlu ditambahkan ke dalam kalender,” kata Mike Sciarra. “Anda harus mempertimbangkan program mana yang dapat dikurangi untuk memberi ruang.”
John Erwin, pendeta keluarga di Edina’s Grace Church, dan ketua National Association of Family Ministries, merekomendasikan untuk melakukan penilaian kebutuhan sebelum meluncurkan pelayanan intergenerasi yang baru. Erwin mengingat sebuah survei penting yang ia lakuan.
Grace Church pernah mengirimkan keluarga-keluarga untuk mengikuti retret orang tua/anak di sebuah perkemahan terdekat selama bertahun-tahun. Retret untuk ayah dan anak-anak dihadiri banyak orang, tetapi retret untuk ibu dan anak-anak tidak. Erwin bertanya-tanya kenapa.
Ia menemukan bahwa hal itu terjadi bukan karena kurangnya minat para ibu, melainkan karena para ayahlah yang berusaha mencari bantuan.
Jadi Grace Church memulai "Super Satur-days," sebuah pelatihan bagi para ayah dengan topik-topik seperti memimpin renungan, pengelolaan amarah, dan menciptakan kenangan keluarga. Menilai kebutuhan membantu Grace Church meluncurkan inisiatif intergenerasi tanpa harus membebani jadwal kalender gereja.
Dapatkah saya melakukan ini?
Hambatan terbesar dalam pelayanan intergenerasi adalah rasa tidak aman pribadi.
“Para orang tua sudah sangat terbiasa dengan gereja yang menanamkan pengembangan iman anak-anak mereka sehingga mereka merasa tidak punya pengetahuan,” kata Freudenburg. “Oleh karena itu, ketika kami memberi mereka pilihan, mereka merasa frustasi. Solusinya: Kita perlu memperlengkapi para orang tua untuk memimpin pengembangan iman keluarga mereka.”
Bagi Freudenburg, memperlengkapi orang tua termasuk mengadakan pameran devosi. Pelajaran Alkitab, model-model pengajaran, dan sumber daya lainnya dipajang di berbagai pos. Di setiap pos, para orang tua diundang untuk mencoba setiap sumber daya materi bersama anak-anak mereka. Jika orang tua menemukan sesuatu yang cocok untuk seluruh anggota keluarga mereka, mereka dapat membelinya dan menggunakannya di rumah.
Ketika Rod Janzen menjadi pendeta yang melayani keluarga di Olathe Bible Church di Olathe, Kansas, dia memperkenalkan cara-cara untuk menjadikan pendidikan iman gereja lebih inklusif bagi orang tua. “Kami mengganti kurikulum kelas parenting kami menjadi kurikulum yang membantu orang tua menjadi pengajar utama bagi anak-anak mereka. Pelayanan kaum muda kami juga mulai melibatkan peran orang tua. Lalu pesan dari mimbar juga menekankan kesatuan di seluruh generasi.”
Grace Bible Fellowship di Walpole, New Hampshire, mengambil langkah yang lebih jauh. Gereja ini menyediakan “guru keliling” yang mengunjungi rumah-rumah secara bergilir, melatih para orang tua untuk mengajar anak-anak mereka. Dorongan dan akuntabilitas membantu para orang tua untuk bertumbuh dalam kepercayaan diri dan kemauan mereka untuk membentuk perjalanan rohani bagi anak-anak mereka.
Banyak gereja yang menerapkan pelayanan intergenerasional melaporkan manfaat-manfaat yang tidak terduga. Sebagian gereja berpendapat bahwa hal ini meningkatkan keterlibatan para lajang dan manula. Yang lain menghargai bahwa tambahan keterlibatan orang tua mengurangi beban kerja para pelayan anak. Yang lainnya lagi menyadari bahwa inovasi mereka membawa keluarga-keluarga baru yang berusaha untuk memperkuat rumah tangga mereka.
Jemaat Olathe Bible Church merasa lega karena perbedaan generasi mereka lebih mudah diatasi daripada yang diperkirakan.
“Kami memiliki orang-orang lanjut usia yang sangat menikmati beribadah bersama generasi X,” kata Janzen. “Dan beberapa remaja kita senang bergaul dengan para lansia. Kami menemukan bahwa generasi-generasi yang berbeda mempunyai lebih banyak kesamaan dibandingkan yang mereka akui.”
Bagaimana pelayanan intergenerasional menutup kesenjangan?
Terlepas dari latar belakangnya—pengajaran, penyembahan, penjangkauan—pelayanan intergenerasional dibangun berdasarkan beberapa prinsip:
-
Integrasi usia. Daripada memisahkan kelompok-kelompok berdasarkan usia atau tingkat kelas, pelayanan intergenerasi dengan sengaja menggabungkan orang-orang dari kelompok usia yang berbeda.
-
Pemahaman lintas generasi. Hubungan yang terbina dapat mengurangi konflik dan kesalahpahaman secara intergenerasional.
-
Integrasi "rumah tangga." Meskipun tidak semua pelayanan intergenerasi menggunakan terminologi yang sama, para lajang, janda, dan kepala rumah tangga lainnya divalidasi sebagai unit keluarga dan sering kali dipadukan dengan keluarga inti.
-
Tanggung jawab orang tua untuk pengembangan iman. Para orang tua didorong dan diperlengkapi untuk mengambil peran utama dalam pendidikan iman anak-anak mereka, untuk “menanamkan” kebenaran Allah kepada anak-anak mereka (Ul. 6:6-9).
Terhubung dengan pelayanan intergenerasi
Sumber materi untuk memulai pelayanan usia terpadu.
- http://www.heritagebuilders.com. Situs web Focus on the Family untuk memperlengkapi keluarga agar dapat meneruskan warisan rohani mereka kepada anak-anak. Termasuk tips, alat bantu, artikel, dan sumber materi lainnya
- http://www.chamberscollege.com. Sumber materi untuk SAFE (Scripture Activities for Family Enrichment; Aktivitas Alkitab untuk Pengayaan Keluarga), sebuah kurikulum pengembangan rohani yang inklusif untuk segala usia, yang dibuat oleh Stephen Ong, pendeta dari Victory Baptist Church di Greeley, Colorado.
- The Family Friendly Church (Group, 1998) karya Ben Freudenburg, melayani rumah tangga Kristen di Christ Church di Phoenix, Arizona.
- Uniting Church and Home (Solutions for Integrating Church and Home, 1999) karya Eric Wallace, direktur pelayanan pengajaran di Harvester Presbyterian Church di Springfield, Virginia.
Diterjemahkan oleh Mellie Cynthia.