News

Laporan Lausanne: Sebagian Besar Misionaris Menjangkau yang Sudah Terjangkau

Laporan Keadaan Amanat Agung (The State of the Great Commission) menelaah tantangan dan peluang di tengah lanskap misi yang terus berubah.

Christianity Today September 27, 2024
Courtesy of The Lausanne Movement / Photography by Grace Snavely

Saat ini, lebih dari 40 persen orang dunia belum diinjili. Namun sekitar 97 persen dari total 450.000 misionaris Kristen di dunia saat ini diutus kepada orang-orang yang sudah memiliki akses kepada Injil.

Fakta mengejutkan lainnya: Pada tahun 1900, lebih dari 80 persen umat Kristen di dunia tinggal di Eropa atau Amerika Utara, tetapi saat ini hanya sekitar 25 persen yang tinggal di wilayah-wilayah tersebut. Sisanya tinggal di belahan bumi selatan, yang meliputi Afrika, Asia, Amerika Latin, dan Oseania.

Pergeseran geografis dalam kekristenan juga berarti perubahan di negara asal para misionaris. Amerika Serikat masih mengirimkan jumlah misionaris terbesar, tetapi empat negara berikutnya adalah Brasil, Korea Selatan, Filipina, dan Nigeria.

Ini adalah beberapa temuan dari Laporan Keadaan Amanat Agung yang dirilis oleh Gerakan Lausanne awal tahun ini, sebelum Kongres Lausanne Keempat di Incheon, Korea Selatan. Laporan ini didasarkan pada penelitian dari lembaga nirlaba dan organisasi Kristen internasional serta menyajikan wawasan dari 150 pakar misi global.

“Amanat Agung bukanlah tujuan akhir; melainkan sarana untuk mencapai tujuan,” tulis Victor Nakah dan Ivor Poobalan dalam salah satu esai laporan tersebut. “Masa depan adalah hadirnya segala suku, logat, bangsa, dan bahasa menyembah Sang Raja pada akhir zaman.”

Keberhasilan dan tugas yang belum selesai dari misi global

Berkat pelayanan para misionaris dan gerakan Kristen pribumi, Injil kini telah menjangkau sekitar 4,57 miliar orang, sementara 3,34 miliar orang masih belum mendengar Injil, menurut data dari Joshua Project.

Namun sebagian besar misionaris saat ini tidak pergi ke negara-negara yang memiliki kelompok masyarakat yang belum terjangkau. “Sebagian besar misionaris pergi ke negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Kristen atau pasca-Kristen, yang menyebabkan kurangnya keterhubungan dan pemahaman terhadap penganut agama lain,” tulis laporan tersebut. Lebih banyak misionaris pergi ke Eropa daripada ke Asia, meskipun 60 persen penduduk dunia tinggal di Asia dan mengirim seorang misionaris ke Eropa biayanya 10 kali lipat.

Pengirim—dan penerima—misionaris terbanyak adalah Amerika Serikat, dengan 135.000 misionaris yang berangkat dan 38.000 misionaris yang datang dari luar negeri, menurut data World Christian Database tahun 2020. Populasi Kristen di AS masih merupakan yang terbesar di dunia, di mana sekitar sepersepuluh dari seluruh umat Kristen adalah orang Amerika. Brasil menyusul dengan hampir 8 persen dari jumlah umat Kristen di dunia, yang sebagian besar disebabkan oleh penyebaran aliran Pentakosta yang cepat. Brasil juga mengirimkan jumlah misionaris terbanyak kedua yaitu sebanyak 40.000 orang.

Korea Selatan, dengan 35.000 misionaris, turun dari posisi kedua ke posisi ketiga antara tahun 2015 dan 2020. Angkatan misionaris yang menua dan berkurangnya keterlibatan kaum muda Kristen telah berkontribusi pada penurunan ini. Sebanyak 25.000 misionaris yang dikirim dari Filipina sebagian besar beragama Katolik, dan jumlah ini tidak termasuk warga Filipina yang bekerja di luar negeri yang berfungsi sebagai misionaris bivokasional.

Di Nigeria, beberapa gereja tidak memakai lembaga-lembaga misi dan secara langsung mengirimkan misionaris mereka ke daerah yang belum terjangkau. Sebuah tulisan dalam laporan Lausanne mengutip buku karya Yaw Perbi dan Sam Ngugi: “Sejarah gerakan Kristen dunia adalah kisah kolaborasi antara gereja-gereja lokal dan lembaga-lembaga misi [yang] telah Tuhan pakai … untuk memajukan Injil sejak abad pertama hingga saat ini.”

Pertumbuhan Kekristenan di Afrika

Dalam satu abad terakhir, Afrika sub-Sahara telah mengalami pertumbuhan kekristenan terpesat di seluruh dunia. Wilayah tersebut, bersama Amerika Latin, adalah wilayah di mana Pentakostalisme tumbuh paling kuat. Pada tahun 1970, Afrika sub-Sahara memiliki sekitar 20 juta penganut Pentakosta; saat ini jumlah tersebut meroket menjadi 230 juta orang, menurut World Christian Encyclopedia.

Pew Research Center memproyeksikan bahwa pada tahun 2060, dari sepuluh orang Kristen, lebih dari empat di antaranya akan menganggap Afrika sub-Sahara sebagai rumah mereka. Sebagian besar pergeseran ini disebabkan oleh faktor demografi, karena wilayah ini memiliki populasi termuda di dunia. Saat ini, usia rata-rata orang Kristen di sana adalah 19 tahun, dibandingkan dengan usia rata-rata orang Kristen di Amerika Utara yaitu 39 tahun dan di Eropa 42 tahun.

Afrika Sub-Sahara juga lebih religius. Di Nigeria, sekitar 90 persen orang dewasa menghadiri kebaktian keagamaan setiap minggu, dibandingkan dengan kurang dari 40 persen di AS. Meskipun orang berusia 18 hingga 39 tahun lebih jarang menghadiri kebaktian mingguan di gereja daripada mereka yang berusia di atas 40 tahun di seluruh dunia, kesenjangan ini paling kecil di Afrika sub-Sahara, menurut Pew.

“Setiap orang yang memikirkan misi tidak boleh hanya mempertimbangkan bagaimana Afrika berpartisipasi, melainkan orang Afrika sendiri harus siap berada di garis depan pasukan misi,” tulis Ana Lucia Bedicks, Menchit Wong, dan Maggie Gathuku dalam esai laporan Lausanne.

Masyarakat yang belum terjangkau di India dan Pakistan

Sementara itu, mayoritas kelompok masyarakat yang belum terjangkau (unreached people groups/UPG) di dunia, yang didefinisikan sebagai kelompok yang tidak memiliki “gereja lokal/pribumi yang mampu menginjili masyarakat mereka sendiri,” berada di Asia Selatan, khususnya di India yang mayoritas penduduknya beragama Hindu dan Pakistan yang mayoritas beragama Islam. Hampir 3.000 orang yang belum terjangkau—atau sekitar tiga perlima dari total dunia—berada di kedua negara tersebut.

Saat ini, lebih dari 60 persen dari 30.000 misionaris India bekerja di dalam negeri, menurut Operation World. Orang-orang Kristen di India menghadapi penganiayaan yang lebih besar karena pemerintahan nasionalis Hindu memegang kendali dan ideologi Hindutva mengakar kuat di tengah masyarakat.

Kelas menengah yang berkembang di India menawarkan hambatan sekaligus peluang bagi Injil untuk berkembang, menurut sebuah tulisan karya Carl Ebenezer, Ted Esler, dan James Patole. “Kombinasi antara struktur sosial India yang religius dan sangat berbasis kasta dengan konteks sekuler dan pluralistik ini menimbulkan tantangan yang sangat besar dalam menyajikan keunikan Yesus Kristus,” tulis mereka.

Namun pada saat yang sama, para penulis mencatat bahwa banyak orang India yang kelas menengah “tidak serta-merta yakin dan berdedikasi pada ajaran agama mereka. Banyak dari mereka yang terbuka untuk mendengarkan dan mengubah pandangan mereka jika diundang dengan cara yang sesuai dengan pengalaman dan kebutuhan mereka.”

Pakistan memiliki undang-undang penistaan agama yang paling ketat di antara negara-negara mayoritas muslim, yang dapat menyebabkan hukuman penjara dan bahkan kematian. Orang-orang Kristen yang tinggal di kota-kota juga dipaksa bekerja di bidang sanitasi dengan upah rendah.

Laporan tersebut mencatat bahwa Asia Selatan “akan tetap menjadi kawasan yang paling sedikit diinjili selama beberapa dekade mendatang.”

Misi yang polisentris

Seiring dengan bergesernya pusat-pusat Kristen dari Barat ke arah Selatan, aktivitas misi kini bersifat polisentris, yaitu sebuah istilah yang berarti “dari semua bangsa untuk semua bangsa,” menurut Patrick Fung, duta besar global OMF International.

Sebuah esai berjudul “Misi Global Polisentris” menyatakan bahwa “misi telah bersifat polisentris sejak awal.” Meskipun gereja mula-mula mulai memberitakan Injil di Yerusalem, penganiayaan memaksa mereka untuk menyebar ke seluruh dunia Romawi dan menyebarkan Injil kepada orang-orang diaspora Yahudi. Kemudian orang-orang percaya pergi ke Antiokhia untuk memberitakan Injil kepada orang-orang non-Yahudi; dari sana, Paulus memulai perjalanan misinya serta mendirikan gereja-gereja, dan gereja-gereja tersebut melanjutkan untuk menyebarkan Injil lebih jauh lagi.

Laporan tersebut mencatat bahwa kecuali Eropa, setiap kawasan di dunia “mengirim dan menerima lebih banyak misionaris dibandingkan 50 tahun yang lalu.” Semakin banyak misionaris datang dari negara-negara di mana umat Kristen merupakan minoritas, yang sering kali membantu mereka untuk berhubungan dengan orang-orang yang ingin mereka jangkau.

Namun, salah satu tantangannya adalah bahwa kekayaan Kristen terpusat di Amerika Utara, sehingga memerlukan diskusi tentang bagaimana gereja-gereja polisentris dapat mendorong kemurahan hati, menciptakan “saluran yang sehat” antara orang-orang Kristen yang lebih kaya dan mereka yang kurang mampu, serta mengidentifikasi sumber pendanaan baru.

“Jika setiap budaya telah menerima Amanat Agung, maka setiap budaya memiliki hak istimewa untuk mendukung Amanat Agung,” kata Scott Morton dari Navigators, yang dikutip dalam esai yang lain.

Misi-misi diaspora

Salah satu cara penyebaran Injil adalah melalui pergerakan orang-orang yang meninggalkan negara asal mereka karena kelaparan, perang, penganiayaan, kesempatan kerja yang lebih baik, atau keluarga. Pada tahun 2020, terdapat 281 juta migran internasional di dunia, meningkat 60 juta dari satu dekade sebelumnya, menurut Laporan Migrasi Dunia. Dari jumlah para migran tersebut, hampir separuhnya beragama Kristen.

Pola ini sesuai dengan misi polisentris, di mana para migran Kristen pindah ke lokasi baru di mana mereka dapat bersaksi dan menanam benih. Pada saat yang sama, orang-orang Kristen di negara tujuan dapat memberitakan Injil kepada para pendatang baru, yang sering kali lebih terbuka untuk menerima keyakinan yang baru karena mereka jauh dari tradisi dan agama di negara asal mereka.

“Tuhan berdaulat atas sejarah manusia dan penyebaran manusia,” tulis Sam George dalam esainya “People on the Move.” Salah satu hasilnya, katanya, adalah bahwa “Kekristenan di Barat tidak mengalami penurunan, tetapi para imigran dari Asia, Afrika, dan Amerika Latin menghidupkannya kembali dan mengubahnya dengan dorongan misi yang baru.”

Sebagai contoh, pengetatan kebebasan di Hong Kong telah menyebabkan ledakan gereja-gereja Tionghoa di Inggris karena warga bekas jajahan Inggris itu mencari perlindungan di Inggris. Di Belgia, orang Kristen Afrika semakin banyak yang mengajar kelas pendidikan agama. Di AS, gereja-gereja orang Bhutan Nepal bertumbuh karena mereka bertemu di gedung-gedung gereja yang jemaat lokalnya sedang sekarat atau mengalami penurunan drastis.

“Kekristenan adalah iman yang bersifat misi yang sangat unggul karena agama ini lahir untuk melakukan perjalanan,” kata George.

Gereja menentang ketidakadilan

Secara global, jumlah orang yang hidup dalam kemiskinan ekstrem telah menurun dari dua miliar pada tahun 1990 menjadi satu miliar pada tahun 2019, menurut Bank Dunia. Laporan Lausanne menghubungkan tren ini dengan pentingnya misi integral, yang tidak hanya menjawab kebutuhan rohani seseorang melainkan juga kebutuhan fisik, sosial, dan ekonomi.

Hak asasi manusia lebih terlindungi dibandingkan dengan abad-abad sebelumnya. Namun pembatasan pemerintah terhadap agama telah meningkat secara global. Afrika Utara, Timur Tengah, dan Asia merupakan kawasan dengan persentase tertinggi dalam hal penggunaan kekerasan oleh pemerintah terhadap kelompok-kelompok agama, menurut Pew.

Saat ini, diperkirakan 40 juta orang menjadi korban berbagai bentuk perbudakan modern, yang meliputi kerja paksa, eksploitasi seksual, dan pernikahan yang tidak diinginkan. Wanita dan anak perempuan terkena dampak secara tidak proporsional, mencakup 70 persen korban eksploitasi dan 99 persen korban dalam industri seks.

“Meskipun gereja menyuarakan dukungannya kepada kaum tertindas dalam beberapa hal tertentu, namun dalam banyak kasus gereja membatasi dirinya pada sebatas pernyataan-pernyataan dari para pemimpinnya dan tidak mewujudkannya dalam tindakan,” tulis Christie Samuel, Jocabed Solano, dan Jenny Yang dalam esai laporan Lausanne. Mereka mendesak gereja untuk “mengambil peran kenabiannya dengan bekerja lebih cepat dalam mengecam ketidakadilan, membebaskan mereka yang tertindas, dan bangkit melawan kebebasan yang tak terbatas dari para penindas.”

Kecerdasan buatan menghadirkan baik jebakan maupun kemungkinan

Perubahan besar lain yang perlu diperhatikan oleh komunitas misi adalah bagaimana internet mengubah setiap aspek kehidupan manusia. Laporan tersebut menyatakan bahwa “peningkatan media digital berpotensi sama transformatifnya terhadap keterlibatan dengan Kitab Suci seperti kemunculan mesin cetak di Eropa Modern Awal.”

Dengan sekitar 60 persen dunia yang terhubung ke internet, ada peluang baru bagi aplikasi Alkitab yang memungkinkan orang untuk dengan mudah membaca dan mendengar Alkitab dalam bahasa mereka sendiri. Aplikasi Alkitab juga menyediakan cara baru bagi orang-orang untuk mengakses Alkitab, terutama di negara-negara yang memiliki masalah keamanan. Perangkat lunak penerjemahan, alat kolaborasi daring, dan pengumpulan sumber daya secara massal juga telah mempercepat proses penerjemahan Alkitab.

Pada saat yang sama, kemajuan teknologi juga menimbulkan tantangan bagi gereja, khususnya seputar kecerdasan buatan (AI) dan apa artinya menjadi manusia.

“Proklamasi Injil bukan sekadar soal transfer informasi, tetapi lebih merupakan transformasi pribadi seutuhnya melalui kuasa Roh Kudus,” tulis para penulis esai laporan tentang AI. Mereka menambahkan bahwa “banyak yang berusaha memanfaatkan kekuatan yang luar biasa dari alat AI dalam menyebarkan pesan Injil kepada semua orang, suku, dan bangsa.”

Para penulis mengakui bahwa Tuhan menggunakan alat-alat tersebut untuk membantu gereja, tetapi memperingatkan bahwa penggunaannya harus “dipandu oleh sifat unik kemanusiaan dan pengakuan bahwa mesin pada dasarnya berbeda dari manusia.”

Diterjemahkan oleh Mellie Cynthia.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, Instagram, atau Whatsapp.

Our Latest

Ketika Pelayanan Melukai Keluarga Anda

Nasihat yang berasal dari pengalaman sulit untuk menyeimbangkan antara keluarga dan pekerjaan Tuhan.

Saya Menemukan Penghiburan dalam Pahlawan Ilahi

Sebuah mazmur yang mencengangkan mengubah pandangan saya tentang kehadiran Allah selama masa-masa pencobaan.

Gereja Adalah Keluarga, Bukan Acara

Alkitab menyebut sesama orang Kristen sebagai “saudara laki-laki dan perempuan,” tetapi seberapa sering kita memperlakukan mereka sebagai keluarga?

News

Wafat: Andar Ismail, Penulis Produktif yang Membuat Teologi Menjadi Sederhana

Dengan seri Selamat karyanya, pendeta Indonesia ini menulis lebih dari 1.000 cerita pendek yang menyoroti kehidupan dan ajaran Yesus.

Kematian karena Swafoto

Kita tidak akan pernah melihat kemuliaan Tuhan jika kita hanya melihat pada diri kita sendiri.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube