Selama sepuluh tahun pertama pelayanan, saya adalah seorang pendeta yang hebat dan suami yang sangat buruk. Saya mengabaikan istri saya. Saya serahkan tanggung jawab membesarkan anak-anak saya kepada pengasuh anak. Saya memimpin gereja dengan baik, dan jemaatnya bertumbuh dengan jumlah 100 orang per tahun, tetapi saya tidak hadir sebagai pemimpin di rumah saya sendiri.
Pelayanan saya merintangi pernikahan saya. Ini adalah cerita saya. Belajarlah dari kesalahan-kesalahan besar yang pernah saya lakukan.
Pilihan
Saya ingat suatu malam Jumat yang hujan, sekitar pukul sepuluh, saat putri saya berusia lima tahun. Istri saya pergi untuk mengantar beberapa remaja pulang setelah menghadiri pertemuan kelompok kecil di rumah kami. Seorang penatua gereja dijadwalkan untuk menjemput saya dan membawa saya ke retret gereja. Saat dia tiba, istri saya belum ada di rumah. Dia meminta saya pergi karena orang-orang sedang menunggu saya. Saya dibutuhkan di retret itu. Jadi, saya bisa menunggu istri saya pulang, atau saya bisa meninggalkan putri saya sendirian untuk waktu yang singkat.
Akan tetapi, saya salah memilih. Saya memberikan Vanessa selimut kesayangannya, memutar video VeggieTales, mencium dia, lalu berangkat pergi. Tak lama kemudian, badai petir melanda. Petir, guntur, pohon-pohon bergoyang keras, angin menderu, hujan deras menerpa jendela. Istri saya terjebak di jalanan selama satu jam dengan pohon tumbang di depannya. Putri saya berada sendirian di rumah. Lampu padam semakin menambah kerumitan masalahnya. Alih-alih dipeluk ayahnya dan diberi tahu bahwa semuanya akan baik-baik saja, malam itu putri saya malah sendirian di sebuah rumah yang besar, kosong, dan menakutkan. Sementara itu, ayahnya sedang memenuhi “tanggung jawab pelayanannya.”
Pelayanan sudah cukup sulit, tanpa tambahan tekanan dari masalah di rumah. Banyak pemimpin dan pendeta memiliki masalah yang riil dalam keluarga mereka yang diabaikan, dikesampingkan, atau dilupakan. Masalah-masalah pribadi hampir selalu kembali memengaruhi kinerja di depan umum, biasanya pada saat yang paling buruk. Monster rahasia merusak pelayanan publik. Berikut ini adalah beberapa solusi praktis yang telah membantu saya; mungkin dapat membantu Anda juga.
Menggembalakan Rumah Tangga Saya Terlebih Dahulu
Salah satu kesalahan yang saya lakukan adalah menggunakan keluarga saya untuk mencapai tujuan pelayanan pribadi. Ini lebih tentang saya dan apa yang saya ingin lakukan di gereja, daripada tentang mereka. Sekarang, saya percaya pentingnya melibatkan keluarga dalam pelayanan sesuai dengan karunia mereka, tetapi saya harus belajar untuk memberi semangat tanpa menuntut. Libatkanlah keluarga Anda sesuai dengan karunia mereka, bukan sesuai keinginan pribadi Anda. Hargai kata “Tidak” dari mereka.
Ketika saya ditugaskan di sebuah gereja yang baru, saya memastikan bahwa saya telah meninjau kembali harapan-harapan saya mengenai anak-anak saya. Saya menyampaikan kepada majelis gereja sesuatu seperti ini: “Anak-anak pendeta hanyalah anak-anak. Mereka tidak memiliki kekuatan supranatural dan tidak seharusnya diharapkan untuk berperilaku seperti orang Kristen yang super. Jangan menuntut mereka terlalu keras. Kasihilah mereka. Bimbinglah mereka. “Buatlah mereka ingin menjadi orang Kristen saat mereka dewasa, dengan cara Anda memperlakukan orang tua mereka.” Saya diberkati karena memiliki gereja-gereja yang mengasihi dan mendukung anak-anak saya, serta menciptakan suatu gambaran anugerah dan penerimaan yang bertahan hingga hari ini. Sayangnya, hal ini tidak selalu terjadi dalam banyak pelayanan, tetapi Anda dapat membuat banyak kemajuan dengan membicarakan hal itu sejak dini dan sesering mungkin dengan gereja Anda.
Berikut adalah tiga prinsip yang menjadi pedoman saya dalam mengasuh anak-anak saya:
- Anak-anak adalah buku untuk dibaca, bukan ditulis. Tugas saya adalah menemukan bagaimana Tuhan telah membentuk mereka dan mengeluarkan bagian yang terbaik yang sudah ada di dalam diri mereka, bukan memaksa mereka melakukan sesuatu yang bukan diri mereka. Saya dapat melakukan ini hanya dengan menghabiskan banyak waktu bersama mereka. Ini bukan berarti saya menerima yang biasa-biasa saja atau tidak mendorong mereka untuk menjadi yang terbaik. Ini berarti bahwa mereka tahu kami mengharapkan hal-hal yang besar dari mereka, tetapi kami akan tetap mengasihi mereka sekalipun mereka tidak mencapai potensi mereka sepenuhnya. Bagi saya, itulah yang Tuhan lakukan terhadap kita. Itu disebut anugerah.
- Hadiah terbesar yang dapat saya berikan kepada anak-anak saya adalah mencintai ibu mereka dengan baik. Jadi saya akan melakukan segala langkah yang diperlukan agar mereka dapat melihat bahwa saya melakukan hal itu, meskipun mereka mungkin merasa malu saat saya mencium istri saya di depan umum. Orang tua saya tidak pernah bertengkar di depan anak-anaknya. Saya yakin mereka ingin melindungi kami anak-anaknya, tetapi mereka akhirnya tidak mengajari kami cara menyelesaikan perselisihan. Saya ingin anak-anak saya melihat bahwa Anda bisa saja tidak sependapat dengan seseorang tanpa melepaskan tangan orang tersebut.
- Saya menentukan pertempuran saya. Saya akan membuat batasan-batasan yang jelas, tetapi saya juga akan sangat berhati-hati agar tidak memperbesar masalah-masalah yang kecil. Saya tidak akan membuat anak-anak saya merasa kurang rohani hanya karena mereka memilih cara berpakaian atau pola makanan yang berbeda dari saya. Tuhan memberi kita sepuluh hukum Taurat, bukan 10.000.
Pelayanan Keluarga
Keluarga saya adalah pelayanan saya. Bukan berarti saya menjadi malas atau lupa bahwa saya juga punya pekerjaan pelayanan, tetapi dalam kasus yang jarang terjadi, jika saya harus memilih, maka saya akan memilih keluarga saya. Saya pernah melewatkan rapat untuk menonton putri atau putra saya bertanding olahraga. Tahun depan, anak-anak saya akan masuk sekolah asrama. Saya dan istri akan berkendara selama 1,5 jam untuk melihat mereka bertanding. Mereka bersama kami hanya dalam waktu singkat, jadi kami akan berkorban. Saya mendapati bahwa jika Anda memilih hal yang terpenting, Tuhan akan mengurus hal yang mendesak. Fakta penting: Saat saya memutuskan menjadi ayah dan suami yang sesungguhnya, gereja saya justru semakin bertumbuh.
Suatu kali, putri saya bertanding dalam turnamen basket selama dua hari. Karena tim mereka hampir tidak pernah menang, saya menjadwalkan pertemuan pada hari Senin pukul 7 malam di sebuah gereja. Masalahnya, mereka mulai menang. Mereka menang di hari Minggu. Mereka menang juga di Senin pagi dan siang. Kemudian mereka dijadwalkan bertanding untuk kejuaraan pada pukul 4 sore, jadi saya menghadapi dilema. Jika saya tetap tinggal untuk pertandingan itu, saya akan terlambat datang ke rapat. Saya berada satu jam dari rumah saya, di mana saya perlu berganti pakaian, bercukur, dan mandi, lalu berkendara satu jam lagi ke gereja di tengah kemacetan lalu lintas pada jam sibuk. Ketika putri saya bertanya pada siang hari apakah saya akan hadir, saya menjawab, “Ya,” tetapi pergulatan batin pun dimulai. Jadi, saya mengajukan pertanyaan apakah saya harus tinggal atau menggunakan pertanyaan filter yang biasa saya gunakan: Apakah ini terpenting atau mendesak? Apakah ini baik atau yang terbaik? Apakah ini permanen atau sementara?
Saya memilih untuk tetap tinggal. Faktor penentunya adalah pertanyaan yang saya ajukan kepada diri sendiri: Dalam 20 tahun lagi, apakah putri saya akan mengingat ayahnya pernah menghadiri pertandingannya atau akankah saya merasa menyesal karena meninggalkannya sekali lagi, dan menghadiri pertemuan yang bahkan tidak akan saya ingat? Timnya menang. Saya menyetir, mandi, berganti pakaian, melanggar batas kecepatan, dan tiba dengan waktu tersisa 15 menit. Pelajaran berharga telah dipelajari.
Sebagai direktur pelayanan, saya sering punya kesempatan untuk berbicara kepada para pendeta. Salah satu tren menggelisahkan yang saya lihat adalah banyaknya pendeta yang dengan sukarela mengakui bahwa mereka mengabaikan keluarga mereka karena tuntutan pekerjaan pelayanan.
Namun tidak semua pendeta terhilang. Baru-baru ini saya mendapat kehormatan berbicara dengan para calon pendeta yang akan ditahbiskan. Kisah salah satu kandidat menarik perhatian saya. Dia telah didekati oleh seorang pensiunan pendeta dan diberi beberapa nasihat yang tidak begitu bijaksana. Pendeta itu mengatakan kepadanya bahwa pekerjaan Tuhan adalah yang utama, dan jika ia harus mengabaikan keluarganya, ya, itu memang harus terjadi. Saya senang mendengar kandidat tersebut mengatakan bahwa itu bukan niatnya. Perbedaan utama dari kebanyakan profesi lainnya adalah bahwa dalam pelayanan, Anda bekerja “untuk Tuhan.” Dalam pikiran Anda, lebih mudah untuk membenarkan pengabaian terhadap keluarga karena, bagaimanapun juga, pekerjaan Anda memiliki konsekuensi yang kekal. Salah satu tantangan menjadi seorang pendeta adalah tidak pernah memiliki garis akhir. Anda adalah seorang pendeta 24/7. Bahkan saat berlibur maupun saat berolahraga. Oleh karena itu, bersikaplah sungguh-sungguh terhadap hal-hal berikut ini:
- Berikan ruang pada keluarga Anda.
- Hormati jam malam dan hari libur.
- Tekankan pentingnya mengambil satu hari libur.
Memang ada keadaan darurat yang tidak dapat dihindari, tetapi menanggapi orang yang menelepon 20 kali setiap minggu dengan “krisis” yang berbeda, tentu hal itu tidak dapat disebut sebagai “keadaan darurat.”
Jika Anda tidak berhati-hati atau tidak mengaturnya dengan baik, pekerjaan pelayanan Anda dapat menguasai hidup Anda dan menggeser area lain yang sama pentingnya. Istri saya pernah berkata kepada saya: “Sayang, kita selalu mengadakan retret akhir pekan bagi keluarga-keluarga dan menyampaikan khotbah-khotbah tentang keluarga. Jadi, mengapa kita tidak ikut retret saja? Bukan untuk berkhotbah, tetapi untuk belajar dan bertumbuh.” Ide yang bagus. Saya pun mendaftar retreat akhir pekan di Family Life Weekend to Remember. Tanpa anak-anak. Tanpa tanggung jawab. Tanpa persiapan khotbah. Tidak ada yang perlu diperbaiki, dipresentasikan, atau disiapkan. Hanya 72 jam pengayaan pernikahan.
Dua keputusan penting pun dihasilkan di akhir pekan itu. Salah satunya adalah meningkatkan frekuensi kencan kami. Kami melakukannya sebulan sekali secara rutin, lalu meningkatkannya menjadi seminggu sekali. Yang kedua adalah berpuasa untuk anak-anak kami seminggu sekali. Anak remaja (semua anak-anak, sebenarnya) memerlukan segala doa yang bisa mereka dapatkan.
Jangan lupakan apa yang benar-benar penting. Setelah anak-anak pergi dan pekerjaan pelayanan gereja berakhir, semoga Anda masih memiliki pasangan Anda. Perbaikilah pernikahan Anda terlebih dahulu. Suatu keyakinan yang jelas menjumpai saya ketika duduk di sebuah seminar. Tuhan menyadarkan saya bahwa saya lebih banyak berdoa untuk mempelai-Nya daripada untuk mempelai saya sendiri. Kehidupan doa kami kini telah membaik. Penting bagi saya untuk berdoa untuk dan bersama pasangan saya.
Kesimpulan
Pada akhirnya, betapapun Anda mungkin tidak ingin memikirkan hal ini, gereja telah bertahan lama tanpa Anda dan akan tetap bertahan meski Anda tidak ada. Sebaliknya, keluarga Anda tidak dapat bertahan hidup tanpa Anda. Keluarga Anda lebih membutuhkan Anda daripada gereja Anda. Ingatlah selalu kalimat ini. Saya telah mempelajarinya dengan cara yang sangat sulit.
Roger Hernandez adalah Direktur Pelayanan & Penginjilan untuk Konferensi Southern Union Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh. Artikel ini pertama kali diterbitkan dalam edisi Februari 2014 dari Ministry,® International Journal for Pastors, www.MinistryMagazine.org. Digunakan dengan izin.
Hak Cipta © 2014 oleh penulis Christianity Today/ Leadership Journal.
Diterjemahkan oleh Mellie Cynthia.