Pekan lalu, DPR Indonesia mengesahkan KUHP baru yang mendapatkan reaksi keras dari PBB dan kelompok-kelompok hak asasi manusia di dalam dan di luar negara Asia Tenggara tersebut.
KUHP baru, yang menggantikan KUHP era kolonial yang diberlakukan sejak negara tersebut berada di bawah kekuasaan Belanda, memuat kriminalisasi terhadap kohabitasi dan hubungan seks di luar nikah, melarang penghinaan terhadap presiden, dan tetap mempertahankan undang-undang tentang penodaan agama yang kadang-kadang digunakan terhadap agama minoritas, termasuk orang-orang Kristen. Undang-undang tersebut akan mulai berlaku setelah masa transisi selama tiga tahun.
Sebagai tempat tinggal bagi populasi Muslim terbesar di dunia, Indonesia menjunjung tinggi kerukunan beragama—yang secara resmi dikenal sebagai Pancasila—di antara 277 juta penduduknya, dan konstitusi Indonesia menjamin kebebasan beragama. Umat Kristen, yang berjumlah sekitar 10 persen dari total populasi, sebagian besar tidak berkomentar terhadap KUHP baru tersebut.
CT meminta pendapat lima orang Kristen Indonesia tentang pasal dalam KUHP baru tersebut mengenai kohabitasi dan hubungan seks di luar nikah, serta pasal-pasal lainnya mengenai penistaan agama dan kritik terhadap presiden. Mereka menjelaskan bagaimana pelaksanaan undang-undang tersebut itu penting dan mengapa banyak orang Kristen setuju dengan posisi moral yang diambil tetapi tidak setuju dengan upaya pemerintah untuk mengundangkannya.
Ihan Martoyo, Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Universitas Pelita Harapan (UPH) di Tangerang:
Banyak laporan di media Barat menganggap KUHP baru Indonesia kontroversial, terutama dalam hal yang berkaitan dengan hubungan seks di luar nikah. Namun hanya sedikit yang menjelaskan bahwa delik seks di luar nikah sebenarnya delik aduan, yang tidak berlaku kecuali seorang anggota keluarga dekat—suami/istri, orang tua, atau anak—melaporkan pelanggaran tersebut kepada polisi. Jadi ketakutan bahwa hukum ini akan berdampak pada turis asing yang belum menikah tidaklah mungkin terjadi kecuali jika turis tersebut menyinggung anggota keluarga Indonesia dengan “tidur bersama” (berhubungan seks di luar nikah) dengan orang Indonesia.
Menurut saya, kontroversi dalam media juga menyoroti perbedaan dalam budaya. Dalam budaya Barat, yang biasanya lebih individualistis daripada budaya Timur, seks adalah masalah pilihan dan kebebasan pribadi. Namun, budaya Timur lebih komunal dan menganggap bagaimana relasi seksual dapat menimbulkan dampak dalam masyarakat, terutama bagi anggota keluarga dekat. Tampaknya ada konsensus yang diterima secara luas di kalangan orang-orang Muslim dan Kristen Indonesia yang memandang hubungan seks di luar nikah sebagai kompromi atas nilai-nilai moral yang baik.
Sangat menarik untuk dicatat bahwa banyak nats Alkitab juga mengartikulasikan nilai-nilai agama atau kebajikan komunal. Paulus sering menasihati gereja untuk memerhatikan tubuh Kristus (1Kor. 11:27), sesuatu yang mungkin sulit dipahami oleh orang-orang Kristen modern.
Haruskah pemerintah mengundangkan moralitas? Untuk beberapa isu seperti pernikahan, jawabannya sepertinya cukup rumit. Reformator Yohanes Calvin menghadapi beberapa masalah ketika berbagi tanggung jawab antara Konsistori (pengadilan gereja) dan Dewan Kota terkait perselisihan pernikahan di Jenewa. Di zaman modern kita, perdebatan tentang jenis pernikahan “yang dapat diterima” bersentuhan dengan hukum sipil dan menciptakan beberapa perdebatan yang paling sulit di antara beberapa gereja. Dikotomi antara KUHP dan moralitas ini tampaknya merupakan peninggalan modernitas yang masih kita coba pahami. Bagi orang-orang Indonesia yang religius, mereka tidak percaya bahwa ruang publik harus steril dari nilai-nilai agama.
William Wijaya (nama diubah karena alasan keamanan), seorang dosen seminari di Indonesia:
Sebagai seseorang yang memegang posisi tradisional dalam hal etika seksual, saya setuju bahwa hubungan seks di luar nikah dilarang oleh Kitab Suci. Namun demikian, persoalannya di sini adalah apakah pemerintah harus membuat undang-undang tentang hal ini atau tidak. Saya tidak berpikir bahwa hanya karena sesuatu dilarang dalam etika Kristen, orang-orang Kristen harus mendukung kriminalisasi terhadap hal tersebut.
Saya mengakui bias saya sendiri: Saya mengenyam pendidikan di Barat, di mana privasi itu penting. Undang-undang ini merupakan intrusi terhadap privasi. Sangat sulit—kalau bukan tidak mungkin—untuk menegakkan hukum yang berkaitan dengan urusan-urusan pribadi. Undang-undang ini menetapkan bahwa hanya orang tua atau anak yang dapat membuat tuduhan terhadap seseorang. Namun, bagaimana pemerintah dapat membuktikan bahwa aktivitas seksual telah terjadi?
Saya sangat senang bahwa hukum di Indonesia bukanlah hukum Islam. Saya senang tinggal di negara di mana kelompok mayoritas tidak memaksakan etika mereka pada saya, seorang Kristen. Saya dapat melakukan hal-hal yang dilarang bagi orang-orang Muslim [oleh hukum Islam].
Saya ingin mengatakan kepada saudara-saudari saya sesama Kristen, khususnya di AS, bahwa dalam masyarakat yang majemuk, menurut saya, kita tidak seharusnya menggunakan etika Kristen kita sebagai dasar hukum kita. Kita harus menemukan jalan untuk maju bersama, menemukan titik temu, dan bahkan membiarkan beberapa hal yang dilarang oleh iman kita.
Samuel Soegiarto, Kepala Lembaga Pengembangan Kerohanian dan Kepemimpinan Kristen di Universitas Kristen Petra Surabaya:
Dari sudut pandang Kristen, Allah merancang seks menjadi salah satu hal terindah yang dapat terjadi antara pria dan wanita dalam pernikahan. Jadi ya, hubungan seks di luar nikah bertentangan dengan rancangan Tuhan. Para pemuka agama—Kristen dan Muslim—seharusnya tidak berhenti mendorong para pengikutnya untuk hidup sesuai dengan rancangan Tuhan. Akan tetapi ketika perintah Allah ini dijadikan sebuah hukum—ketika hal tersebut dibuat menjadi undang-undang—kita perlu untuk berhati-hati. Sebagai seorang Kristen, saya ingin semakin banyak orang yang hidup kudus. Namun jika yang mendorong mereka hidup kudus adalah ketakutan akan dipenjara, [maka] ada sesuatu yang salah.
Undang-undang tentang penodaan agama dalam KUHP dirancang untuk melindungi hak-hak pemeluk agama. Akan tetapi beberapa bagian memang ambigu; sebagai contoh, “menyatakan kebencian dan permusuhan terhadap keyakinan agama orang lain” dapat diinterpretasikan dalam berbagai cara, termasuk menyatakan ketidaksetujuan terhadap klaim-klaim agama lain. Pada akhirnya, interpretasinya akan diputuskan oleh kelompok mayoritas.
Saya pikir orang-orang Kristen tidak seharusnya menghina presiden. Kita harus kritis terhadap kebijakan pemerintah dan, jika perlu, melakukan protes. Terkait undang-undangnya, pemerintah perlu memperjelas definisi penghinaan. Jika tidak, UU ini sangat berpotensi disalahgunakan untuk membungkam oposisi.
Martin Lukito Sinaga, pendeta dan ketua Komisi Hubungan Antar Agama di Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia:
Perbuatan seks di luar nikah dan kohabitasi dapat dianggap sebagai kriminal hanya jika anggota keluarga melaporkannya. Beberapa ahli mengatakan kepada saya bahwa ini sejalan dengan undang-undang kekerasan dalam rumah tangga yang di mana dianggap sebagai “tindakan kelalaian” dari orang tua untuk hidup bersama sebagai suami istri dengan orang lain dan dapat dianggap sebagai kriminal. Dalam hal ini, moralitas agama digunakan untuk melindungi anggota keluarga. Masalah kritis dalam hal ini adalah penegakan hukumnya dan apakah hal itu akan digunakan untuk menghukum kohabitasi atau untuk melindungi keluarga dari kelalaian anggota keluarga yang terlibat di dalamnya.
Undang-undang tentang penistaan agama adalah masalah lama. Beberapa LSM percaya bahwa pasal-pasal tentang penodaan agama harus digantikan dengan undang-undang yang memerangi intoleransi, diskriminasi, dan kekerasan terhadap seseorang berdasarkan agama atau kepercayaan. Hal ini membutuhkan lebih banyak pertimbangan dan diskusi publik tentang masalah penistaan.
Undang-undang yang mengkriminalisasi penghinaan terhadap presiden juga diperdebatkan dalam konteks kebebasan berpendapat dan kebebasan untuk mengkritik pemerintah. Maka dari itu, demokrasi dipertaruhkan di sini. Ini juga merupakan delik aduan, dan mudah-mudahan arti dari penghinaan itu didefinisikan secara jelas. Penghinaan dipahami sebagai memberikan informasi palsu tentang kehidupan pribadi presiden. Sekali lagi, bagaimana pengaduan tentang presiden diproses oleh polisi adalah kunci apakah hukum ini akan merugikan demokrasi atau tidak.
Christine Elisia Widjaya, Notaris Hukum Perdata dan Dosen Hukum Perdata di Universitas 45 Surabaya:
Kebanyakan orang setuju bahwa apa yang legal belum tentu adalah apa yang moral. Namun, hukum harus berdasarkan pada—dan selaras dengan—prinsip-prinsip moral masyarakat. Sebagai wakil rakyat Indonesia, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk mengesahkan UU. Dengan mengatur moralitas, pemerintah memainkan peran penting dalam melindungi warganya. Hal itu tidak hanya mencakup hubungan seks di luar nikah tetapi juga penyalahgunaan narkoba, alkohol, dan pornografi karena risiko kesehatan fisik dan mental yang terkait dengan hal-hal tersebut. Sebagai akibatnya, masyarakat akan menghadapi konsekuensinya seperti masalah kesehatan masyarakat, biaya sistem peradilan, dan penurunan produktivitas ekonomi.
Namun, tidak setiap tindakan asusila harus dibuat menjadi ilegal. Yang dimaksud dengan “moralitas” adalah relatif, bergantung pada lingkungan, agama, dan filsafat. Menurut pendapat saya, pemerintah dapat mengundangkan moralitas, tetapi tidak setiap perilaku tidak bermoral harus dapat diproses secara hukum. Kriminalisasi harus digunakan sebagai upaya terakhir. Saya percaya bahwa membatasi perilaku-perilaku ini adalah kebijakan terbaik untuk melindungi masyarakat dari perilaku yang korup secara moral.
Undang-undang tentang penistaan agama akan memengaruhi orang-orang Kristen dalam banyak hal, seperti membungkam oposisi politik dan membenarkan serangan terhadap agama minoritas. Singkatnya, hal tersebut akan mendorong intoleransi dan diskriminasi, melanggar hak-hak dasar kebebasan beragama dan berekspresi, serta menghambat kerukunan antar-umat beragama di negara Indonesia yang multikultural.
Sebagai orang-orang Kristen, kita harus mengikuti ajaran Yesus untuk tunduk kepada pemerintah (Rm. 13:1-7). Pemerintah didirikan oleh Tuhan dan berfungsi untuk mengatur dan memajukan kesejahteraan bersama, jadi tanggung jawab kita untuk menjadi warga negara yang baik adalah dengan tunduk dan patuh kepada hukum.
Namun, satu-satunya pemerintah yang harus kita hormati dan hargai adalah pemerintah yang baik. Jika pemerintah melakukan hal yang jahat di mata Tuhan, gagal dalam memimpin dan mengusahakan kesejahteraan, atau membuat kebijakan yang tidak adil, kita berhak mempertanyakannya. Pasal dalam KUHP Indonesia yang baru tentang penghinaan terhadap presiden mempersulit penggunaan hak untuk mengkritik pemerintah dan membatasi kebebasan berekspresi.
Dengan bantuan pemberitaan oleh Ivan K. Santoso dan Maria Fennita
Diterjemahkan oleh Ivan K. Santoso
–