Books

Coronavirus Menyerukan Kebangkitan kembali Pentakosta Sejati

Meskipun mengalami kegagalan, teologi yang kepenuhan Roh Kudus dapat menunjukkan kepada kita bagaimana untuk merespons pandemi.

Christianity Today May 1, 2020
Illustration by Mallory Rentsch / Source Images: Granger Wootz / Halfpoint / Getty Images / Tina Vanderlaan / Lightstock

Ini sebenarnya bukanlah rahasia: Banyak aliran Pentakosta telah menanggapi pandemi saat ini dengan cara yang aneh dan meresahkan. Cara mereka menanggapi pandemi ini telah pula menggaggu kewarasan dan kedermawanan banyak orang Kristen yang setia, yang dipenuhi Roh dan memperkuat gagasan bahwa teologi Pentakosta itu murahan dan konyol.

Ini sangat disayangkan karena aliran Pantekosta memiliki banyak karunia yang dapat dibagikan. Yang terbaik kita pelajari dari aliran Pentakosta adalah pengajaran tentang keajaiban, nubuatan, serta mengajarkan kita menjalani kehidupan yang penuh doa Teologi Pentakosta mengajarkan kepada kita bahwa pelayanan harus dimulai dan diakhiri dengan doa. Hal ini mengajarkan bahwa kita harus memiliki pengharapan yang besar bahwa Tuhan bekerja di dalam dunia, bersamaan dengan rasa tanggung jawab pribadi dan komunal yang mendalam. Hal ini mengajarkan kita untuk tidak takut pada yang hal yang baru atau menjunjung tinggi keakraban, dan bahwa kekuatan ilahi Pentakosta adalah kasih yang dinyatakan di kayu Salib. Semua ini adalah kebenaran yang dibutuhkan gereja dalam krisis saat ini.

Berdoalah seperti music jazz

Jika Anda tahu sesuatu tentang gerakan Pentakosta, Anda tahu tentang doanya. Teolog Harvard Harvey Cox membandingkannya dengan jazz karena sifatnya yang suka bermain dengan spontan dan juga menunjukkan jemaat yang antusiasme Pentakosta percaya bahwa improvisasi ini adalah sebuah cara untuk menjaga ritme dengan Roh Kudus. Inilah sebabnya mengapa doa-doa kita sering kali memiliki semangat tenda kebangunan rohani masa lalu — terbuka di semua sisi dan dilemparkan ke mana saja, kapan saja, ketika Tuhan memimpin. Doa Pentakosta, pada intinya, adalah tentang keterbukaan senantiasa radikal kepada Allah, dan itu ditandai dengan kesiapan untuk hal-hal tidak terduga dan perubahan.

Keterbukaan dalam doa ini mendorong Pentakosta untuk berimprovisasi di bidang pelayanan yang lainnya. Ketika kita setia pada panggilan kita, kita siap untuk meninggalkan cara-cara yang biasa dalam melakukan pelayanan dan menjadikan diri kita sendiri nyaman dikelilingi oleh orang-orang yang kita layani

Kami menganggap gereja bukan sarana untuk mencapai tujuan maupun tujuan itu sendiri. Oleh karena itu, kita siap untuk melupakan cara-cara berbicara yang biasa dan belajar bahasa-bahasa baru, baik secara harfiah maupun kiasan, karena kita mengharapkan untuk mendengarkan Tuhan berbicara dengan cara-cara yang tidak pernah bisa kita antisipasi. Inilah yang sesungguhnya dimaksudkan dengan "berbicara dalam bahasa roh."

Selalu sulit untuk tahu apa yang harus dikatakan pada saat kesakitan dan kehilangan. Tetapi ketika kita setia pada hikmat yang telah kita terima, kita tahu bahwa apa yang kita katakan kepada orang lain harus dibentuk lebih dahulu dengan apa yang kita ucapkan kepada Tuhan atas nama orang lain. Dengan kata lain, pelayanan yang setia, selalu dimulai dan diakhiri dengan doa syafaat.

Bahkan ketika kita mencoba untuk memberikan jawaban yang baik untuk banyak pertanyaan teologis yang sulit dan muncul pada saat ini, kita tidak boleh lupa bahwa jika jawaban itu adalah untuk menolong, mereka haruslah berakar di dalam doa. Ini bukanlah doa yang sopan, percaya diri, tetapi doa yang murni, tak kenal lelah, doa yang meratap dan mengeluh, menuntut dan bertanya, memohon dan meminta — doa yang radikal dan terbuka penuh percaya diri kepada Tuhan di hadapan orang lain dan untuk orang lain di hadapan Tuhan.

Saya percaya gereja membutuhkan keterbukaan semacam ini di tengah-tengah krisis ini. Kita membutuhkan “keberanian yang kudus,” sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan kehidupan yang seolah-olah kita terlindung dari mara bahaya, mengklaim pengetahuan rahasia tentang kehendak Tuhan atau menyatakan kuasa atas bencana dan penyakit, namun ada hubungannya dengan mengikuti Roh ke dalam kegelapan, mendampingi mereka yang menderita, dan menjadi Kristus bagi mereka.

Mengasihi seperti Tuhan

Pentakostalisme, pada terbaiknya, sangat komunal dan misional. Ia tahu bahwa mengasihi Tuhan tidak dapat dipisahkan dari mengasihi sesama dan bahwa doa tidak dapat dipisahkan dari tindakan. Seperti yang diamati oleh teolog Lucy Peppiatt baru-baru ini, orang-orang Pentakosta tidak hanya sangat percaya pada keterlibatan Allah dalam setiap aspek kehidupan, namun juga percaya — sama kuatnya — dalam panggilan bagi umat Allah untuk berpartisipasi dalam apa yang sedang dilakukan Tuhan di dalam dunia ini.

Terlepas dari apa yang mungkin dipikirkan beberapa orang, ini adalah tema yang konstan dalam teologi Pentakosta. Daniel Castelo, profesor teologi di Universitas Seattle Pasifik, berpendapat, misalnya, bahwa spiritualitas Pentakosta adalah bentuk mistikisme. Ini bukan mistisisme penarikan, tetapi tentang mediasi dan intermediasi. Dalam buku terbarunya, The Spirit and the Common Good, Daniela Augustine, profesor teologi di Universitas Birmingham, mengemukakan hal yang sama: “Roh mengangkat kehidupan manusia yang dibaptiskan sebagai sarana kasat mata dari kasih karunia yang tak terlihat.. … Memang, penyembuhan keseluruhan kosmos dimulai dari dalam diri umat manusia yang dipenuhi roh dan suci. "

Semuanya ini berkata, pelayanan Pentakosta digerakkan oleh keinginan ganda ini: untuk berkomunikasi secara mendalam dengan Tuhan dan untuk melihat semua orang dan segala sesuatu yang lain ditarik ke dalam persekutuan yang sama. Mistisisme ini adalah sumber pembaharuan bagi gereja.

Dale Coulter, profesor teologi sejarah di Universitas Regent, telah menunjukkan bagaimana sesuatu yang seperti itu telah terjadi sebelumnya, setelah kematian hitam di Abad Pertengahan. Dia berpendapat bahwa dalam pandemi ini, sekali lagi, "para pendeta dan imam perlu menjadi direktur spiritual, membimbing kawanan domba mereka ketika mereka berbalik ke dalam dan menemukan Tuhan yang tersalib."

Teologi Pentakosta mengajarkan kita untuk merindukan zaman ketika semua umat Allah akan menjadi nabi. Namun kita tidak berfikir bahwa nubuatan sebagai suatu bentuk sihir. Kami percaya nubuatan sejati bukanlah tentang memprediksi masa depan, melainkan tentang melihat bagaimana Tuhan menolong kita untuk mempedulikan tetangga kita dengan cara yang paling mereka butuhkan.

Nubuatan sejati memberi kita wawasan tentang apa yang telah terjadi dan yang sedang terjadi, apa yang sesungguhnya benar dan sejatinya salah di dunia ini, dan dengan demikian memampukan kita untuk melihat dan memunculkan masa depan yang lebih baik, yang lebih setia.

Datang ke dalam persekutuan dengan hasrat Kristus di dalam doa, kita akan menemukan diri kita digerakkan oleh belas kasihan untuk orang lain ke dalam tindakan. Roh yang sama yang menuntun kita untuk berbalik ke dalam, secara ajaib, kepada Kristus yang disalibkan, akan menuntun kita untuk berbalik keluar, secara profetis, kepada mereka yang untuknya Kristus dikorbankan dan mengorbankan Diri-Nya. Mengikuti Roh, kita akan memasuki kegelapan alih-alih menyangkalnya, percaya bahwa terang Allah sudah memancar keluar dari kedalamannya. Inilah yang dimaksudkan dengan profetik, memperkatakan kehidupan kepada tulang-tulang kering.

Memberkati orang miskin

Sebagai seorang Pentakosta, dan seorang teolog Pentakosta, saya merasa perlu jujur tentang kegagalan kita, dulu dan sekarang. Saya tahu ada pertanyaan sulit yang ditanyakan tentang integritas dan efek dari pengajaran dan penerapan kita. Dan saya tahu ini bukanlah saatnya untuk nostalgia atau idealisme.

Tetapi saya yakin bahwa ini adalah waktunya untuk kembali ke jalan-jalan yang setia yang memimpin pada kebangkitan spiritualitas dan teologi Pentakosta. Kita perlu menyesuaikan diri dengan Tuhan yang memberitahukan kita bahwa itu adalah sebuah perintah — bukan sebuah kompromi — untuk mengasihi sesama kita seperti diri kita sendiri, terutama ketika mereka tidak seperti kita.

Sayangnya, banyak Pentakosta yang telah melupakan kebijaksanaan tradisi mereka sendiri. Pada mulanya, Pentakostalisme adalah sebuah gerakan dari si miskin dan untuk yang miskin. Si miskin yang selalu menderita terburuk dalam krisis seperti yang kita hadapi sekarang ini, sehingga kaum Pentakosta mendapati diri mereka berada di pusat epidemi flu Spanyol pada tahun 1918. Satu abad kemudian, Pentakostalisme tetap menjadi gerakan dari si miskin di sebagian besar dunia.

Namun di Amerika Serikat, banyak yang telah berubah. Banyak di antara kita sekarang sedang dalam proses perpindahan dari orang miskin, baik secara geografis maupun spiritual, dan sebagian besar kita tidak bersentuhan dengan kebutuhan materi dan rohani mereka yang kita terpanggil untuk melayani terlebih dahulu. Sekarang adalah waktunya untuk memperbaikinya. Dan itu dimulai dengan kembali kepada keyakinan yang terdalam dan terbenar dari ayah dan ibu kita di dalam iman.

Pada kebangunan rohani di Azusa Street, di awal gerakan Pentakosta, pendeta William Seymour mengatakan seperti ini: “Kuasa Pentakosta, ketika Engkau menghitung semuanya, itu hanya lebih tentang kasih Allah. Jika tidak membawakan lebih banyak kasih, itu adalah palsu. … Pentakosta membuat kita lebih mengasihi Yesus dan lebih mengasihi saudara-saudara kita. Itu membawa kita semua menjadi satu keluarga bersama.”

Saya tahu ada lebih banyak kepalsuan yang terdapat pada hari-hari ini. Saya tahu ada banyak hal yang telah dikatakan oleh kaum Pentakosta bahwa itu konyol dan banyak yang seharusnya mereka katakan tetapi belum. Tetapi ada Pentakostalisme yang lainnya, Pentakostalisme mistis dan profetis, yang merupakan karunia Roh. Dan seperti banyaknya karunia Roh, itu dipersembahkan sesuai dengan kebutuhan kita dan dengan cara yang tidak pernah kita bayangkan. Inilah tepatnya Pentakostalisme yang dibutuhkan krisis ini.

Chris E. W. Green adalah seorang profesor teologi di Universitas Southeastern dan seorang pastor di Gereja Sanctuary di Tulsa, Oklahoma. Buku terbarunya adalah Surprised by God.

What do you think of this translation? Want to see CT do more? Interested in helping us improve the quality and quantity? Share your feedback here.

Books

Mengalahkan Kecemasan dengan Perjanjian Lama

Kitab Suci yang kuno merupakan sumber dukungan yang mencengangkan dalam pergumulan kita menghadapi stres.

Christianity Today April 29, 2020
Illustration by Matt Chinworth

Ini adalah bagian ketiga dalam seri enam esai dari berbagai tokoh sarjana terkemuka yang meninjau kembali "Perjanjian Pertama" dalam iman Kristen kontemporer. — Para Editor

Secara statistik, saya termasuk generasi milenial. Dijuluki "generasi yang cemas," sebagian besar dari kami mengalami stres, dan kami mengalami kecemasan yang mengganggu pekerjaan hingga dua kali lipat dari rata-rata. Kami adalah generasi yang paling banyak mengalami masalah kesehatan mental di dunia di mana banyak orang berpikir bahwa kecemasan umumnya sedang mengalami peningkatan.

Baru belakangan ini saya menyadari bahwa saya adalah orang yang cemas. Dalam kurun waktu satu tahun, saya selesai menulis tesis PhD saya di Inggris, melakukan beberapa pekerjaan paruh waktu untuk membayar tagihan-tagihan, mengalami cedera di ligamen kaki saya (dan ada istri yang sedang hamil 36 minggu), menjadi ayah untuk pertama kalinya, mendapatkan pekerjaan di bidang akademik, mendapatkan visa untuk bekerja, pindah melintasi Atlantik, mendapatkan tempat tinggal, menyelesaikan masa tugas pertama dalam mengajar, dan mempertahankan tesis doktoral saya. Bukan berarti semua ini buruk atau akhir dari dunia-beberapa di antaranya sangat bagus. Tetapi pada akhirnya, saya merasa sangat lelah dan cemas.

Kisah saya di atas tidaklah unik. Tempat kerja bisa ada di mana-mana, sehingga menimbulkan risiko terjadinya isolasi dan bekerja melampaui batas. Orang-orang muda disuruh untuk bepergian ke mana saja dan melakukan apa saja, tetapi kesehatan mental mereka menjadi taruhannya . Dan belum lagi masalah lainnya yang lebih berat seperti kecanduan, pelecehan, penyakit kronis, pengangguran, tunawisma, dan sejumlah besar hal lainnya yang menimpa banyak orang hari ini . Menanggapi hal-hal tersebut, industri kesehatan pun mulai berkembang dengan pesat, lengkap dengan terapis di Instagram, anjing untuk kesehatan, dan mainan yang dapat mengurangi stres . Sebagai seorang Kristen, Anda dapat merasa tertekan—bahkan merasa bersalah—ketika seorang dokter atau sebuah buku panduan justru lebih bisa meningkatkan kesehatan mental Anda daripada membaca Alkitab.

Sebagai seseorang yang sudah pernah mencari bantuan profesional untuk mengatasi kecemasan, saya bisa katakan bahwa kesembuhan yang saya alami selalu berasal dari Alkitab, terutama satu bagian dalam Perjanjian Lama: “Janganlah takut sebab Aku menyertai engkau, janganlah bimbang, sebab Aku ini Allahmu. Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau; Aku akan memegang engkau dengan tangan kanan-Ku yang membawa kemenangan” (Yes. 41:10). Jika Anda menerima nasihat dari media, atau bahkan dari pemimpin-pemimpin Kristen, kesembuhan yang saya alami seharusnya tidak terjadi seperti ini—tidak dengan bantuan Perjanjian Lama yang kering dan berdebu itu. Tetapi ketika orang lain menganggap tulisan-tulisan tersebut sudah usang dan tidak berharga lagi, justru bagi saya semua tulisan tersebut begitu erat dengan kehidupan.

Syukurlah, saya bukan satu-satunya yang menganggapnya demikian. Banyak dari lagu-lagu penyembahan kita yang bersifat terapeutik mengacu pada Perjanjian Lama, termasuk "Raise a Hallelujah" dan "Blessed Be Your Name." Buku karya Fleming Rutledge yang memenangkan penghargaan, yaitu The Crucifixion, mencatat bagaimana komunitas-komunitas yang bertahan dari generasi yang termarjinalkan menemukan penghiburan dalam kisah-kisah Perjanjian Lama tentang pengasingan dan pembebasan. Hal ini juga terlihat dalam pidato Martin Luther King Jr. “I Have a Dream”, di mana King memakai tema-tema Perjanjian Lama, termasuk menyinggung Mazmur 30, untuk menguatkan para pendengarnya yang gelisah.

Teks-teks Alkitab—terutama Perjanjian Lama—adalah kuno, dan sudah ditulis begitu lama, jauh sebelum krisis kesehatan mental kita. Tetapi teks-teks tersebut tetap relevan dengan persoalan-persoalan kita dan bukan sekedar menjadi latar belakang dari Perjanjian Baru saja yang dianggap lebih berguna. Bahkan, dengan menceritakan kisah-kisah dari berbagai tokoh dan pengalaman terberat mereka, Perjanjian Lama tidaklah sebegitu kuno— justru Perjanjian Lama bisa memberikan bentuk yang khusus untuk terapi kelompok.

Belajar dari Pengalaman

Relevansi dari Perjanjian Lama dalam menyikapi kecemasan dimulai dengan komposisinya. Ini adalah hasil dari puluhan penulis dalam masa lebih dari satu milenium. Jadi, Perjanjian Lama mencatat banyak sekali peristiwa traumatis, dari pembunuhan Habel dan penindasan umat Israel di Mesir, hingga pemerkosaan Tamar dan pengasingan ke Babel, itu hanya beberapa contoh saja. Berbeda halnya dengan Perjanjian Baru, yang sangat fokus dan selesai dengan sangat cepat sehingga peristiwa-peristiwa pada abad pertama—kehancuran Bait Allah atau erupsi yang meratakan kota Pompeii dan yang mungkin telah membunuh puluhan orang Kristen mula-mula—tidak dicatat di sana.

Bayangkan Anda sedang berdiri di dekat bangunan World Trade Center pada 11 September 2001. Pikiran dan perasaan apa yang akan Anda alami? Hampir semua orang Amerika yang selamat dari serangan tersebut mengingat betul di mana mereka berada pada hari itu dan apa rasanya menonton berita berulang kali yang menunjukkan runtuhnya bangunan tersebut. Pengalaman-pengalaman yang mendasari teks-teks Perjanjian Lama tidaklah jauh berbeda. Setidaknya satu peristiwa buruk yang dialami masyarakat secara luas, terdapat hampir di setiap tulisan Perjanjian Lama—dari bencana alam atau invasi militer hingga pengasingan nasional atau skandal politik.

Maka, tidaklah mengherankan jika Perjanjian Lama lebih dipenuhi dengan kata-kata yang terkenal di Alkitab, yaitu "jangan takut," daripada Perjanjian Baru. Catatan-catatan dari Perjanjian Lama ini menyuling hikmat berabad-abad, yang menghantar kita kepada nasihat para tetua dan orang-orang bijak untuk belajar apa artinya percaya pada Tuhan.

Menunjukkan Solidaritas

Salah satu cara Perjanjian Lama memberi ketenangan bagi orang yang cemas adalah dengan kebergantungannya pada dua genre sastra yang menarik. Yang pertama adalah narasi sejarah, yang ditemukan dalam kitab-kitab seperti Kejadian atau Yosua. Tidak seperti profil-profil media sosial yang dibuat dengan sangat berhati-hati hanya untuk menyajikan sisi yang terbaik, yang paling menarik, dan yang sukses saja, narasi-narasi ini mengungkapkan gambaran yang lebih lengkap. Setiap karakter diceritakan prestasi dan kelemahannya. Ada Musa, seorang yang tidak pandai berbicara (Kel. 4:10); Ahaz, raja yang putus asa (2Raj. 16:7); dan Naomi, ibu mertua yang penuh kepahitan (Rut 1:20–21). Karakter-karakter ini menghilangkan stigma kecemasan dan mengingatkan kita bahwa Tuhan bekerja melalui orang-orang yang hancur.

Mazmur melengkapi narasi-narasi tersebut dengan menampilkan potret dari individu-individu dalam meresponi kecemasan. Alih-alih ringkasan akan pengalaman masa lalu yang disusun rapi, pertanyaan Daud yang tajam, "Berapa lama lagi, Tuhan?" (Mzm. 13:2), mengajak kita turut merasakan penderitaannya dan mengizinkan kita untuk memohon kepada Tuhan agar mengakhiri penderitaan kita juga. Asaf mengekspresikan hal yang tidak dapat diungkapkan ketika ia mengatakan bahwa Allah hanya memberinya "roti cucuran air mata" (Mzm. 80:6). Terlebih penting lagi, seruan-seruan ini memberikan solusi teologis: “Tuhan di pihakku. Aku tidak akan takut. Apakah yang dapat dilakukan manusia terhadap aku?” (Mzm. 118:6). Penghiburan dari Mazmur paling terasa ketika kita mengingat bahwa mazmur-mazmur tersebut adalah kidung untuk dinyanyikan dan merupakan firman Allah yang diinspirasikan. Hal ini berarti, seperti yang dicatat oleh John Calvin, bahwa ketika kita menyanyikan Mazmur dalam masa pencobaan, ini seakan-akan Roh Allah bernyanyi melalui kita.

Tentu saja, teks-teks Perjanjian Lama tidak selalu menjadi sumber yang baik untuk mengalahkan kecemasan. Ada kisah-kisah yang terasa benar-benar seperti pukulan di perut, termasuk janji Mikha akan penghakiman terhadap bangsa Israel (Mi. 2:3-5), dan kisah-kisah tentang ujian yang berat, seperti kisah Abraham yang hampir mengorbankan Ishak (Kej. 22:1 –18). Bukannya menguatkan kita, kisah-kisah ini justru membuat kita semakin cemas. Tetapi jika kita membacanya dengan seksama, kita akan menemukan bahwa setiap kisah bermakna penebusan karena kecemasan hanyalah sesaat dan dimaksudkan untuk mendekatkan kita kepada Tuhan dalam iman dan pengharapan. Penulis Alkitab tidak pernah bermaksud untuk terus-menerus bermain-main dengan rasa takut orang percaya, atau mengusik iman mereka terhadap Tuhan yang baik.

Mengajukan Pertanyaan Eksistensial

Setelah menceritakan kisah-kisah dan menawarkan ketenangan, teks-teks Perjanjian Lama sering memberikan sebuah tantangan: Apakah Anda akan bertindak sesuai dengan yang Anda imani? Ini mungkin terdengar basi, tetapi justru inilah yang perlu kita dengar jika kecemasan mulai menjadi produk dari kehendak kita-suatu kebiasaan pikiran yang dapat digagalkan. Ketika saya mengunjungi seorang profesional untuk konseling, ini adalah isu yang terus ia diskusikan dengan saya. "Bukankah Tuhanmu adalah Tuhan yang penuh kasih dan kepedulian yang tak terbatas? Bagaimana hal itu berhubungan dengan kecemasanmu?" Sungguh meresahkan ketika seorang non-Kristen menekan Anda untuk memutuskan hubungan antara ortodoksi Anda dan ortopraksi Anda, tetapi ia benar. Anda hanya bisa mengucapkan Serenity Prayer (Doa Ketenangan) untuk sekian lama sebelum akhirnya kalimat "keberanian untuk mengubah hal-hal yang bisa aku ubah" bukan menjadi sekedar pernyataan, melainkan lebih merupakan sebuah keharusan.

Perjanjian Lama sangat sesuai dengan pergerakan ini, dari penghiburan menuju perintah. Yosua mengajak umat Israel untuk masuk ke Kanaan dengan keberanian (Yos. 1:18). Amsal mengkontraskan orang fasik dan orang benar berdasarkan bagaimana mereka meresponi ketakutan dan kecemasan: "Orang fasik lari, walaupun tidak ada yang mengejarnya, tetapi orang benar merasa aman seperti singa muda" (28:1, LAI TB). Dalam kitab Yesaya, sang nabi menantang Ahas ketika dia khawatir akan ancaman invasi militer: "Jika kamu tidak percaya, sungguh, maka kamu tidak teguh jaya" (7:9).

Yang terpenting, perintah-perintah ini tidak datang dari Tuhan yang suka menyalahkan, yang hanya berdiri di belakang ketika kita dilemparkan ke dalam teror-teror kehidupan. Ia adalah Tuhan Maha Hadir, dan—bahkan ketika Ia memerintahkan kita—Dia sudah berjalan bersama dengan kita, menuntun kita ke jalan yang tidak bisa kita lalui sendiri. Ini adalah pesan dari Mazmur 23:4, “Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku” (LAI TB). Terjemahan ayat ini membantu kita melihat bahwa Allah berjalan bersama kita, tidak hanya ketika kita menghadapi maut, tetapi di segala masa kelam kehidupan kita. Dia selalu ada.

Ketika Tuhan yang Maha Hadir itu meminta kita untuk teguh dan berani, kita menemukan sebuah paradigma yang mengejutkan untuk menghadapi kecemasan. Hidup dalam iman itu tidak mudah dan perlu percaya kepada Tuhan melampaui apa yang bisa dilihat oleh mata. Tetapi kehidupan orang yang tidak percaya bahkan lebih sulit lagi karena hidup yang demikian menyerah pada ketakutan dan tidak bisa melihat Tuhan dalam kepanikan yang terjadi kemudian. Bagaimanapun juga, ini bukan seperti kata pepatah di mana keraguan menghalangi iman. Keraguan adalah sarana untuk mempertanyakan ketakutan seseorang. Kecemasan itu sendirilah yang menggerogoti iman. Bagian kita sebagai orang percaya yang cemas adalah melihat dan menghargai kontradiksi antara kecemasan kita dan Tuhan yang mengasihi kita. Dengan bantuan dari teknik yang lain, dan bisa saja dengan obat-obatan, kita memerangi kecemasan hanya dengan percaya kepada Tuhan.

Tantangan ini telah memberi dampak bagi saya secara pribadi. Saya adalah orang yang sangat baik dalam mengontrol hidup saya. Saya dapat mengantisipasi tuntutan-tuntutan, mengelola proyek-proyek, dan tetap bertahan. Saya merencanakan hari-hari saya per jamnya (bahkan terkadang lebih rinci dari itu), dan saya dapat bekerja dengan orang lain, baik dengan istri saya maupun rekan kerja, untuk memastikan saya menyelesaikan tanggung jawab saya di rumah maupun di tempat kerja. Tetapi di saat-saat tergelap saya, terutama ketika saya sedang lelah, saya mudah cemas tentang hal-hal yang tidak pernah bisa saya kendalikan. Saya cemas akan kecelakaan pesawat, penyakit kanker—bahkan untuk berinteraksi dengan orang asing.

Jika dibiarkan, pikiran-pikiran ini bisa sangat mengganggu kehidupan saya. Karena itu, adalah anugerah ketika saya diberitahu bahwa kecemasan saya menciptakan ilusi-ilusi, atau mengutip kata-kata Martin Luther—seorang teolog yang bergumul dengan kecemasan yang luar biasa—hanya kecemasan sajalah yang dapat Iblis berikan kepada kita sekarang, karena Tuhan adalah "menara yang kuat, ke sanalah orang benar berlari dan ia menjadi selamat” (Ams. 18:10).

Terapi Tritunggal

Ketika Perjanjian Lama menceritakan banyak karakter, dari para nabi hingga raja-raja, untuk merenungkan pergumulan mereka terkait iman dan kecemasan, sepertinya masih ada yang belum lengkap. Nasihat mereka sebagai manusia biasa hanya sampai sejauh itu. Karena itu, kita diarahkan kepada nasihat Tuhan itu sendiri. Tuhan menyokong Musa dengan tulah-tulah; Yesaya menyampaikan firman Tuhan kepada Ahas; Naomi menerima jawaban atas doa-doanya. Suara-suara manusia ini menunjuk pada solusi ilahi. Meski begitu, Ayub berseru, “Tidak ada wasit di antara kami, yang dapat memegang kami berdua!” (Ayb. 9:33).

Di sinilah Perjanjian Baru masuk. Perjanjian Baru berfokus pada bencana terbesar dalam sejarah—kematian Sang Putra Allah—dan bagaimana segala bencana dalam Perjanjian Lama menemukan resolusi di dalam Dia. Tetapi Perjanjian Baru tidak pernah mengabaikan pola penebusan Perjanjian Lama, terutama penghiburan dari Allah yang berjalan bersama kita di “lembah kekelaman.” Inkarnasi Yesus pada suatu malam di Betlehem itu mengizinkan Allah untuk terlibat masuk lebih lagi dalam penderitaan kita, bahkan dalam masalah sakit mental kita.

Pada saat Yesus di taman Getsemani, Ia mengatakan bahwa Ia sangat menderita atau "sangat sedih," seperti mau mati rasanya (Mat. 26:38 LAI TB). Ungkapan ini berasal dari bahasa Yunani lýp (diucapkan loo-pay). Dapat dikatakan bahwa ini adalah perasaan yang paling ditakuti di zaman dahulu. Beberapa ahli berpendapat bahwa kata itu sama dengan pengertian kita tentang depresi. Keadaan seperti itu sangat sulit sehingga kalangan Stoa, filsuf Yunani yang terkenal karena selalu berusaha menghindari perasaan-perasaan negatif, mempercayai bahwa hal itu tidak bisa disembuhkan. Ini adalah kondisi mental yang tidak dapat disembuhkan.

Ketika Anak Allah tergantung di kayu salib, Ia mengacu pada—Anda dapat menebaknya—Perjanjian Lama. "Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?" (Mat. 27:46; Mzm. 22:2). Di sinilah kita memasuki misteri dari Allah Tritunggal. Ketika Yesus mengungkapkan kecemasan-Nya yang luar biasa, kita tidak bisa tahu dengan pasti apa yang dikatakan Roh Kudus kepada-Nya. Tetapi mungkin ada hubungannya dengan isi mazmur yang dikutip-Nya: "Mereka akan memberitakan keadilan-Nya kepada bangsa yang akan lahir nanti, sebab Ia telah melakukannya" (ay. 32).

Catatan akhir dari pengharapan dan penantian dalam Mazmur 22 memberi pertanda tentang kebangkitan Yesus, dan itu adalah suatu peristiwa yang memiliki implikasi-implikasi yang jauh lebih besar daripada yang dapat kita bayangkan. Jika Yesus dapat mengalami situasi mental manusia yang paling mengerikan di Getsemani dan kemudian Ia dibangkitkan dan kebenaran-Nya terbukti, kita juga—dengan iman di dalam Dia—akan dibangkitkan ke dalam kehidupan dan psikologis yang baru. Kesadaran akan kebenaran ini memberikan dorongan yang besar bagi orang yang cemas.

Bagi saya, kecemasan selalu merupakan perasaan akan datangnya malapetaka. Sulit untuk dihilangkan, dan bencana tampaknya tak terhindarkan. Tidak ada sesi konseling, tidak ada nasihat bijak yang benar-benar bisa mengalihkannya. Tetapi di dalam terapi dari Bapa, Putra, dan Roh Kudus, terdapat janji bahwa kecemasan kita pasti akan berakhir, dan perspektif ini menolong kita untuk bertahan dalam hidup kita yang sering cemas. Bahkan lebih baik lagi, janji tersebut memberikan gambaran ke depan akan kebebasan total dari kecemasan, dan semua gangguan mental, ketika kita menerima tubuh yang baru dan kita bangkit untuk merayakan kemenangan Kristus dengan pikiran yang mengetahui bahwa hanya "kasih yang sempurna" dari Allah, yang mampu "melenyapkan ketakutan" (1Yoh. 4:18, LAI TB).

B.G. White adalah seorang lektor studi biblika di The King's College di New York dan rekan pelayan di Center for Pastor Theologians.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Books

Bertahan dari COVID-19 di Spanyol Mengubah Iman Saya

Enam pelajaran untuk gereja-gereja dari presiden Aliansi Injili Spanyol.

Christianity Today April 24, 2020
Illustration by Mallory Rentsch / Source Images: Courtesy of Iglesia Buenas Noticias Lugo / Wikimedia Commons/ De an Sun / Unsplash

Spanyol sedang mengalami krisis terburuk yang dapat kami ingat sejak negara kami menjadi negara demokrasi modern 40 tahun yang lalu. Coronavirus yang baru telah membunuh lebih dari 22.000 orang dan menginfeksi setidaknya 220.000 orang.

Jemaat Sidang injili kami tidak terhindar dari pandemi ini, dan saya termasuk di antara mereka yang dirawat di rumah sakit karena COVID-19.

Saya menggembalakan sebuah gereja yang terdiri dari 350 jemaat di sebuah kota kecil di pantai Atlantik. Saya juga melayani sebagai pemimpin nasional dari denominasi saya dan sebagai presiden Aliansi Injili Spanyol. Tapi saya terhentikan dari semua ini setelah terinfeksi.

Setelah 21 hari berjuang melawan penyakit ini baik di rumah dan di rumah sakit, saya boleh pulang dari rumah sakit. Saya bersyukur dan bersukacita; Saya juga sangat sadar bahwa orang lain, bahkan yang lebih muda dan lebih sehat daripada saya, telah kehilangan nyawa mereka.

Sebagai sebuah negara, kami masih menderita sebagaimana kami berjalan menuju masa depan yang tidak pasti. Di keluarga saya sendiri, mereka masih berjuang melawan virus ini—termasuk istri dan ibu mertua saya. Tapi di sini ada enam pelajaran berdasarkan pengalaman kami di Spanyol yang sejauh ini terus berusaha untuk mencintai Tuhan dan sesama dengan sebaik-baiknya di tengah pandemi ini.

1. Mari kita ingat bahwa kita bukannya tak terkalahkan.

Kesimpulan pertama adalah bagi mereka yang, seperti saya, yang berada di dalam kepemimpinan Kristen. Pelajaran yang begitu jelas saat saya mulai pulih adalah untuk mengingat bahwa saya bukan manusia super. Sebagai pendeta, kami hidup di dunia yang sama dengan orang lain, dengan konflik dan risiko yang sama. Kami rentan—dan inilah yang membuat kami memenuhi syarat untuk kepemimpinan.

Kepemimpinan oleh mereka yang tampak asing terhadap penderitaan tidak akan pernah menghasilkan murid tetapi hanya pengagum. Saat saya menderita dan berjuang melawan penyakit ini telah mengingatkan saya sekali lagi bahwa Bapa sudah mengutus seorang Juru Selamat—dan itu bukanlah saya.

Saat Jatuh sakit juga menunjukkan kepada saya pentingnya memiliki sebuah komunitas. Ketika orang-orang mengetahui tentang saya yang terinfeksi, ada reaksi langsung untuk berdoa di gereja lokal saya, di gereja-gereja di seluruh Spanyol, dan bahkan di bagian lain dunia. Teman-teman dan orang-orang yang belum pernah saya temui sebelumnya mengirim pesan dukungan dan kasih dan doa-doa iman. Semua ini adalah dosis semangat untuk saya di jam-jam tersulit saya.

Di masa-masa itu, saya dapat meneguhkan kebenaran Firman bahwa kita adalah tubuh—satu tubuh. Kita memiliki iman yang sama dan kita adalah keluarga. Semua ini bukan sesuatu yang abstrak di atas kertas atau teori yang akan kita lihat suatu hari nanti di masa depan, tetapi kenyataan yang dapat teraba sekarang. Inilah yang menopang kami yang sedang menderita.

2. Mari kita periksa kembali kehidupan kita sendiri.

Ketika Engkau terlibat dalam sebuah gereja yang jumlahnya terus bertambah, dengan proyek-proyek sosial, penanaman gereja, dll., Penyakit yang tak terduga datang secara tiba-tiba, jeda yang tidak diinginkan untuk banyak hal.

Awalnya itu mengejutkan, dan kemudian muncul fase kemarahan, tawar-menawar, dan akhirnya, penerimaan. Penyakit mengarahkan kita pada proses pribadi yang, jika semuanya berjalan dengan baik, dapat berlangsung berjam-jam atau berhari-hari.

Pada awalnya, saya memiliki keraguan tentang apa tujuan dari penderitaan saya melalui COVID-19. Namun setelah saya menerima situasi saya, saya mendapatkan dua wawasan.

Yang pertama adalah bahwa Tuhan peduli dan masih peduli pada saya. Pada hari-hari ketika saya sakit parah, saya harus menganggap kematian sebagai kemungkinan yang nyata. Bagaimana saya akan mengevaluasi hidup saya? Di bidang pelayanan dan profesi, saya merasa damai; Saya telah melakukan apa yang mampu saya lakukan di dalam waktu yang diberikan Tuhan kepada saya. Tetapi kesedihan muncul ketika saya memikirkan anak-anak saya. Akankah saya dapat melihat bagaimana mereka mencapai impian dan tujuan mereka sendiri? Meski begitu, ada kedamaian yang tenang dengan mengetahui bahwa Tuhan akan merawat istri dan putra-putra saya jika saya meninggal.

Yang kedua adalah mengidentifikasi rasa sakit dari begitu banyak orang yang mengalami penderitaan yang sama. Tidak ternilai penyakit apa yang dapat membawa kepada jiwamu jika Engkau siap untuk membiarkan Tuhan meluaskan hatimu di dalam prosesnya. Saya sangat percaya bahwa Tuhan sangat berkuasa untuk menyembuhkan saya, sama seperti dia begitu berkuasa untuk menyelamatkan saya. Dan saya tidak percaya bahwa penyakit adalah hukuman yang dikirim oleh Tuhan. Tetapi ketika saya menantikan dalam iman untuk kesembuhan-Nya—secara langsung atau melalui sarana medis—saya dapat lebih memahami bahwa orang lain juga menderita. Saya dapat bersimpati dengan mereka, dan saya menyadari bahwa Tuhan akan tetap menjadi Allah, tidak peduli apa yang akan terjadi pada saya.

3. Jangan main-main dengan teologi kemenangan.

Jika platform saya dapat digunakan untuk sesuatu, saya berharap setidaknya untuk meminta saudara-saudari Kristen kita yang di Amerika untuk belajar dari kesalahan kami yang di Eropa. Yang sedihnya Amerika Serikat sudah menjalani kenyataan pandemi ini, dan saya berharap agar negara-negara kami yang tercinta yang di Amerika Latin menjaga dan memperluas langkah-langkah yang telah dilakukan.

Kami melihat krisis di Tiongkok dan kami berkata, “Ini di Cina; itu jauh sekali,” dan kami tidak bersiap-siap. Kemudian terjadi di Italia dan kami berkata, “Itu di Italia; itu tidak akan sampai ke Spanyol.” Bahkan, beberapa penggemar sepak bola melakukan perjalanan ke daerah yang terinfeksi yang terburuk di negara tetangga untuk menghadiri pertandingan Liga Champions. (Kompetisi itu kemudian ditangguhkan dan sekarang tidak relevan.)

Beberapa hari kemudian, COVID-19 mendarat di Madrid, dan kami yang tinggal di bagian lain Spanyol sekali lagi berkata, “Itu ada di ibu kota; kami aman,” dan kami tidak berhati-hati. Akhirnya hal ini tiba di kota kami dan di antara keluarga kami sendiri. Kami lambat bereaksi, dan kami harus membayar konsekuensinya. Tolong, belajar dari kesalahan kami dan tangani pandemi ini dengan sangat serius.

Gereja memiliki peran mendasar untuk diperankan dalam menanggapi dengan bijaksana terhadap krisis ini. Masalah yang kita saksikan adalah sebuah teologi lemah yang mengajarkan konflik hati-hati dengan iman—teologi kemenangan yang mengklaim kita kebal terhadap virus karena iman kita. Dari sini mengalir ide-ide seperti orang Kristen yang tidak harus menaati pedoman dari pihak berwajib karena Tuhan akan melindungi kita. Ini adalah sebuah kesalahan besar, dan itu akan mengakibatkan konsekuensi bencana. Para pendeta yang mengkhotbahkan hal-hal ini harus memberikan pertanggungjawaban kepada Tuhan dan kepada manusia atas pengajaran mereka.

4. Mari temani mereka yang berduka.

Di Spanyol, kami telah melihat ratusan pusat perawatan kesehatan kewalahan dengan apa yang digambarkan oleh staf medis dan militer sebagai “lingkungan perang.” Para dokter dan perawat Kristen memberitahukan kami tentang bagaimana mereka menangis ketika mereka tiba di rumah setelah hari kerja yang panjang. Tidak ada cukup staf, tidak ada cukup alat pelindung, tidak ada cukup tempat tidur ICU, dan banyak lagi. Dan mereka sadar akan dampak emosional yang parah dari pandemi ini pada masyarakat kami di tahun-tahun mendatang.

Di gereja-gereja kami, kami juga harus dengan tergesa-gesa mengucapkan selamat tinggal kepada banyak orang percaya. Sebagian besar dari mereka yang telah pergi kepada kemuliaan dalam beberapa minggu terakhir adalah orang tua dan kakek nenek dari generasi yang berjuang untuk membangun komunitas evangelikal kami. Banyak yang meninggal sendirian di kamar rumah sakit, mengucapkan selamat tinggal kepada orang yang mereka cintai melalui telepon. Meskipun kami memiliki harapan bersama yang melampaui kematian, cara mereka meninggalkan kami masih meninggalkan luka.

Kami harus belajar lagi untuk menemani orang-orang yang di dalam proses berkabung, orang-orang Kristen dan lainnya. Staf kesehatan meminta para keluarga untuk mengizinkan pembakaran keluarga mereka. Panggilan telepon yang memberikan instruksi tentang bagaimana cara mengambil abu dan laporan kematian. Seolah-olah para korban COVID-19 tiba-tiba menghilang begitu saja dari kehidupan kami.

Banyak yang tidak diizinkan untuk bersama dengan orang yang mereka cintai di saat-saat terakhir mereka harus berurusan dengan perasaan bersalah dan marah. Puluhan ribu tidak akan pernah melihat tubuh orang yang mereka cintai, bahkan tidak peti matinya. Para Keluarga tidak akan bisa menyesuaikan kehilangan mereka—ketidakhadiran—ke dalam bentuk nyata.

Bagaimana kami dapat mengekspresikan duka tanpa acara pemakaman atau upacaranya? Kami harus melengkapi orang-orang untuk mengungkapkan kesedihan dari kejauhan. Aliansi evangelikal kami sudah bekerja dengan panduan untuk berkabung di masa-masa aneh ini.

5. Mari kita kembali ke esensi, dimulai dengan komunitas.

Kegiatan yang menyatukan orang-orang di dalam jarak fisik telah dilarang di seluruh Eropa, dan tidak ada batas waktu yang jelas untuk kapan pemerintah akan mengizinkan tempat ibadah untuk melanjutkan kegiatan mereka.

Ini menguji cara kita menjadi gereja. Gereja-gereja yang sudah memiliki struktur yang baik untuk kelompok-kelompok kecil akan lebih menjaga rasa kebersamaan—juga pelayanan pastoral dan pekerjaan misi—di masa krisis ini. Dan, tentu saja, teknologi dan sistem komunikasi yang tersedia di internet adalah sebuah berkah.

Tetapi para pemimpin Kristen harus menggunakan krisis ini untuk memikirkan kembali gereja dari sudut pandang komunal. Pusatnya bukan ibadah, atau pertemuan hari Minggu, tetapi Kristus. Setelah krisis ini berakhir, penting untuk kembali ke struktur seluler untuk gereja yang menekankan komitmen pribadi dan mengakhiri konsumerisme agama dalam beberapa dekade terakhir.

Prioritas yang muncul sekarang adalah jelas. Pertama, dalam Firman di Galatia 6:10, kita perlu “berbuat baik kepada semua orang, terutama bagi mereka yang termasuk dalam keluarga dari orang percaya.” Kami harus sangat waspada untuk memastikan bahwa tidak ada saudara atau saudari yang menderita secara finansial, emosional, atau sosial. Setelah itu, kami juga harus memperluas kepedulian ini ke lingkungan dan kota tempat kami tinggal.

Ini juga merupakan waktu untuk mempertahankan pekerjaan pastoral kami di setiap bidang, termasuk merawat anak-anak, remaja, pernikahan, dan ibadat bersama. Di gereja lokal kami, kami merayakan Minggu Paskah dari kejauhan dengan #santacenaibnlugo: Kami semua mengambil bagian dalam Perjamuan Kudus dari rumah kami masing-masing dan berbagi foto menggunakan tagar itu.

Kita selalu berkhotbah bahwa gereja bukanlah sebuah bangunan atau tempat tetapi umat. COVID-19 akan menjadi wadah untuk menguji pernyataan ini, teologi kita, dan struktur gereja kita.

6. Mari kita menjadi gereja yang hidup dan aktif, lebih dari sebelumnya.

Kita hidup di dunia yang rusak yang membutuhkan orang-orang Kristen yang menerima panggilan untuk menjadi terang dan garam. Ini adalah bagaimana, melalui kesaksian kita, banyak orang akan dapat memuliakan Tuhan.

Izinkan saya mengakhiri dengan contoh dari gereja yang saya pimpin. Jemaat kami bukan jemaat yang sangat besar, dan kami berada di kota pedesaan yang berpenduduk sekitar 100.000 jiwa. Kami bisa saja berpikir bahwa kami lemah dan kecil dalam menghadapi pandemi ini. Dan krisis ini juga sangat mengurangi pendapatan finansial gereja kami.

Namun demikian, kami telah dapat meningkatkan bantuan sosial kami untuk mengurangi dampak krisis di antara keluarga-keluarga tetangga. Kami mencoba menerapkan Mathew 5:16, yang mengatakan, “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.”

Dalam kasus kami, ini berarti mengembangkan rencana tindakan dengan tiga segi. Yang pertama adalah bantuan darurat, memberikan bantuan keuangan kepada keluarga yang paling rentan. Yang kedua adalah program distribusi makanan. Kami mengirimkan 3 ton produk segar setiap 15 hari dan akan mengirimkan 72 ton makanan yang tidak mudah busuk di hari-hari yang akan datang. Berkat jaringan kami yang dibangun selama beberapa tahun terakhir, kami sekarang menjangkau 900 keluarga—atau sekitar 3.000 orang—dengan bantuan ini.

Yang ketiga adalah lini pelayanan baru yang telah kami mulai terkait dengan persediaan kesehatan. Ini dimungkinkan berkat sembilan orang jemaat gereja lokal kami yang menjahit gaun rumah sakit, sepatu penutup, dan topi. Mereka melakukannya dengan bahan baku yang mudah ditemukan: kantong plastik.

Kami telah memberikan sebagian dari ini ke pusat kesehatan dan panti jompo, di mana mereka sangat dibutuhkan. Reaksi di media lokal sangat signifikan sejak awal, dan hal ini telah menyebabkan peningkatan dalam jumlah pesanan. Staf medis dan para perawat telah menyatakan terima kasih dan ucapan selamat atas pekerjaan yang berkualitas. Kami mengharapkan untuk dapat membuat lebih dari 2.000 setiap gaun, topi, dan penutup sepatu dalam beberapa minggu mendatang.

Kami akan mengakhiri program ini ketika sumber daya yang dijanjikan oleh pemerintah tiba di tempat-tempat ini. Namun sementara itu, kami akan terus melayani komunitas kami.

Memang benar bahwa kami terkurung—tetapi Roh Kudus tidak terkurung. Dan sebagai orang Kristen, kami terus menjadi bagian dari kehidupan masyarakat di sekitar kami di tengah krisis ini. Inilah saatnya untuk menunjukkan bahwa “gereja itu hidup dan aktif.” Moto gereja kami ini akan membuat jemaat kami tetap fokus di minggu-minggu mendatang. Saya berdoa semoga ini dapat menginspirasi Anda juga.

Marcos Zapata adalah pendeta Iglesia Buenas Noticias (Gereja Kabar Baik) di Lugo, Spanyol, dan melayani sebagai presiden Aliansi Injili Spanyol.

What do you think of this translation? Want to see CT do more? Interested in helping us improve the quality and quantity? Share your feedback here.

Books

20 Doa Lainnya untuk Didoakan saat Kita Mendekati Puncak Pandemi

Membawa petisi permohonan kepada Tuhan masih merupakan cara yang paling ampuh untuk merespons dalam krisis.

Christianity Today April 17, 2020
Illustration by Mallory Rentsch / Source Images: The New York Public Library / Igor Rodrigues / CDC / Unsplash

Catatan editor: CT berkomitmen untuk melayani gereja secara global dengan menyajikan tulisan-tulisan pilihan dalam bahasa Indonesia (40+).

Minggu lalu, paramedis datang untuk tetangga saya yang berusia lanjut yang tinggal di seberang jalan ketika anak-anak saya dan saya menyaksikan tanpa daya dari jendela depan kami. Mereka mengenakan masker dan mengikat gaun biru panjang masing-masing dengan tertutup rapat. "Mengapa truk pemadam kebakaran ada di sini juga?" anak laki-laki saya bertanya.

"Kurasa itu selalu datang ketika ambulans dipanggil," kataku, berusaha menjadi berguna padahal sebenarnya aku merasa tidak berguna.

Dengan situasi di mana lebih dari setengah dunia berada di bawah perintah tinggal di rumah, banyak dari kita mengalami perasaan tidak berdaya dalam menghadapi penderitaan orang lain. Dalam kondisi normal, akan ada makanan yang dibuat dan kunjungan ke rumah sakit. Tetapi saat ini bukanlah hari-hari yang normal.

Namun, kita bukannya tidak berdaya. Bahkan tidak mendekatinya sedikitpun. Salah satu hal paling efektif yang dapat kita lakukan untuk tetangga kita di seluruh dunia adalah bertelut dengan lutut kita dan meraih kepada Tuhan, sumber pertolongan itu sendiri.

Saya menulis “20 Doa untuk didoakan Selama Pandemi Ini” untuk mengingatkan kita bahwa Tuhan adalah seperti yang Dia katakan: "Lihatlah sekarang bahwa Aku, Akulah Dia! Tidak ada Allah kecuali Aku” (Ul. 32:39).

Dalam minggu-minggu sejak penerbitan artikel itu, orang-orang di seluruh dunia telah membacanya, mendoakannya (kemungkinan), dan juga membagikan doa-doa itu dalam jumlah yang besar. Jumlah itu memberikan sebuah penghargaan kepada bagaimana gereja bersama-sama dalam menghadapi krisis.

Ketika kita terus bergandengan tangan dari kejauhan, berikut ini adalah 20 doa lainnya untuk tetangga kita di segala tempat:

1. Untuk gereja, yang berjuang dengan iman di tengah-tengah penderitaan global: Tuhan, kami percaya pada kehendak-Mu untuk menyembuhkan dan kuasa-Mu untuk melakukannya. Tolonglah kami yang kurang percaya ini.

2. Bagi mereka yang telah beralih imannya kepada Yesus untuk pertama kalinya selama masa pandemi ini: Tuhan, tolonglah saudara-saudari kami yang baru imannya untuk bertumbuh dalam kasih karunia dan di dalam pengetahuan akan Juruselamat kami.

3. Bagi mereka yang belum mengenal Yesus tetapi mendapati hati mereka digerakkan oleh keingintahuan rohani dan kerinduan kekal: Tuhan, di dalam kebaikan-Mu, tuntunlah sebanyak-banyaknya orang untuk bertobat dan iman yang taat kepada Anak-Mu.

4. Untuk responden pertama dan pekerja perawatan kesehatan garis depan, terutama di pusat infeksi: Tuhan, perkuat barisan mereka dan kuatkan mereka dengan kekuatan supernatural.

5. Bagi perusahaan yang berkemampuan (dan dengan mandat) untuk memproduksi peralatan pelindung yang sangat dibutuhkan bagi pekerja perawatan kesehatan garis depan kami: Tuhan, tetapkanlah pekerjaan tangan mereka.

6. Untuk pekerja transit, petugas polisi, dan pegawai umum lainnya yang bekerja tanpa lelah, seringkali tanpa perlindungan yang memadai: Tuhan, berikan mereka stamina setiap harinya dan jagai mereka agar tidak jatuh sakit.

7. Untuk panti jompo, pusat rehabilitasi, dan fasilitas perawatan jangka panjang lainnya: Tuhan, beri semangat kepada mereka yang kesepian sendirian dan kuatkan anggota staf yang membantu mereka. Cegahlah penyebaran infeksi yang lebih lanjut, dan hiburkan keluarga yang tidak dapat lagi mengunjungi orang yang mereka cintai.

8. Untuk yang dipenjara, yang sangat rentan terhadap penyebaran virus ini: Tuhan, berikan hikmat kepada petugas penjara. Lindungi narapidana dan staf dari kekerasan dan penyakit. Lepaskan mereka semua dari rasa takut.

9. Untuk wanita dan anak-anak dalam situasi pelecehan: Tuhan, cegahlah mereka yang melakukan kejahatan. Berikan perlindungan dan pertolongan bagi para korban dan hiburlah mereka di dalam kerentanan mereka.

10. Untuk negara-negara yang di negara berkembang: Tuhan, kekanglah penyebaran infeksi di kota-kota terpadat dan termiskin di dunia. Selamatkanlah negara-negara yang sudah terbebani dengan penyakit dan kesehatan kronis yang buruk.

11. Untuk orang-orang Asia-Amerika yang di Amerika Serikat, orang-orang Afrika di Tiongkok, dan orang-orang lain di seluruh dunia yang menjadi sasaran rasisme karena terkait COVID: Tuhan, hadapi kejahatan ini dengan keadilan yang cepat, dan bebaskan saudara-saudari kami dari kekejaman.

12. Untuk semua orang yang cemas tentang masa depan perekonomian — bagaimana mereka akan membayar perumahan, makanan, dan obat-obatan penting: Tuhan, hubungkan mereka dengan sumber-sumber bantuan melalui gereja, pemerintah, dan masyarakat. Mampukan mereka untuk memandang ke arah-Mu untuk penyediaan.

13. Untuk gereja-gereja kecil yang tanpa cadangan uang tunai: Tuhan, jagai pintu mereka tetap terbuka, dan desak umat-Mu untuk memberi dengan murah hati.

14. Bagi para pendidik, yang terpaksa untuk menyesuaikan kurikulum dengan pembelajaran online, dan bagi para siswa, yang terpaksa untuk berlatih lebih mandiri: Tuhan, jadikan rumah sebagai tempat yang penuh dengan keingintahuan, pertanyaan, dan pembelajaran. Berikan bantuan khusus kepada anak-anak yang tanpa akses reguler ke internet dan alat digital lainnya.

15. Bagi mereka yang kecewa dengan pembatalan perayaan tonggak sejarah seperti wisuda, pernikahan, atau acara penyamnbutan bayi yang akan lahir: Tuhan, hiburkan mereka yang sedang kecewa, dan mungkinkan mereka untuk berkumpul kembali bersama dengan teman dan keluarga.

16. Untuk ibu hamil, yang menghadapi prospek persalinan dan kelahiran tanpa tim dukungan yang mereka rencanakan: Tuhan, lepaskan mereka dari rasa takut, dan penuhi mereka dengan sukacita karena mereka akan menyaksikan sebuah kehidupan baru.

17. Untuk wanita yang menghadapi kehamilan tak terduga di masa krisis ekonomi ini: Tuhan, tolong mereka untuk mendapatkan dukungan praktis dan emosional yang mereka butuhkan agar mereka tidak melakukan aborsi.

18. Untuk gereja, pelayanan parachurch, dan organisasi Kristen lainnya yang melakukan penginjilan dan pemuridan online: Tuhan, berkati upaya digital kami yang tidak sempurna dan terus majukan kerajaan Yesus melalui umat-Mu.

19. Bagi mereka yang sekarat sendirian di rumah sakit dan untuk orang yang mereka cintai: Tuhan, mendekatlah kepada mereka dan, dengan kemurahan-Mu, izinkan mereka mengalami perjumpaan dengan Kristus, Sang Sahabat yang tidak pernah meninggalkan dan tidak pernah melupakan.

20. Bagi mereka yang terlibat dalam politik di setiap tingkatan: Tuhan, bantu para pemimpin kami untuk bekerja sama dan berkomunikasi secara efisien, mengesampingkan kepentingan pribadi demi kebaikan bersama.

Ya Tuhan, kami mengakui bahwa Engkaulah yang menjadikan dunia dan yang terus menopangnya dengan Firman-Mu. Kami percaya akan hikmat-Mu, kuasa-Mu, dan kebaikan-Mu. Tolong kami di setiap kesempatan untuk mengasihi sebagaimana Engkau mengasihi dan untuk melayani sebagaimana Engkau melayani. Berilah kami keberanian untuk berbicara tentang harapan kami di dalam Yesus, yang menderita bagi kami, yang bangkit dari kematian, dan yang akan datang kembali. Amin.

Jen Pollock Michel adalah penulis Teach Us to Want, Keeping Place, dan Surprised by Paradox. Dia tinggal bersama suaminya dan kelima anaknya di Toronto.

What do you think of this translation? Want to see CT do more? Interested in helping us improve the quality and quantity? Share your feedback here.

Books

CT dalam Bahasa Indonesia: Coronavirus dan Gereja

Kumpulan doa dan renungan untuk membantu umat Kristen untuk memberikan respon yang benar terhadap pandemi COVID-19.

Christianity Today April 17, 2020
Illustration by Mallory Rentsch / Source Images: Ezra Acayan / Stringer / Mario Tama / Staff / Getty Images / Nagesh Badu / Unsplash

Ini adalah kumpulan artikel CT, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, tentang coronavirus dan peran Gereja dalam menghadapi tantangan ini:

Apa pendapat Anda tentang kualitas terjemahan ini? Apakah Anda ingin CT melakukan lebih banyak lagi terjemahan artikel seperti ini? Tertarik untuk membantu kami meningkatkan kualitas dan kuantitas? Bagikan komentar Anda di sini.

Books

20 Pokok Doa untuk Didoakan Selama Pandemi Ini

Sebagaimana COVID-19 membawa seluruh dunia ke dalam krisis, biarlah hal ini juga membawa kita untuk bertekuk lutut berdoa.

Christianity Today April 17, 2020
Illustration by Rick Szuecs / Source images: Diana Simumpande / Unsplash / The New York Public Library

Catatan editor: CT berkomitmen untuk melayani gereja secara global dengan menyajikan tulisan-tulisan pilihan dalam bahasa Indonesia (130+) termasuk: 50 Negara Tersulit bagi Pengikut Yesus di Tahun 2023

Dalam beberapa hari terakhir, ketika COVID-19 dinyatakan sebagai pandemi global dan negara-negara telah mengambil langkah-langkah mendesak untuk membendung penyebaran infeksi, saya berharap dapat mengatakan bahwa dorongan pertama dari hati saya adalah untuk berdoa. Tapi sejujurnya yang saya lakukan terus menerus adalah melihat berita di feeds (media sosial) saya.

Krisis ini sungguh menyulitkan, dan saya merasa tidak berdaya. Tetapi mungkin merasa tidak berdaya adalah cara terbaik yang mengingatkan kita untuk berdoa. Doa adalah cara kita secara aktif mempraktikkan kepercayaan, dengan bahasa yang sederhana dan keyakinan, bahwa Tuhan memegang seluruh dunia dalam tangan-Nya. Di situlah kita "menyatakan dalam segala hal keinginan kita kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur" (Fil.4: 6–7, TB). Doa bukanlah pilihan terakhir bagi umat kepunyaan Allah. Ini adalah langkah awal kita.

Untuk itu, saya telah membuat daftar 20 pokok doa untuk didoakan selama pandemi ini. Masing-masing ditujukan kepada kebutuhan komunitas tertentu. Untungnya, saya adalah anggota dari sebuah gereja yang beranggotakan banyak petugas medis, dan beberapa di antaranya telah memberi saya masukan mengenai kebutuhan mereka untuk didoakan. Saya telah menaruh masukan-masukan mereka di sini. Saya juga memikirkan tentang bagaimana keadaan kita semua yang terkena dampak krisis saat ini.

Tentu saja daftar ini kurang lengkap, tetapi setidaknya bisa menjadi awal yang baik. Harapan saya adalah ini dapat menjadi kata-kata untuk kita ucapkan ketika kita berdoa bersama (juga secara virtual!) sebagai persekutuan gereja. Kita percaya ada Tuhan yang mendengarkan, dan marilah kita berdoa:

1. Untuk mereka yang sakit dan yang terinfeksi: Ya Tuhan, sembuhkan dan tolonglah. Berikanlah kekuatan untuk tubuh dan roh mereka. Kendalikanlah penyebaran penyakit ini.

2. Untuk populasi yang rentan terinfeksi: Ya Tuhan, lindungilah para orang tua kami dan juga mereka yang menderita penyakit-penyakit kronis. Sediakanlah kebutuhan bagi mereka yang miskin dan yang kurang mampu.

3. Untuk anak-anak muda dan mereka yang masih kuat: Ya Tuhan, berikanlah mereka kesadaran untuk menjaga diri mereka, agar supaya mereka tidak dengan tidak sengaja menyebarkan virus ini. Berikanlah mereka keinginan untuk membantu.

4. Untuk pemerintah daerah dan pemerintah pusat: Ya Tuhan, sertailah pemimpin-pemimpin kami dalam mereka menyediakan kebutuhan negeri kami untuk memerangi pandemi ini. Bantulah mereka untuk bisa menyediakan pemeriksaan (kesehatan) yang dibutuhkan.

5. Untuk para peneliti ilmiah kami, dalam upayanya untuk lebih memahami tentang penyakit ini, juga untuk menyebarkan informasi: Ya Tuhan, berilah mereka pengetahuan, kebijaksanaan, dan juga keyakinan dalam berkata-kata.

6. Untuk media yang berkomitmen untuk menyediakan informasi terkini: Ya Tuhan, bantulah mereka untuk dapat berkomunikasi dengan cara yang tepat, tanpa menimbulkan kepanikan.

7. Untuk pengguna media yang ingin mendapatkan informasi lengkap: Ya Tuhan, bantulah kami mendapatkan informasi yang sesuai dan yang bisa menjadikan kami anggota masyarakat yang baik. Jauhkanlah kami dari rasa cemas dan kepanikan, dan bantulah kami untuk bisa bertindak sesuai dengan peraturan yang ditetapkan dengan tulus hati.

8. Bagi mereka yang memiliki masalah kesehatan mental yang merasa terisolasi, cemas, dan tak berdaya: Ya Tuhan, berikanlah mereka dukungan yang mereka butuhkan.

9. Untuk para tunawisma yang tidak dapat melakukan protokol social distancing (jaga jarak sosial) di tempat penampungan mereka: Ya Tuhan, lindungilah mereka dari sakit penyakit, dan sediakanlah tempat penampungan yang bisa diisolasi di setiap kota.

10. Untuk turis mancanegara yang terjebak di negara asing: Ya Tuhan, bantulah mereka supaya secepatnya bisa pulang dengan selamat.

11. Untuk para misionaris Kristen di seluruh dunia, terutama di daerah-daerah dengan tingkat infeksi yang tinggi: Ya Tuhan, berikanlah mereka kata-kata penuh pengharapan, dan perlengkapi mereka untuk mengasihi dan melayani orang-orang yang ada di sekitar mereka.

12. Bagi para pekerja di berbagai perusahaan yang di-PHK dan yang mengalami kesulitan keuangan: Ya Tuhan, jauhkanlah mereka dari kepanikan, dan doronglah gereja-Mu untuk bermurah hati menolong mereka.

13. Bagi keluarga yang memiliki anak kecil di rumah untuk waktu yang lama: Ya Tuhan, bantulah para ayah dan ibu untuk dapat bersama-sama merawat dan menjaga pertumbuhan anak-anak mereka, dengan cara-cara yang kreatif. Untuk para single parent, berikanlah mereka jaringan orang-orang yang bisa membantu mereka.

14. Untuk orang tua yang tidak dapat tinggal di rumah karena harus bekerja, dan harus tetap mengurus anak-anak mereka: Ya Tuhan, berikanlah mereka solusi dengan ide-ide yang kreatif.

15. Bagi mereka yang membutuhkan perawatan dan terapi rutin, yang sekarang harus tertunda: Ya Tuhan, bantulah mereka untuk tetap sabar dan berpikir positif.

16. Bagi para pemimpin di bidang bisnis yang harus membuat keputusan sulit, sehingga mempengaruhi kehidupan karyawan mereka: Ya Tuhan, berikanlah hikmat kepada mereka, dan bantulah mereka untuk memimpin dengan penuh pengorbanan.

17. Untuk para pendeta dan pemimpin gereja yang harus melakukan social distancing (jaga jarak sosial): Ya Tuhan, bantulah mereka menggembalakan jemaat dengan cara-cara yang kreatif dan untuk menaruh kasih atas kota mereka.

18. Untuk para siswa dan mahasiswa, yang metode belajarnya berubah, magangnya dibatalkan, wisudanya tidak pasti: Ya Tuhan, tunjukkanlah kepada mereka untuk menaruh kepercayaan kepada-Mu di saat hidup penuh dengan ketidakpastian.

19. Untuk orang-orang Kristen di semua lingkungan, komunitas, dan kota: Semoga Roh Kudus-Mu mengilhami kami untuk senantiasa berdoa, hidup memberi, mencintai, melayani, dan memberitakan Injil, agar nama Yesus Kristus dimuliakan di seluruh dunia.

20. Untuk para petugas kesehatan di garda depan, kami bersyukur kepada-Mu atas panggilan hidup mereka untuk melayani kami. Kami juga berdoa:

  • Ya Tuhan, jagalah mereka agar tetap aman dan sehat. Jagalah agar keluarga mereka aman dan sehat.
  • Ya Tuhan, bantulah mereka untuk memiliki pengertian tentang penanganan penyakit ini, serta tentang protokol yang berubah-ubah.
  • Ya Tuhan, bantulah mereka untuk tetap berpikiran jernih di tengah kepanikan di sekitarnya.
  • Ya Tuhan, bebaskanlah mereka dari kegelisahan memikirkan orang-orang yang mereka cintai (orang tua yang sudah lanjut usia, anak-anak, pasangan hidup, teman sekamar).
  • Ya Tuhan, biarlah mereka dapat merawat setiap pasien mereka dengan penuh belas kasih.
  • Ya Tuhan, penuhilah kebutuhan finansial mereka, terutama jika mereka jatuh sakit dan tidak dapat bekerja.
  • Ya Tuhan, tolonglah orang-orang Kristen yang ada dalam pelayanan kesehatan untuk dapat menunjukkan kedamaian, sehingga banyak orang akan bertanya tentang alasan pengharapan mereka. Berilah mereka kesempatan untuk dapat memberitakan Injil.

Ya Tuhan, kami percaya bahwa Engkau baik dan Engkau senantiasa melakukan hal-hal baik. Ajarlah kami untuk tetap setia kepada-Mu dalam masa-masa sulit ini. Tolonglah kami untuk bisa meneladani Yesus, gembala kami yang setia, yang rela menyerahkan nyawa-Nya karena kasih-Nya. Biarlah nama Tuhan dimuliakan saat Engkau memperlengkapi kami untuk melakukan kehendak-Mu. Amin.

Jen Pollock Michel adalah penulis Teach Us to Want, Keeping Place, dan Surprised oleh Paradox. Ia tinggal bersama suaminya dan kelima anak-anaknya di Toronto. Bagian ini diadaptasi dari blog terbarunya.

What do you think of this translation? Interested in helping us improve the quality and the quantity? Share your feedback here.

This article is 1 of 800+ CT Global translations—including Indonesian.

You can also now follow CT in Bahasa Indonesia by email, Facebook, Twitter and Instagram.

Books

Pengharapan Akan Kebangkitan Jauh Melebihi Perayaan Paskah

Bahkan di saat maut kelihatan, Kabar Baik tetap ada.

Christianity Today April 17, 2020
Buda Mendes / Getty Images

Saat pandemi COVID-19 mendatangkan penderitaan di seluruh dunia dan kematian banyak orang selama beberapa minggu terakhir ini, umat Kristiani dengan bersemangat menyambut hari Perayaan Paskah dengan pemberitaan janji akan hidup yang baru.

Di saat kini liburan telah usai, umat Kristiani pun bisa tergoda untuk terbawa arus. Begitu banyak berita tentang penderitaan yang sedang dunia alami, yang terus menerus memperingatkan bahwa masih ada hal buruk yang menanti, itu dapat dengan mudah melenyapkan sukacita dan pengharapan Perayaan Paskah. Akan tetapi, kebangkitan Yesus tidak dicanangkan untuk satu hari Minggu saja. Paskah bisa saja berlalu, akan tetapi harapan dalam Kebangkitan itu selalu baru setiap pagi, karena benar bahwa tubuh Yesus telah bangkit dari kematian.

Yesus mati untuk dosa-dosa kita, bangkit dari kematian, dan menampakkan diri kepada banyak saksi mata sebagaimana diceritakan dalam kitab Injil. Dalam Perjanjian Baru, pengharapan adalah pegangan pasti bahwa Allah telah dan akan menggenapi janji-janji penebusan-Nya untuk umat-Nya dan seluruh dunia di dalam Putranya, Yesus Kristus.

Orang Kristen khususnya, perlu mengingat kalimat ini selama masa-masa penderitaan. Sebagaimana Paulus sendiri mengatakan, karena kita dibenarkan oleh iman, kita hidup dalam damai sejahtera dengan Allah dan dalam pengharapan kepada Allah saat kita berada dalam kesengsaraan (Roma 5:1-5). Pengharapan ini “tidak mengecewakan” (ayat 5, TB).

Saya mengerti betapa sulitnya mempertahankan keyakinan akan Kebangkitan itu ketika kematian mengancam kita, komunitas kita, dan orang-orang yang kita cintai.

Pada tahun 2018, Bibi saya tercinta, yang membesarkan saya seperti anaknya sendiri, meninggal dunia. Akhir dari pertempuran yang panjang dan menyakitkan dengan berbagai penyakit, sampai sudah tidak ada lagi harapan.

Ketika saya merawatnya di minggu-minggu terakhirnya, saya sering merasa bahwa pengharapan dalam kebangkitan Yesus adalah kebenaran alkitabiah dan teologis yang secara intelektual saya pahami, tetapi tidak dapat saya rasakan dalam keadaan itu. Rasanya mustahil untuk melakukan apa pun selain berputus asa di dalam kamar rumah sakit, ketika Bibi saya mengerang, berteriak minta tolong kepada Tuhan waktu dia kesakitan, atau di ruang ICU ketika dia dalam keadaan koma, atau di ruang perawatan pasien stadium akhir saat saya menyaksikannya perlahan-lahan menjemput ajalnya, beberapa minggu sebelum Natal.

Pandemi ini mengingatkan kita semua bahwa hidup ini tidak pasti, rapuh, dan begitu singkat. Bersama dengan seluruh makhluk, umat Kristiani berseru dalam keresahan, kekecewaan, ketakutan, dan kehancuran, seraya kita berharap supaya penyakit, penderitaan, dan kematian ini berakhir. Kita tahu ini bukanlah yang seharusnya (Rm. 8:18).

Kita berduka atas penderitaan dunia saat ini. Namun kita tidak akan melepaskan sukacita Kebangkitan, dengan nyanyian kemenangannya yang menyatakan Juruselamat telah bangkit. Air mata kita mengalir dari hati yang penuh harapan. Kita dengan penuh semangat menantikan Allah di dalam Kristus, membawa penebusan yang memerdekakan kita dari ikatan dosa, sakit penyakit, kematian, dan penderitaan, juga kita berusaha maju dan menantikan pertumbuhan kawan-kawan seiman (Rm. 8:19–21, Gal 6:10).

Kita masih dapat memiliki harapan di tengah pandemi, dan bahkan bersuka ketika kita meratap, karena kita percaya kepada Tuhan yang membuktikan bahwa kita tidak ditentukan oleh sakit penyakit dan kematian (1 Kor. 15).

Bahkan saat ini, Allah bekerja bagi kita karena Yesus telah bangkit dari kematian. Demikian juga Roh membantu kita dalam kelemahan kita, sebab kita tidak tahu, bagaimana sebenarnya harus berdoa, tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucap (Rm. 8:26–27). Roh Kudus menjamin bahwa melalui penderitaan kita, Allah akan mendatangkan kebaikan bagi kita melalui karya penebusan-Nya di dalam Yesus Kristus (Rm. 8:28–30).

Sekitar setahun yang lalu, ketika Bibi saya berada di ICU — bagian rumah sakit itu sekarang dipenuhi pasien virus corona yang sedang berjuang — Tuhan menunjukkan kepada keluarga kami pengharapan dalam kebangkitan Yesus. Sebelum Bibi meninggal, setelah 22 tahun berdoa untuknya dan bersaksi kepadanya, saya mendapat hak istimewa untuk membimbingnya percaya kepada Yesus Kristus.

Dan Tuhan melanjutkan pekerjaan-Nya. Setahun kemudian, saya mendapat hak istimewa untuk membimbing ibu saya, yang adalah saudara perempuannya, untuk percaya kepada Yesus Kristus, dan kemudian putra saya yang berusia 11 tahun. Saya tidak tahu mengapa Bibi harus menderita dan meninggal pada usia 59, dan saya masih berduka atas kematiannya. Tetapi karena kematian dan kebangkitan Yesus, keluarga saya memiliki pengharapan.

Penderitaan yang tak terhindarkan dalam pandemi ini — kematian, sakit penyakit, ketakutan, kehilangan, isolasi, dan kesulitan finansial — akan sulit dihadapi. Hal ini tampaknya begitu besar dan sulit untuk dijelaskan. Namun, hal ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan Allah kepada kita, ketika Dia memerdekakan kita dari ikatan dosa (Rm. 8:18).

Bahkan dalam masa penderitaan seperti yang belum pernah kita lihat sebelumnya ini, ketika kematian seakan menyelimuti dunia dan terasa begitu dekat, umat Kristiani harus ingat bahwa kita lebih dari pada orang-orang yang menang, oleh Kristus (Rm. 8:31–39). Kita dipersatukan dengan kasih Allah dalam Yesus Kristus melalui iman, karena Ia mati untuk dosa-dosa kita, bangkit dari antara orang mati, dan duduk di sebelah kanan Allah yang memerintah dalam kemenangan atas kuasa dosa dan maut (Kol. 1–2).

Dalam masa pemerintahan-Nya, Yesus berdoa untuk kita dalam penantian akan hari besar itu, dimana orang-orang tebusan-Nya akan memerintah bersama dengan Dia di muka bumi (Why. 19:1–22:21).

Sementara itu, kita yang hidup dalam pengharapan akan Kebangkitan itu, kita harus mempraktekkan gaya hidup kasih dengan kita mengasihi sesama, dan selalu melihat kebaikan dari semua orang, bahkan ketika kita harus melakukan social distancing (menjaga jarak sosial) dan tetap tinggal di rumah. Kita selalu mencari cara yang baru untuk membagikan pesan keselamatan Allah dengan — dan menunjukkan kasih Kristus, kepada — keluarga dan orang-orang di sekitar kita, yang bagi mereka hari Perayaan Paskah sama saja dengan hari lain dalam kalender. Di saat penderitaan di sekitar kita terus bertambah, kita berdoa supaya Injil dan kerajaan Allah terus diberitakan.

Perayaan Paskah memang telah berlalu, dan tidak seorang pun yang tahu apa yang akan terjadi setelah ini, bahkan peramal, ahli statistik, dan ilmuwan terbaik sekalipun tidak. Namun, satu hal yang tidak berubah, yaitu kebenaran tentang Kebangkitan itu, dan pengharapan kita di dalam Yesus adalah pengharapan yang pasti, karena Ia telah bangkit dari kematian!

Jarvis J. Williams adalah seorang lektor kepala penerjemahan Perjanjian Baru di The Southern Baptist Theological Seminary di Louisville, Kentucky. Beliau telah menulis banyak sekali buku, termasuk tafsiran terbaru surat Galatia.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube