Books

Telah Meninggal: Luis Palau, yang Mengkhotbahkan Injil dari Portland ke Amerika Latin dan lebih jauh lagi

Penginjil kelahiran Argentina yang mengawali pelayanannya sebagai penerjemah Billy Graham hingga memimpin jutaan orang di lebih dari 80 negara membuat keputusan untuk mengikuti Yesus.

Christianity Today March 13, 2021

Penginjil Luis Palau telah meninggal pada usia 86 tahun karena kanker paru-paru. Sebagai seorang imigran dari Argentina yang tinggal di Amerika Serikat, Palau menjadi salah satu penerus Billy Graham yang paling terkemuka dan membagikan Injil di lebih dari 80 negara di seluruh dunia. Pelayanannya membuat jutaan orang membuat keputusan pribadi untuk mengikut Yesus.

Palau memberitakan Injil kepada kepala-kepala negara di Amerika Latin dan ketika Tirai Besi di Uni Soviet jatuh, pelayanan KKR-nya telah menyatukan beragam orang Kristen, termasuk dari kalangan Protestan, Ortodoks, dan Katolik. Ketika masih muda, Palau menjadi penerjemah untuk Graham, yang kemudian membantu mendanai organisasi penginjilan Palau ketika dimulai secara resmi pada tahun 1978.

Palau mulai menginjili pada momen bersejarah gerakan Injili Amerika Latin. Pantekostalisme pertama kali tiba di wilayah itu pada awal tahun 1900-an. Pada 1960-an dan 70-an, Rene Padilla dari Ekuador dan Samuel Escobar dari Peru mulai memperdebatkan tentang misión integral (misi yang komprehensif), menantang kalangan Injili yang menurut mereka terlalu berfokus pada keselamatan pribadi individu dengan mengorbankan masalah sosial yang lebih besar. Palau tidak mengikuti pemikiran ini. Tulisannya dalam bahasa Spanyol mengkritik teologi pembebasan, dan pelayanannya berfokus pada pertobatan. Meski demikian, sebagian besar karyanya di kemudian hari berusaha melibatkan komunitas secara aktif, terutama di kota asalnya, Portland, Oregon.

“Palau memiliki cara yang luar biasa untuk mengkhotbahkan Injil sehingga mudah diterima dan menanamkan prioritas rohani yang bertujuan untuk keselamatan pribadi di dalam Kristus, tetapi ia juga memiliki kesadaran sosial tertentu,” kata profesor sejarah Notre Dame, Darren Dochuk. “Injil yang diberitakannya tidak bisa disebut Injil sosial yang lengkap, melainkan sebuah pesan dengan kesadaran akan masalah sosial.”

Pada tahun 1990-an, pelayanan global Palau mulai berfokus pada Amerika Serikat. Di bawah pengaruh putra-putranya, yang mengambil peran kepemimpinan aktif dalam pelayanan, pelayanan-pelayanan penginjilannya semakin ditandai dengan konser musik rock dan proyek pengabdian masyarakat. Pada tahun 1999, The New York Times mengadakan survei tentang siapa yang mungkin menggantikan Graham. Palau adalah kandidat pertama.

Meskipun menjalani kehidupan dewasanya di Amerika Serikat, Palau tetap terhubung dengan Amerika Latin, sebagian besar melalui radio — media yang sama di mana ia pertama kali mendengar Graham berkhotbah saat remaja, suatu peristiwa yang menginspirasi penginjilannya. Dia sering membeli jam tayang utama secara bersamaan untuk menyiarkan KKR-nya di televisi. Selain berkhotbah di hadapan umum, dia juga muncul di televisi lokal di wilayah itu, menjawab pertanyaan pemirsa dan memimpin penduduk setempat kepada Tuhan.

Palau dibesarkan di Ingeniero Maschwitz, sebuah kota kecil sekitar 30 mil di luar Buenos Aires. Ia lahir pada tahun 1934, sebagai satu-satunya anak laki-laki dari tujuh bersaudara. Ia dibesarkan dalam keluarga dwibahasa, karena orang tua dari ayahnya berimigrasi dari Spanyol setelah Perang Dunia I dan ibunya dari keluarga asal Skotlandia dan Prancis. Orang tua Palau, Luis Palau Sr. dan Matilde Balfour de Palau, menjadi Kristen setelah Edward Rogers, seorang eksekutif berpangkat tinggi di perusahaan minyak Inggris, memberi sebuah Alkitab kepada ibu Palau. Rogers memberi pengaruh rohani yang penting bagi Palau selama masa kanak-kanaknya, dan ketika ayah Palau tiba-tiba meninggal, Rogers membantu keluarganya secara finansial.

Pengalaman pertobatan Palau sendiri terjadi ketika dia berada di perkemahan musim panas tahun 1947, ketika seorang konselor perkemahan menuntunnya kepada Kristus.

“Anda tidak harus memiliki kisah yang mencengangkan tentang bagaimana Anda menerima Yesus. Yang penting itu adalah kisah Anda sendiri,” tulis Palau kemudian dalam sebuah memoar. “Sebagian orang mengalami cahaya yang turun dari surga, pengalaman jalan Damaskus yang membawa 'orang yang paling berdosa' ke dalam pelukan Yesus. Sebagian dari kita hanyalah anak-anak yang baru belajar apa artinya dosa, dan cahaya dari surga tampak seperti sinar lampu senter yang menyorot ke halaman Alkitab saat hujan turun. Yang paling penting dari pertobatan kita adalah realitasnya.”

Palau pertama kali belajar bahasa Inggris sejak usia muda melalui orang tuanya, yang menguasai dua bahasa. Sebagian besar pendidikannya juga dalam bahasa Inggris, pertama di sekolah asrama Inggris dan kemudian di akademi bergengsi yang berasosiasi dengan Universitas Cambridge.

Setelah menyelesaikan sekolah dan mendapatkan pekerjaan di cabang Bank London, Palau pertama kali mengenal suara Graham melalui radio saat remaja di Argentina. Dalam beberapa tahun kemudia, Palau sendiri mengajukan surat permohonan ke radio lokalnya untuk mengizinkan dia berkhotbah. Jika awalnya ia bercita-cita menjadi seorang pengacara, namun kini Palau mulai memimpikan pelayanan dengan skala global dan penginjilan massal yang menjadi ciri pelayanan penginjilan Graham. Kira-kira pada waktu yang bersamaan, ia mengikuti pelajaran Alkitab yang dipimpin oleh pendeta tamu dan penulis dari Amerika, Ray Stedman, yang selama beberapa bulan berikutnya mendesak orang Argentina itu pindah ke Amerika Serikat untuk pelatihan pelayanan.

Ketika ia tiba di San Francisco Bay Area California, Palau tinggal bersama Stedman, yang juga membimbing Chuck Swindoll muda. Bimbingan Stedman lebih dari sekadar menugaskannya membaca buku atau memberi nasihat. Dia membawa Palau bersamanya pada sesi konseling jemaat, menggodanya tentang latar belakang legalistiknya, dan meledeknya dengan cerita-cerita yang terus terang dan tampak tabu. Stedman mendorong Palau untuk belajar di Dallas Theological Seminary, tetapi Palau merasa gentar karena harus berkomitmen belajar selama empat tahun dan lebih memilih program satu tahun di Sekolah Alkitab Multnomah (sekarang Universitas Multnomah).

Di Multnomah, Palau bertemu istrinya, Patricia, seorang warga Oregon yang memiliki impiannya sendiri tentang penginjilan global. Setelah menikah, pasangan itu pindah ke Detroit sebelum akhirnya menghabiskan waktu di Costa Rika, Colombia, dan Meksiko dengan agen misi Overseas Crusades. Ketika keluarga mereka bertambah — mereka akhirnya memiliki empat anak laki-laki — keluarga Palau memutuskan untuk membesarkan anak-anak mereka di Oregon. Palau melanjutkan perjalanan pelayanan misi, sementara Pat tetap di rumah. Dia pernah menghitung, 57 tahun kehidupan pernikahan mereka, jika dikumulasikan, mereka telah menghabiskan 15 tahun secara terpisah karena perjalanan pelayanan misinya.

“Saya tidak pernah merasa kehilangan meski ada banyak momen yang sangat berharga dalam kehidupan putra-putra saya, yang datang dan pergi tanpa kehadiran saya,” tulis Palau kemudian. “Saya tidak menyesali pilihan itu. Memang, saya sangat sedih atas banyaknya kenangan yang harus dibuat tanpa saya di sana. ”

Palau sempat bertemu Graham sebentar ketika Graham mengunjungi Argentina, tetapi mereka bertemu lagi saat Palau mendekati usia 30 tahun. Palau meneladani Graham, meniru strateginya yang berpusat di kota, memilih pengusaha sukses untuk bergabung dengan dewan pelayanannya, mengaitkan khotbahnya dengan peristiwa terkini, mengajak atlet terkemuka untuk memberikan kesaksian di acara-acaranya, dan tidak mengadakan pelayanan KKR kecuali diundang oleh koalisi beragam gereja. Pada awal pelayanannya, ia menjadi penerjemah Graham, dan selama beberapa dekade pelayanan mereka yang panjang, mereka bermitra bersama di berbagai waktu.

Pelayanan KKR Palau sering kali dilanjutkan dengan pelayanan oleh gereja-gereja lokal dan lembaga-lembaga Alkitab selama puluhan tahun, yang kebanyakan dari mereka beraliran Pantekosta. Selain berbicara kepada orang banyak, Palau dan tim penginjilannya mengadakan pertemuan-pertemuan dengan para pemimpin wilayah. Pembicaraan dua belas menit yang dijadwalkan dengan Presiden Carlos Arana Osorio dari Guatemala jadi berlangsung selama satu jam; sang presiden menerima sebuah Alkitab dari Palau, menyatakan dia ingin mempelajarinya,” demikan dilaporkan CT pada tahun 1974.

Mungkin teman Palau yang paling terkenal adalah diktator Guatemala, yaitu Efraín Ríos Montt (yang menganggap sejumlah pemimpin Injili sebagai sahabatnya), yang kemudian dihukum karena genosida. (Putusan itu dibatalkan.) “Senang rasanya memiliki presiden Kristen sebagai teladan,” kata Palau kepada CT pada 1983. "Tangan Tuhan sepertinya ada di atasnya."

Terlepas dari pelayanan internasionalnya dan pergolakan politik yang dialami Amerika Latin pada paruh kedua abad ke-20, Palau dikenal sebagai orang yang jarang berkomentar tentang politik.

“Mereka yang dipanggil untuk memasuki arena politik harus menganggapnya sebagai pelayanan dari Tuhan. Saya tidak peduli apakah dia sayap kiri, sayap kanan, ateis, atau pemimpin agama; Saya selalu mengatakan kepada para politisi, ‘Posisi Anda adalah otoritas yang didelegasikan dari Tuhan, dan Anda adalah pelayan Tuhan,’ ” kata Palau pada tahun 1996. “Jadi saya mendorong mereka untuk memikirkan keadilan dan kebenaran, dan untuk membela yang miskin dan yang membutuhkan. Itulah peran seorang politisi.”

Selain hubungannya dengan para pemimpin politik, Palau juga berteman lama dengan pria yang kelak menjadi salah seorang Argentina terkenal di dunia: Jorge Bergoglio. Ketika temannya itu menjadi Paus Fransiskus pada tahun 2013, Palau menyambut baik pengangkatan tersebut.

“Pengangkatannya menjadi menarik karena ia berasal dari Argentina, karena kepribadiannya, dan karena keterbukaannya terhadap orang Kristen Injili,” ia berkata kepada CT di tahun 2013. “Saya menjadi agak emosional, hanya karena mengenalnya.”

Semangat kemitraan ekumenis ini juga menandai pelayanan KKR Palau, yang sering kali mencerminkan kemitraan selama berbulan-bulan dengan gereja-gereja lokal dan membangun kepercayaan di antara orang-orang Kristen yang telah lama terasing. Secara rutin, kolaborasi ini diperluas lebih dari sekadar menjangkau jemaat-jemaat Protestan. Di negara-negara seperti Mesir dan Rusia, di mana kaum Injili dan Kristen Ortodoks telah lama berselisih, pelayanan KKR Palau berfungsi sebagai katalisator untuk kemitraan. Di Amerika Tengah, umat Katolik dan Kristen Karismatik menghadiri acara-acaranya.

Namun kemitraan yang erat ini tidak sampai ke negara angkatnya. Pada tahun 1976, Palau membatalkan pelayanan KKR di Chicago, yang menargetkan orang-orang Kristen Hispanik, karena perpecahan antara Kristen Pantekosta dan non-Pantekosta.

“Menariknya, Amerika adalah negara di dunia yang sangat sulit mengajak antar denominasi gereja agar bekerja sama. Amerika punya tema ‘satu bangsa di bawah pimpinan Tuhan,’ tapi itu hanyalah teori,” kata Palau kepada CT di tahun 1996. “Pelayanan utama dalam KKR sekota bukanlah untuk menyentuh orang yang belum bertobat. Pelayanan ini justru menyatukan gereja-gereja agar menyentuh orang-orang yang belum bertobat.”

Meskipun Palau berlatar belakang Argentina, namun ketika ia meninggalkan Amerika Selatan, pelatihan teologis, hubungan, dan struktur pelayanan Palau membuat sebagian besar orang di dunia menganggapnya sebagai orang Amerika.

“Dia mengadopsi model Billy Graham. Dia memiliki organisasi hebat di belakangnya, yang menyediakan akuntabilitas, keahlian manajerial, penggalangan dana, legitimasi,” kata Daniel Ramirez, profesor agama di Claremont Graduate University. “Itu semua berasal dari Amerika Serikat. Itu tidak datang dari Amerika Latin. ”

Seiring waktu, kehadiran Palau di Amerika Serikat menjadi lebih kuat — dan mulai membedakan pelayanannya dari model yang selama ini sering dipakainya dalam berbagai pelayanan internasionalnya. Putra-putranya meyakinkan dia untuk mengganti kata pelayanan KKR dengan festival — sebuah saran yang pada awalnya dia gumulkan. Dia, seperti banyak orang sezamannya, mulai beralih tempat dari arena olahraga menjadi ke taman di pusat kota. Banyak acaranya juga mulai memasukkan proyek pengabdian masyarakat. Selama liburan musim semi, dia berbicara kepada puluhan gereja melalui jaringan satelit, mendorong jemaat untuk menjangkau mahasiswa melalui pesta pantai dengan band lokal, pembicara, dan olah raga lokal.

“Dia jelas sangat ortodoks dan sekaligus tidak menjengkelkan,” kata Ed Stetzer, direktur eksekutif dari Wheaton College Billy Graham Center. “Itu adalah sesuatu yang tidak semua orang bisa lakukan di panggung nasional. Dia melakukan.”

Beberapa tahun kemudian, pelayanannya yang berbasis di wilayah Portland juga menarik perhatian karena membangun hubungan yang intensional dengan walikota pada saat itu, yang secara terbuka mengakui dirinya gay, dan berkolaborasi dengan kota yang memiliki reputasi sekuler dan progresif. Kadangkala, Palau merasa khawatir fokus pelayanan yang berkembang di sana untuk melayani komunitas, dapat membayangi penginjilan yang menjadi panggilannya.

“Kami mengambil risiko sepenuhnya dan menjadi seperti kaum liberal,” katanya kepada CT pada 2008. “Kita tidak boleh mengurangi efektivitas Injil karena kita sedang makan siang dengan politisi. Saya berkomitmen untuk memberitakan darah Yesus dan salib Yesus.”

Melalui festival-festival Amerika yang ia adakan, dia juga membangun hubungan secara intensional dengan komunitas masyarakat Latin.

“Orang Latin berada dalam posisi terbaik untuk menyebarkan pesan Injil ke negara ini karena komitmen kita yang tinggi kepada keluarga dan karena orang Hispanik merasa telah meninggalkan lnjil,” kata Palau. “Saya baru saja menyebutkan sebuah ayat Alkitab dan mereka bertepuk tangan!” Pada pertemuan di Paviliun Universitas Illinois – Chicago, Palau menyebutkan bagian pertama dari sebuah ayat Alkitab dan para hadirin menyuarakan bagian selanjutnya.

Palau juga percaya bahwa orang Latin dapat menjembatani komunitas kulit putih dan hitam yang terpolarisasi. “Kita tidak mengisolasi diri dari masalah kota seperti yang dilakukan orang kulit putih, dan kita tidak memiliki luka sejarah yang sama dengan komunitas Afrika-Amerika,” katanya.

“Lonjakan orang Latin dalam gerakan Injili juga akan mengubah gereja Injili itu sendiri,” kata Palau. “Gereja Injili arus utama sudah terlalu nyaman dalam budaya ini. Gereja telah kehilangan apinya, keyakinannya tentang benar dan salah.”

Terlepas dari polemik situasi politik di banyak negara tempat Palau bepergian, ia berusaha menghindari pelanggaran, dengan beberapa pengecualian. Pada tahun 1977, Palau berbicara kepada lebih dari 60.000 orang di Wales selama sebulan. Namun pada tahun 2005, kota Cardiff membatalkan acara untuk Palau karena “kepercayaan Injili yang ekstrim.” Pada tahun yang sama, Palau mendesak gereja-gereja rumah di China untuk secara resmi mendaftarkan gereja mereka agar “menerima kebebasan dan restu yang lebih besar dari pemerintah.” Pernyataannya memicu penolakan tajam dari para pendukung kebebasan beragama.

Bahkan ketika pelayanannya berkembang di Amerika Serikat, Palau menyesali kurangnya semangat Barat untuk penginjilan.

“Meski demikian, di Amerika Utara dan Eropa, saya menemukan bahwa meskipun ada banyak diskusi tentang penginjilan, penginjilan yang sebenarnya sulit untuk dideteksi,” katanya kepada CT pada tahun 1998. “Orang-orang Kristen Injili di Amerika Utara dengan senang hati membayar berapa pun jumlahnya untuk pergi ke suatu konser. Mereka mengisi pusat perkantoran untuk pertemuan-pertemuan ibadah dan bahkan menghadiri konvensi doa syafaat peperangan rohani. Tetapi ketika berhadapan muka dengan peperangan yang sesungguhnya, yaitu berbicara kepada orang-orang dengan ramah namun langsung menyatakan tentang kebutuhan mereka akan Kristus, tiba-tiba jumlahnya berkurang. Pada banyak gereja, tanggapan terhadap tantangan untuk memberitakan Injil ke kota mereka adalah, ‘Mengapa kita harus melakukan ini?’ dan ‘Ini mahal.’ ”

Lebih dari 15 tahun kemudian, Palau memperkuat keyakinannya.

“Kita orang Kristen — dan terutama Anglo-Saxon — memiliki gagasan bahwa kita tahu apa yang dipikirkan orang lain bahkan sebelum kita mulai berbicara dengannya. Sebenarnya kita tidak tahu, ”kata Palau. “Roh Kudus berkata Ia akan menginsafkan dunia dari dosa, kebenaran, dan penghakiman. Apakah kamu percaya itu? Aku percaya.”

Palau meninggalkan istri, empat putra, dan banyak cucu.

Diterjemahkan oleh: Denny Pranolo

What do you think of this translation? Interested in helping us improve the quality and the quantity? Share your feedback here.

This article is 1 of 500+ CT Global translations—including Indonesian.

You can also now follow CT in Bahasa Indonesia by email, Facebook, Twitter and Telegram.

Di Manakah Injil dalam Penghakiman Tuhan atas Bangsa-bangsa?

Bagaimana menemukan yang baik, benar, dan indah dalam perikop yang sepertinya sama sekali tidak mengandung semua hal tersebut?

Christianity Today February 24, 2021
Illustration by Rick Szuecs / Source images: Creative Commons / Envato

Bagian-bagian tersulit dari Alkitab, menurut pengalaman saya, bukanlah ayat-ayat yang tidak Anda mengerti. Gagal memahami dapat menjadi sesuatu yang baik; hal itu bisa mendorong pemikiran, penyelidikan, dan penemuan. Bukan, masalah sebenarnya muncul ketika Anda tahu persis apa yang terjadi, tetapi pesannya tidak terlihat baik, benar, atau indah. Pikirkan, misalnya, nubuat para nabi tentang penghakiman atas bangsa-bangsa, yang mengisi halaman demi halaman yang menakutkan, yang (tampaknya) tanpa pengharapan, tidak ada penerapan untuk masa kini, dan tanpa akhir yang terlihat.

Tujuh pasal terakhir dari Yeremia adalah contohnya. Bagaimana bisa, sebuah kitab yang berisi janji-janji yang begitu mulia, namun memiliki akhir yang sangat suram? Ada sembilan nubuat penghakiman terhadap bangsa-bangsa — Mesir, Filistia, Moab, Amon, Edom, Damaskus, Kedar dan Hazor, Elam, dan Babel — yang diikuti dengan kehancuran Yerusalem. Penghakiman-penghakiman tersebut sangat berat dan terkadang tergambar dengan sangat jelas. Empat bangsa masing-masing menerima satu ayat berisi janji tentang belas kasihan di masa yang akan datang (46:26; 48:47; 49:6; 49:39), tetapi ini hanyalah empat tetes harapan dalam tujuh pasal gurun malapetaka. Bagaimana kita menemukan kebaikan, sukacita, dan Injil di dalam pasal-pasal ini? Sebagaimana yang sering terjadi di dalam Perjanjian Lama, kita menemukan jawabannya di dalam kisah Keluaran.

Pasal-pasal terakhir dari kitab Yeremia berisi sepuluh penghakiman ilahi: Sembilan penghakiman terhadap bangsa asing, dan yang terakhir atas bangsa Yehuda sendiri. Yehezkiel 25–33 juga memiliki urutan yang sama: Sembilan nubuat atas bangsa-bangsa dan raja mereka, diikuti dengan kehancuran Yerusalem. Dan pola serupa terjadi dalam Yesaya 13–23. Itu tidak mungkin hanya suatu kebetulan.

Sepuluh, tentu saja, adalah angka yang sangat penting dalam kisah Keluaran. Kita semua tahu Sepuluh Perintah Tuhan, dan kita juga mungkin ingat angkatan di padang gurun yang kehilangan hak untuk masuk ke Tanah Perjanjian karena tidak menaati Allah sepuluh kali (Bil. 14:22-23). Yang lebih penting lagi, ada sepuluh tulah yang diberikan atas suatu bangsa asing (Mesir), di mana tulah yang terakhir membuahkan pembebasan Israel pada tengah malam. Karena tulah-tulah tersebut adalah contoh alkitabiah yang paradigmatis tentang penghakiman atas bangsa-bangsa asing, maka sangat mungkin Yeremia, Yesaya, dan Yehezkiel dengan sengaja menyampaikan nubuat-nubuat mereka sebagai tulah-tulah penghakiman.

Jika mengamati lebih dekat, kita melihat petunjuk lain. Yeremia mengawali nubuat-nubuatnya dengan Mesir (46:2). Ia mengakhirinya dengan suatu pelarian di tengah malam, dengan musuh-musuh gencar mengejar (52:7–9). Penggambaran Yeremia di dalam pasal-pasal ini meliputi sungai Nil, lalat-lalat pikat, ternak-ternak yang mati, belalang, penghakiman atas Firaun dan dewa-dewa Mesir, penunggangbalikan kuda-kuda dan kereta-kereta kuda, dan laut yang mengering.

Jika kita membaca Yeremia dengan mengingat hal tersebut, maka setidaknya tiga hal menjadi lebih jelas. Yang pertama adalah bahwa kita sedang menyaksikan suatu peperangan para dewa. Berulang kali, Yeremia mengingatkan kita bahwa Amon, Ra, Kamos, Molokh, Bel, Marduk, dan dewa-dewa lainnya sedang dibongkar sebagai sebuah kebohongan. Budaya kita mungkin menyembah dewa-dewa yang berbeda — Ares, Mammon, Bakus, Afrodit, Gaia — tetapi mereka juga sama tidak berdayanya untuk menyelamatkan. Ketika Tuhan mendatangkan penghakiman, ketidakmampuan mereka terungkap, dan hal ini menjadi alasan untuk mengadakan perayaan.

Penyingkapan kedua adalah bahwa penghakiman puncak ditimpakan atas umat Allah. Dalam Keluaran, tulah kesepuluh melanda Mesir, dan Firaun kehilangan anak sulungnya. Namun dalam kitab Yeremia, penghakiman kesepuluh menimpa Yerusalem, dan Raja Zedekia kehilangan kedua putranya sebelum ia sendiri dibutakan dan diangkut ke Babilonia. Penindasan dan penyembahan berhala yang dilakukan oleh bangsa-bangsa itu telah memicu tulah-tulah penghakiman; di Sion konsekuensinya bahkan lebih buruk. Israel tidak bisa mengkambinghitamkan dunia yang berdosa sementara masih ada berhala di tempat yang kudus.

Hal ketiga yang perlu diperhatikan adalah bahwa setelah tulah kesepuluh, datanglah pembebasan. Dalam kitab Keluaran, setelah umat Allah terjerumus ke dalam perbudakan selama empat abad, datanglah penghakiman dan dengan anugerah, mereka dibebaskan dari penawanan. Yeremia juga mengakhiri dengan cara yang sama. Umat Tuhan telah terjerumus ke dalam penyembahan berhala selama empat abad, dan datanglah penghakiman. Tetapi empat ayat terakhir menunjukkan bahwa Raja Yoyakhin dilepaskan dari penawanan dengan penuh anugerah, diberi pakaian baru, diangkat lebih tinggi dari semua raja lainnya, dan duduk semeja dengan raja (52:31-34).

Di tengah penghakiman, Tuhan tetap memberi anugerah. Yoyakhin memiliki harapan dan masa depan, begitu pula dengan rakyatnya. Bertahun-tahun kemudian, salah satu dari mereka akan ditinggikan dari penjara kematian, diberi pakaian baru, diangkat lebih tinggi dari raja-raja dan bangsa-bangsa, dan duduk semeja dengan raja. Dan Ia akan mengundang semua orang — termasuk orang asing seperti saya dari bangsa penyembah berhala yang pantas dihakimi — untuk bergabung dengan-Nya.

Andrew Wilson pendeta pengajar di King’s Church London dan penulis God of All Things. Ikuti dia di Twitter @AJWTheology.

Penerjemah: Kalvin Budiman

What do you think of this translation? Interested in helping us improve the quality and the quantity? Share your feedback here.

This article is 1 of 350+ CT Global translations—including Indonesian.

You can also now follow CT in Bahasa Indonesia by email, Facebook, Twitter and Instagram.

Catatan dari Para Editor Mengenai Penyelidikan Terhadap Ravi Zacharias

Mengapa kami melaporkan kabar buruk tentang para pemimpin — bahkan setelah mereka meninggal.

Christianity Today February 16, 2021
Michal_edo / Getty Images

Christianity Today dimotivasi oleh kasih yang mendalam kepada gereja. Kasih yang demikian terkadang menyakitkan, terutama ketika hal itu berarti melaporkan bukti perilaku yang berbahaya yang dilakukan oleh para pemimpin pelayanan. Pernyataan-pernyataan seperti ini sulit kami publikasikan, dan mungkin sulit dibaca. Selama bertahun-tahun, beberapa pembaca bertanya-tanya mengapa kami menerbitkan bukti pelanggaran yang dilakukan oleh para pemimpin pelayanan yang telah berbuat baik di dunia. Para pembaca lainnya, yang mendukung pelaporan investigasi secara umum, berpendapat bahwa publikasi bukti pelanggaran itu seharusnya ditujukan di luar komunitas Kristen kita. Tetapi komitmen kami untuk mencari kebenaran melampaui komitmen kami terhadap kelompok. Dan dengan melaporkan kebenaran, kami peduli dengan komunitas kami.

Kasih mendorong kita untuk mengasihi mereka yang terluka oleh para pemimpin pelayanan — bukan hanya para korban itu sendiri, tetapi juga banyak orang lain yang melihat dampak dari dosa dan pelecehan para pemimpin dan yang bertanya-tanya apakah orang Kristen benar-benar peduli. Kasih yang mendalam terhadap gereja juga mendorong kita untuk mencintai pemimpin pelayanan yang bersalah. Seringkali, mereka butuh penyingkapan untuk menuntun mereka pada pertobatan.

Kasih mendorong kami untuk menyelidiki segala tuduhan — atau melanjutkan penyelidikan kami — bahkan ketika pemimpin yang tertuduh itu telah tiada. Kehancuran akibat dosa tetap ada meski pemimpin pelayanan telah meninggal. Haruskah kita meminta para korban untuk memikul beban, trauma, dan rasa malu dari pengalaman-pengalaman mereka sendirian dalam kegelapan? Tidak. Entah perbuatan-perbuatan baik dari pemimpin pelayanan ataupun kematiannya, tidak boleh membungkam para korbannya. Dan orang yang berdosa membutuhkan anugerah yang hadir bersama terang. Kematian menghalangi kesempatan untuk pertobatan orang berdosa, tetapi tidak menghalangi kesempatan untuk pemulihan dan kebebasan bagi korban.

Seluruh gereja memerlukan penerangan tersebut, sesakit apapun itu. Christianity Today tidak melakukan pekerjaan yang panjang dan mahal untuk menyelidiki tuduhan dalam rangka membuat daftar orang berdosa yang terkenal jahat. Tujuan kami adalah koreksi — bukan hanya bagi para pemimpin yang kami laporkan, tetapi juga untuk kita semua.

Alkitab berbicara dengan sangat gamblang tentang kekurangan dan kegagalan tokoh-tokohnya yang paling heroik sekalipun. Pahlawan utama dari kisah-kisah biblikal, dan pahlawan utama dari kisah kita sendiri, bukanlah manusia dalam segala dosanya, tetapi Tuhan yang bekerja melalui orang-orang berdosa untuk menebus mereka dan mencapai tujuan-Nya. Ketika Kitab Suci merinci kesalahan-kesalahan pedih dari para pahlawannya, itu “bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.” (2Tim. 3:16). Kami tidak mengedit bagian itu. Dengan cara yang sama kami juga enggan untuk mengesampingkan atau meremehkan tuduhan terhadap para pemimpin Kristen. Kami berusaha untuk menyelidiki dan melaporkan kisah-kisah ini secara adil. Kami tidak menyalahgunakan rasa bersalah, dan kami tidak mengistimewakan yang berkuasa; kami berharap pembaca kami menghindari kesalahan-kesalahan itu juga.

Kami melaporkan kisah-kisah ini agar gereja dapat belajar darinya. Kisah-kisah ini mengingatkan kita akan kerentanan kita sendiri, kebutuhan kita akan transparansi dan akuntabilitas, dan pada akhirnya kebutuhan semua orang akan anugerah dari Yesus Kristus dan karya transformatif dari Roh Kudus. Tetapi kami juga menyadari bahwa orang-orang di dalam kisah-kisah kami bukanlah sekadar ilustrasi khotbah. Mereka yang telah dieksploitasi tidak berada di sini untuk membantu kami. Kami di sini untuk membantu mereka: untuk meluruskan, mengungkap ketidakadilan dan kemunafikan, memberikan suara bagi yang terluka, meratap bersama mereka, dan untuk meyakinkan orang lain seperti mereka bahwa mereka tidak sendirian. Penghakiman hanya milik Allah. Tetapi membawa terang pada kegelapan adalah tanggung jawab kita semua, bahkan saat kita berduka.

Penerjemah: Maria Fennita S.

What do you think of this translation? Interested in helping us improve the quality and the quantity? Share your feedback here.

This article is 1 of 350+ CT Global translations—including Indonesian.

You can also now follow CT in Bahasa Indonesia by email, Facebook, Twitter and Telegram.

Di mana Dua atau Lebih Divaksinasi: Nasihat untuk Gereja-gereja di Tahun 2021

Lima saran berbasis sains untuk berkumpul dan beribadah dengan aman seiring vaksin COVID-19 mulai tersedia.

Christianity Today February 11, 2021
Illustration by Rick Szuecs / Source images: Twenty20Photos / Pressmaster / DavidPereiras / Envato / Anete Lusing / Emre Kuzu / Pexels

Setelah 10 bulan pertemuan tatap muka terbatas atau program online, jemaat gereja — seperti masyarakat lainnya — merasa lelah akibat pandemi. Kita berharap ketersediaan vaksin COVID-19 akan memungkinkan masyarakat dan gereja kita kembali normal. Tetapi untuk kembali normal akan membutuhkan waktu.

Sayangnya, banyak saudara dan saudari kita yang Kristen, yang tinggal di negara berpenghasilan rendah dan menengah, di mana saya telah bekerja selama lebih dari 25 tahun untuk menghentikan penyebaran penyakit menular, tidak akan menerima vaksin hingga tahun 2022 atau lebih. Pada negara-negara seperti AS di mana ketersediaan vaksin COVID-19 dimulai Desember lalu, para ahli memperkirakan COVID-19 akan turun sebelum cakupan vaksinasi mencapai 70–90 persen dan kekebalan kelompok (herd immunity) diharapkan bisa tercapai . Hanya dengan demikian, masyarakat dapat mulai melanjutkan kegiatan-kegiatan yang lebih normal. Beberapa bulan ke depan akan menjadi masa transisi ketika individu-individu yang sudah divaksinasi dan yang belum divaksinasi berbaur dalam komunitas kita, tetapi masih belum aman untuk kembali pada kehidupan normal.

Selama masa transisi ini di Amerika Serikat, bagaimana seharusnya para pemimpin gereja memutuskan pertemuan tatap muka untuk gereja mereka? Karena vaksinasi akan dilanjutkan pada tingkat yang berbeda di komunitas yang berbeda dan vaksinasi jemaat gereja akan bervariasi, bahkan antar gereja dalam komunitas yang sama, maka tidak ada pendekatan tunggal untuk berkumpul kembali.

Saat berkonsultasi dengan empat gereja di kota asal saya di Seattle untuk merencanakan transisi ini, saya telah melihat para pemimpin bergumul dengan masalah yang kompleks di hadapan mereka. James Broughton, pendeta senior dari jemaat yang sebagian besar orang Afrika-Amerika, berkata, “Ini adalah situasi yang rumit — dengan begitu banyak bagian yang bergerak. Kami sangat membutuhkan hikmat ilahi, yang mencakup pengetahuan ilmiah, untuk mengetahui apa yang harus dilakukan.” Semua orang yang saya ajak bicara itu, melihat perlunya diskusi terbuka di dalam gereja dan pentingnya untuk memiliki perencanaan sebelum gereja-gereja dihadapkan pada tekanan yang berbeda untuk berkumpul kembali.

Untuk menavigasi masa transisi ini, saya akan menjelaskan bagaimana vaksinasi COVID-19 memengaruhi keputusan-keputusan tentang pertemuan gereja dan saya juga memberikan lima saran yang dapat membantu gereja mengembangkan rencana untuk berkumpul kembali seiring meningkatnya cakupan vaksinasi.

Seperti dalam artikel CT saya sebelumnya tentang pertemuan gereja selama pandemi ini, saya mencoba untuk memahami panggilan Allah bagi gereja-Nya dengan menggunakan dua petunjuk: kebenaran alkitabiah dan pengetahuan ilmiah, yang keduanya telah diberikan oleh Allah.

Bagaimana vaksinasi COVID-19 memengaruhi pertemuan gereja

Dinyatakan secara eksplisit atau tidak, para pemimpin gereja sedang menyeimbangkan tiga faktor ketika mereka mempertimbangkan pertemuan gereja selama pandemi ini: kebutuhan dan keinginan jemaat untuk berkumpul, tingkat infeksi COVID-19 di masyarakat, serta risiko infeksi dan komplikasi COVID-19 di antara jemaat gereja. Saya membuat tiga gambaran untuk menggambarkan bagaimana faktor-faktor pertemuan gereja ini mempengaruhi tiga periode vaksinasi:

Masa vaksinasi parsial akan berlangsung sampai ada kekebalan kelompok terhadap COVID-19 dan tingkat infeksi menurun ke tingkat yang rendah. Lamanya waktu yang dibutuhkan dipengaruhi oleh ketersediaan, efektivitas, dan serapan dari vaksin COVID-19 serta penularan varian baru COVID-19. Media akan memberitakan tentang hal-hal ini pada bulan-bulan mendatang, dan rencana gereja mungkin perlu disesuaikan seiring informasi baru tersedia. Meski demikian, berikut ini adalah latar belakang dari dua masalah yang penting:

Pertama, para ilmuwan masih tidak yakin apakah orang yang divaksinasi, yang tampaknya tidak sakit akibat COVID-19, dapat menampung virus tersebut dan menyebarkannya ke orang lain . Vaksin yang baru-baru ini telah disetujui dapat mengurangi risiko penyakit COVID-19 hingga lebih dari 90 persen, termasuk komplikasi serius dari virus tersebut. Tetapi jika virus itu dapat menyebar melalui orang yang divaksinasi, maka kita harus terus menggunakan masker, menjaga jarak fisik, dan cara-cara lain untuk melindungi individu yang sudah divaksinasi dari COVID-19, dengan cara yang sama kita melindungi individu yang belum divaksinasi. Akan tetapi, tujuannya bukan untuk mencegah komplikasi COVID-19, melainkan untuk membatasi penyebaran virus tersebut.

Kedua, varian COVID-19 yang menyebar cepat di berbagai belahan dunia tampaknya 10–70 persen lebih mudah menular. Ini merupakan perkembangan yang mengkhawatirkan karena varian ini dapat memperburuk dan memperpanjang pandemi. Untungnya, sebagian besar ilmuwan percaya vaksin COVID-19 saat ini seharusnya tetap efektif melawan varian ini.

Karena penyebaran varian COVID-19 ini dapat memperlambat waktu tercapainya kekebalan kelompok, maka kebutuhan gereja kita untuk memiliki rencana tentang bagaimana dan kapan berkumpul menjadi lebih besar dari sebelumnya. Jika varian virus ini menjadi lebih banyak di komunitas kita seperti yang diperkirakan, maka kita memerlukan saran-saran di bawah ini lebih lagi, untuk meminimalkan penyebaran COVID-19 di gereja kita. Karena COVID-19 dan semua variannya menyebar melalui sekresi hidung dan tetesan kecil dari saluran pernapasan, maka cara untuk mencegah penularannya tetaplah sama. Oleh karena itu, saran-saran saya tetap relevan meski dengan penyebaran varian tersebut.

Lima saran untuk rencana pertemuan selama periode vaksinasi parsial

1. Gunakan tingkat infeksi COVID-19 sebagai panduan utama pertemuan jemaat.

Jika pertemuan tatap muka dilanjutkan selama periode ini, jemaat yang sudah divaksinasi dan yang belum divaksinasi akan berbaur satu sama lain. Karena kekebalan kelompok belum tercapai, maka tingkat infeksi COVID-19 di komunitas kita akan tetap tinggi. Mengingat kegiatan gereja kita memfasilitasi penyebaran virus (jika melanjutkan pertemuan tatap muka selama periode vaksinasi parsial ini), maka masih terjadi penularan berisiko tinggi di antara jemaat yang belum divaksinasi dan bahkan antara jemaat yang belum divaksinasi dan yang sudah divaksinasi. Jika para ilmuwan menentukan bahwa individu-individu yang sudah divaksinasi masih dapat menampung virus dan menyebarkannya, maka bahkan setelah sebagian besar orang divaksinasi, risiko penyebaran mungkin tetap tinggi selama tingkat infeksi COVID-19 di masyarakat tetap tinggi (lihat gambar atas). Hanya ketika tingkat infeksi menurun ke tingkat yang lebih rendah maka risiko penularan antar jemaat juga akan menurun dan kemudian pertemuan tatap muka dapat dilanjutkan dengan aman (lihat gambar bawah).

Oleh karena itu, masa vaksinasi parsial ini merupakan waktu yang sangat rumit karena risiko komplikasi COVID-19 bagi jemaat yang belum divaksinasi belum berkurang, tetapi keinginan untuk berkumpul kemungkinan akan meningkat. Ini pasti akan mempengaruhi keputusan gereja untuk berkumpul. Oleh karena itu, keputusan mengenai kapan waktu yang aman untuk jemaat (baik yang sudah maupun yang belum divaksinasi) untuk berkumpul, harus didasarkan pada tingkat infeksi COVID-19 di komunitas dan bukan pada proporsi jemaat yang divaksinasi.

2. Pertimbangkan untuk mengizinkan jemaat yang sudah divaksinasi untuk berkumpul secara terpisah.

Meski gereja-gereja dapat memilih untuk berkumpul hanya jika jemaat yang sudah dan yang belum divaksinasi dapat berbaur dengan aman, namun ada pilihan untuk berkumpul lebih awal hanya dengan jemaat yang sudah divaksinasi. Karena jemaat yang sudah divaksinasi terlindung dari komplikasi COVID-19 yang serius, maka jauh lebih aman bagi mereka untuk berkumpul di dalam ruangan, bahkan ketika tingkat infeksi di masyarakat tinggi. Banyak dari anggota gereja kita yang lanjut usia dan lebih rentan, yang akan divaksinasi lebih awal, mungkin menyambut kesempatan untuk berkumpul lebih awal sebelum semua orang dapat melakukannya dengan aman. Langkah pertama yang mudah adalah kelompok kecil untuk individu-individu yang divaksinasi.

Namun, para pemimpin gereja mungkin memiliki keberatan untuk memisahkan jemaat mereka menjadi beberapa kelompok. Laurie Brenner, seorang pendeta dari gereja sekitar Seattle yang sangat aktif dalam komunitas, berkata, “Di gereja saya yang berukuran sedang, ada ketegangan yang nyata. Pada satu sisi kami tidak ingin memisahkan jemaat; di sisi lain, orang-orang ingin bertemu secepatnya.”

Tetapi para pemimpin gereja yang saya ajak bicara umumnya percaya bahwa sangat mungkin untuk mengatur pertemuan hanya untuk mereka yang telah divaksinasi. Broughton berkata, “Kelompok-kelompok sudah bermunculan secara spontan yang menyatukan orang-orang dengan risiko COVID-19 yang lebih rendah. Kelompok-kelompok ini dikelola oleh para anggotanya sendiri. Saya juga melihat hal yang sama dengan anggota-anggota jemaat yang sudah divaksinasi.” Brenner menambahkan, “Kami perlu bekerja untuk memastikan bahwa vaksinasi tidak membuat kelompok-kelompok yang ada menjadi terpisah.”

Secara umum, gagasan tentang struktur paralel untuk jemaat yang sudah dan belum divaksinasi tampaknya beresonansi dengan para pemimpin ini. George Hinman, pendeta senior dari gereja multigenerasi besar yang saya hadiri, berkata, “Saya dapat menerima gagasan untuk mengadakan kebaktian hanya bagi orang-orang yang sudah divaksinasi, jika kita juga memberi pilihan lain bagi orang-orang untuk beribadah terlepas dari status vaksinasi mereka. Kita perlu memberi pengalaman yang dapat diakses oleh semua orang.”

Meski demikian, membatasi pertemuan hanya untuk jemaat yang sudah divaksinasi dapat menjadi tantangan karena gereja-gereja mungkin enggan meminta bukti vaksinasi untuk masuk melewati pintu mereka. Namun, ide ini bukanlah hal baru; penggunaan tiket kesehatan bisa menjadi hal biasa dalam beberapa bulan mendatang.

3. Lakukan pendekatan yang bijaksana untuk memulai kembali bentuk pertemuan tatap muka yang spesifik.

Kita membutuhkan rencana yang bijaksana karena kegiatan gereja yang berbeda memiliki risiko penularan COVID-19 yang berbeda. Kegiatan-kegiatan yang berisiko lebih tinggi untuk penularan COVID-19 melalui udara, seharusnya dimulai hanya ketika tingkat infeksi rendah, sedangkan kegiatan-kegiatan yang berisiko lebih rendah dapat dimulai pada tingkat infeksi yang lebih tinggi. Selain itu, lebih mudah untuk mengurangi penularan COVID-19 dalam beberapa kegiatan dibanding yang lainnya.

Tabel di bawah ini memberikan panduan tentang kegiatan tatap muka yang dapat dimulai setelah tingkat infeksi COVID-19 turun ke ambang batas tertentu. Tabel tersebut dibangun berdasarkan langkah perencanaan gereja untuk pembukaan kembali, yang saya tulis di artikel CT sebelumnya dan pada tabel itu saya juga memberikan ambang batas infeksi untuk langkah-langkah tersebut. Bagi mereka yang tinggal di Amerika Serikat, bagian yang rumit adalah tidak adanya standar nasional untuk tingkat infeksi yang tinggi atau rendah, meskipun departemen kesehatan telah menemukan ambang batas infeksi yang serupa untuk penggunaannya . Saya telah menyesuaikannya untuk langkah-langkah yang ada di tabel.

Salah satu aspek yang membingungkan adalah tingkat kasus COVID-19 terkadang disajikan sebagai jumlah total kasus selama 7 atau 14 hari terakhir per 100.000 penduduk, bukan jumlah kasus harian per 100.000 penduduk. Dalam tabel tersebut, rekomendasi yang saya berikan memakai angka harian sebagai ambang batas, jadi Anda mungkin harus mengubah angka dari Departemen Kesehatan di wilayah Anda untuk menggunakan tabel itu atau menggunakan papan instrumen global dengan informasi ini, seperti yang digunakan oleh STAT News . Ingatlah selalu bahwa pengujian COVID-19 yang tidak memadai dapat membuat tingkat infeksi yang sebenarnya menjadi rendah; oleh karena itu, di dalam komunitas dengan pengujian yang tidak memadai, lebih ketatlah dalam memulai kegiatan.

Seiring dengan semakin banyaknya informasi yang tersedia atau munculnya panduan-panduan yang lebih jelas, ambang batas dalam tabel tersebut mungkin perlu disesuaikan. Gereja-gereja dapat memilih ambang batas yang sedikit lebih tinggi atau lebih rendah untuk memulai kegiatan. Dengan varian COVID-19 yang menyebar dengan cepat, maka semakin penting untuk memulai kegiatan di setiap ambang batas dengan jumlah individu yang lebih sedikit. Mengingat bahwa tingkat infeksi telah meningkat tajam dalam beberapa bulan terakhir di berbagai daerah, maka akan dibutuhkan waktu yang lama sebelum tingkat infeksi menurun ke level yang memungkinkan pertemuan di dalam ruangan untuk jemaat yang belum divaksinasi.

4. Mendorong jemaat untuk mengurangi risiko terpapar COVID-19.

Seiring tersedianya vaksin COVID-19, banyak pengunjung gereja berada dalam kelompok prioritas yang lebih rendah untuk vaksinasi, dan beberapa mungkin tidak pernah divaksinasi, baik karena pilihan atau karena alasan kesehatan. Terlepas apapun alasannya, penting bagi jemaat yang tidak divaksinasi di mana pun mereka berada, untuk dapat berkumpul dengan aman bersama orang lain di gereja mereka.

Para pakar pengendalian penyakit telah lama menyadari pentingnya perubahan perilaku dalam membantu orang-orang mengurangi risiko terpapar penyakit menular. Sebelum jemaat gereja kita berkumpul, kita dapat meminta mereka untuk mengubah perilaku mereka untuk mengurangi risiko terpapar COVID-19.

Risiko terpapar virus sesederhana berbagi udara yang dihirup orang lain. Jemaat kita dapat menurunkan risiko ini dengan mengurangi kontak dekat mereka dengan orang lain (didefinisikan seperti berada dalam jarak enam kaki [sekitar 2 meter] dari orang lain setidaknya selama 15 menit) dan meningkatkan penggunaan masker wajah, menjaga jarak fisik, dan ruangan yang berventilasi baik saat bertemu dengan orang lain.

Ketika kita berkumpul dengan orang lain di gereja, kita bisa mengasihi saudara-saudari kita dengan melindungi mereka dari bahaya virus ini. “Adalah adil untuk meminta orang-orang mengurangi risiko demi orang lain. Saya percaya, bahkan adil untuk meminta vaksinasi sebelum berkumpul. Tetapi penting untuk tidak mengecualikan orang-orang. Kita perlu memberikan opsi untuk semua orang,” kata Hinman.

“Gereja kami menekankan pentingnya pertanggungjawaban pribadi dan bukan hanya apa yang diamanatkan oleh gereja,” kata Elton Lee, seorang penatua dari sebuah gereja Tionghoa Amerika yang besar, yang bersyukur atas anggota-anggota jemaat yang mengambil tanggung jawab untuk melindungi orang lain. “Gereja dapat memberikan pedoman, tetapi tergantung individu-individu untuk mematuhinya.”

Untuk membantu jemaat kita mengambil tanggung jawab, akan sangat membantu jika mereka mengetahui tingkat risikonya. Beberapa aplikasi dirancang untuk membantu individu memperkirakan risiko tertular COVID-19 dalam sebuah pertemuan. Tetapi dengan COVIDRisk.Link, sarana yang baru-baru ini saya kembangkan bersama beberapa orang lain, jemaat dapat memantau risiko paparan virus atas diri mereka sendiri secara teratur dan mengurangi risikonya, jika perlu, sebelum bertemu dengan orang lain. Penyebaran varian-varian virus baru, yang meningkatkan ketertularan individu dengan COVID-19, membuat sarana ini menjadi lebih penting. Selain itu, penggunaan sarana penilaian ini dapat membantu jemaat membentuk lingkaran-lingkaran sosial untuk bertemu dengan lebih aman dan nyaman dengan mereka yang memiliki risiko paparan.

Pada setiap ambang batas infeksi pada tabel di atas, pertemuan bisa lebih aman jika kita meminta jemaat untuk mengurangi risiko mereka terpapar virus, dan kita mendorong mereka yang risiko paparannya lebih rendah untuk berpartisipasi lebih dulu dalam kegiatan-kegiatan daripada mereka yang berisiko tinggi.

5. Dorong jemaat Anda untuk divaksinasi.

Jika sebagian besar orang di komunitas kita menolak untuk divaksinasi, hal ini akan memperpanjang pandemi dan memberi efek berbahaya pada masyarakat kita. Sayangnya, hampir 40 persen orang Amerika dan persentase yang sedikit lebih tinggi di gereja-gereja Amerika enggan divaksinasi. Broughton menjelaskan, “Jemaat kami saat ini bereaksi berdasarkan rasa takut karena pengaruh pengalaman masa lalu seperti eksperimen Tuskegee. Mereka tidak tahu apakah mereka dapat mempercayai vaksin ini.”

Karena kita tahu bahwa vaksin COVID-19 dapat melindungi orang-orang dari efek berbahaya virus ini dan memungkinkan kita untuk kembali ke pelayanan gereja yang normal dengan lebih cepat, menurut pendapat saya, gereja harus mempromosikan vaksinasi COVID-19 . Orang Kristen yang divaksinasi tidak hanya akan terlindung dari komplikasi serius jika mereka terinfeksi, tetapi mereka juga akan dapat melayani orang lain yang membutuhkan dengan lebih cepat dan berkontribusi untuk mengakhiri pandemi.

Sayangnya, pandemi ini telah sangat dipolitisasi sehingga beberapa pemimpin gereja ragu-ragu untuk mendukung vaksinasi, tetapi saya menyarankan agar kita menggunakan Amanat Agung sebagai motivasi utama kita. Meskipun para ahli tidak yakin vaksinasi akan mencegah penyebaran COVID-19, masih ada kemungkinan yang sangat baik bahwa vaksin akan mengurangi setidaknya sebagian (jika tidak sebagian besar) penularan COVID-19. Oleh karena itu, marilah kita saling mengasihi dengan mendukung vaksinasi, terutama orang-orang yang ada di gereja kita.

Tetapi mungkin diperlukan upaya-upaya yang signifikan dan kesabaran untuk berkomunikasi dengan orang-orang yang hadir di gereja kita tentang manfaat-manfaat vaksin. Broughton menekankan ini, “Saya perlu terus mengadakan percakapan-percakapan dengan jemaat. Dari mana informasi ini berasal, membuat perbedaan besar bagi mereka. Kepercayaan meningkat pesat saat mereka tahu bahwa informasi tersebut berasal dari pria dan wanita beriman yang memiliki pengetahuan tentang sains. ”

Tindakan lebih penting daripada kata-kata. Para pemimpin gereja dapat memberikan contoh kepada jemaat, dengan mereka divaksinasi terlebih dahulu. Ada banyak ketidakpercayaan terhadap pemerintah, sains, dan vaksin COVID-19. Anggota-anggota yang paling tepercaya dari banyak komunitas ada di gereja kita. Oleh karena itu, para pemimpin gereja dapat berperan penting dalam mendorong jemaatnya untuk divaksinasi.

Dengan dimulainya vaksinasi COVID-19 dalam komunitas kita, maka kita memulai perjalanan panjang menuju keadaan yang normal. Pada saat yang sama, Amerika Serikat sedang mengalami periode yang paling kacau dan penuh perpecahan dalam sejarahnya baru-baru ini. Hinman berkata, “Sebagai gereja, kita tidak boleh membiarkan cara kita menangani pandemi ini dan masalah vaksinasi memecah belah kita.” Untuk membantu gereja kita maju dalam kesatuan, saya berdoa kiranya lima saran berbasis sains ini dapat membantu gereja kita menjadi mercusuar — merangkul iman dan sains — seiring kita memulai kembali untuk berkumpul dan terus melayani dunia di sekitar kita.

Daniel Chin adalah seorang dokter yang ahli dalam perawatan paru-paru dan pengobatan penyakit kritis serta epidemiologi dengan 25 tahun pengalaman kesehatan masyarakat global. Pada tahun 2003, dia memimpin banyak bantuan WHO ke China untuk mengatasi epidemi SARS.

What do you think of this translation? Interested in helping us improve the quality and the quantity? Share your feedback here.

This article is 1 of 350+ CT Global translations—including Indonesian.

You can also now follow CT in Bahasa Indonesia by email, Facebook, Twitter and Telegram.

Books

Lima Puluh Negara Paling Berbahaya bagi Pengikut Yesus pada Tahun 2021

Menurut laporan terbaru tentang persekusi umat Kristen, tiga dari empat martir ditemukan di Nigeria. Tahun ini, Nigeria masuk untuk pertama kalinya dalam jajaran sepuluh besar negara dengan tingkat persekusi paling parah.

Christianity Today January 13, 2021
Mallory Rentsch

Setiap hari, tiga belas orang Kristen dibunuh karena iman mereka.

Setiap hari, dua belas gereja atau gedung milik orang Kristen diserang.

Setiap hari, dua belas orang Kristen secara tidak adil ditahan atau dipenjara, lima orang lainnya diculik.

Demikian laporan dari World Watch List (WWL) tahun 2021, hasil penelitian terbaru dari lembaga Open Doors yang mendaftarkan lima puluh negara tempat orang Kristen paling banyak mengalami persekusi karena mengikut Yesus.

“Anda mungkin berpikir bahwa daftar ini bicara tentang penindasan belaka … Namun, sebenarnya daftar ini bercerita tentang ketangguhan,” kata David Curry, presiden sekaligus direktur utama dari Open Doors Amerika Serikat, menjelaskan tentang laporan yang mereka publikasikan pada hari ini.

“Dengan banyaknya umat Allah yang menderita, seharusnya Gereja sudah sekarat—orang-orang Kristen hanya diam, kehilangan iman mereka, dan saling menjauhi,” lanjutnya.

“Namun, bukan itu yang terjadi. Sebaliknya, dengan begitu jelas kita melihat digenapinya firman Allah sebagaimana yang dicatat oleh nabi Yesaya: ‘Aku hendak membuat jalan di padang gurun dan sungai-sungai di padang belantara.’” (Yesaya 43:19 TB).

Daftar tahun ini meliputi 309 juta orang Kristen yang tinggal di tempat-tempat dengan tingkat persekusi ekstrem, lebih banyak dari tahun lalu yang hanya meliputi 260 juta orang Kristen.

Angka ini masih bisa ditambah lagi dengan 31 juta orang dari 24 negara yang peringkatnya sedikit di bawah 50 besar, seperti: Kuba, Sri Lanka, dan Uni Emirat Arab (UAE). Rasionya, satu dari delapan orang Kristen di dunia mengalami persekusi. Termasuk satu dari enam orang percaya di Afrika dan dua dari lima orang percaya di Asia.

Tahun lalu, 45 negara mendapatkan nilai yang cukup tinggi dalam 84-matriks pertanyaan Open Doors, sehingga terdaftar sebagai negara dengan tingkat persekusi “sangat tinggi”. Tahun ini, untuk pertama kalinya dalam 29 tahun penelitian mereka, semua negara dalam daftar 50 besar masuk kualifikasi tersebut—diikuti 4 negara lainnya dengan nilai yang tidak jauh berbeda.

Open Doors mengidentifikasi tiga tren utama yang mendorong peningkatan di tahun lalu:

  • “COVID-19 menjadi sebuah katalis terjadinya persekusi terhadap kelompok agama tertentu. Ada yang mengalami diskriminasi saat bantuan dibagikan, ada yang dipaksa pindah agama. Pandemi juga menjadi alasan kuat untuk meningkatkan pengawasan dan penyensoran.”
  • “Memanfaatkan situasi yang ada, serangan yang dilancarkan kaum ekstremis makin meluas di kawasan Sub-Sahara Afrika, dari Nigeria dan Kamerun sampai Burkina Faso, Mali, dan seterusnya.”
  • “Sistem penyensoran di China terus berkembang dan makin banyak wilayah yang diawasi secara ketat.”

Open Doors telah memonitor persekusi orang Kristen di seluruh dunia sejak tahun 1992. Korea Utara selalu menduduki peringkat pertama selama dua puluh tahun, sejak tahun 2002, saat WWL pertama kali dibuat.

WWL tahun 2021 menelusuri periode waktu dari 1 November 2019 sampai 31 Oktober 2020, dan dikompilasi dari laporan akar rumput oleh para pekerja Open Doors di lebih dari 60 negara.

“Kami tidak hanya bicara dengan para pemimpin agama,” kata Curry, dalam siaran langsung peluncuran WWL tahun ini. “Kami mendengar langsung dari mereka yang mengalami persekusi, dan kami hanya melaporkan kasus-kasus yang bisa kami dokumentasikan.”

Tujuan dibuatnya peringkat tahunan WWL—yang menjadi catatan sejarah munculnya para pesaing Korea Utara seiring bertambah parahnya persekusi—adalah untuk memandu umat Kristen berdoa secara lebih spesifik serta mengarahkan kemarahan (terhadap persekusi) menjadi sesuatu yang konstruktif, sembari menunjukkan kepada orang percaya yang mengalami persekusi bahwa mereka tidaklah dilupakan.

Di mana orang Kristen mengalami persekusi terberat hari ini?

Tahun ini, sepuluh negara tempat terjadinya persekusi terberat relatif tidak berubah. Setelah Korea Utara, ada Afghanistan, diikuti oleh Somalia, Libia, Pakistan, Eritrea, Yaman, Iran, Nigeria, dan India.

Nigeria masuk dalam jajaran sepuluh besar untuk pertama kalinya, meraih nilai sangat tinggi dalam sistem penilaian Open Doors untuk aspek kekerasan. Negara ini, yang memiliki populasi orang Kristen terbesar di Afrika, menempati peringkat kesembilan secara keseluruhan, tetapi ada di peringkat dua persis setelah Pakistan dalam hal tindak kekerasan, dan menempati peringkat pertama dalam hal jumlah orang Kristen yang terbunuh karena alasan yang berhubungan dengan iman mereka.

Sudan keluar dari jajaran sepuluh besar untuk pertama kalinya dalam enam tahun terakhir, setelah mencabut peraturan hukuman mati bagi orang yang meninggalkan keyakinan (Islam). Negara ini menjamin—setidaknya di atas kertas—kemerdekaan beragama dalam konstitusi barunya setelah menjalankan syariat Islam selama tiga dekade. Namun, Sudan masih bertengger di nomor tiga belas dalam daftar, karena para peneliti Open Doors mengamati bahwa orang-orang Kristen dari latar belakang Muslim di sana masih menghadapi serangan, pengucilan, dan diskriminasi dari keluarga dan komunitas mereka, sementara para perempuan Kristen di sana harus menghadapi kekerasan seksual.

Tempat Tersulit untuk Pengikut Yesus:



1. Korea Utara
2. Afghanistan
3. Somalia
4. Libia
5. Pakistan
6. Eritrea
7. Yaman
8. Iran
9. Nigeria
10. India

(Perubahan dalam kelompok sepuluh besar ini menggaungkan keputusan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat pada bulan Desember yang menambahkan Nigeria dan mengeluarkan Sudan dari “daftar negara yang perlu perhatian khusus”. Daftar ini mengecam pemerintahan yang membiarkan atau terlibat dalam pelanggaran kebebasan beragama yang terstruktur, berkelanjutan, dan mengerikan.)

India tetap berada dalam jajaran sepuluh besar selama tiga tahun berturut-turut karena “terus meningkatnya kekerasan terhadap kelompok agama minoritas akibat dukungan pemerintah bagi kelompok ekstremis Hindu.”

Sementara itu, China masuk jajaran dua puluh besar untuk pertama kalinya dalam dekade terakhir, karena “pengawasan dan penyensoran yang makin banyak dilakukan terhadap orang-orang Kristen dan kelompok agama minoritas lainnya.”

Dari 50 besar negara dalam daftar:

  • Ada 12 negara dengan tingkat persekusi “ekstrem” dan 38 negara dengan tingkat persekusi “sangat tinggi”. Empat negara lain di luar 50 besar yang juga memenuhi kualifikasi “sangat tinggi” adalah Kuba, Sri Lanka, Uni Emirat Arab, dan Niger.
  • Ada 19 negara yang berada di Afrika (6 di Afrika Utara), 14 di Asia, 10 di Timur Tengah, 5 di Asia Tengah, dan 2 di Amerika Latin.
  • Ada 34 negara yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam, 4 Buddha, 2 Hindu, 1 ateis, 1 agnostik—dan 10 Kristen.

Dalam daftar tahun 2021 ini, ada empat negara baru, yaitu: Meksiko (No. 37), Republik Demokratik Kongo (No. 40), Mozambik (No. 45), dan Komoro (No. 50).

Mozambik naik 21 peringkat (dari No. 66) “karena kekerasan kelompok ekstremis Islam di Cabo Delgado, provinsi di wilayah utaranya.” Republik Demokratik Kongo naik 17 peringkat (dari No. 57) “terutama karena serangan Pasukan Aliansi Demokratik (ADF) Islam terhadap orang-orang Kristen.” Meksiko naik 15 peringkat (dari No. 52) karena meningkatnya kekerasan dan diskriminasi terhadap orang-orang Kristen, baik oleh para penyelundup dan geng narkoba, maupun sejumlah komunitas penduduk asli.

Empat negara keluar dari daftar 50 besar: Sri Lanka (tadinya No. 30), Rusia (tadinya No. 46), Uni Emirat Arab (tadinya No. 47), dan Niger (tadinya No. 50).

Tempat Orang Kristen Mengalami Kekerasan Terbanyak:



1. Pakistan
2. Nigeria
3. Republik Demokratik Kongo
4. Mozambik
5. Kamerun
6. Republik Afrika Tengah
7. India
8. Mali
9. Sudan Selatan
10. Etiopia

Periode pelaporan Open Doors: November 2019 – Oktober 2020

Perubahan besar lainnya dalam peringkat: Kolombia naik 11 peringkat dari No. 41 menjadi No. 30 akibat kekerasan yang dilakukan kelompok gerilyawan, penjahat, dan sejumlah komunitas penduduk asli, serta bertambahnya intoleransi dari kelompok sekuler. Turki naik 11 peringkat dari No. 36 menjadi No. 25 karena meningkatnya kekerasan terhadap orang-orang Kristen. Bangladesh naik 7 peringkat dari No. 38 menjadi No. 31, karena serangan terhadap orang-orang Kristen baru di antara para pengungsi Rohingya.

Meski demikian, beberapa jenis persekusi bisa lebih berpengaruh daripada tindak kekerasan. Misalnya, Republik Afrika Tengah turun 10 peringkat dari No. 25 menjadi No. 35, meskipun kekerasan terhadap umat Kristen di sana masih ekstrem. Kenya turun 6 peringkat dari No. 43 menjadi No. 49, meskipun serangan-serangan di sana “meningkat secara signifikan”.

Sementara itu, Sudan Selatan merupakan salah satu dari sepuluh negara yang tingkat kekerasannya paling tinggi menurut penelitian Open Doors (No. 9), tetapi tidak masuk dalam daftar 50 besar (No. 69).

Dalam peringatan 25 tahun pelayanannya di tahun 2017, Open Doors menerbitkan sebuah analisis tentang tren persekusi dalam seperempat abad terakhir. Negara-negara yang menempati sepuluh peringkat teratas dalam periode 25 tahun adalah: Korea Utara, Arab Saudi, Iran, Somalia, Afghanistan, Maladewa, Yaman, Sudan, Vietnam, dan China.

Ada lima negara muncul dalam 10 peringkat teratas, baik dalam daftar 25 tahun maupun daftar tahun 2021—sebuah tanda kelanggengan persekusi di negara-negara tersebut, yang sepatutnya membuat kita prihatin, demikian catatan dari Open Doors.

Seperti apa persekusi yang dialami orang Kristen di negara-negara ini?

Open Doors memantau terjadinya persekusi dalam enam kategori—termasuk tekanan masyarakat dan pemerintah terhadap individu, keluarga, dan jemaat—dan menaruh perhatian khusus kepada kaum perempuan.

Apabila kekerasan dinilai secara terpisah sebagai satu kategori sendiri, ada pergeseran dramatis dalam posisi sepuluh besar—hanya Pakistan, Nigeria, dan India yang tetap ada dalam daftar. Bahkan, ada dua puluh negara yang saat ini lebih membahayakan jiwa orang Kristen dibanding Korea Utara.

Daftar martir di seluruh dunia meningkat menjadi 4.761 dalam laporan tahun 2021, naik 60% dari jumlah 2.983 di tahun sebelumnya, dan melampaui angka kematian 4.305 di laporan tahun 2019. (Estimasi Open Doors dikenal lebih konservatif dibanding kelompok peneliti lain, yang kerap menghitung jumlah martir sampai 100.000 dalam setahun).

Tempat Martir Kristen Paling Banyak:


1. Nigeria: 3.530
2. Republik Demokratik Kongo: 460
3. Pakistan: 307
4. Mozambik: 100*
5. Kamerun: 53
6. Burkina Faso: 38
7. [nama dirahasiakan]: 36
8. Republik Afrika Tengah: 15
9. Mali: 33
10. [nama dirahasiakan]: 20

*Estimasi

Periode pelaporan Open Doors: November 2019—Oktober 2020

Sembilan dari sepuluh orang Kristen dibunuh karena iman mereka di Afrika, sisanya di Asia. Nigeria memimpin di dunia dengan 3.530 martir yang dikonfirmasi oleh Open Doors dalam daftar tahun 2021.

Dalam acara peluncuran WWL tahun ini, Curry mewawancarai Afordia, seorang Nigeria Kristen yang berprofesi sebagai tenaga medis. Suaminya tewas di tangan Boko Haram. Setelah memutus jaringan komunikasi di desa mereka, kelompok ekstremis mengumpulkan para lelaki yang ada dan menanyai mereka satu per satu, apakah mereka seorang Muslim atau seorang kafir.

“‘Tidak, saya bukan orang kafir dan bukan pula orang Muslim. Saya adalah seorang Kristen,’ kata suami saya,” perempuan itu mengisahkan kejadiannya. “Lalu ia berlutut di pinggir jalan itu dan berdoa.”

Penculikan orang Kristen naik menjadi 1.710, meningkat 63% dari 1.052 kasus di tahun sebelumnya, saat Open Doors meneliti kategori ini untuk pertama kalinya. Nigeria ada di urutan teratas dengan 990 kasus penculikan.

Pakistan memimpin dalam kategori pernikahan paksa, sebuah kategori baru yang mulai diteliti tahun lalu. Sekitar 1.000 orang Kristen di negara itu dinikahkan dengan orang nonKristen di luar kemauan mereka. Sebanyak 72% kasus yang ditemukan Open Doors terjadi di Asia, sedangkan 28% sisanya terjadi di Afrika, terutama di Nigeria.

China menempati posisi tertinggi dalam dua kategori lain yang diteliti Open Doors.

Tempat Gereja Paling Banyak Diserang atau Ditutup:


1. China: 5.576
2. Nigeria: 270
3. Angola: 100*
4. Republik Demokratik Kongo: 100*
5. Etiopia: 100*
6. Rwanda: 100*
7. Bangladesh: 90
8. India: 76
9. Pakistan: 68
10. Meksiko: 61

*Estimasi ┃Periode pelaporan Open Doors: November 2019—Oktober 2020

China banyak menangkap dan memenjarakan orang Kristen tanpa proses pengadilan, karena alasan-alasan yang berkaitan dengan iman mereka. Jumlah yang ditemukan Open Doors mencapai 1.147 orang dari total 4.277 orang yang mengalami hal serupa di seluruh dunia, naik dari total 3.711 di tahun lalu dan 3.150 di tahun 2019.

Sementara itu, serangan dan penutupan paksa gereja mencapai 4.488 kasus di seluruh dunia, paling banyak terjadi di China. Nigeria menyusul setelahnya. Dalam laporan tahun lalu, jumlah ini sudah meroket dari 1.847 kasus menjadi 9.488 kasus. China sendiri mencatatkan 5.576 kasus.

Open Doors memberi catatan bahwa di beberapa negara, pelanggaran kebebasan beragama sebagaimana tersebut di atas, sangat sulit didokumentasikan secara tepat. Angka yang diberikan merupakan angka pembulatan, dengan kecenderungan estimasi konservatif.

Penelitian mereka disertifikasi dan diaudit oleh International Institute for Religious Freedom (Institut Internasional untuk Kebebasan Beragama), salah satu bagian dari World Evangelical Alliance (Aliansi Injili Sedunia) yang berpusat di Jerman.

Mengapa orang Kristen mengalami persekusi di negara-negara ini?

Alasan utamanya berbeda-beda di tiap negara. Memahami dengan baik alasan-alasan yang berbeda itu bisa menolong umat Kristen di negara lain untuk berdoa dan memberikan advokasi yang lebih efektif untuk saudara-saudari dalam Kristus yang sedang menderita.

Sebagai contoh, meski Afghanistan adalah tempat terjadinya persekusi terburuk nomor dua di dunia dan merupakan negara Muslim, alasan utama terjadinya persekusi di sana—menurut penelitian Open Doors—bukanlah ekstremisme Islam, melainkan pertikaian antar suku.

Open Doors membagi alasan-alasan utama yang mendorong terjadinya persekusi Kristen dalam delapan kategori:

Tekanan dari kelompok Islam (29 negara): Ini adalah alasan utama persekusi yang dihadapi orang Kristen di banyak negara, lebih dari separuh daftar WWL, termasuk 5 dari 12 negara tempat orang Kristen menghadapi persekusi yang “ekstrem”: Libia (No. 4), Pakistan (No.5), Yaman (No. 7), Iran (No. 8), dan Suriah (No. 12). Kebanyakan dari 29 negara ini merupakan negara Muslim atau mayoritas Muslim; tetapi ada 7 yang sebenarnya merupakan negara mayoritas Kristen: Nigeria (No. 9), Republik Afrika Tengah (No. 35), Etiopia (No. 36), Republik Demokratik Kongo (No. 40), Kamerun (No. 42), Mozambik (No. 45), dan Kenya (No. 49).

Pertikaian antar suku (6 negara): Ini adalah alasan utama persekusi yang dihadapi orang Kristen di Afghanistan (No. 2), Somalia (No. 3), Laos (No. 22), Qatar (No. 29), Nepal (No. 34), dan Oman (No. 44).

Diktator yang paranoid (5 negara): Ini merupakan alasan utama persekusi yang dihadapi orang Kristen di lima negara, terutama di Asia Tengah dengan mayoritas Muslim: Uzbekistan (No. 21), Turkmenistan (No. 23), Tajikistan (No. 33), Brunei Darussalam (No. 39), dan Kazakhstan (No. 41).

Nasionalisme agama tertentu (3 negara): Ini merupakan alasan utama persekusi yang dihadapi orang Kristen di tiga negara Asia. Orang-orang Kristen menjadi target utama para nasionalis Hindu di India (No. 10), juga para nasionalis Buddhis di Myanmar (No. 18) dan Bhutan (No. 43).

Tekanan dari kelompok komunis dan pascakomunis (3 negara): Ini adalah alasan utama persekusi yang dihadapi orang Kristen di tiga negara, semuanya di Asia: Korea Utara (No. 1), China (No. 17), dan Vietnam (No. 19).

Tekanan kelompok Kristen tertentu terhadap kelompok Kristen lainnya (2 negara): Ini adalah alasan utama persekusi yang dihadapi orang Kristen di Eritrea (No. 6) dan Etiopia (No. 36).

Korupsi dan kejahatan terstruktur (2 negara): Inilah alasan utama persekusi yang dihadapi orang Kristen di Kolombia (No. 30) dan Meksiko (No. 37).

Intoleransi dari kelompok sekuler (0 negara): Alasan ini diteliti Open Doors, tetapi ternyata bukan merupakan faktor pendorong utama persekusi yang terjadi di lima puluh negara yang masuk dalam daftar.

Apa tren utama dalam persekusi orang Kristen?

Open Doors mengidentifikasi empat tren baru atau yang masih berlanjut dalam hal mengapa dan bagaimana orang Kristen mengalami persekusi.

Pertama, pandemi yang terjadi memunculkan model persekusi baru, yaitu diskriminasi terhadap orang Kristen dalam menerima bantuan COVID-19, yang ditemukan Open Doors di Etiopia, Malaysia, Nigeria, Vietnam, dan Timur Tengah.

Di India, mitra Open Doors memberikan bantuan kepada lebih dari 100.000 orang Kristen. Delapan puluh persen dari mereka mengaku sebelumnya “diusir dari pos pembagian makanan. Sebagian harus berjalan berkilo-kilo meter jauhnya dan menyembunyikan identitas Kristen mereka demi mendapatkan makanan di tempat lain”, lapor para peneliti. Laporan bahwa “umat Kristen di sejumlah desa tidak diberi bantuan” juga diterima Open Doors dari Myanmar, Nepal, Vietnam, Bangladesh, Pakistan, Asia Tengah, Malaysia, Afrika Utara, Yaman, dan Sudan. “Adakalanya, diskriminasi dilakukan oleh pejabat resmi pemerintahan, tetapi lebih sering dilakukan oleh para pemimpin desa, panitia yang mengurusi bantuan, atau tokoh pemimpin lainnya di wilayah tersebut.”

Open Doors mencatat:

“Pandemi global membuat persekusi makin nyata terlihat—karena ada begitu banyak orang yang saat ini butuh pertolongan. Diskriminasi dan penindasan yang jelas dialami oleh orang-orang Kristen di tahun 2020 tidak boleh dilupakan, bahkan setelah krisis COVID-19 memudar dari ingatan kita.”

Penerapan karantina wilayah untuk melindungi kesehatan masyarakat juga menyebabkan pengikut Kristus makin rentan mengalami persekusi. “Orang yang meninggalkan agama mayoritas demi mengikut Kristus menyadari bahwa mereka berisiko kehilangan semua dukungan dari pasangan, keluarga, suku, dan komunitas, demikian pula dukungan dari pemerintah pusat dan daerah,” lapor para peneliti. “Jika mereka kehilangan pendapatan karena COVID-19, mereka tidak bisa mengandalkan dukungan keluarga dan teman untuk bertahan hidup.” Sementara itu, para pemimpin gereja dari Mesir sampai Amerika Latin memberitahu Open Doors bahwa larangan mengadakan kebaktian di gereja menyebabkan angka persembahan turun sampai 40%. Selain mengurangi pendapatan mereka, hal itu juga membatasi kemampuan jemaat mereka untuk membantu masyarakat sekitar.

Open Doors memberi catatan:

“Kebanyakan orang percaya baru yang berlatar belakang agama mayoritas mengatakan bahwa pembatasan sosial karena COVID-19 mengurung mereka bersama dengan orang-orang yang paling menentang iman mereka kepada Yesus. Ini terutama mempengaruhi perempuan dan anak-anak sebagai kaum minoritas. Bagi jutaan orang Kristen, kegiatan di luar rumah seperti bekerja, studi, dan aktivitas lainnya, memberi mereka jeda sejenak dari persekusi yang selalu mereka alami. Saat mereka harus dikarantina, jeda itu tidak lagi tersedia.”

“Kami juga menerima laporan bahwa penculikan, pemaksaan pindah agama, dan pemaksaan pernikahan terhadap kaum perempuan meningkat selama pandemi karena peluang untuk melakukan hal-hal itu bertambah. Selain itu, beberapa tempat di Amerika Latin yang kerap menjadi target geng narkoba, kini makin berbahaya bagi orang-orang Kristen, karena kehadiran para polisi yang biasanya menertibkan aksi geng kini berkurang di masa pandemi.”

Kedua, pemantauan kelompok-kelompok agama meningkat seiring dengan berbagai kemajuan dalam teknologi pengawasan digital. Hal ini.menjadi tren penting lainnya.

“China melakukan langkah-langkah tegas untuk menghentikan penyebaran COVID-19 begitu virus tersebut muncul di Wuhan,” kata para peneliti Open Doors. “Namun, bagi 97 juta orang Kristen, harga yang harus dibayar sangatlah mahal. Mereka mengalami pembatasan yang sangat ketat, pengawasan dilakukan sampai ke rumah-rumah, semua interaksi daring dan luring mereka dilacak, wajah mereka pun dipindai ke dalam pangkalan data kepolisian setempat.”

Menurut laporan:

“Laporan-laporan dari wilayah seperti provinsi Henan dan Jiangxi mengatakan bahwa kamera dengan fitur pengenalan wajah sekarang sudah tersedia di berbagai tempat ibadah yang diizinkan negara. Banyak dari kamera ini dipasang bersebelahan dengan kamera CCTV standar. Bedanya, kamera-kamera ini terhubung dengan kepolisian. Artinya, teknologi kecerdasan buatan tersebut bisa dengan cepat berhubungan dengan pangkalan data lain milik pemerintah. Perangkat lunak pengenalan wajah itu juga terhubung dengan “Sistem Penilaian Sosial” di China, yang memonitor kesetiaan warga negara terhadap nilai-nilai utama yang diajarkan paham komunis.”

Hal serupa terjadi di India. Menurut para peneliti Open Doors, “ada ketakutan dari kelompok agama minoritas bahwa aplikasi pelacak kontak akan difungsikan lebih dari yang seharusnya, dan dipakai untuk mengawasi semua gerak-gerik mereka.”

Ketiga, tren “kewarganegaraan yang dikaitkan dengan agama” terus menyebar luas. Para peneliti menemukan, “Di negara-negara seperti India dan Turki, identitas keagamaan makin dikaitkan dengan identitas nasional—artinya, untuk menjadi orang India sejati, Anda harus beragama Hindu; untuk menjadi orang Turki sejati, Anda harus beragama Islam. Seringkali tren ini didorong oleh pemerintah yang sedang berkuasa, baik secara implisit maupun eksplisit.”

Open Doors mencatat:

“Di tengah lonjakan nasionalisme Hindu, orang-orang Kristen di India terus-menerus ditekan oleh propaganda yang kuat. Pesan bahwa ‘untuk menjadi seorang India sejati, Anda harus beragama Hindu’ membuat mereka yang beda keyakinannya seperti orang Kristen dan juga Muslim, terus diserang dan diintimidasi. Orang-orang Kristen yang dianggap ‘bukan orang India sejati’ kerap mengalami diskriminasi dan persekusi tanpa kecuali. India juga terus menghambat aliran dana asing untuk rumah-rumah sakit Kristen, sekolah-sekolah Kristen, dan sejumlah gereja, semua dengan dalih untuk melindungi identitas bangsa India.”

“Di Turki, pemerintah yang sekarang juga telah mengambil peran sebagai pelindung agama Islam secara nasional. Bangunan Hagia Sophia dahulu merupakan sebuah katedral yang kemudian dijadikan masjid, sampai pemerintah Turki modern memutuskan untuk mengubahnya menjadi sebuah museum. Namun, di bulan Juli 2020, presiden Turki meyakinkan pengadilan untuk menjadikan bangunan itu sebagai masjid lagi, memperkuat nasionalisme Turki … Semangat dan cita-cita kaum nasionalis Turki jauh melampaui batas negara itu, tampak sangat jelas dalam dukungan mereka terhadap Azerbaijan yang sedang menghadapi konflik dengan Armenia.”

Keempat, adanya peningkatan serangan dari kelompok-kelompok garis keras, terutama kaum Muslim ekstremis, sekalipun sudah diterapkan karantina wilayah untuk menghentikan penyebaran virus korona. “Di berbagai belahan dunia, kekerasan terhadap orang Kristen sebenarnya menurun pada masa pandemi COVID-19,” kata para peneliti, tetapi kekerasan terhadap orang-orang Kristen di wilayah sub-Sahara Afrika justru “naik 30% dibandingkan tahun lalu.”

Open Doors mencatat:

“Ratusan desa berpenduduk mayoritas Kristen di Nigeria dikuasai atau dijarah para gembala Muslim bersenjata dari suku Hausa-Fulani; adakalanya ladang dan hasil panen warga juga ikut dibakar. Boko Haram—dan kelompok sempalan Negara Islam Provinsi Afrika Barat (ISWAP), yang terhubung dengan ISIS—terus menjadi penyakit di Nigeria dan wilayah utara Kamerun.”

“Di wilayah Sahel, sebelah selatan Gurun Sahara, ulah kelompok ekstrem Islam dipicu oleh ketidakadilan dan kemiskinan. Kelompok-kelompok ekstremis ini memanfaatkan kesalahan pemerintah untuk kepentingan mereka. Kaum jihadis bersenjata menyebarkan propaganda, merekrut anggota, dan melakukan serangan berkala. Tahun ini beberapa kelompok bersumpah memerangi orang-orang yang “tidak beriman sama dengan”, seperti umat Kristen—mereka mengklaim bahwa “Allah telah menghukum kita manusia karena orang-orang yang tidak beriman.”

“Burkina Faso sebelumnya dikenal memiliki kerukunan beragama yang baik antara kelompok Muslim dan Kristen, tetapi sekarang di negara itu sebanyak satu juta orang—1 dari 20 orang dalam populasi—dipaksa meninggalkan rumahnya (dan jutaan orang kelaparan) akibat kekeringan dan kekerasan. Tahun lalu, Burkina Faso secara dramatis masuk dalam WWL untuk pertama kalinya. Tahun ini, kelompok ekstremis Islam terus menjadikan gereja sebagai target serangan mereka (satu serangan menewaskan 14 orang, serangan lain menewaskan 24 orang).”

Bagaimana WWL dibandingkan dengan berbagai laporan lainnya tentang persekusi agama?

Menurut Open Doors, sangat beralasan menyebut kekristenan sebagai agama yang paling banyak mengalami persekusi di dunia. Pada saat yang sama, mereka juga menyebutkan bahwa tidak ada dokumentasi sebanding untuk populasi Muslim di dunia.

Open Doors percaya bahwa sangat beralasan menyebut kekristenan sebagai agama yang paling banyak mengalami persekusi di dunia. Pada saat yang sama, disebutkan bahwa tidak ada dokumentasi sebanding untuk populasi Muslim di dunia.

Sejumlah penelitian lain tentang kebebasan beragama mengonfirmasi banyak temuan Open Doors. Misalnya, dalam analisis terbaru dari Pew Research Center (PRC) tentang sikap permusuhan dari pemerintah dan masyarakat terhadap agama, ditemukan bahwa umat Kristen mengalami intimidasi di 145 negara pada tahun 2018, lebih dari semua kelompok agama lainnya. Intimidasi juga dialami umat Muslim di 139 negara, disusul umat Yahudi di 88 negara.

Apabila aspek yang dinilai adalah sikap permusuhan oleh pemerintah saja, PRC menemukan bahwa intimidasi dialami umat Muslim di 126 negara, sedangkan umat Kristen di 124 negara. Apabila aspek yang dinilai adalah sikap permusuhan oleh masyarakat saja, intimidasi dialami umat Kristen di 104 negara, sedangkan umat Muslim di 103 negara.

Para peneliti dan pekerja lapangan Open Doors melakukan pemantauan di semua negara, tetapi tetapi perhatian mendalam diberikan kepada 100 negara dan fokus khusus diberikan kepada 74 negara yang memiliki riwayat persekusi “tinggi” (skor >40 dari 100 poin).

Pada acara peluncuran WWL, Duta Besar Amerika Serikat untuk urusan kebebasan beragama internasional, Sam Brownback, memberikan apresiasinya.

“Akan datang saatnya semua orang bisa hidup dengan bebas sesuai dengan iman mereka, dan pemerintah akan melindungi hak mereka ini,” katanya. “Saat itu sudah semakin dekat, dan hasil penelitian Open Doors menolong kita menuju ke sana.”

Peringkat World Watch List tahun 2021:

No.

Negara

1

Korea Utara

2

Afganistan

3

Somalia

4

Libia

5

Pakistan

6

Eritrea

7

Yaman

8

Iran

9

Nigeria

10

India

11

Irak

12

Suriah

13

Sudan

14

Arab Saudi

15

Maladewa

16

Mesir

17

China

18

Myanmar

19

Vietnam

20

Mauritania

21

Uzbekistan

22

Laos

23

Turkmenistan

24

Aljazair

25

Turki

26

Tunisia

27

Maroko

28

Mali

29

Qatar

30

Kolombia

31

Bangladesh

32

Burkina Faso

33

Tajikistan

34

Nepal

35

Republik Afrika Tengah

36

Etiopia

37

Meksiko

38

Yordania

39

Brunei Darussalam

40

Republik Demokratik Kongo

41

Kazakhstan

42

Kamerun

43

Bhutan

44

Oman

45

Mozambik

46

Malaysia

47

Indonesia

48

Kuwait

49

Kenya

50

Komoro

Diterjemahkan oleh: Echa Puspita

What do you think of this translation? Want to see CT do more? Share your feedback here.

This article is 1 of 800+ CT Global translations, including Indonesian.

You can also now follow CT in Bahasa Indonesia by email, Facebook, Twitter and Telegram.

Dua Puluh Artikel Terpopuler di Situs Web Christianity Today Bahasa Indonesia Sepanjang 2020

Umat Kristen Hong Kong merespons peningkatan kekerasan di Beijing, 20 doa untuk pandemi, dan nasihat pakar kesehatan untuk gereja-gereja yang hendak memulai ibadah di musim COVID-19.

Christianity Today December 22, 2020

In this series

Ingin tahu artikel apa saja yang paling banyak dibaca di situs web Christianity Today bahasa Indonesia sepanjang tahun 2020? Berikut ini daftarnya:

20.

19.

18.

17.

16.

15.

14.

13.

12.

11.

10.

9.

8.

7.

6.

5.

4.

3.

2.

1.

Check out the rest of our 2020 year-end lists here.

Minggu Adven 4: Juruselamat Telah Lahir

Bacaan renungan Adven (Advent) dari Christianity Today.

Christianity Today December 19, 2020
Illustration by Jared Boggess

Melompat ke bacaan harian: Minggu | Senin | Selasa | Rabu | Kamis | Jumat

Minggu: Terbaring di Palungan

Bacaan Hari Ini: Lukas 2:8–20

Waktunya sudah genap. Selama ribuan tahun, umat Allah menantikan kedatangan Sang Anak Daud yang agung, Raja-Mesias yang akan memerintah Israel. Raja Damai yang dijanjikan. Sekarang, impian besar yang diberikan Allah melalui para nabi-Nya itu akhirnya menjadi kenyataan saat paduan suara malaikat mengumandangkan, Sang Raja sudah datang! Lahir pada hari ini.

Seorang malaikat turun mengumumkan kedatangan Sang Mesias. Mengagumkan, tetapi bukankah seharusnya demikian? Sepasukan malaikat memenuhi langit dengan pujian. Dashyat, tetapi bukankah seharusnya begitu? Mungkin kita bahkan berharap berita kedatangan Sang Raja ini diumumkan di seluruh koridor istana, atau di Bait Suci—atau di berbagai tempat lainnya, tetapi bukan di padang sunyi dekat Betlehem … kepada para gembala.

Pakaian mereka yang bau binatang, status rendah mereka di masyarakat, kuku mereka yang kotor, rupanya tidak mendiskualifikasi mereka untuk menerima firman Tuhan. Kabar baik tentang kesukaan besar itu ditujukan untuk “seluruh bangsa” (Luk. 2:10) dan kita membaca kemudian, terutama untuk “orang-orang miskin” (4:18).

Lalu, apa yang dikatakan malaikat akan menjadi tanda dari kabar yang sangat baik ini? Tanda itu adalah “kemiskinan” Sang Mesias: Dia terbaring di sebuah palungan. Sebuah tempat makan binatang. Ia akan bau seperti kamu, hai para gembala yang diberkati. Dalam kerendahan. Terpinggirkan. Sungguh, “Berbahagialah hai kamu yang miskin, karena kamulah yang empunya Kerajaan Allah” (6:20).

Berbahagialah juga kita, jika seperti para gembala, kita menerima kabar baik ini dan bergegas menjumpai Yesus. Bukankah perjalanan kita dengan Kristus dimulai demikian? Kita tadinya tidak memahami siapa Dia, apa yang Dia kerjakan, dan bagaimana Dia hendak mengubahkan hidup kita. Kita hanya tahu bahwa kita perlu datang kepada-Nya. Setelah kita kemudian berjumpa dengan-Nya secara pribadi, bagaimana mungkin kita tidak memberitakan kabar baik itu, “memuji dan memuliakan Allah,” untuk semua yang telah kita dengar dan saksikan (ay. 20)?

Mendengar kabar baik, berjumpa dengan Yesus secara pribadi, lalu memberitakan kabar baik tentang Dia sambil memuji-muji Allah—bukankah ini irama perjalanan iman kita? Bukankah ini resep penyembahan yang mengobarkan ketahanan kita? Bukankah di atas dasar ini pengharapan kita merekah?

Kerajaan Allah dipenuhi dengan kisah-kisah tak terduga seperti ini: gembala-gembala sederhana menjadi para pembawa kabar keselamatan yang dihormati; pemungut pajak dan pelacur menjadi para sahabat Allah, orang-orang yang dianggap lemah membuat yang bijak dan kuat malu. Bahkan Sang Pengharapan kita,—Kristus, Tuhan (2:11) —pernah terbaring di sebuah tempat makan binatang.

— Quina Aragon

Renungkanlah Lukas

2:8–20.

Orang-orang kecil dipilih untuk menerima pengumuman malaikat. Bagaimana hal ini menyatakan tentang Kristus dan tujuan-Nya? Apa yang Anda pelajari dari respons para gembala terhadap Kristus?

Senin: Yang Memuaskan Kerinduan Hati Kita

Bacaan Hari Ini: Lukas 2:22–38

Simeon dan Hana sudah memasuki usia senja. Kebanyakan orang di usia mereka sudah tidak lagi berani bermimpi harapannya akan terwujud. Namun, di usia itulah, Allah menyatakan diri kepada mereka dengan cara yang menakjubkan. Dari sudut pandang manusia semua pengharapan mereka sudah pupus. Namun, pada saat itulah, Maria dan Yusuf datang, menyerahkan bayi Yesus—Sang Mesias, perwujudan harapan dan impian mereka—ke dalam gendongan mereka. Seperti itulah Allah bekerja. Berulang kali, Allah menyatakan diri dalam sejarah dan kehidupan kita ketika rasanya mustahil untuk berharap.

Seperti Simeon, mungkin sepanjang hidup kita sudah melayani dan menyembah Allah. Mungkin Allah juga memberi kita impresi bahwa belum saatnya waktu kita berakhir—masih ada yang ingin Dia nyatakan.

Seperti nabiah Hana, mungkin sepanjang hidup kita selalu tinggal sedekat mungkin dengan Allah dan dengan umat-Nya. Kita hidup dalam kehendak-Nya—mengasihi dan berkorban untuk umat-Nya—tapi rasa sakit dan penderitaan tetap saja kita alami. Mungkin kita memulai setiap pagi dengan penuh pengharapan, tetapi kemudian mengakhiri hari dengan kekecewaan. Mungkin tahun demi tahun berlalu, dan situasi kita tak kunjung berubah. Kehidupan terasa selalu mengecewakan. Kita mungkin bertanya-tanya apakah kita salah memahami kehendak Allah.

Hari itu, Simeon dan Hana memulai aktivitas mereka sama seperti hari-hari sebelumnya. Namun, tiba-tiba segalanya berubah bagi mereka. Maria dan Yusuf datang ke Bait Suci untuk memenuhi Hukum Musa dengan menyerahkan anak laki-laki mereka yang sulung, Yesus, kepada Allah. Kairos, waktu yang ditetapkan Allah, sudah tiba. Roh Kudus pun mengarahkan Simeon dan Hana untuk mendekati keluarga muda itu. Kepada dua orang yang sudah bau tanah—keriput, bungkuk, bergerak pelan dan hati-hati—Allah datang dengan wajah segar, penuh gairah kehidupan, mata berbinar, dan kulit yang lembut, sebagai seorang bayi yang baru lahir. Tidak terduga, dan sungguh tidak pernah terlintas di pikiran.

Kesaksian Simeon dan Hana mengingatkan kita bahwa Allah terus menyatakan diri di dalam kehidupan kita, seringkali dengan cara-cara tak terduga. Dia menerobos, membawa sukacita yang tak terbayangkan ke dalam hari-hari kita yang biasa.

Sukacita itu disediakan, tidak hanya dalam kehidupan ini, tetapi juga dalam kehidupan yang akan datang—saat semua harapan dan kerinduan hati kita pada akhirnya akan digenapi di dalam Allah sendiri.

Bersama Simeon dan Hana, kita pun dapat mengaminkan bahwa Yesus adalah sukacita kita yang sejati. Dialah yang memuaskan semua kerinduan hati kita, sekarang dan selamanya.

— Marlena Graves

Renungkanlah Lukas 2:22–38.

Bayangkan apa yang dialami Simeon dan Hana pada hari mereka berjumpa dengan Yesus. Bayangkanlah tahun-tahun penantian mereka sebelum hari itu tiba. Bagaimana kisah mereka menantang Anda? Bagaimana kesaksian mereka menginspirasi Anda?

Selasa: Sukacita Yang Meluap

Bacaan Hari Ini: Matius 2:1–12

Dalam kisah penebusan Allah yang luar biasa, kita menemukan sejumlah kontras dan ironi. Misalnya, saat Matius menegaskan bahwa Yesus adalah Sang Mesias yang dijanjikan dengan menyebutkan tempat kelahiran Yesus yang menggenapi nubuat Kitab Suci orang Yahudi, ia juga menyebutkan tentang sekelompok orang dari bangsa lain, yaitu para majus dari Timur. Kita diajak melihat bahwa Anak itu, Sang Kristus, tak hanya datang untuk bangsa Yahudi. Dia juga membawa “suku-suku bangsa” datang kepada-Nya (Yes. 11:10; 60:1-6).

Rombongan pendatang non Yahudi ini memasuki Yerusalem, Kota yang Kudus, pusat peribadatan bangsa Yahudi sekaligus kediaman Herodes, yang disebut “raja orang Yahudi”. Tujuan mereka adalah untuk menemukan dan menyembah “raja orang Yahudi” yang sejati (Mat. 2:2). Sebuah ironi yang sebenarnya mengundang tawa, kalau saja kita tidak membaca kelanjutannya yang memprihatinkan. Para imam kepala dan ahli-ahli Taurat tidak peduli dengan kelahiran Kristus. Herodes berpura-pura hendak menyembah, tetapi lalu membantai banyak balita.

Tak hanya mengundang tawa, ironi tersebut mengajak kita melihat apa yang salah. Ambisi para majus sangat kontras dengan ambisi Herodes. Keduanya menanyakan tempat kelahiran Kristus dan mendapatkan jawabannya dari Kitab Suci. Meski demikian, respons mereka berbeda. Herodes diam-diam berusaha melenyapkan Kristus, yang dianggapnya sebagai ancaman. Para majus terus mengikuti bintang untuk mencari Kristus, yang mendatangkan sukacita bagi mereka.

Kita juga melihat betapa kontrasnya sikap para majus dengan para imam kepala dan ahli Taurat. Jelas bahwa dekat dengan kebenaran tidak menjamin respons yang benar. Adakah para ahli Kitab Suci ini merasa malu melihat orang asing bisa lebih dulu mengetahui kedatangan Sang Mesias? Mengapa pengetahuan teologi yang banyak tidak membuat mereka siap sedia menyambut Sang Mesias seperti sikap para majus? Mungkinkah kepekaan hati mereka sudah ditumpulkan oleh lapar kekuasaan dan haus kehormatan, akibat pergaulan mereka dengan penguasa yang lalim?

“Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan,” kata Kitab Suci (5:6). Inilah realita yang kita lihat menjadi pengalaman para Majus. Sukacita mereka meluap dalam penyembahan ketika mereka melihat bintang tanda pengharapan itu berhenti di rumah tempat Sang Pengharapan berada (lihat Bil 24:17). Mereka telah datang dari tempat yang jauh untuk menyembah “raja orang Yahudi” yang ternyata juga adalah “Raja segala bangsa” (Why. 15:2–4).

Kasih Allah itu penuh kejutan—terlampau besar untuk dipahami, selalu tidak terduga. Membuat bangsa penyembah berhala menjadi penyembah Kristus, orang-orang asing menjadi pahlawan iman. Bersediakah kita belajar dari para majus, para pemimpin yang dengan kerendahan hati mau datang menyembah? Jika bersedia, kita pun akan dapat mengalami apa yang mereka alami: sukacita yang meluap, pengharapan yang benderang, di tengah kegelapan zaman ini.

— Quina Aragon

Renungkanlah Matius 2:1–12.

(Anda juga bisa membaca Yesaya 11:10 dan 60:1–10.) Dari respons para majus atas kelahiran Kristus, hal apa yang paling berkesan bagi Anda? Bagaimana penyembahan para majus yang penuh sukacita itu menjelaskan tujuan kedatangan Kristus?

Rabu: Peperangan Natal

Bacaan Hari Ini: Matius 2:1–18; 1 Yohanes 3:8

Sejauh ini, narasi kelahiran Yesus yang kita renungkan bicara tentang pujian dan sukacita; tentang paduan suara malaikat, gembala-gembala yang bergegas, dan para majus yang datang menyembah Dia. Namun, Matius 2:16-18 mencatat sebuah peristiwa kejam yang mengingatkan kita alasan Yesus datang ke dunia ini. “Ketika Herodes tahu, bahwa ia telah diperdayakan oleh orang-orang majus itu, ia sangat marah. Lalu ia menyuruh membunuh semua anak di Betlehem dan sekitarnya, yaitu anak-anak yang berumur dua tahun ke bawah, sesuai dengan waktu yang dapat diketahuinya dari orang-orang majus itu” (ay. 16).

Dalam bacaan ini, kita diperhadapkan pada sebuah realita yang sangat tidak menyenangkan: Ada kejahatan dan kezaliman di dunia ini. Dosa menguasai dan memerintah di hati manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Mengandalkan diri sendiri, ditambah pengaruh si jahat, manusia mudah dikendalikan dengan kebohongan yang mematikan dan tipu daya yang mengaburkan kebenaran. Kita melihatnya dengan jelas dalam tindakan Herodes; betapa jahatnya. Di tengah kisah kelahiran Juruselamat, saat kita masih membayangkan indahnya nyanyian malaikat, Setan dan para pengikutnya membunuh begitu banyak balita.

Frustrasi Herodes membuka jalan untuk kemarahan yang tak terkendali. Kita hanya bisa membayangkan kengerian yang mencengkeram Betlehem saat Herodes mengirimkan pasukan pencabut nyawa untuk membantai semua bayi laki-laki. Inilah tindakan brutal dari seorang penguasa sadis di bawah pengaruh Setan. Kekejaman ini adalah pengingat yang sangat jelas dan serius bagi kita di tengah sukacita Natal, bahwa alasan Yesus datang adalah untuk berperang. Ada sebuah peperangan, dan Yesus datang untuk mengalahkan dosa kita.

Natal bukan tentang pita dan kartu. Bukan tentang paket atau kotak atau tas hadiah. Natal adalah tentang sebuah peperangan. Surat 1 Yohanes 3:8 memberitahu kita bahwa alasan kelahiran Anak Allah adalah untuk mengalahkan dosa kita dan menghancurkan pekerjaan iblis.

Mari kita merayakan kedamaian dan keindahan Natal. Mari kita menyanyikan, “Kesukaan bagi dunia! Tuhan sudah datang”. Namun, mari kita juga mengingat peristiwa gelap di dalam kisah Natal ini, karena pembantaian para balita di Betlehem mengingatkan kita mengapa Yesus lahir. Kristus datang ke dalam dunia untuk mengalahkan dosa kita dan menghancurkan pekerjaan si jahat.

— Anthony Carter

Artikel ini diadaptasi dari khotbah Anthony Carter yang disampaikan pada tanggal 24 Desember 2017. Digunakan dengan izin.

Renungkanlah Matius 2:1–18 dan 1 Yohanes 3:8.

Kisah Herodes dan para majus berakhir dengan tidak menyenangkan. Menurut Anda, bagaimana hal itu menjelaskan tujuan kedatangan Kristus dan mengarahkan orang kepada Injil? Bagaimana hal itu dapat memperdalam pemahaman kita tentang pengharapan?

Kamis: Memaknai Adven Secara Baru

Bacaan Hari Ini: Yohanes 1:1–18

Firman itu—sumber kehidupan, terang yang sejati—memasuki dunia manusia sebagai seorang bayi lemah yang lahir dalam kesederhanaan. Dari perspektif manusia, kelahiran Yesus cukup mengejutkan. Mengapa Dia, manusia-Allah, tidak datang sebagai seorang pemuda yang besar dan kuat, memperlihatkan keperkasaan dan kehebatannya di hadapan semua orang? Pasukan malaikat bisa saja diutus ke seluruh penjuru dunia untuk mengumumkan kedatangan-Nya! Namun, yang terjadi bukan demikian. Paduan suara malaikat menerangi langit malam itu hanya untuk beberapa gembala di tempat terpencil.

Betapa kontrasnya kedatangan Yesus dengan kedatangan para jenderal Romawi di abad pertama. Setelah menang perang, mereka akan disambut dengan musik yang meriah saat memasuki sebuah kota. Mereka ingin melihat dan dilihat, ingin pamer kekuatan agar banyak yang terkesan, menuntut penghormatan. Yesus datang dalam kesunyian dan tidak menarik perhatian, tidak menuntut apa-apa.

Cara kedatangan Yesus, kehidupan-Nya di antara orang-orang Yahudi yang sederhana, kematian-Nya di antara para penjahat, sama sekali tidak tampak seperti rencana yang bagus untuk meyakinkan dunia bahwa Dialah Sang Mesias. Namun, Yohanes menegaskan, “Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran” (1:14).

Kemuliaan yang diberitakan Yohanes berbeda dengan konsep manusia tentang kemuliaan dan kuasa. Para murid menyaksikan banyak mukjizat yang menunjukkan kuasa Kristus, tetapi Injil Yohanes menyatakan bahwa demonstrasi terbesar dari kemuliaan Yesus adalah salib. Yesus sendiri jelas berkata, “Telah tiba saatnya Anak Manusia dimuliakan … apabila Aku ditinggikan dari bumi, Aku akan menarik semua orang datang kepada-Ku,” Ini dikatakan-Nya untuk menyatakan bagaimana caranya Ia akan mati” (12:23, 32–33).

Kehinaan palungan mengarahkan kita untuk melihat kehinaan penyaliban yang terjadi kemudian. Inilah pengharapan kita yang berbeda dan bukan berasal dari dunia: Firman yang telah lahir sebagai seorang bayi yang lemah, adalah juga Sang Juruselamat yang telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita. Saat kita menerima Dia, kata Yohanes, kita memasuki terang dan kehidupan.

Adakalanya saya mendapati diri saya masih bergumul dengan banyak pertanyaan, sama seperti para murid Yesus (mis: Mat. 28:17; Mrk. 9:24; Yoh. 20:24–29). Setiap kali keraguan datang, saya kembali kepada Yohanes 1:14. Para murid telah bertemu langsung dan hidup bersama-sama dengan Yesus. Mereka makan bersama-Nya, bepergian bersama-Nya, menjala ikan bersama-Nya, tertawa bersama-Nya, berduka bersama-Nya—bersama Allah, saling bertatap muka. Dalam kehidupan, kematian, dan kebangkitan-Nya, Yesus telah mentransformasi kehidupan mereka secara luar biasa sehingga mereka kemudian rela meninggalkan segalanya untuk menderita dan bahkan mati bagi Yesus. Fakta tentang para murid itu mengakhiri semua keraguan saya.

Saya pun memikirkan betapa ajaibnya mukjizat yang kita rayakan di malam Natal: Yesus, bayi di dalam palungan yang “pada dasarnya sama dengan Allah” telah “melepaskan semuanya” untuk kita (Flp. 2:6–7). Saya merenungkan bagaimana Kristus tumbuh besar untuk mati dan bangkit kembali demi membebaskan saya dari dosa, memberikan saya pengharapan sejati, dan membuat segalanya baru. Dalam momen-momen perenungan itu, Yesus, Yang Setia dan Yang Benar, Jalan, Kebenaran, dan Hidup, menyatakan diri-Nya kembali kepada saya secara baru (Why. 19:11; Yoh. 14:6). Saya pun memaknai masa Adven secara berbeda.

— Marlena Graves

Renungkanlah Yohanes 1:1–18.

(Anda juga bisa membaca Yohanes 12:23-36 dan Filipi 2:6-11). Pikirkanlah tentang misteri dan kemuliaan dari Inkarnasi, Allah menjadi manusia. Respons apa—misalnya: penyembahan, rasa percaya, pengharapan—yang muncul dari dalam diri Anda?

Jumat: Natal Terakhir

Bacaan Hari Ini: Yesaya 9:6–7; Lukas 2:4–7; 1 Petrus 1:3–5, 13

Herodes dan Iblis berusaha untuk mencegah peristiwa Natal terjadi, karena kedatangan dari Sang Raja segala raja itu menakutkan bagi mereka. Namun, Natal tetap terjadi. Setan tidak bisa menghentikan rencana Allah, yang sudah ditetapkan dalam kekekalan. Ia tidak bisa menghentikan kelahiran Kristus. Ia tidak bisa menghentikan kematian Yesus di kayu salib. Ia tidak bisa menghentikan kebangkitan Kristus dari antara orang mati. Ia tidak bisa menghentikan Kristus membangun gereja-Nya. Ia tidak bisa menghentikan Kristus menyelamatkan Anda. Setan juga tidak bisa menghentikan Kristus untuk membawa Anda kembali kepada-Nya. Anda menempatkan iman Anda kepada Sang Raja yang tidak hanya sudah datang, tetapi yang kelak pasti datang kembali.

Di hari Natal ini, dalam perayaan kelahiran Kristus, mari kita mengingat alasan kedatangan-Nya. Mari mengingat juga bahwa Natal kedua kelak akan datang. Tuhan Allah kita belum selesai.

Apa pun yang dikatakan para penentang-Nya Yesus tetap akan datang. Meski banyak yang meragukan-Nya, Yesus tetap akan datang. Apa pun yang dikatakan kaum skeptis, Yesus tetap akan datang kembali. Seperti yang dikatakan Kitab Suci, “Lihatlah, Ia datang dengan awan-awan dan setiap mata akan melihat Dia” (Why 1:7).

Saudara terkasih, ingatlah: Setiap Natal membawa kita lebih dekat dengan Natal terakhir, saat Tuhan sendiri akan turun dari surga, yaitu pada waktu penghulu malaikat berseru dan sangkakala Allah berbunyi (1Tes. 4:16). Jika pengumuman malaikat kepada para gembala saja sudah begitu meriah dan mulia, bayangkan betapa megahnya saat kedatangan-Nya kembali nanti!

Bagi orang yang tidak percaya, kedatangan Kristus akan menjadi sesuatu yang menakutkan. Namun, bagi yang percaya kepada Kristus, kedatangan-Nya adalah sesuatu yang membawa kesukaan. Kita berkata, “Datanglah Tuhan! Maranatha! (1Kor. 16:22). Meskipun kita tidak tahu kapan atau bagaimana tepatnya Dia akan datang, kita berdoa, Datanglah Tuhan Yesus. Kami, umat-Mu menantikan Engkau. Kami rindu ditemukan setia. Kami mau bertekun. Datanglah, Tuhan Yesus.

Di hari Natal ini, kita merayakan keajaiban inkarnasi, Kita bergabung dengan para gembala yang bergegas hendak melihat sang bayi di palungan, memuliakan dan memuji Allah. Kita memuji bersama para majus yang bertelut di hadapan Kristus, Sang Anak. Kita bersukacita dalam Kabar Baik tentang anugerah yang menjadi alasan Yesus datang, mati, dan bangkit kembali. Kita hidup dalam pengharapan. Kita ingat bahwa Natal tahun ini adalah satu Natal yang membawa kita makin dekat pada Natal terakhir penuh kemuliaan yang kita nantikan. Karenanya, dengan segenap hati, kita dapat bernyanyi, “Datanglah, Tuhan Yesus, datanglah.”

— Anthony Carter

Artikel ini diadaptasi dari khotbah Anthony Carter yang disampaikan tanggal 24 Desember 2017. Digunakan dengan izin.

Bacalah kembali Yesaya 9:6–7; Lukas 2:4–7; dan 1 Petrus 1:3–5, 13

. Renungkan nubuat Yesaya dalam terang kedatangan pertama Kristus dan kedatangan kedua-Nya yang kita nantikan. Bagaimana pengharapan Anda akan kedatangan kembali Kristus dan pemerintahan-Nya yang kekal memperdalam pemahaman Anda akan kelahiran-Nya? Bagaimana hal ini dapat memperkaya perayaan Natal Anda?

Kontributor:

Quina Aragon adalah seorang penulis buku dan pembicara. Ia menulis buku anak-anak berjudul Love Made dan yang akan segera terbit, Love Gave (Februari 2021).

Anthony Carter adalah gembala sidang East Point Church di East Point, Georgia. Buku-buku yang ditulisnya antara lain: Running From Mercy dan Black and Reformed.

Marlena Graves adalah seorang penulis dan lektor kepala. Ia menulis buku berjudul The Way Up Is Down dan A Beautiful Disaster.

Diterjemahkan oleh: Elisabeth Cha

Minggu Adven 3: Imanuel, Allah Menyertai Kita

Bacaan renungan Adven (Advent) dari Christianity Today.

Christianity Today December 12, 2020
Illustration by Jared Boggess

Melompat ke bacaan harian: Minggu | Senin | Selasa | Rabu | Kamis | Jumat | Sabtu

Minggu: Kebesaran dan Kasih Karunia

Bacaan Hari Ini: Matius 1:1–17

Dalam ibadah-ibadah di masa Adven, kita sering merenungkan tentang siapa Kristus melalui terang bintang yang menuntun para majus kepada Sang Bayi Kudus; melalui persembahan istimewa: emas, kemenyan, dan mur; melalui nyanyian merdu bala tentara surga yang diperdengarkan kepada para gembala.

Jarang kita merenungkan tentang Yesus melalui silsilah-Nya. Di dalam silsilah itu kita membaca nama tokoh-tokoh besar seperti Abraham, bapa orang beriman, atau Raja Daud, seorang pahlawan sekaligus pemazmur. Namun, silsilah Sang Mesias tak hanya menunjukkan kebesaran-Nya. Kasih karunia juga tampak jelas di sana. Silsilah itu tak hanya menuliskan nama-nama para pemimpin, tetapi juga nama-nama yang paling tidak diharapkan—misalnya: Tamar, seorang perempuan yang sudah rusak, Rut, seorang perempuan Moab, dan Rahab, seorang perempuan malam.

Silsilah bukanlah sekadar sebuah daftar nama untuk dibaca sekilas. Di dalam silsilah kita bisa menemukan berbagai paradoks yang menunjukkan kemahakuasaan Allah. Tidak ada yang mustahil bagi-Nya. Dia yang merancang Sang Mesias datang melalui garis keturunan kerajaan sekaligus masyarakat kelas bawah.

Silsilah dari “Yesus Kristus, anak Daud, anak Abraham” tidak hanya membawa kita melihat pilihan-pilihan Allah yang tak terduga dalam menggenapi rencana-Nya untuk umat-Nya; tetapi juga melihat betapa Allah setia menggenapi janji-Nya. Lebih dari sekadar sebuah ringkasan yang berisi deretan nama, silsilah Yesus dalam Injil Matius mengungkapkan penggenapan nubuat tentang Mesias yang “akan keluar dari tunggul Isai”(Yes. 11:1), serta penggenapan janji Allah kepada Abraham, bahwa melaluinya, “semua bangsa akan diberkati” dan bahwa keturunannya akan “sangat banyak seperti bintang di langit” (Kej. 22:17–18).

Ambillah waktu untuk merenungkan dalam-dalam daftar nama ini. Izinkan penyataan diri Allah melalui silsilah ini membawa Anda untuk bertekun dalam kekudusan sembari menantikan kedatangan Kristus kembali. Jadikan silsilah ini sebagai pengingat bahwa kita dapat selalu mengandalkan Allah. Situasi hidup kita mungkin berantakan dan situasi dunia ini jauh dari harapan, tetapi Allah berkuasa memakai semua itu untuk menggenapi janji-Nya dan mendatangkan kebaikan bagi anak-anak-Nya. Tidak ada yang mustahil bagi-Nya. Biarlah silsilah Kristus ini membuat hati Anda dipenuhi puji-pujian atas semua yang telah dikerjakan Allah, sembari menantikan dengan penuh gairah apa yang sedang dan akan terus dikerjakan-Nya.

Rachel Kang

Renungkanlah Matius 1:1–17.

Anda juga dapat merenungkan kisah Tamar (Kej. 38), kisah Rut (Rut 1:1-5; 4:13-22), kisah Rahab (Yos. 2), kisah Daud (2Sam. 23:1–4), dan kisah Abraham (Kej. 22; Rm. 4:1–3). Bagaimana silsilah Yesus ini menyatakan tujuan kedatangan-Nya? Bagaimana silsilah ini menolong Anda untuk lebih mengandalkan Allah?

Senin: Tetap Menunggu

Bacaan Hari Ini: Lukas 1:5–25

Dalam zaman yang serba instan, ketika kita bisa memesan sesuatu secara online dan mendapatkannya satu jam kemudian, menunggu menjadi hal yang makin sulit. Padahal, seperti yang dikatakan seorang filsuf Prancis, Simone Weil, “Menunggu dengan sabar tanpa kehilangan pengharapan adalah fondasi dari kehidupan spiritual.”

Zakharia dan istrinya, Elisabeth, sudah menunggu cukup lama. “… mereka tidak mempunyai anak, sebab Elisabet mandul dan keduanya telah lanjut umurnya” (Luk. 1:7). Arti nama Zakharia adalah dia yang diingat Tuhan. Sebuah ironi yang menyakitkan. Memiliki nama yang berarti Tuhan mengingat, tetapi selama bertahun-tahun menunggu, doanya tak kunjung dijawab, seolah Tuhan sudah melupakannya sama sekali.

Namun, dalam Lukas 1:5-25, semuanya berubah. Malaikat Gabriel menampakkan diri kepada Zakharia dan berkata bahwa dia akan mempunyai seorang anak laki-laki. Berita ini sangat luar biasa, sangat mengejutkan, sehingga tanggapan Zakharia adalah: Ini mustahil! Sulit baginya untuk percaya bahwa dia akan punya anak. Akibatnya, malaikat harus memberinya radang tenggorokan parah yang membuatnya tidak bisa bicara sampai anak laki-laki itu lahir sembilan bulan kemudian.

Kisah Zakharia dan Elisabet mengingatkan kita bahwa tanggapan iman saat harus menunggu adalah berdoa. Gabriel berkata kepada Zakharia, “Doamu telah dikabulkan” (ay. 13). Perkataan itu menyiratkan apa yang telah dilakukan Zakharia dan Elisabet selama masa menunggu yang panjang. Mereka bertekun dalam doa. Mereka tetap berdoa meskipun situasi tidak berubah seperti harapan mereka. Mereka terus menantikan Allah, sekalipun mereka tertekan secara sosial, kecewa, dan tidak bisa melihat solusi atas masalah mereka.

Ketekunan mereka memang tidaklah sempurna. Perhatikan ayat 20: “Engkau tidak percaya akan perkataanku yang akan nyata kebenarannya pada waktunya.” (penekanan dengan huruf miring ditambahkan). Meskipun Zakharia kurang beriman, Allah tetap menyatakan mukjizat-Nya. Masa Adven mengingatkan kita bahwa sekalipun iman kita tidak selalu kuat, Allah tetap datang dalam kesetiaan-Nya. Kita bisa ragu, depresi, patah semangat, atau ingin menyerah, tetapi Allah tetap datang dalam kemurahan-Nya.

Kisah Zakharia dan Elisabet, adalah kisah yang indah sekaligus mendatangkan frustrasi. Indah karena penantian panjang mereka berakhir dengan doa yang terjawab. Mendatangkan frustrasi karena kita tahu bahwa tidak semua doa kita dijawab dengan cara serupa. Inilah kompleksitas Adven, kita perlu tetap tenang menunggu anugerah ilahi di tengah dunia yang penuh penderitaan. Entah sekarang maupun dalam kehidupan yang akan datang, Allah pasti akan membuat segalanya baru. Sebab itu, seperti Zakharia dan Elisabet, kita akan tetap menunggu.

Rich Villodas

Artikel ini diadaptasi dari khotbah Rich Villodas yang disampaikan tanggal 8 Desember 2019. Digunakan dengan izin.

Renungkanlah Lukas 1:5-25.

Bagaimana kisah Zakharia berbicara kepada Anda? Bagaimana kisah ini menyatakan kepada Anda tentang Allah? Tentang penderitaan? Tentang menunggu?

Selasa: Bagian dari Cerita

Bacaan Hari Ini: Lukas 1:26–38

Maria sekarang sangat terkenal, tetapi dahulu ia bukan siapa-siapa. Ia hanya seorang anak gadis sederhana dari Nazaret, sebuah kota kecil yang menurut beberapa ahli mungkin berpenduduk kurang dari 100 orang. Seperti teman-teman sebayanya, Maria bisa jadi buta huruf. Dengan latar belakang yang demikian, kemungkinan ia hanya bisa menikah dengan pemuda dari kalangan pekerja kasar. Keluarga mereka mungkin akan sering kelaparan karena penghasilan mereka tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Saat Allah semesta alam memutuskan untuk memilih “ibu”-nya, Dia tidak mendekati seorang perempuan muda dari keluarga yang kaya dan terpandang. Allah justru mendatangi seorang gadis buta huruf dari sebuah kota yang sangat kecil. Silsilah Yesus (Mat. 1:1–17) menunjukkan kepada kita bahwa kita tidak perlu berasal dari suku bangsa tertentu atau keturunan “umat pilihan” untuk menjadi bagian dari kisah Allah. Melihat Maria, kita tahu bahwa kita juga tidak harus menjadi kaya, tumbuh di kota besar, berpendidikan tinggi, atau menjadi tokoh penting di masyarakat. Kita bisa saja dipandang rendah oleh manusia, tetapi menjadi bagian dari kisah yang abadi ini.

Satu kualifikasi apa yang diminta Allah? Saat malaikat Gabriel datang kepada Maria dan berkata kepadanya, kamu akan menjadi ibunya Allah, Maria membuka hatinya dan berkata, ya, jadilah kepadaku menurut perkataanmu itu. Untuk menjadi bagian dari kisah Allah dan mengalami kelahiran-Nya di dalam kita, yang dibutuhkan adalah sebuah ya. Kita perlu mengizinkan Roh Kudus bekerja dengan leluasa di dalam kita.

Belakangan, saya menerapkan apa yang disebut sebagai Doa Menyambut. Saya berdoa seperti ini: Roh Kudus, aku menyambut pekerjaan-Mu di dalamku dan aku melepaskan hasratku akan rasa aman, cinta, dan harga diri, kuasa dan kendali. Inilah esensi “ya” Maria kepada Allah. Ia melepaskan rasa aman, cinta, dan harga diri, kuasa dan kendali. Sebagai hasilnya, reputasinya ternoda selama hidupnya. Setelah anak yang dilahirkannya itu dewasa, Maria harus melihatnya diolok-olok, diludahi, dipukuli, dan dipaku di salib Romawi. Rasanya seperti pedang yang menembus jiwa (Luk 2:35). Namun, ia tetap berkata ya.

Seperti Maria, kiranya kita bisa berkata, “Roh Kudus, mari bekerjalah di dalamku”. Kita membuka diri agar kehidupan Allah lahir di dalam kita. Kiranya kita pun memainkan bagian kita di dalam kisah Allah yang agung dan abadi.

Ken Shigematsu

Artikel ini diadaptasi dari khotbah Ken Shigematsu yang disampaikan tanggal 25 Desember 2019. Digunakan dengan izin.

Renungkanlah Lukas 1:26-38.

Dalam hal apa Anda mungkin perlu berkata

ya

seperti Maria? Dalam hal apa Anda perlu mengizinkan Roh Kudus bekerja dengan leluasa di dalam Anda? Berdoalah, sambutlah pekerjaan Allah di dalam kehidupan Anda.

Rabu: Pengharapan Saat Rencana Berantakan

Bacaan Hari Ini: Matius 1:18–24

Apa yang diharapkan Yusuf dalam hidup? Tidak banyak yang kita tahu tentang tukang kayu yang hidup di abad pertama ini. Menurut tulisan Matius, ia adalah orang yang tulus hati dan setia. Ia seorang yang penyayang, mau melindungi Maria, meskipun rencananya untuk masa depan jadi berantakan. Yusuf rela berkorban demi tugas yang diembannya, menjadi seorang suami untuk Maria dan ayah dari Yesus di tengah situasi yang sangat tidak menyenangkan. Ia bahkan mengungsi ke Mesir, meninggalkan keluarga, rumah, dan pekerjaannya, demi melindungi seorang balita yang bukan darah dagingnya (Mat. 2:13–15).

Kita melihat sekilas pribadi Yusuf dalam pilihan-pilihan yang dibuatnya, tetapi saya berharap bisa tahu lebih banyak. Bagaimana ia memaknai apa yang dikatakan malaikat dan memahami semua yang terjadi? Apakah Yusuf sudah lama ingin menikah dan berkeluarga? Apakah ia memang mencintai Maria, atau hanya dijodohkan orangtua? Apakah hatinya terluka saat tahu tunangannya mengandung? Apakah ia marah? Apakah ia frustrasi karena tidak bisa serta merta menceraikannya?

Kita tidak tahu pasti apa yang diharapkan Yusuf, tetapi pastinya tidak mungkin ia mengharapkan hal-hal ini: tunangan hamil, bakal bayi yang bukan anaknya, dan gunjingan orang sepanjang hidupnya. Siapa yang mau percaya cerita Maria tentang malaikat? Akankah Anda percaya? Apakah Yusuf sendiri percaya?

Mungkin ia tidak sepenuhnya percaya. Bila ada di posisinya, kebanyakan dari kita mungkin juga sulit untuk percaya, meski kita sangat ingin percaya. Bayi dikandung dengan cara yang sama dulu dan sekarang. Mungkin Yusuf bergumul dengan keraguan panjang, berseru kepada Allah seperti seorang tokoh Alkitab lainnya: “Aku percaya, tolonglah aku yang tidak percaya ini!” (Mark 9:24).

Apa pun yang diinginkan Yusuf dalam hidup, pernikahan, dan perannya sebagai seorang ayah, kita tahu bahwa perjalanan hidup yang harus dilaluinya lebih sulit dari yang ia harapkan. Yusuf mengarahkan pandangannya kepada pengharapan bahwa suatu hari kelak Allah akan terbukti setia dan benar; bahwa penebusan yang akan datang kelak berkuasa untuk membalikkan semua penderitaan dan kegelapan, semua kekecewaan yang pahit ini.

Mereka menamai anak Maria itu, Yesus, sebuah nama biasa, percaya bahwa anak itu juga adalah Imanuel dan bahwa skandal kisah kelahiran ini akan ditebus oleh skandal ilahi, “Allah menyertai kita”. Yusuf mempertaruhkan kehidupannya, keluarga, masa depan, dan identitasnya untuk memercayai bahwa Allah adalah setia, dan bahwa anak yang biasa, yang awalnya membawa banyak kekecewaan dan guncangan dalam hidupnya, benar adalah pengharapan bagi dunia.

Catherine McNiel

Renungkanlah Matius 1:18–24.

Bayangkanlah diri Anda masuk dalam kisah Yusuf. Mintalah Allah menolong Anda untuk memahami situasinya. Apa yang mungkin dipikirkan atau dirasakan Yusuf? Apa yang ditunjukkannya kepada kita tentang kesetiaan dan pengharapan?

Kamis: Nyanyian tentang Rahmat dan Keadilan

Bacaan Hari Ini: Lukas 1:39–56

Dalam Lukas 1:39–56, Maria meninggalkan kampung halamannya untuk mengunjungi kerabatnya Elisabet. Saat ia sampai di sana, ternyata Elisabet juga sedang mengandung. Begitu Elisabet melihat Maria, melonjaklah anak di dalam rahimnya karena bersukacita. Elisabet berkata, “Diberkatilah engkau, Maria!” Ia menegaskan dan meneguhkan apa yang telah difirmankan Allah atas Maria.

Bersukacita karena perjumpaan ini, Maria mulai menyanyi. Ia sangat senang dan bergembira. Ia menyanyikan kebaikan Allah, dan berfokus pada rahmat-Nya. Ia berkata, “Rahmat-Nya turun temurun atas orang yang takut akan Dia … Ia menolong Israel hamba-Nya, karena Ia mengingat rahmat-Nya” (ay. 50, 54).

Pemikiran kita tentang rahmat (atau belas kasihan) cenderung terbatas, misalnya menolong orang yang sedang sakit. Namun, dalam Kitab Suci, rahmat lebih dari itu. Tak hanya menyatakan belas kasihan, tetapi juga kesetiaan Allah dan kasih-Nya yang besar untuk umat-Nya.

Nyanyian Maria juga adalah sebuah nyanyian keadilan: “Ia mencerai-beraikan orang-orang yang congkak hatinya … Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah. Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar, dan menyuruh orang yang kaya pergi dengan tangan hampa.” (ay. 51–53). Saat Maria bernyanyi, pada dasarnya ia menyatakan keyakinan bahwa keadilan Allah akan dinyatakan.

Keadilan, menurut Alkitab, adalah tentang Allah meluruskan semua hal yang tidak benar di dunia. Dalam kerajaan Allah, ada hal-hal yang dibalikkan. Yang terkecil menjadi yang terbesar. Yang terakhir menjadi yang terdahulu. Keadilan adalah Allah mengambil apa yang sudah rusak dan membuatnya utuh kembali. Dalam masa Adven, masa yang penuh kerinduan dan pengharapan, kita menantikan Allah untuk meluruskan berbagai hal. Inilah tema kunci dalam nyanyian Maria: Tuhan, luruskanlah semua ini.

Nyanyian Maria mengingatkan kita bahwa tidak ada dosa yang tidak bisa dijangkau oleh rahmat Allah. Masa Adven menyatakan kabar baik bahwa Allah telah datang dan akan datang lagi dalam pribadi Yesus; Dia menawarkan rahmat yang jauh lebih besar daripada dosa-dosa kita. Nyanyian Maria juga mengingatkan kita bahwa tidak ada kebobrokan dunia yang tidak akan diluruskan keadilan Allah kelak. Inilah alasan kita bernyanyi: karena rahmat Allah, karena keadilan Allah. Inilah alasan kita menantikan Yesus untuk datang kembali: karena saat Dia datang, Dia akan membuat segalanya menjadi baru.

Rich Villodas

Artikel ini diadaptasi dari khotbah Rich Villodas yang disampaikan tanggal 5 Desember 2019. Digunakan dengan izin.

Renungkanlah Lukas 1:39–56

. Bagaimana nyanyian Maria yang menegaskan tentang rahmat dan keadilan Allah berbicara kepada hidup Anda hari ini? Bagaimana nyanyian itu menawarkan pengharapan kepada dunia kita yang terluka?

Jumat: Sang Terang dan Sang Raja

Bacaan Hari Ini: Yesaya 9:2–7, 40:1–5; Lukas 1:57–80, 3:1–6

Zakharia dan Elisabet menamakan bayi mereka, Yohanes, yang berarti, “Allah itu pemurah dan telah menunjukkan kemurahan-Nya kepada kami”. Penuh dengan Roh Kudus, Zakharia bernubuat atas putranya: “… engkau akan berjalan mendahului Tuhan untuk mempersiapkan jalan bagi-Nya, untuk memberikan kepada umat-Nya pengertian akan keselamatan yang berdasarkan pengampunan dosa-dosa mereka, oleh rahmat dan belas kasihan dari Allah kita, dengan mana Ia akan melawat kita, Surya pagi dari tempat yang tinggi, untuk menyinari mereka yang diam dalam kegelapan dan dalam naungan maut …” (Luk. 1:76–79).

Setelah Yohanes Pembaptis dewasa, kita melihat kehidupannya persis seperti yang dinubuatkan itu. Lukas mencatat,

Datanglah Yohanes ke seluruh daerah … menyerukan, “Bertobatlah dan berilah dirimu dibaptis dan Allah akan mengampuni dosamu, seperti ada tertulis dalam kitab nubuat-nubuat Yesaya: ‘Ada suara yang berseru-seru di padang gurun: Persiapkanlah jalan untuk Tuhan, luruskanlah jalan bagi-Nya. Setiap lembah akan ditimbun dan setiap gunung dan bukit akan menjadi rata, yang berliku-liku akan diluruskan, yang berlekuk-lekuk akan diratakan, dan semua orang akan melihat keselamatan yang dari Tuhan.’” (3:3–6)

Gambaran yang dipakai Yesaya tentang meratakan lembah dan bukit untuk menyiapkan jalan, dalam dunia kuno diasosiasikan dengan kedatangan keluarga kerajaan. Memang benar bahwa pelayanan Yohanes berfokus untuk satu hal ini: mengumumkan kedatangan seorang raja.

Nubuat Zakharia saat anaknya lahir memuat sebuah parafrasa dari kutipan kitab Yesaya berikut: “Bangsa yang berjalan di dalam kegelapan telah melihat terang yang besar; mereka yang diam di negeri kekelaman, atasnya terang telah bersinar” (9:2). Mereka yang mendengar nubuat Zakharia tahu persis bahwa kutipan kitab Yesaya itu bicara tentang janji kedatangan seorang raja. Kutipan itu diambil dari satu pasal terkenal yang juga menyatakan, “… seorang anak telah lahir untuk kita … di atas takhta Daud.” (ay. 6-7).

Janji ini memberi kita pengharapan yang besar. Sekalipun kita ingin bisa mengupayakan damai dan sukacita kita sendiri, baik kisah Yohanes Pembaptis maupun perkataan Zakharia dan Yesaya menegaskan bahwa damai dan sukacita yang didambakan semua manusia tidak akan terwujud sampai sang raja datang. Yohanes Pembaptis memberikan seluruh hidupnya untuk memproklamasikan kebenaran ini, untuk menolong orang melihat seberkas terang yang akan segera menerobos kegelapan.

Jay Y. Kim

Artikel ini diadaptasi dari khotbah Jay Y. Kim yang disampaikan pada tanggal 9 Desember 2018. Digunakan dengan izin.

Renungkanlah Lukas 1:57–80

berdampingan dengan

Yesaya 9:2–7, 40:1–5,

dan

Lukas 3:1–6.

Bagian mana dari nubuat Zakharia yang paling mengesankan untuk Anda? Bagaimana ayat-ayat ini menyatakan pengharapan masa Adven?

Sabtu: Allah yang Bisa Kita Sentuh

Bacaan Hari Ini: Lukas 2:1–7

Konon, para allah di dunia kuno tinggal di luar ruang dan waktu, di sebuah dunia yang berbeda dengan dunia kita manusia, tidak terjangkau. Di bumi, dalam pengharapan bisa melihat yang ilahi, orang-orang kuno mengkhususkan tempat-tempat tertentu—misalnya: pohon atau gunung keramat, bait atau kota suci—yang dipercaya sebagai sebuah jendela yang menghubungkan dunia ini dengan surga. Orang berziarah ke tempat-tempat suci ini pada hari-hari raya, percaya bahwa mungkin saja yang di surga dan yang di bumi bisa berjumpa pada satu momen yang suci.

Lukas berusaha sebaik mungkin untuk mengomunikasikan bahwa kisah yang ditulisnya, Allah yang diberitakannya, perjumpaan antara yang ilahi dan manusia yang dimaksudkannya sangatlah berbeda. Sang Pencipta datang ke dunia kita yang kotor dan berdebu, yang punya aspek jasmani dan emosional, yang indah sekaligus rusak. Seperti seorang bidan yang dengan cermat mencatat waktu dan tempat kelahiran seorang bayi, Lukas menjelaskan bahwa kelahiran Allah menginterupsi suatu peristiwa khusus—sensus Romawi—terjadi di sebuah tempat yang khusus—kota Betlehem—dalam sebuah keluarga yang khusus—keturunan Daud. Yesus lahir ke dalam sejarah, melalui seorang perempuan yang sudah dipilih, di waktu dan tempat yang spesifik. Bagi kita semua detail ini mungkin kerap terlewatkan, tetapi bagi orang-orang nonYahudi yang membaca kitab Lukas, semua detail ini sangatlah mengejutkan.

Malam itu, Allah tidak datang seperti gambaran para allah zaman kuno, mengendarai sebuah awan atau badai, memantulkan sebagian kedahsyatan-Nya lewat sebuah cermin keramat. Tidak. Allah menjatuhkan diri-Nya ke dalam pelukan seorang ibu, datang ke dunia ini dengan cara yang sama seperti semua manusia. Dikandung dalam rahim selama berbulan-bulan, dilahirkan dengan perjuangan dan darah. Allah datang sebagai seorang bayi yang lemah, berkerut-kerut dan basah. Lelah dengan prosesnya, Dia jatuh tertidur, tetapi tak lama kemudian bangun lagi, menangis karena lapar.

Apa yang diberitakan Lukas sukar dipercaya: Allah yang sejati telah datang mendekat kepada kita dengan tubuh jasmani yang bisa dipegang, bisa dilihat dengan mata dan disentuh dengan tangan. Allah datang dan tinggal di sebuah desa yang bisa dikunjungi, dalam tahun yang bisa diingat. Dia mengambil rupa seorang manusia dalam rahim seorang ibu, lahir seperti semua bayi yang lain pada suatu malam di sebuah desa, dalam sebuah keluarga. Manusia tidak lagi perlu mencari Allah di tempat-tempat keramat dan alam roh, tetapi dapat berjumpa langsung dengan-Nya di dunia nyata, menginjak tanah, bersama keluarga, memiliki tubuh dan darah.

Sebuah berita yang mengejutkan, bahkan bagi kita yang hidup berabad-abad kemudian. Tidak ada lagi pemisahan antara yang di surga dan yang di dunia. Di tengah rutinitas dan masalah hidup sehari-hari, Allah bersedia dijumpai dan menyatakan pekerjaan-Nya. Inilah Allah yang bisa kita sentuh.

Catherine McNiel

Renungkanlah Lukas 2:1–7

. Perhatikanlah setiap detail keterangan yang diberikan Lukas untuk menggambarkan peristiwa kelahiran Yesus. Mengapa detail itu penting? Apa yang ditunjukkan detail tersebut tentang Allah dan tentang masa Adven?

Kontributor:

Rachel Kang adalah seorang penulis prosa, puisi, dan sejumlah karya literatur lainnya. Ia adalah penggagas Indelible Ink Writers, sebuah komunitas daring dari para pekerja kreatif.

Jay Y. Kim adalah salah satu pendeta di West Gate Church, pengajar di Vintage Faith Church, dan penulis buku Analog Church. Beliau tinggal bersama keluarganya di Silicon Valley.

Catherine McNiel adalah seorang penulis dan pembicara. Beliau adalah penulis buku All Shall Be Well dan Long Days of Small Things.

Ken Shigematsu adalah gembala sidang Tenth Church di Vancouver, British Columbia. Beliau menulis buku God in My Everything dan Survival Guide for the Soul.

Rich Villodas adalah gembala sidang dari New Life Fellowship, sebuah gereja multietnis di Queens, New York. Beliau adalah penulis buku The Deeply Formed Life.

Diterjemahkan oleh: Echa Puspita

Minggu Adven 2: Kehadiran Allah dan Janji-Janji-Nya

Bacaan renungan Adven (Advent) dari Christianity Today.

Christianity Today December 5, 2020
Illustration by Jared Boggess

Melompat ke bacaan harian: Minggu | Senin | Selasa | Rabu | Kamis | Jumat | Sabtu

Minggu: Apa yang Dilihat Allah

Bacaan Hari Ini: Keluaran 1:1–3:10

Keluarnya bangsa Israel dari tanah Mesir telah menyalakan imajinasi banyak orang. Pada dasarnya, kisah mereka adalah sebuah kisah tentang pengharapan, yang awalnya tidak dipahami bangsa Israel. Mereka adalah kelompok minoritas yang dijadikan budak oleh seorang Firaun yang ambisius dan tamak, pemimpin yang selalu berusaha mendapatkan untung sebesar-besarnya dengan modal yang sekecil-kecilnya. Meski sangat membutuhkan tenaga mereka, Firaun juga melihat bangsa Israel—terutama kaum lelakinya—sebagai ancaman. Tidak hanya memaksa mereka membanting tulang, Firaun juga berusaha membunuh anak-anak lelaki mereka.

Di awal kitab Keluaran, penulis menarik perhatian kita kepada para perempuan dalam kisah ini: para bidan, seorang ibu dan anak perempuannya, serta putri Firaun. Setiap tokoh bertindak dalam lingkup pengaruhnya untuk mengatasi kebijakan kejam Firaun. Kerja sama mereka menyelamatkan bayi Musa. Mereka bertindak dengan pengharapan, menolak untuk menyerah kepada rezim yang ada. Penulis menggambarkan tindakan mereka yang berani dengan kata-kata yang dipakai juga untuk menggambarkan penyelamatan Allah atas bangsa Israel.

Perhatikan beberapa contoh berikut: Ibu Musa melihat bahwa anak itu cantik (Kel. 2:2), ungkapan ini dalam bahasa aslinya juga dipakai di Kejadian 1, saat Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya dan melihat yang dijadikan-Nya itu sungguh amat baik. Ini mengingatkan kita bahwa setiap manusia berharga di mata Allah. Kemudian, ibu Musa menempatkan bayinya di sebuah peti dan menaruhnya di tengah-tengah teberau atau rerumputan tinggi. Dalam bahasa aslinya, kata yang diterjemahkan peti sama dengan bahtera dalam kisah Nuh. Ini mengingatkan kita bagaimana Allah menyelamatkan Nuh dan keluarganya dari air bah. Penyelamatan Musa merujuk kepada penyelamatan bangsa Israel melewati Laut Teberau yang terjadi kemudian. Putri Firaun melihat petinya, melihat bayi yang menangis, dan berbelas kasihan kepadanya. Dalam sekejap, muncul pengharapan bagi sang bayi yang tadinya sudah pasti akan mati. Kita tahu bahwa Allah juga melihat penderitaan umat-Nya, memperhatikan tangisan mereka, dan berbelas kasihan kepada mereka. Belas kasihan Allah menggerakkan-Nya bertindak, mengutus Musa untuk memimpin umat-Nya keluar dari tanah Mesir.

Dasar pengharapan Kristen adalah Allah yang melihat. Tidak ada yang luput dari perhatian-Nya. Di tengah masa Adven, kita tahu bahwa Allah memperhatikan ketidakberesan di dalam dunia, dan Dia akan melakukan sesuatu untuk membereskannya. Adakalanya Allah terasa jauh saat kita menderita, tetapi sesungguhnya Allah senantiasa bekerja untuk menjaga perjanjian yang telah dibuat-Nya dengan Abraham (Kej. 17). Atas dasar perjanjian itulah, Allah mengutus Yesus ke dalam dunia.

Kisah Keluaran mengajak kita untuk ikut serta dalam karya penebusan Allah yang luar biasa. Para perempuan dalam kisah ini tidak mendengar suara ajaib dari surga yang menyuruh mereka bertindak. Yang mereka lakukan adalah menjalani hidup mereka dengan keyakinan bahwa Allah melihat dan berkuasa untuk bertindak sesuai yang dipandang-Nya baik. Mereka tahu apa yang seharusnya mereka lakukan, dan mereka melakukannya.

Carmen Joy Imes

Renungkanlah Keluaran 1:1–3:10

. (Anda juga bisa membaca Keluaran 3:11–4:17 dan 13:17–14:31.) Bagaimana para perempuan yang disebut dalam pasal 1 dan 2 menunjukkan pengharapan yang mereka miliki? Bagaimana kisah dari Kitab Keluaran ini memperkaya pemahaman kita tentang masa Adven?

Senin: Damai di Tengah Badai

Bacaan Hari Ini: Mazmur 46 dan 112

Dalam Mazmur 46, kita membaca pernyataan yang penuh keyakinan, “Sebab itu kita tidak akan takut, sekalipun bumi berubah, sekalipun gunung-gunung goncang di dalam laut” (ay. 3). Seperti pemazmur, dunia kita mengalami banyak goncangan: pandemi, resesi, diskriminasi ras, kebakaran hutan, badai topan, banjir, dan musim kampanye yang menegangkan untuk memilih para pemimpin. Bumi kita berubah dan gunung-gunung goncang di dalam laut.

Yang sangat mengesankan bagi saya, mazmur ini mengajak kita untuk tetap tenang. “Diamlah dan ketahuilah, bahwa Akulah Allah!” Ketenangan yang dibicarakan pemazmur di sini bukanlah ketenangan yang muncul setelah semua masalah selesai. Pemazmur masih dikelilingi dengan ributnya bangsa-bangsa dan goncangnya alam semesta. Namun, di tengah semua itu, Allah memerintahkan ketenangan. Ini mengingatkan kita kepada Yesus yang tidur di atas perahu saat angin ribut melanda (Mat. 8:23-27). Ia begitu mempercayai Bapa-Nya, sehingga Dia bisa beristirahat di tengah gelombang yang mengamuk. Damai sejahtera yang melampaui akal seperti itulah yang tersedia bagi setiap kita yang mengenal siapa Allah.

Dalam ayat 10, Allah menjelaskan mengapa kita bisa tetap tenang: “Aku ditinggikan di antara bangsa-bangsa, ditinggikan di bumi!” Allah tahu bagaimana kelanjutan ceritanya. Dia akan menang pada akhirnya. Kepastian itu membentuk respons kita terhadap berbagai tantangan dalam hidup. Allah kita—yang akan datang sebagai pemenang—menyertai kita (ay. 8, 12). Dialah kota benteng kita di tengah badai.

Pengharapan kita muncul di tengah-tengah masalah—kita tidak panik dan tidak takut—bukan karena kita mengandalkan diri kita sendiri, melainkan karena Pribadi yang mengetahui dan memperhatikan segala sesuatu itu menyertai kita.

Inilah pengharapan di masa Adven. Yesus datang menjadi sama seperti kita, memasuki panggung sejarah manusia yang berantakan. Tangis-Nya pecah saat Ia dilahirkan ke dalam dunia yang terluka, ketika pemerintahan Romawi memungut pajak yang tidak adil dan menindas peribadatan bangsa Israel. Suatu hari kelak, saat Yesus kembali untuk menggenapi karya keselamatan-Nya bagi kita, Dia akan kembali masuk ke dalam dunia yang penuh dengan masalah.

Kita membaca dalam Mazmur 112, “Di dalam gelap terbit terang bagi orang benar … ia tidak takut kepada kabar celaka, hatinya tetap, penuh kepercayaan kepada TUHAN.” Hati yang tetap tenang tahu bagaimana ceritanya nanti akan berakhir, sehingga bisa melewati badai dengan penuh kepercayaan kepada TUHAN. Seperti itulah pengharapan yang kita miliki.

Carmen Joy Imes

Renungkanlah Mazmur 46 dan 112.

Bagaimana kedua mazmur ini menggambarkan damai dan pengharapan di dalam masa-masa yang sulit? Bagian mana dari kedua mazmur ini yang paling menarik perhatian Anda atau berbicara secara khusus kepada Anda?

Selasa: Transformasi yang Mencengangkan

Bacaan Hari Ini: Yesaya 2:1–5

Yesaya 2 menunjukkan sebuah penglihatan tentang rumah Tuhan di atas gunung, tempat Bait Suci berada. Dalam penglihatannya, gunung itu telah menjadi gunung tertinggi di dunia, sehingga menarik perhatian orang dari berbagai penjuru dunia, dan “segala bangsa” datang berduyun-duyun ke sana. Mereka pergi ke sana untuk belajar dari Tuhan. Di sanalah pengajaran Tuhan akan diberikan, dan di sanalah Ia akan menjadi hakim bangsa-bangsa, menyelesaikan semua pertikaian di antara mereka.

Gambaran ini tidak masuk akal karena beberapa alasan. Yang paling jelas adalah: Sion tempat Bait Allah berada, hanyalah sebuah bukit kecil di antara banyak puncak gunung yang sangat tinggi (Bukit Zaitun saja lebih tinggi darinya). Namun, saya menduga, penglihatan ini tidak berbicara tentang perubahan permukaan bumi secara harafiah.

Alasan lainnya, Yesaya baru saja menggambarkan Yerusalem sebagai sebuah kota yang seperti pelacur—di sana tidak ada kesetiaan, kejujuran, pemerintahan yang benar, dan perhatian kepada orang-orang yang lemah (1:21–23). Namun, Yesaya kemudian melanjutkan dengan sebuah janji bahwa kota itu akan dibersihkan dan kembali disebut sebagai “kota yang setia”, “kota keadilan” (ay. 26). Setelah transformasi tersebut, barulah Yesaya menuliskan penglihatannya tentang transformasi mencengangkan yang kedua (2:1-5). Dengan adanya transformasi pertama, penglihatan tentang bagaimana seluruh dunia tertarik untuk datang ke Yerusalem, menjadi mungkin terjadi.

Dalam sebuah kebaktian doa yang saya ikuti beberapa minggu lalu, salah satu rekan kerja saya berkomentar bahwa saat ini kita hidup di tengah dunia yang mengalami empat krisis: krisis layanan kesehatan, krisis rasial, kriris pemerintahan, dan krisis ekonomi. Dalam situasi yang demikian, orang tidak datang kepada para pengikut Yesus dan memandang kita sebagai orang-orang yang bisa mengatasi semua krisis tersebut. Tidak ada tanda-tanda bahwa bangsa-bangsa akan datang kepada umat Allah seperti yang ditunjukkan dalam penglihatan Yesaya tentang bangsa-bangsa yang tertarik untuk datang ke Yerusalem. Namun, janji Allah tetaplah berlaku.

Saat Yesus datang, Dia datang sebagai “ya” bagi semua janji Allah (2Kor. 1:20). Dia tidak langsung menggenapi semua janji itu sekaligus, tetapi Dia menjamin bahwa semua janji-Nya pasti akan digenapi. Kiranya kita meresponi penglihatan dan janji ini sama seperti ajakan Yesaya kepada bangsanya: “Mari kita berjalan di dalam terang TUHAN!”

John Goldingay

Renungkanlah Yesaya 2:1–5

. Apa yang paling berkesan bagi Anda tentang visi atau penglihatan Yesaya tentang masa depan ini? Kerinduan dan harapan terbesar apa yang dijawab oleh penglihatan ini? Renungkanlah hubungannya dengan masa Adven—menantikan kedatangan Kristus yang pertama dan yang akan datang.

Rabu: Membangun Jalan Bebas Hambatan

Bacaan Hari Ini: Yesaya 40:1–11

Selama dua atau tiga dekade terakhir, Israeli National Roads Authority telah membangun rangkaian jalan yang sangat mengesankan: jalan bebas hambatan yang melintasi seluruh wilayah Israel. Salah satu proyek yang sedang mereka kerjakan sekarang adalah sebuah jalan arteri kota dengan terowongan dan jembatan yang akan membawa orang langsung menuju pusat kota Yerusalem dari wilayah ujung kota itu melalui jalan bebas hambatan Tel Aviv. Proyek konstruksi tersebut terhalang oleh keberadaan tanah pekuburan Romawi berusia 1.900 tahun, yang proses pembebasan lahannya menimbulkan sejumlah protes. Namun, orang ingin bisa bepergian ke Yerusalem dengan cepat, dan untuk itu mereka merasa bahwa sebuah jalan bebas hambatan dibutuhkan—mirip dengan yang diperintahkan Allah dalam Yesaya 40: “Persiapkanlah di padang gurun jalan untuk TUHAN, luruskanlah di padang belantara jalan raya bagi Allah kita!” (ay. 3).

Di musim panas 587 SM, Allah meninggalkan Yerusalem. Cukup sudah kesabaran-Nya terhadap umat-Nya yang tidak setia. Kemuliaan-Nya pergi, demikian Yehezkiel 10 mencatatnya. Saat Allah melangkah keluar, Raja Nebukadnezar pun bebas masuk. Ia menghancurkan kota itu sampai tidak bisa dihuni dan pusat pemerintahan dipindahkannya ke kota Mizpa.

Tidak ada yang terjadi selama setengah abad kemudian. Lalu, di Yesaya 40, Allah berfirman kepada salah satu nabi-Nya untuk menyerukan pembangunan sebuah jalan bebas hambatan melintasi padang gurun dan belantara, karena Dia akan kembali ke kota itu, membawa serta umat-Nya yang terserak di berbagai tempat. Allah sungguh kembali. Sebagian umat-Nya di pembuangan juga kembali. Mereka berusaha sebaik mungkin untuk membuat kota itu bisa dihuni lagi. Kitab Ezra mencatat bagaimana mereka membangun kembali Bait Suci, dan Allah sekali lagi tinggal di sana, menjumpai mereka.

Secara keseluruhan, hubungan antara Allah dan umat-Nya menjadi lebih baik selama 500 tahun kemudian, meskipun hampir sepanjang waktu mereka tetap berada di bawah penjajahan kerajaan demi kerajaan lain. Mereka masih mendambakan kemerdekaan.

Di tahun 30 M, datanglah Yohanes Pembaptis, mengutip Yesaya 40 dan menyatakan bahwa semua orang perlu kembali kepada Allah dan disucikan. Sekali lagi Allah berkata: Persiapkanlah jalan untuk-Ku, Aku akan datang kembali, dan Aku akan membereskan masa depanmu (Mat. 3:3). Kali ini, jalan bebas hambatan yang dimaksud adalah pertobatan moral dan religius; Yohanes diutus untuk membangunnya.

Setiap masa Adven tiba, Allah sekali lagi mengatakan kepada kita, sama seperti yang difirmankan-Nya di dalam Yesaya 40: Persiapkanlah jalan untuk-Ku. Anda ingin melihat Yesus? Dia akan segera datang.

John Goldingay

Renungkanlah Yesaya 40:1–11,

pertama-tama dalam konteks saat itu: umat Allah sedang berada di dalam pembuangan, jauh dari Yerusalem. Lalu, baca kembali dalam konteks peran Yohanes Pembaptis dan kedatangan Kristus (Mat. 3). Bagian apa yang berkesan bagi Anda saat Anda melihatnya melalui dua lensa yang berbeda?

Kamis: Doa yang Berani dan Berbahaya

Bacaan Hari Ini: Yesaya 64:1–9

Kami berharap Engkau akan mengoyakkan langit dan turun, sehingga gunung-gunung goyang di hadapan-Mu! Inilah doa dari Yesaya 64. Urutan pasal dalam Yesaya mengindikasikan bahwa doa ini dinaikkan setelah kerajaan Persia menaklukkan kekuasaan Babel di Timur Tengah. Sayangnya, transisi kekuasaan ini tidak membawa banyak perbaikan bagi Yehuda. Para nabi telah memberitahu Yehuda bahwa Allah akan meruntuhkan semua kerajaan yang menguasai mereka, tetapi waktu itu sepertinya tak kunjung tiba. Peralihan kekuasaan dari Babel ke Persia menggarisbawahi kenyataan tersebut. Situasi berubah, tetapi keadaan mereka tetap sama. Jadi, koyakkanlah langit dan datanglah memperbaiki semua ini, ya Tuhan!

Namun, di pasal selanjutnya, Yesaya 65, Allah justru geram dan pada dasarnya berkata, Kamu berani sekali! Allah tampaknya murka terhadap perkataan lancang orang Yehuda di Yesaya 64.

Saat Yesus datang, Allah mengoyakkan langit dan datang membawa pemberesan. Kitab-kitab Injil tidak memakai ungkapan itu saat Yesus lahir sebagai manusia (inkarnasi), tetapi mereka memakai ungkapan tersebut saat Roh Kudus turun ke atas Yesus setelah dibaptis (Mark. 1:10), saat Yesus dimuliakan melalui transfigurasi (Mark. 9:7), dan saat Yesus berdoa menjelang penyaliban-Nya (Yoh. 12:28–29).

Beberapa dekade kemudian, beberapa orang yang percaya kepada Yesus mengajukan pertanyaan yang mirip dengan pertanyaan bangsa Yehuda: Mengapa semua sepertinya masih sama saja? (2Ptr. 3:4). Mereka pun seperti sedang berkata kepada Tuhan, Kami berharap Engkau akan mengoyakkan langit dan turun! Respons Petrus kepada mereka juga adalah sebuah konfrontasi. Ia mengingatkan para penerima suratnya bahwa dahulu dunia sudah pernah dihakimi dengan air bah, dan kelak akan dihakimi lagi dengan api (ay. 5–7).

Baik orang Yehuda maupun orang Kristen mula-mula, merupakan kelompok masyarakat kecil yang hidupnya diatur oleh kerajaan besar yang berkuasa atas mereka. Kebanyakan dari kita tidak demikian. Dalam banyak hal, kitalah “kerajaan” yang hendak mengatur orang lain. Saat kita berdoa seperti Yesaya 64, “Kami berharap Engkau akan mengoyakkan langit dan turun, datanglah memperbaiki semua ini, datang dan bereskanlah para penguasa kami, datang dan bereskanlah ketidakadilan yang ada,” tanggapan Allah bisa jadi menakutkan. Kita akan menemukan Allah justru datang untuk melakukan pemberesan dalam hidup kita. Saat kita berdoa, Datanglah, Tuhan!, kita mengundang Allah untuk mengonfrontasi kita dan menginsafkan kita.

John Goldingay

Renungkanlah Yesaya 64:1–9

. (Anda juga dapat membaca Yesaya 65:1–12.). Kapan Anda pernah merindukan juga hal yang dituliskan dalam Yesaya 64:1 itu terjadi? Bagaimana konteks Allah mengonfrontasi dosa menambah pemahaman Anda tentang Yesaya 64:1-9? Bagaimana Anda akan menanggapi Allah?

Jumat: Terang dan Kehidupan

Bacaan Hari Ini: Yesaya 9:2; Yohanes 1:4–5, 9

Sebagian dari kita tumbuh besar di perkotaan, jadi kita tidak benar-benar tahu yang namanya kegelapan. Hampir di setiap sudut kota diterangi lampu dan kita tidak kesulitan melihat karena terangnya. Namun, ada pula sebagian dari kita yang tumbuh besar di pedesaan, jauh dari lampu-lampu kota—tempat gelap itu benar-benar gelap. Malam bisa sangat gelap, sampai Anda bahkan tidak bisa melihat tangan yang diangkat di depan wajah Anda.

Inilah gambaran dalam Yesaya 9:2—kegelapan dosa itu sangatlah gelap, tanpa cahaya, melumpuhkan dan membuat kita tidak bisa ke mana-mana. Anda tidak bisa berjalan dalam kegelapan dengan kepastian apa pun. Anda tidak tahu ke mana Anda menuju, Anda tersesat. Kegelapan di sini menyimbolkan kebutaan dan kematian yang diakibatkan oleh dosa.

Namun, Allah menyelesaikan masalah dosa dan kematian ini dengan Natal. Bangsa yang berjalan di dalam kegelapan “telah melihat terang besar”. Mereka tidak menyalakan terang itu, tetapi terang itu bercahaya atas mereka. Allah menerobos ke dalam kegelapan dosa, membawa pengharapan baru, visi yang baru, dan kehidupan baru di dalam kebenaran.

Tidak heran bahwa hampir semua kitab Injil mengutip nubuat Yesaya ini dalam menggambarkan bagaimana Yesus datang ke dalam dunia. Misalnya, saat Yohanes memberitahu kita tentang kelahiran Yesus—peristiwa inkarnasi—ia memakai simbol terang ini. “Di dalam Dia ada hidup, dan hidup itu adalah terang manusia. Terang itu bercahaya di dalam kegelapan, dan kegelapan itu tidak menguasainya … Terang yang sesungguhnya, yang menerangi setiap orang, sedang datang ke dalam dunia” (Yoh. 1:4-5, 9).

Yesus adalah terang yang sesungguhnya itu. Natal adalah tentang Allah yang mengutus terang ini ke dalam dunia untuk memberikan keselamatan kepada semua orang yang mau percaya kepada-Nya. Natal bukan tentang terang lampu-lampu yang menghiasi pohon atau rumah kita. Semua itu hanyalah simbol yang lemah dari terang yang jauh lebih kuat, yang memberi kehidupan bagi dunia.

Yesaya melihat terang itu 700 tahun sebelum kelahiran Yesus. Dua ribu tahun lalu, para rasul melihat terang itu di wajah Tuhan Yesus Kristus. Hari ini, terang yang sama telah diperlihatkan kepada kita di dalam pesan Injil. Setiap orang yang berada dalam kegelapan harus bertobat dari dosa dan percaya di dalam terang ini supaya dapat masuk ke dalam kerajaan Allah. Inilah cara Tuhan mengubah kita. Inilah pesan dari terang yang membawa kehidupan.

Thabiti Anyabwile

Artikel ini diadaptasi dari salah satu khotbah Thabiti Anyabwile yang disampaikan pada tanggal 17 Desember, 2017. Digunakan dengan izin.

Renungkanlah Yesaya 9:2

dan

Yohanes 1:4–5, 9.

Dengan sikap doa, renungkanlah tentang

kegelapan, terang,

dan

kehidupan

dalam bagian Alkitab ini. Bagaimana nubuat Yesaya menolong Anda memahami pengharapan sejati yang dibawa Kristus?

Sabtu: Seorang Putra Telah Diberikan

Bacaan Hari Ini: Yesaya 7:14; 9:6–7

Yesaya 9:6–7 adalah sebuah biografi profetik Yesus yang mengagumkan. Sang putra yang digambarkan Yesaya adalah “Penasihat Ajaib”. Kata yang diterjemahkan ajaib adalah kata yang juga sering dipakai di dalam Perjanjian Lama untuk menggambarkan mukjizat—“keajaiban-keajaiban” yang dilakukan Allah di dunia. Kata penasihat sendiri membawa pikiran kita tertuju kepada hikmat Allah. Inilah Yesus, Penasihat kita yang ajaib dan penuh mukjizat, yang berbicara kepada kita dan menuntun kita supaya kita dapat hidup di jalan kebenaran.

Putra ini adalah “Allah yang Perkasa”. Dialah anak istimewa yang disebut Yesaya 7:14 akan lahir dari seorang perawan dan dinamakan “Imanuel”, artinya “Allah beserta kita”. Kuat dan perkasa, tidak ada kelemahan sama sekali di dalam Allah. Bahkan sebagai seorang bayi di palungan, Yesus sedang menopang alam semesta dengan firman-Nya yang berkuasa.

Putra ini adalah “Bapa yang kekal”. Tidak berarti Dia adalah pribadi yang sama dengan Allah Bapa; Bapa dan Putra adalah pribadi yang berbeda dari Allah Tritunggal. Istilah ini lebih baik diterjemahkan sebagai bapa di segala zaman, tidak terbatas oleh waktu, dan yang selalu mengayomi umat-Nya seperti seorang bapa. Mazmur 103:13 mengatakan demikian: “Seperti bapa sayang kepada anak-anaknya, demikian TUHAN sayang kepada orang-orang yang takut akan Dia.” Berulang kali dalam kitab-kitab Injil, kita diberitahu bagaimana Yesus tergerak oleh belas kasihan saat melihat orang banyak. Dia adalah seorang Juruselamat yang memiliki kasih seorang bapa kepada anak-anaknya.

Putra ini juga adalah “Raja Damai”. Matthew Henry menulis tentang Yesus, “Sebagai Raja Damai, Dia mendamaikan kita dengan Allah. Dia adalah Sang Pemberi damai di dalam hati dan pikiran kita, Ketika kerajaan-Nya dinyatakan secara penuh, manusia tidak akan lagi saling berperang.”

Yesus adalah sebuah keajaiban. Nasihat-Nya tidak pernah salah. Dia adalah Allah yang perkasa. Dia memiliki hati seorang bapa. Dia memberikan damai kerajaan kepada setiap orang yang percaya kepada-Nya. Dia bukan hanya seorang bayi biasa. Dia adalah Allah yang datang ke dunia; dan jangan melewatkan catatan penting dalam ayat ini: Dia telah diberikan untuk kita.

Dia adalah milik kita, jika kita mau menerima-Nya. Dengan semua hikmat-Nya, kekuatan-Nya, dan hati bapa-Nya, Yesus datang ke dalam hidup setiap orang yang percaya kepada-Nya. Inilah Sang Putra yang dinanti-nantikan dunia. Dia telah datang ke dalam dunia untuk memberikan diri-Nya kepada kita.

Thabiti Anyabwile

Artikel ini diadaptasi dari salah satu khotbah Thabiti Anyabwile yang disampaikan pada tanggal 17 Desember 2017. Digunakan dengan izin.

Renungkanlah Yesaya 7:14 dan 9:6–7

. Frasa atau konsep apa yang paling berkesan bagi Anda? Pengharapan seperti apa yang menurut Anda diberikan firman Tuhan ini kepada para pendengar pertama nubuat Yesaya? Pengharapan seperti apa yang sekarang diberikan firman Tuhan ini kepada Anda?

Kontributor:

Thabiti Anyabwile adalah seorang pendeta di Anacostia River Church di Washington DC. Beliau sudah menulis beberapa buku, termasuk yang berjudul Exalting Jesus in Luke.

John Goldingay adalah seorang guru besar Perjanjian Lama di Fuller Theological Seminary. Beliau menerjemahkan ulang seluruh Perjanjian Lama dalam buku berjudul The First Testament.

Carmen Joy Imes adalah seorang guru besar Perjanjian Lama di Prairie College dan penulis buku Bearing God's Name: Why Sinai Still Matters.

Diterjemahkan oleh: Echa Puspita

Adven: Pengharapan yang Hidup

Bahan Renungan Harian dari Christianity Today

Christianity Today November 28, 2020
Jared Boggess

Apa artinya memiliki pengharapan di tengah masa-masa yang sukar? Pengharapan itu lebih dari sekadar perasaan. Pengharapan itu bukan sekadar terus optimis atau menyikapi keadaan secara positif. Kitab Suci memberi kita sebuah pengertian tentang pengharapan yang jauh lebih solid. Pengharapan Kristen memiliki bobot, ketahanan, dan tujuan—serta bersumber dari Allah.

Allah, “karena rahmat-Nya yang besar telah melahirkan kita kembali … kepada suatu hidup yang penuh pengharapan.” (1Ptr 1:3). Dan “Allah sumber pengharapan”, Dialah yang memampukan kita untuk “berlimpah-limpah dalam pengharapan, oleh kekuatan Roh Kudus” (Rm 15:13). Realita ini tidak hanya benar saat segala sesuatu berjalan lancar. Faktanya, justru di dalam masa-masa yang gelap dan sulitlah, pengharapan benar-benar menunjukkan ketangguhannya.

Jay Y. Kim menuliskan paragraf berikut dalam artikelnya: “Pengharapan: Sebuah Lompatan Penantian”,

Seperti itulah pengharapan Kristen. Tidak mengabaikan, tetapi justru berani menghadapi rasa takut, cemas, dan ragu. Tetap tenang, memiliki damai sejahtera di tengah kekacauan. Melewati berbagai badai hidup yang sarat bahaya … pengharapan Kristen ditopang oleh sesuatu yang lebih besar, yang sudah terjadi dan yang akan terjadi lagi.

Proyek Adven CT di tahun 2020 mengeksplorasi tema pengharapan yang terajut di sepanjang cerita Alkitab. Dalam bahan-bahan bacaan harian ini, kami mengajak Anda merefleksikan pengharapan umat Allah dalam Perjanjian Lama ketika mereka bersandar penuh kepada Allah dalam kesulitan dan penderitaan [Minggu 1]. Kita akan melihat nubuat-nubuat dan janji-janji pengharapan yang membawa kita kepada Adven pertama, kedatangan Sang Mesias [Minggu 2]. Kita akan merenungkan mukjizat pengharapan yang menerobos masuk melalui inkarnasi, saat “Firman itu … menjadi manusia, dan diam di antara kita” sebagai “seorang bayi dibungkus dengan lampin dan terbaring di dalam palungan” (Yoh 1:14, Luk 2:12). Lebih jauh lagi, kita juga merenungkan pengharapan kita dalam janji kedatangan Kristus di masa depan—Adven kedua yang kita nantikan—yang memberi kita ketekunan, keyakinan, dan sukacita dalam menjalani hidup setiap hari, apa pun kesulitan yang mungkin menghadang [Minggu 3 dan Minggu 4].

Inilah “pengharapan yang hidup” bagi kita, yang dalam terjemahan lain disebut sebagai “pengharapan yang besar” (NLT) atau “harapan yang kokoh” (BIS). Pengharapan kita digairahkan oleh penantian penuh keyakinan bahwa Sang Anak yang telah lahir itu akan datang kembali dalam kemuliaan suatu hari kelak, untuk meluruskan segala sesuatu, dan kerajaan-Nya tidak akan pernah berakhir.

Kelli B. Trujillo, Editor

Diterjemahkan oleh: Elisabeth Cha

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube