Ia Tidak Akan Meninggalkan Kita Sendiri

Renungan Adven, 5 Desember 2021.

Christianity Today December 5, 2021

Untuk mengunduh kumpulan renungan “Berita Injil di Masa Adven,” klik di sini.

Minggu Adven 2: Dosa & Penebusan


Yohanes Pembaptis memiliki peran yang krusial dalam mempersiapkan orang-orang menyambut sang Mesias. Minggu ini, kita memikirkan apa yang Kitab Suci katakan tentang tujuan Yohanes. Kita merenungkan bagaimana pengajaran-pengajarannya tentang dosa dan pertobatan dapat menyentuh kehidupan pemuridan kristiani kita.

Baca Maleakhi 3:1–4

Hari ini kita membaca dari kitab terakhir di Perjanjian Lama, tepat sebelum halaman pertama kitab Matius. Bangsa Israel telah kembali dari pembuangan di Babel, Bait Suci Yerusalem telah dibangun kembali, namun hubungan mereka dengan Tuhan masih… rumit.

Kitab Maleakhi tersusun dalam serangkaian pernyataan oleh Tuhan, yang dipenuhi dengan pertanyaan dan tuduhan dari umat Israel. Ketika dialog-dialog ini dibukakan, dosa dan pemberontakan yang dilakukan bangsa Israel disingkapkan, sebagaimana halnya karakter Allah Israel yang penuh kasih setia. Perikop kita di pasal 3 diperkenalkan dengan adanya permintaan dari Israel agar Tuhan yang menghukum itu muncul (2:17), dan dengan janji Tuhan untuk mengirim seorang utusan yang akan mempersiapkan jalan bagi Dia (3:1).

Setelah itu, Tuhan sendiri akan datang ke Bait Suci. Sungguh janji yang penuh dengan pengharapan! Allah, yang telah memilih bangsa Israel sebagai umat-Nya yang berharga, akan datang. Ia akan menunjukkan komitmen-Nya sekali lagi kepada umat-Nya.

Meski demikian, harapan ini dibahas lebih tajam di ayat berikutnya. Ya, Tuhan akan datang—tetapi siapa yang dapat tahan akan hari kedatangan-Nya? Tuhan tidak akan memuji orang Israel karena pelayanan mereka yang setengah hati di Bait Suci atau karena menolak menghormati Tuhan sepenuhnya. Sungguh, Tuhan yang akan datang itu seperti “api tukang pemurni logam dan sabun tukang penatu,” yang mengadili bangsa Israel karena kelaliman dan kesesatan mereka.

Selama Adven, saat kita menunggu kelahiran sang Mesias dan mendambakan kedatangan Tuhan kembali, kerinduan itu sangat jelas terasa. Dunia kita hancur, dan kita membutuhkan Juru Selamat. Tetapi, seperti bangsa Israel, Juru Selamat yang kita nantikan mungkin tidak seperti yang kita harapkan. Ia juga mungkin tidak memuji kita. Sebaliknya, kekurangan kita akan terungkap, dan kita juga akan diminta untuk bertobat dan mengubah cara hidup kita.

Tetapi justru inilah intinya. Tuhan kita bukanlah Tuhan yang meninggalkan kita sendirian dan membiarkan kita begitu saja. Ia adalah Tuhan yang mengubah kita, dan ini hanya bisa terjadi melalui kesadaran dari hidup kita yang sangat perlu ditata ulang. Penataan ulang inilah, yaitu keterbukaan diri kita kepada Tuhan yang memurnikan, yang akan membawa kita lebih dekat pada-Nya dan makin mendekati tujuan kita diciptakan.

Marilah kita terbuka kepada Tuhan dan menerima bahwa kedatangan-Nya mungkin tidak seperti yang kita bayangkan. Tetapi pastinya, kebaikan dan kelemah-lembutan Tuhan yang agung dan setia ini bisa kita percayai karena Ia Tuhan yang tidak akan meninggalkan kita sendirian.

Jen Rosner adalah asisten profesor tamu bidang teologi sistematika di Fuller Theological Seminary dan penulis buku Finding Messiah: A Journey Into the Jewishness of the Gospel.

Renungkan Maleakhi 3:1–4.


Tinjaulah makna bagian ini dari sisi: konteks sejarah dan budaya, kedatangan Yohanes Pembaptis dan Yesus, dan kedatangan Kristus kembali.
Apa yang dinyatakan dari nubuatan ini tentang karakter dan kasih Allah?
Berdoalah agar Tuhan memurnikan hidup Anda.

Diterjemahkan oleh: Mikhael Kristiani

Kehidupan Injil secara Pribadi

Renungan Adven, 4 Desember 2021.

1 Tesalonika 3:13

1 Tesalonika 3:13

Christianity Today December 4, 2021

Untuk mengunduh kumpulan renungan “Berita Injil di Masa Adven,” klik di sini.

Minggu Adven 1: Kembalinya Kristus dan Permerintahan Kekal


Minggu ini, kita berfokus pada Kedatangan Kristus yang kedua kalinya: pengharapan kita yang pasti akan kembalinya Kristus. Kita menggali gambaran Kitab Suci tentang kuasa Kristus dan penghakiman yang adil, serta masa depan gemilang yang kita nantikan bersama Tuhan dalam ciptaan baru.

Baca 1 Tesalonika 3:9–13

Pernahkah Anda begitu merindukan seseorang sedemikian rupa dan sangat ingin berjumpa dengan mereka lagi? Selama bulan-bulan pandemi yang panjang dan seakan tanpa akhir ini, ada banyak orang-orang terkasih yang tidak bisa kita lihat, sapa, dan peluk secara langsung.

Aplikasi Zoom dan FaceTime tidak dapat menggantikan perjumpaan tersebut. Kita ingin berada dalam jarak, tempat dan waktu yang sama dengan orang-orang tersebut. Kita rindu berjumpa dengan mereka secara langsung.

Rasul Paulus juga sangat ingin berjumpa dengan jemaat Tesalonika secara pribadi. Ia dipenuhi luapan sukacita ketika mendengar laporan Timotius yang yakin bahwa jemaat ini sudah menghidupi Injil, yaitu menjalankan Injil tersebut dalam hidup mereka, dengan “teguh berdiri di dalam Tuhan” (3:8). Ia sangat ingin mengunjungi mereka secara pribadi, namun untuk saat ini kehadirannya hanya bisa diwakili oleh surat tersebut. Apakah pesannya bagi mereka? Yaitu bahwa Injil harus dihayati secara pribadi sampai kita berjumpa Yesus muka dengan muka. Seperti apa kelihatannya? Sama seperti Kabar Baik tentang kasih Yesus yaitu dengan “bertambah-tambah dan berkelimpahan dalam kasih seorang terhadap yang lain dan terhadap semua orang” (ay. 12).

Bentuk kasih ini tidaklah mudah untuk dihidupi dalam dunia kita yang terpecah. Banyak orang Kristen masa kini telah membiarkan nilai-nilai duniawi menjalar masuk dan membasmi kasih kristiani serta kesaksian Injil. Sebagai gereja masa kini, kita mungkin jauh lebih terpecah daripada sebelumnya.

Nasihat Paulus yang tepat ini, untuk bertambah-tambah dan berkelimpahan dalam kasih kepada orang lain, bukanlah sesuatu yang dapat kita capai dengan kekuatan kita sendiri. Sebaliknya, Paulus berkata, “Dan kiranya Tuhan menjadikan kamu bertambah-tambah… dalam kasih” (ay. 12).

Implikasi dari Injil adalah menghidupinya melalui kasih kita yang serupa Kristus, khususnya kepada mereka yang menurut kita termasuk dalam kategori “semua orang.” Kita tidak bisa berkata bahwa kita dengan sabar menanti untuk berjumpa Yesus pada kedatangan-Nya yang kedua-yang merupakan penggenapan berita Injil-jika saat ini kita tidak tahan berada di tengah saudara-saudari kita di dalam Kristus!

Seraya kita menantikan kedatangan Yesus kembali, Paulus mendorong orang-orang percaya supaya “tak bercacat dan kudus” (ay. 13) di tengah masyarakat yang mengagungkan kompromi dan dosa. Penantian kita yang penuh harapan akan kedatangan Kristus kembali menantang kita untuk selalu mengejar kehidupan yang kudus demi kemuliaan Allah.

Ini meliputi sikap menanggung satu sama lain dan bersabar terhadap mereka yang tidak sependapat dengan kita, dengan mengandalkan kuasa Tuhan untuk melakukannya.

Paulus mendorong jemaat Tesalonika untuk hidup dengan cara demikian dalam terang kedatangan Kristus kembali: Dengan mengizinkan pemuridan mereka sekarang dibentuk oleh pengharapan mereka akan masa depan. Sama seperti mereka, kita juga rindu untuk berjumpa Yesus secara langsung. Adven mengingatkan kita bahwa suatu hari kelak hal tersebut pasti terjadi. Sementara itu, kiranya kita berusaha untuk menjadi umat yang mengasihi dan kudus. Segeralah datang, Tuhan Yesus!

Matthew D. Kim adalah profesor Preaching and Practical Theology-George F. Bennett, di Gordon-Conwell Theological Seminary dan penulis buku Preaching to People in Pain.

Renungkan 1 Tesalonika 3:9–13.


Bagaimanakah penantian akan kedatangan Kristus kembali membentuk kehidupanmu sehari-hari?
Bagaimana keinginanmu ketika Anda menghayati kehidupan Injil secara pribadi?
Berdoalah, mohon Tuhan untuk menguatkan hatimu dan memperdalam kasihmu kepada sesama sambil Anda menunggu kedatangan Kristus kembali.

Diterjemahkan oleh: Joseph Lebani

Datanglah, Tuhan Yesus!

Renungan Adven, 3 Desember 2021.

Christianity Today December 3, 2021

Untuk mengunduh kumpulan renungan “Berita Injil di Masa Adven,” klik di sini.

Minggu Adven 1: Kembalinya Kristus dan Permerintahan Kekal


Minggu ini, kita berfokus pada Kedatangan Kristus yang kedua kalinya: pengharapan kita yang pasti akan kembalinya Kristus. Kita menggali gambaran Kitab Suci tentang kuasa Kristus dan penghakiman yang adil, serta masa depan gemilang yang kita nantikan bersama Tuhan dalam ciptaan baru.

Baca Wahyu 22:12–20

Alkitab diakhiri dengan doa: “Datanglah, Tuhan Yesus.” Ini adalah sebuah doa yang digemakan di berbagai himne Adven kita, seperti misalnya “O Datanglah Imanuel” (KPPK 86) dan “Kau yang Lama Dinantikan” (KJ 76).

Orang-orang Kristen telah memanjatkan doa tersebut sejak awal kekristenan; ini adalah doa Kristen tertua yang kita ketahui (tidak termasuk Doa Bapa Kami). Kita mengetahui hal ini karena Paulus pernah mengutip doa tersebut dalam versi bahasa Aram asli, Maranata, artinya “Datanglah Tuhan kami!” (1Kor. 16:22). Bagi Paulus yang mengharapkan pembacanya yang berbahasa Yunani di Korintus dapat mengenali frasa bahasa Aram ini, maka pasti kata tersebut memiliki arti yang penting dalam ibadah Kristen mula-mula.

Dalam Wahyu 22:20, ini merupakan respons terhadap janji kedatangan Yesus. Dalam ayat 12 dan 20, Yesus sendiri yang mengatakan “Aku datang segera.” Janji ini terus diulangi di sepanjang kitab Wahyu (lih. 2:5, 16; 3:11; 16:15; 22:7, 12, 20), yang menjanjikan adanya penghakiman bagi sebagian orang dan berkat bagi yang lainnya, sampai pada akhirnya janji tersebut memancing sebuah jawaban: “Datanglah!”

Kita membaca jawaban tersebut pertama kali di ayat 17. Ini merupakan doa “Roh dan pengantin perempuan.” Istilah “Roh” ini berarti Roh Kuduslah yang berbicara melalui para nabi Kristen dalam ibadah. Sementara “pengantin perempuan” adalah gereja yang menggabungkan diri dalam doa bersama Roh ini.

Kita dapat membayangkan sang pengantin perempuan sedang menanti kedatangan pengantin pria. Pengantin perempuan itu bersolek dan siap untuk menyambut pengantin pria (lih. 19:7-8). Sang pengantin perempuan bukanlah gambaran gereja seperti sekarang ini, melainkan gereja yang seharusnya, yang terus menantikan dan siap sedia menyambut kedatangan Tuhan. Ia adalah gambaran gereja yang berdoa “Datanglah, Tuhan Yesus.”

Kita harus membayangkan kitab Wahyu yang dibacakan dengan suara nyaring dalam suatu ibadah. Ketika sang pembaca membacakan kalimat selanjutnya, “Barangsiapa yang mendengarnya, hendaklah ia berkata: ‘Marilah!’” (22:17), maka seluruh jemaat kemudian bersatu dalam doa tersebut, menyerukan, “Datanglah, Tuhan Yesus!” Doa mereka yang sepenuh hati mengidentifikasikan mereka sebagai pengantin perempuan dari Anak Domba Allah.

Tetapi dalam bagian kedua ayat 17, penggunaan kata “marilah” berubah. Kini giliran para pendengar, “barangsiapa yang haus,” yang diundang untuk “datang” dan menerima “air kehidupan” dari Allah. Air kehidupan ini termasuk bagian dari ciptaan baru (21:6) dan Yerusalem Baru (22:1). Tetapi air itu juga telah tersedia pada saat ini bagi mereka yang menantikan kedatangan Yesus.

Ini seakan-akan Ia telah lebih dahulu mendatangi kita, mendahului kedatangan final-Nya, dan memberi kita cicipan dari ciptaan baru itu. Karena itulah artinya keselamatan. Kita menantikan Dia karena kita telah terlebih dahulu berjumpa dengan-Nya.

Richard Bauckham adalah seorang profesor emeritus Studi Perjanjian Baru di Universitas St. Andrew, Skotlandia, dan penulis banyak buku, di antaranya Theology of the Book of Revelation.

Renungkan Wahyu 22:12–20.


Apakah artinya berdoa, “Datanglah, Tuhan Yesus”?
Bagaimanakah doa ini mengubahmu?
Bergabunglah bersama dengan orang-orang Kristen di seluruh dunia dan di sepanjang abad, seiring Anda memanjatkan doa tersebut hari ini.

Diterjemahkan oleh: Joseph Lebani

Unduh Gratis: Kumpulan Renungan Adven 2021

Dari para editor dan kontributor Christianity Today, Berita Injil di Masa Adven adalah renungan 4 minggu untuk menyertai perjalanan rohani individu, kelompok kecil, dan keluarga.

Kumpulan Renungan Adven 2021 dari Christianity Today

Kumpulan Renungan Adven 2021 dari Christianity Today

Christianity Today December 3, 2021

Kota Cahaya

Renungan Adven, 2 Desember 2021.

Christianity Today December 2, 2021

Untuk mengunduh kumpulan renungan “Berita Injil di Masa Adven,” klik di sini.

Minggu Adven 1: Kembalinya Kristus dan Permerintahan Kekal


Minggu ini, kita berfokus pada Kedatangan Kristus yang kedua kalinya: pengharapan kita yang pasti akan kembalinya Kristus. Kita menggali gambaran Kitab Suci tentang kuasa Kristus dan penghakiman yang adil, serta masa depan gemilang yang kita nantikan bersama Tuhan dalam ciptaan baru.

Baca Wahyu 21:9–22:5

Ketika saya pindah dari Inggris untuk tinggal di Skotlandia, satu hal yang menyulitkan bagi saya adalah periode siang hari berlangsung lebih cepat di musim dingin. Pada hari-hari yang mendung, bisa terlihat sepertinya kota itu tidak pernah mendapatkan cahaya sama sekali. Saya merasa hal ini agak menyedihkan, tetapi sebagian orang sangat terpengaruh olehnya dan harus duduk dengan lampu yang menyerupai sinar matahari. Kita semua bergantung pada sinar matahari untuk kesehatan fisik dan mental kita.

Tidaklah mengejutkan bahwa dalam banyak budaya, orang-orang telah menyembah matahari, dan terkadang bulan juga. Mengapa hari yang cerah membangkitkan semangat kita? Mengapa banyak orang suka berjemur di bawah sinar matahari? Ilmu pengetahuan menegaskan bahwa jarak planet kita dari matahari, dengan cahaya dan panas yang diberikannya, sangatlah penting bagi kehidupan di bumi.

Dalam ciptaan ini, berkat Allah disalurkan kepada kita melalui sarana ciptaan, di antaranya adalah matahari. Namun dalam ciptaan baru, kita akan hidup dalam hadirat Allah secara langsung, terbenam di dalamnya sebagaimana kita sekarang di siang hari—dan malam tak akan ada lagi.

Bayangkan: Sebuah kota yang dipenuhi dengan cahaya. Bayangkan kota itu bagaikan permata yang jernih seperti kristal (Why. 21:11), dan cahaya yang dipantulkan dalam semua batu mulia dengan berbagai warna itu tercantum dalam ayat 19-20. Bayangkan, jika Anda bisa, cara cahaya itu bersinar melalui kota itu, yang terbuat dari emas yang transparan (ay. 18, 21). Lihatlah pemandangan kota itu dari kejauhan. Kota itu berdiri di atas sebuah puncak gunung (ay. 10) dan menyinari seluruh negeri di sekitarnya. Ini adalah sinar matahari dari dunia itu. Ini adalah terang yang melaluinya orang-orang dapat hidup (ay. 24).

Pikirkan, sekarang, tentang jendela kaca patri di sebuah gereja dengan penggambaran alkitabiah yang jelas atau tokoh-tokoh Kristen lainnya. Jendela itu sendiri sudah cukup indah sepanjang waktu, tetapi ketika matahari bersinar melaluinya, jendela itu bercahaya.

Warnanya kuat menyala! Dalam Yerusalem Baru, keindahan semua ciptaan Tuhan akan menjadi kegembiraan bagi semua orang. Kita akan melihat mereka dalam warna aslinya.

Cahaya Tuhan yang hadir secara langsung tidak akan melenyapkan bentuk dan warna mereka, yang merupakan realitas mereka diciptakan, melainkan akan menerangi mereka, membuat mereka menjadi indah.

Di sepanjang Alkitab, terang adalah simbol dari Allah dan Yesus (yang berkata, “Akulah terang dunia” dalam Yohanes 8:12). Pikirkan tentang cara terang Tuhan telah masuk ke dalam kehidupan kita di dunia ini—bagaimana terang itu menerangi hidup kita, dan bagaimana kita bisa berjalan di dalam terang tersebut. Jika kita melihat cahaya itu sekarang, maka cahaya itu akan menerangi jalan yang dapat kita tempuh menuju kota cahaya. Apa yang dapat kita bawa untuk dipersembahkan kepada Allah dan untuk berkontribusi bagi kehidupan di kota yang kekal itu (Why. 21:24, 26)?

Richard Bauckham adalah seorang profesor emeritus Studi Perjanjian Baru di Universitas St. Andrew, Skotlandia, dan penulis banyak buku, di antaranya Theology of the Book of Revelation.

Renungkan Wahyu 21:9–22:5.


Apa yang paling menarik perhatian Anda mengenai gambaran yang indah dari perikop ini?
Kebenaran apa yang disampaikan tentang Tuhan melalui deskripsi tentang cahaya yang bersinar dan kemuliaan yang menerangi?
Tentang ciptaan baru?
Tentang harapan utama kita?

Diterjemahkan oleh: Vika Rahelia

Segala Sesuatu Baru

Renungan Adven, 1 Desember 2021.

Christianity Today December 1, 2021

Untuk mengunduh kumpulan renungan “Berita Injil di Masa Adven,” klik di sini.

Minggu Adven 1: Kembalinya Kristus dan Permerintahan Kekal


Minggu ini, kita berfokus pada Kedatangan Kristus yang kedua kalinya: pengharapan kita yang pasti akan kembalinya Kristus. Kita menggali gambaran Kitab Suci tentang kuasa Kristus dan penghakiman yang adil, serta masa depan gemilang yang kita nantikan bersama Tuhan dalam ciptaan baru.

Baca Wahyu 21:1–6

Bagaimana Anda menghadapi pandemi? Apa dampaknya terhadap relasi Anda dengan Allah? Beberapa orang semakin dekat dengan Allah dan menemukan kekuatan untuk melewati masa-masa sulit. Namun bagi yang lainnya, yang mungkin kehilangan orang yang dicintai atau terguncang karena penderitaan berskala dunia, pandemi ini membuat orang bertanya-tanya.

Bagaimana mungkin Allah yang penuh kasih membiarkan hal-hal seperti ini terjadi? Ini adalah “problem penderitaan” sejak zaman kuno—setidaknya sekuno kitab Ayub. Alkitab tidak memiliki satu pun jawaban untuk hal itu; sebaliknya, Alkitab memberikan kita beberapa sudut pandangan berbeda terhadapnya.

Kemudian tepat di akhir Alkitab, kita menemukan pesan ini: “Tidak akan ada lagi perkabungan atau ratap tangis, atau dukacita” (Why. 21:4). Allah akan menyembuhkan ciptaan-Nya dari segala yang merugikan dan merusaknya. Terkadang orang-orang mengeluh tentang kurangnya bukti kasih Allah dalam kitab Wahyu. Sebagian orang mungkin mengatakan hal yang sama tentang pandemi ini. Tetapi, dapatkah Anda membayangkan gambaran yang lebih indah tentang kasih Allah daripada ini: Allah “akan menghapus segala air mata dari mata mereka” (ay. 4)?

Kitab Wahyu tentu saja tidak membatasi penggambarannya tentang kengerian sejarah. Tetapi harapan mengalir di sepanjang kitab itu dan berkembang dalam penglihatan final yang diberikan kepada Yohanes. Allah akan menjadikan segala sesuatu menjadi baru. Allah memiliki masa depan yang baru bagi seluruh ciptaan-Nya.

Ketika kita berpikir tentang masa depan, seringkali kita berpikir ke mana arah masa lalu dan masa kini. Tetapi ini berbeda. Sebagaimana hanya Tuhan yang dapat mencipta, maka hanya Tuhan pula yang dapat memperbaharui seluruh ciptaan-Nya. Dimulai dengan kebangkitan Yesus—satu hal baru yang mengubah segalanya. Dalam kehidupan yang diubahkan oleh Roh Kristus, kita telah mencicipi masa depan yang baru.

Masa depan itu sendiri jauh melampaui apa yang dapat kita bayangkan. Tetapi penglihatan Yohanes mengajak kita juga untuk mengarahkan pandangan ke gunung yang tinggi itu (ay. 10) di mana Yerusalem Baru turun dari surga. Dengan matanya kita bisa melihat lebih jauh dari yang biasa kita lihat.

Adapun yang menjadi pusat dari masa depan yang baru adalah Allah: “Lihatlah, kemah Allah ada di tengah-tengah manusia dan Ia akan diam bersama-sama dengan mereka. Mereka akan menjadi umat-Nya dan Ia akan menjadi Allah mereka” (ay. 3). Hal inilah yang selalu menjadi tujuan Allah bagi ciptaan-Nya, dan inilah yang akan membuat semuanya menjadi berbeda.

Berbagi penglihatan dengan Yohanes bukan hanya impian yang kita imani. Hal ini memberikan kita harapan untuk hidup. Kita dapat memulai hidup sesuai dengan apa yang Allah janjikan, dan itu akan membuat kehidupan kita yang sekarang ini menjadi berbeda dalam segala hal.

Richard Bauckham adalah seorang profesor emeritus Studi Perjanjian Baru di Universitas St. Andrew, Skotlandia, dan penulis banyak buku, di antaranya Theology of the Book of Revelation.

Renungkan Wahyu 21:1–6.


Bagaimana perikop ini berbicara terhadap penderitaan dan kesulitan dalam hidup Anda?
Dan di dunia ini?
Bagaimana hal ini mengarahkan perspektif rohani Anda?
Beresponslah kepada Tuhan dalam doa penyembahan dan kepercayaan.

Diterjemahkan oleh: Vika Rahelia

Kesederhanaan Yusuf Sesungguhnya Merupakan Kedewasaan Rohani

Tuhan memercayakan Putra tunggal-Nya kepada seorang pria yang tidak dapat memberikan seperti yang diharapkan budayanya.

Christianity Today November 30, 2021
Illustration by Matt Chinworth

Selama perang saudara Burundi pada 1990-an, saya menghabiskan beberapa bulan di kamp pengungsian yang penuh sesak dengan orang-orang seperti saya, yang telah melarikan diri dari rumah tetapi tidak dapat melarikan diri dari negara itu. Salah satu pengalaman saya yang paling menyakitkan adalah ketika menyaksikan maskulinitas yang sehat dari para ayah dihancurkan oleh perubahan hidup mereka.

Dahulu mereka adalah pencari nafkah keluarga, namun kini mereka harus bergantung pada bantuan makanan. Mereka kehilangan kebebasan untuk bergerak, tidak mampu melakukan apa yang sebelumnya mereka lakukan di sepanjang hidup mereka (bertani atau berbisnis). Beberapa orang bahkan mulai mabuk-mabukan untuk mengatasi depresi mereka.

Sejak itulah saya berpikir tentang Yusuf, suami Maria, yang juga harus melarikan diri dan berhadapan dengan berbagai frustrasi karena harus memenuhi kebutuhan keluarga tetapi tanpa stabilitas. Ia bisa saja menjadi seperti orang-orang tersebut di atas. Ia bisa saja membenci pemerintah lokal dan kolonialnya karena cara-cara yang mereka lakukan telah merampas pilihan-pilihan yang baik darinya dan membuat dia berpindah-pindah ke berbagai wilayah. Ia bisa saja membenci Tuhan karena menyuruhnya menikahi seorang wanita yang-mungkin kata rekan-rekan Yusuf-layak diceraikan dan bukan didukung olehnya. Ia bisa saja mencoba menutupi maskulinitasnya yang terancam itu dengan tidak mau bekerja sama atau dengan legalisme yang keras.

Tetapi bukan demikian yang digambarkan Alkitab tentang Yusuf. Sebaliknya, kita melihat pria yang dipilih Tuhan untuk menjadi orang tua bagi Putra-Nya itu menerima arahan Tuhan yang tak terduga. Respons penerimaan Yusuf terhadap pimpinan Tuhan tidak ditandai dengan kebencian, melainkan dengan kesediaan untuk bekerja sama sepenuh hati bersama Tuhan. Saya telah menyaksikan betapa sulitnya melakukan hal itu. Bagaimana Yusuf melakukannya?

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Telegram.

Kita tidak tahu banyak tentang Yusuf. Ia adalah salah satu karakter biblikal yang sangat jarang disebutkan. Ia bukan seorang pemimpin politik atau nabi besar. Jika dia bukan wali dari Mesias, tentu namanya tidak akan ada di Alkitab. Namun, garis keturunan Yusuf seharusnya bisa saja membuat dia bangga dan menjadikannya sebagai dasar untuk memperjuangkan posisi yang terhormat. Dalam catatan Lukas tentang kunjungan malaikat terhadap Maria, malaikat Gabriel menegaskan bahwa Yesus adalah keturunan Daud yang dijanjikan dan Dia-lah yang akan diberikan takhta Daud dan kerajaan yang tidak akan berkesudahan (Luk. 1:31-33).

Fakta yang penting untuk diketahui adalah bahwa Matius, seorang penulis Injil yang berlatar belakang Yahudi dan murid Yesus, memperkenalkan Yusuf sebagai keturunan Daud (1:20). Ini menempatkan Yusuf dalam sorotan rencana ilahi bagi umat manusia sebagai ayah angkat dari Mesias.

Namun tulisan-tulisan apokrifa memberikan gambaran tentang Yusuf yang tidak dapat diandalkan, bahkan kadang-kadang marah. Baik Protoevangelium of James maupun History of Joseph the Carpenter menyatakan bahwa Yusuf adalah seorang duda yang memiliki anak-anak dari pernikahan sebelumnya. Rincian tentang Yusuf tersebut memang mendukung gagasan bahwa Maria adalah seorang perawan, tetapi Alkitab tidak memberikan penjelasan bahwa Yusuf sebelumnya telah memiliki anak: Dalam catatan kelahiran Yesus tidak mencantumkan siapa pun selain Maria yang melakukan perjalanan ke Betlehem bersama Yusuf, dan Yusuf diminta untuk pergi dari Mesir hanya dengan Maria dan Yesus (Mat. 2:19-21).

Kemungkinan besar Yusuf yang asli bukan seperti yang digambarkan dalam tulisan-tulisan apokrifa, melainkan ia adalah seorang pemuda Yahudi biasa, dengan sedikit latar belakang pendidikan agama. Tulisan-tulisan para rabi menunjukkan bahwa umumnya usia untuk menikah di zaman Yusuf adalah pada masa remaja akhir. Jadi Yusuf mungkin masih tinggal bersama orang tua atau kerabatnya ketika malaikat menyuruh dia menikahi Maria. Setelah Yesus lahir, Yusuf dan Maria memiliki empat anak laki-laki dan anak-anak perempuan yang jumlahnya tidak diketahui (Mat. 13:55–56).

Alkitab menyiratkan bahwa Yusuf adalah seorang yang sangat biasa dari tempat biasa, seorang pria desa yang dikenal melalui profesinya. Orang-orang menganggapnya sebagai “tukang kayu” (13:55). Hari-harinya sangat mungkin diisi dengan kerja keras.

Sementara budaya Yahudi menghargai pekerja kasar, namun tidak demikian kenyataannya dengan budaya Romawi, bangsa penjajah yang memerintah Palestina pada masa Yusuf hidup. Dari perspektif Romawi, tukang kayu adalah profesi seorang budak. Jadi Yusuf bukanlah termasuk orang yang berstatus terhormat.

Ia mungkin terlahir dengan status tersebut, atau mungkin juga karena ia memang memilih untuk menjadi seorang tukang kayu. Yusuf juga hidup selama masa-masa yang sulit, masa di mana kaum oportunis dapat bekerja sama dengan penguasa Romawi dan menikmati kehidupan yang nyaman secara materi. Namun Yusuf tidak memilih jalan seperti yang dipilih oleh Matius, yang dulunya adalah seorang pemungut cukai. Matius, si penulis Injil yang paling banyak bercerita tentang Yusuf, mungkin pernah melihat jelas godaan untuk berkolaborasi dengan penguasa Romawi tersebut. Meski demikian, bukan berarti Yusuf tidak mau bekerja sama dengan penguasa Romawi. Contohnya, ia tetap pergi ke kota leluhurnya demi sensus yang diadakan oleh pemerintah.

Dengan gaya hidup yang sederhana dan berdaya guna ini, ia diperhadapkan dengan kekuasaan yang ada, yang tumbuh subur di atas ketidakadilan, kekerasan, dan korupsi. Dalam konfrontasi tersebut, kerohanian Yusuf menjadi lebih nyata, dan Tuhan jelas berdiri bersamanya.

Sungguh, Tuhan dekat dengan orang-orang yang, seperti Yusuf, tertindas dan patah semangatnya serta yang gentar kepada firman-Nya (Yes. 66:2). Kesederhanaan, sebagai disiplin rohani, menolong kita menghindari godaan materialisme dan memampukan kita untuk berfokus pada hal yang benar-benar penting. Mereka yang mempraktikkan kesederhanaan bisa menjadi kaya tanpa materialisme dan menjadi keturunan raja tanpa harus bersaing dengan Herodes. Bagi mereka, kebenaran lebih baik daripada kemuliaan dunia.

Tampak jelas bagi saya, Yusuf mampu membimbing keluarganya dengan baik karena ia terbuka kepada Tuhan dan para utusan-Nya dengan cara tahan menghadapi legalisme. Kerohanian Yusuf mempersiapkan dirinya untuk menghadapi hal-hal yang tidak terduga.

Flight Into Egypt karya Henry Ossawa Tanner Gambar: WikiMedia Commons
Flight Into Egypt karya Henry Ossawa Tanner

Dalam budaya patriarkal yang kuat, para laki-laki biasanya diharapkan bisa memberi nafkah yang memadai bagi keluarga mereka. Kadang mereka juga dituntut untuk menjaga emosi dengan baik, yang tidak dipengaruhi oleh istri mereka. Selain itu, mereka juga diharapkan bisa membuat rencana sendiri yang nantinya akan menjadi rencana yang dapat mengarahkan keluarga mereka. Para kepala keluarga bisa menjadi pribadi yang kaku dan menolak perilaku yang tidak biasa. Dalam budaya saya, misalnya, meskipun angin hak asasi manusia sekarang telah bertiup selama lebih dari dua dekade, namun sebagian besar pria Kristen masih bergumul untuk menyingkirkan sikap dan perilaku patriarkal yang kaku, dan sebagian dari mereka bahkan mendistorsi Alkitab untuk membenarkan perilaku yang kaku itu dalam diri mereka.

Namun Yusuf tidaklah seperti itu. Kita melihat hal itu sangat jelas dalam perlakuannya terhadap Maria. Sebagai seorang pria Yahudi, Yusuf mengerti apa yang bisa terjadi pada seorang gadis yang melakukan hubungan seks sebelum menikah (Ul. 22:13–21). Kehamilan adalah bukti paling meyakinkan dari pelanggaran seksual. Secara hukum, Yusuf akan dibenarkan untuk mencela Maria.

Tetapi bagi Yusuf, "dosa" Maria tidak membuatnya menjadi orang buangan. Ia tahu Maria layak mendapatkan cinta dan perlindungan. Alkitab versi NIV dengan indah menggabungkan budaya agama Yahudi Yusuf dan spiritualitas pribadinya dalam satu kalimat: “Karena Yusuf suaminya setia kepada hukum, namun tidak mau mencemarkan dia [Maria] di muka umum, maka ia [Yusuf] bermaksud menceraikannya diam-diam” (Mat. 1:19).

Pada bagian ini, kita melihat bahwa Yusuf bukanlah suami yang pemarah dan lemah dalam kisah Natal. Bahkan sebelum ia menerima pesan Tuhan tentang Yesus, kasih Yusuf yang ditunjukkan kepada Maria dan komitmennya untuk melindungi martabat Maria telah mengalahkan segala bentuk legalisme. Perilaku Yusuf menggambarkan maskulinitas sejati dan kebajikan yang diakui Alkitab.

Situasinya, tentu saja, tidak seperti yang ia bayangkan sebelumnya. Dalam mimpi, seorang malaikat memberi tahu dia bahwa kehamilan Maria berasal dari yang ilahi. Yusuf pun membatalkan rencananya semula dan setuju untuk taat secepat dan semudah Maria menerima bahwa ia hamil sebelum menikah (Mat. 1:24; Luk. 1:38).

Tanggapan yang positif terhadap keadaan yang sulit dan berisiko semacam itu, tidak akan mungkin dilakukan dalam pikiran legalistik yang tumpul secara rohani. Seorang pria yang legalis mungkin akan dengan cepat mengabaikan pesan dari malaikat itu dan menganggapnya sebagai halusinasi, karena hal tersebut tampak bertentangan dengan hukum. Kerohanian Yusuf sebegitu baiknya sehingga ia mampu menghargai kehendak dari sang Pemberi hukum lebih dari hukum itu sendiri. Ini yang seringkali dihindari oleh banyak teolog dan pemimpin agama yang memiliki banyak pengetahuan (Mat. 15:3-9), belum lagi murid-murid Yesus.

Dalam mimpi yang lain, ketika seorang malaikat memerintahkan Yusuf untuk melarikan diri ke Mesir bersama Maria dan bayinya, Yusuf taat dan melarikan diri (Mat. 2:13-14). Bagi banyak orang jika berada di posisi Yusuf, mungkin perintah itu akan tampak tidak masuk akal. Mereka mengharapkan Mesias yang berkuasa dan mampu menaklukkan, bukan seorang bayi pengungsi (Kis. 1:6).

Kerohanian Yusuf terbukti lebih mendalam dibanding pemikiran keagamaan yang berlaku di masyarakat pada zamannya ketika ia mampu mengesampingkan pola pikir umum karena suatu mimpi. Ia bisa tahu kapan Tuhan berbicara kepadanya secara langsung. Dalam hal ini, kita melihat seorang pria sederhana yang bekerja sama dengan Tuhan untuk menjaga kehidupan sang Mesias.

Kita sering melihat kelahiran Yesus sebagai sebuah perayaan tentang kenyamanan dan kepolosan. Di Eropa dan Amerika Serikat, Natal sering menjadi suatu waktu untuk memikirkan tentang kenyamanan. Di negara saya, hari raya ini menjadi semacam hari libur anak-anak di kalangan Injili.

Bisakah pribadi Yusuf cocok dengan Natal modern ini? Tentu saja, kita dapat mengatakan bahwa Yusuf memiliki kerendahan hati seperti anak kecil yang kemudian dipuji oleh Yesus (Mat. 18:4), dan kesederhanaan serta kebajikannya adalah bentuk kepolosan. Tetapi Yusuf mengasuh Yesus di masa-masa yang penuh gejolak. Mungkin Natal kita akan lebih baik jika kita mengingat bukan hanya soal anak yang dipeluk dengan aman, melainkan soal kepolosan dan daya tanggap yang menjadi ciri dari Yusuf, sang ayah yang dipilih Allah untuk membimbing sebuah keluarga melewati bahaya. Yusuf pasti tahu betapa kejamnya para penguasa Romawi. Di jalan, ia mungkin pernah menyaksikan orang-orang yang menderita disalib, yang dianggap sebagai ancaman bagi rezim Romawi, seperti yang dialami keluarganya.

Karena keputusan politik dari seorang kaisar yang berjarak ribuan mil jauhnya, Yesus lahir di Betlehem yang penuh sesak—membuat Yusuf mengalami kesulitan logistik. Ada kemungkinan bahwa pasangan itu bepergian bersama dengan kerabat yang berada di sisi mereka ketika Yesus lahir. Namun tidak ada kerabat yang disebutkan membantu Yusuf merawat Maria dan bayinya. Ketika tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan, Yusuf tidak memiliki sarana untuk mengusahakan yang lebih baik (Luk. 2:4-7). Kemudian, keputusan politik berikutnya dan pesan lainnya melalui mimpi menyebabkan Yusuf melarikan diri ke Mesir bersama Maria dan Yesus. Herodes tidak bisa membiarkan Yesus tumbuh karena Ia adalah seorang anak yang berpotensi menantang Herodes di atas takhta. Karena itu, ia menargetkan bayi tersebut untuk dibunuh.

Ketakutan, penderitaan yang berat, dan rasa tidak berdaya pasti telah mengganggu hati Yusuf yang lembut itu ketika ia menyadari ancaman tersebut. Siapa pun yang hidupnya pernah mengalami kekejaman yang masif (seperti dalam kasus perang saudara), pasti tahu penderitaan yang disebabkan karena kemungkinan kehilangan orang yang dicintai disertai dengan ketidakmampuan untuk melindungi mereka.

Siapa pun yang berada dalam posisi Yusuf, akan menanyakan pertanyaan-pertanyaan eksistensial pada diri mereka dan mempertanyakan iman mereka. Apakah ia tergoda untuk bunuh diri, seperti yang dilakukan oleh beberapa orang ketika diperhadapkan dengan situasi yang sama? Apakah ia berpikir untuk pindah ke tempat yang lebih aman dan tidak pernah kembali ke Palestina? Apakah ia tergoda untuk menjadi pribadi yang pasif atau fatalistik? Kombinasi antara bahaya, duka yang mendalam, kejemuan, kurangnya pekerjaan yang berarti, tanggung jawab yang berat, dan bahkan pergumulan-pergumulan yang lebih berat, semua itu telah menyebabkan banyak orang yang mengungsi secara paksa bereaksi dengan cara-cara seperti tersebut di atas.

The Flight into Egypt (La fuite en gypte) karya James Tissot Gambar: Museum Brooklyn
The Flight into Egypt (La fuite en gypte) karya James Tissot

Namun kerohanian Yusuf, yang berbaur indah dengan kesulitan yang ia hadapi, telah membuat kisahnya menjadi salah satu harapan. Ia pasti merenungkan kata-kata sang malaikat: “Bangunlah, ambillah Anak itu serta ibu-Nya, larilah ke Mesir dan tinggalah di sana sampai Aku berfirman kepadamu…” (Mat. 2:13). Sebagian dari kalimat ini merupakan sebuah perintah; dan bagian lainnya adalah sebuah janji. Tuhan memegang kendali. Suatu hari nanti, Yusuf dan keluarganya akan kembali. Para penguasa yang egois dan kejam itu bukanlah penentu keputusan terakhir dalam kehidupan keluarga Yusuf.

Meski demikian, Yusuf dan keluarganya berada dalam situasi sangat sulit di mana ia harus bergantung pada Tuhan untuk membuat keputusan yang paling mendasar. Satu keputusan yang salah bisa berakibat fatal. Ketika tiba waktunya untuk kembali, malaikat itu memerintahkan Yusuf untuk pulang (Mat. 2:19–20).

Sekali lagi, Yusuf dibimbing secara ilahi untuk membuat keputusan yang sangat berbahaya. Siapa pun yang pernah menjadi pengungsi menyadari hal ini. Dalam kamp pengungsian tempat saya tinggal, beberapa pria pergi untuk melanjutkan kehidupan normal mereka sebelum daerah itu dinyatakan aman; ketidaksabaran mereka mengakibatkan mereka berkorban nyawa.

Dunia tetaplah dunia—bahkan pada saat aman yang sementara. Tuhan menasihati Yusuf untuk tidak tinggal di Yudea, tetapi di Galilea. Tidak ada keamanan yang lengkap, tidak ada kelegaan yang menyeluruh. Meski Herodes sudah mati, tetapi putranya masih berkuasa (ay. 21–23). Tuhan tidak menghancurkan semua orang jahat saat itu juga, tetapi Ia juga tidak membiarkan rencana-Nya digagalkan oleh mereka.

Hari ini, dalam beberapa hal tertentu, dunia masih lebih baik daripada di zaman Yusuf. Organisasi hak asasi manusia dapat berbicara mewakili orang-orang yang lemah dan membantu melindungi kehidupan mereka. Namun, umat manusia masih berdosa dan, oleh karena itu, jauh dari sempurna. Jumlah orang yang mengungsi secara paksa di dunia telah meningkat ke angka tertinggi dalam 40 tahun. Perang, gempa bumi, letusan gunung berapi, angin topan, pandemi, dan keputusan para penguasa dapat menghancurkan rasa aman dan stabilitas kita.

Meski demikian, kita tidak boleh lupa bahwa Tuhan sedang bekerja dan bahwa Ia bersama dengan kita bahkan di saat-saat terkelam sekalipun (Mzm 23:4–5). Selain itu, Ia telah berjanji untuk mengajari kita jalan yang harus kita tempuh (Mzm. 32:8) sebagai sarana dari kehendak-Nya di bumi.

Sebagaimana Tuhan memakai Yusuf, demikian pula Ia bermaksud memakai kita untuk melaksanakan tujuan-Nya bagi generasi kita. Tetapi hal ini menuntut kerohanian kita yang melampaui tradisi denominasi dan pola pikir yang legalistik. Kita juga harus hati-hati menghindar dari jerat kedagingan agar tetap peka terhadap pekerjaan Tuhan di zaman kita.

Sebagaimana Allah tidak mengizinkan hal-hal ini memisahkan kita dari-Nya, kita juga tidak boleh membiarkan bahaya, kegelisahan, atau bahkan ancaman kematian menghentikan kita untuk bekerja sama dengan-Nya.

Bagaimana kita bisa melakukan itu? Bukan melalui strategi yang rumit, tetapi dengan iman seperti Yusuf: iman yang sederhana, seperti anak kecil, yang siap bergantung pada Tuhan dalam segala keputusan yang kita buat, untuk melakukan apa yang Ia perintahkan, dan pergi tanpa menggerutu ke mana pun Ia menuntun kita, entah itu nyaman atau berbahaya.

Acher Niyonizigiye adalah seorang pendeta di Bujumbura International Community Church, salah satu pendiri organisasi nirlaba Greenland Alliance, dan penulis Be Transformed and Glorify God with your Life.

Diterjemahkan oleh: Maria Fennita S.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Telegram.

Natal ini, Berpeganglah pada Hal-hal yang Benar

Melepaskan genggaman terhadap orang dan harta kepemilikan membuat kita lebih berharap.

Christianity Today November 30, 2021
CottonBro / Pexels

Sebagian besar masa Natal menampilkan tentang mainan-mainan atau aksesori-aksesori yang harus dimiliki tahun ini, yang ditayangkan di jaringan televisi atau di berbagai promosi media sosial. Namun kisah belanja Natal tahun ini adalah soal kecemasan terkait rantai pasokan kebutuhan dan harga-harganya serta soal apakah kita akan mendapatkan semua hal yang kita inginkan tepat waktu sehingga kita dapat membukanya pada 25 Desember.

Sebagai orang Kristen, kita tahu bahwa seharusnya kita tidak membiarkan keinginan-keinginan menguasai kita. Saya secara teratur mendonasikan barang-barang keluarga saya yang sudah tidak terpakai ke tempat donasi Goodwill, sambil mengulang kata-kata "takkan kekurangan aku" di kepala saya. Namun, tak lama setelah saya pergi dari pusat donasi tersebut, saya mengulangi kebiasaan ini, yaitu membeli barang-barang yang tidak benar-benar saya butuhkan.

Bersyukurnya, ketika saya lebih fokus pada bagian pertama Mazmur 23:1, yaitu “Tuhan adalah Gembalaku,” pikiran saya menjadi jernih kembali. Kejernihan pikiran itu sejernih seperti ketika kita baru pulang dari berkemah atau berkunjung ke tempat yang jauh.

Saya memiliki segala yang saya perlukan. Dan semua itu ada bersama saya ke mana pun saya pergi.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Telegram.

Saya memikirkan apa yang Wendell Berry gambarkan sebagai “sukacita karena menolak membeli” setiap kali saya menutup aplikasi belanja daring, karena memutuskan bahwa saya akan tetap hidup tanpa barang-barang yang telah saya masukkan ke keranjang belanja itu. Ketika musim belanja dan stres menekan, dibutuhkan usaha untuk melawan godaannya. Tetapi substansi dari harapan sejati kita akan bertahan dan membantu kita melewatinya.

Meski demikian, harapan itu harus dilatih. Saya sering kali lupa untuk melepaskan ikatan terhadap barang-barang. Saya jadi mudah terbawa perasaan ketika melihat sepatu bayi yang sudah lama, jeans yang saya harap akan bisa saya pakai suatu hari nanti, dan gawai-gawai untuk dapur yang menghemat waktu yang sebenarnya hanya makan tempat dan waktu. Bagaimana kita bisa membebaskan diri dari hal-hal yang merasuki kita dan memperkuat kemampuan kita untuk berharap?

Tentu saja kita bisa melatih rasa cukup dan ucapan syukur. Jika semua yang kita miliki adalah milik Tuhan, maka yang dibutuhkan adalah inventarisasi yang jujur terhadap apa yang sudah diberikan kepada kita. Dan jika kita sudah menjadi milik Tuhan, maka kita tidak perlu lagi memiliki berbagai hal untuk membangun signifikansi atau rasa aman kita.

Memang, belajar melepaskan sesuatu itu cukup sulit. Bahkan lebih sulit lagi ketika mengetahui bahwa “takkan kekurangan aku” sering kali juga berarti melepaskan orang yang kita cintai.

Keluarga kami tersebar dari Oregon hingga California, dari Colorado hingga Missouri dan Florida. Saya berharap kami tinggal lebih dekat. Dan ketika anak-anak saya yang lebih besar pergi ke perkemahan musim panas dan kamar mereka menjadi sunyi, ketidakhadiran mereka membuat saya teringat kepada barang-barang yang menggambarkan siapa mereka: es krim favorit mereka, lagu tertentu di radio, topi bisbol yang diselipkan di bawah sofa, sepatu berlumpur di samping pintu belakang.

Saya berdoa untuk anak-anak dan kerabat ketika saya merindukan mereka. Tetapi saya juga mensyukuri cara orang-orang yang saya kasihi ini menjalani hidup yang telah diberikan Tuhan untuk mereka hidupi, sesuai dengan panggilan mereka. Ketika saya membuka hati terhadap rencana besar-Nya, saya memperoleh gambaran yang lebih lengkap tentang cara Tuhan bekerja di dunia ini. Dan melepaskan adalah bagian dari apa yang membuat hal ini menjadi mungkin.

Dalam pernikahan, persahabatan, dan kehidupan keluarga, kasih dibangun di atas serangkaian batu loncatan. Mengasihi berarti menerima, melepaskan, melancarkan, dan mengutus. Semua pemberian yang diterima anak-anak dari orang tua mereka, meskipun tidak sempurna, berakar pada keberanian yang utama untuk mencintai dan melepaskan, dalam kepercayaan bahwa ruang apa pun yang terbuka, Tuhan akan mengisinya dengan kehadiran Dia.

Ketika Yesus terangkat ke awan-awan setelah selesai waktu-Nya di bumi, para sahabat-Nya bingung dengan kepergian-Nya. Tetapi dalam peristiwa kenaikan-Nya, Yesus berkata, “Janganlah engkau memegang Aku” (Yoh. 20:17). Yesus harus pergi, sehingga ada ruang untuk mengutus Penolong yang lebih dekat dengan kita. Dia mengutus Roh Kudus, tidak hanya untuk berada di samping kita, melainkan juga di dalam kita. Pemberian yang baru ini adalah salah satu hal yang kita tidak tahu memintanya bagaimana.

Perubahan itu terus-menerus. Balita tidak tetap kecil. Sweter favorit akan rusak. Bahkan langit pun akan berlalu. Itulah sebabnya kita terus berusaha untuk tidak menaruh harapan kita pada apa pun yang akan kembali menjadi debu atau yang akan berakhir di keranjang donasi Goodwill. Kita bisa melepaskan semua itu, karena setiap kali kita melakukannya, kita memberi ruang bagi Tuhan yang tetap sama untuk memberi diri-Nya lebih lagi bagi kita.

Dan semakin besar kita menerima Dia, semakin besar kapasitas kita untuk mengasihi tanpa keterikatan yang melekat dan menggenggam satu sama lain atau kepada barang-barang yang kita simpan.

Sandra McCracken adalah seorang penyanyi dan penulis lagu yang tinggal di Nashville. Ia juga seorang pembawa acara siniar Steadfast. Ikuti dia di akun Twitter @Sandramccracken.

Diterjemahkan oleh: Denny Pranolo.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Telegram.

Kanan atau Kiri?

Renungan Adven, 30 November 2021.

Christianity Today November 30, 2021

Untuk mengunduh kumpulan renungan “Berita Injil di Masa Adven,” klik di sini.

Minggu Adven 1: Kembalinya Kristus dan Permerintahan Kekal


Minggu ini, kita berfokus pada Kedatangan Kristus yang kedua kalinya: pengharapan kita yang pasti akan kembalinya Kristus. Kita menggali gambaran Kitab Suci tentang kuasa Kristus dan penghakiman yang adil, serta masa depan gemilang yang kita nantikan bersama Tuhan dalam ciptaan baru.

Baca Matius 25:31–46

Dalam Matius 24–25, Yesus mengajarkan tentang kedatangan-Nya kembali dan menggunakan beberapa perumpamaan untuk menggambarkan seperti apa “Kerajaan sorga” itu (25:1). Mungkin elemen yang paling meresahkan dari ajaran Yesus dalam Matius 25:31–46 adalah pertanyaan mengejutkan dari kedua kelompok yang sedang diadili. Mereka tidak protes karena diadili; lagi pula, Anak Manusia telah datang dalam kemuliaan, dihadiri oleh sekumpulan besar makhluk surgawi, dan bahkan takhta-Nya pun mulia. Kedatangan-Nya yang seperti demikian menegaskan dan menunjukkan otoritas-Nya untuk menghakimi.

Dia memiliki hak untuk memanggil setiap bangsa ke hadapan-Nya, dan mereka harus datang.

Namun kejutannya bukan tentang fakta penghakiman atau hak Sang Hakim. Sebaliknya, baik mereka yang di kanan maupun di kiri-Nya bingung tentang apa yang dikatakan-Nya. Kelompok domba melihat Raja kemuliaan ini dan berpikir, “Tentunya kami akan tahu jika kami telah melayani Dia. Kami tidak mungkin melewatkan Dia.” Kelompok kambing juga berpikir sama, tetapi kebalikannya. Kapan mereka pernah menolak Dia? Mereka tidak bisa ingat.

Untuk menanggapi mereka, Kristus yang mulia mengungkapkan kuncinya: Ia selalu diidentifikasi, dipersatukan, dengan saudara-saudari Dia. Ini lebih dari sekadar afiliasi; itu adalah identifikasi yang benar. Siapakah saudara-saudari Dia? Yesus mengajarkan dengan jelas, “Sebab siapapun yang melakukan kehendak Bapa-Ku di sorga, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku.” (Mat. 12:50). Tidak peduli status, etnis, jenis kelamin, atau warga negara seseorang, jika mereka bersatu dengan Kristus, maka merawat mereka adalah merawat Yesus sendiri.

Ini bukan perbuatan kebajikan, di mana setiap orang mendapat pahala atau hukuman berdasarkan perbuatannya. Ini adalah pengungkapan kesetiaan atau pemberontakan terhadap Yesus yang adalah Raja—itulah sebabnya hanya ada dua tujuan.

Mungkin akan lebih mudah untuk menaati Kristus yang mulia—karena kita akan melihat kuasa-Nya dengan mata kepala kita sendiri. Tetapi Tuhan memanggil kita untuk beriman, bukan melihat. Bahkan, di Natal, kita ingat bahwa Ia datang hampir tidak dikenali. Bahkan hari ini, Ia diidentikkan dengan umat-Nya yang lemah dan bodoh.

Mulut manis tidak akan berguna. Kepercayaan yang sejati kepada Yesus akan mengarahkan kesetiaan kita kepada-Nya dan menghasilkan ketaatan. Apakah kita mempercayai Dia bahwa pelayanan kepada orang-orang Kristen yang rendah dan hina adalah bukti pemuridan kita yang lebih baik bahkan daripada mukjizat dan nubuat (7:21-23)? Apakah kita mempercayai Dia bahwa kita tidak dapat memiliki perintah yang terutama tanpa yang kedua, atau yang kedua tanpa yang pertama (22:37-40)? Kesetiaan sejati dari semua orang akan terungkap; marilah kita menaruh iman kita kepada-Nya.

Rachel Gilson melayani dalam tim kepemimpinan Cru untuk pengembangan teologi dan budaya. Ia adalah penulis buku Born Again This Way: Coming Out, Coming to Faith, and What Comes Next.

Renungkan Matius 25:31–46. (Opsi: Baca juga 7:21–23 dan 22:37–40.)


Bagaimana ajaran tentang kedatangan Kristus kembali dan penghakiman ini membentuk pemahaman Anda tentang apa artinya mengenal dan mengikuti Yesus?
Bagaimana ide tentang kesetiaan sejati menantang Anda dalam pemuridan Anda sehari-hari?

Diterjemahkan oleh: Denny Pranolo

Berjaga-jaga dan Berdoa

Renungan Adven, 29 November 2021.

Christianity Today November 29, 2021

Untuk mengunduh kumpulan renungan “Berita Injil di Masa Adven,” klik di sini.

Minggu Adven 1: Kembalinya Kristus dan Permerintahan Kekal


Minggu ini, kita berfokus pada Kedatangan Kristus yang kedua kalinya: pengharapan kita yang pasti akan kembalinya Kristus. Kita menggali gambaran Kitab Suci tentang kuasa Kristus dan penghakiman yang adil, serta masa depan gemilang yang kita nantikan bersama Tuhan dalam ciptaan baru.

Baca Lukas 21:25–36

Kedatangan Yesus yang Kedua akan benar-benar kentara. Seluruh ciptaan, dari langit sampai ke lautan yang bergelora, akan bergejolak hebat; semua orang di dunia akan melihat dan putus asa. Sungguh tidak akan ada tempat untuk bersembunyi, tidak ada tempat untuk melarikan diri dari Dia yang akan datang untuk membawa keadilan. Tidak ada tempat, kecuali di dalam Dia yang datang kembali untuk menghakimi orang yang hidup dan yang mati. Sementara bangsa-bangsa akan menderita, para pengikut Yesus diberitahu untuk tidak merunduk dan bersembunyi, tetapi untuk berdiri dan mengangkat kepala mereka. Karena hidup mereka tersembunyi di dalam Kristus yang duduk di surga, mereka tidak perlu takut ketika Dia kembali ke bumi.

Yesus ingin para murid-Nya mengerti bahwa peristiwa ini akan datang dengan cepat dan pasti. Ada perdebatan besar tentang siapa “angkatan ini” (Luk. 21:32). Mungkin ini merujuk pada pendengar Yesus saat itu, yang bagi mereka kejatuhan Yerusalem akan menjadi tanda dan contoh dari akhir yang akan datang. Mungkin ini berarti generasi yang akan melihat tanda-tanda kedatangan-Nya. Artinya, kedatangan Kristus kembali akan terjadi tidak lama setelah pohon-pohon bertunas secara metaforis. Namun, apa pun itu, Yesus berjanji bahwa peristiwa tersebut lebih kukuh daripada dunia itu sendiri.

Apa yang harus dilakukan para murid sementara dalam penantian? Kita yang dari latar belakang gereja tertentu mungkin mengharapkan panggilan untuk menginjili dan memuridkan orang lain karena orang-orang harus tahu tentang bencana yang akan datang ini. Dan ya, kita harus. Kita yang dari latar belakang gereja lainnya mungkin mengharapkan panggilan untuk mempraktikkan keadilan karena kita dipanggil untuk mengasihi semua yang Tuhan kasihi dan membenci segala yang Dia benci. Dan ya, kita harus.

Namun, dalam momen spesifik di Lukas 21 ini, Yesus memanggil para murid-Nya untuk berhati-hati, berjaga-jaga. Sebuah perangkap pegas (seperti jebakan tikus) memberi gambaran yang sesuai tentang akhir yang tiba-tiba dan ganas ini. Siapa yang begitu arogan untuk menganggap bahwa mereka akan lolos? Godaan duniawi untuk berpesta liar atau ketakutan yang tidak semestinya adalah contoh bagaimana hati manusia bisa terbebani. Dan hidup kita yang berat, ditambah lagi dengan membawa beban berat, membuat kita tidak bisa dengan cepat menghindar dari akhir yang tiba-tiba dan ganas itu.

Baik pelarian maupun kekhawatiran tidak dapat memberi apa yang dijanjikan. Pelarian tidak membuat kenyataan pergi; kekhawatiran tidak benar-benar mempersiapkan kita. Yesus memanggil kita untuk berjaga-jaga dan berdoa, untuk memperhatikan sungguh-sungguh, dan sepenuhnya bergantung kepada Tuhan yang benar-benar akan datang. Yesus ingin para murid-Nya mampu berdiri di hadapan-Nya saat itu; dan Ia akan menjawab doa itu.

Rachel Gilson melayani dalam tim kepemimpinan Cru untuk pengembangan teologi dan budaya. Ia adalah penulis buku Born Again This Way: Coming Out, Coming to Faith, and What Comes Next.

Renungkan Lukas 21:25–36.


Emosi atau reaksi apa dalam diri Anda yang dibangkitkan oleh perikop?
Bagaimana hal itu menegur atau menginspirasi Anda?
Apa yang ditekankan perikop ini tentang Yesus dan Injil?
Mintalah Yesus menolong Anda menaati panggilan-Nya untuk berjaga-jaga dan berdoa.

Diterjemahkan oleh: Denny Pranolo

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube