Berjalan ke Emaus Bersama Sang Tabib Agung

Kebingungan terhadap harapan dari Tuhan tampaknya dirusak oleh keadaan yang Ia tetapkan. Dan ini adalah kenyataan bagi banyak orang Kristen.

Christianity Today June 18, 2021
Ivan 96 / Getty / Edits by Rick Szuecs

Pada Jumat sore mereka menurunkan-Nya dari salib, mati sebagaimana manusia dapat mati. Pada hari Minggu sore Ia berjalan hampir sejauh tujuh mil dari Yerusalem ke Emaus dengan dua orang murid-Nya. Ia telah menembus penghalang kematian, dan hidup dengan sehat sekali lagi di planet Bumi. Selama 40 hari sebelum kembali menuju kemuliaan di mana Ia tinggal dan memerintah, Ia menampakkan diri kepada mereka yang telah menjadi pengikut dan teman-teman-Nya. Mengapa? Karena Ia mengasihi mereka, dan ingin mereka bersukacita karena melihat-Nya hidup; karena Ia harus menjelaskan kepada mereka karya penyelamatan yang dicapai-Nya dan peran mereka sebagai para saksi bagi-Nya; dan, yang tak kalah pentingnya, karena beberapa dari mereka berada dalam tekanan emosional dan spiritual, dan membutuhkan terapi yang khusus dari-Nya. Semua ini tercermin dalam kisah perjalanan ke Emaus (Luk. 24:13–35).

Siapakah pasien yang dilayani oleh Sang Tabib Agung di sana? Salah satunya adalah Kleopas (ay. 18). Yang lainnya, tidak disebutkan oleh Lukas, yang tinggal bersama Kleopas, dan wajar untuk menebak (meskipun tidak mungkin untuk dibuktikan) bahwa itu adalah Maria, istri “Kleopas” (Yoh. 19:25) dan ibu Yakobus (Mrk. 15:40), yang berada pada peristiwa salib ketika Yesus mati. (Dalam hal ini, Kleopas adalah Alfeus, ayah Yakobus.) Saya berasumsi bahwa mereka adalah suami istri yang sedang berjalan pulang dengan lesu pada hari itu. Mereka berjalan perlahan; banyak orang melakukannya ketika menempuh perjalanan jauh, dan mereka berbagi kebingungan dan kepedihan akan kematian Yesus. Mereka menjadi sangat tidak bersemangat. Mereka mengira bahwa mereka telah kehilangan Guru mereka yang terkasih untuk selamanya; mereka merasa bahwa dunia mereka telah runtuh. Mereka sangat terguncang karena mengalami kesedihan yang mendalam, dan sangat terluka.

Sekarang bayangkan suasananya. Dari belakang datanglah seorang asing, yang berjalan lebih cepat, hingga akhirnya tiba di samping mereka. Umumnya mereka berhenti membahas tentang kesengsaraan pribadi mereka, dan suasana menjadi hening. Ketika kita menyadari bahwa kesedihan jelas terlihat di seluruh wajah kita, kita akan menghindar untuk memandang kepada orang lain karena kita tidak ingin ada orang yang melihat kita, dan saya membayangkan pasangan ini memalingkan kepala mereka dan tidak pernah menatap teman seperjalanan mereka sama sekali. Tentunya, “ada sesuatu yang menghalangi mata mereka, sehingga mereka tidak dapat mengenal Dia” (ay. 16), jadi jika ada yang bertanya kepada mereka, “Apakah Yesus bersamamu?” jawabannya pasti: “Jangan konyol, Dia sudah mati, kita telah kehilangan Dia, kami berharap Dialah yang akan menyelamatkan Israel tetapi jelas bukan Dia; kita tidak akan melihat-Nya lagi—dan tidak ada yang masuk akal lagi.”

Berhentilah! Lihatlah! Dengarkanlah! Berikut ini adalah contoh yang sempurna dari salah satu jenis kebingungan rohani yang (saya berani tegaskan) dialami oleh setiap anak Tuhan cepat atau lambat. Berhati-hatilah: Hal ini bisa sangat menyakitkan, dan jika Anda tidak siap menghadapinya, ini dapat membuat Anda kepahitan, mencederai Anda secara emosional, dan dalam skala yang besar akan menghancurkan Anda—yang mana, bisa dikatakan, merupakan tujuan Setan di dalam hal tersebut, setiap saat. Yang terjadi adalah Anda merasa bahwa Tuhan mempermainkan Anda. Setelah mengangkat dengan memberimu harapan, Dia sekarang menjatuhkanmu dengan menghancurkannya. Sandaran yang Ia berikan kepadamu, tiba-tiba diambil oleh-Nya, dan Anda terjatuh. Perasaan Anda mengatakan bahwa Dia sedang mempermainkan Anda: Bahwa Dia pasti seorang raksasa yang tidak berperasaan dan jahat. Jadi Anda merasa hancur berkeping-keping, dan ini tidak mengherankan.

Contohnya mudah ditemukan. Misalnya, seorang pengerja Kristen, mungkin orang awam, mungkin seorang pendeta, yang menjalankan tugas (menggembalakan gereja, memimpin kelas, memulai pekerjaan baru, atau apa pun) yakin bahwa Tuhan telah memanggilnya, dan karena itu berharap untuk melihat berkat dan buah pelayanannya. Tetapi ternyata yang datang hanyalah kekecewaan dan frustrasi. Banyak hal tidak berjalan sesuai keinginan, orang-orang bertindak menyimpang, pertentangan bermunculan, dikecewakan oleh rekan-rekannya, ladang pelayanan menjadi bencana. Atau, misalnya ada pasangan yang menikah di dalam Tuhan untuk bersama-sama melayani Dia. Mereka mendedikasikan rumah, kekayaan, dan bahkan anak-anak mereka bagi-Nya, namun mereka tidak menemukan apa-apa selain masalah—yaitu masalah kesehatan, keuangan, masalah dengan kerabat dan mertua, dan mungkin (yang paling pahit dari semuanya), masalah dengan anak-anak mereka sendiri. Apa yang lebih menyakitkan bagi orang tua Kristen selain melihat anak-anak yang berusaha mereka besarkan bagi Tuhan namun berkata "tidak" pada kekristenan? Tetapi jangan katakan bahwa hal-hal ini tidak pernah terjadi kepada orang-orang yang benar-benar setia; Anda tahu betul bahwa mereka juga mengalaminya. Dan ketika mereka mengalaminya, rasa sakitnya bertambah dengan adanya perasaan bahwa Tuhan telah berbalik melawan Anda, dan Ia secara aktif menghancurkan harapan yang pernah Ia berikan kepada Anda.

Sekitar 30 tahun yang lalu, putri seorang pendeta tertarik pada seorang pria muda. Sang putri adalah seorang Kristen; sedangkan sang pria bukan. Dia pun melakukan apa yang seharusnya dilakukan gadis-gadis Kristen pada saat-saat seperti itu: Dia menahan diri dan berdoa. Sang pria lalu menjadi Kristen, dan mereka menikah. Tak lama kemudian sang pria, yang merupakan seorang petani yang cukup makmur, merasa terpanggil untuk menjual harta miliknya dan menempuh studi menjadi rohaniwan. Namun, sebelum pelayanannya dimulai, ia meninggal dengan menderita karena kanker, meninggalkan istrinya dengan seorang putra yang masih kecil dan tanpa uang. Kini istrinya memiliki pelayanan kepada individu-individu yang, tanpa pengalaman itu, dia tidak akan pernah memilikinya; namun berulang kali dia harus melawan perasaan yang mengatakan: “Tuhan mempermainkan saya; Dia memberikan saya harapan dan menghancurkannya; Dia kejam; Dia keji.” Saya menduga ia akan berjuang dalam pertempuran tersebut sampai dia meninggal. Hal-hal tersebut dapat terjadi, dan itu menyakitkan.

Lihatlah di dalam Kitab Suci. Yusuf saat remaja, yang termuda dalam keluarganya, diberikan mimpi untuk menjadi pemimpin klannya. Dengan penuh amarah, saudara-saudaranya menjual dia sebagai budak untuk memastikan mimpinya itu tidak pernah terjadi. Keadaan Yusuf baik-baik saja di Mesir sebagai tangan kanan dari seorang tentara dan politikus terkemuka. Sang nyonya rumah, mungkin merasa diabaikan oleh suaminya, sebagaimana yang kadang dirasakan oleh istri tentara dan politisi, ingin membawa Yusuf untuk tidur bersamanya. Yusuf berkata tidak, dan sikap penolakan dari seorang budak ini mengubah nafsu sang nyonya rumah menjadi benci (ini bukanlah transisi yang sulit), sehingga ia berbohong tentang Yusuf, dan tiba-tiba Yusuf mendapati dirinya mendekam di penjara, dicela dan dilupakan. Di sana Yusuf mendekam selama beberapa tahun, sebagai seorang narapidana teladan sebagaimana yang diberitahukan kepada kita, tetapi tanpa prospek dan tanpa apa pun untuk dipikirkan kecuali impian tentang kebesaran yang pernah Tuhan berikan kepadanya. “Sampai saat [firman-Nya] sudah genap, dan janji TUHAN membenarkannya (Mzm. 105:19). Terjemahan versi Bahasa Inggris untuk bagian b dari ayat ini: "firman Tuhan menguji dia.” “Menguji dia”—ya, dan bagaimana? Dapatkah kita meragukan bahwa saat Yusuf di penjara, ia terus-menerus melawan perasaan bahwa Tuhan yang memberinya harapan sekarang sedang bekerja keras untuk menghancurkannya? Dapatkah kita mengira bahwa dia merasa mudah untuk mempercayai Tuhan dan tetap tenang dan bersikap manis?

Kebingungan yang menghancurkan hati terhadap harapan dari Tuhan, tampaknya dirusak oleh keadaan yang Ia tetapkan. Dan ini adalah kenyataan bagi banyak orang Kristen masa kini, dan akan menjadi pengalaman bagi lebih banyak orang di masa mendatang-seperti halnya bagi Yusuf, dan bagi para murid di Emaus. Kembali ke cerita mereka, sekarang, saksikanlah sang Tabib Agung bekerja atas mereka.

Para tabib yang baik menunjukkan kualitasnya pertama-tama melalui keahliannya dalam mendiagnosis. Mereka tidak hanya meringankan gejala-gejala, tetapi mencari akar masalahnya dan mengatasinya. Apa yang Yesus lihat sebagai akar penyebab dari kesedihan kedua rekan ini? Dari cara penanganan Dia terhadap mereka menunjukkan bahwa diagnosis-Nya adalah ketidakpercayaan, yang disebabkan oleh dua hal.

Pertama, mereka terlalu kecewa —terlalu kecewa, yakni, untuk berpikir jernih. Mereka tidak mampu menebak apa yang terjadi berdasarkan penglihatan mereka. Mereka telah meluncur menuruni lereng yang licin dari kekecewaan menuju stress yang negatif, lalu menjadi keputusasaan, dan dari keputusasaan menuju apa yang kita sebut dengan depresi, yang merupakan penyakit abad ke-20 yang paling umum, di mana satu dari setiap empat orang di Amerika Utara harus dirawat secara medis pada suatu titik kehidupan mereka. Jika Anda pernah mengalami depresi, atau pernah berusaha membantu para korbannya, Anda akan tahu bahwa orang-orang yang mengalami depresi sangat pandai dalam menemukan alasan untuk menolak penghiburan, dorongan, atau harapan dari apa pun yang Anda katakan kepada mereka. Mereka tahu maksud Anda baik, tetapi mereka menentang upaya Anda; mereka memelintir segalanya menjadi alasan mengapa mereka harus murung dan putus asa (“hal tersebut tidak apa-apa bagimu, tetapi ini berbeda bagiku,” dan seterusnya). Mereka memutuskan untuk mendengar segala sesuatunya sebagai kabar buruk. Persis seperti itulah yang kita temukan dalam narasi Kleopas mengenai kubur yang kosong. (Pasti Kleopas yang berbicara pada saat itu; karena Maria tidak akan berbicara dengan orang asing, dan kisah ini diceritakan dengan cara yang sangat kelaki-lakian.)

“Tetapi sementara itu telah lewat tiga hari, sejak semuanya itu terjadi,” kata Kleopas. “Selain itu, beberapa wanita di kumpulan kami membuat kami takjub. Tetapi beberapa perempuan dari kalangan kami telah mengejutkan kami: Pagi-pagi buta mereka telah pergi ke kubur, dan tidak menemukan mayat-Nya. Lalu mereka datang dengan berita, bahwa telah kelihatan kepada mereka malaikat-malaikat, yang mengatakan, bahwa Ia hidup. Dan beberapa teman kami telah pergi ke kubur itu dan mendapati, ([kejutan! kejutan!]) bahwa memang benar yang dikatakan perempuan-perempuan itu, tetapi Dia tidak mereka lihat” (ay. 22–24). (Implikasinya: Tidak ada dalam pembicaraan ini tentang Dia yang masih hidup; seseorang pasti telah menodai kuburan dan mencuri tubuh-Nya, untuk menolak penguburan yang layak). Jadi Kleopas menceritakan tentang kubur kosong sebagai berita buruk lainnya lagi.

Namun berulang kali sebelum kesengsaraan-Nya, Yesus telah menubuatkan tidak hanya kematian-Nya tetapi juga kebangkitan-Nya pada hari yang ketiga (Luk. 9:22; 18:33; Mat 16:21; 17:23; 20:19). Jika berpikiran jernih tentang kubur yang kosong, dalam terang dari prediksi-prediksi tersebut, mestinya akan membuat hati mereka melompat kegirangan. “Ia bilang Dia akan bangkit; sekarang kuburan itu kosong; Dia telah melakukannya, Dia telah melakukannya, Dia telah melakukannya!” Tetapi kedua orang itu terlalu kecewa untuk dapat berpikir jernih.

Hal ini disebabkan oleh akar dari ketidakpercayaan mereka, yang juga telah didiagnosis oleh Yesus, yaitu fakta bahwa mereka terlalu bebal—terlalu bebal, yaitu, tentang Kitab Suci. “Hai kamu orang bodoh”—Nada Yesus berbicara dengan penuh belas kasih, dengan tidak merendahkan: “Wahai orang-orang yang konyol yang Kusayangi” lebih tepat menggambarkan nuansanya-“betapa lambannya hatimu, sehingga kamu tidak percaya segala sesuatu, yang telah dikatakan para nabi! Bukankah Mesias harus menderita semuanya itu untuk masuk ke dalam kemuliaan-Nya?” (ay. 25–26). Yesus mungkin menghabiskan waktu dua jam untuk menunjukkan kepada mereka dari Kitab Suci (yang telah dihafalkan) bahwa hal itu sebenarnya perlu. Itu menunjukkan bagaimana Dia dapat melihat kebutuhan dasar mereka.

Ketidaktahuan akan Kitab Suci adalah masalah mendasar di perjalanan menuju Emaus, yang juga sering terjadi dengan kita. Orang Kristen yang tidak tahu isi Alkitab akan mudah menjadi bingung dan terluka karena mereka tidak tahu bagaimana mendapatkan pengertian yang alkitabiah tentang apa yang sedang terjadi pada mereka. Kedua murid ini tidak memahami salib Yesus. Banyak orang tidak cukup memahami isi Alkitab untuk memahami salib mereka sendiri. Hasilnya adalah tingkat kebingungan dan kesusahan yang mungkin sebenarnya dapat dihindari.

Dengan mendiagnosa mereka demikian, Yesus melakukan tiga hal untuk menyembuhkan jiwa kedua murid ini. Pertama, Ia melakukan apa yang harus dilakukan semua konselor: Ia mengajukan pertanyaan, membuat mereka berbicara, membangun relasi, dan dengan demikian membuat mereka menerima apa yang Ia katakan. Langkah pembuka-Nya (“Apakah yang kamu percakapkan sementara kamu berjalan?” ay. 17) hanya menarik keluar kekasaran Kleopas (“Adakah Engkau satu-satunya orang asing di Yerusalem, yang tidak tahu apa yang terjadi di situ pada hari-hari belakangan ini?" ay. 18, atau dengan kata lain "Jangan bilang Engkau tidak tahu!”). Orang-orang yang terluka sering bertindak seperti itu, mengeksternalisasi penderitaan mereka dengan melukai Anda. Namun Yesus tidak tergoyahkan; Ia tahu apa yang terjadi di dalam diri Kleopas, dan bertahan dengan pertanyaan-Nya (“Apakah itu?" ay. 19, seakan Ia berkata, "Apakah Aku seharusnya tahu? Bagaimanapun juga, ceritakanlah kepada-Ku; Aku ingin mendengarnya dari bibirmu sendiri”). Jika mereka menolak untuk berbagi masalah mereka, Yesus tidak dapat membantu mereka. Tetapi ketika mereka telah mencurahkan isi hati mereka kepada-Nya, penyembuhan pun dimulai.

Kemudian, kedua, Yesus menjelaskan Kitab Suci-“menerangkannya,” memakai perkataan mereka (ay. 32)-karena hal itu menimbulkan kebingungan dan penderitaan bagi mereka. Ia menunjukkan kepada mereka bahwa apa yang membingungkan mereka, kematian orang yang mereka pikir akan menebus mereka dalam arti mengakhiri penjajahan Romawi, sebenarnya telah dinubuatkan berabad-abad sebelumnya sebagai cara Tuhan menebus dalam arti mengakhiri beban dan perbudakan dosa. Dia pasti telah membahas Yesaya 53, di mana sang hamba yang mati karena dosa itu, pada Yesaya 52:13-15 tampak hidup, berjaya, dan memerintah di Yesaya 53:10-12; Dia membahas banyak perikop yang menggambarkan Mesias yang diutus Tuhan itu pergi menuju ke mahkota kemuliaan melalui salib. Ia menjaga mereka dalam pemahaman yang mulai jelas dan kegembiraan yang memuncak (hati mereka “berkobar-kobar,” ay. 32) sampai mereka tiba di rumah. Demikianlah penyembuhan tersebut berlangsung.

Prinsipnya adalah bahwa hal yang paling menyembuhkan di dunia untuk jiwa yang risau adalah memahami bahwa kehancuran hati yang menghasilkan perasaan terisolasi, putus asa, dan kebencian terhadap semua tawa ceria sebenarnya dibahas di dalam Alkitab, dan kehancuran hati itu menjadi masuk akal setelah ditempatkan dalam pengertian akan tujuan ilahi yang penuh kasih. Dan Anda bisa yakin bahwa Alkitab, buku penuntun kehidupan dari Tuhan, memiliki sesuatu untuk dikatakan tentang setiap masalah hidup yang melibatkan jalan Tuhan yang akan kita temui. Jadi jika Anda terluka karena yang Anda rasa telah Tuhan lakukan kepadamu, dan Anda tidak merasa Kitab Suci berbicara untuk kondisimu, hal itu bukan karena sekarang Alkitab mengecewakan Anda melainkan, seperti para murid ini, Anda tidak mengetahuinya dengan cukup baik. Mintalah orang Kristen yang lebih bijaksana untuk membukakan Kitab Suci kepada Anda terkait dengan penderitaan Anda, dan saya jamin Anda akan menemukannya. (Meminjam ungkapan dari Ellery Queen—tantangan kepada pembaca!)

Akhirnya, Yesus mengungkapkan kehadiran-Nya. “Tinggallah bersama-sama dengan kami,” kata mereka kepada-Nya saat tiba di Emaus. (Sungguh suatu berkat bagi mereka karena keramahan yang mereka berikan! Entah apa yang akan mereka lewatkan seandainya mereka tidak melakukannya!). Lalu mereka meminta-Nya untuk mengucap syukur, dan ketika Dia melakukannya dan memberi mereka roti “terbukalah mata mereka dan merekapun mengenal Dia” (ay. 31). Entah apakah pengenalan itu dipicu dengan melihat bekas paku di tangan-Nya, atau dengan mengingat suara dan tindakan yang identik dengan saat memberi makan lima ribu atau empat ribu orang, seperti yang ditanyakan beberapa orang, kita tidak tahu; dan hal itu juga tidak penting. Sekarang, seperti halnya dahulu. Cara Yesus membuat kehadiran-Nya diketahui adalah misteri iluminasi ilahi yang jarang dapat Anda katakan lebih dari ketika sesuatu dikatakan, dilihat, dibaca, atau diingat—itu terjadi. Jadi hal tersebut telah terjadi; dan dengan demikian penyembuhan telah selesai.

Hanya ketika kita mengesampingkan rasa kebencian dan sikap mengasihani diri yang tanpa doa, serta membuka hati kita kepada-Nya, maka kita akan mengerti pertolongan-Nya.

Yang pasti, saat mereka mengenali-Nya, Dia menghilang. Namun jelas mereka tahu bahwa Dia masih bersama dengan mereka. Jika tidak demikian, mungkinkah mereka mau bangkit di tengah kelelahan dan bergegas kembali ke Yerusalem sepanjang malam untuk membagikan berita mereka? Orang-orang Palestina yang berakal sehat tidak berjalan di jalan pedesaan yang sepi di malam hari, karena takut preman dan perampok (itulah sebabnya Kleopas dan Maria mendesak Orang asing itu untuk tinggal bersama mereka sejak awal). Tetapi terbukti bahwa mereka mengandalkan kehadiran perlindungan Tuhan saat mereka menjalankan urusan-Nya. “Tinggallah bersama-sama dengan kami,” kata mereka, dan di dalam hati mereka tahu Dia melakukannya. Dengan demikian hati mereka yang hancur telah disembuhkan, dan kesedihan mereka telah digantikan oleh kegembiraan.

Yesus Kristus, Tuhan kita yang telah bangkit, adalah sama, hari ini seperti juga kemarin, dan yang merupakan bagian dari iman Paskah yang sejati adalah membawa luka kita menuju penyembuhan di Jalan Emaus. Bagaimana? Pertama, dengan memberi tahu Yesus tentang masalah kita, sebagaimana Ia mengajak kita untuk melakukannya setiap hari. Ia tetap menjadi pendengar yang baik, sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah himne sebagai “rekan sepenanggungan bagi penderitaan kita”; dan hanya ketika kita mengesampingkan rasa kebencian dan sikap mengasihani diri yang tanpa doa, serta membuka hati kita kepada-Nya, maka kita akan mengerti pertolongan-Nya. Kedua, dengan membiarkan Dia melayani kita melalui Kitab Suci, menghubungkan penderitaan kita dengan tujuan Tuhan dalam kasih yang menyelamatkan: Ini berarti secara teratur mencari wakil Tuhan, yaitu manusia, dalam pelayanan, sebagaimana juga studi Alkitab pribadi. Ketiga, dengan meminta-Nya untuk meneguhkan kita bahwa ketika kita melewati situasi yang terasa seperti api dan banjir, Ia berjalan menemani kita, dan akan tinggal bersama kita sampai akhir jalan itu. Doa itu akan selalu Dia jawab.

“Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa. Sebab itu marilah kita dengan penuh keberanian menghampiri takhta kasih karunia, supaya kita menerima rahmat dan menemukan kasih karunia untuk mendapat pertolongan kita pada waktunya.”(Ibr. 4:15-16, LAI TB). Demikianlah tulis seorang rasul dahulu kala, kepada orang-orang percaya yang diperlakukan dengan buruk, diganggu, dan ditekan. Kisah Jalan Emaus mendorong kita untuk melakukan apa yang Ia katakan—dan juga menunjukkan caranya.

Teolog Inggris dan penulis J.I. Packer adalah profesor teologi sistematika dan sejarah di Regent College di Vancouver, British Columbia, Kanada.

Diterjemahkan oleh: Janesya S.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Our Latest

Laporan Lausanne: Sebagian Besar Misionaris Menjangkau yang Sudah Terjangkau

Laporan Keadaan Amanat Agung (The State of the Great Commission) menelaah tantangan dan peluang di tengah lanskap misi yang terus berubah.

Ketika Pelayanan Melukai Keluarga Anda

Nasihat yang berasal dari pengalaman sulit untuk menyeimbangkan antara keluarga dan pekerjaan Tuhan.

Saya Menemukan Penghiburan dalam Pahlawan Ilahi

Sebuah mazmur yang mencengangkan mengubah pandangan saya tentang kehadiran Allah selama masa-masa pencobaan.

Gereja Adalah Keluarga, Bukan Acara

Alkitab menyebut sesama orang Kristen sebagai “saudara laki-laki dan perempuan,” tetapi seberapa sering kita memperlakukan mereka sebagai keluarga?

News

Wafat: Andar Ismail, Penulis Produktif yang Membuat Teologi Menjadi Sederhana

Dengan seri Selamat karyanya, pendeta Indonesia ini menulis lebih dari 1.000 cerita pendek yang menyoroti kehidupan dan ajaran Yesus.

Kematian karena Swafoto

Kita tidak akan pernah melihat kemuliaan Tuhan jika kita hanya melihat pada diri kita sendiri.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube