Berkhotbah kepada Orang yang Tertidur

Terkadang ada sesuatu yang lebih daripada sekadar pendengar yang bosan.

Christianity Today August 14, 2024
Illustration by Mallory Rentsch / Source Images: Getty / Unsplash

Saya rasa rekor dia adalah 15 menit.

Biasanya, dia akan tertidur dalam waktu kurang dari 10 menit. Saudara Leroy (bukan nama sebenarnya) sepertinya tidak bisa tetap terjaga selama khotbah. Dan dia bukan orang yang tidur dengan senyap. Terkadang, ia mendengkur, tetapi sering kali ia akan menengadahkan kepalanya, dengan mulut menganga, dan tertidur begitu lelap sehingga saya tidak yakin dia akan terbangun mendengar sangkakala malaikat Gabriel.

Setelah kebaktian, seperti biasa saya akan berdiri di dekat pintu keluar. Lalu Saudara Leroy akan mengangguk dan berkata kepada saya, “Khotbah yang bagus, Pak Pendeta.”

Saya akan jujur memberitahu Anda bahwa sebagai seorang pendeta muda, saya sangat tersinggung dengan orang ini. Jika sebagian besar jemaat tertidur, saya mungkin akan menyimpulkan bahwa sayalah masalahnya. Namun masih banyak orang lain yang benar-benar mendengarkan. Kesalahannya ada pada Saudara Leroy.

Saya menyimpulkan bahwa Leroy adalah orang yang tidak rohani dan tidak memiliki kesukaan pada pemberitaan Firman Tuhan. Orang Kristen seharusnya menghargai Firman Tuhan. Bagaimana mungkin Anda bisa tertidur di saat seseorang sedang membagikan Injil dengan penuh semangat?

Apakah Anda bosan dengan Yesus, Saudara Leroy? Mengapa Anda repot-repot datang ke gereja? Apa yang Anda dapatkan dari kepura-puraan ini?

Belas kasihan kepada jemaat yang mengantuk

Lalu saya bercakap-cakap dengan Saudara Leroy. Ia berkata kepada saya, “Saya sangat menghargai khotbah Anda, Anak Muda.” Kemudian ia tertawa kecil dan mengatakan, “Setidaknya pada bagian-bagian di mana saya terbangun. Saya benar-benar meminta maaf jika Anda pernah melihat saya mengangguk-angguk tertidur…”

(Oh, saya memperhatikan, Leroy. Bagaimana tidak?!?!?)

“Saya sedang menjalani pengobatan yang mengharuskan saya minum obat di pagi hari, dan saya tidak bisa tetap terjaga. Saya mencobanya, tetapi obat itu sepertinya selalu menang.”

Karena masih muda dan bodoh pada saat itu, saya mungkin menyimpulkan bahwa Leroy hanya membuat-buat alasan untuk tidur. Namun bertahun-tahun kemudian saya menjadi lebih dewasa (setidaknya sedikit lebih dewasa) dan memikirkan tentang beberapa “orang-orang yang tertidur” dalam gereja kami. Ada seorang ibu tunggal, seorang pria yang bekerja jaga malam, dan seorang pria lanjut usia yang sedang menjalani pengobatan kanker. Dan tiba-tiba saya menyadari bahwa mereka berada di gereja dan bahkan tertidur, karena mereka memang menghargai Firman Tuhan.

Kebanyakan dari mereka tidak ingin tertidur. Mereka tidak meremehkan Firman Tuhan; mereka hanya sedang menjadi manusia apa adanya. Tertidurnya mereka tidak mengomunikasikan apa pun tentang khotbah saya atau tentang kasih mereka kepada Allah. Ini sama seperti saya yang suka menonton sepak bola Amerika. Namun pada sebagian besar hari Minggu, saya akan tertidur karena kelelahan berkhotbah.

Kiat-kiat berkhotbah kepada jemaat yang mengantuk

Ada seorang pria di gereja saya yang sekarang sedang mengidap kanker berat. Ia tertidur setidaknya selama sebagian besar khotbah saya setiap Minggu. Akan tetapi saya sungguh senang melihatnya hadir. Saya mengenal pria ini sebelum ia diberi berbagai macam obat untuk membuatnya tetap hidup, dan saya tahu betapa ia mengasihi Yesus.

Saya tahu saya punya waktu sekitar lima hingga 10 menit di awal dan biasanya sedikit waktu di akhir. Jadi, saya akan memberikan potongan-potongan kecil pada lima menit pertama dan lima menit terakhir, hanya demi memberinya makanan rohani. Satu atau dua baris kalimat penyemangat. Hal itu biasanya sesuatu yang berhubungan dengan teks khotbah yang saya tahu akan bisa dicerna olehnya sebelum ia tertidur.

Lucu sekali karena khotbah yang ia bilang kepada saya “sangat bagus dan bermanfaat baginya,” biasanya tidak sejalan dengan pesan keseluruhan khotbah. Namun ia diberi makan apa yang bisa ia cerna. Dan saya tahu ia makan sedikit bagian tersebut karena ia mencintai Firman Tuhan.

Sungguh menakjubkan apa yang terjadi ketika kita dapat mengabaikan ego kita sendiri dan belajar tidak tersinggung secara pribadi terhadap jemaat yang tertidur. Hal ini mengubah perspektif kita. Tujuan saya bukanlah untuk membuatnya tetap terjaga sepanjang khotbah. Tujuan saya sekarang adalah memberi dia makan apa pun yang saya bisa selagi ia terjaga. Hal ini adalah cara untuk mengasihi dia apa pun kondisinya pada hari itu. Jika rasul Paulus saja pernah mendapati seseorang tertidur pada saat khotbahnya (Kis. 20:9), hal ini juga mungkin akan terjadi pada Anda.

Tantangan dari jemaat yang mengantuk

Nasihat ini bukan berarti kita harus berhenti berusaha untuk membuat setiap orang tetap menyimak dan terjaga. Anda seharusnya bisa mengenali apakah jemaat Anda memperhatikan atau tidak. Mereka mungkin tidak tertidur, tetapi jika mereka terus bergerak di kursi mereka, memeriksa jam tangan mereka, melihat ke sekeliling ruangan, dan sebagainya, maka kemungkinan besar Anda telah kehilangan perhatian mereka.

Jika seseorang tertidur di gereja Anda, dan penyebabnya bukan karena obat-obatan atau kelelahan, kemungkinan besar masalahnya adalah kejelasan.

Pernahkah Anda membaca sebuah buku dan lalu menyadari bahwa Anda telah membaca sepanjang tiga halaman, tetapi belum memproses apa pun yang telah Anda baca itu? Hal itu dikarenakan ada sesuatu yang mengganjal di otak Anda. Mungkin karena ada kata yang sulit, konsep yang rumit, atau bahkan sesuatu yang memicu pemikiran lain. Namun apa pun alasannya, entah mengapa, otak kita tidak bisa melanjutkannya.

Hal serupa juga terjadi dalam berkhotbah. Jika kita tidak jelas dalam menyampaikan, kata-kata kita pasti akan membuat orang tersandung. Saya suka kata-kata Einstein, “Segala sesuatunya harus dibuat sesederhana mungkin, tetapi tidak boleh lebih sederhana.” Dalam hal ini, jemaat yang mengantuk dapat menjadi tantangan bagi kita. Jika saya hanya punya waktu beberapa menit sebelum obat Anda bekerja, hal itu akan memotivasi saya untuk berbicara sebanyak mungkin dan sesederhana mungkin dengan kata-kata sesedikit mungkin.

Berkhotbah dan mendengarkan Firman yang diberitakan adalah hal-hal yang sakral. Namun hal-hal tersebut juga merupakan hal sakral yang kita lakukan sebagai manusia, dan kita terkadang lemah. Roh kita gemar dengan Firman yang diberitakan, tetapi tubuh kita tidak selalu mampu bekerja sama. Ketika hal ini terjadi, jemaat kita tidak membutuhkan seorang gembala yang marah-marah dan merendahkan mereka. Mempermalukan jemaat yang tertidur hanya akan melahirkan rasa malu dan legalisme.

Kasihilah jemaat Anda apa pun keadaan mereka. Bahkan ketika hal itu berarti mereka berada di land of Nod/tanah Nod (Ket.: Ini adalah permainan kata, "Nod" merupakan nama tempat ke mana Kain diusir Allah setelah membunuh Habel, tetapi kata ini dalam bahasa Inggris juga juga berarti terangguk-angguk saat sedang tertidur).

Mike Leake adalah pendeta Gereja Calvary Neosho di Neosho, Missouri. Artikel ini pertama kali diterbitkan di Lifeway Research. Silakan kunjungi artikel mereka di sini.

Diterjemahkan oleh Ivan K. Santoso.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, Instagram, atau Whatsapp.

Berdiamlah dan Keluarlah dari Cangkangmu

Untuk memulihkan perpecahan, Tuhan ingin membawa kita keluar dari tempat persembunyian.

Christianity Today August 14, 2024
Juan Silva / Getty

Pada suatu sore nan cerah, saya berhenti di taman dekat sekolah putra saya untuk menjawab panggilan telepon. Ketika saya duduk di tepi Danau Radnor, saya melihat ada bagian dari garis pantai yang tampak perlahan-lahan terputus di dekat tempat saya duduk. Rupanya itu adalah seekor kura-kura raksasa yang bersembunyi dalam lumpur, berkamuflase dalam ranting dan ganggang. Saya pasti telah mengejutkannya, karena kura-kura itu segera bergegas untuk berenang.

Saya berpikir tentang rencana-rencana sibuk yang kita buat, sementara ciptaan lainnya mengerjakan urusannya. Saya juga bertanya-tanya: Seperti halnya kura-kura yang mundur ketika menghadapi kemungkinan bahaya, dengan cara apakah kita melakukan hal yang sama?

Ketakutan kita begitu beragam dan konstan sehingga kita sering memilih untuk bersembunyi di tempat yang aman, menghindari konflik atau kontroversi. Kita mencemaskan berbagai bahaya yang ada di depan pintu rumah kita, baik berupa penderitaan masyarakat maupun ketidakamanan politik.

Khususnya di tahun pemilu ini, kita telah membiarkan beban yang ada menekan diri kita dan sebagai konsekuensinya, bahkan landasan bersama di dalam gereja kita pun telah terkikis.

Kita terpecah-belah dalam hal definisi kebajikan moral. Kita takut jatuh ke dalam hal-hal yang ekstrem, tetapi dengan melakukan hal tersebut, kita kehilangan wacana moderat yang dapat membawa kesatuan Injil, bahkan dalam keberagaman kita. Kita menginginkan ikatan yang lebih kuat dan masa depan yang lebih cerah, tetapi kita tidak tahu bagaimana cara membangunnya.

Kita membuktikan kebenaran dari kalimat dalam puisi T.S. Eliot yang terkenal, Burnt Norton: “Manusia tidak dapat menanggung terlalu banyak kenyataan.” Seringkali, kita puas membaur dengan lingkungan sekitar kita seperti kura-kura tadi.

Namun Alkitab memanggil kita untuk masuk ke perairan yang lebih dalam. Menghindari risiko dan konflik bukanlah fondasi bagi perdamaian sejati, melainkan takut akan Tuhan. Dan firman-Nya mendorong kita untuk mengusahakan perdamaian itu (Mzm. 34:12-15). Orang Kristen dipanggil untuk mencari perdamaian dan berdoa bagi kota-kota di mana kita tinggal (Yer. 29:7 KJV).

Ketakutan yang tidak terkendali membuat kita terus melarikan diri dan menyulut perselisihan, tetapi kuasa dan pemeliharaan Allah atas kita memungkinkan kita menemukan rasa aman dalam pemeliharaan-Nya. Ketika kita memandang kepada-Nya, Dia akan melepaskan kita dari segala ketakutan kita dan memberi kita hikmat untuk menghadapi kerumitan yang kita hadapi.

Kita membutuhkan hikmat di masa-masa sulit. Akan tetapi, kita tidak bisa menciptakannya sendiri. Jika kita mencari Dia, hikmat Allah akan melimpah atas kita kita—hikmat yang sama yang memampukan Dia menjadi Pribadi yang “mematahkan busur dan menumpulkan tombak” dan “menghentikan peperangan sampai ke ujung bumi” (Mzm. 46:10). Ayat-ayat ini menguraikan kuasa Allah yang puitis, dan mazmur ini diakhiri dengan perkataan kepada kita: “Diamlah dan ketahuilah, bahwa Akulah Allah! Aku ditinggikan…di bumi” (ay. 11).

Dalam zaman yang penuh kecemasan, berdiam diri mungkin merupakan salah satu tindakan ibadah kita yang terbesar.

Sebelum Anda menonton atau membaca berita, berdiamlah. Sebelum Anda memberikan suara Anda dalam pemilihan, berdiamlah. Sebelum Anda membuat makan malam, berdiamlah. Menyembah Tuhan dengan cara ini berarti mengakui kesetiaan-Nya, di masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Hal ini menguatkan hati kita untuk lebih bertahan dalam menghadapi kenyataan yang ada saat ini—bukan sebagai orang yang menghindar atau sinis, melainkan sebagai pembawa harapan.

Ketika rasa takut kita yang penuh kecemasan digantikan dengan rasa takut yang kudus akan Tuhan, kita menjadi mudah untuk diajar (Ams. 1:7). Takut akan Tuhan memanggil kita untuk mengaku saat kita bersalah. Takut akan Tuhan memberi kita keberanian untuk membela apa yang benar, meskipun itu tidak populer. Takut akan Tuhan juga mengingatkan kita bahwa kita bukanlah milik kita sendiri melainkan milik Kristus, bahwa Dialah Allah dan kita bukan. Dia menarik kita keluar dari persembunyian, mengajak kita menjadi pelayan pendamaian (2Kor. 5:18).

Di samping kura-kura di Danau Radnor, saya mendengarkan nyanyian lembut dari penciptaan. Saya menjadi murid keheningan, seperti yang ditulis Eliot,

di titik hening dari dunia yang berubah…
Tempat di mana masa lalu dan masa depan dipertemukan.

Dan saat saya kembali ke pekerjaan saya menulis lagu, saya mendapati diri saya lebih sedikit berbicara dan lebih banyak memperhatikan, membawa diri saya menuju perairan yang lebih dalam, serta mendengarkan cerita orang-orang lain—baik kolaborator musik saya, anak-anak saya, tetangga saya, atau bahkan musuh saya.

Mengingat belas kasihan Tuhan dan demi mengusahakan perdamaian, pertama-tama kita harus mencari keheningan dan memandang kepada Sang Pendamai yang telah membuat kita menjadi pendamai juga. Allah telah datang untuk membawa harapan dan keindahan kepada dunia yang terluka ini, dan kita pun dapat mengambil bagian di dalamnya.

Diterjemahkan oleh Catharina Pujianto.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, Instagram, atau Whatsapp.

Jelang Pelantikan, Pemimpin Kristen Indonesia Mengutamakan Persatuan Daripada Perbedaan Politik

Meski demikian, negara demokrasi terbesar ketiga ini harus mengatasi isu-isu tertentu dalam perjalanannya menuju persatuan.

President terpilih Indonesia, Prabowo Subianto (tengah)

President terpilih Indonesia, Prabowo Subianto (tengah)

Christianity Today August 5, 2024
NurPhoto / Contributor / Getty

Setelah perselisihan selama sebulan di Mahkamah Konstitusi, Prabowo Subianto secara resmi dinyatakan sebagai presiden terpilih Indonesia pada bulan April. Bagi umat Kristen di Indonesia, keputusan akhir Mahkamah Konstitusi diharapkan menandai berakhirnya polarisasi dan menjadi langkah awal menuju persatuan. Jefri Gultom, Ketua Umum Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), menyambut baik keputusan tersebut, dengan menyatakan bahwa gugatan tersebut mencerminkan pentingnya mekanisme hukum dalam menyelesaikan perselisihan politik.

Sejalan dengan seruan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) untuk memulihkan persatuan bangsa, Gultom mendorong umat Kristen untuk bersatu, mengesampingkan perbedaan demi mengatasi tantangan dan mendorong terciptanya Indonesia yang lebih sejahtera. “Kita adalah bagian dari satu bangsa yang besar, dan sebagai umat Kristen, kita dipanggil untuk menjadi agen perdamaian dan persatuan,” kata Gultom.

Prabowo, mantan jenderal Angkatan Darat yang ikut serta dalam pemilu presiden pada tahun 2014 dan 2019, meraih kemenangan terbanyak pada pemilu ketiganya, dengan memperoleh hampir 60 persen atau lebih dari 96 juta suara. Adapun Indonesia merupakan negara dengan umat Islam terbesar di dunia, dan hampir 30 juta umat Kristen merupakan 11 persen dari total jumlah populasinya.

Grace Natalie, pemimpin Partai Solidaritas Indonesia (PSI), salah satu partai pendukung Prabowo dalam Koalisi Indonesia Maju, ingin lebih banyak umat Kristen di Indonesia terlibat dalam politik. PSI yang didirikan Natalie pada tahun 2014 merupakan partai yang melakukan advokasi terhadap korban kekerasan seksual dan memerangi korupsi politik. Hampir separuh anggotanya adalah perempuan, dan sebagian besar berusia di bawah 40 tahun.

“Umat Kristen adalah milik Kerajaan Surga dan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” ujarnya. “Jika kita ingin negara maju, kita harus terlibat aktif, memastikan bahwa segala peraturan bermanfaat bagi masyarakat… Kita tidak boleh menolak [untuk berpartisipasi] karena takut…karena hal ini dapat membawa perbaikan.”

Mengenai reputasi Prabowo yang terkait erat dengan rezim otoriter Suharto dan pelanggaran HAM berat di masa lalu, Gultom menyatakan sebaiknya jangan langsung berprasangka buruk sampai ada proses peradilan. “Bangsa ini harus dibangun dengan sudut pandang positif, bukan negatif. Ketika kita tidak pernah beranjak dari persoalan-persoalan masa lalu, maka sulit membicarakan masa depan bangsa ini,” ujarnya. “Proses sejarah yang telah berlalu dapat menjadi pembelajaran bagi Prabowo untuk mengevaluasi perjalanan bangsa kita menuju masa depan yang lebih baik. Jadi, mari kita berikan kepercayaan kita padanya.”

Bisakah Prabowo, meskipun reputasinya kontroversial, menyatukan negara? Lalu, bagaimana gereja dapat mendorong umat Kristen untuk terlibat dalam partisipasi politik yang penuh harapan di tengah tantangan transisi kekuasaan?

Keterlibatan politik yang alkitabiah

Maria Sumarsih, ibu dari seorang mahasiswa yang terbunuh pada tahun 1998 setelah personel militer menembaki para mahasiswa yang menentang rezim Suharto, khawatir bahwa dengan berkuasanya Prabowo, dia dan keluarga korban lainnya tidak akan melihat adanya penyelidikan nyata atas kasus yang menimpa orang yang mereka cintai. Meskipun beberapa petugas polisi yang terlibat dalam kematian putranya menghadapi tuntutan di pengadilan militer, dalang di balik penembakan tersebut masih belum diketahui.

“Hak asasi manusia adalah jantung demokrasi,” katanya. “Apa arti demokrasi jika suatu negara tidak menghormati dan melindungi kehidupan rakyatnya?”

Selama 17 tahun terakhir, Sumarsih, seorang Katolik, telah mengadakan protes diam mingguan (Aksi Kamisan) di Istana Negara di Jakarta, sebuah gerakan yang kini telah menyebar ke 65 kota di seluruh negeri dan diikuti oleh keluarga korban lainnya. Sumarsih mengatakan perjuangannya untuk mendapatkan keadilan dilatarbelakangi oleh Roma 5:3-5, “kesengsaraan menimbulkan ketekunan; ketekunan menimbulkan tahan uji; dan tahan uji menimbulkan pengharapan.”

Dikson Ringo, ketua kelompok yang mewakili alumni GMKI dan secara terbuka mendukung calon pasangan lawan Prabowo, Ganjar-Mahfud, menambahkan bahwa dengan politik Indonesia yang pragmatis, populisme yang dipicu oleh media sosial dan politik uang semakin menjauhkan gagasan dari wacana politik. “Idealnya politik harus menjadi arena pertukaran gagasan publik. Pada kenyataannya, pragmatisme politik mendorong tumbuhnya tipu muslihat politik dan, pada akhirnya, katanya, menghambat wacana publik.

Namun, Ringo percaya bahwa persatuan umat Kristen masih penting di tengah perselisihan politik. “Kami memiliki jaringan pertemanan dengan pihak-pihak yang terafiliasi dengan Anies dan Prabowo, termasuk alumni GMKI lainnya yang terlibat dalam tim kampanye mereka.”

Meskipun menjaga demokrasi dan membiarkan pihak yang tidak kita setujui untuk memegang kekuasaan politik tidaklah mudah, Ringo mengatakan persatuan akan terjadi secara bertahap dan alami, namun hanya pada kepentingan yang berkaitan dengan isu-isu nasional, seperti kebebasan beragama, keadilan ekonomi, dan keadilan hukum.

Ringo menganggap pemilu 2024 tersebut “kurang kebebasan, kejujuran, dan keadilan, serta melanggar nilai-nilai demokrasi dalam regenerasi kepemimpinan politik,” namun ia mengatakan bahwa ia bersedia menerima keputusan Mahkamah Konstitusi sebagai fakta hukum.

“Kami akan melanjutkan gerakan ekstra-parlementer sebagai oposisi, mengawasi dan memastikan demokratisasi negara ini sejalan dengan hukum.”

Perbedaan dalam pilihan politik juga dapat muncul di dalam gereja dan keluarga. Kristin Ida Sianipar, seorang rohaniwan di Surabaya, berbagi pengalamannya dengan beberapa anggota keluarganya yang memilih pasangan calon lain. Dia dan saudara iparnya memilih mantan gubernur Jawa Tengah, Ganjar, sebagai presiden berikutnya, sementara saudara laki-laki dan ibunya memilih Prabowo.

Hingga saat pencoblosan, Sianipar dan keluarganya berusaha meyakinkan satu sama lain untuk memilih calon pilihan mereka di grup WhatsApp keluarga. Ketika dia mengunggah postingan di Facebook untuk mendukung Ganjar, seorang pendukung Prabowo yang beragama Kristen menyatakan bahwa Ganjar adalah “boneka” pemimpin partainya. Sianipar mempertimbangkan untuk memblokir temannya, namun akhirnya memutuskan untuk tidak melakukannya.

“Kita cenderung tidak melihat sisi baik dari kandidat lain, padahal mereka mungkin memiliki kualitas yang baik,” ujarnya. Kemudian, dia berdoa agar kehendak Tuhan terlaksana, meskipun dia tidak menyukai atau memahami hasilnya. Ia juga mengajak umat Kristen untuk meluangkan waktu berdoa bagi para pemimpin terpilih (1Tim. 2:1-2), dengan harapan Tuhan akan memberikan mereka hikmah dalam memimpin Indonesia menuju masa depan yang lebih baik.

Membangun teologi kebangsaan

Di tengah dinamika politik Indonesia yang tidak mengenal kawan dan lawan sejati, umat kristiani perlu memperluas wawasan politiknya untuk membangun teologi bangsa yang mendalam agar tidak terjerumus dalam godaan politik partisan. Menurut Joas Adiprasetya, dosen Seminari Teologi Jakarta, kita perlu memahami bahwa negara, termasuk partai politik dan tokoh partai, bukanlah segalanya. Oleh karena itu, penting untuk tidak hanya fokus pada pemilu lima tahunan saja.

Bagi Adiprasetya, keterlibatan politik umat Kristen harus lebih diarahkan pada masyarakat, dan orang-orang percaya harus terlibat dalam isu-isu sipil seperti kesenjangan, diskriminasi, kemiskinan, dan degradasi lingkungan. “Itulah teologi publik gereja atau teologi sosial yang perlu dipraktikkan sehari-hari di sela-sela masa pemilu,” ujarnya.

Adiprasetya mengkritik para pendeta yang bersikap reaksioner selama masa-masa panas sebelum dan sesudah pemilu. Kadang-kadang mereka yang mendukung kandidat favorit mereka dari mimbar atau di media sosial, “mengkompromikan Injil demi kepentingan politik jangka pendek.” Setelah pemilu selesai, pendukung partai pemenang akan menyerukan perdamaian, kata Adiprasetya, sementara pendukung kandidat yang kalah “biasanya tetap diam dan menyimpan kebencian” hanya agar pola serupa muncul kembali pada pemilu berikutnya.

Sebaliknya, ia percaya bahwa para rohaniwan perlu mendidik jemaatnya untuk terlibat dalam politik dengan cara yang saleh. Jauh sebelum pemilu dilaksanakan, gereja harus membina para pemimpin Kristen untuk menggunakan peran politik mereka “secara kritis, profetis, dan bermoral,” serta membimbing para pemilih Kristen untuk memilih sesuai dengan etika moral.

Membahas politik dalam komunitas

Bagi banyak jemaat gereja, prioritas politik mereka berkisar pada upaya pencegahan agar keberpihakan politik tidak memecah-belah jemaat mereka. Di Huria Kristen Indonesia (HKI) Missional Church di Pematangsiantar, Sumatera Utara, Pendeta Beresman Nahampun memperkenalkan tradisi Yahudi hafruta o mituta (berteman atau mati), sebuah konsep yang meyakini bahwa hubungan dekat mendasari dan memungkinkan adanya tantangan dan koreksi.

Di jemaatnya, para anggota bertemu dalam kelompok beranggotakan enam orang di mana setiap orang dapat menyampaikan pendapatnya dan memperdebatkan berbagai penafsiran ayat Alkitab. Sebelum pemilihan presiden, kelompok-kelompok tersebut mendiskusikan siapa yang akan mereka pilih. “Meski berbeda pandangan politik, perbincangan tidak memanas,” kata Nahampun.

“[Budaya Batak] kami terbiasa berdialog dan ngobrol di kedai kopi,” kata pendeta tersebut, mengacu pada kelompok suku yang menjadi bagian dari jemaatnya. “Tidak ada kebencian atau kepahitan. Saya percaya ini semua berkat kasih Kristus dan kebijaksanaan intelektual dari Roh Kudus.”

Sebagai gereja lokal multi-etnis, Missional Church juga mempertemukan orang-orang yang berbeda untuk berdoa dan makan malam bersama. Hal ini memberikan ruang bagi anggota gereja untuk terbuka tentang berbagai topik, termasuk politik, dan tetap bersatu sebagai saudara dan saudari. Nahampun meminta, “yang menang jangan terlalu euforia, dan yang kalah hormati serta terima hasil pemilu dengan prinsip yang menang adalah Indonesia.”

Bagi mereka yang terpilih menjadi pemimpin, ia mengingatkan bahwa tanggung jawab moral dan etika seorang pemimpin melampaui kepentingan politik atau kekuasaan.

“Pemimpin tidak hanya bertanggung jawab di hadapan hukum dan masyarakat, tetapi juga di hadapan Tuhan,” kata Nahampun.

Menurut Andreas Yewangoe, tokoh Kristen Indonesia dan mantan Ketua Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), usai pemilu presiden, umat Kristen Indonesia tidak terpecah-belah, karena “kita memilih calon berdasarkan keyakinan pribadi dan keyakinan politik,” bukan berdasarkan gereja atau institusi mana pun.

Setiap menjelang pemilihan presiden, PGI selalu mengeluarkan surat pastoral yang berisi imbauan untuk memilih calon yang benar-benar menjunjung tinggi kepentingan bersama tanpa memandang suku, agama, ras, hubungan antargolongan, dan anti korupsi. Namun, pada akhirnya umat kristiani menentukan pilihannya sendiri.

Lebih lanjut, secara historis dan sosiologis, Yewangoe menyatakan bahwa “umat kristiani di Indonesia sudah terbiasa dengan bebas menjalankan hak politiknya dalam kehidupan yang demokratis. Umat Kristen di Indonesia tidak perlu terpecah belah, seperti di Filipina atau Amerika (yang memiliki sejarah dan pandangan teologis berbeda). Setelah pemungutan suara, perselisihan politik selesai.”

Sementara itu dalam lingkungan gereja, umat Kristen bisa mencontoh upaya jemaat gereja mula-mula yang menolak polarisasi karena perbedaan politik, sosial, dan budaya, kata Pendeta Nahampun. Dalam Kisah Para Rasul 2:42-47, digambarkan bahwa jemaat mula-mula di Yerusalem hidup dalam kesatuan, berbagi segala sesuatu dan menjaga kesatuan masyarakat, meskipun terdiri dari orang-orang yang berasal dari berbagai latar belakang, baik Yahudi dan non-Yahudi. Rasul Paulus juga mengajarkan bahwa di dalam Kristus, tidak ada lagi perbedaan; semua menjadi satu di dalam Kristus (Gal. 3:28), begitu pula tentang keutamaan kasih dalam kehidupan kristiani (1Kor. 13).

Gultom dan Ringo keduanya mendukung kandidat yang berbeda (Prabowo dan Ganjar, masing-masing), namun keduanya menyampaikan pesan serupa di komunitas yang mereka pimpin.

Sebelumnya, GMKI memiliki visi yang sama untuk melawan rezim Suharto, kata Ringo. Pada pemilu tahun ini, ketika sesama anggota berada dalam kubu yang berbeda, mereka mampu tetap berteman karena “nilai-nilai kristiani yang mempersatukan kita terinternalisasi dengan kuat,” kata Ringo. “Selama pelatihan, kami berpartisipasi dalam studi Alkitab, yang menanamkan nilai-nilai ini secara mendalam pada setiap anggota GMKI, bertindak seperti antibiotik ketika pilihan politik berbeda.”

Dan selama peralihan kekuasaan, Gultom menekankan komitmen GMKI untuk memperkuat kepercayaan antar umat beriman dengan mengingatkan mereka bahwa “persatuan adalah kekuatan kita” sebagai sebuah bangsa dan “kita adalah satu di dalam Kristus.”

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, Instagram, atau Whatsapp.

Inilah 28 Atlet Kristen yang Bertanding di Olimpiade Paris 2024

Inilah para atlet yang mencintai Tuhan dari seluruh dunia.

Christianity Today August 1, 2024
Ilustrasi oleh Mallory Rentsch Tlapek / Sumber Gambar: Getty / WikiMedia Commons

Banyak pecinta Olimpiade mengetahui bahwa atlet favorit mereka mengasihi Yesus melalui postingan media sosial atau wawancara setelah pertandingan menyusul kesuksesan mereka di lapangan, arena, lintasan lari, atau di kolam renang. Namun mayoritas orang Kristen yang berkompetisi dalam Olimpiade tersebut tidak akan naik podium.

Bagi banyak orang, hanya dengan hadir di pesta olahraga ini sudah menjadi bukti bahwa mereka telah berhasil mengatasi cedera, tantangan kesehatan mental, atau kesedihan karena kehilangan orang yang dicintai. Berikut ini adalah kisah para atlet Kristen dari 13 cabang olahraga dan 20 negara, yang semuanya bersemangat untuk membuat negara mereka—dan Tuhan—bangga.

Laporan oleh Annie Meldrum, Isabel Ong, Angela Lu Fulton, Franco Iacomini, Mariana Albuquerque, dan Morgan Lee.

Bulu tangkis

Anthony Sinisuka Ginting (Indonesia)

https://www.instagram.com/p/C4rJa9fhqyX/

Dikenal sebagai “Pembunuh Raksasa” dalam bulu tangkis karena telah berhasil mengalahkan bintang-bintang terbaik dalam olahraga ini, Anthony Sinisuka Ginting membawa pulang medali perunggu untuk nomor tunggal putra bulu tangkis di Tokyo. Tahun ini, dia kembali ke Olimpiade bersama sesama pemain bulu tangkis Indonesia, yang juga beragama Kristen, Jonathan Christie.

Ginting lahir di Cimahi, Jawa Barat, dan berasal dari suku Karo, salah satu suku dari Sumatera Utara yang 70 persen penduduknya beragama Kristen. Ayahnya memperkenalkan dia pada bulu tangkis saat dia berusia lima tahun, dan dia mulai bertanding pada usia sembilan tahun. Sejak itu, dia telah meraih medali atau menang di berbagai kompetisi.

Di akun Instagramnya, Ginting tak malu-malu menyatakan imannya. Dalam postingan Instagram bulan Maret, setelah memenangkan juara dua All England Open, dikalahkan oleh Jonathan Christie, dia menulis, “Terima kasih Yesus atas kebaikan-Mu. Itu semua di luar ekspektasi saya.” Menanggapi postingan tersebut, Christie berkomentar, “Kami membuat sejarah bersama yang tidak pernah kami bayangkan, Tuhan selalu baik.”

Bola basket

Kayla Alexander, Kanada

https://www.instagram.com/p/C3OQj6gNnBk/

Pemain bola basket tim Kanada, Kayla Alexander, 33 tahun, sering menulis di Instagram dan blognya tentang bagaimana Tuhan telah mengarahkan kariernya. “Setiap impian yang saya miliki sebagai seorang anak, Tuhan telah melampauinya dengan cara yang saya pikir tidak mungkin terjadi,” tulisnya pada tahun 2018.

Bintang pemain tengah ini pernah bermain di WNBA dan saat ini bergabung dengan tim profesional Spanyol, Valencia Basket—sebuah klub, yang dia tidak pernah ia bayangkan sebelumnya sebagai seorang anak berusia 12 tahun yang bermain “sangat buruk” saat uji coba pertandingan bola basket pertamanya. Pada tahun 2020, ia mengalami cedera lutut yang mengakibatkan ia tidak dapat bermain dan hal itu membuat dia “patah hati.” Namun imannya kepada Tuhan membuat dia tetap termotivasi: “Sayangnya, banyak hal yang terjadi yang tidak masuk akal. Kami tidak mengerti alasan atau logika di balik semua itu, tetapi saya percaya bahwa [Tuhan] bekerja untuk mendatangkan kebaikan dan kemuliaan-Nya.”

Ketika Jepang mengalahkan Kanada di turnamen kualifikasi Olimpiade, Alexander mengira harapan mereka untuk tampil di Olimpiade telah pupus. Namun tim ini berhasil bangkit dan meraih juara tiga, mengamankan tempat untuk kualifikasi. “Tuhan mengatakan bahwa kami belum selesai! Ketika mereka mengatakan Dia bekerja dengan cara yang misterius, biarlah ini menjadi contohnya!” ujarnya.

Carlik Jones, Sudan Selatan

https://www.instagram.com/p/Cq3dTxLu5E5/

Sejak menjadi negara merdeka 12 tahun lalu, Sudan Selatan telah bergumul dengan konflik dan bencana kemanusiaan. Namun musim panas ini, negara tersebut mengirimkan tim bola basket pertamanya ke Olimpiade, yang dipimpin oleh Carlik Jones, 26 tahun, keturunan Sudan Selatan dari pihak ibunya.

Jones pernah bermain untuk Chicago Bulls dan saat ini bersama Zhejiang Golden Bulls. Ia terlahir dengan kondisi otak yang membuatnya tidak diperbolehkan bermain olahraga yang kompetitif selama beberapa tahun, karena jika ia mengalami gegar otak, hal itu dapat membuatnya cedera parah. Akhirnya, di kelas dua, para dokter menyatakan dia sehat dan karir basketnya dimulai dari sana.

Jones sering menyebut nama Tuhan di media sosialnya. “Saya menaruh kepercayaan dan iman saya kepada TUHAN, dan membiarkan Dia memimpin jalan saya,” dia pada Oktober 2022. Bulan berikutnya, ia menulis, “SAYA SANGAT DIBERKATI, TERIMA KASIH TUHAN,” dan bulan berikutnya, “TUHAN ENGKAU LUAR BIASA.”

Meski timnya kurang memiliki pengalaman internasional, Jones tetap percaya pada mereka. “Sudan Selatan terabaikan, rakyatnya terabaikan, dan kami sebagai satu kesatuan pun terabaikan,” katanya tahun lalu. “Kami hanya mencoba untuk memasukkan Sudan Selatan di dalam peta.”

Tinju

Saidel Horta, Kuba

https://www.instagram.com/p/CjB-vp1LfE9/

Saidel Horta memperoleh medali perak di Kejuaraan Tinju Dunia 2023 dan meraih kualifikasi Olimpiade di divisi kelas bulu pada tahun yang sama selama Pan American Games. Namun pada tahun 2021, Horta sempat mempertimbangkan untuk pensiun. Setelah gagal naik podium di kategori pemuda, ia bertanya-tanya apakah dirinya cukup bagus untuk berkompetisi di tingkat elit. Pada akhirnya, kecintaannya pada tinju memotivasi dia untuk terus berlatih, sehingga menghasilkan performa yang kuat pada tahun 2023 yang berujung meraih tempat di Olimpiade.

Di usianya yang baru 21 tahun, Horta kini dikenal sebagai salah satu pendukung tradisi tinju Kuba yang terhormat. Dalam salah satu foto di media sosial, sang atlet berdiri di dalam ring tinju dengan tangan terangkat ke arah langit. Keterangan di foto itu mengutip Mazmur 121: “Pertolonganku iadalah dari TUHAN.” Dalam postingan lain, ia menulis, “Tuhan, segala hormat dan kemuliaan bagi-Mu.”

Senam

Aleah Finnegan, Filipina

https://www.instagram.com/p/Cx8fAQKqjGg/

Aleah Finnegan, 21 tahun, adalah pesenam wanita Filipina pertama yang lolos ke Olimpiade sejak 1964. (Beberapa bulan kemudian, Emma Malabuyo, pesenam Filipina-Amerika lainnya, juga lolos kualifikasi).

“Terima kasih atas kesempatan untuk mewakili negara yang indah ini. … Tuhan Dimuliakan!” tulisnya dalam unggahan Instagram di bawah foto dirinya sedang memegang bendera Filipina.

Finnegan adalah orang Filipina dari garis ibunya dan mewakili AS dari tahun 2019 hingga 2021. Pada tahun 2021, ia pensiun dari senam elit untuk berkompetisi di tingkat perguruan tinggi di Louisiana State University. Setahun kemudian, ia berpindah kewarganegaraan ke Filipina.

Pada Kejuaraan Nasional NCAA 2024, skor Finnegan yang tinggi membantu tim senam LSU memenangkan gelar juara untuk pertama kalinya dalam sejarah LSU.

“TUHAN MELAKUKANNYA!! KAMI ADALAH JUARA NASIONAL!!” tulisnya, merayakan kemenangan mereka. “Terima kasih, Yesus, karena mengizinkan kami berkompetisi untuk sesuatu yang jauh lebih besar dari diri kami sendiri.”

Brody Malone, AS

https://www.instagram.com/p/C7slo9vukDD/

Setelah Brody Malone menjalani operasi ketiga pada kaki kanannya setahun yang lalu, peluangnya untuk mengikuti Olimpiade 2024 tidak terlihat bagus. Lututnya terkilir setelah melakukan pendaratan yang buruk, menyebabkan tulang keringnya retak dan beberapa ligamen robek.

Kini, lebih dari setahun kemudian, ia telah memenangkan kompetisi senam AS di nomor all-around dan bersiap untuk Olimpiade keduanya. Setelah menempati posisi keempat dalam kompetisi palang bertingkat di Tokyo, dia mengincar medali di Paris.

Malone menjalani proses pemulihan yang brutal—dia pada dasarnya harus “belajar kembali cara berjalan.” Kehidupan pribadinya juga bukannya tanpa cobaan. Ibunya meninggal karena kanker pada tahun 2012, dan pada tahun 2019, ibu tirinya meninggal karena aneurisma otak.

Namun dia tetap memuji Tuhan.

“Saya hanya ingin mempersembahkan segala kemuliaan kepada Tuhan,” katanya awal tahun ini. “Itu semua adalah milik-Nya. … Jadi saya hanya ingin berterima kasih kepada-Nya untuk semua ini.”

Judo

Geronay Whitebooi, Afrika Selatan

https://www.instagram.com/p/CwkdFnFI_ih/

Judoka Geronay Whitebooi telah melihat terlalu banyak hal dalam hidup sehingga ia tidak mampu berbasa-basi. Saat ia baru-baru ini menempati posisi kedua di Marrakech Africa Open 2024, ia mengunggah foto dirinya setelah turnamen dengan ekspresi serius di wajahnya. “Hati saya menginginkan medali emas, tetapi itu bukan rencana Tuhan bagi saya hari ini. TUHAN adalah kekuatanku,” tulisnya dalam postingan panjang di Instagram. “TUHAN besertaku dan ada di dalamku.”

Whitebooi, yang juga lolos pada Olimpiade 2021, telah memenangkan banyak gelar di turnamen Afrika dan Eropa. Namun untuk mencapai titik ini dalam karir judo-nya, ia mengatakan bahwa ia harus melepaskan kehidupan sosialnya dan menghabiskan waktu berjauhan dari keluarganya, terutama saat dia menghadapi kehilangan tragis dari dua anggota keluarganya: ayahnya saat ia berusia 13 tahun, dan saudara perempuannya dua tahun lalu.

“Medali ini dengan bangga mewakili upaya lain yang telah saya lakukan untuk menerobos, tetapi ini adalah medali yang saya lihat dengan kesedihan, karena di satu sisi, saya telah membuat [saudara perempuan saya] bangga, namun saya tidak ada di sana untuk keluarga dan diri saya sendiri pada saat itu,” katanya tentang kemenangan dia di Piala Eropa Senior 2022.

“Penderitaan kita ada tujuannya,” tulisnya baru-baru ini. “Kita juga bisa bersukacita saat kita mengalami masalah dan cobaan, karena kita tahu bahwa semua itu menolong kita mengembangkan ketekunan.”

Rugby

Jerry Tuwai, Fiji

https://www.instagram.com/p/Cui_ISVJ7Cs/

Pemain rugbi Fiji, Jerry Tuwai, 35 tahun, memimpin timnya meraih medali emas di Rio tahun 2016—yang merupakan kemenangan Olimpiade pertama bagi negaranya—dan di Tokyo. Pada kedua kesempatan tersebut, Tuwai dan rekan-rekan satu timnya saling berpelukan membentuk lingkaran dan menyanyikan himne tradisional “We Shall Overcome,” atau, yang dikenal di Fiji, “E Da Sa Qaqa.” Arti liriknya dalam bahasa Indonesia seperti ini: “Kita telah menang / Oleh darah Anak Domba / Dan oleh Firman Tuhan.”

“Kami selalu memulai… dan kami selalu mengakhiri dengan doa dan nyanyian kami. Lagu itu mengatakan bahwa Tuhan kita adalah Tuhan yang pengasih,” kata Tuwai.

Tuwai dibesarkan di salah satu distrik termiskin di luar ibu kota Fiji, Suva, dan tinggal di sebuah rumah dengan satu kamar yang terbuat dari dinding besi bergelombang. Dia menggunakan botol plastik atau bungkusan pakaian sebagai bola rugbi. Ketika ditanya apa yang membuatnya sukses dalam olahraga ini, Tuwai menjawab disiplin dan kebergantungannya kepada Tuhan.

Pada bulan Januari, Tuwai dikeluarkan dari skuad Fiji Sevens karena kurang fit. Enam bulan kemudian, dia diumumkan sebagai kapten tim Paris—tepat ketika Tuwai mengira karier rugbinya telah berakhir. “Anda punya rencana, tetapi Tuhan punya rencana berbeda untuk kita… mungkin rencana ini dan mungkin hal besar berikutnya,” katanya. “Saya tidak tahu. Hanya Tuhan yang tahu.”

Papan Luncur

Rayssa Leal, Brasil

https://www.instagram.com/p/C0ZVXWTOcra/

Pada usia 7 tahun, Rayssa Leal mendapatkan momen ketenaran pertamanya ketika sebuah video yang memperlihatkan siswa sekolah dasar berpakaian seperti peri melakukan salto yang sempurna. Video ini dibagikan oleh Tony Hawk, salah satu nama terkenal di dunia papan luncur.

Pada usia 11 tahun, Leal mulai berkompetisi di tingkat internasional, dan pada usia 13 tahun, dia menjadi peraih medali Olimpiade termuda dari Brasil, dengan meraih medali perak dalam kategori papan luncur jalanan di Jepang pada tahun 2021. “Terima kasih, Tuhan, karena telah memberiku kesempatan untuk melakukan apa yang aku sukai!” tulisnya pada malam sebelum kompetisi.

Desember lalu, Rayssa meraih skor tertinggi dalam kariernya di final SLS Super Crown di São Paulo. “Segala hormat dan kemuliaan bagi Tuhan,” tulisnya. Kini, pada usia 16 tahun, gadis yang menjadi jemaat gereja Baptis di Imperatriz, sebuah kota di negara bagian Maranhão di timur laut ini, mengincar medali emas.

Sepak bola

Rasheedat Ajibade, Nigeria

https://www.instagram.com/p/Cf2X3I4MCMO/

Pada pertandingan final turnamen kualifikasi Olimpiade, Rasheedat Ajibade mencetak gol kemenangan—dan satu-satunya—yang membawa tim sepak bola wanita Nigeria melaju ke Paris, Olimpiade pertama mereka sejak 2008.

Ajibade merayakan kemenangannya dengan mengenakan kaus bertuliskan, “Yesus Dinyatakan, Yesus Dimuliakan, Haleluya,” dan dalam keterangan foto setelah pertandingan, dia menulis, “HANYA BAGI-MU TUHAN SEGALA KEMULIAAN. MANDAT ITU TETAP SANGAT JELAS.”

Terlepas dari profesinya yang berani ini, Ajibade mengatakan bahwa ia melihat dirinya sebagai orang yang pendiam dan ia sering mewarnai rambutnya dengan warna biru untuk mengekspresikan kepribadiannya. Bagi Ajibade, rambutnya melambangkan perjuangannya melawan depresi saat remaja dan simbol penyemangat dia agar setiap orang dapat bertahan dalam pergumulan akan kesehatan mental mereka.

Ajibade memulai karier sepak bola profesionalnya pada usia 13 tahun. Pada tahun 2022, dia menjadi pencetak gol terbanyak di Piala Sepak Bola Afrika Wanita. Dia juga bermain untuk Atletico Madrid, yang memenangkan Piala Sepak Bola Wanita pada tahun 2023.

Meski sukses, Ajibade tetap memiliki kepedulian terhadap mereka yang kurang beruntung di negaranya. Tahun lalu, ia mengunjungi daerah kumuh di Lagos, kemudian menulis, “Misi kami ada dua: untuk menyebarkan kebaikan dan membagikan terang Injil (Mrk. 16:15).”

Taishi Brandon Nozawa, Jepang

https://www.instagram.com/p/C0nshzfPP-r/

Di negara yang hanya satu persen penduduknya beragama Kristen, kiper Jepang berusia 21 tahun, Taishi Brandon Nozawa, berkomitmen menggunakan platform media sosialnya untuk membagikan imannya. Akun Instagram-nya memuat foto-foto dirinya di lapangan sepak bola yang diselingi dengan ayat-ayat Alkitab, hasil saat teduhnya, dan lagu penyembahan.

Di bawah gambar kutipan Charles Spurgeon “Jadilah Alkitab Berjalan,” Nozawa menulis, “Bagi orang Kristen, Alkitab adalah pelita dan terang yang menerangi jalan yang kita lalui. Namun, bagi mereka yang tidak membacanya, Alkitab bukanlah terang. Jadi apa yang harus kita lakukan? Kita harus menjadi Alkitab yang dapat dibaca oleh sesama kita dan menjadi terang bagi mereka!”

Nozawa, berasal dari Provinsi Okinawa, telah bermain untuk tim nasional Jepang sejak berusia 14 tahun. Pada tahun 2023, dia bermain untuk klub sepak bola Tokyo.

“Saya ingin mengucapkan terima kasih yang tulus atas setiap berkat yang Tuhan persiapkan dan arahkan bagi kami di musim ini,” tulisnya dalam postingan Instagram di akhir tahun lalu. “Bahkan ketika masa-masa sulit, saat segala sesuatunya tidak berjalan dengan baik, dan kita melakukan hal-hal yang tidak menyenangkan Tuhan, kasih-Nya yang tidak berubah, sungguh menakjubkan. Itulah sebabnya saya kembali dan menyembah Tuhan.”

Renang

Adam Peaty, Inggris

https://www.instagram.com/p/CRx9zWmruum/

Adam Peaty memenangkan pertandingan renang gaya dada 100 meter putra di Olimpiade Rio dan Tokyo serta medali emas kejuaraan dunia. Namun perenang asal Inggris ini pernah mengalami pergulatan pribadi yang signifikan, termasuk depresi dan kecanduan alkohol.

Dia menjadi orang Kristen pada tahun 2022 setelah cedera kaki memaksanya keluar dari kolam renang. Ia mulai datang ke gereja secara rutin setelah bertemu dengan pendeta Ashley Null, dan rutinitas baru ini “terasa seperti bagian yang hilang dari teka-teki kehidupan,” katanya. Dia sekarang memiliki tato salib besar di perutnya, disertai tulisan Into the Light.

Caeleb Dressel, AS

https://www.instagram.com/p/C9U5N3pIyC4/

Caeleb Dressel mengatakan bahwa tato elang di bahunya mengingatkannya pada Yesaya 40: “tetapi orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN mendapat kekuatan baru: mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya; mereka berlari dan tidak menjadi lesu, mereka berjalan dan tidak menjadi lelah” (ay. 31).

Dipuji sebagai penerus Michael Phelps, Dressel sedang dalam perjalanan untuk mengharumkan namanya. Di Tokyo, ia membawa pulang lima medali emas.

Namun, perjalanannya tidak selalu mulus. Menjelang Olimpiade terakhir, Dressel mendapati dirinya berjuang melawan depresi dan serangan panik. Tekanan untuk menjadi salah satu nama paling terkenal di dunia olahraga sangat membebani dirinya.

Namun imannya membantu dia untuk bangkit dari keadaan tersebut. “Saya benar-benar belajar untuk melihat cahaya di ujung terowongan dan memercayai apa yang sedang Tuhan lakukan, baik itu titik terberat atau puncak tertinggi dalam hidup Anda,” katanya.

Georgia-Leigh Vele, Papua Nugini

https://www.instagram.com/p/C0FP6_VBUv8/

Saat menerima medali perunggu untuk renang gaya dada 50 meter putri di Pacific Games 2023, Georgia-Leigh Vele, 25, berkata, “Saya sangat mengharapkan ini. Anda tidak pernah tahu apa yang akan terjadi, tetapi saya mencoba yang terbaik dan Tuhanlah yang menentukan.”

Bagi Vele, menjadi seorang atlet membuatnya merasa bersyukur dan puas. “Menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan dengan ucapan syukur dan pujian,” tulisnya tahun lalu. “Sungguh hal yang luar biasa ketika Anda menemukan tempat itu, di mana Anda tahu Anda bisa dan akan melakukannya karena Dia.”

Perenang yang baru pertama kali ikut Olimpiade ini akan berlomba renang gaya bebas 50 meter di Paris, meneruskan legasi keluarganya dalam olahraga renang kompetitif.

Taekwondo

Lolohea Naitasi, Fiji

https://www.instagram.com/p/C8bVcw8yXax/

Taekwondo bukanlah cinta pertama Lolohea Naitasi. Atlet berusia 17 tahun ini awalnya bermain olahraga bola jaring, tetapi ia juga mempelajari seni bela diri asal Korea ini di kelas pendidikan jasmani di sekolahnya tiga tahun lalu dan terus menekuninya setelah mendapatkan beasiswa.

Dia memenangkan medali perak di Pacific Games pertamanya tahun lalu, dan medali peraknya di turnamen kualifikasi tahun ini memberinya tempat di Paris.

“Persiapan untuk [Olimpiade] tidaklah mudah, tetapi ketika Anda mengutamakan Tuhan, segalanya sesuatunya menjadi mungkin,” ujarnya.

Atletik

Julien Alfred, Saint Lucia

https://www.instagram.com/p/C9ViFYioFio/

“Sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita” (Rm. 8:18). Julien Alfred, seorang bintang atletik yang sedang naik daun dari Saint Lucia, yang dua kali dinobatkan sebagai atlet lari terbaik di negaranya, menampilkan ayat ini di profil Instagram-nya.

Alfred meraih medali perak pada cabang lari 100 meter putri di Commonwealth Games 2022. Pada tahun 2024, dia menempati posisi pertama di final lari 60 meter di World Athletics Indoor Championships.

Sambil ia bersiap untuk berlari di nomor 100 (dan mungkin 200), ia percaya bahwa imannya kepada Tuhan dan kerja kerasnya dapat menempatkannya di antara yang terbaik. “Saya seorang wanita yang kuat di dalam Tuhan dan seorang pekerja keras, dan itulah yang menjadikan saya seperti sekarang ini,” katanya. “Itulah sebabnya saya berada di sini hari ini.”

Rasheed Broadbell, Jamaika

Atlet Jamaika, Rasheed Broadbell, 23 tahun, unggul dalam lari gawang 110 meter putra, memenangkan medali emas di ajang Commonwealth Games 2022.

Penampilan Broadbell yang menonjol memberikan harapan untuk Kejuaraan Atletik Dunia 2023. Namun di babak penyisihan, dia mengalami beberapa kali rintangan dan terjatuh.

Terlepas dari segala tantangan ini, Broadbell mengungkapkan rasa syukurnya kepada Tuhan. “Ini merupakan perjalanan yang penuh liku sejauh ini; saya bersyukur atas setiap bagiannya. Yang terpenting, saya berterima kasih kepada Tuhan karena telah membawa saya melewati semua hal ini.”

Berkaca pada kualifikasi lari gawang jarak pendek dia untuk Paris, ia berbagi di Instagram, “Saya merasa diberkati, bisa masuk tim nasional ketiga saya, tetapi saya sangat bersyukur bisa lolos ke Olimpiade pertama saya. Jika saya menceritakan kisah bagaimana saya melakukannya tanpa klip video perlombaan ini, mungkin akan terdengar gila, tetapi Tuhan terus melakukan mukjizat-Nya dalam hidup saya dan saya benar-benar merasa terhormat untuk menunjukkan apa yang telah Tuhan lakukan bagi saya.”

Olivia Lundman, Kanada

https://www.instagram.com/p/C7fGBuNScYV/

Olivia Lundman, 21 tahun, akan berpartisipasi dalam lomba lari maraton estafet campuran yang baru pertama kali diadakan di Olimpiade bersama rekan satu tim dan pelatihnya, peraih medali Olimpiade, Evan Dunfee. Pada ajang kualifikasi April lalu, Lundman berjuang keras melewati 10 kilometer terakhir dan sempat muntah dua kali. Akan tetapi, dia tetap berusaha untuk maju dan finis di posisi 22 besar untuk lolos ke Olimpiade. “Saya merasa sangat diberkati memiliki kesempatan ini dan saya bersemangat untuk perjalanan yang akan datang,” tulis Lundman di Instagram.

Lundman juga mendirikan Beneath the Surface untuk berbagi cerita tentang orang-orang muda yang hidup dengan tantangan kesehatan mental. “Saya telah belajar untuk membuka diri terhadap orang lain, menerima diri saya apa adanya, dan bersandar pada iman saya,” tulisnya . “Ini adalah sesuatu yang masih harus saya kerjakan setiap hari, tetapi saya tahu bahwa saya ditempatkan di planet ini karena suatu alasan.”

Dalam sebuah khotbah di gerejanya November lalu, Lundman bersaksi bahwa doa telah membantunya di tengah pengalaman depresi dan kecemasannya. “Saat saya sedang bergumul, saya sering berpikir, _Tuhan, kenapa Engkau meninggalkanku? Di mana Engkau?_ Saya tidak menyadari bahwa pada saat-saat saya sedang bergumul itulah, hanya Dia satu-satunya yang memampukan saya untuk terus maju dan menopang saya melewati hari demi hari.”

Sydney McLaughlin-Levrone, AS

https://www.instagram.com/p/C71lLUXuhAo/

Syndey McLaughlin-Levrone memecahkan rekor dunianya sendiri dengan selisih 0.03 detik di Uji Coba Olimpiade AS pada bulan Juni, di cabang lari gawang 400 meter dengan catatan waktu 50,65 detik. Penampilannya memisahkan dia dari atlet lain di posisi kedua dengan selisih hampir dua detik.

McLaughlin-Levrone telah mencetak rekor dunia lari gawang 400 meter sebanyak lima kali sejak 2021. Di Tokyo, dia membawa pulang dua medali emas, satu di nomor lari gawang 400 meter dan satu lagi di estafet 4×400. Pada tahun 2022, World Athletics menobatkannya sebagai atlet terbaik tahun ini bersama pelompat galah asal Swedia, Mondo Duplantis.

Saat dia mendefinisikan ulang batasan-batasan dalam olahraganya, McLaughlin-Levrone secara konsisten kembali kepada imannya. “Puji Tuhan,” katanya setelah mencetak rekornya di bulan Juni. “Saya tidak menyangka akan hal itu. Dia dapat melakukan apa saja. Segala sesuatunya mungkin di dalam Kristus.”

McLaughlin sangat blak-blakan tentang imannya, berterima kasih kepada Tuhan dan memuliakan-Nya di hampir setiap wawancara yang dia lakukan dalam karier atletiknya yang cemerlang. Akun Instagram dia dipenuhi dengan ayat-ayat Alkitab dan kutipan dari buku-buku Kristen. Sorotan-sorotan Instagram-nya berisi klip ayat-ayat Alkitab favoritnya dan foto-foto dari Alkitabnya yang penuh dengan garis bawah dan catatan untuk dirinya sendiri.

Keturah Orji, AS

https://www.instagram.com/p/C4EQrB5IHF9/

Sebagai juara AS 10 kali dan pemegang rekor lompat jangkit, Keturah Orji berkompetisi di Olimpiade untuk ketiga kalinya. Orji, yang juga merupakan wanita pertama yang memenangkan empat gelar lompat jangkit Divisi I NCAA, berada di urutan keempat di Rio dan ketujuh di Tokyo. Bakat atletik Orji diperkuat dengan pengabdiannya pada imannya, suatu sifat yang sering ia lihat pada ibunya, yang ia kagumi karena “imannya kepada Tuhan dan cara dia menjalani hidup, cara dia peduli terhadap sesama.” Dalam unggahan Instagram dia saat merayakan kelolosannya ke Olimpiade Paris, ia mengutip Yohanes 3:27: “Tidak ada seorang pun yang dapat mengambil sesuatu bagi dirinya, kalau tidak dikaruniakan kepadanya dari surga. Bersyukur atas semua yang telah Tuhan berikan padaku.” Setelah ia memenangkan gelar nasional AS kesepuluh pada bulan Februari, ia menulis, “Terima kasih kepada semua orang yang mendoakan saya (teruslah berdoa).”

Tarsis Orogot, Uganda

https://www.instagram.com/p/C7DAyjzxd32/

Para pelari jarak jauh Uganda telah menempatkan negaranya di peta sebagai negara yang kuat dalam bidang lari. Tahun ini, Tarsis Orogot mungkin akan membuat negaranya terkenal dengan olahraga lari jarak pendek. Sebagai seorang mahasiswa di Universitas Alabama, pemegang rekor nasional lari 100 dan 200 meter ini, menggambarkan dirinya sebagai “seorang anak laki-laki yang memiliki impian”. Namun kemenangannya di Kejuaraan Atletik NCAA mungkin membuat impian itu menjadi kenyataan.

Di luar olahraga lari, Orogot telah membangun reputasi atas kecintaannya pada kaus kaki dan mengatakan bahwa ia biasanya menghadiri pertemuan dengan 15 pasang kaus kaki, termasuk kaus kaki dengan desain Sonic the Hedgehog, SpongeBob SquarePants, dan Avengers. “Ketika saya berlari paling cepat, saya biasanya memakai sayap,” katanya kepada Olympics.com.

Terlepas dari sifatnya yang suka bercanda, pelatihan yang dijalani Orogot membawanya pindah dari Uganda ke Kenya lalu ke AS. Ia pun menulis, “Segala kemuliaan dan pujian hanya bagi-Mu, Tuhan Yang Maha Tinggi.”

Marileidy Paulino, Republik Dominika

https://www.instagram.com/p/CSZgLCJrYVo/

Tidak seperti banyak atlet profesional yang memulai kariernya sejak masih anak-anak, Marileidy Paulino, seorang atlet atletik dari Republik Dominika, memulai perjalanannya pada usia 19 tahun sebagai cara untuk menghidupi keluarganya.

Sebagai mantan pelari tanpa alas kaki, Paulino telah menjadi peraih medali perak Olimpiade di nomor individu 400 meter dan estafet 4×400 (Tokyo 2020). Selain itu, dia juga telah mendapatkan tiga medali di Kejuaraan Atletik Dunia.

Pada tahun 2021, Paulino menarik perhatian karena pesan di sepatu ketsnya: “Tuhan adalah harapanku. Amin.” Kemudian, gambar sang atlet yang memegang bendera Republik Dominika dan Alkitab menjadi salah satu momen paling mencolok di Olimpiade Tokyo.

“Saya membawa Alkitab karena saya percaya kepada Tuhan bahwa Dia membuat saya bisa meraih medali ini,” jelasnya. “Saya mendedikasikan medali ini kepada masyarakat Dominika, dan saya mendorong mereka untuk percaya kepada Tuhan, karena hanya Dialah harapan kita.”

Yemisi Magdalena Ogunleye, Jerman

https://www.instagram.com/p/C84d1JXIA1H/

Yemisi Ogunleye adalah seorang atlet tolak peluru dari Jerman yang akun Instagram-nya dengan berani menyatakan, “BUKAN AKU, TETAPI YESUS DI DALAMKU.” Ogunleye memperoleh medali perak pada World Indoor Championships awal tahun ini, dengan memecahkan rekor pribadinya sendiri sejauh 20,19 meter (66,24 kaki), dan juga meraih perak pada dua kompetisi Eropa lainnya, serta perunggu pada Kejuaraan Eropa.

Keyakinan Ogunleye telah membantunya melewati cedera dan kesuksesan. “Saya dicintai apa adanya,” ungkapnya. “Dengan medali atau tanpa medali, saya tetap berharga.”

Ogunleye adalah putri dari ayah berkebangsaaan Namibia dan ibu berkebangsaan Jerman, dan sebelumnya pernah berbicara tentang pengalamannya mengalami perilaku rasis. Meskipun demikian, dia tetap setia kepada Tuhan dan panggilan-Nya dalam hidupnya. “Mengetahui bahwa Tuhan telah menyiapkan jalan, maka segala kemuliaan hanya bagi Yesus,” katanya.

Bola voli

Micah Christenson, AS

https://www.instagram.com/p/Ct7EY2gJTBE/

Dikenal sebagai “Man of Steel” di lapangan, Micah Christenson siap untuk Olimpiade ketiganya. Sebagai atlet yang bertanding melawan atlet terbaik di dunia, sang setter telah belajar cara mengelola stres saat bermain.

“Saya seorang Kristen,” katanya. “Saya percaya kepada Tuhan, jadi saya tahu saya mendapatkan banyak kebebasan dari iman saya kepada Tuhan. Ketika saya berada di luar sana, saya merasa bebas untuk membuat keputusan yang berbeda dan mengambil sedikit risiko karena saya tahu di mana letak identitas saya dan bahwa kasih akan selalu ada.”

Ayah tiga anak ini mengatakan bahwa pengalaman mengasuh anak telah membantunya membangun hubungan lebih dekat dengan rekan-rekan satu timnya yang juga sudah menjadi ayah. Dia menambahkan bahwa memiliki anak telah memberinya perspektif baru dalam olahraga ini dan ia sangat antusias melihat mereka menonton saat dia bertanding tahun ini.

Nyeme Nunes, Brasil

https://www.instagram.com/p/C6HvBkXub8s/

Nyeme Nunes akrab dipanggil Doutora (dokter) oleh fans Brasil. Julukan ini bukan berarti prestasi akademik, melainkan merupakan bukti kehebatannya di lapangan—ia mengatur segalanya untuk tim, seperti halnya seorang dokter yang merawat pasiennya.

Nunes mulai bermain bola voli pada usia 9 tahun di bawah pengaruh ibunya, yang mengajaknya bermain olahraga tersebut di jalanan kampung halamannya, Barra do Corda, di negara bagian Maranhão di timur laut. Pada usia 13 tahun, ia telah bergabung dengan tim dewasa. Sejak 2015, dia bermain untuk Tim Nasional Brasil dan meraih beberapa medali perak bersama mereka. Pada tahun 2017, Nunes dinobatkan sebagai libero terbaik di Kejuaraan Dunia U-20.

Nunes merayakan pencapaiannya dengan mengunggah ayat-ayat Alkitab di media sosialnya. Setelah memenangkan Kejuaraan Klub Amerika Selatan tahun ini bersama tim klubnya, dia membagikan Mazmur 147:11, “TUHAN senang kepada orang-orang yang takut akan Dia, kepada orang-orang yang berharap akan kasih setia-Nya.”

Angkat Berat

David Liti, Selandia Baru

https://www.instagram.com/p/C4H9OM3Ln8M/

Setelah musim yang mengecewakan pada tahun 2017, David Liti meraih medali emas di Gold Coast Commonwealth Games 2018 ketika dia mengangkat beban 403 kilogram yang memecahkan rekor. Terkejut dengan kemenangannya, ia menangis di kamar mandi selama satu jam, bertanya kepada Tuhan mengenai apa yang ingin Dia katakan.

Atlet asal Tonga-Kiwi itu menyadari bahwa dia tidak pernah sendirian. “Tuhan memberi saya semua tantangan itu supaya saya bisa menjadi lebih baik, supaya saya bisa maju dan siap ketika saya menang,” ujarnya.

Liti kemudian berkompetisi di Tokyo dan menempati posisi kelima dalam cabang olahraga angkat beban untuk kelas 109 kilogram. Untuk pertandingan mendatang, atlet berusia 27 tahun itu bercanda bahwa dia berharap bisa dikenal sebagai “pemakan croissant profesional” selama berada di sana. Dia juga berkata, “Saya merasa beruntung bisa melakukan apa yang saya sukai dengan potensi saya secara maksimal dan saya bersemangat untuk pergi ke sana dan mewakili semua orang yang menjadi bagian dari perjalanan ini.”

Don Opeloge, Samoa

https://www.instagram.com/p/C3_voTLRTc0/

Setelah ia mencetak rekor baru di Pacific Games tahun lalu dan memenangkan emas di kategori 102 kilogram putra, hal pertama yang dilakukan Don Opeloge adalah bersyukur kepada Tuhan karena memberinya kekuatan. Atlet berusia 25 tahun ini mengaitkan keberhasilannya dengan Tuhan: “Saya hanya ingin memuji Tuhan karena telah memberikan saya kekuatan dan kepercayaan diri yang menuntun saya untuk melakukan yang terbaik demi meraih medali emas bagi Samoa.”

Olepoge telah merencanakan untuk bertanding di Tokyo, tetapi dia tidak dapat hadir karena pemerintah Samoa meliburkan para atletnya akibat pandemi COVID-19. Saat ia lolos ke Paris pada April lalu, Opeloge mengatakan hal yang sama: “Segala kemuliaan hanya bagi Tuhan atas kekuatan dan penyertaan-Nya yang selalu menyertai dalam perjalanan saya.”

Don bukan satu-satunya anggota keluarga Olepoge yang berhasil mencapai Olimpiade. Saudara perempuannya, Mary, mewakili negaranya di Rio, sementara saudara perempuannya yang lain, Ele, menerima satu-satunya medali Olimpiade (perak) yang pernah diraih Samoa di Olimpiade Beijing 2008 setelah dua atlet lainnya didiskualifikasi karena menggunakan doping.

“Apa pun bakat yang Tuhan berikan kepada Anda, itu adalah tentang pelayanan kepada Tuhan, keluarga Anda dan Samoa,” kata Opeloge.

Yenni Álvarez, Kolombia

https://www.instagram.com/p/Cyt39LGgzUX/

Pada usia 13 tahun, Yenny Álvarez lolos ke kompetisi nasional pertamanya. Satu-satunya masalah adalah dia tidak memiliki kartu identitas atau akta kelahiran. Remaja itu tinggal bersama bibinya setelah ibunya wafat dan ayahnya meninggalkannya. Hanya dengan bantuan pelatihnya, ia dapat menavigasi seluk-beluk birokrasi pemerintahan, mendapatkan dokumen yang ia butuhkan untuk bepergian, dan bertanding.

Kini, Álvarez akan bertanding dalam kategori angkat besi 59 kilogram di Paris. Setelah naik tingkat di cabang olahraga angkat besi, pada tahun 2015, Álvarez dinyatakan positif menggunakan boldenone dan ia pun dilarang mengikuti kompetisi selama lima tahun. Meski demikian, dia terus berlatih. Tahun lalu, dia memecahkan rekor Pan American di kategori beratnya dan merayakan kemenangannya di Instagram: “Terima kasih Tuhan, yang memberi kemenangan melalui TUHAN YESUS KRISTUS!” Álvarez mengamankan posisinya di Olimpiade pada bulan April ketika dia berada di posisi ketiga di Piala Dunia.

Awal tahun ini, Komite Olimpiade Kolombia menobatkannya sebagai atlet terbaik tahun ini. Álvarez merayakan penghargaan tersebut dengan mengunggah Yohanes 3:27 di media sosialnya: “Tidak ada seorangpun yang dapat mengambil sesuatu bagi dirinya, kalau tidak dikaruniakan kepadanya dari surga.”

Diterjemahkan oleh Denny Pranolo.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, Instagram, atau Whatsapp.

Agar Generasi Z Tetap Datang Beribadah, Izinkan Mereka Mengurus Kebaktian

Gereja-gereja juga mendapati bahwa dengan menempatkan generasi Z dalam komunitas, bersama jemaat yang lebih tua, dan menjawab pertanyaan “mengapa” dari mereka, semua itu akan membantu generasi Z bertahan di gereja.

Kaum muda di Heart of God Church di Singapura menjalankan semua aspek ibadah akhir pekan.

Kaum muda di Heart of God Church di Singapura menjalankan semua aspek ibadah akhir pekan.

Christianity Today August 1, 2024
Courtesy of Heart of God Church

Sejak Heart of God Church di Singapura didirikan lebih dari 20 tahun yang lalu, gereja ini berhasil menarik demografi yang sulit dijangkau: Usia rata-rata jemaatnya tetap stabil di usia 22 tahun.

Saat ini, sekitar 5.000 orang menghadiri Heart of God Church setiap hari Minggu. Cecilia Chan, salah satu pendeta senior pendiri gereja yang dikenal sebagai Pastor Lia, menjelaskan strategi mereka: “Kaum muda perlu diundang, diikutsertakan, dilibatkan, sebelum mereka dapat membawa pengaruh dan memberi dampak.”

Ini berarti, remaja berusia 12 tahun diberi tanggung jawab seperti merancang tampilan slide, merekam siaran langsung gereja, mengatur soundboard, atau bahkan membantu mengoordinasikan kebaktian Minggu. Pada saat yang sama, mereka dibimbing oleh orang lain yang sudah lebih berpengalaman.

Gereja-gereja di Singapura menghadapi tantangan yang sama seperti gereja-gereja di seluruh dunia dalam menjaga agar generasi Z tetap terlibat, seiring generasi digital ini dibombardir dengan berbagai gangguan dan kebisingan dari seluruh dunia. Pandangan banyak anak muda terhadap isu-isu seperti seksualitas atau apa yang membentuk sebuah unit keluarga, tidak lagi ditentukan oleh norma-norma masyarakat Asia. Sensus tahun 2020 menemukan bahwa semakin banyak anak muda (usia 15-24 tahun) yang mengatakan bahwa mereka tidak memiliki afiliasi keagamaan: Jumlah tersebut meningkat dari 21 persen pada tahun 2010 menjadi 24 persen pada tahun 2020.

Para pelajar Singapura, yang terkenal dengan nilai ujiannya yang tinggi, juga mengalami tingkat kecemasan dan stres yang tinggi demi bisa berprestasi secara akademis. Dengan tekanan dari orang tua dan teman sebayanya, para pelajar menghabiskan waktu sepulang sekolah untuk mengikuti kelas bimbingan belajar dan kegiatan pengayaan. Dalam sisa waktu luangnya, banyak pelajar yang menghabiskan waktu dengan ponselnya. Kegiatan yang memberikan kesempatan berinteraksi tatap muka dan tidak terpusat pada tugas sekolah tentu menjadi angin segar.

Christianity Today berbicara dengan tiga gereja di Singapura yang memiliki pelayanan kaum muda yang aktif, untuk mengetahui bagaimana mereka menjangkau demografi ini. Jemaat-jemaat ini melibatkan kaum muda, menyediakan interaksi lintas generasi, membangun relasi antar pribadi, dan mendorong mereka untuk menggali lebih dalam mengapa Alkitab dan Tuhan dapat dipercaya.

“Saya merasa diberdayakan”

Goh Xin Yi, 19, mulai menghadiri Heart of God Church enam tahun lalu setelah seorang teman sekolahnya mengundang dia untuk menghadiri kebaktian Paskah di gereja tersebut. “Sangat menarik melihat begitu banyak anak muda di satu tempat di luar sekolah dan tempat bimbingan belajar,” katanya.

Sebagai anggota baru, ia mengikuti program pelatihan pelayanan yang memperkenalkannya pada lebih dari 80 pelayanan yang dapat ia layani. Pada saat yang sama, ia juga mengambil bagian dalam pendalaman Alkitab untuk belajar lebih banyak tentang Tuhan.

Goh memilih untuk melayani di tim siaran langsung gereja sebelum menjadi kepala pengarah kamera pada usia 16 tahun. Kini, di usia 19 tahun, ia menjadi pemimpin operasional media dan mengawasi 50 orang lainnya.

“Melayani di pelayanan media memberi saya rasa memiliki,” kata Goh. “Saya merasa diberdayakan. Saya merasa dipercaya dan diberi kesempatan untuk menangani peralatan yang sangat mahal itu.”

Lebih dari 80 persen jemaat gereja itu melayani di berbagai pelayanan, dengan tujuh “generasi” pemimpin yang bekerja berdampingan satu sama lain. Setiap generasi berjarak sekitar tiga sampai lima tahun dan membentuk kelompok kaum muda masing-masing. Generasi pertama terdiri dari para rohaniwan lokal berusia 30-an tahun, sedangkan generasi terbaru terdiri dari para pemimpin yang berusia 13 tahun.

Dalam konteks Goh, ia dibimbing oleh seorang pemimpin berusia 27 tahun yang mengepalai seluruh tim media yang berjumlah lebih dari 300 orang. Goh sendiri melayani bersama para remaja berusia 12 dan 13 tahun.

“Mereka memberikan pemikiran yang sangat jujur dan perspektif yang segar,” kata Goh tentang remaja-remaja yang dibimbingnya. “Saya ingin memberdayakan mereka seperti halnya saya dulu diberi tanggung jawab ketika saya masih seusia mereka.”

Kiri: Kebaktian di Heart of God Church, Imaginarium. Kanan: Tiga Generasi melayani bersama sebagai pelatih fotografi, kru, dan pengawas.Courtesy of Heart of God Church
Kiri: Kebaktian di Heart of God Church, Imaginarium. Kanan: Tiga Generasi melayani bersama sebagai pelatih fotografi, kru, dan pengawas.

Lia mengemukakan bahwa memberikan kesempatan kepada generasi muda untuk memimpin dan melatih, akan membantu mereka tetap terlibat. “Ketika generasi muda bergabung, generasi yang lebih tua tidak digantikan melainkan diperkuat” dan melayani bersama mereka, katanya.

Menemukan keluarga di gereja

Di jemaat berbahasa Mandarin di All Saints Church, para pemimpin menggunakan strategi berbeda untuk menjangkau kaum muda. Salah satu tantangan yang dihadapi jemaat adalah kaum muda Singapura lebih nyaman berbicara dalam bahasa Inggris dibandingkan bahasa Mandarin, sehingga mereka lebih sering menghadiri gereja berbahasa Inggris.

Namun All Saints Church melihat pelayanan kaum muda berbahasa Mandarin, yang saat ini memiliki 70 anggota, bertumbuh sekitar 6 persen setiap tahunnya. Gereja ini membangun kekuatannya sebagai gereja multigenerasi dengan menciptakan kegiatan-kegiatan yang dapat diikuti bersama oleh remaja dan orang-orang yang lebih tua.

Sebagai contoh, gereja mengadakan kegiatan perkemahan tahunan untuk siswa di SMA Anglikan, yang terhubung dengan gereja. Lalu para anggota gereja yang lanjut usia menyajikan makanan selama perkemahan dan mendoakan para peserta perkemahan, sementara orang dewasa muda mengawasi program perkemahan dan memimpin kelompok kecil di acara perkemahan gereja tersebut.

“Di gereja Tionghoa seperti gereja kami, budaya dan tradisi keluarga lebih terasa,” kata Fu Weikai, seorang pendeta pendamping di All Saints Church yang mengurus pelayanan kaum muda Tionghoa.

Menurut Fu, beberapa anak muda menemukan ikatan kekeluargaan di dalam gereja, yang tidak ditemukan di rumah mereka sendiri. “Kami mempunyai program bernama Makan Malam Bersama Para Penatua di mana pasangan-pasangan berusia 50an tahun membuka rumah mereka bagi kaum muda untuk makan malam dan bersekutu bersama mereka.”

Clement Ong, 29 tahun, bergabung dengan gereja tersebut saat ia berusia 16 tahun, setelah berpartisipasi dalam acara perkemahan pelajar di SMA Anglikan. Saat ini Ong melayani di pelayanan kaum muda. Ia mengamati bahwa dalam beberapa keluarga berpenghasilan ganda, sistem dukungan terhadap anak telah bergeser dari keluarga inti ke keluarga gereja.

“Dengan adanya Instagram dan media sosial, kami para pemimpin juga lebih peka terhadap kehidupan generasi muda,” kata Ong. “Saat kami melihat kabar terbaru di media sosial mereka, kami akan menyapa mereka lebih sering, mengirimkan pesan teks, dan bertemu langsung untuk makan bersama.”

Namun teknologi ini memiliki sisi lain. Fu mencatat bahwa banyak pandangan dunia anak muda yang terbentuk melalui ponsel pintar mereka.

“Apa yang mereka ketahui tentang teman-temannya berasal dari stori-stori di Instagram dan video TikTok,” kata Fu. “Beberapa remaja sebenarnya merasa canggung dalam situasi sosial karena kebanyakan dari mereka berkomunikasi secara virtual.”

Itu sebabnya Fu dan para pemimpin gereja lainnya berniat untuk membangun hubungan antar pribadi. Gereja memiliki ruang bagi para pelajar SMA Anglikan untuk berkumpul dan mengenal beberapa pekerja gereja saat jam istirahat. Di lingkungan ber-AC ini, siswa juga dapat bermain dengan gitar atau drum untuk melepas penat.

Memikirkan tentang bagaimana generasi muda berinteraksi dengan informasi, Fu juga telah mengubah cara dia menyampaikan khotbah dan apa yang dia khotbahkan dalam pelayanan kaum muda. “Saya tidak bisa mengomeli mereka selama 40 menit,” kata Fu. “Dulu kalau kami minta mereka lompat, mereka bilang ‘Seberapa tinggi?’ Sekarang mereka bertanya, ‘Mengapa melompat?‘” kata Fu.

Sekarang dia membatasi khotbahnya sekitar 20 menit dan tidak lagi mendaftar apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Misalnya, ketika dia berkhotbah tentang topik kesombongan, dia tidak bisa begitu saja menyuruh mereka untuk berhenti bersikap sombong. “Ini adalah tentang menjelaskan masalah kesombongan, mengakui adanya kesombongan dalam hidup kita, dan bagaimana kita bersandar pada kesetiaan Tuhan untuk membebaskan kita dari kesombongan,” kata Fu.

Menjawab pertanyaan “mengapa”

Eddie Ho, seorang pendeta di Faith Methodist Church yang menangani pelayanan kaum muda yang beranggotakan 200 orang, mengatakan bahwa orang-orang muda sering bertanya kepadanya, “Mengapa saya harus mempercayai Alkitab?”

Hal ini berbeda dengan masa lalu, ketika para remaja lebih mudah menerima apa yang dikatakan orang tua dan gurunya. Kini dengan mudahnya akses internet, generasi muda mencari sudut pandang lain dan perspektif alternatif.

“Kita tidak bisa berasumsi mereka meyakini bahwa Alkitab adalah kebenaran,” kata Ho. “Kita harus memberikan jawaban ‘mengapa.' Kita perlu memberi tahu mereka prinsip yang mendasari perintah-perintah Tuhan.”

Misalnya, khotbah-khotbah Ho menggali lebih dalam pertanyaan mengapa Yesus memerintahkan para pengikut-Nya untuk mengasihi sesama seperti mereka mengasihi diri sendiri: “Karena kita semua diciptakan menurut gambar-Nya,” kata Ho. “Kita mengasihi Tuhan, kita mengasihi gambar-Nya, kita mengasihi sesama kita.”

Sebulan sekali, gereja ini mengadakan kebaktian kaum muda dengan pembicara-pembicara yang membahas topik-topik relevan seperti pelayanan di gereja, media sosial dan game online, seksualitas, dan apologetika. Setelah itu, ada waktu bagi para pelajar untuk berdiskusi dan merenungkan topik tersebut, dan terkadang mereka berkumpul untuk makan bersama.

Ho percaya bahwa pelayanan antar pribadi adalah hal yang penting di zaman di mana kaum muda menginginkan jawaban cepat atas pertanyaan-pertanyaan mereka. “Kita perlu memperlengkapi pemimpin kaum muda yang baik untuk terhubung dengan anak-anak muda, terutama pada usia ini ketika para pemuda lebih suka mendengarkan teman-teman mereka daripada orang tuanya.”

Namun, dengan upaya terbaik sekalipun dari orang tua dan jemaatnya, anak-anak muda masih bisa menyimpang dari gereja dan Tuhan. Ho mengimbau mereka yang memiliki anak-anak atau orang-orang terkasih yang tidak patuh: “Lihatlah lebih jauh ke depan, beberapa anak muda mungkin tidak pergi ke gereja sekarang, tetapi kita sebagai orang tua, sebagai orang tua rohani, dan keluarga, hendaknya terus menunjukkan kasih dan menanamkan [benih], dan dengan penuh doa menantikan Tuhan melakukan pekerjaan-Nya pada anak-anak muda ini.”

Diterjemahkan oleh Mellie Cynthia.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, Instagram, atau Whatsapp.

Menjembatani Generasi

Menutup kesenjangan antara orang muda dan orang tua di gereja Anda.

Christianity Today August 1, 2024

Gerakan hippie mencapai puncaknya pada tahun 1971, dan Stuart Briscoe baru saja menjadi pendeta di Elmbrook Church di Brook-field, Wisconsin. Stuart membujuk sebuah kelompok yang terdiri dari 100 pemuda yang kontra-budaya untuk menghadiri kebaktian pada suatu hari Minggu, dan salah satu pemimpin gereja merasa tidak senang.

“Saya ingin memperjelas satu hal,” kata pemimpin tersebut. “Orang-orang muda yang Anda bawa ke gereja kami harus dipisahkan. Kami telah bekerja keras untuk menjauhkan anak-anak kami dari orang-orang seperti ini.”

Stuart baru-baru ini melakukan perjalanan ke Afrika Selatan, di mana ia menyaksikan bentuk pemisahan serupa yang penuh prasangka. Stuart menggumamkan sesuatu tentang apartheid. Kini, dia berkelakar, “Anda harus ingat, saya adalah seorang pendeta baru saat itu, dan tidak ahli dalam hal diplomasi.”

Ketika “pertukaran posisi yang lengkap dan jujur” telah selesai (deskripsi diplomatis yang lebih berpengalaman dari Stuart), pemimpin tersebut menawarkan solusi yang dapat diterima oleh Stuart. “Saya lelah mendengar tentang kesenjangan generasi—mari kita membangun sebuah jembatan generasi.”

Segera setelah itu Elmbrook memulai kelas baru di hari Minggu pagi. Kegiatan ini berlangsung selama tiga bulan, dan para peserta dipilih dari berbagai kelompok usia.

Kelas tersebut tidak ada pengajar (atau pengawas); pelajaran dipimpin oleh para peserta sendiri, dengan orang yang lebih tua dan orang yang lebih muda berbagi tugas setiap minggunya. Kurikulum mereka adalah kitab Yakobus.

Meski pada awalnya enggan, para partisipan mulai bisa mengatasi tembok prasangka dan kesalahpahaman di antara mereka. Mereka cukup jujur untuk bertanya, “Mengapa kamu memanjangkan rambutmu sehingga terlihat seperti alat pel? Dan jangan bilang bahwa itu alasan yang sama seperti saya memanjangkan rambut saya hingga menyerupai sikat gigi.”

Seiring berjalannya waktu, hubungan pertemanan dan mentoring pun terbangun dan bertahan hingga saat ini. Kelas tersebut membagikan pengalamannya kepada jemaat, dan daftar tunggu pun dibuat untuk kelas Jembatan Generasi berikutnya.

Kini anak-anak dari era hippie itu berupaya untuk terhubung dengan anak-anak dan penerus mereka, yaitu generasi X. Menjembatani generasi, membangun komunitas, dan menyatukan keluarga adalah prioritas baru di banyak gereja. Di beberapa negara, upaya untuk mendukung kesatuan gereja dan kesatuan keluarga telah melahirkan paradigma pelayanan yang baru: pelayanan intergenerasional.

Paradigma ini mengintegrasikan seluruh anggota keluarga—ibu, ayah, janda/duda, lajang, dan anak-anak dari segala usia—ke dalam aktivitas yang sama. Pelayanan intergenerasional (disebut juga inter-generasi, multi-generasi, atau usia terpadu) menyatukan orang berbagai usia di tempat yang sama, dengan materi yang sama, untuk tujuan yang sama. Tujuannya: Membangun hubungan lintas generasi yang memperkuat pembentukan iman dalam komunitas iman dan di rumah.

Stephen Ong, pendeta dan pendiri Victory Baptist Church di Greeley, Colorado, memilih untuk membangun gereja dengan model intergenerasional. “Terlalu banyak keluarga yang menghidupi kekristenan hanya di gereja,” kata Ong. “Namun kekristenannya tidak diterapkan di rumah. Saya pikir jika kita bisa menyatukan keluarga-keluarga dalam perjalanan iman mereka di hari Minggu, hal itu akan menciptakan akuntabilitas timbal balik yang akan melekat pada mereka di sepanjang minggu.”

Para pendukung model pelayanan ini menyebut rumah sebagai pusat utama pembentukan iman. Sering kali prioritas utama mereka adalah melatih para orang tua untuk menanamkan iman kepada anak-anak mereka. Namun pelayanan intergenerasional yang berhasil tidak hanya melibatkan ibu, ayah, dan anak-anak.

“Hal terpenting dalam pelayanan intergenerasional adalah menyertakan unit-unit keluarga non-inti,” kata Eric Wallace, direktur pelayanan pengajaran di Harvester Presbyterian Church di Springfield, Virginia, dan penulis Uniting Church and Home. “Kami menyebut mereka ‘rumah tangga’—para janda/duda, orang lajang, keluarga dengan orang tua tunggal, dll. Jika Anda tidak menyertakan mereka, Anda hanya menciptakan sebuah fragmen ‘keluarga’ dengan kebutuhan dan hubungan yang terpisah dari anggota tubuh lainnya. Tujuannya adalah untuk membangun kesatuan dan iman di setiap rumah, siapa pun yang tinggal di sana.”

Menyatukan semua orang

Pada hari Minggu setiap bulan, Christ Church di Phoenix, Arizona, mengadakan acara di malam hari yang disebut "Petualangan Keluarga/Rumah." Keluarga-keluarga duduk di sekitar meja bundar. Para lajang, janda/duda, dan anak-anak yang orang tuanya tidak ada di sana, bergabung dengan keluarga-keluarga inti untuk memenuhi meja-meja tersebut. Sepanjang malam itu diisi dengan makan bersama, berdoa, belajar, dan bersenang-senang.

“Banyak orang beranggapan bahwa keluarga Kristen hanya makan dan berdoa bersama,” kata Ben Freudenburg, pendeta yang melayani keluarga Kristen di Christ Church. “Akan tetapi kenyataannya tidak demikian. Kegiatan yang terjadwal sering kali mengganggu waktu makan bersama, dan banyak keluarga tidak tahu cara berdoa bersama. Acara malam Petualangan Keluarga kami memulihkan hal-hal tersebut, memberikan kesempatan bagi keluarga untuk mempraktikkan momen berkumpul dan berdoa bersama.” Bahkan, Freudenburg menyuruh keluarga-keluarga di setiap meja untuk berdoa sebelum dan sesudah makan. Hanya untuk latihan.

Kemudian, seperti banyak pelayanan intergenerasional lainnya, orang-orang saling menoleh kepada satu sama lain, bukannya ke arah mimbar. Setiap kelompok mendiskusikan suatu bagian Alkitab dan menyelesaikan suatu aktivitas bersama. Keluarga-keluarga yang dilayani Freudenburg pernah membuat proyek kerajinan tangan, mengarang lagu-lagu pujian, dan menulis pernyataan misi keluarga. Proyek-proyek mereka kemudian dipresentasikan ke seluruh jemaat, dan keluarga-keluarga saling belajar satu sama lain. Tak pelak lagi, kata Freudenburg, percakapan-percakapan pun dimulai antara orang tua dan anak, atau antara janda/duda dan remaja, yang mungkin tidak akan pernah terwujud tanpa adanya acara ini.

Malam aktivitas keluarga memberikan kesempatan bagi jemaat segala usia untuk berbaur. Gereja-gereja lain menyatukan generasi-generasi tertentu.

Grace Church di Edina, Minnesota, misalnya, memadukan kombinasi eklektik. Para ayah dan anak laki-laki di gereja tersebut pernah menghadiri pertandingan bola basket profesional; para siswa SMP mereka pernah menyajikan makanan untuk para lansia yang tinggal di panti jompo; dan gereja tersebut pernah mengadakan acara pertemuan untuk memperkenalkan para siswa pertukaran pelajar mereka kepada berbagai generasi orang Amerika yang berbeda.

Perjalanan misi keluarga, retret orang tua dan anak, pendalaman Alkitab yang terintegrasi dengan usia dan sekolah Minggu, proyek kerja, dan ibadah merupakan platform yang potensial untuk membangun hubungan lintas generasi dan memperkuat keluarga-keluarga.

Namun membangun jembatan dari pelayanan yang terpisah-pisah berdasarkan usia ke paradigma yang terintegrasi usia terpadu sering kali sama sulitnya dengan membangun jembatan di antara generasi-generasi itu sendiri.

Menanggapi tentangan

Pelayanan intergenerasional dimulai dengan salah satu dari dua cara: gereja didirikan dengan nilai-nilai inti antargenerasi, atau gagasan tersebut diperkenalkan secara perlahan. Terkait yang terakhir, para pendukung pelayanan antar-generasi seringkali menghadapi tentangan keras. Norma budaya yang umum berlaku di sekolah dan sebagian besar lingkungan gereja, adalah memisahkan orang–orang, dan terutama anak-anak, berdasarkan usia. Norma budaya tidak mudah diubah.

“Tidak semua orang ingin melakukan hal ini,” kata Mike Sciarra, pendeta keluarga di Voyagers Bible Church di Irvine, California. “Tidak apa-apa. Kami tidak ingin mengubah pendulum pelayanan dari usia yang spesifik menjadi usia yang terpadu sepenuhnya. Keduanya bisa hidup berdampingan.”

Ben Freudenburg menjelaskan: “Pelayanan yang spesifik berdasarkan usia, seperti Sekolah Minggu yang tradisional, gereja anak-anak, dan pendalaman Alkitab untuk orang dewasa, sangat baik untuk mengajarkan kisah-kisah dan konsep-konsep iman. Akan tetapi, pelayanan usia terpadu mengajarkan kita bagaimana menerapkan kebenaran-kebenaran tersebut ke dalam relasi-relasi. Harus ada tempat untuk keduanya.”

Alih-alih melakukan perombakan total, beberapa inovator justru berhasil melakukan percobaan-percobaan kecil dalam pelayanan intergenerasi.

Lightsey Wallace (ayah Eric Wallace) adalah seorang penatua di Harvester ketika ia pertama kali memperkenalkan ide pelayanan intergenerasional kepada gereja. Dia ingin mencoba memasukkan putrinya yang berusia 12 tahun ke dalam kelas Sekolah Minggu dewasa. Dia yakin bahwa putrinya mampu memahami pada tingkat yang lebih dewasa daripada yang ditawarkan oleh kelas Sekolah Minggu.

Wallace meminta kesempatan untuk mencobanya. Setelah dua tahun, eksperimen tersebut sangat berhasil, Sekolah Minggu Harvester dibangun kembali berdasarkan kelas-kelas usia terpadu.

“Jangan berharap prosesnya cepat terjadi ketika Anda menerapkan pendekatan ini,” saran Eric Wallace, kakak laki-laki dari anak perempuan berusia 12 tahun itu, yang kini menjabat sebagai direktur pelayanan pengajaran di gereja tersebut. “Mayoritas gereja akan menerapkan prinsip-prinsip ini pada pelayanan yang sudah ada dengan pemisahan berdasarkan usia dan akan melakukan pendekatan secara bertahap.”

Itulah pendekatan yang diambil Mike Sciarra di Voyagers. Ketika ia bergabung pada tahun 1992, pelayanan dengan pemisahan berdasarkan usia sudah tertanam kuat dalam budaya gereja. Alih-alih mencoba mengubah struktur yang ada, ia melakukan eksperimen “di luar kampus.”

Sciarra mengundang seluruh keluarga, termasuk anak-anak berusia enam bulan ke atas, untuk mengambil bagian dalam perjalanan misi jangka pendek ke Meksiko. Beberapa keluarga menerima.

Seluruh kelompok memulai setiap pagi dengan beribadah dan belajar. Kemudian para wanita dan anak-anak yang lebih kecil berinteraksi dengan orang-orang Meksiko dalam permainan, kerajinan tangan, dan proyek-proyek kecil, sementara para pria dan anak-anak yang lebih besar bekerja sama dalam proyek konstruksi dan pembersihan. Di penghujung hari, mereka berkumpul untuk makan bersama.

Perjalanan tersebut menjadi populer, dan Voyagers kini melakukan empat perjalanan per tahun. Semangat pelayanan dan ibadah secara intergenerasional pun mulai menyebar, pertama-tama ke pelayanan di luar kampus, seperti pendalaman Alkitab dan kelompok-kelompok kecil, kemudian ke pelayanan di dalam kampus.

Goyangkan ayunan secara perlahan

Ketika Ben Freudenburg bergabung dengan staf Christ Church di Phoenix, dia mulai mencari cara untuk “menyesuaikan” pelayanan yang sudah ada untuk memperkenalkan elemen intergenerasi. Freudenburg sebelumnya telah menjadi pendeta kaum muda dan anak-anak di Kirkwood, Missouri, selama 17 tahun. Di sana ia mengembangkan budaya pelayanan intergenerasional, yang kemudian menjadi dasar penulisan buku The Family Friendly Church (Group, 1998). Buku ini memuat bagian tentang perubahan paradigma gereja. Di Christ Church, ia menerapkan prinsip-prinsip transformasinya.

Ia mendapati bahwa setiap masa Adven, gereja akan menampilkan tokoh-tokoh Natal yang berukuran lebih besar dari aslinya, terbuat dari rangka kawat dan dipenuhi dengan lampu Natal. Figur-figur ini ditempatkan di atap jalan setapak tertutup (mereka menempatkan Para Majus di sebelah timur palungan dan memindahkannya ke barat setiap malam). Saat mereka membaca cerita dan setiap tokoh disebutkan, figur di atap akan menyala.

Freudenburg bertanya pada dirinya sendiri, “Bagaimana saya bisa mengubah peristiwa penting ini untuk menyatukan generasi?”

Dia pun mengundang keluarga-keluarga di gereja untuk membawa miniatur adegan Natal mereka sendiri ke ruang kebaktian. Sebelum acara penyalaan lampu Natal, set palungan kecil dipamerkan kepada seluruh jemaat. Mereka merayakan keberagaman dan keanekaragaman internasional dari set miniatur palungan tersebut.

Setelah penyalaan lampu, Freudenburg dan istrinya memimpin suatu perenungan yang mencakup pembacaan dan latihan-latihan untuk dilakukan dan didiskusikan bersama keluarga.

Ada juga ruang bagi keluarga untuk mengenakan kostum tokoh-tokoh Natal. Sambil berdandan, mereka membuat foto dan video untuk dikirim kepada kakek dan nenek mereka yang berada di tempat yang jauh.

Sebuah pertanyaan yang tepat

Memperkenalkan orang-orang pada pelayanan intergenerasi, baik melalui eksperimen atau penyesuaian, adalah hal yang sederhana. Namun, membangun budaya yang permanen untuk kerja sama secara intergenerasional, tidaklah mudah.

“Pelayanan usia terpadu tidak bisa menjadi satu hal lagi yang perlu ditambahkan ke dalam kalender,” kata Mike Sciarra. “Anda harus mempertimbangkan program mana yang dapat dikurangi untuk memberi ruang.”

John Erwin, pendeta keluarga di Edina’s Grace Church, dan ketua National Association of Family Ministries, merekomendasikan untuk melakukan penilaian kebutuhan sebelum meluncurkan pelayanan intergenerasi yang baru. Erwin mengingat sebuah survei penting yang ia lakuan.

Grace Church pernah mengirimkan keluarga-keluarga untuk mengikuti retret orang tua/anak di sebuah perkemahan terdekat selama bertahun-tahun. Retret untuk ayah dan anak-anak dihadiri banyak orang, tetapi retret untuk ibu dan anak-anak tidak. Erwin bertanya-tanya kenapa.

Ia menemukan bahwa hal itu terjadi bukan karena kurangnya minat para ibu, melainkan karena para ayahlah yang berusaha mencari bantuan.

Jadi Grace Church memulai "Super Satur-days," sebuah pelatihan bagi para ayah dengan topik-topik seperti memimpin renungan, pengelolaan amarah, dan menciptakan kenangan keluarga. Menilai kebutuhan membantu Grace Church meluncurkan inisiatif intergenerasi tanpa harus membebani jadwal kalender gereja.

Dapatkah saya melakukan ini?

Hambatan terbesar dalam pelayanan intergenerasi adalah rasa tidak aman pribadi.

“Para orang tua sudah sangat terbiasa dengan gereja yang menanamkan pengembangan iman anak-anak mereka sehingga mereka merasa tidak punya pengetahuan,” kata Freudenburg. “Oleh karena itu, ketika kami memberi mereka pilihan, mereka merasa frustasi. Solusinya: Kita perlu memperlengkapi para orang tua untuk memimpin pengembangan iman keluarga mereka.”

Bagi Freudenburg, memperlengkapi orang tua termasuk mengadakan pameran devosi. Pelajaran Alkitab, model-model pengajaran, dan sumber daya lainnya dipajang di berbagai pos. Di setiap pos, para orang tua diundang untuk mencoba setiap sumber daya materi bersama anak-anak mereka. Jika orang tua menemukan sesuatu yang cocok untuk seluruh anggota keluarga mereka, mereka dapat membelinya dan menggunakannya di rumah.

Ketika Rod Janzen menjadi pendeta yang melayani keluarga di Olathe Bible Church di Olathe, Kansas, dia memperkenalkan cara-cara untuk menjadikan pendidikan iman gereja lebih inklusif bagi orang tua. “Kami mengganti kurikulum kelas parenting kami menjadi kurikulum yang membantu orang tua menjadi pengajar utama bagi anak-anak mereka. Pelayanan kaum muda kami juga mulai melibatkan peran orang tua. Lalu pesan dari mimbar juga menekankan kesatuan di seluruh generasi.”

Grace Bible Fellowship di Walpole, New Hampshire, mengambil langkah yang lebih jauh. Gereja ini menyediakan “guru keliling” yang mengunjungi rumah-rumah secara bergilir, melatih para orang tua untuk mengajar anak-anak mereka. Dorongan dan akuntabilitas membantu para orang tua untuk bertumbuh dalam kepercayaan diri dan kemauan mereka untuk membentuk perjalanan rohani bagi anak-anak mereka.

Banyak gereja yang menerapkan pelayanan intergenerasional melaporkan manfaat-manfaat yang tidak terduga. Sebagian gereja berpendapat bahwa hal ini meningkatkan keterlibatan para lajang dan manula. Yang lain menghargai bahwa tambahan keterlibatan orang tua mengurangi beban kerja para pelayan anak. Yang lainnya lagi menyadari bahwa inovasi mereka membawa keluarga-keluarga baru yang berusaha untuk memperkuat rumah tangga mereka.

Jemaat Olathe Bible Church merasa lega karena perbedaan generasi mereka lebih mudah diatasi daripada yang diperkirakan.

“Kami memiliki orang-orang lanjut usia yang sangat menikmati beribadah bersama generasi X,” kata Janzen. “Dan beberapa remaja kita senang bergaul dengan para lansia. Kami menemukan bahwa generasi-generasi yang berbeda mempunyai lebih banyak kesamaan dibandingkan yang mereka akui.”

Bagaimana pelayanan intergenerasional menutup kesenjangan?

Terlepas dari latar belakangnya—pengajaran, penyembahan, penjangkauan—pelayanan intergenerasional dibangun berdasarkan beberapa prinsip:

  1. Integrasi usia. Daripada memisahkan kelompok-kelompok berdasarkan usia atau tingkat kelas, pelayanan intergenerasi dengan sengaja menggabungkan orang-orang dari kelompok usia yang berbeda.

  2. Pemahaman lintas generasi. Hubungan yang terbina dapat mengurangi konflik dan kesalahpahaman secara intergenerasional.

  3. Integrasi "rumah tangga." Meskipun tidak semua pelayanan intergenerasi menggunakan terminologi yang sama, para lajang, janda, dan kepala rumah tangga lainnya divalidasi sebagai unit keluarga dan sering kali dipadukan dengan keluarga inti.

  4. Tanggung jawab orang tua untuk pengembangan iman. Para orang tua didorong dan diperlengkapi untuk mengambil peran utama dalam pendidikan iman anak-anak mereka, untuk “menanamkan” kebenaran Allah kepada anak-anak mereka (Ul. 6:6-9).

Terhubung dengan pelayanan intergenerasi

Sumber materi untuk memulai pelayanan usia terpadu.

  • http://www.heritagebuilders.com. Situs web Focus on the Family untuk memperlengkapi keluarga agar dapat meneruskan warisan rohani mereka kepada anak-anak. Termasuk tips, alat bantu, artikel, dan sumber materi lainnya

  • http://www.chamberscollege.com. Sumber materi untuk SAFE (Scripture Activities for Family Enrichment; Aktivitas Alkitab untuk Pengayaan Keluarga), sebuah kurikulum pengembangan rohani yang inklusif untuk segala usia, yang dibuat oleh Stephen Ong, pendeta dari Victory Baptist Church di Greeley, Colorado.

  • The Family Friendly Church (Group, 1998) karya Ben Freudenburg, melayani rumah tangga Kristen di Christ Church di Phoenix, Arizona.

  • Uniting Church and Home (Solutions for Integrating Church and Home, 1999) karya Eric Wallace, direktur pelayanan pengajaran di Harvester Presbyterian Church di Springfield, Virginia.

Diterjemahkan oleh Mellie Cynthia.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, Instagram, atau Whatsapp.

Keraguan Membantu Kita Berdoa

Ketidakpastian dapat mendorong kita mendekat kepada Allah dalam kerendahan hati dan kejujuran.

Christianity Today July 26, 2024
Illustration by Abigail Erickson

Apakah sesuatu yang mengherankan jika keraguan dapat menyusup ke dalam doa-doa kita, mengingat ada kesenjangan yang mungkin kita alami antara apa yang tampaknya dijanjikan Alkitab dengan kenyataan hidup yang kita jalani? Dalam Markus 11:23, Yesus memberitahu kita bahwa Tuhan dapat mengatur ulang permukaan bumi jika kita datang kepada-Nya dengan iman. Implikasinya adalah bahwa Bapa surgawi kita akan melakukan hal-hal yang ajaib bagi kita. Namun kita semua dapat mengingat saat-saat ketika kita berdoa memohon untuk mukjizat duniawi—mungkin untuk mengakhiri insomnia atau menyelesaikan konflik yang sudah berlangsung lama—dan keadaan kita tidak berubah. Dalam situasi itulah, seperti yang dijelaskan oleh A.J. Swoboda, “keraguan melanda kita.”

Saudara Yesus, yaitu Yakobus, semakin memperumit hal ini dengan menyatakan bahwa alasan mengapa gunung pribadi kita tidak mau bergerak mungkin karena keraguan telah merusak iman kita. “Hendaklah ia memintanya dalam iman, dan sama sekali jangan bimbang, sebab orang yang bimbang sama dengan gelombang laut, yang diombang-ambingkan kian ke mari oleh angin. Orang yang demikian janganlah mengira, bahwa ia akan menerima sesuatu dari Tuhan. Sebab orang yang mendua hati tidak akan tenang dalam hidupnya” (Yak. 1:6–8).

Kalau begitu, siapa yang bisa berdoa? Sebab jika kita jujur, kita semua bergumul dengan keraguan dari waktu ke waktu. Ayat-ayat seperti ini dapat membuat kita percaya bahwa lebih baik kita menyangkal keraguan atau menghindari Tuhan sama sekali saat keraguan itu muncul.

Keraguan dapat menggoyahkan iman kita, tetapi hal itu tidak perlu membungkam doa-doa kita. Bahkan, ketika kita membawa keraguan kita kepada Tuhan, iman kita bisa semakin dalam.

DNA keraguan

Keraguan dapat memengaruhi setiap kita di berbagai titik di sepanjang perjalanan kekristenan kita; keraguan itu seperti aliran air bawah tanah yang mengalir di sepanjang jalan iman. Keraguan dapat merembes masuk ke dalam hidup kita melalui banyak pintu, seperti doa yang tidak terjawab, bagian-bagian Alkitab yang tidak sesuai dengan kenyataan hidup kita, atau penderitaan yang tak kunjung usai. Luka yang ditimbulkan oleh orang percaya atau pemimpin rohani lainnya juga merupakan pintu masuk yang umum. Ketika mereka yang mengaku sebagai pengikut Yesus tetapi bertindak tercela, hal ini dapat menyebabkan kita meragukan Tuhan atau menghilangkan rasa lapar kita terhadap segala hal terkait kekristenan.

Keraguan juga bisa muncul ketika ekspektasi kita pupus. Sadar atau tidak, kita sering kali memiliki ekspektasi tertentu tentang bagaimana Tuhan seharusnya menanggapi permohonan doa kita. Kita membangun ekspektasi-ekspektasi ini berdasarkan konstruksi teologis kita—bagaimana kita menafsirkan apa yang kita baca dalam Alkitab, apa yang telah diajarkan kepada kita, dan apa yang kita alami. Jadi jika Tuhan tidak menjawab doa seperti yang kita harapkan atau bayangkan, kekecewaan dapat menimbulkan keraguan atau bahkan membuat kita bertanya-tanya apakah doa itu sia-sia.

Berdamai dengan Keraguan

Ketika kita merenungkan kata-kata Yakobus, kita mungkin berasumsi bahwa kita hanya perlu mengumpulkan lebih banyak iman. Atau kita mungkin membayangkan bahwa untuk mengatasi keraguan, kita perlu memperoleh lebih banyak pengetahuan. Namun kenyataannya adalah kita tidak bisa merekayasa iman dan kita tidak akan pernah memahami Tuhan sepenuhnya, tidak peduli berapa banyak ayat Alkitab yang kita hafal, berapa banyak gelar teologi yang kita peroleh, atau berapa jam kita berdoa. Sebagaimana Paulus mengingatkan jemaat di Korintus, kita melihat melalui cermin secara samar-samar (1Kor. 13:12). Kita hanyalah makhluk terbatas yang terjebak dalam waktu di bumi tanpa kapasitas untuk memahami sepenuhnya narasi kita sendiri, apalagi tujuan-tujuan Allah yang misterius atau rencana jahat si Musuh.

Sampai batas tertentu, pengalaman keraguan kita bergantung pada cara kita memahaminya. Jika kita memahami keraguan sebagai, seperti yang dilontarkan penyair Alfred Lord Tennyson, “lahir dari Iblis” atau mirip dengan penyerang yang menerobos pertahanan kita untuk menghancurkan iman kita, maka keraguan harus dihindari atau disangkal dengan cara apa pun. Namun, itu bukan satu-satunya sudut pandang.

“Menurut saya, keraguan dan iman bukanlah hal yang berlawanan,” kata pakar Perjanjian Baru, Scot McKnight. “Keraguan sering kali melekat pada iman.” Jika kita menyelidiki keraguan kita dan menelusurinya kembali ke sumbernya, keraguan tersebut dapat menyingkapkan pemahaman kita yang salah tentang Tuhan atau upaya kita yang lemah untuk mengendalikan Dia. Dengan demikian, keraguan sebenarnya dapat mendorong kita untuk mendekat kepada Allah dalam kerendahan hati dan memperdalam relasi kita dengan-Nya, dengan mengarahkan doa kita ke arah kejujuran dan keintiman yang lebih besar.

Lalu Bagaimana Kita Berdoa?

Alkitab mendesak kita untuk berdoa tanpa henti dan dengan keyakinan penuh bahwa tidak ada yang dapat memisahkan kita dari kasih Allah (1Tes. 5:17; Rm. 8:38–39). Tidak ada, termasuk keraguan, yang dapat memisahkan kita dari kasih-Nya.

Kita dapat yakin akan dua kebenaran ini: Pertanyaan dan keraguan adalah pengalaman yang umum dialami oleh orang-orang beriman, dan Tuhan rindu agar kita berada dalam relasi dengan-Nya. Sangat tidak masuk akal jika Tuhan mengharapkan kita untuk menyangkal, menghilangkan, atau memilah-milah keraguan kita sebelum berbicara dengan-Nya dalam doa. Bayangkan suatu hubungan pernikahan: Mendiamkan dan menarik diri jarang sekali menyelesaikan konflik atau mendekatkan pasangan. Kemungkinan besar mereka justru akan memperlebar jarak dan mendorong pemikiran akan skenario yang terburuk. Hal yang sama juga berlaku dalam kehidupan kita bersama Tuhan: Ketika keraguan muncul, kita harus tetap dekat dan terbuka serta terus berdoa.

Alkitab memberikan banyak contoh tentang orang-orang yang menunjukkan bahwa seseorang dapat secara bersamaan mempertanyakan Tuhan atau mempertanyakan keampuhan doa sambil terus berelasi dengan Tuhan dalam iman. Contohnya Sara, istri Abraham: Ketika ia mendengar tiga tamu misterius bernubuat bahwa ia akan mempunyai anak laki-laki dalam waktu satu tahun, ia menertawakan kemustahilan janji tersebut (Kej. 18). Namun Tuhan menggenapi janji-Nya, dan Sara dipuji sebagai pahlawan iman karena dia bekerja sama dengan rencana Tuhan meskipun dia ragu (Ibr. 11:11).

Raja Daud, yang tidak pernah menyembunyikan emosinya dari siapa pun, membantu kita memahami bagaimana berdoa meski kita merasa seperti dihempas badai. Mazmur 13 dimulai dengan seruan penuh kegelisahan dan keraguan: “Berapa lama lagi, TUHAN? Kaulupakan aku terus-menerus? Berapa lama lagi Kausembunyikan wajah-Mu terhadap aku? Berapa lama lagi aku harus menaruh kekhawatiran dalam diriku, dan bersedih hati sepanjang hari?” (ay. 2-3). Alih-alih menghindari Tuhan atau berpura-pura tidak bermasalah, Daud malah mendekat kepada Tuhan sambil mengakui keraguan dan kekecewaannya. Ia kemudian berdoa, “Tetapi aku, kepada kasih setia-Mu aku percaya, hatiku bersorak-sorak karena penyelamatan-Mu. Aku mau menyanyi untuk TUHAN, karena Ia telah berbuat baik kepadaku.” (ay. 6), yang menunjukkan bahwa kita tidak dapat mencapai penyembahan yang sejati dengan penyangkalan atau kepura-puraan. Tuhan tidak terancam atau dibatasi oleh keraguan kita—atau ketakutan atau kecemasan kita—karena emosi kita tidak dapat meniadakan karakter-Nya atau melemahkan kuasa-Nya.

Kalau begitu, apa yang Yakobus maksudkan ketika ia memperingatkan bahwa jika orang percaya tidak berdoa dengan iman yang murni, mereka tidak dapat mengharapkan apa pun dari Allah? Mungkin Yakobus mengeluarkan perintah yang dimaksudkan itu bukan untuk membungkam kita saat kita sedang merasa tidak yakin, melainkan, menurut McKnight, ia mengajak orang-orang percaya untuk “percaya sepenuhnya” pada karakter Tuhan—apa pun keadaan mereka. Perbedaan yang tipis ini sangat penting. Kita boleh saja meragukan apa dan mengapa, tetapi kita tidak dianjurkan untuk meragukan siapa. Mungkin Yakobus tidak sedang mengoreksi orang-orang percaya yang merasa tidak yakin, melainkan ia sedang memperingatkan kita untuk tidak menjelek-jelekkan Tuhan.

Pintu menuju Keintiman yang Lebih Mendalam

Respons Yesus terhadap mereka yang memikul keraguan hendaknya memberi kita keyakinan untuk mendekat kepada-Nya, apa pun kondisi emosional kita. Mesias tidak pernah menolak mereka yang benar-benar mencari Dia, meskipun mereka secara terbuka mengakui ketidakpastian mereka. Dua contohnya adalah interaksi Yesus dengan ayah dari anak laki-laki yang kerasukan setan dan dengan murid-Nya, Thomas.

Ketika sang ayah yang putus asa itu memberikan rincian tentang kondisi putranya kepada Yesus, dia menambahkan, “Sebab itu jika Engkau dapat berbuat sesuatu, tolonglah kami dan kasihanilah kami.” Yesus menjawab, “Katamu: Jika Engkau dapat? Tidak ada yang mustahil bagi orang yang percaya!” Lalu, “Segera ayah anak itu berteriak: ‘Aku percaya. Tolonglah aku yang tidak percaya ini’” (Mrk. 9:21–24). Yesus kemudian menyembuhkan putranya.

Dalam bagian yang mungkin paling dikenal mengenai keraguan dalam Perjanjian Baru, Tomas mengutarakan perjuangannya untuk memercayai kisah kebangkitan Yesus: “Sebelum aku melihat bekas paku pada tangan-Nya dan sebelum aku mencucukkan jariku ke dalam bekas paku itu dan mencucukkan tanganku ke dalam lambung-Nya, sekali-kali aku tidak akan percaya” (Yoh. 20:25). Namun Yesus kemudian muncul dan menawarkan kepada Thomas apa yang dia butuhkan: bukti fisik. Seniman Makoto Fujimura menggambarkan aspek yang sering diabaikan dari respons Thomas, dengan menulis dalam Art and Faith, “Mungkin kita harus membingkai ulang pandangan kita tentang rasul ini dan mulai menyebut dia sebagai ‘Tomas yang percaya.’ Lagi pula, setelah undangan itu diberikan, Tomas merasa tidak perlu lagi menyentuh luka-luka Yesus. Imannya memungkinkan dia untuk bergerak melampaui ‘bukti’ dari janji Tuhan.”

Dalam upaya meredakan ketidakpastian murid ini, Yesus berbicara melintasi abad untuk menormalisasi pertanyaan dan keraguan serta meyakinkan kita bahwa semua itu tidak perlu menjadi penghalang terhadap keintiman dengan-Nya. Kita dapat percaya bahwa Kristus tidak akan berpaling dari kita, bahkan ketika iman kita goyah.

Dengan memperhatikan keraguan kita daripada menyangkalnya atau menyalahkan diri sendiri, kita dapat berduka ketika Tuhan tidak menjawab doa seperti yang kita harapkan, melepaskan keyakinan kita yang salah dan harapan yang tidak realistis, serta mengembangkan kehidupan doa yang lebih intim. Keraguan tidak membuat kita tidak boleh berdoa. Bahkan, keraguan seharusnya mendorong kita untuk berdoa lebih banyak lagi, karena kasih dan kesetiaan Tuhan mungkin merupakan satu-satunya hal yang cukup kuat dan benar untuk menghilangkan keraguan tersebut.

Dorothy Littell Greco adalah seorang fotografer, penulis, dan pengarang buku Marriage in the Middle: Embracing Midlife Surprises, Challenges, and Joys.

Artikel ini adalah bagian dari edisi khusus CT Teach Us to Pray: Women’s Perspectives on Deepening our Engagement in Life with God. Anda dapat membaca edisi lengkapnya di sini.

Diterjemahkan oleh Fanni Leets.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, Instagram, atau Whatsapp.

Undangan yang Diperbarui untuk Mencari Kerajaan Allah

Dalam masa-masa yang sulit ini, kami ingin berfokus pada panggilan Yesus untuk mengejar kehendak-Nya.

Christianity Today July 25, 2024
Illustration by Elizabeth Kaye / Source Images: Unsplash

Anggaplah ini sebagai sebuah perkenalan ulang.

Pada edisi Maret, saya menjelaskan bahwa tahun 2024 akan menjadi tahun transformatif bagi Christianity Today. Majalah ini adalah deposit pertama atas janji tersebut. Segala sesuatu mulai dari logo hingga warna, jenis huruf, tata letak, dan strukturnya telah dirancang ulang dan dibuat ulang. Kami harap Anda setuju bahwa hal ini memberikan pengalaman yang lebih menarik. Kami ingin setiap edisi menjadi sebuah permata, karya seni, festival cerita dan gagasan yang menyampaikan kekayaan hidup serta pemikiran bersama Kristus dan gereja-Nya.

Selama sisa tahun ini, saya akan menjelaskan mengapa kami mengambil langkah ini. Untuk sekarang, saya ingin menjelaskan bahasa yang akan sering Anda lihat di samping logo CT.

Sebelum saya bergabung dengan Christianity Today, saya memimpin sebuah agensi kreatif yang membantu ratusan organisasi untuk menyempurnakan upaya mereka memperkuat citra merek (branding) dan pesan mereka. Akan tetapi, saya tidak pernah menganggap Christianity Today sebagai sebuah merek. Ini adalah suatu upaya untuk menjelaskan apa artinya mengikut Yesus dengan setia di zaman kita.

Namun, kami punya sebuah undangan yang fundamental. Ini bukan sebuah tagline atau slogan, melainkan sebuah ajakan: Carilah Kerajaan Allah.

Saya akan membahas lebih banyak tentang panggilan kita bagi Kerajaan Allah dalam terbitan berikutnya. Untuk saat ini, saya ingin menyampaikan satu hal yang sederhana.

Kerajaan Allah itu sulit dipahami. Yesus mengumpamakannya seperti benih, mutiara, harta terpendam, kebun anggur, dan perjamuan. Dia berbicara tentang “rahasia Kerajaan Surga” (Mat. 13:11) dan memanggil kita untuk tidak mengejar hal-hal duniawi, melainkan “carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya” (6:33).

Seingat saya, “Seek Ye First” (“Carilah Dahulu”) adalah lagu pertama yang saya nyanyikan. Itu terjadi sebelum saya dibaptis, sebelum saya mengenal Yesus, sebelum saya mengetahui betapa indah dan terpuruknya dunia serta gereja. Namun, dalam kesederhanaannya, lagu ini menjadi undangan yang memanggil saya kepada Kristus dan untuk melayani pemerintahan Kristus yang penuh kasih di dunia.

Mungkin kita tidak selalu mengenali Kerajaan itu saat kita melihatnya. Akan tetapi kita harus tahu apa yang bukan merupakan Kerajaan itu. Dunia saat ini terpecah-belah oleh peperangan dan kebencian, penindasan dan pelecehan, serta penghinaan terhadap kebenaran dan kebajikan. Gambar sampul depan kami menunjukkan sebuah gereja, seperti pakaian Yesus di kaki salib, yang dibagi-bagi demi kekuasaan dan keuntungan. Ini bukan seperti itu. Ini bukan Kerajaan Allah.

Namun kami mengundang Anda untuk mencarinya bersama kami. Dalam Kitab Suci. Dalam pekerjaan Tuhan di seluruh planet ini. Dalam kehidupan individu dan keluarga, dekat dan jauh, yang membawa Yesus ke tempat-tempat yang hancur. Carilah harapan, carilah Yesus, carilah Kerajaan Allah, dan mungkin bersama-sama kita akan menemukannya.

Timothy Dalrymple adalah presiden dan CEO Christianity Today.

Diterjemahkan oleh Denny Pranolo.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, Instagram, atau Whatsapp.

Tolong! Saya Berhenti Peduli tentang Tuhan

Penyebab orang Kristen terjerumus dalam apati rohani, dan cara mereka bisa pulih.

Christianity Today July 25, 2024
Sumber Gambar: Alex Mccarthy / Unsplash / Diedit oleh Rick Szuecs

O rang-orang percaya sering menggambarkan kehidupan Kristen sebagai serangkaian puncak dan lembah, dengan masa-masa pemuridan penuh sukacita, diikuti dengan masa-masa kelesuan rohani. Uche Anizor, seorang profesor Sekolah Teologi Talbot, di Universitas Biola, menulis sebuah karya untuk mereka yang sedang bergumul dengan susah payah untuk melewati lembah kehidupan mereka. Karyanya berjudul Overcoming Apathy: Gospel Hope for Those Who Struggle to Care (Mengatasi Apati: Pengharapan Injil bagi Mereka yang Bergumul untuk Peduli). Matthew LaPine, seorang pendeta dan penulis topik teologi dan psikologi, berbicara dengan Anizor tentang penyebab apati rohani dan jalan untuk dapat kembali mengejar Tuhan dengan penuh gairah.

Overcoming Apathy: Gospel Hope for Those Who Struggle to Care

Overcoming Apathy: Gospel Hope for Those Who Struggle to Care

Crossway

192 pages

$12.49

Apa yang memotivasi Anda untuk menulis sebuah buku tentang sikap apatis di kalangan orang Kristen?

Ada dua motivasi. Yang pertama berasal dari pengalaman di awal kehidupan kristiani saya, terutama ketika saya melayani bersama Campus Crusade for Christ. Pada dasarnya, tugas saya adalah membimbing para mahasiswa dan melakukan penginjilan secara rutin. Namun, ada kalanya saya merasa takut menghadapi tugas-tugas rohani yang sangat besar ini. Hal itu membuat saya gelisah: Saya telah mengumpulkan dukungan untuk mengerjakannya, tetapi ketika tiba saatnya untuk melakukannya, saya menjadi tidak terlalu berniat mengerjakannya. Rasa takut untuk melakukan penginjilan mungkin salah satu faktornya. Namun secara keseluruhan, ada rasa “kurang bersemangat” dalam sikap saya. Selama masa itu, saya berkali-kali memberitahu orang-orang bahwa kelemahan utama saya sebagai seorang Kristen adalah menjadi orang yang apatis. Jadi, saya ingin mencari tahu mengapa hal itu terjadi.

Motivasi saya yang lain berasal dari pengalaman saya membimbing banyak mahasiswa selama saya berada di Universitas Biola bertahun-tahun. Mereka bergumul dengan masalah-masalah biasa, tetapi menurut saya yang paling utama adalah ketidakpedulian terhadap kehidupan rohani mereka. Secara intelektual, mereka tahu pentingnya memahami teologi, mengasihi Yesus, dan menjalani kehidupan kristiani. Namun mereka tidak bisa membuat diri mereka peduli sebagaimana yang mereka pahami, padahal jauh di lubuk hati, mereka seharusnya peduli.

Terkait kecenderungan sikap apatis, apakah Anda melihat adanya perbedaan dalam setiap generasi?

Apati dapat ditemukan di setiap generasi. Akan tetapi setiap orang memproses dan mengevaluasinya dengan cara yang berbeda. Ironisnya, saat ini orang-orang yang lebih muda sering kali jauh lebih sadar secara emosional dibanding orang-orang yang lebih tua. Mereka sadar akan dunia batinnya, cukup sadar sehingga mau membicarakannya secara terbuka. Namun saya tidak yakin bahwa kesadaran itu menuntun mereka untuk menghadapi apa yang terjadi di dalam batin mereka. Teman-teman mereka mungkin berkata, “Ya, saya dapat memahami hal tersebut.” Akan tetapi mereka semua terjebak dalam kubangan penegasan terhadap diri sendiri.

Generasi sebelumnya mungkin kurang menyadari secara emosional. Andaikata pun mereka merasa apatis, mereka akan tetap berusaha menyembunyikannya dan menyelesaikan pekerjaan mereka, sedangkan generasi muda yang sadar secara emosi ini mungkin akan berhenti melakukan sesuatu ketika mereka tidak merasakan gairah yang tulus. Jika mereka merasa apatis terhadap hal-hal yang berkaitan dengan Tuhan, mereka akan cenderung tidak mau melanjutkan untuk mengejar hal-hal tersebut.

Bagaimana Anda membedakan antara apati dan perasaan-perasaan yang hampir mirip seperti depresi, putus asa, dan “masa kekeringan”?

Penting untuk dicatat bahwa saya tidak menggunakan istilah apati dalam pengertian klinis, melainkan dalam kaitannya dengan hal-hal yang seharusnya dihargai oleh orang Kristen, yaitu hal-hal yang terkait dengan Tuhan. Ada hal yang tumpang tindih antara apati rohani dan depresi. Namun ada karakteristik tertentu yang unik untuk kedua hal tersebut. Depresi berkaitan dengan hal-hal seperti keinginan bunuh diri dan kurangnya energi atau motivasi di setiap bidang kehidupan.

Namun apati cenderung lebih selektif. Dengan para orang muda yang saya bimbing, mereka tidak apatis terhadap segala hal. Mereka mungkin cukup bersemangat terhadap game, atau pacar mereka, atau tim basket profesional idola mereka. Namun depresi cenderung lebih meresap, dan mungkin memerlukan terapi atau bentuk perawatan lain yang tidak selalu berlaku untuk apati.

Mengenai keadaan tidak bersemangat karena hilang harapan (despondency), saya mendefinisikannya sebagai kesedihan yang mendalam, atau merasa terhilang, terutama jika berkaitan dengan hal-hal tentang Tuhan. Jika kita berurusan dengan keadaan ini dan bukan apatis, maka yang paling dibutuhkan oleh orang yang mengalami hal tersebut adalah penghiburan.

Pada saat mengalami masa kering rohani, atau yang kita sebut sebagai malam kelam jiwa, kita berurusan dengan sesuatu yang baik dan diatur secara ilahi. Tuhan menghendakinya untuk kebaikan kita. Orang yang mengalami masa kering rohani hanya butuh bantuan untuk bertahan melewatinya dan terus bersandar kepada Tuhan.

Dalam buku ini, Anda menguraikan beberapa kemungkinan penyebab apati, dari yang bersifat situasional hingga spiritual. Bagaimana seseorang dapat menguraikan penyebab-penyebab yang memungkinkan ini?

Banyak orang yang bingung dengan sikap apatis mereka. Dalam buku tersebut, saya menyajikan tujuh kemungkinan penyebabnya, gabungan dari faktor internal dan eksternal. Saya menyadari bahwa saya bisa saja mengemukakan lebih banyak lagi, tetapi tujuannya adalah untuk menawarkan beberapa bantuan untuk diagnosis diri—seperti sebuah cermin yang membantu menilai di mana Anda berada. Mungkin, misalnya, deskripsi saya tentang keraguan rohani terasa benar bagi Anda. Atau mungkin Anda telah tenggelam dalam hal-hal yang sepele dan tidak lagi peduli terhadap segala sesuatu. Atau mungkin Anda baru saja berhenti melakukan segala sesuatu yang berkaitan dengan Tuhan, sehingga Anda secara alami menjadi acuh tak acuh. Jika salah satu dari penyebab-penyebab ini tampaknya tidak cocok, lanjutkan ke penyebab berikutnya. Buku ini dimaksudkan untuk menjadi semacam teman bicara.

Dalam kasus Anda sendiri, Anda menggambarkan bagaimana masa apati Anda muncul dari keraguan dan depresi. Dapatkah penyebab rohani dan non-rohani saling menguatkan satu sama lain?

Apati dapat memiliki penyebab yang tidak jelas secara moral maupun spiritual. Misalnya tentang dukacita. Alkitab tidak menganggap dukacita sebagai sesuatu yang bermasalah atau berdosa. Kita semua berduka, meskipun kita diharapkan tidak berduka seperti orang-orang yang tidak punya pengharapan. Jadi meskipun dukacita termasuk dalam kategori yang tidak terkait dengan prinsip moral, tetapi dukacita dapat berkontribusi pada hilangnya harapan, yang merupakan sesuatu yang cenderung mengarah pada sikap apatis. Ada hal-hal lain—seperti memperhatikan media secara berlebihan atau mengalami bentuk-bentuk keraguan tertentu—yang mungkin awalnya tidak menjadi masalah, tetapi dapat mengarah pada apati jika hal tersebut salah ditangani atau terlalu dimanjakan.

Anda menyarankan untuk memerangi apati melalui kultivasi—menggabungkan metafora militer dengan istilah perkebunan. Mengapa kombinasi ini?

Metafora pertempuran mengomunikasikan bahwa kita dipanggil untuk terlibat dalam peperangan rohani yang nyata melawan kedagingan dan si Jahat. Ini bukanlah kekristenan yang pasif. Ini bukan “Lepaskan, biarkan Tuhan bekerja.” Kita sedang terlibat dalam sebuah peperangan.

Namun, peperangan ini tidak terjadi pada momen penentuan di mana saya mengambil pedang Roh, membaca beberapa ayat Alkitab, membunuh Iblis, dan melanjutkan hidup. Mengatasi apati memerlukan pengelolaan kehidupan yang penuh hikmat, integritas, dan kekudusan.

Anda menulis tentang pentingnya mengembangkan komunitas, kasih sayang, makna, misi, kemurahan hati, dan ketabahan. Apa hal yang paling penting dalam perjalanan Anda untuk keluar dari apati rohani?

Menurut saya, komunitas—baik komunitas gereja maupun komunitas Kristen secara umum. Berada bersama umat Tuhan telah membuat saya tetap bertahan di masa-masa sulit, terutama saat saya bergumul dengan keraguan. Berkumpul bersama orang-orang Kristen biasa dan mengambil bagian dalam kehidupan gereja adalah kuncinya. Memiliki persahabatan yang dekat dengan orang-orang yang bersemangat sangatlah membantu.

Saya menyadari bahwa sangat penting untuk tidak menghabiskan waktu hanya bersama orang-orang yang sedang mengalami kebuntuan, seperti saya. Saya tidak mengatakan bahwa kita menjauhkan diri dari orang-orang yang sedang bergumul. Akan tetapi, penting untuk memiliki akuntabilitas atas masalah ini, terutama dari mereka yang berjuang untuk bersemangat kembali dan menjadi contoh nyata dari hal tersebut.

Apa harapan terbesar Anda untuk buku ini?

Saya berharap mereka yang sedang bergumul dengan apati dapat memahami dengan jelas bahwa Tuhan ada bagi mereka dan bersama mereka. Bapa telah memberi Putra dan Roh-Nya kepada kita, yang memampukan kita untuk mengatasi apati dalam kehidupan kita. Saya berharap buku ini dapat memberikan harapan nyata kepada orang-orang bahwa perubahan itu bisa terjadi, sekalipun tidak ada solusi yang dapat dilakukan. Apati bukanlah takdir. Idealnya, buku ini dapat menawarkan beberapa sarana untuk membantu orang-orang melakukan langkah-langkah kecil untuk mengatasinya.

Diterjemahkan oleh Janesya S.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, Instagram, atau Whatsapp.

Saya Tidak Bunuh Diri. Namun Saya Mati secara Rohani.

Penjara itu mengidentifikasi orang yang salah. Namun kesalahan itu justru menyingkapkan sesuatu yang luar biasa.

Christianity Today July 25, 2024
Margaret Ferrec

Saya terbangun oleh suara para petugas lembaga pemasyarakatan yang tergesa-gesa bergegas masuk ke setiap blok sel, dengan kunci-kunci yang berdenting, radio genggam yang terus berbunyi, dan suara lantang mereka yang menginterogasi para tahanan. Mereka mencoba mencari tahu apakah ada di antara kami yang telah mengejek atau meneror José sedemikian rupa sehingga menyebabkan dia bunuh diri, walaupun sebenarnya kejadian seperti ini cukup umum terjadi di penjara Pulau Rikers di New York City.

Saya tidak terlalu tahu banyak tentang José. Bahkan, saya tidak yakin itu nama depan dia yang sebenarnya. Namun, saya tahu bahwa nama belakang dia sama dengan saya (Vega) dan dia tidur di sel persis di depan sel saya.

Saya masih tidak habis pikir bagaimana dia bisa bunuh diri. Salah satu tahanan mengatakan dia gantung diri di langit-langit sel. Yang lain berspekulasi bahwa dia mengikat seprai ke tempat tidur sambil menggunakan berat badannya untuk mencekik dirinya sendiri saat dia menjatuhkan diri ke lantai. Apa pun itu, perbuatannya sudah selesai dan final.

Betapapun tragisnya kematian José, dalam beberapa hal peristiwa itu telah membawa saya pada jalan untuk menjadi seorang Kristen. Anehnya, hal ini terjadi terutama karena kesalahan seorang petugas penjara yang salah mengidentifikasi saya sebagai seorang tahanan bernama Vega yang telah melakukan bunuh diri. Pihak penjara pun mengirimkan seorang pendeta ke rumah keluarga saya untuk menyampaikan kabar buruk tersebut. Di tengah kebingungan yang terjadi seiring dengan ditutupnya Pulau Rikers sementara waktu akibat insiden tersebut, keluarga saya tidak mengetahui kebenarannya sampai beberapa hari kemudian. Yang mereka tahu, saya sudah meninggal.

Ada sesuatu yang sangat simbolis dalam hal bagaimana saya “mati” tetapi belum dikuburkan. Mengingat kembali momen ini dalam hidup, saya percaya Tuhan mulai menunjukkan kepada saya bahwa meskipun saya hidup secara jasmani, tetapi saya tidak bernyawa secara rohani. Ia pun mulai menunjukkan kepada saya bahwa kehidupan sejati hanya bisa ditemukan dengan mati bagi diri sendiri.

Saya dilahirkan dalam keluarga sederhana dan dibesarkan di lingkungan pusat kota New York City yang dikenal sebagai Hell’s Kitchen. Sebagai anak tertua dari empat bersaudara, saya memiliki kecintaan dan bakat dalam olahraga bisbol, dan keluarga saya membayangkan suatu hari kelak saya bermain untuk New York Yankees.

Namun seiring saya bertumbuh dewasa, hidup saya kurang teratur dan tidak disiplin, dan saya hidup terlalu bebas sebagai seseorang yang masih sangat muda kala itu. Saya juga bergumul dengan rasa rendah diri dan kebutuhan untuk diterima orang lain. Dibanding anak-anak lain di lingkungan saya, tubuh saya kecil dan secara fisik tidak menarik, sehingga menyebabkan saya digerogoti perasaan tidak mampu dan tidak aman. Untuk mengatasi emosi-emosi ini dan mengamankan tempat saya di tengah “kerumunan,” saya mengambil serangkaian pilihan yang merusak—terlibat dengan alkohol, narkoba, dan pergaulan bebas—yang menghancurkan impian saya untuk bermain bisbol profesional.

Saya mulai minum alkohol pada usia 11 tahun. Pada usia 13 tahun, saya mulai mengisap ganja dan akhirnya beralih ke obat-obatan terlarang seperti kokain dan heroin, yang dengan cepat berkembang menjadi kecanduan berat. Saya menikmati sensasi yang saya terima saat itu, tetapi saya benci perasaan saya setelah efeknya hilang. Satu-satunya cara untuk melepaskan diri dari rasa sakit, rasa malu, dan rasa bersalah yang disebabkan oleh narkoba adalah dengan memakai narkoba tersebut untuk mendapatkan kelegaan, yang akhirnya menjerat saya dalam lingkaran setan.

Menjual narkoba demi mendukung kebiasaan saya itu membuat saya keluar masuk penjara. Setiap kali saya masuk penjara, saya akan segera membuat berbagai rencana untuk bisa keluar. Akan tetapi, seperti yang pernah dikatakan petinju Mike Tyson, “Setiap orang punya rencana sampai mulutnya mendapat pukulan” (Penjelasan: Kita sangat mudah membuat rencana, tetapi sangat susah menaatinya ketika kita mengalami situasi yang sulit dan tak terduga). Saya tidak melakukan instrospeksi yang jujur kepada diri saya sendiri, yang mungkin diperlukan saat itu untuk mengubah arah hidup saya.

Setelah bebas, saya berpikir akan mencari pekerjaan di mana saja, mungkin di toko ritel, mungkin sebagai kurir atau pengantar barang, mungkin sebagai tenaga pemasaran via telepon, atau mungkin melakukan pekerjaan serabutan lainnya. Pada satu titik, saya bahkan pernah punya penghasilan tetap dan baik dengan bekerja di sebuah rumah sakit di Syracuse. Akan tetapi saya biasanya selalu berakhir dengan berhenti atau dipecat. Hal-hal yang bersifat materi tidak dapat mengubah hati yang susah diatur.

Setelah beberapa kali mendekam di penjara, secercah harapan datang dari Michelle, yang masuk dalam kehidupan saya dengan gaya dan pesonanya sendiri. Saya merasa dia berbeda dari gadis-gadis lainnya. Saya berkata dalam hati, “Dia harus menjadi milik saya.” Kami pun berteman, dan akhirnya menjadi akrab.

Namun Michelle menjadi frustrasi dengan segala tindakan dan kecanduan saya yang terus-menerus merusak. Saat itu dia sedang mengandung anak kami, tetapi kami berdua tahu bahwa saya tidak siap untuk memikul tanggung jawab sebagai ayah. Dalam keputusasaannya, dia berpaling kepada Tuhan dan mulai menghadiri pertemuan gereja. Dia dibesarkan dalam keluarga yang sangat taat beragama, yang selalu mengutamakan perilaku baik, tetapi tidak menekankan pentingnya menjalin hubungan pribadi dengan Tuhan yang pengasih dan penuh belas kasihan. Oleh karena ia mendapat dorongan semangat dari sesama orang percaya, dia pun mendoakan keselamatan saya, agar saya dibebaskan dari kehidupan yang merendahkan martabat yang saat itu saya jalani. Dia juga menyarankan agar saya mengikuti program pemulihan Kristen untuk mendapatkan bantuan.

Jika berkaca ke belakang, saya dapat melihat bahwa Tuhan telah mengejar saya bahkan sebelum saya bertemu dengan Michelle. Ada pendeta penjara yang sering mendorong saya untuk membaca Alkitab. Ada seorang tahanan yang berbicara kepada saya tentang Tuhan dan mengundang saya untuk menghadiri kebaktian di The Brooklyn Tabernacle, sebuah gereja yang pernah dia hadiri.

Saya juga mulai merasakan penyesalan dan rasa malu yang mendalam atas penderitaan yang telah saya timbulkan bagi keluarga saya, terutama ibu dan ayah saya. Saya merasa berhutang budi kepada mereka. Jadi saya pun mulai menghadiri kebaktian di kapel penjara. Awalnya, itu saya lakukan hanya untuk memecahkan rasa bosan saya atas kehidupan penjara yang monoton, tetapi tak lama kemudian, saya benar-benar mulai menantikan kegiatan tersebut. Saya selalu sangat tersentuh, bahkan sampai menitikkan air mata, ketika kami menyanyikan lagu “Tuhan Persiapkan Aku menjadi Tempat Kudus-Mu.”

Sejak itu saya mulai membaca Firman Tuhan, dan lambat laun Firman itu melekat kuat di hati saya. Beberapa ayat yang saya pegang teguh selama ini adalah Mazmur 27 dan 91, serta Galatia 5:1-13, yang berbicara tentang kemerdekaan di dalam Kristus dan kebebasan dari “kuk perhambaan” (ay. 1). Seminari saya adalah tempat di mana Roh Kudus menjumpai saya di dalam sel penjara, di mana saya dapat menghabiskan waktu berjam-jam untuk membaca dan berdoa tanpa rasa bosan.

Sementara itu, kasih dan belas kasihan Tuhan kepada saya terlihat sangat jelas. Dia menempatkan mentor-mentor di sepanjang perjalanan hidup saya, yang mengajari saya bagaimana berjalan bersama Tuhan dan menaati Firman-Nya. Ini termasuk sekelompok pria yang berkumpul secara rutin untuk mempelajari Alkitab dan memperkuat hubungan mereka dengan Tuhan. Dengan mengikuti teladan mereka, saya pun memutuskan untuk menyerahkan hidup saya kepada Kristus.

Butuh beberapa waktu lamanya bagi saya untuk memandang Yesus bukan hanya sebagai Juru Selamat saya, tetapi juga sebagai Tuhan saya. Sebagai seorang Kristen baru, saya perlu menyerap hikmat dari Amsal 3:5–7 dengan lebih baik, yang mendorong kita untuk tunduk kepada Allah “dalam segala lakumu,” agar “jangan bersandar pada pengertianmu sendiri,” dan “jangan menganggap dirimu sendiri bijak.” Namun ketika saya bebas dari penjara pada tahun 1996, saya tahu bahwa Kristus telah mengubah saya dari dalam ke luar.

Atas: Alkitab pribadi Hector Vega. Bawah: Bangunan di New York City tempat pertemuan gereja Vega.Margaret Ferrec
Atas: Alkitab pribadi Hector Vega. Bawah: Bangunan di New York City tempat pertemuan gereja Vega.

Sejak saat itu, Tuhan telah membukakan pintu-pintu yang tidak pernah saya duga sebelumnya. Saya menikmati karier yang sukses sebagai seorang eksekutif asuransi. Saya menjabat sebagai direktur eksekutif dan CEO Goodwill Rescue Mission, sebuah program penampungan tunawisma dan pemulihan kecanduan yang berbasis di Newark, New Jersey. Lalu sejak tahun 2009, saya menggembalakan jemaat East Harlem Fellowship di New York City.

Sementara itu, saya telah menikah dengan Michelle selama 30 tahun, dan selama itu kami sudah membesarkan empat orang anak. Saya juga telah melakukan perjalanan ke lima dari tujuh benua dalam beberapa perjalanan misi, memberitakan pesan bahwa di dalam Kristus, ada harapan untuk mengatasi setiap krisis yang kita hadapi dalam hidup ini.

Tidak ada yang mustahil bagi Allah Yang Maha Kuasa! Ketika dunia mencap saya sebagai seorang pecandu dan penjahat berpengalaman, kasih dan belas kasihan-Nya melingkupi saya, menjadi saksi bahwa saya diciptakan menurut gambar-Nya dan layak untuk dipersembahkan sebagai piala kasih karunia-Nya.

Hector Vega adalah penulis buku Arrested by Grace: The True Story of Death dan Resurrection from the Streets of New York City, yang telah ia kirim ke ratusan penjara di seluruh Amerika Serikat.

Diterjemahkan oleh Paul Sagajinpoula.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, Instagram, atau Whatsapp.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube