Bunga-bunga Layu di Taman Harapan

Paskah mengingatkan kita bahwa Tuhan mentransformasi kegagalan manusia.

Christianity Today March 30, 2024
Juj Winn / Getty

Saya pernah membaca suatu kumpulan khotbah dari seorang pendeta yang baru saja kembali dari kunjungan ke Tanah Perjanjian (Israel) dan ia mendapat visi yang luar biasa: Dia akan mendirikan sebuah taman, tempat berdoa, sebuah kapel di kota asalnya di Covington, Kentucky. Taman ini akan membawa Tanah Perjanjian kepada orang-orang yang tidak akan pernah memiliki kesempatan untuk melihatnya.

Dia kemudian membeli sebidang tanah dan mengumpulkan sumbangan. Berbagai bunga dan pohon dari 24 negara dikumpulkan dan ditanam. Toko tukang kayu yang ada di sana pun berisi peralatan dari Nazaret. Sebuah replika kubur yang terbuka pun menambah semarak dari Paskah. Berdiri pula sebuah patung Yesus yang sangat besar, yang dapat terlihat bermil-mil jauhnya, menghadap ke seluruh proyek itu. Pada tahun 1959, setelah 21 tahun pengerjaan, pendeta tersebut pun akhirnya membuka taman impiannya yang indah itu untuk masyarakat umum. Dia menyebutnya “Taman Harapan.”

Namun, tidak lama kemudian, Taman Harapan menjadi sumber kekecewaan. Tanaman dan pepohonan tropis, yang tidak dapat beradaptasi dengan iklim yang baru itu, mulai mati. Namun yang terburuk dari semuanya, karena taman tersebut tidak berhasil menarik jumlah pengunjung seperti yang diharapkan, maka taman itu pun mengalami kesulitan keuangan dan akhirnya bangkrut. Tak lama kemudian, Taman Harapan berubah menjadi sebuah visi yang membawa tragedi. Rumput liar tumbuh di mana-mana. Kapelnya digembok. Dan patung Yesus pun menjadi rusak.

Taman Harapan yang gagal merupakan simbol yang tepat bagi generasi kita. Pada tahun 1960-an, masyarakat di negeri kami dipenuhi dengan optimisme. Kami diberitahu bahwa prospek masa depannya bagus. Tidak ada masalah yang terlalu besar yang tidak dapat diselesaikan jika diberi cukup waktu dan uang. Ekspansionisme pada masa Eisenhower memberi jalan bagi masa pemerintahan “Camelot” yang singkat dan cemerlang dari John F. Kennedy. Setelah tragedi Dallas, pemimpin baru kami, Lyndon Johnson, menghidupkan kembali harapan tersebut, meyakinkan kami bahwa Great Society (Masyarakat Hebat) akan segera diresmikan di Amerika Serikat.

Akan tetapi semua itu telah berubah. Optimisme tidak lagi menjadi kata kunci pada saat ini. Masalah-masalah kita sudah di luar kendali, dan dunia seakan berputar lepas kontrol. Teknologi yang menjanjikan utopia bagi kita ternyata merupakan berkah yang campur aduk. Kemajuan yang sama yang telah menempatkan mobil baru di setiap jalan masuk dan VCR di setiap ruang keluarga, juga telah membawa kami pada mimpi buruk akan kemungkinan terjadinya bencana ekologis. Chernobyl, pembangkit listrik tenaga nuklir di Pulau Three Mile, hutan hujan yang hancur di Brasil, dan lapisan ozon yang menipis, mengingatkan kita bahwa optimisme kita yang naif harus dibayar mahal.

Oleh karena semakin meluasnya perasaan akan tragedi yang membayangi, maka ciri khas zaman kita ditandai dengan pesimisme. Dalam Herzog, Saul Bellow mengatakan seperti ini:

Apa filosofi generasi ini? Bukan “Tuhan yang Mati.” Masa itu sudah lama berlalu. Mungkin harusnya dinyatakan, “Kematian adalah Tuhan.” Generasi ini berpikir—dan ini adalah pemikirannya tentang pemikiran—bahwa tidak ada yang setia, rentan, dan rapuh yang dapat bertahan lama atau memiliki kekuatan yang sejati. Kematian menantikan hal-hal ini seperti lantai semen menunggu kejatuhan bola lampu.

Kematian Harapan

Situasi kita tidaklah unik. Situasi kita mirip dengan pengalaman dunia sekitar dua ribu tahun yang lalu. Seperti dunia kita, dunia saat itu diselimuti kegelapan pekat. Agama-agama tradisional menjadi tidak relevan dan tidak efektif, dan akibatnya, menjadi sekarat. Pertempuran militer yang berulang-ulang memupuskan harapan akan perdamaian. Segmen masyarakat yang luas mengerang di bawah pemerintahan yang kejam, jahat, dan tidak setara. Ada lebih banyak budak di Kekaisaran Romawi daripada warga negaranya. Perempuan diperlakukan tidak lebih dari sekadar harta benda. Nyawa begitu murah sehingga bisa dilempar ke singa atau pertarungan gladiator tanpa mengedipkan mata.

Namun, di tengah kegelapan itu, muncullah sebuah janji pengharapan di lereng bukit Galilea: seorang Nabi yang dielu-elukan sebagai tanda harinya terang. Ia memproklamirkan sebuah pesan yang menggugah tentang kasih dan tentang Allah yang adalah kasih. Pelayanan-Nya disertai dengan berbagai tanda dan mukjizat, yang menurut sang Nabi itu terjadi oleh kuasa Allah.

Pelayanan Nabi dari Nazaret ini menimbulkan pengharapan yang besar. Dalam benak banyak orang, Ia datang untuk memenuhi kerinduan keturunan demi keturunan akan seorang penyelamat bagi Israel, bahkan mungkin bagi seluruh dunia.

Simeon menyambut bayi Yesus di Bait Allah dengan doa yang penuh pengharapan: “Sebab mataku telah melihat keselamatan yang dari pada-Mu, yang telah Engkau sediakan di hadapan segala bangsa, yaitu terang yang menjadi penyataan bagi bangsa-bangsa lain dan menjadi kemuliaan bagi umat-Mu, Israel” (Luk. 2:30–32).

Pelayanan Yesus dari Nazaret menanamkan pengharapan di hati banyak orang. Kehadiran-Nya melahirkan optimisme, karena di dalam diri-Nya tampak bahwa Tuhan bertindak melawan kejahatan. Mungkin masa depan tidak lagi suram, melainkan dapat disambut dengan baik.

Namun optimisme yang diperbarui dan harapan itu, sekali lagi pupus. Pada suatu Jumat pagi yang suram, musuh-musuh Yesus memenjarakan-Nya, dan setelah diadili penuh hinaan, para tentara memakukan sang Nabi di kayu salib. Sekali lagi, kebencian dan kejahatan sepertinya menang.

Penyaliban Yesus menimbulkan kekalahan psikologis di hati para pengikut-Nya. Dua orang murid mengungkapkan perasaan mereka: “Kami sebelumnya berharap bahwa Dialah yang akan menebus Israel.” Dipenuhi dengan kecemasan dan kekecewaan, para murid pun pergi bersembunyi.

Kekalahan dan pesimisme mereka dilambangkan dengan adanya kuburan di luar kota Yerusalem, tempat pemakaman pemimpin mereka yang terbunuh. Bagi mereka, sebidang tanah yang dirancang sebagai taman indah untuk mengenang orang yang wafat, telah berubah menjadi padang belantara keputusasaan. Dan jika kematian pemimpin mereka tidak cukup membawa kesedihan, pada hari Minggu pagi para wanita membawa kabar bahwa jenazah Tuhan mereka telah dicuri. Mereka bukan hanya menyangkal kehidupan dari Orang ini, melainkan bahkan dalam kematian-Nya pun mereka tidak memiliki tempat khusus untuk mengabadikan kenangan akan Dia. Didorong oleh rasa cemas, Petrus dan Yohanes mengesampingkan rasa takut mereka terhadap para prajurit, keluar dari tempat persembunyian mereka, dan bergegas menuju ke kubur untuk melihat sendiri. Mungkinkah ada orang yang benar-benar telah melakukan hal ini?

Namun kemudian bagi Yohanes, dan juga bagi yang lainnya, belantara keputusasaan mereka berubah menjadi taman pengharapan—yaitu harapan di tingkat yang lebih tinggi. Allah di dalam Yesus tidak hanya bertindak melawan kekuatan-kekuatan jahat, melainkan juga melawan maut itu sendiri. Keyakinan ini mengobarkan harapan baru di dalam diri para murid, yang dihasilkan oleh realitas yang menakjubkan dari kebangkitan Tuhan Yesus Kristus.

Perhatikan bahwa transformasi para murid tidak terjadi karena dunia mereka telah berubah. Situasi yang mereka hadapi pada hari Minggu tidak berbeda dengan kenyataan suram yang terjadi pada hari Jumat. Roma masih menduduki Palestina. Para penguasa Yahudi masih bersikeras menentang pesan Yesus. Kejahatan pun masih merajalela.

Perubahan radikal dari keputusasaan menjadi pengharapan itu terjadi karena adanya penambahan perspektif baru dalam menghadapi realitas lahiriah yang menimbulkan pesimisme yang melanda dunia abad pertama. Maut telah ditaklukkan oleh Yesus, dan karena itu setiap musuh pada prinsipnya telah dikalahkan oleh Tuhan yang bangkit. Oleh karena dimensi yang baru ini, ketakutan dan kesuraman para murid diubah menjadi keberanian dan sukacita. Dikuatkan oleh kenyataan ini, para lelaki dan perempuan ini pun keluar dari situasi tersebut dan menjungkirbalikkan dunia mereka beserta permasalahannya.

Sebuah Perspektif Baru

Kubur Yesus masih kosong. Sebab itu, hasil yang sama tetap mungkin terjadi bagi kita: Pengharapan di tingkat yang tertinggi. Alasannya karena keputusan terakhir tetap berada di tangan Yesus, dan bukan di tangan para musuh-Nya, bahkan bukan pula di tangan para musuh-Nya di akhir abad ke-20 sekalipun. Allah sungguh telah berkarya di dalam Yesus dan akan berkarya lagi demi keselamatan dunia. Oleh karena pengharapan ini, sebuah perubahan dapat terjadi di dalam hati setiap orang yang hidup. Ketakutan dan keputusasaan dapat memberi jalan pada keberanian dan sukacita yang mengubahkan dunia.

Meski demikian, transformasi dari keputusasaan menjadi pengharapan tidak terjadi karena pandangan kita terhadap kubur kosong secara otomatis mengubah situasi eksternal kita. Sebaliknya, masalah-masalah buruk yang kita hadapi masih tetap ada. Akan tetapi, harapan menjadi mungkin karena Tuhan memberi kita sebuah perspektif yang baru dalam situasi yang menakutkan ini. Yesus telah menaklukkan maut dan kejahatan. Oleh karena itu, setiap musuh pada prinsipnya juga telah dikalahkan bagi kita.

Kubur yang kosong mengubah pesimisme dan keputusasaan kita menjadi optimisme dan pengharapan. Kita berharap penuh akan nasib kita masing-masing, karena Roh Kudus yang sama yang telah meregenerasi roh kita suatu hari nanti akan mengubah tubuh kita, menjadikan kita serupa dengan gambaran Kristus yang telah bangkit. Kita juga menaruh harapan penuh pada gereja, karena Tuhan yang telah bangkit menjanjikan kemenangan kepada umat-Nya dalam menyelesaikan mandat untuk menginjili dan melayani dunia: “Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” Kita juga berharap penuh untuk sejarah itu sendiri. Mungkin dunia tampaknya telah lepas kendali, tetapi Yesus yang bangkit tetaplah Tuhan. Masa depan mungkin tampak suram, dan kita mungkin dikelilingi oleh kegelapan. Namun di akhir dari sejarah, yang memberi makna pada sejarah, berdirilah Tuhan Yesus Kristus yang telah bangkit, yang mengundang kita untuk mengikut Dia, untuk bergerak maju di bawah arahan-Nya dan dalam kuasa kekuatan-Nya.

Diterjemahkan oleh: Vika Rahelia.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Our Latest

Laporan Lausanne: Sebagian Besar Misionaris Menjangkau yang Sudah Terjangkau

Laporan Keadaan Amanat Agung (The State of the Great Commission) menelaah tantangan dan peluang di tengah lanskap misi yang terus berubah.

Ketika Pelayanan Melukai Keluarga Anda

Nasihat yang berasal dari pengalaman sulit untuk menyeimbangkan antara keluarga dan pekerjaan Tuhan.

Saya Menemukan Penghiburan dalam Pahlawan Ilahi

Sebuah mazmur yang mencengangkan mengubah pandangan saya tentang kehadiran Allah selama masa-masa pencobaan.

Gereja Adalah Keluarga, Bukan Acara

Alkitab menyebut sesama orang Kristen sebagai “saudara laki-laki dan perempuan,” tetapi seberapa sering kita memperlakukan mereka sebagai keluarga?

News

Wafat: Andar Ismail, Penulis Produktif yang Membuat Teologi Menjadi Sederhana

Dengan seri Selamat karyanya, pendeta Indonesia ini menulis lebih dari 1.000 cerita pendek yang menyoroti kehidupan dan ajaran Yesus.

Kematian karena Swafoto

Kita tidak akan pernah melihat kemuliaan Tuhan jika kita hanya melihat pada diri kita sendiri.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube