Lima Kesalahan yang Harus Dihapus Dari Khotbah Paskah Anda

Jika Anda ingin menolong jemaat memandang Minggu Paskah dengan pandangan yang lebih segar, mulailah dengan menghapus beberapa kesalahan ini.

The Bridgeman Art Library Kristus di hadapan Pilatus, Mihaly Munkacsy (1880)

The Bridgeman Art Library Kristus di hadapan Pilatus, Mihaly Munkacsy (1880)

Christianity Today April 14, 2022
The Bridgeman Art Library

1. Jangan katakan Yesus wafat pada usia 33 tahun.

Ada pernyataan umum yang tampaknya masuk akal bahwa jika Yesus “memulai pelayanan-Nya” ketika Ia “berusia sekitar tiga puluh tahun” (Luk. 3:23) dan melayani selama tiga tahun (Injil Yohanes menyebutkan tiga Passover (Paskah orang Yahudi), dan mungkin juga ada Paskah keempat), maka Ia berusia 33 tahun pada saat kematian-Nya. Namun, hampir tidak ada seorang pun ahli yang percaya bahwa Yesus benar-benar berusia 33 tahun ketika Ia wafat. Yesus lahir sebelum Herodes Agung mengeluarkan perintah untuk membunuh “semua anak di Betlehem dan sekitarnya, yaitu anak-anak yang berumur dua tahun ke bawah” (Mat. 2:16) dan sebelum Herodes wafat pada musim semi tahun 4 SM. Jika Yesus lahir pada musim gugur tahun 5 atau 6 SM, dan jika kita ingat bahwa kita tidak menghitung tahun “0″ antara pergantian SM dan Masehi, maka Yesus kemungkinan berusia 37 atau 38 tahun ketika Ia wafat pada musim semi 33 Masehi (kami yakini ini adalah penanggalan yang paling memungkinkan). Bahkan jika Yesus wafat pada tahun 30 Masehi (satu-satunya alternatif penanggalan yang memungkinkan), maka Ia berusia 34 atau 35 tahun, bukan 33 tahun. Memang tidak ada doktrin utama yang akan terpengaruh oleh kesalahpahaman umum ini. Tetapi jangan merusak kredibilitas Anda dengan menyatakan “fakta” yang tidak benar di mimbar dengan penuh percaya diri.

The Final Days of Jesus: The Most Important Week of the Most Important Person Who Ever Lived

The Final Days of Jesus: The Most Important Week of the Most Important Person Who Ever Lived

Crossway

224 pages

$12.94

2. Jangan menjelaskan ketiadaan hidangan anak domba pada Perjamuan Terakhir dengan mengatakan bahwa Yesus adalah Anak Domba Paskah yang terpenting.

Meskipun memang benar bahwa Yesus adalah “… Anak domba Allah, yang menghapus dosa dunia” (Yoh. 1:29), namun ini bukan berarti tidak ada hidangan anak domba Paskah secara jasmani pada Perjamuan Terakhir. Bahkan, bisa dikatakan hidangan tersebut hampir pasti ada: “Maka tibalah hari raya Roti Tidak Beragi, yaitu hari di mana orang harus menyembelih domba Paskah [pascha]. Lalu Yesus menyuruh Petrus dan Yohanes, kata-Nya, ‘Pergilah, persiapkanlah perjamuan Paskah [pascha] bagi kita, supaya kita makan [i.e., pascha]’” (Luk. 22:7–8; lih. Mrk. 14:12). Meskipun tidak disebutkan secara spesifik dalam catatan Injil, namun memakan hidangan anak domba Paskah adalah bagian penting dari setiap perayaan Paskah orang Yahudi (Kel. 12:3). Inilah sebabnya mengapa para murid makan bersama secara berkelompok, pada malam hari, di dalam kota, di mana hidangan tersebut akan dinikmati bersama dengan anggur merah dan dikonsumsi sebelum memecah roti dan menyanyikan lagu pujian. Meskipun terdapat ketidaksepakatan tentang natur Perjamuan Terakhir ini, menurut kami jelas bahwa Yesus merayakan Paskah Yahudi dengan kedua belas murid pada malam sebelum penyaliban—dan Yesus memperjelas bahwa Ia memandang diri-Nya di dalam tradisi penyelamatan dari Allah yang perkasa atas umat-Nya, Israel, dari perbudakan di Mesir melalui darah anak domba yang dikorbankan.

3. Jangan mengatakan bahwa kerumunan orang banyak yang menyembah Yesus pada hari Minggu Palma adalah orang-orang yang sama yang menyerukan penyaliban-Nya pada Jumat Agung.

Pernyataan semacam ini memang dapat menjadi suatu poin khotbah yang kuat untuk menggambarkan betapa mudah goyahnya hati manusia ketika diperhadapkan dengan Yesus sang Mesias. Namun beberapa hal perlu diperhatikan. Pertama, tidak ada bukti yang sepenuhnya jelas bahwa orang banyak yang berteriak “Hosana!” ketika Yesus masuk dengan kemenangan adalah kelompok orang yang sama dengan mereka yang berteriak “Salibkan Dia!” di depan Pontius Pilatus. Kelompok yang pertama tampaknya sebagian besar adalah peziarah dari Galilea yang ikut berjalan bersama dengan murid-murid Yesus, sedangkan kelompok yang kedua tampaknya sebagian besar berasal dari Yerusalem. Kedua, dua kelompok orang banyak tersebut mengekspresikan semangatnya berdasarkan pemahaman yang keliru. Saat Yesus masuk ke Yerusalem dengan mengendarai seekor keledai muda, kegembiraan orang-orang yang memproklamirkan “Hosana!” didasarkan pada pemahaman konsep nasionalistik yang keliru tentang Mesias. Dan ketika Yesus berdiri bersama Pontius Pilatus di hadapan orang-orang Yahudi Yerusalem, yang digerakkan oleh para pemimpin mereka yang memberi tuduhan palsu terhadap Yesus terkait penghujatan, penghukuman mereka juga didasarkan pada kesalahpahaman tentang identitas Mesias. Jadi kesamaan di antara dua kelompok ini bukanlah soal mudah goyahnya hati manusia, melainkan karena kurangnya pengetahuan dan penyembahan yang tulus terhadap Sang Mesias yang rendah hati dan Sang Hamba yang menderita.

4. Jangan mengabaikan peran wanita sebagai saksi kebangkitan Kristus.

Jumlah dan identitas para wanita dalam kisah kebangkitan mungkin akan sulit untuk dijelaskan. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa kami menyediakan glosarium dalam buku The Final Days of Jesus sebagai panduan. Sebagai contoh, salah satu hal yang membingungkan adalah bahwa sedikitnya ada empat wanita yang bernama Maria: (1) Maria Magdalena; (2) Maria ibu Yesus; (3) Maria ibu Yakobus dan Yoses/Yusuf; dan (4) Maria istri Kleopas (kemungkinan merupakan saudara Yusuf dari Nazaret). Selain itu, ada juga Yohana (yang bersuami Khuza, yang merupakan bendahara Herodes Antipas) dan Salome (kemungkinan merupakan ibu dari rasul Yakobus dan Yohanes).

Ketika Anda mengkhotbahkan Paskah tahun ini, jangan mengabaikan kesaksian para wanita ini sebagai hal-hal kecil yang insidental semata. Pada abad pertama, para wanita bahkan tidak memenuhi syarat untuk bersaksi di persidangan hukum Yahudi. Yosephus mengatakan bahwa bahkan kesaksian banyak wanita pun tidak dapat diterima “karena kesembronoan dan kelancangan mereka.” Celsus, seorang kritikus Kristen abad kedua, pernah mengejek gagasan tentang Maria Magdalena sebagai saksi utama dari kebangkitan, dengan menyebutnya sebagai “wanita yang histeris … yang tertipu oleh … sihir.”

Latar belakang ini penting karena menunjukkan dua kebenaran yang krusial. Pertama, ini adalah suatu pengingat teologis bahwa Kerajaan Mesias mengubah sistem dunia tepat di titik utamanya. Dalam budaya ini, Yesus secara radikal menegaskan martabat sepenuhnya dari para wanita dan nilai vital kesaksian mereka. Kedua, ini adalah suatu pengingat apologetik yang kuat tentang keakuratan sejarah dari kisah kebangkitan. Jika kisah kebangkitan ini merupakan “dongeng-dongeng isapan jempol manusia” (2Ptr. 1:16), maka para wanita tidak akan pernah ditampilkan sebagai saksi mata yang pertama dari Kristus yang bangkit.

5. Jangan berfokus hanya pada kesengsaraan Yesus sampai-sampai Anda mengabaikan kemuliaan salib di dalam dan melalui Kebangkitan.

Tradisi Kristen tertentu cenderung berfokus sepihak hanya pada kesengsaraan Yesus di kayu salib, pada penderitaan yang luar biasa yang harus Ia derita, dan pada penistaan serta keterpisahan-Nya dari Allah. Hal ini dapat terlihat jelas dalam penggambaran sinematik seperti film karya Mel Gibson, yaitu The Passion of the Christ, yang memeragakan jalan yang Yesus lalui sampai menuju penyaliban pada Via Dolorosa (jalan penderitaan) berdasarkan tradisi Roma Katolik. Hal ini juga terlihat jelas dalam beberapa khotbah yang kami berdua dengar di gereja-gereja Injili yang kami hadiri (belum lagi di berbagai himne favorit kami). Tentu saja, keempat kitab Injil, khususnya Matius, Markus, dan Lukas, sepakat bahwa Yesus mengalami penderitaan yang luar biasa demi kita ketika Ia memberikan nyawa-Nya untuk keselamatan kita sehingga kita dapat diampuni dari dosa.

Namun, ada aspek lain dari kisah Paskah. Hal ini diringkas dengan sangat baik dalam pernyataan Yohanes bahwa Yesus, ketika Ia “tahu, bahwa saat-Nya sudah tiba untuk beralih dari dunia ini kepada Bapa… Ia senantiasa mengasihi murid-murid-Nya… mengasihi mereka sampai kepada kesudahannya” (13:1). Ketika Yohanes memperkenalkan tidak hanya pembasuhan kaki, tetapi seluruh narasinya tentang kesengsaraan Yesus, ia menulis sebagai berikut: “Yesus tahu, bahwa Bapa-Nya telah menyerahkan segala sesuatu kepada-Nya dan bahwa Ia datang dari Allah dan kembali kepada Allah. Lalu bangunlah Yesus…” (13:3–4; lih. 14:28).

Dengan kata lain, Yohanes berusaha keras untuk menunjukkan bahwa salib bukanlah jalan buntu melainkan hanya suatu perhentian dalam perjalanan Yesus pulang kepada Bapa! Inilah sebabnya mengapa Yohanes membuat catatan kemenangan di bagian awal dari narasi penyaliban: Bapa telah memberikan segala sesuatu ke tangan Yesus, dan Yesus sedang dalam perjalanan kembali menuju kemuliaan yang Ia nikmati bersama Bapa sebelum Ia menjadi manusia (17:5, 24)! Dan sebagaimana yang tertulis dalam kitab Ibrani, demi "sukacita yang disediakan bagi Dia” maka Yesus “dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib” (12:2). Paskah ini, mari pastikan bahwa kita tidak meninggalkan bagian “kemuliaan” ketika kita menceritakan kisah kesengsaraan Yesus. Tidak diragukan lagi, secara naturnya salib itu mulia dalam menunjukkan ketaatan Yesus yang sempurna, kasih Allah bagi umat manusia, dan karya penebusan Yesus yang menggantikan hukuman bagi orang berdosa. Tugas Yesus di dunia memang telah “selesai” (Yoh. 19:30), tetapi tugas mulia-Nya dalam mengatur, memerintah, dan menjadi Pengantara masih berlanjut hingga hari ini.

Andreas Köstenberger adalah profesor peneliti senior Perjanjian Baru dan Teologi Biblika di Southeastern Baptist Theological Seminary di Wake Forest, Carolina Utara. Justin Taylor adalah wakil presiden senior dan penerbit buku di Crossway. Mereka bersama menulis buku The Final Days of Jesus: The Most Important Week of the Most Important Person Who Ever Live (Crossway).

Diterjemahkan oleh: Joseph Lebani

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Instagram.

Menemukan Cara Baru untuk Menceritakan Kisah Paskah

Sebuah metafora yang berkesan kuat untuk menolong kita menghadapi tantangan tahunan tersebut.

Christianity Today April 12, 2022
Illustration by Rick Szuecs / Source images: Envato / Longitude / Lightstock

Seharusnya tidak mengejutkan bahwa Paskah adalah kesempatan yang sangat baik untuk menjangkau orang-orang yang biasanya tidak menghadiri ibadah secara teratur. Statistik menunjukkan bahwa meskipun angka kehadiran meningkat pada Paskah, lonjakan ini seringkali tidak berlangsung lama dan jumlah kehadiran akan segera kembali normal setelah hari besar ini berakhir. Kesempatan seperti ini tidak boleh disia-siakan dengan pendekatan “yang itu-itu lagi,” terutama bila menyangkut aspek visual gereja.

Kami telah merancang media ibadah selama dua belas tahun, dan setiap tahun kami selalu menghadapi “tantangan Paskah.” Bagi kami, selalu sulit untuk menemukan cara baru dan menyegarkan untuk menyajikan secara kreatif dan visual kisah Paskah yang sudah sangat dikenal. Selain gambaran standar tentang kubur kosong, salib, dan bunga bakung, lalu apa lagi? Apakah memungkinkan untuk membuat multimedia yang berkesan untuk Paskah, yang dapat menginspirasi, mempertahankan, dan bahkan mengubah arus pengunjung yang berjalan melewati pintu gereja pada Minggu pagi yang istimewa itu? Jelas, kami pikir ini tidak hanya mungkin, melainkan juga sangat perlu.

Menceritakan kisah melalui metafora

Cara yang bagus untuk membuat Paskah kali ini semakin berkesan adalah dengan menggunakan teknik metafora. Metafora memungkinkan kita untuk menceritakan kisah dengan cara yang terhubung dengan pengalaman sehari-hari individu, baik orang percaya maupun yang tidak percaya. Kami mendefinisikan metafora sebagai cara yang nyata untuk mengekspresikan cerita, pemikiran, atau ide abstrak. Metafora memungkinkan kita untuk membuat hal yang asing terasa akrab dan menempatkan Injil ke dalam bahasa sehari-hari—baik lisan maupun visual.

Metafora kadang-kadang dianggap sebagai kata kunci industri periklanan, dan metafora hanya punya sedikit tempat di dalam penyembahan, atau mungkin tidak punya tempat sama sekali. Namun, barang siapa gagal mengeksplorasi kekuatan komunikasi yang datang melalui metafora berarti gagal pula memahami bahwa metafora sering digunakan oleh Yesus dalam pelayanan publik-Nya.

Dalam Markus 4, Yesus menceritakan perumpamaan tentang sang penabur, perumpamaan terpanjang di dalam Injil (ay.3-9). Setelah itu, ketika orang banyak telah pergi dan para murid sendirian dengan Yesus, para murid menyatakan kepada-Nya bahwa mereka tidak tahu arti dari perumpamaan yang Ia ceritakan. Lalu Ia meluangkan waktu untuk menjelaskan seluruh perumpamaan itu kepada mereka, bahkan benar-benar menghabiskan waktu lebih banyak untuk menjelaskannya daripada untuk perumpamaan itu sendiri (ay.10-20).

Namun yang menarik adalah apa yang terjadi selanjutnya. Alih-alih menyimpulkan bahwa penyampaian kabar baik yang kreatif seperti itu tidak berhasil, Ia terus berbicara dalam perumpamaan, menceritakan perumpamaan tentang pelita di atas kaki dian (ay.21-25), benih yang tumbuh (ay.26-29), dan biji sesawi (ay.30-32). Dan momen terbaik terdapat dalam ayat 33 dan 34: “Dalam banyak perumpamaan yang semacam itu Ia memberitakan firman kepada mereka sesuai dengan pengertian mereka, dan tanpa perumpamaan Ia tidak berkata-kata kepada mereka, tetapi kepada murid-murid-Nya Ia menguraikan segala sesuatu secara tersendiri.”

Yesus tidak menggunakan perumpamaan sekadar sebagai sebuah alternatif untuk “orang-orang bodoh” di tengah orang banyak. Ia mengerti bahwa untuk mengomunikasikan ide dengan efektif, Ia harus menyajikan pengajaran-Nya dengan cara yang masuk akal bagi pendengar-Nya. Audiens kita hari ini tidaklah berbeda. Orang-orang mendengarkan paling baik ketika diajak bicara dalam bahasa yang familiar. Inilah inti dari metafora.

Menerapkan metafora pada cerita Paskah

Bagi banyak orang, gagasan tentang seorang ilah mahatahu yang mengirim putra satu-satunya ke bumi untuk mati demi dosa umat manusia, hanya untuk dibangkitkan dari kematian, bisa jadi sulit dipahami. Melalui metafora, kita dapat membingkai cerita dengan menggunakan objek, latar belakang situasi dan kondisi, serta pengalaman yang familiar sehingga membuat cerita tersebut lebih mudah dipahami.

Beberapa tahun yang lalu, kami mulai bertukar pikiran tentang metafora untuk masa Paskah yang akan datang. Kami berfokus pada Yohanes 20:1-18. Dalam cerita itu, Maria Magdalena kembali ke kubur Yesus pada pagi Paskah, dan ia putus asa karena berpikir tubuh Yesus telah dipindahkan. Setelah bertemu dengan dua malaikat, ia menoleh kepada orang yang dia yakini sebagai tukang kebun dan memohon padanya untuk memberi tahu di mana tubuh Tuhannya telah dibawa. "Si tukang kebun" menjawab dengan memanggil nama Maria, mengungkapkan kepadanya bahwa sebenarnya Dia-lah Yesus. Dengan gembira, Maria berteriak, “Rabuni” (“guru”) dan kemudian, kami menyimpulkan, ia mengulurkan tangan untuk memeluk Yesus.

Beberapa orang mungkin mengatakan bahwa tanggapan Yesus agak kasar. Dia menanggapi kasih sayang Maria dengan mengatakan, “Janganlah engkau memegang Aku, sebab Aku belum pergi kepada Bapa.”

Mengapa kata-kata pertama-Nya adalah justru mendorong Maria menjauh? Setelah banyak diskusi, kami mulai bersemangat tentang gagasan bahwa Yesus menyuruh Maria melepaskan apa yang sebelumnya ia ketahui tentang Yesus. Dia yang Maria kenal bukan lagi hanya manusia duniawi, melainkan kini Ia adalah Kristus yang telah bangkit. Tersirat dalam pernyataan Yesus kepada Maria, kami menyadari bahwa itu adalah peringatan tentang kecenderungan manusia untuk mencoba berpegang pada pengalaman kita tentang Tuhan. Kita takut bahwa kita akan kehilangan kesadaran akan hubungan dengan Tuhan, atau bahkan bahwa kita telah “kehilangan” Tuhan atau bahwa hubungan kita dengan-Nya tidaklah valid. Kita harus rela melepaskan pengalaman masa lalu, tidak peduli seberapa kuatnya, dan terus mendefinisikan kembali apa artinya menjadi pengikut Tuhan di setiap tahap kehidupan kita. Selain itu, pengalaman iman kita dimaksudkan untuk dibagikan, bukan disimpan, seperti yang Yesus katakan kepada Maria untuk membagikan berita kebangkitan-Nya kepada para murid (ay. 17).

Untuk menangkap perasaan manis pahitnya karena harus melepaskan, kami memutuskan untuk menggunakan metafora seorang anak menangkap dan melepaskan kupu-kupu. Jika kita dengan egois berpegang pada gagasan lama tentang perasaan tinggi rohani, agama, gereja, dan iman, kita dapat membuat semua itu hidup kelaparan sampai pada titik di mana hal-hal tersebut tidak baik bagi siapa pun. Tetapi sama seperti melepaskan kupu-kupu dari toples, jika kita melepaskannya, kita membuka diri terhadap pengalaman baru—pengalaman yang segar dan hidup, yang mengomunikasikan sukacita Tuhan yang telah bangkit.

Kebaktian Paskah yang menyegarkan dan berkesan kuat

Kami membangun seluruh kebaktian di seputar konsep ini, dengan gambar utama seorang gadis kecil yang melihat kupu-kupu yang telah ditangkapnya dan ditempatkan di dalam toples. Video pembukaan menampilkan si anak mengejar, menangkap, dan akhirnya melepas kupu-kupu tersebut. Kemudian dilanjutkan dengan sebuah drama yang menampilkan diskusi seorang ibu dan anaknya tepat setelah anak itu dengan enggan melepaskan kupu-kupunya. Saat jemaat memasuki ruang ibadah mereka juga diberikan kupu-kupu origami yang terbuat dari kertas tisu untuk digunakan selama waktu doa, dan untuk kemudian digunakan dalam merenungkan pengalaman ibadah. Sang pendeta bahkan memasukkan metafora itu ke dalam khotbah, memegang sebuah toples tinggi-tinggi sambil ia berbicara tentang menimbun, dan dalam proses sebenarnya sedang membunuh, memori iman kita.

Seperti setiap metafora yang baik, kupu-kupu di dalam toples membuka segala macam kemungkinan kreatif untuk membagikan kabar baik tentang kebangkitan Yesus pada pagi Paskah. Kebaktian tersebut menjadi sangat bermakna dan membuat Paskah terasa segar dan baru.

Tetapi bagian paling berkesan dari penggunaan metafora untuk mengomunikasikan Injil terjadi ketika kebaktian selesai. Meskipun kami telah melakukannya selama bertahun-tahun dalam pelayanan kami, terkadang hal ini masih mengejutkan kami. Tidak lama setelah Paskah kami menerima surat dari sang pendeta:

Beberapa minggu setelah Paskah, saya menerima telepon dari salah satu anggota gereja saya. Jemaat saya itu dan istrinya sedang berada di tengah neraka pribadi yang sangat berat. Mereka mengalami kesulitan yang luar biasa dengan putra mereka yang masih remaja, sedemikian sulitnya sehingga putranya akan diambil alih perawatannya oleh negara. Ayah yang putus asa ini memberi tahu saya bahwa malam sebelumnya, ia pergi keluar untuk duduk di tepi kolam renang keluarga. Dia mulai berpikir tentang putranya. Ia bertanya-tanya kesalahan apa yang telah ia dan istrinya lakukan selama ini. Saat ia terobsesi dengan kegagalannya sendiri sebagai orang tua, seekor kupu-kupu mendarat di kursi di samping dia dan mengalihkan pikirannya. Ia melihat kupu-kupu itu terbang ke atas dan di sekitar kolam, turun, dan mendarat di kursi lagi. Pria itu berkata bahwa kupu-kupu itu kemudian berhenti sejenak dan terbang. Dan pada saat itu, ia merasakan kehadiran Tuhan bersamanya, menyuruhnya untuk melepaskan kesusahannya terkait putranya dan menyerahkan situasinya kepada Tuhan.

Pada saat itu, pria ini mengalami kehadiran Roh Kudus dan pesan Paskah sekali lagi. Seandainya kami melakukan kebaktian Paskah yang biasa, dan menggunakan semua gambaran dan elemen yang sudah dikenal, momen tersebut mungkin tidak akan terjadi. Tetapi melalui metafora kita dapat membawa Injil keluar dari tembok gereja dan menjadikannya nyata di dunia komunitas iman kita.

Metafora memiliki kemampuan khusus untuk menembus masuk ke dalam pikiran kita terkait pengalaman bersama Tuhan dengan cara yang tidak bisa dilakukan oleh metode lain. Berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan bertahun-tahun kemudian, metafora dapat membawa kembali pesan yang perlu kita alami lagi dalam hidup kita untuk memberikan penghiburan, keyakinan, penyembuhan, dan seterusnya.

Melalui video kami tentang kupu-kupu (“Let Go” dan berbagai sumber materi kami yang lain, salah satu tujuan kami di Midnight Oil adalah menggunakan media untuk menceritakan kisah dengan metafora sehari-hari. Doa kami adalah agar melalui berbagai metafora dan cerita ini, orang-orang akan mengalami kebenaran dari anugerah Tuhan yang mengubahkan itu. Ketika kita mengubah momen sehari-hari yang biasa menjadi perjumpaan yang supernatural dengan kehadiran Roh Kudus, orang-orang dapat melihat melampaui masalah mereka menuju pengharapan akan Kristus yang telah bangkit. Kekuatan media yang sebenarnya untuk menceritakan kisah Yesus Kristus di dalam ibadah menjadi kabur ketika kita hanya menggunakan layar untuk memproyeksikan hal-hal tipikal yang sama. Pada Paskah ini, pertimbangkanlah untuk menggunakan metafora agar membuat kisah kebangkitan menjadi lebih berkesan kuat dan mudah diingat.

Hak Cipta © 2007 FaithVisuals.com

Diterjemahkan oleh: Fanni Leets

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Instagram.

Tiada Paskah tanpa Jumat Agung

Bagaimana Pra-Paskah mempersiapkan saya untuk merayakan Kebangkitan.

Christianity Today April 11, 2022
Kevin Carden / Lightstock

Ketika saya masih muda, di setiap musim semi ada satu hari Minggu yang berbeda dari yang lain. Orang tua saya membeli gaun baru yang bermotif bunga dengan warna pastel untuk saudari saya. Lalu saya dan saudara-saudara saya dipaksa mengenakan jas dan dasi yang tidak nyaman. Kemudian keluarga kami tiba di gedung gereja lebih awal untuk mendahului orang-orang yang hadir, yang jauh lebih banyak dari biasanya.

Suasana selama kebaktian sangat ceria, dan suasana hati semua orang sangat senang. Sang pendeta memulai dengan berkata, “Ia telah bangkit.” Jemaat pun menjawab, “Sungguh Ia telah bangkit!” Setelah kebaktian, kami pun pulang secepat mungkin untuk menikmati hidangan yang telah siap untuk disantap.

Tentu saja, saya berbicara tentang Minggu Paskah.

Sejujurnya perayaan ini sangat kecil artinya bagi saya. Ada bahasan tentang para wanita yang mengumpulkan rempah-rempah untuk jenazah Yesus, juga tentang taman, makam, dan seorang malaikat yang berkata bahwa Yesus sudah tidak ada lagi di sana. Akan tetapi pada Senin sore, apa yang kami rayakan di hari Minggu tampak seperti kenangan yang nun jauh di sana. Kebangkitan Yesus terasa sangat dangkal.

Saya sering bertanya-tanya mengapa ini terjadi, dan saya akhirnya menemukan jawabannya ketika saya dan istri pertama kali mengikuti Pra-Paskah. Kata "Pra-Paskah" adalah titik penghubung kita dengan musim kehidupan. Akar dari kata ini dalam bahasa Latinnya berarti “memperpanjang.” Ini mengingatkan kita bahwa selama musim semi, matahari berada lebih lama di cakrawala. Karena hal itu, cuaca menjadi lebih hangat, dan kehidupan bersemi lagi.

Tetapi musim ini adalah musim yang kacau. Saat salju musim dingin terhampar di tanah, segala sesuatunya tertutup, terinjak-injak, dan tertiup angin. Musim dingin membawa serta angin dingin yang mendorong, mengacak-acak, dan bahkan menghancurkan segala sesuatu. Seiring mencairnya salju, kita akan menemukan berbagai sampah, kotoran, dan dahan yang tertimbun di bawahnya.

Kenyataan ini sebenarnya sangat mirip dengan kehidupan kita. Seiring waktu, hati dan jiwa kita, ketika dibiarkan, akan menjadi berantakan. Namun Pra-Paskah mengundang kita untuk mengatasi kekacauan tersebut. Pra-Paskah mengajak kita untuk tidak cepat-cepat membersihkan segala sesuatu dan berpura-pura semua itu tidak pernah ada di sana. Pra-Paskah juga meminta kita untuk tidak mengabaikan kekacauan itu.

Sebaliknya, kita diundang untuk menyingsingkan lengan baju dan memilah-milah segala puing yang berserakan itu. Kita juga diingatkan akan kekacauan kita sendiri. Karena itu, pada dahi kita mengoleskan abu untuk mengingatkan diri kita bahwa sama seperti Eden yang telah menjadi abu, demikian pula kita suatu hari nanti.

Pertama kalinya saya mengikuti Pra-Paskah, saya menghadiri kebaktian Rabu Abu. Abu dioleskan ke kepala saya dan ada kata-kata diucapkan kepada saya, “Ingatlah bahwa kamu adalah debu dan kamu akan kembali menjadi debu.” Pada saat itu, sesuatu yang baru di dalam jiwa saya mulai tumbuh. Saya belajar dengan cara yang baru bahwa saya hanyalah manusia fana, dan pada saat yang sama diciptakan seturut gambar dan rupa Allah.

Pra-Paskah pertama itu, bagi saya adalah saat yang sulit untuk mengatasi kehancuran saya, menatap dosa saya, dan menyelidiki hati saya. Semua ini memuncak di Jumat Agung. Saya sebelumnya juga tidak pernah mengikuti kebaktian Jumat Agung. Jadi saya pun menghadirinya dan berpartisipasi dalam Jalan Salib.

Kata-kata, “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku,” dibacakan dengan kencang, dan sesuatu dalam diri saya pun hancur. Cara terbaik yang dapat saya jelaskan adalah bahwa untuk pertama kalinya, saya melihat kekelaman dalam kematian Yesus, yaitu Sang Bapa telah meninggalkan-Nya.

Saya pulang dari kebaktian Jumat Agung itu dengan hati yang begitu merindukan Paskah. Untuk pertama kalinya dalam hidup ini, saya menjalani masa Pra-Paskah dengan merenungkan kematian Yesus sembari saya memikirkan kematian yang ada di dalam hati saya sendiri. Pada Jumat Agung itu, kematian-Nya dan dosa saya saling bertabrakan. Selama bertahun-tahun saya mengikuti Minggu Paskah dan merayakan kebangkitan Yesus dengan begitu hambar karena tidak pernah ada kematian di dalam diri saya. Anda tidak dapat mengalami kebangkitan tanpa kematian.

Seiring kematian itu terjadi, kerinduan kita akan hari Paskah pun bertumbuh. Beberapa tahun yang lalu saya bersama dengan beberapa pendeta dari Denver, bergabung bersama untuk melakukan kebaktian subuh. Kami berdiri bersama dan membaca kalimat berikut ini, “Mengapa kamu mencari Dia yang hidup, di antara orang mati? Ia tidak ada di sini, Ia telah bangkit!” Tepat saat kata-kata itu keluar dari mulut kami, sinar matahari pertama menyinari cakrawala Denver, dan air mata kebahagiaan menetes dari pelupuk mata saya.

Kubur itu kosong. Dan kali ini hal tersebut bermakna sesuatu.

Dalam Kerajaan Allah, kematian bukanlah penentu segalanya, namun kehidupan. Melalui Rabu Abu, Pra-Paskah, dan Jumat Agung, kebangkitan telah menjadi sesuatu yang sangat saya rindukan.

Saat kita memasuki masa Pra-Paskah ini, semoga kita ingat bahwa kita adalah debu dan akan kembali menjadi debu. Marilah kita memeriksa jiwa kita yang rapuh dan penuh kekurangan ini. Dan bersama Yesus, mari kita memasuki kelamnya keberdosaan dan kematian kita, serta gelapnya perjalanan bersama Dia menuju kayu salib. Kiranya kita disalibkan bersama Kristus, dan dikuburkan dalam keserupaan dengan kematian-Nya, sehingga ketika kita mendengar kata-kata “Ia telah bangkit!”—mungkin untuk pertama kalinya, kita dapat benar-benar merayakan kebangkitan—karena kita telah memilih untuk mati agar kita beroleh kehidupan.

Michael Hidalgo tinggal di Denver, Colorado dan adalah Gembala Utama dari Denver Community Church.

Diterjemahkan oleh: Timothy Daun

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Instagram.

Books

Pemimpin Injili Bucha Menyaksikan Kekejaman Rusia, dan Menantikan Tangan Tuhan Bekerja

Tempat tinggalnya dijarah oleh para tentara Rusia, namun presiden seminari Ukraina, Ivan Rusyn, menjelaskan dampak rohani dari orang-orang Kristen yang melayani di tengah kematian dan kehancuran.

Orang-orang berjalan melewati puing-puing kendaraan militer Rusia yang hancur di sebuah jalan di Bucha, Ukraina, pada 6 April 2022.

Orang-orang berjalan melewati puing-puing kendaraan militer Rusia yang hancur di sebuah jalan di Bucha, Ukraina, pada 6 April 2022.

Christianity Today April 7, 2022
Chris McGrath / Staff / Getty

Kekejaman perang ini sangat mengejutkan. Pihak berwenang Ukraina mengatakan ada 410 warga sipil terbunuh di pinggiran kota Kyiv, yang ditemukan setelah para tentara Rusia mundur dari posisi mereka. Setidaknya dua orang ditemukan dalam keadaan tangan terikat dan beberapa ditembak di kepala.

Banyak juga mayat yang dibakar.

Seorang warga mengatakan bahwa para penjajah itu bersikap sopan dan membagikan jatah makanan mereka. Tetapi para warga yang lain menceritakan tentang apartemen yang digeledah dan ada pula satu orang warga yang diikat di tiang dan dipukuli. Para tentara bahkan menembak seorang pesepeda, yang telah turun dari sepedanya dan berbelok ke tikungan dengan berjalan kaki.

Itu bisa saja dialami oleh Ivan Rusyn.

Sebagai presiden "Ukrainian Evangelical Theological Seminary" (UETS), Rusyn telah mengoordinasikan pengiriman bantuan dari sebuah rumah persembunyian di Kyiv. Namun ketika ia mengendarai sepedanya ke Bucha-yang dikuasai tentara Rusia, untuk mengantarkan obat kepada kenalannya, ia menjadi saksi mata dari kekejaman perang tersebut.

Pihak Rusia mengatakan bahwa gambar-gambar itu adalah palsu; namun bukti satelit menunjukkan yang sebaliknya. Christianity Today mewawancarai Rusyn untuk mendengar langsung laporannya. Ia berbicara tentang dampak rohani, tentang menjadi gereja yang lebih otentik, dan bagaimana kaum Injili membantu daerah pinggiran kota yang terdampak perang, di tempat di mana ia tinggal selama delapan tahun terakhir:

Ceritakan tentang lingkungan Anda.

Jika Anda melihat Bucha di Peta Google, saya tinggal di salah satu dari lima blok apartemen di seberang Toscana Grill. Ini adalah sebuah restoran mahal, tetapi terkadang saya makan di sana. Saya berolahraga lari di taman kota terdekat hampir setiap hari, dan dengan teman-teman pada hari Sabtu. Seminari di Kyiv berjarak enam mil jauhnya, dan saya membutuhkan waktu 25 menit untuk berkendara ke sana, dengan lalu lintas yang padat.

Saya perhatikan sekarang menurut Google jarak tersebut memakan waktu satu setengah jam.

Jembatan yang ada telah hancur pada hari kedua perang. Helikopter dan tentara Rusia pertama-tama mendarat di bandara Hostomel, tiga mil dari tempat tinggal kami. Di sana terjadi pertempuran yang sengit, dan saya berlindung di basemen apartemen selama lima hari. Kemudian saya berangkat menuju seminari, mengikuti rute Peta Google itu untuk mengitari Kyiv ke timur laut. Setelah dua hari kami pun mengungsi, dan saya menemukan jalan menuju sebuah rumah persembunyian di kota.

Sekarang ketika kami membawa makanan dan perbekalan ke Bucha, Irpin, dan Hostomel, kami melihat banyak tank Rusia yang hancur. Jembatannya masih rusak, tetapi kami bisa melewatinya secara hati-hati dengan minibus. Ini jalur yang berbahaya, tetapi jika Anda berjalan lambat, maka perjalanan sekarang memakan waktu sekitar satu jam.

Kapan Anda kembali?

Empat hari lalu (3 April). Kami dikawal polisi karena kami berangkat dengan antrian panjang bus-bus yang penuh perbekalan dan untuk mengevakuasi warga. Itu adalah hari yang sama ketika Presiden (Volodymyr) Zelensky berada di Bucha.

Tetapi sebelum itu saya pernah pergi sekali, dengan sepeda.

Para tetangga saya berlindung di basemen, tidak ada cara untuk menghubungi mereka, dan jalur evakuasi sedang disiapkan. Mereka juga membutuhkan obat. Irpin masih berada di bawah kendali Ukraina pada saat itu, jadi saya pergi dulu ke pos pemeriksaan militer di sana, tetapi mereka tidak mengizinkan saya masuk ke wilayah Bucha yang dikuasai Rusia.

Maka saya pergi ke sungai dangkal terdekat, menggunakan sepeda saya dan sebatang pohon kecil untuk menyeimbangkan diri melewati air. Saya melihat mayat-mayat, baik warga sipil maupun tentara. Saya melihat orang-orang membawa anak-anak di pundak mereka dengan tangan terangkat. Saya melihat para lansia berusaha mencari jalan keluar.

Dan ketika saya melihat tentara-tentara Rusia, saya harus bersembunyi. Pada satu titik saya merasa terjebak di sebuah bangunan yang hancur dibom, khawatir bahwa saya harus bermalam di sana. Tetapi saya terus bergerak melewati jalan-jalan kecil, sebisa mungkin menghindari jalan utama.

Ketika saya tiba, sulit sekali bagi para tetangga saya untuk pergi, mereka sangat ketakutan.

Presiden seminari UETS Ivan Rusyn (tengah) di Hostomel, Ukraina.atas seizin Ivan Rusyn
Presiden seminari UETS Ivan Rusyn (tengah) di Hostomel, Ukraina.

Bagaimana rasanya kembali dalam keadaan damai?

Pada kali pertama, apartemen saya tidak ada listrik tetapi selain itu semua aman. Pada kali yang kedua, pintu-pintu dibobol. Saya dirampok, dan ada mantel tentara Rusia yang tertinggal. Mereka tidak hanya mencuri barang, melainkan juga menghancurkan TV dan layar komputer saya, serta peralatan-peralatan lainnya.

Tetangga saya, Nina Petrova, memberi tahu saya bahwa tentara Rusia datang ke apartemennya dan menodongkan senjata ke kepalanya, memaksa dia untuk menunjukkan kepada mereka semua barang berharganya. Semua apartemen telah dibobol. Pada beberapa apartemen, mereka bahkan menusukkan pisau ke foto-foto keluarga.

Mengetahui semua itu, saya mengalami reaksi psikologis yang menarik, yang juga dialami oleh orang-orang lain. Karena musuh—yaitu pembunuh—ada di apartemen saya, saya merasa semua barang itu bukan milik saya sendiri. Saya tidak peduli dengan barang-barang yang hilang itu; Saya punya damai di hati saya. Tetapi hal yang tersulit adalah berusaha berdamai dengan tentara Rusia yang berjalan di sekitar tempat tinggal saya.

Seperti apa rasanya ketika melihat mayat di jalan?

Hal terakhir yang Anda pikirkan adalah mengambil foto. Dan Anda tidak akan berhenti untuk memeriksa siapa itu. Tetapi saya menyadari bahwa dalam situasi yang penuh tekanan seperti itu saya bisa memobilisasi diri saya untuk bertindak. Ketika saya kembali ke markas kami, saat saya melihat foto-foto dan membaca berbagai laporan, saya tidak tahu apakah tidak apa-apa untuk mengatakan hal ini, tetapi banyak dari kami terus menangis setiap malam.

Namun ketika saya kembali ke Bucha untuk membantu, saya baik-baik saja.

Dua hari yang lalu, kami mengunjungi Hostomel, dan semuanya telah hancur. Kemudian orang-orang mulai berdatangan, satu per satu, dalam keadaan yang kotor. Seorang wanita datang kepada saya, dan saya melihat tangannya. Dia bilang mereka memasak di atas kayu bakar. Suaminya telah terbunuh, dan dia menguburkannya tepat di pintu masuk apartemennya.

Dan kemudian dia memeluk rekan saya.

Saya mendengar setidaknya 15 cerita tentang orang yang berkata kepada saya bahwa mereka telah menguburkan orang yang mereka cintai. Kemarin kami mengevakuasi dua wanita; salah satu dari mereka telah menguburkan suaminya di halaman. Wanita yang lain, yang sudah sangat tua, tinggal di apartemen tanpa jendela, sangat dingin, tidak ada air, tidak ada listrik, tidak ada apa-apa. Seorang wanita telah membawakan ia makanan setiap hari dan bertanya apakah kami bisa membantunya.

Ada ribuan orang seperti ini. Orang-orang yang lebih muda lebih banyak akal, sehingga mampu mengungsi. Tetapi orang-orang yang tua tidak punya tempat untuk pergi. Mereka mengatakan kepada saya bahwa mereka telah menghadapi neraka.

Salib-salib terlihat di sebuah pekuburan massal di dekat gereja pada 4 April 2022 di Bucha, Ukraina.Anastasia Vlasova / Stringer / Getty
Salib-salib terlihat di sebuah pekuburan massal di dekat gereja pada 4 April 2022 di Bucha, Ukraina.

Apakah ada korban dari kalangan Injili?

Salah satu lulusan kami telah ditangkap, dan kami masih belum tahu di mana dia berada. Tetapi menantunya, yang ditangkap pada saat yang sama, ditemukan di pekuburan massal di Motyzhyn. Kemarin adalah pemakamannya, dengan penguburan yang layak.

Seorang dekan dari sebuah seminari juga ditemukan tewas. Ia tertembak, dan tubuhnya tergeletak di jalanan setidaknya selama beberapa hari, bersama temannya.

Mereka adalah orang-orang yang kami kenal secara pribadi.

Pada hari-hari pertama perang, Anda mengatakan bahwa ucapan “Tuhan, patahkanlah tulang-tulang musuhku” telah menjadi sama kudusnya seperti mengucapkan “Haleluya.” Tetapi sekarang Anda telah melihat sendiri kekejaman perang ini. Seperti apa perjalanan rohani Anda sejak saat itu?

Pada saat itu saya bisa mengatakannya dengan sangat jelas. Tetapi setelah melewati 43 hari, perkataan itu menjadi semakin mendalam. Saya akui, emosi kami tidak sekuat waktu itu. Kini kami lebih lambat berkata-kata dan lebih banyak diam. Mungkin para ahli akan mengatakan bahwa kami terluka secara psikologis. Kami mencoba untuk berkata bahwa kami baik-baik saja (tersenyum), tetapi kemarahan dan rasa sakit hati itu masih sangat terasa, menembus jauh ke bagian terdalam dari identitas kami.

Saya tidak tahu bagaimana mengungkapkannya, bahkan dalam bahasa Ukraina. Rasanya ini seperti dibekukan. Ini sangat merusak. Perasaan ini membuat kami terus-menerus memikirkan dan mengingat penderitaan yang telah kami saksikan. Perasaan ini terus ada, dan saya khawatir itu tidak akan segera hilang.

Saya tetap setuju dengan pernyataan tersebut. Bisikan tangisan doa saya kepada Tuhan adalah kiranya Allah campur tangan dalam situasi ini.

Bagaimana perang ini mempengaruhi hubungan dengan kalangan Injili Rusia?

Perang ini tidak diprovokasi oleh Ukraina. Saya tidak berdoa untuk orang Rusia. Yah, jarang. Selama beberapa tahun terakhir kami memiliki pola relasi tertentu dengan mereka. Kami mencoba beradaptasi. Anda tidak mengerti bahasa Ukraina? Baiklah, kami akan berbicara dalam bahasa Rusia, tidak masalah. Anda tidak suka laporan dari Donbas? Baiklah, kami akan diam.

Tetapi kenapa kami harus diam?

Sekarang kami mendengar suara-suara yang sama lagi. Situasinya tidak jelas. Foto-foto yang Anda tunjukkan kepada kami itu sangat menyakitkan. Tetapi kenapa kami harus diam? Kami merasa seakan-akan mereka sedang mencoba mengajari kami cara mengampuni, tetapi mereka tidak ingin mendengar suara kami. Hanya beberapa orang saja dari mereka yang menghubungi saya.

Saya mengerti orang-orang Kristen Rusia tidak akan pergi ke Lapangan Merah (Red Square) untuk memprotes, dan tidak ada yang mengharuskan mereka untuk melakukannya. Tetapi setidaknya mereka dapat mengirim pesan kepada kami, sekalipun yang terenkripsi: Kami tidak dapat melakukan apa pun di Rusia, tetapi kami bersama kalian. Kami pun menentang perang ini.

Apa dampaknya terhadap pendidikan seminari?

Kami akan tetap melanjutkan sebaik mungkin. Namun terkadang saya ingin berefleksi secara teologis, dan di lain waktu saya sama sekali tidak ingin berpikir secara teologis. Tetapi saya percaya bahwa kami akan menjadi lebih kuat.

Tidak, bukan lebih kuat, melainkan lebih otentik.

Tentu ada banyak hal yang ingin kami bagikan. Tetapi keotentikan kami akan terekspresikan dalam kemampuan kami untuk mendengarkan, menunjukkan simpati tanpa kata-kata. Collar kependetaan saya cukup membantu: Orang-orang melihat saya sebagai seorang pendeta, dan kami memiliki tanda palang merah di bus kami.

Untuk sementara waktu, pihak seminari akan mengurangi keaktifan dalam berbicara di hadapan publik, tetapi kami akan melayani masyarakat melalui kehadiran kami. Saya telah menerima lebih banyak pelukan dari orang-orang asing selama 43 hari terakhir ini daripada dari semua kerabat saya selama lima tahun terakhir.

Saat ini kami sedang mengembangkan pelayanan konseling di departemen psikologi kami. Trauma ada di mana-mana, dan banyak orang Kristen ingin membantu. Mereka memiliki motif yang terbaik; tetapi jika tanpa pengalaman, maka menangani orang yang terluka akan memperburuk keadaan.

Akan tetapi melalui semua ini, kekristenan saya, teologi misi saya, sedang dalam proses pembentukan ulang. Setiap minggu kami melayani Perjamuan Kudus, mengalami hadirat Tuhan dan solidaritas dengan orang-orang asing dan para tentara, di tempat terbuka. Ada ratusan bahkan ribuan gereja yang aktif melayani, dan kekristenan Injili akan semakin menjadi bagian dari masyarakat.

Terkadang kita bisa berpaling dari teologi. Pernahkah Anda bergumul dengan Tuhan?

Saya sudah lama menjadi seorang Kristen dan terlibat dalam pendidikan teologi selama bertahun-tahun. Ada saat-saat di mana saya memiliki pertanyaan terhadap Tuhan, dan tentu saja termasuk saat sekarang ini.

Sebelum perang terjadi, saya dan istri membaca buku Holocaust karya Elie Wiesel. Kami mengunjungi museum di Kyiv dan lokasi pembantaian di Babi Yar. Ini mungkin terdengar akademis, tetapi tidak. Saya tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tetapi terkadang dalam senyapnya Tuhan, saya mendengar suara-Nya. Ini merupakan pernyataan yang sangat kontradiktif. Akan tetapi dalam ketidakhadiran-Nya, saya justru merasakan kehadiran-Nya.

Dengan jujur saya bisa katakan kepada Anda, saya tidak pernah mempertanyakan apakah Tuhan itu ada atau tidak. Saya dulu pernah mengalami krisis epistemologis, ketika saya memulai perjalanan saya di bidang teologi. Namun di tengah perang ini, saya tidak pernah meragukan tentang eksistensi Tuhan.

Atau pernahkah Anda bergumul tentang apakah Ia mengasihi Anda?

Saya pikir ya. Saya belum sampai berpikir seperti itu. Mungkin saya belum sempat memikirkannya.

Kepada para mahasiswa kami, saya menjelaskan bahwa karya-karya Tuhan seringkali menjadi lebih jelas ketika Anda menengok ke belakang. Saya percaya Ukraina akan menjadi negara yang besar, dan menjadi berkat bagi banyak negara lainnya. Persatuan, solidaritas, dan kemurahan hati kami—kepada orang asing yang tidak pernah kami kenal—sangatlah luar biasa. Saya berharap kami bisa melihat logika Dia nanti, tetapi saat ini harga yang harus dibayar sangatlah mahal.

Federasi Rusia menghancurkan negara kami. Kami tidak peduli dengan segala bangunan yang hancur. Namun mereka menganggap nilai-nilai kami sebagai ancaman. Saya meminta komunitas global untuk terus mendukung Ukraina, tidak hanya dengan bantuan kemanusiaan tetapi juga dengan segala bantuan politik dan militer yang memungkinkan.

Kami sedang bertempur dengan raksasa.

Saya ingin mengatakan bahwa saya melihat tangan Tuhan bekerja. Di sini, di rumah persembunyian, saya bisa melihatnya. Tetapi ketika saya kembali ke Bucha besok, dapatkah saya mengatakannya kepada wanita tua itu? Dapatkah saya memberitahu dia bahwa Tuhan sedang bekerja dalam hidupnya? Secara teologis, saya percaya Dia sedang bekerja. Tetapi di hadapan penderitaan yang seperti itu, saya tidak memiliki kekuatan untuk mengomunikasikannya.

Diterjemahkan oleh: Joseph Lebani

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Telegram.

Menggembalakan Orang-Orang Yang Melukai Anda

Pendeta dan penulis, Jared C. Wilson membagikan pelajaran yang ia peroleh dari seorang Afrika-Amerika pertama yang ditahbiskan gereja Amerika, tentang bagaimana menghadapi kesulitan dalam pelayanan.

Christianity Today April 6, 2022
Portrait by Joel Kimmel

Ketika orang-orang yang mengaku sahabat-sahabat Allah meninggalkan para pelayan Kristus, hal itu pasti disertai dengan keadaan-keadaan yang sangat memberatkan. Nasihat yang baik dan persekutuan yang telah mereka alami bersama, kini menjadi terganggu—rasa saling percaya menjadi hancur—para pihak yang terlibat pun terpapar oleh pencobaan-pencobaan yang tidak biasa, yang membuat sulit untuk mempertahankan roh pengampunan yang dimanifestasikan oleh sang rasul kudus itu ketika semua orang meninggalkannya: “Aku berdoa semoga Tuhan tidak menanggungkannya ke atas mereka.” – Lemuel Haynes, penulis buku The Suffering, Support, and Reward of Faithful Ministers.

Lemuel Haynes adalah tokoh sejarah yang mungkin belum pernah Anda dengar, tetapi Anda harus mendengarkannya. Dengan ukuran apa pun, hidupnya sangat luar biasa. Haynes, yang lahir pada tahun 1753, adalah seorang pelayan yang terikat kontrak sejak masa kecilnya, seorang veteran Revolusi Amerika, dan pria kulit hitam pertama di Amerika Serikat yang ditahbiskan untuk pelayanan gerejawi. Dikenal dengan pemikirannya yang tajam dan kecerdasannya yang tangkas, Haynes adalah seorang pengkhotbah dan abolisionis yang hebat. Dengan teologi Calvinisnya, ia menyatakan bahwa Allah memiliki kedaulatan terencana untuk mengakhiri perbudakan dan menyatukan segala ras. Kehidupan Haynes sama sekali tidak mudah, dan pelayanannya di sebuah gereja yang dipimpinnya selama 30 tahun berakhir dengan pengusiran dirinya. Kami berbicara kepada pengkhotbah dan penulis Jared C. Wilson tentang bagaimana warisan Haynes telah mengilhami dia—dan mengajarkannya untuk memandang kesulitan pelayanan di dalam terang kekekalan.

Saya harus mengakui bahwa saya tidak tahu siapa Haynes sampai saya membaca sebuah artikel tentang dia baru-baru ini. Bagaimana Anda berjumpa dengannya?

Ketika saya menggembalakan di Vermont, saya melakukan riset tentang sejarah daerah itu, dan saya tidak sengaja mengetahui tentang dia. Haynes bukan berasal dari Vermont, tetapi ia menggembalakan sebuah gereja di Rutland Barat selama 30 tahun. Saya berada sekitar lima mil dari tempat di mana ia berkhotbah. Jadi ketika itu saya sedang mencari tahu tentang sejarah gereja Vermont, dan ia adalah seorang tokoh yang menonjol di sana. Tetapi ketika saya mulai membaca kisahnya, saya pikir seharusnya ia lebih dikenal di dalam sejarah gereja Amerika. Ia adalah orang Afrika-Amerika pertama yang ditahbiskan oleh sebuah lembaga keagamaan di Amerika dan pendeta kulit hitam pertama dari jemaat yang kebanyakan berkulit putih. Pada masa kini pun hal seperti itu langka. Terlebih lagi pada masa itu, hal demikian tidak pernah terdengar.

Anda menulis, “Saya punya seorang teman yang pernah berkata ‘jatuh cinta pada orang mati.’ Hayneslah orangnya.” Mengapa Anda merasakan daya tarik khusus ini terhadap Haynes?

Salah satu alasannya adalah karena penggembalaannya yang setia. Ia adalah seorang pecinta teologi Jonathan Edwards, jadi ia berada dalam tradisi Puritan Amerika. Ia sangat dipengaruhi dengan kebangunan-kebangunan rohani; ia mengutip Edwards dan George Whitefield dalam khotbah terakhirnya kepada jemaat di Rutland Barat. Ia menganut teologi tersebut, dan ia adalah seorang gembala yang setia. Biografi susbstantif pertama tentang dirinya, yang ditulis oleh Timothy Mather Cooley, penuh dengan anekdot-anekdot yang luar biasa, yang memberikan gambaran tentang hal-hal yang dilakukan dan dikatakan Haynes. Ia sangat lucu; ia memiliki kecerdasan seorang Spurgeon. Saya senang bahwa ia adalah seseorang yang berpikiran politis namun tetap menjaga hal tersebut dari khotbah mimbarnya. Ia memiliki teologi yang sangat kaya. Ia berkhotbah seperti Edwards, poin di dalam poin. Dan tidak seperti Edwards, yang memiliki momok perbudakan pada dirinya, Haynes memiliki reputasi yang baik. Orang-orang memiliki kesan yang baik tentang dirinya. Keluarganya mencintai dia. Ia tidak perlu melakukan perubahan apa pun pada karakternya.

Namun hidupnya bukanlah tanpa kontroversi. Ia mengalami beberapa konflik di West Parish Church di Rutland, Vermont. Bisakah Anda memberitahu konteks khotbah terakhir Haynes kepada jemaat tersebut?

Kita tidak tahu persis apa yang menyebabkan pengunduran diri/pemecatan dirinya. Alasan dia terpaksa keluar tidak sepenuhnya jelas. Di depan umum ia mengaitkannya dengan semacam kehidupan yang tidak berguna dalam jangka waktu yang lama. Adapula isu disiplin dengan jemaatnya, dan ada konflik berkepanjangan dengan salah seorang diakennya. Seorang sejarawan mencatat adanya perubahan selera politik. Jadi ada indikasi bahwa gaya pelayanan dan politiknya tidak populer lagi. Ada kemungkinan rasisme juga berperan. Kepada beberapa temannya, ia menyebutkan secara pribadi bahwa rasisme turut berperan dalam pemecatannya. Namun ia tidak menyebutkan hal tersebut dalam khotbahnya.

Hal-hal apa saja yang paling memilukan yang dikatakan Haynes dalam khotbahnya?

Ia mengkhotbahkannya pada bulan Mei 1818, namun hal tersebut tidak diterbitkan sampai bertahun-tahun kemudian, sehingga kemungkinan ada sedikit modifikasi. Separuh dari khotbahnya adalah penjelasan langsung dari Kisah Para Rasul 20:24, di mana Paulus berbicara tentang menyelesaikan pelayanannya. Ia menggunakan ayat tersebut untuk berbicara tentang seperti apa pelayan yang setia itu. Judul khotbahnya adalah “The Suffering, Support, and Reward of Faithful Ministers.” Ia mengatakan bahwa menjadi seorang pendeta berarti berada dalam penderitaan dan konflik. Kira-kira setengah dari khotbahnya sudah ia terapkan dalam pelayanannya sendiri dan ia juga memberikan nasihat perpisahan. Khotbah tersebut hampir menyerupai kesimpulan catatan kinerja pelayanannya.

Saya membaca khotbah terakhir Edwards di Northampton, dan jika ia terluka—dan memang ia terluka—ia tidak menunjukkannya. Tetapi Haynes berbeda. Ia menyebutkan bahwa pemecatannya bukan karena ketidaksetiaannya melainkan karena orang lain yang menyebabkannya. Ini menjadi contoh yang baik dari seorang pendeta yang mengatasi masalah dan konflik di depan umum tanpa mendendam. Ia peduli dengan jiwa mereka—misalnya, ia berkata, “Orang yang tidak menghargai berharganya jiwa-jiwa, dan yang tidak terpengaruh dengan situasi bahaya mereka, tidak memenuhi syarat untuk sebuah jabatan suci”—dan ia mengarahkan mereka kepada anugerah dan janji akan surga.

Pada dasarnya ia mengatakan bahwa semua ini akan diselesaikan pada Hari Terakhir. Dan ia mengatakan hal-hal seperti, “Kalian yang mengantuk pada saat saya berkhotbah akan sepenuhnya terbangun.” Ini sangat luar biasa. Ia tidak terdengar seperti orang yang kepahitan. Perkataannya terdengar seperti seseorang yang mau mengatasi keadaannya tanpa rasa takut dan mengarahkan mereka pada kekekalan.

Mari kita bicara tentang bagaimana keteladanannya telah menolong Anda. Bagaimana Anda akan menggembalakan orang-orang yang melukai Anda?

Seringkali orang-orang memperlakukan Anda dengan buruk atau menyebabkan terjadinya konflik, tetapi mereka tidak akan secara langsung mendatangimu. Anda mendengar mereka mengatakan berbagai hal tentangmu. Dorongan hati secara penggembalaan adalah berusaha untuk memahami hal tersebut. Seringkali hal itu tidak ada hubungannya dengan Anda. Bisa saja terkait hal yang lain. Karena itu saya akan berusaha mencari tahu lebih dalam untuk melihat apakah saya bisa mengatasi masalah yang sebenarnya. Namun ada saat di mana hal itu menjadi lebih sulit karena seseorang telah berdosa terhadap Anda—dan mereka tidak mau bertobat. Pada satu tempat yang pernah saya gembalakan, hal tersebut bahkan menjadi lebih sulit karena kami belum membuat peraturan tentang disiplin gereja. Saya masih mewarisi peraturan-peraturan yang lama. Jadi ketika ada orang-orang yang bermasalah dengan kami, saya tidak punya jalan untuk meminta pertanggungjawaban mereka. Saya harus bertahan terhadap beberapa orang tertentu dan berdoa agar hati mereka diubahkan. Hal itu sulit. Saya merasa saya telah melakukan semua yang bisa saya lakukan. Saya tidak boleh membiarkan sikap mereka mempengaruhi cara berpikir saya tentang keseluruhan gereja.

Saya harus terus mengingatkan diri saya sendiri bahwa melakukan pelayanan dengan setia seringkali akan menimbulkan konflik. Akan tetapi saya juga harus ingat bahwa saya tidak berada di sana sebagai humas. Saya tidak sedang berusaha menyenangkan orang-orang yang memilih saya. Audiens utama saya adalah Tuhan. Menjelang akhir dari khotbah terakhirnya di jemaat Rutland Barat, Haynes mengatakan, “Alasan yang membuat para pelayan Kristus terlibat dalam pelayanan, akan dapat menggairahkan mereka untuk bertekun dalam kesetiaan dan pengabdian pada pelayanan mereka. Demi kepentingan yang berharga inilah maka segala sesuatu diciptakan, dan inilah yang menjadi alasan dari Allah yang disembah dalam tiga pribadi itu; yang untuknya sang Penebus mulia itu menumpahkan darah-Nya yang berharga, dan yang sekarang melakukan pembelaan.” Jika saya ingin menjadi setia pada Kitab Suci dan mengimplikasikannya dalam kehidupan kami, maka ini akan sangat bertentangan dengan sikap yang hanya menyenangkan orang lain saja. Saya tidak boleh mengizinkan emosi saya diatur oleh orang lain.

Hal yang paling menyakitkan bagi saya bukanlah orang-orang yang tidak menyukai saya, melainkan orang-orang yang tidak mendukung saya. Mereka pasif. Saya berusaha berpikir hal yang baik tentang mereka. Tetapi itulah hal yang paling sulit—mayoritas yang pasif, termasuk sesama pemimpin yang melindungi diri mereka sendiri. Ketika berbicara secara pribadi mereka sangat mendukung, tetapi kemudian ketika mereka berada dalam sebuah pertemuan di mana saya ditentang habis-habisan, mereka hanya duduk diam berpangku tangan. Hal itu lebih menyakitkan daripada apa pun juga.

Apakah ada titik di mana seorang pendeta yang berkata, “Cukup sudah”?

Ya. Mencoba menarik suatu garis yang tegas mungkin merupakan masalah ketidakpuasan dan intuisi pastoral. Anda harus mempertimbangkan dampaknya terhadap keluargamu. Anda juga harus ingat bahwa peduli terhadap orang yang melukaimu memerlukan suatu koreksi. Tidaklah benar mengadopsi kepribadian bagai seorang martir dan berkata, “Tidak apa-apa.” Dalam arti tertentu, Anda membiarkan mereka berbuat dosa.

Penyesalan saya yang terbesar dari penggembalaan saya yang terakhir adalah karena menunggu terlalu lama dan tidak cukup tegas atau konfrontatif. Pada satu pertemuan tahunan, orang-orang mengecam dan memunculkan berbagai hal. Mereka mencoba melihat hal mana yang akan melukai saya. Biasanya saya mencoba menjawab pertanyaan mereka dengan tenang dan lembut. Atau saya hanya diam saja. Tetapi pada akhirnya seseorang mengatakan sesuatu seperti, “Orang-orang terluka dan tidak didengarkan.”

Ketika saya duduk di sana, saya memikirkan tentang gosip dan kritik anonim yang telah saya alami selama berbulan-bulan. Saya memikirkan tentang beberapa wanita tertentu yang dulunya teman istri saya kemudian berhenti bergaul dengannya tanpa penjelasan apapun, sekalipun mereka sudah ditanya. Saya memikirkan tentang wanita yang telah memanipulasi beberapa orang untuk menentang istri saya. Sudah cukup bagi saya. Saya mengambil mikrofon dan berkata, “Semua orang yang ada di sini telah didengarkan kecuali saya.”

Saya berkata, “Keluarga saya telah dilukai oleh orang-orang di gereja ini. Jika Anda ingin berbicara tentang orang-orang yang terluka dan tidak didengarkan, masukkan saya ke dalam daftar tersebut.” Setelah bertahun-tahun kemudian saya kembali mengingat ke belakang, saya bertanya-tanya apakah saya seharusnya melakukan hal tersebut lebih cepat? Saya pikir itu bisa mencegah beberapa hal. Hal tersebut tidak benar-benar membuat perbedaan di antara mereka yang berbalik menentang saya; kalaupun ada, itu mungkin hanya akan membuat mereka menjadi semakin berani. Butuh beberapa tahun bagi saya untuk memutuskan apakah saya telah melakukan hal yang benar, namun saya putuskan bahwa saya telah melakukan yang benar. Pada titik tertentu, membiarkan orang-orang menindas Anda bukanlah hal yang mulia. Ini akan membuat orang bebas untuk berdosa.

Pada hari Minggu terakhir saya di gereja itu, saya berjumpa dengan seseorang yang telah sangat melukai saya dan istri. Saya telah melakukan semua yang bisa saya lakukan untuk memohon pada mereka. Saya telah menemui mereka bersama penatua yang lainnya, namun mereka hanya terus melanjutkan kampanye untuk menentang saya. Saya tidak pernah bertindak tegas kepada mereka. Saya membiarkan mereka memperlakukan saya seperti kotoran. Di hari Minggu terakhir saya, kami ada acara perpisahan. Mereka datang dan berkata, “Kami berharap Anda baik-baik saja.” Saya berkata, “Saya tidak mempercayai kalian.” Mereka perlu mendengar bahwa mereka telah sangat melukai saya. Saya merasa mereka ingin cuci tangan dan berpura-pura bahwa mereka tidak pernah memperlakukan saya dengan buruk, dan saya tidak ingin mengikuti permainan mereka. Ada saatnya ketika Anda harus mengatakan, “Cukup sudah.” Bukan dengan cara mendendam. Tetapi jika Anda peduli dengan jiwa orang-orang, bahkan termasuk mereka yang telah melukaimu, Anda harus memberi tahu mereka untuk berhenti berbuat dosa.

Sulit untuk tahu kapan waktu yang tepat untuk melakukannya. Anda harus mengajukan pertanyaan diagnostik: Apakah pelayanan utama saya untuk melayani Tuhan atau orang-orang? Seringkali hal tersebut berjalan bersamaan, dan hal itu sangat baik. Tetapi terkadang jika Anda berkhotbah atau memimpin dengan cara tertentu, maka itu akan menyebabkan terjadinya masalah. Dan yang saya maksudkan bukanlah menjadi seorang perundung atau penguasa atau mengambil keuntungan dari orang-orang. Jelas itu salah, dan orang-orang harus keberatan dengan hal tersebut! Namun ada hal aneh yang terjadi di gereja-gereja di mana orang-orang merohanikan percekcokan dan kekecewaan mereka. Pada titik tertentu, para pendeta harus memutuskan apakah mereka akan melakukan hal yang benar atau yang populer, yaitu hal-hal yang melindungi diri mereka sendiri. Saat itulah Anda menyadari apakah Anda seorang pendeta atau hanya seorang karyawan. Jika Anda takut akan Tuhan, maka Anda tidak akan terlalu mengkhawatirkan tentang apa yang akan terjadi jika Anda lebih memprioritaskan keluarga Anda atau mengambil waktu untuk berlibur, atau memiliki batasan-batasan yang sehat. Namun hal-hal tersebut akan diuji.

Bagaimana tindakan dan kata-kata Haynes telah mempengaruhi pemahaman Anda tentang pelayanan?

Tindakan dan kata-kata tersebut tentu saja telah memperkuat skala kekekalan. Tindakan dan kata-kata dia mengingatkan saya tentang supranaturalitas dari iman Kristen, dan, terlebih lagi, akan pelayanan Kristen. Segala sesuatu yang Haynes khotbahkan membawa perasaan agung akan kemuliaan Allah dan akan betapa pentingnya kekekalan. Setiap momen berjaga-jaga dibandingkan atau dikontraskan dengan Hari Terakhir. Saya juga diingatkan untuk hidup dan bergereja sedemikian rupa sehingga ketika saya harus mempertanggungjawabkan kehidupan saya, saya tidak akan merasa malu. Pada akhirnya, semua luka atau ketidakadilan, Tuhan akan memperhitungkannya. Haynes mengingatkan saya tentang kesetiaan dalam melewati segala pasang surutkehidupan yang terjadi. Akan tetapi dampak terbesar dari Haynes adalah ia mengingatkan saya tentang bagaimana pelayanan berurusan dengan pengelolaan sumber daya kekekalan secara berhati-hati, yang harus kita perhatikan, bahkan dengan keprihatinan terhadap konteks terdekat kita.

Drew Dyck adalah editor yang berkontribusi bagi CT Pastor dan penulis Your Future Self Will Thank You: Secrets to Self-Control from the Bible and Brain Science (Moody, 2019).

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Ia Tidak Percaya, Namun Tuhan Mendengar Tangisannya

Saya mendapat hak istimewa untuk menjadi bagian dari jawaban-Nya.

Christianity Today March 31, 2022
Illustration by Cassandra Roberts / Source images: We are / Getty

Saya pernah mendengar perkataan orang-orang Kristen yang saya kasihi dan hormati bahwa doa tidak mengubah apa pun. “Kita berdoa agar Tuhan mengubah kita,” kata mereka. Saya mengerti bagaimana rasanya. Saya pun percaya bahwa ketika saya berdoa dan meminta kehendak Tuhan untuk mengalahkan kehendak saya sendiri, hati saya berubah. Dengan perlahan, secara lembut, terkadang menyakitkan, saya merasakan keinginan-keinginan saya berubah. Tetapi menurut saya bukan hanya itu saja yang bisa dilakukan oleh doa. Saya tahu bahwa doa juga dapat mengubah keadaan kita. Saya pernah mengalaminya.

Beberapa tahun yang lalu, saya mengajar kelas komunikasi di sebuah kampus perguruan tinggi di Michigan. Seorang mahasiswa yang unik bernama Shatina, akan selalu berjalan ke bagian belakang kelas. Dalam banyak pertemuan, ia akan meletakkan kepalanya di atas meja dan berusaha untuk tidak melakukan kontak mata dengan saya di kelas selama 90 menit tersebut. Saya biasanya memiliki relasi yang baik dengan murid-murid saya, tetapi Shatina sepertinya tidak pernah tertarik dengan hal itu. Dia tidak menertawakan lelucon saya. Dia tidak mengangkat tangannya. Dia duduk di bagian belakang kelas dan, ketika kelas selesai, dia langsung pergi.

Suatu hari, saat Shatina masuk ke kelas, sebuah pikiran melintas di kepala saya: Berikan uang yang ada di dompetmu kepada Shatina.

Saya bertanya-tanya apakah pemikiran ini berasal dari Roh Kudus. Tetapi saya tidak tumbuh dalam budaya gereja yang sangat berfokus pada Roh Kudus, jadi seiring waktu, saya pikir diri saya telah terlatih untuk mengabaikan dorongan-dorongan seperti itu.

Saya tidak bisa begitu saja menyerahkan uang tunai dari dompet saya kepada murid-murid, pikir saya dalam hati. Bahkan, hal itu tidak pantas dilakukan. Jadi saya menghentikan pemikiran tersebut dari pikiran saya dan mengajar kelas seperti biasa. Saat kelas berakhir, para murid pun pergi, termasuk Shatina. Ketika ia sudah pergi, sebuah pemikiran melintas lagi di benak saya: Kamu terus meminta-Ku untuk memberimu kesempatan besar, namun kamu bahkan belum bisa setia dalam yang hal kecil ini.

Saya masih belum yakin apakah saya sedang berbicara dengan Tuhan atau berdebat dengan diri saya sendiri, tetapi saya tahu pernyataan itu menegur saya. Saya pernah berdoa agar Tuhan memakai saya, dan sekarang mungkin Ia sedang memakai saya namun saya mengabaikan kesempatan tersebut. Saya segera memeriksa dompet saya dan melihat bahwa saya punya uang 20 dolar. Saya berlari keluar dan mencari Shatina ke sana ke mari di sekitar tempat parkir, namun saya tidak dapat menemukannya. Saya mengatakan kepada Tuhan bahwa jika hal ini berasal dari Dia, saya sudah mencoba untuk setia, tetapi tampaknya itu terlalu sedikit dan terlalu terlambat.

Semua ini terjadi pada hari Jumat sebelum liburan musim semi. Keesokan harinya, saya dan suami saya pergi berlibur. Andai saja saya bisa bilang bahwa seluruh perjalanan saya hancur berantakan akibat penyesalan saya karena sudah menolak untuk mematuhi apa yang saya anggap sebagai suara Tuhan. Tetapi ternyata tidak. Selama liburan kami, saya sama sekali tidak memikirkan peristiwa tersebut.

Namun, ketika saya kembali bekerja seminggu kemudian, segera setelah Shatina masuk ke kelas saya, suatu pikiran muncul lagi di benak saya: Heather, berikan uang yang kamu miliki di dompetmu kepada Shatina.

Saya pun mengambil dompet dan membuka resletingnya. Kali ini ada 40 dolar bertengger manis di dalamnya. Oke, saya pikir. Saya akan setia.

Ketika kelas berakhir, saya meminta Shatina untuk tinggal sejenak. Dia terlihat sangat gugup. Kami tidak memiliki relasi yang akrab, dan ini akan menjadi momen yang sangat canggung bagi kami berdua.

“Saya tahu ini akan terdengar sangat aneh,” saya memulai sambil meraba-raba dompet saya, “tetapi saya seorang Kristen. Ketika kamu berjalan masuk ke kelas hari ini, Tuhan menyuruh saya untuk memberimu uang 40 dolar ini. Saya minta maaf jika saya membuatmu menjadi tidak nyaman. Uang ini bukan dari saya. Uang ini adalah antara kamu dan Dia.”

Meski saya merasa gugup, namun saya menyisipkan uang itu ke dalam tangannya, berharap dia tidak akan mengajukan keluhan. Wajahnya berubah dari kebingungan menjadi sangat terkejut. “Saya seorang ibu tunggal,” katanya. Saya tidak tahu hal ini. Ia baru berusia 19 tahun.

“Sebelum saya melangkah masuk ke kelas ini, saya melakukan sesuatu yang tidak pernah saya lakukan selama beberapa tahun,” bisiknya, dengan air mata yang mengalir deras di wajahnya. “Saya berdoa.”

Kemudian Shatina memberi tahu saya bahwa tepat sebelum kelas saya, ia meminta bantuan uang kepada seorang teman untuk membeli satu dus popok bagi bayinya yang berusia enam bulan. Namun temannya tidak punya uang, jadi mereka menelepon ayah temannya itu untuk mencari pinjaman uang. Dia juga bilang tidak ada. Mereka menutup telepon, dan teman Shatina menoleh kepadanya dan berkata, “Saya pikir kita harus berdoa.”

Shatina merasa tersinggung; menurutnya berdoa tidak ada gunanya. Bahkan jika ada Tuhan, Dia tidak peduli dengan doa Shatina. Shatina dibesarkan di panti asuhan dan mengalami kekerasan seksual. Dan ketika ia SMA, ia pindah ke rumah singgah. Kemudian ia hamil dan punya bayi.

Shatina sebenarnya tidak percaya pada Tuhan, tetapi ketika temannya meminta dia untuk berdoa, ia memutuskan untuk bersikap sopan. Kedua gadis itu, duduk persis di luar kelas saya, berdoa kepada Tuhan. Mereka tidak berdoa untuk mendapatkan sebuah rumah, atau untuk kekayaan maupun ketenaran. Mereka berdoa untuk satu dus popok bayi. Dan sekarang di sinilah saya, kira-kira 90 menit kemudian, memberikan uang 40 dolar kepadanya.

Saya tidak akan pernah lagi mengabaikan suara Roh Kudus. Jika saya tidak menjawab suara tersebut, yang berbisik untuk kedua kalinya agar saya membuka dompet saya, mungkin Tuhan akan menemukan cara lain untuk membantu Shatina. Atau mungkin respons Tuhan terhadap ibu tunggal berusia 19 tahun yang hampir tidak bisa berdoa ini, sebenarnya secara misterius bergantung pada kesediaan saya untuk menanggapi dorongan Roh Kudus.

Selama bertahun-tahun, relasi Shatina dan saya tetap terjalin. Tuhan terus bekerja di dalam hidupnya, dan ia sekarang percaya kepada Yesus. Namun meskipun demikian—ketika ia hampir tidak percaya kepada Tuhan dan bahkan tidak mau berdoa—doanya tetaplah penting. Inilah Tuhan yang harus kita sembah. Inilah Tuhan yang membuat saya ingin melakukan bagian saya untuk menjadi rekan sekerja-Nya.

Ya, saya percaya bahwa doa-doa kita mengubahkan kita. Namun saya juga percaya bahwa Tuhan bekerja melalui doa untuk mengubah keadaan kita—karena saya mendapat hak istimewa untuk menjadi bagian dari jawaban Tuhan bagi seorang ibu muda dari rumah singgah yang membutuhkan satu dus popok bayi. Saya menyaksikan bagaimana Tuhan menjawab seruan seorang gadis yang bahkan tidak percaya pada doa.

Heather Thompson Day adalah penulis It’s Not Your Turn, pembawa acara siniar CT yaitu Viral Jesus, dan lektor kepala jurusan komunikasi di Colorado Christian University.

Artikel ini adalah bagian dari edisi khusus CT “

Teach Us to Pray: Women’s Perspectives on Deepening our Engagement in Life with God.

” Anda dapat membaca edisi lengkapnya di sini.

Diterjemahkan oleh: Catharina Pujianto

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Instagram.

Berbahagialah Mereka yang Mewujudkan Ucapan Bahagia

Saat kita mencari makna dalam “Ucapan-ucapan Bahagia,” kita harus membiarkannya mengubah diri kita.

Christianity Today March 25, 2022
Illustration by Jared Boggess / Source Images: WikiMedia Commons

Buku catatan kelas filsafat agama saat saya berkuliah dulu, berisi tulisan yang menyedihkan ini: Sekolah Minggu tidak pernah serumit ini. Demikian pula, Ucapan Bahagia menjadi semakin kompleks daripada ketika kita pertama kali membacanya. Ucapan Bahagia (seperti semua bagian dari Alkitab) sangatlah kaya. Semakin dalam kita menggali, semakin banyak yang kita temukan.

The Beatitudes through the Ages

The Beatitudes through the Ages

Eerdmans

352 pages

$27.32

Sulit untuk mengatakan bahwa Ucapan Bahagia berarti apa pun, terlepas dari konteks di mana makna itu dapat dipraktikkan, dan terlepas dari kehidupan di mana Ucapan Bahagia itu mungkin berarti sesuatu. Ucapan Bahagia paling baik dipahami dalam konteks narasinya yang lebih luas dalam Matius dan Lukas: Ucapan-ucapan ini hanya masuk akal ketika dilihat sebagai bagian dari cerita yang lebih luas tentang Allah dan Anak Allah, Yesus.

Seperti yang ditulis oleh Kavin Rowe, “Kita tidak bisa memahami arah gagasan atau praktiknya terlepas dari cerita yang membuatnya dapat dipahami sebagai hal yang harus dipikirkan/dilakukan sejak awal.”

Kini saya juga ingin berargumen bahwa Ucapan Bahagia dapat kita pahami sepenuhnya, bukan dengan membaca tentang Ucapan Bahagia tersebut, melainkan dengan melihat seperti apa wujudnya dalam kehidupan manusia. Mungkin lebih baik untuk mengatakan bahwa bukan karena Ucapan Bahagia itu berarti sesuatu, melainkan karena Ucapan tersebut diharapkan dapat mengubah seseorang. Ucapan-ucapan itu bertujuan untuk mengubah kita.

Saya tidak menyangka akan diubahkan ketika menulis buku tentang Ucapan Bahagia, tetapi saya benar berubah. Saya sering berpikir tentang bagaimana saya mengalami dan mengekspresikan kemarahan, apakah saya orang yang lemah lembut, bagaimana saya membelanjakan uang, bagaimana saya memperlakukan orang miskin atau tunawisma, kapan dan bagaimana saya berdoa, dan apakah saya pernah menderita karena membela keadilan. “Bagaimana seseorang dapat mengomunikasikan api semangat dari Ucapan Bahagia,” René Coste bertanya-tanya, “jika dirinya sendiri tidak terbakar semangatnya?”

Christin Lore Weber menulis tentang Ucapan Bahagia:

Jika kita berusaha memahami maknanya melalui analisis, maka kita akan gagal memahaminya. Sebaliknya, kita perlu menerimanya dengan cinta…dan mendekapnya di dalam diri kita sampai ucapan-ucapan itu menghasilkan buah di dalam hidup kita. Kita tidak dapat menjelaskan Ucapan Bahagia itu; namun kita bisa bercerita tentang bagaimana kita mendapati ucapan-ucapan tersebut menjadi nyata di dalam diri orang-orang dan berbagai situasi yang kita jumpai.

Dengan mengikuti petunjuk Weber, saya ingin berbagi dua cerita—dua pertunjukan dari Ucapan Bahagia. Cerita pertama adalah tentang seorang gadis bernama Lena.

Helena Jakobsdotter Ekblom (1784–1859) lahir di Östergötland, Swedia, provinsi yang sama di mana keluarga saya, dari sisi Eklund, berasal. Pada usia dini ia mulai mendapatkan penglihatan tentang surga, di mana semua janji dari Ucapan Bahagia itu menjadi kenyataan—ia melihat orang-orang miskin bersukacita, tertawa, dan memiliki bumi, dimahkotai sebagai putra dan putri Allah. Ia mulai berkhotbah tentang penglihatannya, menarik perhatian kerumunan para petani miskin, yang dengan penuh semangat menerima khotbahnya, dan juga pihak berwenang, yang menentangnya.

Dengan kata-kata dari Ucapan Bahagia, Lena menyatakan kabar baik bagi sesamanya yang miskin. Sebagaimana dalam Injil Lukas, pesan ini membawa konsekuensi wajar yang tersirat: “Celakalah orang kaya yang menyebabkan kemiskinan, yang membeli tawanya dengan air mata orang lain. Celakalah mereka, yang kemewahannya dibangun di atas kesengsaraan, dan bagi mereka yang perkasa serta berkuasa, yang kekuatannya didirikan di atas ketidakadilan. Celakalah mereka yang menghina dan menganiaya serta menindas anak-anak kecil milik Yesus.”

Konsekuensi wajar yang tersirat ini terbukti sangat menantang, baik bagi otoritas negara maupun gereja. Sebagaimana yang ditulis oleh Jerry Ryan, “Dengan memahami melalui sudut pandang Lena, tatanan yang ada menjadi tak tertahankan, benar-benar memberontak.” Khotbahnya terbukti sangat mengganggu sehingga ia dikurung selama 20 tahun di Vadstena, di sebuah kastil yang diubah menjadi rumah sakit jiwa.

Namun bahkan di sana, di mana ia mendapati dirinya berada di antara yang termiskin dari yang miskin, yang terhina dan terlantar, Lena terus berkhotbah. Ia berkhotbah tentang kasih Allah yang tak tergoyahkan bagi mereka, meyakinkan mereka bahwa bahkan “di dalam sel penjara, mereka bersukacita di dalam kemerdekaan sebagai anak-anak Allah, bahwa mereka adalah ahli waris dari janji-janji Allah” (lih. Mat. 5:9-10).

Setelah 20 tahun akhirnya ia dibebaskan, tetapi ia tidak mau berhenti mengkhotbahkan kabar gembira dari Ucapan Bahagia—kabar baik bagi yang miskin, kabar buruk bagi yang berkuasa. Ia ditangkap lagi, tetapi dalam perjalanan kembali ke Vadstena, ia dan para penjaganya melewati kota yang hancur karena wabah, dan para penjaga melarikan diri dengan ketakutan. Lena, sebaliknya, tinggal di sana, merawat yang sakit, menghibur orang-orang yang berkabung.

Ketika wabah mereda, ia menjadi sangat dicintai oleh penduduk setempat sehingga tidak ada yang berani menangkapnya lagi. Ketika ia menjadi tua dan tidak dapat bekerja, ia pindah ke tempat penampungan untuk orang miskin di desa asalnya. Lena memperlihatkan Ucapan Bahagia dalam khotbahnya dan di dalam hidupnya—ia memberkati yang miskin dan ia sendiri miskin; ia menghibur dan ia sendiri meratap.

Cerita kedua adalah tentang seorang wanita yang saya sebut Anna. Dia adalah seorang penggerak komunitas, juga seorang pengkhotbah. Ia seorang pendeta, juga seorang pendamping bagi kaum miskin. Selama bertahun-tahun ia membawa semangat kedamaian, kemurahan hati, dan ketangguhan ke lingkungan yang dihancurkan oleh kekerasan senjata dan ketidakadilan rasial. Ia juga menjadi ibu dari dua anak perempuan, yang salah satunya didiagnosis autis setelah perjuangan yang penuh penderitaan untuk memahami mengapa setiap tahap perkembangan anaknya dipenuhi dengan begitu banyak kesulitan.

Seperti panggilannya yang lain, ia telah menanggungnya dengan anugerah, kelembutan, dan kekuatan. Ketika mengenalnya, saya tidak perlu melihat jauh untuk tahu seperti apa pembawa damai itu, atau seberapa kuat kelembutan, atau seperti apa miskin dalam roh, atau bagaimana berkabung dengan cara yang menghadirkan keindahan ke dalam kegelapan.

Ketika Ucapan Bahagia berakar dalam kehidupan, ucapan-ucapan tersebut berbunga dengan cara yang berbeda. Kedua wanita ini hidup pada kedua sisi dari Ucapan Bahagia: berkabung dan menghibur, menghadirkan damai dan membutuhkan damai, menawarkan belas kasihan dan menerimanya. “Jadi kita akan menghormati yang dipermalukan,” tulis Allen Verhey, “dan buatlah diri kita sendiri menjadi rendah hati. Jadi kita akan menghibur mereka yang berduka, dan menangisi diri kita sendiri dalam pengakuan yang mendalam bahwa saat ini belumlah masa depan yang dirancang Tuhan. Jadi kita akan dengan lemah lembut melayani orang-orang yang lemah. Kita akan haus akan keadilan—dan berusaha mewujudkannya.”

Ucapan Bahagia menempati ruang yang sama dengan kita: waktu yang belum menjadi masa depannya Tuhan. Bagi Sam Wells, seorang pendeta dan teolog, bagian pertama dari setiap Ucapan Bahagia adalah deskripsi tentang Salib (miskin, haus, lemah lembut, murah hati, dianiaya), dan bagian kedua adalah deskripsi Kebangkitan (dihibur, beroleh kemurahan, Kerajaan Sorga).

Wells menulis bahwa kita hidup tepat di tengah-tengah babak pertama dan babak kedua. Kita tinggal di koma antara “Berbahagialah, hai kamu yang sekarang ini menangis” dan “karena kamu akan tertawa.” Hidup di tengah Salib dan Kebangkitan tidaklah mudah, tetapi penuh sukacita. Ini sangat menyakitkan, tetapi juga indah. Dan begitu juga Ucapan Bahagia.

Saya telah menemukan bahwa Ucapan Bahagia, seperti perumpamaan Yesus yang lain, tampak sederhana, meskipun kenyataannya tidak. Seperti yang dikatakan Origen (dalam kata-kata Stephen dan Martin Westerholm), “kehadiran misteri di dalam teks ilahi bukanlah sesuatu yang tidak disengaja:…Perjuangan untuk memahaminya adalah salah satu cara yang ditetapkan oleh Tuhan untuk membawa orang percaya menuju kedewasaan.”

Mungkin salah satu fungsi utama Ucapan Bahagia adalah membuat kita bertanya-tanya tentangnya. Semakin Anda bergumul dengan Ucapan Bahagia, semakin ucapan-ucapan tersebut menarikmu pada kedalamannya. Semakin dalam Anda menggali, semakin banyak yang diberikannya.

Diadaptasi dari The Beatitudes through the Ages oleh Rebekah Eklund (Eerdmans: 2021). Dicetak ulang dengan izin penerbit.

Penerjemahan telah mendapat izin dari penerbit.

Diterjemahkan oleh: Fanni Leets

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Instagram.

Books

Teologi Doa Kita Lebih Penting daripada Perasaan Kita

Selama bertahun-tahun saya telah berdoa seolah-olah hubungan saya dengan Tuhan bergantung pada doa. Sekarang saya melihat doa secara berbeda.

Christianity Today March 19, 2022
Illustration by Cassandra Roberts

Ada satu masa dalam kehidupan kristiani saya di mana saya dikenal sebagai orang yang rajin mendoakan. Jika Anda punya permohonan doa, Anda dapat yakin bahwa saya pasti akan menambahkan Anda ke daftar doa saya dan berdoa untuk Anda setiap pagi dalam saat teduh saya. Selama bertahun-tahun, tidak ada satu hari pun yang terlewatkan tanpa saya meluangkan waktu secara intensional untuk berdoa. Jika Anda bertanya kepada saya apa yang akan saya lakukan jika saya sedang lelah atau putus asa, saya akan mengatakan kepada Anda—dengan sejujurnya—bahwa bagi saya, berlutut dan berdoa jauh lebih menyegarkan dan menguatkan.

Jika dulu Anda ingin tahu tentang berbagai jenis doa, saya akan memberi tahu Anda tentang bagaimana saya belajar berdoa melalui akronim ACTS (adoration/penyembahan, confession/pengakuan, thanksgiving/pengucapan syukur, supplication/permohonan). Kemudian saya juga memahami bahwa seseorang dapat berdoa melalui jurnal dan nyanyian. Saya juga akan membagikan apa yang saya pelajari melalui Richard Foster dan Dallas Willard, melalui mempraktikkan doa dalam kesunyian dan keheningan, melalui pengintegrasian doa ke dalam seluruh kehidupan ala Bruder Lawrence, melalui penggunaan doa-doa Paulus yang kaya dan bermakna (seperti yang dibahas dalam sebuah buklet kecil oleh Elisabeth Elliot), dan terakhir dengan menirukan kata-kata yang indah dari Book of Common Prayer.

Saya menikmati membaca tentang doa, berbicara tentang doa, mencoba berbagai jenis doa yang berbeda-beda, dan menguatkan orang lain dalam kehidupan doa mereka. Dan di atas segalanya, saya menyukai keintiman yang manis dari doa itu sendiri. Saya juga membaca dan mempelajari Alkitab setiap hari, tetapi doa adalah pusat hubungan saya dengan Tuhan.

Tetapi kemudian suatu hari, tanpa peringatan, alasan, atau penjelasan, rasa keintiman yang manis itu hilang. Kehidupan doa yang sudah saya kembangkan selama bertahun-tahun tampaknya lenyap begitu saja. Hubungan saya dengan Tuhan seakan terancam.

Musim kemarau?

Saya melakukan semua praktik dan disiplin yang sama, tetapi tampaknya tidak ada yang berhasil. Saya terus mencari waktu untuk berdoa setiap hari, tetapi pengalaman saya terasa sangat berbeda. Ada hari-hari di mana saya tidak dapat menemukan kata-kata untuk dipanjatkan kepada Tuhan. Dan di hari-hari lainnya saya tidak bisa tetap fokus. Setelah itu, saya mendapati diri saya bertanya-tanya: apakah barusan saya telah berdoa, mungkinkah saya hanya melamun, apakah kekhawatiran telah membajak waktu doa saya, mungkinkah saya telah tertidur, atau apakah sedikit banyak saya sudah melakukan semua itu?

Yang paling mengkhawatirkan saya adalah bahwa di masa-masa itu saya tidak merasakan kehadiran Tuhan. Meski saya sudah diajari bahwa iman saya tidak bergantung pada emosi, namun saya telah terbiasa memiliki perasaan keterhubungan secara rohani dengan Tuhan selama berdoa, yang tidak saya alami di waktu lain. Ketika keintiman itu hilang, saya merasa terguncang.

Inikah yang pernah dibicarakan oleh C.S. Lewis dalam buku The Screwtape Letters ketika dia menulis bahwa Tuhan “cepat atau lambat … menarik diri, jika bukan secara fakta, setidaknya dari pengalaman hati nurani mereka”? Apakah saya akhirnya memasuki “masa kekosongan” itu, seperti yang Lewis sebutkan? Apakah Lewis benar, bahwa “doa-doa yang dipanjatkan di masa kekeringan adalah doa-doa yang paling menyenangkan Dia”? Atau apakah ini adalah kelamnya malam dari jiwa, seperti yang digambarkan oleh santo Yohanes dari Salib (John of the Cross)? Segala pergumulan Teresa dari Avila selama bertahun-tahun tentang doa, dan kerangka perjalanan jiwanya melewati berbagai tahapan pendakian kepada Tuhan, dapatkah semua itu membantu saya memahami apa yang sedang saya alami?

Berbagai pemahaman tentang doa ditawarkan sumber-sumber klasik maupun kontemporer tersebut. Namun pada akhirnya, yang Allah ajarkan kepada saya adalah bahwa pergumulan saya tentang doa terjadi bukan karena saya sedang dalam masa kekeringan atau dalam tahapan berdoa yang baru, melainkan karena-ironisnya, sekarang saya bisa memahami-saya telah membuat doa itu menjadi terlalu penting.

Membingkai Ulang Doa

Saya tidak membutuhkan metode doa yang lain atau membaca buku lain tentang doa. Yang saya butuhkan adalah teologi doa yang benar. Teologi doa yang selama ini mendasari kehidupan doa saya selama bertahun-tahun ternyata sudah terdistorsi.

Sebelumnya saya telah menuliskan bahwa “doa adalah pusat hubungan saya dengan Tuhan.” Namun kini saya melihat berbagai macam tanda peringatan dalam hal ini. Saya telah berdoa seolah-olah hubungan saya dengan Tuhan bergantung pada doa, padahal yang benar adalah bahwa hubungan saya dengan Tuhan tidak bergantung pada latihan rohani, melainkan pada kasih karunia dan belas kasihan-Nya yang dinyatakan dalam Kristus Yesus dengan kuasa Roh Kudus. Alih-alih menerima doa sebagai sarana anugerah yang dapat digunakan Tuhan untuk memperkuat hubungan saya dengan-Nya, saya malah memahami doa sebagai jangkar dari hubungan itu—dan saya telah menaruh segala kepentingan dan kepercayaan saya di dalam doa. Kemudian, ketika kehidupan doa saya tampaknya lenyap, saya terombang-ambing dan tidak tertambat.

Saya sungguh percaya bahwa saya telah diselamatkan karena kasih karunia dan bukan karena perbuatan baik. Namun saya tetap berpikir bahwa hubungan sehari-hari saya dengan Tuhan pada dasarnya bergantung pada waktu doa saya—yang pada akhirnya membuat doa saya menjadi sangat mirip dengan “perbuatan baik.” Berdasarkan percakapan saya dengan rekan-rekan seiman dan para mahasiswa selama bertahun-tahun, tampaknya banyak dari kita memandang doa dengan cara demikian—sebagai sesuatu yang harus kita lakukan—yang membuat kita merasa bersalah atau malu karena kita belum cukup berdoa. Atau kita percaya bahwa kita jauh dari Tuhan karena kita belum berdoa. Alkitab menawarkan gambaran yang berbeda tentang doa.

‘Ucapan Kedua’

Dalam doa, kita menanggapi dengan rasa syukur kepada Allah yang telah menjangkau kita di dalam Kristus. Kita berdoa “Bapa Kami” seperti yang Yesus ajarkan, karena kita sudah menjadi bagian dari keluarga perjanjian Allah. Kita telah diadopsi oleh Allah melalui Kristus dan Roh Kudus. Doa adalah sebuah praktik keluarga, bukan sesuatu yang kita lakukan untuk menemukan jalan masuk atau mempertahankan tempat kita di dalam keluarga. Doa adalah sesuatu yang kita lakukan karena kita sudah menjadi bagian dari keluarga. Pada hakikatnya, doa selalu bersifat responsif; dalam doa kita menanggapi Tuhan telah yang menciptakan, menebus, dan memanggil kita masuk ke dalam keluarga-Nya.

Eugene Peterson menggambarkan doa sebagai “ucapan sahutan.” Ia menulis dalam Working the Angles, “Doa bukanlah ucapan pertama; doa selalu menjadi ucapan yang kedua. Tuhanlah yang memiliki ucapan pertama dari doa. Doa adalah ucapan sahutan; doa bukanlah ‘memanggil’ melainkan ‘menanggapi.’ Hal yang penting dalam praktik berdoa adalah menyadari sepenuhnya kualitas sekunder ini.” Apa yang berlaku dalam seluruh hubungan kita dengan Tuhan—bahwa semuanya bergantung pada tindakan Tuhan lebih dulu—juga berlaku dalam hal berdoa. Allah yang berfirman hingga ciptaan menjadi ada, Tuhan yang memanggil Abram ke dalam ikatan perjanjian dengan-Nya, Firman yang menjadi daging agar kita bisa menjadi anak-anak Allah, adalah Tuhan yang sama yang kita tanggapi di dalam doa.

Kita memasuki waktu doa bukan sebagai pemrakarsa, dengan semua beban di pundak kita, melainkan sebagai penanggap kepada Tuhan yang dengan murah hati telah memberi kita segala yang kita butuhkan untuk berelasi dengan-Nya. Ini bukanlah sekadar kebenaran masa lalu—bahwa karena karya penebusan Kristus di kayu salib kita dapat memiliki hubungan dengan Allah—melainkan ini juga mencakup kehadiran Roh Kudus dalam hidup kita sekarang ini. Roh Kudus, yang melalui-Nya kita berseru “ya Abba, ya Bapa” (Gal. 4:6), diberikan kepada kita sebagai Penolong yang menyertai kita selama-lamanya (Yoh. 14:16). Allah memberi kita Roh Kudus untuk menyatukan kita dengan Allah di dalam Kristus dan untuk memberikan tuntunan selama kita hidup setiap hari sebagai anak-anak Allah. Dalam pengertian inilah, Agustinus sering menyebut Roh Kudus sebagai “Pemberian.”

Berdoa dalam Roh

Kebenaran ini memiliki implikasi yang nyata bagi kehidupan doa kita. Peterson menulis dalam Christ Plays in Ten Thousand Places,

Roh Kudus adalah cara Allah menyertai kita, bekerja melalui kita, dan berbicara kepada kita. Jika Roh Kudus adalah cara di mana kesinambungan antara kehidupan Yesus dan kehidupan umat-Nya dipertahankan, maka doa adalah sarana utama di mana umat-Nya secara aktif menerima dan berpartisipasi di dalam kehadiran, pekerjaan, dan perkataan-Nya. Doa adalah cara kita untuk hadir dengan penuh perhatian kepada Allah yang hadir bagi kita dalam Roh Kudus.

Pemahaman ini memerdekakan kita dari pemikiran bahwa doa adalah tentang sikap atau “kata-kata yang tepat” dari kita. Doa adalah bagian dari memusatkan perhatian kepada Tuhan yang sudah hadir bersama kita; kepada Allah yang sudah bekerja di dalam kita, di komunitas kita, dan di dunia; dan kepada Tuhan yang menghendaki kita untuk berpartisipasi dalam pekerjaan-Nya yang sedang berlangsung.

Dan ketika kita berdoa, kita bergantung kepada Roh Kudus, baik kita menyadarinya atau tidak. Sebab “…sebab kita tidak tahu, bagaimana sebenarnya harus berdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan. Dan Allah yang menyelidiki hati nurani, mengetahui maksud Roh itu, yaitu bahwa Ia, sesuai dengan kehendak Allah, berdoa untuk orang-orang kudus.” (Rm. 8:26-27). Paulus bukan hanya mengatakan, “Ketika kalian tidak dapat menemukan kata-kata, Roh akan menolong.” Alkitab menjanjikan bahwa Roh itu sendiri bersyafaat bagi kita sepanjang waktu! Kita tidak pernah sepenuhnya tahu apa yang harus kita doakan, dan itu tidak apa-apa. Roh Kudus akan menerima apa pun yang kita panjatkan, betapapun kaya atau miskinnya kata-kata kita, betapapun hadir atau terganggunya perasaan kita, dan Ia akan bersyafaat bagi kita sesuai dengan kehendak Tuhan. Puji syukur kepada Tuhan!

Dalam Wahyu 5, Yohanes menyampaikan sebuah penglihatan tentang Anak Domba yang telah disembelih berdiri di tengah takhta, yang dikelilingi oleh tua-tua yang sujud menyembah. Masing-masing memegang “satu cawan emas, penuh dengan kemenyan: itulah doa orang-orang kudus” (ay. 8). Sungguh menakjubkan untuk dibayangkan: Segala doa sehari-hari kita yang biasa, sampai ke hadirat Tuhan. Dan dalam perikop ini sama sekali tidak memberi kesan bahwa hanya doa-doa yang indah saja atau doa-doa yang dipanjatkan oleh orang-orang yang telah mencapai ketenangan pikiran dan jiwa saja yang dapat masuk ke dalam cawan emas itu. Apa pun yang kita panjatkan, terlepas dari apa yang kita rasa atau tidak, Roh Kudus menerima ucapan atau rintihan atau saat-saat senyap kita. Ia memperantarai dan menyaringnya sesuai dengan kehendak Tuhan dan Ia mempersembahkannya kepada Tuhan, seperti harumnya wewangian yang naik ke hadapan Anak Domba di atas takhta.

Kristus Sendiri Berdoa untuk Kita

Bukan hanya Roh Kudus yang hadir secara aktif dalam kehidupan doa kita, melainkan Yesus sendiri memperantarai kita. Dalam kitab Ibrani, kita membaca tentang Kristus yang memiliki “imamat yang tidak dapat beralih” dan cara “Ia hidup senantiasa untuk menjadi Pengantara” [kita] (7:24–25). Kristus telah menyerahkan diri-Nya sebagai korban untuk dosa-dosa kita, sekali dan untuk selamanya, dan Ia terus memperantarai kita ketika Ia melayani di tempat kudus, di mana Ia duduk di sebelah kanan Bapa (7:27–8:2). Tindakan memperantarai ini termasuk juga berdoa demi kita, sama seperti para imam besar dalam Perjanjian Lama yang tidak hanya mempersembahkan korban tetapi juga berdoa demi seluruh umat. Lebih lanjut, keimamatan Yesus yang tetap ada menekankan bahwa kita tidak pernah sendiri ketika kita berdoa. Semua doa kita diselimuti dengan syafaat yang berkelanjutan dari Juruselamat kita.

Dengan kemampuan kita sendiri, kita tidak berdaya di hadapan Allah dan sepenuhnya bergantung pada keselamatan yang telah dimungkinkan oleh Yesus Kristus. Demikian pula kita bergantung pada kasih karunia Tuhan untuk kehidupan doa kita. Seperti yang dikatakan James B. Torrance dalam Worship, Community, and the Triune God of Grace,

Tuhan, yang kepada-Nya kita berdoa dan berkomunikasi, tahu bahwa kita mau berdoa, mencoba berdoa, tetapi tidak bisa berdoa. Karena itu, Allah datang kepada kita sebagai manusia dalam Kristus Yesus untuk menggantikan kita, berdoa demi kita, mengajari kita untuk berdoa dan memimpin doa-doa kita. Allah dalam kasih karunia-Nya memberi kita apa yang Ia cari dari diri kita—yaitu kehidupan doa—dengan memberi Yesus Kristus dan Roh Kudus kepada kita. Jadi Kristus adalah Allah sepenuhnya, Allah yang kepada-Nya kita berdoa. Dan Ia adalah manusia sepenuhnya, manusia yang berdoa untuk kita dan bersama kita.

Ketika kita berdoa, kita dapat mengandalkan Yesus Kristus, yang selalu berdoa untuk kita dan bersama kita.

Dietrich Bonhoeffer melangkah lebih jauh dengan mengatakan bahwa doa Kristus demi kita itulah yang membuat doa kita menjadi doa yang benar. Doa pada dasarnya bukanlah soal kita mencurahkan kata-kata, isi hati, atau emosi kita kepada Tuhan. “Doa Kristen,” tulis Bonhoeffer dalam Life Together, “berdiri tegak di atas dasar yang kokoh dari Firman yang diwahyukan dan tidak ada hubungannya dengan lika-liku kepentingan diri sendiri yang tidak jelas. Kita berdoa atas dasar doa sang Manusia sejati, Yesus Kristus. … Kita dapat berdoa dengan benar kepada Allah hanya di dalam nama Yesus Kristus.”

Ketika kita berdoa “dalam nama Yesus,” kita mengakui bahwa doa kita bergantung pada Yesus Kristus, yang memberi kita kemerdekaan. Ketika kita tidak merasakan kehadiran Allah secara nyata dalam doa, itu tidak apa-apa. Kita senantiasa terhubung oleh Roh Kudus dengan pelayanan doa Yesus yang terus-menerus, baik kita merasakannya atau tidak. Ketika doa tidak memberikan rasa keintiman yang kita harapkan, kita dapat tetap bersukacita karena kita tahu bahwa kesatuan kita dengan Kristus terjamin. Ketika penderitaan dan duka membuat kita sulit berdoa, kita dapat bersandar pada kenyataan bahwa Roh Kudus dan Yesus Kristus akan terus bersyafaat demi kita. Ketika kita melewati musim kemarau, kita dapat bertekun di dalam iman, dengan mengingat bahwa pengalaman doa kita bukanlah hal yang mendasar. Yesus Kristus sendirilah yang menjadi fondasi. Dialah sang Firman Allah, yang selalu hidup untuk bersyafaat bagi kita.

Kata-kata yang Dipinjam

Lebih dari 20 tahun telah berlalu sejak kehidupan doa saya diputarbalikkan. Dalam tahun-tahun itu, Tuhan telah membangunnya kembali sehingga doa saya berdiri di atas dasar yang kukuh yaitu Kristus itu sendiri, bukan di atas harapan atau pengalaman pribadi. Ketika pemahaman teologis saya tentang doa semakin dalam, saya bersukacita karena tahu bahwa doa-doa saya yang sederhana, meski dipanjatkan dengan kerendahan diri atau lemah, merupakan bagian dari realitas Tritunggal yang indah dan berkelanjutan. Saya telah menemukan kemerdekaan ketika menyadari bahwa doa adalah sebuah respons kepada Tuhan, dan respons yang dikuatkan oleh kasih karunia Allah, bukannya sebuah tugas yang bergantung pada diri saya.

Selama bertahun-tahun saya mendapati bahwa berdoa dengan kata-kata dari Alkitab mengingatkan saya akan kebenaran teologis yang memerdekakan ini. Dalam bukunya Psalms: The Prayer Book of the Bible, Bonhoeffer menulis, “Kita belajar berbicara kepada Allah karena Allah telah lebih dahulu dan terus berbicara kepada kita. … Perkataan Allah di dalam Yesus Kristus menjumpai kita di dalam Kitab Suci. Jika kita ingin berdoa dengan keyakinan dan sukacita, maka kata-kata dari Kitab Suci harus menjadi dasar yang kukuh dari doa kita.” Kata-kata Bonhoeffer sangat tepat bagi saya. Berdoa dengan kata-kata yang dipinjam dari Alkitab adalah salah satu cara Allah membangun kembali kehidupan doa saya di atas dasar yang lebih kukuh. Ini mengingatkan saya bahwa doa adalah menanggapi Tuhan, bukan menciptakan hubungan saya dengan Tuhan.

Berdoa Mazmur mengingatkan saya bahwa doa-doa saya berakar di dalam pelayanan doa Yesus yang berkelanjutan. Yesus sendiri secara teratur berdoa Mazmur selama pelayanan-Nya di dunia. Ketika kita melakukan hal yang sama, Bonhoeffer berpendapat bahwa kita akan berjumpa dengan Kristus yang berdoa dan bahwa doa-doa kita akan menyatu dengan doa-Nya. Berdoa melalui Mazmur menolong saya untuk merangkul doa dengan “keyakinan dan sukacita,” seperti yang dikatakan Bonhoeffer. Hal ini membuat saya menyadari bahwa kehidupan doa saya sepenuhnya bergantung pada Bapa, Putra, dan Roh Kudus, bukan pada diri saya sendiri.

Ketika kita menghadapi keputusasaan dalam doa, kiranya kenyataan bahwa Kristus berdoa untuk kita dan Roh Kudus memperantarai kita, akan mengundang kita ke dalam sukacita dan kemerdekaan. Doa-doa kita adalah respons terhadap Tuhan yang pengasih, yang terlebih dulu mencari kita.

Kristen Deede Johnson adalah dekan dan wakil presiden bidang akademik, serta profesor teologi dan formasi Kristen di Western Theological Seminary di Holland, Michigan. Buku-bukunya mencakup The Justice Calling, yang ditulis bersama Bethany Hanke Hoang.

Diterjemahkan oleh: Kalvin Budiman.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Instagram.

Doa di Masa Perang dari Kalangan Injili Ukraina

Para pemimpin Kristen setempat mengajak para pembaca untuk berbagi dalam pelayanan, perenungan Alkitab, dan pergumulan pribadi mereka di tengah invasi Rusia.

Seorang tentara Ukraina memotret sebuah gereja yang rusak setelah penembakan di distrik perumahan di Mariupol, Ukraina, pada 10 Maret.

Seorang tentara Ukraina memotret sebuah gereja yang rusak setelah penembakan di distrik perumahan di Mariupol, Ukraina, pada 10 Maret.

Christianity Today March 17, 2022
Evgeniy Maloletka

Gereja Ukraina membutuhkan dukungan. Begitu pula dengan orang-orang yang menggembalakan tubuh Kristus. Seringkali mereka terlupakan di balik berita utama dan statistik tentang perang. Bahkan pemberitaan tentang mereka kurang bisa menyampaikan kedalaman perjuangan mereka sepenuhnya.

Christianity Today telah meminta pemimpin-pemimpin gereja Injili Ukraina untuk membantu para pembaca memasuki dunia mereka yang sedang dilanda perang, dengan berbagi sekilas tentang keadaan di sana. Setiap pemimpin tersebut memberikan satu ayat Alkitab yang sangat bermakna bagi ketekunan mereka. Selain itu, mereka juga menyampaikan permohonan doa, baik untuk kebutuhan pribadi yang konkret maupun untuk kerinduan rohani yang lebih mendalam, serta memberi rujukan tentang bagaimana pembaca dapat terlibat.

Taras Dyatlik, Engagement Director for ScholarLeaders International untuk Eropa Timur dan Asia Tengah:

Dalam pelayanannya saat ini yang mendukung jejaringan seminari di Ukraina, Dyatlik telah mengidentifikasi tiga tahap kebutuhan. Kebutuhan mendesak adalah mengevakuasi, merelokasi, dan menemukan lokasi yang aman untuk menyelamatkan nyawa para mahasiswa, staf, dan dosen. Dalam kurun waktu seminggu atau lebih, situasi mereka harus stabil terkait akomodasi jangka panjang. Dan kemudian, sambil menunggu perkembangan perang, mereka akan mencari cara untuk melanjutkan pendidikan teologi.

Ayat Alkitab yang membantunya bertekun:

Markus 14:27-28 – “‘Aku akan memukul gembala dan domba-domba itu akan tercerai-berai.’ Akan tetapi sesudah Aku bangkit, Aku akan mendahului kamu ke Galilea.”

Terkadang kita menemukan diri kita bersama Yesus, bukan karena kita mengikuti-Nya, tetapi karena Dia datang kepada kita—seperti sekarang, dalam perang yang brutal dengan Rusia. Dan Ia bertanya kepada kami seperti saat Ia bertanya kepada Petrus di danau Galilea: “Apakah engkau mengasihi Aku?” (Yoh. 21:16-17). Dan ini terjadi setelah sarapan, sesudah Ia mengurus kami terlebih dahulu. Bahkan ketika kami gagal dalam berbagai tantangan akibat perang ini, persahabatan-Nya selalu ada untuk menguatkan kami kembali.

Apa yang ia doakan:

Saya berdoa untuk istri saya dan para istri orang-orang lain yang menolak untuk dievakuasi karena suami mereka tetap tinggal. Saya juga berdoa agar perang ini akan menggoncangkan hati nurani umat manusia dan teologi gereja. Kita tidak bisa lagi meninggikan nasionalisme yang sering kali menuntut untuk merendahkan orang lain, seperti yang dianut oleh banyak orang Kristen di Rusia saat ini.

Oleksandr Geychenko, presiden Odessa Theological Seminary :

Lembaga United World Mission telah menjadi mitra OTS selama beberapa dekade, yang terletak di pantai Laut Hitam barat Ukraina. Ketika rekan-rekan pemimpin seminari di kota-kota lain mengubah kampus mereka menjadi tempat perlindungan, Geychenko berusaha untuk mengevakuasi staf dan para mahasiswa seminarinya, serta menyediakan kebutuhan mereka sebaik mungkin.

Ayat Alkitab yang membantunya bertekun:

1 Korintus 12:26-27 – Karena itu jika satu anggota menderita, semua anggota turut menderita; jika satu anggota dihormati, semua anggota turut bersukacita. Kamu semua adalah tubuh Kristus dan kamu masing-masing adalah anggotanya.

Hari Minggu lalu, kami mengadakan Perjamuan Kudus untuk pertama kalinya sejak perang dimulai. Bagian yang signifikan dari Perjamuan Kudus itu adalah berbela rasa dengan penderitaan saudara-saudari seiman yang memiliki orang-orang terkasih di negara-negara sekitar, yang masih dalam perjalanan mencari akomodasi, atau yang telah tewas dalam serangan di banyak kota. Tetapi ketika saya mengambil roti itu, saya tahu bahwa saya adalah bagian dari tubuh Kristus.

Apa yang ia doakan:

Saya mendoakan terus kegusaran terhadap penderitaan yang nyata ini. Sebagai ganti rutinitas seminari, saya kini menjadi seorang sukarelawan darurat. Hidup kami telah hancur, jiwa kami telah terbakar, dan tiada akhir yang terlihat. Agar keutuhan negara kami pulih, kami membutuhkan Tuhan untuk memberikan pengertian rohani dan kejelasan moral kepada dunia. Dengan demikian, badai ini dapat berbalik melawan para penyerang, dan membubarkan mereka.

Yuriy Kulakevych, direktur urusan luar negeri Gereja Pantekosta Ukraina:

Sebagai perhimpunan gereja karismatik terbesar di Ukraina, Kulakevych menjadi bagian dari administrasi yang memfasilitasi bantuan untuk para pengungsi di seluruh jaringan regionalnya. Para manajer gudang, operator pusat panggilan, akuntan, juru masak, dan sopir merepresentasikan pekerjaan di balik layar yang memungkinkan perawatan jasmani dan rohani bisa dilakukan secara langsung.

Ayat Alkitab yang membantunya bertekun:

2 Korintus 6:9–10 – sebagai orang yang tidak dikenal, namun terkenal; sebagai orang yang nyaris mati, dan sungguh kami hidup; sebagai orang yang dihajar, namun tidak mati; sebagai orang berdukacita, namun senantiasa bersukacita; sebagai orang miskin, namun memperkaya banyak orang; sebagai orang tak bermilik, sekalipun kami memiliki segala sesuatu.

Terlepas dari banyaknya masalah kami, kami harus tetap mengingat bahwa hari ini adalah hari keselamatan. Kami tidak merasakannya, tetapi di dalam Kristus kami sudah cukup membuka hati lebar-lebar untuk melayani kebutuhan orang-orang di sekitar kami.

Apa yang ia doakan:

Saya berdoa untuk pemulihan supranatural di sepanjang tidur malam yang singkat! Setiap orang sedang mengusahakan yang terbaik—secara jasmani, mental, maupun spiritual—tetapi beberapa, dan terutama kaum muda, membutuhkan pelepasan dari stres pascatrauma. Meski demikian, di tengah kelamnya perang, saya berdoa untuk penginjilan bangsa-bangsa di Federasi Rusia, dengan Injil yang saat ini disembunyikan oleh jubah hitam para imam Ortodoks.

Vadym Kulynchenko, misionaris Our Legacy Ukraine :

Sebagai bagian dari gerakan pemuridan di Kamyanka, 145 mil selatan Kyiv, Kulynchenko telah mengawasi pasokan makanan, obat-obatan, produk kebersihan, dan bahan bakar untuk para pengungsi yang melarikan diri dari perang. Ia juga mengelola pendanaan, dengan keyakinan akan kemungkinan pembangunan kembali Ukraina.

Ayat Alkitab yang membantunya bertekun:

Markus 14:35–36 – Ia maju sedikit, merebahkan diri ke tanah dan berdoa supaya, sekiranya mungkin, saat itu lalu dari pada-Nya. Kata-Nya: "Ya Abba, ya Bapa, tidak ada yang mustahil bagi-Mu, ambillah cawan ini dari pada-Ku, tetapi janganlah apa yang Aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki.”

Kita dapat menyampaikan pertanyaan dan pergumulan yang jujur kepada Tuhan, dan kita harus—agar kita tidak jatuh ke dalam pencobaan yang membuat kita kehilangan kedamaian atau membenci orang-orang Rusia. Tetapi ketika kita menyerahkan hidup kepada Tuhan, kita harus menerima dan menaati jawaban yang Ia berikan kepada kita.

Apa yang ia doakan:

Saya berdoa agar mendapat tuntunan yang jelas dari Tuhan apabila saya harus merelokasi keluarga saya ke luar Ukraina. Wilayah pusat negara kami sekarang aman, tetapi banyak hal bisa berubah dengan cepat. Eurasia dan Timur Tengah berada di episentrum nubuatan Tuhan tentang akhir zaman, jadi kita perlu pemahaman tentang bagaimana berperilaku, baik saat ini maupun di berbagai peristiwa mengerikan yang akan datang.

Ruslan Maliuta, penghubung jaringan strategis di One Hope:

Mendedikasikan diri untuk kerjasama gereja dan distribusi Kitab Suci untuk anak-anak, Maliuta juga terhubung dengan pelayanan yang membantu anak yatim piatu dan anak-anak tanpa pendamping untuk mengungsi dari daerah serangan Rusia. Ia berasal dari Kyiv, namun ia telah pindah bersama keluarganya untuk melanjutkan pelayanan dari Eropa Barat.

Ayat Alkitab yang membantunya bertekun:

Yohanes 8:31–32 – Maka kata-Nya kepada orang-orang Yahudi yang percaya kepada-Nya: "Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu.”

Benar-benar mengikut Yesus memungkinkan kita untuk memahami kenyataan. Media menawarkan narasi yang berlawanan, tetapi ini adalah perang, penulisnya adalah Putin, dan tujuannya adalah untuk menghancurkan Ukraina sebagai negara bebas dan mematahkan semangat kita. Dan jika tidak dihentikan, pada akhirnya akan berlanjut lebih dalam ke Eropa.

Apa yang ia doakan:

Saya berdoa untuk orang tua dari istri saya, yang tetap tinggal di Kyiv, dan untuk hikmat agar kami tahu bagaimana menggembalakan kelima putra kami di masa yang penuh tantangan ini. Tetapi melampaui tentang Rusia, kita harus berdoa agar kebohongan dan penipuan yang menjadi ciri dari berbagai masalah, identitas, serta sejarah akan mendorong orang Kristen menuju ke arah pemuridan yang lebih baik agar bisa menjadi terang.

Maxym Oliferovski, pemimpin proyek untuk Multiply Ukraina :

Misi Persaudaraan Mennonite ini mengoperasikan New Hope Center di Zaporizhzhia, 40 mil dari reaktor nuklir yang sekarang dikuasai Rusia. Saat mengevakuasi dan memukimkan kembali para pengungsi ke Eropa Timur, Oliferovski membantu jejaring gereja-gereja lokal Anabaptis di Ukraina tenggara sambil mereka terus melayani komunitas mereka.

Ayat Alkitab yang membantunya bertekun:

Mazmur 11:5 – TUHAN menguji orang benar dan orang fasik, dan Ia membenci orang yang mencintai kekerasan.

Kami melihat kematian yang kejam di sekeliling kami di Ukraina, dan satu-satunya doa kami adalah agar Tuhan menghentikannya. Tetapi kami dikuatkan ketika mengetahui bahwa Tuhan juga membenci kekerasan seperti itu, dan pada waktunya Ia akan membawa penghakiman-Nya yang adil atas mereka yang melakukannya.

Apa yang ia doakan:

Saya berdoa bagi keluarga saya agar dapat menanggung kesulitan yang sedang kami alami ini, tetapi dengan hikmat untuk mengetahui cara terbaik agar dapat terus melayani orang-orang di sekitar kami. Kami juga berdoa untuk mukjizat, agar ketika Tuhan mencukupi kebutuhan jasmani dari masyarakat, Ia juga akan memberikan kedamaian bagi jiwa mereka, dan melalui semua itu semua, nama-Nya akan dimuliakan.

Sergey Rakhuba, presiden dari Misi Eurasia :

Rakhuba memiliki visi untuk membekali generasi pemimpin gereja Injili berikutnya di 12 negara bekas Uni Soviet serta negara-negara dengan populasi Rusia yang signifikan. Saat ini ia berada di Moldova untuk mengawasi pemindahan karena krisis yang terjadi, untuk menyediakan makanan, tempat tinggal, obat-obatan, dan pelayanan pastoral di tiga pusat pengungsian di Eropa Timur. Dan di Ukraina, katanya, 1.000 sukarelawan telah dikerahkan untuk membantu mereka yang mengungsi dari—dan tinggal di—berbagai zona perang.

Ayat Alkitab yang membantunya bertekun:

Yesaya 43:2 – Apabila engkau menyeberang melalui air, Aku akan menyertai engkau, atau melalui sungai-sungai, engkau tidak akan dihanyutkan; apabila engkau berjalan melalui api, engkau tidak akan dihanguskan, dan nyala api tidak akan membakar engkau.

Sangat mudah untuk memercayai Tuhan ketika semua baik-baik saja, tetapi ketika kita berada di tengah kejahatan yang melanda di mana-mana, kita harus mengandalkan Tuhan. Hati saya sangat sedih dengan semua ini; tetapi ketika kasih Yesus bersinar melalui tragedi, kami masih dapat menemukan harapan dan sukacita.

Apa yang ia doakan:

Saya berdoa untuk kekuatan dan keberanian dalam memimpin. Saya tidak bisa berada di Ukraina, tetapi staf dan teman-teman saya berada di sana. Beberapa di antaranya membawa makanan ke daerah yang paling berbahaya, dan kantor pusat kami di Lutsk ditembaki tadi malam. Akan tetapi, semua ini lebih dari sekedar politik. Ini adalah serangan spiritual terhadap gereja. Dengan sumber daya gereja yang sangat terbatas, saya berdoa agar Tuhan menunjukkan kuasa-Nya dan membuat Injil bersinar.

Mykola Romaniuk, pendeta senior Irpin Bible Church:

Sebagai gereja Baptis terbesar di “Wheaton,” di pinggiran kota Kyiv, Romaniuk dan jemaatnya telah mengungsi akibat serangan Rusia baru-baru ini. Tetapi saat mereka mengungsi secara tersebar, mereka terus memberikan dukungan, baik kepada anggota jemaat maupun orang yang tidak percaya, serta gereja-gereja mitra di kota-kota barat Vinnytsa dan Rivne, yang menampung banyak pengungsi.

Ayat Alkitab yang membantunya bertekun:

Pengkhotbah 3:8 – ada waktu untuk mengasihi, ada waktu untuk membenci; ada waktu untuk perang, ada waktu untuk damai.

Sekarang adalah waktu untuk membenci dan perang. Mengasihi musuh yang datang dengan membawa senjata mengharuskan kita untuk membuatnya berbalik, dan mereka yang tidak memobilisasi secara militer harus melakukannya secara rohani—dalam doa yang tak henti-hentinya. Ketika tiba waktunya kasih dan perdamaian kembali, maka kami akan berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan orang-orang percaya di Rusia yang mengakui dosa kebisuan mereka terhadap pembunuhan terhadap saudara.

Apa yang ia doakan:

Saya berdoa untuk hati saya, yang sama seperti hati Daud ketika ia dikelilingi oleh pasukan yang identik dengan orang-orang yang menipu dan curang (Mzm. 43:1). Seorang pemuda, salah satu anggota gereja kami, dibunuh di jalan ketika sedang membantu orang lain, karena kota-kota kami yang damai mengalami pengeboman setiap hari. Saya berdoa bagi mereka yang terjebak dalam cuaca dingin dan salju, dan para pengungsi Kristen, agar mereka dapat menemukan komunitas rohani di tempat pengungsian mereka.

Valentin Siniy, presiden Tavriski Christian Institute:

Terletak di dekat semenanjung Krimea, TCI berada di kota pelabuhan Kherson, yang telah jatuh ke tangan pendudukan Rusia. Kampus tersebut kini terancam untuk dijadikan barak militer. Karena tidak mampu lagi memberikan pendidikan seminari, Siniy telah beralih untuk membantu evakuasi, dan penyediaan kebutuhan dasar untuk gereja-gereja di wilayah Ukraina yang dikuasai Rusia.

Ayat Alkitab yang membantunya bertekun:

1 Korintus 15:51–52 – Sesungguhnya aku menyatakan kepadamu suatu rahasia: kita tidak akan mati semuanya, tetapi kita semuanya akan diubah, dalam sekejap mata, pada waktu bunyi nafiri yang terakhir. Sebab nafiri akan berbunyi dan orang-orang mati akan dibangkitkan dalam keadaan yang tidak dapat binasa dan kita semua akan diubah.

Tidak mudah untuk menemukan ayat Kitab Suci yang tepat yang dapat menghibur hati kami. Tetapi saya mengingat ayat ini ketika saya berkendara dari kota asal saya, sambil dari belakang saya mendengar peluncur roket mengebom kota tersebut. Perang ini akan mengubah kami—untuk selamanya—dan kami tidak akan pernah sama lagi.

Apa yang ia doakan:

Saya berdoa untuk keluarga saya dan neraka emosional yang kami alami. Kami hampir tidak tidur semalam, kami keracunan makanan, adik ipar saya mengalami kondisi medis yang buruk, dan kami jauh dari dokter dan rumah sakit yang kami kenal. Tetapi ketika saya melihat dunia yang penuh dosa ini dan kerajaan kehancuran, saya meminta kepada Tuhan agar lebih banyak orang yang akan mengutuki dosa perang. Kami membutuhkan kerajaan surgawi-Nya untuk datang dan memulihkan tujuan awal dari penciptaan-Nya.

Catatan editor: Liputan perang Rusia-Ukraina CT, termasuk evakuasi “Wheaton di Ukraina,” sebuah surat protes dari ratusan pendeta Rusia, dan gereja-gereja yang menerima 100.000 pengungsi di Moldova, dapat ditemukan di sini. Artikel tertentu ditawarkan dalam bahasa Rusia dan Ukraina.

Diterjemahkan oleh: Maria Fennita S.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Telegram.

Books

10 Penemuan Teratas dari Arkeologi Biblikal di Tahun 2021

Bukti Herodes mahir berkebun, metode penyaliban Romawi, dan pisang Filistin menambah pemahaman kita tentang dunia Alkitab.

Christianity Today March 4, 2022
Mahmoud Khaled/Getty Images

Arkeologi adalah pekerjaan yang membutuhkan waktu bertahun-tahun, sekian dekade, dan bahkan bisa sampai setengah abad. Pekerjaan menggali dan memilah yang melelahkan disertai dengan penantian, analisis, dan interpretasi yang lebih lama. Namun dalam 12 bulan terakhir ada pemberitahuan rutin tentang berbagai perkembangan dan penemuan—beberapa yang memang sudah dinanti tetapi beberapa yang lain cukup mengejutkan—yang memperdalam dan memperluas pemahaman kita tentang dunia Alkitab.

Dari berita arkeologi terbaru tahun 2021, berikut adalah 10 berita teratas:

10. Kemahiran berkebun sang Herodes Agung

Raja Herodes—yang paling dikenal di Alkitab karena memerintahkan kematian bayi-bayi yang seusia dengan Yesus—ternyata memiliki hobi berkebun. Sampel tanah dari penggalian istananya di Yerikho, yang diambil hampir setengah abad yang lalu, baru-baru ini dianalisis, dan partikel serbuk sari yang terkandung dari sampel tersebut mengungkapkan hortikultura yang canggih .

Miniatur pohon pinus, cemara, aras, dan zaitun tumbuh di dalam pot-pot tanah liat yang awalnya ditemukan oleh arkeolog Ehud Netzer. Kebun ini menjadi sebuah demonstrasi kehebatan Herodes, karena banyak spesies dari pepohonan tersebut biasanya tidak tumbuh di gurun sekitar Yerikho. Ini merupakan suatu prestasi hortikultura untuk mengesankan tamu dan rakyat.

9. Kompleks hiburan tepi laut milik Herodes

Otoritas Barang Antik Israel mengumumkan penemuan kembali dan pelestarian basilika Herodes Agung di Askelon. Pada masanya, Herodes terkenal karena lokasi istana dan bentengnya yang dramatis, tidak terkecuali konstruksi bergaya Romawi ini, sebuah bangunan umum untuk kegiatan masyarakat.

Bangunan besar ini, yang lebih besar daripada lapangan sepak bola, pertama kali digali lebih dari satu abad yang lalu. Kini bangunan tersebut sedang digali kembali dan dikembangkan untuk menarik pengunjung ke Taman Nasional Tel Ashkelon. Rekonstruksi finalnya akan meliputi teater kuno yang kecil yang disebut odeon, pilar dan tiang marmer, serta patung marmer dewa-dewa pagan yang besar.

8. Monumen perbatasan milik Firaun di Alkitab

Ditemukan di ladang petani di timur laut Mesir, monumen ini bertuliskan nama salah satu dari sedikit firaun yang namanya benar-benar disebutkan di Perjanjian Lama. Hofra memimpin pasukan Mesir ke Yehuda untuk membantu raja Zedekia melawan invasi Nebukadnezar, raja Babel. Taktik itu hanya berhasil sementara, dan sesuai dengan nubuatan dalam Yeremia 44:30, Firaun dibunuh oleh musuh-musuhnya setelah penyerangan tiba-tiba ke Libya yang membawa malapetaka.

Monumen prasasti tersebut berisi 15 baris hieroglif, yang sejauh ini belum diterjemahkan. Mostafa Waziry, sekretaris jenderal Dewan Tertinggi Kepurbakalaan Mesir, menjelaskannya sebagai prasasti perbatasan yang “didirikan raja selama kampanye militernya ke timur.” Hal ini memunculkan kemungkinan menarik yang menggambarkan kampanye Hofra untuk mendukung Zedekia.

7. Sebuah kota Mesir yang tidak dikenal

Para arkeolog mengumumkan penemuan sebuah kota yang sebelumnya tidak dikenal di tepi barat Sungai Nil dekat Luxor. Diyakini sebagai salah satu kota Mesir terbesar yang pernah ditemukan, kota tersebut berasal dari masa pemerintahan Firaun Amenhotep III. Firaun ini adalah kakek dari Tutankhamun. Namun yang lebih penting lagi, ia adalah cucu dari Amenhotep II, yang dipercaya oleh banyak sarjana Injili sebagai Firaun yang disebutkan di kitab Keluaran.

Kota tersebut tampaknya tiba-tiba ditinggalkan. Penduduknya mungkin diusir dari rumah mereka ketika Amenhotep IV, lebih dikenal sebagai Akhenaten, mengumpulkan para pekerja untuk membangun sebuah ibu kota yang benar-benar baru di Mesir tengah. Yang tersisa kini mungkin mengungkapkan banyak detail tentang kehidupan sehari-hari di Mesir sekitar zaman Musa.

6. Kaki yang disalib

Praktik penyaliban Romawi dikenal dari sumber-sumber kuno, termasuk catatan Injil tentang kematian Yesus. Namun sampai saat ini, satu-satunya bukti arkeologi tentang penyaliban ditemukan di sebuah gua makam di Israel pada tahun 1986. Pada awal Desember, diumumkan bahwa suatu kerangka telah digali dari sebuah makam di Fenstanton, Cambridgeshire, Inggris. Dari sisa kerangka itu terdapat paku yang tertancap ke bagian belakang kaki kanan. Penanggalan makam tersebut sekitar 400 M, selama pendudukan Romawi di Inggris.

5. Penemuan lebih banyak lagi di Laut Mati

Otoritas Barang Antik Israel mengumumkan hasil dari proyek penggalian selama empat tahun di gua-gua yang sulit dijangkau, yang menghadap ke Laut Mati. Dari penggalian tersebut ditemukan panah, koin, sisir, sisa-sisa mumi seorang gadis muda, dan lusinan potongan teks Alkitab. Fragmen-fragmen gulungan kitab, yang berisi bagian-bagian dari kitab Zakharia dan Nahum, tidak terkait dengan teks-teks yang dibuat oleh komunitas Qumran, yang dikenal sebagai Gulungan Kitab Laut Mati (Dead Sea Scrolls). Namun penemuan ini menunjukkan fakta tentang pekerjaan panjang dalam menerjemahkan dan menyalin Kitab Suci.

Bagi para arkeolog, penemuan paling menakjubkan adalah keranjang berusia 10.500 tahun.

Keranjang itu, lengkap dengan tutupnya yang utuh, berasal dari periode Neolitikum pra-tembikar. Karena itu, keranjang tersebut merupakan keranjang tertua yang pernah ada. Ini mengingatkan kita pada keranjang-keranjang di zaman Alkitab, seperti keranjang yang menampung bayi Musa di kitab Keluaran, keranjang yang membawa sisa makanan ketika Kristus memberi makan orang banyak dalam kitab-kitab Injil, dan keranjang yang membantu rasul Paulus lolos dari penganiayaan, ketika ia diturunkan dari atas tembok Damaskus.

4. Yavne, hanya Yavne

Kota modern Yavne, yang terletak di antara Tel Aviv dan Asdod, telah menjadi situs terkenal karena penemuan arkeologi pada tahun 2021. Kota ini berkembang pesat, dan seiring dengan persiapan lahan yang luas untuk pembangunan perumahan baru, para arkeolog menemukan artefak yang menakjubkan.

Sekitar 1.500 tahun yang lalu, Yavne adalah pusat industri untuk produksi minuman anggur, yang memproduksi sekitar setengah juta galon minuman anggur per tahun. Para arkeolog menemukan lima area produksi pemerasan anggur yang besar, masing-masing berukuran lebih dari setengah ukuran lapangan basket, bersama dengan empat gudang besar dan tempat pembakaran buli-buli penyimpanan anggur. Mereka juga menemukan tempat pemerasan anggur yang lebih tua dari zaman Persia, yang berasal dari sekitar tahun 300 SM.

Dalam beberapa dekade setelah penghancuran Bait Allah Yahudi di Yerusalem, Yavne menjadi pusat spiritual, rumah bagi banyak rabi dan kalangan Sanhedrin. Sebuah bangunan yang diidentifikasi dari zaman tersebut telah digali dan sebuah mosaik besar yang indah yang berasal dari 1.600 tahun yang lalu sedang dipugar.

Mungkin penemuan Yavne yang paling langka adalah telur ayam utuh dari 1.000 tahun lalu, ditemukan di reruntuhan sebuah kamar kecil di luar rumah.

3. Aula perjamuan di Bukit Bait Suci

Sebuah bangunan publik yang mewah yang terletak di sebelah Bukit Bait Suci telah digali dan dibuka untuk wisata umum. Sebagian dari bangunan ini pertama kali ditemukan oleh arkeolog Inggris, Charles Warren, pada tahun 1867, dan situs tersebut sebagian digali pada tahun 1966. Sekarang setelah penggalian selesai, para arkeolog memperkirakan konstruksinya berasal dari tahun 20 M—selama masa hidup Yesus.

Bangunan tersebut berisi dua kamar yang identik, dipisahkan oleh air mancur yang luas. Mewahnya fasilitas tersebut dan posisinya yang berada dekat dengan Bukit Bait Suci menunjukkan bahwa bangunan ini mungkin digunakan oleh para anggota elit komunitas Yahudi abad pertama, keluarga imam besar, dan tokoh agama terkemuka lainnya.

Para arkeolog mengatakan bangunan itu rusak karena gempa bumi pada tahun 33 M, kemudian dibangun kembali dan dikonfigurasi ulang menjadi tiga ruang berkubah. Tanggal kehancuran tersebut menunjukkan bukti yang memungkinkan dari gempa bumi yang tercatat dalam catatan Injil saat penyaliban Yesus.

2. Kendi Gideon

“Yerubaal” adalah julukan yang diberikan kepada Gideon dalam Hakim-hakim 6:31–32 setelah Gideon menghancurkan sebuah mezbah dewa Baal. Artinya ”Biarlah Baal berjuang dengan dia.” Itu juga nama yang tertulis pada temuan pecahan kendi tembikar yang digali di Khirbat er-Ra’i, sebuah situs dekat Tel Lachish di Israel selatan.

Tidak mungkin kendi itu milik Gideon. Khirbet er-Ra’i terletak sekitar 100 mil selatan Lembah Yizreel, di mana Alkitab mengatakan bahwa Gideon membawa sejumlah kecil pasukan dan mengusir pasukan Midian yang jumlahnya jauh lebih besar. Para arkeolog yang menggali di Khirbat er-Ra’i memperkirakan lapisan batu di mana tembikar itu ditemukan berasal dari 1100 SM, periode Hakim-hakim, tetapi kemungkinan sekitar satu abad setelah Gideon, berdasarkan kronologi internal dari Alkitab.

Hanya ada sedikit catatan arkeologis dari periode ini, jadi penemuan yang menghubungkan nama biblikal dengan zaman itu patut dicatat.

Para arkeolog juga mengatakan penemuan itu memberikan bukti penyebaran tulisan alfabet yang pertama kali dikembangkan oleh orang Kanaan yang hidup di Mesir sekitar 1800 SM. Tak jauh dari Lakhis, di mana beberapa prasasti abjad Kanaan Zaman Perunggu Akhir lainnya telah ditemukan, mungkin telah menjadi pusat pelestarian tulisan abjad. Penemuan prasasti abjad di Lakhis, tertanggal abad ke-15 SM, juga diumumkan pada tahun 2021.

Tingkat literasi dalam Perjanjian Lama masih menjadi bahan perdebatan di antara para sarjana. Menariknya, kisah Gideon merujuk pada seorang pemuda yang “menuliskan nama 77 tua-tua Sukot” (Hak. 8:14).

1. Sinagoge kedua di Magdala

Universitas Haifa mengumumkan penemuan lain sinagoge abad pertama di Magdala pada akhir Desember, yang terletak di pantai barat laut Danau Galilea. Sinagoge Magdala yang pertama, ditemukan belasan tahun yang lalu, terkenal karena digunakan sebelum kehancuran Yerusalem, ketika ibadah masih dipusatkan di Bait Allah. Sekarang sinagogenya ada dua.

Hanya segelintir sinagoge abad pertama yang telah digali di Israel. Dari antara semua sinagoge yang telah digali itu, dua sinagoge inilah yang paling mungkin dikunjungi oleh Yesus selama pelayanan-Nya (Mat. 4:23) karena lokasinya dekat jalan dari Nazaret ke Kapernaum dan keterkaitan kedua sinagoge tersebut dengan kota kelahiran Maria Magdalena.

Sinagoge yang kedua ini, terletak kurang dari 200 meter dari yang pertama, ditemukan saat mempersiapkan proyek pelebaran jalan. Penemuan ini “mengubah pemahaman kita tentang kehidupan orang Yahudi di masa tersebut,” menurut Otoritas Barang Antik Israel. Banyak sarjana mengira sinagoge berkembang dan berfungsi lebih religius hanya setelah penghancuran Bait Allah di Yerusalem. Bukti baru ini tampaknya menunjukkan bahwa sinagoge, yang lebih seperti pusat komunitas pada masa awal keberadaannya, mencakup lebih banyak kegiatan keagamaan.

Bonus: Pisang Filistin

Kita tahu bahwa Raja Salomo memberi makan para tamunya daging sapi, domba, daging rusa, dan unggas, selain roti, kue, kurma, dan makanan lezat lainnya. Tetapi … pisang?

Mengingat jumlah air yang dibutuhkan untuk menanam pohon pisang, membuat pisang menjadi buah yang tidak mungkin tumbuh di Israel kuno. Tetapi sebuah studi baru yang diterbitkan dalam Proceedings of the National Academy of Sciences melaporkan sisa makanan yang ditemukan di gigi orang Kanaan dan Filistin yang meninggal pada 2.000 tahun SM, periode pemerintahan Salomo. Gigi tidak berbohong: Mereka makan pisang.

Bukti makanan tersebut menunjukkan “jaringan pertukaran yang dinamis dan kompleks yang menghubungkan Mediterania dengan Asia Selatan,” menurut laporan itu. Christina Warinner, seorang antropolog lulusan Harvard dan salah satu peneliti utama, mengatakan buah impor tersebut mungkin telah dikeringkan, seperti keripik pisang pada zaman modern.

Gordon Govier adalah editor Artifax, majalah berita arkeologi alkitabiah triwulan, dan pembawa acara siniar The Book & The Spade.

Diterjemahkan oleh: Denny Pranolo

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Telegram.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube