Sekitar 200 orang telah meninggalkan gereja kecil kami. Jumlahnya mungkin mendekati 350 ketika menghitung anak-anak mereka. Namun mereka tidak pergi seperti yang Anda duga—tidak ada perpecahan atau gereja baru. Mereka pergi perlahan-lahan, tanpa banyak suara atau kemeriahan. Beberapa, jika bukan sebagian besar, meninggalkan gereja tanpa pamit. Mereka pergi tidak dalam kurun waktu tujuh minggu atau tujuh bulan, melainkan tujuh tahun.
Saya memikirkan hal ini ketika saya kembali dari cuti panjang musim panas, karena saya senang melihat bahwa gereja kami tidak hanya masih ada, tetapi juga ada beberapa lusin orang baru.
Para orang baru tersebut menjabat tangan saya dan memperkenalkan diri. Mereka tersenyum pada saya saat saya berkhotbah. Mereka berperan serta dalam kelas keanggotaan kami dan bertanya tentang kelompok-kelompok kecil dan kesempatan untuk melayani. Sepasang suami istri mengundang saya beserta istri untuk bertemu. Namun tetap saja, saya perlu berusaha untuk membuka hati kepada mereka sebagaimana seharusnya seorang pendeta membuka hati sepenuhnya dan tanpa syarat. Entah mengapa demikian.
Kemudian saya menjadi tersadar. Dalam tujuh tahun, gereja kami—dalam hal jumlah kehadiran bersih—telah bertumbuh dari sekitar 150 menjadi 350. Namun dalam kurun waktu yang sama, gereja kami juga telah kehilangan sebanyak yang tetap tinggal. Kehilangan tersebut tidak pernah terjadi dengan cepat seperti sebuah tanggul jebol, melainkan lebih seperti tetesan yang terus-menerus atau kebocoran yang perlahan terjadi.
Beberapa anggota kami meninggal. Satu masuk penjara. Satu orang menulis surat keluhan setebal delapan halaman di mana saya diminta untuk membagikannya kepada para penatua; orang yang lain menulis di sebuah blog sepanjang satu bab yang menunjukkan bahwa kami bahkan bukan gereja. Beberapa anggota jemaat tidak membiarkan dirinya terbentur pintu karena mereka menendang engselnya ketika mereka keluar dan membiarkan kami memunguti bagian-bagian yang hancur.
Kepergian mereka sejauh ini merupakan pengecualian. Banyak dari mereka yang pergi tidak memberi tahu mengapa mereka pergi atau bahkan bahwa mereka telah pergi. Saya sering mencari tahu melalui jalur belakang seperti media sosial dan sarana impersonal lainnya. Dan saya tidak percaya gereja kami memiliki pintu belakang yang sangat besar—saya kira kami unik.
Bagaimana seorang pendeta menjaga hatinya agar tidak menjadi sinis ketika, lebih dari 350 minggu menggembalakan gereja yang sama, saya telah kehilangan rata-rata satu orang setiap minggu? Dan mengapa pula orang-orang ini meninggalkan gereja kami? Apa peran yang mungkin telah saya lakukan, sekalipun secara tidak sengaja, dalam mengirim para domba itu ke tempat yang mereka anggap sebagai padang rumput yang lebih hijau?
Saya tidak tahu. Namun baru-baru ini saya menghabiskan banyak waktu dan usaha untuk mencari tahu.
Di tengah semua perpindahan dan perubahan selama dua tahun terakhir, banyak jemaat telah melihat perputaran anggota yang semakin cepat.
Mengapa domba-domba pergi?
Selama beberapa bulan saya mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini kepada orang-orang yang saya muridkan dan para pendeta lain untuk melihat apa yang mungkin saya lewatkan. Suatu pagi, saya duduk di Starbucks dengan seorang pensiunan misionaris yang sekarang mengajar kepemimpinan Kristen kepada mahasiswa PhD. Saya pun mengungkapkan kebingungan dan kesedihan saya atas domba-domba kami yang hilang.
Saya mengatakan kepadanya bahwa saya ingin mengetahui narasi sebenarnya, yang menjelaskan kepergian jemaat sedikit demi sedikit, sehingga saya tidak salah memproyeksikan, yang mungkin dapat membuat lebih bertambah buruk daripada yang dibutuhkan. Teman saya dan anggota gereja menyarankan agar kami membuat survei lewat telepon untuk melihat apa yang mungkin dapat kami pelajari. Jadi kami melakukannya.
Seorang wanita dari gereja kami menelepon lusinan mantan anggota dan simpatisan untuk menanyakan beberapa pertanyaan sederhana kepada mereka. Kami berharap mereka yang pergi dapat membantu gereja yang pernah mereka hargai di masa lalu, agar kami belajar bagaimana melayani jemaat yang masih berada di bawah pengawasan kami dengan lebih baik.
Mayoritas mantan anggota dan simpatisan menerima panggilan telepon dengan baik. Kami tidak dapat berbicara dengan tegas tentang tren yang signifikan secara statistik, tetapi di bawah ini adalah empat alasan utama orang pergi. Mungkin keempat alasan tersebut mirip dengan alasan mengapa orang-orang mempertimbangkan untuk meninggalkan gereja Anda.
Relokasi geografis. Alasan terbesar sejauh ini bahwa orang pergi terkait relokasi geografis. Rupanya orang-orang cukup sering berpindah. Hanya saja, jarang orang memberi tahu kami sebelumnya tentang kemungkinan relokasi, meminta masukan pastoral dan doa saat mereka membuat keputusan besar dalam hidup. Saya berasumsi bahwa percakapan-percakapan ini lebih sering terjadi pada level kelompok pemahaman Alkitab. Namun, ada semangat dan kelegaan yang datang dari data ini. Para pendeta kami tidak bisa berbuat banyak terkait alasan terbesar ini yang membuat orang-orang pergi.
Ketidaksepakatan doktrinal. Orang-orang lainnya pergi karena penafsiran yang berbeda terhadap Alkitab. Seorang pria mengatakan kepada saya bahwa saya merusak Alkitab karena pandangan saya tentang Penciptaan, suatu pandangan yang umumnya dianggap ortodoks. Pria lainnya mengambil pengecualian terhadap pandangan saya tentang Milenium. Satu pasangan dengan latar belakang kalangan Adven memandang, seperti yang Anda duga, hari Sabat secara berbeda. Orang-orang lainnya meninggalkan gereja kami karena frustrasi dengan upaya kami yang jarang membahas tentang masalah ras secara alkitabiah—terlalu berani bagi beberapa orang namun terlalu menakutkan bagi yang lainnya.
Mungkin saja ketidaksepakatan doktrinal semacam ini berfungsi sebagai topeng rohani untuk sesuatu yang kurang rohani, tetapi saya ingin mempercayai kata-kata mereka. Dan meskipun saya berharap orang-orang ini tetap tinggal, alasan kepergian mereka juga menguatkan saya bahwa mereka pergi karena terkait isu yang penting.
Kelompok Kristen yang eksklusif. Umpan balik dari beberapa keluarga menunjukkan bahwa mereka merasa kelompok kaum muda terlalu mapan dan sangat tertutup bagi pendatang baru. Seberapa pun besarnya usaha yang dilakukan para pendeta dan pembina kaum muda untuk mengatasi hal ini, saya yakin hal itu masih terjadi. Dan sementara umpan balik semacam ini cenderung berfokus pada pelayanan mahasiswa, saya menduga kelompok orang dewasa juga rentan terhadap perangkap yang sama. Bahkan sebagai pemimpin gereja—dan ini mungkin berarti juga anggota yang paling terlatih dan diperlengkapi—mudah bagi saya untuk menghabiskan sebagian besar Minggu pagi untuk berbicara dengan orang-orang terdekat saya daripada mendekati para pendatang baru dan mereka yang terpinggirkan.
Masalah pribadi dan konflik yang belum terselesaikan. Alasan yang terakhir—dan untungnya yang terkecil secara presentase—berkaitan dengan konflik. Dalam kategori ini, kita bisa menggabungkan berbagai kontroversi atas segala hal, mulai dari protokol memakai masker, filosofi pelayanan, dan kesalahan pastoral hingga sejumlah besar kesalahpahaman lainnya yang terlalu pribadi dan menyakitkan untuk ditulis selain di jurnal doa.
Terlepas dari kecilnya angka jemaat yang pergi dalam kategori ini, masalah dan situasi ini mengambil bagian yang cukup besar dari sumber daya pastoral, baik dalam hal waktu maupun kapasitas emosional mereka untuk terus datang kembali Minggu demi Minggu dengan hati yang hangat.
Misalnya, pada suatu ketika istri saya ingin tahu nama-nama mereka yang pergi karena konflik. Saat saya membacakan daftarnya, ia memberi tahu saya bahwa dadanya mulai sesak—dan saya bisa melihat wajahnya mulai meringis. Saya pun bereaksi serupa pada awalnya. Dan dari survei melalui telepon, jelas beberapa dari mereka yang pergi merasakan hal yang sama juga terhadap kami.
Satu-satunya kategori lainnya yang dapat dipahami dan layak disebutkan adalah adanya segelintir jemaat yang pergi setelah perceraian atau menghilang sama sekali, yang alasannya belum diketahui.
Anggota gereja yang melakukan survei telepon itu pun mengirim beberapa pesan teks yang berisi pembaruan info kepada saya. Menjelang akhir, dia menulis, “Proyek ini membuat saya sangat bersyukur saya tidak memiliki pekerjaan sepertimu.” Saya paham perasaan itu.
Apa yang dapat dilakukan para gembala?
Selama bertahun-tahun, baik budaya gereja maupun budaya yang lebih luas telah membiasakan para pendeta dan jemaat untuk menjadi konsumen; kita seharusnya tidak begitu terkejut ketika kita bertindak seperti itu. Jika sebelumnya, institusi seperti gereja dipandang sebagai tempat yang kita cari untuk dibentuk olehnya, tulis Brett McCracken, “sekarang kita berharap institusi-institusi dibentuk oleh kemauan kita.”
Saya tidak ingin melalaikan tanggung jawab pribadi atau pastoral untuk anggota kami yang hilang. Akan tetapi, mencoba memperbaiki masalah tanpa mempertimbangkan tren budaya yang lebih luas adalah seperti berdiri di gedung gereja yang terbakar dan merenungkan bagaimana memadamkan api di dalam sambil mengabaikan kebakaran hutan yang lebih besar yang berkobar di luar.
Namun, mengatakan bahwa gereja secara individu tidak dapat memperbaiki segalanya, seharusnya tidak menghentikan para pendeta untuk melakukan apa yang mereka bisa. Jika Anda mencoba untuk mengisi kolam baptisan dan melihat air merembes di lantai, Anda akan mengatasi kebocoran tersebut secepat mungkin.
Dan ketika saya secara pribadi merenungkan langkah ke depan, saya percaya para pendeta dapat meresponi domba yang hilang dalam dua bidang utama: tindakan yang harus dilakukan dan kebenaran yang harus dihargai.
Tindakan yang harus dilakukan. Saya hanya akan menyebutkan beberapa tindakan yang tampaknya paling relevan.
Pertama, gereja harus memiliki praktik keanggotaan yang bermakna.
Kebanyakan orang yang pergi tanpa memberi tahu kami adalah simpatisan tetapi bukan anggota—yang berarti mereka tidak pernah secara resmi meminta jenis penggembalaan yang mengundang kami untuk mencari mereka ketika mereka tersesat. Dalam kelas keanggotaan, kami sudah memberikan perhatian khusus pada topik mengenai pergi meninggalkan gereja dengan baik. Dan begitu banyak, jika bukan sebagian besar, dari anggota kami yang keluar dengan baik. Namun saya pikir dengan semua perhatian yang kita berikan untuk bergabung pada sebuah gereja dengan baik, gereja-gereja juga dapat menekankan lebih tentang bagaimana keluar dengan baik.
Kedua, saya mendorong para pendeta, terutama pendeta yang memimpin, untuk menyerukan pergumulan tentang hilangnya domba dengan lantang. Hal itu membantu. Ketika saya membuat daftar mula-mula tentang orang-orang yang meninggalkan gereja kami, dengan berpikir selama 15 menit saya berhasil mencatat hampir 75 persen orang yang pergi. Hanya setelah berminggu-minggu refleksi dan masukan dari staf dan penatua lain, kami mengisi sisa nama dalam daftar tersebut.
Betapa pun menyakitkan rasanya melihat nama-nama itu, kemampuan saya untuk membuat daftar tersebut mengingatkan saya akan suatu kebenaran yang penting: Saya adalah seorang gembala yang mengenal kawanan dombanya. Ini mungkin tampak aneh, namun mengakui hal ini adalah aspek dari penggembalaan—mengetahui tidak hanya domba yang menetap tetapi juga yang pergi—telah membantu saya mengatasi rasa sakit dan menghilangkan sengatannya.
Ketiga, mencari domba yang tersesat. Setiap pendeta berpengalaman pasti mengenali tanda-tanda peringatan ini: penurunan kehadiran, pengunduran diri—secara resmi atau tidak resmi—dari pelayanan reguler, seperti meninggalkan rotasi pengkaderan, diikuti dengan email yang mengatakan bahwa mereka sekarang hadir di tempat lain.
Tanda-tanda peringatan ini harus dilihat sebagai undangan untuk mendiskusikan apa yang mungkin mengganggu jemaat Anda dan sebagai peluang untuk mendorong domba kembali ke kandang. Mungkin alasan orang meninggalkan gereja Anda berbeda dari gereja saya, tetapi ambillah inisiatif untuk bertanya kepada mereka mengapa mereka mundur. Mereka mungkin akan memberitahu Anda.
Musim semi lalu, para penatua kami melakukan tiga putaran dari apa yang secara pribadi saya sebut sebagai “Operasi Domba yang Hilang,” di mana kami mengidentifikasi anggota dan simpatisan di gereja kami yang terluka atau tersesat dan kemudian memberikan perawatan pastoral yang sesuai, sebaik mungkin. Mungkin terdengar dingin dan mekanis untuk mengungkapkan pelayanan pastoral dalam istilah “triase”—menyisir direktori gereja dan file Microsoft Excel—tetapi kami melihat kepedulian semacam ini sebagai ekspresi kasih kami, bukan ketidakpeduliaan. Baik formal maupun informal, mungkin para pemimpin gereja Anda dapat mengambil manfaat dari mempertimbangkan proses serupa.
Terakhir, para pendeta harus berjuang untuk menjaga hati tetap lembut dan rendah hati terhadap gereja kita, bahkan ketika ada begitu banyak situasi yang dapat menyebabkan kita menjadi sakit hati terhadap mempelai Kristus yang Tuhan panggil untuk kita layani. Anda tidak bisa benar-benar menggembalakan mengenakan Kevlar atau bungkus plastik bergelembung sebagai jubah. Jadi bertobatlah jika Anda memiliki perasaan sinis terhadap masuknya orang-orang di musim gugur hanya karena Anda telah melihat eksodus serupa di setiap musim semi. Jangan menjadi seorang pendeta yang berhenti menggembalakan tanpa benar-benar berhenti sebagai pendeta.
Saat saya membicarakan masalah ini dengan penatua lain, dia memberi tahu saya, “Benjamin, saya pikir Anda mungkin memegang domba-domba itu terlalu erat. Ketika orang-orang pergi, itu bukan tentang Anda.” Kemudian dia menambahkan, “Maksud saya, jika mereka menetap di gereja kita, apakah Anda akan menerima pujian untuk itu?” Pertanyaan beliau menggantung secara retoris dalam percakapan kami, tetapi saya pikir sebagian dari hati saya memang percaya bahwa saya dapat menerima pujian. Dan itu salah.
Kebenaran untuk harta. Ada lebih banyak penggembalaan yang sehat daripada sekadar upaya dan strategi; para pendeta juga harus menghargai kebenaran. Bukanlah hal yang klise bagi para pendeta untuk kembali—berulang kali—kepada identitas Injil kita: Kita adalah domba, pelayan, penatalayan, sekaligus gembala.
Sebelum kita peduli pada orang lain, para pendeta harus ingat bahwa kita sendiri juga adalah domba dalam kawanan Gembala yang Baik. Gada dan tongkat-Nya menghibur kita. Dan saat kita melayani Tuhan, kita, dalam kata-kata Yesus dalam Lukas 17:10, adalah hamba yang tidak layak yang hanya melakukan tugas kita, mengurus setiap anggota kawanan kita sampai Tuhan menuntun mereka untuk menjaga yang lain. Sementara merawat kawanan kita sering kali membutuhkan keringat dan kesedihan, namun pekerjaan ini adalah panggilan kita. Penggembalaan bukanlah pengalih perhatian dari pekerjaan; itu adalah pekerjaan.
Bisakah identitas Injil ini menjadi kebenaran yang disampaikan pendeta kepada dirinya sendiri untuk membuat dirinya merasa lebih baik? Bisakah identitas Injil ini menjadi kebenaran yang disampaikan pendeta kepada dirinya sendiri setiap minggu agar membangkitkan hatinya untuk berkhotbah lagi, melakukan sesi konseling lagi, atau berkotbah pemakaman lagi?
Ya—tetapi hal itu tidak membuat mereka menjadi tidak benar.
Benjamin Vrbicek adalah gembala jemaat di Community Evangelical Free Church di Harrisburg, Pennsylvania, editor pelaksana untuk Gospel-Centered Discipleship, dan penulis beberapa buku.
Diterjemahkan oleh: Budi M. Winata
–