Dua Ratus Orang Meninggalkan Gereja Kecil Kami

Jadi kami memanggil para domba kami yang hilang, dan menemukan empat alasan utama yang menyarankan empat tindakan.

Christianity Today September 5, 2022
Edits by Christianity Today / Source Images: Andrew Jalali / Getty / Taylor Brandon / Unsplash

Sekitar 200 orang telah meninggalkan gereja kecil kami. Jumlahnya mungkin mendekati 350 ketika menghitung anak-anak mereka. Namun mereka tidak pergi seperti yang Anda duga—tidak ada perpecahan atau gereja baru. Mereka pergi perlahan-lahan, tanpa banyak suara atau kemeriahan. Beberapa, jika bukan sebagian besar, meninggalkan gereja tanpa pamit. Mereka pergi tidak dalam kurun waktu tujuh minggu atau tujuh bulan, melainkan tujuh tahun.

Saya memikirkan hal ini ketika saya kembali dari cuti panjang musim panas, karena saya senang melihat bahwa gereja kami tidak hanya masih ada, tetapi juga ada beberapa lusin orang baru.

Para orang baru tersebut menjabat tangan saya dan memperkenalkan diri. Mereka tersenyum pada saya saat saya berkhotbah. Mereka berperan serta dalam kelas keanggotaan kami dan bertanya tentang kelompok-kelompok kecil dan kesempatan untuk melayani. Sepasang suami istri mengundang saya beserta istri untuk bertemu. Namun tetap saja, saya perlu berusaha untuk membuka hati kepada mereka sebagaimana seharusnya seorang pendeta membuka hati sepenuhnya dan tanpa syarat. Entah mengapa demikian.

Kemudian saya menjadi tersadar. Dalam tujuh tahun, gereja kami—dalam hal jumlah kehadiran bersih—telah bertumbuh dari sekitar 150 menjadi 350. Namun dalam kurun waktu yang sama, gereja kami juga telah kehilangan sebanyak yang tetap tinggal. Kehilangan tersebut tidak pernah terjadi dengan cepat seperti sebuah tanggul jebol, melainkan lebih seperti tetesan yang terus-menerus atau kebocoran yang perlahan terjadi.

Beberapa anggota kami meninggal. Satu masuk penjara. Satu orang menulis surat keluhan setebal delapan halaman di mana saya diminta untuk membagikannya kepada para penatua; orang yang lain menulis di sebuah blog sepanjang satu bab yang menunjukkan bahwa kami bahkan bukan gereja. Beberapa anggota jemaat tidak membiarkan dirinya terbentur pintu karena mereka menendang engselnya ketika mereka keluar dan membiarkan kami memunguti bagian-bagian yang hancur.

Kepergian mereka sejauh ini merupakan pengecualian. Banyak dari mereka yang pergi tidak memberi tahu mengapa mereka pergi atau bahkan bahwa mereka telah pergi. Saya sering mencari tahu melalui jalur belakang seperti media sosial dan sarana impersonal lainnya. Dan saya tidak percaya gereja kami memiliki pintu belakang yang sangat besar—saya kira kami unik.

Bagaimana seorang pendeta menjaga hatinya agar tidak menjadi sinis ketika, lebih dari 350 minggu menggembalakan gereja yang sama, saya telah kehilangan rata-rata satu orang setiap minggu? Dan mengapa pula orang-orang ini meninggalkan gereja kami? Apa peran yang mungkin telah saya lakukan, sekalipun secara tidak sengaja, dalam mengirim para domba itu ke tempat yang mereka anggap sebagai padang rumput yang lebih hijau?

Saya tidak tahu. Namun baru-baru ini saya menghabiskan banyak waktu dan usaha untuk mencari tahu.

Di tengah semua perpindahan dan perubahan selama dua tahun terakhir, banyak jemaat telah melihat perputaran anggota yang semakin cepat.

Mengapa domba-domba pergi?

Selama beberapa bulan saya mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini kepada orang-orang yang saya muridkan dan para pendeta lain untuk melihat apa yang mungkin saya lewatkan. Suatu pagi, saya duduk di Starbucks dengan seorang pensiunan misionaris yang sekarang mengajar kepemimpinan Kristen kepada mahasiswa PhD. Saya pun mengungkapkan kebingungan dan kesedihan saya atas domba-domba kami yang hilang.

Saya mengatakan kepadanya bahwa saya ingin mengetahui narasi sebenarnya, yang menjelaskan kepergian jemaat sedikit demi sedikit, sehingga saya tidak salah memproyeksikan, yang mungkin dapat membuat lebih bertambah buruk daripada yang dibutuhkan. Teman saya dan anggota gereja menyarankan agar kami membuat survei lewat telepon untuk melihat apa yang mungkin dapat kami pelajari. Jadi kami melakukannya.

Seorang wanita dari gereja kami menelepon lusinan mantan anggota dan simpatisan untuk menanyakan beberapa pertanyaan sederhana kepada mereka. Kami berharap mereka yang pergi dapat membantu gereja yang pernah mereka hargai di masa lalu, agar kami belajar bagaimana melayani jemaat yang masih berada di bawah pengawasan kami dengan lebih baik.

Mayoritas mantan anggota dan simpatisan menerima panggilan telepon dengan baik. Kami tidak dapat berbicara dengan tegas tentang tren yang signifikan secara statistik, tetapi di bawah ini adalah empat alasan utama orang pergi. Mungkin keempat alasan tersebut mirip dengan alasan mengapa orang-orang mempertimbangkan untuk meninggalkan gereja Anda.

Relokasi geografis. Alasan terbesar sejauh ini bahwa orang pergi terkait relokasi geografis. Rupanya orang-orang cukup sering berpindah. Hanya saja, jarang orang memberi tahu kami sebelumnya tentang kemungkinan relokasi, meminta masukan pastoral dan doa saat mereka membuat keputusan besar dalam hidup. Saya berasumsi bahwa percakapan-percakapan ini lebih sering terjadi pada level kelompok pemahaman Alkitab. Namun, ada semangat dan kelegaan yang datang dari data ini. Para pendeta kami tidak bisa berbuat banyak terkait alasan terbesar ini yang membuat orang-orang pergi.

Ketidaksepakatan doktrinal. Orang-orang lainnya pergi karena penafsiran yang berbeda terhadap Alkitab. Seorang pria mengatakan kepada saya bahwa saya merusak Alkitab karena pandangan saya tentang Penciptaan, suatu pandangan yang umumnya dianggap ortodoks. Pria lainnya mengambil pengecualian terhadap pandangan saya tentang Milenium. Satu pasangan dengan latar belakang kalangan Adven memandang, seperti yang Anda duga, hari Sabat secara berbeda. Orang-orang lainnya meninggalkan gereja kami karena frustrasi dengan upaya kami yang jarang membahas tentang masalah ras secara alkitabiah—terlalu berani bagi beberapa orang namun terlalu menakutkan bagi yang lainnya.

Mungkin saja ketidaksepakatan doktrinal semacam ini berfungsi sebagai topeng rohani untuk sesuatu yang kurang rohani, tetapi saya ingin mempercayai kata-kata mereka. Dan meskipun saya berharap orang-orang ini tetap tinggal, alasan kepergian mereka juga menguatkan saya bahwa mereka pergi karena terkait isu yang penting.

Kelompok Kristen yang eksklusif. Umpan balik dari beberapa keluarga menunjukkan bahwa mereka merasa kelompok kaum muda terlalu mapan dan sangat tertutup bagi pendatang baru. Seberapa pun besarnya usaha yang dilakukan para pendeta dan pembina kaum muda untuk mengatasi hal ini, saya yakin hal itu masih terjadi. Dan sementara umpan balik semacam ini cenderung berfokus pada pelayanan mahasiswa, saya menduga kelompok orang dewasa juga rentan terhadap perangkap yang sama. Bahkan sebagai pemimpin gereja—dan ini mungkin berarti juga anggota yang paling terlatih dan diperlengkapi—mudah bagi saya untuk menghabiskan sebagian besar Minggu pagi untuk berbicara dengan orang-orang terdekat saya daripada mendekati para pendatang baru dan mereka yang terpinggirkan.

Masalah pribadi dan konflik yang belum terselesaikan. Alasan yang terakhir—dan untungnya yang terkecil secara presentase—berkaitan dengan konflik. Dalam kategori ini, kita bisa menggabungkan berbagai kontroversi atas segala hal, mulai dari protokol memakai masker, filosofi pelayanan, dan kesalahan pastoral hingga sejumlah besar kesalahpahaman lainnya yang terlalu pribadi dan menyakitkan untuk ditulis selain di jurnal doa.

Terlepas dari kecilnya angka jemaat yang pergi dalam kategori ini, masalah dan situasi ini mengambil bagian yang cukup besar dari sumber daya pastoral, baik dalam hal waktu maupun kapasitas emosional mereka untuk terus datang kembali Minggu demi Minggu dengan hati yang hangat.

Misalnya, pada suatu ketika istri saya ingin tahu nama-nama mereka yang pergi karena konflik. Saat saya membacakan daftarnya, ia memberi tahu saya bahwa dadanya mulai sesak—dan saya bisa melihat wajahnya mulai meringis. Saya pun bereaksi serupa pada awalnya. Dan dari survei melalui telepon, jelas beberapa dari mereka yang pergi merasakan hal yang sama juga terhadap kami.

Satu-satunya kategori lainnya yang dapat dipahami dan layak disebutkan adalah adanya segelintir jemaat yang pergi setelah perceraian atau menghilang sama sekali, yang alasannya belum diketahui.

Anggota gereja yang melakukan survei telepon itu pun mengirim beberapa pesan teks yang berisi pembaruan info kepada saya. Menjelang akhir, dia menulis, “Proyek ini membuat saya sangat bersyukur saya tidak memiliki pekerjaan sepertimu.” Saya paham perasaan itu.

Apa yang dapat dilakukan para gembala?

Selama bertahun-tahun, baik budaya gereja maupun budaya yang lebih luas telah membiasakan para pendeta dan jemaat untuk menjadi konsumen; kita seharusnya tidak begitu terkejut ketika kita bertindak seperti itu. Jika sebelumnya, institusi seperti gereja dipandang sebagai tempat yang kita cari untuk dibentuk olehnya, tulis Brett McCracken, “sekarang kita berharap institusi-institusi dibentuk oleh kemauan kita.”

Saya tidak ingin melalaikan tanggung jawab pribadi atau pastoral untuk anggota kami yang hilang. Akan tetapi, mencoba memperbaiki masalah tanpa mempertimbangkan tren budaya yang lebih luas adalah seperti berdiri di gedung gereja yang terbakar dan merenungkan bagaimana memadamkan api di dalam sambil mengabaikan kebakaran hutan yang lebih besar yang berkobar di luar.

Namun, mengatakan bahwa gereja secara individu tidak dapat memperbaiki segalanya, seharusnya tidak menghentikan para pendeta untuk melakukan apa yang mereka bisa. Jika Anda mencoba untuk mengisi kolam baptisan dan melihat air merembes di lantai, Anda akan mengatasi kebocoran tersebut secepat mungkin.

Dan ketika saya secara pribadi merenungkan langkah ke depan, saya percaya para pendeta dapat meresponi domba yang hilang dalam dua bidang utama: tindakan yang harus dilakukan dan kebenaran yang harus dihargai.

Tindakan yang harus dilakukan. Saya hanya akan menyebutkan beberapa tindakan yang tampaknya paling relevan.

Pertama, gereja harus memiliki praktik keanggotaan yang bermakna.

Kebanyakan orang yang pergi tanpa memberi tahu kami adalah simpatisan tetapi bukan anggota—yang berarti mereka tidak pernah secara resmi meminta jenis penggembalaan yang mengundang kami untuk mencari mereka ketika mereka tersesat. Dalam kelas keanggotaan, kami sudah memberikan perhatian khusus pada topik mengenai pergi meninggalkan gereja dengan baik. Dan begitu banyak, jika bukan sebagian besar, dari anggota kami yang keluar dengan baik. Namun saya pikir dengan semua perhatian yang kita berikan untuk bergabung pada sebuah gereja dengan baik, gereja-gereja juga dapat menekankan lebih tentang bagaimana keluar dengan baik.

Kedua, saya mendorong para pendeta, terutama pendeta yang memimpin, untuk menyerukan pergumulan tentang hilangnya domba dengan lantang. Hal itu membantu. Ketika saya membuat daftar mula-mula tentang orang-orang yang meninggalkan gereja kami, dengan berpikir selama 15 menit saya berhasil mencatat hampir 75 persen orang yang pergi. Hanya setelah berminggu-minggu refleksi dan masukan dari staf dan penatua lain, kami mengisi sisa nama dalam daftar tersebut.

Betapa pun menyakitkan rasanya melihat nama-nama itu, kemampuan saya untuk membuat daftar tersebut mengingatkan saya akan suatu kebenaran yang penting: Saya adalah seorang gembala yang mengenal kawanan dombanya. Ini mungkin tampak aneh, namun mengakui hal ini adalah aspek dari penggembalaan—mengetahui tidak hanya domba yang menetap tetapi juga yang pergi—telah membantu saya mengatasi rasa sakit dan menghilangkan sengatannya.

Ketiga, mencari domba yang tersesat. Setiap pendeta berpengalaman pasti mengenali tanda-tanda peringatan ini: penurunan kehadiran, pengunduran diri—secara resmi atau tidak resmi—dari pelayanan reguler, seperti meninggalkan rotasi pengkaderan, diikuti dengan email yang mengatakan bahwa mereka sekarang hadir di tempat lain.

Tanda-tanda peringatan ini harus dilihat sebagai undangan untuk mendiskusikan apa yang mungkin mengganggu jemaat Anda dan sebagai peluang untuk mendorong domba kembali ke kandang. Mungkin alasan orang meninggalkan gereja Anda berbeda dari gereja saya, tetapi ambillah inisiatif untuk bertanya kepada mereka mengapa mereka mundur. Mereka mungkin akan memberitahu Anda.

Musim semi lalu, para penatua kami melakukan tiga putaran dari apa yang secara pribadi saya sebut sebagai “Operasi Domba yang Hilang,” di mana kami mengidentifikasi anggota dan simpatisan di gereja kami yang terluka atau tersesat dan kemudian memberikan perawatan pastoral yang sesuai, sebaik mungkin. Mungkin terdengar dingin dan mekanis untuk mengungkapkan pelayanan pastoral dalam istilah “triase”—menyisir direktori gereja dan file Microsoft Excel—tetapi kami melihat kepedulian semacam ini sebagai ekspresi kasih kami, bukan ketidakpeduliaan. Baik formal maupun informal, mungkin para pemimpin gereja Anda dapat mengambil manfaat dari mempertimbangkan proses serupa.

Terakhir, para pendeta harus berjuang untuk menjaga hati tetap lembut dan rendah hati terhadap gereja kita, bahkan ketika ada begitu banyak situasi yang dapat menyebabkan kita menjadi sakit hati terhadap mempelai Kristus yang Tuhan panggil untuk kita layani. Anda tidak bisa benar-benar menggembalakan mengenakan Kevlar atau bungkus plastik bergelembung sebagai jubah. Jadi bertobatlah jika Anda memiliki perasaan sinis terhadap masuknya orang-orang di musim gugur hanya karena Anda telah melihat eksodus serupa di setiap musim semi. Jangan menjadi seorang pendeta yang berhenti menggembalakan tanpa benar-benar berhenti sebagai pendeta.

Saat saya membicarakan masalah ini dengan penatua lain, dia memberi tahu saya, “Benjamin, saya pikir Anda mungkin memegang domba-domba itu terlalu erat. Ketika orang-orang pergi, itu bukan tentang Anda.” Kemudian dia menambahkan, “Maksud saya, jika mereka menetap di gereja kita, apakah Anda akan menerima pujian untuk itu?” Pertanyaan beliau menggantung secara retoris dalam percakapan kami, tetapi saya pikir sebagian dari hati saya memang percaya bahwa saya dapat menerima pujian. Dan itu salah.

Kebenaran untuk harta. Ada lebih banyak penggembalaan yang sehat daripada sekadar upaya dan strategi; para pendeta juga harus menghargai kebenaran. Bukanlah hal yang klise bagi para pendeta untuk kembali—berulang kali—kepada identitas Injil kita: Kita adalah domba, pelayan, penatalayan, sekaligus gembala.

Sebelum kita peduli pada orang lain, para pendeta harus ingat bahwa kita sendiri juga adalah domba dalam kawanan Gembala yang Baik. Gada dan tongkat-Nya menghibur kita. Dan saat kita melayani Tuhan, kita, dalam kata-kata Yesus dalam Lukas 17:10, adalah hamba yang tidak layak yang hanya melakukan tugas kita, mengurus setiap anggota kawanan kita sampai Tuhan menuntun mereka untuk menjaga yang lain. Sementara merawat kawanan kita sering kali membutuhkan keringat dan kesedihan, namun pekerjaan ini adalah panggilan kita. Penggembalaan bukanlah pengalih perhatian dari pekerjaan; itu adalah pekerjaan.

Bisakah identitas Injil ini menjadi kebenaran yang disampaikan pendeta kepada dirinya sendiri untuk membuat dirinya merasa lebih baik? Bisakah identitas Injil ini menjadi kebenaran yang disampaikan pendeta kepada dirinya sendiri setiap minggu agar membangkitkan hatinya untuk berkhotbah lagi, melakukan sesi konseling lagi, atau berkotbah pemakaman lagi?

Ya—tetapi hal itu tidak membuat mereka menjadi tidak benar.

Benjamin Vrbicek adalah gembala jemaat di Community Evangelical Free Church di Harrisburg, Pennsylvania, editor pelaksana untuk Gospel-Centered Discipleship, dan penulis beberapa buku.

Diterjemahkan oleh: Budi M. Winata

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Books

Bisakah Pembalikan Roe Memperlambat Tren Global yang Melegalkan Aborsi?

Pendukung Injili di luar negeri berharap agar perubahan kebijakan Amerika terkait aborsi dapat menetapkan standar baru.

Protes pro-kehidupan di Bogota, Kolombia.

Protes pro-kehidupan di Bogota, Kolombia.

Christianity Today August 31, 2022
Chepa Beltran/Long Visual Press/Universal Images Group via Getty Images

Beberapa orang Kristen pro-kehidupan berharap pembalikan Roe v. Wade akan membantu lebih banyak negara di luar AS menolak melegalkan aborsi.

Dengan berdasar pada keputusan penting selama hampir 50 tahun, Amerika Serikat menjadikan hak aborsi sebagai standar, tanda kemajuan sosial yang tak terhindarkan. Para advokat mengatakan bahwa seiring kebijakan aborsi menjadi isu antar negara bagian, hal tersebut akan mengurangi tekanan yang diberikan AS dan kelompok bantuan yang berbasis di AS kepada pemerintah asing seputar akses aborsi, yang memungkinkan mereka untuk fokus pada aspek lain dari kesehatan wanita.

Pembalikan Roe “akan membantu menunjukkan kepada seluruh dunia bahwa ini bukan masalah sudah selesai, sekalipun di Barat, dan mudah-mudahan hal ini akan membantu negara-negara di Global Selatan melawan tekanan dari Barat untuk meliberalisasi undang-undang aborsi mereka,” kata Peter Saunders, presiden International Christian Medical and Dental Association yang berbasis di Inggris.

“Hal ini juga akan membuat lebih sulit untuk berdebat di PBB bahwa aborsi adalah hak asasi manusia secara internasional ketika setengah dari masyarakat AS percaya, dan sekarang justru menegakkan yang sebaliknya.”

Dalam edisi pedoman terbaru yang dikeluarkan pada Maret 2022, Organisasi Kesehatan Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa menyerukan pencabutan “undang-undang dan peraturan yang membatasi aborsi yang disertai alasan, melarang aborsi berdasarkan batas kehamilan, dan mewajibkan masa tunggu.”

Pada masa pemerintahan Presiden Donald Trump (dan presiden Partai Republik sebelumnya), kebijakan Kota Meksiko melarang pendanaan federal dari organisasi internasional yang melindungi atau menganjurkan aborsi sebagai metode keluarga berencana. Presiden Joe Biden membatalkan kebijakan tersebut.

Sementara kebijakan Kota Meksiko berfokus pada program bantuan luar negeri, dua ketentuan lainnya—amandemen Siljander dan Helms—juga membatasi penggunaan dolar AS untuk aborsi di luar negeri. Amandemen Siljander melarang dana pemerintah digunakan untuk melobi atau menentang aborsi.

Namun, sebuah studi yang dirilis oleh Pusat Keluarga & Hak Asasi Manusia pada tahun 2020 mendapati bahwa AS telah menandatangani atau menandatangani dan meratifikasi setidaknya tujuh perjanjian hak asasi manusia melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan badan-badan perjanjian itu kemudian menganjurkan untuk meliberalisasi undang-undang aborsi.

Setelah keputusan Dobbs pada 24 Juni, kasus Mahkamah Agung yang membatalkan keputusan Roe v. Wade, Menteri Luar Negeri Antony Blinken mengatakan AS “akan tetap berkomitmen penuh untuk membantu menyediakan akses ke layanan kesehatan reproduksi dan memajukan hak-hak reproduksi di seluruh dunia.”

Xesús Manuel Suárez García bersama Ibero-American Congress for Life and Family (Congreso Iberoamericano Por La Vida Y La Familia), mengatakan AS dan organisasi nirlaba yang berbasis di AS sering menekan pemerintah di Global Selatan untuk meliberalisasi pembatasan aborsi mereka. Selama dua tahun terakhir, Argentina, Meksiko, dan Kolombia semuanya bergerak untuk mendekriminalisasi aborsi.

“Penduduk [negara-negara yang pro-kehidupan] dituntun untuk memahami bahwa, meskipun posisi mayoritas masyarakat sipil adalah pro-kehidupan, tampaknya tak terelakkan bahwa peraturan pro-aborsi akan diberlakukan dari atas,” katanya. “Dan tiba-tiba, dengan pembalikan Roe v. Wade, populasi umum di Amerika Latin menemukan bahwa ini bukan masalahnya.”

Kelompok-kelompok hak aborsi internasional juga telah menyuarakan keprihatinan tentang “efek mengerikan” dari keputusan tersebut terhadap bantuan asing. Seperti yang dikatakan seorang penasihat kepada Politico’s Global Pulse, “Dalam hal keluarga berencana dan kesehatan reproduksi, AS adalah penyumbang pemerintah terbesar. Dan tentu saja, itu akan menciptakan efek riak.”

Perubahan dalam lanskap aborsi Amerika membantu organisasi pro-kehidupan yang bekerja di luar negeri “untuk bersikeras bahwa aborsi tidak boleh menjadi bagian dari percakapan ini, bahwa itu harus dilakukan oleh masing-masing negara dan bukan tekanan dari LSM dan organisasi luar,” menurut Valerie Huber, pendiri dari Institut Kesehatan Wanita.

“Negara-negara maju dan LSM tidak lagi dapat menunjuk AS dan kebijakan aborsi nasional kami sebagai contoh perlunya melegalkan aborsi, mereka juga tidak dapat mengatakan bahwa melegalkan aborsi adalah persyaratan bagi negara demokratis,” kata Huber, yang bekerja menangani isu-isu global terkait kesehatan perempuan di Department of Health and Human Services (HHS) selama pemerintahan sebelumnya.

Pada awal pemerintahan Biden, Blinken mengumumkan penarikan AS dari Deklarasi Konsensus Jenewa, yaitu perjanjian internasional terkait hak-hak perempuan yang drafnya dibuat oleh Huber ketika dia bekerja untuk HHS dan ditandatangani oleh 36 negara lainnya. Deklarasi tersebut berupaya untuk memperluas perawatan kesehatan bagi perempuan dan melindungi hak-hak negara untuk mendukung kesehatan, kehidupan, dan keluarga melalui kebijakan dan undang-undang nasional, bebas dari tekanan internasional.

Sebagian besar Amerika Selatan, Afrika, dan Asia Tenggara—beberapa wilayah terpadat di dunia—sangat membatasi atau melarang aborsi secara tegas. Rusia, Korea Utara, Tiongkok, Australia, Kanada, Meksiko, sebagian besar Eropa, serta sebagian kecil negara di Amerika Selatan dan Afrika mengizinkan aborsi berdasarkan permintaan dengan beberapa batasan usia kehamilan.

Guatemala bergabung dengan Konsensus Jenewa dan ditunjuk sebagai ibu kota Amerika Latin yang pro-kehidupan oleh Ibero-American Congress for Life and Family. Presidennya telah meminta negara untuk melindungi kehidupan mulai sejak pembuahan. Sebaliknya, pembatasan aborsi dilonggarkan di tempat lain di kawasan itu—yang terbaru di Kolombia, yang memutuskan pada Februari untuk melegalkan aborsi hingga usia kehamilan 24 minggu.

“Dalam pengalaman kami, pemerintah Amerika sejak keputusan Roe telah mencoba untuk terlibat dalam apa yang hanya dapat digambarkan sebagai kolonialisme ideologis atau imperialisme untuk menekan mayoritas dunia agar sesuai dengan standar AS tentang aborsi,” kata Dr. Mike Chupp, presiden AS US-based Christian Medical and Dental Association.

Ketika organisasi kesehatan global menekan negara-negara untuk memperlakukan hak aborsi sebagai masalah yang sudah selesai, hal itu membuat tugas lain untuk mencegah kematian ibu menjadi teralihkan, kata orang-orang yang pro-kehidupan.

Kontrasepsi, pengobatan penyakit menular seksual, pemeriksaan kanker serviks, langkah-langkah untuk mengurangi angka kematian bayi dan ibu, perawatan perinatal yang lebih baik—semua ini adalah masalah kesehatan wanita yang benar-benar mendesak di sebagian besar dunia bagi dokter seperti Chupp.

Para advokat pro-kehidupan internasional juga percaya bahwa pembalikan keputusan Roe memberikan kesempatan bagi orang Kristen untuk mencintai tidak hanya anak-anak yang belum lahir, tetapi juga ibu mereka, sebuah posisi yang diperjuangkan oleh banyak orang Kristen yang pro-kehidupan di AS.

Graciela Noguera Ibáñez bekerja dengan NAF-Paraguay, sebuah organisasi nirlaba yang berbasis di Paraguay yang mempromosikan sistem yang memungkinkan anak-anak, remaja, dan keluarga berkembang.

“Masalah sebenarnya adalah tanggung jawab sosial terhadap ibu hamil dalam situasi rentan,” katanya. Ibáñez telah bekerja dengan Kementerian Pendidikan untuk mengembangkan program yang mendukung para ibu remaja dan memberikan pendidikan seks yang efektif kepada anak perempuan untuk membantu mencegah kehamilan remaja dan aborsi gelap.

Program Ibáñez mendapat dukungan dari organisasi Katolik serta Asosiasi Gereja-gereja Injili Paraguay.

Dawn McAvoy memimpin Both Lives Matter, sebuah kelompok pro-kehidupan yang berbasis di Irlandia Utara. Ia mengatakan bahwa membatalkan undang-undang aborsi federal AS akan mempertanyakan asumsi mendasar tentang hak aborsi dan privasi yang telah mendorong percakapan di AS dan Inggris selama lebih dari 50 tahun. Inggris Raya melegalkan aborsi pada tahun 1967, tetapi pemerintah Irlandia Utara mempertahankan undang-undangnya yang melarang aborsi hingga tahun 2019.

“Tantangan dan penolakan apa pun terhadap dogma yang merendahkan kehidupan pralahir dan kematiannya yang disebabkan oleh pilihan pribadi adalah hal yang menarik,” katanya.

Namun McAvoy percaya pembalikan kebijakan Roe bukanlah kemenangan akhir. AS dan negara-negara lain di dunia masih memiliki pekerjaan yang harus dilakukan untuk menumbuhkan apa yang disebutnya sebagai budaya “pro-keduanya,” di mana kebebasan dan kesetaraan bagi seorang wanita tidak diartikan sebagai kekuatan untuk mengakhiri hidup anaknya.

Sama seperti keputusan Dobbs yang menghasilkan kebijakan aborsi yang lebih ekspansif di negara-negara bagian yang memilih partai Demokrat, beberapa pihak mengantisipasi agar keputusan tersebut juga akan mendorong para aktivis yang bekerja dalam skala global.

Diterjemahkan oleh Mellie Cynthia.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Ideas

Kami Gagal Melindungi Karyawan Kami

President & CEO

Bagaimana sebuah organisasi—yaitu organisasi kami—telah salah dalam menanggapi pelecehan seksual. Dan bagaimana kami dapat menjadi lebih baik.

Christianity Today August 31, 2022
Illustration by Christianity Today / Source Images: Vandervelden / Getty

Saya bergabung dengan Christianity Today sebagai presiden dan CEO pada Mei 2019. Pada bulan Agustus di tahun yang sama, hal yang menarik perhatian saya adalah bahwa salah satu pemimpin redaksi kami telah memperlakukan reporter wanitanya secara tidak profesional, dengan memberikan sentuhan yang tidak diinginkan meskipun telah berulang kali dikomunikasikan bahwa perilaku tersebut salah, tidak diinginkan, dan perlu dihentikan. Saya mengumpulkan lebih banyak informasi tentang sejarah dari isu ini, dan jelas bahwa insiden sebelumnya dengan individu tersebut telah ditangani terutama melalui percakapan empat mata.

Tanpa peringatan tertulis dalam berkas, pilihan kami pada Agustus 2019 terbatas. Kami mendisiplinkan dia, kami mendokumentasikannya, dan kami memperingatkannya bahwa dia akan diskors atau dipecat jika hal tersebut terulang kembali. Tidak ada tuduhan lain lagi tentang sentuhan yang tidak diinginkan atau perilaku tidak pantas lainnya yang muncul antara waktu itu dan masa pensiunnya.

Namun, pada bulan September 2021, dua karyawan wanita yang masih bekerja bagi kami menemui saya dan redaktur eksekutif CT, Ted Olsen. Mereka memaparkan narasi yang lebih utuh mengenai perilaku individu tersebut, yang berlangsung bertahun-tahun lamanya dan berlanjut bahkan setelah dirinya pensiun.

Kami sangat menghargai para wanita ini dan sangat sedih mendengar cerita mereka. Mereka mendeskripsikan komentar-komentar yang sangat tidak pantas dan sentuhan yang tidak diinginkan yang membuat mereka merasa tidak dihargai, dianggap sebagai objek, dan tidak aman. Kami segera menanggapinya dengan berduka bersama mereka, berterima kasih atas keberanian mereka, dan berkomitmen untuk melakukan pemeriksaan yang sangat ketat terhadap kesalahan kami sebagai sebuah lembaga pelayanan dan apa yang harus kami lakukan secara berbeda ke depan.

(Kami juga mengetahui narasi kedua, juga bertahun-tahun yang lalu, di mana karyawan CT lainnya, yang bekerja di bidang periklanan, didakwa melakukan kejahatan seksual di luar tempat kerja dan dipecat dari CT segera setelahnya. Kami ingin menilik apakah kami juga seharusnya melakukan lebih dalam kasus tersebut.)

Berkomitmen untuk berubah

Dihadapkan dengan keseluruhan dari narasi-narasi ini, dan berkomitmen untuk berubah, kami mengajak para wanita yang membuat laporan tersebut untuk menjadi bagian dari pembentukan respons institusional. Sangatlah penting bagi kami bahwa mereka harus memiliki suara, dan mereka telah berbicara dalam proses tersebut dengan kebijaksanaan, kepedulian, dan integritas.

Kami juga segera menghubungi Rachael Denhollander, seorang pengacara yang telah terbukti menjadi sumber kebijaksanaan yang tak ternilai untuk masalah ini. Ia telah memberikan dukungan kepada para karyawan kami dan wawasan tentang proses yang harus kami ikuti. Saya memberi tahu dewan direksi CT tentang situasi ini. Dewan mendukung tindakan tegas.

Atas rekomendasi Denhollander, kami meminta jasa Guidepost Solutions, sebuah perusahaan terkemuka yang membantu organisasi-organisasi menetapkan praktik-praktik terbaik terkait dengan pencegahan pelecehan dan perbuatan tak senonoh, kepatuhan, pemantauan, dan investigasi. Guidepost melakukan penilaian independen terhadap pelayanan dan respons kami atas tuduhan-tuduhan yang kami terima. Kami juga ingin mengetahui apakah ada masalah yang lebih luas terkait pelecehan atau penyalahgunaan kekuasaan di CT dan bagaimana kami dapat mengembangkan budaya, kebijakan, dan praktik-praktik sehingga pelecehan dapat dicegah, diidentifikasi, diselidiki, dan didisiplin sebagaimana mestinya.

Sedikit yang dapat kami katakan secara terbuka sebelum penilaian ini selesai. Kami tidak ingin membelokkan atau menghalang-halangi pekerjaan Guidepost, dan kami memegang kewajiban kerahasiaan kepada karyawan kami, baik yang masih bekerja dengan kami maupun yang sudah tidak bekerja lagi. Akan tetapi kami berkomitmen dari awal bahwa kami akan memublikasikan penilaian Guidepost. Kami merasakan tanggung jawab yang besar untuk bertindak se-transparan mungkin terkait apa yang kami pelajari dan bagaimana kami berniat untuk bertindak ke depannya.

Mengapa transparansi ini penting? Kami berutang kepada para wanita yang terlibat untuk mengatakan bahwa kami percaya cerita mereka dan kami sangat menyesal pelayanan ini gagal menciptakan lingkungan di mana mereka dapat diperlakukan dengan hormat dan dengan bermartabat.

Kami juga berutang kepada para pembaca kami, karyawan kami, dan gereja. Christianity Today sebagai sebuah pelayanan hadir untuk melayani gereja, dan salah satu cara kami melayani gereja adalah dengan menjaga akuntabilitas pelayanan agar sesuai dengan tujuan iman kita. Dengan demikian, kami juga harus memegang standar yang tertinggi. Ketika kami gagal memenuhi standar tersebut, kami harus menunjukkan transparansi, akuntabilitas, dan pengakuan. Ketika begitu banyak gereja dan pelayanan bergumul dengan isu pelecehan dan hubungan yang tidak pantas antara pria dan wanita di tempat kerja, mungkin cara terbaik kami dapat melayani gereja di masa ini adalah dengan menjadi se-terbuka mungkin di sepanjang perjalanan kami dan mengundang orang lain untuk belajar bersama kami.

Sebuah penilaian yang komprehensif

Atas dasar komitmen tersebut, hari ini kami menerbitkan laporan penilaian yang dibuat oleh Guidepost. Guidepost telah melakukan survei terhadap karyawan yang masih bekerja dengan kami, melakukan wawancara dengan mereka dan juga mantan karyawan, serta memeriksa banyak dokumen.

Kami bersyukur bahwa Guidepost, seperti yang dinyatakan dalam laporan, “tidak menemukan masalah pelecehan atau penyalahgunaan kekuasaan yang menjalar di CT.” Akan tetapi kami menyesali area-area di mana respons institusional kami sangat tidak cukup, dan kami berterima kasih kepada Guidepost karena mengidentifikasi apa yang harus kami lakukan secara berbeda untuk selanjutnya.

Bersamaan dengan penilaian Guidepost, kami juga mengundang Daniel Silliman, redaktur berita CT, untuk mempertimbangkan penulisan laporan atas situasi pelayanan kami seperti yang telah dia tulis dengan sangat baik terhadap pelayanan-pelayanan lain. Kami mengizinkan Daniel dan redaktur berita senior kami, Kate Shellnutt, untuk mengevaluasi secara independen apakah ini adalah laporan yang akan diterbitkan CT jika keadaan yang sama terjadi dalam gereja atau pelayanan lain. Mereka memutuskan jawabannya adalah iya.

Penyelidikan Daniel berjalan paralel dengan penilaian Guidepost, tanpa mencampurkan keduanya. Untuk Daniel atau Kate, kami tidak menyediakan dokumen yang secara hukum tidak dapat kami bagikan kepada karyawan kami sendiri, dan pertama kalinya mereka melihat laporan Guidepost adalah saat diterbitkan hari ini. Namun, kami telah mengundang mereka untuk menelusuri berita ini ke mana pun arahnya.

Baik saya maupun anggota tim eksekutif lainnya di Christianity Today tidak memberikan masukan untuk laporan mereka. Kami juga tidak akan melihat laporan tersebut sebelum diterbitkan. Kami percaya pada daya jurnalisme untuk menyingkapkan kebenaran dan mendorong akuntabilitas, dan kami harus mempertahankan standar tinggi yang sama dengan pelayanan-pelayanan lainnya. Kami akan menautkan laporan Daniel di sini segera setelah diterbitkan.

Yang kami pelajari

Lalu, apa yang telah kami pelajari? Penilaian Guidepost penuh dengan rekomendasi-rekomendasi luar biasa yang akan membantu gereja, pelayanan, atau bisnis mana pun juga. Kami mendorong semua orang untuk membacanya.

Untuk Christianity Today, dengan ini kami berkomitmen secara terbuka untuk menerapkan enam rekomendasi berprioritas tinggi yang diberikan Guidepost di halaman 5 dan 6 dalam laporannya. Kami juga berkomitmen untuk melaporkan kepada pembaca kami tentang perkembangan pelayanan kami melalui editorial lain dalam enam bulan ke depan. Namun, selain rincian (penting) kebijakan dan proses, izinkan saya menekankan tiga poin yang kami langsung pelajari.

Pertama, pelayanan kami dikalahkan dengan godaan untuk berusaha menjelaskan perilaku yang tidak pantas sebagai kesalahpahaman—kesalahpahaman antara pria dan wanita, atau kesalahpahaman antar-generasi yang berbeda, yang memiliki ekspektasi berbeda atas perilaku yang pantas di tempat kerja. Dengan kata lain, seperti yang diungkapkan dengan sangat baik oleh Guidepost, kami terlalu menekankan niat pelaku dan meremehkan dampaknya pada penerimanya.

Menelaah niat selalu merupakan usaha yang dapat dipertanyakan, tetapi pelecehan seksual adalah pelecehan seksual terlepas dari apakah hal itu bermotivasi seksual atau tidak. Hal tersebut membuat orang yang menerimanya merasa dijadikan objek, dimanipulasi, dan diperlakukan dengan salah karena jenis kelaminnya. Daripada mengatakan, “Dia tidak benar-benar bermaksud apa-apa dengan itu,” kita seharusnya mendengar, “Namun itu berarti rasa sakit dan penghinaan baginya.” Dulu seharusnya kami menanggapi dengan lebih tegas untuk melindungi rekan kerja kami dan untuk mengomunikasikan bahwa perilaku seperti itu akan segera ditindak tegas dengan pemutusan hubungan kerja.

Kedua, representasi itu penting. Lebih dari setengah karyawan CT adalah perempuan. Lebih dari setengah anggota staf redaksi adalah perempuan, termasuk beberapa orang dengan posisi kepemimpinan jenjang menengah. Namun pimpinan tertinggi pelayanan ini dan tim redaktur CT didominasi oleh laki-laki. Kami melihat dalam diri kami sendiri apa yang telah kami lihat di banyak organisasi lain: Keputusan yang menyangkut kepentingan perempuan jarang dibuat dengan bijaksana ketika perempuan memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki suara dalam keputusan-keputusan tersebut.

CT saat ini memiliki satu orang wanita dalam jajaran tim eksekutif (setelah kehilangan seorang yang lain yang baru saja pensiun). Kami berencana untuk memiliki tiga orang wanita di tim eksekutif sebelum akhir tahun dan terus berusaha menuju representasi dan keragaman yang lebih baik dalam kepemimpinan dan staf pelayanan ini di tahun-tahun mendatang. Terlebih lagi, karena wanita-wanita berbakat adalah jantung dari pelayanan kami, kami akan menelaah cara-cara lain di mana kami dapat memastikan bahwa karyawan wanita kami dihargai dan berkembang dalam pekerjaan mereka.

Dan ketiga, komunikasi adalah hal yang terpenting. Staf kami perlu mendengar dari pimpinan CT dengan jelas dan konsisten bahwa pelanggaran seksual tidak akan ditoleransi dan bahwa pelapor pelanggaran atau pelecehan akan diterima dengan penuh kasih dan perhatian. Kami mungkin dapat menghindari banyak masalah, baik bagi para korban maupun pelayanan ini, jika kami sebelumnya telah menawarkan mekanisme pelaporan yang independen dan anonim, serta jika kami sebelumnya lebih berkomitmen pada proses formal disiplin dan prosedur dokumentasi.

Berkomitmen pada kebenaran

Kami berdoa agar transparansi atas kesalahan-kesalahan kami akan membantu organisasi-organisasi lain menghindari kesalahan mereka sendiri.

Kami mengantisipasi, terutama di masa hiperpolarisasi ini, bahwa kami akan menerima kritik untuk hal ini. Kami menyambut masukan. Namun, ada dua kritik yang mungkin ingin saya sampaikan terlebih dahulu.

Satu jenis kritik mungkin mengatakan bahwa penyingkapan ini akan melemahkan pelaporan kami tentang kasus-kasus pelanggaran gereja ataupun pelayanan. Saya tidak percaya demikian halnya. Tim pelaporan berita di Christianity Today telah melakukan pekerjaan yang luar biasa, baik baru-baru ini maupun dari dahulu, untuk meminta pertanggungjawaban beberapa pelayanan dengan pengaruh yang paling kuat ketika mereka gagal memenuhi panggilan mereka. Apa yang akan merusak kredibilitas kami adalah jika kami menunjukkan bahwa kami hanya berkomitmen pada kebenaran secara selektif karena kami berusaha untuk melindungi diri kami sendiri melalui penyembunyian dosa di rumah kami sendiri.

Kami telah melihat terlalu banyak kasus di mana organisasi-organisasi Kristen menutup-nutupi kegagalan mereka karena mereka percaya bahwa misi yang mereka layani terlalu penting untuk digulingkan oleh beberapa orang-orang yang terluka. Argumen ini sangat menggoda tetapi jelas salah. Kami tidak dapat mencintai banyak orang dengan bersikap kejam kepada segelintir orang. Kami tidak dapat melayani kebenaran dengan menutup-nutupinya. Karena kami lebih berkomitmen pada kerajaan Allah daripada kepentingan institusional kami sendiri, maka kami harus jujur dengan kegagalan kami dan membagikan apa yang kami pelajari darinya. Kami tetap berkomitmen untuk jurnalisme dengan standar yang ketat baik untuk diri kami sendiri maupun untuk orang lain.

Jenis kritik lainnya mungkin mengatakan bahwa kami tunduk pada feminisme radikal dan bereaksi berlebihan terhadap perilaku yang tidak benar-benar berbahaya. Kami tidak mengetahui adanya pelecehan seksual, penyerangan, upaya quid pro quo, atau sejenisnya di dalam pelayanan kami. Bagaimanapun, perilaku salah yang kami ketahui sudah berlangsung lama meski telah ditegaskan bahwa hal itu tidak dapat diterima dan perlu dihentikan. Para wanita yang kami junjung tinggi telah terluka karena kami melakukan kurang dari yang dituntut atas dasar cinta kami. Pelecehan itu sendiri membuat mereka merasa seolah-olah martabat mereka sebagai wanita, kedudukan mereka sebagai profesional, dan kemampuan mereka untuk merasa aman dan dihargai di tempat kerja direnggut dari mereka. Hal ini sangat berbahaya, tidak hanya bagi dua orang wanita yang mengajukan laporan mereka pada September 2021, tetapi juga bagi wanita lainnya. Mereka dibiarkan bertanya-tanya apakah kami benar-benar ada di pihak mereka. Kami berduka bersama-sama mereka, mengakui dosa kami, dan memohon pengampunan mereka.

Sebagai penutup, kami kembali mendorong Anda untuk membaca penilaian Guidepost dan membaca laporan independen Daniel Silliman saat diterbitkan. Kami berharap gereja dapat sesering mungkin mengambil manfaat dari hal-hal yang kami lakukan dengan baik. Kami jujur menceritakan hal-hal yang telah kami lakukan dengan buruk. Jika gereja dapat memperoleh manfaat melalui yang kami bagikan ini, maka biarlah segala kemuliaan hanya bagi Tuhan. Bagaimanapun juga, kemuliaan Tuhanlah dan bukan kemuliaan kami sendiri, yang menjadi inti dari semua hal yang kami lakukan.

Tim Dalrymple adalah presiden, CEO, dan pemimpin redaksi Christianity Today.

Diterjemahkan oleh Ivan K. Santoso.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Books

Orang Kristen Seharusnya Mendorong Terwujudnya Keberagaman dan Kesetaraan

Iman mendorong kita untuk memberikan rasa memiliki yang sama kepada orang lain seperti yang telah kita terima.

Christianity Today August 29, 2022
Edits by Christianity Today / Source Image: Juan Moyano / Getty

Bagi kita yang percaya bahwa kita diselamatkan oleh iman dan bahwa kepedulian terhadap orang lain merupakan perpanjangan dari iman, kita tahu bahwa poin yang pertama harus mendahului yang berikutnya—namun sering kali lebih mudah bagi kita untuk membiarkan tugas dan kesibukan menjadi pemandu kita.

Sebagai seorang tipe tiga di Enneagram, saya sangat memahami bagaimana rasanya membiarkan pengejaran atas hasil dan pencapaian membuat kita lupa akan alasan kita memulai perjalanan ini. Tantangannya adalah ketika kita membiarkan apa dan bagaimana menggantikan mengapa, kita segera terbebani dengan melengkapi “daftar tugas” kita.

Dengan demikian, kita mengabaikan perubahan hati yang lebih mendalam, yang diperlukan untuk mengatasi kehancuran dan penderitaan yang terjadi di lingkungan, komunitas, dan masyarakat kita.

Inilah masalah yang dihadapi oleh mereka yang bekerja di area keberagaman, kesetaraan, dan inklusi (Diversity, Equity, Inclusion atau DEI) saat ini. Misalnya, sebuah artikel kepemimpinan Forbes menyajikan empat alasan mengapa program DEI gagal—semuanya terkait dengan persoalan yang berpusat pada tugas. Akan tetapi sebagai orang Kristen, kita tahu masalahnya lebih daripada itu.

Keberagaman, kesetaraan, dan inklusi seharusnya menjadi perhatian kita karena ketiganya adalah hasil dari kebenaran penting yang tertanam secara mendalam pada iman Kristen. Terlepas dari segala perbedaan kita, sesungguhnya kita semua diciptakan setara dalam gambar Allah dan menjadi milik Tuhan serta milik satu sama lain. Inilah yang menjadi alasan di balik semua yang kita lakukan—inilah bahan bakar yang membuat pelayanan penjangkauan kita terus berjalan.

Namun demikian, fokus yang benar seharusnya tidak hanya pada DEI, tetapi pada keberagaman, kesetaraan, dan kepemilikan (Diversity, Equity & Belonging atau DEB), di mana kata “inklusi” diganti dengan rasa memiliki yang lebih holistik—yang saya yakini adalah kunci penting di mana keberagaman dan kesetaraan itu berputar.

Saya percaya orang-orang Kristen berada dalam posisi terbaik untuk memajukan gerakan DEB agar dapat bertahan dalam ujian waktu dan menjadi kesaksian bagi dunia. Namun kita tidak bisa melakukan ini sampai kita sepenuhnya memahami dua realitas utama mengapa kita harus melihat dan meningkatkan derajat serta kehidupan dari mereka yang tidak seperti kita.

Pertama, kita milik Tuhan.

Selama beberapa tahun, komunitas saya telah melakukan refleksi yang mendalam untuk memahami bagaimana kami memberi keyakinan akan rasa memiliki bagi mereka yang terpanggil melayani bersama kami. Tujuan kami adalah untuk memperkenalkan orang-orang dari berbagai lapisan masyarakat dan membantu mereka tumbuh dalam iman mereka—sehingga mereka akan merasakan dan mengetahui bahwa mereka dapat berkembang dalam panggilan pribadi mereka.

Karena itu, kami berusaha meletakkan dasar yang akan menopang harapan kami dalam meningkatkan dan melibatkan mereka yang berasal dari latar belakang dan pengalaman yang beragam. Saya sangat yakin untuk melakukan hal ini karena saya percaya DEB berkaitan erat dengan Injil.

Alasannya sederhana: Kami melakukan pelayanan ini karena Kristus telah mati, sehingga setiap kita—terlepas dari segala perbedaan—dapat sekali lagi menjadi bagian dalam Kerajaan Allah. Alkitab tidak mengatakan bahwa Kristus mati untuk beberapa orang menurut hierarki tertentu (misalnya, orang kulit putih lebih banyak daripada yang bukan kulit putih, orang kaya lebih banyak daripada miskin, pria lebih banyak daripada wanita, dan lain-lain).

Dalam kebaikan-Nya, Allah menawarkan kepada kita rasa memiliki yang sejati—rasa kekeluargaan dalam komunitas dan pemahaman bahwa kita adalah milik-Nya dan tidak perlu sendirian. Adapun yang menjadi inti dari kerinduan kami adalah untuk memastikan setiap orang dapat terlihat dan terdengar. Namun hal ini bukanlah karena dorongan untuk bergabung dengan suatu momen budaya melainkan untuk menunjukkan sifat sejati Tuhan yang mengasihi semua orang, dan yang juga mengasihi keberagaman.

Tuhan ingin kita mempercayai Dia, mendekat kepada-Nya, dan menjadi bagian dari keluarga-Nya. Kita adalah anak-anak-Nya. Ketika Ia meninggalkan jejak-Nya pada diri kita, Ia menyatakan bahwa kita adalah milik-Nya.

Berapa banyak dari kita yang perlu mendengar pesan itu pada hari ini? Berapa banyak dari sesama kita yang berkulit hitam dan coklat, perempuan, cacat, miskin, serta terabaikan, yang perlu tahu bahwa mereka milik Seseorang yang berusaha untuk merangkul mereka di dalam Kristus, yang tidak menghakimi dan mengejek pribadi mereka, penampilan mereka, atau apa yang masyarakat pikirkan tentang mereka?

Tuhan mengetahui sesuatu yang tidak kita ketahui (ini mengejutkan): Perbedaan dalam diri orang lain yang kita pandang rendah adalah sebuah pengingat betapa Tuhan kita sangatlah intensional, kreatif, indah, serta memiliki tangan dan hati yang penuh keterbukaan. Kesamaan bukanlah hal yang utama dalam pengaturan Tuhan. Sebaliknya, kesamaan justru membatasi kemampuan kita untuk melihat dan menghargai keindahan penuh dari beragam mosaik ciptaan Tuhan.

Dalam The Next Evangelicalism, Soong-Chan Rah menulis, “Ketika individualisme Barat memusatkan perhatian kita pada refleksi personal dari imago Dei dalam individu, kita perlu melihat gambar Allah diungkapkan sebagai refleksi bersama.” Hanya dalam keberagamanlah maka kita dapat mewujudkan keindahan sepenuhnya dari gambar Allah.

Intinya? Tangan Tuhan terbuka lebar untuk menyambut siapa saja. Sebagai orang Kristen, kita sendiri telah mengalami rasa dimiliki oleh Tuhan, dan hal ini seharusnya juga menjadi kerinduan kita agar semua orang mengalaminya—dari Tuhan dan dari umat-Nya.

Kedua, kita saling memiliki.

Kata semboyan ada karena suatu alasan. Ketika pandemi melanda pada tahun 2020, berapa banyak dari kita yang mendengar kata “poros” sampai kita berpikir akan berteriak? Namun itulah kata yang dibutuhkan pada momen tersebut. Hari ini, istilah yang sedang naik daun yang sering saya dengar belakangan ini adalah “kedekatan”—pentingnya kedekatan dalam ruang, waktu, atau relasi.

Saya percaya kita tidak akan pernah mencapai DEI dengan benar sampai kita menumbuhkan rasa kedekatan antara diri kita sendiri dan orang-orang di sekitar kita—dengan menutup kesenjangan pemahaman antara pengalaman kita dan orang-orang dari latar belakang yang berbeda (yaitu, etnis, ras, ekonomi, generasi, dll.).

Dengan risiko terdengar kontroversial, saya terkadang bertanya-tanya apakah orang percaya mengubah istilah atau ide tertentu menjadi menyeramkan hanya karena kita mencari jalan keluar yang mudah dari diskusi dan ketegangan yang sulit? Berapa banyak dari kita yang melihat percakapan ditutup segera setelah istilah seperti “CRT” (critical race theory) atau “bangkit” disampaikan?

Sebenarnya beberapa aspek teologi Amerika Barat telah gagal memperlengkapi kita untuk menyatukan ketegangan dan ketidaknyamanan. Hal ini dapat membuat kita tidak bisa menghadapi kenyataan sulit yang perlu kita alami dan rasakan dalam pengejaran akan rasa memiliki. Ini jauh lebih sulit bagi kita untuk menekan titik konflik kita dan mengeksplorasi perbedaan kita bersama-sama.

Dalam bukunya Think Again, psikolog Adam Grant menjelaskan bahwa kita sering mendengarkan pandangan “yang membuat kita merasa nyaman, dibanding gagasan yang membuat kita berpikir keras” dan “mendukung keyakinan yang nyaman ketimbang ketidaknyamanan dari keraguan.” Aduh, kalimat ini sangat tajam sekali.

Realitas Kerajaan Allah adalah bahwa kita semua saling memiliki satu sama lain dan oleh karena itu kita tidak dapat mengabaikan percakapan alot yang berusaha menghormati imago Dei dalam diri kita semua. Terlalu sering, kita hanya melihat diri kita sendiri dan orang lain sebagai individu. Akan tetapi karya Tuhan di dalam kita juga bersifat korporat dan komunal—Dia telah menempatkan kita dalam konteks sebuah keluarga di dalam tubuh Kristus.

Inilah alasan mengapa DEB penting—karena bagi Tuhan sangatlah penting jika kita semua bekerja dan hidup bersama. Ia telah menciptakan kita untuk hidup dalam komunitas satu sama lain dan mencerminkan citra-Nya di dunia ini.

Saya mengajak kita untuk merenungkan tidak hanya apa dan bagaimana keberagaman, kesetaraan, inklusi, dan kepemilikan itu, melainkan juga untuk memeriksa alasan mengapa kita perlu mengangkat nilai-nilai ini. Sebagai orang Kristen, kita harus mulai mengejar prakarsa DEB dengan berdiri teguh di atas fondasi yang telah Tuhan letakkan bagi kita.

Kita adalah umat kepunyaan-Nya dan memiliki satu sama lain—dan Tuhan menginginkan hal itu berlaku bagi semua orang, di mana pun juga. Kabar baiknya adalah bahwa Tuhan mengundang kita untuk berpartisipasi dalam membantu orang-orang di sekitar kita agar mengalami kebenaran ini dan menyadari bahwa mereka juga termasuk di dalam kerajaan-Nya.

Arthur L. Satterwhite III adalah wakil presiden dari Diversity, Belonging, and Strategy di Young Life.

Speaking Out adalah kolom opini tamu Christianity Today dan (tidak seperti tajuk rencana) tidak mewakili pendapat dari penerbit.

Diterjemahkan oleh Timothy Daun.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Christianity Today Menunjuk Russell Moore sebagai Pemimpin Redaksi

Joy Allmond, yang pernah menjadi eksekutif penerbitan sekian lama, juga turut serta untuk memajukan visi pelayanan ini.

Christianity Today August 11, 2022
Eric Brown

Hal yang membuat seseorang hebat di dunia bukan karena memiliki bakat yang luar biasa, melainkan penerapan bakat yang giat dan gigih, disertai dengan keberanian dan karakter, yang mengarah pada tujuan yang berharga. Hal yang membuat seseorang hebat dalam kerajaan Allah, menurut Yesus, adalah semangat pelayanan yang rendah hati (Mat. 20:26).

Itulah sebabnya saya sangat senang mengumumkan bahwa Russell Moore akan mengambil peran sebagai pemimpin redaksi Christianity Today mulai 1 September.

Tidak dapat disangkali bahwa Moore adalah orang yang memiliki bakat luar biasa. Ia diangkat menjadi dekan School of Theology di Southern Baptist Theological Seminary ketika dia baru berusia 32 tahun. Melalui berbagai buku, artikel, podcast, seminar publik, dan kepemimpinannya di Ethics and Religious Liberty Commission, Moore mungkin telah menjadi suara masyarakat Kristen Injili yang paling menonjol di negara ini selama dekade terakhir. Siapa pun yang pernah membaca tulisannya atau mendengar pidatonya akan setuju tentang bakat alaminya yang luar biasa.

Akan tetapi alasan kegembiraan kami bukanlah karena bakatnya saja. Moore telah menunjukkan, berkali-kali, keberanian untuk mengungkapkan keyakinan dan integritasnya yang selama ini ia hidupi. Terkadang ini berarti memperjuangkan kebenaran alkitabiah dan teologis yang esensial di ruang publik. Tak jarang pula hal ini berarti menyatakan kebenaran yang menantang dan meyakinkan kepada gereja.

Ia telah bekerja tanpa lelah untuk membantu para pria dan wanita dari kalangan Injili untuk mengatasi dosa di lingkup kita sendiri, baik itu berkaitan dengan penyembahan berhala dan prasangka atau pelecehan dan pengabaian. Moore telah menunjukkan beberapa tujuan yang paling penting dan mendesak di zaman kita, sekalipun itu berarti "dilempari batu dan panah" para kritikus, baik dari dalam maupun luar.

Meski demikian, hal yang paling menggairahkan saya adalah bagaimana ia tidak pernah melupakan panggilan kristiani yang paling inti untuk melayani mereka yang membutuhkan dan mencari yang terhilang. Baik ketika ia memberi konseling kepada para pendeta yang menghadapi krisis, menerima para penyintas pelecehan yang datang ke rumahnya, maupun memberitakan Injil kepada para mahasiswa, Moore jelas bukanlah seorang akademisi yang asing terhadap dunia nyata atau seorang pelempar spam di Twitter, melainkan seseorang yang sangat terlibat dalam kehidupan gereja dan dalam membagikan kasih Allah kepada orang lain. Sebagai seorang pendeta dari kalangan Baptis yang memegang banyak peran pastoral (dan masih memegang satu peran sampai sekarang), Moore telah melayani gereja dan kerajaan Allah di sepanjang karirnya, tanpa kenal lelah.

Cita-cita kami di Christianity Today adalah untuk mengutamakan pemberitaan kisah dan pemikiran tentang kerajaan Allah. Pertanyaan mendasar yang menjiwai pelayanan kami adalah Bagaimana menjadi pengikut Yesus Kristus yang setia pada zaman kita? Kepada generasi muda, kami berharap bisa menjadi seperti bagi Moore sendiri ketika ia mengenal Christianity Today pada usia 15 tahun: suatu visi yang luas dan meyakinkan tentang kehidupan Kristen yang membuka jalan menembus dunia yang telah rusak dan masuk menuju kerajaan Allah.

Itulah sebabnya menunjuk Moore untuk posisi ini sangatlah penting. Sebagai presiden dan CEO, saya telah menjabat sebagai pemimpin redaksi dalam penatalayanan untuk waktu yang singkat, tetapi jabatan ini memerlukan seseorang yang menetap sepenuhnya, dan Moore memperlihatkan cara mengikut Yesus yang mengakar, dengan ortodoksi yang indah, bijaksana dan penuh kasih, serta berkomitmen untuk melayani kerajaan Allah sekalipun dengan berkorban diri.

Secara signifikan, kami juga merekrut veteran bagian komunikasi dan penerbitan, Joy Allmond, ke dalam tim kami untuk menjabat sebagai kepala staf editorial. Salah satu tuntutan utama bagi Moore adalah untuk terus memajukan Proyek Teologi Publik. Allmond juga akan bekerja bersamanya untuk mengembangkan proyek tersebut. Dengan latar belakang yang luas di Billy Graham Evangelistic Association, majalah Decision, dan Lifeway, Allmond akan banyak memberi sumbangsih editorial, eksekutif, dan interpersonal demi kelancaran fungsi perusahaan penerbitan kami serta acara dan program yang akan datang.

Kita saat ini berada dalam sebuah era bahaya yang besar dan janji yang luar biasa bagi gereja. Kami bertekad di Christianity Today untuk melakukan segala upaya yang kami bisa untuk melayani gereja di masa yang penuh gejolak dan memecah belah, dan untuk mencintai dunia yang Tuhan ciptakan. Kami merasa terhormat telah merekrut Russell Moore ke dalam tim kurang lebih setahun yang lalu. Sekarang kami menantikan apa yang dapat dicapai di tahun-tahun mendatang oleh Moore, Allmond, dan tim editorial kami yang luar biasa.

Pada tahun 2019, sebuah artikel terbitan perusahaan Christianity Today menyertakan informasi ini:

Russell Moore Membaca CT Karena CCM
Morgan Lee
Bagaimana Philip Yancey dan kolumnis CT lainnya mengubah iman pemimpin Baptis Selatan ini.

Sebagai orang muda, Russell Moore mungkin adalah penggemar terbesar musik Kristen kontemporer.

“Ya, jenis yang akan dianggap banyak orang sebagai picisan,” tulis presiden Komisi Etika dan Kebebasan Beragama dari Southern Baptist Convention baru-baru ini. “Saya mendengarkan setiap kata yang dinyanyikan oleh para artis mulai dari Amy Grant hingga Petra.”

Kegemarannya membawa dia ke ranah industri publikasi, CCM (Contemporary Christian Music), di mana kolumnis favoritnya menyebutkan seorang pria bernama Philip Yancey—seorang penulis produktif yang kebetulan juga menjadi kolumnis di Christianity Today.

“Saya menemukan kolom tulisan Yancey dalam sebuah terbitan CT, mungkin di perpustakaan umum, dan itu menggetarkan saya,” tulis Moore. “Yancey jelas telah melihat hal yang sama seperti yang saya lihat di subkultur yang konon ‘Kristen’—rasisme, imoralitas, kekerasan, legalisme—tetapi ia mencintai dan mempercayai Yesus, dan ia menggambarkan Yesus seperti yang saya tahu tentang-Nya, sebagai Pribadi yang indah, penuh dengan kebenaran dan kasih karunia.”

Tak lama setelah berjumpa Yancey melalui tulisannya, Moore mulai membaca kolumnis CT lainnya seperti J.I. Packer dan Charles Colson.

“Mereka sangat kuat secara teologis, bukan sekadar klise dan slogan semata,” tulisnya. “Setiap bulan, bagi saya, kolom-kolom ini menjadi semacam Radio Free Bible Belt, yang dikirim dari tempat di mana kaum Injili berdiri dengan keberanian demi kebenaran mutlak dari firman Tuhan dan melakukannya bukan sebagai sektarian yang marah dan putus asa, melainkan sebagai duta besar dari Injil yang merupakan kabar sukacita yang ;uar biasa, yang akan diberitakan kepada semua bangsa.”

Pujian Moore terhadap penerbitan ini disampaikan setelah ia memenangkan 2019 Beautiful Orthodoxy book of the year, suatu penghargaan buku terbaik untuk kedua kalinya, pada kesempatan ini untuk buku The Storm-Tossed Family. (Bukunya yang berjudul His Onward juga memenangkan penghargaan pada tahun 2016.) Dan hal itu nampaknya menjadi tanda lain bahwa tulisannya mungkin memiliki dampak yang sama pada generasi berikutnya seperti yang dilakukan oleh para kolumnis CT yang ia banggakan.

Ia tidak yakin, tetapi menurut Moore artikel pertamanya untuk CT terbit tak lama setelah peristiwa 9/11. Sejak itu, ia menjadi fokus berita utama tahun 2015, di mana ia menulis tentang tokoh utama yang membuatnya lebih Injili, tentang apakah orang Kristen harus memilih yang lebih tidak jahat dari dua pilihan yang jahat, dan sebuah berita utama tentang musik rap Kristen.

Mengingat lingkup tulisannya untuk CT, maka tidaklah mengherankan jika salah satu hal yang dihargai oleh Moore dari penerbitan ini adalah daya tariknya yang luas.

“CT adalah sebuah lahan terbuka hijau bagi kalangan Injili Amerika dan global, di mana orang-orang dari berbagai suku dapat berinteraksi satu sama lain dan dengan dunia luar,” kata Moore.

Salah satu bagian yang menunjukkan keragaman ini adalah bagian yang populer di halaman belakang, yaitu Kesaksian, di mana orang-orang dari berbagai latar belakang menceritakan secara langsung tentang bagaimana mereka berjumpa Kristus.

“Bagian ini tidak menjadi bagian yang 'Inilah seorang selebriti, perhatikan orang ini karena betapa suksesnya dia dalam bisnis atau atletik,'” kata Moore. “Dalam bagian tersebut ada begitu banyak orang yang bersaksi tentang anugerah Tuhan dalam berbagai cara.”

Kisah-kisah ini berdampak secara pribadi bagi Moore sebagai seorang Kristen dan juga karena dia tahu banyak orang non-Kristen membaca terbitan ini untuk lebih memahami evangelikalisme.

“Dengan adanya pengingat di setiap edisi tentang inti dari Injil telah mengikat semuanya bersama-sama,” kata Moore. “CT memberikan makna yang akurat bahwa kekristenan tidak dipenuhi oleh orang-orang dalam kelompok yang sama melainkan oleh orang-orang yang mengalami anugerah yang sama.”

Sebelum perannya saat ini, Moore bekerja sebagai seorang administrator seminari di mana ia mengamati bahwa banyak mahasiswa yang masuk ke seminari Southern Baptist pertama kali mengetahui tentang seminari tersebut setelah melihat iklannya di CT.

“Saya terkejut dengan jumlah mahasiswa yang sangat banyak itu, sekalipun satu dekade lalu, ketika umumnya orang berpikir bahwa generasi milenial tidak membaca majalah,” katanya. “Sepertinya bukan itu masalahnya!”

Entah apakah mereka berasal dari generasi yang dikenal karena kebiasaan membaca atau bukan, Moore mengatakan bahwa CT menawarkan kesempatan kepada audiensnya untuk “belajar melintasi spektrum kekristenan Injili” meskipun CT masih “terikat” dan “bukan majalah Kristen ekumenis. ”

Christianity Today adalah tempat pertemuan di media di mana kita bisa belajar dari satu sama lain dan ini penting,” katanya. “CT mempertahankan keseimbangan alkitabiah antara keyakinan dan penerapan.”

Lebih jauh, misi pelayanan CT adalah misi yang selaras dengan pelayanan yang ingin dilakukan Moore dalam hidupnya.

“Saya tidak yakin apakah saya dapat memenuhi, atau akan pernah memenuhi standar ‘Ortodoksi yang Indah’ dalam tulisan saya, tetapi saya bercita-cita untuk melakukannya,” tulisnya. “Dan jika saya berhasil mencapainya, Anda dapat mengetahui bahwa saya mempelajarinya dari CT.”

Morgan Lee adalah produser media digital di Christianity Today.

Diterjemahkan oleh Maria Fennita S.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Bagaimana Seharusnya Kita Berdoa Saat Menderita?

Apa yang tampaknya seperti “bersandar pada Allah” sebenarnya bisa menjadi sebuah topeng kemunduran.

Christianity Today August 5, 2022
Massimo Pizzotti / Getty

Ketika kita menderita, kita mungkin kelihatannya tampak seperti sedang “bersandar pada Allah,” menerima apa pun yang Dia berikan kepada kita. Akan tetapi apa yang tampak seperti bersandar itu mungkin sesungguhnya menyembunyikan kemunduran rohani yang berbahaya dan mematikan. Jangan-jangan sebenarnya kita telah kehilangan harapan dan menempelkan stiker Yesus di wajah keputusasaan kita.

Setelah kematian Paul, bayi laki-laki saya, apa yang tampak bagi orang lain seperti bersandar sebenarnya adalah sebuah topeng kemunduran. Saya memohon kepada Tuhan untuk menyelamatkan nyawa bayi saya, tetapi ia meninggal bahkan ketika saya sedang berdoa. Pada hari-hari setelah kematiannya, saya menyiapkan acara pemakaman, berbicara tentang kebaikan Tuhan, dan menggunakan kalimat-kalimat teologi yang sehat—teologi yang saya yakini. Saya mengatakan bahwa saya sedang bersandar, percaya, dan memegang teguh janji-janji Tuhan, tetapi di dalam, saya sebenarnya sedang memalingkan wajah saya dari Dia.

Saya terlalu malu untuk mengakui kepada orang lain, dan bahkan kepada diri saya sendiri, betapa kecewanya saya terhadap Tuhan, jadi saya mematikan rasa sakit itu dengan kata-kata hampa yang ingin saya percayai, sementara saya menjauhkan hati saya dari Tuhan. Iman saya yang dulu kuat segera berubah menjadi sikap apatis dan saya tidak lagi berdoa karena saya telah kehilangan harapan bahwa Tuhan mendengarkan doa.

Berbulan-bulan kemudian, dalam keputusasaan, saya akhirnya berseru lagi kepada Tuhan. Saya tidak punya tempat lain lagi. Ia pun menjumpai saya dalam keputusasaan saya dan menarik saya kembali kepada-Nya. Saya menemukan kemerdekaan yang baru untuk sepenuhnya terbuka kepada Tuhan, jadi saya mulai menyuarakan ketakutan saya, membuat jurnal terkait pertanyaan-pertanyaan saya, dan berdoa melalui Mazmur sembari saya memproses duka saya. Musim bergumul dengan Tuhan dalam doa inilah yang akhirnya melembutkan hati saya. Alih-alih mendapat jawaban, saya menemukan persandaran di dalam Tuhan sendiri dan kedamaian di luar pemahaman saya. Perjalanan saya bergumul dalam doa di tengah penderitaan inilah yang akhirnya membawa saya keluar dari kemunduran tanpa pengharapan menuju kepercayaan yang sejati.

Alasan untuk Bergumul

Bergumul dalam doa berarti berseru kepada Tuhan, meminta apa yang kita butuhkan, tanpa menahan apa pun. Ini bukan berkelahi dengan Tuhan, melainkan berpegang teguh pada-Nya, mengharapkan Dia untuk menjawab, dan menolak untuk melepaskan atau berpaling. Agustinus menulis dalam Confessions, “Disposisi terbaik untuk berdoa adalah dengan rasa sedih yang mendalam, diabaikan, dilucuti dari segalanya.” Semakin kita putus asa, semakin sungguh-sungguh dan spesifik pula kita dalam berdoa. Ketika kita melihat bahwa hanya Tuhan yang dapat mengubah situasi yang kita hadapi, kita berlutut, bertekad untuk tidak menyerah sampai Dia menjawab.

Ketika suami pertama saya meninggalkan keluarga kami, saya memohon kepada Tuhan siang dan malam agar ia kembali untuk bertobat. Ketika saya didiagnosis mengidap sindrom pasca polio, saya memohon kepada Tuhan untuk memperpanjang dan meningkatkan kekuatan saya. Ketika putri saya menjadi makin sering memberontak di masa remajanya, saya meminta Tuhan untuk mengubah hatinya. Saya tidak hanya meminta hal-hal ini. Saya memohon—terkadang dengan tersungkur di lantai, dan sering kali disertai dengan air mata, berkali-kali dalam sehari. Tidak ada yang harus mengingatkan saya. Saya benar-benar butuh pertolongan Tuhan.

Kitab Suci secara konsisten mengarahkan kita kepada jenis doa yang giat, sangat bertekad, dan penuh pergulatan ini. Yakub bergulat dengan Tuhan sepanjang malam, menyatakan, “Aku tidak akan membiarkan engkau pergi, jika engkau tidak memberkati aku,” dan kegigihannya membuat dia mendapatkan nama baru—Israel, yang berarti “engkau telah bergumul melawan Allah” (Kej. 32:26–28). Hana berdoa kepada Tuhan sambil menangis tersedu-sedu meminta seorang anak; setelah bertahun-tahun ia mandul, Tuhan memberinya seorang putra (1Sam. 1:9-20). Daud sering bergumul dengan Tuhan dalam doa, dan mazmurnya penuh dengan permintaan yang mendesak dan penuh kepanikan, yang dijawab Tuhan (Mzm. 6, 22, 69).

Yesus memuji doa yang tidak jemu-jemu dalam perumpamaan-Nya tentang kegigihan seorang janda yang terus-menerus berseru kepada seorang hakim yang tidak adil demi memperoleh keadilan terhadap musuhnya (Luk. 18:1-8). Berkat permintaannya yang tiada jemu—kesediaannya untuk terus menyuarakan masalahnya sampai membuat jengkel pendengarnya—dia akhirnya mendapat imbalan. Yesus mengakhiri perumpamaan-Nya dengan mengatakan, “Tidakkah Allah akan membenarkan orang-orang pilihan-Nya yang siang malam berseru kepada-Nya? Dan adakah Ia mengulur-ulur waktu sebelum menolong mereka? Aku berkata kepadamu: Ia akan segera membenarkan mereka.” Tuhan tidak pernah menunda untuk menolong kita. Tuhan tidak pernah menjadi lelah dengan permintaan kita dan tidak akan pernah mengabaikan permohonan kita. Tangisan kita selalu membuahkan hasil.

Pikirkanlah apa arti menangis bagi bayi-bayi manusia. Ini adalah respons alami terhadap kebutuhan mereka. Para bayi yang tidak berteriak saat lapar atau mengompol biasanya pernah diabaikan; mereka telah belajar bahwa isak tangis mereka tak berguna dan tidak akan mengubah apa pun. Namun ketika bayi menangis, tangisan itu merupakan penegasan naluriah bahwa seseorang akan merespons kebutuhannya. Inilah inti dari bergumul dalam doa. Ketika kita bergumul—di dalam penderitaan dan kebutuhan kita—artinya kita mengakui bahwa kita memercayai Tuhan mendengar dan menanggapi tangisan kita.

Ketika Berbagai Hal Bisa Salah

Baik bergumul maupun bersandar di dalam doa, keduanya sama-sama bisa memiliki bahaya yang melekat. Masalahnya terletak pada bergumul tanpa kepercayaan dan bersandar tanpa bergumul. Ketika kita bergumul tanpa kepercayaan, kita jujur tentang diri kita sendiri tanpa mengakui kebenaran tentang Allah. Dan ketika kita bersandar tanpa bergumul, kita jujur tentang Tuhan tanpa menjadi jujur tentang diri kita sendiri. Keduanya dapat menyebabkan kekerasan hati.

Sementara Tuhan mengundang kita untuk bergumul dalam doa, ini tidak memberi kita hak untuk menuntut jawaban yang kita inginkan, seolah-olah Tuhan berhutang kepada kita dan harus melakukan perintah kita. Ketika ada orang-orang yang berdoa dengan pola pikir seperti ini, doa yang tidak terjawab dapat menyebabkan mereka berpaling dari Tuhan dalam kemarahan dan permusuhan, mempertanyakan kebaikan, kekuasaan, atau bahkan keberadaan Tuhan. Pergumulan mereka menjadi terasa sia-sia, dan mereka pergi dengan perasaan kecewa.

Sebaliknya, dibanding mengucapkan kata-kata saleh, ucapan-ucapan rohani yang klise, dan menunjukkan sukacita yang palsu—penolakan untuk bergumul dengan Tuhan di tengah penderitaan sering kali dapat menutupi hati yang telah putus asa dan jauh dari Tuhan. Apa yang disebut bersandar dalam doa ini juga bisa menjadi alasan untuk kemalasan rohani, memanjatkan doa yang pendek dan tidak sungguh-sungguh, tanpa hati, tanpa kehidupan. Inilah yang disebut Charles Spurgeon sebagai “doa ujung jari” dalam The Power of Prayer in a Believer’s Life—yaitu doa-doa yang dia gambarkan sebagai “doa-doa pelarian yang mengetuk pintu belas kasihan,” permintaan-permintaan yang dipanjatkan lebih untuk pertunjukan atau kewajiban tanpa harapan akan sebuah jawaban.

Apa yang kita harapkan dari Tuhan dapat menjadi kunci untuk membedakan sikap bersandar yang benar dan salah dalam berdoa. Apakah sikap bersandar kita secara pasif telah menjauhkan kita dari Tuhan karena kita sudah kehilangan harapan bahwa Dia akan menjawab? Ataukah sikap bersandar kita secara aktif telah mendekatkan kita dengan-Nya karena jauh di lubuk hati kita tahu bahwa Ia selalu memberikan jawaban terbaik, sekalipun kita tidak memahaminya? Saya pernah mengalami keduanya. Setelah Paul meninggal, “sikap bersandar" saya adalah suatu kedok ketidakpercayaan dan keputusasaan yang pasif; tetapi setelah suami pertama saya pergi, persandaran saya di dalam Tuhan muncul dari kepercayaan yang aktif dan harapan yang kekal.

Alasan untuk Bersandar

Seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya, sementara jenis bersandar yang palsu menjauhkan kita dari Tuhan, jenis bersandar yang sejati justru mendekatkan kita dengan Allah. Yesaya 26:3 mengingatkan kita, “Yang hatinya teguh Kaujagai dengan damai sejahtera, sebab kepada-Mulah ia percaya.” Bersandar perlu secara aktif mempercayai Tuhan, menjaga pikiran kita terarah pada-Nya.

Persandaran sejati berasal dari Tuhan dan hanya ada di dalam Dia. “Hanya dekat Allah saja aku tenang,” kata Daud (Mzm. 62:2). Yesus mendorong kita untuk datang kepada-Nya dan menemukan ketenangan sejati bagi jiwa kita (Mat. 11:28-29). Bersandar pada Tuhan di dalam doa membawa kedamaian supernatural dan ketenteraman batin saat kita menenangkan jiwa kita di hadapan Tuhan seperti anak yang disapih di hadapan-Nya (Mzm. 131:2).

Hadirat Tuhan adalah tempat persandaran kita. Tuhan berkata seperti itu kepada Musa ketika dia khawatir tentang masa depan: “Aku sendiri hendak membimbing engkau dan memberikan ketenteraman kepadamu” (Kel. 33:14). Ketika kita tahu bahwa Tuhan beserta kita, kita dapat berhenti mengkhawatirkan masa kini atau masa depan dan dapat masuk ke dalam tempat persandaran-Nya, dengan percaya bahwa Dia akan melindungi kita dan menyediakan segala yang kita butuhkan. Kedamaian di hadirat Tuhan ini bersifat aktif—bukan pasif—dan merupakan luapan karena telah memilih untuk percaya, mendekat kepada Allah di dalam doa, dan berserah pada kehendak-Nya.

Bersandar yang Sejati Muncul Setelah Pergumulan

Kitab Suci menggarisbawahi bahwa persandaran dan kedamaian sejati di tengah penderitaan sering kali muncul dari permohonan dan pergumulan dalam doa. Dalam Filipi 4:6-7, Paulus menasihati kita agar tidak kuatir, melainkan berdoa untuk segala hal. Hanya setelah kita mencurahkan permohonan kita di hadapan Tuhan, maka kedamaian supernatural-Nya akan menaungi kita. Paulus mengetahui hal ini dari pengalaman pribadinya dengan penderitaan; dalam 2 Korintus 12:7–10, ia berseru kepada Tuhan tiga kali untuk mencabut duri dalam dagingnya. Tuhan tidak menghilangkan duri itu melainkan menunjukkan kepada Paulus bagaimana kelemahannya justru adalah kesempatan untuk bersandar dan bermegah dalam kekuatan Tuhan.

Dalam Ratapan 3, Yeremia berseru kepada Tuhan dengan perasaan sedih yang mendalam, penuh kepahitan, dan putus asa. Ia mengungkapkan beberapa keluhan yang paling menyedihkan dan penuh keputusasaan di seluruh Kitab Suci, dengan mengatakan, “Ia mendirikan tembok sekelilingku, mengelilingi aku dengan kesedihan dan kesusahan. … Walaupun aku memanggil-manggil dan berteriak minta tolong, tak didengarkan-Nya doaku. … Ia membelokkan jalan-jalanku, merobek-robek aku dan membuat aku tertegun” (ay. 5, 8, 11). Namun saat Yeremia mengingat karakter Tuhan, ia berani berharap bahwa kasih dan belas kasihan Tuhan akan membebaskannya. Dia menyatakan, “Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya. selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu! 'Tuhan adalah bagianku,' kata jiwaku, oleh sebab itu aku berharap kepada-Nya” (ay. 22-24). Setelah Yeremia meratap dan bergumul di dalam doa, ia bersandar.

Ketika kita bergumul dalam doa dengan iman, kita menemukan harta terpendam dari kasih karunia Allah. Bukan iman yang lemah yang menuntun kita untuk bergumul dan menghabiskan malam tanpa tidur dengan berdoa, melainkan iman yang cukup kuat untuk percaya bahwa Tuhan sendiri akan menjumpai dan menjawab kita, bahwa Dia bukannya tidak peduli pada tangisan kita, melainkan Ia sedang menggerakkan langit dan bumi untuk meresponi segala permohonan kita. Di Getsemani, para murid tertidur, tidak menyadari apa yang akan terjadi. Persandaran mereka lahir dari ketidaktahuan dan kelemahan. Sementara itu, Yesus sedang bergumul dengan Allah, berdoa dalam “ketakutan” sedemikian rupa sehingga “peluh-Nya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah” (Luk. 22:44) saat ia meminta Bapa-Nya untuk menyingkirkan penderitaan yang akan datang. Setelah bertanya, Kristus dengan rela menerima jawaban Bapa, dengan mempercayai bahwa Allah akan melakukan yang terbaik.

Bersandar yang alkitabiah di dalam penderitaan dimulai dengan bergumul. Kita tidak dapat sepenuhnya menyerahkan diri kepada Tuhan dalam doa, bersandar di dalam Dia, tanpa terlebih dahulu bergulat dalam perjuangan iman. Ketika kita bergumul dalam doa, kita percaya bahwa Tuhan sedang menyelesaikan sesuatu melalui doa-doa kita, mengubah kita dalam prosesnya, dan mengundang kita menuju perjumpaan dengan-Nya yang mengubahkan hidup. Kita bergumul untuk menyaksikan doa-doa kita dijawab, dan kita bergumul ketika permintaan doa kita ditolak—keduanya pada akhirnya akan memberi jalan bagi bersandar yang sejati di dalam Tuhan. Bersandar dengan aktif inilah yang dirindukan hati kita; seperti yang dikatakan Agustinus, “Engkau telah mencipta kami bagi diri-Mu, ya Tuhan, dan hati kami gelisah sebelum bersandar di dalam Engkau.”

Vaneetha Rendall Risner adalah seorang penulis dan pembicara. Buku terbarunya adalah Walking Through Fire: A Memoir of Loss and Redemption.

Diterjemahkan oleh Fanni Leets.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Kitab Mazmur Menantang Kita Mempersembahkan Diri Sepenuhnya di Hadapan Tuhan

Berdoa dengan Mazmur dapat memberi bentuk pada sungai emosi kita.

Christianity Today August 3, 2022
Ilustrasi oleh Sarah Gordon / Gambar: Tanpa Judul, Joachim Ferdinand Richardt / Sumber dari The Bowers Museum, Santa Ana, CA

Sebuah sungai membelah lahan milik orang tua saya. Sungai itu menjadi latar belakang dari kenangan indah yang tak terhitung jumlahnya. Setiap kali saya pulang ke rumah, saya masih menyempatkan diri untuk menyusuri tepian sungai tersebut, seperti mengunjungi seorang teman lama.

Namun terkadang, sungai yang saya sayangi itu bisa menjadi berbahaya dan merusak. Saat banjir, luapan arusnya melemparkan serpihan puing bagai angin topan. Suatu kali, sungai itu membanjiri rumah orang tua saya, meski berjarak ratusan meter di dataran yang lebih tinggi darinya. Orang-orang pernah hanyut terbawa air yang tak terbendung itu dan tenggelam.

Antara sungai yang saya sayangi itu, suatu tempat tenang yang senada dengan kehidupan dan vitalitas yang memelihara seluruh tanah di sekitarnya, dengan sungai yang menghancurkan, yang kemunculannya membawa kekacauan dan teror, perbedaannya sangat sederhana, yaitu tepiannya. Sungai tersebut menjadi berbahaya ketika airnya melampaui tepiannya, tetapi selama air tersebut masih di dalam batas tepiannya, semua kekuatan mata air yang dalam itu dimanfaatkan untuk memberi kehidupan dan kegembiraan. Pergerakan dan perubahan air sungai tersebut, yang tidak pernah terlihat sama dari hari ke hari atau musim ke musim, adalah bagian dari keindahannya. Akan tetapi semua fluktuasi itu menemukan telos (akhir), suatu tujuan dan akhir yang pasti, hanya dalam bentuk garis pantai yang kokoh.

Perubahan arus emosi kita, baik itu sukacita, sedih, marah, dan rindu, seperti sungai itu. Emosi manusia adalah hal yang baik, dibutuhkan, indah, dan bahkan menyehatkan. Beberapa pergerakan dalam kekristenan secara halus mencampurkan Injil dengan Stoikisme, yang menggambarkan emosi-emosi sebagai ancaman atau pencemaran. Akhirnya mereka meninggikan nalar dan kesalehan yang dingin di atas segalanya. Namun kenyataannya, Kitab Suci membuktikan bahwa emosi adalah bagian yang sangat penting agar seseorang dapat menjadi utuh, bahkan kudus.

Filsuf Martha Nussbaum menulis bahwa emosi memberi kita informasi yang benar tentang dunia dan diri kita sendiri. Ia menyebutnya “kognisi panas (hot cognitions)”—emosi bukanlah tidak rasional, melainkan lebih informatif. Emosi menunjukkan kepada kita apa yang kita hargai. Emosi juga mengajari kita bagaimana menjalani hidup. Belajar untuk mengakui, mengamati, dan menamai emosi-emosi kita akan mengubah kehidupan batiniah kita, memberikan ruang bagi luasnya kebijaksanaan manusia, bagi ketakutan dan kesedihan, tetapi juga bagi cinta, keindahan, dan kebaikan.

Akan tetapi emosi dapat menjadi kekuatan yang merusak jika melampaui batas tepian—jika emosi menguasai segalanya, menentukan seluruh perjalanan hidup kita, mendikte respons kita terhadap orang lain, atau menjadi terpusat sebagai satu-satunya hal yang benar atau nyata terkait pengalaman hidup kita.

Jadi, bagaimana kita bisa tetap hidup dengan kehidupan batin kita tanpa dihanyutkan oleh apa pun yang kita rasakan dari waktu ke waktu? Dan sebagai orang Kristen, bagaimana kita membawa seluruh diri kita, termasuk kehidupan emosional kita, di hadapan Tuhan?

Kitab Suci mengajarkan kita suatu latihan: berdoa dengan Mazmur. Mazmur adalah buku doa pertama yang dimiliki gereja. Pada zaman kuno, saudara-saudari seiman kita mempraktikkan doa terutama dengan menghafal dan membaca Mazmur setiap hari. Dengan menerapkan hal ini di dalam komunitas, tahun demi tahun selama sekian milenium, di hampir segala bahasa dan lokasi di bumi, mengajarkan gereja, baik sebagai individu maupun sebagai umat, untuk tetap hidup dengan keragaman emosi manusia yang kompleks. Saat kita berdoa dengan Mazmur, kita belajar untuk merayakan dan belajar untuk meratapi. Kita belajar untuk jujur kepada Tuhan tentang kemarahan dan dosa kita. Kita belajar untuk berduka dan meragu. Kita belajar untuk mengakui rasa malu dan mengungkapkan rasa terima kasih.

Dengan berulang kali berdoa memakai Mazmur memungkinkan kita untuk datang ke hadapan Tuhan dengan kejujuran, keotentikan, dan keterbukaan yang emosional. John Calvin menulis bahwa Mazmur adalah “anatomi dari semua bagian jiwa.” Ia pun melanjutkan dengan mengatakan bahwa tidak ada emosi yang “ditemukan manusia di dalam dirinya yang tidak terefleksi di dalam cermin (Mazmur) ini. Segala dukacita, kesedihan, ketakutan, kebimbangan, harapan, kepedulian, kecemasan, singkatnya semua emosi yang menggelisahkan, yang biasanya mengganggu pikiran manusia, Roh Kudus telah menggambarkannya dengan tepat.” Ketika kita berada dalam kesedihan yang mendalam, kita dapat berdoa seperti pemazmur, “Sebab jiwaku kenyang dengan malapetaka, dan hidupku sudah dekat dunia orang mati. Aku telah dianggap termasuk orang-orang yang turun ke liang kubur; aku seperti orang yang tidak berkekuatan.” (Mzm. 88:4–5). Ketika kita penuh dengan sukacita, kita dapat berdoa, “Bersorak-soraklah bagi TUHAN, hai seluruh bumi!” (Mzm. 100:1b).

Mazmur mengajarkan kita untuk mengekspresikan emosi kita kepada Tuhan. Hal ini penting untuk dipelajari. Tuhan bukanlah ayah yang dingin dan jauh, yang harus kita dekati dengan ketenangan yang sempurna dan ketaatan yang dingin. Mazmur menantang kita untuk mengatakan kepada Tuhan segala kebutuhan, kerinduan, kebencian, rasa sakit, kesedihan, dan kegembiraan kita yang terdalam. Dan dengan melakukannya, kita belajar untuk mengakui diri kita sendiri secara jujur.

Dalam zaman di mana kita sangat sering terdistraksi, yang membuat kepedihan dan kegembiraan menjadi mati rasa dengan komentar-komentar provokatif yang tiada hentinya, menuliskan cuitan-cuitan di Twitter, dan kesibukan yang tak ada habisnya, Mazmur memanggil kita menuju kedalaman, yaitu kedalaman pribadi manusia, kedalaman dari kepedihan dan kegembiraan, dan kedalaman pengenalan akan Tuhan.

Selain itu, dengan merenungkan, menghafal, dan berdoa memakai Mazmur juga membantu kita menemukan batas tepian yang mengarahkan emosi kita menjauh dari pemujaan diri atau narsisisme dan mengarahkannya hanya kepada Tuhan sendiri. Mempraktikkan doa Mazmur mengajarkan kita dari waktu ke waktu bahwa emosi kita juga perlu dimuridkan, bersama dengan pikiran dan kehendak kita. Bahasa emosional dalam Kitab Suci ini mengajari kita dengan jujur dan memusatkan hasrat kita kepada Tuhan serta pekerjaan-Nya di dunia. Berdoa dengan Mazmur memungkinkan kita untuk menemukan kisah kita sendiri—dan kegembiraan, kehilangan, pergumulan, serta keajaiban dari kehidupan kita—dalam kisah penebusan Allah yang lebih besar.

Berdoa dengan Mazmur tidak hanya mengajarkan untuk mengekspresikan emosi kita kepada Tuhan; praktik ini juga membentuk emosi kita. Hal ini memberi batas tepian terhadap arus sungai hati kita yang sangat kuat. Bagaikan proses erosi yang lambat, berdoa dengan Mazmur secara keseluruhan dari waktu ke waktu dan berulang-ulang, akan membentuk lanskap kehidupan batin kita. Melalui doa, Kitab Suci berkarya kembali pada diri kita, untuk menentukan apa yang kita percayai dan bagaimana kita berespons terhadap hal-hal yang kita rasakan. Ini menjadikan siapa kita dan membentuk apa yang kita sembah. Singkatnya, berdoa dengan Mazmur bukan hanya menamai apa yang kita rasakan, melainkan juga mengubahkan kita.

Dalam Rejoicing in Lament, J. Todd Billings menulis, “Berdoa dengan Mazmur membawa seluruh hati kita ke hadapan Tuhan, mengarahkan visi kita kembali kepada Tuhan dan segala janji-Nya. … Mazmur diberikan kepada kita oleh Tuhan untuk membimbing doa kita dan semakin mengubahkan identitas kita di dalam Kristus, sebagai anggota dari tubuh Kristus.” Pada akhirnya, ketika kita berdoa dengan Mazmur, kita berdoa di dalam dan bersama Kristus. Yesus sendiri belajar, menyelidiki, dan berdoa dengan Mazmur. Ia mengutip Mazmur melebihi kitab Perjanjian Lama lainnya, dan menjelang kematian-Nya, Mazmur pun terucap dari bibir-Nya (Mat. 27:46).

Pada akhirnya, semua emosi dan setiap pengalaman hidup kita dapat dipakai oleh Tuhan sebagai bahan mentah untuk mengubah kita menjadi orang yang hidup sebagai kekasih-Nya. “Di dalam dan melalui Yesus Kristus,” tulis Billings, “yang dengan-Nya orang Kristen telah dipersatukan oleh Roh Kudus, kita dapat memuji, meratap, memohon.” Dan melalui praktik ini, kita menemukan bahwa pengalaman dan emosi yang kita rasakan—segala kehilangan, kegembiraan, kesedihan, kemarahan, kerinduan, dan kebahagiaan kita—bukanlah kisah yang paling fondasional dan menentukan dalam kehidupan kita.

Saat kita membaca Mazmur dalam rutinitas doa sehari-hari, cerita kita sendiri yang penuh dengan keindahan dan penderitaan, baik kesulitan maupun pesonanya—akan menemukan menemukan batas tepian dan arahan. Kita menjadi jujur akan realitas yang berubah-ubah dari kehidupan batin kita, dan, melalui latihan kerentanan tersebut, kita berdoa memakai Mazmur bersama Yesus dan memasuki realitas yang lebih besar tentang siapa Tuhan itu dan apa yang telah Dia lakukan.

Dan itulah yang dimaksud dengan batas tepian. Batas tepian tersebut bukanlah sarana pengontrol. Tujuan utamanya bukan sekadar untuk membatasi. Tepian adalah yang membuat sebuah sungai mengalir ke arah yang dituju. Tepian adalah yang memungkinkan sungai mencapai ujungnya, tujuan akhirnya, telos-nya. Dengan cara yang sama, doa-doa yang memakai Mazmur ini memungkinkan kehidupan batin kita, dengan segala arus dan lika-likunya yang beraneka ragam, menemukan puncaknya dalam deru lautan kasih Tuhan.

Tish Harrison Warren adalah seorang imam di Gereja Anglikan di Amerika Utara. Dia adalah penulis Liturgy of the Ordinary dan Prayer in the Night (IVP, Januari 2021).

Diterjemahkan oleh Vika Rahelia.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Kontes Esai Internasional Kedua dari Christianity Today

Pada tahun ini kami sekali lagi mencari kearifan, perspektif, dan pemahaman teologis dari para penulis berbahasa Indonesia, Spanyol, Portugis, Perancis, dan Tiongkok.

Christianity Today August 3, 2022
Image: Illustration by Rick Szuecs / Source Images: Ron Lach / Pexels / Flickr / CCO

Di Christianity Today, kami percaya bahwa Firman Allah memiliki kebenaran dan wawasan yang spesifik terhadap berbagai tantangan dan pergumulan yang kita sedang hadapi di masa kini. Lebih jauh lagi, setiap budaya memiliki pendekatan terhadap Alkitab dari perspektif masing-masing dan menawarkan wawasan-wawasan yang unik terkait Firman Allah. Karena itu, tentu akan ada banyak hal yang dapat kita pelajari dari para penulis dengan latar belakang budaya yang berbeda, dalam menganalisa dan mengaplikasikan Firman Tuhan.

Dengan pemikiran tersebut, maka Christianity Today mengadakan Kontes Esai Internasional Kedua. Kami berharap para penulis yang berbahasa Indonesia, Spanyol, Portugis, Perancis, dan Tiongkok dapat mengirimkan pemikiran-pemikirannya dalam bahasa masing-masing. Tulisan-tulisan tersebut akan dinilai oleh tiga sampai lima juri yang merupakan pemimpin atau teolog Kristen dari negara yang bersangkutan. Kemudian esai yang menang akan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan di situs web Christianity Today, baik dalam bahasa Inggris maupun bahasa negara pemenang.

Pada tahun ini, kami meminta para penulis untuk memilih sebuah ayat, pasal, atau kisah dari kitab Kejadian, Ayub, 1 atau 2 Korintus, atau Kolose, dan mengaplikasikannya pada konteks persoalan yang sedang Anda atau masyarakat di negara Anda alami. Secara khusus, kami mencari referensi Alkitab yang kuat, yang dikombinasikan dengan penerapan Alkitab yang menyegarkan dan menginspirasi. Nasihat dari tulisan Anda juga harus dapat berlaku bagi orang-orang Kristen di negara Anda, sambil tetap mengingat bahwa karya tersebut juga akan dibaca oleh orang-orang Kristen secara global.

Kami tertarik untuk membaca argumen-argumen unik yang mengomunikasikan perspektif Injil terhadap suatu persoalan tertentu dengan corak pemikiran yang kaya dan bisa membuat para pembaca penasaran untuk membuka Alkitab dan membaca lebih lanjut. Untuk jenis artikel yang memakai sudut pandang orang pertama perlu menyertakan pengalaman pribadi Anda untuk memperluas konsep iman dan kebenaran alkitabiah yang Anda sampaikan.

Kami menyarankan Anda membaca beberapa artikel yang diterbitkan oleh CT untuk membantu Anda memahami corak, gaya, dan jenis artikel yang kami terbitkan. Kami tidak mencari esai akademik dan artikel CT tidak memakai catatan kaki, tetapi kami memakai pranala jika diperlukan.

Kriteria penilaian:

Gagasan (Orisinal, kreatif, dan relevan): 25%

Penguraian (Alkitabiah, inspiratif, sistematis, argumentatif, aplikatif): 50%

Penulisan (diketik rapih, ketelitian ejaan, kesesuaian batasan jumlah kata, gaya bahasa komunikatif dan mudah dipahami): 25%

Pemenang dan Hadiah

Hanya ada satu pemenang dari setiap negara (Indonesia, Spanyol, Portugis, Perancis, dan Tiongkok).

Pemenang akan mendapatkan:

Uang senilai $250

Berlangganan Christianity Today selama 3 tahun.

Esainya diterbitkan di situs web Christianity Today.

Jika esai Anda tidak berhasil menang, kami mungkin akan tetap menerbitkannya. Oleh karena itu, ketika mengajukan esai dalam kontes ini, Anda setuju untuk mengizinkan esai Anda dipertimbangkan oleh editor Christianity Today untuk penerbitan di masa mendatang.

Informasi Pendaftaran

Mohon email berkas pendaftaran ke ChristianityTodayID@christianitytoday.com paling lambat 15 September 2022.

Cantumkan di bagian subyek email: “Kontes Esai Christianity Today—(Nama Lengkap)”

Nama dokumen esai: Nama terakhir, nama pertama – Judul

Kirimkan esai Anda berupa tautan (link) atau lampiran (attachment).

Sertakan nama lengkap Anda dan biodata singkat di email (sekitar 50 kata).

Infokan jumlah hitungan kata dari esai Anda.

Detail

Jumlah kata untuk setiap esai antara 1.200 hingga 1.500 kata, diketik 1 spasi.

Anda dapat mengirimkan lebih dari satu esai dan memungkinkan bagi kami untuk menerbitkan lebih dari satu kiriman esai per orang. Akan tetapi hanya satu esai per orang saja yang akan menjadi pemenang dan runner up.

Keterlambatan pengiriman esai akan mengakibatkan esai tersebut tidak dapat diproses lebih lanjut untuk keikutsertaan dalam kontes. Namun kami akan tetap mempertimbangkannya untuk dipublikasikan.

Semua konten harus orisinal.

Periksalah ejaan dan tata bahasa. Tautkan ke sumber luar mana pun jika ada.

Esai Anda akan diedit oleh editor Christianity Today sebelum dipublikasikan dan judul mungkin akan diubah.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

History

Tuhan Memakai Perubahan Iklim untuk Mengubah Masyarakat

Dalam Alkitab dan sejarah, kemelut di dalam dunia ciptaan dapat melahirkan reformasi.

Christianity Today July 28, 2022
Illustration by Michael Marsicano

Pada September 2017, Badai Irma Kategori 5 melanda Barbuda, memaksa penduduk untuk mengungsi ke pulau Antigua dan membuat Barbuda tidak dapat dihuni. Hanya sepuluh hari kemudian, badai lain, Maria, lewat tepat di selatan Antigua, menghantam pulau itu berulang kali dengan angin dan hujan yang cenderung menjadi badai Kategori 5.

Direktur Departemen Lingkungan Antigua dan Barbuda, Duta Besar Diann Black-Layne, mengatakan kepada The New York Times bahwa tingkat emisi karbon dari negara-negara maju merupakan penyebab signifikan dari badai yang sangat hebat. Namun, ia mengatakan bahwa negara kepulauan itu terlalu kecil untuk mengatasi masalah ini sendirian. Alih-alih, ia menawarkan rencana tindakan yang mencengangkan.

Black-Layne mengatakan kepada reporter Michael Barbaro, “Kami berdoa. Kami adalah orang-orang yang takut akan Tuhan, kami percaya pada pengampunan-Nya, dan kami percaya pada doa. Kami juga percaya bahwa Tuhan akan bersyafaat bagi kami. Saya beritahu Anda; doa itu penuh kuasa.”

Tuhan memang berjanji untuk mendengarkan tangisan orang yang tertindas (Kel. 22:21–24). Dan jika Allah mendengar tangisannya, demikian pula seharusnya umat Tuhan. Terlalu banyak orang Kristen (dan non-Kristen) yang berpikir tentang perubahan iklim sebagai terutama masalah politik atau ekonomi. Padahal ini juga merupakan masalah rohani yang membutuhkan pendekatan alkitabiah.

Alkitab sebenarnya banyak berbicara tentang perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia. Perjanjian Lama, secara khusus, mencatat upaya-upaya Allah untuk mengatur daya masyarakat demi kemuliaan-Nya dan mendokumentasikan kegagalan masyarakat dalam mematuhi aturan tersebut.

Ajaran Alkitab harus menuntun orang Kristen untuk mengantisipasi perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia. Hal ini seharusnya menimbulkan kecenderungan bagi mereka untuk menghargai bukti dari krisis iklim di masa kini, bahkan sekalipun mereka sampai pada kesimpulan yang berbeda tentang bagaimana menafsirkan bukti tersebut. Dan mungkin yang paling penting, ajaran-ajaran Alkitab memperlihatkan bahwa krisis iklim sering kali bertujuan untuk mereformasi.

Lahan dan Hukum Tuhan

Iklim yang membawa kehidupan berasal dari kebaikan Tuhan. Mengenai hal ini, orang-orang Kristen dari semua aliran setuju. Beberapa orang bahkan mengutip sebagai argumen utama bahwa Allah yang baik tidak akan pernah membiarkan iklim menjadi buruk. Namun, cuaca jelas menjadi rentan terhadap aktivitas manusia. Pelajaran ini muncul sejak Taman Eden.

Kitab Kejadian memperkenalkan Eden sebagai tempat yang dikaruniai iklim yang menyenangkan (Kej. 2:5–6) dan juga memperkenalkan hubungan manusia dengan Tuhan sebagai pengelola dunia-Nya (2:15–19). Dosa manusia menyebabkan segala sesuatu yang kita urus menjadi rusak—termasuk anugerah Allah berupa iklim (Kej. 3:17–19; Rm. 8:19–22).

Tema-tema ini berlanjut dalam narasi kitab Keluaran. Allah membebaskan bangsa Israel dari Mesir menuju negeri lain yang langsung dikenali dengan iklimnya yang baik (Ul. 11:9-12). Meski demikian, agar cuaca baik di Kanaan terus berlanjut, orang Israel harus mengikuti jalan Tuhan. Kitab Ulangan mengatakan, “Jika kamu dengan sungguh-sungguh mendengarkan perintah yang kusampaikan kepadamu pada hari ini, sehingga kamu mengasihi TUHAN, Allahmu, dan beribadah kepada-Nya dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu, maka Ia akan memberikan hujan untuk tanahmu pada masanya, hujan awal dan hujan akhir, sehingga engkau dapat mengumpulkan gandummu, anggurmu dan minyakmu” (ay. 13-14).

Dari antara hukum yang Tuhan berikan kepada umat Israel, Ia memasukkan aturan manajemen lahan dan iklim untuk memandu pengelolaan iklim mereka. Orang-orang Kristen masih dapat memperoleh hikmat dari hukum-hukum tersebut.

Salah satu “peraturan lingkungan” yang paling mencolok di Perjanjian Lama adalah hukum tanah bera (tanah dibiarkan tidak ditanami sekian lama untuk memulihkan kesuburannya) di tahun Sabat (Kel. 23:10-11). Tanpa pupuk modern, para petani pada saat itu—dan masih banyak petani hingga sekarang—harus mengisi kembali unsur hara tanah dengan merotasi tanaman atau dengan membiarkan ladang-ladang tidak digarap selama satu musim. Kegagalan untuk melakukannya menyebabkan penipisan tanah, kurangnya pertumbuhan tanaman, hilangnya retensi kelembaban, dan bermasalah dengan penguapan dan curah hujan.

Orang Israel kuno harus meninggalkan ladang mereka setiap tahun ketujuh. Imamat memperingatkan bahwa jika mengabaikan prinsip ini maka akan menyebabkan tanah mengeras dan berkurangnya curah hujan. “Tetapi jikalau kamu tidak mendengarkan Daku, dan tidak melakukan segala perintah itu, … Aku akan mematahkan kekuasaanmu yang kaubanggakan dan akan membuat langit di atasmu sebagai besi dan tanahmu sebagai tembaga. … Selama ketandusannya tanah itu akan menjalani sabat yang belum dijalaninya pada tiap-tiap tahun sabatmu, ketika kamu masih diam di situ” (Im. 26:14–35).

Ya, peraturan tersebut memiliki fungsi sosial dan spiritual, menciptakan kesempatan berulang untuk istirahat jasmani dan untuk mempercayai pemeliharaan Tuhan yang berlimpah-limpah. Akan tetapi peraturan tersebut juga membuktikan keterkaitan antara penipisan tanah dan berkurangnya curah hujan yang diakui oleh ilmu pengetahuan modern. Kehadiran peraturan itu dalam hukum Israel menunjukkan sebuah pemahaman bahwa aktivitas manusia dapat secara langsung berdampak pada iklim dan bahwa Allah mengharapkan umat-Nya untuk mengurangi keekstreman aktivitas mereka sebagaimana mestinya. Hukum tanah bera tidak menghalangi penggunaan lahan sama sekali, melainkan membatasi produksi ekonominya demi menjaga lingkungan.

Umat Israel di zaman Alkitab tidak memiliki kecanggihan ilmiah untuk mengeksplorasi mekanika iklim melampaui wawasan dasar semacam itu. Meski demikian, orang Israel diajari untuk menghargai iklim sebagai sesuatu yang membutuhkan pengelolaan. Panduan lahan dan iklim lebih lanjut dimasukkan ke dalam kalender hari raya orang Israel.

Tiga hari raya ziarah menjadi tulang punggung kalender umat Israel, masing-masing mengharuskan adanya pertemuan raya di Yerusalem. Waktu dan upacara perayaan ketiga hari raya tersebut memandu orang Israel untuk mengelola tanah sesuai dengan musimnya.

Hari raya yang pertama adalah Paskah (Passover). Ini menandai transisi dari musim hujan ke musim semi, di mana panen jelai sudah siap. Hari raya Tujuh Minggu, dirayakan tujuh minggu kemudian, saat musim semi berganti menjadi musim panas dan panen gandum pun siap. Ziarah terakhir, hari raya Pondok Daun, menandai akhir musim panas, ketika buah-buahan musim panas siap, musim hujan berikutnya pun sudah dekat.

Ketiga hari raya ini mengajarkan orang Israel untuk bekerja dan beribadah secara responsif terhadap berbagai musim. Orang Israel juga belajar bagaimana menggunakan kelimpahan hasil panen mereka. Setiap keluarga membawa persepuluhan dan persembahan lainnya dari setiap panen musiman ke perkumpulan raya (Ul. 16:1-17). Sebagian dari persepuluhan itu dimakan selama perayaan-perayaan tersebut. Akan tetapi sebagian besar lainnya ditempatkan di gudang untuk mendukung kesejahteraan suku Lewi dan mereka yang membutuhkan (14:28–29).

Melalui kalender musim ini, orang Israel diajari untuk menjaga iklim dengan memastikan hasil panen mereka dipakai untuk memberkati semua penduduk negeri itu, termasuk mereka yang tidak memiliki lahan dan orang-orang yang membutuhkan. Orang Israel diberitahu untuk mengharapkan iklim yang baik itu berlanjut selama mereka mematuhi hukum-hukum ini.

“Jika engkau baik-baik mendengarkan suara TUHAN, Allahmu, dan melakukan dengan setia segala perintah-Nya yang kusampaikan kepadamu pada hari ini, … TUHAN akan membuka bagimu perbendaharaan-Nya yang melimpah, yakni langit, untuk memberi hujan bagi tanahmu pada masanya dan memberkati segala pekerjaanmu. … Tetapi jika engkau tidak mendengarkan suara TUHAN, Allahmu, TUHAN akan menghajar engkau dengan … kekeringan, hama dan penyakit gandum; semuanya itu akan memburu engkau sampai engkau binasa. Juga langit yang di atas kepalamu akan menjadi tembaga dan tanah yang di bawah pun menjadi besi. TUHAN akan menurunkan hujan abu dan debu ke atas negerimu; dari langit akan turun semuanya itu ke atasmu, sampai engkau punah.” (Ul. 28:1–24)

Perayaan-perayaan tersebut, tentu saja, spesifik untuk musim dan hasil panen di Kanaan. Gereja zaman Perjanjian Baru, yang terbentang di seluruh dunia dari iklim yang sangat dingin hingga iklim tropis, tidak seharusnya melanjutkan praktik hukum Perjanjian Lama ini. Meski demikian, orang Kristen tetap dianjurkan untuk belajar dari hikmat Hukum Taurat (1Kor. 10:11; 2Tim. 3:16). Hukum manajemen lahan dan iklim dari Perjanjian Lama dapat membantu orang Kristen menghargai pentingnya pengelolaan iklim saat ini dan kerusakan iklim yang disebabkan oleh kegagalan manusia dalam mengelola bumi dan hasil bumi dengan benar.

Perubahan iklim menurut Alkitab

Ketika suatu lahan mengalami kerusakan iklim, Allah mengajar Israel untuk merespons dengan bertanya mengapa. Ketika “seluruh tanahnya yang telah hangus oleh belerang dan garam. Segala bangsa akan berkata: ‘Apakah sebabnya TUHAN berbuat demikian kepada negeri ini? Apakah artinya murka yang hebat bernyala-nyala ini?” (Ul. 29:23–24).

Tidak setiap krisis iklim merupakan tindakan penghakiman. Penderitaan Ayub meliputi berbagai peristiwa cuaca yang aneh (Ayb. 1:16, 19), walau dia tidak bersalah di hadapan Tuhan. Meski demikian, Ayub bahkan menanggapinya dengan mengintrospeksi diri. Introspeksi diri adalah respons kristiani terhadap perubahan iklim dan, bila diperlukan, dapat mengarah pada reformasi moral dan ekonomi. Kita melihat pola ini diteladankan oleh para nabi Perjanjian Lama.

Contoh yang paling dramatis adalah peristiwa Air Bah dalam Kejadian 6-9. Allah mengirimkan Air Bah sebagai respons langsung terhadap dosa manusia. Nuh mengambil langkah-langkah praktis, seperti misalnya membangun sebuah bahtera. Dia juga memperingatkan orang lain dengan menyerukan pertobatan (2Ptr. 2:5). Setelah peristiwa Air Bah, Nuh menerima janji Tuhan:

“Selama bumi masih ada,
takkan berhenti-henti musim menabur dan menuai,
dingin dan panas,
kemarau dan hujan,
siang dan malam.” (Kej. 8:22)

Beberapa orang Kristen memahami janji tersebut berarti Allah tidak akan pernah mengizinkan perubahan iklim terjadi setelah zaman Nuh. Akan tetapi Allah memilih Musa, yang datang berabad-abad kemudian, untuk menyampaikan peringatan ekstensif yang disebutkan sebelumnya tentang ketidakstabilan iklim. Jadi, walau janji Tuhan kepada Nuh menetapkan batasan pada penghakiman terkait iklim, janji tersebut tidak membenarkan pengabaian terhadap iklim.

Kejadian-kejadian di Alkitab yang terjadi lama setelah Musa hanya menegaskan hal tersebut. Pada zaman Raja Ahab, Tuhan mengirimkan lagi kekeringan selama bertahun-tahun. Namun, begitu Elia memimpin orang-orang pada pertobatan, “langit menjadi kelam oleh awan badai, [lalu] turunlah hujan yang lebat” (1Raj. 17-18).

Nabi Yesaya mengaitkan ketidakstabilan iklim dengan keserakahan dan penganiayaan terhadap orang miskin pada zamannya (Yes. 32:1–20). Nabi Samuel mencatat terjadinya hujan di luar musim sebagai suatu peringatan (1Sam. 12:17-18). Mazmur menunjukkan urutan musim yang baik sebagai hal yang bergantung pada komunitas yang baik (Mzm. 65, 104). Dan penghakiman yang menyertai kedatangan Kristus yang dijanjikan juga mencakup bencana iklim (Mrk. 13:8; Why. 6:8; 8:7; 11:19; 16:17-21).

Pesan moralnya, baik di Perjanjian Lama maupun Baru: Iklim yang baik adalah suatu anugerah, iya benar. Namun, iklim yang memburuk adalah suatu peringatan untuk bertanya: Di manakah kesalahan kita?

Saksi dari ilmu pengetahuan

Karena, menurut Kitab Suci, perubahan iklim adalah suatu instrumen yang dipakai Allah untuk membuat kita menjadi rendah hati, maka kita harus terbuka terhadap bukti bahwa hal itu sedang terjadi sekarang.

Menurut NASA, suhu global telah meningkat 2,1 derajat Fahrenheit sejak tahun 1880. Kedengarannya hal itu mungkin tidak besar, tetapi cukup untuk mencairkan 428 miliar ton es kutub setiap tahun. Hal ini berkontribusi pada kenaikan permukaan laut global 3,4 milimeter setiap tahun. Perubahan seperti ini menyebabkan badai yang lebih parah, kekeringan, banjir, dan bencana alam lainnya—berbagai peristiwa yang semakin sering kita lihat di berita dan di komunitas kita.

Alkitab tidak memberi tahu kita secara spesifik tentang perubahan iklim hari ini atau apa yang menyebabkannya. Namun, kita tidak membutuhkan penjelasan seperti itu dari Alkitab. Kitab Suci telah cukup menceritakan tentang apa yang dilakukan Allah terhadap umat-Nya di masa lalu, melestarikan pelajaran-pelajaran itu agar kita memiliki respons yang benar terhadap situasi yang serupa di masa kini. Hal tersebut termasuk ajaran-ajaran Alkitab tentang iklim.

Ketika kita menyadari bahwa perubahan iklim sering kali merupakan sarana teguran ilahi, maka kita akan melihat sains membantu kita dalam menanggapi teguran ini dengan dua cara.

Pertama, sains membantu kita mengidentifikasi area-area aktivitas manusia. Allah, dalam providensia-Nya, mendorong kita untuk melakukan penyelidikan secara khusus. Emisi karbon skala industri telah diidentifikasi sebagai faktor paling signifikan yang berkontribusi terhadap pemanasan global. Temuan ini memberi sorotan providensial terhadap praktik industri modern. Sementara para pembuat kebijakan sekuler berfokus pada cara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, gereja harus mengatasi masalah kesombongan, keserakahan, penyalahgunaan ciptaan, dan dosa lain yang mungkin terkait dengan beberapa praktik industri. Sains, bersama-sama dengan kuasa Roh Kudus yang meyakinkan, dapat membantu kita mengenali area-area yang menjadi fokus pembaruan rohani.

Kedua, bukti ilmiah terkait perubahan iklim membantu menyadarkan orang-orang yang tidak percaya akan kebutuhan untuk mengubah cara hidup. Banyak dari mereka yang menolak seruan reformasi berdasarkan akuntabilitas ilahi akan cenderung lebih mendukung reformasi semacam itu ketika kebutuhan tersebut dapat dibuktikan secara ilmiah. Orang Kristen seharusnya tidak membutuhkan bukti ilmiah terkait iklim untuk memotivasi kita melakukan pengelolaan iklim. Namun, memiliki data ilmiah akan memperkuat motivasi orang-orang yang tidak percaya untuk mengerjakan pengelolaan iklim yang lebih baik.

Iman dan ilmu bukanlah musuh. Dan kebijakan terkait iklim adalah area di mana kesaksian kristiani dan wawasan ilmiah dapat berkolaborasi secara produktif.

Sebuah pengaruh yang mereformasi

Kondisi masa kini lebih parah daripada perubahan iklim masa lalu, menurut data yang dikumpulkan oleh badan-badan pemerintah AS. Namun, perubahan iklim telah terjadi sebelumnya. Misalnya, pada akhir Abad Pertengahan, suhu mulai mendingin. Selama periode ini, yang dikenal sebagai Zaman Es Kecil, musim dingin menjadi lebih dingin dan lebih lama. Tanggapannya beragam, tetapi banyak orang di seluruh Eropa beralih ke Kitab Suci.

Dalam bukunya Nature’s Mutiny, sejarawan Philipp Blom menulis, “Penafsiran teologis tentang peristiwa-peristiwa yang terkait iklim sangat populer dan sering disebarluaskan di media cetak. Memang benar, khotbah tentang cuaca menjadi genre sastra minor tersendiri.”

Sebagai contoh, tokoh Reformasi John Calvin membahas kegagalan panen di tengah perubahan cuaca pada zamannya dalam tafsirannya tentang Kejadian 3:18–19: “Dengan meningkatnya kejahatan manusia, berkat Tuhan yang tersisa secara bertahap menjadi berkurang dan rusak; dan tentu saja ada bahayanya, kecuali dunia bertobat, bahwa sebagian besar manusia akan segera binasa karena kelaparan, dan berbagai kesengsaraan mengerikan lainnya. … kualitas udara yang memburuk, embun yang membeku, guntur, hujan yang tidak sesuai musim, kekeringan, hujan es, dan apa pun yang tidak teratur di dunia, adalah akibat dari dosa.” Calvin bukanlah orang yang suka berbasa-basi.

Himne tentang cuaca juga merupakan fitur lain dari zaman itu, tulis Blom. Sebagai contoh, himne abad ke-17 karya Paul Gerhardt, “Occasioned by Great and Unseasonable Rain”, menyebutkan,

Elemen-elemen di seluruh daratan
Mengacungkan tangan melawan kita,
Dan masalah muncul dari laut,
Dan masalah turun dari langit.

Salah satu hasil dari Zaman Es Kecil adalah pertobatan kepada Tuhan. Bahkan, perubahan iklim merupakan komponen Reformasi yang sering diabaikan. Contoh ini mendorong kita, di masa kini, untuk juga memahami kapan perubahan iklim sedang terjadi dan merespons dengan pembaruan rohani.

Tidak semua respons terhadap Zaman Es Kecil itu adalah baik. Tanpa hikmat, menafsirkan peristiwa-peristiwa terkait iklim sebagai teguran ilahi dapat menyebabkan sesuatu yang buruk. Dalam periode ini terjadi peningkatan tajam dalam pengadilan terhadap penyihir. Sekitar 110.000 pengadilan terhadap penyihir terjadi di seluruh Eropa, setengahnya berujung pada eksekusi.

Tragedi semacam itu adalah peringatan agar tidak menyalahgunakan implikasi teologis dari perubahan iklim. Hal yang lebih baik adalah memberi teladan Reformasi yang bijaksana dan berpusat pada Alkitab.

Kesempatan saat ini

Dengan cara apa pun, perubahan iklim akan membawa perubahan pada masyarakat. Entah apakah Allah sedang menegur dosa-dosa tertentu atau tidak, badai yang meningkat, kekeringan, dan konsekuensi lainnya akan menimpa sebagian besar umat manusia. Dan, seperti yang sering terjadi, mereka yang rentan akan menjadi yang paling menderita karena kegagalan orang-orang berkuasa.

Pada masa-masa seperti demikian, di sanalah gereja seharusnya hadir untuk memberitakan karya penebusan. Orang-orang Kristen berisiko menyia-nyiakan kesempatan ini untuk bersaksi, dengan menyangkal atau meremehkan perubahan iklim.

Pada awal tahun 2021, PBB telah mendeklarasikan “UN Decade on Ecosystem Restoration.” Dari tahun 2021 hingga 2030, badan kooperatif publik dan swasta berupaya memulihkan 350 juta hektar lahan yang telah terdegradasi dan melenyapkan hingga 26 gigaton gas rumah kaca dari atmosfer.

Tidak ada alasan bagi gereja untuk tidak dapat memiliki visi yang sama beraninya dengan PBB demi pembaruan dalam meresponi perubahan iklim. Namun, pekerjaan kita harus bertujuan untuk melakukan reformasi sosial dan spiritual, di samping pembaruan ekologis. Sains dapat menyoroti mekanisme perubahan iklim, dan politisi dapat mengatur perilaku manusia. Kini tergantung gereja untuk dapat menyentuh hati nurani dan menyuarakan panggilan penebusan ke dalam budaya kita. Karena di dalam Kristus:

Padang gurun dan padang kering akan bergirang,
padang belantara akan bersorak-sorak dan berbunga;
seperti bunga mawar ia akan berbunga lebat
… mereka itu akan melihat kemuliaan TUHAN,
semarak Allah kita. (Yes. 35:1–2)

Michael LeFebvre adalah seorang rohaniwan Presbiterian, sarjana Perjanjian Lama, dan rekan di Center for Pastoral Theologians. Dia adalah penulis The Liturgy of Creation: Understanding Calendars in Old Testament Context.

Diterjemahkan oleh Denny Pranolo.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Books

Pada Sekolah-sekolah Berbasis Agama, Siswa-siswi Generasi Z Mematahkan Stigma Kesehatan Mental

Survei menemukan bahwa mereka berusaha mendapatkan konseling dan dukungan lebih banyak daripada siswa-siswi di sekolah sekuler.

Christianity Today July 27, 2022
SDI Productions / Getty

Tingginya tingkat keterlibatan para guru dan profesor di sekolah-sekolah Kristen berkorelasi dengan banyaknya rujukan perawatan kesehatan mental selama pandemi.

Para siswa di sekolah-sekolah berbasis agama mungkin lebih bersedia untuk mencari bantuan konselor karena mereka didorong untuk melakukannya oleh para guru atau profesor, kata Stephen Brand, konselor profesional di Renew Counseling Center di Southern Nazarene University (SNU), Oklahoma.

Brand mengatakan bahwa semakin kecil rasio antara mahasiswa dan profesor di sekolah seperti SNU berarti semakin personal relasi antara mahasiswa dengan profesornya dan semakin sering mereka terbuka tentang berbagai kesulitan dalam hidup mereka. Scott Secor, yang memimpin pusat SNU, mengatakan bahwa banyak mahasiswa yang mereka tangani dirujuk oleh para staf asrama, profesor, dan pelatih.

Selama tahun ajaran terakhir, sekitar 30 persen siswa-siswi Generasi Z menerima bantuan kesehatan mental dari sekolah mereka, berdasarkan studi terbaru dari Springtide Research Institute. Pada sekolah-sekolah berbasis agama, mereka mencari bantuan tersebut dan mengatakan bahwa mereka merasa lebih diperhatikan oleh orang-orang dewasa yang bekerja di sana.

Antara musim gugur 2021 dan musim semi 2022, Springtide melakukan survei terhadap 3.139 siswa berusia 13–25 tahun, termasuk 313 siswa di sekolah menengah dan perguruan tinggi yang berbasis agama (terutama Kristen). Survei tersebut memiliki margin eror 3 persen dan 5 persen untuk sub-kelompok sekolah berbasis agama.

Menurut penelitian Springtide, 59 persen siswa di sekolah berbasis agama dilaporkan telah berbicara dengan konselor kesehatan mental untuk meminta bantuan, dibandingkan dengan 46 persen siswa di sekolah yang bukan berbasis agama.

Para remaja dan dewasa muda di sekolah berbasis agama juga cenderung lebih melihat sekolah mereka sebagai tempat di mana orang dewasa peduli terhadap mereka; tiga perempat dari mereka mengatakan bahwa orang dewasa di sekolah berusaha untuk mengenal mereka, dibandingkan dengan 62 persen siswa di sekolah umum.

“Selama beberapa tahun terakhir, tingkat distres telah meningkat secara eksponensial dengan adanya COVID-19 dan isolasi yang akibat pandemi,” kata Secor. “Kecemasan adalah masalah utama dan berdampak lebih besar pada kaum muda saat ini daripada di waktu lain yang pernah saya saksikan sebagai dokter. Depresi juga terjadi bersamaan dengan problem kecemasan, tetapi secara umum distres psikologis yang dihadapi kaum muda berada pada level yang mengkhawatirkan.”

Dalam studi baru-baru ini, para siswa di sekolah berbasis agama dilaporkan sedang dirawat di rumah sakit atau diobati untuk masalah kesehatan mental (35% dibanding dengan 26% siswa sekolah sekuler) dan menemui profesional kesehatan mental (44% versus 39% siswa sekolah sekuler) dengan angka yang sama atau lebih tinggi dibanding teman-teman sebaya mereka di sekolah yang tidak berbasis agama.

Temuan ini mengejutkan Josh Packard, direktur eksekutif Springtide Research Institute, tetapi dia melihatnya sebagai pertanda baik.

“Ada sesuatu di komunitas-komunitas ini yang mematahkan stigmatisasi perawatan kesehatan mental sehingga para siswa dan orang tuanya bersedia untuk berobat,” kata Packard. “Hal ini bukan berarti ada prevalensi kebutuhan kesehatan mental yang lebih tinggi. Mereka bersedia dan/atau dapat mengakses perawatan kesehatan mental untuk hal-hal ini.”

Para mahasiswa yang Brand lihat di SNU biasanya bergumul dengan tanggung jawab masa dewasa. Ia memperkirakan pergumulan menuju kedewasaan ini merupakan 60 hingga 70 persen dari masalah yang dihadapi para mahasiswa dalam konseling, sementara 30 hingga 40 persen siswa di kantornya sedang berjuang melawan masalah seperti penyalahgunaan obat terlarang, pikiran untuk bunuh diri, dan krisis.

Cara Dixon bertanya-tanya apakah sekolah dapat berbuat lebih banyak untuk membantu para siswa mengatasi masalah sebelum mereka membutuhkan pengobatan atau rawat inap.

“Ketika Anda membangun pendidikan emosional dan membantu siswa-siswi memahami pengalaman mereka, maka mereka mampu membangun sistem pendukung sehingga siswa tidak harus sampai ke tempat konseling atau perawatan,” kata Dixon, seorang konselor profesional berlisensi di pinggiran Philadelphia, yang telah bekerja sama dengan berbagai perguruan tinggi Kristen dan sekolah Kristen dari pra TK hingga kelas 12.

Tanpa sistem pendukung ini, para pengelola sekolah akan kalang kabut mencari cara untuk menghentikan krisis yang terjadi, dan ini akan menghabiskan waktu dan perhatian mereka.

Dixon mengatakan bahwa sejak pandemi dimulai, ia melihat sekolah-sekolah Kristen membahas kesehatan dan perkembangan mental. Ia telah menyaksikan ada lebih banyak rujukan dari komunitas Kristen ke tempat praktik pribadinya karena orang-orang Kristen menyadari bahwa mereka membutuhkan bantuan di bidang ini.

Pada bulan Juli, Association of Christian Schools International (ACSI) merilis Leading Insights: Mental Health and Well-Being, sebuah monografi yang mempromosikan kesehatan dan kesejahteraan mental di sekolah-sekolah Kristen. Dixon berkontribusi satu bab pada buku tersebut.

Ketika kesehatan mental menurun bagi orang Amerika pada umumnya, sekolah-sekolah telah berfokus pada bagaimana mereka dapat membantu para siswa. Bagi banyak sekolah, memasangkan iman dengan kesehatan mental memberi para siswa dukungan yang mereka butuhkan.

“Siswa tidak lagi bertanya kepada saya, ‘Bagaimana saya harus hidup?’ Mereka mulai bertanya kepada saya, ‘Mengapa saya harus hidup?’” kata Varun Soni, dekan Kehidupan Keagamaan di University of Southern California.

Secara keseluruhan, survei menemukan bahwa hampir tujuh dari sepuluh (69%) siswa di sekolah berbasis agama dilaporkan bahwa mereka merasa siap untuk menghadapi kehidupan dan kesulitannya, dibandingkan dengan 57 persen siswa di sekolah umum.

Penelitian Springtide menyebutkan tiga kualitas yang membuat sebuah organisasi ramah terhadap kebutuhan kesehatan mental: Organisasi tersebut memampukan koneksi sosial, mengomunikasikan harapan yang dapat dicapai, dan membantu orang muda mengembangkan arah tujuan.

Namun ketika Springtide bertanya kepada para siswa tentang menemukan tujuan hidup mereka, hanya 17 persen dari anak muda yang mengatakan bahwa mereka religius, yang melaporkan bahwa institusi keagamaan membantu mereka menemukan makna hidup. Packard mencatat 16 persen siswa lainnya mengatakan bahwa tidak ada yang membantu mereka menemukan tujuan hidup. Ia mengatakan bahwa institusi keagamaan tidak bisa lagi menganggap remeh bahwa siswa sedang belajar tentang tujuan hidup mereka, kecuali seseorang menunjukkannya.

“Saya tidak bisa memikirkan siapa lagi yang lebih siap untuk membantu Anda mengetahui tujuan hidup Anda selain institusi keagamaan,” katanya. “Dalam konteks Kristen, kami mencoba untuk mengirimkan informasi, tetapi kami tidak memimpin [para siswa] dalam proses penemuan diri untuk memahami apa yang Tuhan inginkan bagi mereka. Itu bukan fokus utama. Kami seperti agak berasumsi bahwa hal itu akan terjadi di sepanjang jalan, tetapi itu belum menjadi fokus.”

Brand mengatakan bahwa banyak kliennya dari SNU terkejut bahwa terapi dan iman mereka dapat bekerja sama untuk membantu mereka. Berbicara dengan seorang konselor sering kali membantu para siswa merangkul iman mereka sebagai milik mereka sendiri.

“Terapi,” katanya, “adalah sebuah ruang bagi orang-orang untuk mempertanyakan atau bergulat dengan apa yang mereka percayai dan sebuah kesempatan untuk memilih apa yang mereka percayai daripada hanya sekadar apa yang diturunkan.”

Diterjemahkan oleh George Hadi Santoso.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube