Books

Pada Sekolah-sekolah Berbasis Agama, Siswa-siswi Generasi Z Mematahkan Stigma Kesehatan Mental

Survei menemukan bahwa mereka berusaha mendapatkan konseling dan dukungan lebih banyak daripada siswa-siswi di sekolah sekuler.

Christianity Today July 27, 2022
SDI Productions / Getty

Tingginya tingkat keterlibatan para guru dan profesor di sekolah-sekolah Kristen berkorelasi dengan banyaknya rujukan perawatan kesehatan mental selama pandemi.

Para siswa di sekolah-sekolah berbasis agama mungkin lebih bersedia untuk mencari bantuan konselor karena mereka didorong untuk melakukannya oleh para guru atau profesor, kata Stephen Brand, konselor profesional di Renew Counseling Center di Southern Nazarene University (SNU), Oklahoma.

Brand mengatakan bahwa semakin kecil rasio antara mahasiswa dan profesor di sekolah seperti SNU berarti semakin personal relasi antara mahasiswa dengan profesornya dan semakin sering mereka terbuka tentang berbagai kesulitan dalam hidup mereka. Scott Secor, yang memimpin pusat SNU, mengatakan bahwa banyak mahasiswa yang mereka tangani dirujuk oleh para staf asrama, profesor, dan pelatih.

Selama tahun ajaran terakhir, sekitar 30 persen siswa-siswi Generasi Z menerima bantuan kesehatan mental dari sekolah mereka, berdasarkan studi terbaru dari Springtide Research Institute. Pada sekolah-sekolah berbasis agama, mereka mencari bantuan tersebut dan mengatakan bahwa mereka merasa lebih diperhatikan oleh orang-orang dewasa yang bekerja di sana.

Antara musim gugur 2021 dan musim semi 2022, Springtide melakukan survei terhadap 3.139 siswa berusia 13–25 tahun, termasuk 313 siswa di sekolah menengah dan perguruan tinggi yang berbasis agama (terutama Kristen). Survei tersebut memiliki margin eror 3 persen dan 5 persen untuk sub-kelompok sekolah berbasis agama.

Menurut penelitian Springtide, 59 persen siswa di sekolah berbasis agama dilaporkan telah berbicara dengan konselor kesehatan mental untuk meminta bantuan, dibandingkan dengan 46 persen siswa di sekolah yang bukan berbasis agama.

Para remaja dan dewasa muda di sekolah berbasis agama juga cenderung lebih melihat sekolah mereka sebagai tempat di mana orang dewasa peduli terhadap mereka; tiga perempat dari mereka mengatakan bahwa orang dewasa di sekolah berusaha untuk mengenal mereka, dibandingkan dengan 62 persen siswa di sekolah umum.

“Selama beberapa tahun terakhir, tingkat distres telah meningkat secara eksponensial dengan adanya COVID-19 dan isolasi yang akibat pandemi,” kata Secor. “Kecemasan adalah masalah utama dan berdampak lebih besar pada kaum muda saat ini daripada di waktu lain yang pernah saya saksikan sebagai dokter. Depresi juga terjadi bersamaan dengan problem kecemasan, tetapi secara umum distres psikologis yang dihadapi kaum muda berada pada level yang mengkhawatirkan.”

Dalam studi baru-baru ini, para siswa di sekolah berbasis agama dilaporkan sedang dirawat di rumah sakit atau diobati untuk masalah kesehatan mental (35% dibanding dengan 26% siswa sekolah sekuler) dan menemui profesional kesehatan mental (44% versus 39% siswa sekolah sekuler) dengan angka yang sama atau lebih tinggi dibanding teman-teman sebaya mereka di sekolah yang tidak berbasis agama.

Temuan ini mengejutkan Josh Packard, direktur eksekutif Springtide Research Institute, tetapi dia melihatnya sebagai pertanda baik.

“Ada sesuatu di komunitas-komunitas ini yang mematahkan stigmatisasi perawatan kesehatan mental sehingga para siswa dan orang tuanya bersedia untuk berobat,” kata Packard. “Hal ini bukan berarti ada prevalensi kebutuhan kesehatan mental yang lebih tinggi. Mereka bersedia dan/atau dapat mengakses perawatan kesehatan mental untuk hal-hal ini.”

Para mahasiswa yang Brand lihat di SNU biasanya bergumul dengan tanggung jawab masa dewasa. Ia memperkirakan pergumulan menuju kedewasaan ini merupakan 60 hingga 70 persen dari masalah yang dihadapi para mahasiswa dalam konseling, sementara 30 hingga 40 persen siswa di kantornya sedang berjuang melawan masalah seperti penyalahgunaan obat terlarang, pikiran untuk bunuh diri, dan krisis.

Cara Dixon bertanya-tanya apakah sekolah dapat berbuat lebih banyak untuk membantu para siswa mengatasi masalah sebelum mereka membutuhkan pengobatan atau rawat inap.

“Ketika Anda membangun pendidikan emosional dan membantu siswa-siswi memahami pengalaman mereka, maka mereka mampu membangun sistem pendukung sehingga siswa tidak harus sampai ke tempat konseling atau perawatan,” kata Dixon, seorang konselor profesional berlisensi di pinggiran Philadelphia, yang telah bekerja sama dengan berbagai perguruan tinggi Kristen dan sekolah Kristen dari pra TK hingga kelas 12.

Tanpa sistem pendukung ini, para pengelola sekolah akan kalang kabut mencari cara untuk menghentikan krisis yang terjadi, dan ini akan menghabiskan waktu dan perhatian mereka.

Dixon mengatakan bahwa sejak pandemi dimulai, ia melihat sekolah-sekolah Kristen membahas kesehatan dan perkembangan mental. Ia telah menyaksikan ada lebih banyak rujukan dari komunitas Kristen ke tempat praktik pribadinya karena orang-orang Kristen menyadari bahwa mereka membutuhkan bantuan di bidang ini.

Pada bulan Juli, Association of Christian Schools International (ACSI) merilis Leading Insights: Mental Health and Well-Being, sebuah monografi yang mempromosikan kesehatan dan kesejahteraan mental di sekolah-sekolah Kristen. Dixon berkontribusi satu bab pada buku tersebut.

Ketika kesehatan mental menurun bagi orang Amerika pada umumnya, sekolah-sekolah telah berfokus pada bagaimana mereka dapat membantu para siswa. Bagi banyak sekolah, memasangkan iman dengan kesehatan mental memberi para siswa dukungan yang mereka butuhkan.

“Siswa tidak lagi bertanya kepada saya, ‘Bagaimana saya harus hidup?’ Mereka mulai bertanya kepada saya, ‘Mengapa saya harus hidup?’” kata Varun Soni, dekan Kehidupan Keagamaan di University of Southern California.

Secara keseluruhan, survei menemukan bahwa hampir tujuh dari sepuluh (69%) siswa di sekolah berbasis agama dilaporkan bahwa mereka merasa siap untuk menghadapi kehidupan dan kesulitannya, dibandingkan dengan 57 persen siswa di sekolah umum.

Penelitian Springtide menyebutkan tiga kualitas yang membuat sebuah organisasi ramah terhadap kebutuhan kesehatan mental: Organisasi tersebut memampukan koneksi sosial, mengomunikasikan harapan yang dapat dicapai, dan membantu orang muda mengembangkan arah tujuan.

Namun ketika Springtide bertanya kepada para siswa tentang menemukan tujuan hidup mereka, hanya 17 persen dari anak muda yang mengatakan bahwa mereka religius, yang melaporkan bahwa institusi keagamaan membantu mereka menemukan makna hidup. Packard mencatat 16 persen siswa lainnya mengatakan bahwa tidak ada yang membantu mereka menemukan tujuan hidup. Ia mengatakan bahwa institusi keagamaan tidak bisa lagi menganggap remeh bahwa siswa sedang belajar tentang tujuan hidup mereka, kecuali seseorang menunjukkannya.

“Saya tidak bisa memikirkan siapa lagi yang lebih siap untuk membantu Anda mengetahui tujuan hidup Anda selain institusi keagamaan,” katanya. “Dalam konteks Kristen, kami mencoba untuk mengirimkan informasi, tetapi kami tidak memimpin [para siswa] dalam proses penemuan diri untuk memahami apa yang Tuhan inginkan bagi mereka. Itu bukan fokus utama. Kami seperti agak berasumsi bahwa hal itu akan terjadi di sepanjang jalan, tetapi itu belum menjadi fokus.”

Brand mengatakan bahwa banyak kliennya dari SNU terkejut bahwa terapi dan iman mereka dapat bekerja sama untuk membantu mereka. Berbicara dengan seorang konselor sering kali membantu para siswa merangkul iman mereka sebagai milik mereka sendiri.

“Terapi,” katanya, “adalah sebuah ruang bagi orang-orang untuk mempertanyakan atau bergulat dengan apa yang mereka percayai dan sebuah kesempatan untuk memilih apa yang mereka percayai daripada hanya sekadar apa yang diturunkan.”

Diterjemahkan oleh George Hadi Santoso.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Our Latest

Laporan Lausanne: Sebagian Besar Misionaris Menjangkau yang Sudah Terjangkau

Laporan Keadaan Amanat Agung (The State of the Great Commission) menelaah tantangan dan peluang di tengah lanskap misi yang terus berubah.

Ketika Pelayanan Melukai Keluarga Anda

Nasihat yang berasal dari pengalaman sulit untuk menyeimbangkan antara keluarga dan pekerjaan Tuhan.

Saya Menemukan Penghiburan dalam Pahlawan Ilahi

Sebuah mazmur yang mencengangkan mengubah pandangan saya tentang kehadiran Allah selama masa-masa pencobaan.

Gereja Adalah Keluarga, Bukan Acara

Alkitab menyebut sesama orang Kristen sebagai “saudara laki-laki dan perempuan,” tetapi seberapa sering kita memperlakukan mereka sebagai keluarga?

News

Wafat: Andar Ismail, Penulis Produktif yang Membuat Teologi Menjadi Sederhana

Dengan seri Selamat karyanya, pendeta Indonesia ini menulis lebih dari 1.000 cerita pendek yang menyoroti kehidupan dan ajaran Yesus.

Kematian karena Swafoto

Kita tidak akan pernah melihat kemuliaan Tuhan jika kita hanya melihat pada diri kita sendiri.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube