Bagaimana Keluarga Dapat Menyiapkan Diri untuk Masa Adven yang Bermakna

Praktik sederhana untuk suatu masa yang suci.

Christianity Today December 2, 2022
Muenz / Getty

Pada Gereja Kristen di Barat, puncak kalender liturgikal adalah Paskah. Bagi Gereja Timur, puncaknya adalah Natal. Gereja Barat melihat harapan utama umat manusia di dalam kisah Juruselamat kita yang mati untuk menyelamatkan orang-orang berdosa (“Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini …”). Gereja Timur menganggap Natal sebagai nilai tertinggi karena harapan ditemukan di dalam kenyataan bahwa Tuhan bergabung, menjelma, berinkarnasi dengan kosmos (“Firman itu telah menjadi manusia …”).

Baik bagi Gereja Timur maupun Barat, perayaan Prapaskah (masa menjelang Paskah) dan Adven (masa menjelang Natal) adalah suci dan secara historis diprioritaskan untuk membantu umat Kristen dalam kehidupan iman yang kokoh.

Minggu, 27 November menandai hari pertama Adven tahun ini. Biasanya, Adven dijalani dengan pemikiran, Apakah Adven sudah tiba? Sayangnya, momen itu seringkali menjadi terlambat untuk merencanakan pengalaman Adven yang bermakna.

Merencanakan untuk Mempraktikkan

Saya selalu heran bahwa sedikit saja pemikiran ke depan dapat mengubah kehidupan rohani kita. Ada banyak sekali cara kreatif untuk mempraktikkan Adven. Ini salah satu contoh dari keluarga kami:

Saya selalu heran bahwa sedikit saja pemikiran ke depan dapat mengubah kehidupan rohani kita.

Kami meluangkan waktu di masa menjelang Natal untuk ibadah keluarga setiap hari. Kami merayakan setiap malam tepat sebelum putra bungsu saya pergi tidur. Ibadahnya tidak rumit, tetapi dilakukan secara intensional—dan putra-putra kami tampak menikmatinya.

Beberapa tahun terakhir ibadah keluarga kami berjalan seperti ini:

1. Atur suasananya: Salah satu putra kami menyalakan lilin di atas karangan bunga Adven kami yang sederhana. Kemudian kami membahas beberapa aspek dari tema setiap lilin (pengharapan, damai sejahtera, sukacita, kasih). Sebagai contoh, selama minggu “pengharapan” setiap malam kami mengajukan pertanyaan seperti, “Mengapa kedatangan Yesus membawa harapan bagi orang-orang yang terpinggirkan seperti para gembala?” atau “Mengapa disebut harapan ketika orang-orang dari agama lain, seperti orang Majus, menjadi bagian dari kisah Yesus?”

2. Baca: Kami membaca setiap hari dari The Advent Book. Kami membuka 1 pintu baru (setiap halaman dari buku ini adalah sebuah pintu artistik) dan kami membaca sebagian dari kisah Adven. Terkadang kami meninjau beberapa pintu sebelumnya terlebih dahulu. Seiring anak-anak saya bertumbuh, mereka didorong untuk membaca. Dan ketika mereka masih muda, kami memainkan permainan tambahan seperti “Ketuklah Pintu” atau “Temukan binatang yang tersembunyi dalam karya seni di setiap halaman.”

3. Ciptakan suatu tradisi: Salah satu putra kami menyematkan ornamen kecil pada pohon flanel tua dan usang yang sangat berharga bagi istri saya sejak dia masih kecil.

4. Ibadah: Kami menyanyikan lagu Natal yang sesuai dengan usia mereka, seperti “Di Dalam Palungan.”

5. Penutup: Salah satu putra kami meniup lilin.

Secara keseluruhan, ibadah ini hanya berlangsung selama 15 menit. Ini memberi kami banyak kesempatan untuk membagikan mengapa inkarnasi begitu penting bagi kami, bagaimana Tuhan menghargai orang-orang yang terpinggirkan, dan untuk membangun penantian akan Natal yang penuh harapan (praktik mengenai kepuasan yang tertunda).

Kami juga melibatkan orang-orang lain: anak tetangga, teman serumah (kami tinggal di rumah komunal) dan para tamu rumah.

Banyak cara untuk merayakan

Putra tertua saya sekarang berusia 10 tahun. Dia dan saudara-saudaranya siap untuk eksplorasi yang lebih mendalam tentang tema-tema rohani yang penting dari masa Adven.

Tahun ini, saya pikir kami akan menaruh buku Adven di atas meja kopi di mana putra-putra kami dapat membacanya kapan saja mereka mau. Namun alih-alih menggunakan buku itu selama ibadah keluarga di malam hari, kami akan mencoba mengadakan percakapan sederhana dengan membahas satu hingga tiga ayat dari Yohanes 1 per malam.

Harapannya, melalui hal ini akan:

Memperluas Kristologi anak-anak (mereka memahami tentang siapa Yesus dan mengapa Dia datang.) • Meningkatkan kapasitas mereka untuk mengajukan pertanyaan yang lebih mendalam tentang Alkitab. • Mendorong untuk menghafalkan beberapa ayat iman yang penting: Yohanes 1:1, 1:12 dan 1:14.

Saya malu untuk mengakui bahwa saya pernah bergumul untuk menemukan cara yang teratur agar memasukkan pembacaan dan penghafalan Alkitab ke dalam praktik keluarga kami. Saya sangat bersyukur para tokoh iman dari gereja mula-mula mengimpartasikan ritme seperti Adven untuk membantu kami bertumbuh dan memelihara rumah tangga kami secara rohani.

Apakah Anda akan berlatih juga?

Jadi, sekaranglah waktunya untuk mempersiapkan ibadah Adven Anda. Baik Anda merayakannya sendiri atau bersama orang lain, baik pesertanya muda maupun tua, saya yakin bahwa praktik ini akan memperdalam pengalaman rohani Anda dan memperluas imajinasi profetis Anda.

Saat Anda berencana untuk merayakan Adven bersama keluarga, gereja, atau pertemuan lainnya, berikut ini adalah beberapa tips:

• Pastikan bacaan Anda singkat.

• Siapkan waktu, baik untuk mediasi atau percakapan seputar tema.

• Mengintegrasikan berbagai indra: penciuman (melalui lilin), penglihatan (melalui gambar), pendengaran (melalui musik), peraba (seperti melalui pohon flanel tua dan usang) dan bahkan perasa (tidak ada yang lebih nikmat daripada kue Natal.)

• Bagikan pengalaman itu dengan orang yang Anda sayangi. Bahkan jika Anda tidak tinggal di rumah komunal, ibadah bersama dapat dilakukan dengan FaceTime, Google Hangout, atau Skype.)

Hal-hal tersebut di atas adalah beberapa contoh dari yang pernah kami terapkan. Pemikiran kreatif apa yang dapat Anda tambahkan ke dalam pembahasan ini?

Diterjemahkan oleh Maria Fennita S.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Books

Gereja-gereja Indonesia Mengusahakan untuk Membantu Korban Gempa

Setelah gempa dahsyat melanda pulau Jawa pada Senin, 21 November, jaringan umat Kristen setempat bergegas membantu.

Penduduk yang selamat dari gempa di Cianjur-Indonesia, pada Senin, 21 November 2022.

Penduduk yang selamat dari gempa di Cianjur-Indonesia, pada Senin, 21 November 2022.

Christianity Today December 2, 2022
Gambar NurPhoto / Getty

Saat Denny Tarigan tiba di desa terpencil Gasol, bau tanah basah menyergap indra penciumannya.

Bunyi sirene ambulans meraung memenuhi udara. Mobil dan motor menjejali jalan tanah yang sempit. Saat pekerja bantuan bencana Kristen Indonesia itu melihat sekeliling, dia melihat tenda-tenda darurat berwarna biru yang di dalamnya berjajar tikar dan selimut. Tenda-tenda itu dipenuhi dengan para korban gempa, termasuk anak-anak dan orang tua.

Namun yang juga dia lihat: Senyum di wajah penduduk desa.

“Masyarakatnya cukup kuat untuk bertahan,” kata Tarigan, yang pada hari Rabu menempuh perjalanan 10 jam dengan mobil dari kampung halamannya di Yogyakarta ke Cianjur, kabupaten di mana desa Gasol berada.

“Kebanyakan dari mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan setelah ini,” katanya. “Untuk saat ini, mereka berpikir bahwa mereka membutuhkan bantuan dari pemerintah dan lembaga [bantuan bencana] lainnya.”

Sementara di Amerika Serikat adalah hal umum bagi gereja untuk terlibat dalam bantuan bencana, di Indonesia sebagian besar bantuan kemanusiaan diberikan oleh lembaga pemerintah, LSM internasional, dan kelompok bantuan Muslim.

Hanya dalam beberapa tahun terakhir gereja-gereja di Indonesia mulai terlibat dalam penanggulangan bencana, kata Effendy Aritonang, direktur Food for the Hungry Indonesia dan sekretaris tim eksekutif Jakomkris, Jaringan Komunitas Kristen untuk Penanggulangan Bencana di Indonesia.

Menghadapi pasca bencana

Saat gempa berskala 5,6 SR terjadi pada Senin pagi, Aritonang, Tarigan, dan anggota Jakomkris lainnya langsung beraksi.

Terdiri dari organisasi nirlaba dan gereja di Indonesia, tim mengadakan rapat koordinasi untuk mulai mengidentifikasi kebutuhan dan mencari tahu siapa yang dapat memberikan bantuan.

Sekelompok jemaat Mennonite bersedia untuk menyediakan air bersih. Sekitar 10 dokter dan 20 perawat dari persekutuan tenaga medis Kristen tiba untuk membantu rumah sakit yang kewalahan merawat para pasien. Sebuah kelompok Presbiterian menyediakan perlengkapan dan layanan kebersihan untuk orang cacat, sementara kelompok Pentakosta menyiapkan dapur darurat untuk mereka yang terkena dampak di lima lokasi berbeda.

Bantuan tersebut memang sangat dibutuhkan: Pada hari Rabu, 271 orang—banyak di antaranya adalah anak-anak—telah meninggal dan lebih dari 2.000 orang terluka karena gempa yang meratakan rumah, menghancurkan sekolah, dan menyebabkan tanah longsor. Dengan jalan yang ditutup dan listrik padam, sulit untuk mengalkulasi tingkat kerusakan—terutama di daerah perbukitan Cianjur, yang merupakan rumah bagi 2,5 juta penduduk.

Tarigan mengatakan, tugas utama Jakomkris adalah mendirikan posko yang bisa menjadi pusat komunikasi. Posko tersebut telah didirikan di sebuah gereja lokal, Gereja Kristen Pasundan Cianjur. Selain berfungsi sebagai pusat berbagi informasi bagi lembaga mitra Jakomkris untuk mengirimkan bantuan ke tempat yang paling membutuhkan, posko itu juga akan menjadi lokasi untuk menyimpan sumbangan dan menyalurkan bantuan makanan bagi masyarakat Indonesia yang terkena dampak gempa tersebut.

Jakomkris juga membantu Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, atau PGI dalam memberikan laporan situasi harian bagi gereja-gereja dan lembaga-lembaga Kristen yang memberikan bantuan.

Tarigan mengatakan salah satu bagian tersulit dalam tugasnya di lapangan adalah melihat secara langsung kerusakan parah di banyak rumah akibat gempa.

“Saya percaya gempa bumi lain akan terjadi lagi suatu hari nanti,” katanya. “Dibutuhkan waktu yang lama untuk membangun kembali rumah-rumah dengan struktur yang lebih kuat. Biayanya besar, dan orang-orang tidak punya [cukup dana].”

Menjadi pilar yang kuat

Yang dilakukan Jakomkris saat ini tergolong baru.

Selama ini gereja-gereja di Indonesia secara historis lebih berfokus ke dalam untuk memenuhi kebutuhan rohani orang percaya daripada ke luar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, kata Aritonang.

Pada tahun 2017, tujuh organisasi Kristen berkumpul bersama untuk membahas bagaimana gereja-gereja di Indonesia bisa menjadi “pilar yang kuat” dalam komunitas mereka dalam menghadapi bencana alam yang terus melanda nusantara. (Indonesia yang terdiri dari 17.000 pulau lebih tidaklah asing dengan gempa bumi, tsunami, dan letusan gunung berapi karena letaknya di Cincin Api Pasifik.)

Pertemuan tersebut mendorong pembentukan Jakomkris, yang mendidik gereja Indonesia tentang perlunya terlibat dalam penanggulangan bencana dan bagaimana memperlengkapi jemaat untuk memberikan respons yang tepat dan berkelanjutan. Jaringan tersebut menghubungkan gereja dan organisasi nirlaba di seluruh negeri sehingga terlepas dari di mana bencana melanda, gereja lokal dapat dengan cepat bertindak.

Kesempatan pertama mereka untuk menanggapi bencana terjadi pada tahun 2018 ketika gempa berkekuatan 7,5 melanda pulau Sulawesi, yang menyebabkan tsunami. Bencana tersebut menewaskan lebih dari 4.000 orang dan melukai lebih dari 10.000 orang. Jakomkris berhasil mengirimkan kelompok-kelompok yang membangun kembali 300 rumah, membangun beberapa gereja, dan menyediakan klinik keliling.

Meski demikian, membuat gereja-gereja bergabung membutuhkan upaya.

Aritonang menemukan bahwa gereja-gereja yang terkena dampak bencana telah menjadi yang paling aktif dalam jaringan tersebut, karena mereka memahami secara langsung pentingnya pelayanan semacam itu.

Misalnya, pada bulan Oktober gempa bumi melanda pulau Sumatera, di mana kantor pusat denominasi Lutheran berada. “Bencana itu dengan cepat membuka mata mereka dan seminggu yang lalu mereka mulai membentuk tim tanggap bencana,” katanya.

Mark McClendon, CEO CBN Indonesia, telah tinggal di tanah air ini selama 35 tahun. Menurut penuturan beliau, dalam waktu 24 jam tim CBN sudah berada di Limbangan Sari, daerah lain yang juga dilanda gempa Cianjur, untuk mendistribusikan paket sembako dan keperluan darurat lainnya di tempat penampungan serta menjaga kesehatan psikologis anak-anak pasca kejadian traumatis itu. Pada hari Jumat, tim medis mereka tiba untuk merawat orang-orang yang mungkin memiliki masalah pernapasan atau rentan terhadap infeksi.

Pada masa lalu, gereja-gereja lokal di seluruh Indonesia lamban menanggapi bencana alam, tambahnya. Akan tetapi sekarang sangatlah berbeda dibanding 20 tahun lalu.

“Gereja sudah lebih matang secara kolektif,” kata McClendon. “Kami melihat gereja-gereja lokal melakukan tindakan kebaikan yang luar biasa ketika terjadi bencana, berkorban menyumbangkan [barang-barang kebutuhan] dan mengelola berbagai sumber daya untuk berpartisipasi aktif dalam memulihkan, membangun kembali, dan melayani.

“Dulu tidak seperti itu,” katanya. “Kami datang membantu dan gereja-gereja lokal akan bergabung dengan kami lalu menanyakan apakah ada hal-hal yang dapat mereka bantu. Sekarang hampir sebaliknya. Kami melihat gereja lokal mengambil lebih banyak tanggung jawab, dalam konteks komunitas, untuk melayani di hampir setiap bencana.”

Kolaborasi Kristen-Muslim

Kelompok-kelompok bantuan Kristen dan gereja-gereja di Indonesia tidak sendirian dalam upaya penanggulangan bencana.

Banyak kelompok bantuan Muslim, seperti Barisan Ansor Serbaguna Nahdlatul Ulama (Banser) dan Lembaga Penanggulangan Bencana Muhammadiyah (Muhammadiyah Disaster Management Center), bersama dengan kelompok-kelompok Kristen membantu di lapangan, kata Tarigan.

“Jumlah mereka lebih besar dari kami. Kami bekerja dengan mereka dan berbagi informasi dengan mereka,” katanya.

Bagi Tarigan, kelompok bantuan Kristen bisa belajar dari kelompok kemanusiaan Muslim dalam hal menjadi lebih tanggap. “Kita biasanya berdoa dan mengadakan berbagai rapat dulu [sebelum mengambil tindakan]. Ini terlalu lama,” katanya. “Umat Muslim akan datang lebih dulu untuk membantu membersihkan jalan dan bangunan.”

Sebagai kelompok minoritas di negara mayoritas Muslim, orang Kristen Indonesia dapat menunjukkan bahwa mereka sama-sama menjadi bagian dari negara ini dan memberkati orang-orang senegaranya dengan berdiri bersama mereka di tengah bencana, tutur Aritonang.

“Kami ingin masyarakat tahu bahwa kami adalah tubuh Kristus,” katanya. “Ini menjadi pintu terbuka bagi kami untuk mendatangi mereka dan mengatakan ‘Ya, kami adalah saudara kalian dan kami ingin berbagi beban serta melayani kalian dalam kebutuhan ini.’”

Diterjemahkan oleh Mellie Cynthia.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Umat Kristen Myanmar Berjuang untuk Perdamaian

Seorang mantan ratu kecantikan menjadi bagian dari perlawanan yang meluas untuk menentang rezim militer yang brutal.

Christianity Today December 1, 2022
Hannah Yoon

Angel Lamung sudah menjadi sorotan publik sejak masih remaja. Di Myanmar, ia pernah memenangkan kontes kecantikan, tampil dalam iklan, berakting di film, dan menyanyikan lagu-lagu pop.

Namun tahun lalu, ketika pembawa berita membacakan namanya di siaran malam dan surat kabar pemerintah mencetak fotonya bersama selebriti populer lainnya, liputannya berbeda.

Pemerintah telah memasukkannya ke dalam daftar orang yang dicari.

Setelah militer menggulingkan kepemimpinan yang dipilih secara demokratis di Myanmar (juga disebut Burma) dalam kudeta pada Februari 2021, orang Kristen berusia 23 tahun itu berada di antara kerumunan yang ikut turun ke jalanan-jalanan dan media sosial sebagai aksi protes. Hal tersebut mengubah karir dia selamanya.

Rezim baru tersebut merespons cepat dengan kekerasan yang meningkat untuk menumpas para demonstran dan memberikan hukuman pidana berat bagi mereka yang menyuarakan oposisi, terutama para tokoh masyarakat. Lamung termasuk di antara 20 selebriti yang didakwa di bawah undang-undang baru yang melarang para pembangkang. Menurut hitungan PBB, 1.500 orang tewas dalam demonstrasi tersebut dan lebih dari 10.000 “ditahan secara tidak sah” pada tahun pertama setelah kudeta.

Lamung berhasil melarikan diri di musim semi lalu ke Amerika Serikat sebagai pengungsi. Dari sebuah kamar tidur cadangan yang aman di rumah teman keluarganya di East Coast, dia menggalang dana untuk bantuan kemanusiaan dan menyuarakan dukungan terhadap gerakan pembangkangan sipil terbesar dalam sejarah Myanmar.

“Saya lebih baik meninggalkan semua yang saya cintai daripada menyerah pada kediktatoran,” komentar Lamung dalam sebuah klip di kanal YouTube-nya.

Pemerintah Myanmar telah membekukan rekening bank Lamung dan dia akan ditangkap jika kembali. Teman-teman dan sesama rekan aktivisnya mengirim para pembawa pesan dari perbatasan Thailand dan India, di mana mereka menunggu untuk melarikan diri ke tempat yang aman, atau dari Yangon, kota terbesar di negara itu, di mana polisi memberhentikan orang-orang untuk memeriksa akun media sosial mereka untuk mencari tanda-tanda apakah mereka mendukung pihak yang menentang atau tidak, seperti menampilkan warna merah atau hitam pada halaman sosial media mereka. Banyak aktivis membawa ponsel sekali pakai atau menyensor profil mereka.

Aksi-aksi protes menjadi terlalu berbahaya setelah polisi beralih dari peluru karet ke peluru asli, tetapi pembangkangan sipil masih terus berlanjut. Para pegawai negeri seperti staf tenaga kesehatan dan guru menolak untuk bekerja di bawah kekuasaan rezim; menurut perkiraan militer sendiri, hampir 30 persen karyawan publik telah berpartisipasi. Beberapa memboikot perusahaan listrik milik negara atau perusahaan telekomunikasi (konektivitas internet memburuk dan harganya menjadi tiga kali lipat sejak kudeta).

Lamung masih mengulangi permohonan yang dia panjatkan kepada Tuhan setiap malam ketika dia pulang dari aksi berjaga-jaga dan aksi protes tepat setelah kudeta—agar Dia membawa keselamatan dan kedamaian bagi Myanmar. “Saya belum bisa melihat hasil dari doa kami,” katanya, “tetapi Tuhan juga memberi kami tangan, kaki, dan mulut untuk menyuarakan keadilan.”

https://www.instagram.com/p/CLj3N6zgbC5

Lamung lahir dan dibesarkan dengan ajaran gereja Baptis, kelompok Protestan terbesar di negara yang lebih dari 90 persen penduduknya beragama Buddha. Keluarganya adalah suku Kachin, salah satu kelompok etnis mayoritas Kristen di Myanmar. Pada provinsi-provinsi di perbatasan negara, suku Kachin, Chin, Karen, dan Kayah telah menderita karena penganiayaan oleh tentara selama bertahun-tahun dan telah berjuang melawannya demi demokrasi.

Kelompok-kelompok Kristen ini, secara tidak mengejutkan, mengambil sikap menentang pengambilalihan di tahun 2021 dalam berbagai pernyataan resmi dan juga melalui keterlibatan mereka dalam aksi demonstrasi, unjuk rasa, dan berbagai bentuk pembangkangan sipil lainnya. Yang lebih luar biasa, para cendekiawan menunjukkan dalam The Review of Faith & International Affairs, adalah bagaimana semua tipe masyarakat di Myanmar membangkitkan keyakinan agama mereka setelah kudeta.

Di masa lalu memang pernah terjadi pemberontakan—negara ini memiliki sejarah pemerintahan militer selama puluhan tahun—tetapi belum pernah sebelumnya di mana umat Buddha, Katolik, dan Protestan begitu terlibat di hadapan umum secara bersamaan, membawa iman dan doa ke dalam protes mereka. Kaum Injili di Myanmar membagikan semangat Lamung untuk perlawanan, menyerukan Tuhan yang berpihak pada orang yang tertindas dan melawan kejahatan.

Mereka mengutip narasi dari kitab Keluaran dan kisah penawanan Daniel. Gereja mengumpulkan uang dan hal-hal yang dibutuhkan untuk gerakan pembangkangan sipil. Mereka menyebut militer, yang dikenal sebagai Tatmadaw, sebagai “teroris.” Bahkan ketika menghadapi perlawanan bersenjata, para pendeta berdoa bagi ribuan orang muda yang telah meninggalkan kota untuk berlatih dengan milisi pemberontak di berbagai provinsi, meminta agar misi mereka berhasil.

“Secara teologis, saya pikir itu tidak salah. Tuhan kita adalah seorang pejuang,” kata seorang pendeta di Yangon kepada CT, meminta agar namanya tidak disebutkan untuk alasan keamanan. “Itu bukan pilihan saya karena saya adalah seorang gembala dan pendeta, tetapi saya mengerti.”

Junta militer telah menargetkan warga sipil dengan cara yang oleh kelompok-kelompok kemanusiaan dianggap sebagai “kejahatan perang” dan “kejahatan terhadap kemanusiaan,” termasuk menanam ranjau darat di rumah-rumah, lahan-lahan pertanian, dan properti gereja.

Mana Tun, direktur Pusat Studi Perdamaian di Myanmar Institute of Theology, berharap ada alternatif yang lebih baik bagi mereka yang merasa terpanggil untuk bergabung dalam konflik bersenjata. Meski demikian, ia tidak menganggapnya tidak sesuai dengan pemahaman Kristen tentang perdamaian, ketika orang-orang berjuang untuk membebaskan negara dari penguasa yang terus mengebom, mengeksekusi, dan menyiksa rakyatnya sendiri. Tun mengajarkan para mahasiswa untuk memandang perdamaian sebagai sesuatu yang berarti turut terlibat, aktif, dan responsif; sikap diam dan kepatuhan yang terpaksa bukanlah perdamaian.

“Perdamaian bisa terjadi di mana saja. Hal ini bisa berupa aksi protes. Bisa juga berupa perjuangan. Orang-orang yang menjadi tangguh di masa-masa penindasan seperti itu adalah suatu bentuk perdamaian,” kata Tun, yang tiba di AS pada Agustus untuk studi doktoralnya. “Anda masih bisa mengasihi musuhmu dengan memprotes, menentang, dan bahkan berjuang melawan. Kasih selalu berjuang demi kebaikan.”

Akan tetapi tanggapan ini juga membawa konsekuensi nyata di Myanmar. Orang-orang dan organisasi yang menentang rezim dapat kehilangan akses ke rekening bank mereka, karena sistem ini dijalankan oleh pemerintah. Polisi menggerebek, menggeledah, dan melakukan penangkapan sewenang-wenang tanpa melalui proses hukum. Dalam penjara para tahanan disiksa, dan empat revolusioner dieksekusi oleh pemerintah militer pada bulan Juli.

Bahkan di minggu-minggu awal, Lamung tahu risiko yang harus dihadapi sewaktu dia angkat bicara sebagai figur publik, tetapi keyakinannya tidak membuat dia tinggal diam.

Setelah dinobatkan sebagai Miss Intercontinental Myanmar pada usia 17 tahun, Lamung melihat pengaruhnya sebagai karunia untuk melayani. Ketika pandemi melanda pada tahun 2020, ia menulis sebuah lagu berjudul “Ar Tin Nay Bar” (“Tetap Kuat”) untuk mendorong para penggemar menghadapi masa-masa sulit.

Ketika dia mendoakan untuk bergabung dalam perlawanan setelah kudeta, dia berkata Tuhan memberinya kedamaian tentang keputusan tersebut. Ia mengutip Amsal 4:14, ”Janganlah menempuh jalan orang fasik, dan janganlah mengikuti jalan orang jahat.”

“Saya memiliki banyak penggemar dan pengaruh,” kata Lamung, yang mendirikan organisasi Passion for Hope untuk membantu mereka yang harus diungsikan akibat kekerasan pemerintah. “Saya ingin membela apa yang saya yakini; saya ingin orang-orang tahu apa yang telah dilakukan militer; saya ingin orang-orang mau berjuang demi keadilan.”

Separuh dari penduduk Myanmar berusia di bawah 30 tahun, seperti Lamung dan pengikutnya. Orang-orang muda—baik Buddhis maupun kaum Injili—merasa “marah” serta “depresi dan tidak berguna,” kata seorang Kristen berusia 19 tahun di Yangon dalam sebuah wawancara dengan CT. Berada di bawah gerakan pembangkangan sipil, membuat mereka tidak bisa bersekolah dan sulit mencari pekerjaan, sehingga banyak yang ingin bergabung dalam perjuangan.

Orang-orang Kristen muda, setidaknya, memiliki gereja. “Di masa lalu, saya menerima segala sesuatunya begitu saja,” kata remaja itu. “Sekarang, saya lebih bersyukur dengan komunitas Kristen.”

Organisasi Passion for Hope dimulai sebagai sarana bagi Lamung dan kawan-kawannya untuk melakukan sesuatu yang nyata bagi mereka yang menderita di bawah rezim militer. Sarana itu sudah menjadi cara dia untuk terus melayani orang-orang dan tempat yang ia cintai.

Organisasi ini mengumpulkan donasi untuk perlengkapan pertolongan pertama dan kebutuhan dasar. Setelah kudeta, ketika banyak rumah sakit kekurangan staf dan apotek ditutup, Passion for Hope membantu menyediakan tabung oksigen bagi pasien COVID-19. Mereka membagikan makanan berat dan ringan ke desa-desa yang dijarah oleh serangan militer. Mereka memasok 200 kotak P3K ke tim medis garis depan. Dan untuk anak-anak, mereka bermitra dengan misionaris untuk membagikan 300 eksemplar The Jesus Storybook Bible dalam bahasa Burma.

https://www.instagram.com/p/Cc8AIpLr8BI

Keuangan menjadi ketat di Myanmar karena biaya yang meningkat dan sebagian warga menolak menerima gaji mereka dari pekerjaan sebagai pegawai negeri, sehingga gerakan pembangkangan sipil mendapat gelombang dukungan dari diaspora Burma, termasuk gereja-gereja di Asia, Australia, dan AS. Lamung juga berencana mendapatkan donatur internasional serta organisasi kemanusiaan yang bersedia untuk membantu.

Lamung telah menyusun rencana untuk memproduksi versi lagu “Heal the World” karya Michael Jackson, dengan sesama selebritas untuk bernyanyi dalam bahasa lokal, tetapi proyek tersebut terhenti karena para seniman khawatir pemerintah dapat menghukum mereka karena berpartisipasi. Untuk saat ini, dia fokus pada suatu kampanye baru untuk menyediakan perlengkapan bagi anak-anak yang sekolahnya terganggu akibat pembangkangan atau kekerasan sipil, dan dia sedang mencari kolaborator baru.

Diperkirakan lima juta anak di Myanmar telah mengungsi akibat serangan udara, beberapa di antaranya melarikan diri dan terpisah dari keluarga. Semakin Lamung memproses traumanya sendiri dari tempat amannya di AS, semakin dia memimpikan untuk bisa mendanai perawatan sosial, emosional, dan spiritual yang lebih baik bagi generasi termuda di negara asalnya.

Lamung mengatakan dia tidak bisa berada di keramaian tanpa merasa panik; itu sebabnya dia tidak berkomitmen untuk menghadiri gereja di Amerika Serikat. Dia merindukan “diri dia yang dulu” dan bertanya kepada Tuhan apakah dia akan bisa merasa seperti dirinya lagi.

Akan tetapi dia percaya bahwa depresi dan keyakinannya bisa hidup berdampingan. Dia berbagi tentang hal tersebut dengan para pengikut di media sosialnya, di mana dia sesekali memposting foto pakaian dan klip-klip video sehari-hari, juga memperbarui info tentang situasi politik di Myanmar.

Berdoa kepada Tuhan ketika dia merasa sedih memberinya kekuatan. Memikirkan tentang pekerjaannya memberinya perspektif.

“Saya punya sebuah kamar. Saya punya air di Amerika,” kata Lamung. “Namun ada anak-anak yang berlarian di bawah serangan udara.”

Warga di Myanmar telah melalui satu demi satu skenario mimpi buruk selama satu setengah tahun terakhir: kekerasan polisi terhadap warga yang tidak bersenjata, wabah virus corona tanpa perawatan kesehatan yang stabil, kejatuhan ekonomi, serangan di desa-desa, penangkapan yang tidak adil, dan kematian.

“Saya melihat semua kekerasan dan keputusasaan ini. … Saya terus bertanya, ‘Di mana saya bisa menemukan harapan?’” kata Tun, direktur Pusat Studi Perdamaian di seminari Myanmar. “Saya tidak menemukan harapan sama sekali. Saya fokus pada kehadiran Tuhan. Iman itulah yang menopang hidup saya.”

Saat dia berbicara dengan keluarga-keluarga yang kehilangan anggota keluarganya karena penyakit atau kekerasan, dia mengandalkan teologi Tuhan yang menderita. Ia mengatakan kepada mereka bahwa Tuhan telah mati bersama orang yang mereka kasihi dan bahwa Tuhan bangkit bersama mereka.

Seorang pendeta di Yangon mengatakan bahwa pemimpin pujian di gerejanya, yang juga seorang musisi lokal, ditangkap karena mengorganisir sebuah kelompok perlawanan. Pendeta tersebut sekarang mengunjungi pemimpin pujian itu di penjara, di mana dia telah mengalami begitu banyak siksaan—sang pendeta menyamakan kekejaman itu dengan Nazi atau Korea Utara—sehingga membuat si pemimpin pujian itu tidak tahu lagi siapa dirinya. Pendeta tersebut percaya bahwa bahkan dalam konteks ini, Injil tetap dapat diberitakan; dia berdoa untuk para prajurit dan bersaksi bagi para penjaga penjara.

Sebelum dia pergi, Tun membantu mengatur ruang di mana para pemimpin Kristen dapat memproses apa yang mereka alami. Sekalipun sebelumnya tidak banyak terlibat dalam bidang kesehatan mental dan perawatan diri, gereja-gereja kini mulai melihat “kebutuhan yang mendesak.”

“Hidup dalam konteks seperti Myanmar, Anda tidak perlu alasan untuk takut,” katanya. “Apa yang saya takutkan? Saya tidak tahu. Namun setiap hari, saya terbangun dengan rasa takut.”

Keadaan ketakutan memiliki implikasi rohani juga. Seorang teolog Kristen dari Myanmar, yang meminta untuk tidak disebutkan namanya untuk melindungi keselamatan keluarganya, berkata, “Orang-orang Kristen merasa tidak berdaya. Mereka bertanya, ‘Mengapa Tuhan membiarkan rezim militer menindas rakyat?’ Mereka mempertanyakan kehadiran Tuhan dan kuasa Tuhan.”

Dia merujuk pada pembebasan Allah atas Israel dari penindasan Mesir. “Nantinya,” katanya, “kita akan memasuki tanah perjanjian.”

Lamung tidak tahu akan terlihat seperti apa jalan menuju perdamaian di negara asalnya atau kapan dia akan kembali.

Dalam kurun waktu satu tahun, dia melihat hidupnya benar-benar berubah sama sekali. Dia kehilangan tabungannya dan keluar dari karirnya sebagai model dan aktris. Ketika dia tidak sedang mengerjakan Passion for Hope, dia mendapatkan gaji dengan bekerja sebagai pelayan di restoran perpaduan Tiongkok-Amerika.

Hari-harinya sunyi. Lamung merindukan suara ibunya sewaktu membuat sarapan dan berteriak padanya agar dia bangun. Gelisah akan pesta yang dipenuhi dengan orang-orang baru, dia berharap bisa bersenang-senang di malam hari bersama teman-teman dia di negara asalnya.

Dia memberitahu CT bahwa ini bukanlah seperti yang pernah ia impikan—tetapi meski demikian, dia merasakan tangan dan panggilan Tuhan.

“Saat kita percaya akan Tuhan, bukan berarti semua masalah akan hilang. Percaya akan Tuhan akan memberi Anda sebuah jalan,” katanya. “Saya berterima kasih kepada Tuhan untuk itu.”

Kate Shellnutt adalah direktur editorial Christianity Today_ untuk berita dan jurnalisme online.

Translated by Janesya S.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Yesus Akan Memerintah

Renungan Adven, 1 Desember 2022.

Christianity Today December 1, 2022
Stephen Crotts

Minggu 1: Allah yang Perkasa


Bayi yang dibungkus dengan kain lampin dan terbaring di palungan adalah Sang Pencipta yang mulia dan Pemelihara segala sesuatu. Kita mendengar tentang kuasa dan keperkasaan-Nya dalam ajaran Yohanes Pembaptis. Kita menantikan kedatangan-Nya kembali seperti yang dijanjikan dan puncak pemerintahan-Nya. Yesus adalah Allah yang Perkasa.

Baca Matius 24:29–44

Sebab itu, hendaklah kamu juga siap sedia, karena Anak Manusia datang pada saat yang tidak kamu duga. Matius 24:44

Beragam pertanyaan muncul karena kata pertama dari perikop ini: “Segera”!

Isi selanjutnya dalam ayat 29-31 hampir selalu dipahami sebagai gambaran kedatangan Kristus kembali, yang dijelaskan secara puitis dalam bahasa Yesaya 13:10 dan 34:4 dengan melibatkan pergolakan kosmik. (Beberapa orang malah menganggap kedatangan Yesus seperti tak terlihat dalam penghakiman melalui penghancuran Roma atas Yerusalem pada tahun 70 Masehi—meskipun gagasan mengumpulkan orang-orang pilihan dari satu sudut dunia ke sudut lain tidak sesuai dengan interpretasi tersebut.)

Kapan Kristus akan kembali? Pesan di Bukit Zaitun ini dipicu oleh murid-murid Yesus yang menanyakan kapan Dia akan datang kembali (Mat. 24:3). Dia pun memerinci daftar panjang tentang apa yang harus terjadi terlebih dahulu (ay. 4–26) dan kemudian mengatakan, yang pada intinya, perhatikanlah semuanya ini agar kamu tahu bahwa waktu kedatangan-Ku sudah dekat, seperti pohon ara yang mulai bertunas menandakan kedatangan musim panas.

Contoh dari "semuanya ini" terjadi pada tahun 70 Masehi, sehingga sejak itu gereja di setiap generasi percaya bahwa mereka akan menyaksikan kedatangan-Nya kembali. Yesus tidak mengatakan bahwa Ia akan kembali pada masa hidup para murid. Ia hanya mengatakan bahwa semua peristiwa persiapannya akan terjadi. “Semuanya ini” di ayat 34 harus sama dengan “semuanya ini” di ayat 33—yang menunjukkan bahwa kedatangan Kristus “sudah dekat” tetapi belum tiba. Jadi kedua bagian itu tidak bisa mencakup kedatangan Dia yang sebenarnya, melainkan hanya tanda-tanda yang mempersiapkan kedatangan-Nya kembali. Ketika Dia datang kembali, Dia tidak lagi hanya “dekat, sudah di ambang pintu,” melainkan Dia telah tiba!

Kita tidak bisa tahu waktu yang tepat dari semua ini, karena itu kita harus selalu siap sedia. Mereka yang tidak siap, akan terperangah karena peristiwa-peristiwa akhir tersebut akan mendadak dan mengejutkan. Jika kita tetap waspada setiap saat, kita tidak perlu khawatir akan si pencuri yang datang tengah malam. Tentu saja, Yesus tidak datang kembali untuk mencuri apa pun dari kita; yang Ia sedang soroti dalam perbandingan ini adalah gagasan tentang ketidakterdugaan.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Namun bagaimana dengan ”segera sesudah siksaan pada masa itu”? Mungkin siksaan di sini adalah siksaan yang mencirikan seluruh periode di antara dua kedatangan Kristus. Lagi pula, 2 Timotius 3:12 menubuatkan tentang penganiayaan bagi semua orang saleh (bahkan di tengah banyak momen sukacita dalam kehidupan Kristen).

Bagaimanapun kita menafsirkannya, inilah kesaksian Yesus sebagai Allah yang Perkasa, yang akan menempatkan segala sesuatu dengan benar pada waktu-Nya yang sempurna. Saat ini, banyak orang Kristen telah menemukan kembali seruan alkitabiah untuk keadilan dalam hidup ini, dan memang demikian—kita harus melakukan segala yang kita bisa untuk membantu orang lain. Akan tetapi perang, sakit-penyakit, bencana alam, cedera dan kecacatan, kemiskinan, dan hubungan yang rusak, semuanya menuntut kita untuk benar-benar mempercayakan segalanya kepada Tuhan demi penyembuhan dan pemulihan total dalam kekekalan. Lalu dalam skema besar keabadian, bagi kita semua, kedatangan-Nya kembali mungkin akan tampak seakan memang terjadi dengan “segera”!

Craig L. Blomberg adalah profesor emeritus Perjanjian Baru yang terkemuka di Denver Seminary dan penulis banyak buku, termasuk tafsiran Matthew dan Interpreting the Perables.

Renungkan Matius 24:29–44.


Pertanyaan apa yang terpikir oleh Anda dari perikop ini? Perasaan apa yang ditimbulkan dari perikop ini? Berdoalah, renungkan bagaimana perikop ini mengarahkan fokus Anda pada keperkasaan dan kuasa Yesus.

Diterjemahkan oleh Fanni Leets.

Yesus Layak Memperoleh Semua Perhatian

Renungan Adven, 30 November 2022.

Christianity Today November 30, 2022
Stephen Crotts

Minggu 1: Allah yang Perkasa


Bayi yang dibungkus dengan kain lampin dan terbaring di palungan adalah Sang Pencipta yang mulia dan Pemelihara segala sesuatu. Kita mendengar tentang kuasa dan keperkasaan-Nya dalam ajaran Yohanes Pembaptis. Kita menantikan kedatangan-Nya kembali seperti yang dijanjikan dan puncak pemerintahan-Nya. Yesus adalah Allah yang Perkasa.

Baca Yohanes 1:19–34 dan 3:22–30

Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil. Yohanes 3:30

"Ia harus makin bertambah, tetapi aku harus makin berkurang” (KJV). Saya ingat pernah mendengar ayat ini saat saya masih kecil dan membayangkan Yesus tumbuh semakin besar sementara Yohanes Pembaptis menyusut! Konteks pernyataan Yohanes memperjelas maksudnya: Para murid Yohanes telah memberitahu dia bahwa “semua orang pergi” kepada Yesus, jadi Yohanes menyatakan, “Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil.”

Pelayanan Yohanes dimulai sebelum Yesus memulai pelayanannya, jadi Yohanes menyaksikan jumlah pengikut Yesus tumbuh dari nol menjadi lebih banyak daripada yang dimiliki Yohanes. Ini bisa saja menjadi hal yang menyedihkan, karena “orang-orang dari seluruh daerah Yudea dan semua penduduk Yerusalem” telah pergi ke padang gurun untuk menemui Yohanes (Mrk. 1:5).

Meski demikian, Injil Yohanes secara konsisten menggambarkan Yohanes Pembaptis hanyalah sebagai saksi—seseorang yang memberikan kesaksian tentang identitas dan kebesaran Yesus. Setiap bagian dari dua perikop hari ini menunjukkan penjelasan Yohanes tentang siapa dirinya dan yang bukan, atau siapa Yesus. Ketika para pemimpin Yahudi dari Yerusalem menanyai Yohanes tentang identitasnya, ia mengaku bahwa dirinya bukanlah Mesias. Ia hanya sedang mempersiapkan jalan bagi Kristus. Ya, ia memiliki pelayanan pembaptisan air, tetapi statusnya jauh lebih rendah daripada Dia yang akan datang. Yohanes menunjuk Yesus sebagai Anak domba Allah yang dikurbankan, yang akan menghapus dosa dunia, dan yang akan membaptis orang dengan kuasa Roh Kudus.

Kemudian, ketika para pengikut Yesus telah melampaui jumlah pengikut Yohanes, ia pun menegaskan bahwa hal ini adalah benar-benar tepat. Yohanes menyamakan dirinya dengan sahabat mempelai laki-laki dalam sebuah pernikahan, di mana Yesus adalah sang mempelai laki-laki. Analogi Yohanes dalam 3:29 sangat jelas terlihat, khususnya ketika kita memahami konteks budayanya. Adat Yahudi kuno meminta sahabat mempelai laki-laki untuk menunggu di luar kamar saat kedua mempelai menyempurnakan pernikahan mereka dengan bersetubuh. Secara tradisional, mempelai laki-laki akan berteriak kegirangan untuk mengonfirmasi keintiman perkawinannya yang baru, dan sahabat mempelai laki-laki itu akan berbagi kegembiraan tersebut.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Kehidupan Kristen adalah soal tunduk lebih dan lebih lagi kepada Yesus, Allah yang Perkasa. Satu generasi kemudian, Paulus mengatakan dalam Filipi 1:18 bahwa yang penting adalah “bagaimanapun juga, Kristus diberitakan… Tentang hal itu aku bersukacita.”

Saya baru saja pensiun dan perlu mempelajari pelajaran ini lebih dari sebelumnya. Intinya bukanlah menjadi pusat perhatian, melainkan dengan rendah hati membuat Yesus semakin besar. Sayalah yang perlu semakin kecil.

Craig L. Blomberg adalah profesor emeritus Perjanjian Baru yang terkemuka di Denver Seminary dan penulis banyak buku, termasuk tafsiran Matthew dan Interpreting the Perables.

Renungkan Yohanes 1:19–34 dan 3:22–30.


Pikirkanlah apa yang ditunjukkan dari teladan Yohanes Pembaptis kepada kita tentang siapa Yesus! Bagaimana teladan Yohanes dapat membangun kehidupan rohani Anda? Bagaimana Anda bisa “menjadi makin kecil”?

Diterjemahkan oleh Mellie Cynthia.

Pentahiran Sejati

Renungan Adven, 29 November 2022.

Christianity Today November 29, 2022
Stephen Crotts

Minggu 1: Allah yang Perkasa


Bayi yang dibungkus dengan kain lampin dan terbaring di palungan adalah Sang Pencipta yang mulia dan Pemelihara segala sesuatu. Kita mendengar tentang kuasa dan keperkasaan-Nya dalam ajaran Yohanes Pembaptis. Kita menantikan kedatangan-Nya kembali seperti yang dijanjikan dan puncak pemerintahan-Nya. Yesus adalah Allah yang Perkasa.

Baca Matius 3:1–12

Aku membaptis kamu dengan air sebagai tanda pertobatan, tetapi Ia yang datang kemudian dari padaku lebih berkuasa dari padaku dan aku tidak layak melepaskan kasut-Nya. Ia akan membaptis kamu dengan Roh Kudus dan dengan api. Matius 3:11

Jika kita jujur, pandangan pertama terhadap Yohanes Pembaptis adalah bahwa ia pria sensasional terburuk yang bisa Anda bayangkan. Ia mengenakan jubah bulu unta, berikatpinggangkan kulit dan makan belalang. Saat ia tampil di padang gurun Yudea, ia pun mulai berkhotbah. Kita tentu bisa membayangkan proklamasi kedatangan Mesias yang akan sedikit menggelitik telinga. Ia bisa saja mengingatkan orang-orang tentang janji-janji yang luar biasa terkait Mesias—bahwa Mesias akan membawa keadilan, memberi kesembuhan, menawarkan stabilitas. Ia bisa saja memberi tahu mereka kabar baik.

Namun, Yohanes melakukan sesuatu yang sangat berbeda. Ia berkata, “Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!” dan melalui penggunaan kutipan dari Yesaya 40:3 oleh Matius, kita melihat bahwa Yohanes memberi tahu orang-orang dengan kata-kata yang dikenali dan berwibawa: “luruskanlah” (lihat juga Yoh. 1:23). Yohanes memulai dengan apa yang mungkin dianggap sebagai berita buruk, sungguh; ia mengatakan kepada mereka bahwa mereka perlu berubah.

Dan banyak dari mereka yang mendengarkan. Bagaimana orang aneh ini begitu berhasil dalam pelayanan? Matius memberi kita petunjuk. Ia menyampaikan deskripsi yang selektif tentang Yohanes, dan setiap detailnya sarat dengan makna. Jubah bulu unta dengan ikat pinggang kulitnya? Pakaian Elia. Belalang dan madunya? Makanan orang miskin. Matius menampilkan orang ini dalam gaya para nabi zaman dahulu, sebagai abdi Allah yang berwibawa yang menyatakan firman Tuhan.

Orang-orang mendekati Yohanes untuk pentahiran—ritual pembasuhan yang melambangkan pertobatan mereka—tetapi ia berjanji bahwa pentahiran yang lebih efektif akan datang. Pentahiran dari Tuhan ini akan datang melalui “Roh Kudus dan api.”

Saat Yohanes terus menjelaskan pelayanan yang akan datang, metaforanya membantu kita memahami apa artinya dibaptis dalam Roh dan api. Ini adalah pemurnian (dalam batas tertentu) dengan memisahkan yang baik dari yang buruk. Yohanes menggunakan metafora pertanian yang kita lihat di bagian-bagian seperti Mazmur 1, sebuah proses yang dikenal baik oleh pendengarnya. Petani akan menggunakan alat penampi untuk melemparkan gandum ke udara. Bagian yang berat dan dapat dimakan akan jatuh ke tanah, tetapi debu jeraminya lebih ringan dan umumnya akan tertiup angin. Jika setelah ini masih ada sisa debu jerami, petani akan memisahkannya dan membakarnya.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Ini adalah pentahiran yang lebih permanen daripada pembasuhan, dan saya pikir itulah intinya. Pembaptisan yang dilakukan Yohanes kepada orang-orang itu adalah signifikan, tetapi tanpa pekerjaan Roh Kudus yang menyertainya, efeknya hanyalah sementara. Jika hanya dengan baptisan Yohanes saja, mereka akan perlu dibasuh kembali, tetapi karya Yesus melalui Roh Kudus adalah berlaku efektif sepanjang masa.

Madison N. Pierce adalah profesor Perjanjian Baru di Western Theological Seminary. Buku-bukunya termasuk di antaranya Divine Discourse in the Epistle to the Hebrews

Renungkan Matius 3:1–12.


Bagaimana Anda menjelaskan pesan Yohanes? Mengapa pesan itu adalah kabar baik? Dalam doa, pikirkanlah apa yang ditekankan oleh kata-kata Yohanes tentang kuasa dan tujuan Yesus.

Diterjemahkan oleh Maria Fennita S.

Sebuah Jalan di Padang Gurun

Renungan Adven, 28 November 2022.

Christianity Today November 28, 2022
Stephen Crotts

Minggu 1: Allah yang Perkasa


Bayi yang dibungkus dengan kain lampin dan terbaring di palungan adalah Sang Pencipta yang mulia dan Pemelihara segala sesuatu. Kita mendengar tentang kuasa dan keperkasaan-Nya dalam ajaran Yohanes Pembaptis. Kita menantikan kedatangan-Nya kembali seperti yang dijanjikan dan puncak pemerintahan-Nya. Yesus adalah Allah yang Perkasa.

Baca Yesaya 40:1-5 dan Maleakhi 3:1–4; 4:5–6

Ada suara yang berseru-seru: "Persiapkanlah di padang gurun jalan untuk TUHAN, luruskanlah di padang belantara jalan raya bagi Allah kita!” Yesaya 40:3

Dalam Yesaya 40, kita mendapati orang Israel dibuang ke negeri asing—diasingkan dan ditawan di negri Babel. Kota ini terletak sekitar satu jam jauhnya di selatan Baghdad, Irak, dan dianggap sebagai pusat peradaban Mesopotamia, sebuah kota gurun kosmopolitan yang memiliki taman gantung yang terkenal dengan Hammurabi dan kodenya. Namun, umat Tuhan tidak ingin ada di sana. Mereka ingin pulang, kembali ke Yerusalem. Akan tetapi mereka jauh, jauh dari rumah tanpa harapan untuk kembali.

Dalam konteks yang tanpa harapan ini, mereka mengalami anugerah Tuhan yang berlimpah-limpah. “Hiburkanlah,” demikianlah sang nabi menyerukan—sebuah kata Ibrani dengan konotasi keberanian dan kekuatan. Pesannya mirip dengan “Terhiburlah, milikilah harapan! Ini bukanlah akhir. Engkau akan melihat dan mengalami sesuatu yang tidak pernah kau bayangkan dalam hidupmu di padang gurun.” Seperti nenek moyang mereka yang telah mengalami pemeliharaan dan pembebasan yang ajaib di padang gurun saat keluar dari Mesir, mereka juga akan melihat Allah membuka jalan di padang gurun bagi mereka.

Jika kita mencocokkan Yesaya 40:1–5 dengan Maleakhi 3:1–4 dan 4:5–6, kita melihat janji Allah untuk mengirim seorang utusan agar mempersiapkan hati umat-Nya untuk pembebasan. Mereka akan dimurnikan seperti melalui api sehingga mereka dapat melihat Allah, diri mereka sendiri, dan dunia dengan lebih jelas. Dalam pembebasan ini, apa yang telah terkoyak karena pembuangan, seperti hubungan keluarga, suatu hari nanti akan dipulihkan kembali (Mal. 4:5-6).

Allah menepati janji-Nya; akhirnya umat Israel kembali ke Yerusalem. Namun kepulangan mereka ini bukanlah akhir dari nubuatan tersebut. Berabad-abad kemudian, nabi lain, Yohanes Pembaptis, akan membuka jalan bagi Allah yang Perkasa, Tuhan kita Yesus Kristus, untuk menyelamatkan umat-Nya dari pembuangan mereka—terasing dari Allah dan satu sama lain akibat dosa. Yohanes akan melembutkan hati orang-orang bagi kedatangan Kristus.

Dan ada lapisan penggenapan lainnya dari nubuat Maleakhi (3:1–4): Ini menunjuk pada kedatangan Yesus yang kedua ketika kita akan dimurnikan—disucikan—karena segala sesuatu dibuat baru (lihat Why. 21:5).

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Pembebasan yang luar biasa dalam situasi tanpa harapan tidaklah dikurangi dalam sejarah kuno. Allah yang Mahakuasa melakukan pembebasan yang spektakuler setiap hari. Memang benar, Allah hadir tatkala semua harapan tampak hilang. Kita bisa memercayai kebesaran Allah. Dan, selama masa Adven, kita diingatkan untuk memercayai Dia yang Dijanjikan, yang datang bagi kita sebagai bayi yang baru lahir namun memiliki segala kekuatan dan kuasa di seluruh alam semesta dalam tangan mungil-Nya!

Apakah Anda berada di padang gurun dan membutuhkan pembebasan—membutuhkan Allah dalam kuasa-Nya untuk campur tangan? Kita mungkin tidak tahu bagaimana atau kapan pembebasan itu akan datang, tetapi pembebasan itu pasti akan datang. Allah selalu datang. Mintalah Allah mempersiapkan hati Anda untuk kedatangan Dia dan pembebasan yang selalu menyertainya.

Marlena Graves adalah profesor formasi spiritual di Northeastern Seminary. Dia adalah penulis beberapa buku, termasuk The Way Up Is Down.

Renungkan Yesaya 40:1-5 dan Maleakhi 3:1–4; 4:5–6.


Bagaimana Anda melihat kekuatan Allah dalam janji-janji ini? Dalam berbagai lapisan dari penggenapan janji-janji tersebut? Bagaimana perikop-perikop ini beresonansi dengan kerinduan dan keinginan kita sendiri?

Diterjemahkan oleh Denny Pranolo.

Kristus, Tuhan Yang Kekal

Renungan Adven, 27 November 2022.

Christianity Today November 27, 2022
Stephen Crotts

Minggu Adven 1: Allah yang Perkasa


Bayi yang dibungkus dengan kain lampin dan terbaring di palungan adalah Sang Pencipta yang mulia dan Pemelihara segala sesuatu. Kita mendengar tentang kuasa dan keperkasaan-Nya dalam ajaran Yohanes Pembaptis. Kita menantikan kedatangan-Nya kembali seperti yang dijanjikan dan puncak pemerintahan-Nya. Yesus adalah Allah yang Perkasa.

Baca Yesaya 9:5–6; Kolose 1:15–20; dan Ibrani 1:1–12

Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang: Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai. YESAYA 9:5

Dari semua tanda umum tentang tibanya musim Natal—berbagai lampu Natal yang digantung di rumah-rumah, pajangan adegan kelahiran Yesus, pepohonan yang dihiasi segala ornamen—yang paling saya nantikan adalah musiknya. Lagu-lagu Adven dan Natal mengajak kita untuk membayangkan peristiwa-peristiwa yang sudah dikenal: keluarga Yesus di palungan, para malaikat bernyanyi di hadapan para gembala yang terpesona, orang Majus yang melakukan perjalanan menuju “kota kecil” Betlehem. Segala himne dan lagu pujian Natal yang indah ini menghangatkan hati kita.

Sekalipun demikian, dalam banyaknya lagu favorit Natal kita, ada lirik yang bukan hanya menyatakan sesuatu yang kita kenal, melainkan juga menyatakan realitas teologis yang menakjubkan: Sang Bayi yang baru lahir di palungan ini adalah Allah yang Perkasa.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

“Gita Surga Bergema” dan “Dari Timur Jauh Benar” mendorong kita untuk memahami siapa bayi ini sebenarnya: “Dalam daging dikenal, Firman Allah yang kekal" “Agunglah kebangkitan-Nya, Raja, Tuhan, Kurban esa.”

“Kau yang Lama Dinantikan” menyuarakan paradoks yang mendalam ini dengan kata-kata sederhana: “Raja mulia, Kau lahir bagai anak yang lembut.” Lirik ini menggemakan kebenaran Yesaya 9:5–6 yaitu “Besar kekuasaannya, dan damai sejahtera tidak akan berkesudahan di atas takhta Daud dan di dalam kerajaannya, karena ia mendasarkan dan mengokohkannya dengan keadilan dan kebenaran.”

Ini adalah misteri yang tak terselami di mana Perjanjian Baru mengundang kita untuk merenungkannya. Penulis Ibrani menyatakan, “Ia adalah cahaya kemuliaan Allah” dan “yang berhak menerima segala yang ada” (1:2–3). Paulus menekankan bahwa “karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan. Ia ada terlebih dahulu dari segala sesuatu dan segala sesuatu ada di dalam Dia” (Kol. 1:16-17). Yesus Kristus adalah yang tertinggi di atas segala sesuatu dan kepenuhan Allah berdiam di dalam Dia.

Inilah Anak yang dijanjikan, yang dinanti-nantikan oleh umat Allah dan yang kelahiran-Nya sedang kita persiapkan untuk dirayakan. Inilah Tuhan yang demi Dia Allah mengirim seorang utusan untuk mempersiapkan jalan, memberitakan pesan pertobatan. Inilah Sang Juruselamat yang, dalam misi kasih dan penebusan-Nya, akan mengalahkan kuasa dosa dan maut melalui pengorbanan-Nya di kayu salib dan kebangkitan yang mulia. Dan inilah Dia yang kedatangan-Nya kembali kita nantikan dengan pengharapan, dengan percaya pada “Raja di atas segala raja dan Tuan di atas segala tuan. Dialah satu-satunya yang tidak takluk kepada maut, bersemayam dalam terang yang tak terhampiri” (1Tim. 6:15–16).

Realitas ini—bahwa Sang Anak di dalam palungan adalah Allah yang Perkasa—jauh melampaui apa yang dapat kita pahami. Namun itu adalah benar. Dalam kekaguman dan kerendahan hati, kita mendengarkan nasihat dalam lagu “Malam Kudus”—“Sembah sujud!” Dengan rasa syukur yang rendah hati, kita menyembah Dia.

Biarlah segenap diri kita memuji nama-Nya yang kudus. Kristus adalah Tuhan! O pujilah nama Dia selamanya! Kuasa dan kemuliaan-Nya selalu diberitakan! Kuasa dan kemuliaan-Nya selalu diberitakan!

Kelli B. Trujillo adalah editor produk cetak Christianity Today.

Renungkan Yesaya 9:5–6; Kolose 1:15–20; dan Ibrani 1:1–12. Opsional: Baca juga 1 Timotius 6:13–16.


Gambaran mana tentang keperkasaan dan kuasa Yesus dalam perikop-perikop ini yang menarik perhatian Anda? Mengapa demikian? Bagaimana kebenaran ini dapat membentuk penyembahan Anda di masa Adven ini?

Diterjemahkan oleh Denny Pranolo.

3 Miskonsepsi Populer Tentang Adven

Para pemimpin Kristen dari Brasil, Kolombia, Prancis, dan Filipina meninjau anggapan yang keliru tentang masa tersebut.

Christianity Today November 25, 2022

Bagi umat Kristen yang mencintai liturgi, Adven adalah masa penantian, yang ditandai dengan sikap menunggu dengan penuh harapan dan kegairahan.

Namun bagi banyak orang Injili, hal itu mungkin terlewatkan dengan tanpa disadari dan tidak diamati, baik karena ketidaktahuan akan kalender liturgikal gereja atau sinisme terhadap praktik Katolik.

Adven berarti “kedatangan” atau “kemunculan” dan berasal dari kata Latin adventus. Setiap tahun, masa ini dimulai empat hari Minggu sebelum Natal dan berlangsung hingga 25 Desember. Masa ini terbagi menjadi periode yang berfokus pada kedatangan Kristus yang kedua kali dan periode lain yang berfokus pada kelahirannya. (Kalangan Kristen Ortodoks melaksanakan peristiwa serupa, Puasa Kelahiran Yesus, dari 15 November hingga 24 Desember sebelum Pesta Kelahiran pada 25 Desember.)

Masa Adven dimulai pada abad keempat dan kelima di Gaul dan Spanyol sebagai suatu masa yang dimaksudkan untuk mempersiapkan hati orang percaya menyambut Epifani (6 Januari), bukan Natal. Epifani adalah hari untuk memperingati kunjungan orang Majus setelah kelahiran Yesus (di Barat) atau pembaptisan Yesus di sungai Yordan (di Timur).

Kini, kebiasaan memperingati Adven meliputi membaca dan berdoa melalui renungan Adven serta menyalakan salah satu dari empat lilin dalam karangan bunga Adven setiap hari Minggu, sesuai dengan empat tema mingguan: pengharapan, kasih, sukacita, dan damai sejahtera. Sebagian besar karangan bunga juga menyertakan lilin yang ditempatkan di tengah untuk melambangkan Yesus, Sang Terang Dunia.

Meski demikian, di sebagian besar dunia dan di negara-negara di mana Katolik menjadi agama mayoritas, kaum Injili biasanya tidak melaksanakan Adven.

Gereja-gereja Injili Prancis mengabaikan Adven sebagai bagian dari “reaksi naluriah terhadap apa pun yang bersifat liturgikal, karena berbau Katolik,” kata Gordon Margery, seorang dosen dari kalangan Baptis di Nogent-sur-Marne Bible Institute yang tinggal di luar Paris.

Beberapa “gereja Injili, Pentakosta, dan neo-Pentakosta yang bersejarah” di Amerika Latin ikut ambil bagian tertentu dalam Adven, kata pendeta Dionisio Orjuela dari Kolombia. “Hanya gereja-gereja seperti Lutheran, Anglikan, dan Episkopal (bersama dengan Katolik) saja yang rutin menjalankan masa Adven.”

CT berbicara dengan para pemimpin Kristen dari Brasil, Kolombia, Prancis, dan Filipina untuk mengetahui lebih lanjut tentang bagaimana miskonsepsi ini dapat diatasi, khususnya dalam konteks masyarakat yang mayoritas Katolik.

Kesalahpahaman 1: Adven adalah praktik eksklusif Katolik Roma.

“Sebagian besar orang Protestan saat ini tidak tahu apa yang terjadi di gereja selama hampir seribu tahun. Namun mereka yakin akan satu hal: Apa pun yang terjadi selama era pra-modern tidak sepadan dengan waktu kita dan hanya dapat merusak kekristenan,” tulis profesor Matthew Barrett, dari Midwestern Baptist Theological Seminary, awal tahun ini.

Secara keseluruhan, kalender gerejawi dipandang sebagai inovasi dari Katolik. Orang Protestan yang curiga terhadap inovasi dan mencoba untuk kembali ke praktik gereja Perjanjian Baru memilih untuk menyingkirkannya. (Kaum Puritan tidak pernah merayakan Natal, apalagi Adven.)

Kalangan Injili juga mungkin memiliki pandangan yang sama tentang Adven ini, di mana banyak yang menganggap masa ini sebagai ritual yang didominasi Katolik yang tidak memiliki tujuan atau relevansi bagi kehidupan rohani seseorang.

Akan tetapi orang-orang Injili di seluruh dunia saat ini, dari Filipina hingga Brasil, benar-benar mengambil bagian dalam Adven.

“Orang-orang Injili ini berasal dari denominasi yang bersejarah (misalnya, Anglikan, Reformed, Lutheran, Metodis), yang menganggap serius perkembangan historis ibadah dan memberi kelonggaran bagi kondisi historis dalam praktik-praktik mereka, sambil berusaha untuk setia menerapkan prinsip-prinsip alkitabiah dalam mengontekstualisasikan ibadah,” kata Timoteo Gener, presiden FEBIAS College of Bible di Filipina.

“Di Brasil, masa Adven adalah masa liturgikal yang paling diterima di antara kaum Injili,” kata Daniel Vieira, direktur dari Lecionário.

Menurut Vieira, menjalani dan mengalami kalender liturgikal dengan baik dapat membantu mengembangkan “visi realitas sakramental” yang melawan konsumerisme religius dan menekankan kembali pembinaan rohani dan pemuridan.

Itulah sebabnya merupakan suatu kebutuhan yang sangat vital bagi gereja Brasil saat ini dalam membantu orang percaya untuk membedakan antara Adven dan Natal, tambahnya.

“Kesulitan terbesarnya adalah untuk lebih memahami perbedaan antara Adven dan Natal dan menjalani Adven dengan cara yang tepat, dengan bantuan praktik Kristen tradisional dan leksionari, sarana yang telah kami promosikan di Brasil.”

Kesalahpahaman 2: Adven tidak alkitabiah.

Beberapa orang Injili mungkin juga berpendapat bahwa Adven tidak alkitabiah karena tidak disebutkan di mana pun di dalam Kitab Suci.

Kaum Injili sering mendapati diri mereka “terpisah” dari sejarah dan tradisi gereja. Beberapa orang mungkin berasal dari latar belakang gereja yang kurang menekankan tentang ritual (Low-Church), lebih menekankan pada khotbah topikal dan kesalehan pribadi daripada mengikuti kalender historikal gereja untuk melaksanakan kebaktian atau memakai doa responsoria secara komunal.

Akan tetapi memulihkan pemahaman tentang tradisi gereja dapat menjelaskan mengapa Adven adalah masa yang berdasarkan Alkitab, di mana orang percaya dapat membentuk iman mereka sesuai dengan Firman dan kebenaran Allah. “Kaum Injili harus mempelajari tradisi [gereja], karena kita bukan yang pertama mencari jawaban atas pertanyaan dan masalah sulit dalam teologi. Namun, kita tidak boleh menjunjung tradisi ke status otoritatif yang tidak dapat diganggu gugat,” tulis teolog dari kalangan Baptis, Roger E. Olson.

Masa Adven mencerminkan Alkitab dalam menyoroti sentralitas Kristus dan karya penyelamatan-Nya, menurut pendeta Episkopal, Fleming Rutledge.

“Adven selalu dimulai dalam kegelapan. Namun ada ‘tetapi,’ dan kami menemukannya terungkap dalam kisah yang diceritakan oleh Kitab Suci,” tulis Rutledge.

“Itulah pesan Adven: Di dunia yang penuh kegelapan dan kesusahan, dosa dan kejahatan yang merajalela, kita memandang kepada satu-satunya terang sejati—Kristus Yesus, Anak Allah.”

“Beberapa orang Kristen mungkin berpandangan bahwa ibadah yang liturgikal harus dipolakan hanya setelah teks Perjanjian Baru dan bukan pada perkembangan sejarahnya selama berabad-abad,” kata Gener, teolog Filipina.

Namun pembentukan tahun liturgikal Kristen—termasuk Adven—berawal dari bagaimana gereja mula-mula memasukkan praktik budaya pada zaman mereka ke dalam kehidupan ibadah mereka.

“Praktik dan festival sinagoga Yahudi diterima dan dibagikan oleh Yesus dan murid-muridnya, dan praktik ini dibentuk ulang oleh murid-murid Kristus dalam terang peristiwa Kristus, yang kemudian berkembang menjadi ibadah Kristen yang bersejarah,” kata Gener.

Lula Derœux, seorang pendeta Baptis di Prancis, merasa penting untuk melaksanakan Adven sekalipun bila Alkitab tidak secara eksplisit menyebutkannya: “Jika Alkitab tidak memberi tahu kita bagaimana dan kapan merayakan kelahiran Kristus, Alkitab mendorong kita untuk mengingatnya dan membangun relasi kita dengan Tuhan.

“Kebutuhan kita untuk merayakan, untuk mempersiapkan kerinduan hati kita dan untuk memuji Tuhan dalam penantian, melampaui semua budaya dan segala usia.”

Kesalahpahaman 3: Masa Adven hanya tentang kelahiran Yesus.

Karena Adven datang sebelum Natal pada tanggal 25 Desember, ada anggapan bahwa itu hanya momen menjelang perayaan hari kelahiran Kristus.

Namun, ketika orang Kristen pertama kali merayakan Adven, mereka menanti-nantikan kedatangan Kristus kembali, bukan kelahiran-Nya. Hal ini berubah di Abad Pertengahan ketika Adven menjadi waktu untuk mengingat dan merayakan inkarnasi Yesus, bahkan ketika pendekatan “tradisional” untuk Adven tetap ada.

“Spiritualitas Adven bukanlah waktu untuk merenungkan kelahiran aktual Kristus. Menurut tradisi, kita tidak boleh menyanyikan lagu-lagu Natal sampai Natal itu sendiri, karena Adven bukanlah waktu untuk merayakan kelahiran Yesus di palungan melainkan waktu untuk merindukan kedatangan Sang Juruselamat,” tulis Robert E. Webber dalam Ancient-Future Time.

Awalnya Adven juga merupakan masa puasa dan refleksi diri, tulis editor eksekutif CT, Ted Olsen.

Bagi Vieira, Adven adalah masa “penyesalan” yang memberi waktu bagi orang percaya untuk disiplin dan pertobatan yang intensional.

“Refleksi mendalam pada tradisi liturgikal menunjukkan kepada kita bahwa Adven mengandung suatu ketegangan dari proklamasi yang menyatukan harapan umat dari kovenan lama akan penebusan dan harapan umat dari kovenan baru akan penyempurnaan yang akan datang melalui kedatangan Kristus yang kedua kali,” kata beliau.

“Beberapa himne dan bacaan tradisional selama masa Adven mencerminkan kerinduan akan kedatangan Kristus kembali,” kata Margery.

“Saya terutama memikirkan tentang himne ‘O Datanglah Imanuel.’ Seseorang menyanyikannya secara umum sebagai semacam permohonan agar Kristus dilahirkan, menempatkan diri pada posisi orang-orang kudus Israel yang merindukan kedatangan-Nya. Akan tetapi saya mendapat kesan bahwa pujian itu menggemakan doa terakhir dari Wahyu [22:20, ‘Datanglah, Tuhan Yesus’].”

Kerinduan eskatologis yang terkandung di dalam Adven merupakan komponen kunci dari masa yang tidak dapat diabaikan ini.

“Nubuatan Kitab Suci tentang Pribadi yang Dijanjikan seringkali memiliki makna berlapis dan berbagai penggenapan,” tulis redaktur pelaksana cetak dari CT, Kelli Trujillo dalam pengantar renungan Adven CT tahun 2022.

“Nubuatan-nubuatan itu sering kali menunjuk pada penggenapan di zaman nabi itu sendiri, tetapi juga mengarahkan pandangan kita kepada Mesias dan kedatangan-Nya yang pertama serta Kedatangan-Nya yang Kedua yang kita nantikan.”

“Berada di masa Adven berarti berdiam di dalam Kerajaan Allah ‘yang sudah tetapi belum’ (already/not yet),” kata Derœux.

“Adven memungkinkan kita untuk mengingat janji-janji Tuhan dan sejauh mana Dia memedulikan kita. Kesabaran dan persiapan yang dibutuhkan untuk mengutus seorang Juruselamat kepada umat manusia sungguh menakjubkan, dan merupakan suatu berkat jika kita tidak hanya dapat mengingat melainkan juga [menjalani] masa yang istimewa ini.

“Kita bisa membaca seluruh Perjanjian Lama dan melihat Adven, suatu fajar bagi awal yang baru.”

Diterjemahkan oleh Maria Fennita S.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Sebab seorang anak telah lahir untuk kita…

Kumpulan Renungan Adven dari Christianity Today.

Christianity Today November 24, 2022
Stephen Crotts

Pengantar Adven 2022: Pribadi Yang Dijanjikan


Baca YESAYA 9:5A

Selama masa Adven, kita mempersiapkan hati untuk merayakan kedatangan Sang Anak—yaitu bayi Yesus, yang terbaring di palungan, dicintai oleh Maria dan Yusuf, dan disembah oleh para gembala serta orang majus. Namun Adven—yang berarti “kedatangan”—mengundang kita untuk mempersiapkan lebih dari sekadar malam suci kelahiran-Nya.

Dalam sepanjang sejarah gereja, Adven telah menjadi suatu masa penantian. Hal ini dimulai pada abad-abad awal kekristenan sebagai sebuah periode pertobatan dalam persiapan Epifani—perayaan penampakan Yesus dan manifestasi identitas-Nya, yang juga merupakan hari yang disiapkan untuk pembaptisan orang-orang yang baru percaya. Tak lama kemudian, Adven pun mulai berfokus pada antisipasi penampakan lain: kedatangan Kristus yang kedua kali. Pada Abad Pertengahan, tema-tema yang cenderung kita kaitkan dengan Adven di masa kini telah menjadi bagian dari ibadah gereja, karena orang-orang Kristen memasukkan penantian perayaan Natal beriringan dengan perenungan mereka tentang kedatangan Yesus kembali.

Masing-masing tema historis ini saling terjalin di seluruh bacaan tradisional Adven di Kitab Suci, karena janji-janji dan nubuatan Alkitab berbicara secara luas tentang identitas dan tujuan Yesus. Saat kita menggali kebenaran ini lebih mendalam, penyembahan kita kepada Sang Bayi di palungan tersebut menjadi diperkaya, karena kita berlutut di hadapan Pribadi yang akan membuat identitas-Nya terwujud melalui berbagai mukjizat dengan kuasa yang besar. Kita bersujud di hadapan Dia yang kelak akan datang kembali dalam kemuliaan untuk mengadili orang yang hidup dan yang mati.

Kitab Yesaya berisikan beberapa nubuatan yang sangat menarik yang merujuk kepada Yesus. Kita membaca tentang seorang anak laki-laki yang dijanjikan yang akan disebut Imanuel—Tuhan beserta kita (7:14). Kita belajar tentang suatu terang yang akan bersinar atas orang-orang yang hidup dalam kekelaman (9:2). Kemudian kita menjumpai janji yang gemilang ini:

Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang: Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai. Besar kekuasaannya, dan damai sejahtera tidak akan berkesudahan di atas takhta Daud dan di dalam kerajaannya, karena ia mendasarkan dan mengokohkannya dengan keadilan dan kebenaran dari sekarang sampai selama-lamanya. (9:6–7)

Nubuatan Kitab Suci tentang Pribadi yang Dijanjikan itu sering kali memiliki makna berlapis dan berbagai penggenapan. Nubuat-nubuat tersebut sering merujuk ke arah penggenapan pada zaman nabi itu sendiri namun juga mengarahkan pandangan kita kepada Mesias dan kedatangan-Nya yang pertama serta Kedatangan Kedua yang kita nantikan.

Dalam renungan Adven CT kali ini, kita mengeksplorasi apa yang Kitab Suci katakan tentang Dia yang Dijanjikan, untuk memperdalam iman kita kepada Juruselamat yang kita kenal dan kasihi. Bagian refleksi harian menggali bagian-bagian penting yang membantu kita lebih memahami tentang siapa Yesus. Kemudian setiap tema mingguan berpusat di sekitar aspek inti dari identitas Yesus dalam nubuatan Yesaya.

Allah Yang Perkasa

Bacaan tradisional Adven yang pertama dapat terasa sangat bertentangan dengan harapan Natal kita. Alih-alih membaca tentang dekorasi daun holi dan cahaya lilin, kita justru membaca tentang kengerian zaman akhir. Bukannya memulai tentang para malaikat yang bersukacita, kita justru memulai dengan seorang nabi yang menyerukan pertobatan dengan sangat keras. Bagian-bagian ini mengguncangkan pola pikir kita yang nyaman, untuk mengingatkan kita bahwa Yesus adalah Allah yang Perkasa. Juruselamat yang kelahiran-Nya sedang kita persiapkan untuk dirayakan adalah Anak Manusia yang suatu hari kelak akan datang kembali untuk menghakimi yang hidup dan yang mati. Demi Dialah Allah mengutus seorang utusan untuk mempersiapkan jalan: Yohanes Pembaptis, yang berseru-seru di padang gurun, bersaksi tentang kuasa dan kemuliaan Yesus. Sang Anak di palungan adalah Allah yang Perkasa, yang kerajaan-Nya tidak akan pernah berakhir.

Raja Damai

Banyak perikop tentang Adven di Perjanjian Lama yang mendorong kita untuk merenungkan tentang damai pribadi yang bisa kita alami bersama Tuhan dan mendorong kita untuk membayangkan kedamaian tertinggi yang kelak akan dibawa oleh Pribadi yang Dijanjikan itu. Perang, kekerasan, dan penderitaan akan berakhir. Bangsa-bangsa dan kelompok umat yang telah lama terpisah akan beribadah bersama-sama. Akan tetapi Kitab Suci mendesak kita untuk melampaui kecenderungan kita terhadap visi perdamaian yang sentimental, menantang kita untuk melihat bahwa damai sejahtera yang dibawa oleh Kristus adalah kokoh dan menyeluruh. Damai sejahtera ini datang bukan hanya melalui kasih Yesus, melainkan juga melalui kuasa-Nya yang besar—karena damai sejahtera dari Dia terikat langsung dengan keadilan-Nya. Damai sejahtera-Nya terhubung dengan penghakiman-Nya yang adil. Dan damai sejahtera yang dibawa-Nya dibeli dengan harga yang sangat mahal.

Terang Dunia

Sejak awal sampai akhir dari Kitab Suci, kita melihat terang digunakan sebagai metafora untuk menolong kita memahami kehadiran Allah, keselamatan, kehidupan iman, dan Yesus sendiri. Kita membaca janji-janji tentang terang besar yang akan bersinar, yang tidak terhalang kegelapan. Ketika Yesus menjalani hidup di bumi, Ia mengidentifikasi diri-Nya sebagai terang yang dijanjikan ini—yaitu terang yang sama yang kehadiran-Nya kelak akan menerangi kota Allah (Why. 21:23). Dan, yang terpenting, Yesus adalah terang, bukan hanya bagi Anda dan saya, melainkan juga bagi dunia. Sebagaimana yang dijelaskan berulang kali oleh Kitab Suci, Dia adalah Pribadi yang Dijanjikan bagi segala bangsa, yang mengantar masuk kerajaan global-Nya yang multi etnis.

Imanuel

Minggu terakhir Adven ini, kita berfokus pada peristiwa-peristiwa seputar kelahiran ketika Pribadi yang Dijanjikan itu—Allah yang Perkasa, Raja Damai, Terang Dunia—masuk ke dalam dunia sebagai seorang Anak yang baru lahir. Inilah Imanuel, Tuhan beserta kita. Inilah Firman yang menjadi manusia, yang diam di antara kita (Yoh. 1:14). Janji berabad-abad yang diucapkan tentang Dia bergema dalam seruan pujian para malaikat, pesan para gembala, pujian kenabian dari seorang pria dan wanita lansia, dan penyembahan yang penuh sukacita dari orang-orang bukan Yahudi yang telah melakukan perjalanan dari jauh untuk membungkukkan diri di hadapan Sang Raja segala Raja.

Dialah Pribadi Yang Dijanjikan

Adven ini, saat kita bersiap untuk merayakan kelahiran Yesus, kiranya kita merenungkan secara mendalam janji-janji Kitab Suci tentang siapa Dia dan untuk apa Dia datang. Saat kita menyembah di palungan, kiranya kita kagum bahwa Anak ini adalah Allah yang Perkasa, Raja Damai, dan Terang Dunia. Dialah yang datang untuk mati. Dialah yang bangkit dengan kemenangan, naik ke surga, dan yang akan menepati janji-Nya untuk datang kembali dalam kemuliaan. Dia akan menegakkan keadilan dan membawa kerajaan damai-Nya menuju puncak. Dia adalah Imanuel, Tuhan beserta kita.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube