Harapan Yobel Kita

Renungan Adven, 8 Desember 2022.

Kumpulan Renungan Adven 2022

Kumpulan Renungan Adven 2022

Christianity Today December 8, 2022
Stephen Crotts

Minggu 2: Raja Damai


Di tengah penderitaan dan kekejaman dunia, kita berpegang teguh pada pengharapan ini: Suatu hari Yesus akan membawa kedamaian yang sejati dan sepenuhnya. Ia juga membawa kedamaian rohani bagi kita di sini dan sekarang ini, seiring kita mengalami penebusan dan hidup sesuai nilai-nilai kerajaan-Nya. Yesus adalah Raja Damai.

Baca Yesaya 61:1–4 dan Lukas 4:16–21

Ia telah mengutus aku untuk…merawat orang-orang yang remuk hati, untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan kepada orang-orang yang terkurung kelepasan dari penjara, untuk memberitakan tahun rahmat TUHAN. Yesaya 61:1-2

Ketika Yesus membuka gulungan kitab itu dan membaca Yesaya 61, para pendengar-Nya telah menantikan selama beberapa generasi akan hadirnya Pribadi yang Dijanjikan—Sang Raja Damai, Pembawa keadilan dan pembebasan. Mereka telah menyaksikan perang yang tak terhitung jumlahnya, pendudukan kekaisaran yang silih berganti, dan perubahan budaya yang membingungkan saat mereka mencari cara menghidupi iman dalam keadaan seperti demikian.

Kita juga hidup dalam masa kekacauan, kekerasan, dan kebingungan geopolitik. Kita juga menantikan Sang Raja Damai datang dalam kemuliaan, untuk membawa kebangkitan dan pemulihan final di tempat-tempat kematian dan perkabungan. Menanti itu menyakitkan. Menanti membuat kita dipenuhi dengan kerinduan.

Yesaya 61:1–4 merujuk pada Tahun Yobel dalam Imamat 25—sebuah perintah radikal yang menyerukan pemulihan tanah dan orang-orang yang telah dijual dalam perbudakan karena utang. Tahun Yobel adalah tahun perkenanan Tuhan, ketika budak-budak utang akan dibebaskan, dan rumah-rumah serta tanah-tanah akan dikembalikan. Allah menghendaki setiap putri dan putra Israel dikembalikan ke rumah. Namun, Yesaya 61 juga berbicara tentang pembalasan Allah—dan Yesus, dengan menimbulkan keresahan, mengatakan bahwa Ia datang bukan untuk membawa damai melainkan pedang dan pemisahan (Mat. 10:34-36). Lalu, bagaimana mungkin Yesus menjadi pembawa damai?

Ketika Yesaya berbicara tentang Raja Damai, dia berbicara tentang shalom—yang bukan hanya ketiadaan kekerasan atau kejahatan, melainkan juga kepenuhan hidup yang baik—mengasihi sesama untuk melihatnya sejahtera dan mengikut Allah yang penuh kasih setiap hari.

Sabat mingguan memutus ritme kerja kita dengan istirahat dan shalom, dan Yobel adalah Sabat dari segala Sabat. Ini adalah puncak dari shalom. Jadi ketika Yesus menyatakan kehadiran shalom Yobel, Ia tidak hanya menawarkan keselamatan dari penghakiman setelah kehidupan ini, melainkan juga menegaskan bahwa Ia adalah Sang Pembebas dari perbudakan, baik utang moneter maupun spiritual—menuju pada kebebasan dan pemulihan dalam kehidupan ini dan kehidupan selanjutnya. Karena itu, kelahiran dan kehidupan Yesus lebih dari sekadar pendahuluan menuju Salib. Memang, kelahiran-Nya, kehidupan-Nya, Salib, dan Kebangkitan adalah bagian dari kisah yang lebih besar tentang Tuhan yang membebaskan umat-Nya—suatu umat yang percaya kepada Allah dan mengasihi sesama mereka. Sebagaimana orang-orang Israel dipanggil untuk percaya kepada Allah demi pembebasan dan pemeliharaan mereka di padang gurun, demikian pula kita dipanggil untuk bersandar kepada Tuhan untuk hal yang sama—menghadapi segala rintangan dan dalam perang, kekacauan politis, ataupun pengembaraan. Kita juga dipanggil untuk mengasihi sesama kita sebagai bagian dari pengharapan yang hidup itu.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Yesus meresmikan Yobel dalam bayang-bayang penjajahan Kekaisaran Romawi, dan Ia mengundang kita, kendati adanya bayang-bayang di sekeliling kita, untuk mengikut Dia dan tinggal dalam kerajaan Yobel-Nya. Ia meminta kita agar secara aktif merindukan, mengharapkan, dan menantikan kuasa kebangkitan-Nya menerobos dengan cara-cara yang tidak terduga saat Ia berkarya dan hidup dalam kita.

Sarah Shin adalah mahasiswa doktoral teologi sistematik di University of Aberdeen, Skotlandia. Dia adalah penulis Beyond Colorblind: Redeeming Our Ethnic Journey.

Pikirkan Yesaya 61:1–4 dan Lukas 4:16–21. Opsional: Baca juga Imamat 25.


Bagaimana gagasan tentang Yobel memperkaya pembacaan Anda terhadap nubuat Yesaya? Terhadap identifikasi diri Yesus sebagai penggenapan nubuat Yesaya? Terhadap Yesus sebagai Sang Raja Damai?

Diterjemahkan oleh Ivan K. Santoso

Damai Yesus yang Menyembuhkan

Renungan Adven, 7 Desember 2022.

Kumpulan Renungan Adven 2022

Kumpulan Renungan Adven 2022

Christianity Today December 7, 2022
Stephen Crotts

Minggu 2: Raja Damai


Di tengah penderitaan dan kekejaman dunia, kita berpegang teguh pada pengharapan ini: Suatu hari Yesus akan membawa kedamaian yang sejati dan sepenuhnya. Ia juga membawa kedamaian rohani bagi kita di sini dan sekarang ini, seiring kita mengalami penebusan dan hidup sesuai nilai-nilai kerajaan-Nya. Yesus adalah Raja Damai.

Baca Yesaya 42:1–4 dan Matius 12:15–21

Buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskannya, dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkannya. Yesaya 42:3

Yesaya dan Matius mengerti apa arti Yesus sebagai Raja Damai. Ketika Matius menjelaskan bahwa Yesus menggenapi Yesaya 42:1–4, kita melihat gambaran shalom, kata Ibrani untuk damai. Tidak seperti pemahaman umum kita yang sempit tentang kedamaian yang hanya berarti keadaan “tanpa perang,” shalom mencakup gambaran yang lebih luas tentang bagaimana Allah memperbaiki segala sesuatu yang salah di dunia ini menjadi benar. Shalom dari Allah ini adalah sebuah kedamaian yang membuat kekacauan menjadi teratur dan keadilan menggantikan ketidakadilan.

Yesaya 42 dimulai dengan memperkenalkan sang pilihan Allah, “hamba-Ku.” Ini adalah nyanyian pertama dari apa yang disebut sebagai Nyanyian Hamba Tuhan; nyanyian-nyanyian lainnya terdapat dalam 49:1–6, 50:4–9, dan 52:13–53:12. Nyanyian-nyanyian ini menceritakan kisah tentang Hamba Tuhan yang mengerjakan keselamatan sampai ke ujung bumi (dalam pasal 42, 49, 50) dan yang menyelamatkan umat Allah melalui penderitaan hamba itu sendiri (dalam 52–53).

Dalam bagian 42:1–4 ini, Hamba tersebut adalah pribadi yang Tuhan pegang dan yang diperkenan-Nya. Hamba ini membawa sukacita bagi Allah! Roh Allah ada atas Hamba ini, sehingga Ia dapat menyatakan keadilan bagi bangsa-bangsa. Ini bukanlah pesan perdamaian untuk Israel saja, melainkan bagi seluruh dunia.

Orang mungkin berharap bahwa Hamba yang dipenuhi oleh Roh ini adalah Hamba yang lantang dan bangga atas status keterpilihan-Nya di hadapan Allah, tetapi sebaliknya Ia justru dicirikan dengan kerendahan hati-Nya. Ia tidak berteriak-teriak di jalanan, melainkan Ia memedulikan orang-orang yang terluka. Ia adalah pribadi yang dapat mengenali buluh yang terkulai—seseorang yang merasa terinjak-injak—tetapi Ia tidak akan mematahkannya. Ia adalah pribadi yang meneguhkan orang yang merasa seperti lilin kecil yang pudar nyalanya, dan Ia tidak akan memadamkan cahayanya. Apakah arti membawa damai bagi mereka yang hampir tidak dapat bertahan? Pencarian Hamba tersebut akan keadilan ditandai dengan kelemahlembutan. Ia melihat mereka yang mengalami kerentanan; Ia tidak akan membiarkan mereka jatuh.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Matius 12 menjelaskan bagaimana Yesus menggenapi nubuat Yesaya. Pada awalnya, cara Yesus menggenapi nubuat ini mungkin terlihat melalui Ia meminta para murid-Nya untuk diam (ay. 16), mirip dengan hamba yang diam dalam Yesaya 42. Akan tetapi jika kita melihat keseluruhan pasal, Matius menunjukkan kepada kita sesuatu yang berbeda. Yesus, sebagai Sang Hamba, memerhatikan mereka yang membutuhkan kesembuhan. Dalam nats sebelum dan sesudah ayat 15-21, penekanannya ada pada bagaimana Yesus menyembuhkan di hari Sabat (ay. 1–14), bagaimana Yesus “menyembuhkan semua orang yang sakit” (ay. 15, BIS), dan bagaimana Ia menyembuhkan seseorang yang kerasukan setan, membuatnya dapat melihat dan berbicara (ay. 22).

Kedamaian dari Yesus menjumpai kita di bagian-bagian terlemah kita, mentransformasi ketidakadilan menjadi keadilan, menegakkan yang telah patah terkulai, dan Ia melakukan semuanya ini dengan kelembutan dari sentuhan kasih-Nya.

Beth Stovell mengajar Perjanjian Lama di Ambrose Seminary. Dia adalah rekan editor Theodicy and Hope in the Book of the Twelve dan penulis dari tafsiran yang akan terbit Minor Prophets I dan II.

Renungkan Yesaya 42:1–4 dan Matius 12:15–21. Opsional: Baca juga Matius 12:1–14, 22–37.


Bagaimana Anda mengalami

shalom

Yesus yang digambarkan oleh Yesaya dan Matius? Apa kisah lain dalam Injil yang muncul di benak Anda sebagai contoh kedamaian dari Yesus?

Diterjemahkan oleh Ivan K. Santoso.

Perhentian yang Damai

Renungan Adven, 6 Desember 2022.

Kumpulan Renungan Adven 2022

Kumpulan Renungan Adven 2022

Christianity Today December 6, 2022
Stephen Crotts

Minggu 2: Raja Damai


Di tengah penderitaan dan kekejaman dunia, kita berpegang teguh pada pengharapan ini: Suatu hari Yesus akan membawa kedamaian yang sejati dan sepenuhnya. Ia juga membawa kedamaian rohani bagi kita di sini dan sekarang ini, seiring kita mengalami penebusan dan hidup sesuai nilai-nilai kerajaan-Nya. Yesus adalah Raja Damai.

Baca Yesaya 11:1–10

Maka pada waktu itu taruk dari pangkal Isai akan berdiri sebagai panji-panji bagi bangsa-bangsa; dia akan dicari oleh suku-suku bangsa dan tempat kediamannya akan menjadi mulia. Yesaya 11:10

Salah satu ketegangan besar yang sering kita rasakan selama masa Adven adalah perbedaan antara janji kedamaian dari Tuhan dan adanya perang serta kekerasan di dunia kita. Yesaya menubuatkan bahwa pemerintahan Mesias akan membawa dunia tanpa kekhawatiran. Bayangkan seorang ibu yang beristirahat dengan tenang, melihat anak-anaknya bermain di sarang ular kobra namun tidak langsung beraksi. Sebagai ayah dari lima anak, saya merasa ini sulit untuk dibayangkan!

Setiap orang tua tahu betapa luar biasanya kepanikan yang mereka rasakan ketika anak mereka mendekati bahaya. Selama pemerintahan Mesias, seperti yang digambarkan Yesaya, perasaan itu akan sirna.

Namun dalam pengalaman hidup kita, dunia sama sekali tidak terlihat seperti ini. Puisi Thomas Hardy yang berusia hampir 100 tahun berjudul “Natal: 1924” meratapi,

“Damai di bumi!” katanya. Kita pun menyanyikannya, Dan membayar sejuta imam untuk memberitakannya. Namun setelah misa dua ribu tahun lamanya Hanyalah gas beracun yang kita punya.

Lalu bagaimana cara kita menyelaraskan janji perhentian yang damai dengan realita gas beracun—atau rudal balistik?

Jawabannya terletak pada ketegangan antara saat ini namun belum sempurna. Selama zaman nabi Yesaya, janji yang Tuhan buat kepada Raja Daud dalam 2 Samuel 7—janji tentang kerajaan yang abadi dan diberkati—tampaknya tak terpenuhi. Keluarga Daud menyerupai pohon yang ditebang. Akan tetapi dari tunggulnya yang kering akan muncul ranting yang dipenuhi Roh: Yesus, Sang Anak Daud. Dialah yang akan membawa perdamaian, baik bagi orang Yahudi maupun bukan Yahudi. Ia berdiri sebagai panji-panji untuk menyatukan bangsa-bangsa yang bermusuhan (Yes. 11:10; Ef. 2:15).

Hal ini diwujudkan sebagian pada saat ini melalui gereja, di mana bahkan seorang pemungut cukai seperti Lewi dan seorang fanatik seperti Simon menemukan kedamaian melalui darah Kristus. Bait Allah di seluruh dunia terbuat dari batu-batu yang hidup, dan batu-batu yang dipakai Allah untuk membangun itu dipilih dari setiap suku, bahasa, dan bangsa. Hari ini kita dapat mengalami damai yang dijanjikan oleh Sang Raja-Mesias yang berkata kepada mereka yang letih lesu, “Aku akan memberi kelegaan kepadamu” (Mat. 11:28).

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Akan tetapi bagian yang belum dari nubuat Yesaya akan terwujud pada saat kedatangan Yesus yang kedua kali (Yes. 11:4; 2Tes. 2:8). Hal ini diperlihatkan dalam nubuat Yesaya melalui penggambaran bak Taman Eden tentang hewan pemangsa yang ditaklukkan. Suatu hari nanti Yesus akan menaklukkan ciptaan dengan sempurna, menenangkan binatang buas yang mematikan dan bahkan mengubah seekor ular menjadi mainan bagi anak-anak. Dunia yang baru ini pada akhirnya akan memuaskan kerinduan terdalam kita akan keadilan dan kedamaian.

Adven mengingatkan kita akan perhentian mulia yang diberikan melalui kedatangan Yesus yang pertama dan menantikan pemulihan sepenuhnya yang akan menyertai kedatangan-Nya kembali. Dalam rentang masa yang penuh ketegangan ini—antara yang sekarang dan yang belum—Allah memanggil kita untuk ditandai oleh kasih karunia kerajaan-Nya, dengan menjadi suatu umat yang mengejar keadilan bagi yang tertindas dan menyebarkan pengenalan akan Kristus di dalam komunitas kita (Yes. 11:9; 2Kor. 2:14). Melalui pengenalan inilah maka orang-orang berdosa yang letih lesu akan mengalami perhentian yang mulia di dalam kerajaan Kristus.

Adriel Sanchez adalah pendeta dari North Park Presbyterian Church di San Diego, dan pembawa acara Core Christianity, sebuah siaran radio dan siniar tanya jawab.

Renungkan Yesaya 11:1-10


Deskripsi kedamaian manakah yang paling menarik perhatian Anda? Mengapa demikian? Berdoalah, ungkapkanlah kerinduan Anda akan kedamaian yang dibawa Kristus saat ini—dan yang belum.

Diterjemahkan oleh Timothy Daun.

Berkat dari Orang Asing yang Mengubahkan Saya

Di antara orang-orang Ukraina yang terasingkan, saya menemukan ketekunan yang menakjubkan dalam ketiadaan akan pembebasan.

Laporan Sophia Lee di Polandia.

Laporan Sophia Lee di Polandia.

Christianity Today December 5, 2022
Photos by Joel Carillet

Enam bulan sebelum saya terbang ke Polandia untuk melaporkan tentang para pengungsi Ukraina, sebuah truk menabrak ibu mertua saya, membunuhnya seketika. Enam minggu sebelum saya terbang ke Polandia, saya mengetahui bahwa saya hamil 23 minggu.

Banyak hal yang ada di pikiran saya ketika saya naik pesawat ke Warsawa. Saya baru saja memulai pekerjaan baru. Kesedihan suami saya masih mendalam, dan kadang-kadang saya mendengar dia menangis dalam tidurnya, memimpikan kenangan yang jelas tentang ibunya. Baik saya maupun suami tidak merasa siap menjadi orang tua dalam waktu kurang dari tiga bulan. Lalu di sanalah saya, bersama anak yang belum terlahir. Ia jungkir balik dalam perut saya. Goncangan dan pukulan dia sama bergejolaknya dengan pikiran dan emosi saya. Saya mencoba berdoa saat itu, tetapi yang bisa saya sampaikan hanyalah: “Ya Tuhan, betapa saya membutuhkan-Mu.”

Dalam masa perang dan kesukaran, kami mencari cerita tentang keberanian dan resiliensi yang luar biasa. Sebagai seorang jurnalis Kristen, saya tidak yakin apa yang diharapkan dalam liputan saya, tetapi saya tahu apa yang saya harapkan untuk ditemukan: kesaksian yang kuat, gambaran-gambaran yang menginspirasi tentang Injil yang sedang bekerja, dan pernyataan iman yang layak dikutip.

Saya menemukan semua itu di Polandia ketika saya mengunjungi gereja-gereja, tempat-tempat penampungan para pengungsi, stasiun kereta api, dan lintas-lintas perbatasan. Tidak sulit untuk menemukan kisah-kisah yang mengharukan dari orang beriman: Seorang pendeta Ukraina di Zabki, pinggiran kota Warsawa, mengajak lebih dari 10 pengungsi untuk tinggal bersama keluarganya di rumah kecil mereka. Pada hari saya mengunjungi tempat perlindungan gerejanya, anak-anak pengungsi Ukraina berkumpul di tangga untuk menyanyikan sebuah himne Ukraina yang indah tentang perlindungan, pengampunan, dan belas kasihan Tuhan.

Saya juga melihat langkah-langkah iman yang sangat besar. Hampir setiap gereja di Polandia membantu para pengungsi Ukraina, tetapi sebagian besar hanya dapat menawarkan masa tinggal jangka pendek. The Church for the City di Krakow menyadari bahwa mereka membutuhkan strategi jangka panjang. Awalnya, gereja itu mulai berdoa untuk menampung 700 pengungsi selama enam bulan. Akan tetapi pendetanya, Zbigniew Marzec, bertanya-tanya, “Mengapa hanya 700 pengungsi? Mengapa tidak mengusahakan untuk 1.000 orang? Mengapa tidak memperluas iman kita dan menampung lebih banyak, tanpa membatasi Tuhan?” Menampung 1.000 pengungsi selama enam bulan akan menelan biaya $5 juta. Gereja itupun memutuskan untuk berdoa bagi 1.000 orang. Marzec tertawa kecil ketika dia memberi tahu saya visi mereka: “Karena saya ingat bahwa tiga minggu yang lalu, kami bergumul untuk membeli peralatan suara yang harganya $300!”

Sungguh menghangatkan hati saya ketika mendengar pernyataan iman yang yakin dan pasti, saat melihat orang-orang Kristen yang rela berkorban dan berorientasi pada tujuan untuk bekerja di garis depan perang. Saya merindukan ekspresi iman itu bagi diri saya sendiri, terutama karena begitu banyak hal yang tidak pasti dan sangat berat dalam hidup saya sendiri.

Namun itu bukan satu-satunya ekspresi iman yang saya saksikan di Polandia. Tidak setiap orang Kristen yang saya temui memiliki kesaksian yang dijelaskan dengan baik, khususnya para pengungsi yang hidupnya telah terkoyak oleh perang, oleh berbagai kehilangan, oleh masa depan yang penuh ketidakpastian dan ketidakstabilan.

Seorang pengungsi yang saya temui bernama Daniell, menangis ketika dia mengingat tahun mengerikan yang dia alami bahkan sebelum perang. Putri sulungnya lahir dengan kerusakan otak yang permanen karena persalinan yang gagal. Kadang-kadang dia mengalami kejang lebih dari 300 kali sehari, dan Daniell bersama istrinya telah menghabiskan banyak malam tanpa tidur demi menjaga bayi kecil mereka tetap hidup. Karena kondisi anak mereka, maka hampir tidak mungkin bagi mereka untuk mengevakuasi ke Ukraina, bahkan saat penembakan dan pengeboman mengguncang rumah mereka. Melalui bantuan orang Kristen lainnya, mereka setidaknya bisa melarikan diri ke Warsawa.

Daniell tidak mengutip ayat-ayat tentang Tuhan yang bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan. Ia juga tidak bersaksi tentang menemukan tujuan dalam penderitaannya yang belum berakhir. Dia menceritakan tentang pengalaman tahun lalu dengan mata yang hampa: “Kami menjalani hidup seolah-olah sudah mati.”

Akan tetapi Daniell pun memiliki sebuah ekspresi iman—yang nyata dan hidup. Dia terus-menerus berdoa. Dia tidak memanjatkan doa “lompatan iman” yang menyatakan kesembuhan atas putrinya; mulut bibirnya sudah terlalu lelah dengan doa-doa meminta mujizat sekian lama. Meski demikian, dia tetap berdoa. Dalam doanya, tetap ada sebuah nama yang dia serukan, bahkan sekalipun doanya tidak berapi-api atau dibumbui dengan pernyataan keyakinan yang mendalam dan ayat-ayat Alkitab. Dengan sederhana ia menjelaskan bahwa ia berdoa karena, “Saya tidak bisa membayangkan cara hidup yang lainnya.” Imannya tidak berlabuh dalam misi, tujuan, atau keajaiban. Iman dia lebih seperti bernapas, bahkan saat napas itu terkadang terengah-engah.

Ketika saya sedang mewawancarai para pengungsi, di rumah di Los Angeles, pada suatu pagi suami saya bangun sendirian dan terisak-isak. Itu adalah hari ulang tahun ibunya. Ibunya sangat senang dengan hari ulang tahun. Dia selalu berusaha keras untuk memastikan semua orang merasa istimewa di hari ulang tahun mereka, dan ia juga senang jika diistimewakan di hari ulang tahunnya. Seandainya ibunya masih hidup, suami saya akan menerima email dari dia yang mengingatkannya tentang hari ulang tahunnya. Namun pagi itu, tidak ada email yang masuk.

Salah satu perjuangan terberat bagi suami saya adalah bahwa ibunya meninggal dengan cara yang tidak berperikemanusiaan dan begitu mendadak. “Ibumu berada di tempat yang lebih baik bersama Yesus,” demikian orang-orang membisikkan kepada dia, kata-kata yang tidak membawa kenyamanan, melainkan hanya kemarahan dan kebingungan. Namun mengapa? Kenapa hal ini terjadi? Mengapa seperti ini, tanpa penutup atau makna yang lebih besar?

Begitulah ekspresi iman suami saya: Dia bergumul, bukan hanya dengan kesedihan, tetapi juga dengan Tuhan. Dia tidak bisa melakukan saat teduh yang biasa dilakukan setiap hari. Yang bisa dia lakukan hanyalah menyalakan musik penyembahan serta mendengarkan kata-kata pujian dan sukacita yang ia sendiri belum punya kekuatan atau keinginan hati untuk menyanyikannya.

Beberapa bulan setelah ibunya meninggal, saya melihat iman suami saya berkembang. Imannya memang tidak bersemangat dan percaya diri seperti sebelumnya. Imannya kini lebih sederhana, lebih tenang, lebih rendah hati, tetapi dalam banyak hal, jauh lebih otentik. Saya melihat ekspresi iman yang serupa dalam kisah dari beberapa pengungsi. Seorang pengungsi mengatakan kepada saya bahwa dia dulunya berdoa dengan khusyuk agar Tuhan menghentikan perang itu. Dia sebelumnya percaya bahwa perang akan berhenti dalam satu atau dua minggu, tetapi ketika minggu-minggu berlalu menjadi bulan-bulan dan jumlah jenazah makin bertambah, doanya pun berubah. Doa dia kini menanggung luka yang jauh lebih menyakitkan, nada serta harapannya tidak sama lagi. Namun, dia masih berdoa. Seperti Daniell, seperti suami saya, dia berdoa, meskipun doanya pendek dan sederhana, karena Tuhan mendengarkan.

Hari terakhir saya di Polandia, saya mengunjungi sebuah gudang yang dikelola gereja di Warsawa yang mengirim pasokan bantuan ke zona-zona berbahaya di Ukraina. Hari itu adalah hari yang menegangkan. Rusia baru saja mengebom sebuah jembatan yang penting ke Chernihiv, menghalangi satu-satunya jalan menyeberangi sungai. Sementara itu, gereja tersebut mengirim delapan truk berisi pasokan bantuan, masing-masing penuh dengan persediaan darurat senilai sekitar $40.000, namun terhalang di satu sisi jembatan. Tim di gudang memutuskan untuk membuat rakit dari 50 barel yang cukup kokoh untuk membawa 160 pengungsi dan beberapa ton makanan melintasi sungai tersebut.

Para sukarelawan masih mendiskusikan hal ini ketika seorang misionaris Ukraina berambut putih sambil tersenyum menunjuk ke arah perut saya yang saat itu sedang hamil tujuh bulan: “Bayimu laki-laki atau perempuan?” Wajahnya berseri-seri, lalu bertanya lagi, “Bisakah kami berdoa untukmu dan bayi itu? Kami ingin sekali mendoakan. Sangatlah penting mendoakan untuk suatu kehidupan baru.”

Saya terkejut. Saya tidak menyangka sekelompok orang Ukraina yang sibuk, yang terkepung dengan berbagai tekanan dan urusan logistik perang, akan meluangkan sejenak hari mereka untuk berdoa bagi seorang asing dari Amerika. Misionaris itupun memanggil semua orang untuk segera berdiri dan mereka pun berkumpul, meletakkan tangan mereka di bahu saya, dan mulai bersatu berdoa dalam bahasa Ukraina, dengan suara yang keras dan telapak tangan yang terangkat serta dikepalkan sambil digerak-gerakkan. Saya tidak tahu apa yang mereka katakan, tetapi saya memahami hati mereka dan saya meresapi semuanya: kata-kata asing yang indah tentang iman, berkat, kasih dan sukacita atas kehidupan baru yang berbenturan dengan kehadiran akan kematian dan kesedihan.

Saya butuh mengumpulkan semua tekad untuk tidak meledak dalam tangisan. Saya tidak memiliki banyak ruang bagi mental dan emosional saya untuk berdiam dan berdoa. Saya tidak menyadari betapa saya sangat membutuhkan hal ini—ekspresi iman yang dinyatakan oleh orang lain atas diri saya, untuk saya, kepada saya.

Dalam penerbangan kembali ke Los Angeles, saya merasa seperti sebuah bendungan yang jebol. Saya telah pergi dengan hati yang kacau dan kembali dengan hati yang penuh. Apa yang saya saksikan adalah ekspresi iman yang beragam di dalam tubuh Kristus; masing-masing sangat kaya dan penuh kuasa serta hidup dengan caranya sendiri, tetapi terjalin bersama. Semua itu menggambarkan rupa Kristus dalam kemuliaan dan keindahan Dia yang sepenuhnya. Dan kini, setelah menyaksikan kemuliaan Tuhan, respons apa lagi yang bisa saya berikan selain berseru kepada-Nya?

Jadi saya melakukannya. Di tempat duduk, saya berdoa, “Ya Tuhan, Engkau baik.” Sebuah seruan, dan sebuah penyembahan. Lalu di dalam rahim, bayi saya pun menari. Dia bergoyang-goyang dan berputar ke sana ke mari—saya rasa, itulah ekspresi imannya sendiri.

Sophia Lee adalah staf penulis global di Christianity Today.

Diterjemahkan oleh Maria Fennita S.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Sang Raja Shalom

Renungan Adven, 5 Desember 2022.

Kumpulan Renungan Adven 2022

Kumpulan Renungan Adven 2022

Christianity Today December 5, 2022
Stephen Crotts

Minggu 2: Raja Damai


Di tengah penderitaan dan kekejaman dunia, kita berpegang teguh pada pengharapan ini: Suatu hari Yesus akan membawa kedamaian yang sejati dan sepenuhnya. Ia juga membawa kedamaian rohani bagi kita di sini dan sekarang ini, seiring kita mengalami penebusan dan hidup sesuai nilai-nilai kerajaan-Nya. Yesus adalah Raja Damai.

Baca Yesaya 35

Mata air memancar di padang gurun dan sungai di padang belantara. Yesaya 35:6

Kata Ibrani yang digunakan Yesaya untuk menggambarkan kedamaian yang akan dibawa oleh Pribadi yang Dijanjikan itu adalah shalom. Ini adalah sebuah kata indah yang menyatakan keutuhan, harmoni, dan kesehatan. Saat kita mungkin merasa puas dengan gencatan senjata yang mengkhawatirkan dan balutan plester luka sebagai perantara perdamaian, shalom mewakili sesuatu yang jauh lebih kokoh. Bukan hanya sekadar menghentikan konflik, shalom adalah transformasi terhadap kondisi yang sebelumnya bisa mengarah pada perang.

Ketika ada shalom, segala sesuatunya akan berfungsi sebagaimana maksud semula ketika diciptakan. Shalom menolak gagasan bahwa hidup adalah permainan kalah-menang dan berani membayangkan kesejahteraan menyeluruh dari setiap orang dan setiap hal, pada saat yang bersamaan. Teolog Darrell Johnson mengajarkan bahwa shalom menggambarkan “keutuhan psiko-somatis-relasional-ras-ekonomi-spiritual.” Dalam pasal 35, Yesaya menggambarkan keutuhan itu dalam bahasa puitis yang indah.

Mari kita mulai dengan keutuhan psikologis yang dapat diberikan Raja Shalom kepada kita. Menurut Yesaya, ada tawaran damai yang mengatakan, “Kuatkanlah hati, janganlah takut” kepada “orang-orang yang tawar hati” (Yes. 35:4) sampai “kegirangan dan sukacita” menguasai kita dan “kedukaan dan keluh kesah…menjauh” ( Yes. 35:10).

Lalu bagaimana dengan keutuhan somatis (atau secara tubuh)? Dalam gambaran yang jelas satu demi satu, Yesaya menggambarkan penyembuhan fisik: Orang buta dicelikkan, orang tuli mendengar, orang lumpuh “melompat seperti rusa” dan orang bisu “bersorak-sorai” (Yes. 35:5–6). Bahkan ciptaan itu sendiri disembuhkan, seperti “mata air memancar di padang gurun” (Yes. 35:6) dan “padang belantara akan bersorak-sorak dan berbunga” seperti bunga mawar yang berbunga lebat (Yes. 35:1-2).

Seiring Yesaya 35 mencapai puncaknya, kita ditawarkan suatu visi yang hidup tentang keutuhan relasional, ekonomi, dan spiritual dalam penggambaran umat tebusan yang berjalan dan bernyanyi bersama di jalan raya kekudusan. Yesaya memberitahu kita bahwa tidak ada singa di sana, dan kita dapat dengan aman berasumsi bahwa jalan itu bebas dari segala musuh pemangsa atau oportunis lainnya. Orang-orang pun memasuki Sion bersama-sama, di mana “sukacita abadi meliputi mereka” (Yes. 35:10).

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Yesaya memberitahu kita bahwa puncak Shalom inilah masa depan kita. Namun ada yang lebih dari itu. Penulis Jonathan Martin menyarankan dalam Prototype bahwa, karena Sang Raja Damai memberi kita Roh-Nya, maka kita dipanggil untuk menjadi “orang-orang dari masa depan”—orang-orang yang mempraktikkan shalom di sini dan sekarang.

Adven ini, ketika Anda menghadapi situasi di mana kedamaian sangat dibutuhkan, bertanyalah kepada Tuhan: Tindakan atau sikap apa yang paling dapat menggerakkan situasi ini menuju kemajuan yang menyeluruh bagi setiap orang dan semua yang terlibat? Anda mungkin mendapati bahwa Sang Raja Shalom membuat Anda menjadi sungai di padang gurun dan memenuhi Anda dengan kegirangan dan sukacita.

Renungkan Yesaya 35.


Kata atau frasa apa yang akan Anda gunakan untuk menggambarkan kedamaian yang dibayangkan di sini? Bagaimana hal itu berbicara tentang harapan masa depan kita? Bagaimana hal itu berbicara tentang karya dari Sang Raja Damai dalam kehidupan kita hari ini?

Carolyn Arends adalah artis, penulis, dan direktur pendidikan untuk Renovaré. Album terbarunya adalah In the Morning.

Diterjemahkan oleh Mellie Cynthia.

Sebuah Visi Perdamaian

Renungan Adven, 4 Desember 2022.

Kumpulan Renungan Adven 2022

Kumpulan Renungan Adven 2022

Christianity Today December 4, 2022
Stephen Crotts

Minggu 2: Raja Damai


Di tengah penderitaan dan kekejaman dunia, kita berpegang teguh pada pengharapan ini: Suatu hari Yesus akan membawa kedamaian yang sejati dan sepenuhnya. Ia juga membawa kedamaian rohani bagi kita di sini dan sekarang ini, seiring kita mengalami penebusan dan hidup sesuai nilai-nilai kerajaan-Nya. Yesus adalah Raja Damai.

Baca Yesaya 2:1–5 dan 9:5-6

Bangsa tidak akan mengangkat pedang terhadap bangsa, dan mereka juga tidak akan lagi belajar perang. Yesaya 2:4

Mungkin bukti terbesar bahwa Dia yang Dijanjikan itu adalah Allah yang Perkasa yaitu: Dia adalah Pribadi-satu-satunya—yang memiliki kekuatan yang cukup besar untuk membawa kedamaian abadi. Ia bukan hanya membawa kedamaian, Ia adalah damai itu sendiri. Sang Raja Damai.

Kita, tentu saja, terbiasa dengan dunia di mana perdamaian sangat sulit dipahami. Pada tahun 2003, jurnalis Chris Hedges mencari tahu tentang apakah ada masa kedamaian yang berkelanjutan dalam catatan sejarah manusia. Dengan mendefinisikan perang sebagai “konflik aktif yang telah merenggut lebih dari 1.000 nyawa,” ia meneliti 3.400 tahun sejarah dan menemukan hanya 268 tahun dunia bebas perang. Dengan kata lain, sekitar 92 persen catatan sejarah ditandai dengan konflik yang aktif.

Tentu saja, orang-orang Israel kuno tidak membutuhkan seorang jurnalis untuk memberi tahu mereka bahwa keberadaan manusia dirundung perang dan rumor tentang perang. Mereka memiliki banyak pengalaman langsung yang menimbulkan trauma dengan konflik, kekerasan, dan penindasan. Apa yang sungguh-sungguh mereka butuhkan adalah seorang nabi yang dapat memberi mereka suatu visi perdamaian yang cukup jelas untuk menangkal gambaran-gambaran mengerikan yang sudah tertanam dalam ingatan mereka.

Visi seperti demikianlah yang disampaikan Yesaya kepada mereka—dan kita. Perhatikan gambaran-gambaran dalam pasal kedua kitab Yesaya. Segala bangsa datang berbondong-bondong ke gunung Allah. Di situlah mereka menemukan bahwa dikotomi yang seharusnya antara perdamaian dan keadilan telah salah selama ini. Tuhan membawa damai melalui keadilan. Ia mengadili di antara bangsa-bangsa dan membereskan perselisihan, menyelesaikan tidak hanya perang tetapi juga penyebab yang mendasarinya.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Kemudian perhatikanlah apa yang terjadi ketika manusia mendapati diri mereka di hadapan Sang Raja Damai: Pedang dan tombak yang mereka bawa ke gunung—senjata yang sekian lama dianggap penting untuk kelangsungan hidup mereka—seketika tampak tidak pada tempatnya. Orang-orang menurunkan tangan mereka. Namun Sang Raja Damai memiliki sesuatu yang jauh lebih indah dalam pikiran-Nya. Segera, orang-orang bekerja sama untuk mengubah senjata mereka menjadi alat berkebun. Kecerdasan manusia ditebus dan dialihkan dari tujuan yang merusak menjadi tujuan yang kreatif.

Yesaya tidaklah naif. Dia telah melihat kebrutalan yang dapat dan memang mencirikan kondisi manusia. Akan tetapi dia juga melihat sekilas masa depan yang menghijau, penuh kehidupan, dan damai, yang telah dirancang oleh Sang Raja Damai bagi ciptaan-Nya. Ini adalah jenis penglihatan yang memberikan pengharapan bagi sang nabi yang lelah—suatu visi tentang Raja seperti apa yang nanti akan membuat para malaikat berseru, “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya” (Luk. 2:14).

Renungkan Yesaya 2:1–5 dan 9:5-6.


Apa yang paling mengejutkan Anda tentang visi perdamaian Yesaya? Bagaimana pengharapan ini berbicara kepada dunia kita saat ini? Berdoalah, ungkapkanlah pujian kepada Sang Raja Damai yang dijanjikan itu.

Carolyn Arends adalah artis, penulis, dan direktur pendidikan untuk Renovaré. Album terbarunya adalah In the Morning.

Diterjemahkan oleh Budi M. Winata

Harapan yang Terbesar dari Segalanya

Renungan Adven, 3 Desember 2022.

Christianity Today December 3, 2022
Stephen Crotts

Minggu 1: Allah yang Perkasa


Bayi yang dibungkus dengan kain lampin dan terbaring di palungan adalah Sang Pencipta yang mulia dan Pemelihara segala sesuatu. Kita mendengar tentang kuasa dan keperkasaan-Nya dalam ajaran Yohanes Pembaptis. Kita menantikan kedatangan-Nya kembali seperti yang dijanjikan dan puncak pemerintahan-Nya. Yesus adalah Allah yang Perkasa.

Baca Wahyu 21:1–6 dan 21:22–22:5

Bayangkan seorang anak laki-laki sedang diganggu di taman bermain. Anak-anak mengelilinginya, mengejeknya, mendorongnya ke tanah. Ia menahan air mata, tetapi hanya itu yang bisa ia tahan; tidak ada cara untuk menghentikan teror dan siksaan tersebut.

Kemudian, entah dari mana, sebuah mobil berhenti. Itu adalah ayah dari anak tersebut. “Masuk ke mobil, Nak,” teriak sang ayah. Dengan berusaha berguling keluar dari cengkeraman anak-anak lain, anak laki-laki itu bergegas berdiri dan melompat masuk ke mobil. Mereka pun segera pergi. Saat anak laki-laki itu melihat sekilas ke luar jendela, dia yakin para perundung itu sedang tertawa. Anak laki-laki itu aman, tetapi tidak mungkin untuk menganggap hal itu sebagai sebuah kemenangan. Evakuasi bukanlah kemenangan.

Akhir dari Kitab Wahyu—akhir dari Alkitab itu sendiri—menunjukkan kepada kita suatu gambaran, bukan tentang evakuasi atau pelarian kita, melainkan tentang kedatangan Tuhan. Yesus mengalahkan dosa dan maut di kayu salib. Dalam Injil Yohanes, di kayu salib Yesus berkata, “Sudah selesai” (19:30). Dalam wahyu Yohanes ini, Pribadi yang duduk di atas takhta itu berkata, “Semuanya telah terjadi.” Pernyataan pertama adalah pengumuman tentang penyelesaian; pernyataan yang kedua adalah proklamasi tentang hal-hal yang terjadi. Kemenangan Yesus di kayu salib dimanifestasikan dalam kebangkitan-Nya, tetapi kemenangan itu akan mencapai kepenuhannya pada saat kedatangan-Nya kembali. Kita tahu bahwa masa Adven adalah masa penantian di antara dua kedatangan. Namun sebenarnya, Adven juga merupakan suatu penantian di antara dua kemenangan. Yesus yang Perkasa itu telah menang, dan Yesus yang Perkasa itu akan datang kembali.

Dan ketika Ia datang, Ia datang untuk berdiam. Visi tentang akhir zaman yang dinyatakan kitab Wahyu adalah Tuhan membuat langit dan bumi baru, dengan menyatukan langit baru dan bumi baru, dan memenuhinya dengan kehadiran dan cahaya-Nya. Ini adalah kemenangan yang terjadi dengan menguasai—hanya dalam kasus ini, menguasai adalah kabar baik, kabar terbaik yang bisa diterima dunia! Sang Pencipta telah menebus ciptaan-Nya dan telah datang memenuhinya dengan kemuliaan-Nya. Kisah yang dimulai di kitab Kejadian telah disempurnakan dan diselesaikan.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Kembali ke taman bermain. Dengan kreatif, bayangkanlah skenario yang benar-benar berbeda: Alih-alih sang ayah berteriak agar anaknya masuk ke mobil dan mereka bisa cepat-cepat pergi, bayangkan sang ayah memarkir mobil, keluar, dan berjalan perlahan. Otoritas dari kehadirannya sendiri akan mengusir para perundung itu. Lalu ia memeluk putranya. Dia pun memanggil anak-anak lain yang bersembunyi, yang terluka, untuk keluar. Ia memutuskan untuk menetap dan membuat ulang taman bermain itu sepenuhnya, sekarang dengan peralatan yang lebih baik dan kesenangan yang lebih ceria. Makanan dan minuman pun tersedia. Kemudian ada musik. Dan es krim. Penuh dengan tawa. Entah bagaimana tempat penderitaan itu telah menjadi tempat penuh sukacita.

Lalu aku mendengar suara yang nyaring dari takhta itu berkata, “Lihatlah, kemah Allah ada di tengah-tengah manusia dan Ia akan diam bersama-sama dengan mereka. Mereka akan menjadi umat-Nya, dan Ia akan menjadi Allah mereka.” WAHYU 21:3

Glenn Packiam adalah pendeta utama Rockharbor Church di Costa Mesa, California. Dia adalah penulis The Resilient Pastor dan rekan penulis The Intentional Year.

Renungkan Wahyu 21:1–6 dan 21:22–22:5.


Apa yang menarik bagi Anda dalam deskripsi tentang pemerintahan tertinggi dari Yang Mahakuasa ini? Ada harapan dan penghiburan apa yang dinyatakan dari hal tersebut? Apa yang Anda inginkan untuk meresponi Yesus?

Diterjemahkan oleh Maria Fennita S.

Hakim Yang Setia & Benar

Renungan Adven, 2 Desember 2022.

Christianity Today December 2, 2022
Stephen Crotts

Minggu 1: Allah yang Perkasa


Bayi yang dibungkus dengan kain lampin dan terbaring di palungan adalah Sang Pencipta yang mulia dan Pemelihara segala sesuatu. Kita mendengar tentang kuasa dan keperkasaan-Nya dalam ajaran Yohanes Pembaptis. Kita menantikan kedatangan-Nya kembali seperti yang dijanjikan dan puncak pemerintahan-Nya. Yesus adalah Allah yang Perkasa.

Baca Wahyu 19:4–21

Lalu aku melihat sorga terbuka: sesungguhnya, ada seekor kuda putih; dan Ia yang menungganginya bernama: "Yang Setia dan Yang Benar", Ia menghakimi dan berperang dengan adil. WAHYU 19:11

Mahasiswa pascasarjana yang sedang berdialog dengan saya terbebani dengan pertanyaan yang diajukan oleh teman-teman agnostiknya tentang neraka dan penghakiman Tuhan. Dia merasa sulit untuk mencocokkan Tuhan yang penuh kasih dan pesan pengampunan-Nya dengan pemahaman tentang siksaan api neraka. Saat kami berbicara, saya menjelaskan bahwa ada banyak pandangan Kristen ortodoks tentang seperti apa penghakiman terakhir itu, tetapi hal utama yang perlu dilakukan oleh orang Kristen adalah memercayai Yesus sebagai Hakim. Dia pun tampak lega.

Apa pun alasannya—kita mungkin menyalahkan Dante atau agama rakyat atau takhayul abad pertengahan—kita sering kali membayangkan penghakiman Tuhan itu dingin dan tidak personal, seperti suatu eksekusi massal atau bom yang diledakkan dari kejauhan. Akan tetapi kitab Wahyu dengan sengaja menunjukkan kepada kita bahwa Yesus terlibat dalam penghakiman terhadap bangsa-bangsa. Saya pikir ada dua alasan untuk hal ini.

Pertama, keadilan dan penghakiman adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Untuk menegakkan keadilan, seseorang harus melakukan penghakiman. Jika kita ingin Yesus, Allah yang Perkasa, meluruskan dunia, Ia harus menghadapi ketidakadilan dan kejahatan bersama-sama. Di sinilah keadilan dan penghakiman dari Yesus digambarkan dengan jelas, yang akan sangat memengaruhi pikiran abad pertama: seorang pejuang berkuda dengan pedang. Namun di sini kita harus berhati-hati dengan asumsi kita.

Yang membawa kita pada alasan kedua mengapa Yesus ditampilkan sebagai Dia yang melakukan keadilan dan penghakiman: Yesus yang akan datang kembali adalah sama dengan Yesus yang dahulu datang. Tidak ada perubahan identitas antara dua kedatangan-Nya. “Yesus Kristus tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai selama-lamanya” (Ibr. 13:8); keyakinan ini membantu kita memikirkan bagaimana Yesus menegakkan keadilan sekaligus melaksanakan penghakiman. Pada kayu salib, Yesus mati dalam solidaritas dengan orang berdosa dan mereka yang menderita. Dia menanggung beban penghakiman Allah atas kejahatan.

Jika kita bertanya bagaimana Yesus menanggapi ketidakadilan dan kejahatan, jawabannya adalah Dia mencurahkan darah. Penghakiman ditimpakan kepada-Nya sehingga keadilan—yang bersalah menjadi dibenarkan—dapat dialami semua orang. Ketika kita melihat Yesus datang seperti seorang pejuang yang jubahnya dicelupkan dalam darah, darah itu bisa jadi adalah darah-Nya sendiri. Lagipula, inilah raja yang tidak seperti raja manapun. Yesus mewujudkan keperkasaan dan kuasa-Nya dengan cara yang belum pernah kita ketahui sebelumnya.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Namun perikop ini bukannya tanpa peringatan. Ada orang-orang yang menentang Raja ini, yang bersikeras dengan cara mereka sendiri, aturan mereka sendiri, kerajaan mereka sendiri. Bagi mereka, hidup akan menemui akhirnya. Gambar-gambar mengerikan tentang diganyang menggambarkan pembinasaan dari kehidupan.

Raja segala raja membawa kehidupan melalui kematian-Nya. Akan tetapi jika Anda menentang diri-Nya dan bersikeras melindungi dirimu sendiri, alih-alih hidup, Anda akan beroleh kematian.

Penghakiman dan keadilan saling memiliki. Dan yang akan melaksanakan keduanya adalah Yang Setia dan Yang Benar. Akankah kita memercayai-Nya dengan menegakkan keadilan dan melaksanakan penghakiman?

Glenn Packiam adalah pendeta utama Rockharbor Church di Costa Mesa, California. Dia adalah penulis The Resilient Pastor dan rekan penulis The Intentional Year.

Pikirkanlah Wahyu 19:4–21.


Bagaimana pengetahuan Anda tentang Yesus dan kedatangan-Nya yang pertama dapat membantu Anda memahami tentang kedatangan-Nya yang kedua? Tentang keadilan dan penghakiman dari Sang Raja segala Raja?

Diterjemahkan oleh Fanni Leets.

Kanada Melakukan Eutanasia terhadap 10.000 Orang pada 2021. Apakah Kematian Telah Kehilangan Sengatnya?

Inilah yang saya pelajari sebagai seorang dokter Kristen yang diminta untuk melaksanakan kematian dengan bantuan dokter.

Christianity Today December 2, 2022
Ilustrasi oleh Hokyoung Kim

Ketika staf rumah sakit memanggil saya untuk mengunjungi pasien, saya dapat melihat penderitaannya sangat berat. Dia gelisah dan terengah-engah, goresan wajahnya dipenuhi dengan ketidaknyamanan dan frustrasi. “Saya tidak tahan lagi,” teriaknya.

Dia telah menderita selama bertahun-tahun dengan penyakit kronis dan telah dirawat di unit perawatan intensif dengan komplikasi akut. Dia lemah dan kelelahan, serta kesedihan dan frustrasinya memuncak. “Saya hanya ingin mati,” dia menangis.

Teman dia berdiri di sebelah saya di samping tempat tidurnya, dan orang itu jelas kesal dengan kesusahannya. “Ajukan MAID saja,” kata teman itu kepadanya, menggunakan akronim populer untuk medical assistance in dying (bantuan medis untuk kematian), yang sering disebut juga sebagai kematian dengan bantuan dokter. “Dengan begitu kamu bisa mengakhiri semuanya sekarang.”

Saya terkejut dengan pernyataannya. Meskipun kematian dengan bantuan dokter tersedia di Kanada, tempat saya tinggal, saya tidak menyangka percakapan itu akan mengarah ke sana. Namun saya melihat bahwa dia merasa putus asa dan tidak berdaya saat melihat kesengsaraan temannya.

Setelah melakukan pendekatan yang lemah lembut, kami segera menyadari bahwa pasien ini tidak benar-benar ingin mati; sebaliknya, dia membutuhkan kelegaan dari rasa sakit dan kecemasannya, serta untuk memahami penyakit akutnya dan apa artinya bagi masa depan dia. Dia masih menginginkan waktu bersama orang yang dicintainya. Kami bekerja untuk mengatasi gejala dan kekhawatirannya, dan tak lama kemudian dia merasa lebih tenang dan nyaman. Menyaksikan dia beristirahat dan bercakap-cakap dengan keluarganya membuat saya sulit mempercayai bahwa dia adalah orang yang sama yang hanya beberapa jam sebelumnya berteriak untuk mengakhiri hidupnya.

Yang lebih sulit lagi untuk dipercaya adalah bahwa kemampuan untuk mengakhiri hidup seseorang dalam waktu singkat adalah pilihan yang semakin dapat diterima oleh pasien-pasien di Kanada—dengan implikasi yang akan bergema di seluruh dunia.

Ketika saya masih muda, saya bermimpi menjadi seorang dokter. Profesi kedokteran tampaknya merupakan panggilan yang mulia, sekaligus memerlukan pemahaman intelektual yang serius dan sangat humanistis. Saya mengabdikan diri pada perjalanan panjang yang diperlukan untuk menjadi seorang dokter yang benar-benar memenuhi kualifikasi.

Pada masa-masa awal kuliah, idealisme saya tentang kemampuan ilmu kedokteran dalam menghargai penderitaan sesama manusia menghalangi saya untuk mengerti kerentanannya terhadap perubahan budaya dan sosial yang lebih luas—atau untuk menghargai cara-cara di mana dalam sepanjang sejarah, ilmu kedokteran lebih berfungsi untuk melemahkan daripada melindungi harga diri manusia.

Pada tahun 2014, tidak lama setelah saya menyelesaikan pelatihan saya sebagai dokter spesialis dalam pengobatan perawatan intensif, percakapan-percakapan serius dimulai dalam bidang medis Kanada dan budaya yang lebih luas tentang kemungkinan melegalkan kematian dengan bantuan dokter.

Sebuah kasus hukum tingkat tinggi yang melibatkan dua wanita dengan penyakit degeneratif yang berusaha untuk mengakhiri hidup mereka, telah mengumpulkan gelombang dukungan publik untuk praktik tersebut. Kematian semakin dianggap sebagai tindakan belas kasih daripada ancaman eksistensial. Banyak dari rekan saya yang sesama dokter bergabung untuk mengadvokasi konsensus moral yang berubah ini. Menurut mereka, masyarakat menginginkan pilihan kematian dengan bantuan dokter, sehingga para tenaga profesional medis memiliki tanggung jawab untuk menyediakannya sebagai tanda belas kasih dan hormat terhadap pasien.

Saya ingat dengan jelas hari ketika saya sadar bahwa kami yang menolak untuk berpartisipasi dalam kematian yang dibantu ini akan dianggap sebagai dokter dengan etika yang dipertanyakan. Kami dapat dianggap lebih peduli pada moral pribadi kami sendiri daripada kesejahteraan pasien. Dulu menyebabkan kematian adalah sebuah kejahatan, namun tak lama lagi hal itu justru akan menjadi kebajikan.

Dengan mengatasnamakan “kemajuan” moral, profesi dokter menjadi punya peran baru dan mengambil sebuah kekuatan baru pada profesi itu sendiri: kekuatan tidak hanya untuk menyelamatkan nyawa melainkan juga untuk mengambilnya. Dasar pijakannya sekarang telah bergeser. Apa artinya ini bagi mereka yang menolak untuk ikut bergeser?

Sue Rodriguez adalah seorang wanita berusia 42 tahun dari British Columbia dengan penyakit yang menakutkan: amyotrophic lateral sclerosis (ALS, juga dikenal sebagai penyakit Lou Gehrig). Diperhadapkan dengan kecacatan progresif, pada tahun 1993 dia mengajukan banding ke Mahkamah Agung Kanada untuk membatalkan larangan KUHP tentang bunuh diri dengan bantuan sehingga dia bisa melakukan cara tersebut pada dirinya sendiri. Pengadilan menolak bandingnya dan menegakkan larangan tersebut, dengan menyatakan bahwa “kebijakan negara ini adalah bagian dari pemahaman fundamental kami tentang kekudusan hidup.” Pengadilan juga menyatakan “kekhawatiran akan penyalahgunaan cara tersebut, dan kesulitan besar dalam menciptakan aturan yang tepat.”

Dua puluh tahun kemudian, kasus yang sangat mirip dibawa ke pengadilan. Kali ini, semuanya berbeda. Bertahun-tahun mengamati kebijakan pemerintah liberal terkait bunuh diri dengan bantuan di Belgia dan Belanda tampaknya menunjukkan bahwa peraturan yang ada dapat melindungi mereka yang rentan agar tidak di-eutanasia di luar kehendak mereka.

Nilai-nilai sosial Kanada telah bergeser juga, menurut ahli bioetika terkemuka di Kanada. Sebuah laporan terkemuka yang disiapkan oleh para anggota Royal Society of Canada pada tahun 2011 mengklaim bahwa “upaya-upaya untuk menghubungkan seruan tentang martabat dan kekudusan hidup manusia telah banyak dikritik oleh para filsuf” dan bahwa “nilai otonomi individu atau penentuan nasib sendiri … harus dipandang sebagai yang terpenting” di antara “nilai-nilai yang menjadi konsensus masyarakat [Kanada] yang luas.”

Laporan tersebut menyimpulkan bahwa ada hak

moral, yang didasarkan pada otonomi, bagi individu yang kompeten dan berpengetahuan luas, yang telah memutuskan setelah mempertimbangkan dengan cermat fakta-fakta yang relevan, bahwa kelangsungan hidup mereka tidak layak untuk dijalani, untuk tidak campur tangan dengan permintaan bantuan untuk bunuh diri atau eutanasia secara sukarela.

Pengesahan secara hukum segera menyusul pengesahan moral dalam waktu singkat. Gloria Taylor, yang juga menderita ALS, membawa kasusnya ke Mahkamah Agung Kanada. Dia mencari kemungkinan kematian dengan bantuan dan mengatakan, “Saya hidup dalam ketakutan bahwa kematian saya akan lambat, sulit, tidak menyenangkan, menyakitkan, tidak bermartabat dan tidak konsisten dengan nilai-nilai serta prinsip-prinsip yang telah saya coba jalani.”

Saksi-saksi lain dalam proses pengadilan bersaksi bahwa “mereka menderita karena mengetahui bahwa mereka tidak memiliki kemampuan untuk mengakhiri hidup mereka secara damai pada waktu dan dengan cara yang mereka pilih sendiri.”

Dalam keputusan penting yang dikeluarkan pada tahun 2015, Mahkamah Agung menyatakan bahwa larangan pidana bunuh diri dengan bantuan dokter dan eutanasia telah melanggar Piagam Hak dan Kebebasan Kanada, khususnya hak untuk kehidupan, kebebasan, dan keamanan seseorang.

Mendasarkan kebebasan untuk dibunuh dalam hak untuk hidup mungkin tampak berlawanan secara intuisi, tetapi pengadilan beralasan bahwa larangan pidana atas kematian dengan bantuan dokter dapat memaksa “beberapa individu untuk mengakhiri hidup mereka sendiri sebelum waktunya, karena takut bahwa mereka tidak akan mampu melakukannya ketika mereka mencapai titik di mana penderitaan tidak dapat ditoleransi lagi.” Selain itu, pengadilan menganggap larangan kematian dengan bantuan dokter sebagai campur tangan dalam keputusan individu terkait integritas tubuh dan perawatan medis— yaitu hak individu atas kebebasan dan keamanan.

Satu tahun kemudian, pemerintah Kanada mengikuti instruksi pengadilan dan mengesahkan kematian dengan bantuan medis. Awalnya undang-undang tersebut menetapkan bahwa bunuh diri dengan bantuan dibatasi untuk mereka dengan “penderitaan yang pedih dan tidak dapat diperbaiki” yang “kematiannya dapat diperkirakan.” Namun, seiring dengan meningkatnya frekuensi bunuh diri dan penerimaan sosial, pembatasan yang dimaksudkan untuk melindungi populasi yang rentan telah dihilangkan secara bertahap.

Pada tahun 2021, persyaratan “kematian yang dapat diperkirakan sebelumnya” telah dihapus, dan jika tidak, orang sehat dengan cacat fisik memenuhi syarat untuk bunuh diri dengan bantuan. Dalam pembahasan parlemen tentang perubahan undang-undang itu, saya bersaksi di depan Senat Kanada bersama dua wanita dengan cacat fisik yang terlihat jelas dan parah. Mereka dengan fasih berbagi tentang dampak buruk perubahan hukum terhadap komunitas disabilitas di Kanada.

Bagi saya sungguh sangat memilukan bahwa Kanada akan menyatakan mereka memenuhi syarat untuk mengakhiri hidupnya, sementara seseorang seperti saya tanpa cacat fisik yang dapat dikenali dilarang untuk kematian dengan bantuan medis. Apa yang dikatakan dalam hal ini tentang penilaian masyarakat kita terhadap komunitas disabilitas?

Dalam lima tahun terakhir, jumlah pasien yang meninggal dengan bantuan dokter di Kanada telah meningkat sepuluh kali lipat, dari sekitar 1.000 pada tahun 2016 menjadi lebih dari 10.000 pada tahun 2021— 3,3 persen dari semua kematian di Kanada tahun itu, menurut laporan resmi pemerintah .

Data yang ada telah menunjukkan bahwa pasien tidak didorong melawan keinginan mereka ke dalam kematian dengan bantuan dokter, namun “budaya kematian” (istilah yang awalnya saya tolak sebagai hal provokatif yang tidak perlu) telah bertahan dengan cara yang berbahaya dan mengejutkan. Kematian dengan bantuan tidak lagi dilihat sebagai pilihan terakhir yang putus asa melainkan lebih sebagai salah satu “pilihan terapeutik” di antara banyak pilihan, suatu sarana yang masuk akal dan efektif untuk menyelesaikan penderitaan secara definitif, yang ditawarkan tidak hanya kepada orang yang sekarat tetapi juga kepada mereka yang hidupnya tidak dianggap berharga.

Beberapa pasien dengan cacat atau sakit mental dilaporkan bahwa kematian dengan bantuan telah diajukan kepada mereka tanpa permintaan mereka sendiri. Para pasien telah mencari dan memperoleh eutanasia karena mereka tidak bisa mendapatkan perumahan yang terjangkau. Bahkan ada laporan bahwa pasien telah menerima kematian dengan bantuan dokter berdasarkan kesalahan diagnosis, yang ditemukan saat otopsi. Tahun depan, Kanada akan memperluas undang-undang untuk mengizinkan pasien mendapatkan eutanasia karena alasan penyakit mental. Beberapa bahkan mendorong untuk mengizinkannya dalam kasus-kasus tertentu untuk anak-anak dan remaja.

Ketika kematian dianggap sebagai bentuk perawatan kesehatan, “para penyedia” perawatan kesehatan diharapkan untuk menawarkannya.

Logika kematian dengan bantuan telah terbukti tak terhindarkan: Jika kematian adalah terapi yang menangani luka psikologis penderitaan dan perasaan bahwa hidup tidak ada gunanya, lalu siapa yang seharusnya tidak dianggap memenuhi syarat?

Jelas evolusi moral ini telah memberikan tekanan besar kepada para dokter yang menolak untuk berpartisipasi dalam kematian dengan bantuan. Tekanan pada para profesional medis bukanlah untuk melakukan tindakan mengakhiri hidup melainkan untuk dengan sengaja merujuk pasien kepada seseorang yang mau melakukannya. Akan tetapi rujukan bukanlah hal yang sepele; kita patut dipersalahkan jika kita dengan sengaja mengirim pasien-pasien kita kepada dokter yang akan merawat mereka dengan cara yang dianggap tidak etis.

Dokter Austria terkenal, Hans Asperger, baru-baru ini dipandang tidak terhormat karena keterlibatannya dalam eutanasia anak-anak selama masa pendudukan Nazi di Austria. Meskipun dia tidak secara langsung membunuh mereka, dia merujuk anak-anak dengan disabilitas intelektual ke klinik Third Reich yang melakukan dan terlibat dalam kematian mereka.

Sejumlah dokter Kanada telah bermitra dengan rekan-rekan di seluruh dunia untuk mengadvokasi kebebasan hati nurani dalam praktik kedokteran, tetapi tekanannya sangat besar. Beberapa yurisdiksi di Kanada menjadi yang pertama di dunia yang memerlukan rujukan efektif dengan ancaman tindakan disipliner potensial, dan California akan segera bergabung dengan mereka. Ketika kematian dianggap sebagai bentuk perawatan kesehatan, “para penyedia” perawatan kesehatan diharapkan untuk menawarkannya.

Bantuan medis dalam kematian telah diakui secara legal di sepuluh negara bagian AS dan Distrik Columbia, di mana ribuan orang secara sah telah diberi resep obat yang mengakhiri hidup dalam satu setengah dekade terakhir. Hal ini juga diterapkan di tujuh negara lain.

Orang-orang Kristen harus memberikan perhatian khusus pada evolusi penerimaan etika dan budaya di Kanada, karena Amerika Serikat mungkin tidak jauh di belakang. California, di mana eutanasia telah legal selama enam tahun, secara signifikan melonggarkan pembatasan kematian dengan bantuan pada Januari lalu.

Kisah tentang bagaimana eutanasia muncul di Kanada jauh lebih dalam daripada pertimbangan akademisi atau intrik pengadilan. Ini merupakan kisah tentang kemenangan estetika atas etika.

Kasus kematian dengan bantuan tidak didasarkan pada pertimbangan moral yang rasional, tetapi lebih pada permintaan untuk mengambil kendali atas kematian. Alasdair MacIntyre mengamati bahwa emotivisme sekarang menjadi paradigma moral yang dominan. Bagi para emotivis, sesuatu itu baik hanya karena rasanya enak. Dan tentang kematian dengan bantuan, beberapa penganut emotivisme berpendapat, bahwa hal itu terasa benar.

Ini juga merupakan kisah tentang bagaimana sekularisme dapat berfungsi dengan cara yang sangat religius. Ada masa ketika rasa takut akan kematian mencegah kita memakai kematian untuk melarikan diri dari penderitaan duniawi. Merenungkan tentang bunuh diri, tokoh Hamlet dalam drama karya Shakespeare dibujuk oleh “ketakutan akan sesuatu setelah kematian / Negeri yang belum ditemukan, dari mana asalnya / Tidak ada pelancong yang kembali.” Hati nurani, ia menyimpulkan, “membuat kita semua menjadi pengecut.”

Jika penderitaan menjadi tidak masuk akal, maka menjadi tampak natural, bahkan rasional, untuk memilih kematian.

Akan tetapi jika Tuhan sudah mati, hati nurani tidak lagi membutuhkan kehati-hatian. Kita berasumsi kita tahu apa yang dibawa kematian. Salah satu penyedia layanan Kanada, terdengar lebih seperti seorang pendeta daripada seorang dokter, dengan percaya diri menggambarkan kematian dengan bantuan sebagai “transisi damai ke alam baka,” suatu klaim yang tidak pernah dapat dites dalam uji klinis.

(Ini tidak menghalangi teknik-teknik yang “inovatif”: Tahun lalu, seorang aktivis eutanasia Swiss mengumumkan rencana untuk menguji sebuah “pod untuk bunuh diri" 3 dimensi untuk pengalaman bunuh diri yang “bergaya dan elegan”). Praktik ini mengungkapkan keyakinan buta pada konsep realitas yang tidak bertuhan tetapi tidak kalah religius.

Dan yang terpenting, ini adalah kisah tentang individu-individu yang berjuang untuk menemukan makna dalam hidup dan tujuan dalam penderitaan. Mengutip Friedrich Nietzsche, psikiater Yahudi dan penyintas tragedi Auschwitz, Viktor Frankl, mengamati, ”Dia yang memiliki alasan untuk hidup dapat menanggung hampir semua hal yang terjadi.” Sebagai individu yang “bebas,” kita bersikeras untuk menemukan makna personal kita, namun makna yang diciptakan seperti itu terbukti hampa ketika kita diperhadapkan pada penderitaan yang tidak dapat diperbaiki.

Bagaimana mungkin penderitaan bisa menjadi bermakna? Apa yang membuat hidup dalam penderitaan menjadi berharga? Jika penderitaan menjadi tidak masuk akal, maka menjadi tampak natural, bahkan rasional, untuk memilih kematian. Seperti yang dikatakan oleh penulis dan dramawan Prancis, Albert Camus, “Mati secara sukarela menyiratkan bahwa Anda telah mengenali, bahkan secara naluriah … betapa tidak bergunanya penderitaan.”

Lalu bagaimana kita sebagai orang Kristen dapat menanggapi masalah kematian dengan bantuan dokter? Pertama, kita dapat meminta akal dan cahaya alam untuk menegaskan secara mutlak nilai dari kehidupan. Kematian dan bunuh diri dengan bantuan dikatakan sebagai masalah kehormatan.

Akan tetapi menghargai seseorang berarti menghargai keberadaan mereka. Karena itu, kesediaan untuk dengan sengaja mengakhiri eksistensi seseorang tentu saja merendahkan orang tersebut. Jika orang-orang adalah penting, kita tidak boleh dengan sengaja mengakhiri hidup mereka.

Kedua, gereja kita bisa menjadi komunitas di mana kematian dengan bantuan menjadi hal yang tidak dapat dibayangkan karena mereka yang lemah, yang lanjut usia, yang cacat, dan yang sekarat dianggap sebagai anggota komunitas yang sangat berharga. Kita bisa menjadi tempat di mana mereka yang menderita bisa menikmati persahabatan, kasih sayang, dan dukungan yang setia, yang mengingatkan mereka akan keberhargaan mereka dan menopang mereka dalam menghadapi penderitaan. Bagaimanapun juga, inilah yang kita semua rindukan.

Ketiga, kita dapat mengadvokasi akses ke perawatan medis dan paliatif terbaik bagi mereka yang menderita atau sekarat. Gerakan perawatan paliatif dimulai oleh seorang dokter Kristen, Dame Cicely Saunders, dan telah mengubah perawatan medis di akhir kehidupan. Namun akses ke perawatan paliatif yang baik di AS, Kanada, dan seluruh dunia masih sangat terbatas.

Kita juga dapat mengadvokasi hak kebebasan hati nurani bagi dokter dan perawat yang merawat orang sakit dan sekarat, sehingga mereka tidak dipaksa untuk berpartisipasi dalam kematian dengan bantuan.

Akhirnya, pesan salib Kristus yang kita bawa bagi dunia akan menguatkan iman, pengharapan, dan kasih dalam menghadapi penderitaan dan kematian. Kita memiliki iman dalam tujuan Tuhan untuk kebaikan tertinggi, kita memiliki pengharapan pada kuasa Tuhan untuk menebus, dan kita memiliki kasih Tuhan yang dicurahkan ke dalam hati kita.

Penderitaan tidak dapat merampas makna sejati kita—untuk mengenal dan bersekutu dengan Dia yang telah memberikan diri-Nya bagi kita. Sungguh, dengan kasih karunia Allah, penderitaan akan memperdalam persekutuan kita dengan Allah. Untuk pergi dan berada bersama Kristus memang jauh lebih baik, tetapi dengan kesabaran dan iman, kita akan menunggu panggilan Sang Tuan kita.

Ewan C. Goligher adalah asisten profesor kedokteran dan fisiologi di University of Toronto. Jika Anda atau seseorang yang Anda kenal membutuhkan bantuan, hubungi Suicide & Crisis Lifeline di 988 atau SMS konselor krisis di Crisis Text Line di 741741. Di Kanada, hubungi Talk Suicide Canada di 1-833-456-4566.

Diterjemahkan oleh George H. Santoso.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Ketika Kredibilitas Pastoral Terkikis, Bagaimana Kita Dapat Merespons?

Mungkin Tuhan ingin membentuk kembali pandangan kita tentang otoritas.

Christianity Today December 2, 2022
Illustration by Anson Chan

Saya berupaya masuk ke kursi tengah pesawat, sambil meminta maaf dengan sopan kepada orang yang harus bangun dari kursi bagian lorong agar saya bisa lewat. Seraya saya meletakkan ransel di bawah, sambil berusaha memutuskan apakah akan mengambil headphone peredam kebisingan, saya menyapa wanita yang lebih tua yang duduk di kursi dekat jendela di sebelah saya. Saya memilih buku saya, menendang ransel saya di bawah kursi di depan saya. Setelah mengencangkan sabuk pengaman, saya pun bersiap untuk penerbangan terakhir saya hari itu, sambil berharap bisa menyelesaikan bacaan di bab buku yang hendak saya baca.

“Kamu dari Nashville?” wanita itu bertanya.

“Tidak, Bu,” jawab saya. “Saya dari Colorado Springs. Saya menuju ke Nashville untuk menghadiri sebuah konferensi.”

Dia tersenyum dan mengangguk. Kami berdua saling menoleh ke arah yang berbeda. Saya mengutak-atik buku saya; dia pun melanjutkan mengisi teka-teki silang (TTS). Saya merasa sepertinya saya harus menyapa kembali dan bertanya tentang dari mana dia berasal. Dia menjawab pertanyaan saya dengan rinci, dan saya yakin semua pembicaraan yang diperlukan sekarang sudah selesai.

Kemudian dia mengajukan pertanyaan. “Jadi apa pekerjaanmu?”

Saya mendesah pelan di dalam hati. Saya seharusnya mengambil headphone, bukan buku, pikir saya.

Sejenak saya memikirkan sebuah jawaban yang umum. Saya tahu, hanya dengan menyebutkan panggilan pelayanan saya saja dapat menjadi sebuah penghenti percakapan yang nyata. Namun saya tetap memilih untuk mengatakan yang benar.

“Saya seorang pendeta.”

Dia menyeringai. “Benar dugaan saya!”

“Sungguhkah?” Saya benar-benar terkejut.

“Ya!” katanya dengan anggukan pasti dan senyum percaya diri.

“Bagaimana …?”

“Tampang Anda seperti pendeta.”

Saya pun tertawa, sambil memerhatikan pakaian saya saat itu: jeans biru, sepatu kets tinggi, T-shirt hitam, dan jaket bomber berwarna hijau zaitun. Ya, mungkin saya sedikit klise saat ini.

Seiring senyum saya memudar, saya bertanya-tanya: Saya terlihat seperti seorang pendeta? Haruskah saya menganggapnya sebagai sebuah pujian?

Lalu saya melirik ke TTS wanita itu—sebuah TTS Alkitab.

Ah. Dia memaksudkan ucapan itu sebagai pujian. Menurut saya.

Suatu gambaran yang suram

Para pendeta tidak mendapat penghormatan dari komunitas seperti dulu. Menurut laporan State of Pastors dari Barna (2017), hanya sekitar satu dari lima orang Amerika yang menganggap seorang pendeta sangat berpengaruh di komunitas mereka, dan sekitar satu dari empat orang menganggap pendeta kurang berpengaruh atau tidak berpengaruh sama sekali. Sebenarnya, berpengaruh atau tidak, banyak orang Amerika tidak ingin mendengarkan apa yang dikatakan oleh para pendeta. Pada tahun 2016, Barna menemukan bahwa hanya 21 persen orang Amerika yang menganggap para pendeta “sangat kredibel” dalam “masalah-masalah penting zaman kita.” Bahkan di antara orang-orang yang didefinisikan Barna sebagai kaum Injili, jumlahnya hanya meningkat sedikit saja dari setengahnya. Pikirkanlah: Hampir setengah dari kalangan Injili Amerika tidak menganggap pendeta mereka memiliki kewibawaan untuk menavigasi persoalan-persoalan masa kini.

Dalam sebuah studi yang saya dan Barna lakukan pada tahun 2020 untuk buku saya The Resilient Pastor, kami mendapati bahwa gambarannya mungkin semakin memburuk. Hanya 23 persen orang Amerika yang mengatakan bahwa mereka “benar-benar” memandang seorang pendeta sebagai “sumber kebijaksanaan yang dapat dipercaya.” Bahkan di kalangan orang Kristen sendiri, angka itu hanya meningkat menjadi 31 persen saja. Kurang dari sepertiga orang Kristen mengatakan bahwa mereka “benar-benar” menganggap seorang pendeta sebagai “sumber kebijaksanaan yang dapat dipercaya.” Seperti yang mungkin Anda duga, hanya 4 persen orang non-Kristen yang memiliki pendapat serupa. Itu merupakan suatu gambaran yang cukup suram.

Hidup di era digital telah menambah komplikasi lebih lanjut. Pada satu sisi, internet telah menjadi penyeimbang yang sangat hebat, mengganggu hierarki kekuasaan tradisional dan memberi akses dan potensi kepada siapa pun untuk mengumpulkan pengikut-pengikut. Siapa pun bisa memposting; siapa pun dapat mencari; siapa pun bisa belajar. Akses terhadap informasi dulu pernah memiliki efek demokratisasi yang begitu kuat sehingga rezim otoriter di seluruh dunia menerapkan sensor dan firewall yang sangat ketat.

Akan tetapi akses terhadap informasi ini adalah pedang bermata dua. Akses tersebut tidak hanya dapat meruntuhkan atau menggoyahkan struktur otoritas yang ada. Namun akses ini juga menciptakan cara baru untuk membangun otoritas dan memunculkan figur otoritas baru, seperti influencer Instagram, bloger, video, dan meme yang beredar di Facebook. Dengan “pemimpin” yang baru, hadirlah “suku” baru. Hal ini dapat mengarahkan kita pada asumsi yang berbahaya bahwa semua pandangan sama-sama valid. Setiap orang menjadi penentu kebenaran agama mereka sendiri, masing-masing melakukan apa yang benar di mata mereka sendiri—atau di mata pembuat siniar yang mereka dengarkan pagi ini.

Ajakan

Akan sangat menggoda untuk berfokus pada bagaimana para pendeta dapat memperoleh kembali kredibilitasnya. Tentu saja ada kebutuhan untuk itu. Menjalani panggilan kita dengan serius berarti mengenali bobot kata-kata yang kita ucapkan, natur suci dari tugas kita, dan pentingnya suatu kehidupan yang berintegritas. Menurunnya kredibilitas pendeta merupakan kabar buruk bagi gereja. Jika kita ingin mengajak siapa pun untuk mengikut kita seperti kita mengikut Kristus, kita harus berusaha untuk meraih kembali kepercayaan dari para pengikut yang enggan. Ini berarti melakukan hal yang benar demi alasan yang benar untuk waktu yang sangat lama.

Semua itu benar. Akan tetapi penting bagi kita untuk tidak terburu-buru “memperbaiki” hal ini. Kita memiliki kesempatan untuk mengenali ajakan tersebut di tengah hal ini—suatu frasa yang digunakan pembimbing rohani saya beberapa kali ketika saya dihadapkan pada situasi yang tidak saya sukai, terutama situasi yang di luar kendali saya. Setelah badai berlalu, kita mendengar bisikan ajakan dari Roh Kudus—sebuah ajakan yang menurut saya dibentuk oleh tiga kata: tanggung jawab, akuntabilitas, dan kerendah-hatian.

Tanggung jawab. Saya kurang tertarik untuk menemukan cara memperoleh kembali kredibilitas kita. Saya lebih tertarik untuk bertanggung jawab atas alasan yang menyebabkan kita kehilangan kredibilitas tersebut. Kita harus menghadapi kenyataan bahwa kita telah berkontribusi terhadap krisis kredibilitas itu. Ya, terdapat perubahan haluan dalam budaya kita yang telah mengubah status sosial atau kultur kuasa seorang pendeta. Namun patut diakui, kita juga telah membuat kekacauan. Dari gereja terpencil di pedesaan hingga gereja raksasa, banyak pendeta didapati berperilaku sebagai perundung dan orang munafik, menyalahgunakan alkohol, dan penggoda wanita. Krisis kredibilitas ini hanyalah gejalanya. Penyalahgunaan wewenang adalah akar masalahnya.

Perjanjian Lama menggemakan tentang penggunaan kekuasaan dengan cara menceritakan kisah raja pertama Israel. Kisah Saul mengungkapkan tiga cara klasik dalam menyalahgunakan otoritas: menggunakannya untuk keuntungan pribadi, melanggar batas otoritas, dan menggunakannya dengan gegabah.

Nabi Samuel telah memperingatkan bahwa seorang raja berhak untuk mengambil (1Sam. 8:11-17). Bagaimana kita telah mengambil dari jemaat kita? Bagaimana kita telah mengambil waktu, harapan, kepercayaan mereka dan memanfaatkannya untuk kepentingan kita sendiri? Mungkin kita telah memperlakukan orang-orang baik hati yang melayani gereja kita seolah-olah mereka adalah roda penggerak ambisi kita. Kita semua terlalu bersemangat untuk mengambil waktu mereka tetapi lambat untuk memberikan waktu kita.

Sebagai raja, Saul memutuskan untuk bertindak seperti seorang imam dan mempersembahkan kurban bakaran, melampaui batas otoritasnya (1Sam. 13). Dalam upaya kita untuk menjadi pemimpin yang kuat, kita bisa saja mengambil alih peran yang bukan kemampuan kita atau bukan panggilan kita. Misalnya, jika kita berbicara dengan cara yang meremehkan kesehatan mental, mengkhotbahkannya di mimbar bahwa seseorang yang cemas hanya perlu berdoa lebih banyak, maka kita mengikis kredibilitas kita sendiri dengan melakukan hal yang melampaui batas otoritas kita.

Saul juga menggunakan kekuasaan dengan gegabah. Setelah memenangkan pertempuran, Saul mengeluarkan perintah yang melarang semua orang untuk makan, dan bersumpah bahwa ia akan membunuh siapa pun yang melanggarnya (1Sam 14). Namun tanpa disadari, justru putranya sendiri telah menunjukkan kebodohan sumpah Saul tersebut. Seberapa sering para pendeta memanfaatkan kepercayaan jemaat dengan menyuruh mereka masuk ke dalam suatu pertempuran budaya? Kita begitu mudah menyatakan dengan pasti tentang Tuhan berada di “sisi” siapa, dan dengan melakukan hal itu kita mencoreng nama Tuhan serta menurunkan kredibilitas kita.

Penyalahgunaan wewenang dengan cara ini mungkin bukan masalah yang berlaku bagi semua pendeta. Akan tetapi kita semua dapat bercermin pada diri kita sendiri dan bertanya kepada Tuhan mengenai apa ukuran tanggung jawab yang harus kita pikul atas hilangnya kredibilitas di antara para pendeta.

Akuntabilitas. Merosotnya kredibilitas berarti sangat sedikit yang akan dipercayakan kepada kita. Orang-orang akan memeriksa fakta dari pernyataan kita dan membandingkan kesimpulan eksegesis kita. Akan tetapi itu bisa menjadi hal yang baik. Jika kita telah melakukan bagian kita dengan baik, maka hal itu akan terpancar. Dan jika kita bereaksi tiba-tiba atau tidak mempertimbangkan kata-kata atau tindakan kita dengan cermat, mereka juga mungkin akan tahu.

Ketika muncul suatu masalah sosial yang besar, hanya tinggal menunggu waktu saja sebelum seseorang memposting di media sosial tentang apa yang harus dikatakan para pendeta mengenai hal tersebut pada hari Minggu itu. Kita mungkin pernah diberitahu mengenai hal ini: _Jika pendeta Anda tidak berbicara tentang _____, maka inilah saatnya untuk mencari gereja baru. Media dan banyak orang menetapkan kriteria apa yang harus atau tidak harus dikatakan oleh seorang pendeta. Apa pun itu, pendeta tersebut tidak lagi menjadi lokus otoritas atau kredibilitas.

Saya bukanlah pendukung dari kecenderungan ini. Saya tidak suka ketika pendeta harus menanggapi tekanan dari topik yang sedang tren di Twitter. Akan tetapi dalam hal ini juga terdapat peluang untuk menerima akuntabilitas di era baru visibilitas ini. Undangan di tengah menurunnya kredibilitas pastoral dapat berarti suatu langkah menuju transparansi yang lebih luas. Misalnya, bagaimana kita dapat menunjukkan kepada gereja tentang persembahan mereka dipakai untuk apa saja? Bagaimana kita mempertanggungjawabkan waktu dan tenaga yang kita kerahkan dalam pelayanan? Jika mengambil tanggung jawab adalah tentang pengakuan, maka merangkul akuntabilitas adalah tentang mengubah cara kita.

Ada satu kata lagi…

Sumber dan bentuknya

Kerendah-hatian. Itulah kata terakhir untuk membentuk respons kita. Di atas segalanya, krisis kredibilitas harusnya membuat kita bertekuk lutut. Kita harus merendahkan diri dan kembali kepada sumber otoritas kita.

Selama abad Pertengahan, seorang pendeta—yang adalah imam—merupakan seseorang yang telah diurapi dengan kuasa yang istimewa. Pada abad itu, para pendeta dipercaya dapat menyembuhkan orang sakit melalui doa dan mengurapi dengan minyak, mendengar dari Allah dan menafsirkan Kitab Suci, serta mengubah roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Kristus.

Akan tetapi ketika reformasi mengarah pada rasionalisme, pendeta di Barat pasca abad Pencerahan memperoleh otoritas dari pembelajarannya. Andrew Root dalam bukunya The Pastor in a Secular Age yang memetakan pergeseran persepsi terhadap para pendeta di Amerika, mencatat bahwa “pendeta tidak lagi memiliki kekuatan magis, tetapi dia bisa membaca; ia bukan lagi pahlawan super tetapi sekarang hanya orang terpelajar.” Jonathan Edwards, misalnya, mengabdikan dirinya untuk belajar selama 13 jam sehari! Maka dimulailah tradisi pendidikan yang panjang—seminari yang tepat dan gelar yang tepat—sebagai dasar kredibilitas.

Namun Root mencatat pergeseran lain yang dimulai pada akhir abad ke-20: Otoritas pendeta mulai berasal dari institusi yang mereka dirikan. “Sama seperti seorang CEO memiliki kekuasaan di kantornya karena kekuatan sosial atau ekonomi perusahaan, demikian pula kekuasaan pendeta bergantung pada jumlah dan pengaruh dari jemaatnya.” Dengan khotbah panjang yang berpotensi dipandang sebagai hal yang merugikan dan pendidikan seminari yang berpotensi dianggap sebagai kewajiban bagi sebagian orang, para pendeta mulai mencari cara lain untuk membangun kehadiran mereka dalam sebuah komunitas. Jawabannya adalah dalam membangun gereja yang kuat dan berpengaruh.

Akan tetapi tidak satu pun dari hal-hal tersebut di atas yang merupakan sumber otoritas kita yang sebenarnya. Sumber otoritas kita, pada akhirnya, bukan berasal dari popularitas atau pengaruh kita (walaupun tanpa pengaruh, seseorang hampir tidak bisa menjadi pemimpin), bukan dari pendidikan kita (meskipun pelatihan dan persiapan adalah hal yang baik), dan bukan dari lembaga yang kita pimpin (meskipun menciptakan institusi adalah bagian dari memiliki kehadiran dan tempat). Sumber otoritas kita adalah Yesus, dan itu kita peroleh dengan berada di dalam hadirat-Nya.

Namun itu belum semua. Dengan berada bersama Yesus, kita belajar dari Dia untuk apakah kuasa itu. Kita memikirkan kembali bagaimana kita memakai otoritas kita selama ini.

Yesus, “tahu, bahwa Bapa-Nya telah menyerahkan segala sesuatu kepada-Nya dan bahwa Ia datang dari Allah dan kembali kepada Allah” (Yohanes 13:3), kemudian Ia bangun, menanggalkan jubah-Nya, mengambil sehelai kain lenan dan baskom, lalu mulai membasuh kaki para murid-Nya.

Yesus tahu dari mana Ia berasal dan ke mana Ia akan pergi. Yesus telah bersama Bapa dan akan kembali kepada Bapa. Yesus tahu bahwa misi dan pelayanan adalah hal yang telah dipercayakan Bapa kepada-Nya. Karena itu Dia mengambil rupa seorang hamba dan membasuh kaki mereka. Ketika Anda mengetahui sumber otoritas Anda, Anda memahami tujuannya.

Wahai para pendeta, jika otoritas kita benar-benar berasal dari pendidikan kita atau ukuran institusi kita atau lingkup pengaruh kita, maka kita dapat bermegah di dalamnya. Kami melakukan ini. Kami mendapatkan ini. Kami mengusahakan ini.

Akan tetapi jika kita memahami otoritas itu sebagai suatu pemberian, jika kita mengerti bahwa satu-satunya otoritas yang kita miliki adalah yang berasal dari urapan Roh Tuhan, maka Roh yang sama itu bekerja untuk merupa Kristus di dalam kita.

Sumber dari otoritas menentukan bentuknya. Otoritas kita berasal dari Yesus, dan itu harusnya dipakai sebagaimana Yesus memakai kuasa-Nya: dengan mengosongkan diri kita dalam pelayanan dan kasih yang memberi diri. Seperti yang kemudian Paulus tuliskan—diparafrasekan dalam The Message—“kekuatan kita adalah untuk pelayanan, bukan status” (Rm. 15:1). Untuk menangkap ulang perspektif ini berarti kembali kepada kredibilitas di hadapan Kristus dan gereja-Nya.

Kredibilitas adalah hasil dari penatalayanan kekuasaan yang baik dan benar—penatalayanan yang memahami tujuan dari kekuasaan Anda dan batas-batas dari kewenangan Anda serta bertindak sesuai dengan kerendahan hati.

Tanggung jawab. Akuntabilitas. Kerendah-hatian. Saya tidak bisa menjanjikan bahwa itu akan membantu kita mendapatkan kembali kredibilitas. Namun dengan kasih karunia Allah, hal itu akan membuat kita menjadi semakin serupa Kristus.

Glenn Packiam adalah pendamping pendeta senior di New Life Church di Colorado Springs. Dia juga melayani sebagai rekan senior di Barna Group dan guru besar di Denver Seminary. Buku terbarunya adalah The Resilient Pastor . Bagian dari artikel ini diadaptasi dari The Resilient Pastor oleh Glenn Packiam (Baker Books, sebuah divisi dari Baker Publishing Group, © 2022). Digunakan dengan izin.

Artikel ini adalah bagian dari edisi spring CT Pastors kami yang mengeksplorasi kesehatan gereja. Anda dapat melihat edisi lengkapnya di sini.

Diterjemahkan oleh Joseph Lebani.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube