Waktu yang Tersia-sia, Sebuah Karya Kasih

Fajar Paskah mengingatkan kita bahwa apa yang mungkin dilihat dunia sebagai suatu kesia-siaan sebenarnya bisa menjadi sebuah keajaiban.

Christianity Today February 21, 2023
Image: Titian Ramsay Peale / National Gallery of Art Open Access / Paul Cezanne / Wikimedia Commons / Edits by Christianity Today

Kebajikan dan kemurahan belaka akan mengikuti aku, seumur hidupku; dan aku akan diam dalam rumah TUHAN sepanjang masa. – Mazmur 23:6

Unduh Renungan Prapaskah

Apakah kita telah menyia-nyiakan hidup kita? Itulah pertanyaan yang baru-baru ini berkelana di benak saya sebelum menikmati kopi di pagi hari. Saat bangun tidur, saya terjebak dalam lumpur keputusasaan terkait gereja, yang terkadang menimpa siapa pun yang terlibat dalam pelayanan—atau yang menikahi seorang hamba Tuhan.

Ada banyak tahun yang telah berlalu dalam pelayanan di gereja ketimbang yang tersisa di masa yang akan datang. Meski demikian, untuk hal ini saya tidak bersedih. Kesedihan mungkin akan datang nanti ketika suami saya, Brent, tak lagi naik mimbar dan harus menyimpan collar kependetaannya. Namun, pagi itu, saya mempertanyakan apa yang perlu kami perlihatkan terkait 30 tahun pelayanan selama ini, dengan 11 gereja yang telah kami layani, dan semua awal yang baru dengan berbagai ucapan perpisahan dan penyambutan yang ada?

Ada banyak hal yang baik dan benar tentang kehidupan dan gereja ini; kami telah digerakkan oleh kasih Yesus serta bagaimana umat-Nya menghangatkan satu sama lain dan juga dunia ini dengan jenis kasih yang merupakan dari keajaiban gereja; kasih yang begitu indah bagi seluruh dunia. Selama bertahun-tahun, kami telah menjadi bagian dari jemaat yang berbagi kehangatan kasih ini melalui proyek renovasi rumah gratis, ceramah parenting, berbagai kegiatan bersama para anak muda, drama dan konser, penjualan dan simfoni, dukungan bagi para pengungsi, makan malam di hari Jumat, makan siang sup, kalkun panggang di atas piring pada hari Natal, program Alpha dalam segala bentuknya, ibadah tradisional dan musik kontemporer serta berbagai hal lainnya, semuanya diimpikan demi komunitas tertentu di tempat kami berada.

Pada sebagian besar waktu tersebut (menurut saya), gereja menawarkan kasihnya tanpa pamrih. Tangan yang penuh kasih dan terbuka lebar, sangat ingin berbagi. Namun terkadang di bawah lapisan kasih tersebut—setidaknya bagi saya—terdapat keinginan yang nyaris kelihatan untuk menjangkau lebih banyak orang sehingga gereja kami bisa menjadi lebih besar dan karena itu menjadi lebih baik, dan karena semakin baik maka akan menjadi lebih besar. Menjadi gereja itu. Untuk menjadi sukses dalam kreativitas dan jumlah jemaat serta persembahan dan dampak. Untuk membusungkan dada dan melebarkan sayap kita.

Dalam hal ini, saya harus bertobat. Inilah yang harus saya lepaskan. Evaluasi jujur apa pun tentang mengapa kita melakukan apa yang kita lakukan sekarang, hampir selalu membawa kita pada semacam pertobatan. Saya memandang sekeliling altar ini dan melihat bahwa saya tidak sedang berlutut sendirian. Mengenai hal ini kita pasti dapat bertobat, bukan dari pertumbuhan itu sendiri, melainkan dari pertumbuhan demi pertumbuhan.

Ketika sarapan di gereja baru-baru ini, saya mengagumi kalung dari seorang jemaat wanita. Perhiasan tersebut terbuat dari manik-manik kayu dengan ukiran gajah kecil. Sepertinya kalung ini telah dipilih dengan cermat di kios cendera mata yang penuh dengan ukiran dan batik, sebagai kenangan akan perjalanan yang indah. “Saya sangat menyukainya,” ucap saya kepadanya. “Terima kasih,” katanya, sambil menyentuh perhiasan itu. Saat dia membuka mulut untuk melanjutkan percakapan, teman saya, yang semakin rapuh seiring bertambahnya usia, mendapati dirinya bingung.

“Saya tidak ingat kata yang ingin saya sampaikan,” katanya sambil menepuk kepala salah satu gajah kecil itu.

“Apakah Anda ingin saya membantu Anda?” saya menawarkan.

“Tidak, terima kasih,” katanya. “Saya lebih suka berusaha sendiri.” Dengan seekor gajah kecil di antara jari-jemarinya, teman saya mengobrak-abrik gudang pikirannya untuk mencari kata-kata yang hilang. Kami menunggu. Mungkin akan masuk akal jika saya mengubah topik pembicaraan, namun hal itu rasanya tidak menghormati usaha yang ia lakukan. Beberapa saat pun berlalu. Kami masih berdiri dalam keheningan. Akhirnya, kami dipanggil untuk makan. Kami saling tersenyum, mengangkat bahu, dan pergi untuk mengantre.

Percakapan kami tidak produktif. Kami tidak menyelesaikan satu hal pun. Kami berpisah dan saya pergi mencari croissant dan selai crabapple. Secara teknis, dan secara waktu, peristiwa yang terjadi itu bukanlah sebuah kesuksesan. Akan tetapi di gereja, waktu yang terbuang bisa menjadi sebuah karya kasih.

Beberapa minggu kemudian saya berdiri di belakang mimbar selama Perjamuan Kudus dan menyaksikan orang-orang datang dan pergi, seperti yang biasa saya suka lakukan. Orang-orang berjalan menyusuri lorong samping untuk menerima roti Perjamuan, dan kemudian kembali ke tempat duduk mereka melalui lorong tengah dengan sisa-sisa tanda x yang ditempel di karpet merah bekas pembatasan jarak di hari-hari sebelumnya.

Kemudian terlihatlah wanita tua itu, berjalan kembali ke kursinya di lorong tengah, memegang roti di tangan yang ditangkupkannya untuk dikonsumsi ketika dia kembali duduk, salah satu dari sedikit peraturan terkait COVID yang masih kami miliki saat itu. Di belakang wanita tersebut ada lusinan jemaat yang memperlambat langkah mereka untuk menyamai dia, agar tidak menyusulnya. Dia tidak terburu-buru. Dia tersenyum, sepertinya tidak menyadari kerumunan kecil yang ada di belakangnya. Ini adalah parade yang sangat lambat. Jemaat berjalan dengan perlahan di belakang dia, bagaikan sebuah iring-iringan suci. Hati saya terasa hangat dan saya tersenyum melihat hal itu.

Dalam pemandangan di hadapan saya itu, saya menyaksikan gereja berhasil dalam salah satu caranya yang terbaik dan kudus. Ada gereja yang indah dalam langkahnya yang lebih lambat dan sabar demi kasih semata. Gereja bukan saja dapat menawarkan pemberian langka ini kepada jemaatnya yang terkasih, tetapi juga kepada siapa pun yang kita temui dan gereja memiliki hak istimewa untuk berjalan di samping dan di belakang seseorang demi Yesus.

Setiap tahun, fajar Paskah mengingatkan kita bahwa apa yang mungkin dilihat dunia sebagai suatu kesia-siaan sebenarnya bisa menjadi sebuah keajaiban. Apa yang bagi orang lain tampak seperti seorang mesias yang gagal ternyata merupakan Mesias yang menggenapi perjalanan yang paling suci. Kematian adalah kehidupan, dan kubur yang kosong adalah penuh dengan janji yang akan mengubah segala sesuatu, dari dalam ke luar, dari bawah ke atas. Paskah adalah harapan yang paling cemerlang dan subversif, bagaikan seekor merak berkeliaran melewati jendela kami dalam hembusan angin di penghujung musim dingin di Kanada. Dari gereja di mana kami berada, Church Humble and Magnificent, kesuksesan terlihat berbeda dengan versi dunia.

Paskah membuktikan sekali dan selamanya bahwa Yesus bersama kita dalam perjalanan yang panjang, lambat, dan mungkin tidak terlihat sukses, tetapi sangat setia, dan, ya, sebuah iring-iringan yang suci.

Pertanyaan Refleksi:



1. Kita biasanya tidak menganggap Mazmur yang terkenal dan disukai ini sebagai contoh bagaimana kita memperlakukan sesama kita, namun Mazmur ini dapat memberikan contoh bagaimana Yesus menyertai kita pada saat kita membutuhkannya. Bagaimana Mazmur ini memperlihatkan kepada kita tentang bagaimana kita dapat bersikap dan bersama satu sama lain?

2. Bagaimana rasanya berjalan bersama seseorang melewati lembah terkelamnya, tetap penuh perhatian dan hadir meskipun hal itu tidaklah mudah?

3. Jamuan apa yang bisa kita siapkan untuk orang-orang dalam hidup kita? Siapa yang bisa kita temani sekarang?

Karen Stiller adalah penulis buku The Minister’s Wife: a memoir of faith, doubt, friendship, loneliness, forgiveness and more, dan editor majalah Faith Today. Ia tinggal di Ottawa bersama suaminya, Brent Stiller.

Artikel diterjemahkan oleh Timothy Daun.

Artikel ini merupakan bagian dari New Life Rising yang menampilkan artikel dan pendalaman Alkitab yang merefleksikan makna kematian dan kebangkitan Yesus. Terbitan khusus ini yang dapat digunakan selama masa Prapaskah, Paskah, atau kapan saja. Pelajari lebih lanjut di http://orderct.com/lent.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Orang Buangan di Sepanjang Perjalanan Pulang

Kita merindukan kepindahan ajaib dari padang belantara ke tempat yang aman, dari pengasingan kepada kepemilikan.

Empty Tomb

Empty Tomb

Christianity Today February 20, 2023
Image: Illustration by Bethany Cochran

Dan apabila Aku telah pergi ke situ dan telah menyediakan tempat bagimu, Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku, supaya di tempat di mana Aku berada, kamupun berada. Dan ke mana Aku pergi, kamu tahu jalan ke situ. – Yohanes 14:3-4

Unduh Renungan Prapaskah

Belum lama ini saat pandemi, secara tak terduga seorang rekan di gereja kami kehilangan suaminya yang sudah bersamanya selama lebih dari lima puluh tahun. Saat suaminya meninggal di rumah sakit, rekan ini tidak diizinkan berada di samping tempat tidur suaminya, dan dia tidak bisa mengadakan pemakaman yang layak untuknya. Dia pulang sendirian ke rumah kosong yang baru saja dibeli bersama suaminya, kotak-kotak masih belum dibuka sejak mereka pindah. Kehangatan dan janji rumah hari tua yang nyaman telah membeku karena dinginnya kuburan.

Rumah lebih dari sekadar bangunan fisik—rumah adalah tempat kepunyaan yang permanen, yang sering dipakai bersama dengan orang yang kita kasihi. Yesus, yang mengetahui bahwa kematian-Nya sudah dekat, berjanji kepada para murid-Nya bahwa Dia akan pergi untuk mempersiapkan tempat bagi mereka di rumah Bapa-Nya (Yoh. 14:2–4). Saya sering bertanya-tanya, mengapa Dia menjanjikan hal ini secara khusus?

Mungkin salah satu jawabannya adalah bahwa janji-Nya memunculkan tema penting bagi para murid-Nya, yang merupakan bagian dari bangsa yang identitas naratifnya ditandai dengan masa pengasingan dan persinggahan. Para murid mungkin bukan pengembara di padang gurun seperti nenek moyang mereka, tetapi mereka telah meninggalkan segalanya untuk mengikuti Dia yang tidak memiliki tempat untuk meletakkan kepala-Nya. Janji akan rumah kekal pasti sangat bergema di hati mereka.

Hari ini, sebagai murid Yesus, janji-Nya juga bergema bagi kita. Dalam masa Prapaskah dan sepanjang tahun, dengan berbagai cara kita juga merindukan kepindahan ajaib dari padang belantara ke tempat yang aman, dari pengasingan kepada kepemilikan, dari persinggahan ke rumah.

Salah satu cara kerinduan ini diungkapkan oleh gereja adalah melalui kalender liturgikal. Selama berabad-abad, gereja dengan tepat mengaitkan masa Prapaskah dengan padang gurun, lambang pengasingan. Misalnya, kumpulan doa untuk Minggu Prapaskah pertama dalam Buku Doa Umum berfokus pada pencobaan Kristus di padang gurun, dan bacaan harian untuk masa itu dipenuhi dengan ayat-ayat dari Keluaran, Ulangan, Yeremia, dan bagian terakhir dari kitab Kejadian, yang menunjuk kepada sejarah panjang bangsa Israel tentang persinggahan dan kemudian pembuangan ke negeri asing. Dalam masa ini, gereja-gereja di seluruh dunia sedang merenungkan apa artinya mengarahkan kaki kita ke rumah.

Dalam hidup saya sendiri, kerinduan akan rumah tertanam dalam diri saya sejak lahir. Ibu saya berimigrasi ke AS dari Korea Selatan bersama ayah saya pada tahun 1980-an, hanya membawa barang-barang yang muat di kopernya. Dia meninggalkan segalanya—orang tuanya, cita-cita pribadinya, kemampuan untuk berkomunikasi, segala yang familier—dan menghabiskan sebagian besar hari-harinya sendirian di sebuah apartemen kecil, kehilangan harapan dan rambutnya karena depresi. Saya lahir tidak lama kemudian. Setiap tahun pada hari ulang tahun saya ketika saya makan miyeok-guk (sup rumput laut) untuk menghormati ibu saya, seperti yang telah dilakukan orang Korea selama berabad-abad, saya berpikir tentang bagaimana rasa sup itu membuat saya menitikkan air mata.

Pada sisi lain, keluarga suami saya telah tinggal selama lebih dari seratus tahun di pertanian yang sama seluas delapan ribu hektar di Oklahoma. Dalam rumah yang dibangun oleh kakek-nenek dari suami saya, selimut yang dijahit oleh tangan nenek buyut, yang disatukan dari gaun tua dan kemeja kerja, dengan lembut menghangatkan anak-anak kami, generasi keenam, yang sedang tidur di malam hari.

Namun, saya dan suami serta anak-anak kami tinggal di Michigan, dan kami biasanya pergi ke rumah pertanian setahun sekali. Setiap tahun permukaan air tanah turun lebih rendah, etalase toko di kota menjadi kosong, dan lebih banyak properti berubah menjadi pasir. Sungguh menyayat hati menyadari bahwa kita bisa menjadi generasi terakhir yang memiliki kenangan akan tempat ini. Bahkan di sini, di mana keadaan permanen dulunya tampak begitu pasti, kini orang-orang mulai kehilangan rumah mereka.

Saya rasa setiap kita, dengan cara masing-masing, tahu apa artinya kehilangan rasa rindu akan rumah dan waktu serta tempat di mana kita merasa aman dalam rumah milik kita sendiri. Kadang-kadang rumah kita direnggut dari kita secara fisik, seperti ketika angin topan menghancurkan halaman belakang, perang datang ke ambang pintu, atau pencuri masuk. Kadang-kadang kita bisa duduk di ruang keluarga dan merasakan kehilangan yang menghancurkan, seperti ketika pelecehan mengancam keselamatan kita, seorang anggota keluarga meninggal dunia, atau keretakan yang semakin melebar di antara kita dan orang yang kita cintai. Bahkan rumah rohani kita—gereja, kelompok kecil, dan pelayanan kita—dapat diambil dari kita sehingga kita ditinggalkan dan sendirian. Sekalipun kita, entah bagaimana, berhasil untuk tidak pernah mengalami kerugian seperti ini, kenyataannya adalah bahwa di bumi ini, kita semua adalah orang buangan di hadapan kematian. Pada akhirnya, kita semua harus meninggalkan rumah duniawi kita.

ShoesImage: Vincent Van Gogh / Wikimedia Commons
Shoes

Jika kematian adalah pengasingan yang final, maka Paskah adalah janji yang final untuk pulang. Sebab meskipun benar kita adalah umat yang familier dengan perasaan rindu akan rumah, kita juga adalah umat yang di dalamnya Allah berdiam. Sama seperti orang Israel yang mengembara memiliki hadirat Allah yang menyertai mereka, kita juga memiliki Juruselamat yang telah bangkit yang berkata, “Aku akan selalu bersamamu.”

Baru-baru ini, teman saya yang telah menjanda memulai sesuatu yang dia sebut Monday Manna. Dari kesedihannya yang mendalam, dia bangkit, memasak sepanci sup, memanggang sepotong roti, dan mengundang teman-teman setiap minggu untuk datang sebagai ucapan syukurnya. Wajahnya bersinar di hadapan halaman-halaman Alkitab usang saat dia membacakannya dan berdoa untuk kami, senyumnya merupakan ekspresi yang lahir dari abu kedukaannya. Makan bersama di mejanya berarti melihat sekilas masa ketika kematian, air mata, dan pengasingan tidak akan ada lagi. Bahkan sekarang, batu itu perlahan menggelinding dan malaikat melayang di atas kubur.

Para leluhur dari keluarga suami saya mengikatkan jam ke wagon dan berjalan dengan susah payah untuk mencari sesuatu yang lebih baik, seperti yang dilakukan oleh orang tua saya. Mereka haus akan susu dan madu yang datang bersama pasir di gurun, dan mereka menelannya dengan hati yang teguh. Sekarang generasi keenam telah datang, berlari melintasi padang rumput, mengejutkan belalang, dan hujan akhir musim panas membuat ladang kembali hijau. Sementara itu, orang tua saya—pasangan imigran yang kesepian—menemukan sebuah gereja di mana mereka menyerahkan hidup mereka kepada Kristus dan menemukan teman-teman yang menjadi seperti keluarga. Dengan mempersatukan hidup mereka bersama Yesus, mereka menjadi sarana bagi banyak orang lain untuk menjadi bagian dari keluarga Kristus selama bertahun-tahun—termasuk saya. Cerita berlanjut.

Meski tidak ada mata yang pernah melihat dan tidak ada telinga yang telah mendengar, tetapi kita dapat menebak bahwa rumah Paskah kita bersama Yesus akan terasa seperti semangkuk miyeok-guk ibu saya dan terasa seperti selimut tua yang menyelimuti anak-anak kami. Ini akan seperti melihat kakek tercinta berdiri di depan bajak sekali lagi, yang berbalik untuk memeluk kita. Ini akan seperti duduk mengelilingi meja sambil tertawa dengan orang-orang terkasih, seperti melihat senyum mekar di wajah teman saya yang janda itu. Ini akan menjadi seperti pulang ke rumah.

“Berbahagialah manusia yang kekuatannya di dalam Engkau, yang berhasrat mengadakan ziarah!” demikian nyanyian bani Korah dalam Mazmur 84. “Apabila melintasi lembah Baka, mereka membuatnya menjadi tempat yang bermata air.” Paskah berarti kerinduan kita akan rumah bukannya tanpa tujuan dan tanpa hasil. Hati kita dilapisi dengan jalan menuju rumah Bapa kita. Seperti bangsa Israel, seperti para murid, seperti semua orang yang ada sebelum kita, kita hanya perlu terus berjalan⁠. Dan saat kita berjalan, kita menemukan bahwa Kristus, yang berjalan di samping kita, membuat langkah kaki kita menyirami bumi.

Pertanyaan Refleksi:



1. Dengan cara apa Anda merasakan rasa sakit karena pengasingan atau rindu akan rumah dalam hidup Anda?

2. Apa satu permintaan doa yang dapat Anda bawa ke hadapan Tuhan agar kegelapan saat ini dapat ditembus dengan terang Paskah?

3. Seperti sang janda dalam tulisan di atas, bagaimana Anda dapat “menyirami bumi” saat Anda menjalani keadaan saat ini?

Sara Kyoungah White melayani sebagai staf editor senior di Lausanne Movement. Ia tinggal di Grand Rapids, Michigan, bersama keluarganya.

Artikel diterjemahkan oleh Denny Pranolo.

Artikel ini merupakan bagian dari New Life Rising yang menampilkan artikel dan pendalaman Alkitab yang merefleksikan makna kematian dan kebangkitan Yesus. Terbitan khusus ini yang dapat digunakan selama masa Prapaskah, Paskah, atau kapan saja. Pelajari lebih lanjut di http://orderct.com/lent.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Perjamuan Terakhir Saya dengan Keluarga Allah

Menanggapi kelemahan kita, Dia menyajikan makanan yang terbaik, yakni diri-Nya.

Chalice of Saint John the Evangelist

Chalice of Saint John the Evangelist

Christianity Today February 20, 2023
Image: Hans Memling / Claude Monet / National Gallery of Art Open Access / Edits by Christianity Today

Dan semuanya ini dari Allah, yang dengan perantaraan Kristus telah mendamaikan kita dengan diri-Nya dan yang telah mempercayakan pelayanan pendamaian itu kepada kami. Sebab Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya oleh Kristus. – 2 Korintus 5:18-19a

Unduh Renungan Prapaskah

Terakhir kali saya mengambil roti dan cawan Perjamuan Kudus adalah pada hari Rabu Abu tahun 2020. Ketika itu sudah ada ketegangan di dalam ruangan, yang terakumulasi dari aktivitas politik bermuatan agama selama bertahun-tahun, dan kami baru berada di awal siklus pemilu yang akan tumpang tindih dengan pandemi, pemberontakan, dan konfrontasi nasional dengan supremasi kulit putih.

Jika Anda pernah menghadiri gereja secara teratur selama beberapa tahun terakhir, Anda mungkin tahu bagaimana rasanya menelan roti dan anggur sambil menginventarisasi hal-hal mental yang Anda benci tentang kehidupan dalam tubuh Kristus. Jika Anda belum pernah melakukannya, saya ikut senang. Namun jika Anda seperti saya, yang telah melihat hubungan Anda goyah di bawah beban balas dendam rasial yang sedang berlangsung, tamparan keras dari kehidupan selama pandemi, dan kesengsaraan budaya yang terpolarisasi secara politik, Anda mungkin memerlukan strategi untuk mempertahankan sikap doa hingga akhir ibadah.

Inilah yang sering saya lakukan: Saya melihat ke sekeliling ruangan dan membayangkan saya sedang menceritakan kembali kisah Yusuf di kitab Kejadian secara kontemporer. Yusuf dilahirkan dalam keluarga yang dipilih Tuhan, kemudian diusir dari rumah dan dijual sebagai budak akibat kecemburuan saudara-saudaranya. Ketika saya berada di gereja, mencoba meredakan amarah, saya bertanya pada diri sendiri, siapa di antara jemaat ini yang akan berperan sebagai Yusuf? Dan siapa yang akan berperan sebagai keluarganya yang berkhianat?

Karena memiliki perasaan dikecewakan oleh sebagian besar gereja Amerika, saya biasanya membayangkan diri sebagai Yusuf. Kisah sejarah saya baru-baru ini dengan keluarga Tuhan melibatkan komunitas iman yang terbelah secara ideologis, upaya konsiliasi rasial, dan perpecahan yang membakar gereja dengan hebat yang merusak relasi-relasi saya dan membuat saya melansir album perpisahan di rumah setiap Minggu pagi. Saya suka menyebut diri sebagai protagonis yang disalahpahami dalam sebuah narasi—benar dalam banyak hal—di mana orang Kristen Barat menolak panggilan untuk keadilan yang alkitabiah, meninggalkan orang percaya dengan kulit berwarna berdiri di luar lingkaran keluarga Allah tersebut.

Ini bukan satu-satunya cara saya untuk menceritakan kisah, atau satu-satunya cara agar bisa diperankan. Narasi lain di tahun-tahun yang sama ini melibatkan kerapuhan jemaat yang berjuang untuk menghadapi pandemi, kesulitan alami untuk membicarakan topik-topik yang penuh sejarah, dan sekelompok orang yang bermaksud baik namun meremehkan harga yang harus dibayar dalam memperjuangkan keadilan. Dalam narasi ini—yang juga benar—gereja bukanlah kobaran api yang besar, melainkan sebuah sumbu membara yang mencoba bertahan dari angin waktu dan budaya yang terus berubah.

Beberapa tahun terakhir pergolakan politik dan personal telah berulang kali mendorong saya untuk mendapatkan penghiburan melalui Alkitab. Saya ingin firman Tuhan mengatur pemikiran saya tentang momen budaya kita, yang biasanya berarti saya ingin kejelasan akan siapa teman dan siapa musuh. Di Amerika, di mana kita sering memakai Kitab Suci untuk membingkai politik sebagai konfrontasi apokaliptik antara yang baik dan jahat, ini adalah pendekatan umum terhadap Firman Tuhan. Sayangnya bagi kita yang suka memelihara sakit hati, pemaparan yang terlalu lama terhadap Alkitab mengacaukan kategori-kategori ini.

Semakin lama Anda berpikir tentang kehidupan Yusuf, semakin sulit untuk memisahkan karakter-karakternya—baik dalam cerita maupun kehidupan Anda sendiri—ke dalam kelompok-kelompok yang berbeda secara moral. Yusuf, yang menurut saya heroik di masa mudanya, mulai tampak jahat di usia paruh baya. Dia keluar dari pencobaannya sebagai gubernur Mesir, yang melaluinya ia bertemu kembali dengan keluarganya yang sedang mencari bantuan di masa kelaparan. Dia mengenali mereka, namun mereka tidak mengenalinya, dan dia mengambil kesempatan untuk membalas mereka.

Yusuf menyembunyikan piala peraknya di dalam sekantong gandum dan memberikannya kepada saudara-saudaranya. Seperti yang dia duga, mereka menemukannya dalam perjalanan pulang, untuk mengantisipasi tuduhan pencurian, dan ketakutan akan kehilangan nyawa mereka. Saudara-saudaranya kembali dengan merendahkan diri dan Yusuf berpura-pura tidak tergerak oleh permohonan mereka. Sekarang pahlawan dalam cerita itu tampaknya berperilaku jahat, menggunakan statusnya sebagai pejabat tinggi di kerajaan yang kejam untuk melecehkan keluarganya. Jika Anda seperti saya, yang awalnya menganggap diri sebagai Yusuf, pada titik ini Anda mungkin memikirkan kembali keputusan Anda.

Saat cerita bergerak menuju akhirnya, semakin sulit untuk mengatakan karakter mana yang seharusnya baik dan mana yang seharusnya jahat. Dalam proses pengembalian piala tersebut, saudara laki-laki Yusuf, Yehuda, menjadi orang pertama yang mengakui kesalahan seumur hidup keluarga mereka: anak yang hilang, ayah yang berduka, rumah tangga yang diliputi oleh luka selama puluhan tahun. Yusuf tidak dapat mempertahankan penguasaan dirinya dan mulai menangis, lalu ia mengungkapkan identitas aslinya. Saudara-saudaranya, yang dulu tidak berperasaan dan kejam saat remaja, telah menjadi rendah hati seiring bertambahnya usia, dan pertobatan mereka membuka kemungkinan untuk rekonsiliasi di akhir cerita.

Still Life with Bottle, Carafe, Bread, and WineImage: Claude Monet / National Gallery of Art Open Access
Still Life with Bottle, Carafe, Bread, and Wine

Bagi kita yang lelah dengan berbagai kerumitan dan tantangan untuk menavigasi budaya sesaat yang membingungkan, hasil ini terasa mengecewakan. Inti dari obsesi saya dengan kisah Yusuf, sejujurnya, adalah menggunakan Alkitab untuk memberi tahu saya siapa yang harus dipersalahkan atas kegagalan yang terus-menerus terjadi dalam gereja.

Pada malam terakhir saya mengikuti Perjamuan Kudus, jemaat kami membaca bagian ayat yang biasa dibacakan pada acara tersebut: “Tuhan Yesus, pada malam waktu Ia diserahkan, mengambil roti, dan sesudah itu Ia mengucap syukur atasnya; Ia memecah-mecahkannya dan berkata, ‘Inilah tubuh-Ku, yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku!’” (1Kor. 11:23–24).

Saya mengikuti kebaktian itu dengan harapan mendapat tanda bahwa hubungan saya dapat dipulihkan dari apa yang rasanya seperti pertentangan politik dan agama yang tak tertahankan, tetapi kata-kata ini tidak terasa menghibur. Kata-kata tersebut justru membuat saya bertanya-tanya apakah Yesus mengadakan Perjamuan Kudus sebagai penyemangat atau peringatan. Siapa yang menawarkan tubuh dan darah miliknya sebagai makanan kecuali mereka yang berpikir bahwa Anda akan membutuhkan semua bantuan yang bisa Anda dapatkan?

Sebelum pergi menuju salib, Yesus memberi tahu para pengikut-Nya untuk saling mengasihi dan tinggal di dalam Dia, sebuah perintah sederhana yang mungkin mustahil untuk ditaati. Dia mengantisipasi kesulitan yang akan dialami para murid, dengan memahami bahwa keinginan yang besar untuk menjadi benar, untuk berada di pihak yang menang—keinginan besar apa pun yang menghidupkan permainan di pikiran saya—akan menggoda kita semua untuk mengiris tubuh-Nya dan sebagai gantinya, saling menganiaya. Menanggapi kelemahan kita, Dia menyajikan makanan supranatural yang dimakan oleh kita yang berusaha melakukan apa yang Dia minta. Makanan tersebut diberikan dengan harga yang sesuai dengan besarnya kebutuhan kita, memuaskan dan mengekspos kita pada saat yang bersamaan.

Pada akhir kebaktian tersebut, saya pun menangis. Tentu saja kami menyadari bahwa sulit bagi kami untuk tetap bersama; persekutuan itu didasarkan pada kenyataan bahwa tak seorang pun dari kami yang memiliki kekuatan untuk memperbaiki luka yang telah kami timbulkan bersama. Di kemudian hari, ketika relasi-relasi ini akhirnya lenyap karena konflik susulan yang terjadi di tahun 2021, saya terbangun di malam hari dan memikirkan tentang bagian yang saya perankan dalam kehancuran relasi-relasi tersebut.

Saya juga berpikir tentang apa yang terjadi setelah piala dan gandum, roti dan anggur. Bagi Yesus, ada penyaliban, dan bagi sebagian pengikut-Nya, ada kunjungan ke tempat di mana tubuh-Nya hancur. Pemeran karakter terakhir itulah yang tetap ada di benak saya setiap hari Minggu setelah saya kembali menghadiri gereja, di mana saya biasanya duduk di belakang ruang kebaktian dengan kopi dan donat di tangan, dan memakannya dengan perlahan sambil menantikan datangnya kebangkitan itu.

Pertanyaan Refleksi:



1. Siapakah orang-orang di gereja lokal Anda atau gereja yang lebih luas yang menurut Anda paling tidak menyenangkan, bermasalah, atau mengancam?

2. Dalam hal apa Anda memandang mereka dari sudut pandang duniawi? Dengan cara apa Anda dapat mengundang Roh Kudus untuk memurnikan pemahaman Anda tentang mereka?

3. Satu langkah apakah yang dapat Anda ambil, dengan bantuan Roh Kudus, untuk membagikan pelayanan rekonsiliasi Kristus di dalam gereja lokal Anda?

Yi Ning Chiu adalah penulis yang tinggal di San Francisco Bay Area. Reportase dan kritikannya pernah diterbitkan di Relevant Magazine, Teen Vogue, dan Ekstasis.

Diterjemahkan oleh Vika Rahelia.

Artikel ini merupakan bagian dari New Life Rising yang menampilkan artikel dan pendalaman Alkitab yang merefleksikan makna kematian dan kebangkitan Yesus. Terbitan khusus ini yang dapat digunakan selama masa Prapaskah, Paskah, atau kapan saja. Pelajari lebih lanjut di http://orderct.com/lent.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Menuruni Puncak Kesuksesan

Seberapa sering kita membuat keputusan dan pilihan rutin yang meninggikan narasi kesuksesan duniawi?

The Connecticut Valley

The Connecticut Valley

Christianity Today February 19, 2023
Image: Thomas Chambers / National Gallery of Art Open Access / Edits by Christianity Today

Hanya sebentar mereka meninggikan diri, lalu tidak ada lagi; mereka luruh, lalu menjadi lisut seperti segala sesuatu, mereka dikerat seperti hulu tangkai gandum. – Ayub 24:24

Unduh Renungan Prapaskah

Sekitar sebulan sebelum pernikahan saya, saya mulai bermimpi bahwa saya sedang sekarat. Saya menelepon saudara perempuan saya yang memiliki gelar master dalam konseling dan dia meyakinkan saya bahwa itu tidak berarti bahwa saya telah memilih pasangan hidup yang salah seperti dalam film So I Married an Axe Murderer, melainkan orang sering memimpikan kematian ketika memulai perubahan hidup yang radikal. Kematian menandakan berakhirnya satu musim dan dimulainya musim yang baru. Jiwa saya berduka atas berakhirnya masa lajang saya. Namun kematian kehidupan lama saya ini juga membawa harapan besar untuk hal yang akan datang. Ketika saya merenungkan momen kita saat ini, saya ingin kita memimpikan kematian lagi, dengan harapan akan kebangkitan. Saya percaya kita perlu mematikan gagasan kita tentang kesuksesan di gereja, tetapi terutama dalam hidup kita.

Secara etimologis, kata “sukses” berasal dari bahasa Latin successus, yang berarti kemajuan atau pendakian. Seseorang mungkin memvisualisasikan sebuah gunung, menggunakan metafora dari buku David Brooks tahun 2019, The Second Mountain, di mana seseorang mencapai penghargaan dan prestasi pribadi maupun profesional. Brooks mengenang dengan penyesalan bahwa hingar-bingar mendaki gunung pertama itu membuatnya berubah menjadi “pribadi yang berbeda: pribadi yang menyendiri, keras, dan tidak komunikatif… Saya menghindari tanggung jawab atas hubungan yang intim.” Gunung kesuksesan ini adalah tempat yang sepi. Para pemenang puncaknya termasuk miliarder yang menikmati perjalanan luar angkasa, tetapi ada juga pendeta yang membangun platform selebritas mereka, dan siapa pun dari kita yang mendefinisikan kebahagiaan berdasarkan posisi, prestise, atau kekuasaan.

Kita mungkin berpikir bahwa hal ini tidak seperti kita: kita tidak mengejar ketenaran dan kekayaan. Akan tetapi seberapa sering kita membuat keputusan dan pilihan rutin yang meninggikan narasi kesuksesan duniawi? Apakah kita mendorong anak-anak kita bukan hanya untuk berprestasi tetapi juga untuk “mendapatkan nilai bagus?” Apakah kita menerima promosi di tempat kerja, meskipun hal itu berarti kehilangan waktu bersama keluarga dan teman? Apakah kita menyensor obrolan ringan atau profil media sosial untuk menyoroti bagian sukses dari cerita kita? Dalam perbincangan saya dengan para pendidik, pendeta, pembuat kebijakan, dan sebagainya, saya selalu menyadari bahwa evaluasi, reputasi, atau hasil selalu menjadi yang pertama dalam pikiran mereka. Kesuksesan harus dihitung dan diukur, terlepas dari keyakinan kita bahwa Tuhanlah yang menanam dan menabur banyak buah yang tidak terlihat.

Baru-baru ini saya menghadiri sebuah konferensi di mana saya melihat seorang teman pria dan saya berlari mendekat untuk menyapanya. Dia sedang berbicara dengan seorang wanita yang tidak saya kenal. Saya menyapa wanita itu, tetapi ia tetap duduk. Saya mencoba untuk melibatkan dia ke dalam percakapan dan mencari tahu tentangnya. Dia baru bersedia berdiri dan memperhatikan saya setelah teman saya memperkenalkan saya dengan daftar penghargaan dan publikasi saya. Tanggapan seperti itu membuat saya merasa sedih. Jika dia tidak tahan untuk berbicara dengan saya tanpa resume saya, maka dia tidak boleh berdiri hanya karena mengetahui keberhasilan saya.

Walker Percy pernah menyindir, “Anda bisa mendapatkan semua nilai A dan masih gagal dalam hidup.” Bagaimana kita bisa menghilangkan anggapan umum bahwa sukses itu penting? Dalam Alkitab, kehidupan sukses menampilkan peringatan yang mengerikan: Raja Saul, Raja Daud, Raja Salomo. Namun justru kehidupan para nabi yang tidak didengarkan itulah yang ditinggikan Allah: Yesaya, Yeremia, Yehezkiel. Atau, kehidupan dengan kegagalan terbesar, di mata dunia, seperti Yesus Kristus, yang karena pelayanan-Nya menyebabkan Dia dieksekusi di tangan orang-orang yang Ia layani. Sepanjang tradisi gereja, para rasul dan orang-orang suci meneladani kegagalan ini, menjadi martir, asketik, hamba Tuhan yang terlupakan. Lalu mengapa kita, di abad ke-21, terus-menerus beralih kepada ambisi-ambisi palsu, dan bagaimana kita mematikannya?

Mountain Landscape with BridgeImage: Thomas Gainsborough / National Gallery of Art Open Access
Mountain Landscape with Bridge

“Orang mati itu terbaring, seperti semua orang mati selalu terbaring, dengan cara yang sangat berat”—begitulah awal dari buku The Death of Ivan Ilych karangan Leo Tolstoy. Judulnya sudah memberitahukan plotnya; kita sudah tahu ceritanya tentang kematian karakter utama kita. Kita perlu peduli dengan kematian Ivan karena hidupnya terdengar sangat mirip dengan kita. Saat kematian mendekat, Ivan menyadari bahwa dia “telah menurun” sementara dia membayangkan sepanjang waktu dia “naik”: “Saya semakin naik dalam opini publik, tetapi pada tingkat yang sama hidup saya terus menurun.” Ivan telah mendaki gunung kesuksesan yang palsu. Dia memiliki sebuah rumah yang tampak kaya dengan “semua hal yang dimiliki orang-orang dari kelas tertentu agar menyerupai orang lain dari kelas itu.” Penulis mengisyaratkan bahwa kehidupan sukses Ivan dibangun di atas fondasi yang rapuh. Kebahagiaan yang diperolehnya adalah karena menyesuaikan diri, seolah-olah menjadi seperti orang lain, yang berarti memiliki apa yang dimiliki orang lain.

Ketika Ivan menyadari bahwa dia akan mati, dia menjerit dalam ketakutan, erangan, dan protes. Ivan tidak mau mati; dia tidak boleh mati. Ivan belum siap untuk mati. Dalam pergolakan penderitaannya, “sebuah pertanyaan tiba-tiba terlintas di benaknya: ‘Bagaimana jika seluruh hidupku ini telah salah?’” Saat Ivan merenungkan hal ini, dia menyadari bahwa “dorongan hati yang hampir tidak terasa yang telah dia tekan segera, mungkin adalah hal yang nyata, sedangkan yang lainnya adalah palsu. Dan seluruh hal yang dia lakukan untuk hidupnya dan keluarganya, serta segala keinginannya, semuanya itu mungkin tipuan.” Hanya dengan menghadapi kematian, Ivan melihat semua kesuksesannya seperti asap dan cermin, sedangkan hal-hal yang nyata telah dia abaikan.

Ivan diubah oleh pengharapan bahwa, meskipun dia hidup dalam mengejar cita-cita palsu, dia bisa mati dengan baik. Dia melihat putranya mencium tangannya, dan istrinya dengan “air mata yang belum kering di hidungnya”, dan dia berempati dengan mereka. Dia ingin merawat rasa sakit mereka lebih dari rasa sakitnya sendiri. Dia mencoba untuk mengatakan, “Maafkan saya,” tetapi hanya bisa mengucapkan “Lepaskanlah.” Dengan pemahaman yang baru tentang apa yang penting, ketakutan Ivan akan kematian pun ditaklukkan. Gunung yang tua itu pun larut menjadi debu. Cahaya menggantikan kematian, dan kegembiraan mengalahkan rasa sakit.

Dalam memoar pertobatan Brooks, ada gunung lain yang harus didaki, melewati puncak kesuksesan yang lebih kecil—yang disebut Brooks sebagai “Gunung Kedua.” Bagi Brooks, gunung pertama menawarkan kebahagiaan sesaat, yang kontras dengan kegembiraan di puncak gunung kedua:

Kebahagiaan berasal dari pencapaian, sedangkan sukacita berasal dari mempersembahkan pemberian. Kebahagiaan memudar; kita bisa menjadi terbiasa dengan hal-hal yang dulu membuat kita bahagia. Namun sukacita tidaklah memudar. Hidup dengan sukacita berarti hidup dengan ketakjuban, kebersyukuran dan pengharapan. Orang-orang yang berada di gunung kedua telah diubah.

Melalui Ivan Ilych, kita menyaksikan transformasi yang indah ini. Meskipun kita telah mendengar kebenaran ini sebelumnya, kita terus hidup seolah-olah gunung kesuksesan pertama adalah puncak yang sesungguhnya. Akan tetapi gunung pertama itu harus mati dalam pandangan kita. Hanya gunung Sinai, Tabor, dan Golgota sajalah yang menjadi tempat sebenarnya. Gunung-gunung ini harus bangkit, menjadi tujuan suci dari hidup kita, yang harus kita daki seumur hidup kita. Untuk mendaki gunung-gunung suci ini, kita perlu melepaskan impian kita akan kesuksesan. Karena puncak dari gunung kedua ini, seperti yang dicontohkan oleh Juruselamat kita yang agung, tidak membutuhkan ambisi melainkan kepatuhan, transfigurasi, dan kematian atas ambisi kita.

Pertanyaan refleksi:



1. Bagaimana Anda mendefinisikan “kesuksesan”? Dari sumber apa Anda mengambil definisi Anda: Kitab Suci, ajaran gereja, keluarga dan teman yang mencontohkannya?

2. Di mana Anda menemukan diri Anda terpeleset ke dalam keputusan yang dibuat berdasarkan definisi kesuksesan dunia?

3. Jika Anda dapat membuat daftar kesuksesan Anda di batu nisan Anda, bagaimana Anda menyusunnya dalam satu baris?

Jessica Hooten Wilson adalah dosen Liberal Arts penuh waktu di Seaver College-Pepperdine University and Senior Fellow di Trinity Forum. Ia penulis dari beberapa buku. Bukunya yang terbaru berjudul The Scandal of Holiness: Renewing Your Imagination in the Company of Literary Saints.

Diterjemahkan oleh George H. Santoso.

Artikel ini merupakan bagian dari New Life Rising yang menampilkan artikel dan pendalaman Alkitab yang merefleksikan makna kematian dan kebangkitan Yesus. Terbitan khusus ini yang dapat digunakan selama masa Prapaskah, Paskah, atau kapan saja. Pelajari lebih lanjut di http://orderct.com/lent.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Mati bagi Diri yang Tak Tergantikan

Mungkin kita perlu mendengar kata-kata Yesus sebagai sebuah perintah untuk menyangkal cara-cara bawaan kita dalam menilai dan mengukur diri.

Christianity Today February 17, 2023
Image: Illustration by Bethany Cochran

Catatan untuk Pembaca: Artikel ini membahas topik tentang bunuh diri.

Kata-Nya kepada mereka semua: "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku. Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan menyelamatkannya." – Lukas 9:23-24

Unduh Renungan Prapaskah

Bagi seorang Kristen, jawaban yang jelas untuk pertanyaan “apa yang perlu mati?” adalah “diri sendiri.” Seperti yang Yesus katakan kepada para murid-Nya, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku” (Luk. 9:23). Kita cenderung mendengar hal ini sebagai perintah untuk menyangkal nafsu dan keinginan diri yang tidak terkendali, dan memang hal ini ada benarnya juga. Akan tetapi, mungkin kita perlu mendengar kata-kata Yesus dengan cara yang lebih radikal: sebagai sebuah perintah untuk menyangkal cara-cara bawaan kita dalam menilai dan mengukur diri. Dalam era teknologi yang terobsesi dengan ukuran untuk memetakan aktivitas fisik, produktivitas intelektual, kesehatan emosional, dan dampak keseluruhannya bagi manusia, diri kita pun dipandang sebagai entitas yang terukur—entitas yang nilainya dapat diukur dan dinilai apakah efektif atau tidak, berdampak atau tidak penting, sangat diperlukan atau dapat disingkirkan. Oleh karena itu, memang terdengar sangat radikal jika kita harus menyangkal diri sebagai entitas yang terukur.

Namun susunan Injil Lukas mengarahkan kita pada cara memahami kata-kata Yesus ini. Hanya beberapa ayat setelah para murid mendengar instruksi ini, mereka memperdebatkan “siapakah yang terbesar di antara mereka.” Yesus menanggapi dengan menempatkan seorang anak kecil di pangkuan-Nya dan menunjukkan sudut pandang yang berbeda tentang diri: “Yang terkecil di antara kamu sekalian, dialah yang terbesar” (Luk. 9:48). Paradoks ini, yang ada di dalam inti Kerajaan Allah, menunjukkan bahwa jika saya mati terhadap visi diri saya sendiri sebagai yang agung atau paling penting, maka saya dapat dibebaskan untuk hidup dengan setia dalam kekaguman dan rasa syukur seperti anak kecil.

Dalam bukunya Lost in the Cosmos, yang bersifat self-help dan nyeleneh, Walker Percy menawarkan sebuah eksperimen pikiran yang berkaitan dengan bunuh diri yang mungkin membantu kita merasakan bobot radikal dari perintah Yesus untuk menyangkal diri. Percy tidak menganggap remeh realitas tentang bunuh diri: kakek dan ayahnya bunuh diri, dan Percy yakin kematian ibunya dalam kecelakaan mobil juga merupakan bunuh diri. Sementara bunuh diri bisa tampak seperti penyangkalan harga diri, namun Percy membingkainya secara berbeda. Menanggapi munculnya depresi dan bunuh diri pada tahun 1980-an—masalah yang semakin mewabah dalam beberapa tahun terakhir—Percy mengajak seorang pasien yang ingin bunuh diri untuk mempertimbangkan bahwa mungkin “Anda depresi karena Anda memang memiliki segala alasan yang kuat untuk depresi…. Anda hidup di zaman yang gila—lebih gila dari biasanya, karena meskipun ada kemajuan besar dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia tidak memiliki gagasan sedikit pun tentang siapa dia atau apa yang dia lakukan.”

Resep dari Percy untuk mengatasi keputusasaan yang begitu mendalam bukanlah dengan menyangkali sekian banyak alasan keputusasaan yang valid. Sebaliknya, Percy berusaha melepaskan mitos tentang diri yang tak tergantikan. Orang yang ingin bunuh diri harus mengakui: Saya tidaklah penting. Percy mengajak pasiennya untuk membayangkan akibat bunuh diri. Dia menyebutkan kemungkinan konsekuensi dari perbuatan ini bagi anggota keluarga, sesama, dan rekan kerja. Terlepas dari disrupsi yang ditimbulkan oleh kematian, “dalam waktu yang sangat singkat, semua orang akan kembali kepada kebiasaannya sendiri seolah-olah Anda tidak pernah ada.” Dengan demikian, hasil dari eksperimen pikiran tersebut adalah: “Bagaimanapun juga, Anda bukanlah orang yang tidak tergantikan.”

Bagi Percy, kesadaran ini seharusnya mengangkat beban yang sangat besar dari pundak si pasien: “Mengapa tidak hidup saja, daripada mati? Anda bebas untuk melakukannya. Anda seperti seorang tahanan yang dibebaskan dari sel penjara hidupnya.” Semua orang mungkin masih “merasa sangat khawatir…atas status, menjaga muka, harga diri, persaingan nasional, kebosanan, kecemasan, depresi yang membuat mereka merasa butuh kelepasan terutama dalam perang dan bencana alam yang terus-menerus menimpa sesama.” Akan tetapi si mantan pelaku bunuh diri telah dibebaskan dari beban-beban diri yang terukur ini. Maksud Percy adalah bahwa nilai intrinsik hidup kita bukan berasal dari produktivitas atau efikasi atau persepsi akan pentingnya diri kita; ketika kita mati terhadap cara-cara mengukur diri seperti ini, kita dapat terbebaskan untuk menerima kehidupan sebagai anugerah yang tak terukur.

Percy menyimpulkan dengan dua sketsa yang membandingkan seorang yang tidak bunuh diri, yang masih berjuang melawan godaan untuk mengakhiri hidupnya dalam keputusasaan, dengan seorang mantan pelaku bunuh diri, yang telah mempertimbangkan kemungkinan bunuh diri dan menerima ketidakberdayaan dirinya:

Orang yang tidak bunuh diri adalah seorang penyedot perhatian yang berjalan, menghisap perhatian bersamanya dari masa lalu dan dihisap menuju perhatian terhadap dirinya di masa depan. Ia terengah-engah.

Berbeda halnya dengan si mantan pelaku bunuh diri. Ia membuka pintu depannya, duduk di tangga teras, dan tertawa. Karena dia memiliki pilihan untuk mati, dia tidak akan rugi dengan tetap hidup. Tetap hidup itu menyenangkan. Dia pergi bekerja bukan lagi sebagai sebuah tuntutan.

Percy mungkin telah keliru karena meremehkan konsekuensi sebenarnya dari kematian seseorang. Tentu saja kehilangan manusia siapa pun juga sangat dirasakan oleh anggota keluarga dan orang-orang yang dicintai, dan meskipun hidup terus berjalan, rasa kehilangan itu tidak dapat ditarik kembali. Meski demikian, poin yang lebih mendalam tetap ada: jika kita melepaskan diri yang terukur (the measurable self), kita dibebaskan untuk menerima diri yang diberikan (the given self), dan pertukaran ini memiliki implikasi yang mendalam tentang bagaimana kita hidup. Secara khusus, melepaskan diri yang terukur akan menggulingkan berhala kebesaran kita—dan bayangan cerminnya: kesia-siaan yang melumpuhkan—dan memungkinkan kita untuk hidup dengan setia tanpa mengkhawatirkan potensi dampak atau signifikansi kita.

Winter Scene in MoonlightImage: Henry Farrer / Wikimedia Commons
Winter Scene in Moonlight

Jika kita berpegang teguh pada mitos bahwa kita sangat dibutuhkan, kita—baik sebagai individu maupun institusi—akan tergoda dengan teknologi atau gerakan politik apa pun yang menjanjikan untuk memperluas jangkauan kita dan membuat kita lebih efektif. Jika kita berpikir bahwa kesuksesan bergantung pada upaya kita, kita akan beralih kepada pemikiran para pemimpin dan selebritas yang telah mencapai kehebatan nyata. Trik produktivitas apa yang mereka gunakan? Aplikasi apa yang memungkinkan mereka memaksimalkan jangkauan mereka? Strategi politik apa yang mereka ikuti? Cita-cita untuk menjadi besar dapat menghalalkan segala cara.

Pencobaan inilah yang Yesus hadapi pada awal pelayanan-Nya ketika Iblis mendatangi Dia di padang gurun. Yesus ditawarkan otoritas atas semua kerajaan dunia jika Dia mau menyembah Iblis (Luk. 4:6–7). Yesus bisa saja mencapai tujuan misi-Nya di bumi tanpa harus mengalami penderitaan dan kehinaan karena pengorbanan-Nya. Hal itu tampaknya jauh lebih efisien! Namun misi-Nya juga memerlukan kesetiaan dan kepatuhan kepada Bapa, kepatuhan yang membawa-Nya ke Getsemani dan Golgota. Selama perjalanan Prapaskah kita sendiri, kita memiliki kesempatan untuk menarik diri—berpuasa dari makanan atau media sosial atau cara lain yang selama ini kita andalkan untuk menjalani gaya hidup berdampak besar—dan merenungkan apakah sarana-sarana yang kita gunakan untuk menjadi efektif sebenarnya selaras dengan jalan Salib, jalan penyangkalan diri, jalan dari Yesus.

Sisi lain dari obsesi terhadap keberhasilan ini adalah merasuknya rasa kesia-siaan dan keputusasaan: beberapa orang atau institusi lain akan selalu tampak lebih sukses daripada kita. Dan bahkan jika kita menolak godaan untuk membandingkan diri kita dengan orang lain, masalah-masalah di zaman kita yang gila ini akan terus membayangi, membuat kita takut dengan ukurannya dan membayangi segala upaya kecil kita. Memakai istilah budaya yang menegaskan dan merayakan diri yang terukur, tidak ada tips kehidupan yang akan memungkinkan Anda untuk “memanfaatkan” aset demi “membuat perbedaan” atau “memberi dampak” pada persoalan-persoalan seperti perubahan iklim atau rasisme atau kemerosotan agama. Rasa kesia-siaan ini dapat menyebabkan keputusasaan yang melumpuhkan.

Namun jika kita mengikut Yesus dan menyangkal diri, kita mengalami kekaguman dan vitalitas seperti anak kecil, seperti yang dialami oleh mantan pelaku bunuh diri dalam buku Percy. Untuk menunjukkan sikap ini dalam kaitan dengan contoh saya sebelumnya, menyadari bahwa Anda tidak harus memperbaiki perubahan iklim akan membebaskan Anda untuk merawat kebun Anda dengan gembira. Menyadari bahwa Anda tidak perlu memberantas rasisme akan membebaskan Anda untuk mendengarkan seorang teman dari latar belakang ras yang berbeda. Menyadari bahwa Anda tidak perlu memulihkan kemerosotan moral budaya akan membebaskan Anda untuk mengundang beberapa anak di sekitar lingkungan Anda untuk ikut acara api unggun. Menyadari bahwa Anda tidak harus menyelamatkan dunia akan membebaskan Anda untuk mengasihi sesama.

Penyangkalan yang mendalam terhadap sikap menganggap diri penting akan memberi kita kepercayaan diri yang kita butuhkan untuk lebih mengejar kesetiaan daripada dampak, kepatuhan daripada keberhasilan. Standar-standar yang kontras ini sangat memengaruhi cara kita memutuskan jalur karier mana yang akan dipilih, strategi politik mana yang diikuti, teknologi mana yang diadopsi di gereja kita, dan pola hidup mana yang akan kita terapkan.

Secara inheren, tidak ada yang salah dengan menjadi pribadi yang efisien atau berpengaruh. Namun kedua hal ini secara hakiki tidaklah baik. Dan jika kita memandang pekerjaan atau institusi kita sebagai hal yang tak tergantikan, kita akan berusaha tanpa henti untuk memperluas jangkauannya. Sebaliknya, jika kita bekerja seperti mantan pelaku bunuh diri, kita akan bekerja dengan rasa syukur. Sebagaimana diingatkan melalui ritme kaum Sabbatarian, kita tidak menciptakan dunia atau menebusnya dari perbudakan; pekerjaan kita hanyalah berpartisipasi dalam pekerjaan yang telah Allah selesaikan.

Jika Yesus tidak menganggap "kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan," jika Yesus "telah mengosongkan diri-Nya sendiri," terlebih lagi kita, seberapa besar seharusnya kita melepaskan rasa menganggap diri penting (Flp. 2:6-7)? Tuhan tidak membutuhkan saya untuk mencapai tujuan-Nya. Saya benar-benar dapat digantikan. Yesus mengangkat anak kecil sebagai teladan dari sikap ini: anak kecil menjengkelkan-atau penuh kegembiraan—tidak efisien (Luk. 9:47–48; 18:15–17). Anak-anak tidak melakukan pekerjaan penting dan sering menghambat “produktivitas” orang lain. Dengan caranya sendiri, anak-anak mengingatkan kita bahwa kita perlu mati terhadap visi kita tentang kebesaran diri dan menerima Kerajaan Allah dengan rasa syukur, takjub, dan penuh sukacita seperti seorang anak kecil—atau seorang mantan pelaku bunuh diri.

Marilah kita menjalani hidup karena kita telah mati. Marilah kita merawat kebun kita, memelihara keluarga kita, mengasihi sesama kita, dan mulai bekerja karena kita telah mati terhadap diri yang terukur (the measurable self) dan menerima diri yang diberikan (the given self).

Pertanyaan refleksi



1. Apakah implikasi dari perintah Yesus untuk menerima Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil?

2. Bagaimana rasanya menerima panggilan Yesus untuk menjadi yang terkecil daripada yang terbesar?

3. Bagaimana kita bisa berbagi kegembiraan seperti mantan pelaku bunuh diri dengan mereka yang terbebani oleh kecemasan dan depresi?

“Bagi warga negara Indonesia, jika Anda berpikir untuk bunuh diri atau mengetahui seseorang yang mencoba melakukan bunuh diri, silakan hubungi [Layanan SEJIWA di nomor telepon 119 (ekstensi 8)].”

Jeff Bilbro adalah lektor kepala jurusan Bahasa Inggris di Grove City College. Buku-buku terbaru beliau di antaranya adalah Reading the Times: A Literary and Theological Inquiry into the News dan Loving God’s Wildness: The Christian Roots of Ecological Ethics in American Literature.

Diterjemahkan oleh Fanni Leets.

Artikel ini merupakan bagian dari New Life Rising yang menampilkan artikel dan pendalaman Alkitab yang merefleksikan makna kematian dan kebangkitan Yesus. Terbitan khusus ini yang dapat digunakan selama masa Prapaskah, Paskah, atau kapan saja. Pelajari lebih lanjut di http://orderct.com/lent.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Books

Memento Mori yang Selalu Hadir

Bagaimana kesadaran akan kematian menuntun kita untuk menjalani hidup lebih mendalam.

Christianity Today February 17, 2023
Image: Edits by Christianity Today / Philips Gysels / Emile Bernard / Wikimedia Commons

Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil. – Yohanes 3:30

Unduh Renungan Prapaskah

Setiap kali seseorang memasuki rumah masa kecil saya di bagian utara New York, mereka akan melihat dua foto hitam-putih berbingkai di meja ruang makan kami. Jika mereka tanggap, mereka akan merasakan bahwa rumah kami adalah rumah yang terhubung dengan keabadian, dengan cara yang tidak dapat diganggu gugat. Foto-foto itu adalah ibu saya yang berusia 37 tahun, Hanna, dan adik perempuan saya yang berusia 10 tahun, Esther.

Ibu saya meninggal karena aneurisma otak ketika saya berumur satu tahun, hanya tujuh hari setelah melahirkan anak kedelapan. Lima tahun setelah kematian ibu, adik perempuan saya Esther meninggal karena osteosarkoma.

Setelah kehilangan belahan jiwanya, ayah saya, yang berduka, memulai tradisi menyediakan tempat untuk ibu di setiap acara makan keluarga. Ini berlanjut bahkan setelah ayah menikah lagi, dan selama kami, anak-anak, tinggal di rumah. Kami selalu menempatkan potret ibu—yang sedang memegang mawar dan tersenyum—di atas piring. Setelah kematian adik perempuan saya, fotonya bergabung dengan foto ibu. Kami mengatur tempat itu untuk mereka, terlepas dari berapa banyak tamu yang kami undang; dan jika seseorang kebetulan bergabung dengan kami secara spontan, kami akan mempersilakan mereka untuk “menggunakan tempat ibu dan Esther”.

Dengan cara ini, dan tanpa disadari, saya dibesarkan dengan praktik memento mori sehari-hari. Memento mori adalah istilah dalam bahasa Latin untuk “ingatlah bahwa kamu harus mati.” Istilah ini menjadi pengingat simbolis akan kematian yang tak terhindarkan. Meski sebagai seorang anak saya tidak dapat mengartikulasikannya, saya tahu secara intuitif bahwa dengan mengabadikan ingatan ibu dan adik perempuan kami, kami mengakui ketidakhadiran mereka dan tipisnya tabir yang memisahkan kami. Beberapa teman terdekat saya kemudian memberi tahu saya bahwa itu membuat mereka berhenti setiap kali mereka memasuki rumah kami: dua anggota keluarga yang sangat kami cintai tidak ada di sana secara fisik, tetapi tentu saja hadir dalam roh.

Tumbuh dalam komunitas gereja Bruderhof, yang memiliki tradisi mengakui awan para saksi dari Ibrani 12 sebagai bagian dari iman kita yang hidup, saya mudah sekali menerima bahwa mereka yang telah meninggal tetap menjadi bagian dari gereja kekal yang sama dengan kita yang masih hidup. Hati saya, yang telah mengalami kehilangan yang sangat mendalam sejak dini, mendapat penghiburan dan inspirasi dari kata-kata pendeta dan teolog Jerman C. F. Blumhardt dalam Now is Eternity, yang sering dibagikan sebagai pengingat akan sifat transenden gereja:

Kita harus berlomba dengan mereka yang ada di surga. Tugas kita adalah memberi terang di bumi, dalam kelemahan duniawi; tugas mereka adalah memberi terang di surga, dalam kecemerlangan abadi. Siapa yang akan berbuat lebih banyak? Marilah kita berjaga-jaga, jangan sampai suatu saat kita dipermalukan. Ini adalah perlombaan yang sama dan tujuan yang sama pula, meskipun kita ditempatkan pada tempat yang berbeda. Mari kita lanjutkan bersama: mereka menjalankan tugas mereka di atas; kita melakukan tugas kita di bawah.

Sudah menjadi hal yang biasa bagi saya bahwa ibu dan adik perempuan saya (dan banyak orang terkasih lainnya yang telah meninggal) terkait dengan realitas kami di sini dan sekarang; Saya menganggap mereka sebagai kehadiran yang penuh kasih dan membimbing, tidak pernah jauh dari saya.

Perasaan itu tetap melekat pada saya, meskipun sudah lama sekali saya meninggalkan rumah tempat saya dibesarkan. Bertahun-tahun sejak itu, kami telah memakamkan ayah dan ibu tiri kami. Pada hari jadi mereka atau pada acara-acara khusus, foto mereka menghiasi dinding rumah saya, di bagian utara New South Wales, Australia. Di samping foto mereka kadang-kadang ada foto ibu saya, adik perempuan saya, dan ayah suami saya. Tidak ada tempat kosong di meja kami, tetapi kehidupan orang-orang yang saya cintai yang telah pergi mendahului senantiasa menginspirasi saya setiap hari. Dan saya akan selalu berterima kasih kepada ayah atas pelajaran yang dia ajarkan kepada saya dan saudara-saudara saya: menerima dan menghormati fakta dari kematian adalah praktik keseharian yang memberi kehidupan. Alih-alih membuat gelisah, praktik ini memberi keyakinan. Alih-alih menakut-nakuti, hal ini memberi rasa aman. Praktik ini membuat kesedihan menjadi kerangka bagi kehidupan yang lebih memuaskan.

Sekarang, saat saya merayakan Paskah kedua puluh saya di Australia, saya merenungkan betapa wajarnya untuk takut akan kerusakan dan kehilangan—baik secara fisik, moral, politik, atau relasional. Dan bagaimana, pada saat yang sama, masa Prapaskah dan Paskah mengingatkan kita bahwa terkadang hal-hal tertentu memang harus mati agar membuahkan kepenuhan hidup yang baru.

Kami merayakan Paskah di musim gugur di Belahan Bumi Selatan, dan lanskap di sekitar saya saat ini menjadi memento mori yang terlihat: ini adalah kembalinya musim yang suram dan gugur serta terasa berat menuju keheningan musim dingin. Hilang sudah tetesan salju, bunga krokus, bunga sakura, anak ayam berbulu halus, dan menetasnya kupu-kupu yang menggembirakan Paskah masa kecil saya dengan simbol kehidupan baru dan motif dekorasi tentang kebangkitan. Alih-alih, saya ditinggalkan dengan kulit pohon kayu putih yang terkelupas, daun-daun berguguran dari pepohonan yang telah kami tanam, perginya burung penyanyi, dan hari-hari yang semakin pendek. Paskah di Australia menuntut saya untuk masuk ke dalam waktu perenungan yang lebih mendalam tentang arti sebenarnya dari kata-kata Yesus, “Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah” (Yoh. 12:24).

Pada saat ini dalam sejarah, “biji gandum” apakah yang harus kita relakan untuk mati? Pertanyaan ini harus kita hadapi masing-masing secara pribadi, dan kita semua secara kolektif, sebagai sebuah gereja global. Kita hidup di masa ketika, di tengah begitu banyaknya komunitas kita, namun keterasingan dan perpecahan telah memicu matinya keterhubungan yang menguatkan dan tradisi rohani yang kaya serta membuat kita menggenggam susuran tangan yang sepertinya sudah tidak ada lagi. Atau kita mengejar para pemimpin (gerejawi maupun masyarakat) yang karismanya memikat kita, dan, seringkali, kita memuja mereka. Kita menyukai Yesus yang bangkit, tetapi tidak ingin Yesus yang disalibkan dan mati; Yesus yang ditinggikan, bukan Yesus yang mati dan dikuburkan. Kita merayakan panen, tetapi menghindari pengorbanan.

“Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil” (Yoh. 3:30). Yohanes Pembaptis memberikan tantangan, dan menunjukkan kepada kita tempat untuk memulai. Apakah kita berani memberi diri kita sendiri, sampai nafas terakhir kita, dalam pelayanan kepada Kristus dan kepada “sesama kita ke liang kubur,” seperti yang dikatakan oleh Charles Dickens, puas untuk menyeberangi jembatan dunia ini tanpa meninggalkan warisan yang kelihatan dan heroik? Dalam masa ketika setiap orang bisa bersuara di platform pilihan mereka, apakah kita puas duduk bersama dengan mereka yang terpinggirkan, dan hanya mendengarkan?

Di gereja saya, kami menyanyikan sebuah lagu yang sangat disukai, berjudul “The Wisp of Straw” karya Georg Johannes Gick, baik saat Natal maupun Paskah. Lagu tersebut bermakna sangat mendalam tentang inti misteri kematian Yesus sehingga kita dapat hidup. Lagu ini menceritakan kisah segumpal jerami, yang bersyukur karena telah dipakai untuk menjadi tempat tidur Sang Anak Allah. Namun bukan hanya itu saja:

Ketika Kau memberkati dunia yang luas sampai ke ujungnya, aku akan menjadi ladang yang menguning yang menantikan tangan-Mu bekerja. Sebelum Kau mati demi semua orang pada salib yang terangkat tinggi, aku akan menjadi roti yang Kau pecahkan untuk menebus kehilangan kami.

Gandum giling yang menghasilkan roti Perjamuan yang dipecahkan, dan buah anggur yang dihancurkan yang menyatu dengan sari anggurnya, meminta kita untuk menolak segala yang glamor dan membesar-besarkan diri, untuk menyingkirkan contoh-contoh kedayagunaan yang didasarkan pada angka, pertumbuhan, dan pemasaran yang curang. Tindakan kasih terakhir dari Tuhan kita sebelum Dia mati dan tindakan pertama-Nya setelah Dia bangkit adalah tindakan pelayanan yang hina: Dia membasuh kaki para murid-Nya; Dia memasak sarapan untuk mereka. Kristus yang bangkit meminta kita untuk pergi dan menjalani hidup, melangkah, dan berduka bersama para saudara-Nya yang terluka dan lelah—dan, ketika waktu kita sudah selesai, Ia meminta kita untuk menjadi puas dan bersukacita meski kita tidak pernah disebutkan lagi, karena kita tahu bahwa pelayanan itu adalah milik Allah, bukan milik kita.

Teolog Eberhard Arnold mengatakan seperti ini dalam esainya yang berjudul “Obstacles” dari buku Called to Community: “Hanya ketika segala kekuatan kita sendiri dilepaskan, maka Tuhan dapat memberikan buah roh dan membangun kerajaan-Nya melalui kita, pada kita, dan di antara kita. Tidak ada jalan lain.” Sebagai sebuah gereja global, sebagai jemaat lokal, sebagai individu rohani, kiranya kita bersedia untuk "mati bagi diri sendiri" setiap hari sebagai memento mori yang menuntun kita untuk menjalani hidup yang lebih mendalam dan penuh kasih di kehidupan ini, dan kehidupan yang akan datang.

Kemudian, dengan terlepaskan dari dorongan obsesif yang utama untuk diakui dan dipuja, untuk ditinggikan di antara manusia, maka kita akan benar-benar dapat memahami kata-kata Yesus yang mengikuti analogi-Nya tentang biji gandum yang mati agar dapat bertumbuh: “Barangsiapa mencintai nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, tetapi barangsiapa tidak mencintai nyawanya di dunia ini, ia akan memeliharanya untuk hidup yang kekal” (Yoh. 12:25).

Pertanyaan refleksi



1. Apa yang selama ini Anda genggam erat yang mungkin perlu Anda lepaskan agar Yesus menjadi lebih besar dalam hidup Anda?

2. Jika Anda tergoda untuk mengejar pengakuan yang tidak sehat, bagaimana Anda dapat mengarahkan energi Anda kepada tindakan pelayanan yang mungkin luput dari perhatian orang?

3. Pilih salah satu cara agar Anda dapat menjalankan praktik sehari-hari atau kesadaran akan

memento mori

dalam rangka menjalani hidup yang lebih membumi pada kehidupan mendatang.

Norann Voll adalah putri seorang petani dari New York, dan sekarang tinggal di Danthonia Bruderhof di pedesaan Australia bersama suaminya, Chris, dan ketiga putranya. Ia menulis bagi penerbit Plough tentang pemuridan, peran ibu, dan memberi makan bagi orang-orang.

Diterjemahkan oleh Denny Pranolo.

Artikel ini merupakan bagian dari New Life Rising yang menampilkan artikel dan pendalaman Alkitab yang merefleksikan makna kematian dan kebangkitan Yesus. Terbitan khusus ini yang dapat digunakan selama masa Prapaskah, Paskah, atau kapan saja. Pelajari lebih lanjut di http://orderct.com/lent.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Melawan Hiruk-pikuk Prapaskah

Beberapa pertanyaan menghantui para pendeta seperti: “Apa yang membuat pertemuan ibadah berhasil?”

Poor Artist’s Cupboard / Fallen Tree

Poor Artist’s Cupboard / Fallen Tree

Christianity Today February 16, 2023
Image: Charles Bird King / Alexandre Calame / National Gallery of Art Open Access / Edits by Christianity Today

Jadikanlah hatiku tahir, ya Allah, dan perbaharuilah batinku dengan roh yang teguh! Janganlah membuang aku dari hadapan-Mu, dan janganlah mengambil roh-Mu yang kudus dari padaku! – Mazmur 51:12-13

Unduh Renungan Prapaskah

Saya dapat memikirkan beberapa pertanyaan yang menghantui para pendeta, seperti misalnya pertanyaan ini: “Apa yang membuat pertemuan ibadah menjadi berhasil?”

Cukup mudah untuk menawarkan tanggapan yang masuk akal secara teologis, tetapi hiruk pikuk aktivitas yang menegangkan dalam pertemuan kepemimpinan gereja sebelum masa Paskah menunjukkan bahwa jawaban ini jarang memuaskan. Bahkan ketika banyak dari kita yang melayani di kalangan Injili kontemporer bersiap untuk memimpin gereja dalam ibadah dan melalui Firman, kemungkinan besar kita akan mengetahui ketegangan antara melayani dengan tenang dan setia dengan upaya untuk menyucikan ambisi kita sendiri. Sebagian kita paham betapa sulitnya merencanakan sesuatu bagi gereja kita sambil mencoba mengabaikan pemikiran ideal tentang gereja yang kita inginkan. Dorongan untuk membuat konten yang lebih besar, lebih lantang, dan lebih unik—yang menjadi definisi sukses bagi gereja dan pertemuan ibadah pun mulai terlihat lazim, duniawi, tidak imajinatif.

Ironi pelayanan ini sering terdengar paling keras selama masa Prapaskah. Sementara jutaan orang percaya di seluruh dunia memulai perjalanan rohani dengan persiapan yang senyap dan berat menjelang Paskah, banyak pendeta mereka membentuk tim untuk memfasilitasi ide-ide mewah yang dapat menarik banyak orang. “Minggu Super Bowl” dari kalender gereja modern ditandai dengan mewartakan kemenangan Kristus, tetapi bersamaan dengan tanggal itu muncul pula gagasan-gagasan yang sangat spesifik tentang kesuksesan dan tanggung jawab khusus yang diperlukan untuk mencapainya. Anggaran meroket. Jumlah sukarelawan yang dibutuhkan melonjak. Perayaan Paskah yang penuh sukacita bagi jemaat bisa terasa lebih seperti garis akhir yang melelahkan bagi staf dan tim yang memfasilitasinya.

Harga ini layak dibayar ketika ukuran kesuksesan hanyalah “lebih.” Lagi pula, lonjakan kehadiran di sekitar Paskah adalah fenomena nyata, dan itu membutuhkan persiapan yang matang dan strategi yang tepat. Beberapa gereja menganggap kemurungan dan kesuraman masa Prapaskah sebagai penghalang bagi rencana Paskah mereka, sehingga mengabaikannya sama sekali. Saya pernah mendengar Prapaskah disebut sebagai “Katolik” oleh kaum Injili kontemporer, atau dilabeli sebagai produk dari denominasi-denominasi yang sekarat dan tradisi liturgi kuno mereka. Lagi pula, tahun ini adalah baru. Orang-orang penuh harapan. Mengapa membebani awal perlombaan tahunan mereka dengan beratnya beban introspeksi yang berkelanjutan? Mengapa membenamkan momentum awal musim semi dengan perenungan yang sulit dan berisiko merusak pesta di bulan April?

Sebagian besar pemikiran ini berasal dari keinginan yang masuk akal agar gereja menjadi relevan secara budaya. Dengan masa yang hening dan senyap, bagaimana kita dapat berharap untuk menjangkau mereka yang mendapati diri berada dalam dunia yang tergesa-gesa dan bising? Secara internal, kita mungkin menghargai praktik pengakuan dosa dan puasa, tetapi bagaimana mungkin bara api yang asing ini dapat membangkitkan hati di dunia yang gelap? Jangan sampai saya terdengar seperti berteriak dari mimbar yang munafik. Saya yakinkan Anda bahwa dalam setiap konteks pelayanan saya, ini adalah ketegangan yang saya rasakan dari tahun ke tahun ketika memimpin kebaktian dan merancangkan pelayanan. Tantangan untuk merekonsiliasikan persiapan Paskah, baik sebagai pengikut maupun sebagai pendeta, adalah salah satu tantangan yang seringkali saya gagal di dalamnya. Bagi para pemimpin gereja, ada kalanya, tujuan untuk menjadi relevan secara budaya menjadi terpisah dan lebih unggul daripada tujuan untuk berdampak kuat secara budaya.

Perayaan Paskah pun menjadi memiliki makna yang sangat khusus: itulah saat di mana kita memainkan lagu-lagu kita yang paling keras dan menampilkan kebaktian yang terbesar dan paling sering di tahun ini. Ke mana perhatian kita terarah, demikian pula anggaran dan hasrat kita.

Akhirnya pendekatan ini akan menyebabkan tujuan kita beralih secara signifikan. Dibanding dengan tampilan dalam ibadah Paskah kita, pesan yang tertanam di dalam ibadah-ibadah itu pun bisa mulai membosankan. Banyak pendeta yang saya ajak bicara telah mengungkapkan rasa malu yang tersembunyi karena mencoba menciptakan sesuatu yang unik dan istimewa dari sebuah cerita yang mereka rasa telah diceritakan ratusan kali—dan sering kali diceritakan dengan lebih baik di gereja-gereja di ujung jalan atau secara daring. Hal itu mungkin terdengar mengejutkan untuk dibaca sebagai orang awam, tetapi saya menduga para pelayan gereja yang membaca ini setidaknya akrab dengan sentimen tersebut. Di mana kesuksesan berarti kelihaian dan tontonan, imajinasi pun menjadi sangat melelahkan. Sama seperti orang tua yang mengadakan pesta ulang tahun untuk balita mereka, semua pekerjaan yang perlu dilakukan hanya menyisakan sedikit ruang untuk berhenti sejenak dan benar-benar merayakannya.

Dorongan penolakan terhadap Prapaskah dari para perencana acara Paskah tidaklah salah. Tugas menjadikan Prapaskah relevan secara budaya dalam lingkungan seperti ini secara praktis tidak mungkin dilakukan. Jadi, biarkanlah! Inilah keanehan Prapaskah—kelambanannya yang sulit dihilangkan di tengah ketergesaan akan kesibukan baru di tahun ini, ajakannya yang mendorong kita untuk mengaku dosa ketika kesombongan dan keyakinan pada diri berada pada puncaknya. Keanehan Prapaskah ini justru membuatnya sangat mampu dan berpotensi untuk berdampak kuat, baik dalam budaya yang sedang kita coba jangkau maupun dalam budaya yang sedang kita kembangkan dalam jemaat kita.

Fallen TreeImage: Alexandre Calame / National Gallery of Art Open Access
Fallen Tree

Sepertinya saya menganjurkan untuk mengurangi perayaan Paskah. Justru sebaliknya. Justru perjalanan Prapaskahlah yang menempatkan Paskah dalam cahaya yang paling terang. Ini adalah gerakan kontra budaya yang ditawarkan dalam pengakuan dosa dan pengorbanan yang membuat jalan yang dilalui Kristus bagi kita menjadi begitu jelas dalam hati, pikiran, dan jemaat gereja kita. Dari semua hari Minggu, Paskah seharusnya menjadi pencapaian tertinggi yang kita buat dalam kalender gerejawi kita, bukan sekadar akhir pekan untuk bertahan hidup dengan senyuman yang dibuat-buat dan gigi terkatup. Paskah adalah sukacita yang mekar semakin besar. Namun tanpa menghadapi realitas akan perhambaan, tanpa menatap wajah dunia yang rusak, apa arti dari pembebasan Paskah? Tanpa menghadapi godaan kedagingan kita dan kegagalan dosa kita, harapan apa yang ada untuk mengilhami imajinasi penebusan dengan kisah Injil? Jika kita tidak dapat memperlambat diri kita sendiri dan meringankan sedikit beban kita untuk menikmati karunia dari Salib, mengapa kita berharap untuk secara efektif menyampaikan sukacita kebangkitan Kristus kepada teman-teman dan keluarga yang terhilang?

Jika Paskah diam-diam telah kehilangan sebagian dari kemilaunya di kalangan para pendeta dan pemimpin karena ekspektasi dan ritme yang tidak sesuai, maka Prapaskah dapat menawarkan lebih dari sekedar koreksi. Prapaskah bisa memberi kita kesempatan untuk menyalakan kembali kasih kita yang mula-mula kepada Tuhan. Dalam bukunya tentang masa Prapaskah, Great Lent, Alexander Schmemann menulis:

“Tradisi liturgi Gereja Tuhan, dengan segala siklus dan ibadahnya, ada, pertama-tama, untuk membantu kita memulihkan visi dan cita rasa dari hidup baru (di dalam Kristus) yang begitu mudah kita hilangkan dan khianati, sehingga kita dapat bertobat dan kembali kepada-Nya. Bagaimana kita bisa mencintai dan menginginkan sesuatu yang tidak kita ketahui? Bagaimana kita dapat menempatkan sesuatu yang belum pernah kita lihat dan nikmati, di atas segalanya dalam hidup kita? Natur kontra-budaya dari Prapaskah itulah yang menjadi intinya. Prapaskah adalah pembersihan spiritual menjelang perubahan cara hidup dan berada bersama dengan Allah. Dalam masa Prapaskah ini kita memiliki kesempatan untuk membiarkan ilah-ilah palsu mati agar Kristus dapat bangkit dengan tinggi dalam diri kita.”

Apa yang membuat pertemuan ibadah menjadi berhasil? Tentu ketika pertemuan ibadah itu menjadi tempat di mana Yesus dipresentasikan, dialami, disyukuri, dan dipuji secara nyata. Itu adalah tempat di mana semua orang yang lapar—baik tamu maupun pelayan—dapat menemukan peristirahatan di meja yang telah disediakan Tuhan. Jika kita bersedia menerima undangan yang ditawarkan Prapaskah, untuk memperlambat dan melepaskan ambisi-ambisi yang salah atau ritme yang melelahkan, kita mungkin menemukan sukacita yang selama ini kita rindukan di dalam perayaan Paskah—sukacita yang selalu dipersiapkan untuk diberikan kepada kita.

Pertanyaan refleksi



1. Pada saat pengakuan dosanya di Mazmur 51, kerinduan Daud adalah agar Tuhan membersihkan hatinya. Prapaskah mengajak kita memasuki ruang yang sama untuk mengajukan permohonan yang sama. Saat Daud membuka hatinya untuk diselidiki oleh Tuhan, ia berdoa secara khusus untuk kegirangan dan kerelaan hati. Melihat ke dalam kehidupan Anda sendiri, adakah pengharapan atau prioritas Anda mengungkapkan sumber sukacita yang berbeda atau keragu-raguan untuk mengikuti ke mana Tuhan memimpin dan bekerja?

2. Dalam Mazmur 51 (ay. 19), Daud melihat bahwa tindakan pujian mengalir dari hati yang remuk. Menurut Anda mengapa orang Kristen sering melihat pujian dan penyesalan sebagai ujung dari spektrum perenungan yang saling berlawanan ? Tuhan lebih menyukai pengorbanan dari hati yang remuk. Bagaimana menghayati hal ini selama masa Prapaskah dapat memperkuat seruan pujian Anda di Paskah?

Caleb Saenz dalah pendeta formasi spiritual di Alamo Community Church, San Antonio, Texas, di mana ia dan keluarganya akan melayani The Garden akhir tahun ini. Saat ini ia sedang studi di Institute of Worship Studies di Jacksonville, Florida.

Diterjemahkan oleh Mellie Cynthia.

Artikel ini merupakan bagian dari New Life Rising yang menampilkan artikel dan pendalaman Alkitab yang merefleksikan makna kematian dan kebangkitan Yesus. Terbitan khusus ini yang dapat digunakan selama masa Prapaskah, Paskah, atau kapan saja. Pelajari lebih lanjut di http://orderct.com/lent.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Culture

Bangkitnya Kehidupan yang Baru

Merenungkan hal-hal yang perlu mati dari diri kita untuk menuju pada kehidupan yang bersemangat.

Christianity Today February 16, 2023
Image: Illustration by Bethany Cochran

Unduh Renungan Prapaskah

SELAMAT DATANG. Tahun ini, Anda diundang dalam sebuah perjalanan melewati masa Prapaskah yang suram, ke dalam kegelapan Jumat Agung, dan keluar menuju terang Paskah dan kebangkitan Yesus Kristus yang menakjubkan. Dalam halaman-halaman ini, Anda akan dituntun melalui lanskap tanah air Yesus dan perjalanan yang Ia jalani melewati masa-masa kebingungan, keputusasaan, harapan, dan menuju sukacita abadi.

Seperti yang Anda ketahui, gereja berada pada titik yang penting di mana berbagai ide, metode, dan kenyamanan yang familier tampaknya sedang sekarat. Wajar untuk merasa takut terhadap kehancuran—baik secara fisik, moral, politik, atau relasional—tetapi masa Prapaskah dan Paskah menunjukkan bahwa terkadang hal-hal tertentu harus mati terlebih dahulu agar menghasilkan kepenuhan hidup yang baru.

Melalui tulisan-tulisan renungan dan ilustrasi artistik dalam terbitan khusus dari Christianity Today ini, berbagai pendeta, teolog, dan pemikir menawarkan perspektif mereka tentang apa yang harus kita biarkan mati di zaman kita, agar dapat menerima kenyataan dan hidup di dalam pembaruan yang dijanjikan Paskah. Istilah memento mori adalah ungkapan Latin yang melambangkan pengingat bahwa kematian tidak bisa dihindari. Saat kita bersama-sama menjalani masa Prapaskah dan Paskah ini, mari kita bertanya dan mendiskusikan apa yang menurut kita perlu mati untuk menuju kepada kehidupan yang penuh semangat dalam konteks panggilan dan komunitas kita yang unik.

Kami berharap renungan ini membantu Anda merangkul karunia Injil serta menuntun Anda pada kehidupan dan kasih yang lebih mendalam, baik di dunia ini maupun di dunia yang akan datang.

Artikel ini merupakan bagian dari New Life Rising yang menampilkan artikel dan pendalaman Alkitab yang merefleksikan makna kematian dan kebangkitan Yesus. Terbitan khusus ini yang dapat digunakan selama masa Prapaskah, Paskah, atau kapan saja. Pelajari lebih lanjut di http://orderct.com/lent.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Dunia yang Melelahkan di Taman Getsemani

Kita harus mematikan gagasan bahwa kitalah yang memegang kendali.

Christianity Today February 16, 2023
Image: Illustration by Bethany Cochran / George Seurat / Wikimedia Commons

“Kemudian Ia menjauhkan diri dari mereka kira-kira sepelempar batu jaraknya, lalu Ia berlutut dan berdoa, kata-Nya: “Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi.” – Lukas 22:41-42

Unduh Renungan Prapaskah

Saya tahu orang Jerman memiliki sebuah kata yang merangkumkan dengan sempurna perasaan yang hinggap dalam diri saya akhir-akhir ini. Mereka menyebutnya weltschmerz, sedangkan orang Perancis menyebutnya sebagai mal du siècle. Meskipun terasa asing bagi saya, kata-kata ini menggambarkan perasaan yang sangat akrab: rasa sakit yang memilukan dan menyesakkan ketika saya menyadari dunia tidak sebagaimana mestinya—bahwa keegoisan dan keserakahan telah merasuki bangsa-bangsa, bahwa manusia mampu melakukan tindakan kekerasan yang tak tergambarkan terhadap satu sama lain, bahwa hal yang paling mengerikan dapat terjadi tanpa sebab atau alasan.

Hari ini, saya duduk bersama dengan seorang teman yang putrinya meninggal tahun lalu pada usia baru 11 hari saja. Kematian seorang anak adalah rasa sakit yang sangat tak tertahankan sehingga begitu menakutkan untuk menatap mata yang penuh duka ini, sekalipun dari kejauhan. Fakta bahwa kita hidup di dunia di mana hal seperti itu bisa terjadi, bagi sebagian kita merupakan sakit hati yang perlahan menyeruak dari bawah permukaan. Weltschmerz menggambarkan kesadaran ini—semacam manifestasi di mana kita beresonansi dengan apa yang didefinisikan oleh filsuf Frederick C. Beiser sebagai “keadaan hati yang lelah atau sedih terhadap kehidupan, yang muncul dari kesadaran yang pedih akan kejahatan dan penderitaan.”

Mungkin sebelumnya perasaan itu mudah diabaikan, ketika tayangan berita televisi dan media sosial tidak menyerbu ruang aman kita. Bagi sebagian kita, keburukan kini seakan selalu hadir dan bayang-bayang tentang dunia yang melelahkan dapat tumbuh dengan mudah hingga terasa menyesakkan dengan cara yang tidak mungkin dilakukan sebelumnya.

Seperti banyak orang milenial lainnya, saya dicengkeram oleh perasaan pedih bahwa dunia semakin buruk, dengan bencana di setiap sudut. Dari bencana iklim hingga polarisasi dan kerusuhan politik hingga ketidakpastian ekonomi, kita dipaksa menghadapi ketidakberdayaan kita sendiri.

Saya adalah seseorang yang suka memperbaiki sesuatu. Jika saya melihat masalah atau menyaksikan seseorang menderita, saya tidak bisa tidak mencoba untuk menyelamatkan. Saya semakin kecanduan akan afirmasi yang dihasilkan karena bersikap seperti pahlawan. Namun bagian dari ketidaknyamanan weltschmerz adalah kesadaran bahwa saya tidak dapat memperbaiki kehancuran dunia. Saya tunduk pada ketidakpastiannya, tidak mampu berdiri di atasnya. Keutuhannya tidak terletak di tangan saya.

Selama masa Prapaskah yang memimpin kepada Paskah ini, saya merasa kita harus mematikan gagasan bahwa kitalah yang memegang kendali. Kita perlu mematikan sikap mengandalkan diri sendiri yang secara keliru menunjukkan bahwa kita mungkin dapat memperbaiki dunia, daripada mengandalkan Tuhan, satu-satunya Pribadi yang mampu memperbaiki keadaan. Seperti yang ditulis Agustinus dalam buku Confessions: “Namun Engkau, ya Tuhan, penguasa langit dan bumi, aliran air yang deras dan dalam berubah sesuai tujuan-Mu sendiri. Kau memerintahkan perubahan yang penuh gejolak selama berabad-abad. Bahkan dari amarah satu jiwa Engkau sanggup membawa kesembuhan bagi yang lainnya.”

Namun, terlepas dari kemahakuasaan Tuhan, Yesus menangis. Tuhan yang berinkarnasi dalam wujud manusia berdiri berdampingan dengan kita saat kita menjadi saksi atas penderitaan dan kesukaran dunia ini. Melalui Prapaskah, kita mengingat kedatangan Yesus di Betania pada hari-hari menjelang kematian-Nya, di mana Marta dan Maria putus asa, serta marah kepada-Nya karena membiarkan saudara mereka, Lazarus, mati. Yesus berdiri bersama mereka dalam kekacauan emosional mereka dan turut serta merasakan penderitaan mereka. Dia menangis bersama mereka. Dan di taman Getsemani, ketika Yesus memohon agar cawan penderitaan dan kematian diambil dari-Nya, Ia sangat sedih hingga peluh-Nya bertetesan seperti titik-titik darah. Ini bukanlah air mata yang santun dan tertahan, melainkan bagai sebuah siksaan yang menyeruak dari lubuk jiwa-Nya. Ini adalah Tuhan yang menangis—Tuhan yang menangis dengan begitu pedih. Tuhan sangat familier dengan rasa sakit dari weltschmerz.

Lalu bagaimana kita menjalani hidup dalam terang pemahaman bahwa dunia tidak sebagaimana mestinya, bahwa kita tidak mahakuasa, melainkan hanya Tuhan saja? Sedikit orang yang mengatakan lebih baik dari yang dikatakan Fred Rogers: “Saya cukup yakin bahwa Kerajaan Allah diperuntukkan bagi orang yang patah hati. Anda menulis tentang ‘ketidakberdayaan.’ Mari bergabunglah bersama kami, bukan kita yang memegang kendali, melainkan Tuhan.”

Kita dapat dimaafkan jika menanggapi dunia yang melelahkan ini dengan sikap apatis, menyerah dengan sikap masa bodoh terhadap pemahaman bahwa “segalanya sia-sia,” seperti yang kita baca dalam kitab Pengkhotbah. Akan tetapi kita tahu bahwa kesalahan dunia akan diluruskan melalui hadirnya Kerajaan Allah. Kita tahu bahwa kita seharusnya tidak berdukacita seperti orang-orang yang tidak mempunyai pengharapan (1Tes. 4:13).

Menyadari bahwa kita hidup di masa Kerajaan Allah yang sekarang dan yang belum, kita berpegang teguh pada pengharapan eskatologis bahwa semuanya akan dijadikan baru. Setelah penyaliban Yesus, datanglah kebangkitan-Nya. Terang yang menerobos kegelapan. Tabir penderitaan, kegelapan, dan keputusasaan pun terbelah dua.

Ketika kita mematikan keangkuhan dan sikap mengandalkan diri sendiri saat berpikir bahwa kita sendiri dapat memperbaiki kehancuran dunia ini, lalu berserah pada sesuatu—atau suatu Pribadi—yang lebih berkuasa, maka itu artinya kita menolak sikap apatis yang sia-sia yang diperlihatkan orang yang putus asa. Yesus di Getsemani tetap berdoa meski di tengah penderitaan dan kesedihan-Nya yang mendalam. Yesus tidak meninggalkan relasi-Nya dengan Bapa.

The Artist's MotherImage: George Seurat / Wikimedia Commons](https://s3-us-west-2.amazonaws.com/secure.notion-static.com/9c381fe2-9143-41b3-9a96-e694496306db/The_Artists_Mother_188283_Georges_Seurat_.jpeg) The Artist’s Mother by George Seurat / Wikimedia Commons
The Artist’s Mother

Tuhan memegang kendali, tetapi kita juga dapat menjalankan peran kita. Daripada berkubang dalam weltschmerz, kita dapat menerima undangan Tuhan untuk menjadi rekan sekerja dalam membangun Kerajaan Allah. Alih-alih dilumpuhkan hingga menjadi lesu dan apatis, kita dapat melakukan sesuatu—sekalipun sangat kecil—untuk menawarkan secercah keutuhan dari shalom.

Teman saya, yang tahun lalu bayi perempuannya mengalami kematian tragis, telah memilih untuk melakukan sesuatu daripada pasrah pada sikap apatis yang sangat mengganggu akibat pengalaman kehilangan yang tak terbayangkan. Ia dan suaminya telah mengumpulkan ribuan dolar untuk rumah sakit tempat putri mereka meninggal. Dana tersebut disediakan untuk membayar biaya kamar yang dapat ditempati oleh para orang tua selama beberapa hari pertama anak mereka dirawat.

Seperti inilah harapan di hadapan dunia yang melelahkan. Doa yang sungguh-sungguh melalui penderitaan di taman Getsemani. Tindakan nyata ganti sikap apatis, kasih ganti kebencian, doa ganti kesenyapan; dan pada akhirnya kita dapat mengakui bahwa terlepas dari rasa sakit weltschmerz yang mengintai tepat di bawah permukaan, kita dapat memilih pengharapan daripada keputusasaan karena apa yang Kristus lakukan di kayu salib. Seperti yang Yesus katakan: “Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya kamu beroleh damai sejahtera dalam Aku. Dalam dunia kamu menderita penganiayaan, tetapi kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia” (Yoh. 16:33).

Pertanyaan refleksi



1. Apakah konsep

weltschmerz

—“keadaan hati yang kelelahan atau sedih terhadap kehidupan, yang muncul dari kesadaran yang pedih akan kejahatan dan penderitaan”—adalah konsep yang akrab bagi Anda? Kapan Anda pernah sangat merasakannya?

2. Secara praktis, seperti apa berserah pada kedaulatan Tuhan di tengah penderitaan yang Anda alami?

3. Selama masa Prapaskah, bagaimana Anda dapat mengambil bagian dalam melakukan kebaikan atau pelayanan kepada orang lain, yang dapat membawa terang ke dalam kegelapan atau mendemonstrasikan Kerajaan Allah?

Chine McDonald adalah seorang penulis, penyiar, dan penulis God Is Not a White Man: And Other Revelation. Ia adalah direktur Theos, lembaga pemikir agama dan masyarakat terkemuka di Inggris.

Diterjemahkan oleh Maria Fennita S.

Artikel ini merupakan bagian dari New Life Rising yang menampilkan artikel dan pendalaman Alkitab yang merefleksikan makna kematian dan kebangkitan Yesus. Terbitan khusus ini yang dapat digunakan selama masa Prapaskah, Paskah, atau kapan saja. Pelajari lebih lanjut di http://orderct.com/lent.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Kesedihan Hagar Menolong Saya menjadi Orang Tua bagi Anak-anak yang Rapuh

Melalui pergumulan seorang hamba perempuan di Perjanjian Lama, saya belajar membesarkan anak- anak yang dikenal sebagai “generasi stroberi.”

Christianity Today January 26, 2023
Illustration by Mallory Rentsch / Source Images: WikiMedia Commons / Unsplash

Pertengahan tahun lalu, kami mengumumkan sebuah kontes esai bagi orang-orang Kristen yang menulis dalam Bahasa Indonesia. Esai-esai ini ditinjau dengan cermat oleh editor kami dan dinilai secara anonim oleh tim juri. Hari ini, dengan bangga kami mengumumkan bahwa pemenang Kontes Esai Christianity Today 2022 adalah Tomy Handaka Patria dengan judul esai “Kesedihan Hagar Membantu Saya menjadi Orang Tua bagi Anak-Anak yang Rapuh.” Kami juga sangat senang bisa memublikasikan karyanya kepada para pembaca berbahasa Indonesia dan Inggris. Bagi Anda yang ingin mengetahui tentang bagaimana menulis untuk kami, klik di sini untuk panduan lebih lanjut.

Kami juga berterima kasih kepada para juri yang telah berpartisipasi dalam penilaian esai pada kontes ini:

• Pdt. Wahyu Pramudya: Gembala jemaat Gereja Kristen Indonesia Ngagel, Surabaya, dan pendiri ributrukun.net.

• Pdt. Lucky Samuel: Pendeta bidang ibadah Gereja Kristus Yesus Mangga Besar, Jakarta, dan dosen Liturgi Sekolah Tinggi Teologi Amanat Agung, Jakarta.

• Fini Chen: Supervisor tim SDH-SLH Professional Development and Curriculum Enrichment, Tangerang.

Editor Pelaksana CT Global: Morgan Lee, Hawai’i, Amerika Serikat
Direktur Editorial CT Indonesia: Maria Fennita S., Indonesia

Hidup itu pada dasarnya adalah sebuah tantangan. Dan untuk menghadapi tantangan dibutuhkan manusia-manusia yang terlatih secara mental untuk menghadapinya, bukan menghindarinya (Rhenald Kasali, Strawberry Generation , 2017)

Beberapa tahun yang lalu, Rhenald Kasali menulis tentang generasi masa kini di Indonesia yang dikenal sebagai “generasi stroberi.” Gambaran buah stroberi tersebut menjadi populer sebagai cara untuk menggambarkan kehebatan generasi ini, namun sekaligus juga mudah hancur. Dibesarkan oleh orang tua yang jauh lebih sejahtera dari generasi-generasi sebelumnya, generasi stroberi ini dikenal kreatif namun mudah menyerah ketika menghadapi tantangan, mudah sakit hati, serta cenderung ingin mengambil jalan pintas untuk meraih sesuatu.

Sebagai orang tua yang memiliki dua anak, yang salah satunya beranjak remaja, saya pun mendapati bahwa generasi stroberi bisa saja sedang tumbuh di dalam rumah saya. Apalagi, di tengah kecanggihan teknologi informasi serta pandemi yang memaksa anak-anak saya untuk berinteraksi secara daring selama beberapa tahun belakangan ini.

Sewaktu memikirkan sebuah pola asuh yang tepat bagi anak-anak saya di kemudian hari, perhatian saya tertuju pada kitab Kejadian yang menceritakan tokoh-tokoh iman yang jauh dari sempurna. Secara khusus, beberapa kali saya merenungkan kisah pelarian Hagar (Kej. 16) dan belajar bahwa terkadang Tuhan mengizinkan hamba-hamba-Nya mengalami kesulitan hidup supaya mereka mengerti keindahan di balik rencana-Nya.

Hagar adalah seorang Mesir yang kemudian diambil menjadi budak oleh Sarai, istri Abram (di pasal 17, Tuhan menamakan mereka Sara dan Abraham). Ketika Tuhan memerintahkan Abram dan Sarai pergi meninggalkan negeri mereka, Dia berjanji untuk menjadikan keturunan mereka sebagai bangsa yang besar (Kej. 12:2). Namun setelah ditunggu-tunggu selama sekitar 10 tahun, Sarai tidak kunjung mendapat anak. Dia kemudian memiliki ide untuk memberikan Hagar kepada Abram. (Budaya seorang istri untuk memberikan budak perempuannya kepada suaminya demi bisa mendapat keturunan umum dilakukan di daerah Mesopotamia waktu itu).

Singkat cerita, Hagar pun mengandung. Namun dari situlah konflik berawal. Hagar memandang rendah nyonyanya itu. Sikap Hagar ini pun menjadikan Sarai jengkel. Setelah mengadu pada Abram, Sarai ganti menindas Hagar. Karena tidak tahan hidup di bawah penindasan, Hagar pun melarikan diri. Apa yang dilakukan Hagar ini sesuai dengan akar kata dari namanya dalam bahasa Ibrani yang berarti “melarikan diri.”

Di tengah pelariannya itu, seorang malaikat Tuhan menampakkan diri kepada Hagar dan menyatakan tiga hal kepadanya—yang saya percaya dapat menjadi sebuah panduan bagi para orang tua dalam menghadapi dilema seperti saya.

1. “Kembalilah kepada nyonyamu, biarkanlah engkau ditindas di bawah kekuasaannya” (Kej. 16:9)

Sungguh aneh, bukan? Alih-alih melepaskan Hagar dari penderitaan, Malaikat itu malah memintanya untuk kembali pada Sarai dan mengalami penindasan. Saya teringat dengan sebuah pepatah bahasa Jawa, kuthuk marai sunduk (anak ayam yang mendekat pada tusukan). “Sudah tahu bahaya, mengapa malah mendekat ke situ?” begitu kira-kira artinya.

Namun melalui perintah yang terlihat janggal ini, Hagar diajar untuk melihat dan membereskan masalah yang ada dalam dirinya dulu sebelum melihat kondisi di sekitar dirinya. Apakah itu? Hagar memiliki kecenderungan untuk lari dari kesulitan hidup. Memang dia bisa merasa hidup ini tidak adil. Hidup sebagai budak, dihamili oleh tuannya (kemungkinan besar tanpa persetujuan darinya) dan bahkan ditindas nyonyanya. Karena kesalahan orang lainlah, hidupnya menjadi sengsara. Akan tetapi, malaikat itu tidak melihat situasi tersebut sebagai alasan yang sah bagi Hagar untuk melarikan diri.

Banyak dari kita di generasi yang lebih tua sering mengkritik apa yang kita lihat sebagai kecenderungan generasi stroberi untuk menghindari masalah. Namun generasi stroberi tidak muncul dengan sendirinya. Di balik kerapuhan mereka, terdapat kekeliruan pola asuh yang diberikan oleh lingkungan, terutama orang tua mereka sendiri. Menurut Rhenald Kasali, ada kecenderungan pada orang tua untuk mengawal dan menuntun anak secara berlebihan. Mereka terlalu banyak kekhawatiran dan larangan sehingga anak-anak mereka bagai hidup di sangkar emas.

Jika mau, Tuhan dapat menyingkirkan masalah dari hidup kita dalam sekejap karena bagi Dia tidak ada yang mustahil (Luk. 1:37). Namun demikian, tidak jarang Tuhan mengizinkan kita untuk hidup di tengah berbagai kesulitan. Mengapa Tuhan melakukan itu? Rick Warren mengatakan bahwa Tuhan ingin mendewasakan karakter anak-anak-Nya dan bertumbuh serupa Kristus sehingga Dia tidak selalu memberi kenyamanan hidup kepada kita. Kisah pelarian Hagar mengajarkan bahwa Tuhan menginginkan anak-anak-Nya untuk menghadapi kesulitan hidup dan bukannya melarikan diri.

Tidak adanya interaksi secara fisik dengan para guru dan teman sebaya selama pandemi membuat anak-anak saya menurun keterampilan sosialnya, kurang disiplin, dan mudah menyerah ketika menghadapi tugas yang sulit – gejala yang ada pada generasi stroberi menurut penjelasan Rhenald Kasali. Apalagi, bagi anak kedua kami yang hampir tidak pernah bersekolah secara fisik.

Kisah pelarian Hagar ini kemudian mendorong saya dan istri untuk sesekali “tega” membiarkannya mengatasi persoalan sendiri. Misalnya, kami tidak selalu membantunya mengerjakan tugas-tugas sekolah. Kadang hal itu membuatnya sedih karena hasilnya mengecewakan. Di lain waktu, kami juga “memaksanya” untuk berinteraksi dengan teman-teman baru di gereja.

Masa-masa sekolah daring membuatnya terlalu lekat pada kakak dan orang tuanya. Tetapi, kami tahu bahwa anak-anak kami perlu berproses untuk menghadapi kesulitan hidup demi kebaikan mereka sendiri (Rm. 8:28). Justru melalui kesulitan hidup, anak-anak kami akan ditempa untuk menjadi seorang Kristen yang matang (Yak. 1:3-4) dan siap untuk menerima panggilan Tuhan di kemudian hari. Tentu sebagai orang tua yang tidak ingin membuat anak-anak kami mengalami kepahitan, kami selalu menjelaskan kepada mereka mengapa kami perlu melakukan itu semua; kami ingin mereka berupaya mengatasi kesulitan hidup untuk membuat mereka matang.

2. “Aku akan membuat sangat banyak keturunanmu, sehingga tidak dapat dihitung karena banyaknya” (Kej. 16:10)

Malaikat itu menjanjikan bahwa Hagar akan memiliki keturunan yang sangat banyak. Bukankah ini kelegaan yang luar biasa bagi Hagar? Janji Tuhan itu membuat Hagar tidak lagi bisa merasa sebagai “korban keadaan.” Dia tidak akan berpikir bahwa anak yang dikandungnya itu adalah hasil dari sebuah “kecelakaan”, melainkan anugerah dari Tuhan (Kej. 17:20).

Pengertian ini membuat Hagar memiliki kekuatan ketika harus mengalami kesulitan hidup kembali di bawah penindasan Sarai. Kekuatan Hagar ini juga ditampakkannya ketika memanggil malaikat itu dengan sebutan El-Roi, yang berarti “Allah yang melihat” (16:13). Hagar sadar bahwa dia mengalami sendiri perjumpaan dengan Tuhan (itulah sebabnya Lembaga Alkitab Indonesia menuliskan kata “Malaikat” dalam pasal ini menggunakan huruf kapital).

Walaupun tidak diceritakan, kembalinya Hagar kepada Abram dan Sarai kemungkinan besar mendatangkan Kabar Baik, mengingatkan mereka bahwa Dia masih ada di sekitar mereka dan tidak melupakan janji-Nya. Dengan jalinan cerita seperti ini, kita sebagai pembaca dapat melihat bahwa kesulitan hidup yang harus dijalani Hagar bukanlah sesuatu yang tragis atau sia-sia.

Di awal tahun tahun 2022, saya dan keluarga dipanggil untuk bergabung dalam pelayanan misi di Phnom Penh, Kamboja. Situasi ini memperpanjang masa sekolah daring bagi anak-anak kami karena mereka masih harus menyelesaikan tahun ajaran di Indonesia. Kami tinggal di apartemen dan anak-anak kami kesulitan bermain dengan teman-teman sebaya karena perbedaan bahasa. Sering anak kami terlihat sedih ketika mereka hanya mampu memandang dari layar komputer keceriaan yang dilakukan teman-teman di sekolahnya, yang sudah kembali beraktivitas secara normal. Pada awal-awal kepindahan kami, mereka sering bertanya mengapa mereka harus menjalani kehidupan seperti ini.

Kami tidak ingin anak-anak kami rapuh. Kisah pelarian Hagar kembali mengingatkan saya dan istri untuk mengajarkan mereka melihat anugerah dan rencana Tuhan di balik setiap kesulitan yang mereka alami. Tuhan telah memberikan mereka kesempatan bukan hanya untuk tinggal di negara asing, melainkan juga untuk bisa belajar budaya yang baru, serta mengasah keterampilan bahasa Inggris mereka seperti halnya sebagian besar anak-anak Indonesia di gereja kami yang dibesarkan di Kamboja dan bersekolah di sekolah internasional.

Mereka juga mengalami sendiri kebutuhan pelayanan kepada orang-orang yang belum mengenal Tuhan. Ketika bercakap-cakap dengan mereka, kami mulai melihat timbulnya rasa syukur dan kesadaran atas anugerah serta rencana Tuhan membuat perbedaan besar dalam diri mereka. Selain mulai bisa mensyukuri hidup di negara asing, mereka sering bersaksi kepada teman-temannya di Indonesia tentang pelayanan misi dan kehidupan masyarakat di sini.

3. “Engkau mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan akan menamainya Ismael, sebab TUHAN telah mendengar tentang penindasan atasmu itu” (Kej. 16:11)

Malaikat itu memberi nama Ismael, artinya “Allah mendengar,” kepada anak dalam kandungan Hagar. Dengan begitu, Hagar akan selalu diingatkan bahwa Tuhan senantiasa mendengarkan jeritan hamba-hamba-Nya. Tidak ada satu kejadian pun dalam hidup hamba-hamba-Nya yang luput dari perhatian Tuhan (Mat. 10:29-31). Bahkan tidak hanya Ismael, “Allah mendengar,” tetapi juga Imanuel, “Allah ada bersama kita” (Mat. 1:23 BIMK). Pengorbanan Kristus membuktikan itu semua.

Anak-anak saya adalah generasi digital native yang sangat mahir menggunakan teknologi informasi. Apalagi, mereka tumbuh dalam budaya Indonesia, yang sangat aktif di media sosial (menurut laporan tahun 2022, hampir 70% dari penduduk Indonesia aktif di media sosial dan rata-rata menggunakannya selama 3 jam 17 menit sehari). Karena terbiasa mencari segala sesuatu di Internet, mereka juga bisa memiliki kecenderungan untuk menjadikan media sosial sebagai tempat pelarian ketika menghadapi masalah. Sayangnya, banyak informasi yang keliru dan bertentangan dengan iman Kristen yang bertebaran di media sosial. Belum lagi, banyaknya persaingan sosial dan perundungan dunia maya (cyberbullying) yang terjadi.

Kisah pelarian Hagar mengajarkan saya untuk menanamkan pengertian kepada anak-anak saya bahwa mereka memiliki Tuhan yang selalu siap mendengar jeritan hati mereka. Saya sadar, setangguh apapun mereka kelak, masih mungkin ada situasi yang bisa membuat mereka hancur. Maka, mereka perlu mengimani bahwa hanya pertolongan Tuhan yang terbukti dapat diandalkan (Mzm. 46:2). Mereka juga perlu belajar bahwa walaupun teman-teman mereka bisa dengan mudah unfollow akun media sosial mereka, tetapi mereka memiliki Tuhan yang kasih setia-Nya akan tetap bertahan walau bumi hancur sekalipun (Yes. 54:10). Dari Tuhanlah, kekuatan yang sesungguhnya berasal.

Seperti halnya saya, kiranya kisah pelarian Hagar ini juga menginspirasi Anda untuk mendidik generasi muda dengan pola asuh yang tepat sehingga mereka tidak bertumbuh menjadi generasi stroberi. Seperti halnya kita, mereka selamanya adalah bejana tanah liat yang rapuh. Tetapi justru melalui kerapuhan itu, mereka bisa memancarkan kekuatan Tuhan yang berlimpah kepada orang-orang di sekitar mereka (2Kor. 4:7). Mereka dapat mengalami Tuhan di tengah kesulitan hidup seperti Hagar dan berkata, “Di sini kulihat Dia yang telah melihat aku” (Kej. 16:13).

Tomy Handaka Patria seorang pelayan Tuhan yang ditahbiskan di Gereja Beth-El Tabernakel. Sekarang bergabung dengan Khalibre, sebuah business as mission di bidang IT di Kamboja yang mengembangkan Crosswired, sebuah portal dan komunitas e-learning berkeamanan tinggi yang digunakan lembaga-lembaga misi. Selain itu, aktif mengembangkan pelayanan digital melalui studibiblika.id dan berkontribusi sebagai volunteer writer di Got Questions Ministry.

Translated from Indonesian by Adam Mele.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Instagram.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube