Dunia yang Melelahkan di Taman Getsemani

Kita harus mematikan gagasan bahwa kitalah yang memegang kendali.

Christianity Today February 16, 2023
Image: Illustration by Bethany Cochran / George Seurat / Wikimedia Commons

“Kemudian Ia menjauhkan diri dari mereka kira-kira sepelempar batu jaraknya, lalu Ia berlutut dan berdoa, kata-Nya: “Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi.” – Lukas 22:41-42

Unduh Renungan Prapaskah

Saya tahu orang Jerman memiliki sebuah kata yang merangkumkan dengan sempurna perasaan yang hinggap dalam diri saya akhir-akhir ini. Mereka menyebutnya weltschmerz, sedangkan orang Perancis menyebutnya sebagai mal du siècle. Meskipun terasa asing bagi saya, kata-kata ini menggambarkan perasaan yang sangat akrab: rasa sakit yang memilukan dan menyesakkan ketika saya menyadari dunia tidak sebagaimana mestinya—bahwa keegoisan dan keserakahan telah merasuki bangsa-bangsa, bahwa manusia mampu melakukan tindakan kekerasan yang tak tergambarkan terhadap satu sama lain, bahwa hal yang paling mengerikan dapat terjadi tanpa sebab atau alasan.

Hari ini, saya duduk bersama dengan seorang teman yang putrinya meninggal tahun lalu pada usia baru 11 hari saja. Kematian seorang anak adalah rasa sakit yang sangat tak tertahankan sehingga begitu menakutkan untuk menatap mata yang penuh duka ini, sekalipun dari kejauhan. Fakta bahwa kita hidup di dunia di mana hal seperti itu bisa terjadi, bagi sebagian kita merupakan sakit hati yang perlahan menyeruak dari bawah permukaan. Weltschmerz menggambarkan kesadaran ini—semacam manifestasi di mana kita beresonansi dengan apa yang didefinisikan oleh filsuf Frederick C. Beiser sebagai “keadaan hati yang lelah atau sedih terhadap kehidupan, yang muncul dari kesadaran yang pedih akan kejahatan dan penderitaan.”

Mungkin sebelumnya perasaan itu mudah diabaikan, ketika tayangan berita televisi dan media sosial tidak menyerbu ruang aman kita. Bagi sebagian kita, keburukan kini seakan selalu hadir dan bayang-bayang tentang dunia yang melelahkan dapat tumbuh dengan mudah hingga terasa menyesakkan dengan cara yang tidak mungkin dilakukan sebelumnya.

Seperti banyak orang milenial lainnya, saya dicengkeram oleh perasaan pedih bahwa dunia semakin buruk, dengan bencana di setiap sudut. Dari bencana iklim hingga polarisasi dan kerusuhan politik hingga ketidakpastian ekonomi, kita dipaksa menghadapi ketidakberdayaan kita sendiri.

Saya adalah seseorang yang suka memperbaiki sesuatu. Jika saya melihat masalah atau menyaksikan seseorang menderita, saya tidak bisa tidak mencoba untuk menyelamatkan. Saya semakin kecanduan akan afirmasi yang dihasilkan karena bersikap seperti pahlawan. Namun bagian dari ketidaknyamanan weltschmerz adalah kesadaran bahwa saya tidak dapat memperbaiki kehancuran dunia. Saya tunduk pada ketidakpastiannya, tidak mampu berdiri di atasnya. Keutuhannya tidak terletak di tangan saya.

Selama masa Prapaskah yang memimpin kepada Paskah ini, saya merasa kita harus mematikan gagasan bahwa kitalah yang memegang kendali. Kita perlu mematikan sikap mengandalkan diri sendiri yang secara keliru menunjukkan bahwa kita mungkin dapat memperbaiki dunia, daripada mengandalkan Tuhan, satu-satunya Pribadi yang mampu memperbaiki keadaan. Seperti yang ditulis Agustinus dalam buku Confessions: “Namun Engkau, ya Tuhan, penguasa langit dan bumi, aliran air yang deras dan dalam berubah sesuai tujuan-Mu sendiri. Kau memerintahkan perubahan yang penuh gejolak selama berabad-abad. Bahkan dari amarah satu jiwa Engkau sanggup membawa kesembuhan bagi yang lainnya.”

Namun, terlepas dari kemahakuasaan Tuhan, Yesus menangis. Tuhan yang berinkarnasi dalam wujud manusia berdiri berdampingan dengan kita saat kita menjadi saksi atas penderitaan dan kesukaran dunia ini. Melalui Prapaskah, kita mengingat kedatangan Yesus di Betania pada hari-hari menjelang kematian-Nya, di mana Marta dan Maria putus asa, serta marah kepada-Nya karena membiarkan saudara mereka, Lazarus, mati. Yesus berdiri bersama mereka dalam kekacauan emosional mereka dan turut serta merasakan penderitaan mereka. Dia menangis bersama mereka. Dan di taman Getsemani, ketika Yesus memohon agar cawan penderitaan dan kematian diambil dari-Nya, Ia sangat sedih hingga peluh-Nya bertetesan seperti titik-titik darah. Ini bukanlah air mata yang santun dan tertahan, melainkan bagai sebuah siksaan yang menyeruak dari lubuk jiwa-Nya. Ini adalah Tuhan yang menangis—Tuhan yang menangis dengan begitu pedih. Tuhan sangat familier dengan rasa sakit dari weltschmerz.

Lalu bagaimana kita menjalani hidup dalam terang pemahaman bahwa dunia tidak sebagaimana mestinya, bahwa kita tidak mahakuasa, melainkan hanya Tuhan saja? Sedikit orang yang mengatakan lebih baik dari yang dikatakan Fred Rogers: “Saya cukup yakin bahwa Kerajaan Allah diperuntukkan bagi orang yang patah hati. Anda menulis tentang ‘ketidakberdayaan.’ Mari bergabunglah bersama kami, bukan kita yang memegang kendali, melainkan Tuhan.”

Kita dapat dimaafkan jika menanggapi dunia yang melelahkan ini dengan sikap apatis, menyerah dengan sikap masa bodoh terhadap pemahaman bahwa “segalanya sia-sia,” seperti yang kita baca dalam kitab Pengkhotbah. Akan tetapi kita tahu bahwa kesalahan dunia akan diluruskan melalui hadirnya Kerajaan Allah. Kita tahu bahwa kita seharusnya tidak berdukacita seperti orang-orang yang tidak mempunyai pengharapan (1Tes. 4:13).

Menyadari bahwa kita hidup di masa Kerajaan Allah yang sekarang dan yang belum, kita berpegang teguh pada pengharapan eskatologis bahwa semuanya akan dijadikan baru. Setelah penyaliban Yesus, datanglah kebangkitan-Nya. Terang yang menerobos kegelapan. Tabir penderitaan, kegelapan, dan keputusasaan pun terbelah dua.

Ketika kita mematikan keangkuhan dan sikap mengandalkan diri sendiri saat berpikir bahwa kita sendiri dapat memperbaiki kehancuran dunia ini, lalu berserah pada sesuatu—atau suatu Pribadi—yang lebih berkuasa, maka itu artinya kita menolak sikap apatis yang sia-sia yang diperlihatkan orang yang putus asa. Yesus di Getsemani tetap berdoa meski di tengah penderitaan dan kesedihan-Nya yang mendalam. Yesus tidak meninggalkan relasi-Nya dengan Bapa.

The Artist's MotherImage: George Seurat / Wikimedia Commons](https://s3-us-west-2.amazonaws.com/secure.notion-static.com/9c381fe2-9143-41b3-9a96-e694496306db/The_Artists_Mother_188283_Georges_Seurat_.jpeg) The Artist’s Mother by George Seurat / Wikimedia Commons
The Artist’s Mother

Tuhan memegang kendali, tetapi kita juga dapat menjalankan peran kita. Daripada berkubang dalam weltschmerz, kita dapat menerima undangan Tuhan untuk menjadi rekan sekerja dalam membangun Kerajaan Allah. Alih-alih dilumpuhkan hingga menjadi lesu dan apatis, kita dapat melakukan sesuatu—sekalipun sangat kecil—untuk menawarkan secercah keutuhan dari shalom.

Teman saya, yang tahun lalu bayi perempuannya mengalami kematian tragis, telah memilih untuk melakukan sesuatu daripada pasrah pada sikap apatis yang sangat mengganggu akibat pengalaman kehilangan yang tak terbayangkan. Ia dan suaminya telah mengumpulkan ribuan dolar untuk rumah sakit tempat putri mereka meninggal. Dana tersebut disediakan untuk membayar biaya kamar yang dapat ditempati oleh para orang tua selama beberapa hari pertama anak mereka dirawat.

Seperti inilah harapan di hadapan dunia yang melelahkan. Doa yang sungguh-sungguh melalui penderitaan di taman Getsemani. Tindakan nyata ganti sikap apatis, kasih ganti kebencian, doa ganti kesenyapan; dan pada akhirnya kita dapat mengakui bahwa terlepas dari rasa sakit weltschmerz yang mengintai tepat di bawah permukaan, kita dapat memilih pengharapan daripada keputusasaan karena apa yang Kristus lakukan di kayu salib. Seperti yang Yesus katakan: “Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya kamu beroleh damai sejahtera dalam Aku. Dalam dunia kamu menderita penganiayaan, tetapi kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia” (Yoh. 16:33).

Pertanyaan refleksi



1. Apakah konsep

weltschmerz

—“keadaan hati yang kelelahan atau sedih terhadap kehidupan, yang muncul dari kesadaran yang pedih akan kejahatan dan penderitaan”—adalah konsep yang akrab bagi Anda? Kapan Anda pernah sangat merasakannya?

2. Secara praktis, seperti apa berserah pada kedaulatan Tuhan di tengah penderitaan yang Anda alami?

3. Selama masa Prapaskah, bagaimana Anda dapat mengambil bagian dalam melakukan kebaikan atau pelayanan kepada orang lain, yang dapat membawa terang ke dalam kegelapan atau mendemonstrasikan Kerajaan Allah?

Chine McDonald adalah seorang penulis, penyiar, dan penulis God Is Not a White Man: And Other Revelation. Ia adalah direktur Theos, lembaga pemikir agama dan masyarakat terkemuka di Inggris.

Diterjemahkan oleh Maria Fennita S.

Artikel ini merupakan bagian dari New Life Rising yang menampilkan artikel dan pendalaman Alkitab yang merefleksikan makna kematian dan kebangkitan Yesus. Terbitan khusus ini yang dapat digunakan selama masa Prapaskah, Paskah, atau kapan saja. Pelajari lebih lanjut di http://orderct.com/lent.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Our Latest

Inkarnasi Lebih dari Sekadar Palungan

Bagaimana seorang uskup Afrika kuno memperjuangkan kisah penebusan dalam inkarnasi.

Yusuf Adalah ‘Ayah Kandung’ Yesus

Saya tidak memerlukan ikatan biologis untuk menjadi ayah dari embrio yang saya dan istri adopsi.

Cover Story

Sisi Lain dari Natal

Dibutuhkan keberanian bagi Allah untuk menanggalkan kekuasaan dan kemuliaan-Nya serta mengambil tempat bagi-Nya di antara manusia.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube