Sang Raja Kekal Tiba

Menapaki masa Adven bersama Juru Selamat kita yang rendah hati & perksa

Christianity Today November 20, 2023
Phil Schorr

Selamat datang di masa Adven. Ini adalah waktu yang istimewa dalam kalender Kristen—suatu masa yang ingin kita hayati, dengan maknanya yang mendalam dan abadi, sekalipun tuntutan di masa ini terkadang sangat berat. Saat Anda dan keluarga mendekati masa penuh kesibukan, kebaktian dengan terang lilin, serta ruang keluarga yang penuh kado, kami mengundang Anda menapaki masa Adven dengan renungan ini.

Renungan ini dirancang untuk membantu Anda menyelami kebenaran teologis dan penghayatan pribadi seiring kita bersiap merayakan kedatangan Raja yang rendah hati dan mulia. Melalui tulisan ini kita akan merenungkan kemuliaan dan kelembutan Kristus, yang datang dalam rupa bayi rentan dan memperlihatkan kasih yang lembut kepada ciptaan-Nya melalui inkarnasi Dia. Sepanjang bulan Desember, kita akan mewartakan kedaulatan dan kuasa kerajaan-Nya serta kasih-Nya yang rela mengosongkan diri.

Pertama, kita akan menghayati inagurasi kenabian Yesus, dengan renungan tentang kerinduan Israel yang penuh harapan akan Raja yang dijanjikan—dan tanda-tanda yang menyertai kebangkitan Dia—yang dijalin di Perjanjian Lama. Lalu kita akan merayakan tahun Yobel kekal yang diberitakan inkarnasi Yesus: masa pembebasan, sukacita, dan hidup baru yang ditawarkan-Nya. Akhirnya, kita akan memasuki Hari Natal dengan menatap kagum pada penobatan Kristus sebagai Raja dan pendirian kerajaan-Nya. Dia adalah Juru Selamat kita, dan di Adven ini kita merayakan kebenaran yang mengubah hidup bahwa Raja kekal kita telah tiba.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Kumpulan Renungan Adven 2023 dari Christianity Today

Seluruh bacaan renungan Adven tahun ini.

Christianity Today November 20, 2023

Dari para editor dan kontributor Christianity Today, Sang Raja Kekal Tiba adalah renungan 4 minggu untuk menyertai perjalanan rohani individu, kelompok kecil, dan keluarga di masa Adven 2023.

Renungan "Sang Raja Kekal Tiba" versi cetak dapat dipesan melalui Literatur Perkantas Jatim (di situs web, Tokopedia, Shopee).

Inaugurasi Kenabian

Tahun Yobel Yang Kekal

Penobatan Ilahi

Hari Natal

Unduh Gratis: Kumpulan Renungan Adven 2023

Dari editor dan kontributor Christianity Today, Sang Raja Kekal Tiba adalah renungan 4 minggu untuk membantu individu, kelompok kecil dan keluarga selama masa Adven.

Christianity Today November 20, 2023
Books

Di tengah Perang Israel-Hamas, Umat Kristen Setempat Mencari Amarah yang Benar dan Pengharapan Injil

Saat terorisme menyebabkan ribuan kematian, kalangan Injili Palestina dan Yahudi Mesianik berbagi keterkejutan, kesedihan, dan doa demi perdamaian dan keadilan.

Kiri: Korban dari pasukan Israel yang berperang melawan militan Islam Hamas. Kanan: Pasca serangan udara Israel di Gaza.

Kiri: Korban dari pasukan Israel yang berperang melawan militan Islam Hamas. Kanan: Pasca serangan udara Israel di Gaza.

Christianity Today October 18, 2023
Gambar: gambar aliansi / Ahmad Hasaballah / Stringer / Getty / Editan oleh CT

Dengan setidaknya 1.200 warga Israel dan 1.100 warga Palestina terbunuh, bukan hanya jumlah korban jiwa yang mengejutkan dalam perang Israel-Hamas yang telah membuat dunia menjadi marah, melainkan juga kebrutalan Hamas.

Lebih dari 200 anak muda terbunuh di sebuah festival konser, desa-desa dan pertanian digerebek dan diteror, dan diperkirakan 150 sandera terancam akan dibunuh jika serangan udara Israel di jalur pantai tidak berhenti.

Mengingat penghentian serangan itu tidak mungkin terjadi, jumlah korban pasti akan meningkat.

Israel telah memanggil 360.000 tentara cadangan, yang siap untuk mulai melakukan serangan darat ke Gaza. Sejalan dengan strategi militer untuk menghadapi terorisme dengan kekuatan yang dahsyat, konflik-konflik di masa lalu di jalur sepanjang 25 mil (40 km) yang terkepung ini telah menghasilkan jumlah korban jiwa yang sangat besar, termasuk bentrokan tahun 2014 yang mengakibatkan 73 orang Israel dan 2.100 orang Palestina tewas.

Sementara itu, banyak warga Israel hidup dalam ketakutan. Sejak penarikan Israel secara sepihak dari Gaza pada September 2005, Jewish Virtual Library telah menghitung 334 kematian akibat terorisme dan setidaknya 20.648 roket serta mortir diluncurkan ke wilayah Israel.

Di tengah penghitungan yang mencolok tersebut, terdapat tanda-tanda keselarasan di antara orang-orang lokal yang percaya Tuhan melampaui perbedaan etnis. Christianity Today mewawancarai tiga orang Yahudi Mesianik, tiga orang Injili Palestina, dan dua orang Kristen Gaza yang saat ini berada di luar wilayah asal mereka.

Keterkejutan yang sama

“Tingkat kebencian dan kejahatan yang ditampilkan dalam aksi-aksi ini benar-benar mengejutkan,” kata Eli Birnbaum, direktur cabang Jews for Jesus di Tel Aviv dan Yerusalem. “Ini tidak seperti apa pun yang pernah kami lihat dalam beberapa dekade terakhir dan telah begitu mengguncang masyarakat.”

Serangan di lingkungan tempat tinggalnya begitu hebat, katanya, sehingga orang-orang tetap tinggal di dalam rumah. Dalam komunikasi terus-menerus dengan keluarga, teman, dan 50 anggota staf penuh waktu, ia mengatakan bahwa komunitasnya melakukan yang terbaik untuk tetap terhubung dan saling memberi semangat.

Pada hari Sabtu saat serangan terjadi, jemaat Birnbaum berkumpul untuk berdoa. Tidak yakin apa yang harus dilakukan, mereka pun membagikan lembaran permohonan doa agar para sandera dapat kembali dengan selamat. Beberapa anggota jemaat pun menyalakan lilin.

Jews for Jesus mengumpulkan perbekalan untuk para keluarga pengungsi dan tentara di perbatasan.

Setidaknya satu orang Yahudi Mesianik telah mati demi bangsanya. David Ratner disebut sebagai pahlawan perang oleh komandannya, karena telah menyelamatkan nyawa lima rekan prajurit saat pos mereka diserbu oleh 400 pejuang Hamas. Tertembak di leher, dia terus bertempur selama delapan jam berikutnya.

Birnbaum pun menasihati anak-anaknya untuk berdiri teguh melawan hasrat untuk membenci. Dia menantang warga Israel untuk mencari keadilan tanpa balas dendam. Lalu dia juga meminta semua orang untuk tetap peduli terhadap orang-orang Yahudi maupun Palestina—sambil berdoa untuk Gaza dan pembebasannya dari Hamas.

“Apa yang dapat kita lakukan untuk merepresentasikan Tuhan saat bangsa kita berada dalam krisis?” ia bertanya. “Tolong doakan kami, agar kami dapat memilih dengan bijak bagaimana memancarkan terang-Nya di tempat yang sangat gelap saat ini.”

Grace Al-Zoughbi, seorang pendidik teologi asal Palestina, juga sedang mencari terang-Nya.

“Gereja sedang berusaha untuk berpegang teguh pada secercah harapan yang bisa ditemukan,” katanya. “Situasinya sangat meresahkan, kekejamannya begitu mengerikan.”

Ia juga dikejutkan oleh tembakan roket yang mendarat dari arah yang berlawanan di dekat rumahnya di Betlehem. Banyak keluarga bergegas ke toko kelontong untuk membeli persediaan makanan, karena takut akan eskalasi serangan. Mewakili masyarakat yang sudah bergumul akibat karantina wilayah, ia mengatakan bahwa hilangnya pariwisata akan semakin menghancurkan perekonomian, sementara gereja berupaya untuk membantu sebanyak mungkin.

Reaksi spontan dari gereja adalah berdoa sungguh-sungguh agar konflik ini berakhir.

“Tuhan, singkirkanlah semua kejahatan, hancurkanlah seperti kaca, dan lumatkanlah sampai tidak ada lagi,” pinta Al-Zoughbi. “Dalam hal ini kami menggantungkan harapan kami, bahwa suatu hari nanti segala jalan-Mu akan menang.”

Dia meminta orang-orang beriman di kedua belah pihak untuk menjadi pembawa damai. Dia meminta umat Kristen internasional menghindari “penggambaran yang keliru dan jahat.” Dan untuk dirinya sendiri, ia berfokus pada Mazmur 122:Berdoalah untuk kesejahteraan Yerusalem: "Biarlah orang-orang yang mencintaimu mendapat sentosa."

Jarak yang sama

Hanna Massad, mantan pendeta Gaza Baptist Church, teringat akan mazmur singkat berikut ini: Kasihanilah kami, ya TUHAN, kasihanilah kami, sebab kami sudah cukup kenyang dengan penghinaan (Mzm. 123:3).

Setelah 30 tahun melayani sebagai pendeta pertama yang berasal dari daerah tersebut, Massad pergi setelah kekerasan tahun 2007 yang mencakup penyerangan terhadap gerejanya dan penculikan serta pembunuhan seorang pekerja muda di toko buku Kristen yang berafiliasi dengan gerejanya. Dia telah mengalami militansi secara langsung, dan memahami ketakutan rakyat Israel.

Kini sebagai warga negara Amerika, selain menjalani konseling trauma setiap minggu melalui Zoom dan berinteraksi hampir setiap hari dengan para anggota gereja, ia melakukan tiga perjalanan dalam setahun kembali ke Gaza untuk mendistribusikan bantuan dan memberikan dorongan semangat.

Kunjungan terakhirnya selesai dua minggu lalu, dengan perlakuan Israel yang sedikit lebih baik dari biasanya, katanya. Dalam rangka menjalin hubungan timbal balik dengan AS untuk masuk tanpa visa, pihak berwenang di perbatasan telah memperlancar prosedur bagi warga negara ganda AS-Palestina. Saat melewati Yerikho, waktu tunggu di pos pemeriksaan keamanan hanya satu jam.

“Kami tidak diperlakukan dengan martabat yang sama,” kata Massad, “melainkan sesuai dengan dokumen yang kami bawa.”

Bagi sebagian besar warga Palestina, lanjutnya, perlakuan terhadap mereka disertai dengan penghinaan. Di bawah blokade sejak tahun 2007, 50 persen penduduk Gaza menganggur, 65 persen hidup di bawah garis kemiskinan, dan hanya 17.000 dari 2,3 juta orang yang diizinkan mencari pekerjaan di Israel. Jumlah ini berubah-ubah sesuai dengan perubahan kebijakan, dan perlakuan terhadap mereka di pos pemeriksaan jauh lebih ketat. Sisanya terjebak.

“Ini adalah sebuah penjara yang besar,” kata Massad. “Dan biasanya, setiap kunjungan akan mendapati hal-hal yang sedikit lebih buruk dari sebelumnya.”

Lalu sekarang dengan adanya perang, Israel telah menyatakan akan memutus pasokan listrik dan air di Gaza. Rasa frustrasi pun menumpuk; Meski ayahnya pernah berharap akan berdirinya negara Palestina, Massad mengatakan bahwa dia kini berusia 60 tahun dan bertanya-tanya apakah hal itu akan terwujud. Namun, umat Kristen setempat tidak mendukung kekerasan dari kedua belah pihak.

“Ini bukanlah kemuliaan yang kami cari,” kata Massad. “Teladan kami adalah Yesus. Dan setiap kali seseorang benar-benar bertemu dengan-Nya, Tuhan memenuhi hati itu dengan kasih bagi seluruh umat manusia.”

Sekalipun saat rumahnya dihancurkan.

Apartemen keluarga sesama warga Gaza, Khalil Sayegh, dihantam roket Israel. Mereka kini berlindung di salah satu dari tiga gereja di wilayah tersebut, mengungsi bersama 250.000 orang lainnya yang berlindung di sekolah atau fasilitas-fasilitas lain. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyerukan pembentukan koridor kemanusiaan (jeda dalam perang untuk mencegah bencana kemanusiaan).

“Mereka nyaris tidak bisa keluar,” katanya, “dengan asumsi bahwa rumah adalah pilihan teraman bagi mereka.”

Saat ini di AS, Sayegh adalah bagian dari Agora Initiative yang bekerja sama dengan warga Palestina dan Israel untuk mempromosikan budaya demokrasi konstitusional. Ia mengaku senang melihat Amerika mengutuk serangan Hamas. Pada saat yang sama, ia mengaku kecewa karena penderitaan rakyatnya diabaikan begitu saja.

Teks Alkitab yang menjadi penghiburan bagi Sayegh adalah Mazmur 73, di mana pemazmur hampir menyerah pada rasa irinya terhadap orang-orang fasik yang makmur: Kaubinasakan semua orang, yang berzinah dengan meninggalkan Engkau. Tetapi aku, aku suka dekat pada Allah; aku menaruh tempat perlindunganku pada Tuhan Allah.

Dan dalam kedamaian ini, pesannya jelas.

“Jangan menyerah pada kebencian, tribalisme, atau balas dendam,” kata Sayegh. “Bekerja keraslah untuk mengakhiri, tidak hanya lingkaran kekerasan berdarah ini, melainkan juga ketidakadilan struktural akibat penjajahan ini, sehingga kita bisa hidup dalam damai.”

Kemarahan yang sama

Jaime Cowen, seorang pengacara Yahudi Mesianik, sangat marah atas perubahan struktural yang mengancam Israel sebelum perang. Sejak kembali menjabat sebagai perdana menteri dengan koalisi sayap kanan yang mencakup para mantan teroris Yahudi, katanya, Benjamin Netanyahu telah memecah belah negara dengan mencoba menjungkirbalikkan sistem peradilan Israel.

Lalu ketika mencoba menggambarkan dirinya sebagai pembawa perdamaian dengan dunia Arab yang lebih besar, Netanyahu semakin menyulut kemarahan komunitas Palestina yang terpinggirkan di dalam negeri dengan mengizinkan lebih banyak pemukiman ilegal.

“Sesuatu pasti akan terjadi, dan kali ini sungguh terjadi,” kata Cowen dalam pernyataan video. “Ini adalah waktu yang sangat berbahaya bagi negara ini.”

Dia berdoa agar Hamas segera dikalahkan, yang mungkin dimotivasi untuk menggagalkan upaya Netanyahu demi menjangkau Arab Saudi. Namun ancaman yang sebenarnya terdapat di utara, katanya, dengan ribuan rudal presisi milik Hizbullah yang siap mencapai kota-kota terjauh di Israel. Setelah perang ini berakhir, Cowen ingin pemerintah mengundurkan diri dan membentuk sebuah komisi untuk menentukan apa yang menyebabkan kegagalan “kolosal” pemerintahan ini dalam hal intelijen dan kesiapan militer.

“Sampai saat itu tiba, masih ada kesedihan dan kemarahan yang mendalam,” katanya, “atas kehilangan nyawa secara mengerikan dari keluarga-keluarga Yahudi yang tidak bersalah.”

Kalangan Injili Palestina pun dengan sukarela membantu. Konvensi Gereja-Gereja Injili di Israel mengumumkan bahwa setiap penganut Mesianik yang mengungsi dipersilakan untuk tinggal bersama keluarga-keluarga anggotanya.

“Apa yang bisa kita berikan sebagai warga Kristen Arab-Palestina di Israel di saat seperti ini?” kata ketua konvensi, Botrus Mansour, saat berkhotbah di gerejanya di Nazareth. “Jawabannya adalah Yesus.”

Dari tempat tinggalnya yang aman di bagian utara—di mana ia hanya perlu memastikan bahwa tempat pengungsiannya sudah siap menampung—ia memang sudah menyiapkan sebuah khotbah tentang tata kelola gereja sebelum perang mengalihkan fokusnya. Sebagian besar kebaktiannya digunakan untuk berdoa, dan ia menyemangati umat percaya dengan mengutip perkataan Fransiskus dari Assisi: Jadikanlah aku pembawa damai-Mu. Terlepas dari perasaan yang sulit di dalam diri mereka, umat kristiani harus menjadi pembawa damai.

Sekalipun saat mereka berang—ke berbagai arah.

“Masyarakat marah atas serangan brutal Hamas,” kata Mansour. “Namun mereka juga merasa bahwa kekerasan akan terus berlanjut selama tidak ada solusi yang adil terhadap konflik ini.”

Seperti Cowen, ia berdoa agar Tuhan mengganti para pemimpin saat ini. Ia juga membagikan ayat Alkitab yang memberi penghiburan, Ratapan 3:22–23: Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu.

Injil yang sama

“Tidak ada satu pun dari situasi ini yang benar ataupun baik,” kata Lisa Loden, anggota Yahudi Mesianik dari Institut Perdamaian dan Keadilan Bethlehem. “Namun ada keinginan yang kuat untuk melihat Tuhan memakai peristiwa-peristiwa ini agar menarik orang-orang datang kepada-Nya.”

Tinggal di kota pesisir Netanya, sebelah utara Tel Aviv, Loden memimpin suatu jemaat yang telah menyelenggarakan banyak pertemuan doa sejak perang dimulai. Mereka memohon belas kasihan Tuhan bagi warga sipil di Israel dan Gaza. Mereka berdoa untuk para pemimpin mereka, para sandera, dan mereka yang kehilangan orang-orang terkasih.

Mereka berdoa agar konflik segera berakhir, untuk keadilan, dan agar umat Kristen di kedua belah pihak tidak saling memisahkan diri. Ia juga mengeluarkan sebuah permohonan kepada orang-orang percaya di seluruh dunia, yang sedang menyaksikan.

“Jangan cepat-cepat memihak,” pinta Loden. “Namun terlibatlah ke dalam dialog nyata dan carilah solusi untuk konflik yang tak kunjung usai ini.”

Dari Ramallah, pendeta Munir Kakish, presiden Council of Local Evangelical Churches in the Holy Land, juga menyampaikan hal serupa.

“Berdoalah untuk kedua belah pihak,” katanya. “Kita tidak dapat melihat tujuan-Nya, tetapi Dia berdaulat.”

Gerejanya penuh, saat ia menyampaikan pesan doa kepada jemaatnya yang sedang tertekan, diiringi dengan nyanyian pujian yang menekankan tentang damai sejahtera Allah. Beberapa keluarga beremigrasi dari Gaza dan khawatir dengan kerabat mereka yang tetap tinggal.

Sementara itu, karena takut serangan Israel ke Gaza akan memicu pemberontakan di Tepi Barat dan penutupan seluruh kota, Kakish juga memastikan untuk menyimpan persediaan makanan dan bekerja sama dengan toko kelontong lokal untuk menyiapkan paket makanan.

Mungkin akan ada banyak korban jiwa yang berjatuhan.

Namun kata terakhirnya berkaitan dengan geografi. Pertempuran demi perebutan wilayah tidaklah tepat sasaran.

“Jika salah satu pihak menguasai wilayah dari Mediterania hingga Pasifik, tetapi tidak memiliki Yesus, maka itu tidak ada artinya,” katanya. “Mereka tetap membutuhkan Yesus.”

Jeremy Weber berkontribusi memberikan laporan tambahan.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Books

Adakah Tempat bagi Umat Kristiani di Asia Tenggara? Survei Pew terhadap Umat Buddhis dan Muslim

[PEMBARUAN] Survei agama terbaru terhadap 13.000 orang dewasa di enam negara yang meneliti perpindahan agama, karma, dan kesesuaian dengan identitas nasional.

Biksu buddhis di Candi Borobudur di Indonesia

Biksu buddhis di Candi Borobudur di Indonesia

Christianity Today September 20, 2023
Ulet Ifansasti / Getty Images

Di antara negara-negara sekitarnya, Singapura adalah sebuah anomali spiritual. Dikelilingi oleh negara-negara yang sangat religius dengan mayoritas muslim (penganut agama Islam) atau buddhis (penganut agama Buddha) yang mendominasi, negara kota-kepulauan ini dalam beberapa hal merupakan masyarakat yang paling beragam agamanya di dunia, tanpa ada satu pun agama yang menjadi mayoritas.

Saat ini, dua dari tiga warga Singapura tidak menganggap agama sebagai hal yang penting. Namun negara ini memiliki tingkat perpindahan agama tertinggi di kawasan ini—termasuk perpindahan ke agama Kristen—menurut penelitian khusus Pew Research Center tentang agama di Asia Selatan dan Tenggara yang dirilis pada 12 September 2023.

Tidak adanya satu pun agama yang dominan di Singapura sejalan dengan meningkatnya “perpindahan agama,” istilah Pew untuk orang dewasa yang pindah ke agama yang berbeda dengan yang mereka anut sejak kecil. Persentase warga Singapura yang mengaku buddhis atau menganut agama tradisional Tionghoa telah menurun, sementara mereka yang mengaku kristiani (penganut agama Kristen) atau tidak beragama telah meningkat.

Sebaliknya, di lima negara sekitar yang dilibatkan dalam penelitian ini—Malaysia, Indonesia, Kamboja, Thailand, dan Sri Lanka—hampir semua orang dewasa yang disurvei mengatakan bahwa mereka tetap menganut agama yang sama yang mereka anut sejak kecil. Dan sebagian besar orang menganggap agama sangat penting dalam kehidupan mereka.

Untuk laporan internasional terbaru Pew, “Agama Buddha, Islam, dan Pluralisme Agama di Asia Selatan dan Tenggara,” para peneliti menyurvei lebih dari 13.000 orang dewasa dari bulan Juni hingga September 2022. Enam negara yang dipilih Pew merupakan perwakilan agama di wilayah tersebut: Tiga negara dengan mayoritas penduduk buddhis (Kamboja, Sri Lanka, dan Thailand); dua negara dengan mayoritas penduduk muslim (Malaysia dan Indonesia); dan satu negara dengan keragaman agama (Singapura).

(Para peneliti menjelaskan bahwa meskipun Sri Lanka biasanya dikelompokkan dalam negara Asia Selatan, negara kepulauan ini dimasukkan karena keterkaitannya dengan Asia Tenggara. Misalnya, umat buddhis di Sri Lanka sebagian besar mengikuti tradisi Theravada seperti di negara-negara dengan mayoritas penduduk buddhis lainnya dalam penelitian ini. Selain itu, meskipun Laos dan Myanmar juga merupakan negara tetangga di Asia Tenggara yang mayoritas penduduknya beragama Buddha Theravada, realitas politik di kedua negara tersebut menghalangi dilakukannya survei yang dapat diandalkan mengenai topik-topik keagamaan).

Laporan ini mencakup berbagai topik mulai dari bagaimana agama terkait dengan identitas nasional, peran agama dalam pemerintahan, sikap masyarakat di Asia Selatan dan Tenggara terhadap agama-agama lain, serta praktik-praktik lintas agama.

Ketika agama lebih dari sekadar agama

Kecuali Singapura, semua negara yang disurvei memiliki tingkat religiusitas yang tinggi: Hampir semua responden di lima negara tersebut mengidentifikasikan diri dengan suatu kelompok agama, dan mayoritas—termasuk 98 persen di Indonesia dan 92 persen di Sri Lanka—mengatakan bahwa agama sangat penting dalam kehidupan mereka. Di Singapura, meski hanya 36 persen yang mengatakan bahwa agama sangat penting, tetapi 87 persen masih mengatakan bahwa mereka percaya pada Tuhan atau makhluk gaib, menurut laporan Pew.

Hal ini lebih lanjut terangkum dalam bagaimana agama dipandang sebagai bagian dari identitas nasional. Di Thailand, Kamboja, dan Sri Lanka, lebih dari 90 persen responden yang beragama Buddha mengatakan bahwa “menjadi buddhis adalah penting untuk benar-benar menjadi bagian dari negara mereka.” Di Kamboja, persentasenya mencapai 97 persen. Hal ini sejalan dengan para misionaris di negara-negara tersebut, yang mengatakan bahwa perjuangan terbesar mereka adalah memerangi gagasan seperti “menjadi orang Thailand berarti menjadi buddhis.”

Selain itu, agama Buddha dianggap lebih dari sekadar agama. “Sebagian besar umat buddhis di Kamboja, Sri Lanka, dan Thailand tidak hanya mendeskripsikan agama Buddha sebagai ‘agama yang dipilih untuk diikuti,' melainkan juga mengatakan bahwa agama Buddha adalah ‘budaya yang menjadi bagian dari seseorang’ dan ‘tradisi keluarga yang harus diikuti,’ ungkap para peneliti Pew. Sebagian besar umat buddhis, termasuk 84 persen umat buddhis di Thailand, juga memandang agama Buddha sebagai “etnis di mana seseorang dilahirkan.”

Sarah Ardu, seorang misionaris di Kamboja yang telah melayani di negara tersebut selama 25 tahun, mengamati dampak dari ikatan erat antara menjadi buddhis dan warga Kamboja. Walaupun generasi muda merupakan kelompok yang paling mudah tertarik pada agama Kristen, ketika mereka dewasa, “banyak dari mereka kembali menjadi ‘orang Kamboja sejati’ dan menjunjung tinggi cara hidup buddhis Kamboja.” Pada saat yang sama, sebagian besar warga Kamboja “tidak akan mau percaya kepada Yesus karena adanya hambatan budaya dari agama Kristen yang bersifat kebarat-baratan.” Ardu percaya bahwa cara Injil diberitakan di Kamboja tidak memiliki dampak jangka panjang terhadap umat buddhis di Kamboja, karena budaya Barat telah melekat dengan pesan Injil.

“Dengan membuat pemisahan dari persepsi mereka tentang identitas Kamboja sebagai bagian penting dalam mengikut Yesus, kita telah menaburkan benih Injil yang tidak kuat untuk mengubah lapisan-lapisan terdalam dari kehidupan, keluarga, dan budaya,” kata Ardu.

Sebaliknya, para misionaris perlu beralih dari apa yang dianggap sebagai “ketaatan Kristen yang benar” untuk sepenuhnya bergantung pada Yesus dan terlibat dengan umat buddhis Kamboja secara tulus. Dengan demikian, mereka dapat “berdiri dengan kekaguman saat Roh Kudus memberikan pencerahan dan transformasi kepada [orang-orang Kamboja] tanpa memaksa mereka untuk menyesuaikan diri dengan agama Kristen yang kebarat-baratan.”

Mengingat agama dan identitas nasional sangat erat kaitannya, maka mayoritas umat buddhis Kamboja, Sri Lanka, dan Thailand juga mendukung penerapan hukum nasional yang dilandaskan pada dharma Buddha, “sebuah konsep luas yang mencakup pengetahuan, doktrin, dan praktik-praktik yang bersumber dari ajaran Buddha," seperti yang dicatat Pew. Namun tingkat dukungannya bervariasi: 96 persen umat buddhis Kamboja mendukung hal ini, dibandingkan dengan 80 persen umat buddhis Sri Lanka dan 56 persen umat buddhis Thailand.

Di Kamboja, konstitusi menyatakan bahwa agama Buddha adalah agama nasional dan pemerintahnya mendukung sekolah-sekolah Buddha. (Kamboja dan Bhutan adalah dua negara di dunia yang menjadikan agama Buddha sebagai agama resmi mereka). Di Sri Lanka, konstitusi mengharuskan pemerintahnya untuk “melindungi dan mengembangkan” agama Buddha, dengan memberikannya “tempat yang paling utama.” Di Thailand, konstitusi mewajibkan pemerintahnya agar “memiliki langkah-langkah dan mekanisme untuk mencegah agar agama Buddha tidak dirusak dalam bentuk apa pun.”

Sementara itu, umat muslim di Asia Tenggara juga memandang agama Islam sebagai hal yang secara intrinsik terkait dengan identitas nasional mereka. Hampir semua penganutnya di Indonesia dan Malaysia mengatakan bahwa menjadi muslim adalah penting untuk menjadi orang Indonesia atau Malaysia yang sejati, dan tiga perempat atau lebih warganya memandang agama Islam juga sebagai budaya, tradisi keluarga, atau etnis.

Islam adalah agama resmi di Malaysia, dan saat ini negara tersebut menerapkan sistem hukum ganda yaitu pengadilan sipil dan syariah, dengan pengadilan syariah yang hanya berlaku untuk umat muslim dan mencakup hukum keluarga serta pribadi. Menurut studi Pew, 86 persen muslim di Malaysia mendukung syariah sebagai dasar hukum nasional.

Di Indonesia, di mana Islam secara eksplisit lebih banyak dianut meski bukan merupakan agama negara, 64 persen muslim Indonesia mengatakan bahwa syariah seharusnya dijadikan hukum nasional. Saat ini Indonesia menerapkan “sekularisme moderat,” menurut peneliti Pew, dan konstitusinya menyatakan bahwa negara kepulauan tersebut “berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Hoon Chang Yau, profesor antropologi di Institute of Asian Studies di Universiti Brunei Darussalam, mengatakan temuan Pew tentang Indonesia sejalan dengan pergeseran konservatif yang dialami negara tersebut dalam dua dekade terakhir. “Terkait proses Islamisasi, Islam Indonesia tidak lagi menunjukkan wajah ‘tersenyum’ atau toleran,” kata Hoon. “Hal ini memprihatinkan karena intoleransi seperti itu seringkali diwujudkan dalam peraturan perundang-undangan, seperti peraturan syariah atau peraturan yang membatasi kebebasan dan perkembangan agama minoritas.”

Hal ini juga menimbulkan pertanyaan apakah agama-agama minoritas, seperti agama Kristen, dipandang sesuai dengan budaya dan nilai-nilai setiap negara Asia tersebut.

Masyarakat Kamboja adalah yang paling tidak pluralis, dengan hanya 44 persen yang mengatakan bahwa agama Kristen sesuai dengan budaya dan nilai-nilai negara mereka. Sebagai perbandingan, 60 persen masyarakat Indonesia, 65 persen masyarakat Malaysia, 68 persen masyarakat Sri Lanka, 73 persen masyarakat Thailand, dan 89 persen masyarakat Singapura mengatakan bahwa agama Kristen sesuai dengan budaya dan nilai-nilai lokal.

Seree Lorgunpai, mantan sekretaris jenderal Thailand Bible Society, merasa senang dengan tingginya persentase warga Thailand yang merasa bahwa kekristenan memiliki tempat dalam masyarakat Thailand. Ia percaya bahwa agar agama Kristen dapat bertumbuh di negaranya, umat kristiani perlu menjangkau anak-anak dan kaum muda meski butuh waktu untuk melihat buahnya. “Untuk menyebarkan Kabar Baik, kita tidak hanya harus membagikan pesannya, melainkan kita juga harus menunjukkan kepada mereka apa yang kita ajarkan.”

Sebaliknya, banyak yang melihat pertumbuhan umat kristiani sebagai ancaman terhadap agama Islam atau Buddha di negara mereka, termasuk 31 persen umat buddhis Kamboja, 35 persen umat muslim Indonesia, 47 persen umat buddhis Sri Lanka, dan 52 persen umat muslim Malaysia. Meski demikian, di setiap negara, lebih banyak umat muslim dan buddhis yang memandang ekstremisme dalam agama mereka sebagai ancaman.

Keberagaman agama di Singapura

Di Singapura, di mana tidak ada satu agama pun yang menjadi mayoritas, Pew menemukan bahwa 9 dari 10 orang dewasa mengatakan bahwa agama Kristen, Islam, Hindu, dan agama tradisional Tionghoa sesuai dengan budaya dan nilai-nilai negara-kota tersebut.

Berdasarkan sensus nasional tahun 2020, 31 persen penduduk Singapura mengaku sebagai penganut agama Buddha, 20 persen mengaku tidak beragama, 19 persen beragama Kristen, 15 persen beragama Islam, dan 15 persen sisanya penganut agama Hindu, Sikh, Tao, dan penganut agama tradisional Tionghoa.

Agama Kristen di Singapura meningkat hampir dua kali lipat sejak tahun 1980, sementara jumlah mereka yang tidak terafiliasi dengan agama juga meningkat dari 13 persen menjadi 20 persen. Agama Buddha tumbuh dari 27 persen pada tahun 1980 menjadi 42 persen pada tahun 2000 sebelum turun kembali menjadi 31 persen. Penganut agama tradisional Tionghoa turun dari 30 persen pada tahun 1980 menjadi 9 persen saat ini.

“Perpindahan agama” di Singapura juga membuatnya unik. Hanya 64 persen warga Singapura yang mengidentifikasi diri dengan agama yang mereka anut sejak kecil. Di lima negara lain yang disurvei, setidaknya 95 persen orang dewasa masih mengidentifikasi diri dengan agama yang mereka anut sejak kecil. “Konsekuensinya, jumlah orang yang menganut agama tertentu sejak kecil kira-kira sama dengan jumlah orang yang menganut agama tersebut saat ini,” kata Pew.

Di Singapura, meskipun 32 persen orang dewasa mengatakan bahwa mereka dibesarkan sebagai penganut agama Buddha, hanya 26 persen yang mengaku sebagai orang buddhis saat ini. Berpindah ke agama lain juga lebih diterima di kalangan umat buddhis Singapura: Hanya 36 persen dari kelompok tersebut yang percaya bahwa meninggalkan agama mereka untuk pindah ke agama lain adalah hal yang tidak dapat diterima. Sebagai perbandingan, 82 persen umat buddhis Kamboja percaya bahwa pindah agama tidak dapat diterima, demikian temuan Pew.

Persentase penduduk Singapura yang mengidentifikasi diri sebagai penganut agama Kristen saat ini adalah 17 persen, sementara hanya 11 persen yang dibesarkan sebagai orang Kristen. Jumlah warga Singapura yang mengatakan bahwa mereka tidak beragama saat ini adalah 22 persen, sementara hanya 13 persen yang mengatakan bahwa mereka dibesarkan tanpa agama.

Jika dilihat lebih dekat, data tersebut menunjukkan bahwa kesenjangan antara mereka yang dibesarkan dalam sebuah agama dan mereka yang saat ini mempraktikkannya tidak mengungkap keseluruhan cerita, kata Pew. Walaupun 13 persen orang dewasa yang dibesarkan sebagai penganut agama Buddha kini tidak lagi menganut agama tersebut, tetapi 7 persen warga Singapura yang tidak dibesarkan dalam keluarga buddhis kini menganut agama tersebut. Dan meskipun 9 persen warga Singapura yang dibesarkan dalam agama berbeda atau tidak beragama kini mengidentifikasi diri sebagai penganut agama Kristen, 3 persen warga Singapura yang dibesarkan sebagai orang kristiani kini mengidentifikasi diri dengan agama lain.

Saat ini hanya dua pertiga orang tua buddhis di Singapura yang mengatakan bahwa mereka membesarkan anak-anak mereka berdasarkan keyakinan mereka (seperempatnya membesarkan anak-anak mereka tanpa agama). Sebaliknya, 90 persen orang tua beragama Kristen di Singapura membesarkan anak-anak mereka berdasarkan iman mereka. Di negara-negara lain, “hampir semua orang tua melaporkan bahwa mereka membesarkan anak-anak mereka dengan identitas agama yang sesuai dengan agama mereka,” kata peneliti Pew.

Meskipun kelompok “non-agamis” (nones) di Singapura merupakan sebuah anomali di kawasan ini, mayoritas penduduknya masih berpegang pada keyakinan agama: 62 persen percaya pada Tuhan atau makhluk gaib; 65 persen mengatakan mereka berpikir bahwa karma itu ada; 43 persen mengatakan bahwa seseorang bisa merasakan kehadiran anggota keluarga yang sudah meninggal; dan 39 persen membakar dupa.

Roland Chia, profesor Doktrin Kristen Chew Hock Hin di Trinity Theological College di Singapura, mencatat temuan Pew bahwa di antara warga Singapura yang tidak terafiliasi dengan agama tertentu tetapi merasa terhubung secara pribadi dengan agama Kristen, sebanyak 38 persen berdoa atau memberikan penghormatan kepada Yesus. Ini merupakan tanda bahwa “pemisahan diri dari agama atau institusi keagamaan yang terorganisir tidak menyiratkan penerimaan penuh terhadap pola pikir atau pandangan dunia sekuler,” kata Chia.

Bagi umat kristiani yang mencoba menjangkau kelompok ini, penting untuk mencoba memahami latar belakang dan kekhawatiran mereka, terutama jika mereka telah meninggalkan gereja, katanya. “Namun, fakta bahwa banyak dari mereka yang mengidentifikasi diri sebagai orang-orang yang tidak terafiliasi dengan agama tetapi masih mengejar suatu bentuk spiritualitas dan secara nyata menerima keyakinan inti dari agama Kristen—seperti berdoa kepada Yesus Kristus—menjadi titik hubung yang penting bagi kesaksian umat kristiani,” kata Chia.

Praktik keagamaan yang tumpang tindih

Bukan hanya kelompok “non-agamis” (nones) yang menentang label dalam keyakinan mereka. Survei Pew menemukan bahwa orang-orang dari agama yang berbeda percaya pada konsep atau berdoa kepada dewa atau tokoh pendiri agama lain.

Sebagai contoh, tiga perempat atau lebih orang dewasa di enam negara tersebut percaya pada karma, yaitu gagasan bahwa orang akan menuai manfaat dari perbuatan baik mereka dan membayar harga atas perbuatan buruknya. Jumlah tersebut mencakup lebih dari 60 persen umat kristiani di Malaysia, Indonesia, dan Sri Lanka. Umat kristiani Singapura adalah satu-satunya kelompok agama di mana kurang dari separuh orang dewasa (46%) yang percaya pada karma, demikian temuan Pew.

Mathew Mathews, kepala Lab Sosial di Institute of Policy Studies, merasa heran bahwa begitu banyak orang Kristen Singapura yang percaya pada karma, “terutama ketika kekristenan di Singapura cukup konservatif dan banyak gereja Kristen sangat enggan untuk mendukung sinkretisme dalam bentuk apa pun.” Ia menambahkan bahwa beberapa umat kristiani mungkin memahami karma sebagai konsep “Anda menuai apa yang Anda tabur,” tanpa gagasan tentang reinkarnasi.

https://datawrapper.dwcdn.net/CLjfS

Dibanding dengan umat kristiani di negara lain, umat kristiani Sri Lanka lebih banyak berdoa atau memberi penghormatan (termasuk membakar dupa, memberi persembahan makanan, atau menyampaikan permohonan) kepada dewa dari agama lain. Survei ini menemukan bahwa 61 persen umat kristiani Sri Lanka melakukan hal tersebut kepada Buddha, 58 persen kepada roh pelindung atau dewa penjaga, 41 persen kepada Allah, dan 48 persen kepada dewa Hindu Ganesha.

Sebaliknya di Malaysia dan Singapura, sekitar 1 dari 10 umat kristiani memberi penghormatan kepada Kwan Im, seorang Bodhisattva di agama Buddha yang dipercaya dapat membantu yang menderita.

Ivor Poobalan, presiden Seminari Teologi Kolombo di Sri Lanka, berpendapat bahwa temuan itu bertentangan dengan pengamatannya sendiri, dan menyatakan bahwa umat kristiani, baik di gereja tradisional maupun denominasi yang lebih muda, umumnya menjunjung tinggi klaim unik Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat.

“Saya merasa hampir mustahil untuk memahami bagaimana laporan tersebut bisa sampai pada statistik bahwa 61 persen umat kristiani menyembah Buddha,” katanya. “Meski sejumlah kecil orang dapat dikatakan mempraktikkan beberapa bentuk sinkretisme karena pernikahan atau tekanan sosial lainnya, sebagian besar dari mereka ditandai dengan rasa identitas keagamaan yang kuat, yang mencakup kesetiaan atau pengabdian yang eksklusif terhadap iman Kristen/Katolik.”

Ia yakin temuan Pew bahwa 71 persen umat muslim menyembah atau memberi penghormatan kepada Buddha adalah hal yang lebih tidak mungkin.

https://datawrapper.dwcdn.net/ZdiVP

Laporan Pew juga menemukan bahwa mayoritas umat kristiani di Sri Lanka memiliki altar atau tempat suci di rumah mereka serta membakar dupa. Kurang dari separuh umat kristiani di negara tersebut mengatakan bahwa mereka melakukan meditasi, yang mana angka ini lebih tinggi dibandingkan umat kristiani di negara lain.

Survei ini juga menemukan bahwa di antara umat kristiani, sekitar separuh dari mereka di Indonesia, Singapura, dan Sri Lanka percaya bahwa agama Kristen adalah satu-satunya agama yang benar, sementara hanya 37 persen warga Malaysia yang setuju dengan pernyataan tersebut.

https://datawrapper.dwcdn.net/fNz2N

Umat kristiani di negara-negara ini berbeda pendapat mengenai apakah seseorang bisa menjadi Kristen dan merayakan hari raya Waisak umat buddhis atau hari raya Idul Fitri umat muslim. Sebagian besar umat kristiani di Indonesia (63%) dan sepertiga di Malaysia (35%) mengatakan seseorang tidak bisa menjadi Kristen jika mereka merayakan Idul Fitri, sementara separuh umat kristiani di Singapura (50%) dan sebagian besar di Sri Lanka (38%) mengatakan hal yang sama tentang Waisak.

https://datawrapper.dwcdn.net/S9Gze

Di semua agama, mayoritas sepakat bahwa seseorang tidak dapat menjadi anggota agama mereka jika dia tidak menghormati orang yang lebih tua atau negaranya.

Mengenai topik minum alkohol, umat kristiani di kawasan ini memiliki pandangan yang lebih bervariasi. Sementara 74 persen orang Kristen di Indonesia memandang minuman keras sebagai diskualifikasi dari agama Kristen, angka tersebut turun menjadi 62 persen di Malaysia, 60 persen di Sri Lanka, dan hanya 18 persen di Singapura.

Para penganut integrasi agama-negara kurang bersedia menerima tetangga yang beragama Kristen

Di negara-negara yang disurvei dengan mayoritas buddhis atau muslim, orang-orang yang mengatakan bahwa menjadi anggota kelompok agama mereka sangat penting untuk benar-benar menunjukkan identitas nasional mereka dan ingin landasan hukum negara mereka didasarkan pada agama mereka, dikategorikan oleh Pew sebagai “penganut integrasi agama-negara.” Mereka cenderung mendukung pemimpin agama menjadi politisi, dengan berpikir bahwa pemimpin agama harus berbicara tentang politisi yang mereka dukung, dan percaya bahwa jika seseorang tidak menghormati negaranya, mereka tidak dapat menjadi bagian dari agama tersebut.

“Mayoritas muslim di Indonesia (57%) dan Malaysia (69%) menganut paham integrasi agama-negara, begitu pula dengan sebagian besar umat buddhis di Sri Lanka (72%) dan Kamboja (75%),” tulis laporan tersebut. “Minoritas yang cukup besar dari umat buddhis di Thailand (45%) juga termasuk dalam kategori ini.”

Poobalan mengatakan tingginya persentase umat buddhis Sri Lanka yang termasuk dalam kategori ini sangat memprihatinkan. “Mentalitas inilah yang membuat Sri Lanka pasca kemerdekaan tidak ramah terhadap agama dan etnis minoritas serta menciptakan ketegangan dan kemungkinan konflik antar komunitas agama,” katanya.

Para penganut integrasi agama-negara juga cenderung tidak menerima tetangga yang beragama Kristen. Umat muslim Indonesia yang termasuk dalam kategori ini cenderung tidak mengatakan bahwa agama Kristen sesuai dengan budaya dan nilai-nilai Indonesia (53% berbanding 63%). Mereka juga kurang bersedia menerima tetangga yang beragama Kristen (64% berbanding 77%).

“Nasionalisme buddhis telah dikaitkan dengan permusuhan dan kekerasan antara umat buddhis dan agama minoritas di negara-negara yang didominasi oleh agama Buddha Theravada, termasuk selama perang saudara di Sri Lanka,” kata para peneliti Pew. “Demikian pula, beberapa pakar telah menegaskan bahwa ada hubungan antara meningkatnya ‘nasionalisme agama’ dan xenofobia di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam.”

Para penganut paham integrasi agama-negara juga cenderung melihat pertumbuhan agama Kristen di negara mereka sebagai ancaman terhadap agama mayoritas. Yang paling signifikan, umat buddhis Sri Lanka yang termasuk dalam kategori ini cenderung memandang pertumbuhan umat kristiani sebagai ancaman dibandingkan dengan umat buddhis setempat lainnya (51% berbanding 37%). Namun, umat buddhis Sri Lanka lebih cenderung melihat pertumbuhan umat muslim sebagai ancaman bagi agama Buddha di negara mereka.

Di antara umat buddhis Kamboja dan Thailand, masing-masing hanya 57 persen dan 58 persen yang percaya bahwa umat kristiani sangat/cukup cinta damai. Meski begitu, mayoritas di setiap negara mengatakan mereka bersedia menerima pemeluk agama lain sebagai tetangga mereka.

Secara umum, survei ini menemukan bahwa mayoritas warga Malaysia (62%), Sri Lanka (62%), dan Singapura (56%) percaya bahwa memiliki orang-orang dari berbagai agama, suku, dan budaya akan membuat negara mereka menjadi tempat yang lebih baik. Separuh dari masyarakat Indonesia setuju dengan pernyataan ini, sementara 41 persen percaya bahwa hal tersebut tidak ada bedanya. Mayoritas warga Kamboja (54%) dan Thailand (68%) juga setuju bahwa hal itu tidak membawa perbedaan.

Poobalan menemukan harapan dalam persentase orang dewasa Sri Lanka yang menghargai keberagaman. “Sikap seperti ini memberi dorongan bahwa, terlepas dari pengaruh oportunis politik, rata-rata warga Sri Lanka sangat menghargai sifat masyarakatnya yang pluralistik,” katanya. “Hal ini seharusnya tidak mengherankan karena negara ini memiliki catatan sejarah selama 2.500 tahun yang dikenal karena pluralisme agama dan budaya serta tradisi hidup berdampingan secara damai.”

Di Indonesia, Hoon percaya bahwa lingkungan yang beragam memberi peluang bagi umat kristiani untuk terlibat dalam dialog antar agama dan membangun jembatan, sementara di saat yang sama, mereka juga perlu menegaskan hak konstitusional mereka atas kebebasan beragama. “Kehidupan sehari-hari di lingkungan sekitar masih melibatkan interaksi lintas budaya,” kata Hoon. “Oleh karena itu, sangat penting bagi umat kristiani untuk terus memupuk ruang-ruang seperti itu, memperluas persahabatan dan keramahtamahan terhadap umat non-Kristen untuk menunjukkan niat baik dan pengertian. Dengan cara ini, ketika terjadi ketegangan sosial, tetangga mereka akan membela mereka.”

Temuan menarik lainnya dari Pew mengenai umat kristiani di enam negara tersebut antara lain:

  • Hampir semua umat kristiani Indonesia, 93 persen umat kristiani Sri Lanka, dan 78 persen umat kristiani Malaysia mengatakan bahwa agama sangat penting dalam kehidupan mereka. Di antara orang Kristen Singapura, angka tersebut turun menjadi 61 persen.

  • Di Indonesia, Sri Lanka, dan Malaysia, 74 persen atau lebih umat kristiani percaya bahwa agama Kristen adalah sebuah etnis di mana seseorang dilahirkan. Sebagai perbandingan, hanya 41 persen umat kristiani Singapura yang memercayai hal tersebut.

  • Sementara 50 persen umat kristiani Singapura memandang agama Kristen sebagai tradisi keluarga yang harus diikuti, jumlah tersebut jauh lebih tinggi di kalangan umat kristiani Malaysia (74%), Sri Lanka (88%), dan Indonesia (92%).

  • Hampir separuh umat kristiani di enam negara berpendapat bahwa mantra, kutukan, atau ilmu sihir lainnya memengaruhi kehidupan orang-orang.

  • Di Singapura, Malaysia, dan Indonesia, 80 persen atau lebih umat kristiani percaya adanya Hari Penghakiman, dibanding dengan hanya 48 persen di Sri Lanka.

  • Sementara mayoritas umat kristiani Indonesia dan Malaysia berpendapat bahwa para pemimpin agama harus berbicara secara terbuka tentang politisi atau partai politik yang mereka dukung, hanya seperempat umat kristiani Singapura dan Sri Lanka yang setuju.

  • Sementara sebagian besar umat kristiani Indonesia (83%), Sri Lanka (67%), dan Malaysia (61%) berpendapat bahwa “tidak dapat diterima” untuk meninggalkan agama Kristen dan berpindah ke agama lain, banyak juga yang percaya bahwa “mencoba membujuk orang lain untuk bergabung dengan agama Kristen” juga merupakan hal yang tidak dapat diterima—termasuk 72 persen di Indonesia, 75 persen di Malaysia, dan 87 persen di Sri Lanka. Di Singapura, hanya sekitar 4 dari 10 orang beragama Kristen yang mengatakan bahwa meninggalkan agama Kristen (42%) atau membujuk orang lain agar menjadi Kristen (39%) adalah hal yang tidak dapat diterima.

https://datawrapper.dwcdn.net/GnTSY

Diterjemahkan oleh Mellie Cynthia dan Maria Fennita S.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Marilah, Wahai Para Rohaniwan yang Berbeban Berat

Belajar berjalan di bawah beban tugas pelayanan yang banyak.

Christianity Today September 4, 2023
Illustration by Daniel Liévano

Setelah bertahun-tahun bekerja sebagai guru, istri saya, Lisa, kembali mengambil studi pascasarjana untuk menjadi seorang terapis. Gereja kami telah lama mengadvokasi bantuan kesehatan mental dan memiliki daftar rujukan bagi jemaat yang membutuhkan konseling profesional. Kami bahkan memberikan bantuan dana yang tidak sedikit untuk subsidi biaya konseling. Jadi ketika Lisa mendirikan tempat praktiknya yang baru, saya sangat bersemangat merekomendasikan beberapa jemaat kami untuk dibantu olehnya.

Lisa dengan cepat menolak ditempatkan di dalam daftar rujukan kami. “Saya mungkin tidak akan menemui banyak orang dari gereja kita. Saya tidak akan memakai lebih dari satu topi terhadap siapa pun. Itu tidaklah etis.”

Saya terkejut, tetapi ia menjelaskan, “Saya tidak bisa menjadi istri pendeta sekaligus konselor, rekan seiman sekaligus terapis.”

Para mahasiswa konseling mempelajari etika relasi ganda. Mereka diajarkan untuk memakai hanya satu topi relasional dengan seorang klien dan berlatih untuk sangat berhati-hati dalam interaksi di luar sesi mereka—bahkan di media sosial. Pada kesempatan langka ketika seorang terapis harus memakai dua topi dengan klien, konselor dilatih untuk memperhatikan dengan seksama bagaimana interaksi lainnya memengaruhi relasi terapeutik.

Kehati-hatian Lisa dalam menasihati jemaat gereja kami memperjelas sesuatu yang telah saya gumulkan selama bertahun-tahun. Para rohaniwan memakai banyak topi relasional dengan jemaat. Ini adalah realitas panggilan yang tak terelakkan. Sebagian besar pekerjaan lain hanya membutuhkan satu relasi: Anda mengunjungi dokter untuk mendapat pertolongan medis, menghubungi montir untuk memperbaiki mobil Anda, dan datang ke terapis Anda untuk mendapatkan bantuan emosional. Namun karena pelayanan gereja memiliki banyak lapisan, para rohaniwan harus mengisi banyak peran agar bisa efektif. Kompleksitas relasional ini merupakan tantangan yang unik dalam pelayanan.

Beban yang melelahkan

Terkadang peran dan relasi yang tumpang tindih ini sangat mengganggu, tetapi relatif tidak berbahaya, seperti saat saya datang ke pesta salah satu jemaat. Ketika saya datang, gelak tawa pun berhenti dan seseorang berkata, “Baiklah, saya tadinya akan menceritakan lelucon itu, tetapi Pak pendeta ada di sini.” Di saat-saat seperti ini, para rohaniwan menyadari betapa sulitnya bagi sebagian jemaat untuk memandang mereka sebagai sesama manusia. Sebaliknya, mereka melihat topi di kepala kita yang bertuliskan, “Pengawas dari Tuhan.”

Atau bayangkan seorang rohaniwan di hari Natal. Dia mengadakan makan malam Natal dengan beberapa teman, mengira bahwa topi kependetaannya digantung di lemari (maksudnya: peran dia sebagai rohaniwan tidak diperlukan). Kemudian temannya berkata, “Hei, mumpung kamu ada di sini—kita kurang banyak menyanyikan lagu Natal selama kebaktian Malam Natal. Ini bukan saya saja yang berpikir demikian; beberapa orang yang lain juga mengatakannya. Saya hanya pikir mungkin kamu ingin tahu.”

_Tahan dulu pikiran itu sementara saya mengambil topi kependetaan saya—yang hampir tidak pernah saya lepas, pikirnya. Topi itu kotor karena telah melewati masa pelayanan penggembalaan yang berat, yang memuncak pada maraton di Malam Natal selama 13 jam. Juga, ingatkan saya untuk membakar topi peran sebagai teman anggota jemaat gereja saya, untuk selamanya._

Pergantian topi peran yang cepat ini bisa jadi lebih dari sekadar tidak berbahaya—itu bisa menguras tenaga kita. Para rohaniwan diharapkan memiliki keahlian yang luar biasa luas, dan beberapa kompetensi yang kami butuhkan secara aktif saling bertentangan satu sama lain. Adalah umum bagi seorang pendeta untuk mengadakan rapat majelis, mengerjakan anggaran, mengobrol dengan seorang anggota staf gereja tentang tujuan dan pengembangan, memimpin pemakaman, dan duduk bersama seseorang yang datang ke gereja untuk meminta uang —semuanya pada hari yang sama.

Keletihan ini paling saya rasakan ketika saya beralih dari setelah berkhotbah lalu segera mendengarkan jemaat mencurahkan kepedihan mereka kepada saya setelah kebaktian. Tubuh saya masih terpacu oleh adrenalin dan kerentanan berkhotbah, dan pikiran saya masih berputar-putar dengan cepat karena memikirkan apa yang telah saya khotbahkan dan bagaimana agar saya bisa mengkhotbahkannya dengan lebih baik lagi. Akan tetapi, sebelum saya memiliki waktu untuk fokus, seseorang meminta saya berdoa terkait diagnosis kankernya baru-baru ini atau seseorang menceritakan tentang dirinya yang kehabisan akal menghadapi anaknya yang sudah dewasa. Topi peran saya sebagai pengkhotbah dengan cepat digantikan dengan topi peran sebagai pembimbing rohani.

Bukan hanya pergantian topi peran itu yang membuat segalanya menjadi sulit. Dalam beberapa relasi pastoral, kita harus mengenakan banyak topi peran yang berlapis-lapis. Ketua penatua kami adalah seseorang yang luar biasa, dan merupakan suatu kehormatan bisa melayani bersamanya. Akan tetapi, hubungan kami menjadi rumit karena dia adalah atasan saya dan saya adalah rohaniwannya. Saya bangga menyebut dia dan suaminya sebagai teman saya, tetapi dinamika yang kusut ini memperumit banyak hal bagi kami semua.

Dalam drama William Shakespeare Henry IV, Part 2, tokoh utamanya mengatakan, “Kegelisahan terdapat di kepala yang memakai mahkota.” Saya tidak memiliki pengalaman langsung dengan mahkota, tetapi apakah mahkota itu seberat tumpukan 20 topi peran sekaligus?

Apa yang harus kita lakukan dengan semua relasi yang tumpang tindih dan saling bertentangan ini? Sebagai rohaniwan, kita tidak memiliki pilihan untuk menghindari relasi ganda seperti yang dilakukan para terapis. Bisakah kita mengurangi beban dan keletihan yang menyertai panggilan multi-topi peran ini?

Persahabatan dalam pelayanan: Topi di atas topi

Kebanyakan topi peran pelayanan dapat dipilah menjadi dua tumpukan umum: yang kita pakai berdasarkan kompetensi dan yang kita pakai berdasarkan ekspektasi. Tumpukan kompetensi dapat mencakup topi peran seperti ahli Alkitab, konselor, pengkhotbah, pemberi visi, manajer staf, bagian perekrutan, pembimbing rohani, dan penggalang dana. Luasnya keterampilan yang dibutuhkan dapat membuat kita kewalahan.

Namun menurut pengalaman saya, topi kompetensi bukanlah yang paling membebani saya. Topi yang paling menimbulkan kecemasan dan konflik adalah topi yang saya kenakan karena ekspektasi yang saya atau orang lain tempatkan pada diri saya. Saya berharap diri saya menjadi pengkhotbah bintang emas, mampu memberikan layanan perawatan 24 jam, dan ahli dalam hal-hal yang belum pernah saya pimpin sebelumnya, seperti penggalangan dana. Orang lain mungkin melihat saya sebagai partisan politik, proyeksi disfungsi mereka, atau bagian pengaduan.

Namun ada satu peran yang harus dihadapi oleh semua rohaniwan yang tidak dapat dikategorikan: teman.

Dapatkah para rohaniwan memiliki persahabatan yang sejati dan menghidupkan di dalam jemaat mereka? Setiap bagian dari diri saya ingin menjawab, “Ya, tentu saja!” Akan tetapi saya malah harus berkata, “Itu tergantung. Lanjutkanlah dengan hati hati.”

Berapa banyak jemaat yang kinerja pekerjaannya sering dikritik oleh teman-temannya? Orang-orang tidak berdiri saja setelah kebaktian sambil mempertanyakan kualifikasi teknik sipil Peter atau memperdebatkan keterampilan Danielle sebagai agen asuransi. Namun mereka semua cukup nyaman mengulas khotbah atau keputusan kepemimpinan pendeta yang terbaru.

Kemudian, tentu saja, ada orang yang merasa perlu dekat dengan pendetanya dengan cara yang tidak sehat. Suatu kali seorang anggota baru memberi tahu saya, “Saya hanya akan datang ke gereja jika pendetanya dan saya adalah teman dekat.” Astaga. Saya cukup lama berada dalam pelayanan sehingga saya tahu bahwa respons terbaik adalah mengecewakan dia secepat mungkin: “Jika perspektif Anda untuk terlibat aktif di gereja adalah persahabatan dengan saya, maka saya ragu Anda akan sangat terlibat. Saya harap Anda dapat menemukan gereja di mana Anda dapat bertumbuh dan melayani.” Dia bertahan selama beberapa bulan dan kemudian pindah ke gereja yang lain, mencari "teman berpengaruh" yang dibutuhkannya.

Lebih jauh lagi, para rohaniwan mungkin lupa bahwa topi peran apa pun yang mereka kenakan pada saat tertentu—termasuk topi peran sebagai teman—kebanyakan orang masih melihat topi rohaniwan yang menyembul dari baliknya. Bertahun-tahun yang lalu, saya mengadakan penggalangan dana dan meminta pasangan suami istri yang saya anggap teman baik untuk menjadi sukarelawan dalam tim perencanaan. Setelah beberapa hari berdiam diri, sang suami akhirnya menjawab dengan penuh penyesalan karena tidak bisa membantu. Akan tetapi dia juga secara tidak sengaja meneruskan percakapan antara dia dan istrinya yang membahas tentang permintaan saya. Salah satu surel dari istrinya tertulis, “Terakhir dia meminta, saya sudah bilang 'tidak.' Sekarang giliranmu.”

Percakapan privat itu membantu saya melihat bahwa teman-teman di gereja saya juga menghadapi tantangan dalam mengelola berbagai peran relasi saya. Ketika saya memikirkan teman-teman gereja yang mengkritik khotbah saya, saya bisa saja mengasihani diri sendiri. Akan tetapi ada baiknya untuk mempertimbangkan perspektif teman-teman saya: Lagi pula, saya satu-satunya orang dalam kelompok pertemanan kami yang naik ke mimbar untuk bermonolog kepada mereka setiap minggu!

Ya, rohaniwan dapat menikmati persahabatan di dalam gereja. Akan tetapi rohaniwan yang bijaksana ingat bahwa bahkan teman-teman gereja terdekat mereka pun menjalin relasi ganda dengan mereka. Bagi sebagian besar jemaat, mungkin yang terbaik adalah tetap ramah daripada menjadi teman.

Penawar paling sederhana untuk kerumitan persahabatan dalam pelayanan adalah berinvestasi dalam relasi satu topi peran di luar gereja Anda. Pendeta dan penulis bernama Glenn Packiam berbicara tentang kebutuhan seorang rohaniwan untuk memiliki sekumpulan relasi satu topi peran, yang semuanya memainkan peran yang berbeda dalam kehidupan seorang rohaniwan. Dia mengibaratkan hal ini seperti kelompok orang-orang dalam The Fellowship of the Ring karya J. R. R. Tolkien. Frodo memiliki sahabat sejati dalam diri Sam, seorang yang bijak dalam diri Gandalf, seorang tabib dalam diri Elrond, dan seterusnya. Saya yakin Anda pernah melihat statistik yang mengkhawatirkan tentang kesepian dan kelelahan para rohaniwan dalam pelayanan. Sayangnya, para rohaniwan masih sering mengabaikan investasi yang tepat dalam relasi satu peran yang dibutuhkan ini.

Dalam pembinaan yang saya berikan, saya mendorong para rohaniwan untuk melakukan inventarisasi cepat tentang relasi satu topi peran mereka. Berapa banyak yang mereka miliki, peran apa yang dimainkan di setiap relasi, dan berapa banyak waktu yang mereka investasikan untuk masing-masing relasi tersebut? Kehidupan pastoral saya sendiri telah sangat terbantu dengan investasi yang intensional dalam relasi-relasi satu peran ini di luar gereja saya. Relasi-relasi tersebut memberi saya kemampuan baru untuk memupuk hubungan yang lebih sehat di dalam gereja saya.

Asumsi yang salah dan ekspektasi yang tidak masuk akal

Saya menghabiskan banyak waktu melatih para rohaniwan untuk mengenali, menamai, dan mengatasi kecemasan kronis. Kecemasan ini berbeda dari bentuk-bentuk kecemasan lainnya seperti trauma atau kesedihan, karena kecemasan ini tumbuh dari asumsi, ekspektasi, dan keyakinan yang salah. Kita memiliki asumsi yang salah tentang diri kita sendiri dan ekspektasi yang tidak masuk akal tentang tingkat kompetensi vokasi yang kita harapkan—keduanya mengarah pada keyakinan yang tidak dapat dipertahankan yang menimbulkan kecemasan kronis. Sayangnya, asumsi dan ekspektasi bukanlah urusan pribadi. Kita dengan sukarela menempatkan keduanya satu sama lain. Kecemasan kronis adalah satu-satunya bentuk kecemasan yang menular.

Misalnya, seorang rohaniwan muda baru-baru ini memberi tahu saya bahwa suatu kali setelah ia berkhotbah, sebuah keluarga datang menemuinya. Mereka baru pindah ke kota dan sangat ingin menemukan gereja seperti gereja mereka sebelumnya. “Pendeta kami yang dulu adalah pengkhotbah terbaik yang pernah kami dengar,” kata mereka. “Tidak ada yang menjelaskan Alkitab sebaik dia.”

Ekspektasi mereka, meskipun tidak salah, telah menulari asumsi rohaniwan ini tentang dirinya sebagai seorang perintis gereja yang masih berusia muda. Jika ia tidak berhati-hati, infeksi kecemasan kronis ini akan membentuk keyakinan yang salah bahwa ia harus berkhotbah dengan cara tertentu untuk membuat orang-orang senang. Dia akan menumpuk topi peran di kepalanya, yang tidak Tuhan minta daripadanya untuk ia tambahkan.

Ekspektasi itu sendiri tidaklah buruk; kita harus berpegang pada standar yang tinggi, dan orang-orang harus mengharapkan hal-hal tertentu dari kita. Namun tekanan panggilan pelayanan para rohaniwan terus-menerus diperbesar ketika orang-orang menaruh ekspektasi yang tidak masuk akal dan tidak dapat dicapai oleh mereka. Beberapa orang berpikir mereka tahu bagaimana memimpin sebuah gereja hanya karena mereka menghadirinya. Yang lain memiliki keyakinan bawah sadar bahwa Tuhan ada di pihak mereka, tidak peduli apa pun pendapat yang mereka ungkapkan. Ekspektasi mereka dapat menginfeksi ekspektasi kita sendiri dan menyebabkan stres yang luar biasa.

Beberapa penyebab kecemasan disebabkan oleh hal-hal yang kita tuntut dari diri kita sendiri. Sebagian rohaniwan percaya bahwa mereka harus selalu melakukan segalanya dengan benar setiap saat. Yang lain merasa bahwa mereka harus selalu ada untuk orang-orang yang terluka, tidak peduli meski hal itu merugikan kesejahteraan mereka sendiri. Beberapa rohaniwan didorong oleh keinginan untuk menyenangkan orang lain—para rohaniwan ini berpikir bila mereka dapat memenangkan hati para kritikus, maka orang-orang itu tidak akan dapat mengungkapkan opini yang negatif. Lalu rohaniwan yang lainnya lagi mengharapkan setiap khotbah yang mereka khotbahkan menjadi khotbah yang terbaik yang pernah mereka sampaikan. Tak satu pun dari topi-topi ekspektasi diri ini yang seharusnya ada di lemari Anda; semuanya itu tidak cocok.

Sebagai rohaniwan, kita sebaiknya mempraktikkan seni yang sulit tentang diferensiasi diri—memperhatikan ketika kita hidup di bawah ekspektasi internal dan eksternal yang tidak dapat dipertahankan dan dengan jelas mendefinisikan kapasitas dan ruang lingkup yang sesuai dengan ukuran manusia untuk diri kita sendiri. Kita harus belajar menyaring ekspektasi dan keyakinan yang salah dari diri kita sendiri. Kita harus membuang topi-topi peran yang tidak sesuai dengan diri kita dan mengubah ukuran topi peran yang terlalu rendah di diri kita.

Apakah Anda mengharapkan lebih dari diri Anda sendiri dibanding harapan Tuhan terhadap Anda? Saya menemukan sebuah pertanyaan sederhana yang berguna untuk membawa kelegaan di sini: Bagaimana jika saya bersikap _____ terhadap diri saya sendiri seperti Tuhan bersikap terhadap saya?

Misalnya, bagaimana jika saya bersikap baik terhadap diri sendiri seperti Tuhan bersikap baik terhadap saya? Pertanyaan ini membantu saya melihat bahwa “injil” dari ekspektasi batiniah saya selalu lebih keras daripada Kabar Baik dari Yesus.

Belajar untuk hidup sebagai rohaniwan yang masih manusia biasa tidaklah terjadi secara alami bagi kita. Kita sering menggunakan ayat “Segala perkara dapat kutanggung dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku” (Flp. 4:13) sebagai sebuah lisensi untuk menyiksa diri sendiri dan kelelahan. Namun penggembalaan sudah cukup rumit tanpa kita perlu menambahkan lebih banyak topi peran ke atas tumpukannya.

Berkat dinamis dari pelayanan pastoral

Kita para rohaniwan tidak akan pernah bisa turun ke dalam relasi satu peran dengan jemaat kita—dan kita tidak boleh mencoba melakukannya. Kita dapat mengurangi bobot dari banyak topi peran dengan mengakuinya, memperhatikan peralihan yang cepat, memupuk relasi satu topi peran di luar gereja kita, dan mengidentifikasi serta menolak ekspektasi yang tidak masuk akal.

Kita mungkin iri terhadap para konselor dengan panggilan mereka yang sederhana dan relasi mereka yang satu peran, tetapi pelayanan pastoral adalah panggilan yang menakjubkan. Tidak ada panggilan lain yang sangat membuka diri kita sepenuhnya terhadap keajaiban dan misteri Allah serta pada tugas yang suci untuk merawat jiwa-jiwa. Kita dibayar untuk mempelajari Kitab Suci, menikmati Tuhan di hadapan orang-orang, memperhatikan jiwa jemaat kita selama bertahun-tahun, untuk secara nyata membayangkan kerajaan Tuhan terwujud secara lokal, dan melakukan sesuatu di tempat-tempat yang paling rusak dalam masyarakat.

Begitu banyak orang di jemaat saya telah berbagi kisah mereka kepada saya tentang penderitaan, penyesalan, keraguan, dan dosa mereka; tetapi mereka juga berbagi tentang kesembuhan, kegembiraan, pengharapan, dan kelaparan rohani mereka. Mengenakan banyak topi peran bisa melelahkan, tetapi saya tahu tidak ada panggilan lain yang mengalami hidup berkelimpahan seperti seorang rohaniwan. Ini adalah panggilan yang kompleks, indah, melelahkan, menyenangkan, dan kudus.

Steve Cuss melayani dalam tim pastoral di Discovery Christian Church di Colorado. Buku-bukunya meliputi_ Managing Leadership Anxiety dan, Minding the Gap.

Artikel ini adalah bagian dari edisi musim gugur CT Pastors kami. Anda dapat menemukan isu selengkapnya di sini .

Diterjemahkan oleh Arief Wahyudi.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Seperti Apakah Pengudusan Itu?

Narasi Alkitab yang beragam membantu kita memuridkan mereka yang dipercayakan kepada kita.

Christianity Today August 30, 2023
Ilustrasi oleh Rick Szuecs | Sumber gambar: Lach Ford / Unsplash / Envato

Ketika saya memimpin sebuah pendalaman Alkitab tentang pengudusan, saya membagikan tiga narasi biblikal tentang kehidupan kristiani. Yang pertama: sebuah narasi pembaruan, kematian dan kebangkitan tentang pertobatan dan kehidupan setiap hari yang dipenuhi dengan pengampunan Tuhan. Yang kedua: sebuah kisah tentang umat Tuhan yang melakukan perjalanan melalui padang gurun yang berbahaya di mana mereka menghadapi pergumulan dan serangan-serangan secara spiritual. Dan ketiga: sebuah gambaran tentang kehidupan yang melayani—bagaimana menjadi persembahan hidup yang berkenan kepada Tuhan, terlibat dengan sesama, serta berbagi suka dan duka dalam komunitas.

Saya bertanya, “Gambaran manakah yang sedang menggambarkan kehidupan Anda sekarang?” Tidak mengherankan ketika para peserta memilih gambaran yang berbeda. Seorang perempuan merasa dirinya tidak cukup baik di hadapan Tuhan karena ia merasa bersalah atas dosa di masa lalu. “Bagaimana mungkin Tuhan mengampuni saya? Saya harus kembali lagi dan lagi kepada salib.” Jemaat yang lain berkata, “Saya merasa hidup adalah sebuah perjuangan dan saya terus-menerus diserang, dicobai untuk meragukan janji-janji Tuhan akan kecukupan hidup.” Pria ini telah menganggur selama beberapa waktu, dan setelah ditolak berulang kali oleh calon pemberi kerjanya, ia merasa perlu untuk berharap lagi kepada Tuhan. Orang ketiga berkata, “Saya hanya ingin tahu apa yang dibutuhkan orang-orang dalam komunitas ini dan saya ingin melakukan sesuatu untuk itu!” Pemuda ini siap bertindak, sangat ingin melayani sesamanya.

Apakah setiap orang Kristen mengalami kehidupan rohani dengan cara yang sama? Tentu saja tidak. Namun kita sering mengajarkan pengudusan seolah-olah seperti demikian. Kita berdebat tentang apakah pengudusan harus dilihat sebagai sebuah siklus atau proses, apakah kekudusan itu adalah tentang pergumulan atau kesempurnaan, dan seterusnya. Kita menjadikan pengudusan menjadi sebuah konsep yang membutuhkan solusi yang seragam. Kita kehilangan kepekaan bahwa pengudusan adalah tentang sebuah kisah—tentang karya Roh Kudus di dalam dan melalui (dan ya, bekerja sama dengan) bejana-bejana yang retak, yang paling baik dikisahkan dalam bahasa visual yang kaya dari narasi-narasi alkitabiah. Tidak ada satu pun cara berpikir yang homogen tentang pengudusan; setiap orang berada di tempat yang berbeda dalam menggambarkan kehidupan Kristen. Saya bersyukur atas beragam narasi yang kaya di dalam Alkitab, yang dapat kita gunakan untuk membantu kita berjalan bersama mereka yang dipercayakan untuk kita bimbing secara rohani.

Pengalaman dan kebutuhan rohani para peserta pendalaman Alkitab saya hari itu selaras dengan narasi pengudusan yang kita temukan dalam Kitab Suci. Narasi pembaruan berbicara tentang kebutuhan akan pemulihan dari perempuan pertama. Orang kedua menghadapi keraguan, dan gambaran kehidupan di padang gurun—berdiri teguh melawan serangan si jahat dengan berpegang pada janji-janji Tuhan—menunjukkan kebutuhannya akan rasa aman di tengah pergumulan hidup. Orang terakhir benar-benar bertanya tentang tujuan hidupnya; ia beresonansi bersama dengan gambaran alkitabiah tentang pelayanan dan panggilan untuk berkomunitas.

Kehidupan Kristen tentang mati dan dibangkitkan ke dalam kehidupan baru, tentang berdiri teguh di padang gurun, atau tentang memberi ruang bagi orang lain yang membutuhkan, apakah semua itu membentuk arti dari melayani? Jawabannya adalah ya! Kekudusan memiliki banyak wajah. Alkitab tidak hanya memberikan kita satu, melainkan banyak cara untuk menggambarkan dan mengundang para pendengar Firman ke dalam kehidupan di dalam Roh Kudus. Roh Kudus adalah seperti Sang Pemahat yang membentuk kita menjadi serupa Kristus dengan cara yang paling kita butuhkan.

Apa yang menjadi pergumulan utama dari jemaat kita? Identitas? Rasa aman? Tujuan? Kita dapat menggembalakan mereka dengan sebaik-baiknya seiring mereka memahami kehidupan rohani, ketika kita mengijinkan beragam narasi yang berbeda itu membentuk pemahaman kita tentang pengudusan.

Berbagai kisah dan gambaran Alkitab memberi kita tata bahasa visual untuk mengartikulasikan seperti apa kehidupan di dalam Roh di pelbagai waktu dalam perjalanan rohani seseorang. Tata bahasa yang mengekspresikan kondisi rohani, kebutuhan, dan harapan seseorang ini, mendorong kita untuk berdoa saat kita meminta Roh Kudus untuk masuk dan menyediakan apa yang dibutuhkan: Datanglah, ya Roh Kudus!

Selain narasi pembaruan, padang gurun, dan pelayanan, Alkitab menyampaikan banyak gambaran dan kisah lain tentang kehidupan kristiani. Narasi tentang keramahan kepada orang asing, tentang orang-orang terbuang yang disambut ke dalam kerajaan Allah melalui iman di dalam Kristus, tentang Roh Kudus yang memimpin gereja keluar dari Yerusalem menuju ke daerah-daerah pinggiran di mana orang-orang Samaria dan orang non-Yahudi tinggal. Atau narasi kehidupan yang mengabdi kepada Allah dalam pekerjaan dan doa, tentang memelihara taman tetapi selalu menyediakan waktu untuk istirahat di hari Sabat, tentang Yesus yang melakukan misi Bapa tanpa mengorbankan waktu-Nya untuk bersama dengan Bapa di dalam doa.

Ketika kita menggembalakan mereka yang kita bimbing untuk bertumbuh serupa Kristus, kita dapat melihat banyak narasi kehidupan yang dikuduskan dalam Alkitab, yang mungkin sejalan dengan apa yang dihadapi oleh jemaat kita dalam perjalanan rohani mereka. Tentu saja, dalam kehidupan nyata, kisah-kisah ini sering kali bersinggungan. Umat Tuhan sangat mungkin mengalami rasa bersalah, malu, pergumulan, dan kebutuhan akan pelayanan secara bersamaan! Hidup itu rumit.

Akan tetapi Roh Kudus menuntun kita saat kita memasuki kehidupan yang kompleks dari sesama kita. Ketika kita melakukannya, kita mengakui bahwa kita pun membutuhkan Roh Kudus untuk memberi kita pengampunan, rasa aman, tujuan, sambutan, dan peristirahatan yang sama kepada orang lain yang sangat membutuhkan perhatian kita. Maka dari itu, kita pun berdoa, Datanglah, ya Roh Pemahat Kehidupan!

Leopoldo Sánchez adalah profesor teologi sistematika di Concordia Seminary di St. Louis. Dia adalah penulis dari Sculptor Spirit: Model of Sanctification from Spirit Christology.

Diterjemahkan oleh David Alexander Aden.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Books

‘Jadilah Tahir’: Yesus dan Dunia Kecemaran Ritual

Perintah Alkitab ini dengan tepat mengingatkan kita tentang signifikansi dari tubuh kita.

Christianity Today August 29, 2023
Ilustrasi oleh Duncan Robertson

Dalam buku terlarisnya, The Year of Living Biblically, seorang Yahudi sekuler bernama A. J. Jacobs berusaha mengikuti hukum-hukum Alkitab secara harfiah selama satu tahun. Petualangannya dengan bahan kain campuran, melempari para pelanggar hari Sabat dengan batu, memegang ular, dan menghormati para janda, semua itu sangat menarik dan sering kali menggelikan. Petualangannya ini akhirnya diadaptasi menjadi sebuah sitkom CBS.

Dalam sebuah catatan, ia menjelaskan usahanya untuk menghindari kecemaran ritual yang terkait dengan keluarnya cairan dari kelamin di saat istrinya sedang menstruasi (Im. 15:19-23). Karena tidak senang dengan hal itu, istrinya memutuskan untuk menduduki setiap kursi di rumah sebelum Jacobs kembali ke rumah. Pada akhirnya, Jacobs memilih untuk memakai sebuah kursi portabel, karena siapa yang dapat benar-benar memastikan siapa yang baru saja duduk di kursi kereta bawah tanah atau kursi restoran? (Rachel Held Evans menyelesaikan tantangan serupa dalam bukunya yang terbit di tahun 2012, A Year of Biblical Womanhood.)

Salah satu alasan mengapa kisah ini begitu lucu adalah karena absurditasnya, terutama jika dilihat dari sudut pandang dunia Barat yang modern, yang tanpa disadari memengaruhi tafsiran kita terhadap Kitab Suci. Kita menganggapnya canggung atau sangat tidak pantas untuk bertindak berbeda—apalagi bertanya kepada seorang wanita yang sedang menstruasi. Oleh karena itu, gagasan tentang peraturan atau larangan Alkitab atas waktu datang bulan bagi seorang wanita tampaknya sangat tidak masuk akal.

Sangat mudah tidak menganggap penting atau mengabaikan bahwa di dalam Alkitab masalah kemurnian ritual itu penting. Namun kebalikan dari anehnya peraturan Perjanjian Lama yang legalistik dan kuno, isu kecemaran ternyata sangat penting bagi Yesus.

Sistem kemurnian ritual adalah tonggak kehidupan orang Yahudi pada masa Bait Suci kedua, dan tindakan-tindakan Yesus menunjukkan bahwa Ia mewujudkan semacam kekudusan yang ditularkan, yang mengatasi sumber-sumber kecemaran yang menjangkiti umat Allah. Tanpa memahami bagaimana sistem kemurnian ritual ini bekerja, dan bagaimana tindakan Yesus membuktikan penyingkapan kekudusan Allah ke dalam dunia, maka kita akan kehilangan sebagian dari kesaksian Perjanjian Baru yang luar biasa.

Dalam Matius 9:18–26, misalnya, kita membaca kisah tentang seorang kepala rumah ibadat yang putrinya telah meninggal, yang tiba-tiba disela oleh kisah lain tentang seorang perempuan yang telah “menderita sakit pendarahan” selama 12 tahun. Bahasa yang digunakan terjemahan bahasa Inggris mengaburkan aspek-aspek kunci dari nats ini, yang menghubungkannya dengan konteks Yahudi abad pertama. Kedua kisah ini sepertinya tidak memiliki hubungan satu sama lain, sehingga membuat komposisi bagian ini tampak aneh dan serampangan. Namun justru pemahaman tentang sistem kemurnian ritual, dan sikap Yesus atas hal tersebut itulah yang membuka makna dari perikop yang unik ini.

Ahli Perjanjian Baru Matthew Thiessen menjelaskan dalam Jesus and the Forces of Death bahwa kehidupan komunal Israel kuno terstruktur di antara dua kutub: kudus vs. profan_ atau _biasa, dan murni vs. cemar. Bagian utama dari kekudusan adalah hari Sabat (Kel. 20:8-11), Kemah Suci atau Bait Suci (Kel. 40:34-38), dan umat Israel itu sendiri (Im. 11:44-45). Karena Tuhan secara harfiah tinggal di dalam entitas-entitas ini, maka hal-hal tersebut harus dijaga dan dikelola dengan sangat hati-hati.

Para ahli Alkitab biasanya membagi kecemaran dalam Alkitab menjadi kecemaran ritual dan moral. Kecemaran ritual tidak dapat dihindari, alamiah, menular, tidak berdosa, dan umumnya ditangani dengan “pembasuhan dan menunggu” (menjalani ritual pembasuhan dan selama periode tertentu mengisolasi diri dari tempat yang kudus).

Kecemaran ritual terbagi dalam tiga kategori utama: penyakit kulit (tsara’at dalam bahasa Ibrani, lepra dalam bahasa Yunani, yang sering kali salah diterjemahkan sebagai “kusta”), cairan yang dikeluarkan dari alat kelamin, dan tubuh orang mati. Seperti yang dijelaskan Thiessen, masing-masing kategori merepresentasikan kuasa-kuasa maut, yang bekerja melawan kehidupan dan kesejahteraan manusia. Seseorang yang berada dalam keadaan cemar secara ritual tidak dapat bersentuhan dengan kekudusan Tuhan, karena Allah menjauhkan diri dari kecemaran (Yeh. 10-11). Jadi, meskipun kecemaran ritual itu sendiri bukanlah dosa, jika umat Israel tidak menanganinya dengan tepat, maka hal tersebut dapat membawa seseorang ke dalam ketidakkudusan dan menjauhkan hadirat Tuhan.

Sebaliknya, kecemaran moral, merujuk pada perilaku berdosa (pemberhalaan, inses, pembunuhan), yang mengakibatkan kenajisan pada umat Allah, tempat kudus, dan lahan. Kecemaran moral dapat dihindari, dilakukan secara sengaja, tidak menular, mengakibatkan hukuman ilahi, membutuhkan penebusan, dan (jika tidak ditebus) akan mengakibatkan pengasingan.

Yesus menghadapi ketiga jenis kecemaran ritual dalam kisah Injil yang menyingkapkan tentang pelayanan-Nya yang luar biasa. Dengan memahami hukum kemurnian ritual, kita menyadari bahwa Matius 9:18–26 (dan nats paralelnya, Lukas 8:41–56 dan Markus 5:22–43) difokuskan pada masalah kemurnian ritual.

Apa yang secara halus tersembunyi dalam terjemahan bahasa Inggris adalah bahwa “pendarahan” yang dialami perempuan itu adalah masalah keluarnya cairan yang tidak normal dari kelaminnya, yang membuatnya cemar dan dengan demikian tidak dapat memasuki pelataran Bait Suci, dan bahkan mungkin kota Yerusalem, selama 12 tahun pendarahannya (Im. 15:25). Ini adalah kehilangan besar baginya, baik secara sosial maupun spiritual, mengingat Bait Suci Yerusalem adalah pusat ibadah dan kehidupan beragama.

Dalam Matius 9 ada sebuah petunjuk yang memperlihatkan keseriusan Yesus terhadap perintah-perintah Perjanjian Lama. Dalam sebagian besar terjemahan bahasa Inggris dari Matius 9, perempuan itu berusaha mendekati Yesus dan menjamah “jumbai jubah-Nya” (ay. 20), sebuah terjemahan yang aneh dan ketinggalan zaman bagi pembaca modern. Yang sebenarnya dikatakan dalam bahasa Yunani adalah bahwa perempuan itu mengulurkan tangan dan menyentuh kraspedon (rumbai; LAI BIS) pakaian-Nya. Dalam Bilangan 15, Allah memerintahkan orang-orang Israel untuk memakai jumbai/rumbai untuk mengingatkan umat-Nya untuk mengejar kekudusan, sebuah perintah yang ditaati oleh banyak orang Yahudi hingga saat ini.

Terutama, ketika kata Yunani yang sama (kraspedon) muncul dalam Matius 23:5—di mana Yesus mengecam sikap orang-orang Farisi yang suka memamerkan diri—versi bahasa Inggris menerjemahkan kata itu menjadi “tassel” (jumbai). Kontras dalam kedua pasal ini mengaburkan hubungan Yesus dengan praktik-praktik Yahudi dan menjauhkan Yesus dari kebiasaan orang Farisi. Pada kenyataannya, Yesus dan orang-orang Farisi sama-sama memakai jumbai. Seperti yang ditulis Thiessen, Yesus memang benar “orang Yahudi.” Justru keyahudian Yesuslah yang mengungkapkan kepada kita tentang misi-Nya, dan pada gilirannya, seperti apakah tugas kita sebagai para murid-Nya.

Begitu pula halnya dengan anak perempuan kepala rumah ibadat. Ia melambangkan kecemaran mayat dan dengan demikian merupakan kuasa lain yang menentang kehidupan dan kesejahteraan Israel. Mayat adalah sumber kecemaran ritual yang paling kuat di dalam sistem kemurnian keimaman; sementara kedua sumber kecemaran lainnya ditularkan melalui sentuhan, berbeda halnya dengan kecemaran oleh mayat. Bahkan jarak yang dekat dengan tubuh orang mati pun dapat membuat seseorang cemar secara ritual (Bil. 19:14-16). Dalam sebuah trilogi simbolis, kisah Yesus menyembuhkan seorang pria yang menderita sakit lepra mendahului perikop ini dalam ketiga Injil Sinoptik.

Menurut hukum kemurnian ritual, Yesus seharusnya menjadi cemar secara ritual ketika perempuan yang sakit pendarahan itu menyentuh pakaian-Nya, dan ketika Yesus menyentuh anak perempuan yang mati untuk membangkitkannya kembali. Namun pada kenyataannya, yang terjadi justru sebaliknya. Alih-alih kecemaran mereka menular kepada Dia, justru malah kekudusan-Nya menular kepada mereka.

Di sepanjang Perjanjian Lama, ada dua untaian benang merah utama dalam narasi Israel. Pada satu sisi, Israel harus dengan hati-hati menjaga, melestarikan, dan memelihara kehadiran Allah di tengah-tengah mereka. Seperti yang Allah katakan kepada Musa dan Harun dalam Imamat 15:31, “Begitulah kamu harus menghindarkan orang Israel dari kenajisannya, supaya mereka jangan mati di dalam kenajisannya, bila mereka menajiskan Kemah Suci-Ku yang ada di tengah-tengah mereka itu.”

Kekudusan Allah berdiam di tengah-tengah bangsa Israel, di hari Sabat, dan Kemah Suci serta Bait Suci, yang mengacu kepada penyempurnaan yang seutuhnya dari ciptaan—kehadiran Allah yang tidak terbatas dan penghapusan batas antara yang sekuler dan kudus. Tradisi Yahudi menggambarkan dunia yang akan datang sebagai “hari yang seluruhnya adalah Sabat” ( Mishnah Tamid 7:4; Genesis Rabbah 17:5 ), dan Kitab Suci menawarkan visi eskatologis di mana kekudusan Allah pada akhirnya menyelimuti seluruh ruang dan waktu (Zak. 14; Why. 21).

Di sinilah letak untaian benang merah kedua dari narasi Israel: Kekudusan Allah yang berdiam di dalam diri umat Israel akan meluas ke seluruh dunia. Lintasan ini sudah ada sejak awal, yang berasal dari panggilan Allah kepada Abram dalam Kejadian 12:3 (“olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat.”) dan bergaung terus di seluruh kitab para nabi.

Yesaya membayangkan suatu hari ketika “seluruh bumi penuh dengan pengenalan akan TUHAN, seperti air laut yang menutupi dasarnya” (Yes. 11:9) dan menyatakan bahwa “tetapi Aku akan membuat engkau menjadi terang bagi bangsa-bangsa supaya keselamatan yang dari pada-Ku sampai ke ujung bumi” (49:6). Zakharia 14 membayangkan suatu hari di mana benda-benda yang paling biasa akan sama sucinya dengan benda-benda kudus yang dipakai dalam ibadah di Yerusalem.

Dalam narasi kitab-kitab Perjanjian Lama, kekudusan Israel hadir berdampingan dengan visi bahwa suatu hari, kehadiran Allah akan mengalir jauh melampaui batas-batas dan jarak-jarak yang telah ditentukan.

Ketegangan antara pemisahan Israel dari dunia, yang diperintahkan Allah, dan panggilan Israel untuk membawa kekudusan Allah sampai ke ujung bumi akhirnya menemukan resolusinya dalam kehidupan dan karya Yesus. Dalam Kristus, kekudusan mengalahkan sumber kecemaran; kehidupan yang berkelimpahan mengalahkan kuasa kematian.

Kerajaan Allah menerobos masuk melalui jamahan Kristus yang kudus dan menyembuhkan.

Ketika diminta untuk membuktikan pelayanan dan kemesiasan-Nya dalam Matius 11, Yesus menunjukkan apa yang dapat dilihat dan didengar sebagai hasil dari karya-Nya. Dengan menggemakan Yesaya 61, Yesus menyatakan bahwa “orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta (lepra) menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik” (Mat. 11:5). Pemulihan jasmani yang nyata dan menyebar ke seluruh dunia melalui Kristus menegaskan identitas keilahian-Nya.

Sementara orang-orang Kristen di dunia Barat sering menghidupi imannya dengan membagi dua antara tubuh dan roh kita, pembedaan ini sama sekali berbeda dari wawasan dunia Ibrani. Kekristenan terlalu sering menjadi mangsa dari kerangka filosofis dualisme Platonis, di mana dua dunia yang terpisah—yang satu bersifat fisik dan sementara, yang satunya tidak terlihat dan kekal—saling bertentangan satu sama lain.

Wawasan dunia ini mengajarkan bahwa tubuh kita berasal dari dunia material, dan dengan demikian terikat dengan proses perubahan fisik, kemunduran, dan pada akhirnya kematian. Akan tetapi, jiwa kita berasal dari dunia roh yang tidak terlihat dan setelah kematian akan kembali ke sana untuk menerima pahala atau hukuman.

Sebaliknya, Yudaisme selalu berpegang pada spiritualitas yang diwujudkan, di mana orang-orang menghidupi imannya melalui tubuh mereka, bukan dengan semacam perang melawan tubuh tersebut. Memang, iman adalah apa yang dilihat dan didengar oleh orang Yahudi (dan juga yang dimakan, dipakai, dilafalkan, dan dinyatakan). Hukum Taurat mengajarkan orang-orang Yahudi bagaimana mengatur hidup mereka, yang berarti apa yang mereka lakukan dengan tubuh mereka.

Seperti yang dijelaskan oleh seorang sejarawan agama, yang juga adalah seorang Yahudi, Daniel Boyarin, kekristenan secara umum memahami manusia sebagai jiwa yang berwujud, sementara Yudaisme melihat manusia sebagai tubuh yang berjiwa. Menurut definisi Yahudi, tubuh bukanlah hal yang kebetulan dari kemanusiaan kita; sebaliknya, tubuh kita pada dasarnya membentuk apa makna dari menjadi manusia.

Dalam hal ini, Yudaisme memiliki banyak hal yang dapat diajarkan kepada kita tentang perwujudan (embodiment) dan bagaimana melibatkan tubuh kita dalam ibadah dan pemuridan. Bahkan, agama ini memiliki banyak hal untuk diajarkan kepada kita tentang cara membaca Perjanjian Baru, seperti Doa Bapa Kami. Bagi sebagian orang, kata-kata dalam Doa Bapa Kami terasa begitu familier sehingga kita dapat dengan mudah melewatkan proses memasuki dan merenungkan maknanya.

Misalnya, “datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga” (Mat. 6:10). Teks tersebut tidak mengatakan, “Angkatlah kami ke surga, agar kami dapat berada di tempat di mana kehendak-Mu terjadi.” Gambarannya adalah gerakan kerajaan Allah yang turun ke bawah, kehadiran dan realitasnya yang menembus masuk dunia ini, bukan tentang kita yang melampaui dunia yang bersifat fisik dan material ini. Dunia ini adalah tempat di mana kerajaan Allah akan datang, dan kita ditugaskan untuk menjadi duta dari kerajaan tersebut—di sini dan sekarang, di dalam tubuh kita ini.

Injil Yesus adalah tentang Kerajaan Allah, dan kuasa serta dan kehadiran-Nya di dalam dan di antara kita. Injil adalah tentang penolakan yang paripurna dan definitif dari Allah terhadap semua kuasa yang bekerja melawan kehidupan dan kesejahteraan manusia. Bagi kita, Injil adalah tentang hidup di kerajaan ini, membentuk kehidupan kita sesuai dengannya, dan mengarahkan orang lain menuju kepadanya. Ini adalah tentang perluasan kekudusan ke luar, yang diwujudkan oleh Yesus.

Visi ini tercermin dalam panggilan Yesus kepada para murid-Nya di Matius 10. Apa sebenarnya yang Yesus perintahkan untuk dilakukan ketika mengutus para pengikut pertama-Nya? “Pergilah dan beritakanlah: Kerajaan Sorga sudah dekat. Sembuhkanlah orang sakit; bangkitkanlah orang mati; tahirkanlah orang kusta (lepra); usirlah setan-setan. Kamu telah memperolehnya dengan cuma-cuma, karena itu berikanlah pula dengan cuma-cuma” (ay.7–8). Dapat dimengerti jika perintah ini membuat banyak dari kita merasa tidak nyaman. Lagi pula, kapan kita membangkitkan seseorang dari kematian?

Bahkan bagi sebagian besar kita yang tidak membangkitkan orang, kita, seperti Yesus, masih dipanggil untuk berperang melawan kuasa-kuasa maut yang nyata dalam budaya kita. Apa sebenarnya kuasa-kuasa ini? Kuasa-kuasa ini adalah segala sesuatu yang menindas umat Allah dan bekerja untuk menghalangi masuknya kerajaan Allah yang mulia ke dalam kehidupan dan komunitas kita.

Menjadi duta kerajaan ini berarti sangat peduli terhadap tubuh dan kuasa maut yang menentangnya. Jika Tuhan secara aktif bekerja untuk menebus dunia ini, maka cara kita memahami misi dan pelayanan kita bagi kerajaan Allah mungkin akan jauh lebih luas dari yang kita bayangkan.

Jennifer M. Rosner adalah asisten profesor afiliasi teologi sistematika di Fuller Theological Seminary dan penulis Finding Messiah: A Journey Into the Jewishness of the Gospel (IVP, 2022).

Diterjemahkan oleh: Ivan K. Santoso

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

10 Istilah Alkitab yang Menarik dalam Bahasa Lain

Bagaimana bahasa orang pribumi di Panama, komunitas di Siberia, dan masyarakat di Papua Nugini membentuk pemahaman mereka tentang Tuhan.

Christianity Today August 29, 2023
Ilustrasi oleh Rick Szuecs / Sumber gambar: Prixel Creative / Lightstock

Anda mungkin pernah membaca artikel tentang kata-kata bahasa asing yang tidak memiliki padanan langsung dalam bahasa Anda. Sebagai orang Jerman, saya langsung memikirkan schadenfreude, istilah yang tampaknya tidak ada padanan katanya. Arti istilah schadenfreude yaitu kegembiraan yang disertai rasa bersalah yang Anda rasakan atas kemalangan orang lain. Pujian bagi Anda semua yang berbudi luhur karena tidak memiliki istilah seperti itu untuk perasaan yang sombong tersebut.

Kata-kata asing lainnya juga terjalin erat dalam kehidupan sehari-hari, seperti ombudsman dalam bahasa Swedia, sauna dalam bahasa Finlandia, atau pizza dalam bahasa Italia. Tentu saja ada banyak bahasa lain, terutama dalam bahasa seperti bahasa Inggris yang memiliki kamus yang luar biasa besarnya dari peti harta karun banyak bahasa.

Lalu ada pula kata-kata yang belum masuk kamus bahasa Inggris, meski sudah terkenal sebagai istilah yang indah namun tidak dapat diterjemahkan. (Sebagai penerjemah, saya menambahkan bahwa “tidak dapat diterjemahkan” tidak sepenuhnya benar. Hanya saja kita tidak memiliki padanan kata per kata.) Ini termasuk istilah seperti hygge dalam bahasa Denmark, yang mengacu pada rasa nyaman saat bersama orang lain, atau sisu dalam bahasa Finlandia, yang merupakan konsep kekuatan batin yang tersembunyi di saat-saat sulit. Kata-kata ini memperkaya cara kita memandang dunia dan menawarkan wawasan tentang budaya asal mereka. (Sekali lagi, saya minta maaf atas schadenfreude!)

Bagaimana jika kita dapat mengupas batasan-batasan linguistik untuk melihat bagaimana bahasa dan budaya lain memandang Tuhan melalui bahasa yang mereka gunakan? Selama hampir lima tahun saya telah mengumpulkan dan menyusun data tentang bagaimana bahasa-bahasa di seluruh dunia menerjemahkan Alkitab dengan cara yang berbeda dan sering kali berwawasan luas. Berikut adalah beberapa contoh kata-kata yang menarik dalam bahasa lain, yang menolong kita memahami dan berkomunikasi dengan Tuhan lebih mendalam:

1. Mär: pilih satu hal dan satu hal saja (Teribe)

Bahasa Inggris memiliki kosa kata yang lebih kaya dibandingkan bahasa-bahasa lain dalam menerjemahkan kata Yunani pistis sebagai “iman” dan “kepercayaan.” Namun kekuatan kata-kata ini sebagai kesaksian iman dilemahkan oleh penggunaannya yang non-Kristen dalam bahasa Inggris (“Saya percaya besok akan hujan” atau “Saya beriman kepadamu, anak muda!”). Saya berharap kami dapat memperkenalkan istilah yang kuat untuk iman seperti “mär,” yang digunakan dalam bahasa Teribe, bahasa asli yang digunakan di Panama. Artinya “pilih satu hal dan satu hal saja.” Itulah iman Kristen yang radikal.

2. Dao/道: nalar; jalan menuju kehidupan yang benar; perkataan (Tiongkok)

Dalam Injilnya, ketika Yohanes menyebut Yesus sebagai Firman, hal ini merupakan gema yang kuat dari karya penciptaan di kitab Kejadian di mana Allah berfirman untuk menciptakan alam semesta. Yohanes mungkin bermaksud agar kita membuat korelasi ini, tetapi ini hanyalah salah satu dari sekian banyak korelasi. Faktanya, istilah aslinya dalam bahasa Yunani, Logos, adalah konsep sentral filsafat Yunani, yang mencakup spektrum makna yang luas yang selama berabad-abad telah mencakup penalaran, prinsip yang menembus semua realitas, dan perantara antara Tuhan dan kosmos.

Sangat mudah untuk melihat betapa kuatnya istilah ini mengungkapkan kebenaran tentang Yesus Kristus, membangun jembatan yang bermakna menuju budaya yang lebih luas yang dikomunikasikan-Nya. Mungkin saja tidak ada bahasa yang pernah menemukan terjemahan yang sempurna untuk Logos, namun para pembaca Alkitab berbahasa Mandarin menemukan terjemahan yang mungkin sama kuatnya. Kebanyakan Alkitab berbahasa Mandarin menerjemahkan Logos sebagai Dao, istilah sentral dalam setiap tradisi keagamaan dan filosofi Tiongkok untuk menggambarkan nalar dan jalan menuju kehidupan yang benar. Yang cukup mengherankan, kata ini juga berarti “perkataan.” Dalam perpaduan yang luar biasa antara dua budaya yang berbeda namun sangat kaya dan kuno, Dao membuka jalan bagi kita untuk memahami pesan asli dari Yohanes secara lebih mendalam.

3. Yumi: kami dan kamu (Tok Pisin)

Beberapa bahasa memiliki keunggulan tersendiri dibandingkan bahasa Inggris (dan Yunani, Ibrani, serta Aram) dalam kata ganti mereka. Penutur bahasa Inggris menggunakan kata ganti we (kita/kami) yang ambigu, namun banyak bahasa membedakan antara kita yang inklusif (“Anda dan saya dan mungkin orang lain”) dan kami yang eksklusif (“dia/mereka dan saya, tetapi bukan Anda”).

Sebagai contoh, para murid bertanya kepada Yesus di perahu saat terjadi badai, “Guru, Engkau tidak peduli kalau kita binasa?” (Mrk. 4:38). Namun siapakah yang termasuk dalam “kita” yang binasa itu? Penutur bahasa Fiji, Tok Pisin, dan ratusan bahasa lainnya diharuskan untuk membuat kesimpulan dalam kasus ini (dan dalam 2.352 kasus lain dalam Alkitab), yang mempunyai implikasi teologis yang mendalam.

Apakah para murid percaya bahwa Yesus juga bisa mati? Apakah teguran tajam yang Ia ucapkan setelah itu didasarkan pada keyakinan mereka bahwa Ia benar-benar bisa mati? Tim penerjemah berbeda pendapat dalam penafsirannya, tetapi para penerjemah Tok Pisin memilih kata yumi yang inklusif untuk memasukkan Yesus ke dalam kelompok orang yang dapat binasa. Mereka mencatat bahwa para murid telah menunggu sekian lama, melawan penilaian mereka terhadap badai itu (karena mereka adalah nelayan yang berpengalaman) dan ketakutan eksistensial mereka, sampai akhirnya mereka merasakan bahaya yang menimpa Yesus (dan diri mereka sendiri) terlalu besar untuk tidak membangunkan Dia.

4. Dios y’ayucnajtzcapxɨɨybɨ: Pelontar firman Tuhan (Coatlán Mixe)

Dalam penggunaan secara sekuler, nabi adalah seseorang yang meramalkan masa depan. Namun, dalam Alkitab, para nabi tidak hanya meramalkan masa depan, melainkan juga mewartakan firman Tuhan pada masa kini. Para pembaca Alkitab dalam bahasa Kuna, sebuah bahasa di Panama dan Kolombia, memahami makna yang lebih luas ini ketika mereka membaca tentang seorang nabi sebagai “orang yang menyampaikan suara Allah.” Umat Kristen Ekari di Papua Nugini menyebut seorang nabi sebagai “orang yang berbicara berdasarkan dorongan ilahi” (gokobaki tijawiidaiga wega-tai). Dan para pembaca Alkitab Coatlán Mixe di Meksiko mendapat kehormatan untuk menemukan istilah yang sangat jelas yaitu “Pelontar firman Tuhan.”

5. Ña̱ kúꞌu̱ ini yo̱ sa̱ꞌá ña̱yuu xi̱ꞌín yó: kita mengasihi orang-orang lain (Tezoatlán Mixtec)

Kasih adalah kata benda abstrak; kata ini tidak menunjuk pada suatu objek (seperti meja atau pohon) melainkan mengacu pada kualitas atau ide. Bahasa Yunani dan Inggris penuh dengan konsep abstrak seperti kasih, tetapi banyak bahasa lain yang tidak dapat menjelaskan kata benda abstrak tanpa orang atau benda yang melekat pada kata tersebut. Lalu apa yang Anda lakukan dengan teks penting seperti “Kasih itu sabar; kasih itu murah hati. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong” (1Kor. 13:4)?

Ketika para penerjemah Alkitab Tezoatlán Mixtec di Meksiko bagian selatan diharuskan untuk memahami konteks perikop ini, mereka menyadari bahwa ayat ini tidak berbicara tentang suatu kualitas yang tak berwujud dan tidak menuntut, melainkan tentang kasih yang nyata dari orang-orang yang mengasihi orang-orang lain. Konsultan penerjemahan John Williams mengatakan bahwa konteksnya “menyebabkan [mereka] menyimpulkan bahwa 1 Korintus 13 bukanlah sebuah puisi cinta, melainkan lebih merupakan teguran kepada jemaat Korintus, yang menunjukkan bagaimana mereka tidak saling mengasihi.” Hasilnya, terjemahan bahasa Inggris yang familier untuk “Kasih itu sabar” terdengar sangat berbeda ketika diterjemahkan kembali dari bahasa Tezoatlán Mixtec: “Kita mengasihi orang-orang lain berarti kita memberikan kekuatan di dalam diri kita untuk mereka.” Saya penasaran apakah para pendeta Tezoatlán Mixtec cenderung lebih jarang menggunakan perikop yang berani ini dalam upacara pernikahan dibandingkan para pejabat pernikahan yang membacakan versi bahasa Inggris yang lebih abstrak dan penuh romantisme?

6. Sen: bentuk akrab dari “Anda” (Tuvan)

Anda mungkin masih ingat pelajaran kelas bahasa Prancis, Spanyol, atau Jerman di sekolah menengah atas tentang dua cara berbeda untuk menyapa orang—dengan bentuk formal atau informal dari Anda (tu versus vous, versus usted, du versus Sie). Bahasa Inggris juga pernah memiliki hal ini ( you versus thou), tetapi beberapa waktu lalu kata ini telah disingkirkan dari kosakata aktif. Terjemahan Alkitab dalam bahasa Prancis, Spanyol, dan Jerman semuanya menggunakan kata informal Anda di seluruh bagiannya. Namun para penerjemah bahasa lain merasa tidak wajar dan membingungkan jika menghilangkan perbedaan yang digunakan dalam percakapan sehari-hari mereka.

Oleh karena teks Yunaninya sendiri tidak memberikan petunjuk langsung apa pun mengenai bentuk sapaan mana yang harus digunakan, maka para penerjemah harus menganalisis kedudukan sosial para tokoh utama dalam setiap situasi, terutama dalam Injil dan Kisah Para Rasul, untuk mengambil keputusan tentang bagaimana menerjemahkannya.

Dalam bahasa Tuvan, sebuah bahasa di Siberia tengah-selatan, murid-murid Yesus berbicara kepada-Nya selama pelayanan-Nya dengan sapaan formal. Hal ini dapat dimengerti karena Yesus adalah guru mereka, dan kita berharap para murid menyapa guru mereka dengan hormat. Namun hal ini mungkin mengejutkan: Setelah kebangkitan, para pengikut-Nya berbicara kepada Yesus dengan kata informal Engkau, yang menunjukkan keintiman baru dengan Tuhan dan Juruselamat mereka yang telah bangkit: “Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau” (Yoh. 21:16).

7. Bideezhí: adik perempuannya (Navajo)

Teman Yesus, Marta dan Maria, adalah saudara kandung. Itulah yang dikatakan teks Yunani kepada kita. Yang tidak diketahui oleh penutur Yunani maupun Inggris adalah siapa yang lebih tua dan siapa yang lebih muda. Bagi ratusan bahasa, hal ini adalah detail yang sangat penting karena mereka tidak memiliki kata-kata yang dapat digunakan untuk kata “hanya” saudara laki-laki dan perempuan; kata-kata mereka perlu menunjukkan urutan kelahiran.

Sebagian besar para penerjemah bahasa-bahasa ini menunjuk Maria sebagai adik perempuan Marta. Mengapa? Karena Martha biasanya disebut lebih dulu, dan dialah yang mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Apakah ini fakta-fakta yang tak terbantahkan? Belum tentu demikian, namun hal-hal tersebut merupakan hasil analisis teks yang cermat dan mendetail yang memperdalam pemahaman kita tentang Yesus dan pelayanan-Nya.

8. Ambum: kura-kura (Aekyom)

Ingat cerita dalam Injil Lukas di mana Yesus mempunyai 12 ekor kura-kura? Sepertinya hal ini tidak mungkin ada, kecuali jika Anda pernah membaca Alkitab dalam bahasa Aekyom, sebuah bahasa di Papua Nugini. Orang-orang yang berbicara bahasa ini menghitung umur mereka berdasarkan berapa kali kura-kura sungai muncul di tepian sungai untuk bertelur. Jadi ketika Yesus pergi ke Yerusalem bersama orang tuanya, dia disebut mempunyai 12 ekor kura-kura. Bayangkan kekayaan kura-kura yang dimiliki oleh Metusalah!

9. P’ijil-o’tanil: hikmat hati; p’ijil c’op: hikmat kata; p’ijil jol: hikmat kepala (Dataran Tinggi Tzeltal)

Kata Ibrani chakam yang diterjemahkan sebagai hikmat adalah inti dari kitab Amsal. Namun hikmat dari kitab tersebut tidak hanya bersifat intelektual dan filosofis; terkadang, itu juga bersifat praktis, etis, atau religius. Kebanyakan orang tidak dapat mengungkapkan secara memadai beragam makna yang tercakup dalam satu istilah hikmat tersebut, namun sekitar 40.000 penutur bahasa Dataran Tinggi Tzeltal di Meksiko Selatan dapat melakukannya. Mereka menggunakan tiga istilah berbeda untuk merujuk pada berbagai jenis hikmat dalam kitab Amsal: P’ijil-o’tanil adalah “hikmat hati,” p’ijil c’op berarti “hikmat kata” (juga digunakan untuk pengetahuan), dan p’ijil jol adalah “hikmat kepala” (juga digunakan untuk wawasan atau pemahaman).

10. Diri: mengukir pikiran Anda (Ngäbere)

Bahasa manusia adalah suatu keajaiban, yang membuka jalan menuju wawasan spiritual yang luar biasa. Setiap wawasan yang muncul dalam percakapan global di antara para penutur ribuan bahasa serta Tuhan dapat memperkaya pemahaman kita tentang siapa Tuhan dan bagaimana Ia bekerja dalam kehidupan kita saat ini. Seperti yang dikatakan oleh para pembicara Ngäbere di Panama dan Kosta Rika, kiranya Roh Kudus memakai ajaran-ajaran baru ini untuk “mengukir pikiran Anda” dengan hikmat hati, hikmat perkataan, dan hikmat kepala dari Tuhan saat Anda bekerja keras dalam mengasihi orang-orang lain.

Anda dapat menemukan semua ini dan ribuan contoh lainnya di United Bible Societies (UBS) Translation Insights & Perspectives di tips.translation.bible.

Jost Zetzsche adalah penerjemah profesional yang tinggal di pantai Oregon. Sejak tahun 2016 ia telah menjadi kurator United Bible Societies (UBS) Translation Insights & Perspectives. Buku terbarunya adalah Encountering Bare-Bones Christianity.

Diterjemahkan oleh Maria Fennita S.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Books

Setelah 26 Gereja Dibakar, Umat Kristen Pakistan Bersiap untuk Lebih Banyak Tuduhan Penistaan Agama

Penodaan Al-Qur’an di Swedia dan partai politik TLP disalahkan atas kekerasan massal yang membuat puluhan keluarga Kristen di Jaranwala mengungsi.

Para pria berdiri di tengah puing-puing di luar Gereja Saint John yang dibakar di Jaranwala di pinggiran Faisalabad pada 17 Agustus 2023, sehari setelah serangan oleh serombongan pria Muslim menyusul tersebarnya tuduhan bahwa umat Kristen telah menodai Al-Qur'an.

Para pria berdiri di tengah puing-puing di luar Gereja Saint John yang dibakar di Jaranwala di pinggiran Faisalabad pada 17 Agustus 2023, sehari setelah serangan oleh serombongan pria Muslim menyusul tersebarnya tuduhan bahwa umat Kristen telah menodai Al-Qur'an.

Christianity Today August 28, 2023
Aamir Qureshi / AFP / Getty Images

Gereja Suster Mumtaz penuh pada hari Senin itu.

Jemaatnya berkumpul pada tanggal 14 Agustus untuk merayakan hari kemerdekaan Pakistan ke-76 dengan menyanyikan lagu-lagu nasional dan berdoa untuk kemakmuran negara yang mayoritas penduduknya Muslim tersebut. Musim panas ini merupakan musim panas yang penuh cobaan, gerejanya dan gereja-gereja lain di Pakistan mengutuk pembakaran Al-Qur'an yang baru-baru ini terjadi di Swedia, dan berharap dapat mengamankan keselamatan mereka dengan menjaga perdamaian komunal.

Namun dua hari kemudian, dia terkejut melihat massa yang marah maju ke arah gerejanya sambil membawa tongkat, palu, dan batang besi.

Suara raungan yang membuat bulu kuduk berdiri bergema di jalanan desa Chak 120 di Jaranwala, sebuah kota terpencil di Faisalabad, kota terbesar ketiga di negara Asia Selatan, pada tanggal 16 Agustus. Sementara sebagian besar laki-laki sudah berangkat kerja pada Rabu pagi yang panas dan lembab itu, Mumtaz bersama perempuan dan anak-anak Kristen lainnya melarikan diri ke ladang tebu terdekat.

“Dengan terengah-engah, kami berlari sekitar satu mil ke ladang dan tinggal di sana sampai jam dua pagi tanpa makanan, tempat berlindung, atau air,” katanya. “Setiap kali suara massa semakin dekat, para ibu memasukkan kain ke dalam mulut bayi mereka untuk meredam tangisannya, karena takut para penyerang akan mengetahui dan mencelakakan kami.”

Umat Kristen di Pakistan, yang jumlahnya kurang dari 2 persen populasi atau sekitar 3 juta orang, telah lama hidup di bawah bayang-bayang ketakutan. Di seluruh negeri, sebagian besar dari mereka hidup dalam kemiskinan, hanya melakukan pekerjaan rendahan seperti menjadi petugas kebersihan, buruh tani, dan pekerjaan berupah rendah lainnya.

Orang Kristen di Pakistan sering dihadapkan tuduhan-tuduhan yang merendahkan: tuduhan bahwa iman mereka sesat, Alkitab mereka tercemar dan usang, dan Yesus hanyalah seorang nabi yang tidak mati di kayu salib. Oleh karena itu, penggunaan salib sebagai simbol Kristen dipandang sebagai gambaran yang keliru. Selain itu, musik gereja, yang dianggap haram atau terlarang bagi sebagian besar warga Pakistan, sering kali disamakan dengan menari di pub.

Meskipun prasangka-prasangka seperti itu terus terjadi dalam hidupnya, Mumtaz sangat prihatin jika serangan tersebut merupakan pembalasan setelah pembakaran Al-Qur'an di Swedia. Sejak kejadian pada bulan Juni ini, beberapa ketegangan komunal telah terjadi—khususnya di Sargodha, sebuah distrik sekitar 200 kilometer dari Lahore—dan setiap kali terjadi kasus-kasus yang disangkakan terhadap umat Kristen diajukan berdasarkan undang-undang penistaan agama di Pakistan.

Orang Kristen sebagian besar tinggal di provinsi Punjab, dan dalam beberapa tahun terakhir, partai garis keras Tehreek-e-Labaik Pakistan (TLP) telah muncul sebagai salah satu partai politik utama, setelah pembebasan Asia Bibi dari tuduhan penistaan agama dan eksekusi polisi Mumtaz Qadri, yang membunuh Salman Taseer, gubernur Punjab saat itu, yang mendukung pembebasannya pada tahun 2010.

Dengan pemilu yang akan segera dilaksanakan dalam waktu tiga bulan, TLP, yang dikenal karena aktivisme agresifnya dan menimbulkan ketakutan pada banyak komunitas Muslim, telah meningkatkan aktivitasnya. Kampanye politik dan akar rumput mereka yang penuh semangat, khususnya dalam menanggapi insiden pembakaran Al-Qur'an baru-baru ini di Swedia, memperkuat rasa urgensi dan ketegangan di wilayah tersebut.

Selalu terlihat mengenakan pakaian lokal berwarna putih dengan dopatta di kepala mereka, Mumtaz dan asistennya, Saika, menyebut diri mereka sebagai “suster” meskipun mereka tidak memiliki ikatan dengan agama Katolik. Gereja Injili non-denominasi mereka, Gereja Sat Sangat Duwaiya (True Fellowship Prayer Church), menjadi mercusuar harapan bagi 55 keluarga yang mencari nafkah sederhana.

Kedua orang beriman itu, melalui tekad mereka, telah memperoleh sebidang tanah di desa terpencil di timur laut Pakistan. Mereka telah membangun tembok dan separuh gereja itu beratap, meski belum ada pengerjaan plesteran atau pengecatan.

“Dari bekerja keras di ladang hingga menyapu jalan dan membersihkan toilet umum, kami melakukan segala macam pekerjaan kasar sambil bersatu dalam iman kristiani kami,” kata Mumtaz. Gerejanya dilengkapi dengan alat musik, dan bahkan sound system. “Meskipun miskin, setiap barang didanai sen demi sen oleh komunitas yang erat ini. Hanya dalam tiga hari, kami akan menyelesaikan atapnya.”

Orang Kristen di Pakistan sering dihadapkan tuduhan-tuduhan yang merendahkan: tuduhan bahwa iman mereka sesat, Alkitab mereka tercemar dan usang, dan Yesus hanyalah seorang nabi yang tidak mati di kayu salib.

Namun, mereka malah mendapati gereja mereka dibakar dan temboknya dirobohkan setelah ketegangan meningkat di Jaranwala setelah halaman-halaman Al-Qur'an yang sobek muncul di pusat kota. Pengeras suara masjid menyiarkan pengumuman penting, mengarahkan kelompok-kelompok dari desa-desa terdekat dalam radius 50 kilometer untuk segera berkumpul. Orang Kristen dari desa-desa ini, yang memberi kesaksian kepada CT tanpa menyebut nama, mengidentifikasi TLP sebagai kekuatan utama di balik mobilisasi massa, yang menyebabkan ratusan, bahkan ribuan orang, bergerak menuju pusat kerusuhan. Mulai dari sepeda motor hingga bus, truk, dan truk, beragam sarana transportasi pun digunakan karena mereka semua berkumpul di kota dengan tujuan yang sama.

Massa mengamuk di berbagai desa, termasuk di Chak 61, Chak 126, Chak 238, Chak 20, Chak 120, Chak 22, dan Chak 19. Sasaran utama mereka adalah gereja, meskipun dalam beberapa kasus, mereka juga menyerang rumah-rumah orang Kristen. Di Chak 238, massa pertama-tama menggeledah sebuah gereja Presbiterian dan kemudian SMA Alice yang berjarak sekitar 100 meter. Sebelum membakar perabotan apa pun di sekolah, massa terlebih dahulu menjarah semua barang berharga. Sekolah yang dioperasikan oleh umat Kristen ini menyediakan fasilitas pendidikan kepada 200 siswa dari komunitas Kristen dan Islam.

Hebatnya, kelompok-kelompok ini, meski berasal dari berbagai lokasi, menunjukkan kebulatan suara yang mencolok dalam tindakan mereka. Ketika mereka maju menuju kota, mereka secara teratur mencari dan menargetkan gereja-gereja di setiap desa yang mereka lewati, tidak peduli seberapa kecil atau padatnya lokasinya. Rumah-rumah ibadat ini pertama-tama digerebek untuk mendapatkan barang-barang berharga. Setelah penjarahan, mereka menodai salib, membakar Alkitab, menghancurkan alat musik, dan merusak perabotan. Atap dan dinding gereja menjadi korban kemarahan mereka. Dalam beberapa kasus, mereka menggunakan derek untuk merobohkan penghalang gereja.

Rakhal Bibi, istri pendeta Ashraf Masih, pemimpin Gereja Khushkhabri (Kabar Baik) yang berafiliasi dengan denominasi Pentakosta di Chak 61, sedang berada di rumah ketika para penyerang mendatangi kediamannya. Dengan keberanian yang luar biasa, dia mencegah mereka masuk melalui gerbang. Massa yang tidak terpengaruh, mencari akses melalui jendela dan berusaha menyalakan api.

Dengan berani, dia mengancam akan membakar diri di samping Alkitab jika mereka melanjutkan niat merusaknya.

“Saya juga memperingatkan mereka bahwa, jika mereka terus melakukan pembakaran, saya akan memastikan salah satu dari mereka akan terjebak bersama saya,” katanya kepada CT. Pernyataan yang menakutkan ini membuat para penyerang jera dan menyelamatkan gereja dari kobaran api.

Di Gereja Yahawa Yari (Jehovah Jireh) yang berlokasi di Chak 61, seorang pemuda bernama Shaan Masih, yang baru berusia 21 tahun, menunjukkan keberanian yang luar biasa. Saat api melahap gereja, dia segera menyiram seprai dengan air, membungkus dirinya dengan seprai itu, dan berlari ke dalam api. Dengan aksi beraninya, ia berhasil menyelamatkan sedikitnya 20 Alkitab yang belum habis dilalap api.

Gereja Amazing Grace, yang terletak di Chak 126, adalah gereja sederhana, hanya memiliki dinding sederhana dan beratap tenda. Sebuah salib belum didirikan. Namun hal ini tidak menyurutkan semangat para penyerang. Mereka merobohkan tembok pembatas gereja, merampas gerbang besi, dan tendanya. “Kami memiliki rencana untuk membangun sekolah dan bangunan gereja yang lebih permanen,” pendeta Ashraf Masih memberi tahu CT. “Akan tetapi warga sekitar sepertinya tidak nyaman dengan ibadah kami. Meskipun mereka tidak pernah secara terbuka menyuarakan keberatan mereka, kejadian ini mengungkapkan sentimen mendasar mereka.”

Rahat Abbas, seorang anggota Gereja Presbiterian di Chak 61, menceritakan di hari yang menentukan itu hanya ada para perempuan ketika massa yang bermusuhan mendatangi mereka. “Mereka secara paksa melepaskan salib, mengikatnya ke sepeda motor, dan menyeretnya tanpa ampun di jalanan sebelum membuangnya ke selokan terbuka,” katanya kepada CT, suaranya kental dengan emosi. “Pemandangan itu begitu brutal dan kacau sehingga gadis-gadis muda Kristen, yang ketakutan, lari dari rumah mereka untuk menyelamatkan diri. Saat mereka melarikan diri, beberapa pria yang mengendarai sepeda motor mengikuti, dan melakukan tindakan tidak senonoh, yang semakin menambah ketakutan dan trauma mereka.”

Dalam insiden serupa yang menyedihkan di Gereja Bala Keselamatan di Chak 61, massa tidak hanya menggunakan kekerasan; mereka datang dengan membawa derek. Mereka menggunakannya untuk merobohkan tembok gereja, lalu membakar tempat ibadat tersebut. Asghar Masih, pria berusia 61 tahun yang rumahnya berdekatan dengan gereja, berusaha turun tangan dan menghentikan aksi mereka. Namun, usahanya dilawan dengan kekerasan, para mafia menyerang dan memukulinya. “Yang lebih parah lagi, setelah mematahkan salib, mereka menyeretnya melalui saluran air terbuka, memastikan salib itu ternoda oleh lumpur tinja,” katanya kepada CT.

“Setelah serangan gencar terhadap gereja, mereka mengalihkan kemarahan mereka ke rumah kami,” kenang warga yang masih berduka itu. “Saat mereka maju, pria, wanita, dan anak-anak kami melarikan diri dengan putus asa ke ladang terdekat. Seruan ancaman mereka bergema di belakang kami: ‘Chuhras (istilah yang menghina umat Kristen), kami tidak akan mengampuni satu pun dari kalian.'”

“Para perempuan, sambil menggendong bayi-bayi mereka, bahkan ada bayi yang baru berusia dua hari, mencari perlindungan di ladang tebu, dan menghabiskan malam yang menyiksa di sana.”

Masih pun terdiam, merenungkan ironi pahit dari situasi mereka. “Sungguh menyedihkan memikirkan bahwa kami, yang membersihkan kotoran mereka sebagai pekerja kebersihan, menjadi sasaran kekejaman dan penghinaan di tangan mereka.”

Menurut seorang jurnalis TV, Iqrar-ul-Hassan, sekitar pukul 5 pagi ditemukan halaman-halaman Al-Qur'an dengan pesan tulisan tangan yang menghina Islam, nabinya, dan pengikutnya. Catatan tersebut konon berasal dari Raja Amir, seorang pekerja kebersihan berusia 23 tahun, kemungkinan besar buta huruf, dan saudaranya, Rocky Masih.

Penulis menegaskan keberaniannya, dengan memberikan nomor telepon Raja, nomor KTP, serta nama ayah dan kakeknya. Informasi tersebut termasuk fotonya dan ayahnya. Hassan melaporkan ketika Raja mengetahui hal ini, dia terlihat tiba di tempat kejadian dan mencoba mengambil kertas-kertas tersebut. Laporan selanjutnya menyebutkan, dia bersama anggota keluarganya melarikan diri dari lokasi kejadian.

Pada jam 9 pagi, mayoritas umat Kristen dari Koloni Kristen dan Isanagri (Jesus Neighborhood) yang berdekatan telah meninggalkan rumah mereka karena ketakutan. Dari Masjid Jamia Mehtab, sebuah masjid penting yang terletak di dekat Koloni Kristen, sebuah pengumuman dibuat. Menurut Laporan Informasi Pertama (FIR) yang diajukan ke Kantor Polisi Kota Jaranwala, seruan untuk bertindak menyatakan:

“Seorang Kristen dari Kota Kristen telah menajiskan Al-Qur'an. Semua ulama dan umat Islam harus berkumpul di depan Masjid Jamia Mehtab. Kalian yang sibuk dengan sarapan, malulah dengan komitmen kalian terhadap Islam. Kalian harusnya mati (karena kelalaian seperti itu). Jalan seharusnya sudah diblokir. Jika penegak hukum tidak mengambil tindakan, kita harus protes.”

Menurut FIR, gerombolan itu terdiri dari 500 hingga 600 orang, bersenjatakan botol bensin, tongkat, dipimpin oleh Asif Ullah Shah Bukhari, pemimpin TLP. Massa ini berkumpul di depan masjid sebelum melancarkan serangan terhadap koloni terdekat dan gereja Katolik yang terletak di dalamnya.

Seorang pendeta Katolik, Khalid Mukhtar, mengatakan kepada CT bahwa begitu mengetahui kejadian tersebut, dia tiba di Koloni Kristen dan bernegosiasi dengan para pemimpin agama dari berbagai sekte Muslim. Namun semua diskusi gagal.

“Saya berada di Koloni Kristen ketika saya mendapat kabar tentang massa yang menyerang rumah paroki di Nasrat Colony, yang hanya berjarak lima kilometer.” Tekanan dan kecemasan terhadap situasi tersebut menyebabkan tekanan darahnya melonjak drastis, membuat darah menggenang di matanya. Meskipun dia masih dalam masa pemulihan, dia bergegas ke gereja, walaupun gereja sedang terbakar.

Kemarahan massa terhadap simbol-simbol Kristen terlihat jelas. Setelah menjarah, merusak, dan membakar Gereja Presbiterian, Gereja Sidang Injil Sepenuh, Alkitab, dan rumah-rumah di Isanagri, amukan mereka tidak berhenti. Mereka menyeberang ke seberang jalan utama, mengincar kuburan umat Kristen. Di sana, mereka menghancurkan salib yang menandai pintu masuk dan bahkan menodai salib di atas kuburan.

Selama gejolak tersebut, kehadiran polisi sangat minim, khususnya di desa-desa. Di beberapa area di mana polisi berada di lokasi, mereka sering kali hanya berdiam diri secara pasif. Beberapa petugas bahkan memohon kepada para penyerang, mendesak mereka untuk tidak melanggar hukum dan ketertiban, sekaligus meyakinkan massa bahwa mereka sama-sama marah dan akan memastikan pelakunya diadili. Karena ketidakmampuan polisi menahan para pengunjuk rasa, situasi meningkat hingga Rangers, sebuah pasukan paramiliter, harus dipanggil. Mereka tiba larut malam. Saat itu, pihak kepolisian sudah berhasil menangkap para tersangka. Setelah situasi akhirnya terkendali, massa pun mulai membubarkan diri.

Dalam reaksi yang penuh kemarahan ini, penjarahan terlihat jelas. Di Koloni Kristen dan Isanagri, lemari-lemari dirusak dan perhiasan dijarah.

Di seluruh Pakistan, banyak yang mengajukan pertanyaan mengenai kelalaian polisi selama serangan tersebut. Namun, Usman Anwar, Irjen Polisi Punjab, berpendapat berbeda. Dia sangat yakin polisi telah menjalankan tugasnya dengan efektif. Dia menekankan bahwa menggunakan tembakan bukanlah pilihan, karena hal itu berpotensi meningkatkan ketegangan dan kekerasan di seluruh Punjab.

Ketua Mahkamah Agung Qazi Faiz Isa mengunjungi Koloni Kristen dan rumah-rumah yang dibakar di mana dia diberitahu bahwa meskipun terjadi bencana besar, hanya satu petugas polisi senior yang dikerahkan. Dia memerintahkan untuk mengerahkan petugas polisi lainnya untuk melakukan penyelidikan.

Saat ini, Pakistan beroperasi di bawah sistem sementara yang memiliki kekuasaan terbatas. Pelaksana tugas perdana Menteri, Anwaar ul Haq Kakar, mengungkapkan kesedihan mendalamnya di Twitter atas gambar-gambar serangan itu, dan bersumpah akan mengambil tindakan tegas. Pada saat yang sama, pelaksana tugas kepala menteri, Mohsin Naqvi, menjanjikan pemulihan gereja dan kompensasi dalam waktu singkat “tiga sampai empat hari” dan 2 juta rupee atau $6.700 untuk setiap keluarga. (Kompensasi ini terpisah dari kompensasi gereja.)

Namun janji-janji ini nampaknya tidak terpenuhi di tingkat administratif daerah. Arti “restorasi” versi mereka tampaknya hanyalah upaya kosmetik untuk menghapus bukti kekerasan, karena mereka mengirimkan pekerja ke seluruh Jaranwala untuk menutupi dan mengecat bekas-bekas serangan tersebut. Namun upaya yang minim ini hanya berfokus pada gereja-gereja utama di kota tersebut, dan mengabaikan banyak gereja lain yang mengalami kerusakan parah.

“Para pekerja renovasi ini dilengkapi dengan kapur senilai beberapa ratus rupee. Di mana pun mereka melihat bekas kebakaran, mereka hanya mengecatnya, menghapus buktinya,” kata Shaan Masih dari Chak 61. “Orang-orang di lingkungan kami—mereka yang terlibat dalam serangan—berjalan dengan bebas. Mereka mengejek kami sambil lewat, mengisyaratkan bahwa keadaan tidak akan tetap damai dan bahwa mereka akan ‘memberi kami pelajaran’ pada saatnya nanti.”

Meskipun ratusan warga muslim ikut serta dalam penyerangan dan pembakaran terhadap properti milik umat kristiani, terdapat pula kantong-kantong perlawanan di mana warga muslim yang berada di dekatnya bangkit untuk membela rekan-rekan mereka yang beragama Kristen. Di Chak Pathan, misalnya, seluruh penduduk muslim di desa tersebut bersatu untuk mengusir massa yang menyerang, yang pada akhirnya memaksa mereka mundur. Hal serupa terjadi di koloni Kristen, rumah-rumah di satu jalan terhindar dari aniaya berkat intervensi dari muslim Syiah. Naseer Ahmad mengatakan kepada CT bahwa mereka memblokir pintu masuk jalan. “Dalam perjuangan ini, banyak dari kami yang dipukuli oleh massa namun kami tidak membiarkan mereka masuk.”

Mereka menyesatkan para penyerang dengan mengklaim rumah-rumah tersebut adalah milik umat Islam, bahkan menempatkan ayat-ayat yang menunjukkan pemiliknya orang Islam untuk lebih meyakinkan para penyerang. Tindakan solidaritas ini menunjukkan bahwa di tengah kekacauan dan permusuhan, masih ada persatuan dan rasa kemanusiaan yang sama.

Lebih dari 100 tersangka telah ditahan sehubungan dengan serangan baru-baru ini, namun secara historis, pelaku dalam kasus tersebut sering kali terhindar dari hukuman. Ada pola impunitas yang meresahkan atas tindakan keji tersebut.

Misalnya, dalam insiden Gojra tahun 2009, lebih dari 100 rumah dan tujuh gereja dibakar, yang mengakibatkan kematian enam orang Kristen yang terjebak dalam api. Namun, terlepas dari parahnya insiden tersebut, tidak ada seorang pun yang dimintai pertanggungjawaban.

Dalam insiden lain pada tahun 2013, polisi mengambil peran sebagai pelapor setelah 112 rumah dibakar di Joseph Colony, Lahore. Namun, semua terdakwa akhirnya dibebaskan karena kurangnya bukti.

Kini, dengan kembalinya polisi sebagai pihak yang mengajukan pengaduan dalam kasus FIR saat ini, terdapat skeptisisme yang luas mengenai apakah keadilan akan ditegakkan, terutama mengingat semakin populernya TLP setelah pembunuhan Gubernur Taseer dan pengabaian terhadap pembunuhnya, Qadri.

Tindakan solidaritas ini menunjukkan bahwa di tengah kekacauan dan permusuhan, masih ada persatuan dan rasa kemanusiaan yang sama.

Shoaib Suddle, mantan inspektur jenderal yang ditunjuk oleh Mahkamah Agung Pakistan sebagai komisaris untuk mengawasi pelaksanaan keputusan Mahkamah Agung pada bulan Juni 2014 mengenai hak-hak agama minoritas, mengungkapkan keprihatinannya dalam sebuah wawancara dengan CT. Ia mengungkapkan, hanya dua minggu sebelum peristiwa tragis tersebut, ia telah memperingatkan seluruh Irjen Polisi tentang meningkatnya ketegangan antara umat Islam di India dan Pakistan. Selain itu, ia menyebut insiden pembakaran Al-Qur'an baru-baru ini di Swedia sebagai indikasi adanya sentimen yang meradang.

“Sedihnya, sepertinya peringatan saya tidak diperhatikan,” kata Suddle.

Ia lebih lanjut berspekulasi mengenai akar permasalahannya, dan menyatakan bahwa hal ini mungkin disebabkan oleh kelalaian intelijen, atau situasi meningkat terlalu cepat sehingga badan intelijen tidak dapat bereaksi dengan cepat. Suddle sangat yakin bahwa penyelidikan yang tidak memihak dan menyeluruh sangat penting untuk mencegah musibah serupa di masa depan. Selain itu, ia menekankan pentingnya mendorong keharmonisan antar agama, membangun rasa saling menghormati dan memahami berbagai keyakinan agama, serta memastikan bahwa hak-hak azasi yang digariskan dalam Konstitusi benar-benar dijunjung tinggi dan dihormati.

Di bawah tekanan yang meningkat dari TLP, pemerintah Pakistan pada bulan Juni terpaksa menyetujui 17 poin agenda, yang terutama mencakup penuntutan tersangka penodaan agama dengan tuduhan anti-terorisme. Dampak dari kapitulasi ini segera terlihat, dengan adanya peningkatan tajam dalam kasus-kasus yang terjadi setelah pembakaran Al-Quran di Swedia.

Setelah kejadian menyedihkan di Jaranwala, kecemasan semakin meningkat seiring dengan memburuknya kondisi. Dalam satu bulan, di distrik Sargodha saja tercatat terjadi tiga kasus serupa, dan pasukan polisi berusaha mencegah umat Islam menghasut kekerasan komunal. Segera setelah Jaranwala, kasus lain muncul di Sargodha, diikuti oleh satu kasus di Sahiwal, terletak sekitar 155 kilometer dari Lahore dan sekitar 120 kilometer dari Jaranwala.

Sebuah insiden baru-baru ini di kota Faisalabad melibatkan seorang warga muslim yang menaruh sebuah Al-Qur'an yang basah kuyup di dinding pemisah antara rumahnya dan rumah sebuah keluarga Kristen. Keluarga yang beragama Kristen itu pun segera melapor ke polisi, yang kemudian mengamankan Al-Qur'an tersebut, namun keluarga Muslim itu mengaku bahwa kitab suci tersebut diletakkan di sana karena basah. Namun, tindakan yang tampaknya sepele ini cukup untuk membuat keluarga Kristen itu dalam bahaya.

Seorang pemimpin Kristen, Aamir Bashir dari Voice of Minorities Pakistan, yang berbasis di Multan, menyampaikan keprihatinannya kepada CT. Menyoroti pemilu yang akan datang, ia mengamati, “Meningkatnya pengaruh dan mobilisasi TLP diarahkan untuk memperoleh lebih banyak suara. Kami telah mengantisipasi hal ini, dan sayangnya, kesengsaraan kami tidak akan segera berakhir.”

Diterjemahkan oleh Denny Pranolo.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube