Mazmur 103:14
Di Eden, segalanya adalah haleluya. Baik! Sungguh amat baik! kata Tuhan (Kej. 1:1-31). Meski berwarna coklat dan abu-abu, bahkan debu pun merupakan bintik kehidupan yang berkilauan. Agung bagaikan gunung. Megah bagaikan ikan paus. Bahkan bintik terkecil yang menempel di bagian bawah sapu Adam dan Hawa yang tersembunyi pun dihargai dan dirayakan, suatu anugerah berharga dari Allah (Ams. 8:26).
Pernahkah Anda melihat lembah bersalju yang diselimuti warna putih lembut? Saat belum tersentuh dan berkilau di bawah sinar matahari, sebelum sepatu bot manusia menancapkan jejak bercampur lumpur di sana? Di Eden, debu dikaitkan dengan keindahan yang belum tersentuh seperti ini. Semua berkilauan cahaya. Tidak ada jejak sepatu yang berlumpur.
Namun, saat Daud menulis mazmur ini, ia sudah jauh dari Eden dan kepolosan. Dosa-dosanya banyak sekali. Dia telah berbuat dosa juga. Dia adalah debu. Bukan polos dan penuh warna, melainkan seperti debu yang kotor. Seperti semua ciptaan lainnya, debu kini telah tersengat oleh kematian. Begitu kumuh, martabat bintik kecilnya di Eden pun telah hilang. Di dunia yang telah jatuh dalam dosa, bintik-bintik kecil itu dikibaskan. Tidak seorang pun suka melihat debu, dan jika ada yang melihatnya, ia berusaha membersihkan kamarnya dari debu tersebut.
Karena dari situlah engkau diambil; sebab engkau debu, dan engkau akan kembali menjadi debu. (Kej. 3:19)
Debu dulunya berasal dari Eden (dari situlah kamu diambil). Namun kini debu menandakan kematian (engkau akan kembali menjadi debu).
Ketika kita berbuat dosa seperti Daud, kita bertanya-tanya tentang bagaimana Allah mengingat kita. Akankah Tuhan melupakan martabat yang telah dikaruniakan-Nya kepada kita, atau saat mengingat kelemahan kita, akankah Ia menjauhi atau meninggalkan kita?
Dalam Mazmur 103, Daud menggambarkan Tuhan sebagai Pribadi yang mengingat, penuh belas kasihan dan pengasih (Mzm. 103:14, 8). Tuhan panjang sabar dan berlimpah kasih setia-Nya, kasih yang tidak dapat dirampas oleh seorang pun dari kita (Mzm. 103:4, 8, 11, 17).
Sebagai Pribadi yang mengingat, Tuhan menyingkirkan penghukuman ketika kita bertobat. Lihatlah ke cakrawala mana pun dan ke arah mana pun, orang berdosa hanya akan melihat terangnya cahaya pengampunan Allah (Maz. 103:11-12).
Tuhan juga seperti bapa yang sangat penyayang (Mzm. 103:13). Panjang sabar, penyayang, murah hati, berlimpah kasih setia, Sang Bapa ini senang ketika mengingat martabat orang yang dikasihi-Nya. Seorang Bapa seperti ini tidak akan pernah memberikan kalajengking atau ular kepada orang yang sangat dikasihi-Nya yang membutuhkan telur atau ikan (Luk. 11:11-13). Sebaliknya, Bapa yang penuh belas kasih seperti itu akan menggunakan kekuatan-Nya yang besar untuk menguatkan dengan lembut, melindungi dengan gagah berani, dan dengan penuh pengorbanan menjaga anak yang rentan yang Ia kasihi. Sebagai Bapa yang penuh belas kasih dan baik, Tuhan mengingat kita terbuat dari apa. Dia ingat bahwa kita ini debu.
Setiap kali saya bersama para orang tua saat mereka menggendong anak-anak mereka yang masih kecil atau orang tua yang mendampingi anak-anak mereka yang sudah dewasa di saat-saat terakhir anak-anak itu hidup di dunia ini, orang tua yang penuh belas kasih dan cinta akan memeluk mereka, sambil mengucapkan kata-kata cinta seumur hidup. Mereka mengingat orang yang mereka cintai. Mereka menangis berseru, dalam Yesus, menyatakan adanya kasih yang entah bagaimana dapat mengalahkan kematian yang mematikan ini.
Dengan iman, mereka tahu bahwa bukan malaikat maut yang datang menjemput orang yang mereka sayangi. Tuhan yang menciptakan dan mengingat anak mereka itulah yang akan yang datang.
Itu bukanlah kematian yang menang dalam nafas terakhir, melainkan kematianlah yang telah berada dalam posisi terakhirnya.
Ingatlah, di dunia ini, yang kekal bukanlah kematian, melainkan kasih ilahi.
Kasih ilahi ini, yang disebutkan empat kali dalam mazmur ini, tidak hanya mengingat bahwa kita ini debu dalam kematian, melainkan juga bahwa dengan debu itulah Ia telah memberi kita kehidupan.
Dia tahu kita terbuat dari apa. Dia ingat.
Jadi, ketika abu dioleskan di dahi kita hari ini, kita menghadapi kebenaran yang sulit. Kematian seperti debu merupakan adegan dalam kisah kita yang tidak dapat kita hindari. Dukacita atas dosa yang kita telah perbuat. Pertobatan atas kontribusi kita sendiri.
Namun, di dalam Kristus Yesus, kematian seperti debu tidak pernah dan tidak akan pernah menjadi hal yang paling benar mengenai kita. Kematian memiliki musuh. Nama-Nya adalah Yesus Kristus.
Ketika kita menerima abu di dahi kita hari ini, kita menyatakan dengan iman bahwa maut akan mati. Karena maut tidak dapat menahan Yesus di dalam kubur, debu akan bangkit lagi, dipulihkan kembali kepada kemuliaan yang diberikan kepadanya di Eden dan terlebih lagi di dalam kerajaan baru yang menanti kita.
Itulah sebabnya ketika para pengikut Yesus mula-mula berpikir tentang kematian, mereka menyatakannya sebagai musuh terakhir mereka (1Kor. 15:26). Mereka belajar untuk melihat musuh ini dikalahkan di setiap kesempatan oleh kasih setia Allah dalam Kristus Yesus, yang daripada-Nya tidak ada apa pun, bahkan maut sekalipun, dapat memisahkan kita (Rm. 8:38-39).
Tuhan kita adalah pengingat kita yang agung. Dia ingat kita terbuat dari apa, bahwa kita ini adalah debu. Dengan dipegang oleh-Nya, kita beroleh pengharapan.
Zack Eswine (Red.PhD) menjabat sebagai pendeta utama di Gereja Riverside di Missouri. Buku-bukunya termasuk The Imperfect Pastor dan Wiser with Jesus. Dia menulis di The Good Dark (thegooddark.substack.com) dan merupakan salah satu pendiri Sage Christianity bersama istrinya, Jessica.
Diterjemahkan oleh Maria Fennita S.