Kerusakan Kolateral Akibat Dosa

Dampak “meleset dari sasaran” terhadap jiwa kita sangatlah buruk. Namun yang lebih buruk lagi daripada itu adalah dampaknya terhadap sesama kita.

Christianity Today July 24, 2024
Illustration by Paige Vickers

Aryanna Schneeberg yang berusia delapan tahun sedang bermain di halaman belakang rumahnya ketika punggungnya terkena panah dari belakang. Seorang tetangga berusaha memanah seekor tupai, tetapi anak panahnya meleset dari sasaran dan malah menembus paru-paru, limpa, perut, dan hati anak tersebut. Meski berhasil selamat, ia harus menanggung bekas luka akibat kejadian tersebut. Kita perlu mengingat tentang Aryanna setiap kali kita mendengar seorang pengkhotbah menjelaskan kata Yunani untuk dosa, yaitu hamartia, yang berarti “meleset dari sasaran.”

Seperti berbagai hal klise di mimbar, kata yang satu ini mengacu kepada sesuatu yang sebagian benar. Namun masalahnya adalah imajinasi sebagian besar orang Kristen Barat, dipengaruhi oleh kisah Robin Hood, melebihi pengalaman mereka yang sebenarnya dalam memanah. Kita membayangkan suasana pedesaan di mana kita menembakkan anak panah ke arah sasaran di atas tumpukan jerami. Metafora ini lumayan menghibur: Kita melihat diri kita bukan sebagai penjahat atau pemberontak, tetapi sebagai orang yang sesekali keluar dari jalur. Lalu kita merogoh ke dalam tabung anak panah kita agar mendapatkan satu kesempatan lagi untuk melakukannya dengan benar.

Akan tetapi, bukan seperti itu cara Alkitab menggambarkan dosa. Alkitab mengatakan bahwa dosa adalah pelanggaran hukum (1Yoh. 3:4). Ketika mengategorikan dosa, Alkitab secara konsisten melakukannya dengan istilah-istilah yang menyiratkan baik pelaku maupun korban: permusuhan, pertikaian, penindasan terhadap anak yatim dan janda, perzinahan, ketamakan.

Dalam hal ini, dosa tidak seperti latihan memanah di suatu tempat yang terpencil, melainkan lebih seperti melepaskan anak panah di trotoar kota di tengah kerumunan orang banyak. Di sekeliling kita ada banyak tubuh yang menggeliat atau mati, terkena anak panah kita yang salah sasaran.

Dalam sebuah khotbah tentang dosa, seorang pengkhotbah mungkin juga mengutip John Owen dari kalangan Puritan: “Matikanlah dosa atau dosa akan mematikanmu.” Hal itu juga benar. Namun, itu belum cukup menjelaskan: Dosa kita mungkin juga mematikan orang-orang di sekitar kita. “Upah dosa adalah maut,” demikian Alkitab mengatakan kepada kita (Rm. 6:23). Kematian itu mungkin bukan hanya kematian diri sendiri, melainkan juga kematian sesama kita.

Kitab Wahyu adalah sebuah surat edaran kepada jemaat-jemaat yang sangat berbeda-beda. Beberapa jemaat tersebut secara aktif dianiaya oleh Roma, dan beberapa jemaat lainnya merasa nyaman dan tunduk kepada Roma. Dosa dan pencobaannya berbeda-beda, tetapi janji Tuhan sama: Allah akan menghakimi. Bagian selanjutnya dari kitab ini menunjukkan bagaimana penghakiman itu ditimpakan ke atas dunia, yang digambarkan sebagai Babel. Namun hal ini dimulai dari gereja. Pertanyaannya bagi umat Tuhan adalah apakah kita akan menjadi pratinjau dari Babel atau Yerusalem Baru?

Salah satu alasan mengapa kitab Wahyu tampak begitu asing bagi banyak orang adalah karena penggambarannya yang sering kali samar-seekor binatang buas keluar dari laut, seorang perempuan pelacur duduk di atas tujuh gunung (13:1; 17:9). Namun yang paling misterius, bukankah kitab ini menggambarkan dilema yang dihadapi oleh kita semua saat ini?

Roma-kota tujuh gunung-pada saat itu adalah kota yang mewah, kaya, dan penuh penyembahan berhala, yang menunggangi seekor binatang buas yang mengerikan dan berkuasa-sebuah kekaisaran yang luas dan mendominasi. Binatang buas itu mengendalikan dengan memanfaatkan rasa takut akan penderitaan. Si Pelacur mengendalikan dengan rayuan akan kemewahan dan kenyamanan. Binatang buas itu berkata, “Bergabunglah denganku dan aku akan memberimu akses menuju kekuasaan.” Pelacur itu berkata, _“Bergabunglah denganku dan aku akan memberimu akses menuju kesenangan.” Namun, di balik semua itu, terdapat kepalsuan. Binatang buas itu berupaya untuk meniru Anak Domba yang terluka, yang menaklukkan, dan menandai suatu bangsa bagi diri-Nya sendiri. Babel adalah distorsi dari kerajaan Allah.

Bukan hanya kekaisaran secara harfiah yang bisa menjadi binatang buas. Pelayanan juga bisa. Kita mungkin berpikir bahwa kita sedang menunjuk kepada Anak Domba, padahal kita hanya sedang mengulangi cara-cara binatang buas itu. Kita mungkin berpikir bahwa kita sedang melayani Kerajaan Allah, padahal sebenarnya kita hanya sedang membangun Babel yang akan runtuh dalam satu jam (Why. 17:12).

Yang harus kita kenali dan cabut bukan hanya satu berhala saja-ikonoklasme seksual atau supremasi kulit putih atau nasionalisme Kristen atau sinkretisme agama atau hanya iri hati, persaingan, dan keserakahan-melainkan semuanya. Kita seharusnya tidak boleh membagi diri kita di antara mereka yang membenarkan dosa-dosa “pribadi” dan mereka yang membenarkan dosa-dosa “sosial.”

Apakah kita sungguh percaya bahwa dosa kita benar-benar menyakiti orang lain? Apakah kita percaya bahwa pelayanan kita dapat, dan telah, benar-benar menyakiti orang lain? Jika ya, mari kita ingat kembali apa yang membuat kita menjadi kaum “Injili” sejak awal. Kita adalah orang-orang yang berkata kepada dunia, dan kepada diri kita sendiri, bukan hanya “Percayalah pada Kabar Baik itu” melainkan “Bertobatlah dan percayalah pada Kabar Baik itu.”

Allah adalah Allah yang penuh kasih karunia, Allah yang mengampuni kita orang berdosa melalui darah Anak-Nya. Namun, Ia juga adalah Allah yang menghakimi—yang dapat membedakan antara Yerusalem dan Babel, antara Anak Domba dan binatang buas. Pada masa penyingkapan ini, kita harus mendengarkan apa yang Roh Kudus katakan kepada gereja-gereja, bahkan ketika metafora kita meleset dari sasaran.

Ted Olsen adalah editor eksekutif di CT.

Diterjemahkan oleh Helen Emely.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, Instagram, atau Whatsapp.

Ikutilah Teladanku: Model Mentoring Paulus

Berbeda dengan pendekatan yang digerakkan oleh kekuasaan, mentoring Kristen yang sehat ditandai dengan kemurahan hati dan kepercayaan.

Christianity Today July 23, 2024

Saya pernah tinggal di Jerman selama enam bulan dan berjuang keras untuk mempelajari bahasanya. Saya bisa memesan bahan makanan atau membeli tiket bus. Namun saya tidak bisa menceritakan lelucon. Saya tidak bisa berbagi cerita atau harapan. Saya tidak bisa mendapatkan teman.

Berpikir bahwa sekolah bahasa lain mungkin bisa membantu, saya menelepon sebuah sekolah baru di kota kecil kami, Tübingen, dan berbicara dengan direkturnya. Dalam bahasa Jerman, dengan sabar ia memberikan petunjuk arah ke sekolah dan mengundang saya untuk tes penempatan. Ketika saya datang beberapa hari kemudian, dia menyapa dengan memanggil nama saya. Dia ingat suara dan aksen saya. Bahkan, dia tahu nama semua orang. Dia menyapa semua orang dengan luapan kegembiraan yang sama, yang memberikan rasa kepercayaan secara langsung.

Itu adalah pertama kalinya saya mendengar betapa indahnya bahasa Jerman. Ada kebaikan di dalamnya. Saya tahu bahwa jika saya mengamati dia, saya akan menemukan cara untuk menyuarakan kegembiraan dan kelembutan dalam bahasa yang baru ini. Dalam dirinya, saya melihat versi diri saya sendiri—atau setidaknya versi yang saya inginkan.

Mentoring yang efektif mirip dengan mempelajari bahasa baru: Ini melibatkan praktik menirukan apa yang dilakukan. Ini adalah sebuah relasi yang mengajak kita untuk mendengarkan terlebih dahulu, memupuk rasa ingin tahu, mengembangkan keterampilan baru, dan melakukan uji coba sampai suatu hari Anda menemukan versi yang cocok.

Lebih dari sekedar mimikri

Orang sering mencari mentor di masa transisi ketika mereka perlu mengembangkan keterampilan atau pekerjaan baru atau merasa tidak yakin dengan masa depan mereka. Mentor menjadi semacam teman unik yang mengetahui kondisi orang yang didampinginya sebelum dan sesudahnya—dan sering kali terjadi kekacauan di antaranya. Mentoring adalah suatu bentuk persahabatan yang mengingatkan kita akan siapa diri kita sambil memberikan kesinambungan dengan siapa kita menjadi nantinya untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan konteks yang baru.

Dalam gereja, mentoring sangat penting untuk pengembangan kepemimpinan—tidak hanya bagi para pemimpin di masa depan, melainkan juga bagi pertumbuhan dan keberlangsungan mereka yang telah melayani sebagai pendeta. Bagi para pendeta, mentoring sering kali paling efektif jika berasal dari sesama pendeta atau pemimpin di luar konteks gerejanya sendiri. Mentoring ini dapat berfungsi sebagai bentuk pemuridan yang unik bagi para pendeta, yang meminta kedua partisipan untuk memulai dari kemurahan hati.

Namun mentoring di gereja juga bisa berakibat buruk. Bahayanya muncul ketika keinginan untuk menjadi yang terbaik dan ketakutan akan kegagalan mengarah pada sekadar menghafal dan meniru (mimikri). Dengan pendekatan tersebut, seseorang mungkin dapat mempelajari beberapa kata dari bahasa tersebut, tetapi dia akan kurang memiliki kreativitas dan fleksibilitas yang dibutuhkan untuk benar-benar hidup di dalamnya.

Lebih baik daripada akses menuju kekuasaan

Sayangnya, dalam dunia bisnis dan di beberapa konteks Kristen, mentoring lebih mirip seperti perluasan jaringan. Ini suatu proses mencari tahu apa yang bisa dilakukan seseorang untuk orang lain. Mentor Anda akan membantu, mendukung, dan memberi Anda nasihat. Beberapa rencana suksesi gereja yang didasarkan pada model “mentoring” ini juga melibatkan pewarisan kekuasaan. Kekuasaan atau pengaruh dipahami sebagai sesuatu yang diwariskan dan diserahkan. Oleh karena itu, maka mentoring adalah tentang kendali dan ambisi, bukan persahabatan yang terbuka terhadap kerentanan, serta mendorong otentisitas dan pertumbuhan.

Tidak ada yang salah dengan hal itu dalam beberapa konteks tempat kerja, tetapi bagaimana dengan di gereja? Pendekatan jejaring dalam mentoring ini tidak meminta kita untuk memandang kekuasaan secara berbeda. Pendekatan ini juga tidak meminta kita untuk meletakkan beban kita, memikul salib kita, dan mengikut Juru Selamat yang telah menyerahkan diri-Nya bagi kita secara cuma-cuma.

Mentoring yang sejati dapat menawarkan sesuatu yang jauh lebih baik daripada akses terhadap kekuasaan. Salah satu penggunaan pertama kata mentor berasal dari Odyssey yang merupakan karya Homer. Dalam epos tersebut, teman lama Odysseus, Mentor, mengawasi putra Odysseus, Telemakus, saat dia pergi. Dewi Athena menyamar sebagai teman lama keluarga ini untuk memberikan kepada Telemakus muda keberanian yang dia butuhkan untuk perjalanannya sendiri.

Saya sering membahas contoh ini dengan kelompok-kelompok pendampingan yang saya bantu atur untuk para pendeta dan para mahasiswa teologi yang baru saja lulus dari seminari tempat saya melayani. Saya menjelaskan, dalam contoh ini kita menemukan bahwa mentor adalah seseorang yang membantu orang lain untuk mengambil langkah pertamanya dalam perjalanan panggilan Tuhan. Mentor membantu orang yang dimentoring olehnya untuk menemukan keberanian.

Mentor hadir sebagai teman. Ahli Perjanjian Lama, Walter Brueggemann, menulis bahwa jika mentoring berhasil, maka hal itu akan membuka jalan untuk dapat saling belajar. Kedua orang tersebut akan terhubung dalam persahabatan dan kerentanan, masing-masing dapat belajar dari yang lain, dan dalam hubungan itu mereka akan mampu membayangkan “realitas sosial baru” bersama-sama.

Baru-baru ini saya melihat hal tersebut ketika seorang pendeta senior yang berada di pertengahan karirnya mengiyakan untuk membimbing seorang rohaniwan muda yang baru memulai pelayanan di sebuah gereja. Baik mentor maupun orang yang dimentoringnya sama-sama mendapati diri mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sama seputar ibadah, khotbah, dan pemuridan selama pandemi. Bersama-sama, dalam percakapan satu sama lain, mereka mulai melakukan perubahan di gereja masing-masing untuk beradaptasi dengan kebutuhan saat ini. Para rohaniwan ini memperlambat langkah mereka, mencoba hal-hal baru, dan membiarkan kepercayaan memimpin mereka. Mereka membentuk imajinasi satu sama lain dan pada gilirannya melihat jemaat mereka melalui sudut pandang yang baru.

Mentoring sebenarnya mengajarkan kita bagaimana agar tidak memegang kendali atau memegang kekuasaan ketika situasi hidup menuntut perubahan. Akan tetapi mempelajari hal ini memerlukan latihan, dan menurut rasul Paulus, hal ini juga memerlukan peneladanan.

Persahabatan dengan Paulus

Sulit bagi saya untuk membayangkan hidup saya hari ini tanpa teman-teman pelayanan yang telah membimbing saya selama ini. Sepanjang yang saya ingat, saya mempunyai teman-teman baik yang menunjukkan kepada saya kebenaran tentang diri saya. Teman-teman dalam pelayanan dapat mengingatkan kita bahwa tidak ada yang dapat kita lakukan untuk memperoleh panggilan ini, pelayanan ini, tetapi setelah kita menerima panggilan Tuhan, kita bisa terus berpartisipasi dalam banyak pekerjaan baik. Masing-masing dari kita dapat menambahkan gaya kita sendiri, suara otentik kita, sambil tetap menjaga kesinambungan dengan konteks panggilan kita yang lebih luas: misi gereja.

Kita secara konsisten melihat tema persahabatan dan saling menguatkan di antara para pemimpin dalam surat-surat Paulus. Paulus menyukai orang-orang. Kita sering berfokus pada koreksi yang diberikan Paulus, dan lupa bahwa ia menghabiskan sebagian besar waktunya untuk memberi tahu orang-orang bahwa Tuhan ada di pihak mereka, apa pun keadaan mereka. Kita melihat hal ini terutama dalam surat Filipi.

Jemaat di Filipi sangat dekat dengan Paulus. Mereka mengirimkan makanan dan hal-hal yang ia butuhkan, serta berdoa dan mengkhawatirkannya. Sebagai balasannya, Paulus menulis surat dari penjara tentang sukacita. Sebelum ia mengucapkan terima kasih kepada mereka, ia menulis, “Ikutilah teladanku, dan perhatikanlah mereka, yang yang hidup sama seperti kami yang menjadi teladanmu.” (3:17). Undangan yang sama untuk mengikut teladan Paulus juga dapat kita temukan dalam surat-surat Paulus lainnya (1Kor. 4:16; 11:1; 1Tes. 1:6).

Ajakan ini mungkin tampak arogan atau narsis bagi kita saat ini, terutama ketika kita mendengarnya diucapkan oleh para pendeta pesohor. Namun Paulus bukanlah seorang pendeta pesohor yang baik: Citra yang ia tekankan adalah selalu tentang tidak memiliki kendali. Permintaan Paulus untuk mengikuti teladannya adalah sebuah ajakan untuk berpikir secara berbeda mengenai kekuasaan dan pengaruh—yaitu kekuasaan dan pengaruh dia dan kita. Ini merupakan ajakan untuk meneladani kepercayaan dan kesetiaan Yesus.

Kajian Perjanjian Baru yang signifikan dalam beberapa dekade terakhir—termasuk karya-karya seperti Paul and First-Century Letter Writing, Paul, the Letter Writer, dan Paul the Ancient Letter Writer—telah membahas bagaimana surat-surat ditulis dan dikomunikasikan dalam budaya lisan. Meski kita mungkin cenderung menganggap bahwa menulis surat adalah suatu tindakan yang dilakukan sendirian, tetapi Paulus menulis dalam komunitas untuk komunitas. Sangat mungkin bahwa proses penulisan surat melibatkan praktik peniruan di mana surat-surat tersebut disampaikan sebagai sebuah pertunjukan, yang kemungkinan besar disampaikan oleh orang-orang yang telah mengamati Paulus dalam menulis surat. Mereka mempelajari tingkah laku dan nada bicara Paul. Mereka mungkin meniru bahasa tubuhnya agar sesuai dengan prinsip-prinsip perilaku tertentu dari Paulus. Mereka meneladaninya.

Dalam tafsiran Romans Disarmed, cendekiawan Sylvia Keesmaat dan Brian Walsh membantu kita berpikir tentang bagaimana praktik peniruan ini dapat terulang kembali dalam komunitas Kristen. Mereka membayangkan bagaimana orang-orang percaya di Roma bertemu di dapur-dapur, satu orang membacakan surat kepada yang lain, menguraikannya secara rinci dan menjelaskannya sampai, seiring berjalannya waktu, orang berikutnya dapat menyampaikan pesan tersebut kepada orang lain. Keesmaat dan Walsh mengatakan bahwa kita harus melihat setiap surat ini sebagai sesuatu yang tidak hanya diterima satu kali oleh satu kelompok tertentu, melainkan diterima dan kemudian disampaikan berulang kali, disertai dengan waktu untuk menjawab pertanyaan dan penjelasan lebih lanjut. Teks ini disampaikan dalam komunitas, dimodelkan sedemikian rupa sehingga menciptakan hubungan. Setiap surat mengajukan Paulus sebagai teladan untuk diikuti—tetapi teladan ini hidup.

Ahli Perjanjian Baru, Elizabeth Shively, menunjukkan bahwa dalam surat Filipi, kata teladan yang digunakan Paulus adalah kata Yunani typos, yang juga bisa berarti meterai atau stempel. “Yesus Kristus adalah arketipe (pola dasar),” tulisnya, “typos yang membekas dalam kehidupan Paulus. Ini adalah jenis kehidupan tertentu yang membutuhkan pola pikir tertentu: tidak menuntut hak-hak Anda sendiri, menganggap kebutuhan orang lain lebih penting daripada kebutuhan Anda sendiri.”

Apa yang terjadi ketika seorang mentor melihat kebutuhan orang lain lebih penting daripada kebutuhannya sendiri? Jika kita melihat Paulus sebagai teladan bagi seorang mentor Kristen, kita akan menemukan seseorang yang terus-menerus membuka topengnya untuk mengungkapkan arketipe yang sebenarnya: Yesus Kristus. Dan ketika orang lain berdiri untuk melakukan perkataannya, mereka meneladani Paulus yang meneladani Kristus.

Kemampuan untuk percaya

Hubungan mentoring seperti itu di antara para pendeta di gereja-gereja kita menawarkan kekuatan transformatif yang sama: kemampuan untuk percaya tanpa harus memegang kendali. Itulah mentoring Kristen.

Seperti halnya Paulus, ini adalah kekuatan untuk melepaskan kekuasaan. Ini adalah kemampuan untuk keluar dari cara berpikir kita yang terkotak-kotak, yang terpenjara oleh pemikiran kita tentang apa yang harus kita hilangkan dan apa yang pura-pura kita kendalikan. Dengan demikian, maka kita dapat menulis surat yang dapat dilakukan oleh orang lain. Ini adalah kabar baik dari Tuhan yang dinyatakan ketika kita meneladani Kristus. Mungkin sebagian dari tingkah laku sang mentor yang menyenangkan masih tertinggal dalam peneladanan tersebut. Mungkin orang lain akan belajar, dengan logat mereka sendiri, untuk memberikan petunjuk sederhana menuju suatu tempat di mana setiap orang dapat disapa dengan nama mereka.

Mentor yang baik tidak pernah puas jika orang yang dibimbingnya hanya meneladani dirinya. Pada akhirnya, seorang mentor Kristen yang baik memercayai orang yang dibimbingnya untuk memberikan, sebagai gantinya, gambaran tentang Kristus.

“Aku mengucap syukur kepada Allahku setiap kali aku mengingat kamu,” kata Paulus kepada jemaat di Filipi (1:3–5). “Dan setiap kali aku berdoa untuk kamu semua, aku selalu berdoa dengan sukacita. Aku mengucap syukur kepada Allahku karena persekutuanmu dalam Berita Injil….”

Elemen sentral dari mentoring adalah tindakan mempraktikkan kolaborasi dan kepercayaan. Ini adalah kepercayaan yang menghasilkan kemurahan hati. Dengan pikiran yang murah hati, kita selalu bisa membayangkan persahabatan yang terus berlanjut. Kita dapat melihat perjalanan gereja yang tak terbatas dan mendengar suara-suara baru dari mereka yang menyuarakan sukacita yang akrab dan baru.

Beth Jarvis adalah direktur Ministry Resource Center di Universitas Milligan, di mana dia membantu para pendeta untuk terhubung satu sama lain agar berkembang dalam pelayanan. Dia adalah pendeta yang ditahbiskan dan memiliki gelar M.Div. dari Emmanuel Christian Seminary di Milligan.

Diterjemahkan oleh Budi M. Winata.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, Instagram, atau Whatsapp.

Mengubah Pikiran Bukanlah Tugas Kita

Kita tidak dapat mengontrol jemaat kita, dan berusaha untuk melakukan hal itu hanya akan menimbulkan kerusakan.

Christianity Today July 22, 2024
Edits by Christianity Today. Sources: Getty / Anthony Saint James / Chrispecoraro / Wikimedia Commons

Jam 2 pagi di Selasa malam, dan saya masih terjaga.

Biasanya anak-anak saya yang harus disalahkan atas hal semacam ini. Mereka mengalami mimpi buruk. Mereka ingin sesuatu untuk dimakan. Mereka lupa menceritakan lelucon lucu yang mereka dengar di sekolah. Hal-hal yang mendesak. Namun tidak malam ini. Malam ini lebih buruk. Yang membuat saya terbangun bukanlah anak-anak saya, melainkan kecemasan saya akan adanya konflik di gereja tempat saya menggembalakan jemaat bersama suami saya, Ike. Orang yang kami kasihi dan dekat dengan kami, orang yang mengenal keluarga dan anak-anak kami, serta yang telah menjalankan misi pemberitaan Injil bersama kami, tidak menyukai keputusan yang kami buat. Mereka sangat kecewa sehingga mengancam untuk pergi.

Begitu mata saya terbuka dalam kegelapan, pikiran yang telah bergejolak selama berhari-hari muncul kembali:

Mungkin jika saya menjelaskan bagian Alkitab ini kepada mereka…

Mungkin jika saya membahasnya dari perspektif teologis ini…

Mungkin jika saya membagikan nasihat-nasihat bijak yang kami terima dari para ahli di jemaat kami…

Mungkin jika mereka mendengar kisah tentang tentang orang-orang yang terluka di gereja kami…

Dan seterusnya dan seterusnya.

Sepanjang masa pelayanan, saya kadang-kadang mengalami masa sulit tidur yang disebabkan oleh konflik—tetapi, seperti banyak pendeta lainnya, ada peningkatan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2020, ketika para pemimpin gereja menghadapi tiga masalah sekaligus, yaitu pandemi, ketegangan rasial di seluruh negeri, dan pemilihan presiden yang terpolarisasi, iklim di dalam gereja kami pun ikut berubah. Udara di tempat ibadah kami menjadi tercemar oleh sikap keberpihakan yang mendalam, yang berarti setiap keputusan, setiap pernyataan, khotbah, dan setiap unggahan di media sosial yang berasal dari para pendeta ditafsirkan melalui filter politik.

Karena risiko salah paham sangat tinggi, saya dan suami mencurahkan banyak waktu dan perhatian untuk menjelaskan diri sendiri. Kami mengajar melalui Kitab Suci yang memandu keputusan-keputusan kami, dan kami bersikap terbuka terhadap suara-suara bijak dan berpengetahuan yang kami dengarkan. Kami tahu bahwa hal ini diperlukan untuk menanamkan kepercayaan pada jemaat kami—dan biasanya memang demikian—tetapi pendekatan ini juga memberi pelajaran yang berat bagi kami.

Apa yang telah kami pelajari selama beberapa tahun terakhir adalah bahwa tidak peduli penafsiran Alkitab apa yang Anda gunakan, tidak peduli dukungan teologis yang Anda ajukan, tidak peduli data, para ahli, atau catatan integritas Anda sendiri, Anda tidak dapat meyakinkan orang tentang sesuatu yang tidak ingin mereka percayai.

Mengapa? Karena informasi tidak sekuat yang kita kira.

Dalam buku A Failure of Nerve: Leadership in the Age of the Quick Fix, penulis dan terapis keluarga, Edwin Friedman, menggambarkan terbatasnya pengaruh kita sebagai berikut: “Kesalahpahaman yang sangat besar di zaman kita adalah asumsi bahwa wawasan akan berhasil pada orang-orang yang tidak termotivasi untuk berubah.”

Walaupun kita berharap sebaliknya, informasi memiliki pengaruh yang jauh lebih kecil daripada yang kita bayangkan. Mengunduh “fakta” ke dalam otak orang lain tidak akan secara ajaib mengubah pikiran mereka, tetapi saya akan menjadi orang pertama yang mengakui bahwa hal ini tidak menghentikan saya untuk mencoba. Setiap kali ada orang di gereja atau di kehidupan pribadi saya yang “perlu dikoreksi” (menurut saya), maka saya akan langsung bekerja keras dengan semua argumen yang dapat saya gunakan untuk membujuk mereka. Dalam hitungan detik, saya dapat mengumpulkan ratusan pokok pembicaraan yang berbeda untuk meyakinkan mereka tentang kebenaran, jika saya bisa duduk bersama mereka untuk menjelaskannya.

Namun Tuhan menunjukkan kepada saya bahwa saya tidak hanya berusaha membimbing mereka—saya sebenarnya mencoba mengontrol mereka. Saya mengandalkan pengetahuan, informasi, dan kebenaran Firman Tuhan untuk berfungsi seperti tali kekang pada kuda, yang secara instan mengarahkan orang lain ke arah yang saya inginkan.

Namun waktu dan pengalaman mengajarkan bahwa saya terlalu melebih-lebihkan kemampuan saya untuk meyakinkan. Yesus sendiri mengisyaratkan terbatasnya kekuatan argumen kita dengan menyimpulkan beberapa ajaran-Nya yang paling sulit dengan pernyataan “Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar!” (Mat. 11:15). Implikasinya adalah beberapa orang tidak mau mendengar. Mereka tidak akan memahaminya—bukan karena mereka tidak mampu, melainkan karena mereka tidak mau memahaminya. Keyakinan sebanyak apa pun, tidak peduli seberapa kuat bukti atau logikanya, tidak akan bisa menggerakkan mereka. Tidak jika mereka tidak ingin digerakkan.

Penelitian telah menunjukkan hal ini benar adanya. Ketika kita menggunakan informasi untuk mengubah opini seseorang, dalam beberapa kasus, hal tersebut dapat berakibat sebaliknya. Efek bumerang adalah istilah yang digunakan dalam psikologi untuk menggambarkan sikap yang semakin kontra yang terjadi ketika orang dihadapkan pada informasi yang bertentangan dengan keyakinan mereka.

Alih-alih melihat bukti secara objektif dan menyesuaikan keyakinan mereka, beberapa orang justru semakin memperkuat ketidakpercayaan mereka. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa fenomena ini sangat mungkin terjadi ketika keyakinan dikaitkan dengan identitas. Ketika informasi baru terasa seperti ancaman terhadap identitas atau cara hidup seseorang, maka ia akan lebih termotivasi untuk menolaknya.

Berkat pelayanan selama beberapa tahun terakhir, Ike dan saya telah belajar untuk membedakan mana orang yang mau menerima dan mana yang tidak. Asumsi yang tidak tepat mengenai motif kita atau kurangnya rasa ingin tahu yang tulus terhadap keputusan kita merupakan tanda pasti bahwa penjelasan kami akan sia-sia.

Namun bahkan menyadari kurangnya penerimaan yang sebenarnya tidak selalu mengekang ilusi saya tentang pengaruh. Terhadap semua pengalaman yang bertentangan, saya masih memiliki keyakinan mendalam pada kemampuan saya untuk meyakinkan orang. Saya bisa menghabiskan waktu berhari-hari memikirkan argumen yang sempurna dengan semua fakta dan perspektif yang saya yakini tidak akan dapat disangkal. Namun jika saya melakukan hal ini dalam kehidupan nyata—menghadapi orang-orang seperti seorang pengacara dan bukan sebagai pendeta—hal ini akan menjadi bumerang yang mengerikan. Dan memang benar. Seperti semua bentuk kontrol lainnya, hal itu tidak akan berhasil. Itu hanya menambah kecemasan dalam diri saya dan membuat hubungan saya dengan mereka menjadi renggang.

Mengidentifikasi pergumulan melawan kontrol ini telah sangat membantu saya dalam dua cara spesifik. Yang pertama ditangkap dengan baik oleh frasa “Jika Anda menamainya, Anda menjinakkannya.” Ketegangan di leher, punggung, dan rahang saya; pikiran saya yang berputar-putar karena cemas; dan insomnia yang menyertainya adalah tanda-tanda bahwa saya sedang berusaha mengontrol sesuatu yang tidak Tuhan berikan untuk saya kendalikan. Penamaan godaan ini membantu saya memikirkan kembali apa yang sebenarnya terjadi: Saya tidak sekadar berusaha menggembalakan jemaat saya; Saya mencoba mengontrol mereka.

Kedua, kesadaran akan kontrol ini menekankan prioritas mendengarkan sebagai kunci pelayanan pastoral. Budaya kita telah menjadi semakin terpolarisasi, sebagian karena kita mengalami efek bumerang dalam skala sosial. Ketika kita mencoba mengendalikan satu sama lain dengan argumen atau upaya persuasi, kita sering kali semakin menjauhkan pihak yang berbeda pendapat. Dalam lingkungan yang bising seperti ini, praktik “cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata” tidak hanya sesuai dengan Alkitab (Yak. 1:19), melainkan juga merupakan suatu keharusan.

Baik secara terstruktur maupun spontan, saya dan Ike berusaha mendengarkan jemaat kami secara intensional—terutama mereka yang mungkin merasa tidak puas atau marah. Saat-saat mendengarkan yang terfokus ini berfungsi sebagai saksi kontra-budaya dalam masyarakat yang terpecah-belah karena masalah-masalah yang berkaitan dengan kontrol.

Menghadapi godaan untuk mengontrol sangatlah penting bagi kesehatan rohani saya sebagai seorang pendeta. Kita tidak dapat mengontrol jemaat kita—dan berusaha untuk melakukan hal itu hanya akan menimbulkan kerusakan. Ketika kita menghadapi batas-batas pengaruh kita, kita dapat melakukan salah satu dari dua hal ini: melawan, atau menyadari hal ini sebagai kesempatan untuk melepaskan beban yang tidak seharusnya kita tanggung. Batas-batas persuasi kita tidak selalu merupakan tanda kejatuhan manusia dalam dosa. Seringkali itu adalah tanda dari tatanan yang benar. Batasan-batasan tersebut mengingatkan kita bahwa inilah saatnya untuk memikul beban yang lebih ringan dan sepenuhnya memercayai Roh Kudus—satu-satunya penggerak hati dan pencerahan pikiran yang sejati—untuk melakukan pekerjaan berat itu bagi kita.

Sharon Hodde Miller memimpin Bright City Church di Durham, Carolina Utara, bersama suaminya, Ike. Dia memperoleh gelar PhD dengan meneliti wanita dan panggilan hidup. Buku terbarunya adalah The Cost of Control. Bagian dari artikel ini diadaptasi dari The Cost of Control karya Sharon Hodde Miller (Baker Books, sebuah divisi dari Baker Publishing Group, © 2022). Digunakan dengan izin.

Artikel ini adalah bagian dari CT Pastors edisi musim gugur. Anda dapat menemukan edisi selengkapnya di sini.

Diterjemahkan oleh George H. Santoso.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, Instagram, atau Whatsapp.

Lupakan Karisma. Carilah yang Lemah dan Lambat.

Pete Scazzero membahas bagaimana para pendeta dapat mengidentifikasi dan melatih pemimpin yang sehat.

Christianity Today July 21, 2024
Courtesy of Pete Scazzero

Pete Scazzero pembawa acara siniar The Emotionally Healthy Leader dan merupakan penulis beberapa buku, termasuk The Emotionally Healthy Leader dan Emotionally Healthy Discipleship. Scazzero mendirikan New Life Fellowship Church di Queens, New York, di mana ia melayani sebagai pendeta senior selama 26 tahun. Matthew LaPine, seorang rohaniwan Kristen dan penulis tentang kesehatan mental, berbicara dengan Scazzero mengenai tantangan mendesak yang dihadapi para pendeta saat ini: merekrut dan mengembangkan pemimpin di jemaat mereka.

Para pendeta merasa kewalahan dan kelelahan secara emosional, dan banyak yang bertanya kepada CT bagaimana cara menumbuhkan dan melatih para pemimpin di gereja mereka pada saat ini. Apakah ini pertanyaan yang tepat untuk ditanyakan saat ini?

Menurut saya itu pertanyaan yang tepat. Setiap pemimpin perlu mengajukan pertanyaan tersebut: Bagaimana saya mengembangkan dan menumbuhkan pemimpin?

Kita dipanggil untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan. Ini adalah tugas yang sangat besar saat ini. Hampir semua gereja yang pernah saya ajak bicara telah kehilangan 20 hingga 40 persen jemaatnya. Dan orang-orang yang ada di ruang ibadah adalah orang-orang baru. Jadi, Anda memulai dari awal sambil membangun hubungan dengan banyak orang baru. Hal ini memerlukan banyak waktu—bahkan bertahun-tahun.

Namun ada beberapa pekerjaan yang harus dilakukan sebelumnya. Pertama, kita hanya bisa mengembangkan pemimpin berdasarkan siapa diri kita sebelum kita memimpin berdasarkan apa yang kita katakan dan lakukan. Kita tidak bisa memberikan apa yang tidak kita miliki. Oleh karena penggembalaan saat ini sangat banyak tuntutannya, kita perlu memperhatikan karya Tuhan di dalam diri kita. Kita perlu mengisi kembali tanah diri kita sehingga kita bisa memimpin dari piala yang penuh melimpah. Mungkin itu berarti menghabiskan berhari-hari sendirian bersama Tuhan, mengembangkan aturan hidup, mencari pembimbing rohani, menjalani terapi, melakukan semacam pelatihan lanjutan. Anda perlu menilai: Apa yang saya butuhkan?

Kedua, momen ini membutuhkan formasi spiritualitas dan pemuridan yang lebih kuat. COVID-19 seharusnya dapat menjadi peringatan. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak orang mengatakan kepada saya bahwa mereka menyadari betapa dangkalnya pemuridan mereka, bahwa kelompok kecil saja tidaklah cukup. Kita tidak bisa lagi mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja karena ada banyak orang di dalam ruangan itu.

Cara kita mengukur kesuksesan secara jumlah sangatlah tidak memadai. Kita harus memupuk kedewasaan rohani dan mengintegrasikan kesehatan emosional. Kita tidak dapat memisahkan keduanya. Ini adalah waktunya untuk kerendahan hati, rasa ingin tahu, dan keterbukaan akan keterbatasan kita.

Ini juga berarti menerima kemanusiaan kita, menerima kesedihan dan kehilangan. Kita cenderung mengobati diri sendiri melalui perilaku yang adiktif. Kita menyangkali, menekan, dan meminimalkan kesedihan.

Menerima kesedihan dan kehilangan akan mengubah cara kita mengukur kesuksesan. Jika Anda berdiri teguh, jika Anda mengasihi Yesus, jika Anda menunjukkan kepada orang-orang lain bahwa Dia adalah pengharapan dunia, maka Anda adalah orang yang benar-benar berhasil. Saya tidak peduli jika hanya ada lima orang di ruang ibadah. Anda melakukannya dengan luar biasa. Tenanglah.

Dalam buku Emotionally Healthy Discipleship, Anda membahas pentingnya mengembangkan “teologi kelemahan.” Apa yang Anda maksud dengan hal itu, dan mengapa itu sangat penting?

Teologi kelemahan secara sederhana adalah bahwa Allah sendiri datang ke dunia dalam keadaan lemah; hakikat dari Inkarnasi adalah lemah. Yesus bisa saja datang dengan kekuatan duniawi yang besar, tetapi Dia tidak melakukannya. Dia mengundang kita masuk ke dalam hubungan yang penuh kasih dengan-Nya, tanpa pernah menuntut.

Kita membutuhkan para pemimpin yang mengintegrasikan teologi kelemahan ke dalam pemuridan mereka. Banyak orang merasa lelah. Teologi kelemahan akan menyegarkan mereka dan memberi mereka perspektif. Sesuatu telah berakhir, tetapi Tuhan bertahta. Dia sedang melakukan sesuatu yang baru. Dia sedang melakukan suatu karya di dalam kita. Kita bisa baik-baik saja tanpa harus mengontrol segalanya.

Ada undangan di sini untuk berdiam diri, dalam keheningan, dan menantikan Tuhan. Jika kita hanya sekadar menjalani acara ibadah besar atau kita perlu mengisi tenaga dengan ibadah di hari Minggu seolah-olah itu akan menopang kita selama seminggu, itu tidaklah cukup. Kita harus memuridkan.

Pertanyaannya adalah, bagaimana saya merekrut dan mengembangkan pemimpin? Bagaimana cara menghasilkan murid yang serius? Awalilah dari diri Anda sendiri dan mulailah membawa beberapa bagian yang hilang untuk benar-benar mengajak jemaat Anda masuk menuju kedalaman di mana mereka diubahkan secara mendalam oleh Yesus.

Jika para pendeta berkomitmen untuk melakukan pemuridan seperti ini, apa hasilnya dalam lima sampai sepuluh tahun ke depan? Dan apa bedanya dengan pendekatan tergesa-gesa yang berupaya keras dengan cemas untuk mendapatkan kembali jumlah kehadiran seperti sedia kala?

Jika Anda hanya ingin mendapatkan kembali jumlah kehadiran jemaat Anda, saya rasa Anda tidak akan menghasilkan murid yang dewasa. Itu bukanlah strategi Yesus. Dia menginvestasikan diri-Nya dalam pengembangan kepemimpinan dari 12 orang, dan tiga dari 12 orang itu, dan satu orang tidak berhasil. Itu sangat sulit, tetapi dalam jangka panjang, itu berhasil.

Kita tidak dipanggil untuk membangun kerumunan orang; kita dipanggil untuk membangun gereja. Dan kita membangun gereja dengan memuridkan.

Jika kita berinvestasi pada sumber daya manusia dengan baik, maka pertumbuhannya akan bersifat organik; dari bawah ke atas. Saya tidak perlu memproduksinya atau berusaha keras untuk mewujudkannya. Jika kita mau memperlambat langkah dan benar-benar mulai berinvestasi pada sumber daya manusia, kita akan mendapati bahwa Tuhan sedang bekerja.

Saya menghabiskan tahun-tahun awal pelayanan saya untuk “mewujudkannya.” Saya melakukan program-program dan mengembangkan jumlah jemaat. Saya mengamatinya dengan sangat cermat. Namun hal ini bukanlah pertumbuhan organik, dari bawah ke atas, dari dalam tanah.

Gambaran Alkitab tentang pertumbuhan adalah pertanian. Ini bersifat musiman. Pertumbuhannya lambat tetapi kuat. Dan selalu Tuhan yang menghasilkan buah. Kita hanya menciptakan kondisi bagi orang-orang untuk terhubung dengan Yesus dan bertumbuh; Tuhan sendirilah yang akan menemui mereka.

Para pendeta gereja kecil menghadapi tantangan unik dalam mengembangkan pemimpin karena mereka bergulat dengan tekanan untuk bertahan hidup dan terbatasnya jumlah sukarelawan potensial. Apa perbedaan antara merekrut dan mengembangkan pemimpin di gereja kecil dengan di gereja besar?

Kita selalu mencari kualitas yang sama, baik itu gereja besar, kecil, atau menengah. Kita mencari orang-orang yang setia, siap sedia, dan mau diajar. Tantangan yang lebih besar adalah menciptakan ruang di mana Anda dapat melakukan pekerjaan ini. Ada begitu banyak hal mendesak yang menarik perhatian kita, sehingga kita tidak punya waktu untuk benar-benar berinvestasi pada sumber daya manusia.

Saya dan istri saya selalu mengadakan pertemuan kelompok di ruang bawah tanah kami. Setiap tahun, kami memilih 12 hingga 18 orang. Kami menjadi tuan rumah bagi kelompok tersebut, menginvestasikan tiga jam setiap Minggu malam. Kami juga menghabiskan akhir pekan bersama. Itu sangat intensif. Namun Tuhan memberkati kami dengan banyak pemimpin dan pendeta yang muncul dari ruang bawah tanah tersebut selama bertahun-tahun.

Menurut saya ini lebih sulit di gereja besar, percaya atau tidak. Tuntutannya lebih besar bagi Anda untuk menjaga agar mesin tetap berjalan. Carilah Yesus dan bebaskanlah diri Anda dari segala belenggu yang menarik Anda untuk menjadi seorang fungsionaris, orang yang terprogram yang mengisi suatu peran. Pemuridan membutuhkan hal-hal mendasar yang penting dari inkarnasi dengan orang-orang.

Karakteristik setia, siap sedia, dan mau diajar bagi saya terdengar seperti jaring yang lebar. Namun bagaimana orang-orang bisa masuk ke ruang bawah tanah Anda? Bagaimana para pendeta dapat memilih siapa orang-orang yang kepadanya akan mereka investasikan diri?

Orang-orang yang dituntun untuk dikembangkan oleh Anda. Ada banyak gereja, pelayanan, dan para pemimpin hebat di kota kami. Ada orang-orang yang menawarkan lebih banyak daripada saya. Namun Tuhan menghadirkan orang-orang tertentu yang benar-benar ingin bersama saya. Itu selalu merupakan keajaiban, bukan? Akan tetapi saya menantikan hal itu.

Yesus memilih 12 orang dari tempat antah berantah yang tidak terlihat menarik. Namun mereka mau belajar dan pergi ke mana saja bersama Yesus. Orang-orang seperti ini lapar, bukan hanya mau diajar. Mereka sangat bersemangat.

Saya tidak mengejar karisma. Benar-benar tidak. Saya dapat menceritakan kepada Anda kisah demi kisah tentang “pemimpin karismatik” yang tidak berhasil karena banyak hal lain yang hilang, seperti kemampuan mengajar, kerendahan hati, atau keterbukaan. Namun ada banyak orang yang tidak pernah saya duga menjadi pemimpin yang signifikan, tetapi mereka berhasil melakukannya karena karakter mereka begitu luar biasa. Mereka memimpin karena karakter mereka lebih menonjol daripada bakat mereka.

Saya ingin berbicara tentang risiko dalam merekrut pemimpin, khususnya dalam konteks gereja yang lebih kecil. Kapan sebaiknya Anda tidak mempekerjakan atau tidak merekrut seorang pemimpin? Bagaimana Anda melangkah mundur dari kesalahan itu?

Begitu seseorang berada dalam suatu posisi, akan sangat sulit untuk mengeluarkannya dari posisi tersebut. Jika memungkinkan, Anda ingin melakukan uji coba atau masa percobaan. Anda ingin mengenal mereka terlebih dahulu, melakukan sebagian dari pekerjaan itu jika memungkinkan. Hal yang menyenangkan tentang gereja yang lebih kecil adalah bahwa ada lebih banyak kesempatan untuk itu.

Jangan hanya memberi jabatan kepada orang lain agar mereka melakukan sesuatu. Itu berbahaya. Anda sedang mengelola dan memberikan kekuasaan kepada orang-orang. Jadi, Anda perlu berhati-hati agar mereka memiliki kerendahan hati dan kemampuan mengajar untuk berada di posisi tersebut.

Namun jika Anda menempatkan seseorang pada posisi yang tidak tepat bagi mereka, Anda berhutang kepada mereka dan gereja untuk melakukan percakapan yang jujur, penuh hormat dan ramah. Melakukan tindakan “orang Kristen yang baik hati” bukanlah sikap yang penuh kasih. Carilah cara untuk mengeluarkan mereka dari posisi tersebut, karena itu adalah kesalahan Anda, bukan kesalahan mereka. Akan tetapi kalau identitas atau diri mereka yang palsu terikat dengan posisi tersebut, wah, itu sulit.

Bagian tersulit dalam kepemimpinan adalah risiko dan tantangan untuk memobilisasi orang ke posisi kekuasaan. Dan dalam beberapa cara, hal ini lebih sulit dilakukan di gereja kecil karena ketika seseorang keluar atau dipindahkan, hal itu akan bergema ke seluruh jemaat.

Seperempat anggota gereja mungkin ada hubungannya dengan mereka!

Tepat sekali! Jadi, Anda harus sangat berhati-hati. Ingatlah: Gereja adalah sebuah sistem keluarga. Anda, sebagai pemimpin utama, sedang berusaha mengembangkan sebuah sistem keluarga yang sehat. Anda harus selalu memikirkan hal itu. Anda ingin merilis orang-orang untuk melayani secara perlahan. Lebih baik tidak ada orang yang menempati suatu posisi saat ini daripada mengisinya dengan seseorang yang mungkin bukan orangnya Tuhan.

Dibutuhkan pemikiran; dibutuhkan doa. Dibutuhkan kerohanian yang perlahan-lahan. Tidak ada gereja yang cepat. Sebuah gereja yang telah berkembang menjadi beberapa ribu jemaat dalam setahun hanya mempunyai kerumunan; mereka tidak memiliki gereja. Membangun gereja adalah proses kelahiran yang lambat. Anda tidak bisa terburu-buru.

Dorongan untuk mengejar kecepatan berasal dari kedagingan Anda. Seringkali, hal itu berasal dari bayangan Anda. Ketika saya terburu-buru, saya tahu ada sesuatu yang salah di dalam diri saya, bahwa saya telah melangkah keluar dari persatuan yang penuh kasih dengan Yesus.

Sekarang saya memakai ujian kecil ini: Saya bertanya pada diri sendiri, apakah saya menjadi tenang di dalam Yesus? Jika saya menjadi terburu-buru, jika saya tergesa-gesa, jika saya memberikan pendapat secara cepat dan terlalu banyak bicara, maka saya tahu saya tidak tenang di dalam Yesus. Ketika Anda tidak tenang di tempat itu bersama Yesus, maka Anda akan membuat banyak kesalahan.

Anda akan mengalami banyak hal yang kita sebut “penderitaan yang kotor.” Kita akan selalu membuat kesalahan karena kita tidak sempurna. Namun ada penderitaan yang murni dan penderitaan yang kotor. Dengan penderitaan yang kotor, Anda terburu-buru; Anda menjadi tidak penuh pertimbangan; Anda tidak bijaksana, tidak meluangkan waktu sebagaimana mestinya.

Penderitaan murni adalah penderitaan yang datang bersama Injil. Atau mungkin ketika seseorang berhenti mendukung Anda atau seseorang yang Anda kembangkan pergi untuk memimpin di gereja lain. Dan itu bagus. Itu hanyalah penderitaan yang timbul karena mengikuti Kristus, khususnya sebagai seorang pemimpin.

Dorongan alkitabiah apa yang akan Anda tawarkan kepada para pendeta di masa ini?

1 Korintus 15:58; “Karena itu… berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia.”

Ada kalanya segala sesuatu di dalam diri Anda ingin berhenti. Anda berpikir, saya tidak bisa melanjutkan. Saya akan melakukan apa saja. Saya akan bekerja dengan upah minimum. Ada sesuatu yang dapat dikatakan tentang tetap setia pada waktu ketika Anda tidak bisa merasakan apa pun, saat di lembah, saat malam yang kelam bagi jiwa, ketika tidak banyak buah di pohon, seperti dalam Habakuk pasal 3.

Dorongan saya kepada para pendeta dan pemimpin adalah: Tetaplah bersama Yesus. Melayanilah sebagai seorang pemimpin. Akan ada penderitaan yang menyertainya. Namun saya berjanji kepada Anda bahwa Tuhan akan menolong Anda. Bertahanlah melewati masa-masa ketika Anda merasa semua yang ada dalam diri Anda ingin berhenti. Tetaplah bertahan dan dapatkan sumber daya sehingga Anda memiliki sesuatu untuk diberikan. Anda akan melihat ke belakang nanti dan berkata, “Saat-saat paling transformatif dalam hidup saya adalah ketika saya mengalami kegagalan, kemunduran, dan ketika saya berpikir bahwa segala sesuatunya berjalan mundur.” Tetaplah bersama Tuhan, karena Dia sedang mengerjakan sesuatu di dalam Anda dan melalui Anda.

Artikel ini adalah bagian dari CT Pastors edisi musim gugur. Anda dapat menemukan edisi selengkapnya di sini.

Diterjemahkan oleh Vika Rahelia.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, Instagram, atau Whatsapp.

Books

Carilah Tuhan, Hai Engkau yang Bersusah Hati dan Gelisah!

Penciptaan yang Allah lakukan sudah selesai, dosa kita membuahkan hasil, dan seorang gadis kecil penderita kanker mempunyai sebuah pertanyaan besar.

Christianity Today July 21, 2024
Photographs by Lewis Khan

Dalam perjalanan pulang dari dokter onkologi, saya dan anak saya, Clara, biasanya berkendara dalam diam sambil mendengarkan lagu Audrey Assad atau Sara Groves. Kadang-kadang, saya mengulurkan tangan saya dan memegang tangannya saat dia duduk di kursi penguatnya. Di tahun ia mengalami kanker, dalam kasih karunia Tuhan, kedua artis tersebut mengeluarkan album yang memberikan kesejukan pada hati kami yang penuh beban.

Pada suatu hari pertemuan yang panjang dengan dokter, kami berdua kelelahan. Clara mengalami kebotakan dan mual akibat kemoterapi. Saya kelelahan karena menjadi "gelandang" medis dan berusaha tetap bersikap optimis, tersenyum meyakinkan gadis kecil saya saat perawat memberikan obat.

Seiring kami berkendara di jalan raya, lagu Assad berjudul “Restless” diputar, bagian refrainnya mengulangi baris kalimat dari Confessions karya Agustinus.

Aku gelisah, aku gelisah Sampai aku beristirahat di dalam-Mu, sampai aku beristirahat di dalam-Mu Oh Tuhan, aku ingin beristirahat di dalam Engkau

Lalu saya mendengar suara pelan anak saya yang berusia enam tahun dari kursi belakang. “Ma?” “Ya?” Dia menarik napas dalam-dalam. “Apakah dosa jika merasa gelisah?”

Saya terdiam. Benarkah? Saya tidak tahu. Naluri keibuan saya muncul, dan saya menyadari bahwa dia perlu tahu bahwa tidak apa-apa merasakan badai di musim kehidupan kita.

“Tidak, sayang. Tuhan tahu bahwa terkadang itu sulit.” Dia menghela napas dan menatap ke luar jendela, bernyanyi pelan mengikuti irama lagu.

Sudah 11 tahun sejak hari itu, tetapi pertanyaan dia masih menghantui saya. Apakah dosa jika merasa gelisah?

Hati yang gelisah dapat menulahi situasi apa pun, bahkan situasi yang tidak se-ekstrem kanker di masa kanak-kanak. Keseimbangan emosional kita rapuh. Kita menjadi mudah sekali tergelincir ke dalam rasa frustrasi dan kegelisahan ketika mendengar jeritan anak kecil, mobil mogok, krisis pekerjaan, atau pertengkaran dengan orang yang kita kasihi.

Dalam Alkitab, kata 'istirahat' (shabbat; berhenti, istirahat), pertama kali muncul pada hari ketujuh dari penciptaan. Namun bukan hanya dalam kitab Kejadian saja kata ini muncul sebagai puncak dari kisah penciptaan. Mitologi dari bangsa-bangsa sekitar Israel (seperti Sumeria, Levant, Babel, dan Mesir) juga menggunakan kata 'istirahat' dengan cara yang sama.

Misalnya, mitos Babel Enuma Elish menggambarkan dewa Marduk membunuh dewa-dewa lain dan kemudian menciptakan bumi, langit, dan umat manusia dari sisa-sisa mereka. Setelah Marduk menyelesaikan ciptaannya, dewa-dewa lain memberitahunya, “Mari kita dirikan sebuah kuil sebagai dasar, di mana kita dapat beristirahat ketika kita menyelesaikan [pekerjaan].”

Saya tidak membandingkan mitos-mitos ini dengan kitab Kejadian untuk melemahkan inspirasi ilahinya; Saya percaya Alkitab adalah kebenaran. Namun kita dapat melihat konteks sastranya untuk mendapatkan pemahaman yang lebih kaya tentang apa maknanya ketika pertama kali dicatat. Gaya penulisan yang indah dalam Kejadian 1 ditulis menggunakan genre yang sekarang sudah tidak lagi digunakan dan rata-rata orang Timur Dekat zaman dahulu dapat memprosesnya secara teologis. Makna 'istirahat' dalam kisah-kisah ini seperti “Kesimpulan” di akhir makalah. Jika cerita tersebut menyatakan bahwa Allah sedang beristirahat, itu menandakan bahwa cerita tersebut akan berakhir. Telah ada resolusi.

Jadi apa maksudnya ketika Tuhan beristirahat dalam kitab Kejadian? Saya dulu membayangkan tidur siang yang panjang atau menghela napas seraya Tuhan menjatuhkan diri ke kursi malas. Pemahaman saya dulu sangat melenceng. Arti kata ini sebenarnya berarti—seperti yang dipahami oleh pembaca asli kitab ini—bahwa Allah berhenti mencipta dan memulai pemerintahan-Nya.

Dalam kisah penciptaan, istirahat paling baik dipahami sebagai penobatan. Ini seperti seorang raja yang duduk untuk memerintah negaranya atau seorang kapten Star Trek yang duduk di kursi komando sambil berkata, “Maju.” Dalam kisah-kisah penciptaan di Timur Dekat kuno, pekerjaan dihentikan agar sang dewa dapat menjalankan kekuasaannya sebagai raja.

Dalam literatur penciptaan, penobatan hanya terjadi setelah dunia mencapai homeostatis dan keteraturan yang sempurna. Kita memiliki konsep serupa ketika melakukan transisi yang signifikan. Misalnya, apa yang perlu dilakukan sebelum terjadi perubahan pekerjaan yang substansial? Apakah Anda perlu menata meja kerja Anda? Apakah keuangan Anda sudah teratur dan rencana perawatan kesehatan Anda sudah siap? Apakah Anda sudah menyelesaikan modul-modul pelatihan secara daring itu? Setelah tugas-tugas penting tersebut selesai, ketika Anda akhirnya duduk di meja kerja dan siap untuk mengambil peran baru serta menjalankannya—itulah arti istirahat di awal Kejadian 2.

Atau bagaimana setelah pindah rumah? Perjanjian jual beli atau sewa yang ditandatangani bukan berarti sudah waktunya untuk istirahat. Anda masih perlu membereskan perabotan, menemukan garpu yang sulit ditemukan, menyiapkan tempat tidur, mencari kotak berlabel “seprai,” dan sebagainya. Ketika semua hal tersebut sudah beres, ketika Anda dapat menghela napas dan mulai mengelola di rumah Anda—itulah istirahat.

Sekarang terapkan konsep itu kepada Allah dalam penciptaan. Dalam enam hari, Dia mengatur semuanya dengan tepat, dan semuanya berjalan dengan baik. Dia beristirahat. Ketika Allah beristirahat, manusia dapat percaya bahwa segalanya akan berjalan dengan baik dan Allah sedang memerintah. Tuhan ada di meja kerja-Nya; Dia sudah menata rumah-Nya.

Bagaimana Allah menyediakan homeostatis kosmis dan duniawi? Inilah pertanyaan yang ingin dijawab oleh literatur penciptaan. Untuk mempelajari tentang bagaimana dunia bekerja dan siapa dewa-dewa mereka, masyarakat Timur Dekat kuno memperhatikan hal-hal yang diperlukan agar istirahat (penobatan dan pemerintahan) dapat berlangsung.

Jika Anda telah membaca beberapa catatan kisah penciptaan ini, Anda akan melihat bahwa umat manusia pada umumnya mempunyai salah satu dari dua peran. Entah mereka mendapat kehormatan untuk melayani dan menyediakan kebutuhan rumah para dewa, atau mereka diberi tanggung jawab menjaga ketertiban (status quo) di antara manusia.

Namun, dalam kitab Kejadian, Allah menetapkan hubungan yang unik antara umat manusia dan diri-Nya sendiri. Pertama, kemanusiaan diberi nilai yang tinggi. Laki-laki dan perempuan diciptakan bersama, menurut gambar Allah (frasa yang biasanya digunakan untuk menyebut para dewa yang menciptakan dewa-dewa lain), dan dinyatakan “sangat baik.”

Tidak hanya itu saja, manusia juga diciptakan setelah semua yang mereka perlukan sudah tersedia. Mereka tiba di tempat dengan ekosistem yang sudah terbentuk sepenuhnya, berkembang, dan indah. Ibarat menyiapkan meja untuk para tamu, Tuhan menciptakan umat manusia setelah segala sesuatu yang diperlukan untuk kehidupan sudah tersedia.

Tuhan tidak mewajibkan umat manusia untuk menyediakannya bagi Dia. Bahkan, Dia sama sekali tidak membutuhkan apa pun dari kita. Istirahat-Nya terjadi pada hari ketujuh setelah Dia secara eksplisit dan aktif menciptakan segala sesuatu yang dibutuhkan manusia, sebuah kontras yang sangat mencolok dengan kisah-kisah lain di mana para dewa beristirahat ketika manusia ditugaskan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Kitab Kejadian membalikkan ekspektasi masyarakat Timur Dekat kuno tentang hubungan antara Allah dan manusia. Ketika mendengar tentang tatanan yang diciptakan dalam kitab Kejadian, mungkin saja hal ini mengejutkan bangsa-bangsa sekitar Israel, dan hal ini masih membuat saya takjub setelah empat tahun mempelajarinya.

Kutipan terkenal dari Agustinus, “Engkau telah menciptakan kami bagi diri-Mu sendiri, dan hati kami gelisah sebelum beristirahat di dalam Engkau,” memiliki dimensi baru sehubungan dengan hal ini. Bagi seorang Kristen, istirahat harusnya lebih dari sekadar mengakui Tuhan duduk di atas takhta-Nya. Peristirahatan ditemukan ketika kita menyelaraskan hati kita yang gelisah dengan pribadi Tuhan saat Dia memerintah.

Yesus menyinggung suatu pola pikir istirahat setiap hari saat Ia berbicara tentang bunga bakung dan burung sebagai contoh dari penilaian dan pemeliharaan Tuhan bagi umat manusia dalam Matius 6. Ia mengingatkan para murid-Nya untuk melihat keindahan bunga bakung dan mengarahkan perhatian mereka kepada burung. Jika Tuhan sangat peduli dengan ciptaan-Nya yang “baik,” betapa lebih lagi Dia akan peduli dengan ciptaan-Nya yang “sungguh amat baik”—manusia?

Namun satu kali kunjungan ke dokter dapat membuat kita berlutut (merasa kalah), dan bukan hanya dalam doa. Lalu bagaimana kita bisa memperoleh peristirahatan? Bagaimana dengan ketika umpan berita (feed) media sosial kita dipenuhi dengan berita penembakan di sekolah yang mengerikan, politik yang membuat kita gelisah, dan pelecehan yang meluas di gereja-gereja? Bagaimana kita dapat menikmati istirahat tersebut ketika atasan kita membuat tuntutan yang tidak masuk akal dan anak-anak kita kehilangan akal sehat karena roti lapis yang dipotong secara tidak benar?

Bagi saya pribadi, saya menemukan batas emosional dan spiritual saya di lorong rumah sakit pada suatu malam bersalju. Di tengah malam terburuk saya selama Clara dirawat di rumah sakit, sebuah kode panggilan terdengar dari sebuah ruangan di ujung lorong. Perawat dan dokter dengan senyap berlari ke kamar tersebut dan, dengan ketenangan profesional, menyelamatkan nyawa seorang anak. Saya berjalan menyusuri lorong sambil membawa kesedihan yang mendalam atas penderitaan yang menimpa anak-anak manis yang sedang berjuang melawan kanker.

Saya melihat ke luar jendela besar di ujung bangsal onkologi dan menyaksikan roda-roda bus berputar sia-sia di atas timbunan salju. Para penumpang keluar untuk mendorong bemper belakang sambil bus bergoyang-goyang, lalu tersentak saat ban melontarkan salju berlumpur ke wajah mereka. Upaya mereka tampak sia-sia.

Trauma beberapa bulan terakhir ini telah mengeraskan hati saya, tetapi rentetan kejadian itu membuat hati saya kembali mentah. Saya melampiaskan kemarahan kepada Tuhan Yang Maha Tahu. Dengan tangan terkepal, saya melontarkan tuduhan sambil menangis. Apakah Dia telah memberikan kebebasan pada sel-sel kanker untuk menghancurkan tubuh anak-anak di bangsal onkologi itu? Alih-alih melihat jejak sepatu Tuhan di atas tanah, saya hanya melihat manusia dengan sepatu ortopedi sambil membawa kantong infus berisi obat yang tidak sempurna. Saya merasa kami sendirian, dan saya putus asa.

Pada saat kemarahan itu, hati saya gelisah. Saya hampir saja menyatakan bahwa tujuan saya untuk anak saya lebih baik daripada tujuan Tuhan, saya meminta-Nya turun takhta. Saya pikir semua fakta menunjukkan bahwa Tuhan tidak memikirkan kepentingan terbaik bagi putri saya. Saya adalah Hawa di taman itu yang menatap pohon buah: Pemikiran saya mengenai benar dan salah adalah yang terbaik. Seandainya saya mampu, saya akan melampaui kehendak Tuhan dan mengambil tindakan sendiri. Namun sebaliknya, malam itu, sambil menyaksikan salju turun dan roda berputar-putar, saya membiarkan sel-sel yang rusak dalam tubuh seorang anak, yang merupakan bagian dari ciptaan yang mengerang, untuk memberi saya pelajaran teologis.

Dalam belas kasihan Tuhan, Ia menjumpai saya di lorong itu sebelum saya mengambil buah ketidakpercayaan. Sesungguhnya bukan informasi yang saya butuhkan; yang saya butuhkan adalah beristirahat dalam kedaulatan Allah. Saat salju menumpuk tinggi, Ia berdiri di samping saya serta memahami penderitaan dan kemarahan saya, bukan penilaian saya. Persekutuan-Nya dalam keputusasaan saya cukup mengejutkan hingga mengubah amarah saya menjadi kesedihan yang mendalam.

Pada malam yang gelap itu saya mendapati diri saya bersama Yeremia, para pemazmur, Hagar, Hana, dan perempuan Sunem. Saya dan mereka tidak dapat menyangkali teror dan kesalahan yang telah menyerang kehidupan kami. Kami diliputi kesedihan. Namun karena kami mengakuinya kepada Tuhan, kami bisa merasakan mukjizat penghiburan.

Perlahan-lahan, saya akhirnya mampu melonggarkan tangan yang terkepal dan bersandar pada lutut Tuhan yang bertakhta. Bersama-sama, kami berduka atas keluarga-keluarga di bangsal onkologi dan kedamaian yang hancur di rumah saya sendiri. Saya membuat keputusan yang menyakitkan untuk membiarkan Allah menjadi Allah.

Jika saya dapat kembali ke momen perjalanan di awal kisah dan berbicara dengan putri saya, yang sedang sakit di kursi penguatnya dan bertanya-tanya dalam hatinya yang lembut apakah kegelisahan adalah dosa, saya akan mengatakan kepadanya bahwa kesusahan hati berbeda dengan kegelisahan.

Perbedaan itu membantu saya, dan saya tahu itu akan membantunya juga. Hati yang gelisah melawan Allah, mengabaikan Allah, atau menyangkal Allah. Hati yang susah setuju dengan Allah bahwa dunia ciptaan-Nya telah hancur. Kefanaan yang kita kenakan (1Kor. 15:53) ingin mengambil buah kepercayaan pada diri sendiri, karena mengira bahwa hal itu akan membawa keteraturan. Berbeda dengan naluri kita, kegelisahan kita hanya akan mereda jika kita berserah—dan berharap pada—pemerintahan Allah.

Pada hari ketujuh, ketika Allah berhenti mencipta, duduk di atas takhta, dan memulai pemerintahan-Nya, Amsal mengatakan bahwa hikmat, yang dipersonifikasikan sebagai seorang wanita, merasa bersukacita (Ams. 8:22-31). Dia bersukacita bersama Adam dan Hawa atas ekosistem, binatang-binatang yang berkeliaran, laut yang bergelora, dan tanah yang siap untuk ditanami.

Hari ketujuh dari penciptaan adalah satu-satunya hari yang tidak berakhir dalam catatan Alkitab. Enam hari pertama terdiri dari pagi dan petang, tetapi hari ketujuh tidak berakhir seperti itu. Kita tetap berada di dunia yang dibangun oleh Tuhan dengan bumi mengelilingi matahari dan bintang-bintang mengarahkan navigasi.

Hikmat mengatakan:

Aku ada serta-Nya sebagai anak kesayangan, setiap hari aku menjadi kesenangan-Nya, dan senantiasa bermain-main di hadapan-Nya; aku bermain-main di atas muka bumi-Nya dan anak-anak manusia menjadi kesenanganku. (ay. 30–31)

Dalam Amsal 8, Hikmat menggambarkan nikmatnya hidup selaras dengan tatanan ciptaan Tuhan, yaitu bertindak dengan hikmat. Namun (mungkin ini mengacu pada Adam dan Hawa) mengabaikan hikmat berarti mencintai maut. Cukup sederhana? Andai saja kita bisa dengan mudah menanggung masalah dengan hati yang penuh kepercayaan!

Nenek saya adalah seorang wanita yang dicirikan dengan kegembiraan, sukacita, dan kerendahan hati di masa tuanya. Dia tertawa geli melihat tingkah polah cicit-cicitnya dan tidak mengingat-ingat kesalahan mereka. Salah satu hiburan favoritnya adalah melihat keluar jendela dan mengamati tupai dan burung di halaman rumahnya. Jika Anda memberinya kesempatan, dia akan menghibur Anda dengan cerita-cerita di halaman belakang rumah, dan selalu menutup ceritanya dengan memuji indahnya ciptaan Tuhan.

Jika melihat dia, Anda akan mengira dia menjalani kehidupan yang penuh pesona. Padahal tidak demikian. Tragedi adalah teman dekatnya. Sepupu saya pernah bertanya kepadanya bagaimana dia bisa tetap memiliki semangat yang manis, sedangkan begitu banyak teman-temannya tidak sebahagia itu. “Satu hari demi suatu waktu. Satu hari demi suatu waktu (menyelesaikan tantangan satu per satu, hari demi hari),” adalah jawabannya.

Orang Kristen memperingati istirahat pada hari Minggu sebagai cara untuk menghormati pemerintahan Allah—bukan untuk meniru istirahat-Nya—melainkan hal ini dimaksudkan untuk menjadi sikap kita sehari-hari. Hari ketujuh terus berlanjut—rumah sudah siap, pekerjaan aktif, dunia berjalan, dan Allah memerintah. Enam hari pertama dari penciptaan meyakinkan kita bahwa Tuhan akan menyediakan. Istirahat akan menghindar dari kita ketika kita memperkuat keamanan kita dengan menimbun sepatu, gawai, dan uang tunai.

Memang tidak akan pernah menjadi hal yang natural untuk menjauh dari keinginan untuk memegang kendali. Kita tergoda untuk bertindak seolah-olah semua hal yang terjadi di luar tanggung jawab kita adalah hal yang harus kita khawatirkan. Ketika tagihan menumpuk, naluri pertama kita jarang sekali mengingat kebergantungan kita pada kasih karunia Allah dan tunduk pada pemerintahan Allah. Kesusahan hati bisa menjadi kegelisahan jika kita tidak dengan bijak mempraktikkan penyerahan diri setiap hari, dengan doa dan tindakan yang meletakkan desakan kehendak kita demi mendapatkan jalan keluar sesuai waktu kita.

Istirahat yang alkitabiah memungkinkan kesusahan hati mendorong kita demi kerajaan Allah, bahkan ketika genggaman tangan kita goyah dan air mata kita meluap.

Karena apa yang terjadi setelah penciptaan dalam kitab Kejadian, kita hidup di hari ketujuh yang berkabut dan penuh dengan orang-orang yang memaksakan kehendaknya sendiri. Namun kita tidak terlempar kembali ke dalam kekacauan di hari pertama karena dosa kita. Tatanan Allah tetap ada, meskipun hubungan kita telah rusak dan hidup kita kini dipenuhi rasa sakit dan frustrasi (Kej. 3:16, 18-19).

Saya berharap saya bisa mengatakan kepada Clara apa yang saya katakan pada diri saya sendiri sekarang: Perhatikan burung-burung yang melintasi kita, dan ingatlah bahwa Allah peduli. Dengan menyelesaikan tantangan satu per satu, hari demi hari, peristirahatan akan dapat ditemukan di dalam Hikmat—dengan mengenal Tuhan Sang Pencipta, Tuhan yang menciptakan dunia yang indah dan menempatkan kita di dalamnya, yang senang menjalin relasi dengan kita. Jaminan ini, wahai Saudara yang terkasih, adalah cara kita untuk dapat menjaga hati kita yang sedang susah agar tetap lembut ketika kesulitan dan kesukaran datang tanpa terelakkan.

Ini bukan Eden, tetapi ini masih hari ketujuh yang berkabut. Jiwa kita dapat beristirahat dengan tenang pada Allah yang bijaksana, murah hati, dan berkuasa, yang duduk di atas takhta dan menanggung kesulitan bersama-Nya.

Rachel Booth Smith menulis, mengajar, dan memproduksi alat belajar. Ia tinggal bersama keluarganya di Minnesota dan menyelesaikan gelar Master of Divinity di Pillar Seminary.

Diterjemahkan oleh Denny Pranolo.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, Instagram, atau Whatsapp.

AI Mungkin Bisa Mengajar, Tetapi Tidak Bisa Berkhotbah

Tidak, anak cucu kita di masa depan tidak akan diinjili oleh robot.

Christianity Today July 3, 2024
Illustration by Mallory Rentsch / Source Images: Alex Workman / Lightstock

Bagian ini diadaptasi dari buletin Russell Moore. Berlangganan di sini.

ChatGPT, bot percakapan untuk pengumpulan dan penulisan informasi dengan kecerdasan buatan (AI) yang sangat akurat yang diluncurkan pada bulan November 2022 lalu, membuat banyak orang khawatir.

Para pengajar bertanya-tanya bagaimana esai di sekolah menengah atau perguruan tinggi akan bisa dibuat dengan murni lagi ketika setiap siswa dapat menghasilkan, dalam hitungan menit, sebuah makalah yang lengkap, orisinal, dan memiliki catatan kaki. Sebagian orang bertanya apakah AI saat ini atau di masa depan dapat melakukan tinjauan kinerja untuk karyawan. Lalu sebagian lagi mulai merenungkan apakah teknologi pintar ini dapat digunakan di tempat lain: di mimbar gereja kita.

Jurnalis Matt Labash, dengan kata-kata kasar gaya “neo-Luddite” yang menyenangkan dalam buletinnya, mencatat bahwa rabi New York, Josh Franklin, menyuruh bot percakapan tersebut untuk menulis sebuah khotbah utuh untuknya. Awalnya ia tidak memberi tahu jemaatnya bahwa bukan dia yang menulis khotbah itu. Namun kemudian akhirnya ia memberi tahu mereka.

Ketika dia meminta mereka menebak siapa yang menulisnya, mereka menyebutkan mendiang rabi Jonathan Sacks—mungkin pengkhotbah Yahudi paling terkenal dalam 20 tahun terakhir. Bayangkan reaksi jemaat sinagoga itu ketika mereka diberi tahu bahwa khotbah yang sangat mereka sukai itu ternyata disusun tanpa kontribusi manusia sama sekali.

Apakah itu masa depan khotbah Kristen? Anda mungkin menjawab, “Tentu saja tidak.” Mungkin Anda tidak percaya hal seperti itu bisa terjadi. Namun bayangkan jika Anda mencoba menjelaskan tentang Google atau aplikasi Alkitab di ponsel pintar kepada seseorang 30 tahun yang lalu. Bagaimana jika AI yang dapat diakses di mana saja dapat menulis khotbah yang benar-benar ortodoks, berlandaskan Alkitab, dan memberikan argumentasi yang menarik bagi para pendeta setiap minggunya?

Garrison Keillor menceritakan sebuah kisah tentang seorang pria yang ditanya oleh pendetanya mengenai apakah dia percaya pada baptisan bayi. Pria itu menjawab, “Percaya? … Saya sudah melihat hal itu dilakukan!” Jika kita bertanya apakah kecerdasan buatan dapat mengetahui Alkitab, meneliti tema dan latar belakang, serta menulis penerapan-penerapan hidup dan kewajiban-kewajiban untuk bertindak—ya, kita sudah melihatnya.

Namun pertanyaan yang sesungguhnya bukanlah tentang kemungkinan teknologi. Bukan pula tentang etika kepemimpinan gereja. Pertanyaannya adalah tentang apa sebenarnya khotbah itu.

Ketika saya pertama kali memberi tahu pendeta saya bahwa saya pikir Tuhan mungkin memanggil saya untuk melayani penuh waktu—pada usia 12 tahun atau lebih—dia mengatakan kepada saya bahwa saya akan berkhotbah dalam tiga minggu lagi pada hari Minggu malam. Saya berkata, “Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa Dia memanggil saya sekarang; maksud saya, ketika saya dewasa nanti.” Dia menjawab, “Baiklah, saya akan memanggilmu sekarang, dan saya akan mengajarimu apa yang harus kamu lakukan.” Dan dia melakukannya. Dia memberi saya sebuah buku yang berisi “panduan khotbah bagi pemula,” garis besar teks-teks Alkitab, dan penerapan-penerapan yang memungkinkan. Dia memberikan beberapa tips untuk menyampaikan dan menafsirkan teks.

Ketika Minggu malam itu tiba, saya pergi ke kamar mandi kecil di samping tempat pembaptisan di gereja Baptis kami lalu muntah sebelum dan sesudah berkhotbah. Khotbah itu sangat buruk—dan saya senang khotbah itu tidak direkam.

Saya tidak akan merekomendasikan untuk menangani situasi seperti itu, tetapi ada sesuatu yang indah di dalamnya. Pendeta saya tahu bahwa saya akan memperhatikan dengan cermat jemaat yang terdiri dari orang-orang yang saya kasihi dan mengasihi saya—yang mengajar saya di Sekolah Minggu dan kelas Training Union serta Sekolah Alkitab Liburan dan Bible sword drill. Dia tahu bahwa saya akan melihat wajah-wajah mereka yang akrab itu memandang saya dengan berseri-seri, meyakinkan bahwa mereka tetap ada bersama saya, tidak peduli betapa saya terbata-bata atau kehilangan arah.

Dia tahu bahwa setelah itu mereka akan menyemangati dan mendoakan saya, tidak peduli seberapa buruk khotbah yang saya sampaikan. Dan dia pun tahu bahwa kehadiran pria kecil ini di mimbar akan mengingatkan jemaat bahwa Injil terus berkembang di masa depan—bahwa Allah masih “mengirimkan terang” dan memanggil mereka yang terpanggil.

Pada saat itu, sesuatu terjadi pada saya—melampaui konten di halaman naskah khotbah saya atau cara saya mengucapkan kata-kata. Bahkan, saya tidak yakin apakah saya bisa mendeskripsikan apa sebenarnya “sesuatu” itu.

Selama bertahun-tahun, ketika mengajar kelas seminari atau melayani kelompok pendeta, saya mendapati bahwa masalah utama sebagian besar murid saya bukanlah kurangnya kompetensi dalam memahami kebenaran Alkitab atau berbicara di depan orang banyak.

Saya tahu ada beberapa pengkhotbah saat ini dan calon pengkhotbah yang tidak menganggap Alkitab atau pelayanan khotbah dengan serius. (Mengetahui hal itu? Saya pernah melihatnya!) Namun hal itu jarang terjadi pada hampir semua orang yang pernah saya ajar. Sebaliknya, bagi sebagian orang, kecenderungannya adalah membandingkan berbagai tafsiran dan kemudian membuat diagram teks menjadi poin-poin, subpoin, dan sub-subpoin.

Apa yang akhirnya mulai dilihat oleh banyak murid itu adalah bahwa momen khotbah lebih dari sekadar penggabungan dari bagian-bagiannya. Dan dalam kasus terbaik, audiens kita juga harus menyaksikan hal yang sama. Ya, berkhotbah membutuhkan seseorang yang mengetahui teks dan dapat menyampaikannya kepada jemaat—tetapi hal ini bukan hanya sekadar menyampaikan informasi.

Pengkhotbah sedang menyampaikan kabar baik. Hal ini berlaku bahkan ketika khotbah tersebut berbicara tentang penghakiman Allah. Setelah Yohanes Pembaptis memberi tahu para pendengarnya bahwa mereka adalah ular beludak yang harus melarikan diri dari murka yang akan datang, debu jerami yang akan segera dibakar dalam api yang tidak terpadamkan, Lukas menulis, “Dengan banyak nasihat lain Yohanes memberitakan Injil kepada orang banyak” (3:18).

Saat Anda mendengar khotbah, Anda tidak sedang mendengarkan pidato motivasi atau bahkan seminar alkitabiah, teologis, atau etika. Sebuah program AI kemungkinan besar akan mampu melakukan semua itu—bahkan mungkin dengan perhatian khusus diberikan pada tradisi doktrinal, afiliasi denominasi, dan terjemahan Alkitab pilihan.

Oleh karena ChatGPT dapat mereplikasi tulisan Ernest Hemingway atau William Shakespeare berdasarkan perintah, tidak ada alasan mengapa ChatGPT tidak dapat mengikuti instruksi untuk menulis khotbah dengan gaya, misalnya, Charles Spurgeon, John Piper, atau Joel Osteen.

Kepada gereja di Korintus, rasul Paulus menulis tentang dirinya dan orang-orang yang bersamanya seperti ini: “Jadi kami ini adalah utusan-utusan (duta besar) Kristus, seakan-akan Allah menasihati kamu dengan perantaraan kami; dalam nama Kristus kami meminta kepadamu: Berilah dirimu didamaikan dengan Allah” (2Kor. 5:20). Ketika kita mendengarkan firman yang diberitakan, kita tidak hanya mendengar satu kata tentang Tuhan tetapi satu kata dari Tuhan.

Bisakah duta besar mengacaukan komunikasi dari kedutaan? Tentu. Bisakah seorang diplomat yang tidak bermoral menulis ulang transmisi tersebut? Hal ini sering terjadi. Itulah sebabnya mengapa jemaat memerlukan landasan alkitabiah dan hikmat Roh Kudus untuk mempertimbangkan pesan yang disampaikan.

Bobot pemberitaan Firman tidaklah sama dengan mengumpulkan data dan menyajikannya. Dan yang terbaik, kita sebagai audiens mendengarkan dari sesama orang berdosa yang telah ditebus—orang yang telah bergumul dengan teks tersebut. Saat kita mendengarkan, kita tidak seperti peneliti yang sedang mencari informasi, melainkan seperti orang tua dari seorang prajurit yang hilang dalam tugas, yang sedang menunggu petugas di depan pintu untuk memberi kabar tentang anak kita.

Bahkan, kepentingannya lebih signifikan lagi—Kabar Baik itu malah lebih menggembirakan.

Pesan tersebut—baik “Anak Anda ditemukan hidup” atau “Anak Anda hilang”—dapat benar-benar menjungkirbalikkan kehidupan orang tua. Kata-kata dalam pesan tersebut sangat penting. Namun intinya di sini adalah bahwa jenis pesan seperti ini tidak boleh disampaikan melalui teks atau email. Berita yang mengubahkan hidup seperti itu perlu disampaikan oleh manusia, secara langsung.

Bot percakapan dapat melakukan penelitian. Bot percakapan bisa menulis. Mungkin bot percakapan bahkan bisa berpidato. Namun bot percakapan tidak bisa berkhotbah.

Russell Moore adalah pemimpin redaksi Christianity Today dan memimpin Proyek Teologi Publik.

Diterjemahkan oleh Timothy Daun.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Menjadi Pendeta Berarti Mengenal Pengkhianatan

Meneladani Yesus dalam sebuah panggilan berupa salib.

Christianity Today June 27, 2024
Edits by Christianity Today. Sources: Getty / Ilbusca / Max Dannenbaum / Stringer / Wikimedia Commons

Pada awal pelayanan saya, seorang imam senior memberi tahu saya bahwa, ada satu masa dalam pelayanannya, dia sempat berhenti sejenak dari gereja. Saya pikir ini aneh bagi seorang imam—bahkan mungkin keliru. Dia tidak memberikan pembelaan dirinya di hadapan saya. Dia hanya menjelaskan bahwa dia dan keluarganya telah sangat tersakiti oleh pelayanan jemaat gereja sehingga mereka memerlukan waktu untuk pulih sebelum mereka dapat melanjutkan pelayanan publik dengan itikad yang baik.

Apa yang menurut saya aneh pada tahun-tahun awal pelayanan saya, sekarang tampaknya tidak mengherankan lagi. Ketika saya menghitung para pendeta yang saya amati dengan cermat selama satu dekade terakhir—dari berbagai denominasi dan generasi—sebagian besar dari mereka pernah mengalami penderitaan yang sangat memilukan di tangan orang-orang di gereja mereka.

Pelayanan memang tidak pernah mudah, tetapi selalu bersifat pribadi. Kita yang melayani dan memimpin gereja berada di garis depan dalam menghadapi kehancuran manusia—dan sering kali kita memiliki bekas luka sebagai buktinya.

Panggilan untuk menjadi pendeta adalah panggilan untuk mengasihi. Dalam pelayanan, kita memberi lebih dari sekadar serangkaian keterampilan atau teknik—kita memberikan diri kita sendiri. Para pendeta mengalami rasa pengkhianatan yang mendalam ketika orang-orang yang kita kasihi malah menyerang, meremehkan, atau berbalik melawan kita. Rasa sakit akibat pengkhianatan tampaknya merupakan bagian yang tidak dapat diubah dalam panggilan pastoral.

Seni Kerentanan

Derita yang disebabkan oleh pengkhianatan adalah salah satu alasan mengapa para pendeta, meskipun terus-menerus terlibat dengan orang lain, bisa merasa sangat kesepian. Ini adalah pekerjaan yang mengharuskan Anda menjadi rentan berulang kali, tanpa jaminan keamanan, umur panjang, atau keselamatan dalam hubungan. Tingkat risiko relasional bisa terasa sangat tinggi. Oleh karena itu para pendeta—dan keluarga mereka—seringkali menanggung luka relasi mereka sendirian, tanpa banyak orang yang bisa mereka percaya untuk berbagi dengan aman. Tanpa dukungan yang memadai dari teman-teman dan mentor-mentor yang dapat dipercaya, luka pelayanan ini dapat semakin membusuk dan pada akhirnya melahap kita.

Namun ada kabar baiknya: Menghindari kerentanan—dan risiko-risiko yang melekat di dalamnya—bukanlah tujuannya.

Mungkin kita tergoda untuk mengisolasi diri dari rasa sakit akibat penolakan atau pengkhianatan dengan belajar untuk tidak terlalu peduli. Kita bekerja, menyampaikan khotbah, menerima gaji, dan menjaga ekspektasi kita tetap rendah. Kelumpuhan emosi seperti ini mungkin terasa lebih aman, tetapi hal ini merampas harapan kita dan menjadi cara mematangkan sikap apatis dan kelesuan dalam pelayanan.

Dalam pelayanan saya sendiri, godaan ini paling sering saya rasakan dalam relasi dengan sesama pemimpin di gereja. Mungkin saya membawa ekspektasi yang tidak realistis terhadap pendeta-pendeta lain. Mungkin semakin banyaknya jumlah skandal pelecehan dan upaya menutup-nutupinya, serta kenyataan buruk perang denominasi telah mengurangi kepercayaan saya terhadap integritas para pemimpin gereja. Saya telah menyerahkan hidup saya pada gereja; meninggalkannya bukanlah sebuah pilihan. Namun terkadang, saya menyadari dalam diri saya ada kecenderungan untuk bersikap acuh tak acuh dan sinisme yang lebih menyerupai perlindungan diri daripada hal lainnya.

Dalam sebuah gereja yang penuh dengan gembala dan domba yang hancur hati, sikap melindungi diri sangat dapat dimengerti. Namun hal ini sangat tidak serupa Kristus.

Yesus, Gembala yang sempurna, tidak menutup diri dari kerentanan. Sebaliknya, Ia membiarkan diri-Nya dikecewakan dan bahkan disakiti oleh para murid-Nya. Ketika mereka tertidur di saat yang paling Ia butuhkan, Ia bertanya kepada mereka, “Tidakkah kamu sanggup berjaga-jaga satu jam dengan Aku?” (Mat. 26:40). Lalu Ia membasuh kaki orang yang akan mengkhianati-Nya.

Yesus tahu bagaimana rasa-Nya ditinggalkan oleh umat-Nya—bahkan oleh sesama rekan pemimpin. Ia juga tahu bagaimana rasanya mati bagi mereka: “Sama seperti Ia senantiasa mengasihi murid-murid-Nya, demikianlah sekarang Ia mengasihi mereka sampai kepada kesudahannya” (Yoh. 13:1).

Dalam kegelapan Getsemani, di malam menjelang penyaliban-Nya, Yesus mencontohkan keteguhan hati yang tidak bisa disamakan dengan ketabahan. Dia tetap setia pada panggilan-Nya, meskipun para murid-Nya tidak mendukung Dia, tetapi Ia juga dengan jujur mengakui penderitaan-Nya di hadapan Bapa dan menerima pelayanan malaikat untuk menguatkan Dia (Luk. 22:43). Pemahaman ini mengajak kita untuk merengkuh semacam kekuatan yang tidak takut terhadap kritik atau pengucilan dari orang lain, tetapi juga tidak menyerah ke dalam ketidakpedulian. Ini adalah jenis kekuatan yang menguatkan kita untuk menyerahkan hidup kita.

Pelayanan personal kita tidak akan pernah sebanding dengan pelayanan Yesus. Ia adalah Gembala yang Baik; kita adalah penerima pertama dan terutama dari anugerah dan penyelamatan-Nya. Namun sebagai orang-orang yang telah Ia panggil untuk melayani sebagai gembala-gembala di bawah naungan-Nya bagi kawanan domba-Nya (1Ptr. 5:2), kita dapat dan seharusnya mengharapkan pelayanan kita menjadi pelayanan berupa salib.

Persekutuan dalam Penderitaan-Nya

Ketika kita merasa dikhianati oleh jemaat kita, mudah bagi kita untuk bertanya, “Di mana kesalahan saya?” Akan tetapi pengalaman-pengalaman yang menyakitkan ini bukanlah tanda kegagalan dalam pelayanan. Semua itu adalah aspek dari partisipasi kita di dalam Kristus. Turut serta dalam pelayanan Kristus berarti berbagi dalam penderitaan-Nya. Ketika kita merengkuh pelayanan pengorbanan diri yang mahal ini, berusaha untuk dengan setia mengasihi umat Tuhan yang tidak setia, kita secara unik menghidupi panggilan kita sebagai pendeta. Kita telah ditunjuk untuk menggembalakan dan merawat umat-Nya meskipun mereka mungkin telah menyakiti kita.

Panggilan ini adalah panggilan yang berbentuk salib, tetapi juga bersifat formatif. Dalam dunia yang menjunjung tinggi selebritas dan menyamakan kesuksesan dengan popularitas, pengalaman kita akan keterasingan dan pengkhianatan mengingatkan bahwa kita sedang meneladani Tuhan yang tersalib. Kita dapat berharap—dan bahkan berupaya, bila perlu—akan rekonsiliasi untuk hubungan yang rusak, karena Tuhan kita juga adalah Allah kebangkitan. Persekutuan yang dipulihkan adalah masa depan kita di dalam Dia. Namun ketika rekonsiliasi tetap tidak mungkin terjadi di sisi dunia ini, kita masih bisa menemukan makna dalam penderitaan yang kita alami. Meski hanya mendapatkan bagian yang kecil saja dalam pelayanan-Nya, kita sudah dianggap layak menderita penghinaan oleh karena nama-Nya (Kis. 5:41). Rasa sakit hati karena pengkhianatan mengundang kita untuk bersatu lebih dalam dengan Yesus, mengubah keterasingan menjadi keintiman.

Dalam tradisi Anglikan saya, ketika para imam ditahbiskan, mereka dipersilakan untuk berbaring telungkup dengan tangan terentang membentuk rupa salib. Perwujudan liturgi dari sumpah ikrar kami ini mengingatkan bahwa pelayanan keimaman, dalam banyak hal, adalah pelayanan kematian—kehidupan yang dicurahkan sebagai persembahan kepada Tuhan atas nama umat-Nya (Fil. 2:17). Selama masa-masa yang sangat menyakitkan dalam pelayanannya, seorang teman saya yang juga seorang imam, mengambil sikap ini lagi dalam sebuah momen doa dan meratap secara pribadi. Saat dia meletakkan pipinya di lantai kapel doanya, dia merasakan Yesus berbaring di sampingnya, dengan tangan terentang, ujung jari-Nya menyentuh ujung jari teman saya. Di sanalah, di lantai, dalam kerendahan hati saat bersujud, dia membayangkan Yesus berkata, “Jangan khawatir. Aku selalu melakukan ini.”

Dalam jalan pelayanan yang menyakitkan dan terkadang membingungkan, Yesus adalah Pemandu kita. Dia telah menunjukkan kepada kita seperti apa kasih yang berupa salib itu. Dia masih dengan setia mengasihi mempelai-Nya yang berkhianat. Dan Dia akan menopang kita seiring kita berusaha untuk melakukan hal yang sama.

Hannah King adalah seorang imam dan penulis di Gereja Anglikan Amerika Utara. Dia melayani sebagai pendeta pendamping di Village Church di Greenville, Carolina Selatan.

Diterjemahkan oleh: Vika Rahelia

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, Instagram, atau Whatsapp.

Salah Menafsirkan Kitab Suci karena Kecerdasan Buatan

Saya meminta ChatGPT untuk menafsirkan Khotbah di Bukit. Inilah yang saya pelajari tentang kesalahan penafsiran AI.

Christianity Today June 26, 2024
Ilustrasi oleh Mallory Rentsch / Sumber Gambar: Getty / Unsplash

Tulisan ini diadaptasi dari artikel yang pertama kali diterbitkan di Biblical Mind.

Dalam beberapa bulan terakhir, sulit untuk menghindari diskusi tentang kecerdasan buatan atau, lebih khusus lagi, ChatGPT dan sejumlah bot percakapan lain yang dikembangkan oleh perusahaan teknologi. Berdasarkan popularitas topik ini (dan sering kali bernada meremehkan) di kalangan pendidikan tinggi dan berita teknologi, saya memutuskan bahwa saya perlu melihat apa yang akan dikatakan ChatGPT tentang Alkitab.

Secara khusus, saya ingin mendalami bagaimana ChatGPT menafsirkan Khotbah di Bukit. Saya melakukan ini demi para mahasiswa yang saya bimbing—terutama karena kelompok kami yakin bahwa khotbah ini dimaksudkan untuk diikuti dan kami berkomitmen untuk menghidupinya dalam kehidupan kami sehari-hari.

Dalam percakapan saya dengan bot tersebut, saya dikejutkan oleh fakta bahwa ChatGPT menjadi cermin bagi gereja-gereja di Amerika Utara, serta komunitas ilmiah Barat yang lebih luas, dengan membagikan tiga kekurangan utama kepada kita yang telah dibentuk oleh semangat zaman ini:

Pertama, ChatGPT melakukan metafora dan mengindividualisasikan Kitab Suci tanpa metode yang jelas mengenai kapan dan mengapa, tanpa dasar, dan sering kali bertentangan langsung dengan teks itu sendiri. Kedua, penafsiran bot itu tidak mempedulikan tradisi penafsiran yang ada sebelumnya. Ketiga, karena bot tidak berwujud, maka penafsirannya juga tidak berwujud—dan dengan demikian bot tidak dapat mengenali realitas Alkitab dan penafsirannya. Setiap kecenderungan di atas yang ada dalam respons AI, dalam beberapa hal merupakan cerminan dari kelemahan historis dalam penafsiran manusia.

Ketika saya bertanya kepada ChatGPT, “Bagaimana seharusnya kita menafsirkan Khotbah di Bukit?” bot percakapan tersebut memberikan definisi yang diharapkan, termasuk “Banyak orang menafsirkan Khotbah di Bukit sebagai cetak biru tentang bagaimana menjalani kehidupan yang baik dan bermakna serta sebagai panduan bagaimana memperlakukan orang lain.” Bot itu mengakhiri tanggapannya dengan kalimat “Pada akhirnya, bagaimana Khotbah di Bukit diinterpretasikan akan bergantung pada keyakinan dan nilai-nilai pribadi seseorang.”

Ketika saya bertanya, “Bagaimana Anda menafsirkannya?” ChatGPT menjawab, “Sebagai model bahasa besar yang dilatih oleh OpenAI, saya tidak memiliki keyakinan atau nilai pribadi, jadi saya tidak dapat memberikan interpretasi saya sendiri terhadap Khotbah di Bukit. Saya dirancang untuk memberikan informasi umum dan menjawab pertanyaan dengan sebaik mungkin, berdasarkan informasi dan pengetahuan yang telah saya dapatkan. Saya tidak mampu memberikan pendapat atau penafsiran pribadi.”

Namun ketika ditanyakan pertanyaan yang tepat, ChatGPT memang akan menafsirkan Khotbah di Bukit, baik dengan memberikan atau menawarkan beberapa interpretasi tertentu maupun memberikan penilaian terhadap beberapa interpretasi, meskipun tidak menjelaskan metodenya.

Misalnya, ketika ditanya tentang ajaran Yesus dalam Matius 5:29–30 (“Maka jika matamu yang kanan menyesatkan engkau,…”), ChatGPT menjawab, “Penting untuk dicatat bahwa bagian ini tidak boleh dipahami secara harfiah. Yesus menggunakan bahasa kiasan untuk menjelaskan betapa seriusnya dosa dan betapa penting untuk menghindarinya. Ia tidak secara harfiah memerintahkan para pengikut-Nya agar memutilasi tubuh mereka untuk menghindari dosa.” Bukan berarti saya tidak setuju dengan pernyataan ini, namun saya terkejut dengan ketegasan dan kepastian yang diungkapkannya, padahal hanya dua pertanyaan sebelumnya ChatGPT menjawab bahwa ia tidak mampu menafsirkan khotbah tersebut.

Semakin saya mengeksplorasi ajaran tertentu dengan ChatGPT, semakin terlihat bahwa ia cenderung menafsirkan ajaran Yesus secara metaforis. Jadi, saya akhirnya menanyakan apakah mungkin ada ajaran tertentu dalam bagian ini yang harus dipahami secara harfiah. Inilah tanggapan ChatGPT:

Sulit untuk mengatakan dengan pasti di bagian mana dalam Khotbah di Bukit Yesus berbicara secara harfiah, karena penggunaan bahasa kiasan dalam Alkitab sangat kompleks dan sering diperdebatkan. Khotbah di Bukit … memuat banyak contoh bahasa kiasan. Secara umum, Alkitab sering menggunakan bahasa kiasan untuk mengilustrasikan suatu konsep atau menyampaikan suatu maksud, dan tidak selalu jelas apakah suatu bagian tertentu dimaksudkan untuk dipahami secara harfiah atau kiasan.

Salah satu contoh yang mungkin … di mana Yesus berbicara secara harfiah adalah Matius 5:38–39, di mana Dia berkata: “Kamu telah mendengar firman: Mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu.” Dalam ayat ini, Yesus mengutip sebuah pepatah terkenal, “mata ganti mata dan gigi ganti gigi,” dan Dia kemudian menawarkan ajaran-Nya sendiri tentang cara menanggapi kekerasan dan agresi.

Yesus tidak menggunakan bahasa kiasan, melainkan memberikan instruksi yang jelas dan lugas tentang bagaimana para pengikut-Nya harus merespons situasi seperti itu. Namun, penting untuk dicatat bahwa ini hanyalah salah satu penafsiran yang mungkin dari ayat ini, dan mungkin ada cara lain untuk memahaminya.

Akan tetapi ketika saya terus menekannya tentang ajaran-ajaran spesifik ini, ChatGPT malah mengklaim bahwa siapa pun yang memahami ajaran Yesus tentang nir-kekerasan secara harfiah adalah “pollyannish” (optimis secara berlebihan dan cenderung melihat yang baik dalam segala hal). Ketika saya mempertanyakan klaim tersebut, ChatGPT pun menarik diri dan meminta maaf. Namun ia tetap mempertahankan kehati-hatiannya untuk tidak mengartikan ajaran ini dan ajaran-ajaran lain dalam Khotbah di Bukit secara harfiah. (Dua contoh tambahan dari hal ini adalah bahwa Matius 5:32 tidak melarang perceraian namun hanya menghargai pernikahan dan bahwa Matius 5:22 sebenarnya bukan tentang seseorang yang berada dalam bahaya neraka, melainkan lebih menekankan betapa seriusnya kemarahan.)

Ketika saya mempertanyakan proses ChatGPT sehingga mencapai penafsiran ini, ia mengatakan bahwa pemahamannya terhadap Alkitab berasal dari pelatihan berdasarkan “sejumlah besar teks,” termasuk terjemahan Alkitab dan literatur tentang Alkitab, meskipun ChatGPT sendiri tidak dapat menjelaskan teks-teks apa yang digunakannya. (ChatGPT bisa dan memang merujuk pada terjemahan tertentu, tetapi tidak dapat memastikan apakah terjemahan tersebut digunakan dalam pelatihannya.) Ia juga menyatakan bahwa klaimnya didasarkan pada “pesan Alkitab yang lebih luas”—dan ketika saya mempertanyakan dari mana kerangka pemikiran untuk penafsiran ini berasal, ia menggunakan tulisan-tulisan Paulus sebagai instrumen untuk menyempurnakan ajaran Yesus dalam Khotbah di Bukit.

Saya ingin tahu apa yang dimaksud ChatGPT ketika menghasilkan frasa seperti “Alkitab secara konsisten mengajarkan”, suatu perikop “secara umum dipahami sebagai,” dan “sebagian besar orang Kristen memahami [sebuah teks] sebagai.” Dalam prosesnya, ChatGPT mengungkapkan kecenderungan untuk mengindividualisasikan ayat-ayat yang sebenarnya ditujukan kepada suatu komunitas—yang muncul ketika saya mengajukan pertanyaan berikut: “Lalu, bagaimana Anda sampai pada kesimpulan bahwa ‘Alkitab secara konsisten mengajarkan bahwa menyakiti diri sendiri bukanlah respons yang dapat diterima atau benar secara moral terhadap godaan atau dosa,’ padahal secara historis umat Kristen telah menolak makanan, air, perawatan medis, tidur, dan sebagainya sebagai upaya untuk mencegah dosa?” ChatGPT menjawab:

Saya mohon maaf atas kebingungan yang mungkin ditimbulkan oleh jawaban saya sebelumnya. Meskipun benar bahwa beberapa orang Kristen telah melakukan penyangkalan diri atau penyiksaan diri sebagai cara untuk melawan godaan atau dosa, pernyataan bahwa “Alkitab secara konsisten mengajarkan bahwa menyakiti diri sendiri bukanlah respons yang dapat diterima atau benar secara moral terhadap godaan atau dosa” tidaklah akurat atau lengkap. Persoalan melukai diri sendiri atau menyiksa diri merupakan hal yang kompleks dan telah mengalami penafsiran yang berbeda-beda sepanjang sejarah kekristenan, dan Alkitab sendiri mengandung ayat-ayat yang dapat ditafsirkan sebagai mendukung atau mengutuk praktik-praktik tersebut.

ChatGPT kemudian menegaskan kembali penafsirannya bahwa Yesus berbicara secara kiasan dalam Matius 5:29–30 dan kemudian menggunakan pernyataan Paulus di 1 Korintus 6:19–20 untuk mendukung penafsirannya, membuat klaim yang mencolok bahwa “tubuh kita adalah bait Roh Kudus dan harus dihormati dan dikuduskan” (sangat mencolok karena pilihan kata ganti yang ia pakai) sebagai pendukung.

Setelah beberapa diskusi mengenai kata ganti dalam teks Yunani, di mana ChatGPT menegaskan bahwa kata ganti orang kedua adalah tunggal, namun akhirnya mengakui bahwa kata ganti tersebut sebenarnya jamak dalam teks Yunani, ChatGPT benar-benar membalikkan penafsiran individualistisnya dan menegaskan makna kolektif dari 1 Korintus 6:19–20.

Diskusi ini dan obrolan lanjutan kami tentang 1 Korintus 6 menggambarkan kecenderungan bot percakapan ini untuk dengan yakin menegaskan penafsiran teks Alkitab, mengakui kesalahan pada suatu detail, dan kemudian, ketika ditanya, mengubah penafsirannya—dengan respons yang mencakup pengakuan akan ketidaktepatannya atau melebih-lebihkan. Namun bot ini biasanya membungkus pengakuan tersebut dengan penegasan kembali atas klaim yang baru saja dilemahkannya.

Mengapa ChatGPT terus menghasilkan penafsiran kiasan dan secara metafora terhadap ajaran Yesus? Mengapa begitu mudah meyakinkan bot percakapan ini untuk membalikkan klaimnya tentang sesuatu seperti penggunaan gambaran bait suci oleh Paulus? Setidaknya ada dua alasan yang mungkin: Pertama, ChatGPT tidak memiliki pemahaman tentang pelatihannya sendiri dan tradisi-tradisi yang mendasari penafsiran ini, dan kedua, ChatGPT tidak memiliki hubungan dengan pengalaman hidup atau kenyataan. Seperti yang ditegaskannya dengan penuh percaya diri ketika saya pertama kali bertanya, ia tidak memiliki “keyakinan atau nilai pribadi.”

Meski demikian, ia dengan penuh semangat berusaha melakukan penafsiran ketika ditanya, mengutamakan perspektif tertentu dan terkadang melarang atau mengecualikan yang lain. Hal ini dilakukan karena kata-kata adalah permainan statistik, bukan Kitab Suci yang harus dihayati. Ia hanya menirukan apa yang telah dilatihkan kepadanya—yang merupakan sekumpulan teks yang tidak dapat diidentifikasi olehnya karena tampaknya ia tidak tahu lagi teks tersebut sebenarnya apa (andai ia pernah tahu, dan andai tahu adalah istilah yang tepat).

Hal ini menimbulkan masalah ganda bagi umat Kristen yang mungkin mencari informasi tentang Alkitab dari ChatGPT. Pertama, kita tidak bisa memastikan sumber dari perspektif yang ditawarkan ChatGPT. Yesus menegaskan beberapa kali dalam Matius bahwa para murid-Nya yang sejati dapat dikenali melalui buah-buah yang nyata dalam kehidupan mereka (5:15–20; 12:33–37; 21:33–46). Jika seseorang tidak dapat mengakses kehidupan sang penafsir dan buah-buah yang dihasilkannya, bagaimana orang Kristen dapat mengetahui apakah penafsiran tersebut berasal dari seorang murid Yesus yang sejati?

Kedua, ChatGPT dan model-model bahasa besar lainnya adalah “kotak hitam,” artinya kita tidak tahu apa yang terjadi untuk menghasilkan respons yang diberikannya. Baik agama Kristen maupun Yudaisme secara historis menekankan keterlibatan dengan komunitas agama masa lalu dan masa kini, serta interpretasi komunitas tersebut terhadap teks dan tradisi suci.

Namun, ChatGPT menyangkal bahwa ia sedang melakukan penafsiran—sekaligus melakukan sulap untuk menafsirkan Khotbah di Bukit melalui tradisi yang telah disembunyikan bahkan dari dirinya sendiri. Bagi ChatGPT, tidak ada komunitas yang memperdebatkan, membedakan, dan menghayati penafsiran mereka sendiri. Yang ada hanyalah permainan statistik dari token-token bahasa.

Akhirnya, seperti yang diketahui dengan baik oleh para pemuda yang saya bimbing, ada pengetahuan yang hanya bisa diperoleh melalui menjalankan ajaran Yesus. ChatGPT tidak dapat melakukan hal ini, dan tidak akan pernah dapat melakukannya. Sebagaimana dikatakannya kepada saya ketika saya bertanya tentang manfaat membahas tubuh kitasebagai bait Roh Kudus, Kitab Suci “tidak berlaku” pada dirinya. Karena ia tidak memiliki tubuh, maka ia tidak mempunyai pengalaman mengenai topik-topik yang ditunjukkan oleh kata-kata yang ditafsirkan dan digunakannya.

Pada akhirnya, ChatGPT menawarkan kepada kita sebuah cermin dan peringatan. Penafsiran ChatGPT terhadap teks-teks Alkitab merupakan penyulingan semangat zaman kita. Seperti ChatGPT, kita cenderung menafsirkan kata-kata Yesus dalam Khotbah di Bukit secara metafora. Seperti ChatGPT, kita cenderung mengindividualisasikan penafsiran Paulus. Dan seperti ChatGPT, kita cenderung melupakan atau mengabaikan interpretasi siapa yang telah membentuk interpretasi kita sendiri terhadap teks tersebut. Kecenderungan-kecenderungan ini saling berhubungan.

Lagi pula, persoalannya bukan pada kecenderungan untuk memetaforakan Alkitab, melainkan kebiasaan untuk melakukan penafsiran metafora sebagai jalan singkat ketika kita tidak mampu atau tidak mau memeriksa tradisi penafsiran dan penerapan teks tersebut. ChatGPT tidak bisa melakukan dua hal terakhir ini, tetapi kita bisa. Dengan demikian, ChatGPT menghadapkan kita pada diri kita sendiri.

Oleh karena itu, pengalaman dengan ChatGPT ini memperingatkan kita untuk mempertimbangkan nilai dari setiap kecenderungan penafsiran yang diungkapnya. Apakah kita akan memperlakukan Alkitab sebagai permainan token-token statistik? Sebagai kata-kata dan ide-ide yang harus diikatkan dalam dialog yang tak berwujud? Atau akankah kita menerima tantangan Yesus untuk menjadi bijaksana, mendengarkan ajaran-Nya, dan melakukannya (Mat. 7:24) dalam komunitas satu sama lain?

Dengan kata lain, apakah kita akan meraih pemahaman kita terhadap Kitab Suci dari sumber yang asing? Atau apakah kita akan memilih untuk hidup bersama, mencari makna dari ayat-ayat ini melalui sejarah dan komitmen kita bersama kepada Tuhan, dan dengan demikian mengajarkannya kepada orang-orang yang datang setelah kita (Mat. 28:20)?

John H. Boyles adalah profesor Alkitab di Abilene Christian University.

Diterjemahkan oleh Denny Pranolo.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, Instagram, atau Whatsapp.

Memerangi Perdagangan Seks dengan Menghadirkan Diri

Compassion First Indonesia tidak memaksa masuk ke rumah-rumah, melainkan merawat para korban dan membimbing para orang muda berisiko yang tinggal di area permakaman.

Mala (kiri) dan Susi (kanan), yang mengikuti kelas Compassion First.

Mala (kiri) dan Susi (kanan), yang mengikuti kelas Compassion First.

Christianity Today June 26, 2024
Photography by Angela Lu Fulton

Dalam sebuah kompleks permakaman di Jawa Barat, seorang wanita beristirahat di kasur yang diletakkan di atas nisan di bawah pohon ek. Permakaman ini bukan hanya rumah bagi mereka yang telah meninggal, tetapi juga bagi mereka yang hidup miskin dan tidak punya tempat tinggal.

Warga komunitas Permakaman Mawar mengumpulkan sampah, menarik becak, atau membersihkan kuburan di siang hari. Pada bagian utara permakaman, sekitar 200 keluarga tinggal di bangunan batu bata dan seng yang berjajar di atas selokan yang dipenuhi sampah dan air limbah yang keruh. Pada malam hari, banyak wanita melakukan prostitusi untuk menafkahi keluarga mereka. Anak-anak perempuan mereka sering kali dijual—atau diculik—untuk perdagangan seks. (CT mengubah nama-nama permakaman dan hanya menggunakan nama depan penghuninya untuk alasan keamanan.)

Compassion First (CF) menawarkan bimbingan belajar, kelas pengasuhan anak, dan kelas memasak bagi komunitas tersebut di teras beratap biru di kompleks permakaman. Baru-baru ini mereka pindah ke pusat komunitas baru di dekatnya. CF berfokus pada upaya memerangi perdagangan seks di Indonesia, dan di permakaman ini, hal tersebut berarti mengembangkan komunitas di antara keluarga-keluarga yang rentan terhadap eksploitasi.

Susi dan Mala, dua ibu yang telah tinggal di komunitas ini sepanjang hidup mereka, mengatakan bahwa dahulu para tetangga jarang sekali mengenal satu sama lain. CF hadir di masa pandemi COVID-19—awalnya untuk menyediakan makanan bagi masyarakat sekitar dan beasiswa untuk anak-anak. Sejak itu, lingkungan tersebut menjadi lebih akrab dan memiliki sumber daya yang lebih baik. Bagi para gadis muda, hal ini dapat membuat perbedaan antara apakah mereka diperdagangkan atau tidak.

Susi belajar dari kelas memasak tentang cara membuat seblak (makanan pedas yang terbuat dari kerupuk basah dan daging atau makanan laut yang disiram sambal) dan kini ia bisa menjualnya untuk menambah penghasilan. Mala belajar tentang lima bahasa kasih di kelas pengasuhan anak dan hal ini membantu dia dalam berelasi dengan anak dan suaminya. “Saya belajar bahwa anak-anak itu seperti buah durian,” katanya. “Runcing di luar dan lembut di dalam.”

Mala mengatakan, sejak CF memulai programnya, semua ibu telah memulai usaha kecil-kecilan.

“Biasanya suatu kelompok hanya datang sebentar [lalu pergi], tetapi YKYU datang ke sini secara berkelanjutan,” kata Mala. (YKYU adalah nama Indonesia untuk CF.) “Mereka sangat peduli kepada kami, baik anak-anak maupun ibu-ibu.”

Berada di dalam sebuah komunitas “secara berkelanjutan” adalah hal yang menjadikan Compassion First efektif di Indonesia dan unik di antara upaya-upaya anti-perdagangan seks internasional di sana. Selain dua program pengembangan komunitas di permakaman Jawa Barat, organisasi yang berbasis di Oregon ini juga mengelola dua tempat penampungan untuk para gadis yang diselamatkan dari perdagangan seks dan sebuah rumah singgah.

Mereka juga bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu memulangkan gadis-gadis yang diperdagangkan itu agar bisa kembali ke rumah mereka, bermitra dengan kelompok-kelompok lain untuk memantau terminal penyeberangan yang digunakan para pelaku perdagangan orang, dan mengadakan pelatihan bagi polisi, gereja, dan komunitas setempat tentang cara mengenali perdagangan orang.

Pekerjaan ini berjalan lambat dan penuh tantangan, serta tentangan dari para pelaku perdagangan orang yang memiliki koneksi dengan mafia dan polisi korup telah mendorong para pemimpin CF mempertimbangkan untuk menyerah. Namun, di tengah kelelahan itu, mereka mengatakan bahwa mereka telah melihat Tuhan mendatangkan orang-orang yang tepat dan sumber daya yang tepat pada waktu yang tepat.

“Kami menceritakan tentang pekerjaan kami … mengenai perawatan sehari-hari, advokasi setiap hari,” kata Traci Espeseth, direktur pengembangan Compassion First. “Dan itu semua benar-benar kembali lagi kepada kesetiaan untuk hadir hari demi hari dan mengatakan 'ya' terhadap undangan Tuhan.”

Sebuah permakaman di Jawa Barat yang dijadikan tempat tinggal oleh orang-orang miskin.Photography by Angela Lu Fulton
Sebuah permakaman di Jawa Barat yang dijadikan tempat tinggal oleh orang-orang miskin.

Menyediakan sumber daya bagi korban perdagangan seks anak

Diperkirakan 70.000–80.000 anak Indonesia menjadi korban eksploitasi seksual, menurut laporan Trafficking in Persons (TIP; Perdagangan Orang) Departemen Luar Negeri AS tahun 2021 tentang Indonesia. Oleh karena wilayah kepulauan ini sangat luas, anak-anak perempuan sering dipindah-pindahkan di antara 6.000 pulau yang berpenghuni, sehingga sulit untuk melacak dan membawa mereka pulang.

Para pelaku perdagangan seks sering menggunakan utang atau tawaran pekerjaan palsu untuk menjebak para anak perempuan—terutama mereka yang berasal dari keluarga miskin—untuk menjadi pekerja seks. Tempat-tempat wisata seperti pulau Bali menjadi tujuan wisata seks anak dari mancanegara maupun lokal.

Pada tahun 2022, laporan TIP menempatkan Indonesia pada peringkat 2, yang berarti bahwa meskipun pemerintah belum mencapai standar minimum untuk memberantas perdagangan orang, namun pemerintah telah melakukan upaya bersama.

Pemerintah telah menempuh perjalanan panjang sejak pendiri dan CEO CF, Mike Mercer, pertama kali bekerja di Indonesia pada tahun 2010. Sebelumnya, Mercer mengerjakan bantuan pasca-Badai Katrina melalui gereja Foursquare-nya di Beaverton, Oregon. Setelah mengetahui tentang perdagangan seks di Asia Tenggara, ia berusaha untuk bekerja di negara yang kurang terlayani. Kenalan-kenalan dia mengatakan kepadanya bahwa Indonesia mempunyai kebutuhan yang besar, sebab LSM lain telah mencoba dan gagal karena sulitnya pekerjaan tersebut.

Ketika kelompok-kelompok anti-perdagangan seks lainnya berkumpul di Thailand dan Kamboja, ia pergi ke Indonesia, di mana denominasinya memiliki 13.000 gereja. Dia tahu bahwa untuk berhasil, dia memerlukan mitra lokal.

Pada tahun 2010, CF membuka sebuah tempat penampungan bagi anak-anak korban perdagangan seks di provinsi Sulawesi Utara yang mayoritas penduduknya beragama Kristen. Karena kemiskinan di provinsi ini dan fakta bahwa perempuan dari wilayah tersebut berkulit cerah (yang dianggap menarik di Indonesia), provinsi ini memiliki jumlah perempuan yang diperdagangkan tertinggi kedua di Indonesia.

CF membangun koneksi dengan penegak hukum di kota tersebut, khususnya dengan kepala unit investigasi perempuan dan anak. “Kami saling bahu-membahu sejak awal karena kami memiliki tujuan yang sama,” kata Mercer. “Menurut saya, ini adalah pengaturan Tuhan.”

Kala itu, polisi sangat ingin CF membangun sebuah tempat penampungan karena mereka baru saja membongkar jaringan perdagangan seks dan memulangkan gadis-gadis tersebut ke rumah mereka di Sulawesi Utara. Namun karena keluarga dan masyarakat belum siap menerima mereka–beberapa berasal dari rumah yang tidak aman dan banyak yang mendapat stigma atas masa lalu mereka–maka mereka pun kesulitan untuk berintegrasi kembali ke dalam masyarakat, dan semua gadis-gadis itu pun kembali diperdagangkan.

Polisi pun merasa kehilangan semangat. Jadi ketika CF menghubungi mereka untuk memberikan layanan perawatan lanjutan bagi para gadis yang berhasil diselamatkan, penegak hukum setempat sangat ingin membantu.

Kesulitan CF di awal pelayanannya

Dengan dana yang didonasi dari Amerika Serikat, CF mempekerjakan staf dari Indonesia, melatih mereka dengan bantuan kelompok-kelompok veteran perdagangan seks seperti Transitions Global, dan mulai menampung anak-anak perempuan. Namun, semua itu masih belum cukup.

“Pada awalnya, kami harus mencukupi kebutuhan sambil mengerjakan pelayanan ini,” kata Winda Winowatan, presiden CF Indonesia. Berasal dari Sulawesi Utara, Winowatan bekerja di gereja sebelum bergabung dengan organisasi ini. Ia mengatakan bahwa meskipun mereka memiliki panutan dari belahan dunia lain, tetapi secara lokal, “kami tidak memiliki siapa pun yang bisa mengajari kami.”

Ervisllia Valentina, salah satu ibu asuh pertama di Rumah Sarah di Sulawesi Utara, mengalami banyak tantangan tersebut secara langsung. Ia tinggal 24 jam sehari, 7 hari seminggu, di rumah singgah bersama ibu asuh lainnya dan dua penjaga keamanan. Bahkan di hari liburnya, Ervillia tidur di rumah singgah tersebut. Bersama-sama, mereka merawat empat orang gadis.

Suatu malam, keempatnya melarikan diri. “Mereka ketakutan karena mereka akan menghadapi kasus hukum,” di mana mereka harus memberikan kesaksian yang memberatkan para pelaku perdagangan orang, kata Ervillia. Upaya penuntutan ini akan membuat marah para pelaku perdagangan orang, yang terkait erat dengan mafia. Ervillia ingat para anggota mafia mengendarai sepeda motor di luar rumah singgah untuk mengintimidasi mereka. Terkadang, para gadis dan tim CF juga harus menginap di hotel.

Ketika seorang gadis melarikan diri, personel yang menangani kasus ini akan menghubungi orang tua, teman, dan media sosial mereka untuk mencari tahu ke mana mereka pergi. Kemudian mereka membawanya kembali dan berdiskusi apakah rumah singgah tersebut merupakan tempat yang tepat bagi mereka. Awalnya keempat gadis itu memutuskan untuk kembali ke rumah singgah.

Suatu saat setelah seorang gadis melarikan diri dan Ervillia menemukannya, gadis itu mengambil pisau dari dapur dan mengancam akan membunuh Ervillia. Sejak saat itu, CF memutuskan bahwa para ibu asuh tidak boleh tinggal di rumah singgah 24 jam sehari, melainkan tinggal di luar dan bertukar giliran dengan yang lain.

Valerie Bellamy, direktur operasional CF, mengatakan bahwa meskipun para gadis itu memilih untuk masuk ke rumah singgah, sebagian besar dari mereka mencoba melarikan diri. Setiap saat hal itu terjadi, CF akan mencari mereka lagi: “Ada saatnya di mana ia menyadari bahwa dia layak untuk diperjuangkan.”

Di kompleks permakaman, Compassion First mengadakan kelas di teras beratap biru.Fotografi oleh Angela Lu Fulton
Di kompleks permakaman, Compassion First mengadakan kelas di teras beratap biru.

Intervensi yang ajaib

Terkadang, bahaya yang dihadapi sangat besar. Mercer mencatat bahwa salah satu kasus pengadilan pertama mereka di tahun 2011 terjadi di sebuah kota kecil, dan CF menghadapi perlawanan tidak hanya dari mafia, melainkan juga dari kepolisian yang korup. Selama persidangan, seorang gadis memberikan kesaksian dan menyebutkan nama tujuh pejabat pemerintah yang membeli dirinya. Beberapa dari mereka sedang duduk di ruang sidang.

“Di [saat-saat seperti inilah] setiap orang dalam tim kami seharusnya sudah … pulang ke rumah, dan semua orang seharusnya ingin berhenti,” kata Mercer. “Salah satu cara kami mengetahui bahwa tangan Tuhan menyertai kami adalah bahwa semua orang itu masih bekerja untuk kami hingga saat ini. Ini sangat fenomenal.”

Kisah mereka dimuat di surat kabar, yang dilihat oleh seorang pejabat kedutaan AS, yang kemudian meminta untuk bertemu dengan Mercer dan staf CF. Sebuah foto dari pertemuan itu pun dipublikasikan, dan tiba-tiba semua penentangan itu berhenti ketika polisi menyadari bahwa dunia sedang memperhatikan. Melalui koneksi CF dengan kedutaan besar di Indonesia, mereka dapat mengundang kepala Biro Kepolisian Portland dan pejabat pemerintah AS lainnya untuk melatih polisi Indonesia setempat tentang cara menyelidiki kasus perdagangan seks dan cara mengidentifikasi serta berinteraksi dengan para korban.

“Orang Barat tidak bisa benar-benar menerobos masuk dan mendobrak pintu,” kata Mercer. “Siapa pun yang mengatakan bahwa mereka melakukan hal itu, melakukan tindakan yang berbahaya. … Kami di sini untuk bermitra dengan rekan-rekan kami yang secara hukum mampu melakukan pekerjaan tersebut, dan kemudian kami di sini untuk menjaga orang-orang yang mereka tangani.”

Dijadikan percontohan oleh pemerintah

Seiring berjalannya waktu, CF telah mampu meningkatkan pelayanan mereka terhadap anak-anak perempuan serta staf mereka. Mercer mengatakan bahwa mereka menyadari perlunya mengumpulkan lebih banyak uang untuk mempekerjakan lebih banyak orang dan membayar upah yang kompetitif untuk mempertahankan mereka, karena bahaya dari pekerjaan tersebut. Dengan memberikan pelatihan ekstensif kepada staf mereka dan dukungan untuk mengatasi trauma yang mereka alami, mereka telah mencegah pergantian staf yang sering terjadi pada lembaga-lembaga lain. Saat ini CF memiliki lebih dari 100 staf dan 90 persennya adalah orang Indonesia.

Di rumah singgah, CF memberikan konseling traumatik, homeschooling, advokasi hukum kepada anak-anak perempuan tersebut dan kesempatan untuk mengeksplorasi keterampilan serta hobi mereka sehingga mereka dapat mengejar jalur karier yang berbeda di masa depan.

“Ada kebutuhan untuk bertransisi dari bertahan hidup hari demi hari menuju kehidupan yang memikirkan hari esok, apa yang menjadi impian mereka,” kata Bellamy. Merujuk pada tipikal anak perempuan yang mereka layani, ia berkata, “Kami berharap perdagangan orang tidak menjadi bagian dari kisahnya, meski demikian masa depannya lebih cerah dari sebelumnya.”

Pada saat yang sama, mereka bekerja sama dengan keluarga dari para gadis tersebut untuk memastikan mereka siap menerima kepulangan anak perempuan mereka. Dalam beberapa kasus, orang tualah yang memutuskan untuk menjual putri mereka, sehingga CF perlu mencari keluarga lain yang aman di dalam masyarakat.

Sejak didirikan, CF telah membantu 67 anak perempuan dan 24 kasus disidangkan, dengan total 23 pelaku perdagangan orang divonis bersalah. Beberapa kasus menghasilkan putusan hukuman berlapis dan beberapa lainnya tidak.

Pemerintah Indonesia kini menjadikan Rumah Sarah sebagai percontohan. Winowatan telah membuat petunjuk langkah demi langkah bagi pemerintah Sulawesi Utara dalam menangani korban perdagangan orang.

CF juga telah membuahkan hasil dari kemitraannya dengan penegak hukum setempat: Pada tahun 2015, seorang pejabat pemerintah di provinsi Papua mengatakan kepada Mercer bahwa sejak adanya pelatihan dua tahun sebelumnya, mereka telah melihat adanya penurunan sebesar 50 persen dalam perdagangan anak perempuan dari Sulawesi Utara ke Papua.

Sejak tahun 2022, CF bermitra dengan Love Justice International untuk memantau terminal penyeberangan di Sulawesi Utara. Mercer mendengar bahwa para pelaku perdagangan orang kini tidak bisa menurunkan anak perempuan dari kapal di Sulawesi Utara, sehingga mereka harus mencari anak perempuan dari provinsi lain atau mengambil rute yang lebih mahal.

Pergi ke tempat mereka diundang

Ada banyak kebutuhan di tempat lain di Indonesia, namun Mercer tidak ingin kelompok ini mendikte ke mana mereka harus pergi untuk memberikan bantuan. Sebaliknya, mereka menunggu untuk diundang ke berbagai tempat yang berbeda.

Mereka memperluas pelayanan mereka ke permakaman-permakaman di Jawa Barat pada tahun 2012 setelah beberapa pekerja seks wanita mengundang mereka ke dalam komunitasnya. Mercer pernah mendengar bahwa permakaman di pusat-pusat kota adalah akhir perjalanan bagi para pekerja seks, karena para wanita di sana terjebak dalam siklus prostitusi dari generasi ke generasi atau telah “beradaptasi dengan jaringan prostitusi yang jahat ini dan mereka menua dalam segala hal,” Mercer dikatakan. “Ini adalah perhentian terakhir.”

Bersama pemimpin pelayanan Kristen setempat, tokoh perdamaian, dan sekotak roti isi, staf CF mengunjungi tempat yang mereka sebut “Permakaman Marigold” setelah hari gelap dan berkenalan dengan para wanita yang menjual diri di antara batu-batu nisan. Pada kunjungan kedua, mereka bertanya apakah mereka dapat mengatur dan mengundang para wanita tersebut ke sebuah perayaan Natal. Para wanita itu setuju.

Dari sana, relasi pun berkembang. CF mulai lebih memahami kebutuhan mereka, dan pada tahun 2015, mereka membuka pusat komunitas pertama di dekat permakaman, menyediakan beasiswa, bimbingan belajar, dan kelas-kelas. Setiap tahun, mereka rutin mengadakan perayaan, sekarang untuk merayakan_Thanksgiving_, bukan Natal.

Kelas kewirausahaan CF mengajarkan orang dewasa dan remaja cara membuat jurnal dengan menggunakan kain sisa dari batik Indonesia yang bermotif cerah. Jurnal-jurnal tersebut kemudian dijual di Amerika atau kepada wisatawan yang berkunjung ke Indonesia, dan seluruh hasilnya dikembalikan kepada para pelajar.

Salah satu anggota kelas, Asya, 22 tahun, telah datang ke pusat pelatihan tersebut sejak ia kelas enam SD. Ia mulai membuat jurnal saat remaja di sela-sela mengikuti kelas di pusat pelatihan tersebut. Dari keterampilan yang ia pelajari di kelas itu, termasuk mengelola keuangan dan memotret produk, ia memulai usaha kecil-kecilan dengan berjualan sate di pinggir jalan dan membuat rangkaian bunga untuk acara-acara khusus.

Yang paling ia hargai adalah komunitas yang ia temukan di kelas tersebut. “Saya berbagi segalanya dengan mereka,” kata Asya.

Ekspansi di Jawa

Undangan untuk bergabung ke komunitas Permakaman Mawar, tempat Mala dan Susi tinggal, datang ketika COVID-19 memporak-porandakan komunitas yang sudah bergumul berat. Banyak warga yang kehilangan pekerjaan dan tidak bisa memberi makan anak-anak mereka.

CF membantu menyediakan makanan bagi keluarga-keluarga tersebut dan mengundang mereka untuk bergabung dalam perayaan Thanksgiving di Pusat Pelatihan Marigold. Pada acara itu, keluarga-keluarga tersebut mengatakan kepada staf bahwa mereka juga menginginkan sumber daya dan peluang yang sama. CF dengan penuh semangat menyetujuinya.

“Saya berharap tahun 1997 YKYU ada di sini sehingga saya juga bisa belajar dan bukannya menikah di usia 16 tahun,” kata Mala dengan sedih. Dia putus sekolah setelah tahun pertama SMP karena ayahnya meninggal, dan keluarganya tidak punya uang untuk menyekolahkannya. “Saya maunya lebih memilih bersekolah, jadi itulah yang saya katakan kepada anak-anak saya. …Saya mengajak mereka untuk mengikuti program [YKYU] agar mereka bisa mendapat dukungan untuk pendidikan mereka, karena sebagai seorang ibu, saya tidak bisa membantu mereka.”

Ketika polisi menghubungkan CF dengan lebih banyak anak perempuan yang diselamatkan dari Jawa Barat yang mayoritas penduduknya muslim, CF menyadari bahwa mereka perlu membuka sebuah rumah singgah di wilayah tersebut. Hal ini akan memungkinkan anak-anak perempuan itu untuk tetap berada dalam komunitas mereka dan menghilangkan kekhawatiran di kalangan orang tua muslim bahwa anak perempuan mereka akan “dikristenkan” jika mereka pergi ke Sulawesi Utara yang mayoritas penduduknya beragama Kristen.

Oleh karena itu pada tahun 2019 CF membuka rumah singgah kedua yang diberi nama Rumah Anugerah. Ervillia, yang bekerja di rumah singgah tersebut sebagai koordinator program, mengatakan bahwa mereka tidak pernah memaksakan agama Kristen pada anak-anak perempuan yang sebagian besar muslim, namun mereka diberi kesempatan untuk belajar tentang Yesus. Seminggu sekali, mereka mengadakan “malam berbagi” di mana para pendeta dan relawan berbagi tentang kehidupan mereka dan menceritakan kisah-kisah dari Alkitab.

“Salah seorang gadis dalam program perawatan kami mengatakan bahwa dia merasa sangat dikasihi dan diterima oleh staf kami, sehingga dia merasa senang mengikuti program ini,” kata Ervillia. “Begitulah cara kami melihat perubahan dalam hidupnya dan keberhargaan dirinya.”

Meskipun Rumah Anugerah ditutup pada tahun 2021 karena masalah pemilik tanah, pada waktu yang hampir bersamaan, seorang pendeta di Jawa Barat menyumbangkan propertinya kepada CF, mengajak mereka membangun sebuah rumah singgah di sana untuk membantu gadis-gadis setempat. Saat ini, rumah singgah tersebut merawat tiga anak perempuan.

Pada masa mendatang, Mercer menilai CF akan terus memasuki tempat-tempat baru yang membutuhkan pelayanan mereka. Pemerintah Indonesia mengatakan bahwa mereka berharap Compassion First dapat melayani di setiap provinsi di negara ini. Saat ini, CF memiliki empat kantor—termasuk kantor manajemen kasus di Bali.

“Selama Indonesia masih mengajak kami untuk melayani, maka itulah yang akan kami lakukan,” kata Mercer. “Kami bertumbuh karena penugasan, bukan karena ambisi.”

Diterjemahkan oleh Fanni Leets.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, Instagram, atau Whatsapp.

Theology

Biarlah Lautan Bangkit dan Memberi Makan Orang Miskin

Membantu berkembangnya keanekaragaman hayati laut adalah salah satu cara untuk berpartisipasi dalam pekerjaan Tuhan, kata seorang teolog Indonesia.

Christianity Today June 21, 2024
Ilustrasi oleh Mallory Rentsch Tlapek / Sumber Gambar: Unsplash

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Negara ini terdiri dari 17.000 pulau yang menakjubkan, dengan 70 persen penduduknya tinggal di daerah pesisir. Banyak orang menganggap negara ini sebagai surga bagi para penyelam karena merupakan rumah subur bagi terumbu karang yang penuh dengan ikan yang berwarna-warni, dan juga tempat ekosistem bakau yang terbesar di dunia.

Namun saat ini negara saya sedang menghadapi krisis ekologi kelautan yang parah karena penangkapan ikan yang merusak, polusi, perubahan iklim, dan emisi gas rumah kaca. Ekosistem hutan bakau, lamun, dan terumbu karang kami sedang mengalami penurunan. Stok ikan juga semakin menurun, sementara makhluk laut lainnya seringkali teracuni oleh polusi dari daratan.

Krisis ini merupakan ancaman serius dalam konteks Indonesia, di mana kehidupan ekologi dan sosial sering kali tidak dapat dipisahkan. Lebih dari separuh asupan protein tahunan penduduk Indonesia berasal dari ikan dan makanan laut, dan sekitar 7 juta orang sangat bergantung pada laut untuk mata pencaharian mereka. Namun kini, lebih dari 2,5 juta rumah tangga di Indonesia yang terlibat dalam kegiatan perikanan skala kecil terancam kehilangan mata pencaharian dan sumber pendapatan mereka. Wilayah penangkapan ikan semakin terbatas, sehingga memicu konflik di antara para nelayan tradisional.

Masyarakat miskin di daerah pesisir adalah pihak yang paling menderita karena ketergantungan mereka pada laut untuk bertahan hidup. Banyak dari mereka yang menggunakan teknik dan peralatan tradisional seperti pudi—bendung pemancingan yang menyalurkan ikan ke lokasi tertentu—dan bubu, perangkap ikan yang terbuat dari bambu, untuk mengumpulkan berbagai jenis makanan laut saat air laut surut guna memenuhi kebutuhan hidup mereka sendiri.

Namun, krisis ekologi laut semakin menghancurkan sumber makanan mereka. Krisis ini juga menghapus budaya kita untuk peduli terhadap orang-orang yang membutuhkan, di mana masyarakat pesisir sering kali mendahulukan orang miskin ketika mengumpulkan hasil laut.

Dengan kata lain: Laut memberi kita makanan dan menumbuhkan rasa belas kasihan terhadap orang miskin di antara kita. Namun kelangsungan hidup dan kepedulian masyarakat kini berada dalam bahaya.

Berkaca pada praktik-praktik tradisional masyarakat pesisir dan gereja-gereja di Indonesia, saya menawarkan konsep dan praktek diakonia “biru” (diucapkan “dee-ak-on-ee’-ah”), kata Yunani untuk pelayanan dan penatalayanan yang kemudian menjadi asal muasal kata deacon dalam bahasa Inggris atau diaken.

Penelitian John N. Collins, seorang peneliti Australia, tentang diakonia dalam Perjanjian Baru dan sumber-sumber dari Yunani kuno menekankan bahwa pelayanan dan penatalayanan yang dilakukan oleh manusia merujuk pada mandat Allah untuk memperhatikan orang miskin. Seorang misiolog Denmark, Knud Jørgensen, juga melihat diakonia sebagai sebuah ajakan untuk berpartisipasi dalam pekerjaan Tuhan untuk memelihara dan membebaskan orang yang miskin, yang terpinggirkan, dan yang tertindas.

Sebagian besar orang percaya di Indonesia menganggap diakonia sebagai urusan manusia, yang ditunjukkan melalui kepedulian terhadap orang miskin dengan menyediakan makanan atau dukungan finansial. Akan tetapi, pemahaman seperti itu tidak mencakup cara-cara bagaimana ciptaan Allah memperhatikan orang-orang yang kurang mampu.

Dalam pandangan saya, kita perlu mengembangkan diakonia biru yang mengakui dan mendukung laut—yang memberi makan orang miskin dan memberikan kehidupan kepada semua orang yang bergantung padanya—sebagai partisipan aktif dalam pekerjaan Allah Tritunggal.

Sebuah gambaran awal dari Kerajaan Surga

Sebuah survei pada tahun 2023 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik Indonesia menemukan bahwa 25,9 juta orang hidup dalam kemiskinan di negara ini. Hal ini membuat diakonia menjadi praktik penting di antara orang-orang percaya, yang terdiri dari 11 persen populasi di negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam ini.

Menurut teolog Indonesia, Yosef Purnama Widyatmadja, ada tiga model diakonia yang diterima secara luas dalam komunitas masyarakat Kristen Indonesia: diakonia karitatif (amal), diakonia reformatif (pengembangan individu/komunitas melalui pelatihan) dan diakonia transformatif (transformasi struktural/sosial). Mengintegrasikan krisis ekologi ke dalam cara gereja-gereja di Indonesia mempraktikkan diakonia merupakan suatu perkembangan baru yang menjanjikan. Bahkan, ada ketertarikan yang semakin besar terhadap wacana teologis yang dikenal sebagai eko-diakonia, yang berupaya memastikan bahwa alam terus mengekspresikan hakikatnya, terutama sebagai sumber pangan, dan bahwa orang miskin memiliki akses terhadap pangan tersebut secara berkelanjutan.

Namun dalam diakonia biru, khususnya laut itulah—bukan alam secara lebih luas—yang berusaha dilayani dan dilindungi oleh umat Kristen. Perairan yang menutupi permukaan bumi ini adalah ciptaan Tuhan yang baik, begitu pula seluruh makhluk yang ada di dalamnya, yang diberkati dan diberdayakan oleh Allah agar “berkembang biaklah dan bertambah banyaklah serta penuhlah air dalam laut” (Kej. 1:10, 20–22). Laut dan makhluk-makhluk di dalamnya mengalami kasih Allah seiring Ia memelihara dan memperbaharui mereka (Mzm. 104:24–30; 145:9).

Terlebih lagi, laut dan makhluk-makhluk di dalamnya bukanlah sesuatu yang terbuang melainkan bagian dari kerajaan Allah yang akan datang. Seperti yang dikatakan oleh teolog Amerika, J. Richard Middleton, frasa laut pun tidak ada lagi dalam Wahyu 21:1 merupakan kabar baik, karena laut tidak akan lagi digunakan oleh Kekaisaran Romawi sebagai sarana untuk memperluas kekuasaan ekonomi mereka yang eksploitatif. Sebaliknya, laut akan mengambil bagian dalam menyembah Tuhan sebagai ciptaan baru: makhluk-makhluknya akan bergabung dengan makhluk-makhluk lain di surga, di bumi, dan di bawah bumi untuk bernyanyi bagi “Dia yang duduk di atas takhta dan bagi Anak Domba” (Why. 5:13).

Melalui perspektif ini, gereja dapat mewartakan Injil (Mrk. 16:15) dengan membiarkan laut dan makhluk hidup di dalamnya merasakan kedatangan kerajaan Allah. Melestarikan dan memulihkan laut agar tetap dapat menjalankan perannya dalam menyediakan pangan, khususnya bagi orang miskin, adalah gambaran awal tersebut—dan hasil dari diakonia biru.

Di provinsi Nusa Tenggara Timur, Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) telah berupaya memperbaiki kondisi laut di sekitarnya selama lima tahun terakhir.

Pada tahun 2020, gereja ini bermitra dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia untuk melakukan transplantasi karang di Taman Laut Nasional Laut Sawu, yang terletak di provinsi itu, untuk memulihkan ekosistem taman tersebut. Sejak tahun 2021, GMIT juga telah menanam dan merawat hutan bakau di Pulau Sawu. Proyek ini adalah “ekspresi iman kami dalam melestarikan karunia kehidupan dari Tuhan, memulihkan dan melindungi hutan bakau seperti halnya hutan bakau melindungi kita dari angin topan,” kata mantan moderator sinode GMIT Mery Kolimon.

“Kita tidak bisa membiarkan ekosistem hutan bakau [menjadi] hancur—kita perlu membantu memulihkannya karena itu adalah panggilan kita sebagai umat Tuhan,” tambah Rowi Kaka Mone, salah satu pemimpin proyek.

Gereja-gereja lain di Indonesia juga melakukan pelayanan yang bertujuan untuk melestarikan perairan di sekitar mereka. Selama bertahun-tahun, dua gereja khususnya—Gereja Protestan Maluku (GPM) dan Gereja Kristen Injili di Tanah Papua—telah melaksanakan praktik penangkapan ikan tradisional yang berkelanjutan, yaitu sasi laut, yang melestarikan ekosistem laut dengan menjaga agar suatu wilayah bebas dari aktivitas penangkapan ikan selama periode tertentu, mulai dari tiga bulan hingga dua tahun.

Praktek sasi laut yang dilakukan GPM sering disebut dengan nama lain: sasi gereja. Konsep ini “membawa berkat dari gereja lokal dan, bagi orang percaya, memberikan rasa takut akan Tuhan. Melanggar ‘sasi gereja’ berarti melakukan dosa,” demikian laporan Forests News .

Mempedulikan para janda dan anak yatim piatu

Namun demikian, menganggap laut hanya sebagai penerima diakonia—pelayanan dan penatalayanan Kristen—tidaklah cukup, karena perspektif ini dapat mengaburkan peran laut dalam penciptaan.

Memang benar laut membutuhkan manusia untuk merawatnya. Namun laut juga memiliki peran yang menentukan yang harus kita kenali. Laut bukanlah objek pasif yang sepenuhnya bergantung pada manusia. Menelaah bagaimana laut memainkan peranan penting dalam menjalankan misi Tuhan, bahkan dalam pemulihannya dari kerusakan akibat antropogenik, membantu kita menyadari bahwa manusia tidak hanya melakukan sesuatu untuk laut, melainkan juga bersama laut.

Artinya, laut juga dapat dianggap sebagai diakonos, diaken atau pelayan yang mengurus orang miskin dengan menyediakan makanan bagi mereka. Masyarakat pesisir di Indonesia menganggap laut sebagai entitas hidup yang memelihara dan menopang kehidupan mereka melalui makanan jasmani. Misalnya, masyarakat maritim Lamalera di Nusa Tenggara Timur menyebut laut sebagai ina fae belé atau sedo basa hari lolo, frasa yang menggambarkan bahwa laut adalah ibu yang penuh kasih sayang, yang melahirkan dan membesarkan anak-anaknya, serta menyediakan segala yang mereka butuhkan.

Sebuah penggambaran yang lebih spesifik tentang laut yang memelihara orang miskin ditemukan dalam sebuah penelitian tahun 1997, yang dipimpin oleh teolog dan antropolog Indonesia, Tom Therik, tentang aktivitas penangkapan ikan di Pantai Rote, komunitas maritim Pulau Semau. Dalam bahasa daerah dan puisi tradisional, orang miskin disebut ina falu (janda) dan ana mak (yatim piatu). Dua kali sehari, para janda dan anak yatim piatu ini pergi memanen tanaman air dan makhluk laut saat air laut surut. Hal ini merupakan norma budaya yang diterima secara luas di masyarakat, karena orang miskin tidak mampu membeli perahu atau peralatan menangkap ikan yang memadai dan hanya bisa mengandalkan hasil laut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Laut membentuk budaya masyarakat untuk mempedulikan orang miskin: Perairan di wilayah tersebut merupakan bagian dari Segitiga Terumbu Karang, yang juga dikenal sebagai “Amazon of the Seas” karena mengandung keanekaragaman hayati laut paling banyak di planet ini. Kawasan ini merupakan rumah bagi 76 persen spesies karang serta enam dari tujuh spesies penyu, dan berfungsi sebagai tempat pemijahan dan pembibitan ikan tuna yang produktif.

Memandang laut sebagai agen aktif Tuhan, seperti yang saya kemukakan di sini, bukanlah hal yang asing bagi iman Kristen kita. Alkitab secara eksplisit menyatakan hal tersebut. Dalam Kejadian 1:22, Allah memberkati dan memerintahkan makhluk laut untuk “berkembangbiaklah dan bertambah banyaklah serta penuhilah air dalam laut.” Dalam Kejadian 4:11–12, tanah digambarkan berdiri melawan kejahatan dengan membuka mulutnya untuk menerima darah Habel dan menolak memberikan hasil panennya untuk Kain.

Personifikasi ciptaan yang alkitabiah ini juga memungkinkan kita untuk mengakui peran penting laut dalam pembebasan bangsa Israel dari penindasan di Mesir (Kel. 14:20-21). Laut menyusut dan menumpuk sehingga bangsa Israel bisa melewati tanah kering sementara laut menghentikan pasukan Firaun untuk mengejar mereka, kata pakar Alkitab Indonesia, Margaretha Apituley.

Oleh karena itu, menganggap laut sebagai diakonos—utusan pekerjaan Tuhan—adalah bagian dari kerangka biblikal. Sama seperti Laut Galilea yang memfasilitasi karya Kristus dengan menyediakan dua ikan dan lima roti untuk memberi makan orang banyak (Mrk. 6:30-44), laut di Indonesia memfasilitasi karya Kristus dengan menawarkan semua yang berenang dan tumbuh di dalamnya sebagai makanan bagi orang miskin di masyarakat pesisir nusantara.

Pada intinya, diakonia biru adalah misi untuk dan bersama laut. Diakonia biru mengakui dan menghormati laut sebagai partisipan aktif dalam karya Tuhan. Ketika gereja-gereja mendukung pertumbuhan laut sebagai sarana untuk memberi makan orang miskin, umat Kristen dan laut juga dapat menjadi rekan diakonia, atau rekan penatalayan dari Tuhan.

Perjumpaan antara budaya maritim tradisional Indonesia dan kekristenan dapat menjadi kesempatan penting bagi gereja-gereja untuk mengatasi krisis ekologi kelautan dan dampak negatifnya terhadap masyarakat miskin. Harapan saya adalah bahwa diakonia biru dapat menjadi misi yang tidak hanya menjadi milik gereja-gereja di Indonesia, melainkan juga gereja-gereja di seluruh dunia, seperti yang Yesus perintahkan kepada para murid-Nya, “Kamu harus memberi mereka makan” (Mrk. 6:37).

Elia Maggang meraih gelar PhD dari University of Manchester, Inggris. Berbasis di Indonesia, karya teologisnya berkisar pada persinggungan antara kekristenan dan tradisi-tradisi adat, khususnya teologi dan praktiknya mengenai laut dan hubungan manusia dengan laut.

Diterjemahkan oleh George H. Santoso.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, Instagram, atau Whatsapp.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube