Minggu Adven 1: Dia Akan Datang Kembali dalam Kemuliaan

Bacaan renungan Adven (Advent) dari Christianity Today.

Christianity Today November 28, 2020
Illustration by Jared Boggess

Melompat ke bacaan harian: Minggu | Senin | Selasa | Rabu | Kamis | Jumat | Sabtu

Minggu: Masa Antara

Bacaan Hari Ini: Wahyu 1:4–9; 19:11–16; 21:1–5, 22–27; 22:1–5

Dengan segera, pasal pertama surat Wahyu membawa kita memandang kemuliaan besar yang jauh melampaui keberadaan kita di bumi ini. “Aku adalah Alfa dan Omega … yang ada dan yang sudah ada dan yang akan datang” (1:8). Juruselamat “yang mengasihi kita dan yang telah melepaskan kita dari dosa kita” akan datang kembali, “Lihatlah, Ia datang dengan awan-awan dan setiap mata akan melihat Dia” (1:5, 7). Yohanes melanjutkan suratnya dengan menggambarkan sebuah penglihatan luar biasa tentang Kristus sendiri—sebuah perjumpaan yang begitu menakjubkan sampai-sampai Yohanes “tersungkur … sama seperti orang yang mati” (ay.17).

Namun, tepat di tengah kedua bagian yang menggambarkan kemuliaan itu ada sebaris kalimat yang mungkin mudah kita lewatkan: gambaran singkat Yohanes tentang kehidupannya dan kehidupan para pembaca suratnya. Yohanes menulis bahwa ia adalah “saudara dan sekutu … dalam kesusahan, dalam Kerajaan dan dalam ketekunan menantikan Yesus” (ay.9). Yohanes menulis surat Wahyu saat sedang berada di tempat pembuangan. Surat ini disirkulasikan di antara jemaat yang sedang menderita, menghadapi tekanan dan penganiayaan yang terus memburuk hingga beberapa dekade berikutnya. Penerima mula-mula kitab Wahyu hidup di tengah dua realita yang saling tumpang tindih. Pertama, mereka memiliki jaminan dalam pemerintahan Kristus yang berdaulat serta kedatangan kembali Kristus yang mulia. Kedua, mereka masih berada di bumi, setiap hari mengalami yang namanya menanti dan menderita.

Kurang lebih dua ribu tahun kemudian, kita pun masih hidup di tengah dua realita yang saling tumpang tindih ini. Di antara kedatangan pertama Kristus dan kedatangan-Nya kembali dalam kemuliaan, kehidupan kita mungkin juga terasa seperti percampuran dua dunia. Di satu sisi ada Kerajaan (Allah) dan keyakinan yang pasti. Di sisi lain ada penantian dan penderitaan.

Tak heran apabila penuturan jujur Yohanes tentang kesusahan dan perlunya bertekun dengan sabar dirangkai di dalam dan di antara penglihatannya tentang kemuliaan (Allah). Penglihatan tentang apa yang akan datang itulah yang memberikan kekuatan dan keberanian untuk bertekun. Perhatikan beberapa realita yang dipotret dalam akhir nan megah kitab Wahyu: Kristus yang menang mengendarai seekor kuda putih dan mengalahkan si jahat, langit dan bumi yang baru tanpa dukacita atau kematian, kemah kediaman Allah ada di tengah-tengah umat-Nya (21:1, 3), serta sebuah kota yang kudus tempat orang-orang dari segala bangsa berkumpul di dalam terang kemuliaan Allah. Saat kita bisa melihat realita-realita yang akan datang ini, situasi kita di dunia yang sementara ini—separah apa pun itu—terasa tidak lagi terlalu penting.

Perlunya bertekun dengan sabar diulangi beberapa kali dalam Wahyu 1-3, seringkali dipasangkan dengan ungkapan tentang kemenangan dan keberhasilan menaklukkan. Bertekun tidak hanya berarti sabar, tetapi juga teguh, berani, dan kuat. Inilah yang diberikan Allah kepada setiap kita yang hidup di masa antara. Dalam Kristus,—seperti yang dikatakan dalam lirik sebuah lagu—kita menemukan “kekuatan dan pengharapan tiap hari”.

Kelli B. Trujillo

Renungkanlah Wahyu 1:4–9; 19:11–16; 21:1–5, 22–27;

dan

22:1–5.

Hari ini kita merenungkan tentang hal-hal yang akan terjadi di masa depan. Bagaimana perenungan ini mempengaruhi perspektif Anda tentang situasi yang ada sekarang? Berdoalah, undanglah Allah untuk menguatkan ketekunan Anda dan menggairahkan pengharapan Anda akan masa depan.

Senin: Memberitakan Pengharapan

Bacaan Hari Ini: Zakharia 9:9–17; Roma 5:3–5, 8:18–30

“Pengharapan dimulai dalam gelap …” perkataan Anne Lamott dalam bukunya Bird by Bird ini tidak bisa saya sanggah. Apa yang ia sampaikan belakangan telah menjadi salah satu tema dalam hidup saya—bukan sebagai suatu pemikiran belaka, tetapi sebagai sesuatu yang nyata dijalani, suatu pergumulan, suatu komitmen, suatu disiplin.

Menurut ahli teologi Jürgen Moltmann, pengharapan itu berakar pada kebangkitan Yesus dan upaya nyata untuk mengubah keadaan. Adakalanya pengharapan menjadi satu-satunya bahasa yang cukup kuat untuk melawan keputusasaan. Dalam bahasa Lamott, (pengharapan) itu adalah sejenis “kesabaran yang revolusioner”.

Apa pun (definisi) pengharapan, sesuatu di dalam jiwa kita menyuarakannya. Terkadang terdengar kecil, seperti sebuah bisikan, tetapi suara itu ada di sana. Pengharapan terpancar dari kedalaman jiwa, dan seringkali lahir dari situasi yang kelam. Saat situasi serba kacau dan membingungkan, pengharapan muncul.

Di hari-hari tertentu, rasanya kita masih berada di bawah mendung pekat yang menyelimuti bumi saat Yesus disalib. Beratnya kehidupan di dunia ini terasa seperti kegelapan. Elie Wiesel, saat menceritakan tentang kengerian (kamp konsentrasi) Auschwitz dan (peristiwa) Holocaust, hanya bisa menyebut kegelapan itu sebagai “Malam”. Penderitaan adalah sebuah kenyataan yang harus kita akui. Dalam pengharapan pun, kita bisa menderita.

Saya duduk bersama nenek saya beberapa waktu lalu dan minta ia menceritakan tentang kehidupannya. Awalnya ia tidak mau. Tak terbayangkan bekas luka apa saja yang telah ditanggung jiwanya selama lebih dari 80 tahun. Ia telah menjalani kehidupan yang keras. Sulit untuk menggambarkan bagaimana ia hidup di wilayah Selatan sebagai seorang perempuan berkulit hitam. Ada satu kata yang tampak menggambarkan keberaniannya untuk bertahan di tengah dunia yang kejam: cinta. “Tuhan belum pernah mengecewakan saya,” katanya.

Cinta yang radikal, mengubahkan hidup, mengubahkan komunitas, mengubahkan dunia, adalah cara hidup Yesus. Ia telah datang untuk memberitakan kabar baik Kerajaan Allah serta menyembuhkan segala macam penyakit dan penderitaan. Memberitakan pengharapan adalah sebuah cinta yang berbahaya.

Martin Luther King Jr. berkata, “Kekuasaan terbaik adalah cinta yang mengimplementasikan tuntutan keadilan, dan keadilan terbaik adalah cinta yang mengoreksi segala sesuatu yang bertentangan dengan cinta.” Inilah artinya menjadi orang yang berdiri di dunia ini untuk memberitakan cinta, kuasa, dan keadilan, atau dalam bahasa nabi Zakharia, menjadi “orang tahanan yang penuh harapan” (9:12). Seseorang pernah menulis kalimat berikut: “Ku tak tau kan hari esok, tetapi aku tahu siapa yang pegang hari esok”. Esok hari akan datang, tetapi hari ini, aku akan memberitakan pengharapan.

Dante Stewart

Renungan ini diadaptasi dari artikel berjudul “Why We Still Prophesy Hope,”, diterbitkan pada tanggal 21 Oktober 2019, di situs web ChristianityToday.com.

Bacalah Zakharia 9:9–17

dan

Roma

5:3–5, 8:18–30

. Renungkan seperti apa kelihatannya pengharapan “di dalam kegelapan”. Bagaimana penderitaan bisa menghasilkan pengharapan dan cinta? Bagaimana kedatangan Kristus yang pertama dan janji kedatangan-Nya kembali memampukan Anda untuk memberitakan pengharapan hari ini?

Selasa: Datanglah Tuhan Yesus

Bacaan Hari Ini: Yohanes 1:1–5, 14; Wahyu 22:12–13, 20

Dalam Injil yang ditulisnya, Yohanes berkata, “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. … Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita” (1:1, 14). Kita memiliki Allah yang telah datang. Dia datang untuk membuat apa yang tidak bisa disentuh menjadi bisa disentuh, dan apa yang tidak kelihatan menjadi kelihatan. Dia datang menyatakan diri-Nya untuk bisa kita kenal. Namun, kita memiliki pengharapan bukan hanya karena Dia sudah datang, melainkan juga karena Dia akan datang.

Dia akan datang kembali. Janji inilah yang bisa membuat kita menemukan makna dalam penderitaan dan frustrasi kita di dunia. Saat Dia datang kembali, orang benar akan dibuktikan benar. Saat Dia datang kembali, Dia akan membawa keadilan atas olok-olok yang Anda hadapi karena percaya kepada Allah yang tidak terlihat. Saat Dia datang kembali, orang-orang yang berusaha mengangkat diri mereka sendiri sebagai penguasa akan dilengserkan, dan kita akan melihat bahwa sebenarnya hanya ada satu Penguasa dan Raja yang sejati. Dalam sekejap, apa yang selama ini kita imani, akan kita saksikan di depan mata. Pribadi yang selama ini kita kenal dalam doa dan yang kita beritakan, akan kita lihat secara langsung.

Dalam Wahyu 22, Yesus berkata, “Sesungguhnya Aku datang segera dan Aku membawa upah-Ku untuk membalaskan kepada setiap orang menurut perbuatannya. Aku adalah Alfa dan Omega, Yang Pertama dan Yang Terkemudian, Yang Awal dan Yang Akhir” (ay.12–13). Yohanes mencatat, “Ia yang memberi kesaksian tentang semuanya ini, berfirman, ‘Ya, Aku datang segera!’” (ay.20). Seakan-akan tidak punya kata lain untuk menutup suratnya, Yohanes menulis, “Amin, datanglah Tuhan Yesus!” (ay.20).

Menatap masa depan, mungkin ada hal-hal yang tidak kita kehendaki terjadi atas bangsa kita. Mungkin ekonomi tidak berkembang sebagaimana yang kita harapkan. Mungkin ada lebih banyak anak yang disakiti di jalanan, baik oleh senjata, oleh perdagangan manusia, atau oleh obat-obatan yang disalahgunakan. Banyak pernikahan mungkin penuh pergumulan. Kita mungkin menderita sakit-penyakit. Kita mungkin khawatir akan anak-cucu kita. Dalam semua yang kita alami, perkataan ini memberi pengharapan: Datanglah Tuhan Yesus.

Apa pun yang kita hadapi, kita tahu bahwa Dia akan datang kembali. Suatu hari, langit akan terbuka, malaikat akan meniup sangkakala, dan seluruh dunia akan melihat-Nya bersama-sama. Segenap ciptaan akan merespons saat Tuhan kita melangkah turun dari surga untuk berkata, “Sekarang Aku telah datang untuk menebus umat-Ku”. Amin. Datanglah, Tuhan Yesus.

Charlie Dates

Artikel ini diadaptasi dari khotbah Charlie Dates tanggal 22 Desember 2019. Digunakan dengan izin.

Renungkanlah Yohanes 1:1–5, 14

dan

Wahyu 22:12–13, 20,

dengan mengingat dua fokus Adven: Yesus yang telah datang dan Yesus yang akan datang kembali. Apa artinya bagi Anda untuk berkata, “Datanglah Tuhan Yesus”?

Rabu: Adven and Akhir Zaman

Bacaan Hari Ini: Markus 13:24–37; Lukas 21:25–28

Selama masa Adven, kita mendengar pembacaan bagian-bagian Kitab Suci yang berbicara tentang kegelapan, kesusahan, dan akhir zaman. Matius, Markus, dan Lukas, masing-masing punya satu pasal yang berbicara khusus tentang akhir zaman. Dalam Markus 13, Yesus berkata, “… bangsa akan bangkit melawan bangsa, dan kerajaan melawan kerajaan” (ay.8). Bagian selanjutnya dari pasal itu menggambarkan situasi yang makin kelam, “… pada masa itu, sesudah siksaan itu, matahari akan menjadi gelap dan bulan tidak bercahaya dan bintang-bintang akan berjatuhan dari langit, dan kuasa-kuasa langit akan goncang” (ay.24-25).

Mengapa Yesus justru berbicara tentang kematian dan kehancuran, bukan tentang domba, gembala, dan bala tentara surga?

Dalam Kitab Suci, tulisan tentang akhir zaman lahir pada masa kesusahan. Israel adalah umat pilihan, Allah telah menjanjikan kepada mereka masa depan yang aman dan sejahtera. Namun, kemudian, mereka ditaklukkan dan diangkut ke pembuangan di kerajaan Babel. Dalam pandangan manusia, tidak ada pengharapan bagi mereka. Saat umat Israel mengalami krisis, mereka ada dalam situasi “darurat teologis.” Dalam masa darurat inilah pemikiran baru tentang akhir zaman terbentuk. Dimulai dari bagian kedua kitab Yesaya (pasal 40-55)—ditulis pada masa pembuangan di Babel saat pengharapan sepertinya sudah tidak ada lagi—dan terus berkembang dari sana. Pada zaman Yesus, pembicaraan tentang akhir zaman sudah ada di mana-mana.

Yang terpenting dari teologi akhir zaman adalah teologi pengharapan—dan pengharapan adalah kutub yang berlawanan dengan optimisme. Optimisme bisa sirna ditelan kegelapan, kontras dengan pengharapan, yang ditemukan dalam sesuatu yang melampaui gelapnya sejarah manusia. Pengharapan ditemukan di dalam Allah yang berinkarnasi.

Injil Lukas mencatat, saat Yesus bicara tentang akhir zaman, tentang “tanda-tanda pada matahari dan bulan dan bintang-bintang” dan bagaimana “bangsa-bangsa akan takut dan bingung”, Dia mengakhirinya dengan mengatakan bahwa manusia “akan melihat Anak Manusia datang dalam awan dengan segala kekuasaan dan kemuliaan-Nya” (21:25–27). Yesus sedang bicara tentang kedatangan-Nya yang kedua kali. Dia sedang mengatakan bahwa pengharapan besar kita datang bukan melalui kemajuan peradaban umat manusia, melainkan melalui diri-Nya. Dia berdaulat, memiliki kuasa atas segala sesuatu, dan tidak bergantung pada sejarah manusia. Sekalipun kegelapan begitu nyata, Allah dalam Kristus sedang membentuk sejarah kita sesuai dengan tujuan-Nya yang ilahi.

Masa Adven menyatakan bahwa kita dapat menghadapi kegelapan, apa pun nama kegelapan itu. Namun, ceritanya tidak berakhir di sana. Yesus berkata, “bangkitlah dan angkatlah mukamu, sebab penyelamatanmu sudah dekat.”

Fleming Rutledge

Artikel ini diadaptasi dari artikel “Why Apocalypse Is Essential to Advent,” diterbitkan tanggal 18 Desember 2018 di situs web ChristianityToday.com.

Bacalah Markus 13:24 –37

dan

Lukas 21:25–28.

Bagian mana dari pengajaran Yesus yang paling menarik untuk Anda? Pengajaran mana yang sulit Anda pahami? Bagaimana penggambaran tentang kedaulatan Allah atas sejarah ini meneguhkan pengharapan Anda?

Kamis: Sebuah Pertanyaan yang Lebih Penting

Bacaan Hari Ini: 2 Petrus 3:8–15

Mengapa begitu lama? Mengapa Yesus belum juga kembali seperti yang Dia janjikan? Hal-hal ini mungkin pernah ditanyakan oleh para penerima surat kedua Petrus—pertanyaan-pertanyaan yang terus menggema sampai hari ini. Petrus menjawab mereka dengan jaminan yang aneh: Pertama, bahwa waktu Allah merefleksikan kesabaran dan kasih-Nya yang menyelamatkan (3:8-9). Kedua, bahwa hari Tuhan itu menakutkan dan akan melibatkan kehancuran dengan api.

Bahasa akhir zaman seperti yang dipakai Petrus (mirip yang dipakai Yesus di Markus 13 dan Lukas 21) tentunya membuat kita berpikir sejenak. Apa maksudnya dengan “hangus dalam nyala api” dan “langit akan binasa dalam api”? Apakah ini sesuatu yang harus kita takutkan?

Ayat-ayat sebelumnya dalam 2 Petrus menyediakan perspektif untuk memahami bahasa kehancuran yang dipakai di pasal 3. Dalam pasal 2:5, kita membaca tentang situasi serupa pada zaman Nuh, saat Allah menghancurkan bumi dengan air bah. Penghakiman di masa itu tidak berarti Allah menyapu bersih semua ciptaan-Nya. Penghakiman terakhir dengan api kemungkinan juga demikian, Allah tidak akan menghanguskan seisi bumi untuk mendatangkan langit dan bumi yang baru. Sebagaimana yang digambarkan Petrus dalam Kisah Para Rasul, Kristus tinggal di surga “sampai waktu pemulihan segala sesuatu seperti yang difirmankan Allah dengan perantaraan nabi-nabi-Nya yang kudus di zaman dahulu” (3:21). Dunia yang baru akan datang melalui pemulihan besar dari Allah dan desain ulang dunia yang kita miliki sekarang.

Terangkai dalam bagian ini, Petrus memberikan satu pertanyaan penting yang sepatutnya kita perhatikan lebih daripada pertanyaan tentang kapan dan seperti apa kedatangan kembali Kristus itu. Mengetahui bahwa hari kedatangan Tuhan akan segera tiba, Petrus bertanya, “bagaimana seharusnya kalian hidup” (2Ptr. 3:11 BIS). Petrus mendorong pembaca suratnya untuk hidup kudus dan saleh, “menantikan” langit dan bumi yang baru dengan penuh pengharapan (ay.11-14). Kita melihat tema yang sama ditekankan dalam surat Petrus yang pertama, saat ia sungguh-sungguh mendorong orang percaya untuk hidup dengan penuh keyakinan, sukacita dan kewaspadaan, berfokus penuh pengharapan pada kedatangan Kristus (1Ptr 1:3-5, 13).

Kita adalah orang-orang yang memiliki pengharapan, sama seperti orang yang sudah diberi bocoran tentang akhir sebuah novel yang penuh dengan drama tak terduga. Kita tahu akhir ceritanya. Pengetahuan tentang akhir luar biasa yang menanti kita itu dapat mempengaruhi bagaimana kita menghadapi situasi sekarang. Kita mungkin tidak bisa tahu kapan atau bagaimana itu akan terjadi, tetapi kita dapat percaya bahwa pada akhir zaman akan ada penghakiman, sekaligus pembenaran bagi umat Allah. Bagaimana berita tentang penghakiman terakhir bisa membuat kita terhibur dan bukannya takut? Allah akan membuat bagian-bagian terbaik dunia ini menjadi makin baik, lebih dari yang bisa kita bayangkan. Penghakiman, pembenaran, dan transformasi akan datang. Tanah Perjanjian sejati menanti.

Vincent Bacote

Renungkanlah

2 Petrus 3:8–15.

(Anda juga dapat membaca 1 Petrus 1:3–5, 13). Pertanyaan-pertanyaan apa yang muncul saat Anda membaca bagian ini? Perasaan-perasaan apa yang dibangkitkan? Bagaimana pengharapan Anda tentang “hari Tuhan yang akan datang” mempengaruhi kehidupan sehari-hari Anda sebagai murid Kristus?

Jumat: Menanti Pestanya Dimulai

Bacaan Hari Ini: 1 Tesalonika 4:13–5:11

Salah satu hal yang suka saya lakukan sebagai seorang profesor adalah memutarkan film-film yang mungkin dilabeli orang sebagai “film akhir zaman”. Banyak film dalam ketegori ini berfokus pada momen Pengangkatan, sebuah penafsiran 1 Tesalonika 4:17, yang memahami frasa “akan diangkat” sebagai gambaran kedatangan kembali Kristus yang tidak kelihatan untuk membawa umat-Nya ke surga bersama-Nya sebelum masa Kesusahan Besar tiba. Film-film ini bertujuan untuk menciptakan kesadaran bahwa Yesus bisa datang kapan saja.

Ada banyak pendapat tentang Pengangkatan dan isu-isu akhir zaman lainnya. Saat membaca 1 Tesalonika 4-5, kita bisa dengan mudah berfokus hanya pada bagian yang membicarakan hal tersebut. Namun, ada banyak poin penting lain tentang kedatangan kembali Kristus, yang juga patut mendapat perhatian kita, termasuk apa yang tampaknya menjadi penekanan Paulus di sini: bagaimana menghibur orang-orang Kristen yang masih hidup, terkait status orang-orang percaya yang sudah meninggal. Apakah mereka (yang sudah meninggal) akan “ketinggalan” dan tidak mengalami kedatangan Yesus kembali?

Inilah penghiburan Paulus untuk jemaat di Tesalonika (dan juga kita): kita tidak perlu khawatir Allah akan melupakan mereka yang sudah meninggal. Kebangkitan Kristus adalah sebuah jaminan bahwa kematian tidak akan menghalangi mereka untuk ikut masuk ke dalam dunia baru yang akan tiba bersamaan dengan kedatangan Kristus yang kedua. Baik kita masih hidup atau sudah meninggal, relasi kita dengan Kristus adalah satu-satunya yang diperlukan untuk kita bisa terdaftar sebagai tamu undangan saat hari kedatangan Tuhan itu tiba.

Saat Kristus datang, akan ada pembukaan yang megah, lengkap dengan musik yang meriah. Trompet Allah akan berbunyi (4:16 BIS)—gambaran yang tentunya dipahami jemaat di Tesalonika sebagai kembalinya seorang pemimpin terhebat yang telah menang. Tidak seperti bunyi trompet lain, trompet ini akan membangkitkan orang-orang yang mati dalam Kristus untuk menyambut kedatangan Kristus, bersama-sama dengan mereka yang masih hidup.

Gambaran serupa bisa kita baca dalam surat pertama Paulus kepada jemaat di Korintus. Di sana juga dibahas tentang kematian, “musuh terakhir” yang akan dihancurkan Kristus (15:26). Paulus meyakinkan jemaat di Korintus bahwa “pada waktu terdengar bunyi trompet itu, orang-orang mati akan dihidupkan kembali dengan tubuh yang abadi, dan kita semuanya akan diubah” (15:52 BIS). Sengat maut kehilangan kuasanya karena kemenangan Kristus yang sempurna.

Sembari menantikan hari itu, kita dipanggil untuk mempersiapkan diri: “berbajuzirahkan iman dan kasih, dan berketopongkan pengharapan keselamatan” (1Tes 5:8). Kedatangan yang seperti “pencuri di waktu malam” ini akan sangat mengejutkan, karena hanya Allah sendiri yang tahu kapan hari tersebut akan tiba—tetapi hari itu akan menjadi pesta kejutan terbesar yang pernah ada bagi setiap kita yang menanti-nantikan kedatangan-Nya.

Vincent Bacote

Renungkan

1 Tesalonika 4:13–5:11.

(Anda juga bisa membaca 1 Korintus 15:51–58.) Menurut Anda, apa saja yang menjadi penekanan Paulus di sini? Seperti apa nada tulisannya? Bagaimana pengharapan dibicarakan di dalamnya? Mengapa penting bahwa Adven Kedua akan datang “seperti pencuri di waktu malam”?

Sabtu: Pengharapan Bagi Yang Disfungsi

Bacaan Hari Ini: 1 Korintus 1:1–9

Saat kita membaca tentang kedatangan kembali Kristus dalam 1 Korintus, penting untuk mengingat konteks surat Paulus ini. Jemaat di Korintus adalah sebuah komunitas yang penuh dengan masalah. Ada perpecahan dalam jemaat yang mendukung pemimpin mereka masing-masing, ada skandal seksual, ada kontroversi tentang daging persembahan untuk berhala, dan banyak lagi. Meskipun komunitas Kristen ini mengalami banyak disfungsi, dalam 1 Korintus 1:1-9, Paulus menyebut mereka sebagai orang-orang yang dikuduskan (“saints” atau orang-orang suci dalam terjemahan King James). Paulus kemudian mengingatkan bahwa Allah telah begitu bermurah hati kepada mereka dengan menyediakan karunia-karunia rohani dan menggambarkan mereka sebagai umat yang “menantikan” kedatangan Kristus kembali. Paulus menekankan kasih karunia Allah (ay. 4) dan komitmen-Nya bagi mereka: “Ia juga akan meneguhkan kamu sampai kepada kesudahannya” (ay.8). Sekalipun iman mereka lemah sebagaimana tampak dalam perilaku dan sikap mereka yang berdosa, kesetiaan Allah kepada mereka (dan juga kita) meliputi komitmen-Nya untuk menolong umat-Nya bertumbuh dan diubahkan makin serupa Kristus.

Sementara pasal 1 menekankan bahwa Allah, dengan kasih karunia-Nya akan meneguhkan jemaat di Korintus sampai kepada kesudahannya, dalam surat yang sama Paulus menggambarkan kedatangan Kristus dan mendesak jemaat di Korintus, “Saudara-saudaraku yang kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah” (15:58, penekanan dengan huruf miring ditambahkan). Paulus memanggil mereka untuk memiliki keteguhan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari penantian akan kedatangan Kristus kembali. Terlepas dari banyaknya kesalahan dan kegagalan mereka, Paulus memanggil mereka untuk mengalami transformasi dan memiliki determinasi.

Kita melihat gambaran keteguhan serupa dalam surat Paulus yang lain: “Sementara kita “menantikan penggenapan pengharapan kita yang penuh bahagia dan pernyataan kemuliaan Allah yang Mahabesar dan Juruselamat kita Yesus Kristus,” kasih karunia Allah “mendidik kita supaya meninggalkan kefasikan dan keinginan-keinginan duniawi” (Titus 2:11–14).

Membaca 1 Korintus atau surat-surat Paulus lainnya, mau tidak mau kita akan memperhatikan betapa kuatnya Paulus membahas soal dosa dan disfungsi. Namun, sebagaimana yang ditunjukkan dalam 1 Korintus 1:8-9, tanggapan Paulus terhadap masalah-masalah yang besar itu selalu dilatarbelakangi dengan pengharapan yang besar. Kita dipanggil untuk melakukan bagian kita, sementara Allah, dalam kasih karunia-Nya, juga terus melakukan pekerjaan-Nya dalam hidup kita.

Jemaat di Korintus adalah sebuah contoh, sekaligus sebuah penghiburan bagi kita. Kebanyakan kita mungkin pernah mengalami momen disfungsi rohani kita masing-masing, tetapi kegagalan kita tak seharusnya menjadi fokus utama kita. Sebaliknya, kita dapat melihat kepada Yesus, yang tidak hanya membuat rekonsiliasi dengan Allah menjadi mungkin, tetapi yang juga berkomitmen menolong kita supaya kita dapat menghadap Allah dengan tidak bercacat saat kerajaan-Nya tiba. Puji Tuhan, kesetiaan-Nya lebih besar daripada disfungsi kita.

Vincent Bacote

Bacalah

1 Korintus 1:1–9

dengan mengingat berbagai disfungsi yang terjadi dalam jemaat ini (Anda bisa juga membaca 1 Korintus 15:51–58 dan Titus 2:11–14.). Hal-hal apa yang ditekankan Paulus tentang Allah? Tentang formasi spiritual? Tentang kedatangan Kristus kembali? Bagaimana bagian ini memberikan pengharapan bagi Anda?

Kontributor:

Vincent Bacote adalah lektor kepala bidang teologi di Wheaton College. Beliau adalah penulis buku The Political Disciple: A Theology of Public Life.

Charlie Dates adalah gembala sidang di Chicago's Progressive Baptist Church. Beliau meraih gelar PhD dalam Teologi Historis dari Trinity Evangelical Divinity School.

Fleming Rutledge, seorang pendeta gereja episkopal, melayani selama 21 tahun di gereja lokal sebelum kemudian menjadi seorang dosen, penulis, dan guru dari banyak pengkhotbah lainnya. Beliau adalah penulis buku The Crucifixion.

Danté Stewart adalah seorang penulis dan pengkhotbah yang belajar di Fakultas Teologi Candler di Universitas Emory.

Diterjemahkan oleh: Echa Puspita

Pengharapan Adalah Sebuah Lompatan Penantian

Adven mengingatkan kita bahwa pengharapan Kristen dibentuk oleh apa yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi lagi.

Christianity Today November 28, 2020
Fabrizio Conti / Unsplash

Ibu saya, Young Kim, dilahirkan di Korea pada tahun 1948, saat negara itu di ambang perang saudara. Di usianya yang kelima, negaranya terpecah menjadi dua, Utara dan Selatan. Keluarganya yang dahulu kaya-raya, kehilangan segalanya. Kedua orangtuanya meninggal saat ia beranjak remaja. Dua kakak laki-lakinya menyusul beberapa tahun kemudian. Setelah menikah, ibu saya bergumul dengan banyak masalah rumah tangga. Ia akhirnya berpisah dengan ayah saya, lalu pindah ke Amerika Serikat di usia 30-an, sebagai orangtua tunggal, dengan membawa pakaian satu tas, beberapa dolar di tangan, dan saya, yang saat itu masih balita. Kehidupannya adalah sebuah kisah yang sarat pergumulan, dukacita, dan kehilangan. Namun, sekalipun hidupnya begitu penuh tantangan, ia adalah orang paling berpengharapan yang pernah saya kenal.

Kalau Anda berkesempatan menanyainya, tanpa ragu sedikit pun ia akan memberitahu Anda bahwa Yesus adalah satu-satunya sumber pengharapannya. Ia akan memberitahu Anda bahwa sejak ia berjumpa dengan Kristus yang telah bangkit, perjumpaan yang terjadi hampir 40 tahun lalu, hidupnya tidak lagi didikte situasi yang berubah-ubah, tetapi ditopang sesuatu yang tetap dan tidak berubah. Sesuatu itu bukanlah sebuah kisah naif atau cerita negeri dongeng yang lahir dari mimpi indah tentang hidup tanpa masalah. Ia berpegang dengan berani, sekalipun itu kerap tidak mudah, pada sesuatu yang jauh lebih substantif. Pengharapannya teguh, tidak tergoyahkan, pada sesuatu yang telah terjadi dan akan terjadi.

Dalam 1 Petrus 1:13 (BIS) kita membaca, “Sebab itu hendaklah kalian siap siaga. Waspadalah dan berharaplah sepenuhnya pada berkat yang akan diberikan kepadamu pada waktu Yesus Kristus datang nanti.” Dalam bahasa Yunani, kata yang diterjemahkan sebagai “siap siaga” (anazōnnymi) adalah sebuah istilah yang menggambarkan persiapan secara fisik. Kata ini diambil dari praktik yang umum dijumpai di wilayah Timur Dekat Kuno: orang yang hendak melakukan suatu pekerjaan fisik biasanya akan mengangkat jubah mereka yang panjang dan mengikatnya ke pinggang agar mereka dapat leluasa bergerak. Persiapan semacam ini dilakukan baik oleh para petani yang hendak ke sawah, para prajurit yang hendak pergi berperang, maupun para pelari yang hendak bertanding.

Saya bertanya-tanya apakah saat menuliskan kalimat ini dalam surat pertamanya, Petrus sedang memikirkan salah satu momen perjumpaannya dengan Sang Kristus yang bangkit. Pada akhir Injil Yohanes, kita membaca bagaimana Yesus yang sudah bangkit menampakkan diri kepada murid-murid-Nya di tepi Danau Galilea. Petrus dan rekan-rekannya sedang menjala ikan, tetapi begitu mereka mengenali Yesus yang memanggil mereka dari tepi pantai, Petrus “langsung mengikat jubahnya ke pinggangnya dan lompat ke dalam air …” (Yoh 21:7 TSI). Ia mengikat jubahnya ke pinggangnya. Kata dan gambaran yang sama dipakainya dalam 1 Petrus 1:13. Saat Petrus melihat Yesus menampakkan diri di tepi pantai Galilea, ia dengan segera mengenakan jubahnya dan bertindak. Beberapa dekade kemudian, Petrus mengajak para pengikut Yesus untuk memberikan respons yang sama atas pengharapan yang mereka—dan juga kita—miliki, atas “berkat yang akan diberikan kepadamu pada waktu Yesus Kristus datang nanti”.

Penantian dan Tindakan

Menurut beberapa ahli bahasa, kata “hope” (pengharapan) memiliki akar kata yang sama dengan “hop” (melompat), menunjukkan bahwa berharap akan sesuatu itu berarti melompat dalam penantian, melompat ke arah peluang. Entah benar atau salah, pemikiran tersebut memiliki poin yang menarik. Dalam zaman kita sekarang, pengharapan telah dianggap sebagai sesuatu yang pasif, dilumpuhkan dari sifat aslinya yang berorientasi pada tindakan. Kita berharap agar antrian tidak terlalu panjang. Kita berharap mendapatkan diagnosis yang baik. Kita berharap semua akan baik-baik saja.

Hari ini, pengharapan sering dibayangkan sebagai versi dewasa dari angan-angan. Sebab itu, saat pengharapan yang kita miliki bukan sesuatu yang lazim, kita mungkin menyebutnya sebagai “angan-angan belaka”. Namun, pengharapan Kristen bukanlah angan-angan belaka. Pengharapan Kristen adalah sebuah lompatan maju yang penuh keyakinan akan apa yang bisa terjadi. Kita mengambil tindakan. Kita aktif bergerak. Dalam The Message, Eugene Peterson memakai frasa berikut untuk mengawali 1 Petrus 1:13: “Singsingkan lengan bajumu.” Pengharapan Kristen adalah tentang menyingsingkan lengan baju dan mulai bekerja. Pengharapan seperti yang dimiliki para pekerja kerah biru, membuat kita siap dan mau turun tangan langsung untuk bekerja, berjerih lelah untuk meraih apa yang kita harapkan dan yang dijanjikan kepada kita.

Natur pengharapan Kristen yang sangat berlawanan dengan natur intuisi kita ini dibentuk oleh keuletan dan ketabahan, yang sayangnya hilang dari gambaran pengharapan dalam budaya populer. Pengharapan Kristen tidak menghindari tetapi justru berlomba menghadapi penderitaan di dalam dunia kita. Tim Keller menulis, “Sementara pandangan-dunia lain membawa kita untuk duduk di tengah sukacita kehidupan sembari mengantisipasi dukacita yang akan datang, Kekristenan memberdayakan para pengikutnya untuk duduk di tengah dukacita dunia ini sembari mengecap sukacita yang akan datang.” Pengharapan Kristen tidak menipu diri dengan janji-janji kenyamanan dan kemudahan duniawi saat sebenarnya hati selalu gelisah dengan masa yang akan datang. Pengharapan Kristen justru merengkuh pergumulan hidup manusia dengan kekuatan dan tujuan. Memang benar ada rasa sakit dan penderitaan dalam hidup ini, tetapi pengharapan Kristen memampukan penerimanya untuk berdiri tegak, tetap hidup dalam harkatnya sebagai Imago Dei, gambar Allah.

Saya teringat teman saya Landon dan Sarah Baker. Komunitas kami bersukacita saat mereka membagikan berita bahwa mereka sedang menantikan kelahiran anak mereka. Namun saat bayi itu lahir, terjadi komplikasi. Di tengah pandemi global, saya masuk ke dalam ruang perawatan intensif bayi baru lahir (NICU) di rumah sakit dengan masker menutupi wajah, memimpin penyerahan anak untuk seorang bayi perempuan cantik yang usianya di bumi tidak akan mencapai tiga hari. Dengan air mata berlinang, pasangan orang tua yang masih muda itu mendoakan anak perempuan mereka dan memeluknya saat ia menghembuskan napas terakhir dan memasuki kekekalan. Mereka membacakan Mazmur untuknya dan menyanyikan tentang kasih mereka kepada Yesus. Dalam kepedihan sekalipun, pengharapan mereka tidak goyah.

Saya teringat teman saya Darren Johnson, yang melewati satu tahun penuh tanpa pekerjaan. Dengan keluarga yang harus dinafkahi dan tagihan yang harus dibayar, situasinya sangat memprihatinkan. Ia tidak mendapat pekerjaan bukan karena kurang berusaha. Semua yang diupayakannya tidak berhasil dan ia tidak tahu mengapa bisa begitu. Namun, dalam kebingungannya, ia terus berdoa, menyembah, memimpin keluarganya dengan gagah berani, dan melayani komunitasnya. Ia sangat yakin bahwa Allah masih terus bekerja bahkan dalam detail terkecil dari situasinya yang membingungkan, sekalipun ia tidak tahu bagaimana Allah melakukannya. Dalam ketidakpastian, ia memberi teladan iman yang besar. Pengharapannya tidak goyah.

Saya teringat teman saya, Christina Tang. Ia adalah seorang penulis lagu berbakat di usia 20-an dan sedang mengerjakan sejumlah lagu saat menerima berita bahwa ada kanker di perutnya—yang jenisnya agresif. Kesedihan dan kebingungan menyelimutinya. Namun kemudian ia menetapkan hati. Meski tubuhnya melemah, Christina terus menulis dan merekam lagu. Ia menemukan kekuatan untuk memimpin pujian dari waktu ke waktu di gereja. Saat tangannya tidak lagi bisa memainkan gitar, ia merekrut teman-teman musisi untuk menolongnya. Beberapa minggu setelah ia meninggal, kami membagikan kepada setiap jemaat di gereja kami, satu kopi dari album barunya: enam lagu yang ditulisnya dengan susah payah dan direkam dalam bulan-bulan terakhir hidupnya. Pengharapannya tidak goyah.

Seperti itulah pengharapan Kristen. Tidak mengabaikan, tetapi justru berani menghadapi rasa takut, cemas, dan ragu. Tetap tenang, memiliki damai sejahtera di tengah kekacauan. Melewati berbagai badai hidup yang sarat bahaya—baik itu pandemi, perpecahan politik, keresahan sosial, maupun pergumulan pribadi—pengharapan Kristen ditopang oleh sesuatu yang lebih besar, yang telah terjadi dan yang akan terjadi lagi.

Dia Akan Datang Kembali; Singsingkan Lengan Bajumu!

Masa Adven adalah pengingat yang sangat baik untuk kita. Mendekati akhir bulan November, kita akan mulai melihat banyak hiasan Natal yang mengingatkan kita pada peristiwa kelahiran Yesus. Namun, musim yang akan segera kita masuki sebenarnya bukan sekadar perjalanan menyusuri sejarah, melainkan lebih merupakan perjalanan mempersiapkan masa depan. Adven yang berasal dari kata bahasa Latin “adventus”, artinya “kedatangan”, adalah penantian panjang kita akan masa depan, yang diterangi oleh sejarah. Terang kisah Natal menerobos kelamnya kesalahan kita di masa lalu, penderitaan kita yang sekarang, dan kegelisahan kita akan masa depan, serta menunjukkan kepada kita hari-hari yang lebih cerah di depan sana.

Dalam Kisah Para Rasul 1:11, para murid yang menyaksikan kenaikan Yesus ke surga diingatkan bahwa, “Yesus ini, yang terangkat ke surga meninggalkan kamu, akan datang kembali dengan cara yang sama seperti kamu melihat Dia naik ke surga.” Dia akan datang kembali. Inilah janji yang kita rayakan dan peringati selama masa Adven, dan inilah dasar yang teguh dari pengharapan Kristen. Ingat perkataan Petrus, “… berharaplah sepenuhnya pada berkat yang akan diberikan kepadamu pada waktu Yesus Kristus datang nanti.” Kita menyingsingkan lengan baju dan terus menyatakan pengharapan Kristen dalam apa yang kita lakukan karena Kristus akan datang kembali. Kita dapat menghadapi segala macam hal dengan ketekunan, ketabahan, dan kesabaran, karena masa Adven mengingatkan kita tentang akhir ceritanya. Inilah mengapa Paulus menulis, “… aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita. … Sebab kita diselamatkan dalam pengharapan. Tetapi pengharapan yang dilihat, bukan pengharapan lagi, sebab bagaimana orang masih mengharapkan apa yang dilihatnya? Tetapi, jika kita mengharapkan apa yang tidak kita lihat, kita menantikannya dengan tekun” (Rm 8:18, 24–25).

Ibu saya mencapai usia 70 tahun beberapa tahun lalu. Mengunjungi Hawai sudah lama ada dalam daftar hal yang ingin ia lakukan, jadi kami pun pergi ke sana. Kami tinggal dekat Pantai Waikiki, dan dari jendela kamar hotel, kami bisa melihat Diamond Head, salah satu tempat pendakian paling terkenal sekaligus paling berat di sana. Saya bertanya apa ibu saya mau mencobanya. Tanpa ragu ia berkata, ya. Perjalanan untuk mendaki Diamond Head dan turun kembali menempuh jarak total kurang lebih 2.5 km. Lintasannya sangat curam, dan kami harus mendaki hampir 200 meter dari bagian bawah kawah ke puncak. Saya segera menyesali pertanyaan saya, tidak yakin apakah ibu saya cukup kuat mendaki dalam usianya yang sekarang.

Esok paginya, kami naik mobil menuju bagian bawah kawah. Sekali lagi saya bertanya apakah ibu saya benar-benar mau mendaki ke puncak. Saya bilang, tidak apa-apa untuk kembali saja, bersantai di pantai sambil menikmati Poke Bowl (salah satu makanan khas di Hawai). Ia tersenyum dan mulai berjalan maju. Kira-kira separuh jalan, melihatnya kelelahan dan merasa kelelahan juga, saya kembali bertanya apakah ia mau kembali saja. Ia menatap saya, tersenyum, dan menyingsingkan lengan bajunya. Kami melanjutkan perjalanan dan pada akhirnya menikmati pemandangan yang spektakuler dari puncak. Ya, kami berhasil mencapai puncak. Seperti itulah pengharapan bagi ibu saya. Seperti itu jugalah pengharapan Kristen. Kita menyingsingkan lengan baju dan maju selangkah demi selangkah dengan tekun sampai akhirnya tiba di tujuan.

Begitu kami kembali ke hotel untuk istirahat, kami memakai FaceTime untuk menelepon anak-anak saya—cucu-cucunya—yang berada di rumah. Dengan berbinar-binar, ibu saya menceritakan kepada cucu laki-lakinya yang baru lahir bagaimana ia berhasil menaklukkan Diamond Head. Cucunya itu baru berusia tiga bulan, dan ibu saya memberinya nama dalam bahasa Korea: So-Mahng, yang berarti “pengharapan”. Tentu saja.

Jay Y. Kim adalah salah satu pendeta di Gereja West Gate, pengajar di Vintage Faith Church, dan penulis buku Analog Church. Ia tinggal bersama keluarganya di Silicon Valley.

Diterjemahkan oleh: Echa Puspita

This article is part of CT’s 2020 Advent Project. Learn more at MoreCT.com/Advent.

This article is also part of our 300+ CT Global translations.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Bertaruh Nyawa di ‘Negeri Atas Awan’

Di pegunungan Papua, para misionaris dan kaum profesional Indonesia bersama melayani mereka yang terhilang.

Anak-anak Lani berlari di landasan pacu pegunungan di Mamit, destinasi pilot MAF Joyce Lin pada penerbangan di hari kematiannya.

Anak-anak Lani berlari di landasan pacu pegunungan di Mamit, destinasi pilot MAF Joyce Lin pada penerbangan di hari kematiannya.

Christianity Today November 23, 2020
Timothy Dalrymple

Jauh tinggi di atas pedalaman Papua, sang pilot mulai cemas. Hari sudah mulai siang, bergeser dari rencananya semula, dan awan mulai menebal. Desa tempat suku Mokndoma tinggal, ada di bawah sana. Sebentar-sebentar di antara sibakan awan ia bisa melihat sekilas letak desa itu di tanjakan sebuah hutan. Namun, pesawat kecil yang dikemudikannya mulai kehabisan bahan bakar, dan tiupan angin membuatnya tidak bisa melihat jelas marka rerumputan di landas pacu.

Sang pilot terus bertukar informasi dengan rekannya di pesawat lain yang mengangkut separuh lagi delegasi pebisnis, ilmuwan, dan jurnalis Kristen. Mereka sudah berhasil mendarat beberapa menit sebelumnya, tetapi sepertinya tidak akan bisa meneruskan perjalanan ke mana-mana sampai besok pagi. Dalam situasi serba sulit, sang pilot akhirnya mengambil keputusan. Mokndoma harus menunggu.

Kurang lebih seperti itulah tantangan yang dihadapi para misionaris di salah satu tempat paling terpencil di dunia. Berbulan-bulan setelah rombongan yang dibawa pilot tersebut meninggalkan Papua, seorang pilot perempuan Amerika yang bekerja untuk Mission Aviation Fellowship (MAF) kehilangan nyawanya di sana. Pagi hari tanggal 12 Mei, pesawat Kodiak Joyce Lin mengalami gangguan dan akhirnya jatuh ke dalam Danau Sentani. Lulusan MIT dan Gordon-Conwell Theological Seminary ini sedang dalam perjalanan mengantarkan suplai bantuan kesehatan untuk menangani virus korona ke desa Mamit, salah satu tempat tinggal penduduk asli Papua di pegunungan.

Kematian Joyce membuat banyak orang Kristen di seluruh dunia sejenak memperhatikan wilayah ujung bumi ini, tempat para misionaris telah bekerja selama beberapa generasi, untuk memberitakan Injil dan menerjemahkan Alkitab bagi ratusan suku penganut kepercayaan animisme, yang tinggal di sana.

Hari ini, terjalinnya kerjasama antara para misionaris asing dan orang-orang Kristen Indonesia memungkinkan masing-masing pihak bisa fokus memberikan kontribusi unik mereka di dalam tubuh Kristus.

Pulau tempat Joyce meninggal adalah pulau terbesar kedua setelah Greenland, dengan puncak gunung tertinggi di dunia setelah Himalaya dan Andes. Suku-suku yang mendiami wilayah ini, dahulu terkenal suka berperang dan melakukan ritual pemujaan roh. Bagian barat Papua adalah provinsi terbesar dan paling timur dari Indonesia, pembangunannya agak tertinggal karena letaknya yang jauh dari pemerintah pusat. (Separuh pulau lagi di bagian timur, adalah wilayah negara Papua Nugini, dengan jumlah suku dan kebutuhan yang bahkan lebih besar.)

Sebuah pesawat MAF terbang ke Mamit di pegunungan, pedalaman Papua.Jeremy Weber
Sebuah pesawat MAF terbang ke Mamit di pegunungan, pedalaman Papua.

Aktivitas para misionaris di Papua selalu disertai risiko. Seperti halnya orang-orang Kristen di Amerika mengenang teladan Jim Elliot dan empat misionaris yang mati martir di Ekuador, orang-orang Kristen Australia juga mengenang teladan pelayanan seorang martir bernama Stan Dale.

Dale dulunya adalah seorang tentara. Ia masuk ke dalam wilayah pegunungan di jantung pulau itu setelah Perang Dunia II dan melayani suku Yali di sana. Suatu hari di tahun 1966, ia diserang dengan lima anak panah, tetapi ia bertahan hidup dan terus melayani. Di tahun 1968, sekelompok prajurit Yali yang lain menyerangnya, kali ini dengan puluhan anak panah berduri.

Dale dan temannya, Philip Masters, meninggal hari itu, di tepi aliran sebuah sungai. Namun, Injil kemudian tersebar di tengah suku Yali, dan proyek terjemahan Alkitab yang dimulai Dale dari Injil Markus akhirnya berhasil diselesaikan, menjadikan Yali sebagai suku pertama dari ratusan suku di Papua yang memiliki Alkitab lengkap dalam bahasa mereka.

Setelah dilayani selama beberapa dekade oleh para misionaris dari Australia, Amerika, dan lainnya, kebanyakan dari 3,3 juta penduduk Papua tercatat dalam sensus penduduk Indonesia sebagai orang Kristen. Ribuan gereja kini tersebar di desa-desa tepi bukit, yang dahulu dipenuhi orang-orang nomaden penganut animisme.

Sayangnya, banyak di antara mereka adalah Kristen KTP atau berpandangan sinkretis. Pemuridan dan penerjemahan Alkitab masih tetap sangat dibutuhkan. Tidak sampai 50 dari 275 bahasa di Papua, memiliki Perjanjian Baru yang lengkap. Jumlah bahasa suku yang memiliki terjemahan beberapa bagian Alkitab juga kurang lebih sama. Hanya sedikit sekali yang punya Alkitab lengkap dalam bahasa suku mereka.

Sebagai bagian dari delegasi, CT mengunjungi lima desa beberapa minggu sebelum WHO mengumumkan pandemi COVID-19 dan pemerintah setempat menutup akses bagi orang asing untuk masuk Papua. Menurut para misionaris di desa-desa ini, kondisi pendidikan dan kesehatan penduduk yang memprihatinkan, adalah salah satu hambatan paling menantang yang mereka hadapi dalam upaya menerjemahkan Alkitab di sana.

Daboto: Klinik YPHP memberikan layanan kesehatan berkualitas untuk suku Moi di pedalaman.Jeremy Weber
Daboto: Klinik YPHP memberikan layanan kesehatan berkualitas untuk suku Moi di pedalaman.

Di desa Daboto, Stephen Crockett dan istrinya, Carolyn, telah melayani suku Moi sejak tahun 2000 melalui Ethnos360 (sebelumnya dikenal sebagai New Tribes Mission). “Prioritas kami adalah kesehatan rohani mereka. Kami ingin mereka mendengar Injil dan bertumbuh sebagai gereja yang sehat dan dewasa,” kata misionaris dari Ohio itu. “Namun, kami sangat menyadari bahwa mereka juga memiliki kebutuhan jasmani yang sangat besar.”

Stephen menceritakan betapa daftar pokok doa mereka itu “sangat banyak”. Sebagian besar sifatnya logistik, misalnya tentang mengambil perbekalan dari wilayah pesisir, mengoordinasikan jadwal dengan para pilot, interaksi dengan petugas daerah, atau menyediakan layanan darurat medis untuk pasien di wilayah terpencil. Jawaban atas doa-doa itu juga bisa lama datangnya, misalnya: butuh delapan tahun untuk dapat membangun landasan pacu tak beraspal. “Selama bertahun-tahun, kami kerap dibangunkan di malam hari oleh orang-orang yang membutuhkan, dan kami tidak tahu bagaimana kami bisa menolong mereka,” ia melanjutkan ceritanya.

Para misionaris sangat menyadari kebutuhan akan Alkitab. “Kamu bisa saja sekadar berkhotbah di sana sepanjang hidupmu dan tidak ada orang yang mengingat pengajaranmu di generasi berikutnya,” kata seorang misionaris, “tetapi kalau kamu meninggalkan sebuah Alkitab yang bisa mereka baca, segalanya akan menjadi berbeda.”

Namun, bagaimana mereka bisa fokus menerjemahkan, jika kebutuhan untuk sekolah dan obat-obatan begitu mendesak dan terus-menerus ada?

Nalca: Pendiri YPHP, James Riady, mendampingi para siswa belajar matematika.Jeremy Weber
Nalca: Pendiri YPHP, James Riady, mendampingi para siswa belajar matematika.

Inilah peran mitra pelayanan mereka, Yayasan Pendidikan Harapan Papua (YPHP). Yayasan yang berpusat di Jakarta ini menyediakan guru-guru dan tenaga medis Kristen untuk daerah-daerah terpencil. Pendirinya, seorang pengusaha Kristen Indonesia, James Riady, melihat bahwa pemerintah Indonesia kini telah berupaya untuk membangun Papua yang lebih baik. Salah satu bukti paling terlihat adalah pembangunan stadion sepakbola nan megah di dekat bandara Sentani. Namun, pemerintah masih mengalami kesulitan dalam menyediakan sumber daya guru dan tenaga medis di sana.

Banyak guru hanya muncul di sekolah untuk memberikan ujian akhir. Klinik kesehatan terdekat seringkali berjarak tiga hari perjalanan, tanpa jaminan bahwa akan ada petugas yang melayani saat kita sampai di sana. Para pegawai negeri bisa absen selama berbulan-bulan, karena harus pergi ke ibukota provinsi, Jayapura, menunggu pembayaran gaji mereka yang tak selalu datang.

“Tidak ada orang yang akan datang ke Papua untuk bekerja kecuali dipanggil Tuhan,” kata James. “Upaya pemerintah dalam bidang pendidikan dan kesehatan di daerah-daerah terpencil itu tidak berhasil karena orang-orang yang diutus ke sana bukanlah orang-orang yang terpanggil.”

Di sebelah barat Jakarta di pulau Jawa, yayasan milik keluarga Riady mengoperasikan sebuah universitas Kristen yang memiliki Fakultas Ilmu Pendidikan (Teachers College) dan Fakultas Keperawatan. Para mahasiswa dari 31 provinsi dibebaskan dari biaya pendidikan bila mereka berkomitmen untuk melayani selama lima tahun sebagai volunter setelah lulus. Dari 2.500 alumni, banyak yang telah memilih untuk melayani di wilayah-wilayah paling miskin dan terpencil di 6.000 pulau berpenghuni di Indonesia.

YPHP saat ini melayani delapan desa di Papua, mengoperasikan delapan sekolah dan lima klinik kesehatan. Di tahun 2020, ada 50 guru penuh waktu yang mengajar 870 anak, dan ada 12 perawat serta seorang dokter yang melayani 8.000 pasien.

Sekolah Lentera Harapan di Nalca ini melayani 110 siswa suku Mek.Jeremy Weber
Sekolah Lentera Harapan di Nalca ini melayani 110 siswa suku Mek.

“Saya malu melihat ada banyak misionaris (asing) yang peduli dengan orang-orang di Papua, sementara saya sendiri yang adalah orang Indonesia, bahkan tidak tahu kalau di sini ada orang-orang yang tidak bisa mengenyam pendidikan,” kata Henny, seorang pemudi dari Jakarta yang saat ini menjadi salah satu dari tujuh guru yang melayani 140 murid di Sekolah Lentera Harapan. Sekolah ini berlokasi di salah satu desa di pegunungan, di pedalaman distrik Nalca. “Saya minta diutus ke sini. Keluarga saya tidak setuju, tetapi saya tetap datang ke sini karena saya tahu tujuan dan panggilan hidup saya.”

Guru-guru seperti Henny—yang kebanyakan bukan orang asli Papua—adalah orang-orang yang dicintai warga. Di Mokndoma, delegasi YPHP disambut dengan babi panggang—sambutan yang luar biasa mengingat babi sangat tinggi nilainya dalam budaya mereka. Begitu tingginya nilai babi, sampai-sampai ibu-ibu di sana rela menyusui bayi babi, dan ada tradisi memotong jari sebagai tanda duka ketika ada babi yang mati. Setiap kali para pengunjung akan meninggalkan sebuah desa, para guru dan tenaga kesehatan YPHP pun menyanyikan lagu “Melayani Lebih Sungguh,” sebuah lagu pujian yang merefleksikan teladan kasih Tuhan.

Melayani, melayani lebih sungguh.
Tuhan lebih dulu melayani kepadaku
Mengasihi, mengasihi, lebih sungguh.
Tuhan lebih dulu mengasihi kepadaku.
Mengampuni, mengampuni lebih sungguh.
Tuhan lebih dulu mengampuni kepadaku.

Para siswa YPHP berdoa di Mamit.Jeremy Weber
Para siswa YPHP berdoa di Mamit.

YPHP dan para misionaris di Papua melihat kerjasama di antara mereka sebagai hal yang esensial. YPHP membutuhkan para misionaris yang sudah berada di Papua selama puluhan tahun, untuk membangun kepercayaan masyarakat serta memastikan kondisi yang aman dan stabil bagi sekolah-sekolah dan klinik kesehatan yang mereka bangun. Orang-orang Papua yang berkulit gelap dan berambut kribo, melihat orang-orang Jakarta yang “berambut lurus” hampir seperti orang asing, meskipun mereka sama-sama adalah warga negara Indonesia.

Di sisi lain, peran YPHP memungkinkan para misionaris untuk berfokus pada panggilan utama mereka—kesehatan rohani warga—dan untuk mempercepat proses penerjemahan Alkitab serta pemuridan. “Saat YPHP datang di tahun 2016 dan menawarkan untuk membereskan banyak hal dalam daftar kebutuhan kami,” kata Stephen, “itu seperti mimpi yang menjadi kenyataan—jawaban doa yang sangat luar biasa.”

Gereja di Daboto ini mengajarkan kisah narasi Alkitab melalui gambar berwarna-warni.Jeremy Weber
Gereja di Daboto ini mengajarkan kisah narasi Alkitab melalui gambar berwarna-warni.

Stephen berharap bisa menyelesaikan terjemahan Perjanjian Baru bahasa Moi dalam tiga tahun ke depan. Selanjutnya, ia akan berfokus untuk menambah terjemahan ayat-ayat kunci di Perjanjian Lama yang saat ini baru berjumlah 1.000, dengan 4.000 ayat lagi. Sekitar 500 penduduk suku yang dilayaninya masih mempertahankan “gaya hidup zaman batu” dalam banyak hal, tetapi sekarang dua pertiga dari mereka sudah memiliki kecakapan literasi. “Kecakapan baru itu mereka pakai untuk membaca Alkitab. Mereka tidak punya kepentingan lainnya.”

Di gereja yang dirintis Stephen tampak sederet lukisan yang mengajarkan narasi Alkitab mulai dari Penciptaan kepada Kristus sampai lahirnya jemaat mula-mula dalam Kisah Para Rasul. Gerejanya itu telah menghasilkan cukup banyak pemimpin yang siap memuridkan orang percaya lain apabila ia dan keluarganya meninggalkan mereka. Ia mengisyaratkan akan pindah ke sisi lain dari lembah tempat ia tinggal sekarang. “Ada sebuah desa yang telah mendapat pengajaran Perjanjian Baru dari Kitab Roma, dan saya belum pernah menginjakkan kaki di sana.”

Mitra pelayanan penting lainnya adalah pelayanan penerbangan. Sejumlah plakat terpasang di dinding kantor pusat MAF di Sentani untuk menghormati tujuh pilot yang kehilangan nyawa di Papua sekitar tahun 1970 – 1980. “Dalam dua tahun pertama saya di sini, saya membuat 11 peti mati,” kata Wally Wiley, penasihat utama dari MAF Papua. Joyce adalah korban meninggal pertama dalam catatan penerbangan MAF selama 23 tahun terakhir.

Sebuah lukisan di kantor pusat MAF di Sentani.Jeremy Weber
Sebuah lukisan di kantor pusat MAF di Sentani.

Berdekatan dengan plakat-plakat itu, tampak rak-rak buku yang dipenuhi terjemahan Alkitab dalam berbagai bentuk dan ukuran. “Inilah tujuan kami ada di sini.” kata Wally. Komitmen para pilot untuk menolong suku-suku di Papua menerima terjemahan Alkitab dalam bahasa mereka, tak kalah dengan para penerjemah Alkitab itu sendiri.

MAF melayani banyak sekali badan misi dan klien lain untuk transportasi udara antar 150 desa yang ada, tetapi sekolah-sekolah YPHP menjadi salah satu prioritas mereka. “Selain Injil, kebutuhan terbesar kami di sini adalah pendidikan dan kesehatan,” kata Wally, yang sudah tinggal di Papua selama empat dekade dan menjadi warga negara Indonesia. Ia juga ikut mendirikan Sekolah Lentera Harapan di Sentani. “Menghasilkan generasi baru yang takut akan Tuhan untuk mengambil peran sebagai para pemimpin dalam masyarakat, adalah kunci untuk melihat provinsi ini menjadi terang yang bersinar bagi dunia.”

Mamit: James Riady (bagian bawah tengah) hadir dalam pertemuan siswa yang merayakan 100 hari belajar di sekolah terbesar YPHP tersebut.Jeremy Weber
Mamit: James Riady (bagian bawah tengah) hadir dalam pertemuan siswa yang merayakan 100 hari belajar di sekolah terbesar YPHP tersebut.

"Kami berpacu melawan waktu," kata James. "Kami hanya punya kesempatan satu generasi untuk membawa Injil melalui pendidikan, layanan kesehatan, dan teladan moral." Mengapa? Karena seiring dengan pembangunan infrastruktur yang dilakukan pemerintah, sudah terlihat bagaimana koneksi yang makin terbuka dengan dunia luar mulai membawa pengaruh buruk ke dalam masyarakat, seperti: alkohol, prostitusi, dan HIV.

"Papua punya sekitar 400 desa yang memiliki landas pacu," kata James. "Sebanyak itulah sekolah dan klinik kesehatan yang bisa dibangun YPHP. "Sayangnya," kata Wiley, "hanya tersisa sekitar 70 misionaris di pedalaman dari 250 misionaris yang ada beberapa dekade silam." Kesempatan untuk saling bermitra dalam pelayanan pun tambah sedikit.

“Kami melihat ada begitu banyak pekerjaan yang harus diselesaikan,” kata James. “Biaya pembangunan di desa-desa ini sama besarnya dengan pembangunan di Jakarta, karena semua material harus didatangkan dengan pesawat. Apakah hasilnya akan setimpal dengan biaya sebesar itu? Tuhan mengingatkan saya bahwa setiap jiwa berharga di mata-Nya.”

YPHP DabotoJeremy Weber
YPHP Daboto

“Tantangan terbesar sebenarnya bukanlah materi, tetapi bagaimana mendapatkan misionaris dan guru-guru yang benar-benar punya hati untuk anak-anak di sini,” lanjut James. “Kami bisa mengumpulkan uangnya, tetapi memanggil orang untuk misi ini adalah pekerjaan Tuhan.”

Salah satu dari mereka yang terpanggil adalah Wes Dale, yang mengampuni para prajurit Yali atas apa yang mereka lakukan terhadap ayahnya, Stan, setelah merenungkan perkataan Yesus yang setiap minggu dibacakan dalam Perjamuan Kudus di gerejanya: “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Lukas 23:34).

CT bertemu dengan Wes di Mamit, desa yang terletak di wilayah pegunungan setinggi lebih dari 1.300 meter, desa yang merupakan tujuan pilot Joyce dalam penerbangan yang merenggut nyawanya. Wes mengajar di sana, di sebuah Sekolah Alkitab untuk orang-orang suku Lani, suku terbesar di Papua yang jumlah penduduknya mencapai 250.000 orang. Ia juga menolong para misionaris lain menyelesaikan terjemahan seluruh Alkitab dalam bahasa Lani. Terjemahan itu selesai dalam waktu 25 tahun.

Para pemimpin Yali memperingati 50 tahun kemartiran misionaris Stan Dale dan Phil Masters dengan Firman Tuhan dari Kisah Para Rasul 1: 8Joy Dale Crawford
Para pemimpin Yali memperingati 50 tahun kemartiran misionaris Stan Dale dan Phil Masters dengan Firman Tuhan dari Kisah Para Rasul 1: 8

Wes dan saudara perempuannya, Joy, pada perayaan 50 tahun meninggalnya ayah mereka, datang ke lokasi sang ayah meninggal sebagai martir. Di tempat itu, menggunakan tanah liat, para pemimpin Yali telah menuliskan perkataan Yesus kepada murid-murid-Nya dalam Kisah Para Rasul 1:8, “Kamu akan menjadi saksi-Ku … sampai ke ujung bumi.”

Itulah salah satu dari beberapa memorial di Papua untuk mengenang para misionaris yang kehilangan nyawa mereka demi memberi kehidupan bagi orang lain. Upacara pemakaman Joyce ditayangkan di kanal YouTube berhubung keluarganya tidak bisa datang ke Papua karena pembatasan akses di masa pandemi. Sorotan kamera menunjukkan peti mati yang tutupnya dihiasi bunga-bunga berwarna biru dan putih sementara musik dimainkan dan komentar berdatangan dari berbagai belahan dunia. Salah satu komentar itu berbunyi, “Turut berdukacita, apa yang ditaburkan di bumi akan menjadi berkat bagi banyak orang.”

Sebuah video penghormatan dibuat untuk Joyce dengan puisi berjudul “Cinta-Mu Mengutus” karya seorang pelaku wirausaha Indonesia yang pernah mengunjungi langsung pelayanan YPHP di lapangan. “Aku memang tak habis mengerti bagaimana para misionaris, pilot, guru, dokter yang melayani di pedalaman Papua ini bisa sampai ke sana dan bertahan di sana dalam semua kondisi yang tidak mudah, sungguh tidak mudah,” kata penulis puisi tersebut, mengenang kembali gelombang misionaris yang telah datang ke “negeri di atas awan” tersebut, mulai dari Dale 60 tahun silam sampai Joyce di tahun 2019.

Dari seluruh penjuru dan ujung bumi
Kau mengutus mereka, kekasih hati-Mu
Tidak peduli tantangan dan jarak ke sini
Di tempat yang tersembunyi, di tempat yang nun jauh
Di kegelapan sudut-sudut Papua
Kulihat sinar cinta-Mu terpancar terang …
Enampuluh? Limapuluh? Empat puluh? Tigapuluh tahun lalu.
Tak terbayangkanku bagaimana cinta-Mu membawa mereka.
Dua puluh? Sepuluh? Lima? Dua, bahkan setahun yang lalu.
Tak terbayangkanku bagaimana cinta-Mu membawa mereka.

Dalam salah satu surat terakhir kepada mereka yang mendukung pelayanannya, Joyce menulis, “Ada sebuah ayat terkenal yang suka dikutip orang Kristen dari Roma 8:28, yang berkata bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana-Nya.” Joyce mengaku takjub menyaksikan “dalam banyak hal ayat ini benar-benar nyata terjadi” dalam panggilannya untuk melayani di Indonesia.

Tak lama setelah meninggalnya Joyce, terlihat sekumpulan mawar merah dan beberapa tulisan tangan menghiasi landas pacu di Mamit, tempat pesawat Joyce seharusnya mendarat hari itu. Pesawat-pesawat masih tetap berdatangan ke sana sampai hari ini, seperti yang tentunya diharapkan oleh Joyce.

Jeremy Weber adalah direktur CT Global.

What do you think of this translation? Interested in helping us improve the quality and the quantity? Share your feedback here.

This article is 1 of 300+ CT Global translations—including Indonesian.

You can also now follow CT in Bahasa Indonesia by email, WhatsApp, and Telegram.

Penutupan Gereja Karena Coronavirus Bukan Penganiayaan

Pembatasan dalam beribadah mengganggu dan, dalam beberapa kasus, ilegal. Tetapi orang Kristen Amerika harus melindungi intensitas dan kebenaran istilah tersebut.

Christianity Today October 26, 2020
David McNew / Getty Images

Di tengah meningkatnya penggunaan kata kiasan “penganiayaan” untuk menyebut penutupan gereja dengan alasan kesehatan karena pandemi, saya ingin memberikan perspektif yang menghormati rekan-rekan Kristen Amerika saya.

Sepanjang 20 tahun karier saya di bidang kebebasan beragama internasional, bertemu dengan orang-orang Kristen yang teraniaya dari seluruh dunia. Saya telah mendengar cerita mereka, melihat air mata dan luka mereka, dan kehilangan teman-teman. Dari pertemuan itu, saya belajar penganiayaan sangat intens, dan itu adalah kekerasan.

Oleh karena itu, saya berharap orang Amerika akan mengesampingkan istilah penganiayaan, sehingga tidak kehilangan intensitas atau kebenarannya.

Amerika Serikat adalah salah satu negara paling terbuka dan liberal dalam hal kebebasan beragama dan berkeyakinan. Mulai dari nenek moyang kita yang mencari kebebasan untuk mempraktikkan keyakinan mereka, sampai nilai-nilai dasar kita yang dimulai dengan Amandemen Pertama dan undang-undang turunannya dan sekarang, serangkaian kemenangan Mahkamah Agung yang sudah berjalan lama, orang Amerika dari semua agama (dan tidak beragama) telah menjadi terbiasa dengan kebebasan beragama yang terus meluas. Itu bagian dari keistimewaan Amerika.

Dan pengecualian ini berlanjut ke cara negara kita mempromosikan dan melindungi kebebasan beragama untuk semua orang secara internasional. Ketika saya berada di Departemen Luar Negeri di bawah pemerintahan Obama dan Trump, kami membantu melaksanakan hal ini, menyebarkan nilai-nilai kebebasan beragama sebagai kebaikan sosial serta menghadapi para penganiaya. AS adalah pembela internasional terdepan — titik. Orang-orang yang teraniaya dari semua agama berdoa untuk intervensi kami dan ingin untuk melarikan diri ke pantai kami.

Dengan adanya pandemi, sangat meresahkan bagi orang Amerika melihat pemerintah lokal dan negara bagian mengarahkan penutupan gereja (serta sinagog, masjid, dan kuil) karena alasan kesehatan. Itu bukanlah sesuatu yang pernah kita alami sebelumnya. Namun, saya tahu banyak gereja telah menemukan cara baru yang inovatif untuk berkumpul secara virtual, atau di luar ruangan, untuk kebaktian atau persekutuan hari Minggu. Gereja saya tidak terkecuali. Itu lebih baik daripada tidak sama sekali, dan kami mendapat manfaat dari komunitas iman kami selama masa-masa sulit ini.

Sementara penutupan sementara mengejutkan bagi orang Amerika, pemerintah asing menutup tempat ibadah secara permanen sepanjang waktu. Sayangnya, ini bukan hal yang aneh, tetapi umum. Tingkat penganiayaan berada pada titik tertinggi sepanjang masa di seluruh dunia, dengan lebih dari tiga perempat komunitas global menghadapi pembatasan kebebasan beribadah yang parah. Akibatnya, orang Kristen dari setiap denominasi, orang-orang dari tradisi lain, dan individu yang tidak mempraktekkan keyakinannya menghadapi penganiayaan setiap hari karena apa yang mereka yakini.

Dalam pekerjaan saya sebagai diplomat, saya telah melihat gereja-gereja ditutup dan ibadah dikriminalkan. Rak buku saya menyimpan potongan-potongan gereja dan masjid dan sinagoge yang dirobohkan oleh pemerintah otoriter. Berdasarkan pengalaman ini, saya percaya orang Kristen Amerika akan bijaksana untuk menghindari menyebut situasi saat ini sebagai penganiayaan karena tiga alasan.

Pertama, perbedaan yang signifikan adalah motif. Dari apa yang saya amati, selama masa-masa yang tidak pasti ini, sebagian besar pejabat negara bagian dan lokal membuat, dengan itikad baik, pilihan terbaik dari yang terburuk. Memang, ada beberapa orang yang memiliki agenda anti-agama atau anti-Kristen. Saya telah melihat keputusan yang membuat frustrasi yang tampaknya tidak konsisten atau sewenang-wenang. Tetapi jika keputusan mereka tidak konstitusional, sistem peradilan kita memberikan solusi yang kuat. Sebagian besar pegawai negeri berusaha sebaik mungkin untuk menyeimbangkan hak-hak sipil dengan kekhawatiran tentang kesehatan masyarakat, semua dengan informasi yang tidak sempurna sambil berusaha meneliti situasi yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Perbedaan kedua adalah durasi. Ketika gereja ditutup karena alasan kesehatan, tindakan tersebut bersifat sementara sampai kondisinya membaik. Ketika pejabat lokal membuat keputusan ini, kepercayaan kita tidak dilarang atau dibuat ilegal. Faktanya, saya telah melihat pejabat mendorong ibadah, hanya saja secara online. Di banyak yurisdiksi, Anda masih bisa berkumpul dengan cara berbeda atau dalam kelompok yang lebih kecil tanpa konsekuensi.

Ketiga, dan yang terpenting, perbedaan terbesar adalah bahwa penganiayaan itu brutal dan merupakan kekerasan. Ibrani 11: 35–37 memberikan contoh yang jelas tentang penganiayaan terhadap gereja mula-mula, yang dihadapi orang percaya selama berabad-abad. Di zaman modern, berikut adalah beberapa contoh yang saya lihat:

  • Penganiayaan adalah pemenjaraan orang Kristen karena mereka adalah orang Kristen, seperti pendeta Andrew Brunson di Turki atau orang yang bertobat sekarang di Iran.
  • Penganiayaan adalah penutupan tiba-tiba atau penggerebekan oleh polisi terhadap gereja Anda, seperti di wilayah bekas Uni Soviet.
  • Penganiayaan adalah merobohkan gereja, seperti yang terjadi saat ini di Tiongkok dan belum lama ini di Sudan.
  • Penganiayaan terjadi ketika ISIS mencoba melakukan genosida terhadap Yezidis dan orang Kristen, atau genosida yang dilakukan oleh tentara Burma (Myanmar) sekarang terhadap Muslim Rohingya.
  • Penganiayaan adalah serangan Tiongkok yang tak henti-hentinya terhadap umat Buddha Tibet dan Muslim Uighur.
  • Penganiayaan adalah pembunuhan orang Kristen karena keyakinan mereka, seperti ketika Taliban Pakistan membunuh teman saya Shahbaz Bhatti karena pembelaannya terhadap orang Kristen dan agama minoritas lainnya.
  • Penganiayaan adalah hukuman cambuk publik di Arab Saudi karena hanya mempertanyakan di internet orientasi Salafi mereka.
  • Penganiayaan adalah penculikan, memaksa pindah agama, dan pemerkosaan gadis-gadis Hindu dan Kristen di Pakistan, tanpa bantuan bagi keluarga korban.

Berdasarkan contoh-contoh ini, orang Kristen Amerika harus sangat berhati-hati dalam menyebut situasi kita saat ini sebagai penganiayaan. Ada kontinum dari batasan administratif hingga penganiayaan langsung. Jika ada masalah, orang percaya Amerika dapat mengajukan petisi ke pengadilan dan berjuang mati-matian melalui sejumlah kelompok pro-bono yang memiliki posisi yang baik untuk memperdebatkan kasus mereka. Atau orang percaya Amerika dapat meminta perwakilan terpilih mereka untuk mengubah undang-undang. Namun, alat yang kuat ini seringkali tidak tersedia di negara lain.

Singkatnya, yang terjadi di AS bukanlah penganiayaan. Itu mengganggu. Ini menyakitkan. Ini tidak nyaman. Ini mungkin ilegal dalam beberapa kasus. Namun, itu bukan penganiayaan.

Orang Amerika sering lupa betapa diberkatinya kita menikmati kebebasan beragama yang luar biasa di rumah. Kita tidak sempurna — anti-Semitisme, sentimen anti-Muslim, rasisme, dan penyakit lainnya masih ada — jadi kita harus terus berjuang untuk persatuan yang lebih sempurna. Pada saat yang sama, hari yang buruk bagi kebebasan beragama di AS masih lebih baik daripada hari baik di mana pun.

Oleh karena itu, kita harus menghentikan istilah penganiayaan ketika berbicara tentang apa yang terjadi di Amerika selama pandemi tragis ini.

Knox Thames adalah mantan penasihat khusus untuk agama minoritas di Departemen Luar Negeri AS, yang bertugas di pemerintahan Obama dan Trump.

Speaking Out adalah kolom opini tamu Christianity Today dan (tidak seperti editorial) tidak selalu mewakili opini majalah.

What do you think of this translation? Want to see CT do more?

Interested in helping us improve the quality and quantity? Share your feedback here.

This article is 1 of 200+ CT Global translations. You can also now follow CT in Indonesian on Telegram.

Books

Penyakit Mental dan Jebakan ‘Teodisi/Pembenaran Medis’

Mengapa kita merasakan kelegaan spiritual yang begitu gamblang ketika masalahnya ada pada tubuh daripada pikiran?

Christianity Today October 21, 2020
Illustration by Mallory Rentsch / Source Images: Adolfo Félix / Dadalan Real / Unsplash / WikiMedia Commons

Lima tahun lalu saya menerima panggilan telepon dari seorang teman. Dia memberi tahu saya bahwa salah satu teman kami telah mengambil nyawanya sendiri. Tidak ada yang tahu mengapa.

Brian adalah seorang profesional perawat kesehatan yang sukses, dengan istri, keluarga, dan masa depan yang tampaknya sangat cerah. Banyak dari kami tidak melihat indikasi bahwa ada sesuatu yang tidak beres, meskipun mereka yang berhubungan dekat dengan dia tahu bahwa ada masalah. Dia baru saja bangun di suatu pagi dan tidak pernah terlihat hidup lagi. Semua orang sangat terpukul.

Apa yang Anda lakukan dengan berita seperti itu? Salah satu pengalaman manusia yang paling menyakitkan adalah mengucapkan selamat tinggal kepada orang yang dicintai di pagi hari dan kemudian tidak pernah melihat orang itu bersama kita lagi. Saya diminta untuk melakukan khotbah pada Ibadah Penghiburan Brian. Saya berkhotbah tentang mazmur ratapan dan kasih Tuhan yang tidak pernah berakhir dan tidak pernah gagal. Saya mencoba untuk membantu orang melihat bahwa kegembiraan yang Tuhan janjikan termasuk penderitaan dan bahwa mazmur ratapan menawarkan bahasa yang setia untuk mengungkapkan rasa sakit hati, kehancuran, kemarahan, dan kekecewaan kita atas apa yang telah dilakukan teman saya dan apa yang tampaknya tidak Tuhan lakukan: menyelamatkan dia .

Dua Peneguhan

Brian adalah seorang Kristen; dia adalah kekasih Yesus, begitu pula keluarganya dan banyak temannya. Namun, meskipun Injil sangat menghibur, bagi beberapa orang, tanggapan pertama atas kematiannya karena bunuh diri bukanlah penghiburan tetapi ketakutan. Terlepas dari jaminan tegas rasul Paulus bahwa “baik maut maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa apa pun, baik yang diatas ataupun yang dibawah, ataupun sesuatu mahluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah yang ada di dalam Kristus Yesus Tuhan kita ”(Rm. 8: 38–39), mereka takut akan masa depan kekal Brian. Saya kira itulah masalah dengan teologi hiperkognitif yang menganggap bahwa masa depan kekal kita terletak di tangan kita sendiri daripada di tangan Tuhan yang penuh kasih. Jika kematian dan kehidupan tidak dapat memisahkan kita dari kasih Tuhan, maka kita tidak perlu takut akan kematian, bahkan kematian karena bunuh diri. Kita hanya perlu percaya pada kasih karunia Tuhan.

Ada tarik menarik yang sulit antara menyadari bahwa Tuhan tidak meninggalkan mereka yang mengakhiri hidup mereka sendiri dan penekanan bahwa tindakan bunuh diri seperti itu bukanlah keinginan Tuhan bagi manusia. Warren Kinghorn, seorang teolog dari Duke Divinity School pernah mengingatkan kepada saya, dua penegasan sangat diperlukan untuk pendekatan Kristen tentang bunuh diri:

  1. Bunuh diri adalah suatu tragedi dan kehilangan, dan jangan pernah dilihat atau disarankan oleh orang Kristen sebagai suatu kebaikan yang positif.
  2. Tidak ada yang dapat memisahkan kita dari kasih Tuhan di dalam Kristus Yesus Tuhan kita.

Jika kita orang Kristen hanya mengatakan salah satu dari hal-hal ini tanpa mengatakan yang lain, kita bersalah. Khotbah saya di pemakaman Brian mencoba menangkap dinamika kompleks dari dua pernyataan ini. Mazmur ratapan menjelaskan realitas tragedi dan kehilangan di samping realitas bahwa kasih Tuhan yang tak pernah berakhir. Pendekatan seperti itu tidak menghilangkan rasa sakit kita, tetapi itu memberi kita semacam harapan penghiburan tertentu. Saya pikir orang-orang terbantu oleh khotbah itu.

Tetapi kemudian sesuatu berubah.

Hasil otopsi keluar, dan ternyata Brian memiliki masalah dengan kelenjar pituitari yang mungkin menyebabkan depresi dan kematiannya. Anehnya, beberapa orang tampak lega ketika mendengar ini. “Ah! Itu jadi bukan pikirannya. Tubuhnya yang bermasalah. ”

Nah, itu mungkin masalahnya, tetapi ada dua hal yang perlu dipertimbangkan saat kita merenungkan reaksi ini. Pertama, ada dualisme spiritual yang cukup mengejutkan. Jika kematiannya ada hubungannya dengan pikiran Brian, maka itu adalah masalah spiritual, tetapi jika ada hubungannya dengan tubuhnya, itu adalah masalah medis. Kedua, dan terkait dengan poin pertama, menarik bagaimana pengobatan menjadi, bagi sebagian orang, sebuah teodisi/pembenaran terapeutik, cara untuk menjelaskan adanya kejahatan dan penderitaan yang dirasakan. Jika masalahnya ada di dalam jiwa manusia, dan jika jiwa manusia adalah tempat kita menentukan keselamatan kita, maka Brian memiliki masalah yang nyata. Tetapi jika masalahnya adalah biologis, maka pengobatan dapat menjelaskannya tanpa perlu pertanyaan-pertanyaan bermacam macam seputar sifat Tuhan dan arti penderitaan manusia.

Salah satu masalah bagi orang Barat modern adalah kecenderungan untuk menyamakan jiwa dengan pikiran. Secara budaya kita menempatkan nilai sosial yang berlebihan pada intelek, nalar, kecepatan berpikir, dan kemampuan akademis. Untaian pemikiran teologis tertentu dapat masuk ke dalam jebakan hiperkognitif ini ketika penekanan lebih ditempatkan pada kecerdasan dan kemampuan verbal, dengan pernyataan lisan nama Yesus dianggap sebagai aspek sentral dan vital dari keselamatan kita. Ketika kita berpikir seperti ini, kerusakan apapun pada pikiran secara implisit atau eksplisit berubah menjadi kerusakan pada jiwa.

Hal ini dapat mempersulit orang Kristen untuk hidup sehat dengan tantangan kesehatan mental, seperti kerusakan otak, atau sesuatu seperti demensia. Implikasi dari masalah sebenarnya adalah kerusakan jiwa yang berkeliaran bagaikan singa yang mengaum. Rasa lega yang muncul yang diungkapkan oleh beberapa teman Kristen saya yang bermaksud baik ketika mereka bertemu dengan teodisi/pembenaran medis hanyalah satu contoh dari fenomena budaya yang, paling tidak, menyusahkan.

Bahasa Pembebasan

Dari kejadian lima tahun lalu beralih ke beberapa bulan yang lalu. Saya baru saja terbang dari Aberdeen ke London dan sedang berjalan menuju pintu keluar bandara ketika seorang pria yang belum pernah saya temui sebelumnya menghentikan saya. Andakah John Swinton? dia berkata. Sekarang, saya tidak pernah bisa yakin apakah saya harus menjawab pertanyaan seperti itu! Tetapi pada kesempatan ini saya melakukannya. Dia berkata, “Anda berbicara di pemakaman Brian lima tahun lalu. Saya hanya ingin berterima kasih. Saya tidak pernah berpikir tentang penderitaan dan sukacita seperti itu, dan saya pasti tidak pernah berpikir bahwa tidak apa-apa untuk marah kepada Tuhan dan untuk mengungkapkan kemarahan dan rasa frustrasi itu melalui mazmur. Saya hanya ingin mengucapkan terima kasih. ” Dengan itu dia terus berjalan.

Saya meninggalkan bandara dan naik kereta ke pusat kota London. Ketika saya memikirkan tentang pertemuan singkat itu, saya mulai menyadari bahwa masalah yang dihadapi banyak orang ketika Brian mengambil nyawanya adalah bahwa mereka tidak dapat berkata-kata. Teman-temannya tidak memiliki bahasa yang efektif untuk mengungkapkan rasa sakit, kehilangan, dan kemarahan yang mereka rasakan terhadap situasi dan dalam banyak hal terhadap Tuhan. Mereka telah berkata kata sendiri/monolingual dalam kehidupan iman mereka, yakin dan percaya diri dalam bahasa kebahagiaan dan harapan, tetapi benar-benar tidak dapat mengungkapkan ketika berbicara tentang bahasa penderitaan, kehancuran, kekecewaan, dan khususnya, pemahaman alkitabiah tentang sukacita.

Mereka telah mendengar Yesus berkata: “Aku sesungguhnya berkata kepadamu, kamu akan menangis dan berduka sementara dunia bersukacita. Kamu akan berduka, tetapi dukacitamu akan berubah menjadi sukacita ”(Yohanes 16:20), tetapi mereka tidak mengalami pencerahan dari kata-katanya. Kurangnya bahasa ini membuat mereka beralih ke kedokteran dan biologi untuk bantuan intelektual dan spiritual. Mereka berpaling kepada mereka sebagai theodicies/pembenaran bukan hanya karena mereka mengurangi ketakutan tentang takdir kekal Brian tetapi karena mereka berbicara dalam bahasa yang mereka kenal. Kedokteran dan biologi mewakili tempat yang aman. Dalam tradisi teologis mereka, mereka tidak dapat menemukan jenis bahasa yang tepat untuk mengungkapkan perasaan dan ketakutan mereka. Bahasa kedokteran dan biologi mengisi celah tersebut.

Apa yang diajarkan orang asing di bandara kepada saya adalah bahwa kata-kata dalam khotbah saya telah memberinya bahasa untuk mengungkapkan kesedihannya, rasa sakitnya, dan amarahnya, dan bahwa bahasa ini berasal dari dalam tradisi imannya dengan cara yang tidak dia sadari sebelumnya. Ungkapan saya tentang kekuatan mazmur telah memindahkannya dari diam menjadi ucapan. Saya telah membantu dia untuk mengubah perasaan sedih dan sukacita.

Dengan memahami sifat dan tujuan sukacita, kita dapat memahami depresi dengan cara yang berbeda, dan itu akan memberi kita cara untuk berbicara tentang depresi (dan tetap diam) yang membebaskan dan, saya harap, menyembuhkan. Memahami depresi melalui kacamata sukacita Kristen dapat membantu kita memahami depresi dengan lebih baik dan menanggapi dengan lebih setia.

John Swinton adalah profesor teologi praktis dan pelayanan pastoral di University of Aberdeen di Skotlandia dan direktur pendiri Pusat Spiritualitas, Kesehatan dan Disabilitas. Dia adalah penulis Finding Jesus in the Storm: The Spiritual Lives of Christians with Mental Health Challenges (Eerdmans), yang darinya esai ini diadaptasi.

Diterjemahkan oleh: Budi Winata

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Books

Gereja Thailand Memecahkan Rekor Baptisan Meskipun COVID-19

“Kami percaya itu adalah tangan belas kasihan Tuhan yang memungkinkan Injil menyebar pada saat yang genting ini.”

Christianity Today October 8, 2020
Reach a Village

Hal-hal yang tidak terlihat baik untuk gereja Thailand pada awal tahun 2020. Negara Asia Tenggara itu adalah yang pertama di luar China yang melaporkan kasus virus korona, dan analis mengkhawatirkan wabah yang lama dan luar biasa.

Sebaliknya, Thailand kini dipuji sebagai satu-satunya tempat yang mampu menahan pandemi secara efektif. Setelah penguncian seluruh negara pada musim semi dan tindakan pencegahan lanjutan, negara itu merayakan 100 hari tanpa kasus COVID-19 pada awal September.

Di akhir minggu itu, gerakan perintisan gereja evangelis di Thailand tengah merayakan tonggak sejarahnya sendiri — sesuatu yang tidak akan mungkin terjadi tanpa percakapan dari mulut ke mulut, pertemuan rumah, dan kesaksian langsung yang diandalkannya untuk menyebarkan Injil.

Asosiasi Gereja Yesus Kristus Merdeka (FJCCA) mengadakan baptisan terbesar dalam sejarahnya dan, dikatakan, sejarah gereja di Thailand. FJCCA, sebuah gerakan yang dipimpin Thailand yang berfokus pada penginjilan tingkat desa, membaptis 1.435 orang dalam satu hari pada tanggal 6 September.

Dua puluh pendeta berbaris di sepanjang waduk sedalam pinggang tempat beberapa dari mereka dibaptis, menunggu orang percaya baru datang satu per satu dari pantai untuk menyatakan iman mereka dan tenggelam untuk sakramen. Acara berlangsung selama dua jam.

CT meliput pertumbuhan bersejarah FJCCA dalam cerita sampul 2019 . Tahun itu, asosiasi mengadakan pembaptisan 520 orang yang menurut para pemimpin gereja nasional sebagai yang terbesar yang pernah mereka lihat di negara mayoritas beragama Buddha. Pembaptisan bulan ini hampir tiga kali lipat ukurannya.

“Ini benar-benar misteri bagi dunia tentang mengapa Thailand terhindar selama pandemi COVID,” kata Bob Craft, yang kementeriannya Reach a Village mendukung FJCCA. “Kami percaya itu adalah tangan belas kasihan Tuhan yang memungkinkan Injil menyebar pada saat yang genting ini.”

Peserta datang dari 200 desa di lima provinsi Thailand ke Chon Daen, pusat kegiatan FJCCA dan rumah bagi pendiri Somsak Rinnasak. Beberapa mengenakan topeng, dan barisan orang percaya baru diberi selamat dengan ucapan tradisional wai — isyarat tanpa sentuhan (tangan berdoa dan membungkuk) yang telah menjadi bagian dari budaya Thailand jauh sebelum virus corona menjadikan kontak fisik sebagai sarana penularan.

Setelah FJCCA membagikan berita tentang pembaptisan massal bulan ini, sejumlah pendukung menambahkan ucapan “amin” dan “terima kasih Yesus” dalam bahasa Thai di halaman Facebook gereja. Menurut para pemimpin FJCCA, banyak dari mereka yang dibaptis belum mendengar tentang Yesus sampai tahun ini. Lebih dari 75.000 desa di negara itu tidak ada kehadiran orang Kristen.

Meskipun Thailand telah mengurangi penyebaran COVID-19 hampir seluruhnya kepada mereka yang dikarantina dengan orang-orang yang kembali dari luar negeri, negara itu masih menderita secara finansial karena penutupan virus corona, terutama berhentinya pariwisata. Penurunan ekonomi ini adalah salah satu faktor yang memicu protes saat ini yang menantang monarki dan menyerukan reformasi pemerintah.

Terlepas dari tekanan pandemi, Rinnasak dan para pemimpin FJCCA mengatakan bahwa mereka terus melihat tetangga mereka di Thailand — kurang dari 1 persen di antaranya adalah Kristen — menaruh minat pada kisah-kisah keselamatan dan transformasi mereka di dalam Kristus. Gerakan yang dimulai pada tahun 2016 itu sekarang memiliki 700 gereja rumah.

Sementara berduka atas korban pandemi dan terus bekerja dan berdoa agar penyebaran tidak berlanjut, para pendeta di negara lain juga berbagi bagaimana musim ini menawarkan kesempatan unik untuk pelayanan dan penginjilan.

Greg Laurie di California menganggapnya sebagai “kebangkitan spiritual” karena lebih banyak pemirsa yang menonton kebaktian dan acara kebangunan rohani dengan streaming langsung. Isaac Shaw di New Delhi mengamati bagaimana gereja-gereja India tumbuh lebih bersatu lintas denominasi dan lebih fokus ke luar begitu COVID-19 memaksa mereka untuk menghentikan kebaktian Minggu.

Diterjemahkan oleh Budi Winata

What do you think of this translation? Want to see CT do more?

Interested in helping us improve the quality and quantity? Share your feedback here.

This article is 1 of 200+ CT Global translations. You can also now follow CT in Indonesian on WhatsApp and on Telegram.

Kekuatan Pembentuk dari Rasa Malu

Rasa malu ilahi membuka hati kita terhadap pekerjaan Roh Kudus yang menumbuhkan.

Christianity Today October 6, 2020
Illustration by Rick Szuecs / Source images: Kushal Medhi / Unsplash

Brené Brown, ketika tampil di Oprah Winfrey Super Soul Sunday, mengumumkan, “Menurut saya rasa malu itu mematikan, menurut saya rasa malu itu merusak. Dan menurut saya kita berenang di dalamnya.” TED talk Brown, yaitu “Memperhatikan Rasa Malu” telah dilihat lebih dari 14 juta kali. Dalam tayangan tersebut, ia memperingatkan bahwa rasa malu itu seperti roh halus yang tertawa dan memutar dua rekaman di benak kita: “Tidak pernah cukup baik” atau “Menurutmu, kamu ini siapa?”

Metafora ini menampilkan rasa malu sebagai jebakan yang berulang: Pengalaman rasa malu yang berulang menghancurkan harga diri kita, dan rendahnya harga diri membuat kita cenderung mengalami rasa malu. Lingkaran setan ini akhirnya lepas kendali, mengarah pada pola perilaku yang adiktif dan merusak. Bagi Brown, rasa malu adalah emosi merusak yang tidak memiliki tujuan yang membangun; oleh karena itu kita harus melepaskannya dan mengembangkan ketahanan terhadap semua bentuk rasa malu.

Keinginan untuk menghilangkan rasa malu dari pengalaman sehari-hari tampaknya masuk akal, tetapi dengan melakukannya kita melumpuhkan kapasitas kita untuk menjadi orang yang bermoral. Emosi-emosi moral saling terkait erat; Emosi-emosi tersebut tidak eksis sepotong-sepotong. Oleh karena itu, seperti yang ditulis Krista Thomason, kita “tidak dapat menghilangkan emosi [seperti rasa malu] tanpa ‘menodai’ sisanya.”

Lebih jauh, menghilangkan rasa malu kemungkinan besar menumbuhkan rasa tidak tahu malu. Seperti yang Daniel Henninger tulis di Wall Street Journal tak lama setelah tuduhan terhadap Harvey Weinstein, Charlie Rose, dan Al Franken, “tindakan mereka mengungkapkan runtuhnya kemampuan menahan diri. Hal itu pada gilirannya mengarah pada hilangnya hati nurani yang lebih luas, perasaan bahwa melakukan sesuatu adalah salah…. Jadi ketika seseorang bertanya bagaimana orang-orang ini bisa berperilaku begitu kasar dan mengerikan, satu jawaban adalah bahwa mereka … tidak … punya … rasa … malu. ”

Henninger memperingatkan agar tidak menipu diri sendiri dengan berpikir bahwa orang-orang ini adalah orang asing atau anomali. Sebaliknya, mereka adalah produk dari “budaya yang telah menghilangkan rasa malu dan batasan perilaku.” Kitab Suci juga menegaskan perlunya rasa malu dan menentang sikap tidak tahu malu. Para nabi mencela Israel karena kebekuan rohani dan ketidakmampuan mereka untuk malu terhadap tingkah laku mereka yang menjijikkan (Yer. 3:3; 6:15; Zef. 3:5). Paulus juga mempermalukan orang Korintus karena sikap apatis moral dan kegagalan mereka untuk berduka atas dosa mereka (1Kor. 5:2; 15:34).

Yang pasti, rasa malu bisa beracun, tetapi tidak selalu harus demikian . Kita harus membedakan antara rasa malu duniawi dan ilahi. Dengan rasa malu ilahi, hati nurani kita dibakar oleh nilai-nilai yang sesuai dengan standar Tuhan dan bukan dunia. Rasa malu ilahi pada dasarnya berhubungan dengan benar dan salah dari perspektif Tuhan; hal itu tertambat dengan keindahan dan kekudusan Tuhan. Rasa malu ilahi menjadi panduan bagi pilihan masa depan kita, membatasi kita dari melakukan apa pun yang mungkin membawa aib bagi Tuhan, gereja, orang lain, dan diri kita sendiri.

Rasa malu ilahi mengingatkan kita akan tanggung jawab kita untuk menyambut orang-orang beriman sebagai saudara dan saudari, terlepas dari latar belakang sosial ekonomi, imigrasi, atau ras mereka; karena tembok yang memisahkan kita telah dihancurkan oleh darah Yesus Kristus (Ef. 2:14; Flm. 1:16). Rasa malu ilahi mendesak kita untuk menghormati martabat semua orang, karena kita semua diciptakan menurut gambar Allah (Kej. 1:26-27).

Rasa malu ilahi juga mengevaluasi pikiran, tindakan, dan kelambanan masa lalu kita dengan pikiran yang tidak serupa dengan dunia, melainkan ditransformasi oleh Injil (Rm. 12:1–2). Rasa malu ilahi mengkritik dengan hebat sifat mementingkan diri dan ketidakpedulian kita terhadap penganiayaan dan penderitaan yang dialami oleh orang lain, karena setiap bagian tubuh Kristus menderita ketika satu bagian menderita (1 Kor. 12:26). Rasa malu ilahi mencela keragu-raguan kita untuk ikut meratap bersama orang-orang yang menderita ketidakadilan rasial, memanggil kita untuk “menangis bersama orang yang menangis” (Rm. 12:15). Rasa malu ilahi memarahi kesediaan kita untuk mempermalukan orang lain secara daring ketika cuitan pedas kita menandakan “kebajikan” kita sendiri dan bukannya mencari kebaikan sejati orang lain.

Teguran yang disebabkan rasa malu ilahi meresahkan dan menyakitkan; meskipun demikian, itu menghasilkan buah kebenaran bagi mereka yang tunduk pada pelatihannya (Ibr. 12:11). Teguran yang disebabkan rasa malu ilahi merusak harga diri yang salah tempat demi menjadikan kita orang Kristen dewasa.

Rasa malu duniawi menghancurkan, tetapi rasa malu ilahi memulihkan. Rasa malu ilahi menunjukkan bahwa kita telah mendukakan Roh Kudus, tetapi itu juga meyakinkan kita akan kasih karunia (Ibr. 4:16). Rasa malu ilahi muncul dari pengetahuan yang benar tentang tuntutan dan belas kasihan Tuhan. Sebagai respons terhadap rasa “Tidak pernah cukup baik,” rasa malu ilahi setuju bahwa kita tidak pernah cukup baik dalam diri kita sendiri, tetapi kita lebih dari cukup karena Kristus (2Kor. 5:21).

Sebagai respons terhadap “Memangnya siapa kamu?” rasa malu ilahi mendakwa kita sebagai orang berdosa, tetapi kemudian menegaskan bahwa kita adalah anak-anak dan ahli waris Allah karena persatuan kita dengan Kristus (Rm. 8:17). Rasa malu ilahi tidak bertentangan dengan kehormatan yang diinginkan Tuhan bagi anak-anaknya. Seperti anak yang hilang ketika ia sadar (Luk. 15:17), rasa malu ilahi menghukum, menegur dan menghasilkan penyesalan, pertobatan, dan kerendahan hati; dan kemudian mendorong kita kembali ke pelukan Bapa kita yang penuh anugerah—pengampunan kita terbukti, diri kita direformasi, hubungan kita dipulihkan, kehormatan hak kita dipulihkan. Rasa malu ilahi adalah rasa malu yang kita butuhkan untuk berjalan sesuai dengan panggilan kita sebagai anak-anak Tuhan.

Te-Li Lau adalah seorang profesor di Trinity Evangelical Divinity School dan penulis Defending Shame: Its Formative Power in Paul’s Letters.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Kasih Keibuan dari Tuhan yang Murka

Persepsi kita tentang Tuhan Perjanjian Lama yang marah telah terdistorsi.

Christianity Today September 22, 2020
Illustration by Matt Chinworth

Ini adalah bagian kedua dalam seri enam esai dari berbagai tokoh sarjana terkemuka yang meninjau kembali “Perjanjian Pertama” dalam iman Kristen kontemporer. —Para Editor

Saya tidak selalu merasakan kebencian tertentu untuk frasa ini. Tradisi gereja di mana saya bertumbuh, muncul dari kebangunan rohani di perbatasan. Salah satu ciri pengkhotbah kebangunan rohani yang baik terletak pada keterampilan mereka menempatkan orang-orang berdosa di tangan Tuhan yang murka, yang seringkali disebut “Tuhan Perjanjian Lama,” dan kemudian memindahkan mereka ke tangan "Tuhan Perjanjian Baru" yang murah hati dan penuh kasih, yang dinyatakan di dalam Yesus Kristus. Kontras yang kuat ini menjadi dasar pemahaman saya tentang Tuhan di sepanjang masa muda saya.

Namun ketika di perguruan tinggi dan mengejar gelar magister dalam Perjanjian Lama, saya lalu menyadari bahwa kekontrasan ini adalah konstruksi yang keliru dalam berbagai hal. Dalam koleksi anumertanya, yaitu Letters from the Earth, seorang provokator teologis, Mark Twain, mengungkapkan persoalan ini dengan tepat ketika ia mengamati bahwa Tuhan Perjanjian Baru, yang tampaknya menciptakan neraka, pasti “ribuan miliar kali lebih kejam daripada ketika Ia berada di Perjanjian Lama.” Atau bagaimana dengan pengamatan G.K. Chesterton dalam The Everlasting Man bahwa sulit sekali untuk menghubungkan kasih dan rasa kasihan Yesus untuk Yerusalem dengan menganggap Betsaida lebih rendah daripada Sodom? (Mat. 11:21)

Namun ini bukan hanya berarti bahwa Yesus jauh lebih kasar daripada yang diceritakan melalui papan flanel Sekolah Minggu. Pada sisi lain, “Tuhan Perjanjian Lama” terbukti lebih penuh kasih, murah hati, penuh pengampunan, dan penyayang daripada yang saya dengar dari para pengajar dan pengkhotbah di masa muda saya.

Tuhan Penyayang yang Keibuan

Jika kita tidak membaca Perjanjian Lama, kita melewatkan banyak hal yang baik. Isi dari Perjanjian Lama tidak hanya tentang minuman keras, seks, dan kekerasan. Jika kita tidak membacanya, kita akan melewatkan materi teologis yang penting, kata-kata yang merefleksikan pribadi dan karakter “Tuhan Perjanjian Lama.” Tuhan kita.

Salah satu klaim teologis yang paling penting terjadi ketika mendekati akhir dari salah satu titik terendah dalam hubungan Israel dengan Tuhan:

TUHAN, TUHAN, Allah penyayang dan pengasih, panjang sabar, berlimpah kasih-Nya dan setia-Nya, yang meneguhkan kasih setia-Nya kepada beribu-ribu orang, yang mengampuni kesalahan, pelanggaran dan dosa; tetapi tidaklah sekali-kali membebaskan orang yang bersalah dari hukuman, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya dan cucunya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat. (Kel. 34:6–7).

Tidak lama sebelum penegasan ini, orang-orang Israel membuat anak lembu emas untuk melambangkan ilah yang akan menuntun mereka ke Tanah Perjanjian. Tidak peduli bahwa hal ini melanggar perintah kedua dari Sepuluh Perintah Allah; umat Israel sudah tidak sabar dengan Musa, yang menghabiskan waktu terlalu lama di atas gunung bersama Tuhan, dan ingin segera melanjutkan perjalanan mereka. Dan sementara Musa menghalangi Tuhan agar tidak bertindak dalam kemarahan terhadap bangsa Israel, Harun tidak dapat menghalangi Musa dari kemarahannya (Musa) sendiri yang menyebabkan orang Lewi menghabisi 3.000 sesama orang Israel atas nama Tuhan (Kel. 32).

Dalam kekacauan akibat penyembahan berhala yang dilakukan umat Israel, Tuhan mengancam untuk tidak pergi bersama mereka ke Tanah Perjanjian. Bahkan keyakinan Musa pun terguncang. Demi mencari kepastian, Musa meminta untuk melihat kemuliaan Tuhan, terlepas dari kenyataan bahwa Tuhan berbicara kepada Musa di kemah pertemuan seperti seseorang yang berbicara dengan seorang teman dekat (Kel. 33).

Semua ini mengarah pada proklamasi di Keluaran 34:6–7 saat Allah turun ke gunung untuk berjalan di depan Musa. Yang sangat penting dalam pernyataan ini adalah sifat baik Allah yang disebutkan pertama kali dibanding yang lain: Allah Penyayang ({compassionate}). Kata Ibrani di balik kata bahasa Inggris "compassion" lebih kaya maknanya karena seperti yang dicatat oleh Beth Tanner dalam tafsiran The Book of Psalms di mana Tanner menjadi salah satu penulisnya, kata itu juga bisa berarti rahim. Jadi terjemahan yang lebih baik mungkin adalah “kasih sayang yang keibuan”.

Dalam Keluaran 34, Tuhan masih memanggil Israel untuk mempertanggungjawabkan dosanya. Tetapi Tuhan melakukannya berdasarkan kasih sayang yang keibuan. Musa menuntut Tuhan: “Ingatlah bahwa bangsa ini umat-Mu” (Kel. 33:13). Jawaban positif dari Tuhan pertama-tama mengidentifikasikan Dia dengan kasih sayang yang keibuan, yang seakan mengatakan bahwa, meskipun Tuhan marah kepada bangsa Israel, seperti yang dilakukan seorang ibu terhadap anak-anaknya, Tuhan tidak akan pernah meninggalkan mereka sebagaimana para ibu tidak akan meninggalkan anak-anak mereka. Tuhan Perjanjian Lama adalah Tuhan kita, Tuhan penyayang yang keibuan, yang mengkonfrontasi dosa yang sangat besar dan menjanjikan masa depan melampaui kegagalan seseorang. Menggambarkan Tuhan Perjanjian Lama yang dipandang dari segi murka-Nya saja, itu hanya mencerminkan satu bagian dari identitas Tuhan dan membuat kita gagal untuk melihat bahwa, menurut Keluaran 34, esensi karakter Tuhan dimulai dengan penyayang yang keibuan.

Kasih Sayang bagi Semua Generasi

Banyak generasi yang dihapus dari Musa dan Mesir-bahkan beberapa generasi setelah kembalinya Israel dari pembuangan—dan para imam pada zaman Nehemia menggunakan bahasa dari Keluaran 34:6–7 dalam sebuah doa yang lahir dari keprihatinan apakah Tuhan telah meninggalkan umat-Nya (Neh. 9:17). Sayangnya, kembali dari pembuangan ternyata tidak meringankan kesulitan mereka di bawah pemerintahan Persia (Neh. 9:36-37). Dengan semakin tak tertahankannya perjuangan mereka, umat Tuhan itu mendengar Taurat dibacakan oleh Ezra, sang ahli kitab itu, dan mereka pun tampaknya menjadi sangat menyadari akan dosa mereka sehingga mereka tidak bisa lagi menahan kesedihan (Neh. 8).

Bahkan ketika orang-orang Lewi berdoa memuji Tuhan karena menjadikan langit dan bumi, memilih Abraham, dan membebaskan Israel dari Mesir, semua itu juga mengingatkan umat Allah bahwa ketika mereka menolak untuk mematuhi perintah Tuhan untuk menduduki Tanah Perjanjian, Tuhan mengampuni karena Tuhan adalah “pengasih dan penyayang, yang panjang sabar dan berlimpah kasih setia-Nya” (Neh. 9:17).

Dalam menghadapi kesulitan pasca pembuangan dan dosa umat Israel, orang-orang Lewi menaruh harapan mereka akan masa depan pada Tuhan, yang tidak meninggalkan bangsa Israel di masa lalu karena kasih sayang keibuan-Nya yang besar (9:19). Ketika bangsa Israel berpaling dari Taurat dan membunuh para nabi pada zaman Hakim-hakim, namun Tuhan masih meresponi tangisan mereka dengan kasih sayang yang keibuan (9:27), dari waktu ke waktu (9:28). Ketika banyak hal tidak membaik di tengah bangsa itu; umat Tuhan terus berbuat dosa dan membunuh para nabi. Namun Tuhan menolak untuk meninggalkan mereka karena besarnya kasih sayang Dia yang keibuan itu, karena Tuhan adalah Allah yang pengasih dan penyayang yang keibuan (9:31).

Gambaran tentang Tuhan ini mengingatkan saya pada seorang ibu yang saya kenal dari penggembalaan pertama saya di Ohio. Putranya kecanduan narkoba dan jatuh ke dalam berbagai masalah. Dia dan suaminya mencoba segala hal: berbagai pusat rehabilitasi, membuat aturan, kasih yang tegas. Tidak ada yang berhasil. Namun, setiap kali putra mereka pulang, sang ibu memaafkannya, meski tahu bahwa putranya kemungkinan besar akan melukai hatinya lagi. Tetapi anak laki-laki itu adalah putranya. Dan ia adalah ibunya. Demikian pula, meskipun generasi demi generasi anak-anak Tuhan melakukan dosa terhadap Tuhan-termasuk membunuh para nabi Tuhan!—Tuhan menyambut anak-anak Israel (dan kita juga!) untuk pulang ke rumah. Ia menyambut kita pulang dengan kasih sayang yang keibuan berulang-ulang kali. Apa lagi yang seharusnya dilakukan oleh orang tua?

Semua Anak Tuhan

Kitab Yunus berfungsi agak seperti perenungan tentang besarnya kasih sayang Tuhan yang melampaui perbatasan-perbatasan Israel, bahkan di antara musuh-musuh Israel. Berikut ini adalah satu cerita papan flanel yang sebagian besar diceritakan dengan benar. Tuhan menyuruh Yunus untuk pergi ke Niniwe, ibu kota Asyur, penindas Israel. Tetapi Yunus melarikan diri; Tuhan turun tangan dan membuat Yunus dilemparkan dari kapal dan masuk ke dalam perut ikan besar. Dalam waktu yang ia miliki untuk merenungkan pilihan hidupnya, Yunus pun berdoa dan ikan itu memuntahkan dia kembali ke daratan. Yunus akhirnya memenuhi tugasnya yang mula-mula dan memproklamasikan keruntuhan Niniwe dalam waktu dekat. Yang sangat mengejutkan, bangsa Niniwe bertobat dan Tuhan mengampuni mereka.

Mungkin Yunus juga terkejut saat bangsa Niniwe bertobat. Tetapi ia tidak heran jika Tuhan mengampuni. Yang tidak saya ingat dari cerita di papan flanel adalah tentang betapa marahnya Yunus karena ia tahu, seperti yang diketahui oleh Musa dan para imam di zaman Nehemia, bahwa Tuhan adalah Tuhan yang “pengasih dan penyayang, yang panjang sabar dan berlimpah kasih setia serta yang menyesal karena malapetaka yang hendak didatangkan-Nya” (Yun. 4:2). Yunus melarikan diri karena, sekalipun ia tidak bisa memprediksi apa yang akan dilakukan oleh bangsa Asyur, ia tahu apa yang akan Tuhan lakukan: Tak pelak lagi, dengan kasih sayang, Tuhan akan mengampuni bangsa Niniwe begitu ada tanda pertobatan.

Bagaimanapun, bangsa Asyur adalah anak-anak Tuhan juga. Saya ingat kembali di gereja yang sama di Ohio, nada keras yang dilontarkan salah satu penatua untuk meremehkan “orang Jepang,” yang kecerdasan industrialnya mengancam stabilitas industri Amerika Serikat. Namun mereka pun adalah anak-anak yang diciptakan Tuhan. Demikian pula ketika akhir-akhir ini banyak orang Kristen menunjukkan kemarahan kepada orang-orang Muslim di sekitar kita, merasa terancam oleh kehadiran mereka, takut mereka akan mengambil alih negara. Namun orang-orang Muslim ini juga adalah anak-anak yang diciptakan Tuhan. Perjanjian Lama penuh dengan musuh bangsa Israel, dan kita juga memiliki banyak musuh menentang negara kita dan cara hidup kita. Kitab Yunus mengingatkan kita bahwa kasih sayang Tuhan yang keibuan menjangkau bahkan kepada musuh kita, karena kita semua adalah anak-anak Tuhan.

Tentu saja, para ibu bukan hanya orang-orang di kehidupan kita yang bisa memaafkan kita atas suatu kesalahan. Mereka juga siap membela kita pada saat-saat yang sulit. Ibu saya sendiri seperti itu. Saya ingat ketika saya dan saudari-saudari saya masih muda, pihak bank mempersulit kami ketika kami mencoba menyetor uang ke rekening tabungan Natal tanpa adanya tanda pengenal apa pun. Ibu saya membawa kami ke kantor wakil presiden bank tersebut dan menjelaskan bahwa kami adalah anak-anaknya dan dia berharap kami diperlakukan dengan lebih baik. Kami tidak memiliki masalah lagi setelah itu.

Pemazmur yang mendoakan Mazmur 86 berseru kepada Tuhan untuk mengungkapkan kasih sayang yang keibuan dengan cara yang sama, meskipun masalah si pemazmur pasti melebihi insiden kecil yang kami alami di bank tersebut. Pemazmur mengetahui pengampunan Tuhan (Mzm. 86:5), tetapi ia datang kepada Tuhan untuk memelihara nyawanya (ay. 2), untuk menjawab dalam kesesakannya (ay. 7) karena musuh yang menyerang, “orang-orang yang sombong ingin mencabut nyawaku”(ay. 14). Dan saat pemazmur menatap wajah musuh-musuhnya yang sombong itu, ia juga mengingat klaim yang kuat ini, yang bergema di Israel dan sekitarnya: “Tetapi Engkau, ya Tuhan, Allah penyayang dan pengasih, panjang sabar dan berlimpah kasih dan setia” (ay. 15).

Pemazmur tahu bahwa Tuhan melihat situasinya dengan kasih sayang yang keibuan, yang menggerakkan-Nya untuk menolong anak kecil dari rumah yang terbakar, yang rela mengorbankan nyawa-Nya untuk menyelamatkan buah dari kandungan-Nya. Kasih sayang yang keibuan bergejolak dalam pembelaan yang penuh gairah untuk melindungi nyawa orang yang Anda lahirkan, untuk menangkis si penyerang dan memberikan tempat yang aman dalam dunia yang penuh dengan kekerasan. Demikian pula Tuhan Perjanjian Lama, Tuhan kita, yang dengan kasih sayang yang keibuan datang untuk menyelamatkan (ay. 16).

Pergi dan Mengasihi Juga

Jika Anda melihat bahasa Ibrani di balik istilah ini dalam Strong’s Concordance, Anda akan melihat bahwa berbagai bentuk “kasih sayang yang keibuan” ini muncul sekitar 150 kali di Perjanjian Lama. Alih-alih mengabaikan tema besar tentang kasih sayang yang keibuan karena kita melihat murka dan dendam Tuhan Perjanjian Lama yang entah bagaimana bukan Tuhan yang sama yang dinyatakan dalam Yesus Kristus, bagaimana jika gereja kita melakukan perjalanan penggalian firman selama setahun dari 150 kemunculan istilah "kasih sayang yang keibuan" ini sehingga hal tersebut menjadi bagian makanan tetap kita dari Kitab Suci?

Mudah-mudahan, satu hal yang akan terjadi adalah bahwa kita dapat datang beribadah dan berdoa dengan rasa syukur yang lebih besar kepada Tuhan kita, yang “tetap sama kemarin maupun hari ini dan sampai selamanya” (Ibr. 13:8). Ketika kita mengikuti Perjamuan Kudus, kita akan melihat bahwa ekspresi pengampunan Tuhan di dalam Yesus adalah karya terkini dari kasih sayang Tuhan yang keibuan untuk semua anak-anak Allah, yang telah Tuhan kasihi sejak kelahiran anak pertama di Taman Eden. Dan di dalam roti dan anggur yang sama yang Yesus tawarkan, kita akan melihat bahwa tindakan pembebasan dari kuasa dosa dan kematian di dalam Yesus adalah puncak dari berbagai tindakan penyelamatan dari para musuh, yang telah Tuhan lakukan berkali-kali untuk anak-anak-Nya.

Dan semoga gereja-gereja kita akan menjadi tempat yang lebih bisa menyambut umat manusia yang rusak, sebagaimana yang Tuhan kehendaki untuk dilakukan oleh gereja. Ketika kita melihat setiap tempat di Perjanjian Lama di mana Tuhan mengekspresikan kasih sayang yang keibuan—dan umat Israel mengikutinya—Tidakkah kita akan tergerak untuk membereskan masa lalu kita yang terlalu mudah membenarkan diri dan terlalu mudah untuk memfitnah musuh-musuh kita, serta membuka komunitas kita bagi semua anak Tuhan dengan sambutan yang penuh kasih sayang? Tidakkah kita akan tergerak untuk melindungi nyawa orang-orang yang terancam oleh kematian di kota dan komunitas kita?

Mungkin kita akan menyadari bahwa kita telah membiarkan kesan pertama menyesatkan kita dan bahwa Tuhan Perjanjian Lama lebih kompleks dan bersemangat serta, tentu saja, keibuan, daripada yang kita ketahui. Mungkin kita akan berhenti mengatakan “Tuhan Perjanjian Lama” dan hanya mengatakan “Tuhan kita.”

Robert L. Foster adalah dosen Perjanjian Baru dan Agama di University of Georgia. Dia adalah penulis We Have Heard, O Lord: An Introduction to the Theology of the Psalter (Fortress Academic).

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Books

Allah Tahu Apa yang Ia Lakukan Ketika Memberi Yesus Dua Pohon Keluarga

Bagaimana memilah berbagai perbedaan antara silsilah di Injil Matius dan Lukas.

Christianity Today September 15, 2020
WikiMedia Commons

Masalah-masalah dalam Alkitab bekerja seperti polisi tidur: Masalah-masalah itu dapat membuat frustrasi, dan bisa berbahaya bagi mereka yang tidak waspada, tetapi juga secara efektif memperlambat dan memfokuskan perhatian kita. Tekanan-tekanan memicu pemikiran. Kontradiksi-kontradiksi yang nyata memaksa kita untuk menggumuli teks Alkitab secara lebih rinci. Ketika Tuhan menginspirasi teks-teks tersebut, Ia tahu yang Ia lakukan.

Ketika mempelajari kitab-kitab Injil, kita segera menemukan masalah perbedaan besar antara silsilah Yesus di Matius dan Lukas. Matius 1 mencatat 42 generasi jika diurutkan kembali sampai ke Abraham; sedangkan Lukas 3 mencatat 77 generasi dari Yesus sampai ke Adam. Dari berbagai nama yang disebut antara Daud hingga Yesus, hanya lima yang muncul di kedua daftar silsilah tersebut. Buruknya lagi, Yesus memiliki dua kakek dari pihak ayah yang berbeda: Yakub (Mat. 1:16) dan Eli (Luk. 3:23).

Berbagai upaya untuk memilah perbedaan-perbedaan tersebut sering kali berfokus pada sisi Matius, sedikit banyak karena silsilahnya terlihat lebih dimotivasi secara teologis — banyaknya celah, wanita-wanita yang menonjol, tiga kelompok yang terdiri dari 14 orang, dan seterusnya. Kita berasumsi, Lukas memberi "hanya fakta-fakta" tentang silsilah Tuhan, sementara Matius mengutak-atiknya untuk menunjukkan suatu poin. Namun hal ini merendahkan sejarawan di Matius dan teolog di Lukas. Menurut saya, silsilah di Lukas memiliki nilai teologis yang sekuat Matius, bahkan lebih.

Pertimbangkan bagaimana dia mendaftar 77 generasi dari Adam sampai Kristus. Angka tersebut merujuk pada hari Sabat. Ini mengingatkan kita pada 77 kali pembalasan terhadap Lamekh (Kej. 4:24) dan 70 kali 7 kali pengampunan Yesus (Mat. 18:22). Angka ini juga memunculkan ingatan akan tahun Yobel (Im. 25:8–55), yang dirayakan setiap tujuh kali tujuh tahun. Yesus memproklamasikan pemenuhan-Nya atas janji tahun Yobel dalam Lukas 4:16–21, yang diramalkan pada dua pasal sebelumnya, ketika panggilan untuk pendaftaran sensus di kota asal mengingatkan akan perintah yang mengharuskan orang-orang untuk pulang ke "tanah miliknya" di setiap tahun Yobel (Im. 25:10).

Patut diperhatikan juga bahwa Lukas memperkenalkan silsilah Yesus bukan pada awal kehidupan Yesus tetapi pada awal pelayanan-Nya, ketika ia berusia “kira-kira tiga puluh tahun” (3:23). Tiga puluh adalah angka yang mencolok. Para imam memulai pelayanan mereka pada usia itu (Bil. 4:3), pada usia yang sama ketika Daud menjadi raja (2Sam. 5:4) dan Yehezkiel melihat penglihatan profetik tentang Allah (Yeh. 1:1). Dengan memasukkan silsilahnya pada tahap ini, Lukas menghubungkan nenek moyang Yesus dengan pelayanan-Nya sebagai nabi, imam, dan raja. Dengan menelusurinya kembali ke Adam, bukan hanya sampai ke Abraham, dia menggambarkan Yesus sebagai seorang nabi bagi segala bangsa, seorang imam untuk semua orang, dan raja seluruh bumi.

Lalu ada pertanyaan tentang kakek dari pihak ayah Yesus. Sejak awal abad ketiga, orang-orang berspekulasi bahwa Yusuf memiliki dua ayah, entah karena dia diadopsi secara resmi atau karena dia adalah anak dari perkawinan levirat. (Dalam kebiasaan Yahudi ini, jika seorang pria meninggal tanpa anak, saudara laki-lakinya akan menikahi janda tersebut untuk mempertahankan garis keluarga.) Jika demikian, maka Yusuf adalah putra dari Eli dan Yakub. Bagi saya, hal itu terdengar seperti keputusasaan apologetik. Tetapi kemudian saya mulai memperhatikan semua referensi lain di Lukas 3 tentang perkawinan levirat dan adopsi resmi.

Yang satu berhubungan dengan Herodes dan saudaranya, Philip (Luk. 3:1). Herodes telah menikah dengan istri Philip, membuat marah orang Yahudi yang taat — dan akhirnya Herodes memenggal kepala Yohanes Pembaptis (Mrk. 6:17). Jadi, kisah Lukas tentang kehidupan dewasa Yesus dimulai dengan seorang pria yang memberlakukan “perkawinan levirat” yang tidak senonoh ketika saudaranya masih hidup.

Referensi yang lain adalah tentang Yesus sendiri: “…menurut anggapan orang, Ia adalah anak Yusuf” (Luk. 3:23). Secara hukum, Yesus adalah anak Yusuf, tetapi Yusuf bukanlah ayah kandung-Nya. Seperti yang dijelaskan malaikat Gabriel kepada Maria, Yesus akan disebut “Anak Allah Yang Mahatinggi” dan “Anak Allah” (1:32, 35).

Kita bahkan menemukan contoh dalam Yohanes Pembaptis, yang terkenal membandingkan dirinya dengan orang yang “membuka tali kasut-Nya saja pun aku tidak layak” (3:16). Membuka tali kasut adalah momen kunci dalam halizah, proses yang membebaskan seorang pria dari perkawinan levirat (Ul. 25: 9; Rut 4:7). Mungkin, sebagaimana Gregorius Agung berpendapat, Yohanes menyatakan dirinya tidak hanya di bawah Kristus tetapi juga tidak layak untuk menggantikan Dia sebagai suami sejati orang Israel. Yohanes adalah pendamping pengantin pria, bukan mempelai pria (Yoh. 3:29).

Dalam konteks yang lebih luas ini, teka-teki Eli dan Yakub bukanlah suatu kebetulan, melainkan bagian dari sebuah pola — yang mungkin kita abaikan tanpa melambat untuk berhenti. Puji Tuhan untuk polisi tidur.

Andrew Wilson pendeta pengajar di King’s Church London dan penulis Roh and Sakramen (Zondervan). Ikuti dia di Twitter @AJWTheology.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Kita perlu membaca Alkitab yang dibaca Yesus

Perjanjian Lama adalah sangat penting untuk memahami Perjanjian Baru. Dan juga sangat diperlukan dengan sendirinya.

Christianity Today September 14, 2020
Illustration by Matt Chinworth

Perjanjian Lama selalu menjadi sasaran empuk para kritikus kekristenan. Pada permukaannya, kode moral yang keras dan norma budaya kuno Perjanjian Lama dianggap usang, bahkan barbar. Meski ini bukanlah hal baru, namun belakangan pandangan ini telah menyebabkan seruan yang lebih keras untuk meremehkan signifikansinya, seperti ketika di tahun 2018, seorang pendeta terkemuka bernama Andy Stanley menyarankan agar orang Kristen harus “melepaskan” Perjanjian Lama dari teologi mereka. Tetapi banyak ahli Alkitab tidak menyetujuinya. Artikel ini adalah bagian pertama dalam seri enam esai dari berbagai tokoh sarjana terkemuka yang meninjau kembali “Perjanjian Pertama” dalam iman Kristen kontemporer.

—Para Editor

Sudah dari abad kedua, pendiri bidah Marcion menekankan pertanyaan ini dan sampai pada sebuah kesimpulan bahwa Perjanjian Lama hampir tidak menawarkan apa-apa bagi kekristenan. Ia pun dikucilkan karena pandangannya. Pada abad ke-20, Nazi dengan luar biasa berhasil memberlakukan penghapusan Perjanjian Lama dari iman Kristen dan tak terhitung banyaknya “orang-orang Kristen Jerman” yang mengikutinya—menuju akhir yang mengerikan. Dan baru-baru ini, para pengkhotbah dari jemaat-jemaat kecil hingga gereja-gereja besar yang memiliki banyak cabang, bergumul tentang apa yang harus dilakukan dengan Perjanjian Lama. Banyak dari mereka sudah melakukan yang terbaik, tetapi banyak juga yang melakukan kurang dari itu. Beberapa dari mereka melihat tidak ada jalan ke depan selain “melepaskan” keterkaitan kedua Perjanjian tersebut dari Alkitab Kristen.

Segala kesulitan dengan Perjanjian Lama ini sangat disayangkan karena setiap halaman dari Perjanjian Baru bergantung pada Perjanjian Lama, baik secara ekstensif maupun eksklusif. Ayat pertama dari Matius adalah salah satu contohnya: “Inilah silsilah Yesus Kristus, anak Daud, anak Abraham” (LAI TB). Tanpa Perjanjian Lama, para pembaca tidak tahu apa artinya “Kristus”, siapa Daud dan Abraham, atau bagaimana semua tokoh ini saling terkait. Teks aslinya bahkan lebih sugestif: “Kitab silsilah” adalah biblos geneses dalam bahasa Yunani — sebuah kiasan yang jelas kembali ke kitab Kejadian.

Tetapi kebergantungan Perjanjian Baru pada Perjanjian Lama lebih dari sekedar informasi-dalam beberapa bagian, Perjanjian Baru memperlihatkan bahwa Perjanjian Lama memadai sepenuhnya pada keberadaannya sendiri, untuk menyatakan pengetahuan akan keselamatan dari Tuhan. Pikirkanlah perumpamaan Yesus tentang orang kaya dan Lazarus (Luk. 16:19-31), di mana Abraham memberi tahu orang kaya itu bahwa tidak ada yang akan dikirim dari antara orang mati untuk memperingatkan saudara-saudaranya yang tidak taat karena, “Jika mereka tidak mendengarkan kesaksian Musa dan para nabi, mereka tidak juga akan mau diyakinkan, sekalipun oleh seorang yang bangkit dari antara orang mati ”(ay. 31).

Teks-teks seperti Matius 1 atau Lukas 16 tersebar di mana-mana di dalam Perjanjian Baru dan tidak diragukan lagi hal ini memunculkan pernyataan-pernyataan yang bermaksud baik seperti: “Anda tidak dapat memahami Perjanjian Baru tanpa memahami Perjanjian Lama,” atau, sesuai pepatah dari St.Agustinus: “Dalam Perjanjian Lama, yang Baru tersembunyi, dalam Perjanjian Baru, yang Lama disingkapkan.” Tidak ada yang salah dengan ungkapan semacam itu, tetapi kelihatannya hal tersebut tidak efektif dalam menyelesaikan masalah ini sepenuhnya karena, pada kenyataannya, banyak orang Kristen terus bertanya-tanya tentang Perjanjian Lama yang sedikit banyak tidak (dan tidak akan pernah) mereka lakukan terhadap Perjanjian Baru. Jadi pertanyaannya tetap sama : “Apa yang ditawarkan Perjanjian Lama untuk kekristenan masa kini?”

Jawaban saya: Banyak. Mungkin semuanya.

Setidaknya ada empat pemberian yang ditawarkan Perjanjian Lama bagi iman Kristen. Andaipun pemberian-pemberian ini tidak unik bagi Perjanjian Lama, namun hal-hal tersebut jauh lebih kekinian di Perjanjian Lama daripada di Perjanjian Baru, dan karena itu merupakan aspek yang berharga dari seluruh nasihat Allah.

Kejujuran

Perjanjian Lama itu terus terang, bahkan sangat terus terang. Keterus-terangan Perjanjian Lama yang kerap menarik perhatian, dan terkadang membingungkan, seringkali menyinggung kepekaan masyarakat modern. Misalnya sebagai contoh, sentimen kejam tentang musuh yang ditemukan di berbagai mazmur, bahkan dalam mazmur yang sangat dicintai seperti Mazmur 139. Itu adalah mazmur favorit ibu mertua saya (kecuali ayat 19-22). Tetapi kejujuran ini adalah sebuah pemberian, bukan penyebab ketakutan. Andai kita sendiri mau berterus terang, kita harus mengakui bahwa terkadang kita memikirkan atau menginginkan hal serupa pada musuh kita sendiri — dan tidak selalu melalui doa! Selama berabad-abad, kejujuran yang brutal dari mazmur itulah, terutama di masa-masa sulit, yang menyebabkan kitab Mazmur menjadi terkenal.

Tetapi ini bukan hanya mazmur; terus terang, seluruh Perjanjian Lama jujur dalam hal yang banyak orang Kristen tidaklah demikian. Kisah-kisah tentang ketidaktaatan dan dosa Israel muncul di benak kita saat ini. Kisah-kisah ini sering kali ditujukan untuk moralisasi secara homiletikal, bahkan penghinaan kristiani terhadap Perjanjian Lama (dan Israel yang biblikal). Tetapi kita harus ingat bahwa catatan-catatan ini hanya disimpan dalam Perjanjian Lama karena keterus-terangannya. Umat Kristen mengetahui kisah-kisah ini hanya karena Israel cukup jujur untuk menyampaikannya. Kejujuran tentang dosa dan penderitaan adalah dua dari banyak contoh yang diberikan Perjanjian Lama tentang jujur di hadapan Tuhan dan dunia serta jujur tentang Tuhan dan dunia. Sejarah Israel tidak lebih penuh kegagalan dibandingkan dengan sejarah gereja, yang juga dipenuhi dengan kegagalan-kegagalan yang mengerikan. Sejarah Israel penuh dengan kejujuran. Itu adalah pemberian yang patut untuk ditiru.

Puisi

Tidaklah mengherankan jika sebuah kitab yang sejujur Perjanjian Lama dipenuhi dengan puisi karena, seperti yang dikatakan Garrison Keillor, puisi yang bagus sangatlah penting karena “menawarkan kisah yang lebih benar daripada yang biasa kita dapatkan.” Sepertiga, mungkin lebih, dari Perjanjian Lama berbentuk puisi. Bandingkan ini dengan Perjanjian Baru, yang menawarkan sedikit puisi berharga bagi kita. Apalagi, sedikit puisi yang terdapat di Perjanjian Baru-khususnya di kitab Wahyu-biasanya meresapkan bahasa dan simbolisme Perjanjian Lama.

Puisi Perjanjian Lama terutama berada di dalam kitab Mazmur, tetapi juga di dalam kitab para nabi yang mencari (mengutip Mark Twain) “kata yang tepat” sebagai lawan dari “kata yang hampir benar,” karena itulah perbedaan antara kilat besar dan kilat kecil. Jika kitab Mazmur menawarkan puisi pujian dan penderitaan dalam doa, kitab para nabi menawarkan kepada kita puisi yang merupakan “Firman Tuhan.”

Sebab seperti hujan dan salju turun dari langit,

dan tidak kembali ke situ, melainkan mengairi bumi

dan membuatnya subur dan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan,

memberikan benih kepada penabur dan roti kepada orang yang mau makan,

demikianlah firman-Ku yang keluar dari mulut-Ku:

Ia tidak akan kembali kepada-Ku dengan sia-sia, tetapi ia akan melaksanakan apa yang Kukehendaki

dan akan berhasil dalam apa yang Kusuruhkan kepadanya. (Yes. 55:10-11)

Puisi merupakan fitur utama dalam kitab-kitab yang lain juga, di mana puisi menjadi sarana yang ideal untuk membahas hikmat bagi kehidupan (Amsal), penderitaan (Ayub), kematian (Pengkhotbah) —dan bahkan cinta dan seks (Kidung Agung). Tetapi topik-topiknya tidak terbatas pada hal-hal ini saja; begitu pula dengan kitab-kitabnya. Di mana pun ditemukan, puisi tampaknya lebih dipilih ketika subyek persoalannya rumit—dan apa yang lebih rumit untuk didiskusikan selain daripada Tuhan dan cara Tuhan di dalam dunia?

Berbicara tentang penggambaran yang berani dari Perjanjian Lama, Walter Brueggemann menulis bahwa “tidak ada bahasa mudah yang bisa membuat kita mengerti perkataan Tuhan ini dengan benar.” Puisi bukanlah bahasa yang mudah, dan puisi jauh lebih baik ketika berbicara tentang Tuhan yang tak terbatas daripada prosa yang datar—tentu saja puisi lebih unggul daripada proposisi langsung. Puisi mengarahkan bahkan saat ia mengelak; Puisi membangkitkan dan menyingkapkan bahkan saat ia mengaburkan dan tetap senyap. Dalam kesenyapannya dan dalam penyingkapannya, puisi mengkomunikasikan dan menjaga kekudusan Allah, Tuhan atas segala bahasa, dan atas segala tuhan. Umat Kristen belajar tentang rasa hormat yang mendalam terhadap misteri Allah-pribadi yang seharusnya tidak boleh dianggap remeh-dari kegemaran Perjanjian Lama terhadap puisi.

Teologi

Pemberian ketiga-berkaitan erat dengan yang kedua—yaitu teologi, yang dalam hal ini didefinisikan secara sempit sebagai pembicaraan tentang Tuhan. Pencarian konkordansi secara cepat dari kata “God” (Tuhan) di dalam Common English Bible memberikan hasil sebanyak 1.109 kata di Perjanjian Baru, tetapi ada 3.189 kata di Perjanjian Lama. Statistik tersebut tidak mengherankan. Ketiga puluh sembilan kitab Perjanjian Lama merupakan 78 persen bagian dari Alkitab Kristen Protestan (bahkan lebih banyak dalam kanon Katolik, Ortodoks, dan Anglikan). Tetapi ada hal yang lebih banyak lagi dalam pemberian yang ketiga ini daripada sekedar soal panjangnya Perjanjian Lama dibandingkan dengan Perjanjian Baru.

Perjanjian Lama telah dianggap sebagai tempat penyimpanan utama bagi doktrin Allah—lebih khusus lagi, Pribadi pertama dari Allah Tritunggal. Dalam Perjanjian Lama inilah seseorang belajar pertama kali, dan terutama, serta paling luas tentang Dia yang dipanggil "Bapa" oleh Yesus. Mengingat tentang inkarnasi yang disampaikan di dalam Injil dan pemberian Roh Kudus di dalam Kisah Para Rasul, Perjanjian Lama menjadi tempat yang memberikan wawasan khusus tentang “Allah Bapa yang Mahakuasa,” meskipun orang Kristen dengan cepat mengakui bahwa ke-Tiga-nya adalah Satu. Tetapi kesatuan ilahi menjadi terabaikan setiap kali orang Kristen berpihak pada Marcion yang mengadu domba “Tuhan Perjanjian Lama” melawan Yesus dalam Perjanjian Baru.

Sentimen-sentimen semacam itu mengungkapkan banyak ketidaktahuan tentang Perjanjian Baru sebagaimana yang mereka lakukan dengan Perjanjian Lama, terutama karena pembedaan ini ditarik dengan mengacu pada murka dan penghakiman Allah. Topik-topik ini berlimpah dalam Perjanjian Baru sebanyak dalam Perjanjian Lama, dan tidak hanya di dalam kitab Wahyu. Hal-hal tersebut umum di dalam khotbah Yesus, seperti yang dilihat oleh pendahulunya, Yohanes Pembaptis, dengan sangat jelas (Mat. 3:7-12). Jadi dalam hal ini juga, tidak kurang dari yang lainnya, Yesus dan Bapa adalah satu (Yoh. 17:22).

Kesatuan dari kedua Perjanjian ini-dan di antara Pribadi-pribadi dari Allah Tritunggal—memperlihatkan bahwa Allah sungguh menunjukkan "murka setiap hari” (Mzm. 7:12b). Akan tetapi, mazmur ini juga menjelaskan untuk apa murka tersebut: Demi menegakkan keadilan, karena “Allah adalah Hakim yang adil” (Mzm. 7:12a). Terlepas dari standar keadilan ilahi, Tuhan tidak berkenan dengan kematian orang fasik, tetapi sangat menginginkan agar mereka mengubah cara dan hidup mereka (lih. Yer. 18:7-8; Yeh. 18:32; Yun. 3:10). Pada seluruh Alkitab—Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru-penghakiman Allah memiliki sasaran: dosa dan ketidakadilan. Ketika kedua hal tersebut dibereskan dengan benar, maka murka lenyap.

Umat Tuhan

Perjanjian Lama mengajarkan orang-orang Kristen sesuatu yang krusial tentang eklesiologi-tentang menjadi umat Allah. Salah satunya adalah mencintai perbuatan yang adil persis seperti Tuhan yang adalah adil (Mzm. 11:7). Tetapi itu hanyalah puncak gunung es saja. Daftar pengajaran Perjanjian Lama tentang apa yang harus dilakukan oleh umat Tuhan dan mereka harus menjadi seperti siapa, pastilah membutuhkan banyak halaman untuk memaparkannya. Intinya bukanlah detail dari semua itu, melainkan fakta sederhana dari semuanya.

Perjanjian Baru, tentu saja, melakukan banyak hal yang sama. Istilah “eklesiologi” berasal dari bahasa Yunani ekklsia, digunakan dalam Perjanjian Baru untuk gereja/jemaat (mis. Mat. 16:18). Tapi ekklsia juga muncul dalam terjemahan Yunani dari Perjanjian Lama, di mana kata itu mencerminkan kata Ibrani qhl (“jemaah”), sebuah istilah yang menyampaikan gagasan yang hampir sama: komunitas iman. Namun demikian, pemberian keempat ini berkaitan dengan sifat Israel sebagai sebuah kelompok: sebuah keluarga, kemudian suatu umat, kemudian sebuah bangsa yang memiliki tanah—yang berdiri bersama dalam perjanjian dengan Allah (Kel. 19:8), bersatu di dalam doa dan pujian, penghargaan dan, ya, kadangkala bahkan dihukum sebagai sebuah kelompok. Perjanjian Baru juga mencerminkan pemahaman yang sama, terkadang dengan cara yang mengejutkan (lih. mis. Kis. 5:1-11).

Meski demikian sangatlah umum, terutama di negara Barat yang individual dan industrialis, untuk membaca Perjanjian Baru sebagai urusan privatisasi—“Yesus dan saya”—dan mengabaikan urusan politik dan keadilan sosial dari Perjanjian Baru tersebut. Raja yang mengadili di antara domba dan kambing dalam Matius 25:31-46 mengetahui dengan lebih baik, dan kerasnya serta kriteria yang Ia gunakan untuk membuat keputusan, terdengar persis seperti Tuhan yang mengatur pemeliharaan atas para imigran, janda, dan anak yatim piatu dalam kitab Keluaran 22:21-24, di mana hal ini merupakan contoh lain dari kesatuan kedua Perjanjian tersebut.

Pemberian keempat dari Perjanjian Lama ini mengajarkan orang-orang Kristen bahwa kehidupan beriman jarang berupa urusan kesalehan yang soliter dan pribadi—bahkan mungkin tidak pernah. Sebaliknya dan pada akarnya, kehidupan beriman adalah urusan komunal, melampaui masalah hati. Yang pasti, firman Tuhan harus tertulis di dalam hati, sebagaimana tertulis dalam Ulangan 6, tetapi tidak berhenti sampai di situ—tubuh eksternal juga harus melakukan perintah Tuhan, di mana hal itu terlihat di tangan dan dahi, dan kemudian dituliskan di rumah-rumah, di kota, dan bahkan di tubuh perpolitikan (Ul. 6:6-9).

Tanda-Tanda Perjanjian Lama

Kesimpulannya: “Kita tidak dapat memahami Perjanjian Baru tanpa Perjanjian Lama” adalah benar sejauh ini, tetapi tidak cukup jauh, karena Perjanjian Lama, pada keberadaannya sendiri, sangat diperlukan bagi iman Kristen. Pernyataan Agustinus yang terkenal, juga, meski akurat, namun tidak memadai. Banyak hal dalam Perjanjian Lama yang terungkap—bahkan_semuanya_, menurut teologi Kristen, belum lagi kesaksian dari 2 Timotius 3:16 (di mana “segala tulisan” mengacu pada Perjanjian Lama).

Seperti yang dijelaskan ayat tersebut dan yang selanjutnya, Perjanjian Lama sungguh sangat berguna – “untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran, dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik” (2Tim. 3:16-17). Hal ini benar karena “sebab segala sesuatu yang ditulis dahulu, telah ditulis untuk menjadi pelajaran bagi kita, supaya kita teguh berpegang pada pengharapan oleh ketekunan dan penghiburan dari Kitab Suci” (Rm. 15:4).

Bayangkan kekristenan yang ditandai bukan dengan usaha menutup-nutupi dan penyangkalan, melainkan dengan kejujuran; kekristenan yang berbicara tentang Tuhan dengan rendah hati dan penuh seni—secara puitis—karena misteri ilahi melampaui segala bahasa; kekristenan yang selaras dengan teologi Tiga-di dalam-Satu, satu di dalam belas kasihan dan penghakiman untuk membebaskan dunia dari dosa dan ketidakadilan; kekristenan yang dipersatukan sebagai umat Allah yang bersama, yang ditebus “dari tiap-tiap suku dan bahasa dan kaum dan bangsa” (Why. 5:9). Itu akan menjadi kekristenan yang dihiasi dengan pemberian-pemberian yang disediakan Perjanjian Lama.

Brent A. Strawn adalah profesor Perjanjian Lama di Duke Divinity School. Dia adalah penulis The Old Testament Is Dying: A Diagnosis and Recommended Treatment.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube