Mengapa Mendefinisikan Gosip menjadi Penting dalam Tanggapan Gereja terhadap Pelecehan?

Apakah kita terlalu menahan perkataan kita? Usaha orang-orang Kristen untuk memulihkan pemahaman alkitabiah tentang desas-desus yang berbahaya versus kritik yang membangun.

Christianity Today June 30, 2021
Illustration by Andrea Ucini

Heather Fulk tidak dapat ingat apakah ia pernah mendengar tentang kebijakan Dave Ramsey untuk tidak bergosip, sebelum suaminya, Jon, dipecat dari perusahaan guru keuangan Kristen itu di Mei lalu.

Tetapi mereka yang berada di dalam Ramsey Solutions, dan jutaan orang yang mengikuti ajarannya tentang kepemimpinan, tahu bahwa ia memiliki toleransi yang sedikit untuk hal-hal negatif di jajarannya. Ramsey mendefinisikan gosip sebagai “mendiskusikan sesuatu yang negatif dengan seseorang yang tidak dapat membantu memecahkan masalah.” Itu berarti penyampaian kritik harus langsung pada kepemimpinan; mengeluh kepada sesama karyawan adalah tindakan “ketidaksetiaan.”

Orang-orang yang bekerja di Ramsey mungkin memiliki keluhan mereka sendiri—mulai dari hal-hal kecil seperti mengkritik pembicara tamu pada acara mingguan hingga kekhawatiran yang lebih besar tentang posisi mereka di perusahaan—tetapi mereka harus berhati-hati untuk tidak berbagi cerita dengan sesama karyawan yang mungkin melaporkannya.

“Anda harus sedikit berhati-hati dalam menjalin hubungan baru untuk mencari tahu siapa orang yang aman,” kata seorang mantan karyawan yang keluar tahun ini dan meminta untuk tidak disebutkan namanya karena takut akan pembalasan.

Bagi sebagian karyawan, sikap bungkam meluas hingga di luar perusahaan. “Mereka juga merasa bahwa berbicara dengan pasangan atau teman, adalah termasuk gosip juga,” kata yang lainnya.

Mereka tahu untuk tidak melakukan apa yang dilakukan oleh Heather Fulk. Pada bulan-bulan awal pandemi tahun lalu, ia membagikan di halaman Facebook pribadinya akan kekhawatirannya atas “perusahaan Jon” yang membuka kembali kantornya. Seorang rekan kerja melaporkan postingan tiga kalimat tersebut ke Ramsey Solutions, dan suami Fulk dipecat kurang dari sebulan setelahnya.

Pada wawancara terakhir sebelum Jon keluar dari perusahaan itu, direktur SDM Ramsey mengonfirmasi bahwa postingan media sosial dari istri Jon adalah alasan keputusan mereka, menurut sebuah rekaman. Suaminya berkomentar, “Kami jelas tidak setuju dengan pendefinisian gosip itu.”

Setelah pemecatan suaminya, Fulk menerima surat penghentian dan larangan (cease and desist letter), jadi ia menyamarkan pembaruan statusnya kepada teman-teman Facebook, dengan mengatakan bahwa mereka dapat mengirim pesan kepadanya jika mereka ingin mengetahui alasan suaminya tidak lagi bekerja di Ramsey.

Dia masih memproses rasa bersalahnya atas apa yang terjadi ketika seorang pemimpin wanita dari gerejanya menghubunginya. Fulk mengira wanita itu akan menawarkan dukungan, dan keduanya bertemu di teras rumahnya. Namun ternyata sebaliknya, pemimpin tersebut menegur postingan terbarunya: “Sepertinya Anda hanya ingin bergosip,” katanya, menurut Fulk.

Orang Kristen berhak untuk mengindahkan peringatan Kitab Suci tentang gosip, rahasia, dan kebohongan. Namun gereja Amerika juga telah melihat pola para pemimpin yang mereferensikan ajaran semacam itu untuk membungkam dan mendiskreditkan korban dan pelapor.

Salah satu anggota tim mula-mula dalam pelayanan Ravi Zacharias yang menyampaikan kekhawatirannya secara internal tentang perilaku pendirinya di luar negeri, dipidanakan karena “menyebarkan rumor.” Wanita yang mengajukan tuduhan pelecehan seksual terhadap pendiri Willow Creek Community Church, Bill Hybels, dinyatakan melakukan kampanye untuk menjatuhkan gereja dengan “tuduhan palsu.”

Dalam dekade sejak merilis bukunya Resisting Gossip, pendeta Matthew Mitchell telah mengenali pola itu juga. Dua tahun yang lalu, Mitchell menulis sebuah postingan blog yang menjelaskan bahwa ia khawatir para pemimpin yang suka mengontrol akan menggunakan karyanya untuk menjatuhkan para kritikus di dalam gereja mereka.

Karena gerakan #MeToo dan #ChurchToo telah membawa perspektif para korban ke permukaan, Mitchell mengatakan kepada CT bahwa ia memiliki lebih banyak kesempatan untuk mempertimbangkan “betapa sulitnya untuk mengangkat suara dan berbicara keluar ketika Anda telah dianiaya oleh seseorang yang berotoritas, dan kemudian mendapat tekanan tambahan karena dituduh bergosip.” Naluri untuk memfitnah mereka yang menyampaikan kepedulian dapat menjadi tanda bahaya bagi budaya pelecehan.

Namun jawabannya, Mitchell dan pakar lainnya setuju, bukan agar gereja berhenti berkhotbah dan mengajar melawan bahaya gosip. Sebaliknya, itu harus dimulai dengan pemahaman yang benar tentang gosip sejak awal.

William Vanderbloemen, yang perusahaannya berkonsultasi dengan pengusaha-pengusaha Kristen mengenai perekrutan dan budaya di tempat kerja, mengatakan bahwa ada banyak kliennya menambahkan klausul "tidak bergosip" ke dalam buku pegangan mereka, terutama karena media sosial memberikan jangkauan luas kepada orang-orang untuk menyiarkan informasi yang berpotensi merusak. Untuk menegakkan peraturan tersebut, mereka harus memberikan batasan-batasan subyektif dari apa yang dianggap sebagai gosip atau menetapkan parameter untuk istilah itu sejak awal.

“Hanya menyebutnya sebagai ‘kepedulian doa’ tidak mencegah hal tersebut menjadi gosip, karena begitulah cara menyembunyikannya,” kata Vanderbloemen, mantan pendeta di Houston.

Gosip dan Matius 18

Alkitab tidak memberi kita definisi tunggal dan menggunakan banyak kata untuk merujuk pada apa yang kita sebut gosip. Dalam Perjanjian Lama, istilah-istilah tersebut biasanya merujuk pada pribadi— seorang “pembawa cerita” atau “penjual rahasia”—daripada sebuah tindakan, menurut Karen Ehman, pembicara Proverbs 31 Ministries dan penulis buku Keep It Shut. Istilah Perjanjian Baru untuk gosip, menurutnya, mengacu pada omongan yang kosong dan yang tidak suci (1Tim. 6:20) dan bisik-bisikan (2Kor. 12:20).

“Kita telah memperoleh konsep bahwa ‘berbicara di belakang orang’ adalah gosip, tetapi mungkin benar, mungkin juga tidak,” kata Ehman, yang menghabiskan waktu lima tahun mempelajari pedoman Kitab Suci tentang berbicara untuk mengekang kebiasaannya agar terhindar dari masalah akibat kata-kata. “Jika itu benar, dan saya tidak melakukannya dengan cara memfitnah atau dengan niat jahat, itu sebenarnya bukan gosip. Itu hanya membicarakan seseorang ketika mereka tidak ada di dalam ruangan.”

Bagi orang Kristen, gosip lebih soal motivasi berbicara daripada soal kategori pembicaraan. Terkadang gosip dipicu oleh keegoisan diri kita sendiri dan pemujaan yang salah; kami ingin diperhatikan dan terlihat sebagai orang yang tahu segalanya. Kadang-kadang itu adalah motivasi yang tidak mengasihi orang lain, sebuah keinginan untuk menampilkan diri mereka secara keliru atau untuk mengungkapkan rahasia yang akan merusak reputasi orang lain.

Menyebut informasi apapun yang negatif atau sensitif sebagai “gosip” tidaklah tepat.

“Kadangkala kita harus memberi tahu orang lain tentang sesuatu hal buruk yang kita tahu benar mengenai seseorang yang tidak ada di sana. Tujuannya adalah untuk memperingatkan mereka tentang orang itu, karena kemungkinan besar mereka akan terluka dengan cara yang sama,” kata Mitchell, mengutip kalimat Paulus dalam 2 Timotius 4:14 tentang kerugian yang ditimbulkan oleh Aleksander, si tukang tembaga. Paulus menulis, “Hendaklah engkau juga waspada terhadap dia, karena dia sangat menentang ajaran kita” (ay. 15).

Sebagai bagian dari gerakan menuju transparansi, kepercayaan, dan akuntabilitas yang lebih baik, institusi-institusi Kristen perlu lebih berhati-hati dalam mempertimbangkan apakah mereka telah membukakan kesempatan bagi ornag-orang yang benar-benar ingin menyatakan kebenaran, menyerukan dosa, dan melindungi orang lain dari bahaya.

Dalam beberapa hal, bekerja jarak jauh selama COVID-19 memaksa para pengusaha Kristen untuk berkomunikasi lebih jelas dan membangun kepercayaan yang lebih lagi, menurut Al Lopus, CEO dari Best Christian Workplaces Institute.

Gereja, lembaga pelayanan, dan perusahaan Kristen ingin menciptakan budaya tempat kerja yang positif di mana para karyawan diharapkan menunjukkan buah Roh, tetapi tidak berarti menghindari hal-hal yang negatif sama sekali.

“Kami mendorong mitra-mitra pelayanan kami untuk menciptakan lingkungan di mana orang merasa bebas untuk mengungkapkan pendapat mereka,” kata Lopus, menambahkan bahwa komunikasi yang terbuka juga membuat organisasi lebih inovatif. “Ada yang namanya konflik yang sehat ketika orang berbeda pendapat tentang berbagai masalah dan gagasan.”

Orang Kristen seringkali dijuluki sebagai “penggosip” karena membahas perilaku orang lain yang berdosa tanpa mendatangi mereka secara langsung seperti di Matius 18.

“Saya telah banyak memikirkan tentang tuduhan gosip itu,” kata Sandra Glahn, yang membantu mantan pemerhati gereja yang melayani sederetan wanita yang berani mengungkap kasus pelecehan seksual dan penindasan dari diakennya. “Ketika salah satu faktornya ada dalam diferensial kekuasaan, panduan yang dapat diterapkan secara langsung adalah dari surat 1 Timotius, di mana sang rasul memberi tahu anak didiknya, ‘Janganlah engkau menerima tuduhan atas seorang penatua kecuali kalau didukung dua atau tiga orang saksi. Mereka yang berbuat dosa hendaklah kau tegor di depan semua orang agar yang lain itu pun takut' (1Tim. 5:19-20).”

Menangani pelecehan yang dilakukan oleh para pemimpin dalam konteks gereja harus melibatkan orang lain daripada membuat korban bertemu secara tatap muka dengan orang yang diduga sebagai pelaku pelecehan.

“Dua atau tiga orang itu harus berbicara sebelum berkonfrontasi. Percakapan itu bukanlah gosip,” kata Glahn. “Dua atau tiga orang itu mungkin juga perlu berkonsultasi dengan konselor rohani. Hal itu lebih memperlebar lingkaran tersebut. Tetapi percakapan itu pun bukan gosip.”

Percakapan semacam itu bukan hanya diperbolehkan, tetapi juga merupakan suatu bentuk pertanggungjawaban.

“Kita telah menyaksikan, terutama dalam beberapa tahun terakhir, orang-orang yang berkuasa mampu menyakiti orang lain—terkadang selama bertahun-tahun lamanya—dan lolos begitu saja, sebagian karena para korban terisolasi dan tidak menyadari satu sama lain, sebagian lagi karena organisasi melindungi para pemimpinnya dari kritikan yang tepat,” kata Stephen Witmer, seorang pendeta Massachusetts yang telah menulis tentang gosip di dalam gereja.

Siapa yang dibawa ke dalam lingkaran itu sangatlah penting. Entah apakah mengemukakan keprihatinan yang besar atau hanya kritikan kecil, orang Kristen harus mencari seseorang yang dapat melakukan lebih dari sekedar mendengar curahan hati mereka.

“Saat kita berbicara dengan pihak ketiga tentang masalah yang kita lihat pada diri seseorang, kita harus menganggap pihak ketiga itu sebagai orang yang terlibat, bukan hanya pendengar pasif, dan, karena itu, pilihlah pihak ketiga dengan hati-hati,” kata Witmer. “Mungkin mereka akan membantu kita memikirkan apa yang harus dikatakan ketika kita mendekati orang tersebut. Mungkin mereka akan pergi bersama kita untuk berbicara dengan orang itu. Mereka seharusnya tidak hanya menjadi pendengar curahan hati kita saja.”

Bagi para korban yang telah merahasiakan pengalamannya karena ketakutan, yang telah merenung dan khawatir serta menyalahkan diri sendiri hingga pada titik akhir kerohanian mereka, maka keberadaan kelompok kecil yang terdiri dari orang-orang yang mau mendengarkan dan tepercaya dapat menolong untuk menguatkan hidup mereka. Kelompok tersebut juga dapat menyingkapkan bukti pola pelecehan, suatu kesadaran yang memilukan sekaligus menghibur—bahwa terlepas dari isolasi yang mereka rasakan dalam kesenyapan, mereka tidaklah sendirian.

“Ketika mereka menyebutnya gosip, saat mereka tidak mengizinkan untuk memproses dan membongkarnya, tidak ada kesempatan bagi siapa pun untuk memahami apa yang terjadi pada mereka,” kata Melissa Hogan, salah satu dari belasan mantan karyawan (dan pasangan) Ramsey Solutions yang berbicara kepada CT. “Anda membutuhkan itu. Anda membutuhkan orang-orang di sekitarmu.”

Dengan kata lain, bukan hanya bos atau bagian SDM yang dapat menangani masalah Anda dengan baik; melainkan juga orang di sebelah Anda yang dapat mendengarkan atau berkata, “Saya juga.”

Mantan suami Hogan, Chris Hogan, adalah salah satu tokoh teratas di Ramsey Solutions, dan perusahaan mengawasi “proses pemulihan” ketika pasangan itu mengalami masalah dalam pernikahan yang diakibatkan oleh perselingkuhan Chris. Dave Ramsey memberi tahu stafnya di tahun 2019 bahwa Melissa Hogan mendatanginya dan dengan marah “menuduh Chris melakukan berbagai macam hal,” lalu perusahaan membela Chris selama proses perceraian, yang menurut Ramsey adalah “perceraian terburuk.” Chris Hogan meninggalkan perusahaan pada bulan Maret atas “tindakan dan perilaku” yang tidak “sejalan dengan nilai-nilai inti Ramsey Solutions.”

Melissa Hogan mengatakan “ini semua adalah karya Tuhan” bahwa ia bisa terhubung dengan lingkaran para wanita lima tahun lalu, melalui klub istri-istri di perusahaan itu. Saat perceraiannya, Hogan merasa dia tidak bisa terbuka kepada mereka karena perintah dari Ramsey untuk bungkam. Sekarang, mereka adalah sistem pendukungnya—bertukar pesan di aplikasi Voxer, mempelajari pelecehan rohani bersama-sama, dan meningkatkan kesadaran dengan berharap bahwa orang lain dapat terlepas dari lingkungan yang manipulatif.

Wade Mullen, penulis Something’s Not Right: Decoding the Hidden Tactics of Abuse—and Freeing Yourself from Its Power, menggambarkan bagaimana organisasi-organisasi yang kejam dan beracun menjadi ketakutan terhadap tindakan kolektif yang dapat timbul ketika seseorang bercerita kepada orang lain tentang apa yang terjadi pada mereka dan menyadari bahwa mereka tidak sendirian.

“Salah satu bentuk pembalasannya adalah ketika para pemimpin menanggapi penyingkapan kebenaran itu dengan salah mengartikan alasan-alasan moral dan etis dari si pelapor yang memberi tahu orang lain, dengan menyebut mereka sebagai orang yang kepahitan dan pendendam yang hanya menyebarkan rumor,” katanya. “Dalam beberapa kasus, saya telah melihat para pemimpin agama mengaitkan pengungkapan pelecehan sebagai upaya setan untuk menghancurkan pekerjaan Tuhan. Mereka menyebut pengungkapan itu sebagai gosip dan kemudian menganggap bahwa gosip tersebut, dan juga si penggosip, dipakai oleh Iblis untuk menyerang gereja atau pelayanan.”

Lopus di Best Christian Workplaces mengatakan bahwa bekerja di lingkungan Kristen “adalah satu tempat di mana orang dapat membawa seluruh diri mereka untuk bekerja.” Hasilnya, para karyawan dapat mengembangkan koneksi yang lebih mendalam dengan orang-orang yang bekerja dengan mereka dan menjaga kepemimpinan untuk harapan yang lebih tinggi.

Namun bahkan kasus-kasus kesalahan manajemen di tempat kerja kemudian memiliki konsekuensi rohani, memicu orang untuk menyalahkan diri sendiri atau mulai membenci para pemimpin Kristen yang menurut mereka tidak mewakili hati Yesus.

‘Berbicaralah tentang kebenaran, kasih dan keadilan’

Beberapa sumber daya Kristen diarahkan untuk membantu para pendeta agar melindungi diri dan gereja mereka dari gosip atau fitnah, yang menurut Vanderbloemen menjadi ancaman yang lebih besar di era budaya pengenyahan (cancel culture) dan cerita-cerita cabul yang menjadi viral di media sosial. “Sekarang semua orang memiliki jaringan penyiaran mereka sendiri … itu mungkin semacam cara baru, karena gosip adalah fenomena lama,” katanya.

Meskipun Kitab Suci dapat mengarahkan orang untuk menyerukan dosa para pemimpin di hadapan gereja, tidak ada cara untuk melakukannya secara langsung di hadapan orang banyak di luar komunitas mereka sendiri. (Dan para pemimpin dahulu tidak memiliki jangkauan global seperti para pendeta, penulis, dan pimpinan pelayanan masa kini.)

“Saya tahu ada beberapa studi kasus yang sangat buruk tentang ‘Orang ini tidak dapat membicarakannya karena mengira mereka akan kehilangan pekerjaan, dan ternyata pria itu telah menjadi predator seksual selama bertahun-tahun lamanya.’ Saya tahu cerita-cerita itu terjadi di luar sana, jadi saya tidak ingin mengambil dari kisah-kisah itu,” katanya. “Tetapi saya juga tahu bahwa kekuatan gosip lebih tinggi dari sebelumnya. Anda bisa menghancurkan hidup seseorang dengan tanpa kebenaran.”

Vanderbloemen mengatakan bahwa selama lima tahun terakhir, klausul larangan perusakan nama baik (non-disparagement clauses), yang biasanya menjadi bagian dari perjanjian pesangon, juga berkembang untuk diterapkan pada anggota keluarga, sebagai cara untuk menangkal gosip, spekulasi, dan penghinaan di media sosial.

Dia mengatakan dalam banyak kasus, kedua belah pihak bisa melakukan kesalahan dan kesepakatan semacam itu memungkinkan gereja untuk melanjutkan tanpa harus membicarakan konflik di depan umum. Dari sudut pandang hukum, perjanjian tersebut dimaksudkan untuk melindungi kedua belah pihak dari kesalahan—mantan atasan tidak akan maju dan mengecam alasan keluarnya anggota staf itu dari pekerjaan, jika karyawan tersebut dan keluarganya setuju untuk melakukan hal yang sama.

Tetapi perhatian terhadap penggunaan klausul larangan perusakan nama baik (non-disparagement clauses) dan perjanjian kerahasiaan (non-disclosure agreement [NDA]) oleh gereja-gereja dan lembaga-lembaga pelayanan telah menimbulkan kekhawatiran akan menyembunyikan perbuatan yang tidak senonoh. Vanderbloemen mengklarifikasi bahwa “Perjanjian kerahasiaan yang baik akan selalu menyertakan beberapa kalimat yang mengatakan jika sesuatu yang kriminal telah terjadi, Anda benar-benar berhak untuk mengungkitnya,” sehingga memungkinkan orang untuk melaporkan kesalahan pengelolaan dana, penganiayaan, atau pelecehan seksual.

Gereja juga telah dibungkam karena kebijakan larangan perusakan nama baik; Texas sampai perlu membuat undang-undang baru, yang disahkan setelah krisis pelecehan gereja Baptis Selatan, untuk memampukan gereja-gereja di sana mengungkapkan, tanpa memihak, kepada calon pimpinan tentang alasan mantan karyawan atau sukarelawan diminta untuk pergi.

Karen Ehman berkata, “Menyampaikan pendapat jujur Anda ketika ditanya tentang seseorang untuk referensi pekerjaan” bukanlah gosip, melainkan informasi bermanfaat yang ditujukan pada seseorang yang perlu mengetahuinya.

Tetapi bagaimana dengan mengungkapkan informasi yang berpotensi merusak ketika dilihat oleh semua pengikut media sosial Anda, atau semua pengguna internet?

Beberapa orang menyatakan bahwa para pemimpin yang telah menyalahgunakan kekuasaan mereka terikat pada standar yang lebih tinggi, dan karenanya pengaruh mereka harus ditangani di depan umum, sekalipun mereka telah bertobat. Glahn mengingat ajaran 1 Timotius untuk memanggil penatua yang berdosa “di depan semua orang” sebagai peringatan.

Tetapi motivasi dan sikap hati kita adalah faktor yang menentukan apakah kita juga menggunakan gosip dalam kasus seperti itu. Mitchell memperingatkan semua orang—para korban maupun saksi mata—agar tidak melihat drama dalam konflik seperti itu, dalam upaya menjatuhkan seorang pemimpin, sebagai sumber hiburan.

“Pihak yang lemah masih perlu berhati-hati dengan cara bicara mereka tentang yang berkuasa; tidak ada alasan untuk merendahkan orang lain,” katanya. “Bahkan orang yang dianiaya pun tetap perlu menyampaikan kebenaran, kasih dan keadilan, dan bukan keinginan untuk balas dendam, atau keinginan untuk menggerutu, atau bahkan sebagai hiburan.”

Sebagai seorang Kristen yang fokus mempelajari tentang gosip, Mitchell memang mendengar dari para pendeta yang gerejanya telah terpecah karena gosip. Tetapi alasan Anda ingin menyingkirkan gosip dari gereja Anda adalah untuk menjadikan gereja sebagai tempat yang sehat bagi jemaat, bukan agar pendeta tidak berurusan dengan kritik.

“Alasan yang terakhir tersebut adalah suatu kemunduran dalam kepemimpinan Kristen. Orang yang lebih tinggi jabatannya dipanggil untuk lebih banyak membungkuk, dan itu mungkin berarti menerima lebih banyak pukulan daripada yang Anda inginkan tanpa melawan, tetapi itulah kegembiraan dari kepemimpinan Kristen," kata Mitchell, yang telah menggembalakan Lanse Evangelical Free Church di Pennsylvania selama 23 tahun.

Para pendeta pasti akan menghadapi penolakan dan desas-desus di jemaat—setahun pemberlakuan peraturan wajib memakai masker dan pembatasan pertemuan-pertemuan yang diperdebatkan, jika ada, menunjukkan hal itu—tetapi mereka harus memutuskan kapan perlu membiarkan komentar tersebut dan kapan harus menindaklanjuti.

“Selama bertahun-tahun sebagai pendeta, saya telah mendengar kritikan-kritikan penuh gosip tentang diri saya. Saya biasanya mengindahkan nasihat Charles Spurgeon bahwa pendeta harus memiliki satu mata yang buta dan satu telinga yang tuli, dan harus mengarahkan mata yang buta dan telinga yang tuli itu terhadap gosip,” kata Witmer, gembala dari Pepperell Christian Fellowship. “Saya telah mengabaikan laporan-laporan dari orang kedua tentang ketidakpuasan dari anonim atau meminta orang yang melaporkan kritik tersebut agar mengarahkan orang-orang itu untuk melakukan percakapan secara pribadi dengan saya.”

Bagi Heather Fulk di Tennessee, saran dari mantan pemimpin gereja sekaligus temannya yang mengatakan bahwa Fulk mencoba untuk menyetir gosip lebih lanjut tentang Ramsey, masih terasa menyakitkan.

“Saya baru saja berpikir tentang betapa merusaknya hal itu,” kata Fulk, sambil menantikan peringatan hari pemecatan suaminya. Ia mulai melihat dirinya sebagai korban trauma, masih belum pulih dari pemecatan suaminya yang mendadak, dan takut akan pembalasan lebih lanjut saat ia membicarakannya.

Keluarga Fulks sekarang berada dalam jemaat yang baru, setelah terhubung dengan kelompok kecil untuk mengikuti ibadah secara daring bersama selama pandemi. Ia juga sudah mampu melakukan percakapan rutin dengan para pendeta dan staf tentang kepekaan dalam memperhatikan para korban dengan baik.

“Kami sangat yakin untuk mengatakan bahwa hal-hal rohani (tentang gosip) ini benar-benar merupakan hal-hal yang melecehkan,” kata Fulk. “Kelihatannya bagus karena mereka menaruh ayat Alkitab di situ, tetapi sekarang saya pikir, ‘Tidak, menurut saya bukan itu artinya.’”

Diterjemahkan oleh: Vika Rahelia

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Siapa yang Akan Membantu Generasi Z dari Kecemasan, Depresi, dan Tindakan Bunuh Diri? Rohaniwan Kaum Muda Beralih ke Konseling.

Kesadaran baru akan kesehatan mental membuat para pelayan Tuhan harus mencari sumber daya.

Christianity Today June 30, 2021
Illustration by Rick Szuecs / Source images: Envato Elements

Jarrod Hegwood sebelumnya yakin bahwa ia mengerti bagaimana menasihati para murid di kelompok kaum mudanya. Kemudian ia melakukan konseling dan baru menyadari sebenarnya ia tidak tahu caranya.

“Saya akhirnya mengetahui bahwa apa yang saya lakukan bukanlah konseling,” kata Hegwood. “Apa yang dulu saya lakukan sebagai hamba Tuhan yang melayani para murid adalah memperbaiki masalah orang—memberi tahu mereka bagaimana bertindak dan berperilaku—namun tidak membantu mereka memahami diri mereka sendiri dan bertumbuh secara pribadi.”

Hegwood belajar banyak tentang dirinya sendiri saat mengikuti perkuliahan di seminari tentang konseling dan menemui terapis. Tetapi yang menggugah hatinya adalah tentang pentingnya para profesional di bidang kesehatan mental. Ia menyadari bahwa sebagai rohaniwan muda, dia tidak diperlengkapi untuk mengatasi tantangan kesehatan mental yang dihadapi oleh para muridnya.

Di seluruh negeri, rohaniwan kaum muda seperti Hegwood, yang sekarang menjalankan pusat konseling di Walker, Louisiana, selain melanjutkan pelayanan paruh waktu sebagai rohaniwan kaum muda, ia pun mulai menangani kesehatan mental dengan serius dan mencari berbagai sumber daya untuk membantu kaum muda Kristen. Sebagian dari hal ini disebabkan oleh adanya penurunan stigma seputar masalah kesehatan mental dan sebagian lagi karena meningkatnya kecemasan, depresi, dan bunuh diri pada Generasi Z (orang yang lahir setelah 1997).

Gangguan kecemasan pada remaja meningkat 20 persen dari tahun 2007 hingga 2012. Saat ini, 1 dari 3 remaja akan mengalami gangguan kecemasan, menurut National Institutes of Health. Persentase remaja yang mengalami setidaknya satu periode depresi mayor menjadi meningkat pesat pada waktu yang hampir bersamaan, dan sekarang 1 dari sekitar 5 anak perempuan melaporkan mengalami gejala serupa. Angka bunuh diri pada remaja usia 15 hingga 19 tahun meningkat 76 persen dari 2007 hingga 2017 dan meningkat hampir tiga kali lipat untuk remaja usia 10 hingga 14 tahun. Bunuh diri adalah penyebab utama kematian nomor dua bagi remaja, setelah kecelakaan, menurut Centers for Disease Control and Prevention.

Pelayanan kaum muda Injili menanggapi hal ini. Mereka menjadi kreatif dan bermitra dengan profesional kesehatan mental untuk mendapatkan bantuan dan sumber daya yang dibutuhkan oleh Generasi Z.

Lembaga Focus on the Family mulai membahas kebutuhan akan sumber daya kesehatan mental yang lebih banyak dan lebih baik setelah sebuah tragedi terjadi di dekat tempat mereka. Dua puluh sembilan siswa meninggal karena bunuh diri dalam periode dua tahun di El Paso County, Colorado, tempat lembaga ini berada. Newsweek menyebut lonjakan itu sebagai “wabah, yang menyebar melalui lorong sekolah.”

Lembaga Focus mengorganisir sebuah tim untuk mengembangkan berbagai sumber tentang bunuh diri. Didapati bahwa sebagian besar sekolah menengah dan universitas serta beberapa gereja memiliki protokol respons terhadap keinginan bunuh diri, tetapi program pencegahan bunuh diri secara holistik untuk remaja masih langka. Lembaga Focus memutuskan untuk membuat materi sendiri dan mulai mewawancarai orang-orang tentang bunuh diri pada remaja: para rohaniwan kaum muda, orang tua (termasuk mereka yang anaknya meninggal karena bunuh diri), remaja, orang yang terkena dampak dari orang yang bunuh diri, dan orang yang pernah mencoba bunuh diri.

Joannie DeBrito, direktur parenting dan kamu muda di lembaga Focus dan seorang profesional kesehatan mental berlisensi, mengatakan bahwa ketika timnya bertanya kepada orang yang diwawancarai tentang penyebab bunuh diri, media sosial adalah “jawaban no. 1 yang diberikan semua orang tanpa ragu-ragu.” Para ahli berpendapat sejumlah faktor biologis, psikologis, dan budaya kemungkinan berkontribusi pada peningkatan yang dramatis dalam masalah bunuh diri dan kesehatan mental, tetapi mereka terus memperdebatkan dampak media sosial.

Setidaknya, kata DeBrito, ada korelasi kuat yang perlu dipertimbangkan: Sewaktu angka kematian karena bunuh diri mulai meningkat pesat pada tahun 2007, iPhone diperkenalkan, orang-orang mulai menggunakan aplikasi media sosial, dan Facebook menurunkan persyaratan usia minimum menjadi 13 tahun.

Hegwood setuju dengan keterkaitan ini. Dia menyaksikan orang-orang muda terus-menerus menggunakan ponsel mereka dan kemudian secara emosional menjadi babak belur oleh pengalaman karena mencoba terhubung dengan orang-orang dengan segala cara di media sosial. Kadang-kadang para siswa didorong “untuk tidak peduli pada apa yang dipikirkan orang lain,” katanya, tetapi otak remaja terhubung dengan komunitas dan memberikan penghargaan kepada remaja atas persetujuan dan penerimaan dari teman-temannya. Begitu Hegwood memahami fakta ini, cara dia melakukan pelayanannya pun berubah .

“Saya benar-benar menyadari betapa pentingnya komunitas,” kata Hegwood. “Saya merasa ini hampir sama pentingnya dengan doktrin yang sehat, karena jika saya memiliki banyak doktrin yang sehat tetapi saya tidak memiliki tempat di mana anak-anak dapat terhubung satu sama lain, otak mereka terhubung ke tempat lainnya.”

Mencari persetujuan dan penerimaan dari komunitas yang sehat bisa menjadi hal yang positif, itulah sebabnya Hegwood memupuk komunitas di antara para siswanya—jauh dari ponsel mereka. Sumber daya pencegahan bunuh diri dari lembaga Focus, Alive to Thrive (Hidup untuk Bertumbuh), yang dirilis pada 2018, menyarankan orang tua untuk menetapkan batasan yang jelas pada penggunaan teknologi, juga menjelaskan bahwa pencegahan bunuh diri harus dimulai dengan mendorong hubungan sosial yang sehat dan melindungi anak-anak dari pelecehan.

Pada masa kini, seorang rohaniwan kaum muda yang efektif harus mengetahui kapan harus merujuk seseorang untuk konseling, kata Steve Johnson, wakil presiden Focus on the Family.

“Masalah yang dihadapi anak-anak saat ini begitu rumit,” katanya, “dan seringkali dibutuhkan seseorang dengan keahlian klinis untuk membantu … Sebagai rohaniwan kaum muda yang efektif, salah satu tujuan Anda haruslah untuk memiliki kearifan untuk mengetahui ke mana harus mengarahkan anak yang menghadapi masalah yang tidak dapat Anda tangani.”

Hegwood tidak selalu memandang konselor sebagai mitra dalam pelayanan. Sebelum dia menjadi seorang konselor, ia mengira dia telah gagal ketika mengetahui salah satu muridnya menjalani konseling.

“Saya merasa sepertinya saya tidak memenuhi kebutuhan siswa itu,” kata Hegwood. “Sejujurnya, saya tidak diperlengkapi untuk memenuhi kebutuhan anak tersebut pada saat itu. Saya tidak dapat berbicara dengannya tentang apa yang ia alami atau di mana ia berada.”

Hegwood mulai mendekati penyakit mental di antara para muridnya seperti diagnosis medis lainnya—patah kaki atau kanker—yang membutuhkan perawatan tambahan. Menurutnya, rohaniwan kaum muda mampu melayani murid-muridnya secara holistik ketika mereka mulai memandang penyakit mental seperti ini.

“Tidak apa-apa untuk mengenali keterbatasan kita,” kata Hegwood. “Jika kita tidak mengenali keterbatasan kita, kita tidak melayani orang-orang yang Tuhan tempatkan di jalan kita sebaik mungkin.”

Sebuah studi LifeWay Research menunjukkan bahwa hanya 2 persen dari pendeta Protestan yang menghalangi orang untuk pergi ke konseling. Delapan puluh empat persen setuju bahwa gereja harus memberikan dukungan kepada individu yang memiliki penyakit mental.

Kelsey Vincent, pendeta kaum muda dan keluarga di First Baptist Church di Decatur, Georgia, mengemban tanggung jawab itu. Dia menghubungkan gerejanya dengan Robert Vore, seorang konselor Kristen di Atlanta yang bekerja dengan kaum muda dan memberikan pelatihan untuk gereja tentang masalah kesehatan mental.

Vincent mengundang Vore ke acara gereja yang disebut “Makan Siang dan Belajar” (Lunch and Learn). Vore berbicara kepada para murid dan orang tua tentang beberapa tanda bahwa remaja mungkin berjuang dengan kesehatan mental dan cara mereka agar dapat membantu satu sama lain. Kemudian, ketika beberapa murid di gereja mengalami krisis kesehatan mental, Vincent menelepon Vore, dan dia membimbingnya untuk mengajukan pertanyaan yang tepat.

“Ini terjadi di mana pun saya memberikan ceramah di kelompok pemuda atau pelayanan perguruan tinggi atau apa pun seperti itu,” kata Vore. “Pada akhirnya saya mendengar dari staf bahwa tak lama setelah itu mereka melakukan percakapan yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya.”

Percakapan tersebut mungkin berarti orang Kristen Generasi Z diarahkan kepada para profesional di bidang kesehatan mental saat mereka membutuhkannya. Tetapi peningkatan kesadaran akan masalah kesehatan mental juga membuka kemungkinan baru untuk bidang pelayanan. Hegwood menyadari hal ini ketika ia sendiri dikonseling untuk pertama kalinya.

“Saya telah melakukan pelayanan siswa selama satu dekade pada saat itu,” kata Hegwood. “Apa yang saya alami secara pribadi—menemui seorang konselor Kristen—lebih mirip seperti pemuridan daripada apa pun yang pernah saya alami dalam kehidupan bergereja saya. Dan saya tumbuh di gereja.”

Hegwood berkata ia tahu, misalnya, bahwa 2 Korintus 10:5 mengatakan untuk “menawan segala pikiran dan menaklukkannya kepada Kristus.” Tetapi ia tidak memiliki cara yang baik untuk melakukan itu sampai konselornya mengajari dia bagaimana menjadi sadar akan pikiran dan perasaannya, sehingga dia dapat menghadapinya pada sewaktu-waktu.

Vore mengatakan bahwa belajar mengatasi emosi adalah langkah besar pertama menuju kesehatan mental. Orang memiliki kecenderungan untuk mengkategorikan emosi yang tidak menyenangkan seperti kesedihan, ketakutan, atau kemarahan sebagai “buruk” atau “salah”. Menurut Vore, penting untuk membantu siswa memahami bahwa Tuhan menciptakan mereka dengan emosi, dan bahwa mereka dapat menantang pemikiran yang tidak benar sambil tetap memeriksa kebenaran perasaan mereka.

“Emosi-emosi tersebut adalah bagian yang sehat dari keberadaan kita,” kata Vore. “Anda dapat melihat seluruh Kitab Suci, dan Tuhan memiliki emosi. Yesus memiliki emosi—bahkan emosi-emosi yang mungkin kita anggap tidak menyenangkan… Memiliki perasaan-perasaan itu tidak berarti kurang beriman.”

Baik Hegwood maupun Vincent telah menggunakan film Disney-Pixar Inside Out untuk mengilustrasikan poin ini kepada murid mereka. Film ini sebagian besar berlatar di dalam otak Riley yang berusia 11 tahun, di mana emosinya berdesak-desakan berusaha untuk mengontrol. Sukacita, biasanya emosi yang dominan, selalu berusaha membuat Riley bahagia. Namun Sukacita harus belajar bahwa Kesedihan juga memiliki tempat dalam hidup Riley.

Vincent memimpin retret kaum muda yang menghubungkan Inside Out dengan Mazmur. Dia menunjukkan kepada para muridnya berapa banyak emosi di dalam Mazmur sebagai cara untuk menunjukkan bagaimana Tuhan menciptakan emosi manusia—dan bagaimana Tuhan dapat menanganinya.

“Jika ada sesuatu yang saya rasa anak-anak saya bisa ulangi dan ajarkan kembali kepada orang lain setelah bersama saya selama dua tahun, itu adalah bahwa kita diizinkan untuk jujur kepada Tuhan tentang apa yang kita rasakan,” kata Vincent. “Kita tidak perlu malu akan hal itu. Kita tidak harus berpura-pura bahagia kepada siapa pun, terutama Tuhan.”

Hegwood juga tidak ingin para muridnya berpura-pura bersamanya. Dia belajar untuk mengajukan pertanyaan sulit kepada mereka melalui proses tersebut.

“Cara yang mengubah pola pikir saya tentang pelayanan kaum muda adalah dengan berfokus pada komunitas,” katanya. “Tetapi cara yang mengubah pola pikir saya tentang pemuridan adalah dengan berfokus pada individu.”

Sekarang ia tahu bahwa memuridkan para muridnya lebih dari sekadar memperbaiki masalah mereka. Ini tentang mengenal hati dan pikiran mereka serta, bila perlu, mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan untuk menjadi sehat secara mental.

Lanie Anderson adalah seorang penulis dan mahasiswa seminari di Oxford, Mississippi.

Diterjemahkan oleh: Lius Jayasaputra

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Dari Kubur Kosong hingga Pelecehan Masa Kini: Percayailah Wanita

Saya dulu adalah seorang apologet RZIM. Mempercayai sumber wanita adalah kunci kesaksian Kristen.

Christianity Today June 30, 2021
Illustration by Mallory Rentsch / Source Images: WikiMedia Commons / Velizar Ivanov / Unsplash

Fakta-fakta sentral tentang iman Kristen semua disaksikan terutama oleh wanita.

Yesus “dikandung dari Roh Kudus, lahir dari anak dara Maria,” seperti yang ada di Pengakuan Iman Rasuli, dan peristiwa Inkarnasi disaksikan pertama dan terutama oleh Maria, ibunya. Yesus “menderita sengsara di bawah pemerintahan Pontius Pilatus, disalibkan, mati, dan dikuburkan.” Pengorbanan tersebut disaksikan di keempat Injil terutama oleh para wanita pengikut Yesus. Kemudian, “pada hari yang ketiga bangkit pula dari antara orang mati.” Kebangkitan Kristus juga disaksikan di keempat Injil oleh wanita.

Jika kita tidak mempercayai wanita, maka kita harus mengabaikan para saksi mata pada peristiwa Inkarnasi, Penebusan, dan Kebangkitan. Jika kita tidak mau mendengarkan, kita tidak memiliki akses kepada bukti kebenaran sentral dari iman Kristen.

“Percayailah Wanita” menjadi slogan yang diperdengarkan dari gerakan Me Too. Saya tahu apa yang terjadi jika kita tidak melakukannya. Dalam beberapa bulan terakhir saya telah hidup di tengah badai trauma, kekecewaan, dan kesedihan yang mendalam karena tuduhan baru tentang pelecehan telah menghantam organisasi apologetika yang sebelumnya saya layani, Ravi Zacharias International Ministries. Penyingkapan pelecehan yang dilakukan oleh Ravi Zacharias terhadap banyak wanita sangat menghebohkan, dan kejatuhan yang membawa bencana dari kepalsuannya yang sangat buruk itu telah berdampak pada banyak orang.

Tetapi pada tahun 2017, ketika Lori Anne Thompson menyampaikan kesaksiannya tentang pelecehan seksual di tangan Ravi, dia tidak dipercaya. Saya dapat mengulangi secara detail apa yang terjadi secara internal, dalam organisasi global, termasuk bagaimana beberapa wanita dalam organisasi tersebut benar mengajukan pertanyaan serius tentang penjelasan Ravi dan disesatkan, ditekan, dan dibujuk untuk menerima narasi resmi. Saya telah meminta maaf secara terang-terangan kepada Lori Anne dan suaminya, Brad, dan saya melakukannya lagi di sini secara terbuka.

Konsekuensi yang fatal mengalir dari orang-orang yang tidak mendengarkan kesaksian seorang wanita—konsekuensi yang saya saksikan dan alami secara langsung, bahkan ketika saya harus memeriksa dan mengakui keterlibatan saya sendiri. Dengan latar belakang inilah maka frasa “percayailah wanita” telah memberi pengaruh baru bagi saya.

Sebagai pengikut Yesus, menyedihkan bagi saya bahwa gereja tampaknya tidak lebih baik dari dunia dalam hal ini. Terlalu sering, wanita tidak dipercayai. Psikolog terkenal dan pakar pelecehan, Diane Langberg, menunjukkan bahwa “di berbagai studi, tingkat tuduhan palsu berkisar antara 3 dan 9 persen.” Namun berkali-kali, wanita yang memberikan kesaksian tidak dipercayai.

Maka betapa bijaksana sekaligus pedih bahwa pada inti iman Kristen terletak kesaksian bersejarah tentang wanita. Injil Yesus Kristus menuntut kita untuk memercayai perkataan wanita. Pesan Paskah itu sendiri—“Kristus telah bangkit!”-adalah kesaksian dari para wanita.

Kita tahu bahwa tidaklah lebih mudah untuk memercayai wanita pada zaman Yesus daripada di zaman kita. Dalam zaman dunia kuno, kesaksian wanita tidak dihargai. Yosephus, penulis Yahudi abad pertama, menuliskan, “Tetapi jangan biarkan kesaksian wanita diakui, karena kesembronoan dan keberanian jenis kelamin mereka.” Ini adalah pola pikir zaman tersebut. Namun pada pusat dari klaim historis iman Kristen, kesaksian dari wanita diakui.

Ini penting. Iman di dalam Kristus bukanlah pemenuhan keinginan atau takhayul budaya, melainkan berakar dalam sejarah. Jika penting bahwa hal-hal ini benar-benar terjadi, maka sangatlah penting juga bahwa para wanita memainkan peran yang menonjol dalam mengamati dan bersaksi atas peristiwa-peristiwa ini. Jika kita mempercayai kisah Injil tentang Yesus dari Nazaret, maka kita perlu mendengarkan para saksi wanita yang sangat mereka andalkan.

Wanita seperti Maria Magdalena, Yohana, Susana, dan lainnya memiliki peran yang sentral dalam kehidupan dan pelayanan Yesus. Mereka mendukung Dia dengan kekayaan mereka (Luk. 8:2–3), dekat dengan-Nya hampir di setiap momen penting dalam pelayanan-Nya, dan mereka menceritakan detail pengalaman mereka kepada orang-orang yang mau mendengarkan.

Tampak jelas bahwa catatan keempat Injil dengan sengaja merefleksikan kekhasan kesaksian dari para wanita itu. Kesaksian tentang Kristus yang bangkit ternyata berbeda karena bersumber dari perempuan.

Pertama, kesaksian itu personal. Ketika Maria Magdalena berkata, “Aku telah melihat Tuhan!” (Yoh. 20:18), ia menyatakan fakta dari kebenaran pengalamannya sendiri.

Kedua, kesaksian itu detail. Para perempuan itu pergi ke kuburan milik Yusuf dari Arimatea di mana ia menguburkan Yesus, dan mereka melihat “bagaimana mayat-Nya dibaringkan” (Luk. 23:55).

Ketiga, kesaksian mereka lugu dan apa adanya. Mereka menyampaikan kepada para penulis Injil bahwa mereka “gemetar dan bingung” (Mrk. 16:8 FAYH).

Keempat, kesaksian para wanita ini tentang kebangkitan Yesus juga sederhana dan jujur. Mereka dengan bebas mengakui apa yang tidak mereka ketahui. “Tuhan telah diambil orang dari kubur-Nya,” kata Maria Magdalena kepada Petrus, “dan kami tidak tahu di mana Ia diletakkan” (Yoh. 20:2).

Kelima, kesaksian mereka tetap teguh meski diperhadapkan pada skeptisisme banyak orang. Para wanita yang mengikut Yesus ini tahu bagaimana rasanya menceritakan kisah mereka dan tidak dipercayai, karena Lukas memberitahu kita bahwa para pria “tidak percaya kepada perempuan-perempuan itu” (Luk. 24:11).

Akhirnya, mereka benar-benar takut, namun penuh sukacita. Ketika mereka menyaksikan bukti kebangkitan Yesus, “Mereka segera pergi dari kubur itu, dengan takut dan dengan sukacita yang besar” (Mat. 28:8).

Hal ini juga memberi kita wawasan penting mengenai seperti apa seharusnya kesaksian di masa kini tentang Kristus yang bangkit. Mungkin kesaksian kristiani kita bisa mengikuti pola yang ditunjukkan oleh para perempuan pengikut Yesus. Bisakah kita lebih personal, detail, lugu dan apa adanya, serta rendah hati dalam apologetika kita? Mungkinkah kita juga dapat belajar dari para wanita dalam Injil dan lebih baik dalam mempersiapkan diri kita dan orang lain untuk menghadapi pengalaman ditolak atau merasa takut ketika kita menceritakan tentang Kristus kepada dunia ini?

Tampaknya jelas bahwa “mempercayai wanita,” seperti yang kita pelajari dari Kitab Suci, dapat berarti sesuatu yang sangat penting bagi penginjilan dan apologetika yang rendah hati, personal, penuh sukacita di masa kini.

Dalam esainya “The Human-Not-Quite-Human,” yang ditulis pada tahun 1938 dan diterbitkan pada tahun 1947, penulis dan penyair Dorothy L. Sayers menulis, “Mungkin tidak mengherankan bahwa wanita adalah yang pertama di Palungan dan terakhir di Penyaliban. Mereka tidak pernah mengenal manusia manapun seperti Manusia ini—tidak pernah ada yang seperti ini.” Daya tarik magnetis Yesus dari Nazaret sama nyatanya di masa kini seperti halnya pada abad pertama dan abad terakhir. Jika para wanita itu, yang pertama berada di palungan dan terakhir di penyaliban, dapat dipercaya, Yesus yang sama itu hidup sekarang.

Maka tinggallah kita dengan pertanyaan ini: Apa yang akan kita lakukan dengan pernyataan dan kesaksian para wanita tersebut, yang telah mewariskan kepada kita kisah inkarnasi Tuhan, kematian-Nya yang membawa penebusan, dan kebangkitan-Nya? Jika Yesus mati di kayu salib Romawi seperti yang disaksikan oleh para wanita itu, dan jika Ia menawarkan pengampunan kepada semua orang melalui pengorbanan-Nya di sana, akankah kita menerimanya? Jika para wanita itu menemukan kubur-Nya kosong pada hari ketiga, ada baiknya untuk mempertimbangkan implikasi dari kemenangan-Nya atas maut dalam kehidupan dan komunitas kita sendiri.

Apa yang akan kita—pria dan wanita—lakukan dengan kesaksian para wanita tersebut tentang Yesus? Akankah kita memercayai para wanita itu dan meminta orang lain untuk melakukan hal yang sama?

“Percayailah wanita” adalah sebuah pesan Paskah, tanpa perlu diragukan lagi.

Amy Orr-Ewing adalah presiden The Oxford Center for Christian Apologetics dan penulis banyak buku, termasuk bukunya yang terbaru, Where Is God in All the Suffering?

Diterjemahkan oleh: Mikhael Kristiani

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Berjalan ke Emaus Bersama Sang Tabib Agung

Kebingungan terhadap harapan dari Tuhan tampaknya dirusak oleh keadaan yang Ia tetapkan. Dan ini adalah kenyataan bagi banyak orang Kristen.

Christianity Today June 18, 2021
Ivan 96 / Getty / Edits by Rick Szuecs

Pada Jumat sore mereka menurunkan-Nya dari salib, mati sebagaimana manusia dapat mati. Pada hari Minggu sore Ia berjalan hampir sejauh tujuh mil dari Yerusalem ke Emaus dengan dua orang murid-Nya. Ia telah menembus penghalang kematian, dan hidup dengan sehat sekali lagi di planet Bumi. Selama 40 hari sebelum kembali menuju kemuliaan di mana Ia tinggal dan memerintah, Ia menampakkan diri kepada mereka yang telah menjadi pengikut dan teman-teman-Nya. Mengapa? Karena Ia mengasihi mereka, dan ingin mereka bersukacita karena melihat-Nya hidup; karena Ia harus menjelaskan kepada mereka karya penyelamatan yang dicapai-Nya dan peran mereka sebagai para saksi bagi-Nya; dan, yang tak kalah pentingnya, karena beberapa dari mereka berada dalam tekanan emosional dan spiritual, dan membutuhkan terapi yang khusus dari-Nya. Semua ini tercermin dalam kisah perjalanan ke Emaus (Luk. 24:13–35).

Siapakah pasien yang dilayani oleh Sang Tabib Agung di sana? Salah satunya adalah Kleopas (ay. 18). Yang lainnya, tidak disebutkan oleh Lukas, yang tinggal bersama Kleopas, dan wajar untuk menebak (meskipun tidak mungkin untuk dibuktikan) bahwa itu adalah Maria, istri “Kleopas” (Yoh. 19:25) dan ibu Yakobus (Mrk. 15:40), yang berada pada peristiwa salib ketika Yesus mati. (Dalam hal ini, Kleopas adalah Alfeus, ayah Yakobus.) Saya berasumsi bahwa mereka adalah suami istri yang sedang berjalan pulang dengan lesu pada hari itu. Mereka berjalan perlahan; banyak orang melakukannya ketika menempuh perjalanan jauh, dan mereka berbagi kebingungan dan kepedihan akan kematian Yesus. Mereka menjadi sangat tidak bersemangat. Mereka mengira bahwa mereka telah kehilangan Guru mereka yang terkasih untuk selamanya; mereka merasa bahwa dunia mereka telah runtuh. Mereka sangat terguncang karena mengalami kesedihan yang mendalam, dan sangat terluka.

Sekarang bayangkan suasananya. Dari belakang datanglah seorang asing, yang berjalan lebih cepat, hingga akhirnya tiba di samping mereka. Umumnya mereka berhenti membahas tentang kesengsaraan pribadi mereka, dan suasana menjadi hening. Ketika kita menyadari bahwa kesedihan jelas terlihat di seluruh wajah kita, kita akan menghindar untuk memandang kepada orang lain karena kita tidak ingin ada orang yang melihat kita, dan saya membayangkan pasangan ini memalingkan kepala mereka dan tidak pernah menatap teman seperjalanan mereka sama sekali. Tentunya, “ada sesuatu yang menghalangi mata mereka, sehingga mereka tidak dapat mengenal Dia” (ay. 16), jadi jika ada yang bertanya kepada mereka, “Apakah Yesus bersamamu?” jawabannya pasti: “Jangan konyol, Dia sudah mati, kita telah kehilangan Dia, kami berharap Dialah yang akan menyelamatkan Israel tetapi jelas bukan Dia; kita tidak akan melihat-Nya lagi—dan tidak ada yang masuk akal lagi.”

Berhentilah! Lihatlah! Dengarkanlah! Berikut ini adalah contoh yang sempurna dari salah satu jenis kebingungan rohani yang (saya berani tegaskan) dialami oleh setiap anak Tuhan cepat atau lambat. Berhati-hatilah: Hal ini bisa sangat menyakitkan, dan jika Anda tidak siap menghadapinya, ini dapat membuat Anda kepahitan, mencederai Anda secara emosional, dan dalam skala yang besar akan menghancurkan Anda—yang mana, bisa dikatakan, merupakan tujuan Setan di dalam hal tersebut, setiap saat. Yang terjadi adalah Anda merasa bahwa Tuhan mempermainkan Anda. Setelah mengangkat dengan memberimu harapan, Dia sekarang menjatuhkanmu dengan menghancurkannya. Sandaran yang Ia berikan kepadamu, tiba-tiba diambil oleh-Nya, dan Anda terjatuh. Perasaan Anda mengatakan bahwa Dia sedang mempermainkan Anda: Bahwa Dia pasti seorang raksasa yang tidak berperasaan dan jahat. Jadi Anda merasa hancur berkeping-keping, dan ini tidak mengherankan.

Contohnya mudah ditemukan. Misalnya, seorang pengerja Kristen, mungkin orang awam, mungkin seorang pendeta, yang menjalankan tugas (menggembalakan gereja, memimpin kelas, memulai pekerjaan baru, atau apa pun) yakin bahwa Tuhan telah memanggilnya, dan karena itu berharap untuk melihat berkat dan buah pelayanannya. Tetapi ternyata yang datang hanyalah kekecewaan dan frustrasi. Banyak hal tidak berjalan sesuai keinginan, orang-orang bertindak menyimpang, pertentangan bermunculan, dikecewakan oleh rekan-rekannya, ladang pelayanan menjadi bencana. Atau, misalnya ada pasangan yang menikah di dalam Tuhan untuk bersama-sama melayani Dia. Mereka mendedikasikan rumah, kekayaan, dan bahkan anak-anak mereka bagi-Nya, namun mereka tidak menemukan apa-apa selain masalah—yaitu masalah kesehatan, keuangan, masalah dengan kerabat dan mertua, dan mungkin (yang paling pahit dari semuanya), masalah dengan anak-anak mereka sendiri. Apa yang lebih menyakitkan bagi orang tua Kristen selain melihat anak-anak yang berusaha mereka besarkan bagi Tuhan namun berkata "tidak" pada kekristenan? Tetapi jangan katakan bahwa hal-hal ini tidak pernah terjadi kepada orang-orang yang benar-benar setia; Anda tahu betul bahwa mereka juga mengalaminya. Dan ketika mereka mengalaminya, rasa sakitnya bertambah dengan adanya perasaan bahwa Tuhan telah berbalik melawan Anda, dan Ia secara aktif menghancurkan harapan yang pernah Ia berikan kepada Anda.

Sekitar 30 tahun yang lalu, putri seorang pendeta tertarik pada seorang pria muda. Sang putri adalah seorang Kristen; sedangkan sang pria bukan. Dia pun melakukan apa yang seharusnya dilakukan gadis-gadis Kristen pada saat-saat seperti itu: Dia menahan diri dan berdoa. Sang pria lalu menjadi Kristen, dan mereka menikah. Tak lama kemudian sang pria, yang merupakan seorang petani yang cukup makmur, merasa terpanggil untuk menjual harta miliknya dan menempuh studi menjadi rohaniwan. Namun, sebelum pelayanannya dimulai, ia meninggal dengan menderita karena kanker, meninggalkan istrinya dengan seorang putra yang masih kecil dan tanpa uang. Kini istrinya memiliki pelayanan kepada individu-individu yang, tanpa pengalaman itu, dia tidak akan pernah memilikinya; namun berulang kali dia harus melawan perasaan yang mengatakan: “Tuhan mempermainkan saya; Dia memberikan saya harapan dan menghancurkannya; Dia kejam; Dia keji.” Saya menduga ia akan berjuang dalam pertempuran tersebut sampai dia meninggal. Hal-hal tersebut dapat terjadi, dan itu menyakitkan.

Lihatlah di dalam Kitab Suci. Yusuf saat remaja, yang termuda dalam keluarganya, diberikan mimpi untuk menjadi pemimpin klannya. Dengan penuh amarah, saudara-saudaranya menjual dia sebagai budak untuk memastikan mimpinya itu tidak pernah terjadi. Keadaan Yusuf baik-baik saja di Mesir sebagai tangan kanan dari seorang tentara dan politikus terkemuka. Sang nyonya rumah, mungkin merasa diabaikan oleh suaminya, sebagaimana yang kadang dirasakan oleh istri tentara dan politisi, ingin membawa Yusuf untuk tidur bersamanya. Yusuf berkata tidak, dan sikap penolakan dari seorang budak ini mengubah nafsu sang nyonya rumah menjadi benci (ini bukanlah transisi yang sulit), sehingga ia berbohong tentang Yusuf, dan tiba-tiba Yusuf mendapati dirinya mendekam di penjara, dicela dan dilupakan. Di sana Yusuf mendekam selama beberapa tahun, sebagai seorang narapidana teladan sebagaimana yang diberitahukan kepada kita, tetapi tanpa prospek dan tanpa apa pun untuk dipikirkan kecuali impian tentang kebesaran yang pernah Tuhan berikan kepadanya. “Sampai saat [firman-Nya] sudah genap, dan janji TUHAN membenarkannya (Mzm. 105:19). Terjemahan versi Bahasa Inggris untuk bagian b dari ayat ini: "firman Tuhan menguji dia.” “Menguji dia”—ya, dan bagaimana? Dapatkah kita meragukan bahwa saat Yusuf di penjara, ia terus-menerus melawan perasaan bahwa Tuhan yang memberinya harapan sekarang sedang bekerja keras untuk menghancurkannya? Dapatkah kita mengira bahwa dia merasa mudah untuk mempercayai Tuhan dan tetap tenang dan bersikap manis?

Kebingungan yang menghancurkan hati terhadap harapan dari Tuhan, tampaknya dirusak oleh keadaan yang Ia tetapkan. Dan ini adalah kenyataan bagi banyak orang Kristen masa kini, dan akan menjadi pengalaman bagi lebih banyak orang di masa mendatang-seperti halnya bagi Yusuf, dan bagi para murid di Emaus. Kembali ke cerita mereka, sekarang, saksikanlah sang Tabib Agung bekerja atas mereka.

Para tabib yang baik menunjukkan kualitasnya pertama-tama melalui keahliannya dalam mendiagnosis. Mereka tidak hanya meringankan gejala-gejala, tetapi mencari akar masalahnya dan mengatasinya. Apa yang Yesus lihat sebagai akar penyebab dari kesedihan kedua rekan ini? Dari cara penanganan Dia terhadap mereka menunjukkan bahwa diagnosis-Nya adalah ketidakpercayaan, yang disebabkan oleh dua hal.

Pertama, mereka terlalu kecewa —terlalu kecewa, yakni, untuk berpikir jernih. Mereka tidak mampu menebak apa yang terjadi berdasarkan penglihatan mereka. Mereka telah meluncur menuruni lereng yang licin dari kekecewaan menuju stress yang negatif, lalu menjadi keputusasaan, dan dari keputusasaan menuju apa yang kita sebut dengan depresi, yang merupakan penyakit abad ke-20 yang paling umum, di mana satu dari setiap empat orang di Amerika Utara harus dirawat secara medis pada suatu titik kehidupan mereka. Jika Anda pernah mengalami depresi, atau pernah berusaha membantu para korbannya, Anda akan tahu bahwa orang-orang yang mengalami depresi sangat pandai dalam menemukan alasan untuk menolak penghiburan, dorongan, atau harapan dari apa pun yang Anda katakan kepada mereka. Mereka tahu maksud Anda baik, tetapi mereka menentang upaya Anda; mereka memelintir segalanya menjadi alasan mengapa mereka harus murung dan putus asa (“hal tersebut tidak apa-apa bagimu, tetapi ini berbeda bagiku,” dan seterusnya). Mereka memutuskan untuk mendengar segala sesuatunya sebagai kabar buruk. Persis seperti itulah yang kita temukan dalam narasi Kleopas mengenai kubur yang kosong. (Pasti Kleopas yang berbicara pada saat itu; karena Maria tidak akan berbicara dengan orang asing, dan kisah ini diceritakan dengan cara yang sangat kelaki-lakian.)

“Tetapi sementara itu telah lewat tiga hari, sejak semuanya itu terjadi,” kata Kleopas. “Selain itu, beberapa wanita di kumpulan kami membuat kami takjub. Tetapi beberapa perempuan dari kalangan kami telah mengejutkan kami: Pagi-pagi buta mereka telah pergi ke kubur, dan tidak menemukan mayat-Nya. Lalu mereka datang dengan berita, bahwa telah kelihatan kepada mereka malaikat-malaikat, yang mengatakan, bahwa Ia hidup. Dan beberapa teman kami telah pergi ke kubur itu dan mendapati, ([kejutan! kejutan!]) bahwa memang benar yang dikatakan perempuan-perempuan itu, tetapi Dia tidak mereka lihat” (ay. 22–24). (Implikasinya: Tidak ada dalam pembicaraan ini tentang Dia yang masih hidup; seseorang pasti telah menodai kuburan dan mencuri tubuh-Nya, untuk menolak penguburan yang layak). Jadi Kleopas menceritakan tentang kubur kosong sebagai berita buruk lainnya lagi.

Namun berulang kali sebelum kesengsaraan-Nya, Yesus telah menubuatkan tidak hanya kematian-Nya tetapi juga kebangkitan-Nya pada hari yang ketiga (Luk. 9:22; 18:33; Mat 16:21; 17:23; 20:19). Jika berpikiran jernih tentang kubur yang kosong, dalam terang dari prediksi-prediksi tersebut, mestinya akan membuat hati mereka melompat kegirangan. “Ia bilang Dia akan bangkit; sekarang kuburan itu kosong; Dia telah melakukannya, Dia telah melakukannya, Dia telah melakukannya!” Tetapi kedua orang itu terlalu kecewa untuk dapat berpikir jernih.

Hal ini disebabkan oleh akar dari ketidakpercayaan mereka, yang juga telah didiagnosis oleh Yesus, yaitu fakta bahwa mereka terlalu bebal—terlalu bebal, yaitu, tentang Kitab Suci. “Hai kamu orang bodoh”—Nada Yesus berbicara dengan penuh belas kasih, dengan tidak merendahkan: “Wahai orang-orang yang konyol yang Kusayangi” lebih tepat menggambarkan nuansanya-“betapa lambannya hatimu, sehingga kamu tidak percaya segala sesuatu, yang telah dikatakan para nabi! Bukankah Mesias harus menderita semuanya itu untuk masuk ke dalam kemuliaan-Nya?” (ay. 25–26). Yesus mungkin menghabiskan waktu dua jam untuk menunjukkan kepada mereka dari Kitab Suci (yang telah dihafalkan) bahwa hal itu sebenarnya perlu. Itu menunjukkan bagaimana Dia dapat melihat kebutuhan dasar mereka.

Ketidaktahuan akan Kitab Suci adalah masalah mendasar di perjalanan menuju Emaus, yang juga sering terjadi dengan kita. Orang Kristen yang tidak tahu isi Alkitab akan mudah menjadi bingung dan terluka karena mereka tidak tahu bagaimana mendapatkan pengertian yang alkitabiah tentang apa yang sedang terjadi pada mereka. Kedua murid ini tidak memahami salib Yesus. Banyak orang tidak cukup memahami isi Alkitab untuk memahami salib mereka sendiri. Hasilnya adalah tingkat kebingungan dan kesusahan yang mungkin sebenarnya dapat dihindari.

Dengan mendiagnosa mereka demikian, Yesus melakukan tiga hal untuk menyembuhkan jiwa kedua murid ini. Pertama, Ia melakukan apa yang harus dilakukan semua konselor: Ia mengajukan pertanyaan, membuat mereka berbicara, membangun relasi, dan dengan demikian membuat mereka menerima apa yang Ia katakan. Langkah pembuka-Nya (“Apakah yang kamu percakapkan sementara kamu berjalan?” ay. 17) hanya menarik keluar kekasaran Kleopas (“Adakah Engkau satu-satunya orang asing di Yerusalem, yang tidak tahu apa yang terjadi di situ pada hari-hari belakangan ini?" ay. 18, atau dengan kata lain "Jangan bilang Engkau tidak tahu!”). Orang-orang yang terluka sering bertindak seperti itu, mengeksternalisasi penderitaan mereka dengan melukai Anda. Namun Yesus tidak tergoyahkan; Ia tahu apa yang terjadi di dalam diri Kleopas, dan bertahan dengan pertanyaan-Nya (“Apakah itu?" ay. 19, seakan Ia berkata, "Apakah Aku seharusnya tahu? Bagaimanapun juga, ceritakanlah kepada-Ku; Aku ingin mendengarnya dari bibirmu sendiri”). Jika mereka menolak untuk berbagi masalah mereka, Yesus tidak dapat membantu mereka. Tetapi ketika mereka telah mencurahkan isi hati mereka kepada-Nya, penyembuhan pun dimulai.

Kemudian, kedua, Yesus menjelaskan Kitab Suci-“menerangkannya,” memakai perkataan mereka (ay. 32)-karena hal itu menimbulkan kebingungan dan penderitaan bagi mereka. Ia menunjukkan kepada mereka bahwa apa yang membingungkan mereka, kematian orang yang mereka pikir akan menebus mereka dalam arti mengakhiri penjajahan Romawi, sebenarnya telah dinubuatkan berabad-abad sebelumnya sebagai cara Tuhan menebus dalam arti mengakhiri beban dan perbudakan dosa. Dia pasti telah membahas Yesaya 53, di mana sang hamba yang mati karena dosa itu, pada Yesaya 52:13-15 tampak hidup, berjaya, dan memerintah di Yesaya 53:10-12; Dia membahas banyak perikop yang menggambarkan Mesias yang diutus Tuhan itu pergi menuju ke mahkota kemuliaan melalui salib. Ia menjaga mereka dalam pemahaman yang mulai jelas dan kegembiraan yang memuncak (hati mereka “berkobar-kobar,” ay. 32) sampai mereka tiba di rumah. Demikianlah penyembuhan tersebut berlangsung.

Prinsipnya adalah bahwa hal yang paling menyembuhkan di dunia untuk jiwa yang risau adalah memahami bahwa kehancuran hati yang menghasilkan perasaan terisolasi, putus asa, dan kebencian terhadap semua tawa ceria sebenarnya dibahas di dalam Alkitab, dan kehancuran hati itu menjadi masuk akal setelah ditempatkan dalam pengertian akan tujuan ilahi yang penuh kasih. Dan Anda bisa yakin bahwa Alkitab, buku penuntun kehidupan dari Tuhan, memiliki sesuatu untuk dikatakan tentang setiap masalah hidup yang melibatkan jalan Tuhan yang akan kita temui. Jadi jika Anda terluka karena yang Anda rasa telah Tuhan lakukan kepadamu, dan Anda tidak merasa Kitab Suci berbicara untuk kondisimu, hal itu bukan karena sekarang Alkitab mengecewakan Anda melainkan, seperti para murid ini, Anda tidak mengetahuinya dengan cukup baik. Mintalah orang Kristen yang lebih bijaksana untuk membukakan Kitab Suci kepada Anda terkait dengan penderitaan Anda, dan saya jamin Anda akan menemukannya. (Meminjam ungkapan dari Ellery Queen—tantangan kepada pembaca!)

Akhirnya, Yesus mengungkapkan kehadiran-Nya. “Tinggallah bersama-sama dengan kami,” kata mereka kepada-Nya saat tiba di Emaus. (Sungguh suatu berkat bagi mereka karena keramahan yang mereka berikan! Entah apa yang akan mereka lewatkan seandainya mereka tidak melakukannya!). Lalu mereka meminta-Nya untuk mengucap syukur, dan ketika Dia melakukannya dan memberi mereka roti “terbukalah mata mereka dan merekapun mengenal Dia” (ay. 31). Entah apakah pengenalan itu dipicu dengan melihat bekas paku di tangan-Nya, atau dengan mengingat suara dan tindakan yang identik dengan saat memberi makan lima ribu atau empat ribu orang, seperti yang ditanyakan beberapa orang, kita tidak tahu; dan hal itu juga tidak penting. Sekarang, seperti halnya dahulu. Cara Yesus membuat kehadiran-Nya diketahui adalah misteri iluminasi ilahi yang jarang dapat Anda katakan lebih dari ketika sesuatu dikatakan, dilihat, dibaca, atau diingat—itu terjadi. Jadi hal tersebut telah terjadi; dan dengan demikian penyembuhan telah selesai.

Hanya ketika kita mengesampingkan rasa kebencian dan sikap mengasihani diri yang tanpa doa, serta membuka hati kita kepada-Nya, maka kita akan mengerti pertolongan-Nya.

Yang pasti, saat mereka mengenali-Nya, Dia menghilang. Namun jelas mereka tahu bahwa Dia masih bersama dengan mereka. Jika tidak demikian, mungkinkah mereka mau bangkit di tengah kelelahan dan bergegas kembali ke Yerusalem sepanjang malam untuk membagikan berita mereka? Orang-orang Palestina yang berakal sehat tidak berjalan di jalan pedesaan yang sepi di malam hari, karena takut preman dan perampok (itulah sebabnya Kleopas dan Maria mendesak Orang asing itu untuk tinggal bersama mereka sejak awal). Tetapi terbukti bahwa mereka mengandalkan kehadiran perlindungan Tuhan saat mereka menjalankan urusan-Nya. “Tinggallah bersama-sama dengan kami,” kata mereka, dan di dalam hati mereka tahu Dia melakukannya. Dengan demikian hati mereka yang hancur telah disembuhkan, dan kesedihan mereka telah digantikan oleh kegembiraan.

Yesus Kristus, Tuhan kita yang telah bangkit, adalah sama, hari ini seperti juga kemarin, dan yang merupakan bagian dari iman Paskah yang sejati adalah membawa luka kita menuju penyembuhan di Jalan Emaus. Bagaimana? Pertama, dengan memberi tahu Yesus tentang masalah kita, sebagaimana Ia mengajak kita untuk melakukannya setiap hari. Ia tetap menjadi pendengar yang baik, sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah himne sebagai “rekan sepenanggungan bagi penderitaan kita”; dan hanya ketika kita mengesampingkan rasa kebencian dan sikap mengasihani diri yang tanpa doa, serta membuka hati kita kepada-Nya, maka kita akan mengerti pertolongan-Nya. Kedua, dengan membiarkan Dia melayani kita melalui Kitab Suci, menghubungkan penderitaan kita dengan tujuan Tuhan dalam kasih yang menyelamatkan: Ini berarti secara teratur mencari wakil Tuhan, yaitu manusia, dalam pelayanan, sebagaimana juga studi Alkitab pribadi. Ketiga, dengan meminta-Nya untuk meneguhkan kita bahwa ketika kita melewati situasi yang terasa seperti api dan banjir, Ia berjalan menemani kita, dan akan tinggal bersama kita sampai akhir jalan itu. Doa itu akan selalu Dia jawab.

“Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa. Sebab itu marilah kita dengan penuh keberanian menghampiri takhta kasih karunia, supaya kita menerima rahmat dan menemukan kasih karunia untuk mendapat pertolongan kita pada waktunya.”(Ibr. 4:15-16, LAI TB). Demikianlah tulis seorang rasul dahulu kala, kepada orang-orang percaya yang diperlakukan dengan buruk, diganggu, dan ditekan. Kisah Jalan Emaus mendorong kita untuk melakukan apa yang Ia katakan—dan juga menunjukkan caranya.

Teolog Inggris dan penulis J.I. Packer adalah profesor teologi sistematika dan sejarah di Regent College di Vancouver, British Columbia, Kanada.

Diterjemahkan oleh: Janesya S.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Books

Beth Moore Mengatakan Dia Bukan Lagi Baptis Selatan

Christianity Today June 18, 2021
Courtesy of Baptist Press

Selama hampir tiga dekade, Beth Moore telah menjadi contoh seorang penganut Baptis Selatan yang modern.

Dia mencintai Yesus dan Alkitab, serta telah mengabdikan hidupnya untuk mengajar orang banyak tentang mengapa mereka membutuhkan Yesus dan Alkitab dalam hidup mereka. Jutaan wanita Kristen Injili telah membaca buku-buku pendalaman Alkitab tulisannya dan berbondong-bondong mendengarkan Moore berbicara di acara-acara besar yang diadakan di stadion di mana Moore mengupas bagian-bagian Alkitab secara mendalam.

Pengaruh dan peran besar Moore dalam mengajar Alkitab selalu membuat gelisah beberapa orang yang berkuasa di kalangan Injili, karena mereka percaya hanya laki-laki saja yang diizinkan untuk berkhotbah.

Tetapi Moore tidak bercela. Ia tetap mendukung ajaran Baptis Selatan, yang membatasi jabatan pendeta hanya untuk laki-laki saja. Ia juga mendukung misi dan pekerjaan penginjilan yang dipegang teguh oleh denominasi tersebut.

“Ia telah menjadi pendukung setia Firman Tuhan, tanpa kompromi,” kata ujar mantan Presiden Lifeway Christian Resources, Thom Rainer, pada tahun 2015, dalam suatu perayaan di Tennessee Performing Arts Center di Nashville yang diadakan untuk menghormati 20 tahun kemitraan antara penerbitan Southern Baptist dan Moore. “Dan saat semuanya sudah selesai, dampak dari Beth Moore hanya dapat diukur dalam kekekalan.”

Kemudian datanglah Donald Trump.

Kritik Moore terhadap perilaku kasar presiden ke-45 tersebut terhadap wanita dan pembelaannya untuk korban pelecehan seksual mengubahnya dari ikon yang dicintai menjadi seorang buangan dalam denominasi yang dia cintai sepanjang hidupnya.

“Bangunlah, hai kamu yang tidur, lihat apa yang telah dihadapi wanita selama ini di lingkungan yang memiliki hak & kekuasaan yang kotor,” kicau Moore tentang Trump, mengutip bagian dari Perjanjian Baru, yaitu surat Efesus.

Karena oposisinya terhadap Trump dan keterbukaannya dalam menghadapi seksisme dan nasionalisme di dunia Injili, Moore telah dicap sebagai “liberal” dan “pejuang keadilan sosial” dan bahkan sebagai bidat karena berani berkhotbah di kebaktian gereja Minggu pagi.

Akhirnya, Moore sudah muak. Dia mengatakan kepada Religion News Service dalam sebuah wawancara hari Jumat bahwa dia “bukan lagi seorang Baptis Selatan.”

“Saya masih seorang Baptis, tetapi saya tidak bisa lagi berkata bahwa saya adalah seorang Baptis Selatan,” kata Moore dalam wawancara telepon. “Saya mengasihi begitu banyak orang Baptis Selatan, begitu banyak gereja Baptis Selatan, tetapi saya tidak lagi menyamakan diri saya dengan beberapa hal dalam warisan kita yang tidak tersisa di masa lalu.”

Moore mengatakan kepada RNS bahwa dia baru-baru ini mengakhiri kemitraan penerbitan jangka panjangnya dengan Lifeway Christian yang berbasis di Nashville. Meskipun Lifeway masih akan mendistribusikan bukunya, Lifeway tidak akan lagi menerbitkan atau mengatur acara siaran langsung Moore. (Catatan: Penulis artikel ini adalah mantan karyawan Lifeway.)

Kate Bowler, seorang sejarawan di Duke Divinity School yang telah mempelajari para selebriti wanita Injili, mengatakan bahwa kepergian Moore adalah kerugian yang signifikan bagi Konvensi Baptis Selatan.

Moore, katanya, adalah salah satu dari sedikit pemimpin wanita yang berdiri sendiri di denominasi itu, yang panggungnya didasarkan pada “karisma, kepemimpinan, dan etos kerja yang luar biasa” dan bukan pada pernikahannya dengan seorang pendeta terkenal. (Suami Moore adalah seseorang yang bekerja sebagai tukang pipa profesional.) Moore juga menarik khalayak luas di luar denominasinya.

“Moore adalah suara yang sangat dipercaya, melintasi perbedaan antara liberal-konservatif, dan selalu mampu mengkomunikasikan kesetiaan yang mendalam pada tradisinya tanpa harus mengikuti perjuangan Baptis Selatan untuk membuat Trump terlihat terhormat secara rohani,” kata Bowler. “Baptis Selatan telah kehilangan seorang tokoh yang kuat di saat kesaksian publik mereka telah melemah secara signifikan.”

Moore mungkin salah satu selebriti pengajar Alkitab yang paling unik yang diingat orang di zaman ini. Pada 1980-an, dia mulai membagikan renungan-renungan selama kelas aerobik yang dia pimpin di First Baptist Church di Houston. Dia kemudian mulai mengajar pendalaman Alkitab populer bagi para wanita di gerejanya, yang akhirnya menarik ribuan orang setiap minggu.

Pada awal 1990-an, dia menulis sebuah naskah pendalaman Alkitab dan mengirimkannya ke Lifeway, yang saat itu dikenal sebagai Dewan Sekolah Minggu Baptis, dan ditolak. Namun, setelah staf Lifeway melihat Moore mengajar kelas secara langsung, penerbit tersebut berubah pikiran.

Buku pendalaman Alkitab pertama Moore, A Woman’s Heart: God’s Dwelling Place, diterbitkan pada tahun 1995 dan meledak di pasaran, menghasilkan lusinan buku pendalaman Alkitab tambahan, yang semuanya didukung oleh ratusan jam penelitian dan mencerminkan keinginan Moore yang tanpa henti untuk mengetahui lebih banyak tentang Alkitab.

Dari 2001 hingga 2016, Moore’s Living Proof Ministries mengalami surplus enam digit, membangun asetnya dari sekitar satu juta dolar pada 2001 menjadi hampir mencapai $15 juta pada April 2016, menurut laporan yang dilaporkan ke Internal Revenue Service (badan perpajakan Amerika Serikat) Pekerjaannya sebagai pengajar Alkitab telah menembus hingga ke kelompok-kelompok pendalaman Alkitab di gereja-gereja kecil, dan tiket acaranya, yaitu Living Proof Live di stadion-stadion selalu terjual habis.

Bagi Moore, Konvensi Baptis Selatan adalah keluarganya, sukunya, warisannya. Gereja Baptis tempat dia dibesarkan di Arkadelphia, Arkansas, adalah tempat perlindungan dari rumah yang bermasalah tempat dia mengalami pelecehan seksual.

“Gereja lokal saya, di mana saya bertumbuh, menyelamatkan hidup saya,” katanya kepada RNS. “Sering kali, rumah saya adalah tempat yang tidak aman. Namun gereja saya adalah tempat aman saya.”

Sebagai orang dewasa, dia mengajar Sekolah Minggu dan pendalaman Alkitab dan kemudian, dengan kemitraannya bersama Lifeway, hidupnya menjadi sangat terkait dengan denominasinya. Dia percaya pada Yesus. Dan dia juga percaya pada Konvensi Baptis Selatan.

Pada bulan Oktober 2016, Moore mengalami apa yang dia sebut “kejutan dalam hidupku,” ketika membaca transkrip dari rekaman “Access Hollywood”, di mana Trump membual tentang eksploitasi seksualnya terhadap wanita.

“Ini bukan hanya amoralitas,” katanya. “Ini adalah penyerangan seksual.”

Dia mengharapkan rekan-rekan Injilinya, terutama para pemimpin Baptis Selatan yang dia percayai, akan marah, terutama mengingat bagaimana mereka bereaksi terhadap perilaku Bill Clinton di tahun 1990-an. Sebaliknya, katanya, mereka berkumpul di sekitar Trump.

“Disorientasi ini mengejutkan,” katanya. “Benar-benar mengejutkan.”

Moore, yang menggambarkan dirinya sebagai “pro-kehidupan dari pembuahan sampai ke liang kubur,” mengatakan dia tidak memiliki ilusi tentang mengapa kaum Injili mendukung Trump, yang berjanji untuk membawa hakim anti-aborsi naik turun sistem peradilan.

Tetap saja, Moore tidak bisa memahami bagaimana Trump menjadi seorang tokoh iman. “Dia menjadi panji, menjadi tokoh harapan besar dari orang-orang kulit putih Injili, menjadi keselamatan bagi gereja-gereja di Amerika,” katanya. “Tidak ada yang bisa mempersiapkan saya untuk hal itu.”

Ketika Moore berbicara tentang Trump, penolakan terjadi sangat sengit. Penjualan bukunya anjlok seperti halnya penjualan tiket acaranya. Kritiknya terhadap Trump dipandang sebagai tindakan pengkhianatan. Dari tahun fiskal 2017 hingga tahun fiskal 2019, Living Proof kehilangan lebih dari $1,8 juta.

Setelah tuduhan pelecehan dan pelanggaran mulai muncul di kalangan Baptis Selatan pada tahun 2016, Moore juga menjadi semakin khawatir tentang toleransi denominasi terhadap pemimpin yang memperlakukan wanita dengan tidak hormat.

Pada tahun 2018, dia menulis “surat untuk saudara laki-laki saya” di blognya, menguraikan kekhawatirannya tentang rasa hormat yang harus dia tunjukkan kepada para pemimpin pria, sampai ia harus mengenakan sepatu tanpa hak alih-alih sepatu hak tinggi ketika dia melayani bersama seorang pria yang lebih pendek darinya.

Dia juga mulai berbicara tentang pengalaman pelecehannya sendiri, terutama setelah sebuah laporan pada Februari 2019 dari Houston Chronicle, surat kabar kampung halamannya, merinci lebih dari 700 kasus pelecehan seksual di kalangan Baptis Selatan selama periode 20 tahun.

Kabar beranda (feed) media sosialnya, terutama Twitter, di mana dia memiliki hampir satu juta pengikut, dipenuhi dengan kemarahan dan kekecewaan atas apa yang menurutnya sebagai campuran beracun dari misogini (kebencian terhadap wanita,) nasionalisme, dan politik partisan yang mengambil alih dunia Injili yang dia cintai — bersama kelakar yang baik dengan teman dan pendukung yang menyemangati mereka.

“Saya bisa mendapatkan begitu banyak masalah di Twitter karena ini kesukaan saya,” katanya. “Kesukaan saya adalah mengotak-atik kata-kata dan ide.”

Kemudian, pada Mei 2019, Moore berkata, dia melakukan sesuatu yang sekarang dia gambarkan sebagai “sangat bodoh”. Seorang teman dan rekan penulis bernama Vicki Courtney menyebutkan di Twitter bahwa Courtney akan berkhotbah di gereja pada Hari Ibu.

“Aku juga berkhotbah di Hari Ibu! Vicki, tolong jangan beri tahu siapa pun tentang ini,” jawab Moore.

Cuitan itu segera memicu debat nasional di kalangan Baptis Selatan dan pemimpin Injili lainnya tentang apakah wanita boleh diizinkan berkhotbah di gereja.

“Ada sesuatu tentang urutan penciptaan yang berarti bahwa Tuhan bermaksud agar suara pengkhotbah haruslah suara laki-laki,” kata Albert Mohler Jr., presiden Southern Baptist Theological Seminary, di podcast-nya.

Pendeta Georgia Baptist, Josh Buice, mendesak Konvensi Baptis Selatan dan Lifeway untuk membatalkan Moore, mencapnya sebagai ancaman liberal bagi denominasi tersebut.

Pendeta gereja besar di California yang kontroversial, John MacArthur, menyimpulkan pemikirannya dalam satu kata, mengatakan kepada Moore, “Pulanglah.”

Moore, yang mengatakan dia tidak akan menjadi pendeta di gereja Southern Baptist “untuk menyelamatkan hidup saya,” menyaksikan dengan takjub saat cuitannya di Twitter mulai mendominasi percakapan di denominasi, menenggelamkan kekhawatiran tentang pelecehan.

“Kami berada di tengah skandal pelecehan seksual terbesar yang pernah melanda denominasi kami,” katanya. “Dan tiba-tiba, hal terpenting untuk dibicarakan adalah apakah seorang wanita dapat berdiri di mimbar dan berkhotbah.”

Ketika Moore menghadiri pertemuan tahunan Konvensi Baptis Selatan pada Juni 2019 dan berbicara di panel tentang pelecehan, ia merasa dia tidak diterima lagi.

"Segalanya menjadi semakin buruk sejak saat itu," kata Moore. Konvensi Baptis Selatan telah diguncang oleh perdebatan tentang teori ras yang kritis, menyebabkan sejumlah pendeta kulit hitam terkenal meninggalkan denominasi. "Politik dan nasionalisme Kristen telah menghalangi Injil," kata Moore.

Sementara semua ini berlangsung, Moore sedang mengerjakan sebuah buku pendalaman Alkitab yang baru bersama putrinya, Melissa, tentang Perjanjian Baru, terkhusus surat Galatia. Sewaktu dia mempelajari buku itu, Moore dikejutkan oleh sebuah bagian di mana Rasul Paulus, penulis surat itu, menggambarkan konfrontasi dengan Petrus, rasul lain dan pemimpin gereja mula-mula, mengatakan bahwa perilaku Petrus “tidak sejalan dengan Injil.”

Kalimat itu, katanya, beresonansi dengannya. Ini menggambarkan apa yang dia lihat bersama dengan orang-orang Baptis Selatan lainnya yang peduli namun dianggap salah oleh denominasi mereka.

“Yang terjadi tidak sejalan dengan Injil,” kata Moore. “Rasanya seperti kita telah mendarat di Mars.”

Beth Allison Barr, seorang profesor sejarah dan dekan di Baylor University, mengatakan kepergian Moore akan mengejutkan para wanita Baptis Selatan. Barr, penulis The Making of Biblical Womanhood, sebuah buku yang akan terbit tentang peran gender di kalangan Injili, tumbuh besar sebagai seorang Baptis Selatan. Ibunya adalah penggemar berat Moore, begitu pula banyak wanita di gerejanya.

“Jika dia pergi, dia akan membawa banyak wanita ini bersamanya,” kata Barr.

Anthea Butler, profesor di Universitas Pennsylvania dan penulis buku yang akan terbit mengenai Injili dan rasisme, mengatakan bahwa Moore bisa menjadi versi yang lebih konservatif dari mendiang Rachel Held Evans, yang mengumpulkan orang-orang Kristen progresif yang telah bosan dengan kaum Injili, tetapi tidak dengan kekristenan.

"Orang-orang yang mengkritik Moore akan merasa lebih mudah untuk menganggapnya sebagai 'pejuang keadilan sosial' atau 'liberal' daripada menghadapi langsung substansi kritiknya," kata Butler. "Tetapi kekhawatiran Moore dan konflik yang sedang berlangsung di Konvensi Baptis Selatan tentang rasisme dan seksisme tidak hilang," ujar Butler. Profesor agama ini percaya bahwa Moore akan lebih baik jika meninggalkan Konvensi Baptis Selatan, meskipun akan ada rasa sakit karena memisahkan diri.

“Saya memuji langkah ini dan mendukungnya karena saya tahu betapa Konvensi Baptis Selatan telah meremukkan hati para wanita,” kata Butler. “Moore akan jauh lebih baik tanpa mereka, dengan tetap melakukan pelayanan yang Tuhan minta untuk dia lakukan.”

Melepaskan hidupnya dari Konvensi Baptis Selatan dan Lifeway adalah sulit bagi Moore. Moore dan suaminya telah mulai mengunjungi gereja baru, yang tidak terikat erat dengan Konvensi Baptis Selatan tetapi masih “digerakkan oleh Injil”. Dia mempertimbangkan bergabung dengan denominasi lain, mungkin menjadi Lutheran atau Presbiterian, tetapi di dalam hatinya, dia tetap Baptis.

Dia masih menyukai hal-hal yang dipercaya oleh Baptis Selatan, katanya, dan bertekad untuk tetap terhubung dengan gereja lokal. Moore berharap bahwa pada titik tertentu, kesaksian publik dari Baptis Selatan akan kembali kepada nilai-nilai intinya dan menjauh dari nasionalisme, seksisme, dan perbedaan rasial yang tampaknya saat ini mendefinisikan kesaksian publiknya.

Sejauh ini hal tersebut belum terjadi. “Pada akhirnya, akan tiba saatnya Anda harus mengatakan, ini bukan identitas saya,” katanya.

Moore telah menjalin persahabatan jangka panjang dengan tim pengeditan dan pemasarannya di Lifeway dan mengucapkan selamat tinggal itu menyakitkan, meskipun dalam damai. Dia berharap dapat menghabiskan tahun 2020 dengan semacam tur perpisahan tetapi sebagian besar acaranya tahun lalu dibatalkan karena pandemi COVID-19. (Lifeway memang memiliki acara kapal pesiar yang masih menampilkan Moore dalam jadwalnya.)

“Mereka adalah orang-orang yang sangat saya kasihi dan akan saya kasihi selamanya,” katanya. “Dalam kehidupan pelayanan dewasa saya, belum ada hal yang lebih merupakan manifestasi kasih karunia daripada karunia kemitraan dengan Lifeway.”

Becky Loyd, direktur Lifeway Women, berbicara dengan penuh kasih tentang Moore.

“Hubungan kami dengan Beth belum berakhir, kami akan terus mengasihi, berdoa, dan mendukung Beth untuk tahun-tahun mendatang,” katanya kepada RNS melalui email. “Lifeway sangat bersyukur kepada Tuhan karena mengizinkan kami menjadi bagian kecil dari cara Tuhan memakai Beth selama bertahun-tahun untuk membantu para wanita menggunakan Kitab Suci dengan cara yang mendalam dan bermakna serta membantu mereka bertumbuh dalam relasi mereka dengan Yesus Kristus.”

Lifeway masih akan membawa buku-buku Moore dan mempromosikan beberapa acaranya.

Acara-acara itu kemungkinan akan lebih kecil, diikuti oleh beberapa ratus orang, bukan lagi ribuan, kata Moore, setidaknya di awal. Dan dia berharap untuk membuka lembaran baru.

“Saya akan melayani siapa pun yang Tuhan taruh di hadapan saya,” katanya.

Diterjemahkan oleh: Fanni Leets

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Meditasi Alkitab Menjanjikan Sesuatu yang Lebih Baik dari Zen

Umat Kristen tidak membutuhkan hal-hal yang bersifat mistis atau kehampaan yang sunyi untuk memperoleh iluminasi yang timbul melalui pengulangan.

Christianity Today June 1, 2021
Jurica Koletic / Unsplash / Edits by Rick Szuecs

Ketika Anda berpikir tentang latihan meditasi, gambaran apa yang muncul di benak Anda? Seperti kebanyakan orang, Anda mungkin akan membayangkan karikatur seseorang yang duduk di atas bunga teratai, mata tertutup, tangan terulur, sambil terus menggumamkan suara “Om” berulang-ulang.

Itu adalah karikatur yang mungkin tidak dikenali oleh banyak orang Kristen atau bahkan juga ditolak. Sentimen yang umum adalah bahwa meditasi identik dengan hal-hal mistis dan para pelaku yoga, bukan untuk anak-anak Tuhan.

Tetapi meditasi, pada kenyataannya, adalah salah satu disiplin hidup seorang Kristen. Tidak hanya itu, meditasi seharusnya menjadi salah satu ciri khas kita. Tetapi sebelum Anda bersiap-siap untuk mengambil posisi meditasi seperti gambaran di atas untuk saat teduh Anda, mari kita bedakan antara praktik meditasi mistik dan praktik meditasi yang ditunjukkan dalam Alkitab. Apa obyek meditasi Kristen? Mengapa kita harus mempraktikkannya? Dan bagaimana caranya?

Dalam Mazmur 1, kita tahu bahwa orang yang diberkati dikarakteristikkan melalui kesenangannya akan Taurat Tuhan, “dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam” (ayat 2, LAI TB). Ketika pemazmur berbicara tentang meditasi, obyek yang menjadi refleksinya adalah Taurat Tuhan (Torah), janji Tuhan, karya Tuhan, dan jalan Tuhan. Catatan tentang hal-hal ini bisa ditemukan dalam rangkaian tulisan kudus yang sekarang kita sebut sebagai Perjanjian Lama. Para pengikut Tuhan yang sejati di zaman modern ini pasti memahami bahwa obyek meditasi kita itu mencakup seluruh Kitab Suci, mulai dari Kejadian sampai Wahyu.

Jadi, “obyek” dari meditasi kita adalah Kitab Suci. Tetapi “mengapa kita mempraktikkannya” juga penting. Dan hal itu kontras dengan meditasi yang dilakukan para pelaku yoga. Meditasi mistis adalah pengosongan pikiran untuk sejenak berhenti memikirkan apapun. Mereka yang ingin mengejar manfaat meditasi diminta untuk fokus pada pernapasan dan menenangkan pikiran mereka dengan tujuan untuk menghilangkan stres atau kecemasan atau bentuk gangguan mental atau kebingungan lainnya.

Sebaliknya, meditasi Kristen adalah pemenuhan pikiran untuk melakukan sesuatu. Ini adalah suatu sarana pembelajaran dengan cara terpapar oleh ide yang sama secara berulang-ulang. Hal ini melibatkan studi mendalam, refleksi, dan perenungan. Tidak seperti meditasi mistik, meditasi Kristen melihat pemahaman sebagai produk dari berpikir tentang semua yang disebut kebajikan (Flp. 4:8). Meditasi Kristen tidak berakhir pada meditasi itu sendiri tetapi dimaksudkan untuk menghasilkan buah dari kehidupan yang benar. Dalam Yosua 1:8, Tuhan berkata kepada Yosua, “Janganlah engkau lupa memperkatakan kitab Taurat ini, tetapi renungkanlah itu siang dan malam, supaya engkau bertindak hati-hati sesuai dengan segala yang tertulis di dalamnya.”

Tetapi bagaimana dengan “cara yang harus dilakukan” dalam meditasi Kristen? Metode meditasi mistik kadang-kadang masuk ke dalam praktik kehidupan Kristen: “Jika saya membaca sebuah ayat dan menenangkan pikiran saya, Roh Kudus akan menyampaikan sesuatu ke dalam pikiran saya yang kosong.” Meskipun maksudnya baik, pendekatan ini sering kali dapat menyebabkan salah tafsir dalam skala yang besar. Pendekatan seperti ini cenderung melewatkan refleksi apa pun tentang konteks dari sebuah bagian perikop atau ayat Alkitab, dan lebih kepada menjanjikan sebuah hasil yang cepat dalam bentuk penerapan atau dorongan.

Ya, Kitab Suci memiliki makna yang sangat jelas yang diterangi oleh Roh Kudus, tetapi Kitab Suci juga akan memberikan tingkat pemahaman yang sangat lebih dalam lagi ketika kita menjadikannya sebagai obyek pemikiran kita secara berulang-ulang. Dengan kata lain, perenungan menghasilkan pencerahan. Roh Kudus akan meresponi pikiran kita yang rajin merenungkan Alkitab dengan memberikan kita wawasan, kebijaksanaan, dan pemahaman.

Meditasi Kristen menganut pepatah yang sudah umum bahwa pengulangan adalah sumber utama dari pembelajaran. Kita merenungkan firman Tuhan dengan membaca dan membaca ulang.

Karena kita memiliki hak istimewa untuk hidup pada masa di mana akses kepada Kitab Suci belum pernah terjadi sebelumnya, kita dapat melakukan meditasi Kristen dengan banyak cara. Kita bisa membaca terjemahan yang satu dan kemudian lagi membaca terjemahan yang lain. Kita dapat mendengarkan Kitab Suci yang dibaca melalui sebuah aplikasi. Kita bisa mendengar Alkitab dalam bentuk lirik lagu yang dinyanyikan dan belajar menyanyikannya sendiri. Kita dapat menyalinnya baris demi baris ke dalam sebuah jurnal, sembari mendoakannya saat kita menulisnya. Kita bisa mengilustrasikan apa yang kita baca dalam bentuk catatan kaki. Kita dapat membacanya dengan lantang dalam pertemuan kelompok komunitas atau lingkungan keluarga, sebagai sarana untuk “membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun” (Ul. 6:7).

Berpikir. Belajar. Merefleksikan. Merenungkan. Merenungkan Taurat Tuhan, segala janji-Nya, karya-Nya, dan segala jalan-Nya melatih kita untuk berpikir sesuai dengan hal-hal tersebut. Dan hal itu mendorong kita untuk bertindak sebagaimana seharusnya kita bertindak. Hal ini mungkin tidak menjanjikan hasil yang sama seperti meditasi Zen, tetapi menjanjikan sesuatu yang lebih baik: damai sejahtera yang melampaui akal, buah pikiran kita yang terpaku pada hal-hal tentang Tuhan.

Jen Wilkin adalah seorang penulis dan pengajar Alkitab. Sebagai seorang pendukung literasi Alkitab, hasratnya adalah melihat orang lain menjadi pengikut Kristus yang fasih mengekspresikan dirinya dan berkomitmen kepada Kristus. Anda dapat menemukannya di JenWilkin.net dan di podcast Mengenal Iman.

Diterjemahkan oleh: Paul Sagajinpoula

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Tidak Cukup Hanya Menyiarkan Ibadah secara Daring. Gereja Perlu Membina Komunitas.

Apa yang pendeta dapat pelajari dari penurunan kehadiran jemaat secara daring.

Christianity Today June 1, 2021
Illustration by Mallory Rentsch / Source Images: PeopleImages / Adene Sanchez / Getty Images / Christopher Gower / Alex Knight / Unsplash

Sejak virus corona memaksa kebaktian untuk berpindah secara daring, hampir sepertiga pengunjung gereja berhenti menghadiri gereja, menurut penelitian Barna yang baru. Di kalangan kaum milenial, bahkan lebih tinggi: Setengah dari mereka yang dulu pergi ke gereja telah berhenti sejak pandemi dimulai.

Tidak jelas mengapa. Tetapi ketika kehadiran merosot, kita perlu berhenti, merenung, dan menjawab pertanyaan itu.

Mungkin orang-orang "Diperkecil (zoom out).” Sekalipun jika orang menyukai konferensi video sebelum adanya karantina wilayah, berminggu-minggu rapat melalui video secara daring untuk pekerjaan, sekolah, dan pertemuan-pertemuan sosial telah menyebabkan banyak orang gentar untuk masuk (log on) selama satu jam lagi pada hari Minggu pagi. Tetapi dapatkah itu menjelaskan penurunan hampir sepertiga dari pengunjung gereja?

Bisa jadi musiknya. Bernyanyi bersama di rumah di depan layar bukanlah pengalaman yang sama dengan bernyanyi di gereja, dikelilingi oleh rekan-rekan seiman. Jeda waktu dan gangguan buffering sesekali membuat sangat sulit untuk masuk ke dalam musik dan mengalami "suasana yang mengalir" yang sering diasosiasikan oleh banyak orang sebagai ibadah yang baik. Tetapi sebagian besar pengunjung gereja tidak menilai musik sebagai bagian terpenting dari pengalaman mereka di gereja. Penulis Kristen, Gary Thomas, mengidentifikasi sembilan “jalan suci” yang menuntun orang untuk terhubung dengan Tuhan. Hanya dua yang memprioritaskan musik. North Point Ministries, juga, menemukan bahwa musik penyembahan adalah prioritas utama mungkin untuk 14 persen dari pengunjung gereja biasa.

Alasan lain mungkin karena anggota gereja tinggal di daerah dengan bandwidth rendah atau tidak ada internet, sehingga membuat layanan siaran langsung (live streaming) tidak mungkin dilakukan. Pada tahun 2018, Komisi Komunikasi Federal menemukan bahwa 18,3 juta orang Amerika tidak memiliki akses ke jaringan internet. Seperti yang dijelaskan oleh komisaris Jessica Rosenworcel, “bukan karena mereka tidak mampu membelinya. Layanan itu tidak tersedia.” Kurangnya akses ini terutama terjadi di daerah pedesaan negara itu. Tetapi itu hanyalah 5 atau 6 persen orang Amerika dan sepertinya tidak menjelaskan penurunan dramatis dalam kehadiran di gereja sejak Maret.

Izinkan saya menyarankan alasan potensial lainnya. Ada sesuatu tentang pergi ke gereja yang belum cukup diterjemahkan secara daring. Dapat dipahami bahwa gereja berfokus pada apa yang terjadi di ruang kebaktian satu jam setiap minggu. Jauh sebelum pandemi global, banyak upaya dilakukan untuk menciptakan rangkaian ibadah 60 hingga 90 menit itu. Ketika pandemi melanda, jenis energi yang sama digunakan untuk menerjemahkan pelayanan itu ke dalam format daring. Tetapi ada sesuatu yang hilang.

Pada hari Minggu pagi sebelum COVID-19, ketika para staf gereja merencanakan dan mempersiapkan ruang kebaktian, sesuatu yang lain sedang terjadi di luar di serambi, di ruang tengah, di teras, di area penyambutan. Sesuatu yang kurang direncanakan, dan untuk beberapa gereja, kurang intensional. Orang-orang berdiri sambil berbicara. Mereka berbagi cerita hidup mereka. Dan di bagian sudut ruang kebaktian, atau di ruangan khusus, orang-orang berdoa bersama untuk berbagai kebutuhan. Sebelum COVID-19, gedung gereja menyatukan ibadah, komunitas, dan pelayanan pastoral bersama-sama.

Ketika kebaktian secara daring, apa yang terjadi dengan semua kegiatan yang disatukan itu? Bagi banyak anggota gereja, titik-titik hubungan pribadi ini menghilang. Beberapa mungkin telah berusaha untuk menangkapnya kembali di Zoom atau Facebook Live—dengan instruksi untuk secara virtual menyapa seseorang yang “duduk di sebelah Anda”—tetapi tidak banyak. Dugaan saya adalah hilangnya komunitas dan pelayanan pastoral ini secara dramatis berdampak pada kehadiran di gereja.

Sementara kebaktian adalah sesuatu yang dapat diproduksi dan disiarkan oleh gereja dalam skala besar kepada siapa pun yang akan menonton, hubungan komunitas dan pribadi adalah “anti-skala besar.” Itu artinya hubungan itu tidak dapat diproduksi secara massal. Dikenal dan diperhatikan secara pribadi hampir selalu merupakan pengalaman pribadi dan tidak dapat diproduksi secara massal. Sebaliknya, ibadah cenderung dibangun dengan model produksi massal "satu-ke-banyak"— yaitu sesuatu yang diproduksi oleh satu orang dan didistribusikan ke banyak orang. Memang memungkinkan untuk hanya mengamati kebaktian sebagai penonton dengan partisipasi yang sangat sedikit.

Bagian kudus dari ibadah gereja tampaknya mudah disiarkan secara daring. Namun, apa yang terjadi di luar ruang ibadah sangatlah sulit. Tetapi jika komunitas dan pelayanan pastoral adalah yang dibutuhkan oleh orang-orang namun tidak lagi mengalaminya melalui ibadah daring, maka masuk akal mengapa begitu banyak orang yang berhenti menghadirinya.

Ketika gereja memprioritaskan pelayanan ibadah mereka dengan cara yang sama seperti yang mereka lakukan sebelum pandemi, mudah untuk mengabaikan kegiatan lain yang tampaknya tidak penting, tetapi kegiatan itu membuat kehadiran di gereja menjadi pengalaman yang sangat penting dan memberi kehidupan bagi begitu banyak orang. Sebenarnya, kita mungkin telah salah paham mengapa sepertiga dari jemaat datang ke gereja setiap hari Minggu. Mungkin karena perhatian dan kenyamanan yang diterima orang dari teman dan pendeta mereka. Bahkan, ketika kita mungkin menganggap alasan mereka datang adalah karena pelayanan ibadah memfasilitasi komunitas, mungkin yang sebenarnya justru sebaliknya: komunitas dan pelayanan pastorallah yang mendukung layanan ibadah.

Bagi banyak orang, “yang dianggap kurang penting” justru sebenarnya adalah sentral. Dan jika bagian gereja tersebut hilang karena gereja hanya disiarkan secara langsung, maka orang akan mencari tempat lain untuk memenuhi kebutuhan relasional dan spiritual mereka.

Penelitian Barna juga menemukan banyak hal. Tidak hanya bagi mereka yang berhenti ke gereja, tetapi juga bagi mereka yang terus menonton ibadah gereja secara daring. Survei tersebut melaporkan bahwa “orang Kristen yang taat di seluruh Amerika Serikat sedang mencari doa dan dukungan emosional.” Dalam transisi ke format siaran saja, beberapa gereja mungkin telah melupakan prioritas penting lainnya. Ibadah telah dipisahkan dari komunitas dan pelayanan pastoral. Dengan ibadah secara daring, gedung gereja tidak lagi menyatukan ketiga elemen ini.

Jadi, apa yang dapat dilakukan gereja?

Meskipun penelitian Barna tampak menyusahkan pada awalnya, penelitian ini juga menawarkan wawasan penting. Kehadiran untuk kebaktian—secara daring ataupun luring (online atau offline)—tidak bisa lagi menjadi satu-satunya ukuran yang digunakan para pemimpin gereja untuk memperhitungkan kesehatan rohani dan relasional dari gereja atau jemaat mereka. Gereja harus mencari ukuran baru untuk memperhitungkan hubungan komunitas dan pelayanan pastoral yang terjadi di dalam ekosistem mereka, baik secara daring dan luring.

Gereja perlu bijaksana untuk mengembangkan ukuran baru pada saat penyebaran ini. Pertimbangkan untuk menelusuri permintaan doa yang masuk melalui formulir gereja secara daring. Beberapa gereja telah melihat peningkatan ini. Gereja juga dapat mengukur melalui panggilan telepon yang diterima pendeta dan staf dari dan ke jemaatnya. Pengukuran harus mengukur apa yang penting . Ukuran lama tidak perlu dibuang, tetapi daripada menghitung kehadiran sebagai yang mewakili kesehatan gereja, mungkin gereja bisa mengeksplorasi ukuran baru yang dapat menyoroti, memfasilitasi, dan memberdayakan komunitas dan pelayanan pastoral.

COVID-19 juga dapat memfokuskan kembali perhatian kita pada interaksi komunitas yang berbasis anggota-ke-anggota. Gedung gereja berfungsi sebagai semacam platform sosial. Komunitas tumbuh secara organik di ruang tersebut. Ruang apa yang bisa kita ciptakan di era COVID-19 yang mendorong dan menumbuhkan pengalaman di mana orang merasa diperhatikan, terhubung, dan dikenal? Pandemi mengambil sesuatu, tetapi hal itu tidak harus membuat segalanya berakhir.

Ada banyak contoh yang menguatkan dari gereja-gereja yang bereksperimen secara kreatif, menyokong komunitas. Ide-ide terbaik tampaknya dimulai dengan mempertimbangkan kepribadian unik dari jemaat. Gereja Episkopal All Saint di lingkungan Ravenswood Chicago, misalnya, adalah gereja bersejarah yang memiliki tradisi ulang tahun bulanan dan perayaan hari jadi. Begitu karantina dimulai, tradisi mereka beralih ke daring. Orang-orang mengirimkan foto diri mereka melalui email kepada seorang pendeta yang menyusunnya menjadi montase foto yang diintegrasikan oleh gereja ke dalam siaran ibadah langsung di Minggu pagi. Konteks daring memberikan kesempatan kepada orang-orang untuk lebih terlibat dan melihat diri mereka sendiri dan orang lain dalam ibadah secara daring. Praktik semacam ini membantu orang merasa terhubung satu sama lain.

Namun, upaya-upaya yang dilakukan tidak harus berteknologi tinggi. Beberapa gereja telah mengambil pendekatan kuno yang mengkomunikasikan kepedulian dengan cara yang lebih mendalam. Sebuah gereja di New York mengatur anggotanya ke dalam kelompok-kelompok yang terdiri dari sekitar 15 orang dan menunjuk pemimpin-pemimpin untuk memperhatikan keadaan mereka, apakah ada di antara mereka yang membutuhkan doa, makanan, atau persediaan lainnya. Sementara staf pastoral yang mungkin tidak dapat terhubung dengan setiap anggota gereja, menyebarkan kebutuhan tersebut dan mengkatalisasi pelayanan yang terjadi di seluruh bagian tubuh gereja, tidak hanya dari kepala.

Sebuah gereja Baptis di Carolina Selatan mengundang anggotanya untuk menulis surat kepada penghuni panti jompo yang tidak dapat menerima tamu dan merasa sangat kesepian. Upaya ekstra dari surat-surat yang dikirimkan ini mengkomunikasikan jauh melampaui tulisan kata-kata sederhana. Sekali lagi, hanya dengan mengatur sebuah rencana yang kreatif, para pemimpin gereja dapat memobilisasi anggotanya untuk melayani di luar ruang kebaktian.

Di Moose Jaw, Saskatchewan, satu gereja mencetak dan memasang publikasi yang mengundang orang untuk menelepon atau mengirim email untuk kebutuhan apa pun. Sementara beberapa responden membutuhkan bekal jasmani, yang lain merasa kesepian dan hanya perlu ditelepon untuk mengobrol atau meminta doa. Gereja area lain menawarkan pembimbing rohani yang bersedia “mendengarkan dengan penuh kasih” kepada siapa pun yang menelepon. Dan yang ketiga, seperti gereja di New York, mengatur telepon berantai dengan susunan cabang seperti pohon, di mana seperti surat yang dikirim, hal tersebut mengkomunikasikan lebih dari sekedar teks sederhana atau email grup.

Mungkin ada banyak ide untuk memelihara komunitas seperti halnya ada banyak komunitas. Intinya, COVID-19 adalah ajakan bagi gereja untuk kreatif. Seperti seorang teman yang sering mengingatkan saya, “Di tengah kehancuran, ada peluang untuk inovasi.” Ini adalah kata-kata yang tepat untuk gereja dalam waktu yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Adam Graber adalah direktur FaithTech dan co-host podcast Device & Virtue. Anda dapat menemukannya di Twitter @AdamGraber .

Diterjemahkan oleh: Budi Martono Winata

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Orang-orang yang Skeptis terhadap Vaksin Membutuhkan Dosis Teologi Penciptaan

Ilmu kedokteran ada batasnya. Tetapi seperti yang John Calvin percaya, ilmu ini merupakan sebuah pemberian yang luar biasa dari Allah.

Christianity Today May 31, 2021
Illustration by Mallory Rentsch / Source Images: Macau Photo Agency / Unsplash / Anastasia Shuraeva / Pexels

Ketika vaksin COVID-19 tersedia semakin luas bagi penduduk Amerika, sejumlah besar orang Injili berkulit putih menyatakan bahwa mereka “mungkin” atau “pasti” tidak mau mendapatkan vaksin tersebut. Organisasi-organisasi media seperti The New York Times dan CNN menyuarakan kekuatiran bahwa keraguan terhadap vaksin dapat menjadi penghalang bagi Amerika untuk mencapai kekebalan komunitas dan membahayakan mereka yang tidak divaksinasi serta komunitas mereka.

Di tengah kekuatiran ini, sebagian besar (dan berbagai) demografis kaum Injili berkulit putih telah diberi label “anti-sains,” yang semakin memperkuat kecurigaan mereka yang ragu-ragu terhadap vaksin bahwa pesan pro-vaksin ada kaitannya dengan “media yang tidak bersahabat" dan pemerintah yang terlalu campur tangan. Ketika jurang ketidakpercayaan yang semakin dalam memisahkan pengikut Yesus dari berbagai latar belakang, menjadi kelompok-kelompok ideologis dengan pemikiran sendiri-sendiri, kita diperhadapkan pada pertanyaan: Dapatkah kita menemukan cara untuk menunjukkan kasih satu sama lain dan kepada sesama kita, sebagai saksi bagi Kabar Baik tentang Yesus Kristus?

Realitasnya adalah bahwa manusia lebih kompleks daripada demografi. Label “anti-sains” lebih sering menghasilkan banyak permusuhan daripada pencerahan. Sebagai seorang pasien kanker, saya belajar bahwa mempertimbangkan intervensi medisdi dengan serius bukanlah anti-sains. Ada perbedaan antara menerima pengobatan yang baru disetujui dan meminta dokter untuk mengobati lengan yang patah. Seperti yang sudah saya telaah dalam buku terbaru saya, mencermati pengobatan modern adalah bagian dari panggilan kita sebagai manusia fana yang juga adalah pengikut Yesus. Hanya Tuhan yang bisa membebaskan kita dari dosa dan kematian. Tetapi Tuhan juga bisa memakai ilmu kedokteran sebagai pemberian yang luar biasa dalam perjalanan fana yang singkat ini.

Bagi kaum Injili, inti dari pertanyaan tentang vaksin tidak bergantung pada kepercayaan terhadap partai atau agenda politik tertentu, tetapi pada tanggapan kita terhadap karya Tuhan dalam penciptaan. Dengan kepercayaan kepada Tuhan sebagai pencipta harmoni yang kompleks yang kita amati dalam ciptaan, kita dapat menerima vaksin sebagai pemberian ilahi.

Seperti kebanyakan orang Injili, saya dibesarkan dengan kepekaan yang mendalam terhadap pernyataan pemazmur: “Betapa banyak perbuatan-Mu,ya TUHAN, sekaliannya Kaujadikan dengan kebijaksanaan, bumi penuh dengan ciptaan-Mu” (104:24, LAI TB). Kaitannya jelas: Sebagai orang Kristen, kita menyembah Tuhan dan bergembira atas keteraturan, kompleksitas, dan harmoni yang agung dari penciptaan-Nya.

Di kemudian hari barulah saya menemukan bahwa ketakwaan rohani kaum Injili tentang ciptaan ini sejalan dengan tradisi alkitabiah yang lebih tua tentang teologi penciptaan. Dari Agustinus di Barat hingga Gregorius Nyssa di Timur, dan dari kekristenan mula-mula sampai Reformasi hingga zaman Pencerahan, banyak orang Kristen menerima teologi ini. Berangkat dari Alkitab, teologi penciptaan menikmati “bermacam-macam karya” Tuhan dalam keteraturan dan kompleksitas ciptaan dan mendorong manusia untuk bertumbuh dalam pemahaman mereka tentang keajaiban-keajaiban ciptaan. Seperti yang ditunjukkan dalam studi tentang sejarah sains, selama berabad-abad teologi penciptaan telah mendorong banyak orang untuk melakukan penyelidikan dan eksplorasi ilmiah dengan serius.

Reformator abad keenam belas, John Calvin, secara khusus mengajarkan teologi penciptaan ini dengan penuh semangat. “Ke mana pun Anda mengarahkan pandangan Anda,” tulisnya di Institutes, “tidak ada satu titik pun di alam semesta di mana Anda tidak melihat setidaknya beberapa percikan kemuliaan Allah.” Apa yang saat ini banyak disebut sebagai “dunia alami”, bagi Calvin, adalah “teater yang mempesona” dari kemuliaan Allah. Dia menyesalkan bahwa “hanya satu dari seratus orang yang benar-benar menjadi penonton sejatinya!”

Bagaimana semua ini berkaitan dengan pemahaman kita tentang vaksin di masa sekarang? Banyak rekan saya dari kaum Injili ragu-ragu tentang vaksin COVID-19 karena mereka keberatan dengan pemerintah yang terlalu campur tangan. Mereka merasakan konsekuensi ekonomi yang menyakitkan dari penutupan yang diberlakukan pemerintah dan khawatir bahwa “pesan” pemerintah tidak konsisten pada waktu yang berbeda-beda selama pandemi. Jika seseorang tidak setuju dengan tanggapan pemerintah terhadap pandemi, mengapa mempercayai vaksinnya?

Meskipun keprihatinan ini mungkin saja muncul dari kesulitan yang sebenarnya, jika kita mempercayai “teologi penciptaan” yang alkitabiah, maka keprihatinan tersebut sebenarnya bukan poin utamanya. Memang, pengembangan, pengujian, dan distribusi berbagai vaksin telah melibatkan dukungan dan koordinasi pemerintah—pertama dari presiden partai Republik, lalu dari Demokrat, serta dari pemerintah lain di seluruh dunia yang tidak sesuai dengan kategori partai-partai di Amerika. Tetapi tidak ada presiden atau gubernur atau walikota yang bekerja keras dalam penyelidikan—ribuan jam penyelidikan dan observasi serta pengujian yang dilakukan oleh para ilmuwan di seluruh dunia.

Dengan cara yang benar-benar menakjubkan, para ilmuwan terkemuka dari seluruh dunia, dari berbagai latar belakang politik, bekerja sama untuk mengumpulkan sebanyak mungkin pengetahuan tentang COVID-19. Semua ini terjadi dalam waktu yang relatif singkat, tetapi mereka saling berbagi hipotesis, wawasan, data, dan permasalahan yang sulit dengan cara yang belum pernah dilakukan sebelumnya.

Seperti yang ditunjukkan The Atlantic, tahun 2020 seperti proyek Apollo dalam memberikan gairah yang besar bagi para ilmuwan dan berbagai studi, dengan arsip-arsip daring untuk membagikan hasil studi dengan segera kepada para ilmuwan di tempat lain tanpa harus melalui proses penerbitan cetak dan biaya yang mahal. Pada awal tahun 2020, satu arsip penelitian biomedis menampung 1.000 makalah yang memberikan data hasil penyelidikan-penyelidikan tersebut. Pada bulan Oktober, karena COVID-19, satu arsip tersebut memiliki lebih dari 12.000 makalah.

Umat Kristen dapat bersukacita atas fakta bahwa solusi untuk penyakit yang meluas diteliti secara mendalam oleh para ilmuwan ini pada tahun 2020. Para ilmuwan tersebut tidak perlu beragama Kristen untuk dapat berbagi beberapa keyakinan kunci dengan teologi penciptaan: bahwa keteraturan dan simetri merupakan ciri utama dari dunia alami, dan bahwa pikiran manusia dapat memahami aspek-aspek dari kosmos yang kompleks ini. Sebagaimana yang telah diamati oleh para ilmuwan non-Kristen seperti Albert Einstein, ada suatu harmoni yang mendalam dan “keteraturan yang menakjubkan” di alam semesta, yang tanpanya penyelidikan dan kemajuan ilmiah tidak akan mungkin tercapai.

Sebagai kaum Injili yang menegaskan bahwa keteraturan dan kompleksitas ini adalah bagian dari rancangan Tuhan, bahwa manusia diciptakan menurut gambar Allah untuk bersukacita dan menggali potensi dari ciptaan, kita memiliki lebih banyak alasan untuk menghargai kemajuan ilmiah tahun lalu. Keputusan tentang apakah akan mendapatkan vaksin berdasarkan penelitian ini bukanlah soal apakah kita menyetujui presiden, gubernur, atau walikota. Bagi pengikut Yesus, ini adalah pertanyaan apakah kita percaya pada tatanan dan rancangan dari penciptaan yang telah memungkinkan pemahaman ilmiah, karena para ilmuwan dari seluruh dunia telah menaruh perhatian yang mendalam dan sangat dekat dengan “teater kemuliaan Allah” dalam ciptaan.

Pada titik ini, beberapa pembaca akan keberatan: Apakah saya berasumsi bahwa pengetahuan kita tentang COVID-19 saat ini sudah sempurna? Dan apakah saya menjamin bahwa tidak ada risiko yang mungkin timbul dari penggunaan vaksin ini yang menurut CDC (Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit) “aman dan efektif”?

Saya tidak mengasumsikan jawaban positif untuk kedua pertanyaan tersebut. Sains adalah usaha manusia yang bisa salah ketika mencoba memahami tatanan dan kompleksitas luar biasa dari ciptaan Tuhan, dan pemahaman kita selalu berkembang. Dan meskipun vaksin itu aman dan efektif secara relatif, saya pikir adalah bijaksana untuk mengakui bahwa kepastian yang mutlak tidaklah mungkin. Bagi manusia seperti kita, tidak ada cara apapun untuk melewati pandemi ini yang dijamin “aman.” Menolak untuk divaksin juga bukan pilihan yang bebas dari risiko. Bersama pemazmur, inilah saatnya untuk membawa ketakutan kita ke hadapan Allah dan meminta Tuhan untuk menolong kita “menghitung hari-hari,” kita karena kita hanyalah manusia biasa (Mzm. 90:12).

Pada bulan Desember, seorang teman pendeta bercerita bahwa ia diundang untuk menjadi salah satu orang yang paling awal menerima vaksin di negaranya karena sebagian besar pelayanannya berada di rumah sakit. Dengan jujur, ia berkata kepada saya dan orang lain: Dia merasa cemas untuk memasukkan vaksin ke dalam tubuhnya. Ia berbicara dengan dokternya, teman-teman Kristen yang ia percaya, dan berusaha untuk beroleh pengertian melalui doa. Akhirnya, ia menerima vaksin itu dengan iman bahwa dalam hidup dan mati, ia adalah milik Yesus Kristus. Dia punya hak untuk menolak. Tetapi yang lebih penting adalah pengakuannya bahwa ia hanyalah manusia fana milik Yesus—Pribadi yang telah menyerahkan hak-Nya sendiri untuk menunjukkan kasih-Nya kepada kita. Demi kasih kepada Tuhannya dan sesama, ia menolak untuk dikuasai oleh ketakutannya.

Pemahaman kita tentang COVID-19 tidaklah sempurna, dan kita tidak perlu berasumsi bahwa sains tidak mungkin salah untuk menerima vaksin sebagai pemberian. Tetapi ilmu kedokteran yang sempurna bukanlah permasalahannya. Pertimbangkan Calvin, yang menerapkan teologi penciptaan untuk menegaskan bahwa ilmu kedokteran, sebagai “keilmuan yang dengan teliti mendayagunakan karunia-karunia ciptaan,” sebenarnya adalah pemberian ilahi.

Akankah Calvin berasumsi bahwa obat-obatan tidak berisiko? Tentu saja tidak. Calvin mendorong para pendengarnya untuk memakai obat-obatan berdasarkan pengertian terbaik yang ada (namun sementara) tentang dunia. Bayangkan apa yang mungkin ia katakan tentang pengujian keamanan yang ekstensif untuk perawatan seperti vaksin COVID-19 . Tetapi meskipun tanpa pengujian berskala besar, Calvin bersikeras bahwa melalui ilmu kedokteran, Tuhan “melengkapi kita dengan kemampuan untuk menghadapi berbagai macam penyakit.” Bahkan, ia berseru, “barangsiapa yang menolak sarana [obat] yang telah Tuhan tetapkan tidak memiliki keyakinan kepada Tuhan, melainkan meninggikan diri dengan kesombongan dan keberanian palsu.”

Kita patut bersyukur atas teater kemuliaan Tuhan yang menakjubkan dalam ciptaan dan pemberian-pemberian yang kita dapatkan dengan menggalinya. Ketika jemaat kita belajar tentang vaksin di masa yang penuh gejolak ini, kita dapat mengingat nasihat Paulus untuk “sabar, saling membantu dalam kasih” (Ef. 4:2–3). Tubuh kita bukanlah milik kita sendiri tetapi milik Yesus, Pribadi yang melalui-Nya “segala sesuatu diciptakan” (Kol. 1:16).

Bahkan ketika kita mengakui hak dan ketakutan kita sendiri, kita dipanggil untuk memperhatikan tubuh yang kita rawat, tubuh dari orang-orang dalam keluarga rohani kita, dan tubuh dari sesama kita yang harus kita kasihi sesuai panggilan Yesus. Semoga kita mau berusaha untuk menunjukkan kasih dan kepercayaan yang datang dari Allah sehingga dengan kasih yang kelihatannya asing bagi zaman yang terpecah belah ini, kita dapat sama-sama bernyanyi, “mereka akan tahu bahwa kita adalah orang Kristen karena kasih kita.”

J. Todd Billings adalah Profesor Riset Gordon H. Girod bidang Teologi Reformed di Western Theological Seminary di Holland, Michigan. Buku terbarunya adalah The End of the Christian Life: How Embracing Our Mortality Frees Us to Truly Live .

Diterjemahkan oleh: Kalvin Budiman

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Books

Dalam Lembaga RZIM, Para Staf Mendorong Pimpinan Mereka untuk Bertanggung Jawab atas Skandal yang Terjadi

Ravi Zacharias telah membangun reputasi yang tidak kenal takut dalam mengejar kebenaran. Namun sekarang, lembaga pelayanan yang ia dirikan sedang bergulat dengan akuntabilitas mereka di tengah “budaya loyalitas yang beracun.”

Christianity Today May 24, 2021
Illustration by Mallory Rentsch / Source Images: Google Maps / Portrait Courtesy of RZIM

Dari dalam Ravi Zacharias International Ministries (RZIM), para staf selama berbulan-bulan bertanya-tanya apakah lembaga apologetika terbesar di dunia bersedia untuk mengatakan yang sebenarnya tentang pendirinya yang terkenal itu.

Pada bulan-bulan terakhir tahun 2020, beberapa orang mendorong para pemimpin senior untuk mengakui kebenaran rincian tuduhan yang ditujukan kepada Ravi Zacharias setelah kematiannya, yang menunjukkan kepedulian mereka terhadap korban pelecehan seksual, dan bertanggung jawab atas budaya korporat yang memprioritaskan legasi Ravi Zacharias di atas segalanya.

Kemudian, beberapa hari sebelum Natal, RZIM secara resmi mengakui bukti substansial bahwa Zacharias melecehkan banyak wanita secara seksual. Putri Zacharias, CEO RZIM Sarah Davis, berjanji akan merilis hasil lengkap dari penyelidikan independen yang sedang berlangsung.

Namun perselisihan internal masih bergolak di dalam RZIM. Beberapa anggota staf berpendapat bahwa pelayanan global bernilai 36 juta dolar—yang dibangun di atas reputasi almarhum sebagai seorang pembela iman dan kebenaran—bisa menjadi model dalam menangani skandal atau bisa menjadi contoh lain dari sebuah institusi yang mempertahankan kekuasaannya dengan mengorbankan kesaksian kristianinya.

Awalnya staf RZIM mendengar bahwa tuduhan terhadap Zacharias adalah serangan tak berdasar yang dirancang untuk merusak pelayanan mereka. Namun beberapa orang mulai secara terbuka menolak narasi itu—awalnya di dalam lembaga, kemudian di depan umum. Para pimpinan senior RZIM dan anggota dewan (yang namanya tidak dipublikasikan) sekarang menghadapi tekanan dari dalam pelayanan tersebut untuk memperlihatkan komitmen yang baru terhadap akuntabilitas.

“Saya pikir kami membutuhkan permintaan maaf seutuhnya dan transparansi secara menyeluruh,” kata Max Baker-Hytch, pembicara RZIM yang juga mengajar filsafat di Universitas Oxford, kepada CT. “Saya khawatir kami tidak benar-benar mengakui keterlibatan secara korporat dan budaya loyalitas yang beracun.”

Ketika CT melaporkan pada bulan September bahwa Zacharias telah berulang kali mengekspos tubuhnya, bermasturbasi, dan meraba-raba tubuh wanita yang bekerja pada dua spa di area Atlanta-yang ia miliki bersama rekannya, lembaga RZIM pada awalnya menanggapi—seperti tuduhan sebelumnya—dengan menolak mentah-mentah semua tuduhan itu. Meskipun organisasi tersebut mengatakan kepada CT bahwa mereka akan menyewa firma hukum untuk menyelidiki klaim-klaim tersebut, dalam pernyataan yang sama RZIM menganggap semua klaim tersebut palsu.

Pernyataan RZIM pada 23 Desember, yang merangkum temuan awal dari penyelidikan pihak luar, menandai pertama kalinya lembaga tersebut mengakui pelanggaran seksual yang telah dilakukan oleh pendirinya, yang meninggal pada Mei di usia 74 tahun. Selama lima dekade pelayanannya, ia tumbuh menjadi seorang apologet Kristen yang paling terkenal di dunia.

Anggota staf mulai angkat bicara

Menurut tanggapan awal RZIM terhadap laporan dari CT, “keluarga dan rekan tim pelayanan Ravi Zacharias”—sebuah kelompok yang mencakup beberapa ratus pembicara dan anggota-anggota staf di lebih dari selusin kantor di seluruh dunia—tahu bahwa tuduhan itu tidak benar berdasarkan pengalaman pribadi mereka dengan Zacharias.

Namun, pada pertemuan semua staf secara daring pada pertengahan Oktober, pembicara RZIM Sam Allberry, yang memimpin kebaktian di sisi kuburan Zacharias, bertanya mengapa “rekan tim pelayanan” dimasukkan dalam penyangkalan resmi. Mereka belum pernah diajak berkonsultasi sebelum pimpinan membuat pernyataan tak bertanda tangan yang menyangkal klaim tersebut.

“Mengapa Anda memasukkan saya dalam penyangkalan itu?” kata Allberry, menurut orang-orang yang hadir dalam pertemuan tersebut. “Terus terang, saya memercayai para wanita ini dan mendapati bahwa tuduhan mereka dapat dipercaya.”

Orang-orang lain di RZIM—dari staf kantor pusat Atlanta hingga para apologet papan atas—juga mulai berbicara, karena diyakinkan oleh laporan di CT dan majalah World bahwa tuduhan itu serius dan dapat dipercaya.

Suara vokal dari kelompok ini semakin lantang menolak narasi resmi lembaga tersebut, pertama dengan pertanyaan-pertanyaan selama rapat staf, kemudian dilanjutkan dengan surat kepada pimpinan dan dewan, dan akhirnya dengan pernyataan publik ketika merasa pendapat mereka tidak ditanggapi secara serius.

“Saya memercayai para wanita yang telah maju dan membuka diri,” kata Amy Orr-Ewing, wakil presiden senior RZIM dan apologis wanita RZIM penuh waktu pertama, kepada CT. “Saya sangat berduka atas apa yang digambarkan oleh orang-orang pemberani ini dan keberanian yang mereka butuhkan untuk mulai mengungkapkan cerita mereka.”

Selama tiga bulan terakhir, CT telah mewawancarai tujuh orang pembicara RZIM serta dua mantan pembicara dan staf RZIM di lima negara. CT juga telah meninjau lebih dari selusin dokumen internal dan catatan rinci dari beberapa pertemuan, yang mengungkapkan rasa frustrasi dan tekanan yang semakin meningkat ketika para anggota staf berusaha untuk menuntut pengakuan penuh atas apa yang mereka lihat sebagai kegagalan institusional. Sejumlah rekan tim pelayanan percaya bahwa kesalahan tidak hanya terletak pada Zacharias, tetapi juga pada pejabat tinggi lembaga tersebut yang mendukung suatu budaya yang memungkinkan Zacharias melecehkan wanita tanpa takut ditantang dan mendorong pengabaian tuduhan terhadapnya.

Upaya tersebut dapat menyebabkan perubahan signifikan pada lembaga pelayanan ini, setelah perilisan laporan investigasi yang lengkap. Diskusi internal tentang perubahan nama dan mengubah citra lembaga juga sudah didiskusikan. Sementara itu, Zacharias Trust, RZIM cabang Inggris, secara resmi menyerukan “komitmen untuk mereformasi secara radikal tata kelola, kepemimpinan, dan akuntabilitas organisasi RZIM.”

Setelah tuduhan-tuduhan itu muncul, Davis dan presiden Michael Ramsden berulang kali meyakinkan anggota staf bahwa mereka tidak akan menutupi apa pun. Mereka mengatakan bahwa mereka juga ingin kebenaran sepenuhnya diungkapkan sehingga lembaga pelayanan ini dapat melangkah maju.

“Doa saya adalah agar kebenaran tentang masalah ini akan dapat diketahui,” kata Davis dalam pernyataan tertulis kepada CT pada Selasa malam. “Saya terus mendoakan hal ini dan ketika penyelidikan selesai, kami bermaksud untuk menangani tuduhan-tuduhan di masa lalu dan sekarang, untuk memohon pengampunan jika diperlukan, untuk mengupayakan pemulihan jika diperlukan. Kami hanya meminta kesabaran sampai penyelidikan selesai sehingga kami dapat melakukan hal-hal ini semaksimal mungkin.”

Publikasi dari laporan pendahuluan tim investigasi luar dan pengakuan resmi RZIM atas bukti pelecehan seksual menunjukkan bahwa lembaga tersebut akan menanggapi tuntutan-tuntutan itu dengan lebih serius dari sebelumnya.

“Saya sangat berharap keputusan kami untuk merilis laporan sementara sebelum Natal—pembaruan sederhana dari Miller & Martin—menunjukkan keinginan kami akan transparansi. Tentu, itu adalah laporan awal yang merugikan dan sebenarnya kami tidak berkewajiban untuk merilisnya,” tulis Davis.

Namun, pernyataan resmi tersebut tidak mengakui tanggung jawab apa pun secara korporat. Para anggota tim yang peduli berharap dengan memberikan tekanan, mereka dapat mendorong RZIM untuk berkomitmen lebih mendalam dan lebih luas pada perubahan budaya.

Tekanan yang dilakukan bersama itu “dapat menyelamatkan lembaga pelayanan ini jika mereka bisa bekerja sama dengan orang-orang di atas,” kata L.T. Jeyachandran, mantan direktur eksekutif RZIM cabang Asia-Pasifik dari 2001 hingga 2012. “Saya tidak tahu apakah itu bisa terjadi karena pengkultusan pribadi. Budaya RZIM adalah pemujaan dan kesetiaan yang tidak diragukan lagi. Anda memuji Ravi sepanjang waktu dan tidak pernah meminta pertanggungjawabannya.”

Pemeriksaan baru atas skandal-skandal masa lalu

Krisis terbaru ini telah mendorong para anggota staf untuk meninjau kembali skandal sebelumnya. Tiga insiden telah mengguncang kepercayaan anggota staf pada Zacharias dan kepemimpinan RZIM dalam beberapa tahun terakhir. Pertama, Zacharias dituduh selama bertahun-tahun mengklaim gelar akademis yang tidak ia miliki. Lalu, pada 2017, dia dituduh meminta foto-foto dan pesan-pesan yang eksplisit secara seksual dari seorang pendukung. Dan beberapa bulan setelah kematiannya, CT melaporkan tuduhan bahwa dia telah melakukan pelecehan seksual terhadap beberapa terapis pijat yang dia pekerjakan.

Sebelumnya, para staf menerima penjelasan dan penyangkalan resmi dari RZIM. Kadang-kadang para pemimpin mengingatkan mereka akan reputasi Zacharias, mengatakan, “Tetapi itulah Ravi,” untuk menunjukkan bahwa dia tidak tercela. Pada lain waktu, anggota staf memberi tahu CT, Zacharias dan pemimpin senior lainnya akan mengklaim bahwa orang luar mengarang rumor keji dan melancarkan serangan palsu karena pekerjaan baik yang Zacharias lakukan dalam mengabarkan Injil. Setelah tuduhan yang terakhir, menjadi semakin sulit untuk menerima penjelasan-penjelasan ini.

“Setiap masalah Ravi telah mengingatkan orang-orang tentang masalah sebelumnya dan memaksa mereka untuk memeriksanya kembali,” kata Baker-Hytch. “Tuduhan baru ini telah menjadi titik balik. Ini seperti ‘pukulan ketiga (strike three).’”

Saat Baker-Hytch dan para rekan tim lainnya di Inggris, Kanada, Australia, Spanyol, Afrika Selatan, dan Amerika Serikat mulai berpikir bahwa tuduhan-tuduhan baru terhadap Zacharias mungkin benar, mereka juga mempertanyakan cara para pemimpin RZIM menyikapi skandal sebelumnya.

Menurut pengakuan mereka, lembaga pelayanan apologetika—yang berkomitmen pada “pencarian kebenaran yang tak kenal takut”—tampaknya pada saat-saat penting justru menyembunyikan informasi dari staf, memalsukan fakta agar lebih menguntungkan Zacharias, dan memprioritaskan perlindungan reputasi pendiri di atas segalanya.

Kredibilitas dari tuduhan baru ini membuat mereka harus memeriksa dengan cermat pernyataan RZIM tentang penyelesaian gugatan Zacharias tahun 2017 dengan wanita yang mengatakan bahwa dia merayu dan membujuknya untuk mengirim pesan yang eksplisit secara seksual.

Baker-Hytch ingat bahwa kepemimpinan RZIM mengatakan para anggota dewan telah meninjau “semua email” dan pertukaran teks antara Zacharias dan wanita itu. Baker-Hytch kemudian mengetahui dari salah satu anggota dewan dan penasihat luar bahwa mereka hanya meninjau beberapa korespondensi—sekumpulan pesan yang dipilih dan dicetak. Dewan tersebut membebaskan Zacharias dari semua kesalahan, tanpa mereka pernah memiliki akses ke semua korespondensi, kata Baker-Hytch.

Ketika dia bertanya tentang perbedaan fakta tersebut, pimpinan RZIM mengatakan kepada Baker-Hytch bahwa “semua korespondensi” berarti “segala sesuatu yang ada dan yang beredar.”

“Ketika saya dapat memeriksa fakta pernyataan yang dibuat oleh pimpinan, kenyataan itu benar-benar mengganggu saya,” kata Baker-Hytch.

Anggota staf juga diberitahu bahwa gugatan itu “dibatalkan,” hanya untuk kemudian mengetahui bahwa itu telah diselesaikan dengan pembayaran sekitar $250.000, menurut empat orang di dalam RZIM. Ketika mereka mengeluh bahwa istilah “dibatalkan” itu menyesatkan, mereka diberitahu bahwa detilnya tidak dapat didiskusikan karena perjanjian kerahasiaan antara kedua pihak, meskipun RZIM bukan salah satu pihak dalam perjanjian tersebut.

Lori Anne Thompson, yang menyatakan dirinya sebagai korban dalam kasus ini dan meminta untuk dibebaskan dari perjanjian kerahasiaan, mengatakan kepada CT bahwa dia tidak dihubungi oleh RZIM selama peninjauan awal korespondensi Zacharias atau selama penyelidikan yang sedang berlangsung. Dia mengatakan pelecehan yang dia derita jauh melampaui foto-foto yang disebut Zacharias “tidak diminta/diberikan dengan sukarela.” Para anggota staf yang meyakini tuduhan-tuduhan Thompson, meminta RZIM untuk meninjau bagaimana lembaga menangani klaim tersebut dan menuntut pimpinan yang terlibat menutupi kebohongan Zacharias.

Rekan satu tim lainnya menyebut adanya inkonsistensi dalam tanggapan Zacharias terhadap gugatan tersebut. Ia berkata bahwa dia melindungi pernikahannya dengan mengikuti “Aturan Billy Graham” dan tidak pernah menghabiskan waktu berdua dengan wanita yang bukan istri atau putrinya. Tetapi itu tidaklah benar.

“Dia pernah berdua dengan banyak wanita yang bekerja sebagai staf,” kata Carson Weitnauer, seorang anggota staf lama yang bekerja di kantor Atlanta sampai dia mengundurkan diri dari RZIM pada hari Senin setelah menerbitkan sebuah esai di Christian Post tentang bagaimana ia kehilangan kepercayaan terhadap Zacharias. “Mereka bertemu di kantornya untuk mengerjakan proyek-proyek.”

Tidak ada yang menuduh bahwa terjadi sesuatu yang tidak pantas antara Zacharias dan para wanita di staf RZIM, tetapi sekarang, anggota-anggota staf bertanya mengapa dia berbohong tentang berdua dengan wanita—dan mengapa pimpinan membiarkan dia salah dalam menyatakan kebenaran. Dalam satu rapat staf, seorang asisten menunjukkan bahwa orang-orang dalam kepemimpinan sebenarnya mengetahui bahwa ini adalah pernyataan yang salah ketika Zacharias mengatakannya.

“Pesan kepemimpinan kepada kami adalah ‘Kami tidak bercela. Kami akan mencari tahu apa yang terjadi. Percayailah kami,’” kata Weitnauer kepada CT. “Sangat jelas orang seperti apa Ravi itu. Jelas ada banyak keterlibatan dalam organisasi ini.”

‘Kami lupa bahwa dia hanya seorang pria’

Dalam pertemuan semua staf yang diadakan antara awal Oktober dan libur Natal di tahun 2020, para pemimpin puncak mengecam media-media yang melaporkan tuduhan tersebut, berspekulasi tentang kemungkinan konspirasi yang rumit untuk menyerang reputasi Zacharias, berdoa melawan kekuatan iblis, dan meminta staf untuk mempercayai mereka dan firma hukum yang mereka sewa.

Dalam pertemuan kebaktian staf sebelum Natal, Margie Zacharias—janda Ravi dan kepala bagian budaya di RZIM—meyakinkan semua orang bahwa para donatur pelayanan “memberi tahu kami dengan lantang dan jelas bahwa mereka masih bersama kami,” menurut banyak orang yang hadir. Dia juga menggunakan kesempatan itu untuk memuji suaminya karena telah menjadi teladan yang baik dan “seorang pria yang dipenuhi dengan Roh Allah.”

Anggota keluarga lainnya membuat pernyataan publik yang menyerang mereka yang mengkritik Zacharias.

“Untuk beberapa alasan aneh, kita sepertinya ingin orang terjatuh. Mungkinkah itu membuat kita merasa lebih baik tentang diri kita sendiri?” tulis Robert “Drew” McNeil, mantan suami putri Zacharias- Naomi-dan mantan direktur RZIM Academy, di Twitter pada pertengahan Oktober. “Seorang pria yang telah menjalani kehidupan yang berintegritas selama 74 tahun, dan orang-orang akan tetap percaya pada kebohongan yang sepenuhnya tidak sesuai dengan dirinya. Orang yang tidak mengenalnya mungkin akan memercayai kebohongan itu—tetapi tidak bagi mereka yang mengenalnya dengan baik.”

Kesan defensif tersebut tampaknya tidak membatasi lingkup investigasi yang dilakukan oleh firma hukum Miller & Martin. Laporan sementara para penyelidik mengatakan bahwa “kami diberikan keleluasaan dan kewenangan yang luas untuk menelusuri petunjuk-petunjuk tentang perilaku seksual yang tidak senonoh lainnya yang mungkin muncul, dan persis itulah yang telah kami lakukan.”

Lynsey Barron, penyelidik utama, mengatakan bahwa tim tersebut telah mewawancarai “lusinan saksi”, termasuk “banyak terapis pijat” yang “telah berbicara dengan jujur dan sangat detil.” Para penyelidik melaporkan mewawancarai sumber lain yang juga membenarkan dan menguatkan tuduhan pelecehan seksual.

Tim tersebut mewawancarai Anurag Sharma, salah satu pemilik spa di area Atlanta yang mengatakan bahwa dia adalah teman lama dan pengagum Zacharias. Wawancara berlangsung sekitar empat jam di kamar hotel Atlanta, dengan dua penyelidik mengajukan pertanyaan secara langsung dan dua orang mengawasi lewat Zoom, demikian yang dikatakan Sharma kepada CT. Dalam rekaman wawancaranya yang dibagikan dengan jurnalis independen Julie Roys, Sharma mengatakan bahwa Zacharias memintanya untuk menghancurkan bukti pelecehan seksual kepada seorang terapis pijat pada tahun 2010.

Para penyelidik juga telah memeriksa perjalanan pribadi dan bisnis Zacharias untuk menyelidiki potensi pelanggaran di luar negeri. Dan mereka telah mewawancarai beberapa anggota staf RZIM dalam sesi berjam-jam, menanyakan tentang sejarah pribadi Zacharias, jadwal perjalanannya yang ekstensif, serta budaya dalam dewan dan kepemimpinan.

Rekan-rekan tim yang mendorong pertanggungjawaban penuh di RZIM mengatakan bahwa mereka dengan cepat diyakinkan bahwa penyelidikan tersebut akan menjangkau lebih jauh dan menyeluruh. Mereka menduga laporan akhir Miller & Martin akan “mengerikan”.

Pertanyaannya, kata mereka, apakah RZIM akan bertanggung jawab baik karena ketidaktahuan mereka tentang pelecehan tersebut dan gagal menawarkan pertanggungjawaban, atau mengetahuinya dan menutupinya.

“Beban sepenuhnya dari hal ini sekarang terletak pada dewan dan pimpinan RZIM yang mengulangi penyangkalan Ravi,” kata Rio Summers, seorang wakil produser media global RZIM dan asisten eksekutif Ramsden sebelum ia menjadi presiden. “Hati saya rindu melihat dewan dan pimpinan RZIM bertobat secara terbuka.”

Dalam pernyataannya pada hari Selasa, Davis bersedia mengakui bahwa dia dan orang-orang lain dalam kepemimpinan telah melakukan kesalahan. Ia mengatakan mereka mempercayai Zacharias ketika dia menyangkal semua tuduhan, dan mereka tidak mengajukan beberapa pertanyaan sulit yang seharusnya mereka ajukan.

“Saya pikir saya dan lainnya, tanpa sadar, mengharapkan Ravi menjadi lebih dari sekedar manusia,” tulis Davis. “Kami percaya bahwa Tuhan telah memberinya talenta yang unik, membangunnya untuk hidup ini, tanpa pernah melihat adanya keretakan, kerentanan, dan sisi gelap.”

Menurut Davis, “kami lupa bahwa dia hanyalah seorang pria, karena dia tampak seperti orang yang luar biasa. Dan sementara dalam banyak hal dia memang luar biasa, sekarang kami belajar bahwa dia adalah manusia dengan kekurangan yang sangat nyata.”

Menghadapi tekanan internal yang meningkat, para pemimpin mulai membahas masa untuk berdoa dan berpuasa untuk mengantisipasi laporan akhir. Davis mengirim email internal kepada staf RZIM pada pertengahan Desember, berjanji untuk merilis laporan lengkap setelah selesai dan mendesak semua orang untuk bersabar sampai selesai.

Pilihan antara mengubah citra dan pertobatan

Ramsden juga mengatakan kepada anggota staf bahwa dia tidak akan menutupi bukti kesalahan Zacharias, menurut catatan dari beberapa pertemuan. Sebelum laporan sementara mengatakan ada bukti substansial dari pelecehan seksual, Ramsden berspekulasi tentang kemungkinan konspirasi, menunjukkan bahwa CT mungkin telah memalsukan korban pelecehan atau bahwa ada blogger ateis yang mungkin telah membayar para wanita tersebut dan melatih mereka untuk berbohong. Meski demikian, ia juga mengatakan bahwa jika penyelidikan membuktikan tuduhan terburuk itu benar, itu tidak akan berakibat fatal bagi lembaga. RZIM jelas mengutuk perbuatan tidak senonoh tersebut dan melangkah maju.

Daniel Gilman, seorang pembicara RZIM yang berbasis di Kanada, mengatakan kepada CT akan keprihatinannya adalah bahwa lembaga ini hanya akan mengubah citra tetapi tidak bertobat.

“Ketika saya mulai berpikir, Dia mungkin bersalah, saya ingin tahu, bagaimana saya bisa mengungkap kebenaran dan tidak menjadi bagian dari masalah,” kata Gilman. “Saya ingin kami bertanya, ‘Apa yang harus dilakukan RZIM untuk benar-benar bertobat?’”

Gilman, Allberry, dan lainnya telah meminta nasihat dari Rachael Denhollander, advokat dan penulis What Is a Girl Worth?. Mereka telah mendesak para pemimpin RZIM agar membawa Denhollander untuk berkonsultasi tentang tanggapan lembaga pelayanan itu terhadap laporan tersebut dan mengambil langkah lain untuk mengkomunikasikan komitmen yang kuat kepada para korban pelecehan seksual.

Gilman juga telah meminta RZIM untuk membuat pernyataan yang jelas bahwa tuduhan itu tidak batal jika orang-orang melapor setelah orang yang mereka tuduh telah meninggal, karena banyak korban tidak merasa aman sampai saat itu. Tuduhan juga tidak didiskreditkan walaupun si penuduh tetap anonim, katanya.

Twitter @DanielGilmanHQ Kesaksian saksi mata dari wanita yang terpinggirkan tentang seorang pria yang tidak dapat ditanyai adalah inti dari kasus kebangkitan Yesus. Jika kesaksian seperti ini bisa dipercaya, saya harus percaya tuduhan spa terhadap @RaviZacharias.

“Jika proses kami terlihat seperti melindungi Ravi, maka mereka yang memiliki pengaruh dalam pelayanan Kristen dan gereja-gereja, yang melakukan pelecehan seksual terhadap orang-orang yang rentan akan melihat, bahwa mereka dapat lolos begitu saja,” kata Gilman.

Beberapa rekan tim telah meminta agar RZIM memanggil korban lain untuk melapor—dan menjanjikan perlindungan bagi siapa pun yang melakukannya.

“RZIM belum mendapatkan kredibilitas dari para korban,” kata Weitnauer. “Saya berpendapat bahwa jika korban tidak mau berbicara dengan para penyidik, itu akan berdampak buruk bagi RZIM. Itu tidak merugikan kredibilitas mereka. Itu menyerang kredibilitas kami.”

Saran dan rekomendasi tidak diterima dengan baik. Menurut Allberry, telah terjadi "penghindaran, informasi yang salah, dan intimidasi.” Gilman mengajukan pertanyaan tentang bagaimana penyangkalan awal RZIM telah merendahkan korban pelecehan seksual, dan ia diberitahu oleh penyelianya bahwa dia harus mempertimbangkan kembali apakah RZIM masih cocok untuknya. Baker-Hytch menulis surat dan didesak untuk merevisi surat itu atau mengubahnya sebelum akhirnya bocor kepada Roys, yang memposting surat itu secara daring.

Baker-Hytch mengatakan bahwa sebelum pengumuman yang diumumkan sebelum Natal, ada “rasa ketidakberdayaan yang berkembang” di antara anggota-anggota tim yang merasa pertanyaan mereka tidak dijawab atau kekhawatiran mereka tidak ditanggapi dengan serius. Sebagian besar tanggapan tampaknya hanya bermaksud menghindari tanggung jawab.

“Saya tidak terpikir ada yang akan berpikir secara sadar di pikiran mereka, Oh, reputasi Ravi lebih penting daripada korban pelecehan seksual,” kata Baker-Hytch, “tetapi saya pikir itulah kesan yang diciptakan dari kata-kata dan tindakan para pemimpin itu."

Permohonan untuk bersabar

Pimpinan RZIM, untuk hal ini, telah meminta lebih banyak waktu untuk melakukan hal yang benar. Laporan sementara investigasi telah dirilis sebagian sebagai janji transparansi di masa mendatang.

“Kami … mengantisipasi bahwa penyelidikan ini akan menjawab banyak pertanyaan dan kekhawatiran yang diajukan para anggota tim,” tulis Davis dalam email kepada semua staf sebelum pengumuman publik pada 23 Desember, “dan kami berkomitmen untuk membahas hal ini dengan Anda pada waktu yang tepat, setelah penyelidikan selesai.”

Rekan satu tim yang mendorong akuntabilitas lebih lanjut, terkejut dan merasa dikuatkan ketika melihat bahwa RZIM secara resmi mengakui tuduhan-tuduhan itu kredibel, walaupun tetap optimis secara hati-hati tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Meskipun bersyukur bahwa lembaga tidak akan mengeluarkan lebih banyak penyangkalan—dan bahwa mereka tidak akan dialihkan pada pernyataan yang mengabaikan tuduhan yang tak terkendali—mereka masih mendesak RZIM untuk berkomitmen pada tanggung jawab korporat dan perubahan kelembagaan yang serius.

Beberapa rekan tim telah menyarankan para pemimpin dan anggota dewan perlu diberhentikan, lembaga perlu menjauhkan diri dari anggota keluarga Zacharias yang masih hidup, dan RZIM harus menawarkan kompensasi finansial kepada para korban Zacharias. Bagi mereka, mengakui kredibilitas tuduhan dan membuat laporan investigasi publik hanyalah sebuah permulaan.

“Hari ini adalah pembenaran dan pengingat untuk melanjutkan pengejaran kami akan kebenaran,” kata Summers setelah pernyataan 23 Desember. “Berita ini datang terlambat untuk para korban dan ini adalah hal yang saya akan sesali selamanya.”

Penyelidik Miller & Martin masih mewawancarai orang-orang dan mencari petunjuk-petunjuk. Laporan akhir diharapkan selesai dalam beberapa bulan ke depan.

Diterjemahkan oleh: David Alexander Aden

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Books

ISIS Mengeksekusi Pengusaha Kristen yang Diculik di Sinai, Mesir

ISIS Eksekusi Pengusaha Kristen yang Diculik di Sinai, Mesir Keluarga berkabung namun merayakan kemartiran kakek mereka yang membiayai satu-satunya gereja Koptik di kotanya, untuk membangun “rumah di surga.”

Christianity Today May 24, 2021
Gambar: Wilayat Sinai/Tangkapan layar Telegram oleh Christianity Today

ISIS telah mengambil korban seorang Kristen lagi.

Dan Gereja Ortodoks Koptik Mesir telah memperoleh seorang martir lagi.

“Kami memberi tahu anak-anak kami bahwa kakek mereka sekarang telah menjadi orang suci di tempat tertinggi di surga,” kata Peter Salama tentang ayahnya, Nabil Habashi Salama, yang berusia 62 tahun, yang dieksekusi oleh kelompok ISIS di Sinai utara.

"Kami sangat bersukacita untuknya."

Keluarga Salama dikenal sebagai salah satu keluarga Koptik tertua di Bir al-Abd di pesisir pantai Mediterania, Semenanjung Sinai. Nabil adalah seorang pedagang perhiasan, yang juga memiliki toko ponsel dan pakaian di daerah tersebut.

Peter mengatakan ISIS menargetkan ayahnya karena perannya dalam membangun Gereja St. Mary di kota itu.

Dalam video propaganda 13 menit yang baru dirilis berjudul The Makers of Slaughter (atau Epic Battles ), seorang militan mengutip Alquran untuk menuntut penghinaan terhadap umat Kristen dan kesediaan mereka untuk membayar jizya—pajak untuk menjamin perlindungan terhadap mereka.

Nabil Habashi Salama di gereja Ortodoks Koptiknya, Gereja St. Mary, St. Abanoub, dan St. Karas, di Bir al-Abd, Sinai Utara, Mesir.Gambar: Wilayat Sinai/Tangkapan layar Telegram oleh Christianity Today
Nabil Habashi Salama di gereja Ortodoks Koptiknya, Gereja St. Mary, St. Abanoub, dan St. Karas, di Bir al-Abd, Sinai Utara, Mesir.

Nabil diculik lima bulan lalu di depan rumahnya. Saksi mata mengatakan selama perlawanannya, dia dipukuli dengan parah sebelum dilempar ke dalam mobil curian. Bisa jadi orang-orang ini adalah penculik terpisah, karena dalam video yang menampilkan eksekusi Nabil, ia mengatakan bahwa ia ditawan oleh ISIS selama 3 bulan 11 hari.

Pada 18 April, dia ditembak di bagian belakang kepala sambil berlutut.

“Sebagaimana Anda membunuh, Anda akan dibunuh,” ditegaskan dalam video, ditujukan untuk “semua pejuang salib di dunia.”

Pernyataan itu ditujukan kepada semua orang Kristen Mesir, memperingatkan mereka untuk tidak menaruh kepercayaan pada tentara. Dan kaum Muslim yang mendukung negara Mesir disebut “murtad.” Dua warga Sinai lainnya—anggota suku yang bekerja sama dengan militer—juga dieksekusi dalam video tersebut.

Peter Salama mengatakan bahwa dalam upaya menggoyahkan Nabil dari keyakinannya, giginya dirontokkan oleh penculiknya.

Putri Nabil, Marina, ikut memberikan penghormatan.

“Aku akan merindukanmu, ayahku,” tulisnya di Facebook. “Engkau membuat kami bangga selama hidupmu dengan kebajikanmu, dan dalam kemartiranmu dengan iman yang kuat.”

Gereja Ortodoks Koptik mengeluarkan pernyataan resmi, menyebut Nabil sebagai “putra dan pelayan yang setia” yang “memegang teguh agamanya sampai mati.”

Gereja tersebut kemudian menegaskan kembali dukungannya bagi tentara dan negara Mesir. Tindakan seperti itu, katanya, “hanya akan meningkatkan tekad kami … untuk menjaga persatuan nasional kita yang berharga.”

Awal bulan ini Mesir mengumumkan tambahan 82 gereja yang telah disahkan, meningkatkan total jumlah gereja menjadi 1.882 sejak undang-undang korektif disahkan pada tahun 2016.

Tiga militan telah tewas, dengan tiga lainnya sedang dikejar, kata Kementerian Dalam Negeri hari ini, yang menyebut Nabil sebagai seorang “warga negara.”

Namun video dan eksekusi tersebut menimbulkan ketakutan akan aktivitas terbaru dari ISIS setelah periode tenang yang relatif lama. Pada 2017, afiliasi ISIS menembaki Muslim yang shalat di masjid Bir al-Abd, menewaskan lebih dari 300 orang dalam serangan teroris yang paling mematikan dalam sejarah Mesir modern.

Pada tahun yang sama, mereka juga menargetkan orang-orang Kristen yang tinggal di dekat Arish, yang menyebabkan lebih dari 100 keluarga meninggalkan rumah mereka.

Sejak itu, tentara Mesir melancarkan kampanye besar-besaran untuk mengalahkan cabang lokal ISIS, sehingga mereka (ISIS) tidak pernah berhasil merebut dan menguasai wilayah tersebut. Pada 2018, keamanan negara mengumumkan bahwa lebih dari 900 militan tewas.

https://datawrapper.dwcdn.net/v8V2a

Pada tahun 2019, keluarga Kristen perlahan-lahan mulai kembali, meskipun tidak ada yang tahu jumlah pastinya saat berita ini dimuat. Pada tahun 2012, Uskup Ortodoks Koptik Cosman menyatakan ada 740 keluarga Kristen di keuskupan Sinai Utara. Namun sebelum eksodus terjadi, para pejabat gereja menyatakan menyatakan jumlahnya turun menjadi tinggal 160 keluarga.

Saat ini, para wanita memakai penutup kepala agar tidak terlihat sebagai orang Kristen. Setelah memberi tahu pihak berwenang tentang permintaan tebusan sebesar $ 318.000 (Associated Press melaporkan $ 127.000), Peter berkata, pihak keamanan negara menyuruhnya dan keluarganya untuk pindah demi keselamatan.

“Kami hidup dalam penderitaan setelah menutup mata pencaharian kami,” ia berkata kepada penerbitan Koptik Watani .

Dua orang Koptik lainnya, yang diculik di Sinai tahun lalu, baru-baru ini dibebaskan setelah membayar uang tebusan.

“Presiden Sisi secara pribadi telah berkomitmen untuk menggalakkan hidup bersama yang penuh damai di antara umat Kristen dan Muslim di Mesir, dan pemerintahnya telah mengambil beberapa langkah yang sangat membesarkan hati,” kata Mervyn Thomas, presiden Christian Solidarity Worldwide, ketika menyampaikan belasungkawa kepada keluarga Salama.

“[Tetapi] penculikan-penculikan ini … menegaskan bahwa masih banyak hal yang harus dilakukan untuk melenyapkan sektarianisme, melindungi komunitas minoritas, mewujudkan kesatuan masyarakat, dan menegakkan hak asasi manusia yang fundamental bagi semua orang Mesir.”

Sementara itu, presiden Gereja Protestan Mesir mendukung pernyataan Gereja Ortodoks Koptik.

“Bersama dengan negara Mesir, kami akan menghadapi semua tantangan dan kejahatan dengan penuh semangat,” kata Andrea Zaki kepada CT, “dan kami akan selalu dan selamanya menegaskan kesatuan kami yang otentik sebagai warga Mesir.”

Peter Salama, di lain pihak, berfokus pada keabadian.

“Jangan mengira saya membangun gereja ini untuk di dunia ini,” Peter mengenang perkataan ayahnya, Nabil. “Saya sedang membangun untuk diri saya sebuah rumah di surga.”

Dan kedamaian inilah yang memungkinkan Nabil memberi tahu putranya sebelum eksekusinya, ketika di bawah tekanan para penculiknya:

“Semuanya baik-baik saja, terima kasih Tuhan.”

Diterjemahkan oleh: George Hadi Santoso

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube