Mengapa Kenaikan Kristus Itu Penting?

Kembalinya Yesus ke surga bukanlah sebuah kepergian yang janggal tetapi klimaks dari kisah penebusan kita.

Christianity Today May 30, 2022
Suntingan oleh Christianity Today / Sumber Gambar: WikiMedia Commons

Untuk waktu yang lama, saya tidak pernah benar-benar memahami Kenaikan Yesus.

Bagi saya, pertanyaan para murid dalam Kisah Para Rasul 1:6 tampak sangat masuk akal. Mengapa Yesus harus pergi? Mengapa tidak membawa kepenuhan Kerajaan Allah saat itu juga, dan mulai membenahi semuanya? Jika Yesus masih ada di dunia, bukankah itu akan menjadi aset yang besar bagi pelayanan kita di dalam misi dan apologetika?

Sebagaimana yang ditunjukkannya, Kenaikan Yesus mempertontonkan langsung keraguan tergelap para skeptis tentang narasi Injil. Betapa nyamannya, Mesias yang telah bangkit itu menghilang tanpa menunjukkan diri-Nya kepada siapa pun selain kepada teman-teman dan keluarga-Nya!

Meski demikian, Alkitab dengan gigih menolak untuk setuju terhadap sensibilitas saya. Bukannya memperlakukan Kenaikan Yesus sebagai sebuah kepergian yang janggal untuk menjelaskan mengapa Yesus tidak ada lagi, Kitab Suci justru membicarakannya sebagai bagian penting dari rencana Allah. Hal itu bukan hanya perlu, melainkan bahkan para murid menyebutnya sebagai sebuah bukti yang primer dari identitas kemesiasan Yesus.

Alih-alih mencoba menjelaskan ketidakhadiran-Nya, mereka malah menggembar-gemborkannya dengan penuh semangat. Kenaikan Yesus berdiri pada pijakan yang sama dengan Penyaliban dan Kebangkitan dalam pernyataan Injil yang paling awal (Kis. 2:33–36; 3:18–21; 5:30–31).

Bahkan Yesus sendiri menghubungkan Kenaikan-Nya dengan karya kematian dan kebangkitan-Nya. Ketika Maria Magdalena melihat Dia di taman setelah kebangkitan-Nya, Dia tidak berjalan-jalan saja, menikmati kenyataan bahwa semuanya telah tercapai. Tidak, Dia adalah seorang pria yang sedang dalam misi, dan masih ada yang lain: “Janganlah engkau memegang Aku, sebab Aku belum pergi kepada Bapa” (Yoh. 20:17).

Namun dalam pengalaman saya di gereja-gereja Injili, saya jarang mendengar Kenaikan Yesus dikhotbahkan dengan penekanan yang hampir sama dengan Salib atau kubur yang kosong.

Dalam mencoba menjelaskan Kenaikan Yesus, para teolog dengan cepat menunjukkan hal-hal yang dilakukan Yesus sesudahnya: ini adalah pintu gerbang menuju tugas keimaman-Nya untuk bersyafaat, suatu prasyarat untuk mengirim Roh Kudus-Nya, dan permulaan pemerintahan surgawi-Nya. Itu semua benar.

Namun, saya tidak pernah mengerti mengapa Yesus harus pergi untuk melakukan hal-hal itu. Bersyafaat, mencurahkan Roh, dan bahkan memerintah—semua ini dapat diwujudkan dalam pelayanan Mesias yang mulia dan benar itu di dunia. Jadi kenapa Dia harus pergi?

Teologi biblika menawarkan kepada kita jawaban yang sangat jelas untuk pertanyaan itu, jawaban yang memungkinkan kita untuk melihat Kenaikan Yesus dalam konteks yang tepat. Kenaikan Yesus bukanlah tindakan menghilang yang janggal yang dilakukan Yesus di bagian akhir—seperti seorang pesulap yang menyelesaikan pertunjukannya dalam kepulan asap—tetapi peristiwa ini merupakan batu penjuru dari semua yang telah Ia lakukan dalam kesengsaraan-Nya.

Kenaikan Yesus merupakan tindakan kemenangan yang memahkotai pelayanan Kerajaan dan keimaman Mesias: di mana keturunan Daud naik takhta untuk memerintah, dan sang imam besar agung menyelesaikan persembahan kurban pendamaian.

Pertama, pertimbangkan dari sisi kerajaan. Kenaikan Yesus tampaknya merupakan penggenapan yang tepat dari visi kenabian di Daniel 7:13-14. Dalam visi tersebut, Sang Anak Manusia, dikelilingi awan, mendekati takhta Yang Lanjut Usianya dan diberikan kekuasaan kerajaan yang kekal. Perhatikan bahwa nubuatan itu tidak menunjukkan pemerintahan Mesias dimulai dengan pemerintahan duniawi, melainkan secara khusus dimulai dengan pemerintahan surgawi.

Jika Yesus tetap tinggal di bumi dan mencoba untuk mengklaim kedudukan-Nya sebagai raja, maka Ia tidak mungkin adalah Mesias—karena Anak Manusia yang sejati telah dinubuatkan akan naik ke hadirat Allah, untuk diberikan pemerintahan-Nya.

Peristiwa Kenaikan adalah penobatan kemenangan raja mesianik. Yesus telah melakukan apa yang diharapkan untuk dilakukan oleh raja-raja yang baik di dunia zaman kuno: Dia telah menyelamatkan umat-Nya dari musuh-musuh mereka. Ia telah mengalahkan kuasa dosa, Iblis, dan maut, dan kini Dia naik ke atas takhta—sama seperti para raja keturunan Daud pada zaman dahulu yang kembali ke Yerusalem setelah kampanye militer yang sukses.

Setelah menyelesaikan tindakan rajawi ini, Yesus mendekati Yang Lanjut Usianya dan dimahkotai dengan kemegahan dan kehormatan. Dan meskipun kita masih menantikan kedatangan-Nya kembali, bersama dengan manifestasi yang penuh dan final dari pemerintahan-Nya, namun pemerintahan itu telah dimulai.

Sekarang Ia berada di atas takhta, duduk di sebelah kanan Bapa, dan tanda-tanda yang diharapkan dari zaman mesianik sedang digenapi di depan mata kita: Roh telah dicurahkan dan bangsa-bangsa mulai mengarahkan hati mereka pada penyembahan kepada Allah Israel.

Sederet gambaran alkitabiah yang lebih menarik bahkan menghubungkan Kenaikan Yesus dengan karya keimaman Sang Mesias. Orang Kristen mula-mula menganggap kematian Yesus di kayu salib sebagai pengorbanan untuk pendamaian (Rm. 3:25), suatu tindakan di mana dosa-dosa kita sepenuhnya dan akhirnya diampuni.

Namun, jika dilihat dari konteks budaya bait suci Israel, hal ini akan mengejutkan sebagian besar orang percaya Yahudi sebagai sesuatu yang tidak lengkap untuk mengatakan bahwa Salib adalah satu-satunya yang ada untuk ritual pengorbanan Yesus. Seperti yang diketahui siapa pun juga di zaman dunia kuno, pendosa yang bertobat membutuhkan langkah lebih lanjut dalam ritual pendamaian: kurban untuk dibunuh dan imam besar untuk membawa darah korban ke hadirat Allah.

Paralel yang paling jelas adalah ritual tahunan Hari Pendamaian, ketika kurban penebus dosa umat dibunuh di altar besar di luar pintu bait suci. Tetapi itu hanya bagian pertama dari ritual tersebut. Bagi telinga orang Yahudi, klaim bahwa hanya Penyaliban sajalah yang merupakan ritual kurban pendamaian akan terdengar seperti mengatakan bahwa kurban telah disembelih di atas mezbah dan tidak lebih dari itu.

Bagaimana dengan langkah selanjutnya dari ritual tersebut? Sang imam besar harus mengambil darah kurban itu dan menaiki tangga bait suci—untuk masuk ke tempat kudus Tuhan yang dikelilingi dengan asap ukupan yang mengepul (Im. 16:11-13).

Imam besar akan naik memasuki kepulan asap tersebut, menghilang dari pandangan orang banyak yang menyaksikan di pelataran bait suci, dan kemudian ia melanjutkan masuk ke Ruang Mahakudus. Di sana, di hadapan Tuhan, sang imam besar akan mempersembahkan darah korban, menyelesaikan ritual penebusan dosa dan bersyafaat bagi umat Allah. Kemudian ia akan muncul, turun kembali melewati kepulan asap ukupan itu, dengan cara yang sama seperti ia masuk dengan dilihat oleh orang banyak, dan membawa jaminan keselamatan kembali kepada umat Allah.

Inilah tepatnya yang terjadi dalam kenaikan Yesus ke surga, sebagaimana yang dikatakan oleh penulis kitab Ibrani. Ibrani 6–10 melukiskan gambaran peristiwa yang terjadi ketika Yesus masuk ke hadirat Allah, yang merupakan penggambaran pada Hari Pendamaian untuk memperlihatkan Yesus, baik sebagai kurban maupun sebagai yang mempersembahkan kurban. Sementara Ruang Mahakudus hanya menjadi representasi duniawi dari realitas surgawi, Yesus memasuki inti realitas itu—ke hadirat Bapa.

Implikasi teologisnya di sini adalah bahwa Kenaikan Yesus adalah langkah penting berikutnya dalam ritual pendamaian setelah Salib. Ini tidak menyiratkan kekurangan apa pun pada karya keselamatan yang Yesus lakukan di kayu salib—ini hanya menyiratkan bahwa pengorbanan yang telah selesai itu memang harus selalu diikuti dengan langkah lain dalam proses tersebut, yaitu membawa pengorbanan-Nya ke dalam Ruang Mahakudus yang sejati.

Bukan hanya orang Ibrani saja yang melukiskan gambaran ini. Jika Anda tahu apa yang Anda cari, Anda dapat melihat simetri keimaman di sebagian besar penggambaran tentang Kenaikan Yesus. Kenaikan Yesus didahului dengan periode 40 hari (Kis. 1:3), sama seperti Hari Pendamaian dalam tradisi kerabian Yahudi.

Sebelum Ia naik ke surga, Yesus mengangkat tangan-Nya untuk memberkati para murid-Nya, dan kemudian naik ke hadirat Allah (Luk. 24:50–51)—yang merupakan rangkaian tindakan yang sama yang dilakukan Harun sebelum memasuki tabernakel untuk menyelesaikan ritual pengorbanan agung yang pertama (Im. 9:22-23).

Penyebutan secara khusus tentang awan di mana Yesus menghilang (Kis. 1:9) menggemakan baik nubuatan Daniel tentang Anak Manusia maupun gambaran visual pada Hari Pendamaian. Jika Yesus adalah Imam Besar Agung yang mempersembahkan kurban di tabernakel surgawi, maka Ia harus naik ke surga untuk melakukan peran tersebut.

Perspektif ini menambahkan lapisan makna yang baru pada periode sejarah kita saat ini. Ritual Hari Pendamaian bukan hanya soal naik ke bait suci dan hadirat Tuhan, tetapi juga tentang datang kembali lagi. Karena itu, masa ketidakhadiran Yesus saat ini merupakan periode pelayanan imamat-Nya yang aktif, seiring Ia terus menjadi perantara bagi kita di hadirat Allah Bapa.

Demikian pula, janji kedatangan Yesus yang kedua kali bukanlah suatu peristiwa masa depan yang berdiri sendiri, melainkan peristiwa puncak yang telah lama dinantikan atas segala sesuatu yang telah Ia lakukan, seperti yang digambarkan dalam ritual keimaman zaman kuno (Ibr. 9:24-28 ). Dengan demikian, narasi menghilang-dan-datang kembali dari peristiwa Kenaikan dan Kedatangan Yesus yang kedua kali tidak lagi menjadi sesuatu yang janggal atau mengejutkan. Sebaliknya, dalam terang Kitab Suci, justru itulah yang diharapkan untuk dilakukan oleh Mesias.

Agar Yesus menjadi Raja mesianik sejati—yang dinubuatkan datang untuk mengalahkan musuh umat manusia dan kembali untuk mengklaim takhta-Nya seperti yang dijelaskan dalam Daniel 7—maka Ia harus naik. Agar Yesus menjadi Imam Besar Agung, yang digambarkan dalam ritual bait suci Israel, ia harus menyelesaikan ritual tersebut dengan membawa kurban-Nya ke hadirat Allah.

Kenaikan Yesus bukan sekadar catatan kaki bagi narasi Injil; peristiwa ini bukanlah ketidakhadiran yang janggal untuk dijelaskan. Kenaikan Yesus tidak kurang klimaks dari kesengsaraan Mesias—dan ini merupakan persiapan untuk akhir dari karya penebusan-Nya yang agung.

Matthew Burden adalah kandidat PhD dalam teologi dan penulis Who We Were Meant to Be dan Wings over the Wall. Ia menggembalakan sebuah gereja di Maine bagian timur, di mana dia tinggal bersama istri dan tiga anaknya.

Diterjemahkan oleh: Maria Fennita S.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Instagram.

Books

Gereja Lansia Taiwan di California Diserang oleh Penembak

Para anggota jemaat menunjukkan “kepahlawanan dan keberanian yang luar biasa” saat mereka mengejar pria bersenjata itu, yang menewaskan satu orang dan melukai lima orang lainnya.

Seorang pria bersenjata menyerang jemaat gereja Presbiterian Taiwan yang berkumpul di Geneva Presbyterian Church di Laguna Woods, California, pada hari Minggu.

Seorang pria bersenjata menyerang jemaat gereja Presbiterian Taiwan yang berkumpul di Geneva Presbyterian Church di Laguna Woods, California, pada hari Minggu.

Christianity Today May 28, 2022
Ringo Chiu / Getty Images

Makan siang hari Minggu untuk merayakan kedatangan mantan pendeta gereja Taiwan di California tersebut berakhir dengan “kesedihan dan ketidakpercayaan” ketika seorang pria bersenjata melepaskan tembakan, menewaskan satu orang dan melukai lima orang lainnya.

Datang berkunjung dari Taiwan, pendeta lama dari Irvine Taiwanese Presbyterian Church ini merobohkan si penembak, mencegah penyusup itu memuat ulang senjatanya agar tidak menembaki lebih banyak jemaat yang sudah lansia, menurut catatan berita. Kemudian para anggota jemaat menggunakan kabel ekstensi untuk mengikat si penembak dan melucuti senjatanya.

Insiden ini terjadi di Geneva Presbyterian Church di Laguna Woods, California, yang menjadi tempat pertemuan jemaat Taiwan selama dekade terakhir.

Makan siang hari Minggu—sebuah tradisi yang tertunda selama pandemi—dilanjutkan untuk menghormati kembalinya pendeta lama mereka, Billy Chang. Menurut Los Angeles Times, Chang telah menggembalakan Irvine Taiwanese Presbyterian selama 21 tahun dan pergi pada tahun 2020 untuk memimpin sebuah gereja di Taiwan.

Pihak berwenang mengatakan 30 hingga 40 orang anggota jemaat sedang berkumpul ketika tersangka, seorang pria Asia berusia 60-an, melepaskan tembakan dengan dua pistol. Pendeta yang saat ini menggembalakan gereja tersebut, yaitu Albany Lee, mengatakan kepada The New York Times bahwa tidak ada yang mengenali penembaknya dan pendeta yang sedang berkunjung itulah yang berhasil menaklukkannya. Beberapa akun menggambarkan Chang memukul pria bersenjata itu dengan kursi.

Penegak hukum Orange County memuji respons jemaat sebagai hal yang memperlihatkan “kepahlawanan dan keberanian yang luar biasa” yang mencegah situasi menjadi lebih buruk.

Pada hari Senin, kepala polisi menyebut serangan itu sebagai “insiden kebencian bermotif politik” dan mengatakan bahwa si tersangka—David Chou, seorang Tionghoa Amerika dari Las Vegas—memiliki permusuhan terhadap komunitas Taiwan. Pihak berwenang pun membuka penyelidikan kejahatan kebencian federal.

John Cheng tewas di tempat setelah melancarkan aksinya untuk menghentikan Chou dan ditembak beberapa kali. Cheng, seorang dokter berusia 52 tahun, hari itu menemani ibunya ke gereja.

Empat korban berada dalam kondisi kritis pada hari Minggu. Satu korban mengalami luka ringan. Korban tertua berusia 92 tahun.

“Ada begitu banyak kesedihan dan ketidakpercayaan di antara jemaat,” kata anggota dewan Yorba Linda yang bernama Peggy Huang, yang merupakan orang Taiwan Amerika, dalam Orange County Register. “Ini seharusnya menjadi momen yang menggembirakan.”

Foto spanduk di situs web Irvine Taiwanese Presbyterian Church menggambarkan sekitar 150 anggota jemaat berpose di depan gereja mereka, hampir semuanya sudah berusia lanjut dan beruban. Sebagian besar penduduk Laguna Woods tinggal di komunitas pensiunan yang disebut Laguna Woods Village.

Gereja Presbiterian di Taiwan adalah denominasi terbesar di pulau itu, dan beberapa gereja imigran Taiwan di AS berasal dari tradisi gereja Presbiterian.

Baik Geneva Presbyterian Church maupun Irvine Taiwanese Presbyterian terdaftar sebagai bagian dari Presbyterian Church (USA) Los Ranchos Diocese, yang mencakup 44 gereja dalam delapan bahasa. Irvine Taiwanese Presbyterian Church dengan bangga terus melakukan pelayanan dalam bahasa Taiwan.

“Kami memakai bahasa dan budaya kami sendiri untuk menyembah Tuhan,” demikian pesan di situs gereja dari Lee. “Meskipun kami tidak memiliki gedung gereja sendiri, kami berterima kasih kepada Geneva Presbyterian Church atas kemurahan hati mereka,yang sudah mengizinkan kami untuk berbagi fasilitas mereka.”

Irvine Taiwanese Presbyterian Church adalah keluarga yang penuh kasih,” tulis pendeta itu. “Saya berharap semua saudara saudari dapat berkenalan satu sama lain pada level yang lebih dalam.”

Seorang anggota gereja dari Evangelical Formosan Church of Irvine mengatakan kedua gereja tersebut telah berbagi keluarga dan pemimpin.

Serangan itu terjadi sehari setelah penembakan massal di sebuah toko kelontong Buffalo, New York, dan beberapa bulan setelah insiden mematikan lainnya di sebuah gereja California.

Bagi warga Amerika keturunan Taiwan, tragedi itu terjadi di tengah kekhawatiran yang terus berlanjut akan keselamatan—khususnya bagi para lansia—di tengah kekerasan anti-Asia selama pandemi .

“Ya Tuhan, kasihanilah. 1 tewas, 5 terluka di sebuah gereja Taiwan hari ini di Laguna Woods, California,” cuit Michelle Ami Reyes, wakil presiden Asian American Christian Collaborative. “Pembawa citra Asia yang berharga lainnya kini kehilangan nyawa secara tragis. Berapa banyak penembakan yang akan kita saksikan bulan ini?”

Faith Based Security Network telah melacak lebih dari 500 serangan fatal di gereja-gereja dari tahun 1999-2018, dan jumlah insiden setiap tahun terus meningkat.

“Gereja-gereja dimaksudkan untuk menjadi tempat perlindungan yang aman dari kebencian dan kekerasan,” kata jaksa wilayah Orange County, Todd Spitzer. “Ketenangan itu dihancurkan sore ini oleh seorang pria bersenjata yang melepaskan kekejaman yang tak terkatakan di sebuah rumah ibadah.”

Berita ini telah diperbarui.

Diterjemahkan oleh: Maria Fennita S.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Telegram.

Jangan Mengharapkan Kepuasan Instan dari ‘Saat Teduh’ Anda

Meluangkan waktu lima belas menit untuk membaca Alkitab mungkin tidak akan mengubah hari-hari Anda secara langsung, tetapi hal ini akan menghasilkan buah pada waktu yang tepat.

Christianity Today May 24, 2022
Ilustrasi oleh Rick Szuecs / Sumber gambar: Ales Krivec / Nathan Dumlao / Unsplash

Ketika ATM pertama kali dipasang di kampung halaman saya pada tahun 1980-an, rasanya bagai keajaiban: Masukkan kartu Anda, ambil langsung uangnya.

Sejak saat itu, hampir di setiap area kehidupan, kami belajar menyukai saat di mana kami tidak harus menunggu. Pesanan produk tiba di depan pintu dalam waktu sehari. Pesanan makanan tiba dalam hitungan menit. Film, buku, dan musik dapat langsung muncul di perangkat kami.

Ini luar biasa. Dan juga layak dipertimbangkan dengan hati-hati. Pengiriman yang cepat mengajarkan kita bahwa menanti adalah musuh yang harus dilenyapkan, sesuatu yang menghalangi kita mendapatkan apa yang kita inginkan. Dengan setiap perkembangan yang lebih cepat dan nyaman, kita melemahkan kemampuan kita untuk menanti.

Namun mampu untuk menanti jelas adalah bagian dari kekristenan. Bahkan, ini adalah tanda kedewasaan Kristen. Alkitab berbicara tentang menanti-nantikan Tuhan, tentang ketabahan, dan tentang menghasilkan buah rohani yaitu kesabaran. Sementara sebagian besar kita menyadari bahwa kepuasan instan adalah habitat yang kita huni, hanya sedikit orang yang bisa menilai bagaimana “pengalaman tanpa menunggu” dapat membentuk kita secara rohani—khususnya, bagaimana hal itu bisa membentuk pendekatan kita terhadap Alkitab.

Ketika saya kira-kira berada di kelas empat, saya diajari disiplin rohani tentang meluangkan “waktu dalam firman Tuhan.” Seperti banyak orang, saya didorong untuk memiliki “saat teduh,” 15 atau 20 menit untuk membaca Kitab Suci, sebaiknya dilakukan di pagi hari (karena, Anda tahu, Yesus bangun pagi-pagi). Praktik ini seharusnya mengkalibrasi hari saya, agar mengisi tangki rohani saya untuk menghadapi apa pun yang akan terjadi di hari itu.

Pesan yang mendasarinya: _Lakukanlah saat teduh, semoga harimu menyenangkan. Lewatkanlah saat teduh, semoga beruntung._ Kombinasikanlah pemikiran tersebut dengan kecenderungan akan kepuasan instan, maka saya pun mulai mengalami saat teduh yang tidak menghasilkan kehangatan emosional atau gagal merasakan kedamaian.

Saya perlahan menjadi terbiasa untuk menghabiskan waktu dalam firman yang lebih bersifat transaksional daripada formasional. Dan itu menjadi waktu untuk mendapatkan apa yang saya inginkan, kapan pun saya menginginkannya, persis seperti apa yang saya inginkan. Dan rasanya saya tidak sendirian.

Waktu di dalam firman dimaksudkan tidak hanya bersifat memberi informasi (informasional) atau inspirasi (inspirasional), tetapi juga untuk membangun hubungan (relasional).

Salah satu bentuk frustrasi paling umum yang saya dengar adalah bahwa meskipun sudah bersaat teduh setiap hari, orang Kristen tetap merasa Tuhan itu jauh. Dan menilai dari meluasnya kebutahurufan Alkitab di gereja, saat teduh kita setiap hari mungkin tidak menghasilkan efek formatif yang kita harapkan.

Ketika kita memikirkan saat teduh sebagai transaksional, kita memperlakukan Kitab Suci sebagai rekening debit yang memberi kita makna atau perasaan sesuai jadwal kita. Setiap hari kita memasukkan kartu debit kita dan menarik inspirasi selama 15 menit.

Sebaliknya, kita seharusnya mengambil perspektif rekening tabungan, di mana kita menabung dengan setia, menginvestasikan diri kita selama berhari-hari dan berminggu-minggu serta bertahun-tahun tanpa mengharapkan hasil emosional atau intelektual secara langsung.

Jika kita tetap berpegang pada pendekatan rekening debit, kita akan dengan sangat berhati-hati menghindari bagian-bagian Kitab Suci yang membutuhkan waktu lebih lama untuk dipahami, atau kita akan menafsirkannya dengan tidak tepat untuk memenuhi harapan kita yang salah agar ayat-ayat tersebut sesuai dengan keinginan kita. Kita akan lebih memilih membaca renungan daripada membaca Alkitab secara langsung.

Sebaliknya, mentalitas rekening tabungan memahami bagaimana caranya menunggu. Mentalitas ini tabah dan sabar. Mentalitas ini paham bahwa tabungan harian yang disimpan dengan setia benar-benar akan menghasilkan buah pada musimnya. Pada waktu yang tepat.

Jika Anda pernah berjalan melewati lembah pencobaan, Anda tahu bagaimana rasanya menemukan simpanan yang dikumpulkan dengan setia selama bertahun-tahun yang menghasilkan dividen. Pendekatan jangka panjang yang sabar adalah kuncinya. Kitab Yehezkiel mungkin tidak membuat hari Anda menjadi lebih baik, tetapi mungkin melalui kitab ini Anda memperoleh topangan dalam menghadapi pencobaan yang panjang jika saja Anda meluangkan waktu untuk membacanya pada saat teduh Anda. Keuntungan formasional dari menghabiskan waktu di dalam firman Tuhan lebih mungkin muncul selama 15 tahun daripada 15 menit.

Waktu di dalam firman dimaksudkan tidak hanya bersifat informasional atau inspirasional, tetapi relasional. Hal ini melatih kita untuk mendengarkan suara Tuhan dalam firman-Nya, dan mengajari kita tentang siapa Dia. Ini adalah waktu di mana Tuhan mengundang kita untuk bercakap-cakap dalam rangka menjalin hubungan.

Seperti dalam hubungan apa pun, waktu berkualitas sangatlah penting. Tetapi waktu berkualitas adalah fungsi dari waktu berkuantitas yang terjadi secara teratur. Waktu ini tidak memberi kita apa yang kita mau ketika kita menginginkannya dan persis seperti yang kita inginkan. Kita tidak dapat menjadwalkannya atau menuntutnya. Hal ini terjadi sesuai dengan jadwalnya sendiri dan sering kali di saat yang tidak kita duga.

Jangan membeli kepuasan instan, yaitu perspektif rekening debit yang berpandangan bahwa Anda berhutang kemenangan yang terukur, wawasan yang mendalam, atau perasaan hangat karena waktu berkualitas harian Anda dengan Tuhan.

Sebaliknya, pertimbangkanlah agar saat teduh Anda menjadi suatu kontribusi harian ke rekening tabungan dari waktu berkuantitas. Relasi diperdalam dan berkembang seiring dengan kesabaran dan ketabahan. Saat Anda menghabiskan Anda di dalam firman, nantikanlah Tuhan.

Jen Wilkin adalah seorang istri, ibu, dan pengajar Alkitab. Dia adalah penulis dari Women of the Word dan None Like Him . Cuitannya di @jenniferwilkin.

Diterjemahkan oleh: Janesya Sutedjo

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Telegram.

Mengasihi Gereja Anda Dalam Keterbatasannya

Menerima kekurangan jemaat adalah kunci untuk mengembangkan kekuatannya.

Christianity Today May 20, 2022
Ilustrasi oleh Michael Marsicano

Gereja bisa menjadi sangat mengecewakan. Kita ingin gereja menjadi sehat dan bersemangat, bertumbuh dan giat bermisi, setia dan murah hati, tetapi kita sering kali melihat lebih banyak masalah daripada kemenangan, lebih banyak ketakutan daripada keberanian, dan lebih banyak kelemahan daripada kekuatan di dalam jemaat lokal kita. Kita tidak selalu menjadi kumpulan orang-orang yang menarik.

Ketika kita melihat ke luar tembok gereja, kita melihat begitu banyak kebutuhan di masyarakat sekitar dan di seluruh dunia: Kita ingin menolong orang-orang miskin, mewartakan Injil, melawan ketidakadilan, mendukung keluarga-keluarga yang sedang bergumul—ini menjadi sebuah daftar yang tidak ada habis-habisnya. Imajinasi kita menjadi bersemangat dengan apa yang dapat dicapai oleh gereja, tetapi kemudian kita sering merasa kecewa dengan betapa sedikitnya pekerjaan kita sebenarnya. Apakah kita ditakdirkan untuk terus-menerus dikecewakan oleh gereja kita?

Setiap gereja memiliki keterbatasan dan tantangan: Lokasi fisik, keuangan, jejaring yang terbatas, dan sejarah, semua itu membentuk setiap gereja. Pandemi COVID-19 yang panjang telah meningkatkan kesulitan bagi banyak jemaat, mengakibatkan lebih sedikit keterlibatan gereja dan lebih banyak tantangan kesehatan mental, lebih sedikit hubungan relasional dan lebih banyak polarisasi politik.

Jika kita jujur, itu semua bisa membuat kita merasa putus asa. Tetapi bagaimana jika, alih-alih melihat keterbatasan gereja semata-mata sebagai penghalang, kita mulai melihatnya sebagai tanda dari pekerjaan dan janji Tuhan? Bagaimana jika mengenali keterbatasan kita dapat memupuk kasih, komunitas nyata, dan misi yang sehat? Saya bersedia mendukung hal itu. Berikut ini tiga prinsip yang dapat membantu kita menghindari romantisisme, membuka mata kita untuk melihat karya Tuhan yang lebih besar, dan membuat kita berpegang pada janji-janji Tuhan.

Realitas vs. romantisisme

Menyadari keterbatasan gereja menambatkan kita pada kenyataan di sekitar kita dan mencegah ilusi romantis. Bertahun-tahun yang lalu, seseorang memberi tahu saya tentang seorang pria yang berkencan dengan banyak wanita tetapi putus terus dengan mereka. Salah satu wanita tersebut sangat pintar tetapi tidak bisa santai. Yang lainnya cantik tetapi punya selera humor yang menyebalkan. Yang satu lagi memiliki karier yang luar biasa tetapi tidak memiliki minat intelektual yang sama. Demikian terus-menerus seperti itu. Pria ini memiliki gambaran mental tentang wanita yang sempurna, tetapi wanita yang demikian adalah manusia super, bukan wanita sejati. Apa hasil dari pemikirannya? Bukannya menemukan cinta sejati dengan orang yang nyata, ia malah melangkah di jalan kesepian dan kekecewaan.

Demikian pula, kita sering menciptakan gambaran yang mustahil tentang gereja. Beberapa gereja memiliki musik yang luar biasa atau program yang mengesankan, dan kita menginginkannya untuk gereja kita. Gereja-gereja lain mengajari anak-anak di lingkungan sekitar, mendukung tempat penampungan tunawisma, atau mencarikan pekerjaan untuk para pengangguran, dan kita juga menginginkannya. Kita mendengar tentang pengkhotbah yang berbakat, pendeta yang tahu bagaimana benar-benar hadir bagi orang yang sakit dan lanjut usia, dan jemaat yang sangat beragam, sementara jemaat kita sendiri kehilangan sebagian atau semua itu. Setiap gereja lokal memiliki situasi yang unik dari keadaan-keadaan ini dibanding itu, dan akibatnya gereja melakukan yang ini tetapi tidak yang itu — dan, tentu saja, kita lebih sering berfokus pada yang itu dan akhirnya merasa kecewa terus-menerus.

Pada tahun 1930-an, teolog muda dari Jerman, Dietrich Bonhoeffer, sedang mempersiapkan para pendeta untuk pelayanan. Mereka dilatih sambil berbagi hidup bersama, dan dalam prosesnya, ia menunjukkan kepada mereka bagaimana struktur sosial memengaruhi kehidupan gereja. Misalnya, seorang tokoh karismatik mungkin mudah menggerakkan orang untuk bertindak, tetapi penyalahgunaan daya tarik itu dapat merusak kehidupan komunitas yang sehat.

Bonhoeffer menekankan bahwa tidak banyak yang lebih mematikan bagi komunitas Kristen daripada pandangan romantis tentang kehidupan bersama. Ide-ide yang tidak realistis mudah memutuskan kita dari komunitas kita yang sebenarnya. “Mereka yang mencintai impian mereka tentang komunitas Kristen lebih dari komunitas Kristen itu sendiri menjadi perusak komunitas Kristen itu meskipun niat pribadi mereka mungkin sangat jujur, sungguh-sungguh, dan rela berkorban,” Bonhoeffer mengamati dalam Life Together.

Salah satu tindakan yang paling menyembuhkan dan menguatkan yang dapat dilakukan pendeta untuk jemaatnya adalah lebih menghargai orang-orang yang telah Tuhan percayakan di gerejanya. Karena Allah yang meletakkan dasar dan mempersatukan tubuh-Nya di dalam Kristus, Bonhoeffer menekankan, “kita masuk ke dalam kehidupan bersama dengan orang Kristen lainnya, bukan sebagai orang yang menuntut, melainkan sebagai orang yang menerima dengan penuh syukur.” Bagi sebagian orang, menyusun rencana dan visi yang mengesankan jauh lebih mudah daripada panggilan Paulus untuk membuka hati kita kepada orang-orang yang menjengkelkan di sekitar kita—tetapi kita harus melebarkan hati kita (2Kor. 6:11, 13). Tuhan mengirimkan kasih karunia-Nya untuk semua orang yang datang, dan Ia mengajarkan kita untuk mendengarkan cerita kehidupan satu sama lain dengan penuh minat, untuk saling menopang dalam kepiluan yang kita alami, dan untuk menemukan karunia dan panggilan kita masing-masing.

Orang-orang ini, yang dikumpulkan di sini dan saat ini oleh Tuhan, datang bukan dengan kekuatan atau kesempurnaan, melainkan dengan kebutuhan mereka untuk menyembah Kristus. Komunitas ini adalah tempat di mana Anda dapat bergerak melampaui model hipotetis gereja menuju suatu kehidupan yang saling memberi dan menerima anugerah, pengampunan, dan kasih yang mendalam. Kita adalah sekelompok orang yang asing dan canggung yang tidak selalu bisa berbaur secara alami, tetapi keasingan dan kecanggungan itu adalah karunia dari Tuhan, dan mengabaikannya berarti melukai diri kita dan orang lain dalam kelompok kita. Keterbatasan dan kebersamaan kita adalah bagian dari panggilan Tuhan untuk melayani orang-orang di kelompok kita ini di sini, dan merupakan bagian tak terpisahkan dari karya-Nya yang memampukan kita untuk melakukannya.

Diperlengkapi secara unik

Menyadari keterbatasan gereja membebaskan kita untuk fokus pada pekerjaan yang Tuhan percayakan untuk gereja lakukan, seraya juga menghargai pekerjaan kerajaan Allah yang lebih besar yang Tuhan lakukan di luar gereja kita. Kita semua pernah melihat anak-anak yang, setelah menerima hadiah Natal, kemudian memerhatikan mainan yang didapat anak lain dan memutuskan bahwa mainan itu adalah yang mereka inginkan. Sama halnya kita semua dapat membayangkan betapa indahnya hidup jika memiliki bakat atau sumber daya seperti yang dimiliki orang atau gereja lain. Ini berlaku bagi kita, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok. Dan ketika banyak hal menjadi penuh tantangan bagi para pemimpin gereja, kita bahkan menjadi semakin sulit untuk melihat hal-hal baik yang telah Tuhan berikan, karena kita merasa kewalahan dengan kesulitan dan kekecewaan. Mungkin kita perlu dorongan semangat untuk kembali melihat dengan anugerah.

Sebagai direktur inovasi di The Chalmers Center, istri saya, Tabitha, bekerja sama dengan gereja-gereja dan organisasi Kristen yang nonprofit untuk membantu mereka melayani komunitas dan khususnya melayani orang yang miskin secara materi. Salah satu prinsip yang ia ajarkan adalah bahwa alih-alih memulai proyek pelayanan dengan melihat apa yang dibutuhkan masyarakat, kita harusnya lebih sering memulai dengan melihat karunia-karunia dari komunitas atau seseorang yang bisa diterapkan pada situasi tersebut. Ketika sebuah pelayanan lebih didorong oleh keyakinan si penderma bahwa bantuan itu dibutuhkan, daripada didorong oleh kesadaran yang tulus akan kemampuan mereka yang sebenarnya, maka orang-orang sering kali berakhir dengan tersakiti daripada tertolong.

Semua orang—baik kaya ataupun miskin, berpendidikan atau tidak, gereja besar atau kecil—semuanya memiliki karunia. Namun yang menjadi tujuannya adalah untuk mencari tahu apa yang telah diberikan Tuhan secara khusus dan bagaimana Ia telah memperlengkapi kelompok orang tertentu ini, dan kemudian memelihara serta menggunakan karunia-karunia itu untuk pelayanan dalam kerajaan Tuhan.

Sebagai contoh, salah satu gereja yang bekerja sama dengan Tabitha ingin mengakhiri kelaparan anak di kota mereka—sebuah keinginan yang tulus dan memuliakan Tuhan—tetapi dari penilaian yang cermat menunjukkan bahwa jemaat tersebut belum memiliki keterampilan atau pengetahuan yang dibutuhkan untuk pelayanan semacam itu. Ini mungkin terdengar mengecewakan, tetapi tidak bagi gereja ini. Penilaian tersebut akhirnya memerdekakan mereka untuk mengejar pelayanan yang lebih sesuai dengan bakat dan kemampuan mereka: pelayanan penitipan anak yang efektif. Penilaian itu juga memerdekakan orang-orang di dalam jemaat untuk melihat ke luar struktur pelayanan gereja itu sendiri demi mencari cara memerangi kelaparan anak. Beberapa dari mereka secara sukarela bekerja dengan organisasi nonprofit lainnya di daerah mereka yang sudah menangani kebutuhan ini.

Semua gereja dapat mendukung para anggotanya dalam doa dan mengutus mereka untuk bekerja dengan kelompok-kelompok dan pelayanan yang diperlengkapi dengan cara yang mungkin tidak dimiliki oleh gereja tersebut. Mengasihi gereja dalam keterbatasannya akan menyebarkan kasih melampaui batasan gereja. Bagaimana dengan gereja Anda? Sebelum Anda putus asa, cobalah untuk melihat kemampuan gereja Anda dan kendala-kendalanya. Belajarlah untuk berkembang di dalam ruang yang telah Tuhan berikan sebelum mencoba menciptakan ruang baru di tempat lain.

Tuhan tahu segala kebutuhan di dalam gereja-Nya dan di dunia. Dan Ia tahu bahwa tidak ada seorang pun atau gereja mana pun yang dapat memenuhi semua kebutuhan tersebut. Tuhan tidak panik atau kecewa dengan kenyataan ini. Ia menciptakan setiap kita untuk bergantung pada-Nya, pada orang lain, dan pada dunia. Hanya ketika kita melihat tempat kita di dalam pekerjaan Tuhan yang jauh lebih besar, maka kita dapat beralih dari kekecewaan pada gereja lokal kita menjadi sukacita dan rasa syukur atas segala kontribusi yang telah kita buat.

Mengabaikan keterbatasan gereja kita dapat mengarah pada upaya untuk mengembangkan pelayanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan yang sebenarnya maupun kemampuan kita, dan kita kehilangan apa yang Tuhan sedang lakukan. Mengasihi gereja kita dalam keterbatasannya, mengenali segala kemampuan dan kelemahannya, memungkinkan jemaat untuk melayani bersama tanpa merasa kecewa karena mereka tidak bisa menjadi segala-galanya bagi semua orang.

Ini adalah gereja Tuhan

Mengenali keterbatasan gereja mengingatkan kita bahwa Tuhan bertanggung jawab atas umat-Nya. Secara khusus bagi kita yang menjabat sebagai pemimpin-pemimpin dalam gereja, sangatlah mudah bagi kita untuk merasakan beban jemaat yang menumpuk di pundak kita. Meskipun kita mengklaim bahwa Tuhan mengasihi gereja-Nya, hidup kita sering kali menunjukkan bahwa kita merasa bahwa kita-lah, bukan Tuhan, yang bertanggung jawab atas keberlangsungan gereja. Keyakinan yang salah ini dapat muncul karena berbagai alasan, seperti di masa ketika doa kita yang sungguh-sungguh tampaknya tidak terjawab, atau ketika kita melihat semua pelayanan yang harus dikerjakan dan tidak ada orang lain yang mau maju untuk mengerjakannya. Kita terus melakukan yang lebih lagi dan lagi, dan perlahan-lahan diremukkan oleh meningkatnya beban pelayanan tersebut.

Dalam keputusasaan, kita mungkin bertanya-tanya dalam diam, apakah Tuhan benar-benar jauh dan tidak peduli, hanya muncul sesekali untuk acara-acara besar atau keadaan darurat, seolah-olah Dia telah memberi kita kunci mobil dan kemudian menghilang. Jawabannya? Jangan menabrakkan mobil, tetaplah berjalan. Pada awalnya kita mungkin menyukai kegembiraan mengemudi, namun kemudian biaya perbaikan dan bahan bakar segera membebani kita. Kita melihat sekeliling dan tidak melihat Tuhan, jadi kita terus berusaha untuk memperbaiki mobil kita sendiri, berharap bahwa Dia pada akhirnya akan kembali untuk menagih mobil itu dan tidak terlalu memarahi kita.

Namun, pada akhirnya, kita tahu inilah yang benar: Gereja adalah soal apa yang Tuhan kerjakan, bukan apa yang kita lakukan. Ya, Tuhan memberi kita karunia dan energi untuk digunakan dengan bebas dan penuh semangat. Tuhan telah memanggil kita untuk melayani, dan yang kita kerjakan itu penting. Tetapi seperti yang dinyatakan oleh Bonhoeffer, aktivitas itu membutuhkan dasar yang lebih mendalam: “Komunitas Kristen bukanlah suatu cita-cita yang harus kita sadari, melainkan sebuah kenyataan yang diciptakan oleh Allah di dalam Kristus di mana kita dapat berpartisipasi.”

Bonhoeffer di sini menolak godaan yang sering kita alami: membayangkan kita sendirilah yang bertanggung jawab untuk menciptakan, menumbuhkan, dan memelihara gereja. Kerajaan Allah adalah sebuah pemberian (Luk. 12:32). Gereja, kumpulan umat Tuhan yang menyembah Yesus Sang Raja, adalah pemberian Tuhan yang di mana kita berpartisipasi di dalamnya, dan bukan suatu gerakan yang bisa kita mulai atau pertahankan dengan kekuatan kita sendiri.

Tidak seperti CrossFit atau klub-klub pecinta tanaman atau organisasi lain yang dirancang untuk menarik tipe kepribadian yang sama, gereja mengumpulkan orang-orang yang sering kali tidak cocok secara alami. Secara sosiologis, ini terlihat seperti suatu kerugian besar, tetapi secara teologis itu adalah hadiah yang indah. Allah mengumpulkan kita dengan segala perbedaan kita, dipersatukan hanya oleh anugerah Tuhan Yesus Kristus, ke dalam persekutuan Roh Kudus dan kasih Bapa. Allah memanggil, memelihara, dan menopang umat-Nya.

Apa yang mengikat gereja menjadi satu bukanlah niat baik atau visi bersama dari orang percaya, melainkan Roh Kristus. Kita tidak menghasilkan gereja; sebaliknya, kita dimerdekakan untuk berpartisipasi di dalamnya dengan sukacita. Namun tetap saja kita cenderung lupa: Ini adalah gereja Kristus. Seberapa pun besarnya kita mencintai umat Allah, Ia lebih mencintai mereka. Ia lebih mencintai kita. Ia lebih bisa menjaga kehidupan dan kesehatan gereja-Nya daripada yang bisa kita lakukan. Hanya ketika kita meneguk dalam-dalam kebenaran itu, hidup kita bersama dapat didorong oleh sukacita dan harapan, bukan oleh frustrasi atau manipulasi.

Kekuatan, tekad, dan visi kita tidak mengikat gereja menjadi satu—itu adalah pekerjaan Tuhan. Roh Allah-lah yang menumbuhkan buah-Nya di antara umat Tuhan—buah yang diberikan untuk dinikmati, terutama oleh mereka yang haus akan kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kelemahlembutan, kebaikan, dan kebenaran. Dengan mengingat sifat gereja yang dipimpin oleh Roh Kudus, maka kita dapat paham ketika Tuhan menutup pintu atau mengingatkan kita bahwa kita hanya dapat melakukan sebanyak itu, dan hal tersebut tidak apa-apa. Yesus berjanji untuk menemui kita di dalam dan melalui umat-Nya yang tidak sempurna.

Kasih tak terbatas

Mengasihi gereja lokal kita dalam keterbatasannya mengharuskan kita menahan godaan untuk membentuk komunitas yang ideal, dan merangkul orang-orang yang telah Tuhan bawa kepada kita. Kita mengasihi Yesus di dalam dan melalui saudara-saudari seiman kita, bukannya terlepas dari mereka. Dan hal ini memungkinkan kita untuk melihat jemaat gereja kita sendiri sebagai bagian kecil dari pekerjaan Tuhan yang jauh lebih besar. Dengan demikian, kita bebas untuk memandang gereja dan kelompok Kristen lainnya bukan sebagai ancaman atau pesaing, melainkan sebagai rekan kerja yang patut kita syukuri bersama.

Allah mengasihi gereja-Nya dan berjanji untuk mengasihi dunia melalui kumpulan orang-orang berdosa yang tunduk di hadapan Sang Raja yang telah bangkit. Keyakinan kita bukanlah pada kesetiaan kita, melainkan pada kesetiaan-Nya. Tuhan lebih mengetahui keterbatasan kita dibanding diri kita sendiri, jadi dengan mengasihi orang-orang lain dengan baik, dengan keterbatasannya dan segalanya, kita berpartisipasi dalam pekerjaan Tuhan tanpa dihancurkan oleh pekerjaan itu sendiri. Semoga Tuhan membantu kita untuk mengasihi gereja di mana kita menjadi bagiannya, karena gereja dan kita adalah milik-Nya.

Kelly M. Kapic adalah profesor studi teologi di Covenant College dan melayani sebagai penatua di Lookout Mountain Presbyterian Church di Georgia. Dia penulis beberapa buku, termasuk You’re Only Human: How Your Limits Reflecting God’s Design dan Why That’s Good News .

Artikel ini adalah bagian dari edisi spring CT Pastors yang menggali persoalan kesehatan gereja. Anda dapat menemukan edisi lengkapnya di sini.

Diterjemahkan oleh: George Hadi Santoso

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Instagram.

Jangan Membuat Krisis Kepemimpinan Gereja Menjadi Lebih Buruk

Kita perlu memperbarui imajinasi rohani kita di tengah penyingkapan masalah pelecehan rohani.

Christianity Today May 10, 2022
Ilustrasi oleh Wenjia Tang

Dalam banyak hal, pelecehan rohani adalah sebuah cerita lama. Dari Raja Daud hingga Ted Haggard, kita menyaksikan para pemimpin naik ke tampuk kekuasaan dan menemukan perasaan yang penuh dosa karena merasa diri layak mendapat perlakuan khusus dan kesempatan untuk menikmatinya. Mereka dikelilingi oleh para pendukung, penyelesai masalah, dan orang-orang lain yang bersedia untuk menutup mata terhadap dosa.

Akan tetapi, ada yang berbeda dengan keadaan sekarang. Apa yang dulu tersembunyi di balik ruang kantor yang mewah, studio film, dan ruangan pendeta, kini sedang diekspos di blog dan media sosial. Para penyintas pelecehan sekarang saling terkoneksi satu sama lain, menceritakan kisah mereka, dan berkumpul dengan cara yang tidak dapat diabaikan.

Saya menjalani sebagian besar tahun 2020 dan 2021 untuk meneliti dan menceritakan kisah Gereja Mars Hill di Seattle, yang di balik layar kesuksesannya terdapat budaya manipulasi dan dominasi yang kejam, yang semuanya berorientasi pada pemikiran bahwa pertumbuhan kerohanian dan jumlah jemaat disebabkan oleh seorang pemimpin besar yang tidak mungkin jatuh.

Ketika menceritakan kisah Mars Hill, berulang kali kami mengetahui dari para pendengar tentang bagaimana peristiwa-peristiwa ini memiliki kesamaan yang menakutkan dalam berbagai konteks. Gereja dan pelayanan dianggap sukses ketika bisa mengorganisir pelayanan berdasarkan bakat dan visi seorang pemimpin tunggal. Ketika muncul konflik atau pertanyaan-pertanyaan terkait karakter, segala hal dikerahkan untuk mendukung sang pemimpin.

Seiring bermunculannya kisah-kisah ini ke permukaan—dan kita melihat semua ini muncul dari berbagai gereja dengan segala bentuk, ukuran, dan watak teologis yang ada—maka sinisme tentang kepemimpinan dan otoritas pun menyebar luas di dalam gereja. Jika dulu para pendeta tetap bisa diterima dan dipercaya meski ada keraguan terhadap mereka, kini semua itu telah terkikis.

Akibatnya, para pendeta dan orang-orang mulai menentang, dan hal ini meningkatkan keprihatinan tentang tuduhan palsu dan proses hukum. Banyak pendeta merasa terbelah antara perasaan bahwa gereja membutuhkan momen pengungkapan masalah pelecehan ini dan kecemasan bahwa para oportunis sedang berusaha untuk menjatuhkan mereka. Tetapi jika kita tidak berhati-hati dalam berespons, kita akan memperkuat logika yang menciptakan krisis karakter ini sejak awal.

Krisis kepemimpinan gereja tidak hanya terjadi dengan latar belakang kegagalan moral yang tak terhitung banyaknya. Krisis ini juga ada di dalam kabut iman dan keraguan yang kompleks seperti yang dijelaskan oleh filsuf Charles Taylor sebagai disenchantment (kekecewaan terhadap seseorang/sesuatu yang dulunya sangat dihormati). Sebagaimana yang dilihat Taylor, modernitas telah mengubah imajinasi moral dan spiritual secara fundamental, yang memunculkan arus keraguan terpendam terus-menerus.

Sebagian besar hal itu disebabkan karena kita telah diberikan penjelasan materi untuk hampir semua hal. Kita tidak menyalahkan setan untuk sakit-penyakit ataupun menyalahkan ilah-ilah yang marah karena ada bunyi guntur; kita menunjuk ke kuman dan sistem udara yang bertekanan tinggi. Perasaan jatuh cinta diartikan sebagai dorongan demi keberlangsungan spesies.

Mendengar penjelasan-penjelasan ini otomatis menimbulkan keraguan di pikiran kita tentang hal-hal yang spiritual, supernatural, atau yang transenden. Bahkan setelah kita berada di dalam Yesus, kita datang kepada-Nya dengan imajinasi rohani yang dipenuhi dengan kekecewaan (disenchantment) Hal ini dialami oleh para pendeta dan pemimpin gereja, serta orang-orang lain juga. Kita dihantui oleh keraguan, bahkan sangat dihantui sehingga kita tenggelam di dalamnya—dikelilingi dengan cerita dan ide-ide yang mengarahkan kita ke dunia yang sulit dan tidak nyaman untuk membayangkan Tuhan bekerja di sekitar kita dengan cara yang tidak terlihat, sekalipun kita sangat ingin untuk mempercayainya.

Inilah yang membuat fenomena pendeta yang karismatik begitu menggiurkan—terutama (walau tidak harus) ketika mereka mencapai status sebagai selebritas. Mereka berdiri di hadapan kita dengan kepastian rohani yang nyata, yang tidak kita miliki atau masih kita perjuangkan. Kemudian, melalui penampilan mereka sebagai pribadi yang menginspirasi, menantang, atau menghibur, baik di dalam maupun di luar panggung, mereka dapat menggugah emosi dan imajinasi kita sedemikian rupa sehingga kita mengalami sesuatu yang transenden—sesuatu yang rasanya benar-benar seperti sebuah perjumpaan dengan Tuhan.

Transendensi pasca-pesona semacam ini memang menghiburkan. Hal ini tidak hanya membungkam keraguan kita tentang Tuhan melainkan juga membungkam keraguan-keraguan tersebut tentang manusia. Coba pikirkan, misalnya, tentang bagaimana seorang politisi yang Anda kenal lalu berbohong kepada Anda—atau setidaknya membuat janji yang sama sekali tidak mampu ia penuhi—namun ia masih bisa membuat Anda merinding atau membuat Anda menangis.

Saya tidak berkata bahwa kita sedang mencoba membuat transendensi untuk menyembunyikan kesalahan kita. Tetapi kita tertarik pada yang transenden dan ingin orang-orang tertarik padanya melalui diri kita. Saya telah mengalaminya sendiri ketika saya melayani sebagai pemimpin ibadah yang mencoba menciptakan pengalaman-pengalaman yang transenden.

Saya teringat tentang legenda seorang misionaris wanita yang baru saja ditempatkan di ladang pelayanan, namun sudah rindu kampung halaman dan putus asa. Suatu hari ia duduk di tepi sebuah kolam, mendengarkan sekelompok wanita bernyanyi saat mereka mencuci pakaian dan piring-piring di air setinggi lutut. Lagu itu sederhana dan indah, satu bait yang diulang-ulang. Meskipun ia belum mengerti bahasanya, lagu itu membuat dia menangis karena merasakan kehadiran Tuhan.

Saat sekelompok wanita itu berkemas untuk pergi, ia mendekati salah satu wanita dan bertanya tentang lagu itu. “Apakah misionaris lain mengajarkannya kepada Anda?”

“Oh ya. Itu adalah salah satu hal pertama yang mereka ajarkan kepada kami,” katanya.

“Apa arti dari kata-kata itu?”

“Artinya, ‘Jika Anda merebus air, Anda tidak akan terkena penyakit disentri.’”

Imajinasi yang penuh kekecewaan dapat membentuk gereja dengan banyak cara. Dalam upaya mengatasi kondisi keraguan tersebut, pelayanan dapat dengan cepat berubah menjadi sebuah perusahaan yang berusaha bersaing di marketplace.

Itulah salah satu alasan mengapa kaum Injili sangat memuja jenis kepemimpinan yang biasa terlihat di perusahaan-perusahaan kelas dunia seperti yang ada dalam daftar Fortune 500. Kita membutuhkan tenaga-tenaga ahli dalam hal pemasaran, pencitraan produk, penyuguhan hiburan, manajemen—yang dapat “mewujudkan” imajinasi dan emosi dengan cara yang mirip dengan musik dan yang dapat efektif sepenuhnya tanpa adanya Roh Allah.

Efek sampingnya, tentu saja hal ini mengundang segala keburukan dari marketplace masuk ke dalam ruang rapat gereja kita: tuntutan akan kesetiaan dengan segala cara, pengerja-pengerja gereja yang dapat dengan mudah dikorbankan dan diganti, humas dan citra manajemen yang diperlukan untuk mengagungkan seorang pendiri atau pemimpin.

Ini bukan berarti bahwa setiap orang yang memimpin dengan cara ini adalah korup, dan juga bukan berarti bahwa Tuhan tidak akan bekerja di dalamnya. Tentu saja Dia bekerja. Tetapi kepemimpinan dengan memakai cara-cara ini sangatlah besar pengaruhnya, dan ada harga yang harus dibayar ketika cara-cara tersebut menjadi prinsip pengorganisasian yang utama dari organisasi pelayanan kita. Pelecehan rohani, narsisisme, intimidasi, dan dominasi dapat bermanifestasi di hampir semua gereja, terlepas dari sistem pemerintahan, denominasi, perspektif teologis, atau budayanya.

Menurut saya, benang merah yang menyatukan kisah gereja-gereja ini bukan hanya masalah karakter, meskipun hal itu penting. Benang merahnya adalah karena kita terlalu sering mengabaikan kekecewaan (disenchantment) yang terpendam itu. Sebagai tanggapan atas pemikiran standar kita terhadap keraguan, kita telah menciptakan kondisi di mana karakter bukan termasuk kualifikasi untuk pekerjaan tersebut, sehingga kita mempertahankan pemimpin-pemimpin yang buruk. Kita menginginkan seseorang yang dapat membuat kita merasakan sesuatu.

Kita mempertahankan pemimpin yang buruk karena kita menginginkan seseorang yang dapat membuat kita merasakan sesuatu.

Hal ini membuat saya teringat tentang para pendeta yang merasa cemas akan tuduhan palsu dan erosi kepercayaan yang terjadi saat ini. Saya telah melihat proposal-proposal tentang kebijakan dan prosedur, tentang apa yang harus atau tidak seharusnya dipublikasikan oleh organisasi seperti CT, dan teguran-teguran tentang apa yang harus atau tidak seharusnya diperhatikan oleh anggota gereja. Dan yang menurut saya merupakan contoh yang paling aneh yaitu ada seorang penulis yang menduduki jabatan pendeta utama di sebuah gereja dengan anggaran jutaan dolar, yang menjual buku hingga ribuan eksemplar, dan yang menjadi pembicara utama di beberapa konferensi terbesar di kalangan Injili, kini meratapi kenyataan bahwa para pemimpin tidak lagi memiliki platform atau kesempatan untuk menceritakan kisah mereka.

Hal yang tersirat dalam solusi dari persoalan ini adalah dorongan pragmatis untuk mengelola dan menyingkirkan krisis tersebut. Banyak pemimpin gereja memilih mundur dari momentum itu untuk mencari cara agar mengurangi keterpaparan mereka sendiri dari persoalan tersebut. Dan sering kali mereka memakai cara dan teknik manajemen yang sama dengan cara dan teknik yang selama ini mereka gunakan untuk membangun kerajaan mereka yang disfungsi. Pihak yang berotoritas acap kali ingin membenarkan dirinya sendiri, dan tak jarang hal itu diperlihatkan melalui ekspresi kekuasaan.

“Tidaklah demikian di antara kamu,” kata Yesus (Mrk. 10:43). Hasil dari kepemimpinan dan otoritas-Nya adalah penyaliban—Tuhan yang berinkarnasi itu mengalami tuduhan palsu, dipukuli, dan ditikam untuk menghapus dosa dunia. Kita menyembah Tuhan yang mengenal akan penderitaan.

Pemahaman ini membentuk ulang tidak hanya bagaimana kita berbicara tentang para pemimpin kita, melainkan juga bagaimana kita berbicara tentang mereka yang dibentuk oleh para pemimpin tersebut, termasuk juga yang dibentuk secara salah. Ketika para penyintas di seluruh pelosok budaya kita telah menceritakan kisah mereka, bahasa baru telah muncul untuk membicarakan tentang mereka. Istilah seperti trauma dan kerentanan telah menjadi istilah yang membantu—tetapi ada perbedaan antara kekuatan menamai sebuah pengalaman dan kekuatan untuk menebusnya. Memberi nama itu membantu kita mengakui, berduka, dan mengintegrasikannya ke dalam pemahaman kita tentang diri sendiri.

Sedangkan menebusnya berarti kita tidak berhenti pada mengidentifikasi apa yang hilang melainkan kita juga memulihkannya. Mazmur 56:9 memberi tahu kita bahwa Tuhan menaruh air mata kita ke dalam botol (kirbat) dan mencatat kesengsaraan kita. Ini berarti bahwa kita tidak pernah menderita sendirian, dan patah hati kita tidaklah dilupakan Tuhan. Ia menampung air mata kita, dan di kayu salib Dia menangis bersama kita.

Salib adalah tempat di mana Sang Pemimpin sejati, Tuhan yang sejati itu, menyatakan karakter-Nya yang sempurna. Namun salib juga mengungkapkan bahwa, pada momen yang paling transenden dalam sejarah, fokus Yesus bukanlah untuk berupaya menggugah perasaan orang lain. Namun Ia juga bukan menunjukkan kebenaran yang kekal tanpa perasaan. Perasaan yang paling nyata adalah ketika Yesus menanggung penyakit kita dan memikul sengsara kita (Yes. 53:4).

Karena itu, kepemimpinan Kristen adalah tentang menanggung beban, termasuk juga risiko. Risiko dicela saat terjadi kesalahan. Risiko disalahkan atas kegagalan orang lain. Risiko digulingkan ketika melakukan hal yang benar karena tindakan itu membuat orang yang berbuat salah menjadi tidak nyaman. Risiko mengalami tuduhan palsu.

Akan tetapi kita bukanlah Yesus, maka para pendeta juga perlu bersiap untuk tuduhan-tuduhan yang benar terhadap mereka. Masalahnya mungkin bukan soal bentuk pemerintahan, atau soal orang-orang yang menghabiskan waktu terlalu banyak memakai materi yang salah, atau soal mereka bergaul secara daring dengan orang-orang yang pribadinya kurang baik; masalahnya mungkin pada apa yang tidak selesai kita lakukan atau tinggalkan. Dan jika kita tidak dapat membayangkan bahwa itulah persoalannya, maka inilah saatnya untuk mengingatkan diri kita sendiri tentang penderitaan di kayu salib.

Salib berarti kita memenuhi momen yang berharga ini dengan tangisan kita sendiri, bukan untuk menggugah orang lain agar menangis melainkan kita melakukannya demi kepentingan orang lain. Tangisan ratapan atas berbagai cara pelecehan yang telah menodai kesaksian gereja dan memecah-belah kesatuannya. Tangisan duka bagi para korban dan penyintas pelecehan rohani, fisik, dan emosional di dalam gereja. Dan tangisan pertobatan atas cara kita berkontribusi pada keadaan yang rusak ini.

Akan tetapi kita bukannya tanpa harapan. Apa pun yang mungkin terjadi pada masa penyingkapan pelecehan dalam gereja saat ini, jika gereja menanggapi dengan iman dan pertobatan, sesuatu yang lebih baik dan lebih indah dapat muncul.

Lagi pula, jika kita telah mati dengan Kristus, kita akan dibangkitkan juga dengan Dia (Rm. 6:8). Setelah salib datanglah kebangkitan.

Mike Cosper adalah direktur siniar Christianity Today.

Diterjemahkan oleh: Budi Martono Winata

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Telegram.

Ketenaran adalah Versi Palsu dari Persahabatan

Kita rindu untuk dikenal dan dicintai. Tetapi komunitas yang palsu tidak akan membuat kita mencapai hal itu.

Christianity Today May 6, 2022
Ilustrasi oleh Mallory Rentsch

Tulisan ini diadaptasi dari buletin Russell Moore. Berlangganan di sini.

Berbeda dengan Macaulay Culkin, seorang anak berusia sepuluh tahun yang membintangi film Natal yang terkenal Home Alone, adiknya yaitu Kieran Culkin menolak banyak tawaran untuk menjadi artis cilik. Melalui pengamatan, ia belajar bahwa ia tidak menginginkan kehidupan yang terkenal—karena ia mengetahui hal tersebut dapat menjadi penyebab banyak persoalan seperti penyalahgunaan zat terlarang, pertempuran hak perwalian di pengadilan, dan sejenisnya.

Kita mungkin tergoda untuk melihat dari kejauhan akan pilihan hidup orang-orang terkenal seperti Culkin bersaudara. Tetapi mungkin kita sedang melihat ke dalam sebuah cermin kolektif. Pada masa kini, ketenaran bukan hanya sesuatu yang terjadi pada para artis, baik anak-anak ataupun bukan. Berkat media sosial, banyak dari kita berubah menjadi artis-artis kecil, dengan satu-satunya perbedaan yang nyata adalah jumlah audiens kita.

“Facebook Files” yang baru-baru ini dibocorkan membahas cara kerja internal perusahaan media sosial tersebut. Hal itu mencakup data tentang bahaya dari penggunaan Instagram terhadap citra diri remaja, khususnya remaja perempuan. Setiap anak atau remaja menghadapi ketakutan akan penilaian dari rekan-rekan sebayanya. Mereka juga takut diasingkan dari kelompok sosial mereka. (Ini jugalah yang menjadi alasan mengapa sangat sedikit dari kita yang ingin memutar waktu kembali ke masa ketika kita di sekolah menengah.)

Meski demikian, dunia media sosial tampaknya justru meningkatkan dinamika ini—di mana hampir setiap orang diikuti oleh semacam paparazi, yang mengekspos dan membuat kita selalu dihantui akan penerimaan atau penolakan rekan-rekan sebaya atau kenalan kita, dan bahkan oleh orang-orang yang tidak kita kenal sama sekali.

Filsuf Alain de Botton berpendapat dalam bukunya The School of Life bahwa salah satu cara untuk mengukur keberhasilan pengasuhan Anda sebagai orang tua adalah dengan bertanya kepada anak Anda apakah mereka bercita-cita ingin menjadi terkenal. Ia mengatakan bahwa pengejaran akan ketenaran berbeda dari aspirasi lainnya (meskipun sama-sama berisiko) untuk memperoleh kekayaan, kekuasaan, atau kepuasan. Keinginan untuk menjadi terkenal, menurutnya, terkait dengan “keinginan mendalam untuk disukai dan diperlakukan dengan adil dan baik oleh orang-orang yang tidak mereka kenal.”

“Ketenaran sangat atraktif karena tampak seperti menawarkan manfaat yang sangat signifikan,” tulisnya. “Angan-angannya seperti ini: ketika Anda terkenal, ke mana pun Anda pergi, orang-orang sudah tahu reputasi baik Anda sebelum mereka berjumpa denganmu. Orang-orang akan berpikir baik tentang Anda, karena kebaikan Anda telah dipaparkan dengan impresif sebelumnya.”

De Botton melanjutkan dengan mengatakan bahwa “hasrat akan ketenaran berakar pada pengalaman diabaikan, yaitu pada luka.” Ia menambahkan bahwa “tidak ada seorang pun yang ingin menjadi terkenal tanpa pernah dibuat merasa sangat tidak berarti di suatu tempat di masa lalu.”

Jika saya terkenal, demikian menurut alam bawah sadarnya, saya akan bebas dari penolakan atau penilaian apa pun. Tidak hanya orang tua saya yang akan mengagumi saya, melainkan saya juga akan memiliki komunitas yang instan dan aman. Namun, de Botton mengatakan, justru yang benar adalah kebalikannya: “Ketenaran bukan membuat orang menjadi kurang rentan, melainkan justru lebih rentan karena ketenaran membuat mereka terbuka atas penilaian yang tidak terbatas.”

Ketenaran selalu menjadi daya tarik setidaknya bagi sebagian orang. Kita tidak perlu melihat lebih jauh untuk menyimpulkan hal itu. Meski demikian, di sepanjang sejarah manusia, sebagian besar orang memulai perjalanan pencarian jati diri mereka di hadapan “audiens” yang sangat terbatas—sebagian besar terdiri dari keluarga besar, kelompok suku mereka, atau desa setempat.

Namun di masa kini, anak-anak muda yang gampang terpengaruh itu sedang membentuk identitas mereka melalui media-media sosial, yang mencakup audiens yang lebih luas. Berbagai studi menunjukkan bahwa aplikasi seperti Instagram berisiko terhadap kesehatan psikologis remaja, dan bukan hanya karena orang-orang muda dapat terintimidasi secara daring (walaupun itu memang terjadi). Bahkan ketika orang-orang muda menerima afirmasi dari kumpulan orang-orang asing secara daring ini, mereka hampir selalu berusaha untuk mempertahankan perhatian itu ke depannya.

Artinya, bahkan ketika seseorang “menang” dalam permainan media sosial mereka, rasa takut akan kegagalan menjadi semakin intens—seperti artis cilik imut berlesung pipit yang khawatir dirinya tidak akan dipilih untuk main film lagi ketika ia menjadi orang dewasa yang kurus. Tekanan semacam ini sudah cukup buruk ketika seseorang mengejar karir di dunia perfilman, tetapi bisa jauh lebih buruk ketika menyangkut kehidupan seseorang di luar layar.

Itulah bahayanya, bukan hanya bagi mereka yang tertindas di bawah tekanan penilaian orang lain, tetapi mungkin terlebih lagi bagi orang-orang yang telah mempelajari mekanisme koping untuk melindungi diri mereka sendiri dari penilaian sosial. Sebagian dari mereka menjadi trolls, yang ingin terlebih dahulu menyerang orang-orang yang mungkin akan menyakiti mereka, sementara yang lainnya bisa hampir menjadi seperti sosiopat karena mematikan perasaan mereka terhadap pendapat orang lain. Seiring waktu, mereka membangun pelindung yang keras bagi diri mereka dalam bentuk sinisme, yang dapat menyaring keluar bukan hanya penilaian orang-orang asing di komunitas daring melainkan juga nasihat dari teman-teman dalam kehidupan nyata.

Tidak ada jawaban yang mudah dalam hal ini, apalagi ketika kita bergerak menuju fase keterhubungan berikutnya dalam “metaverse” atau yang sejenisnya. Akan tetapi, seperti kebanyakan hal, saya percaya bahwa respons yang tepat terhadap ancaman pengaruh media sosial adalah secara individu dan komunal.

Setiap kita perlu belajar bagaimana mengembangkan individualisme alkitabiah yang tepat, yang berarti bahwa Allah menerima kita ke dalam kerajaan-Nya bukan secara kolektif, bukan per bangsa, ataupun per kelompok, melainkan seorang demi seorang.

Pesan “Kamu harus dilahirkan kembali” tidak hanya ditujukan secara umum kepada seluruh umat manusia atau kepada orang-orang Farisi, melainkan kepada seorang Farisi yang spesifik bernama Nikodemus—yang begitu takut kehilangan status di antara rekan-rekannya sehingga ia datang kepada Yesus pada malam hari (Yoh. 3). Hanya ketika kita menyadari bahwa kita secara pribadi berdiri di hadapan wajah Tuhan—dan bahwa kita masing-masing akan memberikan pertanggungjawaban di hadapan takhta penghakiman Kristus—hanya dengan demikianlah maka kita dapat dibebaskan dari takhta-takhta penghakiman kecil yang tak terhitung jumlahnya yang ada di dalam kehidupan kita sehari-hari.

Akan tetapi yang memerdekakan kita bukan hanya pemahaman tentang takhta penghakiman tunggal itu, melainkan juga Pribadi yang duduk di takhta itu. Itu adalah takhta penghakiman milik Kristus saja. Dia bukan Pribadi yang menilai kita berdasarkan pencapaian kita yang mengesankan, gambaran diri pilihan, ataupun status yang didasarkan pada sistem sosial tertentu. Yesus adalah Pribadi yang datang mencari kita yang terhilang—lalu mengadakan pesta yang penuh sukacita ketika Ia menemukan kita (Luk. 15:3-7).

Itulah sebabnya Paulus dapat menulis kepada jemaat Korintus bahwa ia menyadari “bagiku sedikit sekali artinya entahkah aku dihakimi oleh kamu atau oleh suatu pengadilan manusia”—ia bahkan tidak menghakimi dirinya sendiri (1Kor. 4:3). Sebaliknya, ia bisa memercayakan dirinya pada penghakiman Kristus yang benar-benar mengenal dia—seorang pembunuh berantai dengan semangat agamawi—dan tetap mencintainya.

Sisi komunal dari solusi persoalan ini adalah menyadari bahwa kebaikan dan komunitas tidak dapat ditemukan secara universal atau umum. Sebaliknya, kita harus mencari—seperti yang dikatakan Seth Godin dari perspektif pemasaran—“audiens terkecil yang memungkinkan.” Itulah sebabnya Yesus menempatkan kita semua ke dalam konteks tubuh Kristus yaitu gereja—sekelompok orang yang benar-benar berkumpul di sekitar meja perjamuan.

Alain de Botton dengan tepat mengatakan bahwa “tidak ada jalan pintas menuju persahabatan—itulah yang sebenarnya dicari oleh orang terkenal.” Memang tidak ada. Sebagai orang Kristen, kita tahu bahwa persekutuan sejati terjadi saat kita berkumpul di sekitar perjamuan roti dan anggur, pengakuan dosa dan pertobatan, misi dan pelayanan—berkumpul bersama sekelompok orang yang nyata, yang melalui kehadirannya kita dapat belajar untuk mencintai dan dicintai. Tidak ada jalan pintas untuk hal tersebut.

Mungkin itulah yang harusnya secara unik ditawarkan gereja kepada dunia saat ini—pesan bahwa Anda tidak harus terkenal untuk dikenal. Anda tidak harus sempurna untuk dicintai. Anda tidak harus terbukti benar untuk dibenarkan. Mungkin bahkan artis cilik dapat menjadi seperti anak-anak lagi. Dan bahkan di dalam metaverse, tak satu pun dari kita yang sendirian di rumah.

Russell Moore memimpin Proyek Teologi Publik di Christianity Today.

Diterjemahkan oleh: Ivan K. Santoso

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Instagram.

Para Pemimpin Hillsong Lebih Membutuhkan Karakter Daripada Karisma

Pengunduran diri Brian Houston mengingatkan bahwa kita membutuhkan pendeta yang saleh, bukan hanya yang berbakat saja.

Christianity Today April 30, 2022
Marcus Ingram / Contributor / Getty

Minggu ini (akhir Maret 2022) di Sydney, pendiri dan pendeta senior dari gereja raksasa Hillsong, yaitu Brian Houston, mengundurkan diri sehubungan dengan kasus pengadilan yang tertunda dan adanya tindak lanjut pengungkapan pelanggaran pastoral.

Kasus pengadilan tersebut berkaitan dengan dugaan terhadap Houston yang menyembunyikan pelecehan seksual yang dilakukan ayahnya terhadap seorang anak laki-laki di Selandia Baru pada tahun 1970-an. Meskipun Houston telah mengeluarkan ayahnya dari pelayanan, melaporkan ke otoritas denominasinya, dan secara terbuka mengakui bahwa pelecehan itu terjadi, polisi negara bagian New South Wales mengklaim bahwa Houston “mengetahui informasi yang berkaitan dengan pelecehan seksual terhadap seorang pria muda pada tahun 1970-an dan tidak menindaklanjuti kasus tersebut ke polisi.”

Sidang kasus tersebut telah dijadwalkan pada Oktober tahun ini.

Baru-baru ini, dewan global Hillsong menulis sebuah surel kepada para anggota mengenai dua pengaduan terhadap Houston. Yang pertama, yang terjadi sepuluh tahun lalu, “melibatkan pesan teks yang tidak pantas dari Pendeta Brian [Houston] kepada seorang staf, yang kemudian mengakibatkan staf tersebut mengundurkan diri.” Tindakan ini dijelaskan sebagai akibat ketidaksengajaan dari Houston yang sedang “berada di bawah pengaruh obat tidur.”

Keluhan kedua terjadi pada tahun 2019 ketika Houston mengetuk pintu sebuah kamar hotel yang berpenghuni seorang wanita dan menghabiskan waktu yang cukup lama di kamar tersebut. Mirip dengan kasus lain, perilakunya dijelaskan sebagai akibat negatif dari obat anti-kecemasan yang tercampur dengan alkohol dalam tubuhnya.

Hillsong telah berdampak signifikan secara internasional dengan mendirikan gereja di seluruh dunia dan membawa Pentakostalisme ke era digital. Tetapi seiring dengan kesuksesannya, datanglah godaan untuk melakukan apa saja demi menjaga "mesin" tetap berjalan, melindungi para pelayan dan pelayanannya, serta menjaga aliran uang tetap mengalir—sekalipun itu berarti menutup mata terhadap tingkah laku yang sembrono atau memberi pembelaan terhadap hal yang tidak dapat dimaafkan.

Bagian yang menurut saya mengecewakan adalah penjelasan atas tindakan Houston. Obat-obatan memang dapat mempengaruhi keadaan mental seseorang, tetapi hal itu bukanlah sebuah pembenaran untuk perilaku yang tidak pantas. Alasan-alasan ini terdengar tidak masuk akal, terutama bagi para korban pelecehan seksual.

Satu masalah nyata, yang dicatat dengan tepat oleh dewan Hillsong, adalah bahwa “model pemerintahan Hillsong secara historis telah menempatkan kontrol yang signifikan di tangan pendeta senior.” Membebani satu orang dengan otoritas bukanlah indikasi dari sebuah budaya kepemimpinan yang sehat. Karena itu, sebaiknya kita merenungkan model tata kelola gereja dan gaya kepemimpinan mana yang lebih kondusif untuk transparansi dan akuntabilitas.

Seperti yang disarankan oleh pakar Alkitab Andy Judd, kita harus selalu bertanya, “Di mana kekuasaan didistribusikan? Bagaimana keputusan dibuat dan ditinjau? Dan apa yang terjadi selanjutnya ketika seorang pemimpin dipaksa untuk pindah?”

Tetapi yang lebih penting dari struktur kepemimpinan adalah karakter orangnya. Kualifikasi biblikal bagi seorang pastor tidak bergantung pada banyaknya klik, unduhan, penjualan buku, pendapatan, jadwal konferensi, jumlah jemaat yang hadir di gereja, atau berapa banyak selebritas yang menghadiri gereja Anda.

Sebaliknya, kualifikasi biblikal menuntut seorang pastor untuk “tak bercacat” dan “dapat menahan diri, bijaksana, sopan, suka memberi tumpangan, cakap mengajar orang lain, bukan peminum, bukan pemarah melainkan peramah, bukan hamba uang” (1Tim. 3:2–3). Yesus mengajarkan bahwa “yang terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu. Dan barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan” (Mat. 23:11-12).

Sewaktu saya di seminari, saya bergabung dengan sebuah gereja yang mempercayai Alkitab dengan luar biasa, dan ketika saya sedang dipertimbangkan untuk ditempatkan sebagai rohaniwan magang, saya bertemu dengan salah satu pendetanya. Setelah mengenali saya beberapa waktu, dia optimis tentang potensi saya tetapi dengan bijaksana mewaspadai karakter saya.

Ia berkata, “Saya tahu Anda berbakat, tetapi saya tidak tahu apakah Anda saleh.” Kata-kata itu terus melekat pada diri saya sejak saat itu.

Ada perbedaan—yang besar—antara menjadi berbakat dan menjadi saleh. Ini adalah perbedaan antara pertunjukan yang dapat Anda tampilkan dan keinginan yang Anda simpan di hati Anda, antara apa yang Anda lakukan di atas panggung dan apa yang Anda lakukan ketika tidak ada orang yang memperhatikan Anda.

Peristiwa-peristiwa di sekeliling Houston adalah pengingat bahwa dunia kalangan Injili membutuhkan pemimpin yang menunjukkan karakter seperti Kristus, bukan hanya dipercaya publik; yang menumbuhkan murid-murid Kristus, bukan penjilat; yang melihat diri mereka telanjang di hadapan Kristus, tidak berjubah dalam prestise dari platform mereka. Kita membutuhkan pemimpin-pemimpin yang tahu bahwa ketika kesuksesan menjadi berhala, sikap menutup-nutupi menjadi sakramen.

Michael Bird (PhD dari University of Queensland) adalah dekan akademik dan dosen Perjanjian Baru di Ridley College di Melbourne.

Diterjemahkan oleh: Vika Rahelia

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Telegram.

Salib Mengubah Segalanya

Mengapa Penyaliban adalah pusat teologi dan hidup kita.

Christianity Today April 30, 2022
Maica / Getty

Salib Kristus adalah pusat keselamatan. Salib adalah titik yang penting, titik di mana segala sesuatu tentang Injil bertemu. Jika Anda bertanya kepada seorang Kristen, “Dalam satu kata, bagaimana cara Allah menyelamatkan orang berdosa?” maka respons iman yang sehat akan segera menjawab dengan penuh keyakinan: Salib.

Tentu saja iman yang sehat juga akan bertanya, “Boleh saya menjawab lebih dari satu kata?” Salib menjadi pusat yang bermakna hanya ketika diakui sebagai pusat dari sesuatu yang lebih luas. Keselamatan dalam tujuh istilah mungkin terdiri dari:Salib, Inkarnasi, Kebangkitan, dan Kenaikan, serta Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Keselamatan dalam 20 kata bahkan bisa menjelaskan lebih banyak ide yang terkandung dalam jawaban yang lebih pendek. Ribuan lidah bernyanyi, memuji Tuhanku, tulis Charles Wesley dalam himnenya! Iman Kristen sangatlah fasih dan mengesankan ketika membahas tentang keselamatan; sebagai seorang teolog, saya senang menjelaskan kepada Anda tentang keselamatan dengan menggunakan sebanyak mungkin kata yang Anda mau. Namun, dorongan untuk menguraikan kebesaran Tuhan dalam karya keselamatan sama kuatnya dengan dorongan untuk meringkaskan seluruh pesan menjadi poin utama.

Meski demikian, pernyataan ringkas selalu dimaksudkan untuk mengingatkan kita pada realitas yang lebih besar. Setiap kali kita mengatakan sesuatu tentang Salib, kita hampir selalu menggunakan kiasan yang disebut metonimia . Sebuah kata menjadi metonimia ketika kita menggunakannya untuk merujuk pada sesuatu yang lain, biasanya sesuatu yang lebih besar yang terkait erat dengannya. Ketika Paulus berkata bahwa ia hanya bermegah “dalam salib Tuhan kita Yesus Kristus, sebab olehnya dunia telah disalibkan bagiku dan aku bagi dunia” (Gal. 6:14), dia memakai suatu benda (sebuah kayu besar yang digunakan sebagai alat hukuman mati) untuk merujuk kepada sesuatu yang lain: kematian Yesus dan efeknya dalam mendamaikan kita dengan Allah. Demikian pula, ketika orang-orang Kristen menyanyikan lagu-lagu tentang salib, kita sangat menyadari bahwa apa yang kita hargai bukan hanya “salib tua yang kasar,” tetapi Anak Allah yang menggunakan salib itu pada karya-Nya dalam mencari dan menyelamatkan yang hilang. Salib berarti Kristus tersalib. Semua ini melintas di benak orang Kristen dalam sekejap ketika kata "salib" disebutkan.

Kini mari kita berpikir lebih luas: Ketika kita berbicara tentang Kristus yang disalibkan, sesuatu yang lain juga melintas di benak orang Kristen: kehadiran Kristus yang bangkit dan naik ke surga, yang di hadirat-Nya saya menulis kata-kata ini dan Anda membacanya. Dialah yang berkata, "Aku telah mati, namun lihatlah, Aku hidup, sampai selama-lamanya!” (Why. 1:18). Dan di balik Pribadi yang telah bangkit itu terdapat kedalaman tak terbatas dari pribadi-Nya yang kekal sebagai Putra Bapa dalam persekutuan Roh Kudus dalam kehidupan sempurna dari Allah Tritunggal yang mulia. Semua ini tersirat dalam perkataan orang Kristen tentang kematian Yesus. Kita tidak pernah bermaksud mengisolasi kematian Kristus, seolah-olah itu terputus dari seluruh kehidupan-Nya, pra-eksistensi dan pemuliaan-Nya, atau mengisolasi Bapa dan Roh Kudus yang tak terpisahkan dalam penggenapan karya keselamatan kita.

Rasul Paulus mengetahui hal ini. Ketika ia berkata bahwa ia “memutuskan untuk tidak mengetahui apa-apa … selain Yesus Kristus, yaitu Dia yang disalibkan” (1Kor. 2:2), yang ia maksudkan adalah dia berfokus pada titik pusat, bukan berarti dia mengabaikan Kebangkitan atau Roh Kudus (yang keduanya banyak dibicarakannya dalam 1 Korintus). Paulus mengarahkan kepada Salib: “Sebab yang sangat penting telah kusampaikan kepadamu, yaitu apa yang telah kuterima sendiri, ialah bahwa Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci” (1Kor. 15:3). Paulus memulai pesannya yang mengubah dunia itu dengan Salib dan memusatkan pesan yang mengubah hidupnya pada Salib. Ia tahu bagaimana menunjukkan realitas total dari keselamatan Tuhan, tetapi dia juga tahu bagaimana untuk memfokuskannya.

Gereja mula-mula mengetahuinya. Pengakuan Iman Rasuli menceritakan versi yang sangat singkat tentang kehidupan Yesus, melompat dari “lahir dari Perawan Maria” melewati masa 33 tahun kehidupan-Nya, langsung ke hari-hari terakhir-Nya: “menderita sengsara di bawah pemerintahan Pontius Pilatus. Disalibkan, mati dan dikuburkan, turun ke dalam Kerajaan Maut.” Untuk sebuah kredo pendek, ada begitu banyak penekanan yang ditempatkan di satu tempat. Namun fokus pada kematian Yesus ini berada tepat di tengah kredo yang mengajarkan seluruh maksud Trinitas dan karya Tuhan dari Penciptaan hingga “kebangkitan tubuh, dan hidup yang kekal.” Kredo ini berpusat pada Salib dan segala sesuatu ada di sekelilingnya.

Charles Wesley mengetahui hal ini. Himnenya “Mungkinkah Aku Beruntung?” memusatkan perhatian kita pada kematian Kristus yang penuh pengorbanan: “Kasih ajaib, o, mungkinkah, Tuhan mati menggantikanku.” Tetapi kematian yang menakjubkan itu didukung dan dilatarbelakangi oleh seluruh doktrin, dari Sang Putra kekal yang, karena kasih karunia yang bebas dan tak terbatas, “tinggalkan takhta mulia" agar orang percaya dimuliakan “dalam t'rang kebenaran-Nya” dan menghampiri “takhta anugerah.” Ini adalah sebuah himne tentang kematian Kristus, yang juga merayakan semua karya dan rencana Tuhan serta memohon kepada Tuhan itu sendiri.

Paulus mengetahuinya, gereja mula-mula mengetahuinya, Wesley mengetahuinya, dan hari ini kita juga mengetahuinya. Mengakui sentralitas Salib bukan hanya latihan dalam mengalibrasi penekanan doktrinal kita agar tepat atau menjaga agar pandangan teologis kita tetap benar. Ini adalah masalah realitas spiritual yang mendalam.

Sentralitas Salib mengubah segalanya. Ketika Anda menerima Kabar Baik bahwa Yesus mati untuk Anda, itu seperti menjatuhkan batu di kolam yang tenang: Riaknya menyebar ke tepian kenyataan yang terjauh. Kematian Kristuslah yang memampukan kita untuk mati bagi diri kita sendiri. Kematian-Nya itulah yang membenarkan kita di hadapan kebenaran Allah yang sempurna, yang membebaskan kita, yang memberi kita keberanian untuk menghadapi penganiayaan. Komunitas yang berpusat pada Salib adalah kumpulan besar orang-orang yang telah diperdamaikan dengan Allah dan satu sama lain melalui Salib. Orang-orang yang berpusat pada Salib tahu bagaimana untuk mati, belajar bagaimana untuk hidup, dan mengasihi sebagaimana mereka telah diubahkan selamanya oleh kasih yang mereka terima.

Ini adalah rahasia terbuka tentang bagaimana orang Kristen menghidupi kematian Kristus. Sepanjang masa Paskah, kita mendapatkan serangkaian pengingat akan Penyaliban, dan kita semua tahu bahwa hal tersebut bermakna lebih dari itu. Salib mengingatkan kita akan seluruh jangkauan keselamatan, dan jangkauan keselamatan tersebut mengingatkan kita akan kasih Allah yang tak terbatas. Ketika kita melihat Salib, kita langsung mengenali bahwa Salib melambangkan kematian Yesus, yang berdiri di tengah kehidupan inkarnasi yang sempurna dan kebangkitan yang mulia dari Putra Sang Bapa yang mahakuasa. Salib tidak pernah berdiri sendiri melainkan Salib sebagai pusatnya. Iman Kristen tahu akan hal ini: Iman Kristen tahu untuk menekankan tentang Salib. Tetapi menekankannya berarti mengangkatnya untuk maksud khusus, bukan untuk mengisolasinya.

Fred Sanders adalah seorang teolog yang mengajar di Torrey Honors Institute di Universitas Biola. Dia telah menulis, mengedit, atau berkontribusi dalam beberapa buku, termasuk The Deep Things of God: How the Trinity Changes Everything . Anda bisa mengunjugi blognya di ScriptoriumDaily.com .

Artikel ini adalah bagian dari The Cross, edisi khusus CT yang menampilkan artikel dan sesi Pemahaman Alkitab untuk Prapaskah, Paskah, atau waktu-waktu lain dalam setahun. Anda dapat mempelajari lebih lanjut tentang membeli salinan cetak dari The Cross untuk gereja atau kelompok kecil Anda di OrderCT.com/TheCross . Jika Anda pelanggan CT, Anda dapat mengunduh salinan digital gratis The Cross di MoreCT.com/TheCross .

Diterjemahkan oleh: Denny Pranolo

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Instagram.

Kristus Menaklukkan Kematian. Ia Tidak Membatalkannya.

Bagai jubah kedukaan, kehidupan dan kematian terjalin satu sama lain.

Christianity Today April 21, 2022
Ilustrasi oleh Agata Lędźwa

Saya memulai suatu tradisi membaca bagian tertentu dari The Star of Redemption setiap tahun pada perayaan Yom Kippur, hari Pendamaian. The Star of Redemption, yang ditulis pada kartu-kartu pos di wilayah garis depan Balkan dalam Perang Dunia I, adalah karya besar dari filsuf Yahudi Jerman abad ke-20 Franz Rosenzweig, yang memaparkan tentang cara memahami Yudaisme dan kekristenan dengan sangat komprehensif dan saling melengkapi.

Pada tahun saya menikah, saya membaca refleksi Rosenzweig tentang arti Yom Kippur—hanya dua minggu sebelum pernikahan saya—dan saya dikejutkan dengan cara yang benar-benar baru. Saat saya memasuki jam-jam sore yang berat dari puasa Yom Kippur, saya sangat tersentuh dengan diskusi Rosenzweig tentang jubah luar selutut berwarna putih, yang disebut kittel (kih’-tuhl), yang secara tradisional dipakai oleh pria (dan di beberapa kalangan Yahudi, juga dipakai oleh wanita) pada hari Yom Kippur.

Sebagaimana segala sesuatu dalam Yudaisme, signifikansi dari tindakan ini memiliki makna yang berlapis. Kittel adalah jubah kedukaan tradisional Yahudi; dengan memakainya di hari Yom Kippur melambangkan kesatuan rasa bersalah orang-orang Yahudi di hadapan Tuhan, yang menjadi fokus utama dari Yom Kippur. Tuhan tidak tahan ketidakkudusan dan ketidakmurnian, dan pada hari Yom Kippur orang-orang Yahudi harus menatap wajah dosa dan kekurangan mereka sendiri. “Maafkanlah kami, ampunilah kami, tebuslah kami,” demikian isi liturgi Yom Kippur diucapkan dengan nada memohon berulang kali. Hari Pendamaian/Penebusan adalah hari penghakiman, di mana setiap orang Yahudi secara individu (dan umat Yahudi secara kolektif) harus memperhitungkan hutang dosa mereka di hadapan Tuhan.

Meski demikian, mengenakan kittel juga menunjukkan keajaiban pengampunan dari Tuhan. Ini adalah tema utama lainnya dari Yom Kippur. Mengenakan kittel berarti secara visual mewujudkan pemikiran bahwa “sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju” (Yes. 1:18). Karena itu, bagi Rosenzweig, Yom Kippur memiliki arti yang sangat mendalam sebagai hari kehidupan dan kematian. Sebagai ganti kematian akibat dosa, Tuhan memberikan pengampunan yang melimpah dan anugerah hidup kekal kepada umat-Nya . Yang satu tidak bisa tanpa yang lain, dan masing-masing memberi makna satu sama lain.

Setelah dengan tajam menjelaskan pentingnya mengenakan kittel pada hari Yom Kippur, Rosenzweig merujuk pada Kidung Agung 8:6, di mana kita membaca bahwa “cinta kuat seperti maut.” Rosenzweig melanjutkan: “Dan inilah sebabnya mengapa setiap orang sekali seumur hidup mengenakan pakaian penguburan yang lengkap: di bawah tenda pernikahan, setelah sang mempelai pria menerimanya pada hari pernikahan dari tangan mempelai wanita.”

Inilah yang menyebabkan napas saya tercekat di tenggorokan saat itu. Sebelumnya saya telah membacanya berkali-kali, tetapi tidak pernah dengan gravitasi makna yang sama. Kematian dan kehidupan baru, dosa dan pengampunan, pertobatan dan pengampunan—inilah tema-tema utama seputar Yom Kippur, yang juga merupakan jalan kehidupan pernikahan sehari-hari, sebuah kenyataan yang akan saya alami secara mendalam di tahun-tahun mendatang.

Secara khusus, ada satu kesempatan lagi untuk memakai kittel dalam kalender Yahudi—yaitu selama ritual tahunan Seder Paskah Yahudi, terutama oleh orang yang memimpin Seder. Pada hari khusus saat Yom Kippur tersebut, saya merenungkan tidak hanya hubungan antara Yom Kippur dan hari pernikahan seseorang, tetapi juga antara Yom Kippur dan Paskah Yahudi (Passover).

Banyak dari kekayaan keterkaitan teologis ini telah hilang, ketika Yudaisme dan kekristenan menjauhkan diri satu sama lain, merobek benang yang pernah terjalin menjadi ritme yang bermakna sangat mendalam dari tahun liturgikal. Akan tetapi pada tahun ini, Paskah Yahudi dan Paskah Kristen jatuh pada minggu yang sama. Ini bagaikan sebuah pengingat bagi orang Kristen tentang akar keyahudian dari keimanan kita.

Yom Kippur ditetapkan dalam kitab Taurat (Im. 16, 23:26–32; Bil. 29:7-11) dan jatuh pada hari kesepuluh bulan ketujuh dalam kalender Ibrani, bulan Tishrei. Tishrei didahului oleh Elul, bulan yang berfokus pada tema pertobatan. Menurut tradisi Yahudi, periode 40 hari pertobatan dimulai di Elul dan berlanjut ke Tishrei, sesuai dengan 40 hari Musa bersyafaat bagi orang-orang Israel setelah kejatuhan mereka dalam dosa penyembahan anak lembu emas.

Dalam Keluaran 32, ketika Musa menerima dua loh batu dari Tuhan di puncak Gunung Sinai, orang-orang menjadi cemas dan tidak sabar lalu membuat berhala untuk disembah. Ini merupakan suatu peristiwa yang dikenal sebagai salah satu penghinaan terbesar Israel di hadapan Tuhan.

Setelah turun ke perkemahan dan melihat orang-orang menari di sekitar anak lembu emas, Musa melempar dua loh batu itu, menghancurkannya di kaki gunung. Inilah titik terendah dalam sejarah Israel, ketika kedalaman dosa dan kesalahan mereka di hadapan Allah tampaknya tidak dapat diperbaiki.

Dengan kasih karunia yang sebenarnya tidak layak diterima oleh umat Tuhan, Allah memperbarui kovenan dengan umat-Nya sementara Musa membuat satu set loh batu yang baru. Semua ini menyatakan bahwa Dia adalah “TUHAN, Allah penyayang dan pengasih, panjang sabar, berlimpah kasih-Nya dan setia-Nya, yang meneguhkan kasih setia-Nya kepada beribu-ribu orang, yang mengampuni kesalahan, pelanggaran dan dosa” (Kel. 34:6-7). Setelah tinggal di gunung selama 40 hari 40 malam, turunlah Musa kembali ke perkemahan, dengan muka yang bercahaya.

Menurut para rabi, peristiwa inilah yang menjadi hari lahirnya Yom Kippur, hari yang melambangkan puncak dosa dan kedurhakaan umat Allah dan begitu dalamnya kasih Tuhan yang tak pernah gagal serta pengampunan-Nya bagi mereka yang tidak layak. Kisah agung inilah yang dirayakan orang-orang Yahudi setiap tahun, dengan pakaian putih, yang melambangkan betapa mereka selalu membutuhkan belas kasihan dan anugerah ilahi.

Kisah Paskah Yahudi (Ibr. Pesach; Ingg. Passover) mengisi narasi kitab Keluaran tepat sebelum tibanya umat Allah di gunung Sinai. Sebagai bagian dari penyelamatan ilahi terhadap umat Israel dari belenggu perbudakan Firaun, Tuhan mendatangkan sepuluh tulah atas orang Mesir. Sebelum tulah kesepuluh (kematian anak sulung) dimulai, Tuhan menyuruh Musa untuk memerintahkan setiap keluarga Israel untuk menyembelih seekor anak domba dan menggunakan darahnya untuk menandai tiang pintu dan ambang pintu rumah mereka. Roh pemusnah, yang bertugas mengambil nyawa setiap anak sulung, melihat darah di pintu masuk rumah-rumah orang Israel dan melewatkan mereka (passes over), menghindarkan anak-anak sulung Israel dari kematian.

Yang diperlukan bukanlah sekadar memunculkan kembali kaitan antara Paskah Yahudi (Passover) dan Paskah Kristen (Easter).

Berdasarkan petunjuk Tuhan, Musa menetapkan bahwa Israel harus merayakan hari Paskah Yahudi setiap tahun, dan sampai hari ini, orang-orang Yahudi dengan setia berkumpul untuk perjamuan makan suci pada hari ke-14 bulan pertama, bulan Nisan (Kel. 12). Pada perjamuan makan itu, meja akan dihiasi dengan elemen-elemen dan makanan khusus, yang semuanya berperan untuk mengingatkan—secara harfiah, mencicipi—pengalaman malam yang penting itu dan persinggahan berikutnya sebelum melewati ganasnya gurun Sinai. Demikianlah umat Israel seterusnya mengenang kembali akan daging dan darah anak domba yang menandai—dan menyelamatkan—semua anak Abraham, Ishak, dan Yakub pada malam tergelap dalam catatan sejarah Mesir tersebut.

Selama ritual Seder Paskah tahunan, orang-orang Yahudi menghidupi dan menghadapi sekali lagi kesusahan dalam perbudakan, air mata keputusasaan, dan bahkan tangisan orang Mesir. Akan tetapi orang-orang Yahudi juga memperingati kemenangan atas pembebasan dari perbudakan, kegembiraan atas awal yang baru, misteri kuasa dan kasih Tuhan, dan pengharapan bahwa suatu hari nanti mereka akan membangun rumah yang layak di Tanah Perjanjian.

Seperti yang dijelaskan keempat Injil, Paskah Yahudi berfungsi sebagai latar belakang masuknya Yesus ke Yerusalem, perjamuan terakhir-Nya dengan para murid-Nya, dan kematian serta kebangkitan-Nya. Konstantinus di Konsili Nicea memutuskan untuk memisahkan Paskah Yahudi dari Paskah Kristen. Ini merupakan sebuah keputusan yang menggerakkan proses panjang penghapusan akar budaya Yahudi dari Pekan Suci.

Untuk menekankan dan menemukan kembali kekayaan hubungan yang mendasar ini, yang diperlukan bukanlah sekadar memunculkan kembali kaitan antara Paskah Yahudi dan Paskah Kristen, melainkan juga perlu memasukkan Yom Kippur ke dalam pemahaman kita tentang Pekan Suci. Dalam pemikiran Rosenzweig, serta dalam tradisi Yahudi pada umumnya, sebuah tallit—selendang doa Yahudi yang ikonik—adalah simbol dari sebuah kittel. Secara tradisional, tallit juga berwarna putih, dan umumnya hanya dipakai di siang hari, terkecuali pada malam Yom Kippur, selendang ini dikenakan setelah matahari terbenam. Bahkan, sudah menjadi tradisi untuk memakainya sepanjang hari selama Yom Kippur.

Banyak pria Yahudi tidak memiliki atau memakai tallit sampai setelah mereka menikah, dan sudah merupakan tradisi bagi pengantin wanita untuk memberikan tallit (daripada kittel) kepada pengantin pria pada hari pernikahan mereka. Tunangan saya, Yonah, memegang tradisi ini. Dan sebelum kembali ke Amerika untuk pernikahan kami, kami pergi ke mal Ramot di luar Yerusalem dan memilih tallit yang indah untuk saya berikan kepadanya sebagai bagian dari upacara pernikahan kami.

“Oleh karena itu, kita seharusnya tidak memiliki kesamaan dengan orang-orang Yahudi, karena Juruselamat telah menunjukkan kepada kita cara yang lain,” demikianlah Konstantinus menegaskan di Konsili Nicea. “Dalam perayaan yang paling suci dari semua festival, sungguh sangatlah tidak pantas untuk mengikuti perhitungan orang-orang Yahudi, yang telah mengotori tangan mereka dengan kejahatan yang paling menakutkan, dan yang pikirannya telah dibutakan.” Momen dalam kehidupan gereja yang demikian dikenal sebagai kontroversi Quartodeciman, karena masalah yang dihadapi adalah perayaan Paskah orang Yahudi pada hari ke-14 (quarta decima dalam bahasa Latin) bulan Nisan.

Kaum Quartodeciman adalah mereka yang menyukai perhitungan Paskah sesuai dengan perayaan Paskah komunitas Yahudi. Dahulu hal ini sangat dipegang teguh, karena pada dasarnya ini mengikatkan kalender Kristen ke kalender Yahudi. Namun keterikatan itu menjadi tidak dapat ditoleransi oleh gereja, karena itu gereja berusaha melepaskan diri dari Yudaisme, dan Konsili Nicea memperkuat pemisahan ini.

Yang hilang dalam keputusan ini adalah hubungan intensional yang dibuat dengan sangat jelas di dalam Injil. Makna dan signifikansi Pekan Suci hanya dapat dipahami sepenuhnya jika kita melihat sejarah Israel seraya kita menjalaninya. Kematian dan kebangkitan Mesias dipersiapkan polanya setelah umat Israel keluar dari Mesir, yang menjadi momen terbentuknya orang-orang Yahudi. Pada momen penting dari pendirian gereja ini, dengan pencangkokannya ke dalam kovenan abadi Israel dengan Allah, Yesus menjadi Anak Domba Paskah yang oleh darah-Nya umat Allah diampuni.

Seperti yang kita lihat di bidang-bidang lain, teologi Kristen sering kali berusaha menguraikan dengan rapi unsur-unsur yang oleh teologi Yahudi dibiarkan nyaman dalam ketegangan. Kontras ini juga disorot dalam perbedaan yang mungkin terjadi antara Paskah Yahudi dan Paskah Kristen.

Bagi gereja, Jumat Agung diperuntukkan bagi kematian, sedangkan hari Minggu ditetapkan sebagai perayaan kebangkitan hidup. Pengaturan ibadah temporal ini dapat berakhir dengan kesimpulan bercabang dua antara kehidupan dan kematian, sehingga memunculkan pernyataan yang berani (dan dualistik) bahwa, pada hari Minggu, kematian tidak lagi menjadi kekuatan yang perlu kita perhitungkan sama sekali. Kita diberitahu untuk berpegang teguh pada kehidupan dan melupakan kuasa maut, karena Yesus meninggalkan kematian sekali untuk selamanya di dalam kubur-Nya yang kosong. Dan sengat maut pun dapat dipindahkan kepada orang-orang di luar tembok gereja. Pesan ini sangat membingungkan dan pada akhirnya, tidak manusiawi.

Seperti yang telah dialami oleh sebagian besar kita, kenyataan hidup jauh berbeda dari pernyataan sederhana bahwa kematian/maut telah ditaklukkan oleh kebangkitan. Maut, dalam segala bentuknya yang berbahaya, masih menyelimuti kehidupan kita sehari-hari. Bahkan setelah kebangkitan Yesus yang mulia, kita terus bergumul dengan dimensi kemanusiaan kita yang menggelisahkan: trauma yang kita hidupkan kembali, kehilangan yang kita tanggung, kekecewaan yang kita kumpulkan, kecemasan yang melumpuhkan kita. Dan sayangnya, gereja bisa salah mengirim pesan terselubung bahwa apabila kita terganggu oleh pergumulan yang nyata ini, entah bagaimana hal itu menandakan bahwa kita kurang beriman atau salah memahami inti pesan dari kekristenan.

Pada sisi lain, Paskah Yahudi merangkul jalinan yang rumit antara kehidupan dan kematian; bahkan, Paskah Yahudi menggambarkan kehidupan dan kematian sebagai kekuatan yang saling terjalin dan konvergen. Sementara kehidupan pada akhirnya menang dalam narasi Israel, namun tradisi Yahudi mengingatkan kita bahwa tidak mungkin untuk memisahkan kehidupan yang kita alami dari ingatan kita akan kematian secara individu atau kolektif.

Pada meja Paskah Yahudi, kami mengingat kematian seekor anak domba yang darahnya menyelamatkan hidup kami. Kami bersyukur atas karunia kemerdekaan bahkan seperti rempah-rempah yang pahit mengingatkan kami pada pahitnya perbudakan. Kami bersukacita meninggalkan Mesir walaupun kami juga ingat bahwa Tanah Perjanjian masih belum menjadi rumah kami. Dan, luar biasanya, kami bahkan mengurangi kegembiraan kami dan mengingat penderitaan orang Mesir dengan menghapus tetesan anggur, minuman yang melambangkan kegembiraan, dari gelas kami.

Meski demikian, konfrontasi Yudaisme yang paling berani terhadap kematian, terjadi pada hari lain yang dinantikan dalam kisah Paskah Yahudi: Yom Kippur. Pada peringatan Yom Kippur, orang-orang Yahudi berdiri di hadapan Tuhan dalam pergolakan akan kematian, mengenakan jubah kedukaan namun diberkahi dengan keberanian untuk percaya bahwa Tuhan hadir dan dapat dijangkau bahkan dari dalam kubur sekalipun.

Seperti halnya Paskah Yahudi, tidak ada kehidupan yang terpisah dari kematian pada hari Yom Kippur. Bahkan kehidupan, ternyata, tidak memberi kita kemampuan untuk melupakan kematian. Keduanya berdiri bersama dalam paradoks yang mustahil, dan kita berjalan keluar dari realitas keduanya seraya kita menantikan penebusan yang final.

Paskah Yahudi dan Yom Kippur mengingatkan bahwa kita tidak dapat memisahkan atau mengatur kehidupan dan kematian dengan rapi atau secara kronologis.

Paskah Yahudi dan Yom Kippur mengingatkan bahwa kita tidak dapat memisahkan atau mengatur kehidupan dan kematian dengan rapi atau secara kronologis. Sayangnya, untuk saat ini, kita harus duduk di dalam ketegangan antara keduanya—dan inilah tepatnya tempat kita menemukan kepenuhan kasih Allah di dalam Kristus, Anak Domba Paskah kita yang darah-Nya menebus segala dosa kita.

Ironisnya, interpretasi tersembunyi yang menerangi ibadah Kristen pada Paskah dapat menghapus konteks yang memampukan kita untuk sepenuhnya memahami makna kematian dan kebangkitan Yesus. Dengan memakai Yudaisme sebagai pembungkusnya, tradisi Kristen terlalu sering mengaburkan kesatuan dan koherensi narasi alkitabiah, di mana kovenan Allah dengan Israel merupakan konteks yang diperlukan untuk memahami karya Yesus dan terbentuknya gereja.

Dari sudut ini, bukit Kalvari mulai terlihat lebih mirip dengan gunung Sinai. Tabir yang robek mengingatkan kita pada loh-loh yang pecah di gunung Sinai. Kematian Yesus mengingatkan akan pengorbanan pada hari Yom Kippur. Misteri Sabtu Suci mencerminkan syafaat Musa di atas Sinai. Dan kebangkitan Yesus mewujud-nyata menjadi sebuah kovenan yang diperbarui sekali lagi—yang merupakan sebuah pernyataan tentang keabadian kasih Allah yang tak berkesudahan, pertama kepada orang Yahudi dan kemudian kepada orang bukan Yahudi (Rm. 1:16).

Dengan pendekatan dari perspektif ini, maka pernyataan yang penuh sukacita bahwa “Kristus telah bangkit!” memberikan makna baru yang sangat mendalam bagi kita. Bagaimanapun juga, Juruselamat dunia adalah Mesias Israel yang telah lama ditunggu-tunggu.

Esai ini diadaptasi dari Finding Messiah karya Jennifer M. Rosner. Hak Cipta © 2022 oleh Jennifer Rosner. Diterbitkan oleh InterVarsity Press, Downers Grove, IL. www.ivpress.com. Michael Stone juga berkontribusi pada esai ini.

Diterjemahkan oleh: David Alexander Aden

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Instagram.

Culture

Pengunjung Gereja Mungkin Lebih Mengingat Lirik Lagu daripada Kutipan Khotbah

Jadi, mari pastikan bahwa kita mengajarkan doktrin yang sehat dalam ibadah!

Christianity Today April 21, 2022
Ilustrasi oleh Rick Szuecs / Sumber Gambar: Miguel Navarro / Getty / Wikimedia Commons

Sebelum membaca artikel ini, mulailah dengan melafalkan alfabet di kepala Anda.

Ada alasan mengapa Anda baru saja melawan godaan kuat untuk bersenandung. Itu alasan yang sama mengapa Anda dapat mengingat lagu pendek dari masa kanak-kanak dan lirik lagu rok favorit Anda, tetapi sulit mengingat kode sandi pengaman yang baru saja Anda buat minggu lalu.

Jika Anda dapat menyebutkan nama semua 50 negara bagian atau 66 kitab dalam Alkitab, saya menebak itu karena lagu. Guru sekolah minggu, pekerja pemasaran, penulis himne, bintang musik rok, dan guru taman kanak-kanak, semuanya sangat menyadari bahwa “apa yang dipelajari dalam sebuah lagu akan terus diingat dalam waktu yang lama.”

Dan ilmu saraf mendukung hal ini. Menyandingkan informasi dengan musik membantu hipokampus otak kita mendapatkan informasi tersebut dengan mudah. Musik adalah sarana pengajaran yang kuat, dan sebelum disiplin ilmu saraf ada, para pengikut Yahweh telah menggunakan sarana tersebut.

Nyanyian Miriam dalam Keluaran 15 disusun untuk memateraikan memori akan transendensi Allah ke dalam kesadaran umat-Nya. Seratus lima puluh mazmur, yang syairnya sendiri sangat berpengaruh, ditulis untuk dinyanyikan. Anak-anak Allah sangat memahami kebutuhan mereka untuk diingatkan melalui syair rohani yang ditata dalam melodi. Bagaimanapun juga, kita memiliki sejarah yang panjang karena melupakan dan dipanggil kembali untuk mengingat. Musik ditambah kata-kata sama dengan pengingat.

Tetapi musik tidak hanya membantu untuk mengingat. Kata-kata yang ditata bersama musik memiliki efek formatif yang sangat kuat. Lirik apa pun yang kita dengar atau nyanyikan dapat membentuk kita dengan benar atau keliru, tergantung pada isi lirik tersebut.

Dalam kelompok kaum muda saya di tahun 1980-an, kami didesak untuk menghancurkan rekaman dan kaset yang mungkin akan menyesatkan kami ke jalur musik sekuler. Jika Anda pernah mengunduh versi bersih dari sebuah lagu (yang tidak mengandung kata-kata atau bahasa makian atau seni yang bersifat seksual, kekerasan, atau menyinggung) alih-alih versi eksplisitnya (lagu yang sama tapi mengandung kata-kata atau bahasa makian atau seni yang bersifat seksual, kekerasan, atau menyinggung), Anda akan mengenali kekuatan formatif dari lirik-lirik. Rohani atau sekuler, lagu-lagu yang kita dengarkan sedang membentuk kita. Hal ini seharusnya mengejutkan kita dan membuat kita berpikir. Bagaimana lirik lagu dalam ibadah membentuk kita?

Apakah musik rohani hanya menggerakkan kita pada saat ini saja, atau membentuk kita untuk setia seumur hidup?

Yakobus 3:1 memperingatkan agar jangan banyak dari kita yang menjadi guru, sebab kita tahu, bahwa sebagai guru kita akan dihakimi menurut ukuran yang lebih berat. Saya hafal ayat itu dalam versi NIV yang lama sebagai “Janganlah banyak dari kamu yang menganggap diri sebagai guru.” Berbahaya jika menganggap diri bisa mengajar; sama berbahayanya jika menganggap bahwa musik yang kita nyanyikan dalam kebaktian kita tidak bernilai pengajaran. Pada hari Rabu, tiga poin khotbah pendeta akan dilupakan, tetapi bagian refrein dari lagu penyembahan masih didengungkan, karena pesannya berulang di dalam benak kita.

Maka penting untuk disadari, apakah mereka yang memimpin kita dalam pujian melihat tugas mereka sebagai yang menciptakan suasana hati atau memori. Jika yang diutamakan adalah suasana hati, maka lirik bisa menjadi kurang penting dibanding vokal dan instrumentasi. Jika yang diutamakan adalah memori, maka lirik sangatlah penting. Seperti Mazmur, lirik-lirik harus bisa berdiri sendiri, entah dipadukan dengan musik atau tidak.

Akan tetapi faktor-faktor lain juga bersifat formatif. Apakah kita menyanyikan musik yang berfokus pada individu atau kebersamaan? Apakah hubungan syairnya dengan Alkitab jelas, atau apakah kita menyanyikan syair yang berisi campuran pemikiran kristiani yang samar-samar? Apakah reaksi jemaat merupakan ukuran utama dari nilai sebuah lagu?

Singkatnya, apakah musik rohani hanya menggerakkan kita pada saat ini atau membentuk kita untuk setia seumur hidup? Menganggap diri mampu untuk menulis, memilih lagu, atau memimpin musik rohani berarti juga menganggap diri mampu untuk mengajar. Ini bukanlah pertanyaan apakah lagu-lagu kita mengajarkan sesuatu, melainkan apa yang diajarkan dari lagu-lagu kita.

Dalam zaman meluasnya kebutahurufan biblikal dan teologis, para pemimpin harus memilih lagu dengan hati-hati. Dalam kepemimpinan kita, banyak dari mereka yang akan menyanyikan lagu pujian adalah bayi-bayi rohani. Bayangkan jika lirik lagu ABC itu hanya 85 persen akurat. Bagi banyak orang, pertemuan hari Minggu adalah perjumpaan pertama mereka dengan gereja lokal. Sebelum mereka menghadiri kelas katekisasi atau pendalaman Alkitab, mereka akan duduk dalam kebaktian hari Minggu dan menerima pengajaran, tidak hanya melalui khotbah melainkan juga melalui nyanyian.

Sebagai seseorang yang berdedikasi untuk memerangi kebutahurufan biblikal di gereja, permohonan saya kepada para pemimpin gereja adalah: Pilihlah lagu yang mengajar dengan benar.

Pilihlah lagu-lagu yang melatih anak-anak rohani dalam bahasa alkitabiah, ajaran yang sehat, dan disiplin rohani. Ukirlah jalur memori jauh di dalam pikiran mereka, sehingga pemikiran yang benar dapat mengarahkankan pada perasaan yang benar, dan perasaan yang benar dapat memotivasi perbuatan yang benar. Berikanlah anak-anak Tuhan karunia memori yang indah di tengah pikunnya zaman ini. Ajari mereka untuk menyanyikan iman mereka.

Jen Wilkin adalah seorang istri, ibu, dan pengajar Alkitab. Dia adalah penulis Women of the Word dan None Like Him. Cuitannya di @jenniferwilkin.

Diterjemahkan oleh: David Alexander Aden

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, berlangganan buletin, ikuti kami melalui Facebook, Twitter, atau Instagram.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube