Massa Manipur Menghancurkan Ratusan Gereja Kami. Namun Tuhan Memanggil Kita Orang Kristen untuk Bertobat.

Apakah kita menggunakan malapetaka ini untuk bersembunyi dari dosa-dosa kita?

Kiri: Penduduk desa memeriksa puing-puing gereja yang dijarah setelah dibakar massa di Manipur. Kanan: Masyarakat Manipur berdoa untuk perdamaian.

Kiri: Penduduk desa memeriksa puing-puing gereja yang dijarah setelah dibakar massa di Manipur. Kanan: Masyarakat Manipur berdoa untuk perdamaian.

Christianity Today August 26, 2023
Ilustrasi oleh Christianity Today / Sumber Gambar: Getty

Sejak awal Mei, lebih dari 180 orang tewas di negara bagian Manipur, India timur laut. Sebagian besar para korban adalah orang Kristen dari suku minoritas Kuki-Zo dan, akibatnya, ribuan orang dari komunitas ini telah melarikan diri dari kekerasan itu untuk berlindung di wilayah lain negara bagian tersebut atau India.

Manipur adalah negara bagian yang tertutup bukit dengan lembah subur di tengahnya. Orang Meitei menduduki distrik-distrik di lembah, sedangkan distrik perbukitan adalah rumah leluhur dari berbagai komunitas suku, sebelum pemerintahan kolonial Inggris. Baik distrik perbukitan maupun masyarakat suku dilindungi di bawah undang-undang khusus Konstitusi India yang membatasi kepemilikan tanah di wilayah suku.

Konflik yang baru-baru ini terjadi dimulai setelah adanya protes secara damai dari komunitas suku terhadap upaya orang-orang Meitei untuk menjadi “suku terjadwal,” atau suku asli yang dilindungi pemerintah (di mana hal ini juga akan memberi mereka akses ke tanah perbukitan tersebut). Protes itu ditanggapi dengan kekerasan oleh massa Meitei yang radikal. Kekerasan lebih lanjut dipicu oleh ledakan kebohongan yang disebarkan konon oleh komunitas Meitei sendiri, yang dengan cepat menyebar ke ibu kota negara bagian, Imphal. Massa yang kejam mulai merampok rumah-rumah suku, gereja, institusi pendidikan, dan rumah sakit, dan menyerang penduduk, termasuk wanita dan anak-anak.

Saya seorang pendeta di Evangelical Baptist Convention, dan berikut ini adalah kisah salah satu pendeta kami di Imphal yang berbagi dengan saya pengalamannya ketika kekerasan pertama kali terjadi.

-Chinkhengoupau Buansing

Catatan: Artikel ini menyertakan penyebutan peristiwa kekerasan.

Sore hari tanggal 3 Mei 2023, kami menerima berita tentang bentrokan antara masyarakat suku dan orang Meitei di sebuah desa sekitar 60 kilometer (sekitar 37 mil) di luar Imphal, kota tempat kami tinggal. Kami terkejut, tetapi kami tidak menyangka kekerasan akan meningkat begitu cepat. Sebaliknya, seperti Rabu malam lainnya, kami pergi ke gereja, di mana kami secara teratur berkumpul untuk berdoa bagi para misionaris kami dan ladang misi mereka.

Sekitar pukul 20.30, setelah kebaktian selesai, kami mendengar laporan bahwa beberapa gereja di Imphal telah dibakar. Ada dua tempat tinggal di dalam kompleks gereja kami—milik saya dan penjaga gereja. Kami segera mengumpulkan keluarga kami dan pindah dari sana ke tempat yang kami pikir akan menjadi tempat yang lebih aman. Namun tak lama kemudian kami mendengar massa berteriak dan rumah-rumah dibakar di luar. Kami menghabiskan malam dengan ketakutan bahwa mereka akan menemukan tempat kami bersembunyi.

Keesokan paginya, kami kembali bersama keluarga ke tempat tinggal kami di kompleks gereja dan sarapan. Namun pada pukul 10 pagi, kami mendengar orang-orang berteriak-teriak dan menghancurkan rumah lagi. Pada saat itu, kebanyakan orang suku di daerah kami telah meninggalkan rumah mereka. Beberapa sudah kehilangan nyawa mereka di tangan massa yang haus darah.

Kali ini kami memutuskan untuk menuju ke rumah salah satu anggota gereja kami, seorang pejabat terpilih dari majelis legislatif negara bagian (yang kami sebut “MLA”), berharap pasukan keamanan di sana akan melindungi kami. Akan tetapi di rumah MLA, kami mendapat kabar bahwa dia bahkan hampir dipukuli sampai mati.

Menyadari bahwa kami tidak akan menemukan keamanan di sana, kami berlari menuju kamp paramiliter terdekat—salah satu dari sekian banyak kamp di Imphal karena banyaknya kelompok pemberontak. Dalam perjalanan, kami melihat rumah dan mobil orang-orang suku yang Kristen dibakar dan dijarah, tidak berbeda dengan yang kami lihat terjadi di Ukraina. Belakangan kami menyadari bahwa rumah-rumah dan bahkan kantor-kantor pemerintahan tempat tinggal orang-orang suku telah ditandai dengan cat oleh komunitas Meitei beberapa bulan sebelum kekerasan meletus.

Beberapa dari mereka yang melarikan diri mengatakan kepada saya bahwa mereka menyaksikan seorang ibu dan anak laki-laki dalam perjalanan mereka menuju kamp yang sama, ditarik dari mobil mereka dan dibacok sampai mati. Mereka yang berada di depan tidak bisa menolong mereka. Yang bisa mereka lakukan hanyalah menyaksikan neraka bermain di depan mata mereka.

Bahkan setelah kami tiba di kamp, gerombolan massa di luar terus mengganggu kami. Selama tujuh hari berikutnya, massa Meitei berkumpul di sekitar kamp, mengancam akan masuk dan membakar semuanya. Anak saya yang berusia tiga tahun sangat ketakutan sehingga dia tidak bergerak, bahkan ketika dia melihat nyamuk menggigit tangannya. Saya ingat seorang anggota gereja tidak dapat berbicara selama berhari-hari karena dia melihat seorang rekan Kristen dibacok sampai mati.

Saya kemudian diberi tahu bahwa ada sekitar 7.000 orang suku yang Kristen di kamp itu. Makanan harus dijatah dan bahkan kemudian, tidak cukup untuk kami semua. Mereka mulai menyajikan makan malam pada jam 4 sore dan kelompok terakhir akan mendapatkan makan malam mereka pada jam 10 malam. Piring dan sendok langka, dan beberapa dari kami harus makan dari kantong plastik. Saya percaya tidak ada dari kami yang mandi dengan layak selama kami tinggal.

Di tengah kengerian ini, selama kami tinggal di kamp, kami mengatur pertemuan doa dan mendorong satu sama lain untuk tetap kuat. Denominasi tidak memiliki arti di dalam kamp—kami semua adalah satu di bawah naungan Kristus.

Saya berharap saudara saudari kita yang Kristen di seluruh dunia setidaknya akan melihat sekilas situasi kami. Kami telah kehilangan banyak saudara saudari kami yang Kristen. Mereka ditarik keluar dari rumah mereka—ada yang dibakar hidup-hidup, ada yang dilempari batu sampai mati, dan ada yang dibiarkan mati di jalanan.

Saya dan banyak orang di komunitas kami percaya bahwa kami adalah korban dari upaya genosida yang disponsori negara untuk memusnahkan komunitas suku yang Kristen di Manipur. Kami diburu bukan karena kami adalah musuh negara atau karena keberadaan kami mengancam orang Meitei, tetapi karena mereka menginginkan lahan kepunyaan kami yang telah kami miliki selama beberapa generasi. (Ternyata tanah ini memiliki banyak mineral berharga). Sulit bagi saya untuk melihat kemungkinan kami hidup bersama dengan orang-orang lembah. Mereka telah menjelaskan bahwa mereka tidak ingin tinggal bersama kami. Garis telah ditarik dengan jelas dan pemisahan tampaknya menjadi satu-satunya pilihan logis bagi kami, jika kami ingin bertahan dan berkembang sebagai sebuah komunitas. Kami akan berdiri tegak sebagai orang Kristen dan hidup atau mati sebagai orang Kristen.

Waktu untuk bertobat?

Meskipun saya seorang pendeta, saya mengakui bahwa kadang-kadang saya berdoa agar para penindas kami dihancurkan. Saya senang ketika mendengar berita tentang para penindas ini ditembak mati.

Namun, seiring dengan saya berdoa tentang hal ini, saya dapat dengan yakin mengatakan bahwa saya tidak lagi menyimpan dendam ini. Keadilan akan ditegakkan dengan cara yang dianggap terbaik oleh Allah. Alkitab memberi tahu kita bahwa pembalasan adalah hak Allah (Rm. 12:19) dan saya tidak akan mengambil jalan lain.

Untuk itu, saya tidak terlalu peduli terhadap para penindas seperti halnya saya peduli terhadap anggota gereja saya. Saya telah menyaksikan iman jemaat gereja saya yang tak tergoyahkan kepada Yesus Kristus. Saya juga telah menyaksikan berbagai cara di mana Ia telah memimpin mereka melewati pencobaan berat ini. Akan tetapi saya juga yakin bahwa Tuhan meminta kami untuk mengubah jalan kami.

Sayangnya, di Manipur, orang-orang suku yang Kristen masih berjuang keras untuk mengutamakan integritas. Kami belum melindungi pemilu yang adil dan bebas di komunitas kami. Tidak dapat disangkali bahwa beberapa bukit kami dipenuhi dengan perkebunan opium dan bahkan beberapa dari kami menjadi pengedar narkoba.

Kami seharusnya tidak pernah memilih BJP, sebuah partai yang secara rutin memprioritaskan umat Hindu dengan mengorbankan agama lain, untuk memimpin negara kami. Akan tetapi karena ketergantungan negara bagian kami pada dana federal, dan hubungan dekat BJP Manipur dengan pemerintah nasional, maka kami mendukung mereka, meskipun sudah sangat jelas kami seharusnya tidak melakukannya.

Kami adalah komunitas Kristen dan seharusnya hidup seperti itu. Namun, sering kali kami memilih untuk mengabaikan Yesus dan lebih memilih untuk berteman dengan dunia.

Yang perlu kami lakukan adalah memandang kepada Bapa di surga, merendahkan diri kami di hadapan-Nya, mengubah apa yang perlu diubah, dan menantikan Dia. Seperti yang dikatakan 2 Tawarikh 7:14, “dan umat-Ku, yang atasnya nama-Ku disebut, merendahkan diri, berdoa dan mencari wajah-Ku lalu berbalik dari jalan-jalannya yang jahat, maka Aku akan mendengar dari surga, dan akan mengampuni dosa mereka, serta memulihkan negeri mereka.” Saya merasa bahwa perikop ini paling relevan bagi kami saat ini.

Saya percaya bahwa Tuhan ingin kami bertobat dari semua cara di mana kami telah berbuat salah dan menyimpang dari jalan-Nya. Saya tidak menyalahkan komunitas kami dengan mengatakan ini. Sebaliknya, saya ingin kami, komunitas suku yang Kristen, keluar dari kesulitan ini dengan lebih kuat dan lebih bahagia di dalam Kristus.

Bait-bait Allah

Setelah beberapa hari di dalam kamp, sang komandan memberi tahu kami bahwa dia akan mengatur evakuasi untuk kami ke bandara. Saya mulai berhubungan dengan anggota gereja saya—beberapa dari kami berada di kamp yang sama, sementara yang lain melarikan diri ke kamp yang berbeda.

Setelah tiket penerbangan diatur untuk mereka yang berencana terbang keluar dari Manipur, saya pun memesan tiket untuk saya dan keluarga. Saat ini, sebagian besar dari kami telah menemukan rumah baru, sementara sebagian dari kami masih tinggal di dalam kamp-kamp yang dikelola oleh organisasi filantropi kesukuan.

Saya terus terkagum-kagum dengan kasih karunia dan pemeliharaan yang telah Tuhan berikan kepada kami. Beberapa bulan yang lalu, kami melarikan diri demi hidup kami. Kami kehilangan semua harta benda kami dan beberapa dari kami bahkan kehilangan orang yang kami kasihi. Namun di sinilah kami sekarang, masih memuji Tuhan dan masih berharap untuk masa depan yang lebih baik. Kami telah kehilangan banyak, tetapi kami belum kehilangan semuanya.

Setahu saya, saat ini hanya ada sedikit gedung gereja yang masih berdiri di Imphal. Gereja kami masih berdiri, meskipun orang Meitei telah menjarahnya, mengubah bangunan menjadi pusat komunitas dan tempat tinggal pendeta menjadi kuil. Mereka telah memindahkan salib dari gedung gereja dan memasang bendera mereka sebagai gantinya.

Namun perbuatan yang membuat mereka merasa menang adalah perbuatan yang membuat kita umat kristiani menyadari bahwa kita tidak akan pernah bisa dikalahkan. Mereka menghancurkan bangunan-bangunan buatan manusia dan mengibarkan bendera mereka di atas bangunan-bangunan yang menurut mereka melambangkan iman kita.

Namun, andai saja mereka tahu apa yang Tuhan anggap sebagai bait-Nya. Kami meninggalkan rumah kami hanya dengan pakaian yang kami kenakan. Namun di sinilah kami, bait-Nya Allah, yang tetap menyembah Dia.

Diterjemahkan oleh Mellie Cynthia.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Di Indonesia, Kulit Putih Diagungkan. Beberapa Orang Kristen Menolak.

Terlepas dari colorism (diskriminasi berdasarkan warna kulit) yang mengakar dalam masyarakat, orang percaya menunjukkan bagaimana Alkitab mendefinisikan kembali harga diri seorang wanita.

Seorang wanita berjalan melewati papan reklame promosi di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta, Indonesia.

Seorang wanita berjalan melewati papan reklame promosi di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta, Indonesia.

Christianity Today August 4, 2023
Gambar: Permata Samad / Getty

Tumbuh di pulau Jawa, Indonesia, Happy Natalisa ingat saat ia diejek karena kulitnya yang gelap. Teman sekelasnya memanggil dia si hitam dan orang Papua karena ayahnya adalah orang Papua, kelompok etnis yang berasal dari provinsi paling timur Indonesia di Papua Barat.

Penampilannya memengaruhi bagaimana dia melayani di gereja. Dia lebih suka berada di belakang layar, memilih bergabung dengan pelayanan doa daripada menjadi pemimpin ibadah. Belakangan, dia menyadari bahwa ini disebabkan oleh “benih ketidakamanan.”

“Saya merasa sedih, bahkan bertanya kepada Tuhan mengapa saya lahir di Jawa, yang menyebabkan trauma di masa remaja saya,” kata Natalisa. Dia mendambakan kulit yang lebih cerah. Hanya melalui bantuan kelompok pemuridan perguruan tinggi bertahun-tahun kemudian, dia akhirnya dapat menerima warna kulitnya dan menemukan harga dirinya dalam pandangan Tuhan tentang dirinya. Namun tetap saja, rutinitas perawatan kulit harian wanita berusia 28 tahun ini mencakup sebotol kecil serum wajah berwarna merah muda yang menjanjikan kulit yang lebih terang dan cerah, dengan melindungi kulitnya dari paparan sinar matahari tropis Indonesia yang keras. Teman-temannya sekarang memuji kulitnya yang “bercahaya,” kata Natalisa dengan berseri-seri.

Seperti di banyak negara di dunia, produk pencerah kulit sangat populer di kalangan wanita Indonesia, karena sebagian besar menganggap “kulit cerah dan bercahaya” sebagai lambang kecantikan. Cara-cara perawatan kulit yang mencakup krim, losion, perawatan, atau pil—beberapa di antaranya dianggap berbahaya dan tidak efektif—telah berkembang menjadi industri bernilai miliaran dolar di seluruh dunia. Di Indonesia, pasar perawatan kulit diproyeksikan mencapai hampir 19 juta USD pada tahun 2030.

Dengan penduduk yang terdiri dari lebih dari 1.000 suku bangsa, Indonesia dibangun di atas gagasan Bhinneka Tunggal Ika, yang berarti dalam keberagaman tetap ada persatuan. Namun preferensi untuk kulit yang lebih terang, yang berakar pada kolonialisme, tetap meresap dalam masyarakat Indonesia dan dilanggengkan oleh iklan dan media.

Di tengah budaya yang mengutamakan kulit lebih terang ini, sejumlah orang Kristen Indonesia berjuang untuk melawan narasi tersebut. Melalui pelayanan wanita dan mempromosikan keragaman etnis di gereja, mereka mendefinisikan kembali kecantikan berdasarkan nilai-nilai alkitabiah.

Sejarah diskriminasi berdasarkan warna kulit di Indonesia

Standar kecantikan Indonesia saat ini dimulai pada era kolonial Belanda tahun 1600-an, yang membentuk hierarki sosial yang menempatkan mereka yang berkulit putih sebagai yang paling unggul, keturunan Tionghoa berikutnya, dan pribumi Indonesia di urutan paling bawah.

“Yang cerdas, yang berbudi luhur, dan yang patut diteladani [adalah] yang berkulit putih,” kata Esther Kuntjara, profesor ilmu bahasa dan budaya di Universitas Kristen Petra Surabaya. “Begitulah kebijakan yang diterapkan Belanda saat itu. Hal ini sudah tertanam kuat di sini.”

Bahkan setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, diskriminasi dan ketidaksetaraan berdasarkan warna kulit tetap ada melalui colorism, di mana masyarakat mengutamakan warna kulit yang lebih putih daripada yang lebih gelap. Orang dengan kulit lebih putih biasanya mendapat keuntungan di tempat kerja dan relasi mereka, sementara mereka yang berkulit lebih gelap mengalami kerugian dan prasangka sistemik.

Penggunaan model berkulit terang dalam iklan kecantikan dan kosmetik—awalnya diimpor dari AS atau Eropa, kemudian dari negara-negara Asia Timur—juga memengaruhi cara pandang orang Indonesia terhadap kecantikan, kata Agung Kurniawan, psikolog di Surabaya.

Kurangnya representasi warna kulit yang beragam di TV, film, dan media sosial juga berkontribusi pada efek paparan semata, di mana individu mengembangkan preferensi terhadap hal-hal yang yang mereka rasa familier. “Kesan bahwa kecantikan diasosiasikan dengan kulit putih sangat memengaruhi perempuan Indonesia sehingga menyebabkan maraknya produk pemutih kulit di Indonesia,” kata Kurniawan.

Saat ini, penelitian menunjukkan bahwa wanita Indonesia tidak menyukai kulit putihnya orang Amerika atau Eropa “karena [kulit] tampak putih kemerahan, seperti udang.” Warna kulit Tionghoa juga tidak disukai karena sejarah panjang diskriminasi terhadap orang Indonesia Tionghoa. Alih-alih, penjajahan Jepang di Indonesia (1942–1945) telah menyebarkan pandangan yang mendalam tentang kecantikan kulit putih khas wanita Jepang.

Bagi Helen Marlina, 32 tahun, seorang Kristen yang bekerja di sebuah perusahaan hubungan masyarakat multinasional, menggunakan produk pemutih kulit adalah investasi untuk karirnya. “Jika saya tidak memiliki kulit yang tampak cerah, saya merasa tidak cukup kredibel untuk melakukan pekerjaan saya,” kata Marlina. “Saya juga merasa bahwa masyarakat pada umumnya menganggap wanita dengan kulit lebih cerah lebih menarik dalam interaksi sosial sehari-hari.”

Sementara itu, Retno Lopis, seorang ibu rumah tangga berusia 53 tahun yang tinggal di Balikpapan, Kalimantan Timur, mengatakan bahwa ketika dia mulai mengoleskan salep pemutih kulit buatan lokal, dia mendapati kulitnya yang tadinya berminyak dan kusam dengan cepat menjadi lebih putih dan cerah. Namun dia berhenti menggunakannya karena merasa tidak nyaman dan tidak yakin dengan keamanan bahannya setelah melihat perubahan yang cepat. Meski tidak lagi menggunakan produk pemutih kulit, Lopis mengatakan dia masih percaya wanita dengan kulit yang lebih putih terlihat lebih bersih dan terawat. “Saya ingin menghilangkan pola pikir seperti itu, tetapi saya mengamati bahwa wanita dengan kulit lebih gelap cenderung terlihat kusam dan lebih tua.”

Mendidik generasi masa depan tentang kecantikan batin

Preferensi terhadap kulit putih begitu mengakar di masyarakat Indonesia, bahkan hingga saat ini, orang tua tidak menganjurkan anaknya menikah dengan orang yang berbeda etnis dengan kulit lebih gelap. Misalnya, orang Tionghoa Indonesia tidak ingin anak-anak mereka mencari pasangan dari ras lain kecuali mereka orang Barat berkulit putih, kata Kuntjara.

Ketika aktris Nana Mirdad memposting foto dirinya dan suaminya yang berkulit lebih putih di Instagram, dia menerima komentar yang mempertanyakan kecocokan mereka, dengan seorang netizen berkomentar bahwa dia harus “bersyukur” bahwa seseorang dengan kulit gelap seperti itu dapat menemukan suami berkulit putih. Di bawah gambar layar komentar tersebut, Mirdad menulis: “Jangan pernah merasa minder dengan warna kulit kita, apapun itu. Putih bukan berarti lebih baik dari sawo matang. Stop membeda-bedakan.”

Untuk mengatasi dampak negatif media dan iklan terhadap generasi muda, Kuntjara berpendapat penting bagi orang tua untuk mendidik anaknya di rumah. Ia mengatakan bahwa orang tua harus mengajarkan anak untuk tidak menilai orang berdasarkan warna kulit atau penampilan fisiknya, tetapi menilai orang lain berdasarkan hati, pola pikir, dan sikapnya. Meskipun ini mungkin tampak seperti saran yang biasa di dunia Barat, namun ini merupakan hal yang cukup baru di Indonesia.

“Ada hubungan timbal balik antara pengaruh media dan persepsi masyarakat,” katanya. “Jika masyarakat menjadi sadar bahwa konsep kulit putih hanyalah produk persepsi orang untuk kepentingan tertentu, narasinya mungkin mulai berubah.”

Orang tua Natalisa, Erina Saraswati, mencatat bahwa dalam membesarkan anak-anaknya, dia telah mengajari mereka bahwa meskipun orang lain mengejek, mereka tidak boleh menanggapi dengan tidak baik. “Saya mengatakan kepada mereka, ‘Biarkan mereka mengatakan hal-hal negatif tentang penampilan atau kulit gelapmu, tetapi ingat bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan,‘” kata Saraswati. “Jadi saya mendorong [Natalisa] untuk fokus pada keunggulannya di sekolah. Saat mereka tumbuh dan menjadi dewasa, saya juga mengajari mereka untuk membawa pengalaman ini ke dalam doa dan memaafkan mereka yang mengolok-oloknya.”

Teologi kecantikan Kristen

Susanna I. Setiawan berjuang untuk memerangi standar kecantikan yang tidak realistis di kalangan wanita Kristen melalui pelayanannya, Wanita Bijak Indonesia. Sejak tahun 2001, Wanita Bijak telah memberikan bimbingan dan pendampingan bagi perempuan, mulai dari remaja hingga dewasa, agar dapat mengalami pemulihan identitas gender sebagai ciptaan Allah. Melalui pelajaran yang berlandaskan pada Alkitab tentang keunikan seorang wanita, perannya, dan bagaimana dia bisa menjadi panutan, pelayanan ini bertujuan untuk membantu wanita menerapkan Firman Tuhan dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Organisasi ini awalnya dimulai dengan membimbing wanita di gereja lokal dan kini telah berkembang menjadi organisasi berskala nasional dengan kelompok-kelompok kecil di 91 kota di seluruh negeri serta pendalaman Alkitab secara daring yang telah menjangkau Singapura, Malaysia, Myanmar, Tiongkok, dan Belanda.

“Berawal dari kesadaran mendasar bahwa diciptakan sebagai perempuan adalah keindahan berharga yang dianugerahkan oleh Allah Yang Maha Pencipta,” kata Setiawan. “Saat seorang wanita memahami dan mengenali nilainya sendiri, dia akan menemukan kedamaian dalam dirinya dan merangkul seluruh keberadaannya.”

Wanita Bijak dimulai dengan kamp dan kelas bimbingan untuk wanita lajang dan menikah. Bimbingan kemudian diperluas untuk melayani remaja, dan sekarang mencakup kelompok khusus untuk wanita dalam berbagai tahap atau fase kehidupan: janda, ibu muda, guru, wanita dalam pelayanan, dan istri pendeta. Dalam kelas-kelas ini, Wanita Bijak menghadirkan pembicara untuk mengajarkan Alkitab dan memfasilitasi diskusi kelompok.

Dalam program pendampingan tentang kecantikan holistik, Setiawan mengatakan sebagian besar peserta bercerita bahwa mereka tidak puas dengan penampilan fisiknya. Banyak yang berpegang teguh pada standar kecantikan masyarakat tentang tubuh langsing, wajah ramping, kelopak mata ganda, dan kulit halus dan putih. Jadi Setiawan menunjuk pada Kidung Agung 1:5, “Memang hitam aku, tetapi cantik, hai putri-putri Yerusalem,” untuk menunjukkan bahwa ide kecantikan dari Allah tidak didasarkan pada warna kulit seseorang.

Di kelas Wanita Bijak, Setiawan sering memberikan catatan penting bahwa Alkitab tidak pernah menekankan penampilan fisik sebagai satu-satunya ukuran kecantikan wanita. Sebaliknya, wanita dalam Alkitab seperti Ribka, Abigail, dan Ester digambarkan cantik karena iman, sikap, karakter, dan perbuatan baiknya. Ia juga menekankan bahwa sangat penting bagi wanita untuk memiliki pemahaman yang benar tentang dirinya sendiri berdasarkan standar Firman Tuhan yang tidak berubah sehingga mereka merasa aman dan tidak mudah digoyahkan oleh ajaran dunia (Kol. 2:7–10).

Sebuah studi tahun 2016 oleh Universitas Biola mendukung poin tersebut: Dari 243 orang Kristen yang disurvei, mereka yang percaya bahwa tubuh mereka suci dan sengaja diciptakan oleh Allah cenderung merasa nyaman dengan tubuh mereka. Setiawan mencatat bahwa ketika orang Kristen menerima Yesus, Roh Kudus berdiam di dalam diri mereka, dan tubuh mereka bukan lagi milik mereka sendiri tetapi milik Allah. Oleh karena itu, “kita memperhatikan penampilan fisik kita, bukan karena hal itu menentukan harga diri kita, tetapi karena kita tahu bahwa kita sudah berharga,” ungkapnya.

Ia juga mencatat bahwa standar kecantikan berbeda-beda di setiap negara dan berubah seiring waktu, menciptakan tujuan yang terus bergeser. Daripada mengejar tren terbaru, wanita Kristen harus merawat tubuh mereka dan “menampilkan kulit yang bersih dan sehat sambil menonjolkan kecantikannya, terlepas dari warna kulit kita”.

Salah satu peserta Wanita Bijak adalah putri Setiawan sendiri, Stephani Chara. Sekarang berusia 23 tahun, Chara ingat kala ia berjuang sebagai remaja muda dengan rasa tidak aman atas kulitnya yang kecokelatan dan merasa iri pada wanita yang “lebih cantik secara alami”. Setelah bergabung dengan program Girls’ Talk yang berfokus pada remaja perempuan, dia perlahan-lahan menyadari bahwa nilai dirinya di mata Tuhan mengalahkan opini eksternal tentang apa yang indah.

“Saya akhirnya belajar bagaimana merawat diri dan kulit saya dengan lebih baik,” kata Chara. “Namun demikian, yang di luar tidak akan pernah mengubah apa yang sebenarnya sudah ada di dalam, nilai dan keberhargaan utama saya yang diberikan oleh Allah sendiri, yang telah menenun saya dengan sempurna di dalam rahim ibu saya.”

Keanekaragaman dan inklusi dalam umat Allah

Gereja juga dapat membantu mengakhiri diskriminasi atas warna kulit dengan menjadi lebih inklusif, kata Jefry Lie, pendeta muda GKBJ Kelapa Gading, sebuah gereja Baptis di Jakarta. Banyak gereja di Indonesia memisahkan diri berdasarkan etnis, seperti gereja Batak (yang mayoritas berasal dari suku Batak di Sumatera) atau gereja Tionghoa. Di gereja Lie, sekitar 90 persen beretnis Tionghoa, sedangkan 10 persen sisanya beretnis Jawa atau dari kota-kota di Indonesia Timur seperti Ambon dan Manado.

Lie sendiri adalah setengah Tionghoa dan setengah Toraja (kelompok masyarakat adat di Sulawesi Selatan), dan mendorong gereja menjadi ruang aman di mana orang dari semua etnis dan budaya dapat merasa disambut, diterima, dan dihargai. “Ketika gereja tidak dibatasi oleh warna kulit atau budaya tertentu, jemaat menjadi terbiasa dengan keberagaman, sehingga menumbuhkan wawasan yang luas dalam masyarakat tentang arti keindahan,” ujarnya.

Meskipun sebagian besar jemaatnya adalah orang Tionghoa, orang percaya non-Tionghoa menjadi beberapa pemimpin inti dan pelayan gereja, “jadi, meskipun mereka minoritas [di gereja], mereka merasa diterima,” kata Lie. Namun, mereka menghadapi tantangan karena beberapa orang di gerejanya tetap curiga terhadap orang-orang dari berbagai etnis, menganggap mereka yang berkulit gelap sebagai “kurang dari."

Dalam memimpin kaum muda gereja, Lie melihat ide-ide ini menjalar ke kalangan muda, karena generasi muda Tionghoa tidak mau bersosialisasi atau berkencan dengan non-Tionghoa.

“Saya mengajari remaja dan dewasa muda bahwa stigma seperti itu tidak datang dari Allah,” kata Lie. “Saya mendorong mereka untuk berinteraksi dengan orang-orang dari semua etnis dan yang memiliki warna kulit berbeda, baik dalam pelayanan gereja maupun dalam lingkungan sosial, sehingga mereka dapat memperluas perspektif mereka, menyadari bahwa individu dari etnis yang berbeda tidak seperti yang mereka pikirkan.”

Bagi Natalisa, keputusasaan atas kulitnya yang gelap hanya sirna melalui hubungan yang lebih dekat dengan Allah dan komunitas Kristen yang mendukung. “Saya tidak berani mengembangkan diri sampai saya menyadari nilai harga diri di mata Allah selama pemuridan di perguruan tinggi,” kenangnya. Dia bergabung dengan sebuah kelompok kecil di mana teman-temannya tidak hanya menegaskan keberhargaan dirinya dan menerimanya, melainkan juga membantu dia merangkul dirinya sendiri seperti yang Allah ciptakan.

Dengan melihat dirinya sendiri melalui perspektif alkitabiah, dia akhirnya mampu mengabaikan standar kecantikan dalam budaya. Dengan pemahaman ini, perspektifnya tentang dirinya berubah.

Dia menunjuk ke Kejadian 1:26—“Berfirmanlah Allah: Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita…’”—sebagai landasan utama yang membantu dia menerima penampilannya.

“Dari ayat ini, saya mengerti bahwa saya sudah diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, jadi mengapa saya harus mengubahnya?” kata Natalisa. “Jika Yang Mahakuasa mengatakan saya sudah sempurna saat menciptakan saya, apa lagi yang perlu diubah?”

Maria Fennita dan Ivan K. Santoso berkontribusi pada laporan ini.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Gereja Sedang Kehilangan Orang-orang yang Lebih Tua di Jemaatnya

Mengapa generasi boomer dan Gen X keluar dari gereja dengan jumlah yang lebih tinggi daripada orang Kristen yang lebih muda?

Christianity Today August 2, 2023
Ilustrasi oleh Jared Boggess

Robrenna Redl bukanlah tipe orang yang diharapkan banyak pendeta untuk berhenti datang ke gereja. Warga Lincoln di Nebraska ini masih ingin menjadi seorang Kristen yang setia. Ia memiliki sejarah panjang dalam keterlibatannya dengan pelayanan gereja. Umurnya sudah lebih dari 40 tahun.

Redl mengenal Yesus di usia 30-an, dan selama tahun-tahun berikutnya, dia menjadi jemaat teladan dari sebuah gereja konservatif non-denominasional.

“Saya melayani dengan sungguh-sungguh sebagai guru Sekolah Minggu untuk anak-anak SD selama tujuh tahun dan untuk anak-anak SMP selama enam atau tujuh tahun,” katanya. Dia melayani di tim kepemimpinan pelayanan wanita dan bekerja untuk gereja selama lima tahun. Dia adalah jemaat yang setia.

Namun pada tahun 2018, setelah 17 tahun melayani, dia meninggalkan gereja.

Redl tidak sendirian. Pola kehadiran di gereja menunjukkan bahwa orang yang berusia di atas 40 tahun—yaitu, Gen X dan baby boomer—setidaknya memiliki kemungkinan yang sama besar untuk berhenti datang ke gereja dibanding dengan generasi milenial dan Gen Z.

Ada suatu masa ketika para pendeta dari mimbar melihat ke arah jemaat beruban yang duduk di bangku gereja dan menganggap mereka sebagai jemaat yang setia. Mereka adalah orang-orang yang kesetiaannya tidak perlu dikhawatirkan.

“Orang-orang menganggap remeh,” kata Ryan Burge, seorang pendeta dan peneliti, bahwa “generasi the Golden Girls itu tidak akan pernah pergi. Mereka akan selalu berada di sana setiap hari Minggu apa pun yang terjadi.”

Namun menurut Barna, beberapa penurunan terbesar dalam kehadiran di gereja selama tiga dekade terakhir terjadi pada orang dewasa yang berusia 55 tahun ke atas. “Kita tidak bisa begitu saja menyalahkan kaum muda atas penurunan kehadiran di gereja,” kata Savannah Kimberlin, direktur solusi penelitian Barna.

Orang-orang meninggalkan gereja dari semua kelompok usia, tidak terkecuali generasi yang lebih tua. Menurut Burge, “Saat ini tidak ada kelompok usia yang lebih religius dibandingkan dengan 12 tahun lalu.”

Barna menemukan bahwa persentase orang yang melaporkan kehadirannya di gereja setiap minggu di Amerika antara tahun 1993 dan sebelum pandemi 2020 mencapai angka tertinggi 48 persen pada tahun 2009, kemudian anjlok menjadi 29 persen pada tahun 2020.

Hal ini sebagian disebabkan karena semakin banyak orang Amerika yang tidak pernah datang ke gereja ketika dewasa. Generasi milenial dan Gen Z, yang berusia 38 tahun atau lebih muda pada tahun 2022, secara statistik kurang religius dibandingkan dengan orang tua dan kakek nenek mereka pada usia yang sama.

Namun hal ini berbeda dari persoalan orang-orang yang meninggalkan gereja, di mana orang-orang yang tadinya pernah menjadi bagian dari sebuah gereja lalu mereka berhenti hadir.

Pada tahun 2009, 46 persen generasi boomer dan 44 persen Gen X mengatakan bahwa mereka pergi ke gereja setiap minggu. Sebelum wabah COVID-19 pada tahun 2020, angka-angka tersebut turun hampir sepertiganya menjadi 32 persen dan 29 persen. (Sebagai perbandingan, partisipasi generasi milenial di gereja turun sekitar 22 persen selama periode yang sama, dengan sekitar seperempatnya hadir di gereja setiap minggu pada tahun 2020.)

Lifeway Research melaporkan bahwa seiring berlanjutnya pandemi virus corona, hampir semua gereja telah mengadakan pertemuan tatap muka sejak Agustus 2021, dan sebagian besar jemaat telah hadir kembali.

Namun, Burge menemukan dalam data pemerintah AS bahwa dalam beberapa tahun terakhir, orang dewasa berusia antara 55 dan 64 tahun mengurangi kehadiran di gereja secara signifikan, menurunkan tingkat kehadiran mereka sebesar 10 poin persentase. Orang dewasa yang lebih tua ini tidak sesuai dengan pola generasi lainnya, yang melaporkan tingkat kehadiran di gereja yang sama pada tahun 2018 dan 2021. Hal ini mungkin berarti bahwa gereja-gereja akan segera menyadari penurunan jumlah jemaat yang lebih tua, meskipun polanya belum jelas.

Data ini menantang beberapa kepercayaan yang sudah lama dipegang teguh tentang jemaat gereja yang lebih tua, tulis Burge dalam sebuah buku baru, 20 Mitos tentang Agama dan Politik di Amerika. Salah satunya adalah apa yang ia sebut sebagai “efek siklus hidup,” yaitu gagasan bahwa orang-orang yang dibesarkan di gereja akan meninggalkan gereja ketika mereka sudah mandiri setelah lulus SMA, tetapi akan kembali lagi ke gereja untuk membesarkan anak-anak mereka. Ketika anak-anak mereka sudah mandiri dan keluar dari rumah, beberapa dari orang tua ini akan keluar dari gereja, tetapi sebagian besar akan tetap tinggal.

Meski terdengar logis, namun teori ini belum menggambarkan perilaku orang Amerika sejak generasi baby boomer menjadi dewasa, Burge berpendapat. “Datanya cukup jelas,” katanya. “Efek siklus hidup tidak berlaku lagi.” Ketika orang-orang berhenti menghadiri gereja akhir-akhir ini, para pendeta mereka tidak dapat mengharapkan mereka untuk kembali.

Pada Desember 2017, Pew Research Center menyurvei orang Amerika tentang alasan mereka tidak pergi beribadah. Tanggapan dari orang-orang Kristen menunjukkan suatu kesenjangan generasi yang jelas.

Di antara mereka yang berusia di atas 65 tahun yang tidak ke gereja, 45 persen mengatakan mereka tidak pergi ke gereja karena “Saya mempraktikkan iman saya dengan cara lain.” Dengan proporsi yang hampir sama, orang-orang yang berusia antara 50 dan 64 tahun mengatakan hal yang sama. Dengan kata lain, kurang dari separuh orang Kristen yang berusia di atas 40 tahun yang berhenti ke gereja merasa bahwa mereka masih mempraktikkan iman mereka.

Lain halnya dengan orang dewasa yang lebih muda. Hanya sekitar seperempat dari mereka yang berusia 18 hingga 29 tahun yang mengatakan bahwa mereka tidak pergi ke gereja karena mereka mempraktikkan iman mereka dengan cara lain.

David Landow menggembalakan Emmanuel Presbyterian Church di Wilmington, Delaware. Ia menemukan bahwa mereka yang meninggalkan gereja cenderung terbagi dalam dua kelompok: mereka yang “memudar” dan mereka yang “memisahkan diri.”

Kelompok “memudar” termasuk orang-orang yang ia kenal yang telah memasuki komunitas pensiunan dan tidak lagi hadir secara teratur. “Mereka tidak murtad,” kata Landow. “Gereja sepertinya tidak lagi menjadi prioritas bagi mereka.” Ia percaya bahwa hal itu berlaku bagi banyak orang dewasa yang lebih tua yang meninggalkan gereja.

Nate Phillips menggembalakan Kirk in the Hills, sebuah gereja Presbiterian (AS) di Michigan, dan telah menyaksikan tren orang dewasa yang lebih tua meninggalkan gereja. Ia mengatakan bahwa ketika jemaat tidak merasa puas, mereka mencari kegiatan yang lebih baik untuk mengisi waktu mereka daripada melayani di gereja.

Baru-baru ini Phillips berbincang dengan salah satu jemaat paruh baya yang telah meninggalkan gereja. “Saya mengasihimu. Saya mengasihi orang-orang di sana,” pria itu menjelaskan. “Namun sejujurnya, semua yang saya dapatkan di gereja juga saya dapatkan di klub sepak bola saya.”

Dalam survei Pew tentang jemaat yang berhenti dari gereja, kurang dari sepertiga (28%) orang Kristen berusia di atas 65 tahun yang tidak pergi ke gereja mengatakan bahwa mereka berhenti karena tidak menyukai gereja. Kelompok ini memilih pernyataan seperti “Saya belum menemukan gereja yang saya suka,” “Saya tidak suka khotbahnya,” dan “Saya tidak merasa diterima.”

Sebagian besar generasi boomer “tidak terpaku pada reputasi negatif gereja,” kata Kimberlin. Akan tetapi orang Kristen yang lebih muda lebih kritis.

Sekitar 38 persen orang yang berusia 50 hingga 64 tahun dan berusia 18 hingga 29 tahun mengatakan bahwa mereka tidak datang ke gereja karena beberapa hal yang tidak mereka sukai di gereja. Landow menyebutnya sebagai “kelompok yang memisahkan diri.” “Ini semacam krisis paruh baya,” katanya.

Hasil survei Pew ini cocok dengan temuan penelitian lainnya. Kimberlin mengatakan bahwa Gen Z dan kaum milenial lebih cenderung memandang gereja sebagai tempat yang mudah menghakimi dan memiliki pandangan yang kurang positif terhadap perannya di dalam sebuah komunitas.

Josh Laxton, asisten direktur Billy Graham Center di Wheaton College, percaya eksodus jemaat gereja dipicu oleh berbagai faktor. Beberapa orang pergi karena pandangan gereja yang tidak sejalan dengan pandangan pribadi mereka. Sebagian lagi merasa bahwa ketegangan yang meningkat atas isu-isu seperti politik dan keadilan sosial telah membuat gereja menjadi tempat yang tidak nyaman bagi mereka.

Josh Baker adalah profesor di East Tennesee State University dan editor Sosiologi Agama. Baker menemukan bahwa perbedaan utama antara mereka yang pergi dan tinggal di gereja adalah afiliasi politik. Mereka yang mengidentifikasi diri sebagai Independen atau Demokrat secara politis kemungkinan besar akan berhenti menghadiri gereja dan menjalankan iman mereka secara pribadi, katanya.

Namun, kata Burge, orang jarang keluar dari gereja karena alasan dramatis seperti skandal atau pelecehan. “Kenyataannya, kebanyakan orang meninggalkan gereja karena alasan yang sangat praktis,” katanya. Mereka mungkin pindah rumah, atau kehidupan mereka menjadi sibuk dan gereja tidak senyaman sebelumnya. “Beberapa orang bahkan tidak bisa menjelaskan alasan mereka meninggalkan gereja dengan spesifik. Mereka hanya meninggalkan gereja begitu saja.”

Tentu saja, beberapa orang dapat menunjukkan alasan tertentu untuk meninggalkan gereja. Bagi Redl, ini adalah perubahan yang ia lihat di gereja yang selama ini ia hadiri. “Gereja menjadi semakin antagonis terhadap ‘yang lain,’ tidak selaras dengan fakta bahwa saya adalah yang lain,” kata Redl, yang berkulit hitam dan memiliki dua anak keturunan campuran.

Dia mengatakan bahwa gereja juga mulai menunjukkan keberpihakan dengan politik ekstrem kanan dan menangani pelecehan seksual di gereja dengan buruk.

Meskipun dia merasa tidak nyaman di gereja yang dia tinggalkan, Redl juga belum dapat menemukan gereja yang cocok di tempat lain. “Sejak keluar, saya bergumul untuk kembali ke gereja,” katanya. “Saya mencoba pergi ke gereja yang dihadiri anak-anak saya yang sudah dewasa, tetapi gereja itu terlalu muda dan hipster untuk saya.”

Ia telah mencoba beberapa pertemuan informal dan beribadah di sebuah gereja melalui Zoom, tetapi dia belum bergabung secara resmi. “Saya bergumul untuk menemukan pijakan karena ketidakpercayaan saya terhadap orang Kristen dalam kelompok,” katanya. “Saya bisa duduk dalam percakapan empat mata, tetapi menjadi rumit bagi saya untuk bercakap-cakap dalam kelompok.”

Phillips khawatir tentang dampak rohani yang ditimbulkan oleh orang-orang yang keluar seperti Redl, tidak hanya bagi jemaat yang meninggalkan gereja, tetapi juga bagi mereka yang terjebak dalam riak-riak akibat kepergian orang-orang seperti Redl.

“Saat ini dunia terasa berputar-putar, dan kita telah kehilangan momen,” kata Phillips. “Paling tidak, kami dulu menawarkan kompas moral,” tetapi sekarang dia mengatakan bahwa orang Amerika tidak lagi mengandalkan gereja untuk hal itu.

“Saya pikir orang-orang mencari makna dan hal yang tak terbatas serta suatu koneksi dengan kisah yang hebat,” katanya. Dalam kebaktian dan kegiatan gereja, “terkadang kita terjebak dalam banyak hal yang terbatas.”

Namun, tetap saja, orang-orang yang menganggap gereja sebagai tempat untuk mendengar khotbah yang membangkitkan semangat atau untuk mendapatkan kalibrasi moral, mungkin menunjukkan kenyamanan ketika mendengarkan khotbah atau lagu yang direkam daripada hadir di kebaktian gereja. Aktivitas-aktivitas seperti itu mungkin menjadi alasan mengapa banyak orang tua yang sudah tidak lagi beribadah di gereja memercayai bahwa mereka masih mempraktikkan iman mereka, masih belajar, dan masih beribadah.

Namun, gagasan bahwa "kotak" ibadah gereja dapat centang tanpa bertemu dengan orang percaya lainnya bertentangan dengan prinsip Alkitab. Ibrani 10:24–25 memberi tahu orang Kristen untuk bertemu sebagai bagian dari upaya yang disengaja agar saling menguatkan. Orang-orang tidak berhenti membutuhkan gereja begitu mereka menjadi orang percaya yang dewasa.

Laxton tahu bahwa Alkitab penuh dengan perintah untuk bertemu dengan orang percaya lainnya. Orang-orang tidak berhenti membutuhkan satu sama lain, membutuhkan tempat untuk berkumpul, hanya karena mereka dapat mengunduh siniar. Dia menunjukkan bahwa jika orang tidak menjadikan gereja sebagai prioritas, kehidupan di dunia tidak akan kekurangan aktivitas untuk memikat mereka agar meninggalkan gereja.

Meskipun komitmen seperti pengasuhan anak (untuk anak atau cucu), pekerjaan, dan tuntutan hidup lainnya dapat membuat beberapa orang yang berusia di atas 40 tahun tidak datang ke gereja, Laxton mencatat bahwa akhir pekan yang dihabiskan untuk bepergian di masa pensiun juga mengganggu kehadiran di gereja secara teratur.

Alasan gereja Amerika ditinggalkan jemaatnya tidaklah terletak pada perubahan nilai-nilai yang dianut oleh gereja, kata Baker, karena penelitiannya tidak menemukan adanya perubahan dalam ajaran gereja tentang pentingnya bertemu secara langsung. Sebaliknya, ia justru menunjuk pada munculnya cara lain untuk mendengarkan khotbah atau musik penyembahan.

Scott McConnell, direktur eksekutif Lifeway Research, mengatakan bahwa peristiwa-peristiwa dalam hidup sering kali dapat memicu perubahan dalam kehadiran di gereja. Pada orang dewasa yang lebih muda, mungkin karena kuliah, tetapi di tahun-tahun berikutnya, pindah ke kota baru atau menjalani hidup berdua saja karena anak-anak sudah mandiri, bisa sama-sama mengganggu kehadiran di gereja. Bahkan jika teori siklus hidup tidak berlaku, peristiwa dalam hidup masih merupakan titik transisi, dan semua itu dapat membuat partisipasi orang Kristen di gereja terasa lebih merepotkan atau kurang bermanfaat.

Landow percaya bahwa banyak dari mereka yang kecewa dengan kekristenan melakukannya ketika hidup mereka tidak sesuai dengan harapan mereka. “Mungkin pernikahan mereka tidak seperti yang mereka pikirkan, atau membesarkan anak tidak memuaskan seperti yang mereka pikirkan,” katanya.

Pada saat-saat seperti itu, mungkin terlihat bahwa iman mereka dibangun di atas dasar yang salah. Landow telah bekerja dengan banyak orang yang memandang perjalanan Kristen mereka sebagai daftar pencapaian: lulus, menikah, punya anak. Namun, setelah semua itu tercapai—atau jika kemungkinan rangkaian peristiwa tersebut telah berakhir—mereka akan berada di persimpangan jalan. Mereka tidak melihat apa arti pemuridan di luar pencapaian-pencapaian tersebut.

Dalam beberapa tahun terakhir, Landow juga melihat gejolak spiritual yang dialami para orang tua ketika anak-anak mereka meninggalkan iman. Jika orang tua tidak memiliki dasar iman yang teguh, pergumulan itu juga dapat membuat mereka meninggalkan iman. Beberapa orang merasa seperti memilih antara iman dan keluarga.

“Jika iman Anda berjalan dengan asap yang dihasilkan sendiri, Anda akan kehabisan bensin,” kata Landow.

“Jika mereka tidak melihat nilai dalam iman mereka sendiri, maka hal itu menjadi dasar keputusan bagi mereka,” kata McConnell. Ia percaya itulah mengapa penting bagi gereja-gereja untuk mempertimbangkan semua kelompok usia yang berisiko meninggalkan gereja.

“Seiring bertambahnya usia, mereka cenderung menjadi lebih dewasa secara rohani, tetapi hal itu tidak menghilangkan risiko atau kemungkinan bahwa mereka dapat tersesat atau tidak ingin lagi beribadah bersama orang percaya lainnya.”

Jika para pemimpin dan anggota gereja mengingat hal tersebut dan menjangkau mereka yang sudah lama tidak ke gereja untuk mengetahui apa yang sedang mereka gumulkan dan memberi tahu mereka bahwa mereka dihargai, McConnell mengatakan bahwa hal itu dapat membantu melawan tren tersebut.

Landow percaya bahwa penting bagi gereja untuk berhati-hati agar tidak memberikan kesan yang salah bahwa kehidupan Kristen adalah serangkaian pencapaian-pencapaian yang mulus.

“Kehidupan Kristen tidaklah mudah, dan ini bukanlah sebuah janji bahwa jika Anda menjalani langkah-langkah ini, keinginan Anda akan terpenuhi,” kata Landow. “Kekristenan adalah tentang merindukan kerajaan Allah yang akan datang. Namun kita telah membuat kekristenan lebih merindukan begitu banyak hal di masa yang sekarang.

Pendeta Kate Murphy dari gereja The Grove di Charlotte, North Carolina, menggembalakan sebuah gereja yang hampir mati. Dia telah melihat banyak orang meninggalkan gereja dan hal itu lebih sering disebabkan karena preferensi pribadi dibanding sebab yang lain. Akan tetapi Tuhan memakai orang lain dalam hidupnya untuk membuat dia berpikir lebih mendalam.

“Sangat mudah untuk duduk di dalam gereja dan berpikir tentang orang-orang yang memilih pergi makan siang atau memilih memotong rumput mereka pada Minggu pagi atau memilih mendaftarkan anak-anak mereka ke liga olahraga yang dimainkan pada Minggu pagi,” kata Murphy. “Sangat mudah untuk melihat pilihan-pilihan tersebut dan berpikir, ‘Ya, orang-orang itu tidak berpikir sedalam kita. Mereka tidak peduli sedalam kita. Mereka tidak menganggap Tuhan seserius kita.’”

Namun pada akhirnya, ia menyadari bahwa gerejanya tidak memenuhi kebutuhan rohani jemaat.

“Ketika orang-orang datang mencari transformasi rohani dan mencari sarana yang membuat hidup di dunia yang rusak ini bisa menjadi lebih baik, kami tidak memilikinya. Jadi orang-orang pun pergi meninggalkan gereja,” kata Murphy.

Ia percaya bahwa solusinya adalah para pemimpin dan jemaat harus bertobat, mengakui bahwa ada yang salah, dan mengakui bahwa mereka yang ada di dalam gereja telah berkontribusi terhadap masalah tersebut. Roh Kudus masih bekerja, dan orang-orang masih memiliki kebutuhan rohani yang rindu untuk dipenuhi.

“Saya pikir sebagian dari kita di dalam gereja telah melupakan betapa Injil sangatlah transformatif dan mengubahkan hidup. Secara inheren dan intrinsik, Injil itu sangatlah baik,” kata Murphy. “Jika kita kembali kepada pemahaman tersebut, saya pikir kita akan melihat bahwa Tuhan itu setia.”

Kimberlin, pada bagiannya, berharap penelitian Barna dapat membantu para pemimpin gereja untuk berpikir tentang bagaimana memperkuat jemaat mereka dan melayani generasi yang lebih tua.

“Apakah Anda memastikan bahwa generasi yang lebih tua Anda mendapat tempat di gereja Anda? Saya pikir fakta bahwa mereka telah menjadi jemaat gereja yang setia sepanjang hidup mereka dan sekarang mereka meninggalkan gereja di usia 50-an dan 60-an benar-benar memperlihatkan sesuatu yang mereka rasakan secara mendalam tentang rasa memiliki atau nilai.”

Burge percaya bahwa gereja memiliki peluang dan risiko besar di hadapan mereka. “Mengabaikan orang yang lebih tua sama saja dengan mengabaikan mereka atas risiko Anda sendiri,” katanya.

Namun ini bukan hanya tentang kemampuan gereja untuk terus berjalan seperti sebelumnya. Seperti yang dikatakan McConnell dari Lifeway, “Setiap generasi adalah berarti bagi Tuhan dan harus berarti bagi gereja.”

Adam MacInnis adalah seorang reporter di Kanada dan kontributor tetap di CT.

Diterjemahkan oleh George H. Santoso.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Barbie dan Ken Pergi ke Timur Eden

Bagi umat kristiani, film terbaru Greta Gerwig adalah kesempatan untuk mempertimbangkan “kejatuhan yang menguntungkan.”

Christianity Today August 1, 2023
Courtesy of Warner Bros. Pictures

Pertanyaan tentang gender dan seksualitas menjangkiti gereja-gereja Injili, mulai dari SBC hingga PCA. Buku-buku tentang topik ini pun semakin bertambah banyak. Dalam konteks ini, dapat dimengerti jika beberapa orang melihat film Barbie yang baru sebagai sebuah salvo lain dalam perang gender. Akan tetapi proyek terbaru Greta Gerwig ini terlalu berlapis-lapis untuk dibaca melalui hermeneutika literalis.

Alih-alih menawarkan penegasan yang buta terhadap feminisme atau kritik terhadap patriarki, film ini mengeksplorasi bagaimana kita menggunakan ideologi untuk menembus cara kerja yang serabutan dalam bertumbuh sebagai manusia. Perang gender bukanlah plot ceritanya, melainkan latarnya. Mereka membentuk dunia tempat Barbie dan Ken mengejar kedewasaan.

Pertimbangkan arahan karakter Ken. Selamanya dikutuk menjadi “Ken saja,” kekasih Barbie ini menemukan jati dirinya melalui relasi bersama Barbie. Ken “bucin,” atau tunduk secara berlebihan kepada Barbie, dengan mengikutinya ke Dunia Nyata. Namun sesampainya di sana, dia menangkap sebuah visi untuk kehidupan yang berbeda—kehidupan di mana pria berkuasa tetapi yang lebih penting lagi, dia merasa dipandang dan dihargai. Berkat The Patriarchy™, Ken membawa gagasan superioritas pria kembali ke Barbie Land sebagai jalan pintas menuju pertumbuhannya sendiri.

Film ini sejalan dengan pengamatan terbaru Christine Emba bahwa pria modern berada dalam “krisis identitas yang meluas—seolah-olah mereka tidak tahu bagaimana menjadi diri mereka sendiri.” Kehilangan jati diri ini, menurutnya, adalah apa yang memicu popularitas para guru maskulinitas sayap kanan mulai dari Jordan Peterson hingga Andrew Tate. Suara-suara itu tampaknya menawarkan jalan bagi para pemuda untuk maju. Bahwa hal itu sering kali mengarah pada misogini, seperti yang terjadi dalam petualangan Ken sendiri, sebenarnya hanyalah sebagian dari intinya.

Pada akhirnya, Ken menyadari akar ketidakpuasannya, yang sebenarnya tidak terlalu berkaitan dengan tatanan sosial melainkan lebih kepada pelepasan diri melalui sikap dan identitas performatif.

Perjalanan Barbie juga diarahkan untuk menjauh dari stereotip gender dan menuju kedewasaan pribadinya. Namun tidak seperti Ken, yang mempelajari nilainya sendiri, Barbie belajar merangkul ketidaksempurnaan dirinya. Ketika Barbie tiba-tiba dilanda pemikiran tentang kematian dan tumitnya jatuh ke lantai, dia mencari bantuan dari Weird Barbie, seorang Barbie buangan yang bertindak seperti guru. Dalam sebuah adegan yang mirip dengan film The Matrix, Weird Barbie menawarkan pilihan: Dia bisa kembali ke dunia non-realitas, atau dia bisa bergerak menuju pengetahuan dengan melakukan perjalanan di Dunia Nyata.

Namun, alih-alih pil biru atau pil merah, dia menawarkan Barbie sepatu hak tinggi berwarna merah muda atau sandal Birkenstock (yang akan mengakomodasi kakinya yang sekarang rata). Meskipun Barbie ingin memilih sepatu hak tinggi dan kembali kepada kepolosannya, berbagai pertanyaan dan tantangan memaksanya untuk meninggalkan Barbie Land demi mencari jawaban.

Baik Barbie maupun Ken menjelajah melampaui dunia plastiknya untuk menemukan kemanusiaan mereka yang utuh (dan bergender). Meskipun pertanyaan-pertanyaan eksistensial ini menyegarkan dalam film arus utama, keajaiban yang sesungguhnya ditemukan dalam cara mereka bergerak menuju kedewasaan: melalui ketidaksempurnaan dan kesalahan.

Sebagaimana kritikan Vox (dan mantan kolumnis CT) Alissa Wilkinson, film ini seperti menceritakan kembali kisah Kejatuhan manusia ke dalam dosa. Baik dalam kitab Kejadian maupun Barbie, seorang wanita prototipikal memperoleh pengetahuan terlarang dan kemudian menawarkannya kepada teman prianya. Keduanya bertemu dengan hilangnya kepolosan mereka dan diasingkan dari kesempurnaan.

Bagi kaum Injili, membingkai pendewasaan dalam kerangka dosa asal dapat sangat meresahkan, terutama karena Gerwig tampaknya menyarankan bahwa pengetahuan berdasarkan pengalaman diperlukan untuk perkembangan manusia. Sebaliknya, kita memahami narasi kitab Kejadian sebagai kisah pemberontakan. Dengan memilih apa yang dilarang, perempuan dan laki-laki menjadi tidak taat dan berada di bawah kutukan yang akan mengganggu seluruh keberadaan mereka—dari bumi melalui kaki mereka (yang datar) hingga tubuh mereka sendiri.

Terlebih lagi, banyak dari teologi dan praktik Injili ditujukan untuk membalikkan kutukan ini. Kita memahami Yesus sebagai Adam Kedua, yang datang untuk menebus dan memulihkan yang terhilang (Rm. 5:12-20). Kita menantikan hari ketika kita kembali sempurna lagi.

Namun, dalam kerangka ini, terkadang kita mengabaikan proses yang digunakan Tuhan untuk menguduskan kita. Ketika kita mengakui keberdosaan kita, kemudian kita meyakinkan diri kita sendiri bahwa hidup bersama Kristus akan menjadi sebuah garis tren yang semakin lama semakin baik, yang pada akhirnya menghasilkan kesempurnaan. Setelah dimulai oleh Roh, kita cukup yakin bahwa kita dapat melanjutkannya dengan kekuatan kita sendiri. Namun sejauh pendekatan pemuridan ini menyangkali kemanusiaan kita, maka kita akan bergumul untuk hidup dengan ketidaksempurnaan kita. Seperti yang dikatakan seorang konselor kepada saya baru-baru ini, “Kamu bukan malaikat, Hannah. Kamu seorang manusia.”

Dalam hal inilah teologi dapat membantu kita. Meskipun memahami dengan benar bahwa kejatuhan manusia ke dalam dosa sebagai kerugian, para teolog dari Ambrosius hingga Agustinus, Aquinas hingga Wycliffe juga menamakannya “kejatuhan yang menguntungkan”—kejatuhan yang mengungkapkan kebaikan Tuhan dengan cara yang tidak dapat dilakukan oleh kesempurnaan manusia. Sebagaimana John Milton mengungkapkan gagasan tersebut dalam Paradise Lost,

Oh Kebaikan yang tak terbatas, Kebaikan yang tak terhingga! Bahwa semua yang baik dari yang jahat akan menghasilkan, Dan kejahatan berubah menjadi kebaikan; lebih indah Daripada yang diciptakan pertama kali Terang keluar dari kegelapan!

Kita tidak berbuat dosa supaya kasih karunia makin berlimpah (Rm. 6:1); namun, kasih karunia memang berlimpah. Entah bagaimana Tuhan dapat mengambil kegagalan kita dan menjadikannya sebagai pemahaman yang lebih kaya dan lebih mendalam tentang diri kita sendiri dan kasih karunia-Nya. Dalam sebuah ironi ilahi, kita hanya dapat memahami kasih karunia ketika kita membutuhkannya. Atau seperti yang dikatakan Yesus dalam Lukas 7:47, orang yang sedikit diampuni, sedikit juga ia berbuat kasih, sedangkan orang yang banyak diampuni, mengasihi lebih banyak.

Dengan demikian, pengudusan menuntut kita agar meninggalkan cara-cara hidup yang penuh polesan plastik dan merangkul kemanusiaan kita yang diberikan oleh Tuhan, apa adanya. Ini mengharuskan kita beralih dari bentuk-bentuk yang diidealkan menuju kepada kompleksitas kehidupan yang diwujudkan. Ini mengharuskan kita meninggalkan Barbie Land.

Bagi orang Kristen, proses ini ditopang oleh inkarnasi Kristus sendiri, yang menegaskan kebaikan keberadaan manusia bahkan di dunia yang terkutuk sekalipun. Dan hal ini dijamin oleh kematian dan kebangkitan Kristus, yang menawarkan baik pengampunan maupun pengharapan dalam menghadapi kegagalan kita.

Ketika kita merangkul ketidaksempurnaan hidup kita, dan saat kita menerima dunia yang ditandai oleh keraguan, dosa, dan kematian, kita melakukannya dengan penuh keyakinan akan realitas kasih Allah bagi kita. Pada akhirnya, bukan kesalahan kita yang membuat kita utuh, melainkan Tuhan yang menebus kesalahan kita. Tuhanlah yang, meskipun mengetahui setiap kelemahan dan ketidaktaatan kita, tetap memanggil kita untuk beristirahat di dalam ketaatan-Nya yang sempurna.

Atau seperti yang dikatakan seorang teman saya baru-baru ini, Tuhanlah yang melalui Kristus berkata kepada anak-anak-Nya yang meragu, “Aku tahu persis mengapa engkau berada di tempatmu sekarang ini, bahkan lebih daripada yang engkau lakukan. Alasannya bahkan lebih mendalam dari yang engkau tahu. Dan Aku secara pribadi akan menjaminmu. Jadilah dirimu sendiri.” Dengan cara ini, kasih Allah membuat kita menjadi nyata.

Hannah Anderson adalah penulis Made for More, All That’s Good, dan Humble Roots: How Humility Grounds and Nourishes Your Soul.

Diterjemahkan oleh Vika Rahelia.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Cara Meningkatkan Peluang Anda untuk Sebuah Pernikahan yang Sukses

Jika Anda sedang menjalani masa pacaran yang serius, jangan masuk begitu saja ke dalam komitmen seumur hidup. Buatlah keputusan dengan penuh pertimbangan.

Christianity Today August 1, 2023
Ilustrasi oleh Rick Szuecs / Sumber gambar: Envato

Sejumlah besar orang Kristen yang taat memercayai bahwa hidup bersama sebelum menikah adalah ide yang bagus— setidaknya 41 persen, menurut perkiraan. Meskipun jauh lebih banyak orang tidak beragama yang memercayai hal yang sama (88%), namun 41 persen bukanlah angka yang kecil, dan kemungkinan besar akan terus bertambah seiring waktu.

Sebuah laporan terbaru dari Institute for Family Studies menyurvei orang-orang yang menikah pertama kali pada periode tahun 2010 hingga 2019. Kolega saya Galena Rhoades dan saya menemukan kesimpulan yang mirip dengan penelitian sebelumnya: Pola hidup bersama sebelum menikah tetap dikaitkan dengan kemungkinan perceraian yang lebih tinggi.

Hal yang sering dilewatkan orang-orang adalah inersia yang muncul saat hidup bersama. Intinya, pasangan yang tinggal bersama membuat mereka lebih sulit untuk berpisah sebelum benar-benar mengokohkan komitmen mereka. Banyak dari mereka terjebak dalam hubungan yang seharusnya sudah bisa mereka tinggalkan.

Konsisten dengan teori inersia kami ini, kami menemukan bahwa pasangan yang hidup bersama sebelum bertunangan memiliki kemungkinan 48 persen lebih besar untuk mengakhiri pernikahan mereka dibandingkan mereka yang hidup bersama setelah menikah atau setidaknya setelah bertunangan. Kami juga menunjukkan bahwa hidup bersama demi “menguji relasi” atau kenyamanan finansial terkait dengan risiko perceraian yang lebih tinggi.

Berdasarkan penelitian ini, orang-orang Kristen yang sedang mempertimbangkan untuk menikah mungkin bertanya-tanya apa yang dapat mereka lakukan untuk meningkatkan peluang agar pernikahan mereka langgeng. Nasihat pernikahan memang tidak mahal dan mudah didapat. Akan tetapi penelitian terbaru ini menunjukkan bahwa langkah-langkah dan tindakan pencegahan tertentu akan meningkatkan kemungkinan untuk tetap bersama “sampai maut memisahkan kita.”

Pertama, jangan percaya gembar-gembor bahwa hidup bersama itu baik bagi hubungan Anda.

Meskipun orang Kristen konservatif lebih kecil kemungkinannya untuk hidup bersama sebelum menikah, tetapi banyak juga yang melakukannya. Mengingat sebagian besar pria dan wanita percaya bahwa hal ini dapat meningkatkan peluang mereka untuk sukses dalam pernikahan, maka praktik ini sangat menggoda. Namun hanya ada sedikit bukti bahwa hidup bersama sebelum pernikahan dapat meningkatkan peluang pernikahan yang langgeng. Sebaliknya, ada banyak bukti yang justru memperumit tujuan tersebut.

Bertentangan dengan tren budaya, pasangan harus mempertimbangkan jalur tradisional: pertunangan dulu, lalu menikah, kemudian hidup bersama. Langkah-langkah tersebut membantu memastikan kejelasan tentang komitmen yang Anda buat saat Anda melangkah maju menuju kehidupan bersama. Langkah-langkah itu juga memberikan Anda garis keputusan yang lebih jelas yang memisahkan hidup Anda sebelum dan sesudah menikah.

Pelan-pelan saja. Pengaturan waktu dan urutan dapat membawa Anda ke jalur hubungan yang benar.

Ada banyak manfaat untuk berjalan perlahan-lahan saat sebuah hubungan berkembang. Sangat lambat? Tidak. Beberapa pasangan menunggu bertahun-tahun untuk menikah, lama setelah mereka tahu seperti apa masa depan yang mereka inginkan. Pendekatan tersebut dapat membawa masalah tersendiri—misalnya, memasuki pernikahan tanpa sukacita dan energi dari komitmen bersama.

Mengapa penting untuk tidak terburu-buru? Dua orang membutuhkan waktu untuk belajar lebih banyak tentang satu sama lain, mengklarifikasi harapan dan kepercayaan, serta mengembangkan hubungan mereka dalam komunitas keluarga dan iman. Dalam banyak relasi, para pasangan percaya bahwa mereka memiliki pemahaman yang sama tentang pernikahan padahal sebenarnya tidak. Butuh waktu untuk mendapatkan kejelasan. Beberapa orang Kristen bergerak terlalu cepat menuju pernikahan karena mereka sedang menjauhkan diri dari seks di luar pernikahan dan ingin segera mendapatkan segalanya. Akan tetapi mereka justru melewatkan banyak hal yang perlu mereka lihat.

Seberapa lambat Anda harus melangkah? Tergantung. Saya sering memberi tahu orang-orang bahwa mereka harus melihat seseorang setidaknya melalui empat musim. Namun, bagi sebagian besar orang, satu tahun adalah waktu yang terlalu singkat. Demikian pula, pertunangan yang lama bisa menjadi sangat berharga. Hal ini memberikan kesempatan bagi pasangan untuk mempraktikkan komitmen tingkat tinggi dan “mencoba” untuk saling setia di hadapan umum dengan pernikahan sebagai tujuannya. Dan sering kali hal ini memunculkan tantangan yang dapat memperkuat atau merusak hubungan.

Buatlah keputusan dengan pertimbangan; jangan dengan gampangan.

Komitmen melibatkan pengambilan keputusan untuk meninggalkan pilihan-pilihan lain. Ini adalah sebuah keputusan yang penuh pertimbangan—dan harus didasarkan pada informasi yang baik. Akan tetapi yang mengejutkan, ternyata hanya sedikit hubungan yang mengikuti model dasar ini. Sebuah penelitian penting tentang kohabitasi menunjukkan bahwa orang cenderung meluncur begitu saja ke dalam hidup bersama, tanpa ada diskusi tentang hal itu dan tidak ada keputusan yang mencerminkan komitmen.

Kami melihat kurangnya niat yang sama dalam cara pria dan wanita berkomunikasi. Kita hidup di era ambiguitas . Pasangan sering kali menghindari untuk berterus-terang satu sama lain, mungkin dengan keyakinan naif bahwa jika mereka tidak mengungkapkan keinginan mereka, maka mereka tidak akan terlalu terluka jika hubungan mereka gagal. Namun, tentu saja, hal itu jarang berhasil. Meskipun bukan ide yang baik untuk “berbicara serius” pada kencan pertama atau kedua, jangan menghindari diskusi yang lebih dalam ketika keadaan berubah menjadi lebih serius.

Keterusterangan sangat penting karena pasangan kencan seringkali memiliki tingkat komitmen yang sangat berbeda. Anda pasti tidak ingin baru mengetahuinya setelah Anda mengatakan “Saya bersedia.” Dengan membicarakan berbagai hal dengan calon pasangan, Anda menyisakan lebih sedikit ruang untuk kesalahpahaman, dan Anda akan lebih mungkin membawa niat bersama ke dalam janji seumur hidup.

Pendekatan “memutuskan dengan pertimbangan” ini tidak menjamin kesuksesan dalam sebuah hubungan, tetapi tidak berarti juga bahwa Anda akan hancur. Namun, secara seimbang, lebih banyak pernikahan akan bertahan jika pasangan mendapatkan sinyal yang jelas jauh sebelum melakukan transisi yang mengubah hidup.

Jangan hidup bersama untuk menguji hubungan.

Jika Anda ingin mengetahui apakah orang yang Anda kencani cocok atau tidak, Anda dapat melakukannya tanpa hidup bersama. Ikuti pembinaan dan pendidikan tentang relasi. Bicarakan tentang seperti apa masa depan bersama nantinya. Lihat apakah Anda cocok dengan berpacaran untuk jangka waktu yang lebih lama. Luangkan waktu untuk memiliki pengalaman bersama pasangan Anda dalam lingkungan sosial yang berbeda. Perhatikan bagaimana perasaan Anda terhadap orang ini dan bagaimana dia memperlakukan orang lain. Dan tanyakanlah pendapat teman, anggota keluarga, dan rohaniwan yang dapat dipercaya tentang pasangan Anda.

Jika saat ini Anda hidup bersama pasangan, berusahalah untuk mencari tahu ke mana tujuan Anda. Pelajari relasi Anda dan tantangan-tantangannya. Bicaralah secara terbuka dan jelas tentang harapan-harapan Anda. Jangan menghindari untuk mengajukan pertanyaan sulit. Ambiguitas bukanlah teman Anda. Carilah masukan dari orang lain yang Anda percayai, termasuk rohaniwan, pemimpin awam, dan teman-teman yang bijaksana. Dapatkan informasi, dukungan, dan hikmat di mana pun Anda dapat menemukannya. Dan terakhir, gunakanlah semua sumber daya yang tersedia.

Setiap pasangan dengan komitmen serius dapat menjelajahi banyak buku, sumber-sumber materi secara daring, lokakarya, dan layanan terapi yang dibuat untuk mendukung mereka. Berikut adalah beberapa saran:

Buku:

Pertimbangkan untuk membaca buku Lima Bahasa Kasih: Rahasia Mencintai Pasangan Anda Secara Langgeng karya Gary Chapman, Reconnected: Moving from Roommates to Soulmates in Your Marriage oleh Greg dan Erin Smalley, atau A Lasting Promise: The Christian Guide to Fighting for Your Marriage oleh saya dan saya rekan—Daniel Trathen, Savanna McCain, Milt Bryan—serta buku-buku lain tentang relasi dan persiapan pernikahan.

Pembinaan atau konseling pranikah:

Bukti menunjukkan bahwa layanan pembinaan dan konseling pranikah dapat membantu mencegah masalah perkawinan, jadi carilah dukungan pranikah di wilayah Anda. Gereja lokal Anda juga bisa menjadi sumber yang bagus. Pendeta atau pemimpin awam di komunitas iman Anda mungkin menawarkan bimbingan yang bermanfaat.

Untuk pasangan yang sedang menghadapi masalah, carilah bantuan lebih cepat daripada nanti. Begitu banyak orang menunggu terlalu lama sebelum mendapatkan dukungan profesional. Dan jika Anda berada dalam suatu hubungan yang tidak Anda yakini, temui seorang konselor yang mungkin dapat membantu Anda mendapatkan perspektif lain.

Lokakarya untuk pasangan:

Meski masih jarang, semakin banyak gereja yang menyediakan lokakarya pernikahan dan relasi (seperti yang dilakukan berbagai lembaga komunitas). Lokakarya yang mendidik seperti ini dapat membantu pasangan memperkuat hubungan dan komitmen mereka. Anda juga dapat mencari program-program daring yang telah teruji secara ketat untuk para pasangan. Program-program ini mungkin tidak berasal dari sudut pandang Kristen, tetapi tetap merupakan program yang solid.

OurRelationship adalah program pendidikan relasi secara daring berdasarkan pendekatan terapi pasangan yang populer dan efektif. Temukan di ourrelationship.com .

ePREP adalah program online yang didirikan berdasarkan hasil kerja puluhan tahun dalam Program Pendidikan Relasi dan Pencegahan. Temukan di lovetakeslearning.com .

Carilah juga sumber-sumber daring lainnya.

Tim di PREP Inc.—pengakuan jujur: Saya adalah salah satu pemilinya—memproduksi berbagai sumber materi untuk membantu orang-orang agar berhasil dalam relasi terpenting mereka, termasuk video berdurasi empat menit yang didasarkan pada penelitian kami, tersedia di YouTube: “Relationship DUI—Are You Sure You’re in Love? ” Video ini menjelaskan risiko dari relasi yang terlalu cepat dan terkunci terlalu dini. Ini adalah sebuah video yang luar biasa untuk dibagikan kepada teman-teman.

Institute for Family Studies juga menawarkan sumber-sumber yang relevan . Beberapa tahun yang lalu, rekan saya Galena Rhoades dan saya menulis sebuah laporan publik berjudul Before “I Do” tentang bagaimana pengalaman pranikah dikaitkan dengan kualitas hubungan setelah menikah.

Komunitas Gereja:

Ada banyak pembicaraan akhir-akhir ini tentang kesepian dan keterasingan. Ini adalah masalah yang serius. Penelitian menunjukkan bahwa pasangan juga semakin jarang berada dalam komunitas dengan orang lain dan lebih cenderung untuk “sendirian berdua saja.” Itu bukan jalan terbaik untuk pernikahan Anda.

Namun ada kabar baiknya. Jika Anda tidak terlibat dalam komunitas gereja, Anda bisa mulai terlibat. Salah satu cara terbaik untuk melindungi pernikahan Anda—dan kesejahteraan Anda sendiri—adalah dengan terhubung dengan orang lain yang dapat mendukung Anda dan pernikahan Anda, berdoa bersama Anda, dan berada di sana saat Anda menempuh perjalanan ke depan. Anda juga dapat mendukung dan menyemangati orang lain yang berada dalam posisi yang sama.

Jika Anda adalah pasangan yang “sendirian berdua saja,” temukan tempat di mana Anda dan pasangan Anda (atau calon pasangan) dapat bertumbuh dalam komunitas, dan mulailah mengejar kehidupan yang lebih utuh dan bermakna. Itu salah satu dari banyak cara yang dapat Anda berdua lakukan demi menentukan masa depan kalian, bukan hanya mengalir begitu saja.

Scott Stanley adalah seorang profesor penelitian di departemen psikologi di University of Denver dan rekan senior di National Marriage Project di University of Virginia dan Institute for Family Studies.

Diterjemahkan oleh Fanni Leets.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Mengapa Orang Kristen Terus Berkhotbah pada Diri Sendiri

Pengudusan, meskipun pasti, namun tidak terjadi seketika.

Christianity Today August 1, 2023
Justin Paget / Getty / Editan oleh Rick Szuecs

Anda mungkin pernah mendengar seorang pendeta berkomentar di tengah nasihatnya yang menusuk, “Saya sedang berkhotbah pada diri saya sendiri.” Kalimat itu sering digunakan untuk meyakinkan para pendengar bahwa, “Ya, apa yang saya sampaikan adalah perkataan yang pedas, tetapi pertama-tama dan terpenting, perkataan ini berlaku bagi saya pribadi.”

Saya dari dulu selalu menghormati sikap seperti ini, tetapi belum lama ini saya mulai menghargainya secara lebih mendalam. Ketika menelusuri Instagram, mata saya tertuju pada sebuah kutipan yang ditulis dengan menarik di sebuah foto buram: “Anda tidak akan pernah berbalik dari dosa yang tidak Anda benci.”

Ini terasa seperti waktu yang ilahi. Pesan itu saya dapatkan tidak lama setelah saya melakukan dosa yang sudah biasa, yaitu salah satu dosa yang sebenarnya saya harap sudah saya tinggalkan. Sebagai orang percaya selama lebih dari empat dekade, saya sangat menyadari bahwa kesabaran Tuhan terhadap saya barangkali sudah menipis karena kelemahan yang satu ini. Lalu mengapa saya masih bergumul melawan dosa itu?

Jawabannya sudah dijabarkan di hadapan saya: Saya belum membencinya. Belum seperti seharusnya. Belum cukup habis-habisan untuk mematikannya sekali dan untuk selamanya. Seperti istri Lot, saya masih melihat ke belakang, kepada sesuatu yang seharusnya saya benci, sesuatu yang darinya saya telah diseret keluar. Dengan keyakinan dan pengakuan yang masih segar, Tuhan memilih untuk menyampaikan sebuah khotbah singkat kepada saya melalui Instagram. Dan dari semua itu, Ia menyampaikannya dengan memakai kata-kata saya sendiri.

Ya, kalimat itu adalah milik saya, tertulis dalam buku-buku saya dan diajarkan melalui mulut saya selama bertahun-tahun, serta terpajang dengan tepat agar dilihat semua orang. Dalam dunia alternatif yang aneh yaitu media sosial, saya benar-benar sedang berkhotbah kepada diri saya sendiri.

Inilah tanggung jawab besar dari sebuah pelayanan pengajaran: mengetahui bahwa Anda kemungkinan besar akan mengajarkan sesuatu yang melebihi kemampuan Anda sendiri untuk taat, mengetahui bahwa akan ada hari-hari ketika Anda tidak akan mempraktikkan apa yang telah Anda khotbahkan. Akan tetapi, ini juga merupakan suatu kewajiban dari kehidupan Kristen. Paulus menasihati para pendengarnya untuk meneladani dia sebagaimana ia meneladani Kristus, tetapi juga mengakui bahwa ia masih berperang melawan dosa.

Semua orang yang dengan setia mewartakan Kabar Baik Kristus harus melakukannya dengan hati-hati, menyeimbangkan rasa takut yang sehat akan kemunafikan dan rasa takut yang sehat agar jangan sampai kebenaran Allah tidak terucapkan. Berdiam diri bukanlah pilihan bagi pengikut Kristus. Orang-orang munafik biasanya mengkhotbahkan apa yang mereka sendiri tidak berniat untuk melakukannya, tetapi rata-rata orang yang benar berkhotbah dengan kesadaran bahwa kebiasaannya untuk taat pun belum merupakan ketaatan yang sempurna.

Akan ada hari-hari di mana kata-kata kita di masa lalu melampaui perbuatan kita saat ini. Ya Tuhan, tolonglah kami. Pengudusan, meskipun pasti, namun tidak terjadi seketika. Namun kita berharap hal itu dapat terjadi.

Kita menyukai perubahan sekejap mata. Ketika saya dibesarkan di tahun 70-an, perubahan itu seperti goyangan hidung yang bisa langsung membersihkan rumah yang berantakan di film Bewitched. Saya suka adegan tipuan kamera itu. Pada masa kini, perubahan yang sekejap mata itu seperti foto sebelum dan sesudah di media sosial. Geser saja untuk melihat lemari yang berantakan berubah menjadi rapi. Geser saja untuk melihat ruangan yang kotor berubah menjadi bersih. Geser saja untuk melihat wajah yang berjerawat berubah menjadi mulus. Kita tahu bahwa di antara foto pertama dan kedua, ada banyak usaha yang telah dilakukan selama berjam-jam, tetapi kita lebih peduli tentang bagaimana semuanya itu berubah daripada proses untuk bisa sampai ke sana.

Inilah tanggung jawab besar dari sebuah pelayanan pengajaran: mengetahui bahwa Anda kemungkinan besar akan mengajarkan sesuatu yang melebihi kemampuan Anda sendiri untuk taat.

Andai saja kehidupan Kristen bisa seperti itu. Secara posisi, kita berubah dari orang celaka menjadi orang yang ditebus dalam sekejap. Akan tetapi secara praktis, kita “mengerjakan keselamatan kita” selama bertahun-tahun.

Pengudusan bukanlah soal sesuatu yang kita geser, melainkan sebuah kerja keras. Pengudusan jarang terlihat seperti penghentian langsung dari suatu dosa tertentu. Sebaliknya, kita menjadi lebih lambat untuk melangkah ke dalam perangkap yang sudah biasa kita lakukan dan lebih cepat untuk mengakui ketika kita melakukannya. Lebih lambat untuk mengulangi, lebih cepat untuk bertobat. Hal ini menjadi seperti sebuah mantra pengharapan. Kebencian kita terhadap dosa adalah hal yang kita pelajari seumur hidup.

Ketika membaca kata-kata saya sendiri di Instagram, saya menyadari kebenarannya. Ya, saya telah kembali lagi ke dosa yang lama, yang sudah tidak asing lagi, tetapi saya tidak dapat mengingat kapan terakhir kali hal itu terjadi. Setelah bertahun-tahun, dosa yang dulu sering saya lakukan, kini sudah jarang. Puji Tuhan! Yesus mengajarkan bahwa mereka yang berduka atas dosa akan dihibur. Ada kesedihan baru ketika kita mengakui dosa yang kita ulangi berkali-kali, tetapi ada penghiburan yang nyata ketika kita melihat jarak yang semakin jauh terbentang di antara pengakuan-pengakuan tersebut.

Jarak yang semakin lebar itu menunjukkan kepada saya bahwa kasih karunia Allah memang benar mengajari saya untuk mengatakan tidak terhadap kefasikan dan melatih saya untuk menjalani hidup bijaksana, adil dan beribadah (Tit. 2:11-12). Saya sedang ditransformasi. Dan Tuhan yang mengerjakan transformasi ini sangat sabar terhadap saya. Sungguh betapa luasnya kemurahan Allah itu. Bahkan ketika—bukan, khususnya ketika—saya berkhotbah kepada diri saya sendiri.

The Beginning of Wisdom memberikan perspektif seorang pengajar Alkitab tentang pertumbuhan rohani dan penelaahan Alkitab di gereja, kelompok kecil, dan keluarga kita.

Jen Wilkin adalah seorang istri, ibu, dan pengajar Alkitab. Dia adalah penulis Women of the Word dan None Like Him. Cuitannya di @jenniferwilkin.

Diterjemahkan oleh Kalvin Budiman.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Culture

Apa Untungnya Orang Kristen Melindungi Institusi tetapi Kehilangan Jiwanya?

Ambisi kita harus ditempatkan di belakang hati nurani kita.

Christianity Today July 30, 2023
Ilustrasi oleh Ūla Šveikauskaitė

Almarhum pendeta Eugene Peterson, dalam sepucuk surat kepada putranya, yang juga seorang pendeta, menulis bahwa masalah utama pemimpin Kristen adalah bertanggung jawab bukan hanya pada tujuan akhir tetapi juga pada “cara dan sarana” yang kita gunakan dalam membimbing orang lain dalam mencapai tujuan itu. “Tiga pencobaan Iblis terhadap Yesus semuanya berkaitan dengan cara dan sarana,” tulisnya. “Setiap hal yang menjadi sasaran iblis sangat tepat. Iblis memiliki pernyataan visi yang tak tertandingi. Akan tetapi cara dan sarana yang digunakan tidak sesuai dengan tujuannya.”

Seperti yang dikatakan Peterson, panggilan pemuridan yang Yesus inginkan dari kita adalah pemuridan yang "dilakukan baik secara pribadi dan korporat, dari dalam maupun luar, dengan berkesinambungan. Suatu kehidupan pemuridan di mana kita berhati-hati dan penuh perhatian terhadap cara maupun sarananya.”

Hal ini karena, menurut nasihat Peterson, “jika kita akan menjalani kehidupan sebagaimana Yesus hidup, kita harus melakukannya dengan cara Yesus—bagaimanapun juga, Dia adalah Jalan, Kebenaran dan Hidup.” Tidak ada klausul darurat untuk melarikan diri dari jalan Salib.

Apa yang tampaknya populer pada saat ini bukan hanya injil kemakmuran melainkan injil kebobrokan. Dalam injil kebobrokan ini, seruan pada karakter atau norma moral tidak disambut dengan seruan “Tidak bersalah!” tetapi dengan penolakan “Sadarlah!”

Meski demikian, injil kebobrokan ini mencoba memikat kita. Tidak masalah jika Anda menerimanya dengan mengadopsi injil itu secara langsung, yang menyukai kekejaman dan kekejian, atau jika hal itu mendorong Anda pada jenis sinisme yang tidak pernah mengharapkan sesuatu yang lebih baik.

Di situlah letak nihilisme. Anda akan menemukan diri Anda dalam situasi-situasi, dan Anda mungkin sudah berada dalam salah satu situasi tersebut, di mana Anda punya tanggung jawab untuk menuntut pertanggungjawaban sebuah institusi. Mungkin hanya sebagai pemilih. Anda bisa saja mengangkat bahu dan memberikan persetujuan kepada siapa pun sesuai arahan yang diinginkan partai Anda. Hal itu akan mengubah Anda, seiring berjalannya waktu. Mungkin sebagai anggota gereja atau bagian dari denominasi atau pelayanan Kristen.

Jangan mencampuradukkan bakat dengan karakter, baik dalam diri Anda maupun orang lain. Jangan Anda berpikir bahwa para pemimpin Anda tidak berdosa. Mereka akan berbuat dosa, tetapi ada perbedaan antara manusia yang berdosa dan bertobat dengan pola keberdosaan. Jika yang terakhir, Anda harus bertanya pada diri sendiri bagaimana cara mengatasinya. Apakah dengan tetap tinggal di tempat Anda sekarang dan berusaha melakukan perubahan? Ataukah dengan pergi dan mencari tempat baru untuk menetap dan mengabdi? Saya tidak tahu. Banyak hal tersebut bergantung pada faktor-faktor yang seringkali tidak dapat Anda ketahui. Saya sarankan agar Anda bertanya pada diri sendiri di mana letak kerentanan Anda.

Apakah Anda tipe orang yang biasanya mudah meninggalkan situasi tertentu? Jika iya, maka temukan segala alasan Anda harus tetap tinggal dan melakukan perubahan sebelum Anda pergi. Apakah Anda tipe orang yang cenderung menyesuaikan diri dengan situasi yang ada karena kewajiban atau kesetiaan atau nostalgia? Jika demikian, pertimbangkanlah untuk pergi.

Akuntabilitas institusi kita sangatlah penting. Itulah yang membentuk kita menjadi apa yang kita anggap “normal.” Ketika perilaku buruk mulai terasa normal bagi Anda, bukan hanya Anda yang berada dalam bahaya.

Hati nurani lebih dari sekadar dorongan internal yang mengatakan, “Lakukanlah hal yang benar.” Hati nurani adalah cara untuk mengetahui—seperti akal sehat, imajinasi, dan intuisi—yang tertanam jauh di dalam jiwa manusia.

Hati nurani mengingatkan kita pada fakta bahwa kita hidup dalam kosmos yang terstruktur secara moral, dan bahwa hidup kita berada dalam garis waktu yang menggerakkan kita menuju hari pertanggungjawaban (Rm. 2:15-16), sebuah kursi pengadilan di hadapan Dia yang telah menanggung penderitaan kita, kursi penghakiman-Nya sendiri (Yoh. 19:13).

Hal ini memperlengkapi seseorang untuk memiliki pandangan jangka panjang tentang alam semesta, dan kehidupannya sendiri. Dengan pandangan jangka pendek (misalnya, seratus tahun atau lebih), seseorang dapat dengan mudah menyimpulkan bahwa ambisi adalah penggerak kehidupan. Kita dapat menyimpulkan, seperti halnya pemazmur dan Ayub, bahwa orang yang kejam akan makmur dan oleh karena itu jalan menuju kemakmuran adalah melalui kekejaman. Hati nurani, ketika berfungsi dengan baik, mengarahkan seseorang pada ruang lingkup yang lebih luas—menuju hari ketika segala sesuatu dipertanggungjawabkan dan kehidupan seseorang benar-benar dimulai.

Hal itu dimulai dengan menjadi, dan bukan melakukan. Itulah yang ditekankan oleh berbagai macam gerakan Injili. “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri.” (Ef. 2:8–9). Lalu ayat ini segera diikuti dengan kalimat: “Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau supaya kita hidup di dalamnya” (ay. 10).

Moralitas itu penting, tetapi moralitas berakar dalam kehidupan, bukan sebaliknya. Jika Anda berada di dalam Kristus, dosa-dosa Anda telah diampuni. Anda disalibkan dengan Kristus, dan dibangkitkan bersama-Nya. Tidak ada usaha yang Anda lakukan untuk memperolehnya. Itu sebabnya, bagian terbaiknya, kekristenan Injili menunjuk pada moralitas—atau, dalam bahasa alkitabiah yang lebih baik, pengudusan—sebagai hasil dari siapa kita di dalam Kristus, bukan sebagai cara untuk mendapatkan perkenanan Allah.

Dengan demikian, maka moralitas bertentangan dengan moralisme atau legalisme. Seperti yang dikatakan Martin Luther, “Kita tidak dibenarkan dengan melakukan perbuatan benar, melainkan, setelah dibenarkan, kita melakukan perbuatan benar.”

Moralitas haruslah menjadi sesuatu yang didefinisikan di luar diri seseorang dan situasinya. Salib adalah penghakiman yang pasti terhadap dosa yang didefinisikan secara objektif. Begitu juga dengan neraka. Dosa tidak hanya berkaitan dengan apa yang Anda lakukan (meskipun tentu saja itu termasuk di dalamnya), tetapi juga berkaitan dengan menjadi orang yang seperti apa Anda nantinya. Kita memiliki titik kerentanan yang berbeda, itulah sebabnya kita harus menanggung beban satu sama lain. Perhatikanlah dalam kehidupan Anda sendiri di mana titik-titik kelemahan itu berada. Apa ambisi yang mendorong Anda? Siapa orang-orang yang Anda inginkan untuk menyukai Anda?

Hati nurani yang tidak berfungsi diinformasikan oleh prioritas ambisi, rasa aman, dan rasa memiliki. Karena itulah Pontius Pilatus akhirnya menyalibkan Yesus. Ini bukan karena dia berkomplot agar Mesias dibunuh, tetapi karena ia “ingin memuaskan orang banyak” (Mrk. 15:15). Ketika Pilatus, tulis Matius, “melihat bahwa segala usaha akan sia-sia, malah sudah mulai timbul kekacauan,” maka ia cuci tangan dari masalah itu (Mat. 27:24). Begitulah yang terjadi. Pilatus melihat taruhannya adalah tentang apa yang dia peroleh atau apa yang terhilang dari dirinya—pada saat itu, atau dalam perjalanan hidupnya. Dia mendefinisikan misinya dalam hal ambisi dan rasa aman, bukan dalam hal hati nurani. Maka hati nuraninya menyesuaikan dengan ambisinya, bukan sebaliknya.

Hal yang sama dapat terjadi pada Anda—tidak peduli apakah Anda bekerja di departemen produksi toko kelontong atau di sebuah firma akuntan atau di serikat penulis skenario atau sebagai misionaris. Tarikannya akan selalu berusaha untuk mendiamkan hati nurani karena Anda tidak mampu menghadapi apa yang Anda takutkan akan terjadi. Di situlah terletak bencana.

Masalahnya bukan karena Anda akan menemukan diri Anda bergerak dengan cara yang tidak pernah Anda inginkan—melainkan Anda tidak akan menyadari sama sekali bagaimana Anda bergerak. Anda bahkan tidak akan melihat bahwa Anda mengejar imprimatur dari kerumunan mana pun yang ingin Anda masuki, demi tujuan apa pun yang ingin Anda capai. Hanya setelah semuanya terlambat, barulah Anda menyadari bahwa Anda tidak lagi mengenali diri Anda sendiri.

Teriakan akan ambisi dan rasa memiliki itu tidak akan membawa pada ketiadaan hati nurani, tetapi pada hati nurani yang salah arah, hati nurani yang merasa malu dengan apa yang tidak memalukan dan yang tidak merasa apa-apa terhadap hal yang memalukan. Pembentukan karakter juga bekerja dari dalam ke luar. Yesus berkata, “Orang yang baik mengeluarkan barang yang baik dari perbendaharaan hatinya yang baik dan orang yang jahat mengeluarkan barang yang jahat dari perbendaharaannya yang jahat. Karena yang diucapkan mulutnya, meluap dari hatinya” (Luk. 6:45).

Hati nurani yang bersih tidak menuntun, seperti yang kita bayangkan, pada ketenangan batin, setidaknya tidak dengan segera. Hati nurani yang bersih adalah hati nurani yang hidup—dan dengan demikian bergetar dengan dorongan untuk bertobat dan berbalik serta memohon belas kasihan. Namun, dalam jangka panjang, hati nurani yang bersih menuntun pada kedamaian—karena hati nurani yang bersih menyingkirkan rasa takut.

Jika ambisi Anda adalah standar Anda, maka Anda akan diperbudak oleh apa pun yang dapat merenggut ambisi Anda. Jika rasa memiliki Anda dalam suku Anda adalah standar Anda, maka Anda akan takut dengan ancaman pengasingan. Akan tetapi jika misi Anda sejalan dengan hati nurani Anda, dan hati nurani Anda sejalan dengan Injil, maka Anda tidak perlu hidup dalam ketakutan yang melumpuhkan, dan Anda juga tidak perlu hidup untuk membela diri sendiri.

Itulah sebabnya Yesus berkata kepada para murid-Nya, “Jadi janganlah kamu takut terhadap mereka, karena tidak ada sesuatu pun yang tertutup yang tidak akan dibuka dan tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi yang tidak akan diketahui. Apa yang Kukatakan kepadamu dalam gelap, katakanlah itu dalam terang; dan apa yang dibisikkan ke telingamu, beritakanlah itu dari atas atap rumah” (Mat. 10:26–27).

Jika Anda menyadari bahwa akan ada Hari Penghakiman yang akan datang, Anda tidak perlu menyebut hari penghakiman Anda sekarang. Jika ada yang meminta sesuatu dengan mengorbankan integritas Anda, ketahuilah bahwa harganya terlalu mahal.

Russell Moore adalah pemimpin redaksi CT. Diadaptasi dari Losing Our Religion: An Altar Call for Evangelical America oleh Russell Moore. Hak Cipta © 2023, dalam perjanjian dengan Sentinel, cetakan dari Penguin Random House LLC.

Diterjemahkan oleh Vika Rahelia.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Cara Pengasuhan Anak yang Tak Terduga dan Menghibur dari Kitab Pengkhotbah

Ketika dunia menyebut segalanya belum pernah terjadi sebelumnya, pemeliharaan Tuhan tetap tidak berubah.

Christianity Today July 30, 2023
Ilustrasi oleh Rick Szuecs / Sumber gambar: Envato / Vlada Karpovich / Pexels / Rosmarie Wirz / Getty

Pada forum pengasuhan anak baru-baru ini tentang anak-anak dan teknologi di gereja saya, saya memberikan contoh kegagalan saya membesarkan anak remaja. Bahkan saat menceritakan kembali, saya bisa merasakan kepanikan seakan peristiwa-peristiwa tersebut sedang terjadi saat itu juga.

Ketika tanggung jawab kita sebagai orang tua bersinggungan dengan kenyataan sulit di dunia kita, saat itulah rasa takut muncul. Dan orang tua dewasa ini menghadapi ketakutan itu.

Di antara media sosial, pergeseran etika seksual, skandal pelecehan seks, pandemi, pornografi, dan semua tantangan umum dalam membesarkan anak, konsensusnya jelas: Mengasuh anak di masa kini adalah sulit. Orang tua Kristen merasa takut, mungkin lebih dari yang saya lihat selama 25 tahun pelayanan saya.

Kita ingin melindungi anak-anak dari godaan dan pengaruh negatif, tetapi tugas itu terasa sangat berat. Kita bisa merasa tidak berdaya, seperti diminta berlayar melalui perairan yang belum dipetakan dengan monster di kiri dan kanan. Namun di tengah ketakutan saya sebagai orang tua, Tuhan mengingatkan saya tentang pertolongan kekal yang bisa dijadikan sebagai kompas: Dia mengingatkan saya tentang apa yang tidak berubah.

Apakah anak-anak saya menghadapi tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya dengan teknologi dan tekanan sosial? Pada satu sisi, iya. Namun jika diamati lebih dekat, ini adalah tantangan-tantangan lama dengan kemasan baru. Kitab Pengkhotbah berusaha keras untuk menunjukkan bahwa tidak ada yang baru di bawah matahari.

Saya selalu menganggap pesan ini sedikit mengecewakan, tetapi di masa-masa sulit, pesan ini menjadi kekuatan penstabil yang saya butuhkan. Tantangan-tantangan ini bukannya belum pernah terjadi sebelumnya. Perairan ini bukannya belum pernah dipetakan. Tuhan yang kekal memandang generasi ini dan tidak melihat masalah baru. Tidak hanya itu, Dia bersiap, seperti yang selalu dilakukan-Nya, untuk setia kepada generasi ini dan semua generasi.

Apakah anak-anak saya pasti kewalahan oleh godaan di hadapan mereka? Puji Tuhan, tidak. Saya telah lama menghargai jaminan dalam 1 Korintus 10:13 bahwa Tuhan selalu menyediakan jalan keluar dari pencobaan. Akan tetapi membesarkan anak-anak remaja membantu saya merenungkan ayat itu: “Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa.” Pencobaan-pencobaan terhadap generasi ini bukanlah hal baru atau tidak terduga. Semua pencobaan itu setua sejarah manusia.

Apa yang tampaknya belum pernah terjadi sebelumnya bagi kita hanyalah mekanisme lain untuk melakukan dosa lama, sebuah metode modern untuk menyerah pada godaan kuno. Teknologi memberi kita cara baru untuk menyerah pada godaan nafsu lama. Tren budaya memberi kita cara baru untuk menyerah pada pencobaan lama tentang menentukan nasib sendiri, keinginan sendiri, dan pemujaan diri. Para orang tua yang cemas dapat mengingat bahwa dosa-dosa yang biasa ini datang dengan jalan keluar dari Tuhan.

Orang tua dari semua generasi bergumul dengan ketakutan, baik ketakutan yang wajar maupun yang tidak wajar. Saya menduga bahwa para orang tua Kristen dari generasi sebelumnya yang membesarkan anak-anak dalam kelaparan, penganiayaan, kemiskinan, wabah penyakit, perbudakan, dan perang akan mempertanyakan apakah kita menghadapi tantangan luar biasa di generasi kita.

Sumur hikmat yang sama yang tersedia bagi mereka juga tersedia bagi kita. Jalan keluar yang sama dari pencobaan biasa juga tersedia bagi kita dan anak-anak kita. Tuhan yang sama yang merupakan batu karang dan benteng mereka juga adalah benteng dan batu karang kita hari ini.

Meskipun kita sangat menginginkannya, kita tidak dapat menjaga anak-anak kita agar selalu aman dari dunia. Yang dapat kita lakukan adalah menjadi orang tua dengan ketakutan yang tepat, mendidik anak kita untuk menghadapi berbagai risiko di sekitar kita, dengan dilandasi rasa hormat kepada Tuhan.

Seperti yang dikatakan oleh Tim Kimmel, tugas kita bukanlah membesarkan anak-anak yang aman, tetapi membesarkan anak-anak yang kuat. Anak-anak memiliki “penciuman rohani” yang sensitif. Mereka bisa mencium ketakutan dalam diri kita. Kita berhutang keharuman Kristus kepada mereka dalam interaksi kita sehari-hari dengan mereka. Jadi, biarlah pola asuh kita dimotivasi bukan oleh ketakutan akan generasi kita tetapi oleh rasa takut akan Tuhan.

Takut akan Tuhan adalah permulaan hikmat. Orang tua yang dimotivasi oleh rasa takut yang ditempatkan dengan benar akan membawa aroma khas yang dibutuhkan anak-anak agar dapat tumbuh kuat di dunia yang sedang, selalu, dan akan selalu tidak aman.

Ketika kita sebagai orang tua mencontohkan ketenangan dalam menghadapi ketidakpastian dan kebijaksanaan dalam menghadapi pencobaan, kita mengundang anak-anak kita untuk memiliki kekuatan karakter yang sama. Kita mengundang mereka untuk takut sebagaimana mestinya di zaman yang tidak menentu ini.

Diterjemahkan oleh Denny Pranolo.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Saya Tidak Ingin Putra Saya Mewarisi Dosa Ibunya

Kekhawatiran saya terhadap kesehatan fisik putra saya seharusnya tidak melampaui kepedulian saya terhadap kesehatan rohaninya.

Christianity Today July 26, 2023
Ilustrasi oleh Mallory Rentsch / Sumber Gambar: WikiMedia Commons

Beberapa tahun terakhir telah terlihat kemajuan yang luar biasa dalam bioteknologi—khususnya di bidang terapi sel manusia dan penyuntingan gen.

Pada bulan Maret, para ahli berkumpul dalam konferensi global ketiga untuk membahas dilema etika yang bersinggungan dalam pekerjaan mereka—kurang dari lima tahun setelah seorang ahli genetika Tiongkok mengumumkan dia telah melakukan “operasi gen” untuk mencegah sepasang anak kembar mewarisi penyakit HIV ayah mereka. Saat ini, penelitian terkait tentang skrining embrio untuk penyakit poligenik, termasuk diabetes tipe 1, sedang hangat diperdebatkan.

Sejumlah kalangan khawatir potensi ini suatu hari nanti dapat mengarah pada semacam “tekno-eugenika” (kemungkinan memperbaiki mutu manusia dengan cara mengubah susunan genetika) dan “bayi hasil rancangan,” di mana calon orang tua dapat memilih sifat genetik anak mereka di masa depan—atau hanya menyunting kelainan genetik anak mereka untuk menyiapkan kemungkinan kehidupan yang terbaik.

Sebagai seorang ibu dengan diabetes tipe 1 (T1D), saya memahami dorongan mendasar untuk melindungi anak saya, meskipun saya tahu dia diciptakan menurut gambar Allah. Saya hidup dalam keadaan selalu sadar dan khawatir bahwa putra saya mungkin mengidap penyakit kronis yang saya miliki.

Diabetes tipe 1 adalah penyakit autoimun pengubah hidup yang tidak ada obatnya. Penelitian terkini tentang penyebabnya menunjuk pada faktor genetik yang kuat—kompleks dan poligenik—yang meningkatkan risiko diabetes pada anak-anak yang orang tuanya mengidap T1D. Dalam keluarga saya sendiri, saya didiagnosis 14 tahun setelah saudara perempuan saya, memperkuat keterkaitan genetik di balik apa yang terasa seperti diagnosis acak. Kini, jika putra saya mengidap T1D, hubungan itu akan terlihat jelas: Dia mewarisinya dari saya.

Mengetahui adanya risiko warisan T1D pada putra saya, saya berdoa melawan penyakit itu setiap hari, memohon kepada Tuhan untuk menjaga kesehatan balita saya. Saya ingin sekali melakukan apa pun juga yang dapat menghindarkannya dari mewarisi penyakit yang sama yang berdampak pada setiap aspek kehidupan saya.

Namun di luar rasa takut itu, saya dengan cepat merasa terikat dengan putra saya karena kesamaan sifat dan keterampilan kami—sangat gembira setiap kali orang melihat kemiripan kami. Dia terlihat seperti Anda; dia punya hidungmu! Jika dia tumbuh dewasa menyukai bisbol, maka kami akan salut dengan karier Liga Kecil ayahnya. Jika dia akhirnya menikmati sains, saya akan memberikan pujian pada diri saya sendiri dan gelar insinyur saya.

Akan tetapi, dorongan semangat saya terkadang melampaui kualitas positif anak saya secara objektif. Ketika sikap keras kepala dan kesombongan muncul—atau saat dia bereaksi dengan cepat dalam kemarahan—saya merasa geli melihat adanya cerminan dari tekad dan keteguhan hati saya sendiri daripada mengenali bahwa itu adalah tunas-tunas awal dari kecenderungan berdosa yang anak saya warisi dan pelajari dari saya.

Saat ini, banyak dari kita menganggap kesehatan fisik diri kita dan keluarga sebagai puncak keamanan. Akan tetapi sebagai seorang ibu, ketakutan tentang mewariskan dosa-dosa saya—yang fatal tanpa harapan di dalam Yesus—seharusnya jauh lebih besar daripada ketakutan saya tentang mewariskan penyakit genetik saya. Meskipun saya peka dan waspada untuk memperhatikan setiap tanda penyakit diabetes saya dalam dirinya, saya sering mengabaikan warisan yang jauh lebih berbahaya dan lebih memungkinkan: dosa saya yang berkepanjangan dan menghancurkan.

Apakah manusia benar-benar mewarisi dosa? Sains dan Alkitab sama-sama mengatakan ya. Hal ini bukan hanya keinginan narsistik untuk melihat diri kita sendiri dalam diri anak-anak kita; penelitian menunjukkan bahwa susunan genetik seseorang dapat menentukan hingga 60 persen temperamennya. Selain itu, lingkungan dan pengasuh anak tidak diragukan lagi berkontribusi pada kepribadiannya, meskipun tidak dapat diukur secara kuantitatif.

Pertanyaan tentang sifat bawaan versus pengasuhan sulit dijawab ketika kita mengasuh anak-anak kita sendiri—karena mereka dapat meniru perilaku yang dipelajari sejak dini, bahkan sebelum perilaku bawaan muncul. Namun, entah apakah putra saya secara genetik cenderung angkuh karena DNA saya atau hanya mengamati tindakan angkuh saya, menginternalisasi emosi saya, dan meniru reaksi saya, karakteristik yang dihasilkan pasti diturunkan dari saya.

Sebagai orang tua, mudah bagi kita untuk mengabaikan dosa anak-anak kita, terutama ketika dosa-dosa tersebut sudah tidak asing lagi bagi kita—baik karena kesadaran akan kesalahan kita sendiri maupun karena ketidaktahuan yang disengaja terhadap keberadaan dosa tersebut dalam diri mereka. Namun Alkitab menunjukkan kerusakan abadi dari dosa yang diwariskan.

Karena Adam, semua manusia mewarisi natur dosa (Rm. 5:12), akan tetapi—sama seperti sifat genetik tertentu—orang tua juga dapat mewariskan dosa-dosa tertentu.

Kitab Raja-Raja dan Tawarikh menelusuri kelemahan-kelemahan dalam garis raja-raja Israel dan Yehuda. Raja Yotam melakukan apa yang benar di mata Tuhan—namun gagal menghancurkan bukit-bukit pengorbanan di mana orang-orang mempersembahkan korban kepada ilah-ilah lain (2Raj. 15:34–35). Kelalaian ini menjadi jerat bagi putranya, Ahas, yang kemudian membuat berhala di setiap kota (2Taw. 28:25). Ketidaktaatan sebagian dari sang ayah menjadi kelemahan bagi putranya, yang menyebabkan kehancuran total.

Sebanyak apapun tindakan kesetiaan yang terkenal dari Raja Daud, dia juga dikenang karena dua dosa yang sangat jelas—perzinahan dengan Batsyeba dan pembunuhan terhadap suami Batsyeba (2Sam. 11). Daud menghadapi dosa-dosa ini secara pribadi, tetapi dia secara pasif mengabaikannya pada anak-anaknya: Amnon, yang berbuat zinah, dan Absalom, yang membunuh Amnon dan kemudian melakukan perebutan kekuasaan secara militer.

Kisah-kisah Alkitab ini bukan hanya memberi tahu kita bahwa dosa generasi itu ada, tetapi juga bahwa dosa itu menghancurkan. Dosa yang diabaikan oleh orang tua dapat menyebabkan keretakan keluarga, kehilangan secara jasmani, dan keterpisahan dari Allah. Alkitab mengatakan bahwa, sama seperti penyakit mematikan lainnya, semua dosa mengarah pada kematian (Rm.6:23; Yak. 1:15).

Dosa adalah penyakit yang kita semua miliki sejak lahir dengan kecenderungan bawaan, dan itu adalah salah satu hal yang bisa saya pilih untuk dimanjakan atau atau dikoreksi. Meskipun saya tidak dapat mencegah sifat keberdosaan putra saya, tetapi saya dapat menjaga kesehatan rohaninya sama seriusnya dengan kesehatan fisiknya.

Namun sebelum saya dapat melakukan hal itu, saya harus terlebih dahulu bertanggung jawab atas dorongan dosa dalam hidup saya sendiri.

Sama seperti Ahaz yang dihancurkan oleh dosa yang tampaknya tidak mengganggu Yotam, putra saya dapat sangat terpengaruh oleh ketidaktaatan yang saya contohkan tanpa berpikir panjang. Sedikit gosip atau tontonan acara TV sampah yang ingin saya hentikan mungkin terasa tidak berbahaya bagi saya—tetapi benih itu bisa memperoleh daya tarik dan kekuatan dalam diri anak saya.

Jika suatu hari nanti dia didiagnosis menderita diabetes, saya dapat mengantisipasi rasa bersalah yang menyayat hati bersamaan dengan kebutuhan untuk meminta maaf atas rasa sakit yang pasti dia alami di masa depannya. Apakah saya akan merasakan tanggung jawab yang sama atas kebiasaan berdosa apa pun yang mungkin secara tidak sengaja saya wariskan kepadanya?

Kedua, saya perlu menganggap serius tanda-tanda dosa yang paling samar sekalipun.

Jika saya melihat putra saya menunjukkan gejala awal diabetes, saya akan segera mengenalinya dan berlutut dalam doa. Akan tetapi ketika melihat tanda-tanda iri hati atau sedikit kepahitan, saya mengesampingkannya. Saya sudah terbiasa dengan tanda-tanda awal T1D, jadi saya segera dapat mengenalinya—saya tahu karena saya mengalaminya. Hal yang sama juga berlaku untuk dosa-dosa tertentu yang mungkin kami miliki bersama. Ini memberi saya tanggung jawab khusus (dan kemampuan!) untuk memahami dan mengatasi dosanya.

Pengakuan dosa yang terus-menerus, baik dalam diri kita maupun anak-anak kita, merupakan proses yang tidak menyenangkan. Namun pada akhirnya, hal ini memberi saya kesempatan untuk mengarahkan putra saya kepada kelegaan yang dijanjikan dalam kasih karunia Yesus daripada mengabaikan kebutuhannya akan belas kasihan dan pengudusan.

Sebagai orang tua, mencontohkan kebutuhan akan kasih karunia menuntut kita untuk menghadapi dosa. Dalam hal mengajari anak-anak tentang apa yang harus mereka percayai, banyak filosofi yang berfokus pada sikap tidak memaksakan diri. Dan meskipun saya tidak ingin menanamkan rasa malu, namun jika saya tahu hal itu dapat melindungi putra saya dari konsekuensi dosa dan mencegah penderitaannya dalam jangka panjang, maka saya lebih rela menghadapi ketidaknyamanan.

Menunjukkan kepada putra saya tentang kebaikan Tuhan yang melihat, mengampuni, dan mengasihi kita seharusnya dapat melonggarkan cengkeraman saya terhadap kesehatan fisiknya. Obsesi saya terhadap kesehatan keluarga saya hanya berfungsi sebagai pengingat bahwa saya tidak memiliki kendali atasnya. Kami bisa saja mengikuti setiap penelitian, memantau setiap gejala, dan berdoa setiap malam, tetapi anak saya masih bisa terkena diabetes tipe 1. Bahkan, dia bisa saja terkena penyakit yang lebih menakutkan dan lebih mendesak yang membuat saya benar-benar tidak siap. Lalu, apa yang akan terjadi terhadap kami?

Pada akhirnya, hal ini bukan hanya bahwa ada hal-hal yang lebih buruk untuk ditakuti daripada penyakit kronis, melainkan bahwa ada janji-janji yang lebih baik untuk dinanti-nantikan daripada kesehatan fisik. Dalam Markus 2:5–12, Yesus mengampuni dosa seorang lumpuh yang diturunkan oleh teman-temannya di hadapan Dia. Kerumunan orang banyak bingung, menantikan Yesus untuk menyembuhkannya.

Sebagai orang tua, saya bersalah atas kekeliruan ini. Saya seringkali mengabaikan kebutuhan sejati anak saya akan iman kepada Yesus dan pengampunan dosa yang ajaib dari Dia—demi kondisi kesehatan dan kebugaran fisiknya yang bersifat sementara.

Saya akan terus berdoa agar anak saya tidak mewarisi diabetes saya, tetapi saya dapat yakin bahwa tubuh kekal kami akan kuat dan tidak dapat binasa (1Kor. 15:42–43). Saya bersandar pada fakta bahwa penderitaan fisik hanya bersifat sementara—tetapi mengidentifikasi dosa, menanggapinya dengan serius, dan mengarahkan putra saya pada pengampunan Yesus akan memiliki dampak yang kekal.

Sebanyak apa pun saya berdoa demi kesehatan putra saya, tujuan saya yang paling utama adalah agar putra saya mengenal Tuhan, mengenali dosanya, dan terbebas dari beban dosa itu. Jika dia mewarisi sesuatu dari saya, saya berharap itu adalah pemahaman tentang kasih karunia ini.

Anna Taylor adalah seorang ibu, insinyur biomedis, dan penulis. Pengalamannya dalam uji klinis, dipadukan dengan gelar master dalam sains dan agama, membantunya merekonsiliasi Kitab Suci dengan sains, penderitaan, dan skeptisisme.

Diterjemahkan oleh Mellie Cynthia.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Syukur kepada Allah atas Ucapan Syukur yang Tertulis

Kata-kata yang saya ucapkan setiap hari Minggu menuntun saya untuk bersyukur.

Christianity Today July 1, 2023

Saya dibesarkan dengan kebiasaan mencari ayat dengan cepat. Guru Sekolah Minggu atau pemimpin kelompok remaja akan meneriakkan sebuah perikop, pasal dan ayat, dan kami akan berebut untuk menemukannya terlebih dahulu. Hal ini penting bagi gereja tempat saya bertumbuh dan sub-kultur Injili tempat saya dibesarkan sehingga kami disebut “orang-orang pecinta Alkitab.”

Bertahun-tahun kemudian, ketika saya mulai mengambil program doktoral di bidang teologi politik, saya bergabung di sebuah gereja dengan tradisi yang berbeda dari tempat saya dibesarkan. Gereja baru saya masih tergolong “gereja sederhana” dalam banyak hal—tidak ada aroma atau lonceng atau jubah dan bangunan gereja yang sederhana. Namun dalam konteks ini, saya memahami Alkitab dengan cara yang berbeda dalam bentuk liturgi—yaitu kata-kata yang dimaksudkan untuk menanamkan Sabda Allah di dalam hati kita.

Setelah pembacaan Kitab Suci, sang pendeta berkata, “Demikianlah Firman Tuhan,” dan jemaat menjawab, “Syukur kepada Allah.” Dalam dua frasa singkat itu, saya menemukan sebuah teologi Kitab Suci yang kaya, yang secara langsung menjawab kecemasan kita tentang bagaimana menerapkan Alkitab di dunia yang sarat dengan teologi dan politik.

Seperti yang ditulis oleh teolog Brad East dalam bukunya The Church’s Book: Theology of Scripture in Ecclesial Context, penyebutan secara liturgikal dari sebuah teks sebagai “Firman Tuhan” mengingatkan komunitas jemaat yang berkumpul bahwa apa yang mereka dengar adalah “perkataan dari Allah yang hidup.”

Keajaiban kata-kata manusia dan Firman ilahi ini dimungkinkan karena Allah berkenan memakai manusia untuk tujuan penebusan di luar diri mereka sendiri. Meskipun manusia adalah “seperti rumput, dan segala kemuliaannya seperti bunga rumput,” sebagaimana yang dikatakan 1 Petrus 1:24–25, namun “firman Tuhan tetap untuk selama-lamanya.”

Dengan terbiasanya kita dengan keajaiban ini, mungkin jadi menyembunyikan betapa luar biasanya keajaiban tersebut. Meskipun kitab-kitab dalam Alkitab ditulis “oleh tangan manusia” seperti yang dikatakan teolog J. Todd Billings, namun “penegasan gereja akan Alkitab sebagai Firman Tuhan bukanlah kasus sederhana tentang pemindahan hak cipta dari ciptaan kepada Sang Pencipta.”

Sebaliknya, kita mengatakan bersama-sama sebagai komunitas iman bahwa penulis utama Kitab Suci adalah Allah, yang memilih untuk memakai manusia demi tujuan-Nya yang lebih besar agar bisa berkomunikasi dengan umat-Nya. “Demikianlah Firman Tuhan” tidak hanya mengomunikasikan pengakuan akan nilai atau kebenaran Kitab Suci; tetapi juga mengakar pada nilai dan kebenaran tersebut dalam keputusan Allah untuk berkomunikasi dan menciptakan sebuah komunitas.

Ketika kita merespons pembacaan Kitab Suci dengan “Syukur kepada Allah,” kita tidak hanya setuju dengan sebutan kata-kata yang dibacakan itu sebagai “Firman Tuhan.” Kita menggemakan 2 Korintus 9:15: “Syukur kepada Allah karena karunia-Nya yang tak terkatakan itu!”

Dengan cara yang dapat dilakukan melalui ritme, liturgi, atau disiplin rohani yang terbaik, bahasa yang teratur ini telah menumbuhkan dalam diri saya suatu sikap alami untuk bersyukur. Bahkan ketika perikop Alkitab menjadi membingungkan, terdengar aneh, atau tampak kontradiktif, satu latihan kecil ini telah membuat saya terbiasa untuk menjawab “Syukur kepada Allah” ketika Alkitab dibacakan.

Jika hal ini terdengar terlalu pasif, hal itu mungkin karena kita sudah terbiasa (terutama dalam kalangan Injili Amerika) untuk melihat Alkitab sebagai tempat penyimpanan yang berisi bahasa, simbol, dan kisah-kisah yang yang sangat membantu dan penuh dengan otoritas ilahi yang dapat kita gunakan sesuka hati. Kita melihat banyak orang—baik pendeta maupun politisi—menggunakan Alkitab seperti senjata yang dapat mereka kendalikan sepenuhnya.

Para pendeta yang terlibat dalam skandal pelecehan, memakai ayat-ayat yang menentang bergosip atau ayat-ayat yang mendukung otoritas gereja. Para politisi mengutip ayat-ayat tentang Israel seolah-olah ayat-ayat itu ditulis tentang Amerika.

Posting Facebook dan percakapan di gereja ketika potluck juga memberi kita banyak contoh: tentang orang-orang yang menggunakan ayat Alkitab untuk membenarkan diri mereka sendiri, mendukung partai politik mereka, atau menyakiti orang lain dengan memakai otoritas ilahi. Alkitab telah disalahgunakan dengan sangat parah, dan kita mungkin tergoda untuk mengabaikan otoritas Alkitab sama sekali.

Namun praktik sederhana untuk mengungkapkan rasa syukur kita kepada Tuhan atas Firman-Nya mengingatkan kita bahwa Alkitab bukanlah sebuah artefak statis di mana kita berdiri di atasnya—baik dengan agenda pribadi atau politik—melainkan sebuah Firman yang berotoritas atas kita.

Pakar Alkitab Ellen Davis mengatakan banyak dari pembacaan Alkitab kita dilakukan hanya untuk meneguhkan anggapan kita, dan hal itu adalah berdosa. “Ini adalah sebuah tindakan perlawanan terhadap Firman Allah yang menyegarkan yang berbicara kepada kita,” tulisnya, “ini adalah suatu penyangkalan yang efektif terhadap Alkitab yang merupakan firman Allah yang hidup.”

“Demikianlah Firman Tuhan” mengingatkan kita tentang siapakah Firman itu sebenarnya—dan tentang kedaulatan Allah yang dengan penuh kasih menyatakan diri kepada umat-Nya.

Kita selalu cenderung untuk “memperebutkan Alkitab”—terkadang karena pertanyaan-pertanyaan penafsiran yang penting dan layak, tetapi sering kali juga karena kita ingin mengklaim jubah otoritas ilahi untuk diri kita sendiri.

Doktrin kita tentang Kitab Suci, yang dilatih ulang dalam dua kalimat singkat ini, mengingatkan kita bahwa Allah selalu memakai manusia yang telah jatuh dan terbatas untuk tujuan-Nya yang lebih besar. Tanggapan kita seharusnya bukan dengan menggunakan Firman-Nya seperti senjata tetapi untuk memuji Dia atas pemberian ini. Syukur kepada Allah!

Kaitlyn Schiess adalah mahasiswa doktoral teologi politik di Duke Divinity School dan penulis The Ballot and the Bible (yang akan diterbitkan Brazos Press, pada Agustus 2023) dan The Liturgy of Politics (IVP 2020).

Diterjemahkan oleh Cynthia Sentosa.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube