Books

Beri Saya Yesus: Indonesia Mengganti Nama Arab dengan Kristus

Mulai tahun depan, negara muslim terbesar di dunia ini akan menggunakan istilah dalam bahasa Indonesia untuk hari raya umat kristiani.

Patung Yesus Kristus Memberkati di Puncak Buntu Burake di Indonesia.

Patung Yesus Kristus Memberkati di Puncak Buntu Burake di Indonesia.

Christianity Today December 22, 2023
Anadolu Agency / Getty

Pemerintah Indonesia bulan Agustus lalu mengumumkan bahwa mereka akan berhenti menggunakan istilah Arab untuk Yesus Kristus—Isa al Masih—ketika mengacu pada hari raya umat kristiani dan sebagai gantinya akan menggunakan istilah bahasa Indonesia Yesus Kristus mulai tahun 2024.

Perubahan tersebut akan mengubah nama tiga hari libur nasional: Wafatnya Isa al Masih (Jumat Agung), Kenaikan Isa al Masih, dan Kelahiran Isa al Masih (Natal).

Banyak umat kristiani yang gembira dengan perubahan ini karena mereka telah lama menggunakan Yesus Kristus dalam ibadah dan kehidupan sehari-hari. Mereka melihat langkah tersebut sebagai indikasi bahwa negara mayoritas muslim tersebut mengakui istilah mereka dan menghormati umat Kristen, yang merupakan 10 persen dari populasi dengan 29 juta penganutnya.

Saiful Rahmat, Wakil Menteri Agama, mencatat bahwa umat Kristen di Indonesia meminta perubahan nama.

“Seluruh umat kristiani di Indonesia mendukung [perubahan] ini untuk menunjukkan bahwa rujukan kita pada Isa Al Masih di kalender tahunan sebenarnya mengacu pada Yesus Kristus,” kata Budi Santoso, direktur Kartidaya (Wycliffe Indonesia). Beliau dan para pemimpin Kristen lainnya mencatat pentingnya perubahan nama tersebut, karena akan membedakan Yesus yang disembah orang Kristen dari deskripsi Isa dalam Al-Qur’an, di mana Ia dipandang hanya sebagai seorang nabi.

Meski demikian sebagian orang percaya merasa khawatir bahwa perubahan tersebut bisa menjadi awal dari peningkatan undang-undang mengenai istilah-istilah yang boleh digunakan oleh umat Kristen di Indonesia, sehingga menimbulkan masalah seperti larangan di Malaysia yang melarang orang-orang non-muslim untuk menyebut Tuhan sebagai Allah (larangan tersebut kemudian dicabut setelah adanya perseteruan hukum yang berlarut-larut).

Mereka khawatir jika Indonesia terus melarang istilah Isa al Masih, hal ini dapat merugikan pelayanan kontekstual kepada umat Islam, karena hubungan antara Isa dalam Al-Qur’an dan Alkitab sering kali menjadi pintu gerbang menuju percakapan yang lebih mendalam.

Kerukunan umat beragama di Indonesia

Meski umat Islam merupakan 87 persen dari populasi Indonesia, Islam bukanlah agama negara tersebut. Sebaliknya, Indonesia sangat menjunjung tinggi kerukunan beragama, yang dikemas dalam falsafah negara Pancasila, dan konstitusinya menjamin kebebasan beragama.

Bagi masyarakat Indonesia, baik yang beragama Islam maupun Kristen, Allah telah digunakan sebagai kata yang mengacu kepada Tuhan selama berabad-abad. Kata Arab tersebut pertama kali menyebar ke Asia Tenggara pada tahun 1100an ketika kesultanan Islam didirikan, dan kemudian dimasukkan ke dalam rumpun bahasa Melayu, yang mencakup bahasa Malaysia dan Indonesia.

Banyak kata Arab lainnya yang telah diserap ke dalam bahasa Indonesia dan umum digunakan oleh umat Kristen, seperti Alkitab untuk “Alkitab,” Injil untuk “Injil,” dan jemaat untuk “jemaat.” Seorang pemimpin pelayanan Kristen setempat, yang meminta untuk tidak disebutkan namanya karena alasan keamanan, mencatat bahwa “setiap orang menggunakan istilah yang sama tetapi menerapkan arti yang berbeda.”

Namun istilah Isa al Masih lebih jarang digunakan. Secara historis, beberapa terjemahan Alkitab sebelumnya ke dalam bahasa Melayu (lingua franca bekas Hindia Belanda), seperti terjemahan Perjanjian Baru tahun 1910 karya William Girdlestone Shellabear, menggunakan istilah tersebut, menurut Daud Soesilo dari United Bible Societies.

Namun setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, terjemahan bahasa Indonesia kebanyakan menggunakan kata Yesus Kristus. Satu pengecualian adalah penerbitan Perjanjian Baru di tahun 2000 yang diadaptasi dari terjemahan Shellabear dengan tujuan menjangkau mereka yang lebih akrab dengan nama dan istilah Arab, kata Soesilo.

Selain para pekerja misi yang membangun jembatan dengan umat Islam, Isa al Masih jarang digunakan oleh umat Kristen di Indonesia, kata Bedjo Lie, salah satu pendiri pelayanan Apologetika Indonesia.

Ia menyambut baik keputusan pemerintah untuk mengubah cara mereka merujuk pada hari libur Kristen. “Keputusan ini menandakan sikap hormat pemerintah terhadap umat Kristen sebagai populasi agama terbesar kedua di negara ini … dan kosakata agama mereka untuk hari raya mereka.”

Ia mencatat bahwa Presiden Joko Widodo dan Menteri Agama saat ini dikenal atas upaya mereka untuk “melindungi dan mempromosikan pluralisme agama” di negara ini. Awal tahun ini, Presiden Joko Widodo meminta para bupati di provinsi dan kabupaten untuk menjamin kesetaraan hak beragama bagi semua agama setelah adanya sejumlah umat Kristen yang dilarang beribadah.

Beberapa orang berpendapat bahwa langkah tersebut mungkin dilakukan menjelang pemilu di Februari sebagai upaya untuk menunjukkan itikad baik di kalangan umat Kristen. Masa jabatan kedua dan terakhir dari Presiden Joko Widodo akan segera berakhir, sehingga menimbulkan ketidakpastian bagi umat Kristen mengenai seberapa besar komitmen presiden dan badan legislatif yang baru nantinya dalam melindungi hak-hak mereka. Menurut laporan Pew Research Center baru-baru ini, 64 persen umat Islam mengatakan syariah harus digunakan sebagai hukum negara.

Lie yakin perubahan nama ini juga menandakan “peningkatan literasi teologis di kalangan umat Kristen dan Islam di Indonesia.” Ia menunjuk pada menjamurnya sumber daya daring dalam bahasa Indonesia yang telah membantu masyarakat memiliki “pemahaman dan apresiasi lebih mendalam terhadap perbedaan teologis antara Isa dalam Islam dan Yesus dalam Alkitab.”

Pemahaman umat muslim tentang Isa al Masih menolak prinsip utama Injil—yaitu keilahian, kematian, dan kebangkitan Yesus, kata Lie. “Meskipun Alquran dan tradisi Islam… berbicara positif tentang Isa, narasi Islam menempatkannya di bawah bayang-bayang Muhammad sebagai nabi terakhir dan universal.”

Kekhawatiran akan undang-undang lebih lanjut

Sementara Indonesia adalah negara sekuler dengan enam agama formal, di Malaysia, Islam adalah agama resmi. Dengan umat muslim sebanyak 63 persen dari populasi, negara Malaysia menerapkan sistem hukum ganda yaitu pengadilan sipil dan syariah. (Hukum Syariah hanya berlaku untuk umat Islam dan mencakup hukum keluarga serta pribadi.)

Pada tahun 1986 pemerintah Malaysia melarang penggunaan istilah Allah bagi non-Muslim untuk menghindari kebingungan yang dapat menyebabkan umat Islam berpindah agama. Dua kasus pengadilan telah diperjuangkan melawan aturan tersebut selama lebih dari satu dekade, dan pengadilan tinggi akhirnya membatalkan kebijakan tersebut pada tahun 2021, dengan menyebutnya “ilegal dan inkonstitusional.”

Sejumlah umat Kristen khawatir bahwa langkah Indonesia untuk mengganti nama Yesus dapat menyebabkan situasi serupa.

“Persoalan mengenai nama Yesus di Indonesia membuat kami waspada: Kami tidak ingin hal ini terjadi seperti yang terjadi di Malaysia, yaitu berubah menjadi pelarangan bagi umat Kristen di Indonesia untuk menggunakan istilah Isa al-Masih,” ujar Uskup Katolik Vitus Rubianto Solichin, yang tinggal di Sumatera, kepada kantor berita Fides. “Yang penting adalah menjaga dan menjamin kebebasan bagi semua orang juga dalam berbahasa.”

Sejumlah pemimpin senior dari kalangan Injili juga khawatir bahwa perubahan nama ini bisa menjadi langkah pertama pemerintah Indonesia untuk membuat undang-undang lebih lanjut tentang kata-kata yang boleh dan tidak boleh digunakan oleh orang Kristen, menurut seorang misionaris yang telah mengajar di sekolah-sekolah Alkitab di Indonesia selama bertahun-tahun (dia meminta untuk tidak disebutkan namanya terkait sensitivitas dari topik ini).

Para pemimpin tersebut mencatat bahwa penghapusan istilah Isa al Masih mematahkan solidaritas umat Kristen Indonesia dengan komunitas Kristen lainnya yang tinggal di wilayah mayoritas muslim di Afrika Utara dan Timur Tengah yang juga menggunakan istilah yang sama. Indonesia adalah salah satu dari sedikit negara di mana umat Islam dan Kristen hidup bersama dan memiliki hak yang sama, sehingga sering dijadikan contoh bagi negara lain.

Jika pemerintah melarang sepenuhnya istilah Isa al Masih, hal ini akan berdampak langsung pada denominasi (dikenal sebagai “sinode” di Indonesia) yang menggunakan nama Arab dari Yesus dalam namanya, seperti Gereja Isa al Masih. Hal ini juga akan berdampak pada terjemahan Alkitab tradisional, termasuk terjemahan Shellabear yang disebutkan di atas. Beberapa terjemahan baru yang sedang dalam proses juga berupaya untuk mempertahankan istilah ini, menurut misionaris tersebut, yang menjaga hubungan antara tokoh sejarah Isa yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Yesus dalam Alkitab.

“Memutus ikatan ini akan merusak dialog antaragama dan persepsi masyarakat bahwa kita membicarakan orang yang sama,” katanya.

Dia mencatat bahwa banyak pemimpin Islam khawatir tentang efektivitas penginjilan kontekstual dalam mempertobatkan orang-orang Islam menjadi Kristen. Melarang penggunaan istilah Arab seperti Isa al Masih dipandang sebagai cara untuk melindungi keyakinan mereka. Namun umat Kristen khawatir hal ini akan melemahkan Pancasila, menghambat beberapa langkah positif yang telah diambil pemerintah dalam hal kebebasan beragama, dan berpotensi menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia.

Lie juga telah mendengar beberapa kekhawatiran ini dari para misiolog dan misionaris Kristen. Namun ia tidak membayangkan perubahan yang terjadi saat ini akan mengarah pada tindakan yang lebih kejam dan berpikir bahwa orang-orang percaya yang berlatar belakang Islam akan dapat terus menggunakan kata Isa dalam “Alkitab, liturgi, dan percakapan mereka yang kontekstual.”

“Pemerintah hanya mengubah nama hari raya umat kristiani, dan sejauh ini, saya tidak melihat adanya rencana kebijakan lebih lanjut,” kata Lie.

Diterjemahkan oleh Maria Fennita S.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Dari Mesir, Menuju Keabadian

Penderitaan Maria dan Yusuf bergema dari generasi ke generasi

Christianity Today December 21, 2023
Phil Schorr

Setelah orang-orang majus itu berangkat, nampaklah malaikat Tuhan kepada Yusuf dalam mimpi dan berkata: "Bangunlah, ambillah Anak itu serta ibu-Nya, larilah ke Mesir dan tinggallah di sana sampai Aku berfirman kepadamu, karena Herodes akan mencari Anak itu untuk membunuh Dia."

Maka Yusufpun bangunlah, diambilnya Anak itu serta ibu-Nya malam itu juga, lalu menyingkir ke Mesir, dan tinggal di sana hingga Herodes mati. Hal itu terjadi supaya genaplah yang difirmankan Tuhan oleh nabi: "Dari Mesir Kupanggil Anak-Ku."

Matius 2:13-15

Ketika ibu sedang mengandung saya di usia kandungan sembilan bulan, tiba-tiba dia dan ayah saya harus meninggalkan negara mereka. Perang telah pecah dan pertempuran pun meluas hingga ke jalan-jalan di ibu kota tempat mereka tinggal. Oleh karena pekerjaan ayah saya, dia menjadi sasaran para pejuang gerilya. Keluarga kami pun tidak aman.

Saya dapat membayangkan kondisi ibu saya bertahun-tahun yang lalu, saat perutnya buncit karena mengandung nyawa yang tak bersalah, dan saya penasaran bagaimana perasaannya saat itu. Saya membayangkan dia ketakutan, tidak yakin bagaimana situasi tersebut akan teratasi; saya membayangkan orang tua saya merasa terhilang dalam kekacauan ini, bingung dengan bagaimana rencana mereka untuk memulai sebuah keluarga menjadi ditunggang-balikkan oleh situasi tersebut. Tidak ada seorang pun yang mau menjadi pengungsi saat hamil sembilan bulan.

Kisah yang terkandung dalam Matius 2:13–23 menjadi semakin jelas bagi saya selama bertahun-tahun karena saya melihat kemiripannya dengan kisah yang dialami keluarga saya. Saya dapat membayangkan Maria, dengan tangan yang merangkul bayinya. Saya membayangkan ketakutan, kebingungan, dan keputusasaan saat mereka bertanya-tanya tentang implikasi dari jawaban "ya" terhadap panggilan Tuhan kepada mereka. Tidak ada seorang pun yang ingin menjadi pengungsi dengan membawa seorang bayi. Matius mengingatkan kita pada Hosea 11:1 di tengah kisah ini, yang penuh dengan nubuatan mendalam: “Ketika Israel masih muda, Kukasihi dia, dan dari Mesir Kupanggil anak-Ku itu.” Meski dalam keadaan yang gelap dan penuh keputusasaan, Tuhan mempunyai rencana yang sempurna dan tujuan yang tidak akan gagal. Meski melarikan diri dari kejaran seorang diktator pembunuh mungkin tidak terlihat seperti kasih Allah yang sedang bekerja, namun kita dapat melihat rencana Allah yang lebih besar dan mendasar, yang sedang digenapi. Pengalaman keluarga Yesus melarikan diri dan kemudian keluar dari tanah Mesir merupakan penggenapan pengalaman serupa yang dialami bangsa Israel dalam kitab Keluaran. Kata-kata yang dahulu menggambarkan pengalaman umat Allah, sekarang berbicara tentang Mesias, Anak Allah.

Ketika saya merenungkan penderitaan Maria dan Yusuf, dan bahkan penderitaan ibu dan ayah saya sendiri, saya teringat akan sebuah Amsal hikmat: “Hati manusia memikir-mikirkan jalannya, tetapi TUHANlah yang menentukan arah langkahnya” (Ams. 16:9). Saat kita membuat rencana, kita pikir kita tahu bagaimana Tuhan akan bertindak, tetapi hanya Dia yang benar-benar tahu langkah yang akan kita ambil. Terkadang langkah-langkah itu membawa kita ke suatu tempat yang nyaman dan familier, dan terkadang langkah-langkah itu membawa kita menjauh dari satu-satunya rumah yang kita kenal, menuju ke suatu negeri baru di mana kita akan mengenal Tuhan sebagai satu-satunya penghiburan kita yang sejati.

Orang tua saya akhirnya bisa menetap di sebuah rumah baru di negeri yang asing. Mereka mampu membesarkan putri-putri mereka untuk mengenal dan mengasihi Yesus. Maria dan Yusuf mampu membesarkan Yesus sendiri dan berkelindan dalam kisah Tuhan yang menyelamatkan umat-Nya, menggenapi nubuatan yang telah lama dinantikan, dan muncul dari negeri yang nun jauh untuk mendirikan kerajaan baru yang kekal. Selama masa Adven ini, saya sekali lagi takjub melihat cara Tuhan menenun jalinan rencana-Nya yang sedang berlangsung, dari generasi ke generasi.

Renungkan



Dengan merenungkan pengalaman perjalanan Maria dan Yusuf, bagaimana hal ini memperdalam pemahaman Anda tentang ketakutan, ketidakpastian, dan jalan tak terduga yang harus mereka tempuh?

Penggenapan nubuatan dalam Hosea 11:1 melalui pelarian dan kemunculan Yesus dari Mesir menyoroti kesempurnaan rencana dan tujuan Tuhan yang tidak dapat digagalkan. Bagaimana hal ini memberi Anda harapan dan kepastian dalam hidup Anda sendiri?

Kristel Acevedo adalah penulis, pengajar Alkitab, dan direktur formasi spiritual di Transformation Church di pinggiran Charlotte, NC.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Kontras Antara Dua Ibu

Bagaimana Maria & Elizabet mengagungkan Tuhan melalui sukacita mereka bersama

Christianity Today December 20, 2023
Phil Schorr

Beberapa waktu kemudian berangkatlah Maria dan langsung berjalan ke pegunungan menuju sebuah kota di Yehuda. Di situ ia masuk ke rumah Zakharia dan memberi salam kepada Elisabet. Dan ketika Elisabet mendengar salam Maria, melonjaklah anak yang di dalam rahimnya dan Elisabetpun penuh dengan Roh Kudus, lalu berseru dengan suara nyaring: ”Diberkatilah engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu.”

Lukas 1:39-42

Seringkali ketika kita mendapati diri berada dalam masa kehidupan yang mirip dengan orang-orang di sekitar kita, kita memperhatikan bagaimana mereka menghadapi situasi mereka dibandingkan dengan situasi kita. Hal ini bisa berupa masa berpacaran di SMA, musim pernikahan yang dimulai saat kuliah dan berlanjut hingga dekade berikutnya, dan terutama di masa melahirkan anak. Dalam kehidupan kita, persaingan mungkin merupakan hal yang wajar dalam perbandingan ini, tetapi dalam catatan Injil Lukas, hal tersebut sepenuhnya tertutupi oleh fokus pada kerajaan Allah yang akan datang.

Malaikat Gabriel memberitahu Maria bahwa ia akan melahirkan seorang anak laki-laki secara ajaib dan bahwa sepupunya, Elisabet, juga telah hamil di usia tuanya. Saat Maria mengunjungi Elisabet, pastilah kedua wanita itu sepenuhnya menyadari perbedaan situasi mereka. Aib Elizabet di antara bangsanya terhapus saat ia hamil; sedangkan aib Maria baru saja dimulai saat ia hamil. Putra Elizabet lahir melalui institusi pernikahan; sedangkan Putra Maria dikandung oleh Roh Kudus.

Ketegangan yang saya bayangkan dalam pertemuan ini semakin diperkuat dengan Magnificat (nyanyian pujian Maria). Dengan kedatangan Kristus yang akan segera hadir ke dalam dunia, nyanyian pujian Maria menggambarkan kerajaan seperti apa yang ingin Dia dirikan. Ini adalah Kerajaan yang akan merombak norma-norma masyarakat. Yang congkak akan dicerai-beraikan, yang kaya akan diusir dengan tangan hampa. Orang yang rendah hati akan ditinggikan dan orang yang lapar akan dikenyangkan dengan kebaikan. Jelas sekali ketika membaca Lukas bahwa Elisabet telah ditinggikan, dan Maria diangkat lebih tinggi lagi. Namun, bagi orang-orang sezamannya yang tidak paham, Elisabet memiliki hak untuk berbangga, sedangkan Maria tidak.

Betapa dapat dimengerti jika Maria hanya mencari tempat berlindung dalam pertemuan mereka, atau Elizabet hanya menawarkan belas kasihan kepada Maria. Mungkin mereka merasa canggung karena tidak mengakui perbedaan kondisi mereka saat mempersiapkan kelahiran yang akan datang.

Namun Lukas tidak mencatat adanya ketegangan atau kesedihan di antara kedua wanita itu. Yang ia catat adalah sukacita. Melampaui manifestasi lahiriah dari kehamilan mereka, kesamaan yang paling penting di antara keduanya adalah betapa besarnya mukjizat itu—bukti bahwa Tuhan hadir, aktif, dan sangat terlibat dalam diri kita. Seperti yang dikatakan Charles Spurgeon tentang Magnificat, “Oh, betapa kita seharusnya bersukacita di dalam Dia, berapa pun harga yang harus kita bayar untuk persatuan kita dengan Dia!”

Kegirangan Elizabeth dan nyanyian Maria membuat saya bertanya pada diri sendiri beberapa pertanyaan yang mengharukan: Apakah mata saya memperhatikan gerakan-gerakan karya Tuhan meskipun hal itu bertentangan dengan apa yang dapat diterima secara sosial? Apakah saya akan bisa menyatakan bahwa seseorang diberkati meskipun itu membutuhkan kerendahan hati dalam keinginan saya yang terdalam?

Oleh karena Dia penuh belas kasih, maka jiwa saya harus bermegah dan roh saya bergembira. Saya ingin berseru dengan penuh sukacita di tengah perbedaan seperti halnya Elizabet, atau menyanyikan pujian di hadapan penganiayaan masyarakat seperti Maria—bukan karena ingin menjadi pembangkang, melainkan demi berfokus pada kemuliaan kerajaan Kristus yang akan datang.

Renungkan



Bagaimana perjumpaan antara Maria dan Elisabet menggugah kecenderungan kita untuk membandingkan diri kita dengan orang-orang lain dan bersaing dengan mereka?

Dengan cara apa Maria dan Elizabet menunjukkan kerendahan hati dan sukacita dalam menghadapi ekspektasi-ekspektasi dan norma-norma masyarakat?

Dorothy Bennett bergelar master di bidang teologi dan seni dari University of St Andrews. Saat ini ia mengelola sebuah perusahaan video marketing di Austin, TX.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Dua Puluh Artikel Terpopuler Tahun 2023 di Situs Web Christianity Today Indonesia

Amarah yang Benar dan Pengharapan Injil di tengah Perang Israel-Hamas; 50 Negara Tersulit di Tahun 2023; Mimbar Penuh dengan Pengkhotbah Kosong; Waspadai Menara Babel Kita.

Christianity Today December 20, 2023

In this series

Bacalah artikel-artikel utama dalam bahasa Indonesia yang diterbitkan pada tahun 2023 oleh CT, yang disusun berdasarkan urutan popularitasnya.

20.

19.

18.

17.

16.

15.

14.

13.

12.

11.

10.

9.

8.

7.

6.

5.

4.

3.

2.

1.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Yusuf: Orang Saleh yang Pendiam

Bagaimana mendengarkan pimpinan Tuhan ketika segala sesuatunya tampak salah

Christianity Today December 19, 2023
Phil Schorr

Kelahiran Yesus Kristus adalah seperti berikut: Pada waktu Maria, ibu-Nya, bertunangan dengan Yusuf, ternyata ia mengandung dari Roh Kudus, sebelum mereka hidup sebagai suami isteri. Karena Yusuf suaminya, seorang yang tulus hati dan tidak mau mencemarkan nama isterinya di muka umum, ia bermaksud menceraikannya dengan diam-diam.

Tetapi ketika ia mempertimbangkan maksud itu, malaikat Tuhan nampak kepadanya dalam mimpi dan berkata: "Yusuf, anak Daud, janganlah engkau takut mengambil Maria sebagai isterimu, sebab anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus. Ia akan melahirkan anak laki-laki dan engkau akan menamakan Dia Yesus, karena Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka."

Matius 1:18-21

Yusuf dikenal sebagai orang saleh yang pendiam. Meskipun perannya dalam kisah Kristus tidaklah kecil—garis keturunan dia adalah garis keturunan rajani yang Yesus klaim, profesi dia adalah profesi yang Yesus adopsi—tetapi Yusuf tidak mengatakan sepatah kata pun dalam kitab-kitab Injil mana pun juga. Hal ini menjadi tema yang sering muncul dalam kisah-kisah seputar kelahiran Yesus: Zakharia menjadi bisu di Bait Allah dan Yusuf diam-diam memikirkan bagaimana harus melangkah, sementara Maria dan Elisabet menyerukan kata-kata nubuatan, yang merupakan proklamasi awal dari Injil.

Namun, hanya karena Yusuf tidak berbicara, jangan kita berpikir bahwa ia pasif. Memang, kepada kita Yusuf ditampilkan sebagai seorang pria dengan tindakan tegas yang muncul dari kehidupan batin yang kaya. Kita diberitahu bahwa setelah mengetahui calon istrinya hamil, dia tidak segera memutuskan pertunangan mereka, agar tidak membuat Maria dipermalukan di depan umum dan mungkin jauh lebih buruk lagi. Terlepas dari apa yang mungkin akan dilakukan oleh tunangan yang terluka akibat ketidaksetiaan yang nyata, Yusuf justru membuat rencana yang penuh belas kasihan dan bijaksana.

Satu-satunya deskripsi karakter yang diberikan kepada kita tentang Yusuf adalah bahwa ia "adalah seorang yang selalu mentaati hukum agama" (ay. 19 BIS). Jadi, tanpa mempublikasikan situasi Maria kepada siapa pun (sejauh yang kita ketahui), ia memutuskan sebuah rencana yang setia kepada hukum Taurat dan penuh kasih sayang kepada Maria. Semua ini ia lakukan secara diam-diam, dan kita hanya bisa berasumsi dengan penuh kepedihan, semua rasa sakit dan kemurahan hatinya tetap berada di bawah permukaan. Orang saleh yang pendiam ini memiliki kebajikan yang membara di bawah permukaan, di mana pengendalian dirinya dalam menghadapi penganiayaan menahan dia dan memungkinkannya untuk tidak hanya bersabar melainkan juga melindungi Maria, sumber dari deritanya.

Seperti halnya banyak orang yang telah membuat keputusan yang penuh beban dalam diri mereka sendiri, sesuatu muncul dalam diri Yusuf dari bawah permukaan: sebuah mimpi, dan seorang malaikat. Mimpi ini pasti datang sebagai sebuah penghiburan, jaminan, dan dengan banyak kebingungan. Semua ini tidak dicatat. Hanya bahwa Yusuf, yang setia kepada hukum Taurat, yang merupakan Firman Tuhan, setia pada perkataan dari sang malaikat. Dalam dirinya sendiri, sekali lagi dia memutuskan untuk bertindak, tanpa curahan ucapan kenabian.

Dia membiarkan orang-orang berpikir bahwa dia, seorang pria yang bijaksana dan mampu mengendalikan diri, telah membuat Maria mengandung seorang anak di saat dia kehilangan kendali diri. Dia menanggung rasa malu Maria, mungkin sebagai pertanda dari apa yang akan Yesus lakukan bagi seluruh umat manusia. Semua ini dia lakukan tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Dunia kita adalah dunia yang tenggelam dalam kata-kata. Dalam diri Yusuf, orang saleh yang pendiam, saya melihat cara hidup yang berbeda—cara hidup yang diam dan bertindak, di mana terkadang kata-kata yang paling penting adalah kata-kata yang tidak kita ucapkan.

Renungkan



Dengan merenungkan tindakan Yusuf yang diam namun tegas, apa yang dapat kita pelajari tentang kuasa dari kekuatan diam dan pengendalian diri dalam kehidupan kita sendiri? Bagaimana kita bisa menumbuhkan sikap diam dan bertindak seperti itu di tengah situasi yang menantang?

Pikirkanlah peran mimpi dan tuntunan ilahi dalam kisah Yusuf. Bagaimana kita dapat menyelaraskan diri dengan suara dan tuntunan Tuhan dalam kehidupan kita? Bagaimana kita dapat memahami kehendak-Nya dan memercayai tuntunan-Nya, bahkan ketika hal itu membingungkan atau menantang?

Joy Clarkson adalah penulis, editor, dan kandidat doktor dalam teologi. Ia juga editor buku dan kebudayaan di Plough.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Ketegangan Jawaban “Ya” dari Maria

Bagaimana sebuah respons yang berani bergema di sepanjang kekekalan

Christianity Today December 18, 2023
Phil Schorr

Kata Maria kepada malaikat itu: "Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?"

Jawab malaikat itu kepadanya: "Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah. Dan sesungguhnya, Elisabet, sanakmu itu, iapun sedang mengandung seorang anak laki-laki pada hari tuanya dan inilah bulan yang keenam bagi dia, yang disebut mandul itu. Sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil."

Kata Maria: "Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu." Lalu malaikat itu meninggalkan dia.

Lukas 1:34-38

Dalam Lukas pasal 1, kita disuguhkan sebuah kisah indah tentang bagaimana malaikat datang kepada Maria, bagaimana ia mendengarnya, dan bagaimana ia menjawab dengan berani: “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan. Jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” Kata-kata yang terkandung di sini seharusnya membuat setiap pembaca setia merasa kagum dan takjub, namun yang terpenting adalah rasa syukur. Beberapa ayat dalam Lukas ini adalah salah satu titik balik yang luar biasa—atau titik balik yang sangat penting—dari keseluruhan Alkitab. Ayat-ayat ini adalah jawaban atas titik balik tragis di kitab Kejadian: momen ketidaktaatan Hawa.

Pilihan Hawa mempunyai konsekuensi yang buruk bagi kita semua. Jawaban "ya" dari Hawa terhadap ular itu telah merampas dan menghilangkan kemanusiaan kita yang sesungguhnya—walau tentu saja, ular itu menjanjikan hal yang sebaliknya! Namun jika Hawa berpaling dari Allah, dan membuat kita semua bersamanya, maka Maria dengan rela berbalik menghadap Dia, dan jawaban "ya" yang penuh keberanian dari dia kepada Allah telah menyambut Yesus ke dalam dunia. Dalam Yesus setiap orang kini dapat memilih, jika mereka mau, untuk menerima sambutan Tuhan. Sambutan-Nya meluas meliputi kepenuhan hidup di bumi ini, meski dengan segala keterbatasannya, dan ke dalam kehidupan kekal bersama-Nya.

Allah kita adalah Tuhan yang penuh dengan kebebasan dan kasih, dan Dia tidak akan memaksakan diri-Nya kepada siapa pun. Sebaliknya, dengan sopan Dia menunggu persetujuan kita, untuk jawaban "ya" dari kita terhadap kasih-Nya. Saat kita membaca ayat-ayat ini, kita mungkin hampir menahan nafas dan masuk kembali ke dalam drama pada saat itu: Allah menawarkan diri-Nya untuk datang ke dalam dunia sebagai Juru Selamat kita, dan Maria, pada saat itu, berbicara mewakili kita semua. Apa yang akan ia katakan? Akankah ia menawarkan seluruh hidupnya untuk dijadikan baru, untuk diubah selamanya? Atau akankah ia menghindar dari beban itu?

Kita mestinya bisa merasakan keheningan yang luar biasa, ketegangan yang mencekam, di antara ayat 37 dan 38, dan kemudian saat kita mendengar respons Maria, kita akan merasa sangat lega dan bersukacita. Jawaban "ya" Maria tidak hanya mengubah segala sesuatu untuk selamanya, tetapi juga menjadi teladan bagi kehidupan kristiani kita. Sekarang kita pun dipanggil untuk tidak takut melainkan bersikap terbuka, untuk berkata kepada Tuhan, Sesungguhnya aku juga adalah hamba-Mu, jadilah padaku menurut perkataan-Mu. Dalam soneta di bawah ini, saya mencoba membangkitkan sedikit ketegangan dan pentingnya momen ini.

Kita melihat begitu sedikit, hanya di permukaan saja, Kita menghitung sisi luar dari segala sesuatu, Sibuk dengan tujuan kita sendiri Kita merindukan kilauan sayap para malaikat, Mereka mengitari kita dalam sukacita mereka Pusaran lingkaran dan mata serta sayap yang terbentang, Mereka menjaga kebaikan yang ingin kita hancur, Kobaran kemuliaan yang tersembunyi di dunia Tuhan. Namun pada hari itu seorang perempuan muda berhenti untuk melihat Dengan mata dan hati yang terbuka. Dia mendengar suara itu; Janji kemuliaan-Nya yang belum terjadi, Saat waktu berhenti baginya untuk membuat pilihan; Gabriel berlutut dan tidak ada sehelaipun bulu yang bergerak, Sang Firman itu sendiri sedang menantikan perkataannya. Soneta ini, “Annunciation,” berasal dari Sounding the Seasons (Canterbury Press, 2012), dan digunakan atas izin penulisnya.

Renungkan



Dengan merenungkan respons Maria terhadap pesan malaikat, bagaimana keberaniannya menjawab “ya” terhadap rencana Allah mengilhami dan menggugah Anda dalam perjalanan iman Anda sendiri?

Seperti Maria, dengan cara apa Anda dapat memupuk semangat keterbukaan dan penyerahan diri?

Malcolm Guite adalah mantan chaplain dan Life Fellow di Girton College, Cambridge. Ia mengajar dan memberi kuliah tentang teologi dan literatur.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Kepakan-kepakan dari yang Sulung

Bagaimana kita mencintai sesuatu yang bahkan belum kita lihat

Christianity Today December 17, 2023
Phil Schorr

Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan, karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia. Ia ada terlebih dahulu dari segala sesuatu dan segala sesuatu ada di dalam Dia.

Kolose 1:15-17

Pada saat seperti ini, kita dibombardir dengan gambar-gambar yang menggoda perhatian kita, memberi kita ide tentang liburan penuh damai yang sempurna serta semua hadiah yang benar-benar akan memuaskan kita. Coba bayangkan, sejenak saja, mencintai sesuatu yang belum pernah Anda lihat. Bahkan tanpa sepenuhnya memahami apa yang Anda cintai, ada kerinduan dan harapan untuk penggenapannya, pemenuhannya, penyempurnaannya. Akan tetapi bagaimana dengan mencintai seseorang yang belum pernah Anda lihat?

Ini adalah konsep yang sangat dikenal oleh para ibu, yang merasakan bayinya bergerak di dalam rahim sebelum melihat wajahnya. Mungkin inilah yang Maria rasakan selama sembilan bulan yang panjang saat perutnya membesar, mencoba memahami fakta bahwa kepakan-kepakan dan tinju-tinju kecil itu adalah gerakan-gerakan pertama Putra Sang Mahatinggi.

Selama 2.000 tahun, Allah telah menyatakan kehadiran-Nya dalam berbagai rupa seperti asap, api, pemberi manna, dan awan di puncak gunung. Dahulu tidaklah mungkin—dan terlarang—untuk mencoba membuat gambaran atau representasi apa pun tentang diri-Nya. Dia tidak terlihat, tidak dapat direduksi menjadi sebuah gambar, dan tidak dapat dipahami oleh mata manusia.

Renungan "Sang Raja Kekal Tiba" versi cetak dapat dipesan melalui Literatur Perkantas Jatim (di situs web, Tokopedia, Shopee).

Ibadah yang sejati selalu perlu menyeimbangkan imanensi dan transendensi Allah. Di manakah kita dapat memahami penyembahan tersebut selain di dalam penjelmaan-Nya, inkarnasi-Nya? Allah dalam kasih karunia-Nya telah membuat yang tak terlihat menjadi terlihat dan memilih untuk tinggal di antara umat-Nya menjadi salah satu dari kita. Namun Anak Sulung yang pertama bangkit dari antara orang mati itu, bukan hanya lahir dalam wujud seperti kita, manusia yang rapuh, melainkan Ia datang menjadi yang terlemah di antara kita semua—seorang bayi yang baru lahir. Allah menjadi makhluk tak berdaya yang memerlukan kebutuhan manusia yang paling mendasar: diberi makan, pakaian, dan dijaga kebersihan-Nya. Sulit untuk membayangkan kepenuhan Allah bisa berada di dalam tubuh bayi baru lahir yang berbobot sekitar 3 kg. Bayi ini adalah penggerak di awal penciptaan, hadir sebelum adanya waktu dan unggul dalam segala hal. Dalam diri Dia—bayi yang tidak dapat mengangkat kepala-Nya sendiri—segala sesuatu dipersatukan. Yesus di palungan adalah gambaran yang mungkin tidak kita harapkan, namun Allah yang penuh kerendahan hati, yang menghamba, dan pendamai ini adalah sosok yang kita perlukan.

Akan tetapi ketika kisah ini terungkap lebih jauh, gambaran tersebut menjadi semakin jelas. Dalam tubuh yang lemah dan mungil, Allah berkenan untuk berdiam. Bukanlah kewajiban atau ketidaknyamanan bagi-Nya untuk mengungkapkan diri-Nya kepada kita dengan cara seperti ini, melainkan itu adalah murni kesenangan-Nya. Bahkan hingga saat ini, hal itu tetap menjadi kesenangan yang murni dari Allah—sukacita Dia—untuk menyatakan diri-Nya, memberi diri-Nya sekalipun Ia sebenarnya tidak wajib melakukannya, untuk memerintah sebagai Raja yang rendah hati, demi kebaikan dan sukacita kita. Adalah kesukaan-Nya untuk membawa rekonsiliasi, untuk memulihkan ciptaan yang Dia ciptakan sejak awal mereka di taman Eden serta, ya, untuk menyingkapkan tabir dan membuat jalan bagi kita agar melihat Dia muka dengan muka.

Ia adalah gambaran Allah yang kita perlukan—Allah yang memberikan teladan kerendahan hati, kehambaan, dan kesukaan dalam rekonsiliasi. Ia menyatukan segala sesuatu, mulai dari penciptaan, palungan, salib, hingga ciptaan yang baru.

Renungkan



Dengan mengingat analogi seorang ibu yang merasakan gerak-gerik bayinya di dalam rahim, bagaimana hal ini memperdalam pemahaman Anda tentang pengalaman Maria dan signifikansi inkarnasi Yesus?

Merenungkan ketegangan antara imanensi dan transendensi Allah, seperti yang dicontohkan dalam inkarnasi Yesus, bagaimana gambaran tentang bayi baru lahir yang tak berdaya ini menggugah pemikiran kita tentang kekuasaan dan keagungan?

Caroline Greb adalah seorang istri, ibu rumah tangga, seniman, dan asisten editor di Ekstasis Magazine.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Pengharapan Sejati Tidak Dapat Direkayasa

Apa yang terjadi saat kita merangkul batas kekuatan kita?

Christianity Today December 15, 2023
Phil Schorr

Dan supaya Ia menjadikan mata hatimu terang, agar kamu mengerti pengharapan apakah yang terkandung dalam panggilan-Nya: betapa kayanya kemuliaan bagian yang ditentukan-Nya bagi orang-orang kudus, dan betapa hebat kuasa-Nya bagi kita yang percaya, sesuai dengan kekuatan kuasa-Nya, yang dikerjakan-Nya di dalam Kristus dengan membangkitkan Dia dari antara orang mati dan mendudukkan Dia di sebelah kanan-Nya di sorga.

Efesus 1:18-20

Sebuah kebenaran yang sulit—yang membuat kita meringis—mungkin bukan cara terbaik untuk memulai suatu renungan Natal, tetapi bersabarlah saat saya menjelaskan: Pengharapan membutuhkan banyak usaha. Ya, Yesus memberi kita pengharapan yang tertinggi, tetapi seperti banyak aspek dalam iman Kristen, hidup dengan pengharapan tidak selalu datang dengan mudah. Kisah iman kita mungkin mencakup beberapa hari cerah yang indah di Danau Galilea, tetapi kisah ini didasarkan pada salib. Kita tahu, jika kita jujur, bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, jadi mari kita cerna beberapa kebenaran yang dapat menyehatkan kita dan membangun hal yang disebut pengharapan.

Dalam Efesus 1, Paulus menulis kepada jemaat di Efesus tentang realitas pengharapan, dan bagaimana hal itu tidak terikat pada apa pun yang dapat dicapai oleh jemaat itu sendiri. Hal ini memberikan sedikit kelegaan: Pengharapan bukan tentang apa yang dapat kita lakukan. Tidak, pengharapan hadir ketika gereja berhenti berusaha untuk mencapainya, dan menempatkan pengharapan mereka di dalam kuasa Kristus dan otoritas-Nya atas segala sesuatu.

Renungan "Sang Raja Kekal Tiba" versi cetak dapat dipesan melalui Literatur Perkantas Jatim (di situs web, Tokopedia, Shopee).

Kedengarannya sederhana untuk hanya “melepaskan dan membiarkan Tuhan bekerja,” seperti yang dikatakan slogan bernas tersebut, akan tetapi coba pikirkan lagi. Coba ingat kembali kapan terakhir kali Anda harus berhenti mencoba melakukan segala sesuatu sendiri dan membiarkan seseorang melakukannya untuk Anda—proyek pekerjaan, pengasuhan anak, atau bahkan pelayanan Anda sendiri. Tingkat kepercayaan dan pelepasan kendali seperti ini bisa terasa hampir mustahil. Kita senang mengatakan bahwa kita menaruh pengharapan pada Yesus, tetapi jauh lebih mudah untuk menaruh pengharapan kita pada keahlian dan kemampuan kita sendiri. Itu sebabnya mengapa pengharapan membutuhkan kerja keras, karena memang sulit untuk melepaskan kendali.

Menyadari keterbatasan kekuatan saya membantu saya untuk mengandalkan Yesus sebagai pemberi harapan dalam hidup saya. Dalam Efesus 1:19, Paulus berbicara tentang hebatnya kuasa Allah yang tak terukur. Sebaliknya hal yang lucu adalah, saya bangun setiap pagi dengan tubuh saya yang berusia 49 tahun dan saya terhuyung-huyung. Tidur sekarang tampaknya seperti olahraga, dan ketika saya pergi ke tempat olahraga, tujuan saya adalah melakukan peregangan yang cukup agar tidak pegal-pegal saat bangun keesokan harinya. Kekuatan saya ada batasnya. Namun surat Efesus memperjelas bahwa kekuatan dari Dia yang benar-benar memberi kita pengharapan sangatlah tak terukur. Kehebatan dan kuasa-Nya tidak ada batasnya. Tidak ada. Itu benar-benar sesuatu yang bisa menjadi tempat kita menaruh pengharapan kita di dalamnya, apa pun keadaannya.

Ini yang menarik: Otoritas Raja kita yang maha kuasa sebenarnya telah dianugerahkan kepada kita menurut kekayaan kasih karunia-Nya, dan otoritas itu hidup di dalam diri kita sebagai orang Kristen. Kita dapat menggunakan otoritas Pencipta kita pada masa Natal ini untuk mengizinkan kekuatan-Nya mengalir di dalam dan melalui kita. Di tengah semua keriuhan masa ini, dengan pikiran yang lelah dan tubuh yang sakit yang tak dapat kita elakkan, izinkan pengharapan Anda ditemukan di dalam kekuatan dan otoritas-Nya. Lebih baik seperti itu.

Renungkan



Merenungkan konsep pengharapan, bagaimana kesadaran bahwa pengharapan membutuhkan pelepasan atas kendali ini selaras dengan perjalanan iman Anda sendiri? Area mana dalam hidup Anda yang menurut Anda sulit untuk melepaskan kendali dan percaya pada kuasa Tuhan?

Sebagai orang Kristen, kita memiliki akses terhadap otoritas Raja kita yang maha kuasa. Dengan cara apa Anda dapat menggunakan kekuatan dan otoritas-Nya selama masa Natal, di tengah kesibukan dan keletihan?

Carlos Whittaker adalah pendongeng, pembicara, dan penulis buku Moment Maker, Kill the Spider, Enter Wild, dan buku rilisan terbarunya, How to Human.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Kebaikan dari Bertumbuh menjadi Lebih Kecil

Bagaimana memercayai Tuhan di masa penurunan

Christianity Today December 14, 2023
Phil Schorr

Yang empunya mempelai perempuan, ialah mempelai laki-laki; tetapi sahabat mempelai laki-laki, yang berdiri dekat dia dan yang mendengarkannya, sangat bersukacita mendengar suara mempelai laki-laki itu. Itulah sukacitaku, dan sekarang sukacitaku itu penuh. Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil.

Yohanes 3:29-30

Tidaklah menyenangkan untuk merasa sepertinya Anda telah tergantikan, dan murid-murid Yohanes Pembaptis benar-benar tidak menyukainya. Ketika Yohanes dan para pengikutnya sedang membaptis di dekat Salim, Yesus juga mulai membaptis di daerah sekitar Yudea. Waswas bahwa guru baru ini menikmati kesuksesan yang lebih besar daripada guru mereka sendiri, murid-murid Yohanes menyuarakan kekhawatiran mereka kepadanya bahwa “semua orang” pergi kepada Yesus untuk dibaptis (Yoh. 3:26), mungkin sambil mengharapkan reaksi kemarahan yang sama atau respons yang kompetitif dari guru mereka. Namun Yohanes justru menunjukkan kepada mereka keindahan paradoks dari Injil.

Murid-muridnya takut akan kejadian yang tak terduga, tetapi Yohanes mengingatkan para pengikutnya tentang apa yang telah ia katakan selama ini: “Aku bukan Mesias, tetapi aku diutus untuk mendahului-Nya” (ay. 28). Bahkan, setelah mendengar berita kesuksesan Yesus, Yohanes mengatakan bahwa sukacitanya “penuh” (ay. 29). Popularitas Yohanes sudah berakhir. Kesuksesannya memudar. Pengaruhnya menurun. Bagi kebanyakan dari kita, hal ini akan membuat kita patah semangat dan iri hati, tetapi bagi Yohanes, hal ini justru membawa sukacita. Inilah paradoks yang indah dari Injil. Kehidupan kristiani adalah tentang kehilangan supaya menemukan. Memberi untuk mendapatkan. Mati bagi diri agar beroleh kehidupan. Itu berarti hal yang baik terkadang adalah menjadi semakin kecil, kehilangan pengaruh luar, atau turun peringkat.

Renungan "Sang Raja Kekal Tiba" versi cetak dapat dipesan melalui Literatur Perkantas Jatim (di situs web, Tokopedia, Shopee).

Yohanes berkata, “Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil” (ay. 30). Pada masa yang biasanya dikaitkan dengan kesibukan dan peningkatan—lebih banyak hal yang harus dilakukan, lebih banyak hal yang harus dibeli, dan lebih banyak orang yang harus ditemui—mungkin Anda sedang berada di masa penurunan. Anda mungkin kehilangan orang yang Anda cintai, dan mendapati lebih sedikit kursi di meja makan. Setelah kehilangan pekerjaan, kalender Anda mungkin menjadi lebih kosong dan tumpukan hadiah di sekitar pohon Natal Anda mungkin lebih kecil. Sama seperti murid-murid Yohanes, kita mungkin khawatir atau berduka atas perubahan yang terjadi. Namun sebelum mengingatkan murid-muridnya bahwa dia bukanlah Mesias, Yohanes mengingatkan mereka bahwa segala sesuatu adalah karunia Allah (ay. 27). Anda lihat, Yohanes memiliki pandangan yang tepat mengenai tugasnya. Ia tidak menganggap dirinya terlalu tinggi, seolah-olah ia adalah Kristus sendiri, namun ia juga tahu bahwa ia memiliki nilai dan tujuan dalam rencana Tuhan. Dalam Yohanes 1, penulis mengingatkan pembacanya bahwa Yohanes “bukan terang itu, tetapi ia harus memberi kesaksian tentang terang itu” (ay. 8). Kristus adalah “terang yang sesungguhnya” (ay. 9). Yohanes tahu bahwa perannya penting, tetapi itu bukanlah yang terpenting.

Selama masa Adven ini, kita dapat menerima kenyataan bahwa kesuksesan yang kita peroleh bukan karena hasil dari usaha kita sendiri, melainkan kebaikan dari surga yang sebenarnya tidak layak kita terima, yang dicurahkan ke dalam hidup kita. Kita dapat berserah pada apa yang Tuhan miliki untuk kita, baik yang Ia berikan atau yang Ia ambil, karena hidup kita bukan milik kita sendiri, melainkan milik Tuhan (1Kor. 6:19). Tidak peduli di mana pun kita berada dalam hidup ini, kita dapat dengan rendah hati memercayai rencana dari Sang Terang Sejati, dan menjadi saksi kemasyhuran-Nya.

Renungkan



Dengan cara apa kita dapat menemukan sukacita dan tujuan hidup di masa-masa penurunan atau memudarnya pengaruh?

Semua karunia dan kesuksesan kita berasal dari Tuhan. Bagaimana ingatan akan hal ini membentuk perspektif kita selama masa Adven dan mendorong kita untuk memercayai segala rencana-Nya dengan rendah hati?

Laura Wifler adalah penulis, pembawa acara siniar, dan salah satu pendiri Risen Motherhood. Ia penulis buku anak, termasuk Any Time, Any Place, Any Prayer.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Adven untuk Hati yang Berduka

Pengharapan akan pertemuan kembali menolong kita bertahan hingga saat ini

Christianity Today December 13, 2023
Phil Schorr

Dan Ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka, dan maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu." Ia yang duduk di atas takhta itu berkata: "Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru!" Dan firman-Nya: "Tuliskanlah, karena segala perkataan ini adalah tepat dan benar."

Wahyu 21:4-5

Masa Natal tidak selalu penuh dengan keceriaan dan kegembiraan. Bahkan, bisa jadi masa Natal dipenuhi dengan sakit hati, kesedihan, air mata, dan derita. Saya sangat memahami hal ini. Sejak 30 Juni 2021, liburan keluarga saya diwarnai dengan air mata dan kesedihan. Pada hari itu, putri kami yang berusia 20 tahun meninggal dalam kecelakaan mobil yang tragis saat kami pulang liburan bersama. Dalam hitungan detik, anak sulung kami terenggut dari kami.

Kematian menjadi musuh kami. Saya benci kematian—saya lelah meneteskan air mata. Namun, jika hari di bulan Juni itu adalah hari kesedihan saya yang paling besar, maka Wahyu 21 adalah sumber pengharapan dan penghiburan yang terbesar bagi saya. Ini juga dapat menjadi sumber pengharapan dan penghiburan bagi Anda.

Dalam ayat-ayat ini, kita menemukan jaminan kemenangan kekal yang telah dijamin oleh Yesus bagi umat-Nya. Sang Gembala yang penuh kasih ini akan menghapuskan air mata kita dan membasmi dosa, maut, dan iblis untuk selama-lamanya. Itulah yang akan kita dapatkan di masa depan dan yang pasti dialami semua orang yang beriman.

Injil Yesus Kristus tidak hanya mencakup keselamatan jiwa kita. Injil ini mencakup pemulihan dan penebusan segala sesuatu yang hilang pada saat kejatuhan manusia di Kejadian 3. Pemulihan ini mencakup langit yang baru, Yerusalem yang baru, dan tubuh yang disempurnakan yang akan dibangkitkan untuk menghuni bumi baru yang mulia. Kita sangat menantikan transformasi seluruh alam semesta.

Visi tentang apa yang akan datang, yang digambarkan dalam Wahyu 21, akan memiliki kualitas yang baru dan karakter yang lebih unggul daripada yang kita miliki saat ini. Sama seperti teks ini memprediksi akan lenyapnya bumi yang sekarang, teks ini juga berbicara tentang awal yang baru dan mengagumkan. Bumi yang baru ini adalah tempat di mana kerajaan Kristus akan dinyatakan sepenuhnya; di mana Allah sendiri yang akan memerintah sebagai satu-satunya Raja atas segalanya, serta berdiam dalam kedamaian dan kuasa bersama umat-Nya.

Inilah esensi dari keselamatan—sebuah relasi pribadi yang intim dengan Allah sendiri, yang tidak akan berakhir dan untuk selama-lamanya. Tidak akan ada lagi partai-partai politik dan faksi-faksi dalam gereja yang saling bertentangan, karena kita semua akan disatukan untuk bersama-sama menyembah-Nya, melayani-Nya, memerintah bersama-Nya, dan mengelola bersama Dia. Tidak akan ada lagi kematian. Akan ada pekerjaan yang bermakna untuk diselesaikan; akan ada keluarga dan teman-teman untuk ditemani tanpa rasa takut akan perpisahan; akan ada pembelajaran dan eksplorasi dalam kekekalan. Hal ini akan menjadi penggenapan yang terjadi terus-menerus atas hasrat terdalam kita untuk bersatu dengan Tuhan dan sesama orang beriman.

Pengharapan akan hari yang luar biasa itu membantu saya bertahan hingga hari ini, bahkan saat tragedi dalam keluarga kami dan kesedihan saat hari libur terasa sangat berat. Tuhan kita telah hadir di Natal pertama itu dengan penuh kerendahan hati, tetapi Dia akan datang kembali dengan kemenangan yang mutlak. Dahsyatnya visi yang diberikan kepada rasul Yohanes dalam kitab Wahyu ditutup dengan Tuhan berfirman, Ya, Aku datang segera!. Yohanes pun menjawab, bersama dengan setiap hati yang berduka, Amin. Datanglah, Tuhan Yesus!.

Renungkan



Bagaimana janji dalam Wahyu 21:1–6 memberikan pengharapan bagi mereka yang berduka selama masa Natal?

Bagaimana penantian akan langit dan bumi yang baru dapat memengaruhi cara pandang kita terhadap tantangan-tantangan masa kini?

Craig Smith adalah gembala jemaat di The Vail Church.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube