Pemerintah Indonesia bulan Agustus lalu mengumumkan bahwa mereka akan berhenti menggunakan istilah Arab untuk Yesus Kristus—Isa al Masih—ketika mengacu pada hari raya umat kristiani dan sebagai gantinya akan menggunakan istilah bahasa Indonesia Yesus Kristus mulai tahun 2024.
Perubahan tersebut akan mengubah nama tiga hari libur nasional: Wafatnya Isa al Masih (Jumat Agung), Kenaikan Isa al Masih, dan Kelahiran Isa al Masih (Natal).
Banyak umat kristiani yang gembira dengan perubahan ini karena mereka telah lama menggunakan Yesus Kristus dalam ibadah dan kehidupan sehari-hari. Mereka melihat langkah tersebut sebagai indikasi bahwa negara mayoritas muslim tersebut mengakui istilah mereka dan menghormati umat Kristen, yang merupakan 10 persen dari populasi dengan 29 juta penganutnya.
Saiful Rahmat, Wakil Menteri Agama, mencatat bahwa umat Kristen di Indonesia meminta perubahan nama.
“Seluruh umat kristiani di Indonesia mendukung [perubahan] ini untuk menunjukkan bahwa rujukan kita pada Isa Al Masih di kalender tahunan sebenarnya mengacu pada Yesus Kristus,” kata Budi Santoso, direktur Kartidaya (Wycliffe Indonesia). Beliau dan para pemimpin Kristen lainnya mencatat pentingnya perubahan nama tersebut, karena akan membedakan Yesus yang disembah orang Kristen dari deskripsi Isa dalam Al-Qur’an, di mana Ia dipandang hanya sebagai seorang nabi.
Meski demikian sebagian orang percaya merasa khawatir bahwa perubahan tersebut bisa menjadi awal dari peningkatan undang-undang mengenai istilah-istilah yang boleh digunakan oleh umat Kristen di Indonesia, sehingga menimbulkan masalah seperti larangan di Malaysia yang melarang orang-orang non-muslim untuk menyebut Tuhan sebagai Allah (larangan tersebut kemudian dicabut setelah adanya perseteruan hukum yang berlarut-larut).
Mereka khawatir jika Indonesia terus melarang istilah Isa al Masih, hal ini dapat merugikan pelayanan kontekstual kepada umat Islam, karena hubungan antara Isa dalam Al-Qur’an dan Alkitab sering kali menjadi pintu gerbang menuju percakapan yang lebih mendalam.
Kerukunan umat beragama di Indonesia
Meski umat Islam merupakan 87 persen dari populasi Indonesia, Islam bukanlah agama negara tersebut. Sebaliknya, Indonesia sangat menjunjung tinggi kerukunan beragama, yang dikemas dalam falsafah negara Pancasila, dan konstitusinya menjamin kebebasan beragama.
Bagi masyarakat Indonesia, baik yang beragama Islam maupun Kristen, Allah telah digunakan sebagai kata yang mengacu kepada Tuhan selama berabad-abad. Kata Arab tersebut pertama kali menyebar ke Asia Tenggara pada tahun 1100an ketika kesultanan Islam didirikan, dan kemudian dimasukkan ke dalam rumpun bahasa Melayu, yang mencakup bahasa Malaysia dan Indonesia.
Banyak kata Arab lainnya yang telah diserap ke dalam bahasa Indonesia dan umum digunakan oleh umat Kristen, seperti Alkitab untuk “Alkitab,” Injil untuk “Injil,” dan jemaat untuk “jemaat.” Seorang pemimpin pelayanan Kristen setempat, yang meminta untuk tidak disebutkan namanya karena alasan keamanan, mencatat bahwa “setiap orang menggunakan istilah yang sama tetapi menerapkan arti yang berbeda.”
Namun istilah Isa al Masih lebih jarang digunakan. Secara historis, beberapa terjemahan Alkitab sebelumnya ke dalam bahasa Melayu (lingua franca bekas Hindia Belanda), seperti terjemahan Perjanjian Baru tahun 1910 karya William Girdlestone Shellabear, menggunakan istilah tersebut, menurut Daud Soesilo dari United Bible Societies.
Namun setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, terjemahan bahasa Indonesia kebanyakan menggunakan kata Yesus Kristus. Satu pengecualian adalah penerbitan Perjanjian Baru di tahun 2000 yang diadaptasi dari terjemahan Shellabear dengan tujuan menjangkau mereka yang lebih akrab dengan nama dan istilah Arab, kata Soesilo.
Selain para pekerja misi yang membangun jembatan dengan umat Islam, Isa al Masih jarang digunakan oleh umat Kristen di Indonesia, kata Bedjo Lie, salah satu pendiri pelayanan Apologetika Indonesia.
Ia menyambut baik keputusan pemerintah untuk mengubah cara mereka merujuk pada hari libur Kristen. “Keputusan ini menandakan sikap hormat pemerintah terhadap umat Kristen sebagai populasi agama terbesar kedua di negara ini … dan kosakata agama mereka untuk hari raya mereka.”
Ia mencatat bahwa Presiden Joko Widodo dan Menteri Agama saat ini dikenal atas upaya mereka untuk “melindungi dan mempromosikan pluralisme agama” di negara ini. Awal tahun ini, Presiden Joko Widodo meminta para bupati di provinsi dan kabupaten untuk menjamin kesetaraan hak beragama bagi semua agama setelah adanya sejumlah umat Kristen yang dilarang beribadah.
Beberapa orang berpendapat bahwa langkah tersebut mungkin dilakukan menjelang pemilu di Februari sebagai upaya untuk menunjukkan itikad baik di kalangan umat Kristen. Masa jabatan kedua dan terakhir dari Presiden Joko Widodo akan segera berakhir, sehingga menimbulkan ketidakpastian bagi umat Kristen mengenai seberapa besar komitmen presiden dan badan legislatif yang baru nantinya dalam melindungi hak-hak mereka. Menurut laporan Pew Research Center baru-baru ini, 64 persen umat Islam mengatakan syariah harus digunakan sebagai hukum negara.
Lie yakin perubahan nama ini juga menandakan “peningkatan literasi teologis di kalangan umat Kristen dan Islam di Indonesia.” Ia menunjuk pada menjamurnya sumber daya daring dalam bahasa Indonesia yang telah membantu masyarakat memiliki “pemahaman dan apresiasi lebih mendalam terhadap perbedaan teologis antara Isa dalam Islam dan Yesus dalam Alkitab.”
Pemahaman umat muslim tentang Isa al Masih menolak prinsip utama Injil—yaitu keilahian, kematian, dan kebangkitan Yesus, kata Lie. “Meskipun Alquran dan tradisi Islam… berbicara positif tentang Isa, narasi Islam menempatkannya di bawah bayang-bayang Muhammad sebagai nabi terakhir dan universal.”
Kekhawatiran akan undang-undang lebih lanjut
Sementara Indonesia adalah negara sekuler dengan enam agama formal, di Malaysia, Islam adalah agama resmi. Dengan umat muslim sebanyak 63 persen dari populasi, negara Malaysia menerapkan sistem hukum ganda yaitu pengadilan sipil dan syariah. (Hukum Syariah hanya berlaku untuk umat Islam dan mencakup hukum keluarga serta pribadi.)
Pada tahun 1986 pemerintah Malaysia melarang penggunaan istilah Allah bagi non-Muslim untuk menghindari kebingungan yang dapat menyebabkan umat Islam berpindah agama. Dua kasus pengadilan telah diperjuangkan melawan aturan tersebut selama lebih dari satu dekade, dan pengadilan tinggi akhirnya membatalkan kebijakan tersebut pada tahun 2021, dengan menyebutnya “ilegal dan inkonstitusional.”
Sejumlah umat Kristen khawatir bahwa langkah Indonesia untuk mengganti nama Yesus dapat menyebabkan situasi serupa.
“Persoalan mengenai nama Yesus di Indonesia membuat kami waspada: Kami tidak ingin hal ini terjadi seperti yang terjadi di Malaysia, yaitu berubah menjadi pelarangan bagi umat Kristen di Indonesia untuk menggunakan istilah Isa al-Masih,” ujar Uskup Katolik Vitus Rubianto Solichin, yang tinggal di Sumatera, kepada kantor berita Fides. “Yang penting adalah menjaga dan menjamin kebebasan bagi semua orang juga dalam berbahasa.”
Sejumlah pemimpin senior dari kalangan Injili juga khawatir bahwa perubahan nama ini bisa menjadi langkah pertama pemerintah Indonesia untuk membuat undang-undang lebih lanjut tentang kata-kata yang boleh dan tidak boleh digunakan oleh orang Kristen, menurut seorang misionaris yang telah mengajar di sekolah-sekolah Alkitab di Indonesia selama bertahun-tahun (dia meminta untuk tidak disebutkan namanya terkait sensitivitas dari topik ini).
Para pemimpin tersebut mencatat bahwa penghapusan istilah Isa al Masih mematahkan solidaritas umat Kristen Indonesia dengan komunitas Kristen lainnya yang tinggal di wilayah mayoritas muslim di Afrika Utara dan Timur Tengah yang juga menggunakan istilah yang sama. Indonesia adalah salah satu dari sedikit negara di mana umat Islam dan Kristen hidup bersama dan memiliki hak yang sama, sehingga sering dijadikan contoh bagi negara lain.
Jika pemerintah melarang sepenuhnya istilah Isa al Masih, hal ini akan berdampak langsung pada denominasi (dikenal sebagai “sinode” di Indonesia) yang menggunakan nama Arab dari Yesus dalam namanya, seperti Gereja Isa al Masih. Hal ini juga akan berdampak pada terjemahan Alkitab tradisional, termasuk terjemahan Shellabear yang disebutkan di atas. Beberapa terjemahan baru yang sedang dalam proses juga berupaya untuk mempertahankan istilah ini, menurut misionaris tersebut, yang menjaga hubungan antara tokoh sejarah Isa yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Yesus dalam Alkitab.
“Memutus ikatan ini akan merusak dialog antaragama dan persepsi masyarakat bahwa kita membicarakan orang yang sama,” katanya.
Dia mencatat bahwa banyak pemimpin Islam khawatir tentang efektivitas penginjilan kontekstual dalam mempertobatkan orang-orang Islam menjadi Kristen. Melarang penggunaan istilah Arab seperti Isa al Masih dipandang sebagai cara untuk melindungi keyakinan mereka. Namun umat Kristen khawatir hal ini akan melemahkan Pancasila, menghambat beberapa langkah positif yang telah diambil pemerintah dalam hal kebebasan beragama, dan berpotensi menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia.
Lie juga telah mendengar beberapa kekhawatiran ini dari para misiolog dan misionaris Kristen. Namun ia tidak membayangkan perubahan yang terjadi saat ini akan mengarah pada tindakan yang lebih kejam dan berpikir bahwa orang-orang percaya yang berlatar belakang Islam akan dapat terus menggunakan kata Isa dalam “Alkitab, liturgi, dan percakapan mereka yang kontekstual.”
“Pemerintah hanya mengubah nama hari raya umat kristiani, dan sejauh ini, saya tidak melihat adanya rencana kebijakan lebih lanjut,” kata Lie.
Diterjemahkan oleh Maria Fennita S.