Books
Excerpt

Ketika Saya Tidak Menginginkan Natal Tiba

Liburan yang dijalani dalam kesedihan membantu saya untuk memandang kedatangan Kristus dengan lebih serius.

Christianity Today December 23, 2023
Ilustrasi oleh Mallory Rentsch / Sumber Gambar: Klaus Vedfelt / Portra Images / Getty Images / Joshua Herrera / Unsplash

Dalam cerita karya C.S. Lewis The Lion, the Witch, and the Wardrobe, negeri Narnia berada di bawah kutukan yang menyatakan “akan selalu ada musim dingin, tetapi tidak akan pernah ada Natal.” Saat kami mendekati bulan Desember di tahun pertama setelah putri kami yang berusia 30 tahun meninggal secara mendadak, saya berharap ini hanya musim dingin dan bukan Natal.

A Chronicle of Grief: Finding Life After Traumatic Loss

A Chronicle of Grief: Finding Life After Traumatic Loss

IVP

168 pages

$14.37

Memandangi ruang kosong di meja makan, saat pembukaan kado, pada kaus kaki Natal yang digantung di dekat perapian adalah hal terakhir yang saya inginkan.

Saat kita telah melewati masa-masa terburuk, menjelang Natal pertama dan Natal-natal berikutnya memiliki kesedihan tersendiri. Namun di sana juga terdapat kesempatan, untuk memahami inti dari makna Natal yang sesungguhnya.

Kami tahu Natal akan menjadi sulit, tentu saja. Perayaan Thanksgiving dimulai dengan baik. Saya berkhotbah di kebaktian gereja kami tentang mengenang, dan kami berkumpul dengan teman-teman pada Hari Thanksgiving untuk makan bersama, seperti yang selalu kami lakukan. Namun kemudian di hari itu, kehampaan karena ketidakhadiran Eva membuat saya terpukul. Rumah kami terasa begitu kosong tanpa dia. Saya menangis dan menangis. Saat itulah saya menyadari bahwa ritual yang silih berganti dari kehidupan kami, seperti liburan, yang kami anggap sebagai “waktu keluarga,” adalah saat kami, yang sedang berduka, menghadapi kepiluan atas kehilangan yang kami alami.

Natal menjadi sulit, tentu saja, karena pada saat itulah kami biasanya berkumpul bersama keluarga. Di rumah ibu saya, tempat kami merayakan Natal selama bertahun-tahun, kami dibesarkan oleh perhatian dia dalam mendekorasi. Sejak saya masih kecil, dia meletakkan patung-patung berukuran enam inci di dalam palungan kayu: Maria, Yusuf, Yesus, malaikat, gembala, dan beberapa binatang. Saya bisa memejamkan mata sekarang dan melihat setiap figur secara detail. Pohon Natal kami selalu dihiasi dengan cara yang sama. Seluruh keluarga besar duduk mengelilingi daging sapi panggang, kentang tumbuk, dan sepanci besar sop jamur di atas meja makan. Kami duduk di tempat yang sama setiap tahun sampai kakek saya meninggal dan kemudian nenek saya. Kami semua sangat merindukan mereka ketika mereka meninggal. Mereka orang-orang yang luar biasa. Kursi-kursi pun ditata ulang, satu generasi dengan sedih digantikan oleh generasi berikutnya. Namun kini kursi kosong milik putri kami yang berusia 30 tahun menjadi sebuah kehampaan yang jauh lebih buruk daripada kekosongan.

Beberapa minggu sebelumnya, istri saya, Ingrid, dan saya mendiskusikan bagaimana kami akan menjalani Natal. Perasaan kami agak berbeda satu sama lain. Dengan bakat Skandinavia-nya, Ingrid selalu senang mendekorasi rumah, dari atas ke bawah, dengan tanaman hijau, lampu, dan patung-patung. Ketika Eva masih kecil, Ingrid mengatur ritual Hari St. Lucia bagi keluarga di mana putri pemilik rumah berpakaian putih, dengan karangan bunga lilin elektrik di kepalanya, mengantarkan manisan yang baru dimasak kepada setiap anggota keluarga. Eva sangat menyukainya. Kenangan itu terpatri dalam ingatan kami.

Inggrid memilih untuk merayakan Natal dengan cara yang kurang lebih sama seperti biasanya. Namun naluri saya ingin berpura-pura Natal tidak terjadi sama sekali. Pada akhirnya kami berkompromi, menjaga segala sesuatunya tetap sederhana. Tidak ada yang mewah di makan malam Natal. Kami saling memberi hadiah selama beberapa hari, bukan tukar kado yang biasa dilakukan sambil duduk di sekitar pohon Natal. Saya memasang beberapa lampu sorot di depan rumah, tetapi tidak lebih.

Kami menjaga agar segala sesuatunya tetap sederhana. Saya ingin segera memasuki bulan Januari secepat mungkin di tahun pertama itu. Saya ingin setiap hari menjadi hari yang biasa saja—entah Selasa, Jumat, atau Minggu—untuk menyelesaikan beberapa tugas. Saya tahu saya bisa bertahan di hari apa pun dalam seminggu.

Jadi kami menjalaninya hari demi hari sampai kami mencapai tahun baru.

Natal selalu menjadi kesempatan yang baik untuk menikmati keindahan kasih Allah yang besar dan merenungkan keajaiban misi penyelamatan Tuhan dalam Yesus. Pada tahun pertama itu, saya tahu bulan Desember akan menjadi tak tertahankan jika setiap hari saya memikirkan semua acara Natal yang pernah diikuti anak-anak kami, atau hadiah kejutan di bawah pohon Natal, atau perjalanan ke rumah Nenek, dan semua hal sentimental lainnya. Sekilas nampaknya baik-baik saja. Hanya saja, saya tidak bisa tetap berada di sana. Terlalu cepat. Terlalu dini. Setahun kemudian, lalu dua tahun kemudian, Natal menjadi tidak terlalu sulit untuk dihadapi.

Kami bisa melewati kesedihan, tetapi tidak dengan berusaha mengubahnya menjadi kebahagiaan. Kesedihan tetaplah harus menjadi kesedihan, dan momen kebahagiaan akan datang dengan sendirinya.

Kita tidak bisa menjalankan tradisi liburan dan mengisi kekosongan orang yang telah tiada. Hal itu akan menjadi permainan pikiran yang akan dengan cepat berubah menjadi sesuatu yang lebih sulit. Melewati kesedihan bukan berarti berusaha membuat diri Anda bahagia. Saya belajar bahwa menjadi bahagia bukanlah tujuan terpenting dalam hidup saya. Meski demikian, saya tetap bisa memperoleh kepuasan. Kedamaian dan harapan jauh lebih baik. Dan kasih yang berkelanjutan. Kasih tidak perlu berhenti. Itu tidak bisa berhenti. Tidak ada kata “Aku menyayangimu juga” yang keluar dari ruang kosong itu. Itulah bagian yang mengerikan. Akan tetapi saya memilih untuk percaya ada cinta yang terbalas yang tidak terdengar di telinga saya namun tetap nyata.

Kita semua bertanya-tanya bagaimana Natal pertama bagi keluarga berduka yang kita kenal. Dari posisi saya sekarang, inilah yang ingin saya katakan: Teruslah menjalin interaksi yang berkualitas dengan mereka. Jangan menganalisis mereka, dan jangan berpikir Anda harus mengeluarkan mereka dari kesedihannya. Pahamilah mereka. Jangan menyamaratakan saat Anda berbicara tentang betapa indahnya Natal dalam bentuk “kebahagiaan” yang gemerlap, lengket seperti permen, dan kado yang mengkilap. Para pemimpin gereja: Tolong pimpinlah kami ke dalam suatu kerinduan akan keajaiban Inkarnasi. Tolong selami lebih dalam lagi. Sambutlah Natal dengan serius. Natal menjadi indah karena kita dapat memusatkan perhatian pada peristiwa yang menggemparkan dunia ketika Allah menjadi manusia, yang memberi kita harapan akan hari yang akan datang saat “maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita.” Dalam hal ini saya merasa sangat terhibur. Dan bersukacita. Kebahagiaan yang tertunda.

Saya tahu bahwa orang-orang yang baru saja kehilangan seseorang yang sangat dekat dengan mereka menganggap Natal sulit untuk dihadapi. Apa yang saya pelajari dari orang lain yang menghadapi Natal yang menyedihkan adalah bahwa kita harus melakukan apa yang harus kita lakukan untuk melewatinya. Satu keluarga yang saya kenal pergi ke hotel saat Natal selama beberapa tahun. Seorang ibu memberi tahu saya bahwa setelah enam tahun kemudian barulah mereka memasang pohon Natal. Bagi kami tantangannya adalah bahwa Ingrid selalu senang mendekor rumah dari atas ke bawah dengan dekorasi Natal tradisional Swedia. Dia melakukannya untuk anak-anak. Namun kami tahu bahwa semua pemandangan dan aroma itu hanya akan menarik perhatian kami pada kenyataan bahwa Eva sudah tidak bersama kami. Jadi pada bulan Desember pertama itu, Ingrid hanya menyiapkan beberapa dekorasi saja. Kami melakukan menurut naluri kami dan merasa senang ketika kami tiba di bulan Januari.

Pengurangan perayaan Natal memang membawa satu manfaat positif. Hal ini membereskan beberapa kekacauan—yang mencolok, menyibukkan, dan memberatkan—sehingga kami dapat memfokuskan diri secara tepat pada kedatangan Mesias dan janji keselamatan. Saya mendapati diri saya didorong jauh ke dalam misteri Inkarnasi.

Itu semua membuat saya bertanya-tanya tentang tujuan dari semua “hari istimewa” kita. Ulang tahun, Natal, Paskah, dan Thanksgiving—kita semua memiliki ritual masing-masing pada hari-hari tersebut. Beberapa orang membuat lebih banyak hari-hari istimewa daripada orang lain. Ada yang menjalani sepanjang tahun dengan berlari dari satu penanda ke penanda berikutnya, sementara yang lain hampir tidak memperhatikan hari-hari tersebut. Banyak orang merasa berkewajiban untuk melakukan hal-hal tertentu atau pergi ke tempat-tempat tertentu atau membeli hadiah atau mengadakan pesta atau menyalakan lampu di rumah—namun terkadang itu semua hanya sekadar kewajiban, tidak terlalu menyenangkan.

Kata holiday berasal, tentu saja, dari kata “holy day” (hari suci) dalam bahasa Inggris Kuno. Sesuatu yang kudus “dikhususkan” untuk suatu tujuan khusus. Kita mungkin mendapat cuti kerja, memberi kesempatan bagi kita untuk memperoleh sesuatu yang spesial dari hari istimewa itu.

Banyak hal berubah ketika kita berada dalam masa bertahan hidup. Kita mungkin menjadi lebih sadar akan tujuan sebenarnya dari hari raya-hari raya. Kita menjadi sadar bahwa ada anugerah di dalamnya yang lebih dari sekadar nostalgia. Ada baiknya untuk lebih memikirkan peristiwa kelahiran Yesus yang sebenarnya daripada sekadar adegan palungan yang dipajang di atas meja kopi. Terang Natal, yang merupakan terang Kristus, menjadi sangat masuk akal saat kita mengalami malam terkelam dari malam-malam yang paling gelap.

Diadaptasi dari A Chronicle of Grief oleh Mel Lawrenz. Hak Cipta © 2020 oleh Mel Lawrenz. Diterbitkan oleh InterVarsity Press, Downers Grove, IL. www.ivpress.com

Diterjemahkan oleh Maria Fennita S.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Bethlehem Membatalkan Natal, Tetapi Pendeta Lokal Masih Mengharapkan Malam Kudus

Ketika perang mendisrupsi perayaan tradisional, umat Kristen Palestina melihat peluang untuk kembali kepada kisah Kelahiran Yesus dan membagikan Injil.

Christianity Today December 22, 2023
Gambar: Maja Hitij / Getty Images

Betlehem biasanya ramai dikunjungi turis saat Natal.

Di Gereja Injili Immanuel di Betlehem, alih-alih menyalakan lampu Natal, pendeta senior Nihad Salman mencari-cari sebuah spanduk dari lemari gereja. Spanduk itu bergambar seorang wanita yang melarikan diri dari gedung-gedung yang dihujani bom, dan spanduk itu dicetak dalam bahasa Arab dengan kata-kata “Mari kita bangkit dan menyembah Tuhan.”

Terakhir kali gereja memasang spanduk tersebut adalah dua tahun lalu, saat konflik Mei 2021 antara Israel dan Hamas. Spanduk itu merangkum pendekatan Salman terhadap Natal selama masa perang tahun ini. Ia melihat adanya peluang untuk memberitakan Injil kepada orang-orang yang hidup di bawah pendudukan militer seraya berduka atas kematian orang-orang di Gaza.

“Orang-orang akan mengajukan lebih banyak pertanyaan,” katanya. “Kami telah melihat bahwa setelah krisis, orang-orang selalu mencari: Apa kebenarannya? Di manakah kebenarannya? Jadi, ada banyak pekerjaan yang harus kami lakukan.”

Para pemimpin gereja di Betlehem dan di seluruh Tanah Suci telah memutuskan untuk tidak merayakan Natal tahun ini karena perang Israel-Hamas yang sedang berlangsung.

Biasanya, Betlehem—sebuah kota Palestina berpenduduk sekitar 30.000 jiwa di Tepi Barat yang diduduki Israel—dipadati oleh lebih dari 3 juta pengunjung dari seluruh dunia untuk merayakan kelahiran Mesias.

Drumben, para penyanyi dan penari lagu-lagu Natal, serta kembang api akan memenuhi kota dengan keceriaan dan semangat yang meriah. Ribuan orang akan memadati Church of the Nativity, lampu-lampu keemasan akan berkelap-kelip di sepanjang Star Street, dan sebuah pohon Natal raksasa dengan bintang rubi akan menerangi Manger Square.

Namun yang terjadi kini justru sebaliknya, jalanan begitu gelap dan sunyi.

Natal kali ini akan menjadi malam yang sunyi—namun ini akan tetap menjadi malam kudus, menurut para pemimpin Kristen setempat. Menghilangkan semua dekorasi Natal dan tradisi Barat yang asing, kata mereka, akan membantu mereka berfokus pada makna Natal yang sesungguhnya.

Salman mengatakan kepada 50 anak di gerejanya, “Tahun ini, kalian tidak akan mendapat hadiah. Namun kalian akan memberikan hadiah.” Dia menantang mereka mencari cara untuk menggalang dana—baik melalui menjajakan permen karet atau menjual kue buatan sendiri. Berapapun penghasilan mereka, gereja akan menggenapkannya, dan mereka akan menggunakan dana tersebut untuk membeli hadiah bagi anak-anak miskin di lingkungan sekitar pada hari Natal.

Sebarkanlah Injil saat kalian menggalang dana, kata dia kepada anak-anak: “Beri tahu semua orang mengapa kalian melakukan ini.”

Di Evangelical Lutheran Christmas Church di Betlehem, pendeta Munther Isaac terus menarik perhatian pada perang di Gaza dan menyerukan penghentian gencatan senjata dengan segera.

Alih-alih menampilkan adegan palungan tradisional, gerejanya membuat gundukan pecahan batu dan beton untuk melambangkan puing-puing di Gaza, dan di atas puing-puing tersebut, ditempatkan bayi Yesus yang dibungkus dengan keffiyeh (syal katun berbentuk persegi) Palestina.

“Tuhan ada di bawah reruntuhan di Gaza,” khotbah Isaac dalam beberapa minggu pertama perang. “Ia bersama mereka yang ketakutan dan para pengungsi. Ia juga berada di ruang operasi. Inilah penghiburan kami. Ia berjalan bersama kita melewati lembah kekelaman. Jika kita berdoa, doa saya semoga mereka yang menderita bisa merasakan kehadiran Allah yang menyembuhkan dan menghiburkan ini.”

Bahkan jika pemerintah setempat tidak membatalkan perayaan Natal, “tidak ada yang akan merayakannya juga,” kata Isaac kepada CT. “Tidak ada seorang pun yang berniat untuk merayakannya.” Dari sudut pandangnya, ia melihat perang sebagai “genosida.” Dia mengeluarkan ponselnya untuk menunjukkan apa yang dia maksudkan: gambar dan video ibu-ibu yang pucat pasi dan mayat-mayat yang hancur di Gaza.

Gerejanya benar-benar kosong dari pohon Natal, lampu-lampu, dan Santa. Menghentikan perayaan Natal, katanya, telah memberikan “kesempatan besar untuk memikirkan kembali makna Natal.”

Kata-kata yang pernah diasosiasikan orang-orang dengan Natal adalah Santa, pohon Natal, hadiah, lagu-lagu Natal—semuanya merupakan tradisi “romantisasi” dari Barat, kata Isaac. Saat ini, ia memikirkan kata-kata dari kisah Natal dalam Alkitab: Kaisar, sensus, pembantaian, dan pengungsi di Mesir—semuanya relevan bagi warga Palestina yang harus mendaftar untuk bepergian ke luar Tepi Barat dan yang mencari keselamatan di Mesir.

Bagi Isaac, kisah Natal adalah tentang Tuhan dalam rupa manusia, hadir bersama manusia dalam penderitaan mereka. Dia menunjuk ke arah dekorasi tempat kelahiran Yesus di gerejanya, ke arah bayi Yesus yang berada di reruntuhan: “Begitulah cara Natal dirayakan di sini. … Namun doa-doa akan terus berlanjut. Doa-doa ini tidak akan berhenti.”

Meski suasananya terasa berat dan menegangkan—atau lebih tepatnya, karena suasana tersebut—setidaknya ada satu tempat yang memutuskan untuk tetap melanjutkan perayaan Natal tahun ini.

Jerusalem International YMCA (JIY) di Yerusalem Barat memutuskan untuk memulai upacara penyalaan pohon Natal tahunan mereka, setelah para pemimpin gereja di Yerusalem meminta umat kristiani di wilayah tersebut untuk menghindari kegiatan Natal yang “tidak perlu meriah” tahun ini.

Fadi Suidan, CEO JIY, mengatakan ia dan stafnya membawa beban hati yang berat bahkan saat mereka mengelilingi pohon Natal raksasa dengan lampu-lampunya sebagai persiapan acara tersebut.

“Kami memiliki banyak emosi yang campur aduk,” katanya. “Sulit bagi kami untuk bersukacita.”

Namun ia merasa perlu dan penting untuk tetap menjaga tradisi tahunan tersebut. “Ini untuk anak-anak. Kami harus membawa harapan bagi anak-anak. Kami merasa perlu memikirkan kewarasan mereka. Anak-anak menunggu momen ini setiap tahun. Bagaimana Anda menjelaskan kepada mereka bahwa tidak akan ada Natal tahun ini?”

Jadi pada 3 Desember, Minggu pertama Adven, sekitar 600 anak dan keluarga mereka berkumpul di sekitar pohon Natal di JIY, menghadiri perayaan yang lebih sederhana. Alih-alih berbagai lagu Natal yang diproyeksikan melalui pengeras suara, sebuah band yang terdiri dari satu cello dan tiga biola memainkan musik akustik yang lembut.

Itu bukan hanya untuk anak-anak. JIY sejak awal didirikan merupakan simbol persatuan dan perdamaian, yang menyatukan umat Yahudi, Kristen, dan Islam dalam satu tempat, kata Suidan. Bagi dia, lebih penting untuk mengumpulkan keluarga-keluarga dari budaya dan agama yang berbeda, untuk memberikan gambaran sekilas bahwa hidup berdampingan secara damai masih mungkin terjadi, sekalipun di kota yang paling diperebutkan di planet ini.

Dalam pidatonya, Suidan mengatakan kepada para hadirin bahwa upacara tersebut merupakan secercah harapan yang sangat dibutuhkan:

Pada saat seperti ini, ketika dunia tampak terpecah belah oleh konflik dan perselisihan, kebersamaan kita memiliki makna yang lebih besar. … Lampu-lampu ini mewakili lebih dari sekadar tradisi yang meriah. Lampu-lampu ini adalah simbol kuat dari iman yang abadi, ketahanan, dan semangat manusia yang tak lekang oleh waktu.

Tahun ini, pesan Natal—pesan tentang kasih, perdamaian, dan itikad baik terhadap semua orang—menjadi lebih relevan dari sebelumnya.

Tepat sebelum mereka menyalakan pohon itu, alih-alih menghitung mundur dari 10, massa malah berteriak, “Pengharapan. Kasih. Perdamaian!” Lalu lampu-lampu menyala berwarna emas dan perak, berkilauan di sekitar pohon, melintasi alun-alun, dan di atas menara.

Menciptakan suasana seperti itu mungkin bisa dilakukan di Yerusalem, tetapi tidak di Betlehem, yang suasananya suram.

Delapan puluh persen penduduk Betlehem menggantungkan hidup mereka pada sektor pariwisata. Masa Natal adalah saat di mana sebagian besar penduduk setempat berharap untuk mendapatkan penghasilan terbesar. Namun perang telah mencekik perekonomian mereka, melumpuhkan kebebasan mereka, dan meningkatkan permusuhan serta ketakutan terhadap tentara Pasukan Pertahanan Israel dan para penyerang Yahudi, yang telah menyerbu kota-kota, menahan dan memukuli warga Palestina, serta memberlakukan lebih banyak pos pemeriksaan.

Jika keadaan ini tidak berubah, maka yang jadi persoalan bukanlah "seandainya" melainkan "kapan" kekerasan akan meledak di Tepi Barat, kata orang-orang Kristen di sana kepada CT. Penduduk setempat merasa ketakutan, patah hati, dan sedih.

Pada suatu Kamis malam yang dingin di bulan Desember, sekitar 20 orang Kristen berusia remaja dan pemuda duduk melingkar di Gereja Injili Immanuel di Betlehem untuk mendengarkan kisah kelahiran Yesus. Mereka telah mendengarnya ratusan kali. Mereka berbagi tempat kelahiran yang sama dengan Yesus. Tanah dan keadaannya sangat familier.

Elias Al-Najjar, pembina pelayanan kaum muda mereka, menghayati narasi Betlehem dengan versinya sendiri. Pada November 2007, ia dan keluarganya melarikan diri dari Gaza setelah sebuah kelompok militan Islam mengancam orang-orang Kristen di gerejanya dan membunuh seorang anggota jemaat. Saat itu, istrinya sedang hamil sembilan bulan. Mereka tiba di Betlehem tanpa mengenal siapa pun, di mana harus tinggal, atau di mana akan melahirkan bayi tersebut, hanya dengan selembar kertas yang bertuliskan nomor telepon beberapa layanan kesehatan di daerah itu.

Dia memikirkan pengalamannya sendiri malam itu saat menceritakan kembali kisah Natal.

“Bayangkan Maria bersandar di dinding, sedang hamil dan akan segera melahirkan. Bayangkan Betlehem penuh, sama seperti sekarang jika tidak ada perang di Gaza. Bayangkan ketika mereka tidak tahu di mana mereka akan tinggal. Tidak ada yang bisa dihubungi,” katanya kepada mereka dalam bahasa Arab.

“Dan bayangkan Maria berpikir, ‘Bukankah Tuhan memberitahuku bahwa aku akan melahirkan Raja segala raja?’ Bayangkan mereka tiba tempat di mana dia akan melahirkan. Sungguh sebuah kejutan besar! Bau busuk. Binatang-binatang. Di tengah semua itu, dia melahirkan Yesus Kristus. Dan mereka dipenuhi dengan sukacita.”

Sekarang pikirkanlah orang-orang di Gaza, katanya. Tentu saja, mereka tidak perlu banyak imajinasi—mereka menyaksikan tayangan perang setiap hari. Di tengah kekacauan, anak-anak dilahirkan dan anak-anak dibunuh.

Inilah kisah Natal,” kata Al-Najjar. “Semua detail kecil yang biasanya tidak kita pikirkan. Pada saat Natal, kita biasanya memasang dekorasi dan bersenang-senang dengan pohon serta lampu Natal. Namun jika Anda melihat kisah Natal yang sesungguhnya, itu adalah kisah yang murni tentang penderitaan. Namun Tuhan tidak meninggalkan Maria dan Yusuf. Dan mereka tidak meninggalkan Tuhan.”

Dia melihat sekeliling ruangan. “Jadi, mengapa kita harus meninggalkan-Nya?”

Diterjemahkan oleh Maria Fennita S.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Bagaimana Umat Kristen Indonesia Dapat Mengupayakan Kemajuan Negara?

Pertanyaan 6 dari 6 seri dalam diskusi Christianity Today tentang kerukunan umat beragama di Indonesia.

Christianity Today December 22, 2023
Ilustrasi oleh Mallory Rentsch / Sumber Gambar: Getty

Sejumlah kalangan berargumentasi bahwa gereja di Indonesia terlalu fokus ke dalam diri mereka sendiri dibandingkan memperjuangkan kemajuan bagi negara dan berpartisipasi dalam isu-isu sosial yang lebih luas. Para pemimpin Kristen di panel CT ditanya bagaimana gereja-gereja di Indonesia dapat lebih terlibat dalam mengasihi komunitas dan negaranya.

Tantono Subagyo: Menanamkan rasa cinta tanah air dapat kita lakukan melalui berbagai kegiatan, seperti mengajarkan sejarah perjuangan kemerdekaan dan peran para tokoh Kristen dalam memperoleh kemerdekaan dan pembentukan bangsa Indonesia.

Banyak gereja menjauhkan diri dari dunia nyata dan hanya berfokus pada spiritualitas jemaatnya. Gereja seharusnya menyumbangkan pelayanannya bagi pembangunan Indonesia. Jika gereja mendorong jemaat untuk menjadi garam dan terang bagi lingkungannya, kita dapat berkontribusi kepada masyarakat seperti yang dilakukan sekolah-sekolah Kristen dan rumah sakit di masa lalu.

Saat ini peran sekolah Kristen telah berkurang karena biayanya mahal dan hanya dapat diakses oleh orang kaya. Rumah sakit Kristen juga mengalami kemunduran karena persaingan yang ketat, dan yayasan yang mengelolanya tidak selalu berpegang pada prinsip-prinsip Kristen.

Ferry Mamahit: Perkembangan gereja di Indonesia tidak lepas dari kedatangan misionaris pada masa penjajahan Barat. Namun umat Kristen di Indonesia tetap berbeda. Mereka mempunyai jiwa patriotisme untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari belenggu penjajahan. Saat ini, semangat tersebut masih ada di gereja-gereja dan di kalangan umat kristiani, namun tidak lagi dalam bentuk perjuangan fisik atau moral melawan penjajahan. Kini fokusnya adalah memanfaatkan kemerdekaan itu melalui doa, karya, dan ikhtiar dalam bidang dan kapasitas masing-masing demi kesejahteraan bangsa dan negara.

Namun, upaya untuk meningkatkan patriotisme di dalam gereja masih belum memadai, karena beberapa gereja tampaknya kurang terlibat dalam mengatasi permasalahan nasional seperti kemiskinan, ketidakadilan sosial ekonomi, lingkungan hidup, perdamaian, kesetaraan gender, dan rendahnya indeks pembangunan manusia. Gereja dapat memainkan peran penting dalam mendorong anggota jemaatnya untuk berkontribusi kepada masyarakat. Salah satu caranya adalah dengan memberikan pemahaman tentang hakikat perbedaan dan keberagaman dalam perspektif Kristen serta menekankan nilai-nilai toleransi, saling menghormati, dan kerjasama di dalam masyarakat yang beragam dalam kerangka semboyan negara Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu).

Farsijana Adeney Risakotta: Sebagai Gembala, Yesus meminta umat kristiani untuk tidak takut akan dunia serigala tetapi mengembangkan sifat kehati-hatian dan ketulusan, bersandar pada Dia yang akan membimbing mereka melewati situasi sulit. Masyarakat Kristen yang hanya hidup beriman dalam lingkungan gereja tanpa berinteraksi dengan sesamanya melupakan misi Kristus untuk mengutus para murid-Nya ke dunia serigala.

Saya menemukan bahwa umat kristiani seringkali tidak melihat pengalaman tokoh-tokoh Kristen yang terlibat dalam pembebasan Indonesia dari penjajahan Belanda sebagai model kepedulian nasional yang dapat diterapkan oleh gereja dalam melayani masyarakat. Pelatihan patriotisme berhenti pada wacana teologis dan belum berkembang menjadi tindakan untuk mengatasi permasalahan nasional dan negara secara kolektif. Gereja tidak bisa hanya melakukan kegiatan amal di dalam gereja, namun juga harus memberdayakan anggotanya untuk melakukan advokasi terhadap hak asasi manusia.

Para pemimpin gereja harus bersedia belajar melampaui tembok lembaga-lembaga Kristen dan memberikan pencerahan kepada umat Kristen lainnya. Umat kristiani harus terus menulis di media seperti surat kabar dan majalah untuk mengartikulasikan nilai-nilai ajaran Kristen yang menawarkan keselamatan di dalam Kristus bagi semua makhluk.

Baca biografi panelis kami di artikel utama seri ini, Mengurai Pancasila: Bagaimana Umat Islam dan Kristen di Indonesia Mengusahakan Persatuan. (Artikel lain dalam seri khusus ini tercantum di sebelah kanan pada desktop atau di bagian bawah pada perangkat seluler.)

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Bagaimana Masyarakat Kristiani dan Muslim Indonesia Dapat Bekerja Sama?

Pertanyaan 5 dari 6 seri dalam diskusi Christianity Today tentang kerukunan umat beragama di Indonesia.

Christianity Today December 22, 2023
Ilustrasi oleh Mallory Rentsch / Sumber Gambar: Getty

Hubungan antara “nasionalisme agama” dan xenofobia di Indonesia telah mendapat perhatian dalam beberapa tahun terakhir. Kami bertanya kepada panel yang terdiri dari enam pemimpin Indonesia—tiga muslim dan tiga kristiani—mengenai apa yang dapat dilakukan komunitas muslim dan kristiani untuk mengatasi perbedaan-perbedaan ini dan mengupayakan kemajuan Indonesia?

Responden Islam:

Halim Mahfudz: Di Indonesia, xenofobia tidak terlalu terkait dengan masalah agama atau etnis, melainkan lebih terkait dengan masalah ekonomi. Hal ini terutama disebabkan oleh kecemburuan ekonomi terhadap kelompok lain akibat model pemerintahan pada masa presiden sebelumnya, yang memperburuk kesenjangan ekonomi. [Diskriminasi terhadap komunitas etnis Tionghoa yang dilakukan oleh pribumi, telah lama terjadi, terutama karena orang Tionghoa di Indonesia memiliki sebagian besar konglomerasi di negara ini.]

Inilah yang kami coba atasi. Di pesantren, kami berupaya membina hubungan dengan berbagai kelompok masyarakat, termasuk warga Tionghoa Indonesia, dan menjembatani kesenjangan komunikasi.

Di Jombang tempat saya tinggal, saya mempunyai banyak teman dari berbagai latar belakang agama, dan hubungan antar agama berjalan lebih lancar. Sekolah kami juga aktif terlibat dalam kegiatan dialog antaragama, tidak hanya di dalam negeri melainkan juga dengan sekolah di negara lain seperti India dan Malaysia. Saya banyak berbicara tentang peningkatan dialog antaragama tanpa bertanya, “Anda menganut agama apa?” Ini bukan soal hal itu lagi, melainkan soal bagaimana kita bisa membangun perdamaian dunia dan meningkatkan kesejahteraan seluruh umat manusia.

Inayah Rohmaniyah: Melalui pendidikan dan peningkatan kesadaran akan sejarah, berpikir kritis dan merangkul perbedaan, tidak perlu takut dengan kehadiran bangsa asing atau agama lain.

Di universitas Islam tempat saya mengajar, saya adalah seorang advokat dialog antaragama. Para biarawati sering datang ke kampus kami, dan saya juga menyambut baik dosen-dosen dari kelompok Protestan dan Katolik untuk mengajar di kampus kami. Saya juga berkeliling ke berbagai daerah di Indonesia, bertemu dengan guru-guru sekolah yang merupakan agen perubahan dengan menanamkan tradisi dan pengetahuan kepada siswa. Kami tidak menemukan fenomena ketakutan ini.

Meski mereka mungkin curiga terhadap agama lain, namun ketika mereka berkomunikasi dan berinteraksi dengan penganut agama berbeda, rasa takutnya hilang dan tembok pemisah pun runtuh. Bahkan mereka bisa berkolaborasi untuk membuat program bersama antara umat muslim dan non-muslim.

Ketakutan selalu ada akibat hoaks dan media sosial. Ada perdebatan di dunia akademis Islam di mana sejumlah orang percaya bahwa dunia Barat terus-menerus menilai kita, memandang rendah kita, dan bahkan ingin menghancurkan kita. Namun, di dunia dengan kemajuan teknologi, kita harus terhubung dengan banyak orang dan memupuk keterlibatan antaragama. Kalau tidak, kita akan tertinggal.

Amin Abdullah: Dalam Islam, salah satu tujuan utamanya adalah melindungi agama-agama di dunia, bukan hanya Islam. Ini adalah pesan yang perlu ditekankan dan diperkuat. Tujuan utama lainnya adalah melindungi martabat manusia, yang dapat dikembangkan menjadi hak asasi manusia, termasuk kebebasan beragama.

Ini adalah tugas kolektif yang tidak hanya memerlukan penguatan ideologi agama, namun juga penguatan Pancasila. Pasca era Reformasi, ketika kebebasan berekspresi tidak terkendali sehingga berujung pada meningkatnya paham radikal, Pancasila untuk sementara dihapuskan dari kurikulum sekolah. Baru pada tahun 2003–2004 pendekatan ini diperkenalkan kembali dengan pendekatan yang lebih efektif, khususnya dalam menangani isu-isu toleransi dan diskriminasi agama.

Dalam pemerintahan, penting untuk menerapkan moderasi beragama, dengan menekankan konsep “Jalan Tengah Islam.” Namun program moderasi beragama nampaknya masih fokus pada pengajaran umat muslim tentang agama Islam untuk mencegah tindakan kekerasan, ekstremisme, dan fundamentalisme. Upaya-upaya ini belum memberikan kemajuan yang signifikan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Untuk menjaga keharmonisan kehidupan beragama, dalam tiga tahun terakhir lembaga pemerintah kita [Badan Pembinaan Ideologi Pancasila] telah bekerja sama dengan berbagai masyarakat sipil untuk melatih 6.000 guru agama Islam dan Kristen dalam literasi kehidupan budaya lintas agama.

Responden Kristen:

Tantono Subagyo: Kita melakukan dialog antaragama, namun dampaknya terbatas karena sebagian besar melibatkan akademisi. Pendidikan adalah kuncinya. Misalnya, pendidikan kewarganegaraan mulai dari masa kanak-kanak dan kunjungan ke berbagai tempat ibadah untuk menumbuhkan toleransi adalah beberapa cara untuk mencegah xenofobia. Komunitas Kristen harus berupaya untuk inklusif dan berpartisipasi dalam pendidikan bangsa dengan mendirikan sekolah-sekolah yang terbuka bagi anak-anak dari semua agama, yang mana dapat menumbuhkan toleransi sejak dini.

Umat Kristen juga dapat mengadopsi budaya lokal, seperti yang dicontohkan oleh Gereja Katolik di Yogyakarta, yang memasukkan gamelan [alat musik perkusi tradisional] ke dalam Misa, menyelenggarakan macapatan [menyanyikan puisi tradisional Jawa], dan menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa lokal.

Umat Kristen juga dapat mengasihi sesamanya dengan mengikuti panggilan Tuhan untuk menjadi agen perubahan sosial dengan memperjuangkan hak asasi manusia, membantu orang miskin dan tertindas, dan peduli terhadap lingkungan (Mi. 6:8; Yak. 1:27; 2:14– 17).

Ferry Mamahit: Umat kristiani dapat menggunakan media dan platform digital untuk menyebarkan narasi positif tentang keberagaman dan mendidik masyarakat tentang kebebasan beragama. Pentingnya memadukan nilai-nilai kristiani dengan patriotisme dan mengedepankan keselarasan di antara keduanya. Mendorong partisipasi aktif dalam kegiatan nasional, keterlibatan dalam proyek kemanusiaan, dan pelestarian budaya lokal juga dapat memperkaya pengalaman generasi muda dan menumbuhkan rasa cinta tanah air.

Farsijana Adeney Risakotta: Ketegangan antara Islam dan Kristen sudah ada sejak zaman penjajahan. Namun para pendiri bangsa turut berkolaborasi membangun Indonesia dalam konteks realitas keberagaman budaya, suku, dan agama yang menjadi kekuatan dari bangsa kepulauan ini.

Bersama seorang tokoh perempuan muslim terkemuka, saya ikut menulis sebuah bab dalam buku berjudul Kata-kata Bersama antara Muslim dan Kristen yang mendorong penguatan peran perempuan dalam menafsirkan ajaran agama.

Buku ini menggarisbawahi keyakinan bahwa dua agama besar dunia, Islam dan Kristen, harus berkolaborasi untuk mewujudkan perdamaian dan keadilan sosial. Indonesia adalah negara yang memiliki potensi besar bagi upaya akar rumput dan organisasi keagamaan untuk terlibat dalam memposisikan agama sebagai jalan menuju perdamaian, kebaikan, dan kemajuan bagi peradaban dan kelestarian Bumi.

Baca biografi panelis kami di artikel utama seri ini, Mengurai Pancasila: Bagaimana Umat Islam dan Kristen di Indonesia Mengusahakan Persatuan. (Artikel lain dalam seri khusus ini tercantum di sebelah kanan pada desktop atau di bagian bawah pada perangkat seluler.)

Diterjemahkan oleh Mellie Cynthia.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Bagaimana Pandangan terhadap Agama-agama Minoritas di Indonesia?

Pertanyaan 4 dari 6 seri dalam diskusi Christianity Today tentang kerukunan umat beragama di Indonesia.

Christianity Today December 22, 2023
Ilustrasi oleh Mallory Rentsch / Sumber Gambar: Getty

Sekitar sepertiga umat Islam Indonesia mengatakan bahwa meningkatnya jumlah umat Kristen di Indonesia merupakan ancaman bagi Islam, menurut laporan khusus Pew Research Center. Salah satu bentuk kekhawatiran tersebut diwujudkan dengan pembatasan yang diberlakukan pejabat setempat terhadap peribadatan Kristen. Kami menanyakan pendapat para pemimpin agama di Indonesia—baik muslim maupun kristiani—tentang mengapa kekhawatiran ini muncul, dan bagaimana masyarakat Indonesia dapat mengatasi penganiayaan terhadap agama minoritas?

Responden Islam:

Inayah Rohmaniyah: Ini persoalan klasik di mana pertumbuhan dikhawatirkan dan dianggap sebagai ancaman, tetapi tidak menjadi persoalan serius asalkan ada pendidikan. Dalam praktiknya, Indonesia terbiasa dengan keberagaman, di mana banyak masyarakat yang hidup berdampingan dengan tetangga yang berbeda keyakinan, baik di pedesaan maupun perkotaan. Meski simbol-simbol Islam semakin berkembang, seperti hijab bagi muslimah, namun hal tersebut tidak berkorelasi dengan keinginan untuk mendirikan negara Islam. Hal-hal tersebut hanyalah ekspresi identitas keagamaan di ranah publik, bukan ranah politik.

Kita perlu mengkaji mengapa ketakutan terhadap agama lain ini ada. Ada narasi, termasuk hoaks, yang beredar melalui media sosial. Pada saat yang sama, pemikiran kritis masih kurang dalam konteks pendidikan dan masyarakat. Untuk mengatasi hal ini, kita memerlukan kontra-narasi dan kegiatan-kegiatan untuk menanamkan pengetahuan baru yang menantang status quo.

Terkait pembatasan ibadah, kita perlu mempertanyakan motif para politisi atau pemimpin daerah yang berpihak pada kelompok intoleran atau radikal. Mungkinkah mereka bertujuan untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat agar bisa terpilih kembali?

Kelompok-kelompok intoleran ada di tingkat akar rumput, namun pertanyaannya adalah apakah kita akan mengeksploitasi ketakutan ini demi keuntungan politik atau melawannya, menghilangkannya, dan menjadikannya produktif melalui komunikasi dan kolaborasi di antara orang-orang yang berbeda keyakinan.

Amin Abdullah: Ketakutan ini merupakan perasaan tidak aman yang berlebihan yang telah ada sejak tahun 60an dan 70an ketika dialog antar agama antara Islam dan Kristen gagal. Perasaan tidak aman seperti ini sama sekali tidak sehat bagi kehidupan bangsa dan tidak boleh dibiarkan. Agama Kristen telah hadir di Indonesia selama ratusan tahun, sejak penjajahan Portugis dan Belanda, dan bukan merupakan ancaman.

Namun sekali lagi, pemikiran Islam itu beragam dan tidak monolitik; pemikiran-pemikiran tersebut tidak dapat direduksi menjadi satu representasi. Dalam politik Islam misalnya, terdapat juga kepentingan seperti ingin meraih suara melalui kampanye negatif terhadap ancaman umat kristiani dan memanfaatkan perasaan tidak aman yang tidak sejalan dengan kenyataan. Pembatasan beribadah menjadi salah satu wujud nyata rasa tidak aman tersebut.

Kedua, mereka yang memiliki perasaan seperti itu tidak menaati konstitusi, dan tidak sepenuhnya memahami konsep-konsep seperti al-muwatanah (kewarganegaraan), prinsip-prinsip kenegaraan, dan persamaan di depan hukum. Mereka tidak hanya harus memiliki pengetahuan agama, melainkan juga harus tahu tentang ketatanegaraan.

Responden Kristen:

Ferry Mamahit: Hubungan Islam-Kristen di Indonesia cukup kompleks karena adanya rasa saling tidak percaya antara kedua kelompok yang terkadang menimbulkan rasa permusuhan dan persaingan, terutama di bidang politik dan ekonomi. Kecurigaan yang timbul dari perbedaan keyakinan dan praktik keagamaan memperkuat dinamika ini. Secara hukum, pembatasan ibadah tersebut bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama yang dijamin konstitusi. Pemerintah dan otoritas terkait perlu memastikan penegakan hukum yang adil dan setara bagi seluruh warga negara, apapun agama atau kepercayaannya.

Di sisi lain, pemahaman terhadap kondisi sosio-religius masyarakat juga penting. Denominasi gereja perlu mempertimbangkan secara bijaksana bagaimana mendirikan gereja berdasarkan peraturan pemerintah dan menciptakan dialog yang konstruktif dengan masyarakat setempat. Advokasi hukum tetap penting, namun dialog dan kolaborasi dengan masyarakat dapat menjadi langkah tambahan menuju pencapaian keadilan dan keharmonisan, membuktikan bahwa kekristenan bukanlah ancaman melainkan kekuatan positif.

Farsijana Adeney Risakotta: Kebebasan beragama yang dianut dalam kehidupan nasional Indonesia telah memungkinkan warga negara berpindah agama dari satu agama ke agama lain, baik melalui perkawinan maupun pilihan pribadi. Oleh karena itu, hasil survei yang menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk Kristen merupakan ancaman bagi Islam menunjukkan keberhasilan pola hidup pluralistik, di mana kerja sama antar agama telah menjadi bagian dari kehidupan budaya di Indonesia.

Pandangan terhadap ancaman yang ditimbulkan oleh perkembangan agama Kristen di Indonesia akan mendorong umat Islam untuk mengamalkan Islam dengan cara yang merespons dan memenuhi kebutuhan masyarakat di dunia modern. Masa depan agama tidak lagi menekankan pada indoktrinasi tetapi juga mendorong umat untuk mencerna ajaran agama secara bijak dan fungsional. Ketika orang-orang beriman mencapai tahap ini, maka akan mengarah pada diskusi dengan penekanan pada keutamaan dan manfaat agama dalam membangun dan membimbing Indonesia.

Sulitnya mendirikan gereja di Indonesia merupakan warisan dari masa Orde Baru [di bawah Suharto], dan semangatnya melanggar kebebasan beragama dan hak asasi manusia. Keputusan Bersama tahun 2006 [yang mewajibkan gereja untuk memberikan daftar setidaknya 90 penduduk Kristen setempat sebelum sebuah gereja dapat didirikan] sering digunakan oleh kelompok Islam konservatif untuk menghalangi umat Kristen membangun gedung gereja. Peraturan ini memiliki niat baik, yakni memastikan pertemuan berjalan tertib. Namun menjaga ketertiban dan kebebasan beragama harus dijaga.

Baca biografi panelis kami di artikel utama seri ini, Mengurai Pancasila: Bagaimana Umat Islam dan Kristen di Indonesia Mengusahakan Persatuan. (Artikel lain dalam seri khusus ini tercantum di sebelah kanan pada desktop atau di bagian bawah pada perangkat seluler.)

Diterjemahkan oleh Mellie Cynthia.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Keluar dari Kegelapan, Hadirlah Terang!

Sang Terang Dunia datang untuk menghadapi dosa kita

Christianity Today December 22, 2023
Phil Schorr

Bangkitlah, menjadi teranglah, sebab terangmu datang,
dan kemuliaan TUHAN terbit atasmu.
Sebab sesungguhnya, kegelapan menutupi bumi,
dan kekelaman menutupi bangsa-bangsa;
tetapi terang TUHAN terbit atasmu,
dan kemuliaan-Nya menjadi nyata atasmu.
Bangsa-bangsa berduyun-duyun datang kepada terangmu,
dan raja-raja kepada cahaya yang terbit bagimu.

Yesaya 60:1-3

Pada suatu waktu di masa kecil kita, banyak dari kita mulai merasa tidak nyaman dengan kegelapan. Saya ingat ketika masih kecil, saat saya sedang berbaring di tempat tidur sambil mendengarkan suara pertandingan LA Dodgers di radio, mata saya dengan cemas mencari-cari ke dalam lemari yang gelap, mencoba memahami bayangan apa yang sedang bergerak dan bahaya apa yang mungkin ditimbulkannya. Saat tumbuh dewasa, kita sering membayangkan monster dan mimpi buruk untuk menjelaskan ketakutan kita—tetapi sering kali, kegelapan itu sendirilah yang membuat kita merasa tidak tenang. Pengalaman akan kegelapan sebagai realitas yang membingungkan, penuh dengan hal yang tidak kita ketahui, tampaknya terpatri sangat kuat dalam jiwa kita. Dalam Kejadian 1, Allah memisahkan terang dari kegelapan. Ini adalah tindakan kreatif yang mempunyai tujuan, yang dalam pandangan Allah adalah baik. Namun setelah Adam dan Hawa memutuskan untuk memberontak dan dosa masuk ke dalam dunia, kegelapan memiliki arti yang baru. Kegelapan bukan hanya menjadi hal yang “di luar sana.” Kegelapan itu ada di dalam kita dan berusaha mendekat ke arah kita. Dalam tulisan-tulisan Yahudi seperti Talmud Babilonia, kegelapan adalah metafora untuk disorientasi yang meresahkan, rasa takut yang menghinggapi seseorang. Kegelapan juga bisa berarti kejahatan dan dosa yang membuat seseorang mengalami kesulitan untuk memperoleh arahan, identitas, dan pemahaman tentang apa yang akan terjadi. Demikian pula, Yesaya 9 menggunakan kata majemuk tzalmavet–“kegelapan yang pekat”–untuk menggambarkan gelapnya bayang-bayang kematian yang bersemayam di setiap hati manusia.

Yesaya 60:1–3 secara halus menggemakan kisah yang familier dari Kejadian 1. Sekali lagi, ada kontras dan pemisahan, terang dan gelap. Namun dalam kisah yang Yesaya tulis, kegelapan yang menyelimuti itu akan lenyap—bukan saat Tuhan, Sang Pencipta memerintahkannya, melainkan ketika Dia datang dalam kepenuhan-Nya. Yesaya menubuatkan tentang Adven—kedatangan Sang Raja—yang merupakan terang bagi semua orang yang berada dalam kegelapan.

Pada masa Adven kali ini, perkataan Yesaya merupakan sebuah ajakan untuk mengingat kembali Adven yang pertama. Sangat tidak dramatis, namun begitu agungnya Terang Dunia itu, yang datang dengan kerendahan hati sebagai seorang bayi untuk menghadapi kegelapan dosa dalam diri kita semua. Kata-kata Yesaya adalah sebuah perayaan: “Bangkitlah, menjadi teranglah, sebab terangmu datang” (ay. 1). Terang menerangi hati kita bukan hanya untuk memahami kedalaman dosa kita, melainkan juga merupakan karya penyelamatan Yesus yang telah selesai bagi kita.

Kata-kata Yesaya yang cemerlang mengingatkan akan panggilan kita. Kita tidak boleh menimbun terang ini dengan serakah sambil menantikan kedatangan-Nya yang kedua kali. Terang ini dimaksudkan untuk memancar dengan cemerlang dari dalam diri kita sehingga bangsa-bangsa dan para tetangga kita di seberang jalan dapat melihat Yesus dengan jelas sebagai Terang Dunia (Yoh. 8:12). Ketika Injil tentang terang Yesus bersinar di dalam diri kita dengan lebih mendalam, terang itu hanya dapat memantul keluar dari diri kita melalui cahaya penyembahan dan pemberitaan Kabar Baik.

Renungkan



Bagaimana konsep kegelapan dalam kitab Kejadian dan Yesaya ini melambangkan lebih dari sekadar ketiadaan terang secara fisik, melainkan juga kehadiran dosa dan disorientasi dalam hidup kita?

Bagaimana kita dapat menerima pesan nubuatan Yesaya selama masa Adven dan secara aktif memantulkan terang Yesus melalui penyembahan dan membagikan Kabar Baik kepada orang lain?

Jon Nitta adalah pembina formasi spiritual, pemuridan, dan kelompok kecil di Calvary Church di Valparaiso, IN.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Dapatkah Anda Menjadi Orang Indonesia Sejati Tanpa Menjadi Muslim?

Pertanyaan 3 dari 6 seri dalam diskusi Christianity Today tentang kerukunan umat beragama di Indonesia.

Christianity Today December 22, 2023
Ilustrasi oleh Mallory Rentsch/Sumber Gambar: Getty

Sekitar 80 persen umat Islam percaya bahwa menjadi muslim itu penting untuk menjadi orang Indonesia sejati, menurut laporan khusus Pew Research Center. Kami bertanya kepada panel yang terdiri dari enam pemimpin Indonesia—tiga muslim dan tiga kristiani—mengenai pendapat mereka tentang bagaimana agama mereka berperan dalam arti menjadi orang Indonesia.

Responden Islam:

Halim Mahfudz: Dari sudut pandang Islam, agama Anda mewarnai semua tindakan Anda, termasuk perilaku, etika, dan hubungan Anda dengan manusia lain. Jadi, agama dan negara tidak bisa dipisahkan. Jika pemerintahan diwarnai oleh nilai-nilai agama—tidak sebatas Islam tetapi enam agama yang diakui di Indonesia—konflik tidak akan terjadi.

Dalam Islam, tidak ada ayat yang memaksa orang lain untuk beribadah seperti yang dilakukan umat Islam, dan Al-Quran tidak mengizinkan pemerintah untuk memaksakan nilai-nilai Islam pada semua agama. Al-Qur’an mengatakan bahwa Nabi Muhammad diutus ke bumi ini tidak lain bertujuan untuk menjadi rahmat bagi semua makhluk dan bahwa kita harus menunjukkan kasih sayang kepada semua makhluk.

Pada tahun-tahun menjelang kematiannya, Muhammad mengirim sahabat-sahabatnya untuk bermigrasi ke Etiopia, yang diperintah oleh seorang Kristen, Raja Najash. Raja itu berkata bahwa dia tidak akan menyerahkan migran Muslim tersebut kepada orang Arab Quraisy, dan kemudian dia meninggal dunia. Muhammad pun melakukan doa pemakaman (salat al-gha’ib) untuk sang raja. Hal ini menunjukkan rasa hormat Muhammad terhadap sesama manusia, meskipun mereka bukan muslim.

Inayah Rohmaniyah: Kuatnya ikatan antara identitas keislaman seseorang dan identitas keindonesiaan tidak berarti bahwa orang non-muslim bukanlah orang Indonesia.

Yang perlu diperkuat, khususnya di kalangan generasi muda, adalah kesadaran historis akan hubungan negara dan agama yang dianut untuk meneruskan semangat para pendiri bangsa. Namun kaum muda kehilangan koneksi ini dan nasionalisme pun terkikis. Sejarah sering kali dianggap tidak penting, padahal sejarah berfungsi sebagai petunjuk yang menunjukkan jalan ke depan.

Perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak melulu persoalan mayoritas dan minoritas. Itu adalah hasil kerja dan perjuangan seluruh warga negara, perjuangan tanpa batas yang tidak dibatasi oleh suku, agama, dan ras. Ketika kita telah mencapai kemerdekaan, kita harus melindungi negara kita. Hal itu harus kita lakukan bersama-sama dengan merangkul semua agama, ras, dan antar-golongan, seperti halnya kita bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan di masa lalu. Dengan begitu, ancaman perpecahan bisa diminimalisir.

Amin Abdullah: Saya membedakan antara negara bangsa dan negara agama. Di India, sebagian umat Hindu menyatakan bahwa jika Anda bukan Hindu, Anda bukan orang India (gerakan Hindutva), meskipun India adalah sebuah negara-bangsa. Di Indonesia tidak seperti itu. Masih ada konstitusi yang perlu dipatuhi. Negara bangsa didasarkan pada konstitusinya, yang didalamnya terdapat aparatur negara dan masyarakat sipil dengan berbagai komponen yang saling berbagi tanggung jawab dan menjaga bangsa dan negara.

Oleh karena itulah tonggak sejarah bangsa menjadi penting. Pertama, Sumpah Pemuda tahun 1928 yang mengusung gagasan Indonesia bersatu, karena tidak menyebut agama, hanya satu tanah air, satu bahasa, dan satu bangsa. Kedua, pada tahun 1945, lahirnya konstitusi dan Pancasila yang memperjelas bahwa kita beriman kepada Tuhan dengan memberikan ruang bagi agama yang berbeda. Inilah nilai-nilai yang perlu dipupuk dan disebarkan.

Dengan demikian, pemeluk agama lain dapat dengan yakin mengatakan, “Saya beragama Buddha atau Kristen, dan saya orang Indonesia.”

Responden Kristen:

Tantono Subagyo: Menjadi umat Kristen di Indonesia berarti menjadi bagian dari komunitas yang percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat serta berupaya mengikuti ajaran dan teladan-Nya dalam kehidupan sehari-hari. Kita juga diminta untuk mencintai dan melayani sesama manusia, terutama yang berbeda dengan kita. Kita harus menghormati dan menghargai keberagaman agama, budaya, dan suku di Indonesia serta berkontribusi dalam membangun perdamaian, keadilan, dan kemajuan bersama.

Namun kita juga harus ingat bahwa kita adalah warga kerajaan Allah yang hanya tinggal sementara di dunia ini. Kita tidak boleh mengutamakan kepentingan bangsa di atas Kristus. Pada saat yang sama, kita tidak boleh terlibat dalam konflik, kekerasan, atau diskriminasi yang bertentangan dengan nilai-nilai Injil.

Ferry Mamahit: Banyak umat kristiani di Indonesia, didorong oleh rasa nasionalisme yang kuat, telah mengorbankan hidup mereka demi kemerdekaan dan demokrasi Indonesia. Hal ini bukan sekedar wujud kesetiaan dan pengabdian kepada bangsa dan negara, namun juga terhadap nilai-nilai kristiani seperti keadilan, kebenaran, cinta kasih, dan perdamaian.

Meskipun Alkitab tidak secara eksplisit menggunakan istilah nasionalisme, prinsip-prinsip seperti melindungi kedaulatan nasional, hak untuk menentukan nasib sendiri, dan meningkatkan kesejahteraan bangsa sejalan dengan ajaran Alkitab (Rm. 13:1–7; Yer. 29:7). Praktisnya, hidup berdasarkan kebenaran Alkitab membuat seorang Kristen menjadi “Kristen Indonesia” yang sejati (100 persen Indonesia, 100 persen Kristen).

Farsijana Adeney Risakotta: Ketika seorang muslim menganggap bahwa menjadi seorang muslim juga berarti menjadi orang Indonesia sejati, hal ini menyiratkan penerimaan bahwa identitas keislamannya dibentuk dalam konteks menjadi orang Indonesia. Indonesia bukanlah negara Islam melainkan negara bertakwa di mana warganya bisa hidup berdampingan dengan masyarakat yang berbeda agama dan latar belakang.

Pada masa penjajahan Belanda, Belanda mengirimkan misionaris untuk membuka sekolah bagi rakyat jelata. Pesan pembebasan Kristus menjadi berkat bagi Indonesia.

Namun, kemerdekaan Indonesia bukanlah hadiah dari umat Kristen Belanda melainkan hasil pengorbanan dan perjuangan umat Kristen dan umat berbagai agama lain di Indonesia. Oleh karena itu, Pancasila sebagai dasar negara merupakan hasil kesepakatan yang melibatkan umat kristiani untuk menegosiasikan hak kewarganegaraannya—yang setara dengan umat muslim.

Baca biografi panelis kami di artikel utama seri ini, Mengurai Pancasila: Bagaimana Umat Islam dan Kristen di Indonesia Mengusahakan Persatuan. (Artikel lain dalam seri khusus ini tercantum di sebelah kanan pada desktop atau di bagian bawah pada perangkat seluler.)

Diterjemahkan oleh Mellie Cynthia.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Bagaimana Pengaruh Islam Radikal di Indonesia?

Pertanyaan 2 dari 6 seri dalam diskusi Christianity Today tentang kerukunan umat beragama di Indonesia.

Christianity Today December 22, 2023
Ilustrasi oleh Mallory Rentsch / Sumber Gambar: Getty

Lebih dari separuh umat muslim Indonesia prihatin dengan tumbuhnya ekstremisme Islam di negara mereka, menurut laporan khusus Pew Research Center. Para pemimpin Islam di panel CT ditanya tentang sejarah Islam konservatif dan ekstremisme di Indonesia dan bagaimana pemerintah melawannya.

Halim Mahfudz: Saya yakin hanya sedikit umat Islam yang berpikir syariah harus diterapkan di tingkat nasional. Ada individu atau kelompok yang ingin menjadikan Indonesia negara Islam, seperti Gerakan Darul Islam dan gerakan separatis pada tahun 1950-an, namun dibubarkan oleh pemerintah Indonesia. Sebagian kecil umat Islam mendukung atau melakukan pemberontakan karena kelompok tersebut hanya terbatas di wilayah tertentu di Jawa Barat.

Aksi teror masih terjadi secara kasus per kasus karena kelompok tersebut masih menganggap terorisme sebagai sarana mereka untuk mencapai tujuan. Mereka tidak menemukan cara lain untuk menarik perhatian dan melampiaskan dorongan destruktif mereka.

Namun, secara institusional, gerakan teroris yang terorganisir semakin berkurang karena gerakan tersebut semakin dibatasi oleh pemerintah dan partisipasi masyarakat. Kita juga mengamati bahwa di masa lalu, terorisme di Indonesia sering dikaitkan dengan kelompok garis keras, seperti Wahhabi di Arab Saudi. Namun kini tidak ada hubungan resmi antar kelompok tersebut.

Inayah Rohmaniyah: Penelitian antropolog Belanda Martin van Bruinessen menyebutkan “perubahan konservatif” di Indonesia dalam dua dekade terakhir, yang menunjukkan bahwa kelompok konservatif, eksklusif, dan militan bangkit kembali karena terbukanya saluran demokrasi di era Reformasi [setelah kejatuhan Presiden otoriter Suharto pada tahun 1998]. Dulunya mereka beroperasi secara tersembunyi, namun kini semua orang bisa leluasa mengutarakan pandangannya di ruang publik, sehingga wajar jika kelompok seperti itu muncul kembali.

Selama Indonesia masih menjadi negara demokratis, kelompok konservatif akan tetap ada karena hal tersebut merupakan bagian dari kebebasan berpendapat. Ada ketakutan bahwa kelompok-kelompok ini akan mengganggu stabilitas negara atau berupaya mengubahnya menjadi negara Islam. Namun, hal ini hanyalah gesekan dalam demokrasi. Mereka tidak mewakili mayoritas.

Ekstremisme juga menjadi ancaman bagi umat muslim karena merusak citra Islam. Hal ini menghalangi Islam untuk menjadi rahmatan lil-alamin (rahmat bagi semua). Ancaman ekstremisme yang mewakili kelompok minoritas ibarat nila setitik rusak susu sebelanga bagi Islam di negeri ini.

Ada kemajuan signifikan dalam upaya melawan kelompok ekstremis. Pemerintah dengan berani membubarkan HTI, sebuah kelompok yang bertujuan mendirikan negara Islam dan menyatakan dirinya “berperang melawan” upaya pelestarian Pancasila dan Indonesia. Selain pemerintah, lembaga keagamaan dan organisasi masyarakat sipil lainnya juga berperan sebagai pengawal.

Amin Abdullah: Meningkatnya tren konservatisme bergantung pada iklim sosial dan politik. Pada tahun 1990-an, Perang Soviet-Afganistan dan Perang Teluk menabur benih-benih gerakan trans-nasionalisme radikal dan ekstremis yang akhirnya masuk ke Indonesia.

Namun, kelompok ekstremis dan radikal menyebabkan kekacauan sosial di tempat-tempat seperti di Afghanistan dan Suriah. Jika hal ini terjadi di Indonesia, maka citra Islam akan tercoreng dan kehidupan manusia serta bangsa akan kacau balau.

Akan tetapi kita tidak hidup dalam ruang hampa. Meskipun segala sesuatunya baik-baik saja di dalam negeri, ada permasalahan di luar negeri yang dapat mempengaruhi kita. Ideologi ekstremis atau radikal tidak bisa sepenuhnya diberantas. Namun kita bersyukur sudah ada peraturan yang melarang organisasi radikal. Pada bulan Oktober saja, badan kontra-terorisme nasional menangkap 18 tersangka teroris. Pemerintah harus tetap waspada karena ketika pemerintah aktif, aksi terorisme tidak akan semakin meluas.

Baca biografi para panelis kami di artikel utama seri ini, Mengurai Pancasila: Bagaimana Umat Islam dan Kristen di Indonesia Mengusahakan Persatuan. (Artikel lain dalam seri khusus ini tercantum di sebelah kanan pada desktop atau di bagian bawah pada perangkat seluler.)

Diterjemahkan oleh Mellie Cynthia.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Peran Apa yang Seharusnya Diwujudkan Hukum Syariah di Indonesia?

Pertanyaan 1 dari 6 seri dalam diskusi Christianity Today tentang kerukunan umat beragama di Indonesia.

Christianity Today December 22, 2023
Ilustrasi oleh Mallory Rentsch / Sumber Gambar: Getty

Enam puluh empat persen umat Islam Indonesia percaya bahwa syariah harus diterapkan sebagai hukum nasional, menurut laporan khusus dari Pew Research Center. Kami bertanya kepada panel yang terdiri dari enam pemimpin Indonesia—tiga muslim dan tiga kristiani—tentang temuan ini.

Responden Islam:

Amin Abdullah: Syariah adalah cara hidup; bagaimana orang hidup berpedoman pada nilai-nilai keagamaan. Dalam Islam, syariah tidak bersifat monolitik melainkan terdiri dari berbagai penafsiran.

Syariah dalam suatu negara agama tentu akan berbeda dengan syariah dalam suatu negara bangsa. Misalnya, syariah di Arab Saudi, Mesir, dan Iran akan berbeda, khususnya dalam bidang hukum perdata dan pidana, dengan syariah di Indonesia. Syariah di negara kita sejalan dengan budaya dan sejarahnya.

Dalam ranah privat, urusan keagamaan seperti ritual, sembahyang, sedekah, dan haji dapat dilakukan secara maksimal. Namun dalam konteks Indonesia sebagai negara bangsa, syariah tidak bisa sepenuhnya diterapkan di tingkat nasional. Terkait urusan publik atau nasional, ada prosedur tertentu yang harus diikuti karena Indonesia memiliki sistem negara demokratis yang harus ditaati oleh seluruh warga negara.

Hal yang menggembirakan adalah ketika negara terbentuk, umat Islam, Kristen, Hindu, dan Budha duduk satu meja. Saat itu, umat Islam menerima Pancasila, menjadikan Indonesia sebagai negara bangsa, bukan negara agama. Dalam Pancasila tidak ada egoisme agama, melainkan kebebasan beragama.

Halim Mahfudz: Di pedesaan tempat saya tinggal, di tengah komunitas muslim dan kelompok yang lebih toleran, umat Islam tidak tertarik untuk menerapkan syariah sebagai dasar hukum nasional. Sebab, di Indonesia, kita mempunyai sejarah panjang perjuangan kemerdekaan melawan penjajahan sejak kedatangan Belanda pada tahun 1500an.

Dalam rumusan Pancasila dan UUD 1945, terjadi perdebatan mengenai perlu atau tidaknya menghilangkan “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta yang mewajibkan umat Islam untuk mematuhi hukum syariah. Kata-kata itu dihapus segera setelah kemerdekaan.

Hal ini menandakan bahwa kita sejak awal tidak pernah bertujuan menjadikan Indonesia sebagai negara teokrasi. Nilai-nilai Islam yang hadir dalam konstitusi semakin diperkuat dengan ideologi Pancasila, khususnya sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa. Semua sila dari Pancasila berakar pada nilai-nilai agama dan ketuhanan, dan itulah nilai-nilai Islam.

Inayah Rohmaniyah: Survei Pew tampaknya menghubungkan syariah dengan hudud (pembatasan) dan qanun (hukum yang dibuat oleh penguasa muslim). Hal ini menyiratkan formalisasi hudud, yang mengisyaratkan bahwa Islam harus menjadi hukum yang mengatur seluruh masyarakat.

Permasalahan muncul ketika pertanyaan-pertanyaan survei menggeneralisasi istilah syariah itu sendiri. Dalam komunitas muslim, syariah pada dasarnya identik dengan Islam. Jika Anda bertanya apakah seorang muslim harus diatur berdasarkan syariah, jawabannya biasanya ya, karena syariah mewakili hukum Islam yang harus dipatuhi oleh seluruh umat Islam.

Penting untuk dicatat bahwa syariah hanya berlaku bagi umat Islam; pemeluk agama lain tidak perlu mengikuti hukum syariah Islam. Oleh karena itu, umat Islam Indonesia harus menjaga keseimbangan internal dan eksternal yang diwakili oleh Pancasila. Pancasila adalah syariah Islam yang dikontekstualisasikan di Indonesia.

Responden Kristen:

Tantono Subagyo: Definisi syariah itu sendiri bervariasi di kalangan umat Islam. Ada yang menginginkan penerapan syariah yang ketat, ada pula yang lebih memilih penerapan syariah yang lebih fleksibel dan menyesuaikan dengan perubahan zaman. Ada dua faktor yang mendasari mengapa sebagian umat Islam di Indonesia percaya bahwa syariah harus dijadikan hukum nasional: rendahnya literasi politik dan kecenderungan politisi Indonesia menggunakan agama sebagai alat untuk mencari kekuasaan.

Di Indonesia, partai-partai Islam garis keras sering menggunakan agama [misalnya, mendesak umat Islam untuk hanya memilih kandidat yang muslim] untuk mendapatkan suara. Salah satu contohnya adalah pemilihan gubernur Jakarta tahun 2017 yang sarat dengan politik identitas dan ancaman terhadap mereka yang tidak memilih calon tertentu. Umat kristiani perlu berhati-hati karena jika masyarakat Indonesia tidak terdidik dan disesatkan oleh oknum pencari kekuasaan, kekacauan bisa terjadi.

Ferry Mamahit: Sebagai umat kristiani yang berinteraksi dengan beragam komunitas di Indonesia, saya tidak terlalu khawatir dengan temuan ini. Pertama, pemerintah Indonesia bertanggung jawab untuk menegakkan dan melaksanakan hukum nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, yang melindungi kebebasan beragama kita.

Kedua, organisasi-organisasi besar Islam seperti NU, Muhammadiyah, dan lainnya sepakat bahwa Pancasila dan UUD 1945 adalah landasan hukum yang mempersatukan bangsa Indonesia. Mereka berkomitmen untuk mencegah syariah Islam menjadi dasar negara. Sebagai bagian dari masyarakat sipil, mereka berupaya meningkatkan kesadaran dan melawan kelompok-kelompok yang berupaya mengubah dasar negara, karena dianggap anti-demokrasi dan menyimpang dari prinsip Islam sebagai agama rahmatan lil-alamin.

Ketiga, saya percaya bahwa umat Kristen harus mendukung komitmen pemerintah (Rm. 13:1-4) dan umat Islam moderat (Mrk. 9:40) untuk membangun masyarakat demokratis yang mengedepankan nilai-nilai agama dan kemanusiaan demi masa depan Indonesia yang lebih baik.

Farsijana Adeney Risakotta: Syariah membantu umat Islam menjadi individu yang terintegrasi dalam menjalankan ibadahnya sejalan dengan lima rukun Islam dan menerapkan prinsip-prinsip Islam dalam kegiatan ekonomi. Saya mendukung umat Islam Indonesia dengan sungguh-sungguh menerapkan syariah dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Baru-baru ini saya mengikuti pelatihan kepemimpinan yang dipimpin oleh seorang praktisi dari koperasi simpan pinjam syariah. Ketika saya mendengar penjelasannya tentang mengapa ia meyakini koperasi cocok untuk membangun keadilan dan mendistribusikan kesejahteraan bagi seluruh bangsa, saya teringat akan motivasi saya sendiri untuk bekerja sama dengan masyarakat miskin dalam menerapkan keadilan sosial.

Perkataan dia mengingatkan saya untuk mendalami ajaran Kristus yang memampukan saya untuk terus bekerja bersama saudara-saudari muslim dalam membangun bangsa kita.

Baca biografi panelis kami di artikel utama seri ini, Mengurai Pancasila: Bagaimana Umat Islam dan Kristen di Indonesia Mengusahakan Persatuan. (Artikel lain dalam seri khusus ini tercantum di sebelah kanan pada desktop atau di bagian bawah pada perangkat seluler.)

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Mengurai Pancasila: Bagaimana Umat Islam dan Kristen di Indonesia Mengusahakan Persatuan?

Tiga pemimpin Islam dan tiga pemimpin Kristen secara terbuka membahas syariah, ekstremisme, dan identitas nasional di negara berpenduduk muslim terbesar di dunia.

Christianity Today December 22, 2023

Indonesia memiliki populasi umat muslim terbesar di dunia. Namun Islam bukanlah agama negara.

Sebaliknya, negara kepulauan yang berpenduduk lebih dari 273 juta jiwa ini didasarkan pada Pancasila, sebuah teori filosofis Indonesia yang terdiri dari lima prinsip: Ketuhanan yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan nasional, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dengan 87 persen populasi umat Islam Sunni dan 10 persen penduduk Kristen, Indonesia terkadang kesulitan menentukan bagaimana keharmonisan umat beragama bisa terwujud.

Dalam beberapa tahun terakhir, umat Kristen menjadi sasaran serangan teroris yang tersebar di berbagai wilayah, dilarang membangun gereja, dan didakwa dengan undang-undang penodaan agama. Open Doors menempatkan Indonesia pada peringkat ke-33 negara paling berbahaya bagi umat Kristen pada tahun lalu.

Pada saat yang sama, Presiden Joko Widodo telah berupaya untuk mendorong toleransi beragama dan meminta para kepala provinsi dan kabupaten untuk memastikan semua agama dapat beribadah dengan bebas. Tahun depan, pemerintah akan mengubah nama Yesus dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia untuk penyebutan hari raya umat Kristen.

Bagi banyak orang, Islam dan identitas nasional saling terkait erat: Survei Pew Research Center baru-baru ini mendapati 81 persen masyarakat Indonesia mengatakan bahwa menjadi muslim sangat penting untuk benar-benar menjadi orang Indonesia. Sebanyak 64 persen lainnya percaya bahwa syariah, atau hukum Islam, harus diterapkan sebagai hukum nasional.

Pada sisi lain, para peneliti Pew juga menemukan 60 persen masyarakat Indonesia menganggap agama Kristen sesuai dengan budaya dan nilai-nilai lokal. Masyarakat muslim Indonesia juga lebih khawatir terhadap pertumbuhan ekstremisme Islam (54%) dibandingkan pertumbuhan agama Kristen (35%).

Apakah perbedaan-perbedaan ini menunjukkan adanya pandangan terbuka terhadap pluralisme agama di kalangan umat Islam di Indonesia? Meskipun negara kepulauan ini memiliki kompleksitas dan tantangan yang semakin besar, seberapa dalam dialog antaragama dan kerja sama yang tulus dapat meningkatkan dan melestarikan kesepahaman di antara umat Kristen dan Muslim?

CT mewawancarai tiga pemimpin Islam moderat dan tiga pemimpin Kristen (biodata tercantum di bawah) mengenai berbagai topik termasuk peran syariah dalam masyarakat, hubungan antara agama dan identitas nasional, dan bagaimana umat Kristen dan Islam dapat bekerja sama demi kebaikan Indonesia.

Tanggapan mereka, yang telah diedit dan dipersingkat agar lebih jelas, dapat ditemukan dalam enam artikel seri khusus ini, tercantum di sebelah kanan layar komputer dan di bawah pada perangkat seluler.

Catatan Editor: Para pemimpin Islam yang termasuk dalam seri ini pernah berpartisipasi dalam dialog antar agama yang diadakan oleh Institut Leimena, sebuah wadah pemikir Kristen di Jakarta. Di Indonesia, Islam moderat membedakan dirinya dari Islam konservatif yang dalam hal ini berfokus pada kasih sayang untuk semua makhluk (

rahamatan lil ’alamin

) seraya menolak gagasan seperti khilafah (otoritas tunggal atas seluruh umat Islam di seluruh dunia) dan

kafir

(kafir). Hal ini juga berbeda dengan Islam liberal yang lebih mengedepankan nalar di atas wahyu dan semangat etika keagamaan Islam di atas makna harfiahnya. Dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, menganut Islam moderat.

Responden Muslim:

KH Halim Mahfudz Pimpinan Pondok Pesantren Seblak Jombang dan Ketua Pengurus Wakaf Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur.

Inayah Rohmaniyah Dekan Fakultas Ilmu Islam dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga di Yogyakarta, Jawa Tengah.

Amin Abdullah Anggota Dewan Pertimbangan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, Jakarta.

Responden Kristen:

Tantono Subagyo Pendeta sekaligus ketua Yayasan Suluh Insan Lestari (program literasi bahasa ibu) dan Yayasan Wijaya Kusuma Pratama (yang menaungi sekolah swasta) di Tangerang Selatan, Banten.

Ferry Mamahit Dosen Seminari Alkitab Asia Tenggara di Malang, Jawa Timur, dan direktur eksekutif Pusat Kajian Interdisipliner Agama dan Kebudayaan di Semarang, Jawa Tengah.

Farsijana Adeney-Risakotta Misionaris Gereja Presbiterian (AS), dosen Universitas Kristen Duta Wacana, dan pendiri Yayasan Griya Jati Rasa (koperasi dagang) di Yogyakarta.

Dengan bantuan pelaporan oleh Maria Fennita.

Diterjemahkan oleh Mellie Cynthia.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube