News

Arti Kepemimpinan Trump Sekali Lagi bagi Umat Injili di Seluruh Dunia

Para pemimpin Kristen dari Nepal hingga Turki menyambut hasil pemilu AS dengan sukacita, kesedihan, dan ketidakpedulian.

Donald Trump in front of a world map
Christianity Today November 19, 2024
Illustration by Elizabeth Kaye / Source Images: Getty

Saat rakyat Amerika menuju tempat pemungutan suara hari Selasa, seluruh dunia menyaksikan siapa yang akan menjadi presiden Amerika Serikat ke-47. Terpilihnya Donald Trump memengaruhi banyak komunitas Injili di seluruh dunia dalam hal kebijakan luar negeri, bantuan luar negeri, kebebasan beragama, dan tren budaya. Meskipun demikian, para pemimpin Kristen di beberapa negara menyatakan bahwa tidak menjadi masalah bagi mereka siapa yang menjadi presiden AS berikutnya.

CT bertanya kepada 25 pemimpin dari kalangan Injili di seluruh dunia tentang reaksi mereka terhadap kembalinya kepresidenan Trump dan dampak praktisnya terhadap situasi pelayanan gereja-gereja Injili di negara mereka. Jawaban-jawaban para pemimpin tersebut terbagi berdasarkan wilayah: AfrikaAsiaEropaAmerika LatinAmerika UtaraTimur Tengah, dan Oseania. CT akan menambahkan lebih banyak respons saat ada jawaban yang masuk.

AFRIKA

Kenya

Nelson Makanda, presiden, Universitas Internasional Afrika

Atas nama banyak orang Injili yang berpandangan sama di Kenya, saya mengucapkan selamat kepada rakyat Amerika karena telah memilih Trump. Kami berharap keterpilihannya akan mengawali masa di mana keyakinan Kristen ortodoks tidak lagi dipandang sebelah mata atau dikriminalisasi oleh badan-badan negara Amerika.

Kami juga berharap agar lembaga-lembaga Amerika yang beroperasi di Afrika akan berinteraksi secara bebas dengan masyarakat Afrika tanpa memaksakan agenda yang tidak bermoral. Afrika ingin menghormati Tuhan dan hukum alam, dan kami berharap Amerika di bawah presiden terpilih akan toleran terhadap hal itu. Pilihan dan kebebasan kita harus dihormati.

Kami berharap budaya dan masyarakat kami diperlakukan sebagai mitra setara dan layak mendapatkan rasa hormat yang saling menguntungkan.

Nigeria

James Akinyele, sekretaris jenderal, Persekutuan Injili Nigeria

Mengingat kesulitan ekonomi dan politik yang sedang dialami Nigeria, pemilu AS kali ini tidak banyak diperdebatkan secara lokal seperti dua pemilu sebelumnya. Bagi kaum Injili, kedua kandidat bukanlah pilihan yang mudah. Harris dianggap lebih berkepala dingin, tetapi dukungannya yang kuat terhadap aborsi dan hak-hak LGBTQ membuat banyak orang merasa tidak nyaman. Sikap moral Trump selaras dengan keyakinan inti ajaran Injili kita, tetapi kurangnya moralitas dia sendiri dan persepsi supremasi kulit putihnya menimbulkan beberapa kekhawatiran. Kami berharap dia akan menjadi lebih terbuka terhadap masalah imigrasi.

Beberapa pemimpin Kristen Nigeria mengatakan kemenangan Trump adalah jawaban atas doa kami untuk seorang presiden AS yang akan membela iman Kristen di Nigeria dan di seluruh dunia. Sementara yang lain mengatakan hal itu harus diterima sebagai kehendak Tuhan, tanpa penghakiman positif atau negatif. Akan tetapi hampir semua orang berharap ia akan menjadi kurang kontroversial dalam retorika dan perilaku pribadinya. Juga banyak yang bersimpati terhadap keinginannya untuk melindungi kepentingan global Amerika, tanpa tunduk kepada negara lain di dunia.

Afrika Selatan

Moss Ntlha, sekretaris jenderal, Aliansi Injili Afrika Selatan

Kemenangan Trump merupakan hari yang menyedihkan bagi kalangan Injili di seluruh dunia. Para tokoh Injili terkemuka di AS menyatakan dukungan penuh kepada Trump, sehingga seolah-olah memercayai Alkitab berarti mendukung Trump. Dukungan mereka memberi kesan bahwa konservatisme teologis mengharuskan dan mengarah pada pandangan politik sayap kanan yang bersifat diktator, menentang keadilan iklim, mendukung genosida di Tanah Suci, dan menyetujui apa yang terjadi pada 6 Januari (penyerangan Gedung Kongres AS).

Banyak orang di Afrika Selatan yang mengetahui kengerian apartheid menyadari betapa mudahnya politik populis yang berpegang pada visi sempit tentang moralitas publik dapat merugikan kelompok yang terpinggirkan. Trump sudah menyatakan dalam masa jabatan pertamanya bahwa negara-negara Afrika adalah “negara-negara yang buruk.” Belakangan ini, ia secara jelas menyatakan bahwa ketika kembali menjabat sebagai presiden, ia akan memastikan bahwa Israel memiliki semua yang dibutuhkan untuk “menyelesaikan tugasnya,” yang oleh banyak orang dipahami sebagai penghapusan keberadaan Palestina.

Kami khawatir kehadiran Trump di Gedung Putih akan mempersulit pemberitaan Injil, khususnya kepada sesama kita yang muslim, bahwa “Allah begitu mengasihi dunia ini” sehingga Ia mengutus Yesus untuk mati bagi semua orang. Kami khawatir ia akan menggunakan kekuatan besar yang dimiliki pemerintah AS untuk menghukum mereka yang menjalankan kebijakan luar negeri yang bertentangan dengan pandangannya sendiri, seperti Afrika Selatan yang mengajukan permohonan ke Mahkamah Internasional untuk menilai apakah yang kami saksikan dalam konflik Israel-Palestina adalah genosida atau bukan.

ASIA

Bangladesh

Philip Adhikary, ketua, Aliansi Injili Bangladesh

Terpilihnya Donald Trump sebagai presiden AS menimbulkan reaksi beragam. Walaupun pemerintahan Trump secara umum memiliki pendirian yang kuat dalam mendukung kebebasan beragama, kebijakan luar negerinya terhadap negara-negara seperti Bangladesh sering kali lebih bersifat pragmatis daripada secara terbuka berfokus pada kepentingan kelompok minoritas agama tertentu. Pendekatan dia yang disebut “Amerika Pertama” dan dukungannya terhadap kebebasan beragama dapat memberikan implikasi positif sekaligus penuh tantangan bagi kaum Injili Bangladesh.

Meski demikian, bantuan luar negeri AS, yang terkadang disertai dengan persyaratan hak asasi manusia, mungkin tidak akan berubah secara dramatis sebagai respons terhadap prioritas pemerintahan Trump, terutama jika pemerintahannya memprioritaskan kepentingan nasional di atas hak asasi manusia internasional.

Secara praktis, dampak dari kepresidenan Trump dapat mencakup lebih banyak peluang bagi LSM keagamaan dalam bentuk bantuan. Namun, bangkitnya retorika nasionalis dan anti-imigran di sejumlah negara Barat selama masa jabatannya, dapat memperkuat oposisi lokal terhadap upaya-upaya kalangan Injili, yang mungkin berpotensi meningkatkan tekanan sosial atau penganiayaan.

Tiongkok

Seorang pendeta gereja rumah di Tiongkok

Pemerintahan Donald Trump dapat memengaruhi umat Kristen Tionghoa dalam beberapa hal penting. Kebijakan “Amerika Pertama”-nya dapat menyebabkan kontrol visa yang lebih ketat, sehingga mengurangi akses mahasiswa Tiongkok untuk menempuh pendidikan di AS. Hal ini bisa jadi penuh tantangan khususnya bagi keluarga Kristen di Tiongkok yang mendidik anak-anak mereka di rumah atau menyekolahkannya di sekolah Kristen yang tidak terdaftar. Hal ini dikarenakan kuliah di luar negeri seringkali menjadi satu-satunya pilihan mereka untuk mengenyam pendidikan tinggi. Dengan adanya kebijakan tersebut, maka keluarga-keluarga ini mungkin menghadapi pilihan yang sulit.

Pada sisi lain, pelajar Tiongkok yang menjadi orang percaya saat tinggal di AS kemungkinan besar akan kembali ke Tiongkok karena terbatasnya kesempatan berkarier di Amerika, yang berpotensi memperkuat komunitas Kristen setempat.

Dukungan terhadap Trump dari kelompok Injili Amerika, ditambah lagi dengan pernyataannya yang kontroversial tentang demokrasi dan kebebasan, dapat memperdalam perpecahan dalam komunitas Kristen Tiongkok. Retorika dia dan penekanannya pada kepentingan nasional Amerika dapat memberikan amunisi bagi media pemerintah Tiongkok untuk lebih keras mengkritik demokrasi Barat, yang berpotensi mengarah pada lebih banyak pembatasan pada kebebasan beragama di Tiongkok.

Jika Trump membebankan lebih banyak tarif atau tekanan ekonomi lainnya terhadap Tiongkok, hal itu dapat menyebabkan kesulitan keuangan bagi banyak keluarga, sehingga berdampak pada kemampuan umat Kristen Tiongkok untuk mendukung gereja. Namun, kesulitan ekonomi seperti itu mungkin juga mendorong orang mencari perlindungan rohani, yang mungkin meningkatkan minat terhadap iman Kristen.

India

Vijayesh Lal, sekretaris jenderal, Persekutuan Injili India

Saya tidak mengharapkan banyak perubahan dalam keseluruhan lintasan kebijakan luar negeri di bawah pemerintahan Trump yang baru, karena India adalah mitra strategis utama dalam menyeimbangkan pengaruh Tiongkok yang semakin besar di kawasan ini. Mengenai isu-isu seperti hak-hak minoritas dan kebebasan beragama, dapat diasumsikan bahwa Trump tidak akan memberikan banyak tekanan pada India sebagaimana yang mungkin dilakukan oleh seorang presiden Demokrat. Bahkan, saat mengunjungi India pada masa jabatan sebelumnya, ia secara memalukan memuji rekam jejak Perdana Menteri Narendra Modi dalam hal kebebasan beragama. Meskipun pemerintahan Trump mungkin berfokus pada kebebasan beragama secara global, tetapi mereka mungkin tidak akan mengomentari perlakuan terhadap orang Kristen dan Islam di India.

Banyak umat Kristen di India dan Asia Selatan yang condong ke Partai Republik mungkin menyambut baik kembalinya dia ke dalam jabatan ini, tetapi bagi gereja di India, saya tidak melihat adanya keuntungan yang signifikan. Gereja di India tidak menaruh harapannya pada kepemimpinan politik, baik di AS maupun di India.

Jepang

Masanori Kurasawa, ketua, Komite Lausanne Jepang

Saya kecewa karena kampanye pemilu AS didominasi oleh fitnah daripada perdebatan kebijakan. Pernyataan Trump yang diskriminatif dan tidak berdasar tentang lawan-lawannya dan para imigran sangat mengecewakan.

Saya rasa kaum Injili Jepang tidak akan terpengaruh secara langsung oleh Trump. Namun kita perlu mencermati kebijakan Trump dalam beberapa bulan mendatang, yang jelas-jelas mencerminkan visi “Amerika Pertama.” Banyak umat Kristen Jepang sangat menyesali nasionalisme Jepang yang berlandaskan Shinto dan kompromi agama yang dilakukan gereja selama Perang Dunia II. Oleh karena itu, mereka prihatin terhadap nasionalisme Amerika dan waspada terhadap kaum Injili Amerika yang bersimpati terhadap kebijakannya.

Nepal

Sher Bahadur AC, sekretaris jenderal, Persekutuan Gereja-gereja Nasional Nepal

Terpilihnya Donald Trump telah membawa gelombang optimisme di kalangan umat Kristen Nepal. Bagi banyak orang, kemenangannya dipandang sebagai kabar baik, tidak hanya bagi Amerika Serikat, melainkan juga bagi komunitas Kristen di seluruh dunia.

Kebijakan Trump, yang menunjukkan kecenderungan kuat untuk mendukung kebebasan beragama dan tujuan Kristen global, telah membuatnya populer di kalangan umat Kristen Nepal. Kami berharap ia akan terus mendukung umat Kristen di seluruh dunia dan mendukung kami dalam upaya menjalani iman kami dengan bebas.

Meskipun kami tidak mengharapkan adanya perubahan signifikan di Nepal, tetapi pengaruh global pemerintah AS dan kemungkinan tekanan diplomatik AS jika ada tindakan apa pun yang diambil terhadap umat Kristen di negara kami dapat berfungsi sebagai perlindungan bagi kelompok minoritas agama.

Pada saat yang sama, dinamika geopolitik yang lebih luas harus dipertimbangkan. Pemerintahan Trump dikenal karena sikap kritisnya terhadap pemerintahan komunis, dan Nepal saat ini dipimpin oleh perdana menteri komunis, Khadga Prasad Sharma Oli. Trump juga memiliki hubungan dekat dengan India, sementara Nepal lebih dekat dengan Tiongkok. Hal ini berpotensi menciptakan ketegangan antara Nepal dan pemerintahan Trump jika Nepal memperdalam hubungannya dengan Beijing.

Filipina

Noel Pantoja, direktur nasional, Dewan Gereja-gereja Injili Filipina

Dengan hati yang penuh sukacita, kami merayakan kemenangan Donald Trump dalam pemilu baru-baru ini, dan mengakui bahwa Tuhan telah menetapkannya untuk memimpin AS. Momen ini memenuhi kami dengan harapan, karena menandakan komitmen baru terhadap kebebasan beragama, yang memungkinkan individu mengekspresikan keyakinannya tanpa rasa takut atau pembatasan.

Gereja Filipina saat ini menentang rancangan undang-undang Senat dan Kongres Filipina tentang orientasi seksual, identitas dan ekspresi gender; pernikahan sesama jenis; dan aborsi. Jika disahkan, RUU ini akan merugikan gereja, sekolah, dan bisnis. Semua pelobi didukung oleh pendukung LGBTQ dari AS dan Barat, sehingga sikap Trump mengenai isu-isu ini dan kemenangannya dalam pemilu memberikan dorongan bagi gereja-gereja di AS dan juga Filipina.

Kami berharap pemerintahannya akan memberikan dampak positif terhadap kebijakan luar negeri, membina perdamaian, dan memperkuat hubungan dengan negara-negara yang memiliki nilai-nilai demokrasi. Ini merupakan kemenangan bukan hanya bagi Amerika tetapi juga bagi orang-orang yang takut akan Tuhan di seluruh dunia, khususnya di Asia, di mana cahaya Tuhan dapat bersinar lebih terang melalui kepemimpinan ilahi-Nya sendiri.

Sri Lanka

Noel Abelasan, direktur nasional, Every Home Crusade

Kemenangan Trump dapat berdampak positif terhadap umat Kristen Injili di Sri Lanka dengan mempromosikan kebebasan beragama dan mungkin mengarahkan bantuan AS terhadap program-program berbasis agama. Fokus pada prinsip-prinsip Kristen ini dapat memberi semangat kepada umat Kristen Sri Lanka dan mendukung inisiatif yang selaras dengan prioritas AS.

Namun, sikap keras terhadap Tiongkok dapat mempersulit posisi diplomatik Sri Lanka, mengingat pengaruh Tiongkok di kawasan ini, yang mungkin secara tidak langsung dapat memengaruhi kelompok Injili setempat. Secara keseluruhan, hal ini dapat memperdalam solidaritas di antara kaum Injili di seluruh dunia, dan menginspirasi umat Kristen Sri Lanka untuk merasa lebih terhubung dengan gerakan bersama.

Taiwan

Andrew Chiang, pendeta, Gereja Komunitas Bilingual

Saya rasa kepresidenan Trump tidak akan berdampak sedikit pun terhadap kebebasan beragama di Taiwan dalam jangka pendek. Dukungan Trump terhadap gerakan Injili konservatif tidak memengaruhi orang-orang di Taiwan, jadi kecil kemungkinan kepresidenan Trump akan memicu reaksi keras dari kelompok masyarakat yang lebih sekuler. Dalam hal bantuan dan kebijakan luar negeri, baik Trump maupun Biden telah menjalankan kebijakan untuk membatasi Tiongkok, yang menguntungkan Taiwan selama mereka tidak bertindak terlalu jauh dan memicu perang.

Kepresidenan Trump mungkin akan memiliki dampak yang lebih besar pada tren budaya dan agama. Teori konspirasi, ketakutan akan akhir zaman, dan nubuatan palsu yang merajalela di AS sejak masa jabatan pertama Trump juga telah menyebar ke Taiwan. Hal ini kemungkinan akan berlanjut di bawah masa jabatan kepresidenannya yang kedua kali ini. Sulit untuk memprediksi bagaimana reaksi gereja Injili di Taiwan, tetapi di beberapa kalangan, pemilihannya telah mendorong lebih banyak refleksi tentang teologi publik dan politik. Gereja Injili di Taiwan mungkin akan membentuk identitasnya sendiri sesuai konteks, terlepas dari pengaruh gereja Injili AS, sebagai akibat dari kekacauan yang disaksikannya di seberang Pasifik.

EROPA

Armenia

Craig Simonian, koordinator wilayah Kaukasus, Jaringan Perdamaian dan Rekonsiliasi Aliansi Injili Dunia

Saya percaya bahwa kemenangan Trump dan kembalinya partai Republik pada kepemimpinan kongres tidak diragukan lagi hal itu baik untuk Armenia.

Meskipun hanya sedikit orang di luar lingkaran politik yang menyadarinya, Republik Armenia telah menjadi pusat kebijakan luar negeri Amerika selama lebih dari 30 tahun karena posisi strategisnya yang berbatasan dengan Rusia, Iran, dan Turki. Namun, baru setelah perang Azerbaijan tahun 2020 untuk merebut kembali daerah kantong Nagorno-Karabakh yang dihuni penduduk Armenia, yang kami sebut Artsakh, maka pentingnya Armenia mulai diketahui khalayak yang lebih luas—terutama di kalangan Injili. Umat Kristen di wilayah Pegunungan Kaukasus telah mengalami penganiayaan selama ribuan tahun.

Banyak dari dukungan ini merupakan hasil dari upaya Partai Republik yang menggunakan komite kongres dan komisi pemerintah untuk membela Armenia. Negara ini menjadi negara Kristen pertama di dunia pada tahun 301 Masehi, dan tetap membutuhkan perlindungan dari negara-negara tetangga yang bermusuhan. Sebaliknya, meskipun Demokrat dengan setia mempromosikan pengakuan atas genosida Armenia selama 33 tahun terakhir, mereka belum mencapai banyak hal lagi.

Sekarang, dengan Trump kembali ke Gedung Putih, kami dapat mengharapkan umat Kristen Armenia tampil lebih aktif sebagai sekutu baru dalam mempromosikan demokrasi Barat di kawasan ini. Dengan kehendak Tuhan, semoga kawasan ini juga akan menjadi pusat baru bagi misi dunia juga.

Rusia

Vitaly Vlasenko, sekretaris jenderal, Aliansi Injili Rusia

Trump adalah kandidat yang paling layak, dan saya senang dia menang. Akan tetapi, anggapan bahwa ia memiliki hubungan dekat dengan Vladimir Putin terlalu dibesar-besarkan. Walaupun orang Rusia menyambut baik masa kepresidenan pertamanya, banyak yang kecewa dan kini curiga. Meski begitu, pemilihannya memberi kami harapan baru bahwa keadaan bisa berbeda.

Saya berharap Trump akan mendukung dialog internasional, perdamaian, dan kebebasan beragama. Dia berjanji akan mengakhiri perang di Ukraina dalam waktu 24 jam. Dia bukan Tuhan, tetapi jika itu terjadi segera, saya akan sangat gembira. Namun karena Rusia bukan negara satelit Amerika Serikat, sangat sulit untuk memprediksi bagaimana dampaknya terhadap kami sampai Trump memilih kabinet presidensialnya yang lengkap. Untuk saat ini, saya merasa dikuatkan.

Sulit untuk mengetahui bagaimana Trump akan memengaruhi komunitas Injili Rusia kami. Dukungan timbal balik antara jemaat di AS dan Rusia terutama bergantung pada hubungan pribadi dan antar gereja, bukan pada siapa yang duduk di Gedung Putih. Secara historis, otoritas Amerika tidak pernah keberatan dengan upaya dialog kami, malahan memberikan kontribusi positif terhadapnya. Oleh karena Trump mendapat dukungan dari sebagian besar kaum Injili AS, saya berharap timnya akan melanjutkan tradisi baik ini.

Turki

Ali Kalkandelen, mantan ketua, Asosiasi Gereja-gereja Protestan di Turki

Kebijakan Amerika yang terkait wilayah ini telah membanjiri negara kami dengan pengungsi dari Suriah, Afganistan, dan Ukraina. Jika Israel memperluas perangnya ke Iran, ini dapat mengancam untuk melibatkan Turki. Konflik Armenia–Azerbaijan terus memburuk, karena diabaikan oleh AS. Lalu orang-orang Kurdi juga tengah berupaya mencari otonomi daerah, dengan keyakinan bahwa Amerika mendukung mereka.

Bangsa kami telah terkena dampak negatif secara politik dan ekonomi akibat krisis ini. Kami harus berdoa memohon belas kasihan dan hikmat Tuhan bagi semua pemimpin dunia. Akan tetapi, Trump berjanji untuk mengubah arah dan mengusahakan perdamaian di kawasan ini, yang akan lebih baik dan lebih adil bagi semua. Presiden Recep Tayyip Erdoğan menyebut Trump sebagai “sahabat saya,” dan hubungan mereka kemungkinan akan memperkuat hubungan bersama negara kami dalam NATO.

Meskipun jemaat gereja telah menderita di bawah beban krisis ini, mereka juga telah membuka pintu baru untuk pelayanan. Banyak pengungsi menjadi percaya kepada Kristus di Turki, dan jemaat kami meliputi orang-orang percaya dari latar belakang Kurdi, Persia, dan Arab.

Transformasi rohani ini akan berlanjut dan akan memperkuat gereja. Tidak ada presiden Amerika yang dapat memberikan dampak negatif pada hal ini.

Inggris

Gavin Calver, direktur utama, Aliansi Injili

Kami sekali lagi harus menanggapi tuduhan dari mereka yang berasumsi bahwa kaum Injili Inggris memadukan politik dan agama dengan cara yang sama seperti mereka yang menyandang label Injili di AS. Politik dan agama akan selalu terkoneksi sampai pada taraf tertentu, namun hubungan simbiosis antara keyakinan seseorang dan keyakinan politiknya, dengan Injili sering dianggap sinonim dengan Make America Great Again (Kembalikan Kejayaan Amerika), telah menjadi masalah besar bagi kami di Inggris.

Sebaliknya, kaum Injili Inggris sama sekali tidak terikat pada afiliasi politik apa pun. Umat Kristen perlu berdoa dan mendukung para pemimpin mereka, tetapi mereka juga perlu mengambil sikap menentang apa yang salah. Kesetiaan kita yang utama haruslah kepada Yesus dan bukan kepada pemimpin nasional.

Saya berharap agar masa jabatan presiden Trump berikutnya akan berbeda, agar kaum Injili di negara saya tidak akan secara keliru dianggap berpihak pada politik dan nasionalisme, dan agar kami dapat terus menjadi orang-orang yang membawa “kabar baik” di Inggris.

Ukraina

Taras M. Dyatlik, direktur keterlibatan, Scholar Leaders

Saya sangat prihatin dengan dampak potensial hasil pemilu AS terhadap pertahanan negara kita terkait agresi Rusia yang tidak beralasan. Ukraina sangat bergantung pada bantuan AS dan keputusan kebijakan luar negerinya, dan saya khawatir perubahan kepemimpinan dapat memengaruhi dukungan penting ini.

Sungguh meresahkan bagi saya melihat beberapa pemimpin Injili Barat menganut narasi yang meremehkan atau membenarkan agresi Rusia, yang sering kali berasal dari kampanye propaganda Rusia yang canggih. Gagasan bahwa “perang akan berhenti ketika Ukraina berhenti membela diri atau ketika Barat berhenti mendukung Ukraina” dan bukannya “perang akan dan harus dihentikan dengan memaksa Rusia meninggalkan wilayah Ukraina,” ini menunjukkan kesalahpahaman yang meresahkan tentang realitas.

Penggunaan retorika dan nilai-nilai Kristen sebagai senjata politik, baik di Rusia maupun AS, juga sangat memprihatinkan bagi saya. Ketika nilai-nilai Kristen terlalu erat berhubungan dengan kekuatan politik, nilai-nilai itu sering kali terdistorsi dan disalahgunakan untuk membenarkan tindakan-tindakan yang menyakiti mereka yang rentan.

Terlepas dari kepemimpinan dan kebijakan AS, saya berdoa agar masyarakat internasional akan terus mendukung perjuangan Ukraina untuk eksistensi, nilai-nilai demokrasi, dan martabat manusia.

AMERIKA LATIN

Brazil

Cassiano Luz, direktur eksekutif, Aliansi Injili Brasil

Terpilihnya kembali Donald Trump membawa implikasi penting bagi kaum Injili Brasil.

Trump dianggap sebagai sekutu dan teman Jair Bolsonaro, mantan presiden Brasil, yang mendapat dukungan luas dari kaum Injili. Divonis karena penyalahgunaan kekuasaan politik dan penyalahgunaan media, Bolsonaro saat ini tidak memenuhi syarat untuk dipilih kembali pada tahun 2026 dan menghadapi penyelidikan atas kasus pencucian uang, pemalsuan catatan vaksin, dan hasutan terhadap pemberontakan tahun 2022 yang menargetkan Kongres Nasional Brasil dan gedung-gedung pemerintah lainnya di Brasília. Bolsonaro dan para pendukungnya merayakan terpilihnya kembali Trump, meyakini bahwa tekanan politik Amerika dapat membalikkan ketidaklayakan dia dalam pemilu di Brasil.

Saya percaya salah satu prioritas bagi kami sebagai gereja Injili Brasil adalah memahami faktor-faktor yang membentuk pilihan dan posisi ideologis kita. Sementara banyak penginjil Brasil merayakan terpilihnya kembali Trump karena selaras dengan prinsip-prinsip Injil, saya lebih suka menggemakan kata-kata Ronaldo Lidório: Injil bukanlah Demokrat maupun Republik; tidak selaras dengan Harris maupun Trump. Injil adalah Yesus. “Saudara-saudaraku yang kekasih, aku menasihati kamu, supaya sebagai pendatang dan perantau, kamu menjauhkan diri dari keinginan-keinginan daging yang berjuang melawan jiwa” (1Ptr. 2:11).

Meksiko

Rubén Enriquez Navarrete, sekretaris, Confraternidad Evangélica de Mexico

Donald Trump telah memenangkan pemilihan presiden di Amerika Serikat sekali lagi. Meskipun ia mungkin tidak luput dari celaan, ia adalah orang yang mengakui asal-usul dan prinsip-prinsip Amerika Serikat yang berakar pada Allah dalam Alkitab. Saya percaya Tuhan mengizinkan hal ini karena dua alasan: Memberi gereja kesempatan yang lebih besar untuk menyebarkan Injil dan mendorong refleksi di antara mereka yang telah menjauh dari Tuhan.

Isu migran merupakan keprihatinan utama gereja-gereja Meksiko, dan hasil pemilu pasti akan memengaruhinya. Gereja-gereja Meksiko mengorganisasi upaya untuk mendukung para migran, terutama di perbatasan. Bagi kami, ini bukan masalah melainkan peluang. Meskipun banyak dari mereka yang tiba di perbatasan sebagai orang yang tidak percaya, mereka kemudian sering berpindah keyakinan dan, setelah kembali ke negara asal, mereka membagikan Injil atau mendukung gereja-gereja yang sudah ada.

Bagi umat Kristen Meksiko, tidak ada dampak yang signifikan—hanya rasa bangga karena mengetahui bahwa di AS, pendapat pendeta-pendeta Injili dihargai.

AMERIKA UTARA

Kanada

David Guretzki, presiden dan direktur utama, The Evangelical Fellowship of Canada (EFC)

Oleh karena kedekatan geografis Kanada, peristiwa politik penting di AS memiliki dampak yang lebih besar terhadap iklim politik dan sosial kami. Misalnya, ketika Mahkamah Agung AS membatalkan keputusan Roe vs Wade, aborsi kembali menjadi topik hangat di Kanada dan menyebabkan pemerintah berjanji untuk memastikan Kanada tidak akan melakukan hal yang sama. Ada banyak kekhawatiran di kedua sisi perdebatan aborsi, meskipun sama sekali tidak ada yang berubah dalam konteks hukum kami. Pembatalan Roe vs Wade membangkitkan kembali keinginan para pendukung pro-kehidupan untuk melihat undang-undang baru ditetapkan, sementara pendukung pro-pilihan berupaya untuk memberikan akses tanpa batas terhadap aborsi.

Meskipun selalu ada perbandingan antara politik AS dan Kanada, kami berusaha mengingatkan umat Kristen Injili bahwa konteks sejarah, agama, sosial, dan politik Kanada adalah unik.

EFC bersyukur bahwa pemilu AS dilaksanakan secara bebas dan tanpa kekerasan atau hilangnya nyawa. Kitab Suci memerintahkan kita untuk berdoa bagi semua orang yang berwenang, apa pun afiliasi politik mereka. Sehubungan dengan hal ini, kami meminta semua pengikut Yesus untuk menaati nasihat ini sambil menunjukkan kesabaran yang penuh kasih terhadap mereka yang mungkin memiliki pandangan politik berbeda.

TIMUR TENGAH

Mesir

Michael El Daba, Direktur Regional Timur Tengah dan Afrika Utara untuk Gerakan Lausanne

Saat dunia menantikan hasil pemilu AS, banyak orang Kristen Mesir berdoa untuk perdamaian. Perang terjadi di perbatasan kami di Gaza, Libya, dan Sudan, dan pemerintah kami telah menambah masalah dengan keputusan kebijakan yang menyebabkan inflasi dan utang yang belum pernah terjadi sebelumnya. Turis takut berkunjung, sementara para pengungsi telah menemukan tempat aman di sini.

Baik dalam hal hak asasi manusia lokal maupun perdamaian dan stabilitas regional, pemerintahan Biden tidak berbuat banyak untuk membantu. Kami tidak berharap Trump akan jauh berbeda—setidaknya terkait dengan rakyat Mesir. Ia akan menjalankan pendekatan yang sangat transaksional dengan sekutu regional, termasuk Mesir, yang menekankan penjualan senjata, kesepakatan bisnis, dan kerja sama keamanan, sementara sebagian besar mengabaikan keterlibatan politik dan diplomatik berbasis nilai-nilai. Trump mungkin akan mengabaikan teguran ringan sekalipun tentang hak asasi manusia dan kebebasan politik.

Secara positif, dukungan kuat kaum Injili Amerika terhadap Trump dapat membantu kaum Injili Mesir memiliki pengaruh lokal yang lebih kuat. Jika Trump mengejar agenda kebebasan beragama internasional, kami dapat berkontribusi pada kampanye untuk hak-hak minoritas. Hal ini mungkin akan semakin membuka ruang publik bagi partisipasi politik Kristen dan mengatasi kendala administratif dalam pembangunan gedung-gedung gereja.

Iran

Mehrdad Fatehi, pendiri dan direktur eksekutif, Pusat Teologi Pars

Catatan: Fatehi berasal dari Iran dan saat ini tinggal di Inggris.

Bagi sebagian besar orang Iran, kepresidenan Trump adalah berita baik. Trump menekan rezim Iran melalui sanksi, yang melemahkan rezim tersebut secara ekonomi. Di bawah kepemimpinannya, pasukan AS membunuh Qassem Soleimani, orang paling berkuasa kedua di Iran, yang menghabiskan miliaran dolar untuk mendukung Hamas, Hizbullah, dan kelompok proksi Iran lainnya. Banyak warga Iran berharap kebijakan keras ini akan berlanjut.

Sebaliknya, Partai Demokrat telah menyanjungkan rezim Iran dan membantunya tetap berkuasa. Dengan menjabat tangan para pemimpin Islamis, mereka menutup mata terhadap pelanggaran hak asasi manusia. Namun ada harapan di mata sebagian besar warga Iran bahwa Trump akan membantu Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyerang Iran sehingga bangsa Iran dapat menggulingkan pemerintah saat dalam keadaan terlemah.

Rezim Islam saat ini merasa ketakutan, bertanya-tanya bagaimana Trump akan menghadapi Iran. Namun ada pula ketakutan umum akan perang—yang akan membawa kerugian bagi negara dan mungkin tidak membawa hasil yang diharapkan masyarakat. Kebanyakan umat percaya Iran, yang berasal dari latar belakang Islam, kemungkinan besar memiliki pandangan yang sama dengan di atas. Situasi penganiayaan yang mereka alami cukup berat sehingga tanggapan apa pun dari Trump tidak akan memperburuk keadaan.

Bagi banyak orang, Trump memberi rakyat Iran peluang terbaik untuk perubahan positif.

Israel

Danny Kopp, ketua, Aliansi Injili Israel

Banyak kaum Injili pro-Israel dan pro-Palestina yang sebelumnya saling bertentangan dalam kebijakan AS di kawasan ini, justru bersatu dalam harapan mereka bahwa kepresidenan Trump akan menjadi perbaikan dibandingkan pemerintahan Biden. Namun jika ada satu hal yang dapat dikatakan dengan yakin mengenai Trump, hal itu adalah bahwa ia tidak dapat ditebak. Ia mampu mendukung ekskalasi dramatis dalam penggunaan kekuatan melawan musuh-musuh Israel seperti halnya ia mampu menuntut penghentian permusuhan secara cepat yang oleh sebagian kalangan dapat dianggap sebagai tindakan menyerah.

Secara umum, kaum Yahudi Mesianik tidak berharap bahwa Trump akan secara khusus menangani masalah internal mereka sebagai warga negara Yahudi Mesianik di Israel. Mereka terlalu kecil secara demografis untuk menjadi perhatiannya dalam kebijakan khusus. Seperti warga negara Israel lainnya, mereka sebagian besar memikirkan bagaimana pemerintahan Trump akan atau tidak akan mendukung Israel dalam perang tujuh front saat ini.

Pemerintahan Trump yang kedua kali ini mungkin akan melakukan upaya yang disambut baik untuk memperluas Kesepakatan Abraham untuk mencakup Arab Saudi dan bahkan mungkin Palestina dalam menjalin perjanjian damai dengan Israel. Akan tetapi, jika Amerika Serikat meninggalkan sekutu-sekutunya di Ukraina dan Asia Tenggara dalam menghadapi agresi Rusia dan Cina, maka hal itu hanya akan memperkuat poros kekuatan yang—terutama melalui Iran dan sekutunya—telah menjadi pemicu utama kekerasan di Israel, Gaza, Lebanon, Suriah, Yaman, dan Irak.

Lebanon

Wissam al-Saliby, presiden, Pusat Kebebasan Global 21Wilberforce

Catatan: Saliby berasal dari Lebanon dan saat ini tinggal di AS.

Masyarakat negara asal saya secara historis tidak melihat banyak perbedaan antara kebijakan Partai Republik dan Demokrat terkait Israel dan Lebanon. Namun, banyak warga Lebanon di Lebanon dan di AS mendukung pemilihan Donald Trump karena mereka lebih menyukai “ketidakpastian” dalam masa jabatannya dibandingkan kebijakan pemerintahan saat ini, yang telah membiarkan perang di Timur Tengah terus berlanjut dan meluas.

Bagaimanapun, wilayah ini sedang dikosongkan dari populasi Kristennya karena perang—pertama di Irak, kemudian Suriah, dan sekarang Lebanon. Banyak teman dan keluarga saya yang telah pergi. Lalu umat Kristen Palestina di Tepi Barat terus kehilangan tanah dan mata pencaharian mereka akibat pemukim Israel.

Kami sangat memerlukan proses perdamaian yang menangani keluhan dan ketidakadilan mendasar yang menjadi akar konflik, dan hingga kini kami belum memilikinya.

Selain itu, penghancuran Gaza dan kini sebagian besar Lebanon telah mengikis kredibilitas AS. Jika pemerintah AS mendekati negara berpenduduk mayoritas umat Islam untuk memprotes penganiayaan terhadap umat Kristen di negara tersebut, jawaban yang akan mereka dengar adalah, “Pertama, hentikan dulu perang di Gaza; lalu, kembalilah dan tanyakan kepada kami tentang catatan hak asasi manusia kami.”

Palestina

Jack Sara, presiden, Sekolah Alkitab Bethlehem

Kebijakan AS memiliki pengaruh yang kompleks dan sering kali kontroversial di sini, dengan keputusan-keputusan dari Gedung Putih yang memengaruhi kehidupan sehari-hari dan masa depan kami secara mendalam. Dukungan Trump terhadap kebijakan yang mendukung perluasan Israel dan pengabaiannya terhadap hak-hak orang Palestina menimbulkan kekhawatiran. Hal ini bisa berarti marginalisasi lebih lanjut lagi bagi warga Palestina dan situasi yang semakin sulit bagi orang Kristen yang berusaha menjalankan iman mereka dalam konteks yang tidak stabil ini.

Trump telah menerima dukungan signifikan dari banyak kelompok Injili, meskipun kebijakan dia tampaknya bertentangan dengan nilai-nilai inti keadilan, belas kasihan, dan kerendahan hati yang Kitab Suci perintahkan untuk kita junjung tinggi. Saya menduga bahwa sebagian besar dukungan ini berakar pada ideologi teologis dan politik yang salah arah—Zionisme Kristen—yang melihat kesetiaan tanpa syarat kepada negara Israel sebagai mandat alkitabiah. Banyak kaum Injili yang mungkin memandang Trump sebagai pelindung Israel, mungkin mengabaikan pemerintahan dia sebelumnya terhadap hak-hak orang Palestina dan konsekuensi yang lebih luas bagi perdamaian di Timur Tengah.

Meskipun demikian, saya tetap berharap dan tetap berdoa. Saya berharap pemerintahan Trump dapat bekerja untuk menghentikan perang genosida di Gaza serta invasi darat dan kampanye pengeboman yang meluas di Lebanon. Saya berharap Trump akan berupaya mewujudkan perdamaian yang benar-benar menghormati hak dan martabat semua orang di Tanah Suci dan kawasannya.

OCEANIA

Australia

Simon Smart, direktur eksekutif, Pusat Kekristenan Publik

Pada satu sisi, masa jabatan presiden Trump berikutnya tidak banyak berpengaruh pada kaum Injili di Australia, yang memiliki lanskap keagamaan sangat berbeda dibandingkan dengan AS. Namun sejauh itu mendorong hasrat orang Kristen untuk mengumpulkan kekuatan politik sebanyak mungkin demi mencapai tujuan mereka, hal itu mungkin tidak bermanfaat dalam jangka panjang. Sejarah menunjukkan bahwa sering kali—meski tidak selalu—iman Kristen dan kekuatan politik tidak bercampur dengan baik. Itu pelajaran yang tampaknya sulit dipelajari.

Australia adalah negara yang lebih sekuler daripada Amerika Serikat. Bagi kami yang berupaya meningkatkan pemahaman publik tentang iman Kristen di sini, keterkaitan istilah Injili yang telah berlangsung selama puluhan tahun dengan aliran politik yang dipandang negatif oleh mayoritas warga Australia, tidak membantu upaya tersebut. Kita perlu merangkul sejumlah persepsi yang menjadi penghalang terwujudnya perbincangan konstruktif tentang iman.

Pelaporan oleh Angela Lu Fulton, Bruce Barron, Franco Iacomini, Isabel Ong, Jayson Casper, dan Surinder Kaur.

Diterjemahkan oleh Mellie Cynthia.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, TwitterInstagram, atau Whatsapp.

News

Kaum Injili Lebanon Melayani Kaum Syiah yang Mengungsi Akibat Perang Israel-Hizbullah

Meskipun ada risiko bahaya dan keterbatasan sumber daya, gereja berusaha keras membantu umat muslim yang tidak terbiasa mengalami kasih kristiani.

Shiite women and their children who fled south Lebanon for shelter in Beirut.

Wanita Syiah dan anak-anak mereka yang melarikan diri dari Lebanon selatan untuk berlindung di Beirut.

Christianity Today October 31, 2024
Marwan Naamani / AP Images

Pada 23 September, Mustafa mengajak seluruh keluarganya yang berjumlah lima orang menaiki sepeda motor kecil dan berkendara selama tujuh jam ke utara, dari Tirus menuju sebuah desa di pegunungan Lebanon, perlahan-lahan melewati deretan kendaraan yang terjebak kemacetan. Sejumlah orang di dalam mobil-mobil itu—seperti keluarga saudaranya Hussein yang berjumlah enam orang—baru akan tiba dua hari berikutnya.

Jalur tersebut biasanya dapat ditempuh dalam waktu dua jam.

Mustafa, dan ribuan orang lain sepertinya, dengan panik melarikan diri dari bom Israel yang ditujukan ke Hizbullah, milisi Syiah yang ditetapkan oleh pemerintah AS sebagai organisasi teroris. Sebelum saat itu, dia dan saudaranya bekerja di sebuah lahan pertanian di luar kota, tinggal di apartemen sederhana dengan dua kamar tidur yang disediakan oleh majikannya.

CT setuju untuk merahasiakan nama keluarganya demi alasan keamanan. Mustafa adalah seorang Kristen yang berasal dari Afrin, wilayah Kurdi di barat laut Suriah. Ketika ditanya apakah dia memiliki keyakinan yang sama dengan saudaranya, Hussein berkata, “Belum.”

Negara asal mereka tidak mengakui orang yang pindah agama dari Islam. Walaupun Lebanon adalah satu-satunya negara Arab yang memberikan kebebasan pindah agama, Tirus adalah kota Syiah yang secara sosial konservatif di bawah pengaruh politik Hizbullah.

Ini adalah kedua kalinya Mustafa pindah. Pada tahun 2013, dia dan saudaranya melarikan diri dari perang saudara Suriah. Namun selama lima tahun terakhir, ketika angka kemiskinan di Lebanon meningkat tiga kali lipat, kaum Islam Sunni nominal mendapat dukungan dari pelayanan Kristen setempat yang menawarkan bantuan.

Delapan belas bulan yang lalu, Mustafa menjadi orang percaya.

“Saya mengikut Yesus,” katanya. “Dia menyelamatkan saya.”

Ketika Israel memulai invasi ke Lebanon, negara itu mengeluarkan perintah evakuasi ke desa-desa Islam dan Kristen di selatan. Namun, sebagian besar pengungsi berasal dari wilayah Syiah yang diduga sebagai gudang senjata dan terowongan bawah tanah—di mana kaum Syiah mungkin (atau mungkin tidak) menganut ideologi Islamis Hizbullah.

Menurut survei yang dilakukan pada awal tahun 2024, walaupun 78 persen kaum Syiah memandang positif peran milisi dalam urusan regional, hanya 39 persen yang mengatakan mereka merasa paling dekat dengan Hizbullah di antara partai-partai politik Lebanon, dibandingkan dengan 37 persen kaum Syiah yang merasa tidak dekat dengan siapa pun.

Hanya 6 persen orang Kristen yang “sangat percaya” pada milisi Syiah.

Dalam realitas ini, orang Kristen bersemangat—dan berhati-hati—untuk menolong. Komitmen Injil dan solidaritas nasional memang membutuhkan kebaikan. Namun terlalu mewaspadai sektarian malah mendorong lahirnya kecurigaan. Kemudian pemberitaan tentang pengeboman Israel menimbulkan ketakutan bahwa jika menyambut para pengungsi mungkin akan membuat mereka jadi sasaran.

Namun, banyak orang yang tetap membantu.

Mustafa dan Hussein berlindung di tempat tinggal yang disediakan oleh gereja Injili di desa yang berisi warga campuran Islam-Kristen, tempat mereka mencari perlindungan. Karpet plastik menutupi separuh lantai semen di bagian tempat mereka tinggal, dengan kasur tipis yang dirapatkan di dinding. Selimut dan bantal yang berserakan adalah bukti tidur anak-anak mereka yang gelisah sepanjang malam.

“Inilah pesan kami: Untuk menunjukkan kasih dalam tindakan saat kami membimbing orang kepada Kristus,” kata pendeta gereja tersebut. (CT merahasiakan identitasnya karena situasi politik yang tidak menentu di Lebanon.) “Saat mereka menerima, kami mengajari mereka untuk memberi.”

Jemaatnya saat ini menampung sekitar 100 orang, yang mengungsi dari rumah mereka di selatan dan di Lembah Bekaa, Lebanon. Lebih dari separuhnya berasal dari negara tetangga Suriah; sisanya sebagian besar adalah kaum Syiah Lebanon. Pendeta itu mengatakan 60 persen dari total orang yang ditolongnya adalah orang percaya. Yang lainnya, seperti Hussein, adalah kerabat mereka atau umat Islam yang sudah memiliki hubungan dekat dengan gereja-gereja di daerah asal mereka.

Mereka semua ikut membantu menyiapkan 500 roti lapis tuna untuk didistribusikan secara lokal.

Bukan Hanya Bicara

Konflik Hizbullah dengan Israel saat ini dimulai tahun lalu pada 8 Oktober, sehari setelah Hamas menginvasi Gaza dan menewaskan sekitar 1.200 warga Israel, menyandera 250 orang. Milisi Lebanon memulai apa yang disebutnya sebagai “front dukungan” untuk Hamas, meluncurkan rudal yang menyebabkan 80.000 warga Israel melarikan diri dari desa-desa dekat perbatasan.

Kurang lebih 80.000 warga Lebanon juga melarikan diri dari serangan balasan Israel, dan selama 11 bulan kedua belah pihak menjaga pertukaran rudal mereka relatif terkendali, dengan tujuan menghindari konflik yang lebih besar dan mungkin juga konflik regional dengan Iran, yang mendukung Hamas dan Hizbullah sebagai pasukan proksi.

Status quo itu tetap bertahan meskipun 12 anak Druze tewas, terkena rudal Hizbullah di Dataran Tinggi Golan, dan meningkatnya penargetan Israel terhadap para pemimpin milisi di Lebanon, Suriah, dan Iran. Negosiasi yang dipimpin AS untuk meredakan atau menghentikan pertempuran ternyata gagal mengatasi desakan Hizbullah untuk melakukan gencatan senjata serentak di Gaza. Lalu pada 17 September, Israel memasukkan kembalinya warga utara ke rumah mereka sebagai tujuan perang resmi.

Beberapa jam kemudian, serangan bom di berbagai penyeranta (pager) meledak, dan, keesokan harinya, serangan bom di berbagai walkie-talkie juga meledak—yang secara luasdiduga dilakukan oleh Israel meskipun secara resmi mereka menyangkalnya. Serangan-serangan bom ini menewaskan puluhan orang dan melukai ribuan anggota milisi dan personel medis yang berafiliasi di Lebanon dan Suriah. Enam hari kemudian, kampanye pengeboman dimulai. Pejabat Israel dilaporkan menyatakan kebijakan mereka adalah “de-eskalasi melalui eskalasi.”

Lebanon memperkirakan pertempuran tersebut telah menyebabkan 1,2 juta dari 6 juta penduduknya mengungsi. Lebih dari 950 sekolah umum, gudang, dan fasilitas lainnya sekarang berfungsi sebagai tempat penampungan. Sembilan puluh persen pengungsi, hampir setengahnya adalah anak-anak, tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar mereka.

Pendeta di desa pegunungan yang disebutkan di atas memperoleh izin dari pemerintah kota yang dipimpin orang Islam, untuk memberikan bantuan bersama beberapa kelompok lainnya yang berkoordinasi dengan pelayanan lokal yang dijalankan oleh seorang penatua gereja.

Seorang koordinator bantuan lokal, seorang anggota komunitas muslim Druze heterodoks, mengatakan “gereja nomor satu” dalam memberikan bantuan, sementara beberapa kelompok lain “mengatakan mereka membantu tetapi sebagian besar hanya omong kosong.”

Namun, karena ruang kelas di seluruh negeri dipenuhi keluarga yang mencari perlindungan, dia mengeluh karena ketiga anaknya tidak punya tempat untuk bersekolah.

Konflik Israel-Hizbullah terakhir, pada tahun 2006, menyebabkan 900.000 orang meninggalkan rumah mereka. Kemudian, gereja-gereja dan warga dari semua sekte bersatu untuk membantu, tetapi saat ini, sumber dayanya jauh lebih sedikit.

Banyak yang enggan menyewakan apartemen mereka kepada kaum Syiah yang mengungsi, karena takut para pencari perlindungan tidak dapat—atau tidak mau—terus membayar. Hiperinflasi dan devaluasi mata uang sebesar 98 persen membuat banyak warga Lebanon harus berusaha untuk sekadar memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Kebuntuan politik telah membuat negara itu tidak memiliki presiden selama dua tahun, sementara perdana menteri bekerja sebagai pejabat sementara.

Siapa yang Harus Disalahkan?

Banyak orang menyalahkan Hizbullah.

“Saya menentang kaum Syiah dalam politik, tetapi atas dasar kemanusiaan, kita tidak bisa menolak untuk membantu mereka,” kata koordinator bantuan Druze. “Kita menderita akibat Suriah, kita menderita akibat Iran. Mungkin kita menunggu bantuan Amerika.”

Diplomat Amerika dan Prancis berusaha menengahi gencatan senjata selama tiga minggu di Lebanon, dan menteri luar negeri Lebanon menyatakan bahwa pemimpin Hizbullah Hassan Nasrallah telah setuju. Beberapa hari kemudian, serangan udara Israel yang menggunakan bom penghancur bunker menghancurkan empat bangunan apartemen perumahan dan menewaskan Nasrallah di tempat tinggalnya di bawah tanah. Para pejabat AS membantah mengetahui persetujuan Nasrallah.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dilaporkanmenyetujui perundingan gencatan senjata, lalu menariknya kembali. Israel menyatakan perangnya adalah melawan Hizbullah, bukan Lebanon. Netanyahu, berbicara kepada warga Lebanon, merujuk pada kampanye melawan Hamas.

“Anda memiliki kesempatan untuk menyelamatkan Lebanon sebelum terjerumus ke jurang perang panjang yang akan mengakibatkan kehancuran dan penderitaan seperti yang kita lihat di Gaza,” ungkapnya . “Bebaskan negara Anda dari Hizbullah sehingga perang ini dapat berakhir.”

Lebanon telah lama secara resmi mendukung penerapan resolusi PBB 1701, yang diadopsi untuk mengakhiri perang tahun 2006. Seruan ini menyerukan pelucutan senjata semua milisi dan penarikan Hizbullah di luar Sungai Litani, sekitar 18 mil di utara perbatasan Israel. Namun upaya Lebanon tahun 2008 untuk membongkar jaringan komunikasi pribadi milisi tersebut gagal setelah unjuk kekuatan bersenjata Hizbullah di Beirut.

Amerika Serikat dilaporkan kini tengah mendesak politisi Lebanon untuk memilih seorang presiden, yang, berdasarkan perjanjian tidak tertulis yang sudah berusia 80 tahun, haruslah seorang Kristen Maronit. Anggota parlemen Lebanon, yang terbagi rata antara Islam dan Kristen, memilih kepala negara.

Namun umat Kristen terbagi menjadi dua partai politik utama dan beberapa partai kecil lainnya, beberapa di antaranya bersekutu dengan Hizbullah sebagai entitas politik untuk meraih dukungan dari pemilih Syiah. Sebelum eskalasi Israel, politisi Syiah terkemuka berulang kali memblokir penyelesaian proses pemungutan suara untuk presiden Kristen, bersikeras kandidatnya harus bersimpati pada tujuan Hizbullah.

Namun, kedua ketua partai Kristen utama tersebut diketahui memiliki ambisi menjadi presiden dan gagal bekerja sama secara konsisten untuk mewakili komunitas mereka.

“Saya menyalahkan para pemimpin Kristen—mereka bekerja untuk kepentingan mereka sendiri, bukan kepentingan negara kita,” kata pendeta desa pegunungan itu. “Jika Anda memberi ruang kepada orang lain, Anda tidak bisa menyalahkan mereka saat mereka mengambilnya.”

Pada tahun 2000, Hizbullah memperoleh dukungan sosial yang luas, bahkan dari banyak umat Kristen, dengan memaksa Israel mengakhiri pendudukannya selama 18 tahun di Lebanon selatan, yang awalnya dimaksudkan untuk memaksakan zona penyangga terhadap serangan militan Palestina. Sejak itu, milisi tersebut menyia-nyiakan dukungan muslim Sunni dengan terlibat dalam perang saudara di Suriah atas nama Bashar al-Assad, yang dikonfirmasi secara publik pada tahun 2013. Orang Kristen biasa bergabung dengan banyak orang dalam kekecewaan ketika Hizbullah berpihak pada para pemimpin sektarian dalam melawan revolusi rakyat tahun 2019, yang menandai dimulainya lima tahun kemerosotan ekonomi.

Dukungan milisi terhadap Hamas mendorong munculnya poster “Kami Tidak Ingin Perang” di seluruh Beirut.

Menawarkan Kasih Kristiani

“Kami marah. Tanpa konsultasi dengan pemerintah, Hizbullah menyeret Lebanon ke dalam perang,” kata Joseph Kassab, presiden Dewan Tertinggi Komunitas Injili di Suriah dan Lebanon, yang mengatakan bahwa perdamaian abadi tidak dapat dicapai melalui kekerasan. “Banyak orang Kristen merasa bahwa Israel tidak memiliki batasan dalam perang, dan milisi tersebut salah karena memprovokasi musuhnya.”

Namun, angin perubahan sedang bertiup, kata Jihad Haddad, pendeta Gereja True Vine di Zahle, sebuah kota Kristen di Lembah Bekaa, sambil mengutip pepatah Tiongkok yang dimodifikasi: Ada yang membangun tembok untuk menahan angin; kincir angin akan lebih baik dalam pelayanan. Oleh karena umat Kristen tidak memiliki suara politik dalam konflik saat ini, dia mengarahkan upayanya untuk mendukung para pengungsi.

Pusat bantuan di gereja tersebut telah mendistribusikan 2.000 paket makanan sebulan sebelum eskalasi saat ini, sebagian besar berasal dari lahan pertaniannya sendiri. Untuk merawat banyak orang yang sekarang berlindung di sekolah, gereja telah menyesuaikan paket-paket tersebut sehingga dapat menyediakan nutrisi tanpa perlu memasak. Para pengungsi juga kekurangan selimut, tetapi gereja telah mengosongkan gudangnya.

Haddad melihat kebangkitan di cakrawala, tetapi itu tidak mudah. Lebanon, katanya, terjebak di antara “palu” Israel dan “landasan” Hizbullah. Rudal telah mengenai daerah yang jaraknya satu mil dari rumahnya dan, di arah lain, satu mil dari gereja.

Persepsi tentang Gaza menimbulkan ketakutan yang menyedihkan.

“Kami sangat berhati-hati dalam menyambut keluarga yang tidak kami kenal,” kata Haddad. “Di mana pun Israel menemukan militan, mereka akan mengebom para militan itu.”

Masyarakat Zahle, katanya, dengan cermat memeriksa apakah kaum Syiah berafiliasi dengan Hizbullah. Gereja True Vine telah menyediakan tempat berlindung di apartemen gereja bagi 17 keluarga yang terhubung dengan jemaat, ketika orang-orang percaya dan lainnya mencari apa yang mereka harapkan sebagai tempat aman di lokasi orang Kristen. Namun Haddad juga khawatir gereja akan menjadi kewalahan karena menampung semua pencari perlindungan, sehingga gereja tidak dapat menyediakan layanan bagi semua orang.

Bantuan berbasis gereja lintas denominasi telah memberikan kesan yang kuat.

“Jika tidak ada orang Kristen di Lebanon, kami akan dimangsa,” ungkap Mohamed al-Hajj Hassan, seorang syekh Syiah yang dikenal karena penentangannya terhadap Hizbullah, dalam video klip wawancara televisinya yang tersebar luas. “Mereka adalah orang-orang yang melindungi kami dan membantu mereka yang berkeliaran di jalanan. Mereka adalah orang-orang yang menampung wanita dan anak-anak kita.”

Orang Kristen bisa saja berpihak pada Israel, katanya. Kaum Syiah kini harus “memeriksa ulang hati nurani mereka dan berpikir apakah mereka mungkin telah berbuat salah kepada mitra mereka di negara ini.”

Volunteers supported by Thimar prepare meals for the displaced
Thimar / Diedit oleh CT. Para sukarelawan yang didukung oleh Thimar menyiapkan makanan untuk para pengungsi

Namun, apresiasi seperti itu tidak membuat kaum Injili lebih mudah membuka pintu lembaga mereka, kata Nabil Costa, kepala Asosiasi Sekolah Injili di Lebanon. Tiga puluh lima sekolahnya melayani 20.000 siswa, campuran Kristen dan Islam. Pemerintah Lebanon telah memaksa sekolah Advent Hari Ketujuh di lingkungan Syiah di pusat kota Beirut untuk menyediakan tempat berlindung bagi para pengungsi.

Costa mengatakan kaum Injili akan bersedia membuka sekolah mereka setelah pemerintah memutuskan bahwa semua fasilitas sekolah swasta dibutuhkan untuk membantu. Ini dapat mencakup pembahasan tentang cara bekerja sama dengan kementerian pendidikan untuk menyediakan pengajaran tambahan bagi anak-anak sekolah umum yang dipaksa meninggalkan kelas mereka.

Perang telah menyebabkan 40 persen dari 1,25 juta pelajar Lebanon mengungsi.

Costa juga mengepalai Thimar, organisasi pelayanan sosial Baptis setempat yang menaungi Sekolah Baptis Beirut (BBS), yang bernegosiasi dengan pemerintah untuk mengubah kampusnya menjadi pusat distribusi bagi para pengungsi. Terletak tiga mil di utara daerah Dahiyeh yang padat penduduk di Beirut, tempat Nasrallah terbunuh, lingkungan sekolah tersebut saat ini tidak terancam oleh serangan udara Israel. Namun di tengah gema dahsyat pengeboman rutin, BBS membantu tujuh lembaga publik dan swasta terdekat yang menampung para pengungsi, menyediakan 700 makanan setiap hari. Bantuan tambahan diberikan kepada gereja-gereja di pegunungan.

“Kami tidak punya hak untuk menolak pengungsi,” kata Costa. Namun dia memperingatkan pemerintah, “Jangan mengambil keuntungan dari kasih kristiani kami.”

Buka Hati Kita

Beberapa orang, bahkan di antara para pengungsi sendiri, menawarkannya secara cuma-cuma.

Pada hari Senin, 23 September, Laya Yamout terbangun pukul 6:30 pagi karena suara serangan udara Israel. Selain seorang perawat terdaftar yang bertugas di Horizons International, dia juga menjadi relawan di Gereja Tirus, yang didirikan oleh ayahnya yang sudah meninggal 14 tahun lalu sebagai perintis gereja di kota Syiah tersebut. Dia telah membatasi pergerakan lokalnya karena serangan pesawat tak berawak secara presisi menargetkan militan Hizbullah yang mengendarai sepeda motor. Sebaiknya jangan sampai terjebak di belakang salah satunya, ujarnya, kalau-kalau mereka meleset.

Namun serangan ini terasa berbeda. Empat jam kemudian, Yamout sedang mengunjungi seorang pasien lanjut usia yang menderita demensia ketika ledakan lain terjadi di dekatnya. Dia bergegas pulang, mengemasi tasnya, dan berkendara sejauh 55 mil ke utara menuju Beirut dengan anjingnya di sisinya. Kelima puluh orang dalam jemaatnya—hampir semuanya merupakan orang percaya Yesus yang berlatar belakang Islam—akhirnya menemukan jalan ke berbagai lokasi perlindungan, sekolah, gereja, atau bersama anggota keluarga. Satu kembali ke Irak.

Yamout tinggal bersama seorang teman di lingkungan Kristen di ibu kota.

“Sejujurnya, ini lebih aman,” katanya. “Saya tidak ingin melarikan diri lagi.”

Keesokan paginya, Yamout bangkit untuk menjadi sukarelawan di sebuah klinik yang terhubung dengan gereja Kurdi yang besar di Beirut. Pada hari Rabu, dia kembali ke Tirus bersama dua orang lainnya, berharap dapat menjadi relawan di Palang Merah.

Setelah menempuh perjalanan tujuh jam untuk mencapai Beirut dua hari sebelumnya, hanya butuh waktu kurang dari satu jam untuk kembali ke rumah di tengah pemandangan “apokaliptik”: mobil-mobil yang ditinggalkan di pinggir jalan dan setengah lusin bangunan yang membara di sisi kanan dan kiri.

Seketika, dia berbalik. Tirus menyerupai kota hantu, tanpa air, listrik, atau sinyal telepon seluler. Jalanan hampir kosong dari semua orang kecuali militan Hizbullah, tetapi dia tidak takut dengan lingkungan sekitar.

Ayahnya dipenjara dua kali karena penginjilan, dan properti gereja berulang kali dirusak. Namun selama bertahun-tahun, kata Yamout, Gereja Tirus berhasil memperoleh rasa hormat dari komunitasnya, dan jalan di mana gerejanya berada dikenal sebagai “Jalan Gereja.”

Namun tidak aman untuk tetap tinggal. Dua orang percaya tidur di pantai karena takut apartemen mereka akan diserang. Yamout mengisi mobil van berpenumpang 15 orang untuk kembali ke ibu kota bersama keluarga-keluarga jemaat gereja yang sebelumnya tidak dapat menemukan transportasi menuju tempat aman.

Pada hari Kamis, dia kembali melayani sebuah klinik di sebuah kota Kristen 50 mil di utara Beirut yang telah menerima banyak orang mengungsi dari Lembah Bekaa. Setiap hari rata-rata dia merawat 150 orang.

“Sekaranglah saatnya untuk membuka hati kita,” kata Yamout. “Kita mungkin tidak akan pernah mendapatkan kesempatan ini lagi.”

Lebanon memiliki konten Kristen di siaran udara dan gereja-gereja di seluruh negeri, tetapi banyak desa Lebanon dari semua sekte mengisolasi diri dari komunitas lain. Kaum Syiah selatan biasa yang hanya mengenal sedikit umat Kristen, kini mendapati diri mereka berlindung di wilayah Kristen. Mereka sangat trauma, kata Yamout, tetapi mereka tersenyum lebar ketika dia memberi tahu mereka bahwa dia juga dari Tirus dan meluangkan waktu untuk mendengarkan cerita mereka.

Pada setiap sekolah, Yamout bekerja sama dengan gereja lokal untuk menindaklanjuti siapa pun yang menunjukkan keterbukaan terhadap Injil. Dia menganjurkan agar berhati-hati saat memberikan keramahan karena beberapa anggota milisi mungkin akan menyelinap masuk. Namun, walaupun sebagian besar dari mereka kini tengah memerangi invasi darat Israel di perbatasan, orang-orang percaya mungkin menunjukkan kasih sayang kepada istri dan anak-anak militan. Selain mereka, ada ribuan warga Syiah Lebanon yang tidak terkait dengan Hizbullah yang bertemu dengan umat Kristen untuk pertama kalinya.

Sementara itu, di gereja desa pegunungan di mana Mustafa, Hussein, dan orang-orang “belum” Kristen lainnya berlindung, mereka dan keluarga mereka makan di sekitar meja plastik panjang yang didirikan di tempat parkir gereja. Mustafa berharap untuk kembali ke Tirus tetapi tidak ke kampung halamannya di Suriah—di sana terlalu berbahaya. Meski berada di tengah ketidakpastian mengenai tempat tinggal sementara yang tidak terbatas, dia merasa damai di Lebanon.

“Kami tidak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya,” katanya. “Hanya Tuhan yang tahu, dan kami percaya pada-Nya.”

Diterjemahkan oleh Denny Pranolo.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, TwitterInstagram, atau Whatsapp.

Theology

Saya Tersandung Saat Berusaha Menjadi Orang Samaria yang Murah Hati

Ketika kita membayangkan diri kita sebagai pahlawan, kita sering lupa akan kemanusiaan kita.

Christianity Today October 31, 2024
Ilustrasi oleh Hokyoung Kim

Menurut saya, banyak di antara kita membaca kisah tentang orang Samaria yang murah Hati tanpa memahami bahwa pesan utamanya secara tersurat adalah, “Jangan jadi orang yang menyebalkan.”

Cerita sekolah Minggu pun terungkap dalam pikiran kita. Seorang pria malang dan tak bersalah dipukuli secara brutal, dan siapa pun orang yang punya moral akan merasa ngeri. Imam dan orang Lewi melihatnya dan melewatinya, mereka memilih berjalan di seberang jalan. Kita merasa heran dengan perilaku mereka yang tidak berperasaan. Tentu saja ini bukan hal yang akan dilakukan oleh orang yang baik! Bagaimana mungkin mereka tega meninggalkan orang malang itu tergeletak di pinggir jalan? Kita secara tidak imajinatif memasukkan diri kita ke dalam cerita sebagai orang Samaria yang murah hati, dan yakin bahwa jika peristiwa ini terjadi dalam kehidupan nyata, kita tentu akan melakukan hal yang benar.

Saya sedang dalam perjalanan pulang ke rumah saya di daerah pedesaan pedalaman negara Afrika Timur Burundi, tempat saya tinggal dan bekerja sebagai dokter misionaris. Beberapa hari terakhir ini merupakan maraton pertemuan lintas budaya dan multibahasa yang menegangkan mengenai akreditasi internasional untuk sekolah kedokteran kami. Perjalanan pulang memakan waktu tiga jam, saya benar-benar kelelahan. Yang saya inginkan hanyalah bertemu keluarga dan berbagi makanan yang saat ini berada di lantai kursi penumpang.

Mobil saya melaju melewati jalan pegunungan sempit yang dipenuhi pohon pisang dan pohon kelapa. Perjalanan berbahaya ini, dengan turunan curam dan jarak pandang terbatas, merupakan teror selama beberapa tahun pertama saya tinggal di sini, tetapi sekarang hal itu sudah menjadi hal yang lumrah. Saat mengemudi, saya berdoa agar perjalanan pulang ini dapat meringankan sedikit beban yang saya rasakan.

Saat jalan berbelok lagi, saya melihat keributan di depan saya: Kaca pecah, sepeda motor hancur, dan orang-orang berkerumun di pinggir jalan. Dua pemuda menggotong sesosok tubuh menjauh dari sepeda motor yang tergeletak di aspal ke bahu jalan kerikil sempit yang menghadap ke jurang curam, orang yang satu memegang kaki dan yang satu lagi memegang lengan.

Saya menyadari kecelakaan ini baru saja terjadi beberapa saat yang lalu. Tiba-tiba saya dilanda badai keyakinan dan keraguan. Pada satu sisi saya ingin terus mengemudi. Lagipula, tidak seorang pun di tempat kejadian perkara akan tahu betapa besar kewajiban saya untuk membantu. Taruhannya pun tinggi. Saya harus pulang sebelum malam karena berkendara di malam hari tidak aman. Melibatkan diri bisa berarti diperas atau bahkan disalahkan atas kecelakaan itu. Satu-satunya hal yang membuat saya berhenti adalah sumpah yang saya ucapkan saat menjadi dokter, dan terus menyetir akan membuat sumpah itu tak berarti. Saya tahu betul kurangnya layanan darurat di daerah ini dan tidak ada bantuan lain.

Saya menepi dan keluar. “Saya dokter,” kata saya dalam bahasa Kirundi patah-patah. Saya berlutut di samping lelaki yang tak sadarkan diri itu, dengan luka besar di kepala, jejak darah kental mengarah ke tempat dia tergeletak di jalan. Saya perhatikan dia bernapas, pupil matanya bereaksi terhadap cahaya, dan denyut nadinya baik. Dia mungkin baik-baik saja jika dia sampai di rumah sakit.

“Apakah ada yang bisa berbahasa Prancis di sini?” saya bertanya kepada pemuda di sebelah saya. Beberapa detik kemudian, seorang pria berbeda muncul dari kerumunan dan menyapa saya dalam bahasa Prancis. “Apakah ada orang lain lagi yang terluka?” tanya saya.

Saat dia menunjuk ke arah kerumunan kecil yang berjarak 20 meter, saya heran mengapa saya belum menyadari suara ratapan keras yang datang dari arah itu. Saya berjalan ke sana. Seorang wanita muda berteriak saat saya memeriksa fraktur tibianya yang terbuka lebar. Cedera kakinya serius, tetapi dia jelas sadar dan bernapas dengan baik.

Saya sudah melakukan semua yang saya bisa di pinggir jalan. “Apa yang akan kamu lakukan?” tanya saya kepada pemuda yang bisa berbahasa Prancis itu. Wajahnya menunjukkan ekspresi ketidakberdayaan yang sangat familier—tidak punya kendaraan, tidak punya uang, dan tidak ada orang yang bisa dimintai tolong karena semua orang di sekitarnya mengalami hal yang sama.

Saya menyadari lagi bahwa mereka tidak menunggu layanan darurat apa pun. Mereka mungkin berharap bahwa taksi akan membawa seseorang ke suatu tempat dalam enam jam ke depan, tetapi itu bisa saja terlambat, terutama bagi pria yang tidak sadarkan diri itu.

“Dengar, saya bisa untuk membawa salah satu dari mereka ke rumah sakit di ujung jalan,” saya menawarkan.

“Bawa gadis itu!” jawab lelaki di samping saya segera.

“Pria itu lebih sakit,” bantah saya.

“Dia sudah meninggal.”

Ini jelas-jelas tidak benar dan saya mulai marah. “Dia masih bernapas!” Suara saya meninggi.

Lelaki itu menatap ke arah tubuh yang terbaring di jalan, seakan-akan baru pertama kali melihatnya. Dugaan saya, pengendara sepeda motor itu adalah orang asing bagi orang yang berkerumun dan perempuan yang terluka (tetapi tidak terlalu kritis) itu adalah seorang teman, bahkan mungkin anggota keluarga.

Saya mendesah. “Begini, biar saya coba meratakan jok mobil saya. Mungkin saya bisa mengantar keduanya.” Saya memindahkan tas, meratakan kursi RAV4 saya. Hanya ada cukup ruang bagi kedua orang yang terluka untuk berbaring dan bagi seorang kerabat laki-laki untuk berjongkok di samping wanita yang terluka. Kami berempat siap berangkat.

Saat ini, polisi setempat telah tiba di tempat kejadian. Saya mencoba menjelaskan urgensi membawa orang yang terluka ke rumah sakit. Namun petugas ingin saya tetap berada di tempat kejadian untuk memberikan semacam pernyataan dan menyampaikan informasi kontak saya. Saya benar-benar tidak ingin terlibat dalam urusan polisi setempat. Akhirnya, saya membujuk mereka agar membiarkan saya pergi, dan saya bergegas melanjutkan perjalanan dengan mobil yang penuh dengan orang.

Orang yang bisa bahasa Prancis menghentikan saya. “Jangan pergi ke rumah sakit terdekat. Tolong. Tolong bawa mereka kembali ke kota, ke rumah sakit yang lebih baik.” Kembali ke kota berarti saya tidak akan bisa pulang sebelum matahari terbenam seperti yang direncanakan. Namun, saya tahu dia benar. Saya sudah pernah ke rumah sakit terdekat, dan mereka tidak bisa membantu. Dia memberi tahu saya rumah sakit mana yang harus mereka kunjungi. Saya tahu tempat itu, dan saya setuju.

Saat dalam perjalanan ke sana, saya mulai sadar bahwa kami tengah memerankan kisah orang Samaria yang murah hati. Ada orang-orang yang terluka di pinggir jalan, dan saya dihadapkan pada pilihan, apakah melewatinya seperti orang lain atau membawa mereka ke rumah sakit. Kemiripannya sungguh mencolok, jadi mengapa saya tidak menyadarinya sebelumnya?

Pada satu sisi, rasanya sama sekali tidak seperti yang saya bayangkan. Saya sangat marah, takut, dan lelah. Perempuan yang berada di belakang terus berteriak, “Saya sekarat!” dalam bahasa Kirundi, dan saya ingin berteriak balik padanya bahwa teriakannya tidak membantu apa pun.

Mengapa hari ini? Saya sudah sangat lelah. Dalam pikiran saya, orang Samaria yang murah hati adalah orang yang tidak bernama, tanpa beban, dan tidak ada keperluan mendesak untuk mengurus urusannya sendiri, karena dia tidak menyebutkan semua itu. Saya melihat kemurahan hatinya tetapi berasumsi itu datang dari sudut pandang yang tidak saya miliki. Kalau saja saya punya waktu sebanyak itu, saya akan bereaksi dengan ramah seperti dia. Namun, bagaimana jika orang sungguhan benar-benar berada dalam situasi tersebut?

Mungkin mengikuti orang Samaria yang murah hati berarti menyadari bahwa kita harus menyertakan beban kita, kelelahan kita, dan bahkan kebutuhan kita ke dalam cerita.

Ilustrasi oleh Hokyoung Kim

Perjalanan menuruni gunung itu mengerikan. Pada kursi belakang ada orang asing yang terluka parah dan waktunya mungkin tidak lama lagi. Saya juga menghadapi jalan berliku yang berbahaya dengan bahu jalan yang sempit, banyak lubang, pejalan kaki dan pengendara sepeda yang berbagi jalur, serta truk yang melaju menuruni gunung dengan kecepatan sepuluh kilometer per jam. Berusaha untuk terburu-buru di jalan ini membuat perjalanan yang biasanya penuh risiko menjadi gila sehingga saya harus secara sadar melambat. Pada satu titik, saya menginjak rem mendadak, dan kap mobil saya masuk di bagian bawah belakang truk gandeng. Saya menarik napas dalam-dalam dan mulai berdoa dengan suara keras dalam bahasa Inggris untuk meredam teriakan perempuan yang ada di belakang.

Saya berpikir tentang risiko. Mengemudi sambil membawa orang-orang ini di mobil saya bisa saja berarti terlibat dengan polisi setempat, yang pernah terjadi sebelumnya dan benar-benar ingin saya hindari. Turun gunung dengan cepat bisa berarti membahayakan nyawa saya sendiri. Salah seorang teman saya bercerita tentang pengalamannya mengemudi menuju bandara pada malam hari dan melihat sesosok mayat tergeletak di pinggir jalan. Saat dia bertanya-tanya apakah dia harus berhenti, dia teringat cerita bahwa itu adalah jebakan untuk membuat orang berhenti sehingga mereka bisa diserang dan dirampok. Dia terus melaju. Saya benar-benar mengerti.

Setiap implikasi ini mendapat tempat yang tepat dalam perumpamaan tersebut. Apakah orang Samaria itu takut ditipu? Masuk akal kalau dia berpikir demikian. Apakah dia akan terlibat dengan penegak hukum setempat karena berusaha membantu? Saya selalu berasumsi bahwa penginapan itu berada di jalan yang sama, tetapi mungkin orang Samaria itu harus kembali ke jalan yang sama seperti saya dan dengan demikian menempatkan dirinya pada bahaya yang tidak kecil ketika bepergian di malam hari.

Kehidupan saya di Burundi memberi saya banyak informasi untuk menilai situasi. Apa yang mungkin terjadi pada saya atau orang lain jika saya terlibat? Apa manfaatnya jika saya terlibat? Berhati-hati memang bijaksana, tetapi risiko itu sendiri tidak dapat berarti bahwa kita tidak terpanggil untuk masuk ke dalam cerita tersebut. Mungkin meneladani orang Samaria yang murah hati juga berarti menerima bahwa beberapa risiko—bukan sekadar bayar harga atau ketidaknyamanan—pasti akan mengikuti.

Dengan lega, saya tiba di kota dan menuju ke rumah sakit. Saya masuk melalui gerbang dan akhirnya menemukan area darurat. Saya memarkir mobil dan melompat keluar, menghentikan pria pertama yang saya lihat berpakaian seragam perawat.

“Ada dua pasien dengan cedera trauma di mobil saya. Seorang pria pingsan dengan luka di kepala dan seorang wanita dengan fraktur tibia terbuka.”

Dia menatap balik ke arah saya. Saya mencoba lagi, tetapi tidak berhasil. Setelah beberapa menit, dokter yang tampaknya bertugas pun keluar. Saya segera membawanya ke mobil dan membuka pintu belakang. Pria itu masih pingsan. Wanita itu tampak lebih tenang sejenak, bersandar pada kerabatnya yang berjongkok di sebelahnya. Saya sedang mencari tandu atau kursi roda. Saya tidak mengerti mengapa, setelah saya mempertaruhkan nyawa dengan bergegas menuruni gunung, tidak ada seorang pun yang bertindak.

Dokter mulai mengobrol dengan tenang dengan orang-orang yang sadar di mobil saya. Saya mengerti kalau dia bertanya tentang uang. Dia mendecakkan lidahnya dengan penuh penyesalan lalu menoleh pada saya. “Ah, jadi, ada masalah. Mereka tidak punya uang. Jadi kita tidak bisa merawat mereka.”

Ini pada dasarnya adalah rumah sakit swasta, dan saya paham bahwa rumah sakit tidak dapat tetap bertahan tanpa pendapatan untuk menutupi pelayanannya. Terlepas dari apakah pembayaran diharapkan atau tidak, saya tidak pernah membayangkan seorang dokter akan kehilangan motivasi untuk menolong orang dalam situasi darurat seperti ini. Sekarang saya sadar mengapa tak seorang pun mengeluarkan orang-orang yang terluka itu dari mobil saya. Rumah sakit ingin memastikan bahwa saya akan membawa mereka pergi lagi.

Saya mencoba untuk menggunakan posisi saya. Saya menjelaskan peran saya dalam kepemimpinan medis di daerah tersebut dan bertanya apakah dia setuju jika saya menelepon atasannya dan menceritakan apa katanya. Dia menatap saya dengan tatapan yang terlalu tenang, seperti seseorang yang melakukan percakapan ini setiap hari. “Tentu saja,” katanya.

“Baiklah, ke mana saya bisa membawanya?”

“Saya tidak tahu.”

“Bisakah saya membawa mereka ke rumah sakit lain di ujung jalan?”

“Saya tidak tahu.”

Saya membanting pintu bagasi, masuk ke mobil, dan melaju keluar gerbang tanpa berkata apa-apa lagi.

Ini bukan yang saya harapkan. Tugas saya adalah membawa orang-orang ini ke rumah sakit, di mana kemurahan hati saya akan dihargai dan orang lain akan meneruskan sisanya. Namun, yang terjadi kebalikannya—dan itu bukan karena saya memilih seperti itu, saya terjebak di dalamnya.

Mungkinkah hal ini terjadi pada orang Samaria yang murah hati? Saya selalu membayangkan pemilik penginapan tersenym menyambutnya, tetapi waktu melihat orang tidak dikenal dalam keadaan kritis, siapa yang mau menerimanya, walaupun dia membayar biaya pengobatannya? Apakah itu penginapan yang pertama kali dicoba oleh orang Samaria yang murah hati itu, atau dia harus berkeliling dan mengemis selama beberapa saat? Bagaimana jika ia mencoba penginapan lain dan ternyata mereka tidak menginginkan pria yang berdarah dan tidak sadarkan diri yang mungkin akan membuat tamu-tamu mereka takut (seperti imam dan orang Lewi)? Bagaimana jika tidak ada seorang pun kecuali orang Samaria yang peduli apakah orang yang terluka itu hidup atau mati?

Saat kompleksitas menjalani kisah tersebut terungkap, saya makin menyadari bahwa meneladani orang Samaria yang murah hati berarti menyelami lebih dalam dan merasa lebih sendirian daripada yang saya bayangkan.

Pada ujung jalan, saya tiba di rumah sakit lainnya. Saya bahkan tidak dapat menemukan ruang gawat darurat kalau tidak dibantu. Itu adalah bangunan kecil di belakang kampus, seperti bangunan yang sudah berusia 30 tahun. Begitu sampai, saya bertanya-tanya seperti apa sambutannya nanti. Saya berjalan ke IGD, meminta perawat untuk keluar ke mobil saya. Saya menjelaskan situasinya saat sekelompok kecil orang berkumpul. Perawat itu melihat ke belakang mobil dan menghilang ke UGD tanpa berkata apa-apa lagi. Saya tidak yakin apa yang sedang terjadi.

Setidaknya 10 menit kemudian, sebuah tandu muncul, dan wanita yang terluka itu naik ke atasnya. Dia menghilang ke dalam rumah sakit bersama anggota keluarga yang datang bersamanya. Satu-satunya yang tersisa adalah lelaki yang masih pingsan. Dia masih bernapas, dan saya senang melihat dia mulai mengerang sedikit. Malu rasanya, saya terus berpikir saya hampir bebas dari beban ini.

Seorang wanita yang berdiri di dekatnya bertanya, “Apa hubungan Anda dengan orang-orang ini?”

“Saya tidak kenal. Saya hanya sedang lewat, dan mereka harus pergi ke rumah sakit.”

“Tuhan memberkati Anda.”

Saya hanya ingin menangis.

Setelah tandu kembali dan pria itu dinaikkan ke atasnya, saya meminta untuk bertemu dengan anggota keluarga yang ikut bersama saya. Saya ingin memberinya sedikit uang secara diam-diam untuk menutupi sejumlah biaya awal, tetapi saya khawatir dia akan menggunakan semuanya untuk kerabatnya dan mengabaikan laki-laki itu.

Akhirnya saya memutuskan untuk memberi bantuan secara terang-terangan dan menghindari diskusi panjang tentang berapa banyak uang yang dia butuhkan. Pertama-tama saya masuk ke kursi pengemudi supaya tidak ditanya-tanya, kemudian saya menurunkan kaca jendela. Saya mengeluarkan sejumlah uang supaya orang itu dan orang banyak yang ada di sekitar dapat melihatnya. “Separuhnya untuk kerabat perempuanmu, separuhnya lagi untuk pria itu.” Seseorang yang tidak dikenal di antara kerumunan itu angkat bicara dan mengatakan bahwa dia mengerti dan semua orang di sini melihat bahwa pria ini perlu menghabiskan setengah uang tersebut untuk pengendara sepeda motor itu. Saya mengangguk sebentar, menyerahkan uang kepada saudara korban itu, lalu pergi.

Saya berpikir tentang bagaimana orang Samaria yang murah hati berjanji untuk kembali dan menanggung semua biaya tambahan. Rumah saya tiga jam perjalanan dari sana dan saya juga punya pasien yang harus diurus. Saya kira orang Samaria yang murah hati mungkin juga memiliki tanggung jawab sebesar itu. Bagaimana pun, saya tidak punya niat untuk kembali.

Ilustrasi oleh Hokyoung Kim

Perjalanan pulang terasa menegangkan saat malam tiba, tetapi untungnya tidak terjadi apa-apa. Saat saya melewati lokasi kecelakaan, saya mencoba melindungi wajah saya. Saya pikir orang banyak (yang masih ada di sana) mungkin mengenali saya, tetapi saya terus melaju.

Saya baru tiba di rumah larut malam, menjatuhkan diri ke sofa, ingin menangis tetapi merasa terlalu terbebani. Apa yang baru saja terjadi? Saya tidak begitu yakin. Penilaian medis saya adalah bahwa kehidupan beberapa orang mungkin telah berubah, tetapi mencoba meneladani orang Samaria yang murah hati benar-benar berbeda dari apa yang saya bayangkan.

“Siapakah sesamaku manusia?” tanya orang itu kepada Yesus yang memicu seluruh cerita. Pergilah dan jadilah sesama manusia, demikian Yesus menyimpulkan (Luk. 10:25–37).

Cerita ini menyakitkan. Sumur emosional saya nyaris kosong ketika seluruh masalah itu dimulai, dan saya akhirnya mengerti maknanya. Saya akan memutuskan untuk terlibat hingga titik tertentu, dan setiap kali saya mencapai titik itu, saya diminta untuk melangkah lebih jauh, lagi dan lagi.

Namun, seperti yang dinyatakan Martin Luther King Jr. dalam pidatonya “Saya Telah ke Puncak Gunung,” imam dan orang Lewi bertanya, “Jika saya berhenti untuk menolong orang ini, apa yang akan terjadi pada saya?” Orang Samaria bertanya, “Jika saya tidak berhenti untuk menolong orang ini, apa yang akan terjadi padanya?” Perumpamaan ini mengajak kita untuk berhenti berfokus pada diri sendiri dan berkorban bagi orang lain. Mengasihi berarti berkorban, dan pengorbanan itu menyakitkan.

Itu bukan sesuatu yang heroik. Sebaliknya, itu adalah kekacauan. Campur aduk antara beban saya sendiri dan beban tak terduga dari orang lain. Risiko yang tidak dapat dikurangi yang muncul ketika memasuki situasi yang penuh kekerasan dan membutuhkan. Pengalaman sepi yang merenggut lebih banyak hal dari yang saya harapkan.

Namun itulah gambaran sebenarnya dari perumpamaan tersebut. Sebelum pengalaman ini, jika Anda bertanya seandainya saya dihadapkan pada situasi yang sama seperti orang Samaria yang murah hati, saya kira saya akan melakukan hal yang sama, meski dengan ragu-ragu.

Namun sekarang saya bisa melihat kalau sebelumnya itu asumsi yang keliru. Saya berasumsi kesempatan untuk berkorban seperti itu akan datang di saat yang, jika tidak sempurna, mungkin optimal atau setidaknya tidak terlalu merepotkan. Saya berasumsi bahwa pemilik penginapan akan menyambut saya dengan senyuman dan orang lain akan bersatu untuk bekerja sama. Saya berasumsi biayanya akan lebih bersifat finansial daripada emosional. Saya berasumsi bahwa melangkah dalam ketaatan, meskipun sulit, akan berakhir dengan perasaan puas, seperti napas berat dan keringat yang keluar di akhir latihan yang baik.

Akan tetapi yang terjadi tidak seperti itu. Sebagai seorang dosen kedokteran di salah satu negara termiskin di dunia, saya dapat katakan bahwa biaya emosional itu tinggi, entah Anda berupaya menolong satu atau dua orang di pinggir jalan atau menangani masalah sistemik yang mengakibatkan orang-orang terluka di pinggir jalan. Berusaha keras untuk melakukan perubahan sistem dari hulu seperti itu merupakan hal yang bijaksana tetapi juga berantakan.

Krisis datang saat kita berdoa agar hal itu tidak terjadi, dan risiko serta dampaknya mungkin meningkat jauh melampaui perkiraan kita saat kita semakin terseret ke dalam kekacauan.

Saya sering teringat akan dampak-dampak ini, saat saya melihat darah kering yang tidak bisa saya bersihkan dari jok RAV4 kami. Namun kekacauan dan sakit hati inilah yang sebenarnya menjadi inti cerita.

Jika saya dapat kembali dan melakukannya lagi, saya akan mengingatkan diri sendiri tentang beberapa perkataan Yesus lainnya yang tidak pernah terlintas dalam pikiran saya di hari itu. Yesus memberi tahu kita dalam Matius 25:40 bahwa melayani orang yang membutuhkan berarti melayani Dia. Dia ada di bagasi saya, tak sadarkan diri. Dia hadir saat perempuan itu berteriak.

Pengorbanan saya sebenarnya adalah kesempatan untuk membopong Tuhan berkeliling kota sampai menemukan tempat yang cocok.

Jangan kita menunggu momen imajiner ketika keadaan dan suasana hati bertemu. Marilah kita menerima cedera yang tak terelakkan di dunia kita yang jatuh ini sebagai kesempatan yang menyakitkan tetapi penuh berkat.

Marilah kita bersama-sama mengevaluasi risiko kasih Kristen dan saling mendukung dalam penderitaan kita. Marilah kita mengingat bahwa Tuhan kita hadir di tengah mereka yang membutuhkan—dan di dalam diri kita, meskipun kita sendiri tidak mampu.

Eric McLaughlin adalah seorang dokter misionaris di Burundi dan penulis Promises in the Dark: Walking with Those in Need Without Losing Heart.

Diterjemahkan oleh Denny Pranolo.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, TwitterInstagram, atau Whatsapp.

Ideas

Apakah Fungsi Orang Tua?

Alkitab memiliki visi yang jelas bagi orang tua sebagai penatalayan anak-anak kita. Ini bukan buku petunjuk bagi perdebatan pola asuh orang tua masa kini.

Christianity Today October 31, 2024
Ilustrasi oleh Elizabeth Kaye / Sumber Gambar: Getty / Wikimedia Commons

Dalam kumpulan esainya tahun 1990, Wendell Berry merenungkan pertanyaan “Untuk apa manusia diciptakan?” Jawabannya, sesuai dengan gaya Berry, adalah serangkaian jawaban yang rumit dan indah yang berkontribusi pada perkembangan manusia.

Perkembangan itu terkait dengan kemakmuran lingkungan sekitar kita, dan jawaban ini juga memiliki akar teologis yang dalam. Janji-janji Tuhan dalam Perjanjian Lama berulang kali berkisar pada memberkati tanah dan manusia secara bersama-sama, bukan secara terpisah. Kita tumbuh subur bila ditanam, berakar, dan dipelihara bersama-sama dengan orang lain di sekitar kita. Yang terutama, kita tumbuh subur ketika berakar bukan hanya dalam komunitas manusia tetapi juga dalam relasi dengan Tuhan.

Dari premis bahwa manusia diciptakan untuk berkembang, kita dapat mengajukan pertanyaan yang sama tentang peran manusia yang spesifik, seperti peran orang tua: “Apa fungsi orang tua?” Pedoman apa yang ditawarkan Alkitab untuk menjawab pertanyaan ini?

Masa pencarian saya atas pertanyaan tersebut bukanlah suatu kebetulan. Selama beberapa tahun terakhir, saya telah menyaksikan cacian kejam dalam kalangan Kristen terhadap orang tua Kristen yang mendukung sekolah umum dan mereka yang memilih sekolah rumah.

Perang tentang pola asuh anak lainnya tidak pernah ada habisnya, baik di dalam gereja maupun di luar gereja. Grup Facebook tentang pengasuhan anak telah menjadi terkenal karena semua alasan yang salah. Grup ini adalah tempat untuk mencaci dan dicaci atas setiap pilihan pengasuhan yang dapat dibayangkan: Menyusui ASI atau botol, pakai Tylenol (obat penghilang rasa sakit) atau tidak, bertanding olah raga di tempat yang jauh atau hanya pertandingan lokal. Para penentang vaksin yang vokal bertemu dengan para pejuang obat cacing di akhir pekan, bertemu dengan para penganut makanan mentah alami, dan masih banyak lagi—setiap orang yakin bahwa jawaban mereka sendiri tidak hanya akan menyelamatkan anak-anak mereka tetapi juga dunia.

Pertemuan itu akan menjadi lucu, kecuali kecemasan itu begitu nyata hingga siapa pun tidak dapat menertawakannya. Tidak ada campuran minyak esensial yang dapat membantu mengatasi hal ini.

Saya berpendapat bahwa, seperti banyak masalah lain yang kita hadapi, akar masalah ini adalah teologis. Kita telah kehilangan pandangan akan imajinasi teologis yang nyata untuk memahami tujuan orang tua. Itulah yang terjadi pada gereja dan masyarakat kita yang lebih luas dewasa ini, dan kita menjadi semakin buruk karenanya.

Memang benar, Alkitab bukanlah buku petunjuk yang sangat rinci—Anda tidak bisa begitu saja membuka indeks, mencari “sekolah umum” atau “vaksinasi” atau “pilihan popok,” dan mencari tahu dengan pasti apa yang telah Tuhan tetapkan pada setiap isu tertentu. Jika itu yang ingin kita temukan, bahkan secara tidak sadar, maka ada masalah lain di dalam diri kita. Artinya, kita memandang pengasuhan anak sebagai serangkaian tugas yang terinstrumentalisasi—memberi makan, memandikan, mengantar ke berbagai kegiatan—dan melupakan visi yang lebih besar, panggilan sejati untuk tujuan yang jauh lebih besar daripada daftar tugas apa pun.

Kebetulan, Alkitab menawarkan visi seperti itu: Orang tua dipanggil untuk menjadi penatalayan anak-anak kita. Baik kita yang melahirkan anak-anak ini sendiri atau mengadopsi atau mengasuh mereka, kita menerima mereka sebagai pemberian hanya untuk waktu yang singkat. Selama waktu ini, kita hanyalah penatalayan yang ditunjuk oleh Tuhan untuk memegang amanah harta yang telah diberikan kepada kita: Penyandang gambar Allah dengan jiwa yang kekal! Pada akhir masa pertumbuhan mereka, dalam sebagian besar kasus, mereka pun menuju ke masa dewasa.

Namun—dan ini kuncinya—meskipun ajaran Alkitab tentang visi keseluruhan ini jelas, kita juga melihat berulang kali bahwa ada lebih dari satu cara untuk menjadi penatalayan yang setia.

Dalam salah satu bagian yang paling menyentuh, bagian pembukaan doa Shema dan petunjuk yang mengikutinya dalam Ulangan 6:4–25, kita belajar tentang kewajiban orang tua untuk senantiasa mengajar anak-anak kita tentang Tuhan, di rumah maupun di luar rumah, saat duduk maupun berbaring, dan saat berjalan sepanjang hari. Anak-anak yang dibesarkan dalam rumah tangga seperti itu akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan rohani yang sungguh-sungguh:

“Apabila di kemudian hari anakmu bertanya kepadamu: Apakah peringatan, ketetapan dan peraturan itu, yang diperintahkan kepadamu oleh TUHAN Allah kita? maka haruslah engkau menjawab anakmu itu: Kita dahulu adalah budak Firaun di Mesir, tetapi TUHAN membawa kita keluar dari Mesir dengan tangan yang kuat. TUHAN membuat tanda-tanda dan mujizat-mujizat, yang besar dan yang mencelakakan, terhadap Mesir, terhadap Firaun dan seisi rumahnya, di depan mata kita; tetapi kita dibawa-Nya keluar dari sana, supaya kita dapat dibawa-Nya masuk untuk memberikan kepada kita negeri yang telah dijanjikan-Nya dengan sumpah kepada nenek moyang kita. TUHAN, Allah kita, memerintahkan kepada kita untuk melakukan segala ketetapan itu dan untuk takut akan TUHAN, Allah kita, supaya senantiasa baik keadaan kita dan supaya Ia membiarkan kita hidup, seperti sekarang ini. Dan kita akan menjadi benar, apabila kita melakukan segenap perintah itu dengan setia di hadapan TUHAN, Allah kita, seperti yang diperintahkan-Nya kepada kita.” (Ul. 6:20–25)

Kita melihat di sini bahwa adalah tugas kita sebagai orang tua untuk terus mengajar anak-anak kita tentang Tuhan pada setiap kesempatan yang kita dapatkan. Merupakan tugas kita juga untuk bersiap menjawab pertanyaan-pertanyaan teologis yang mendalam dari anak-anak kita ketika pertanyaan-pertanyaan tak terhindarkan itu muncul.

Tanpa adanya pengajaran dari orang tua, seperti yang tersirat dalam ayat tersebut, bagaimana generasi berikutnya dapat mengetahui apa pun tentang Allah? Hal ini membuat tugas pendidikan teologi dan pembinaan rohani yang dipercayakan kepada orang tua menjadi semakin mendesak dan perlu. Hilangnya kebenaran teologis yang penting selalu hanya berjarak satu generasi.

Proses memberi tahu anak-anak tentang Tuhan melalui setiap aktivitas yang dapat dibayangkan merupakan bagian dari apa yang sekarang kita sebut pemuridan. Meskipun pengajaran langsung juga diperintahkan, teladan kehidupan Kristen ini lebih banyak ditangkap daripada diajarkan. Dengan kata lain, melalui kehidupan sehari-hari dalam keluarga, anak-anak belajar mengikuti Yesus. Waktu-waktu tertentu yang dikhususkan untuk hal-hal yang bersifat rohani saja tidaklah cukup.

Tentu saja, cara lain untuk melihatnya adalah bahwa seluruh kehidupan keluarga itu sendiri adalah waktu khusus yang ditetapkan untuk pemuridan. Setiap momen kehidupan adalah milik Tuhan, dan kita sebagai orang tua harus mencontohkan kebenaran ini. Pemuridan seperti itu adalah cara kita menjalankan panggilan kita untuk menjadi penatalayan yang setia bagi anak-anak kita.

Allah memiliki harapan yang tinggi dari mereka yang diberi kepercayaan-Nya, 1 Korintus 4:2 mengingatkan kita. Perumpamaan dalam Matius 25:14-30 menguraikannya lebih lanjut. Dalam kisah ini, Yesus menceritakan tentang seorang tuan yang mempercayakan sejumlah talenta yang berbeda kepada tiga hamba yang berbeda—masing-masing “menurut kesanggupannya.” Dua di antaranya menginvestasikan dananya dan mendapat laba, sehingga mendapat pujian dan penghargaan lebih lanjut. Akan tetapi yang ketiga hanya menyembunyikan talenta itu di dalam tanah dan mengembalikannya kepada tuannya sebagaimana ia menerimanya, tanpa keuntungan apa-apa. Dia pun mendapat teguran keras atas kemalasannya.

Dipresentasikan melalui serangkaian cerita yang menerangi kerajaan Allah, perumpamaan ini bukan tentang keutamaan investasi keuangan yang bijaksana. Sebaliknya, investasi yang sesungguhnya adalah pada manusia. Para penatalayan adalah orang yang—atau seharusnya—membagikan dan mengembangkan pengetahuan mereka tentang Allah. Itu termasuk para orang tua yang mengajar anak-anak kita melalui perkataan dan teladan, mempersiapkan mereka agar menjadi orang percaya yang bijaksana.

Bagian lain dari Alkitab juga menggambarkan harapan tinggi yang Allah miliki bagi para penatalayan yang dipercayakan dengan tanggung jawab serius. Namun, Matius 25 juga menjelaskan bahwa ada lebih dari satu cara untuk menjadi penatalayan yang baik. Tidak semua penatalayan yang terpuji mengambil keputusan yang sama, namun selama mereka masing-masing dengan bijaksana menginvestasikan harta yang diberikan kepada mereka, sang tuan merasa senang.

Tentu saja, kita juga dapat mencatat banyaknya kisah malang dari orang tua dan anak-anak di seluruh isi Alkitab. Kisah-kisah tersebut merupakan contoh apa yang terjadi ketika orang tua tidak mendidik anak dengan baik.

Ini adalah tema utama dari Kitab 1 dan 2 Raja-raja, di mana raja-raja Israel kuno berulang kali tampak menjadi ayah yang mengerikan yang mengabaikan pendidikan rohani anak-anak mereka, mengabaikan anak laki-laki mereka kecuali ketika mempertimbangkan potensi mereka sebagai ahli waris. Hasilnya adalah munculnya satu demi satu raja yang membawa bencana, yang melakukan kegagalan bukan hanya dalam hal rohani melainkan juga dalam hal duniawi. Dalam setiap kasus tersebut, Alkitab menggambarkan kegagalan rohani dan relasional dalam keluarga. Masalahnya bukanlah pada jenis pilihan pengasuhan yang membuat kita berdebat: gaya pendidikan, tim olahraga, atau pola makan.

Saya telah menulis sebelumnya mengenai preferensi kuat yang saya miliki terhadap anak-anak saya, yang merupakan para penyandang gambar Allah yang mana secara pribadi saya dipanggil untuk menatalayani dan membimbing mereka bersama suami saya. Namun, pilihan investasi saya bukanlah apa yang akan dipilih oleh setiap penatalayan baik dan setia lainnya, dan orang tua Kristen memiliki hak dan tanggung jawab—baik secara rohani maupun hukum—untuk membuat pilihan investasi tersebut bagi diri mereka sendiri, dengan dipandu oleh doa, Kitab Suci, dan nasihat yang bijak sebagaimana dibutuhkan.

Pemahaman akan pujian dari Allah bagi para penatalayan dengan strategi investasi yang berbeda-beda ini seharusnya mendamaikan kita dengan perbedaan dalam keputusan pola asuh dan pendidikan di antara orang Kristen yang percaya Alkitab. Kita tidak perlu mengelola dengan cara yang sama persis untuk menjadi hamba yang setia.

Nadya Williams adalah penulis Cultural Christians in the Early Church dan Mothers, Children, and the Body Politic: Ancient Christianity and the Recovery of Human Dignity (IVP Academic, 2024).

Diterjemahkan oleh Mellie Cynthia.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, TwitterInstagram, atau Whatsapp.

News

Pemberita Injil Tionghoa Indonesia Menerima Penghargaan Kuyper dari Calvin

Stephen Tong memperkenalkan teologi Reformed kepada dunia berbahasa Mandarin.

Stephen Tong an Indonesian Evangelist to the Chinese

Stephen Tong

Christianity Today October 23, 2024
Edits by CT / Source Image: Aquilaa1 / WikiMedia Commons

Calvin University dan Calvin Theological Seminary akan memberikan penghargaan Kuyper Prize 2025 kepada pemberita Injil dan pendeta yang berbasis di Jakarta, Stephen Tong.

Penghargaan ini, yang dinamai sesuai nama teolog dan politikus Belanda, Abraham Kuyper, diberikan kepada cendekiawan atau pemimpin masyarakat yang kontribusinya mencerminkan “ide dan nilai yang menjadi ciri dari visi Neo-Calvinis Kuyper terkait keterlibatan agama dalam hal-hal yang penting secara sosial, politik, dan budaya.”

Berbasis di Indonesia, Stephen Tong yang berusia 84 tahun ini terkenal di dunia berbahasa Mandarin karena kampanye penginjilannya yang besar dan memperkenalkan banyak orang pada teologi Reformed. Menurut situs webnya, beliau telah berkhotbah kepada 37 juta orang di seluruh dunia dalam 66 tahun pelayanannya. Ia mendirikan Stephen Tong Evangelistic Ministries International (STEMI) pada tahun 1978, membuka kantor di banyak tempat di dunia untuk mendukung upaya penginjilannya.

“Saya merasa sangat terhormat dan terharu menerima penghargaan ini,” kata Tong dalam sebuah pernyataan. “Satu-satunya kerinduan saya adalah melayani Tuhan dan menyebarkan kebenaran-Nya kepada bangsa-bangsa.”

Stephen Tong lahir di Xiamen, Tiongkok, tetapi keluarganya melarikan diri ke Indonesia selama revolusi Komunis Tiongkok. Pada tahun 1989, ia mendirikan Gereja Reformed Injili Indonesia, yang masih ia gembalakan hingga kini. Kompleks gereja besar yang dirancang sendiri oleh beliau itu terletak di kota Jakarta yang ramai, tempat di mana 84 persen penduduknya beragama Islam. Kompleks gereja tersebut meliputi tempat ibadah yang dapat menampung 6.500 orang, aula konser, galeri seni, seminari, dan sekolah Kristen dari tingkat SD hingga SMA. Stephen Tong juga telah menggubah lebih dari 200 himne.

Dalam kampanye penginjilannya di Asia dan di seluruh dunia, beliau kerap memasukkan sejarah Tiongkok, filsafat Barat, dan teologi Reformed ke dalam khotbah-khotbahnya serta menjawab pertanyaan-pertanyaan dari para hadirin. Ia juga seorang kritikus vokal terhadap Partai Komunis Tiongkok. Meskipun Tiongkok telah melarangnya memasuki negara tersebut, pesan-pesan beliau telah menyebar di kalangan umat Kristen di Tiongkok, awalnya melalui rekaman suara dan baru-baru ini di internet.

“Dedikasi Pendeta Stephen Tong seumur hidup terhadap penginjilan telah memberikan dampak yang sangat besar bagi jutaan orang di seluruh dunia,” kata Greg Elzinga, presiden Calvin University, yang baru saja diumumkan sebagai presiden ke-13 universitas tersebut. “Komitmennya yang teguh untuk menyebarkan Injil, terutama di wilayah-wilayah di mana kekristenan sering kali menghadapi tantangan, merupakan bukti yang luar biasa dari iman dan visi beliau.”

Penerima Penghargaan Kuyper sebelumnya termasuk pengusaha Sid Jansma Jr., seniman Makoto Fujimura, teolog Kolombia Ruth Padilla DeBorst, pengacara Rachel Denhollander, kolumnis David Brooks, pendeta dan aktivis hak-hak sipil John Perkins, dan Daniel Bourdanné, mantan sekretaris jenderal International Fellowship of Evangelical Students (IFES), yang wafat pada September lalu.

Pada tahun 2017, Princeton Theological Seminary membatalkan keputusannya untuk memberikan Penghargaan Kuyper kepada Tim Keller menyusul kontroversi mengenai pandangannya tentang perempuan dalam kepemimpinan pastoral dan pendeta LGBT. Sejak itu, penghargaan tersebut diselenggarakan oleh Calvin.

Tim Keller dan Stephen Tong pernah sama-sama menjadi pembicara di sebuah konferensi untuk para pemimpin gereja Tiongkok yang diadakan di Kuala Lumpur, Malaysia, pada tahun 2020. Pembahasan di konferensi itu difokuskan pada bagaimana Injil berhubungan dengan budaya, khususnya ketekunan di tengah penganiayaan. Kemudian, lima orang Kristen Tionghoa ditangkap karena menghadiri konferensi tersebut.

Pemenang Penghargaan Kuyper terdahulu, Richard Mouw, mencatat penyebaran teologi Kuyper secara global.

“Gerakan Kuyperian, yang dulunya terbatas pada kelompok-kelompok Calvinisme Belanda di Amerika Utara dan Belanda, kini telah berkembang secara internasional,” kata presiden emeritus Fuller Seminary itu. “Pekerjaan yang serius terhadap pemikiran Kuyper kini sedang berlangsung, misalnya, di daratan Tiongkok.”

Diterjemahkan oleh Maria Fennita S.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, TwitterInstagram, atau Whatsapp.

News

Laporan Lausanne: Sebagian Besar Misionaris Menjangkau yang Sudah Terjangkau

Laporan Keadaan Amanat Agung (The State of the Great Commission) menelaah tantangan dan peluang di tengah lanskap misi yang terus berubah.

Christianity Today September 27, 2024
Courtesy of The Lausanne Movement / Photography by Grace Snavely

Saat ini, lebih dari 40 persen orang dunia belum diinjili. Namun sekitar 97 persen dari total 450.000 misionaris Kristen di dunia saat ini diutus kepada orang-orang yang sudah memiliki akses kepada Injil.

Fakta mengejutkan lainnya: Pada tahun 1900, lebih dari 80 persen umat Kristen di dunia tinggal di Eropa atau Amerika Utara, tetapi saat ini hanya sekitar 25 persen yang tinggal di wilayah-wilayah tersebut. Sisanya tinggal di belahan bumi selatan, yang meliputi Afrika, Asia, Amerika Latin, dan Oseania.

Pergeseran geografis dalam kekristenan juga berarti perubahan di negara asal para misionaris. Amerika Serikat masih mengirimkan jumlah misionaris terbesar, tetapi empat negara berikutnya adalah Brasil, Korea Selatan, Filipina, dan Nigeria.

Ini adalah beberapa temuan dari Laporan Keadaan Amanat Agung yang dirilis oleh Gerakan Lausanne awal tahun ini, sebelum Kongres Lausanne Keempat di Incheon, Korea Selatan. Laporan ini didasarkan pada penelitian dari lembaga nirlaba dan organisasi Kristen internasional serta menyajikan wawasan dari 150 pakar misi global.

“Amanat Agung bukanlah tujuan akhir; melainkan sarana untuk mencapai tujuan,” tulis Victor Nakah dan Ivor Poobalan dalam salah satu esai laporan tersebut. “Masa depan adalah hadirnya segala suku, logat, bangsa, dan bahasa menyembah Sang Raja pada akhir zaman.”

Keberhasilan dan tugas yang belum selesai dari misi global

Berkat pelayanan para misionaris dan gerakan Kristen pribumi, Injil kini telah menjangkau sekitar 4,57 miliar orang, sementara 3,34 miliar orang masih belum mendengar Injil, menurut data dari Joshua Project.

Namun sebagian besar misionaris saat ini tidak pergi ke negara-negara yang memiliki kelompok masyarakat yang belum terjangkau. “Sebagian besar misionaris pergi ke negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Kristen atau pasca-Kristen, yang menyebabkan kurangnya keterhubungan dan pemahaman terhadap penganut agama lain,” tulis laporan tersebut. Lebih banyak misionaris pergi ke Eropa daripada ke Asia, meskipun 60 persen penduduk dunia tinggal di Asia dan mengirim seorang misionaris ke Eropa biayanya 10 kali lipat.

Pengirim—dan penerima—misionaris terbanyak adalah Amerika Serikat, dengan 135.000 misionaris yang berangkat dan 38.000 misionaris yang datang dari luar negeri, menurut data World Christian Database tahun 2020. Populasi Kristen di AS masih merupakan yang terbesar di dunia, di mana sekitar sepersepuluh dari seluruh umat Kristen adalah orang Amerika. Brasil menyusul dengan hampir 8 persen dari jumlah umat Kristen di dunia, yang sebagian besar disebabkan oleh penyebaran aliran Pentakosta yang cepat. Brasil juga mengirimkan jumlah misionaris terbanyak kedua yaitu sebanyak 40.000 orang.

Korea Selatan, dengan 35.000 misionaris, turun dari posisi kedua ke posisi ketiga antara tahun 2015 dan 2020. Angkatan misionaris yang menua dan berkurangnya keterlibatan kaum muda Kristen telah berkontribusi pada penurunan ini. Sebanyak 25.000 misionaris yang dikirim dari Filipina sebagian besar beragama Katolik, dan jumlah ini tidak termasuk warga Filipina yang bekerja di luar negeri yang berfungsi sebagai misionaris bivokasional.

Di Nigeria, beberapa gereja tidak memakai lembaga-lembaga misi dan secara langsung mengirimkan misionaris mereka ke daerah yang belum terjangkau. Sebuah tulisan dalam laporan Lausanne mengutip buku karya Yaw Perbi dan Sam Ngugi: “Sejarah gerakan Kristen dunia adalah kisah kolaborasi antara gereja-gereja lokal dan lembaga-lembaga misi [yang] telah Tuhan pakai … untuk memajukan Injil sejak abad pertama hingga saat ini.”

Pertumbuhan Kekristenan di Afrika

Dalam satu abad terakhir, Afrika sub-Sahara telah mengalami pertumbuhan kekristenan terpesat di seluruh dunia. Wilayah tersebut, bersama Amerika Latin, adalah wilayah di mana Pentakostalisme tumbuh paling kuat. Pada tahun 1970, Afrika sub-Sahara memiliki sekitar 20 juta penganut Pentakosta; saat ini jumlah tersebut meroket menjadi 230 juta orang, menurut World Christian Encyclopedia.

Pew Research Center memproyeksikan bahwa pada tahun 2060, dari sepuluh orang Kristen, lebih dari empat di antaranya akan menganggap Afrika sub-Sahara sebagai rumah mereka. Sebagian besar pergeseran ini disebabkan oleh faktor demografi, karena wilayah ini memiliki populasi termuda di dunia. Saat ini, usia rata-rata orang Kristen di sana adalah 19 tahun, dibandingkan dengan usia rata-rata orang Kristen di Amerika Utara yaitu 39 tahun dan di Eropa 42 tahun.

Afrika Sub-Sahara juga lebih religius. Di Nigeria, sekitar 90 persen orang dewasa menghadiri kebaktian keagamaan setiap minggu, dibandingkan dengan kurang dari 40 persen di AS. Meskipun orang berusia 18 hingga 39 tahun lebih jarang menghadiri kebaktian mingguan di gereja daripada mereka yang berusia di atas 40 tahun di seluruh dunia, kesenjangan ini paling kecil di Afrika sub-Sahara, menurut Pew.

“Setiap orang yang memikirkan misi tidak boleh hanya mempertimbangkan bagaimana Afrika berpartisipasi, melainkan orang Afrika sendiri harus siap berada di garis depan pasukan misi,” tulis Ana Lucia Bedicks, Menchit Wong, dan Maggie Gathuku dalam esai laporan Lausanne.

Masyarakat yang belum terjangkau di India dan Pakistan

Sementara itu, mayoritas kelompok masyarakat yang belum terjangkau (unreached people groups/UPG) di dunia, yang didefinisikan sebagai kelompok yang tidak memiliki “gereja lokal/pribumi yang mampu menginjili masyarakat mereka sendiri,” berada di Asia Selatan, khususnya di India yang mayoritas penduduknya beragama Hindu dan Pakistan yang mayoritas beragama Islam. Hampir 3.000 orang yang belum terjangkau—atau sekitar tiga perlima dari total dunia—berada di kedua negara tersebut.

Saat ini, lebih dari 60 persen dari 30.000 misionaris India bekerja di dalam negeri, menurut Operation World. Orang-orang Kristen di India menghadapi penganiayaan yang lebih besar karena pemerintahan nasionalis Hindu memegang kendali dan ideologi Hindutva mengakar kuat di tengah masyarakat.

Kelas menengah yang berkembang di India menawarkan hambatan sekaligus peluang bagi Injil untuk berkembang, menurut sebuah tulisan karya Carl Ebenezer, Ted Esler, dan James Patole. “Kombinasi antara struktur sosial India yang religius dan sangat berbasis kasta dengan konteks sekuler dan pluralistik ini menimbulkan tantangan yang sangat besar dalam menyajikan keunikan Yesus Kristus,” tulis mereka.

Namun pada saat yang sama, para penulis mencatat bahwa banyak orang India yang kelas menengah “tidak serta-merta yakin dan berdedikasi pada ajaran agama mereka. Banyak dari mereka yang terbuka untuk mendengarkan dan mengubah pandangan mereka jika diundang dengan cara yang sesuai dengan pengalaman dan kebutuhan mereka.”

Pakistan memiliki undang-undang penistaan agama yang paling ketat di antara negara-negara mayoritas muslim, yang dapat menyebabkan hukuman penjara dan bahkan kematian. Orang-orang Kristen yang tinggal di kota-kota juga dipaksa bekerja di bidang sanitasi dengan upah rendah.

Laporan tersebut mencatat bahwa Asia Selatan “akan tetap menjadi kawasan yang paling sedikit diinjili selama beberapa dekade mendatang.”

Misi yang polisentris

Seiring dengan bergesernya pusat-pusat Kristen dari Barat ke arah Selatan, aktivitas misi kini bersifat polisentris, yaitu sebuah istilah yang berarti “dari semua bangsa untuk semua bangsa,” menurut Patrick Fung, duta besar global OMF International.

Sebuah esai berjudul “Misi Global Polisentris” menyatakan bahwa “misi telah bersifat polisentris sejak awal.” Meskipun gereja mula-mula mulai memberitakan Injil di Yerusalem, penganiayaan memaksa mereka untuk menyebar ke seluruh dunia Romawi dan menyebarkan Injil kepada orang-orang diaspora Yahudi. Kemudian orang-orang percaya pergi ke Antiokhia untuk memberitakan Injil kepada orang-orang non-Yahudi; dari sana, Paulus memulai perjalanan misinya serta mendirikan gereja-gereja, dan gereja-gereja tersebut melanjutkan untuk menyebarkan Injil lebih jauh lagi.

Laporan tersebut mencatat bahwa kecuali Eropa, setiap kawasan di dunia “mengirim dan menerima lebih banyak misionaris dibandingkan 50 tahun yang lalu.” Semakin banyak misionaris datang dari negara-negara di mana umat Kristen merupakan minoritas, yang sering kali membantu mereka untuk berhubungan dengan orang-orang yang ingin mereka jangkau.

Namun, salah satu tantangannya adalah bahwa kekayaan Kristen terpusat di Amerika Utara, sehingga memerlukan diskusi tentang bagaimana gereja-gereja polisentris dapat mendorong kemurahan hati, menciptakan “saluran yang sehat” antara orang-orang Kristen yang lebih kaya dan mereka yang kurang mampu, serta mengidentifikasi sumber pendanaan baru.

“Jika setiap budaya telah menerima Amanat Agung, maka setiap budaya memiliki hak istimewa untuk mendukung Amanat Agung,” kata Scott Morton dari Navigators, yang dikutip dalam esai yang lain.

Misi-misi diaspora

Salah satu cara penyebaran Injil adalah melalui pergerakan orang-orang yang meninggalkan negara asal mereka karena kelaparan, perang, penganiayaan, kesempatan kerja yang lebih baik, atau keluarga. Pada tahun 2020, terdapat 281 juta migran internasional di dunia, meningkat 60 juta dari satu dekade sebelumnya, menurut Laporan Migrasi Dunia. Dari jumlah para migran tersebut, hampir separuhnya beragama Kristen.

Pola ini sesuai dengan misi polisentris, di mana para migran Kristen pindah ke lokasi baru di mana mereka dapat bersaksi dan menanam benih. Pada saat yang sama, orang-orang Kristen di negara tujuan dapat memberitakan Injil kepada para pendatang baru, yang sering kali lebih terbuka untuk menerima keyakinan yang baru karena mereka jauh dari tradisi dan agama di negara asal mereka.

“Tuhan berdaulat atas sejarah manusia dan penyebaran manusia,” tulis Sam George dalam esainya “People on the Move.” Salah satu hasilnya, katanya, adalah bahwa “Kekristenan di Barat tidak mengalami penurunan, tetapi para imigran dari Asia, Afrika, dan Amerika Latin menghidupkannya kembali dan mengubahnya dengan dorongan misi yang baru.”

Sebagai contoh, pengetatan kebebasan di Hong Kong telah menyebabkan ledakan gereja-gereja Tionghoa di Inggris karena warga bekas jajahan Inggris itu mencari perlindungan di Inggris. Di Belgia, orang Kristen Afrika semakin banyak yang mengajar kelas pendidikan agama. Di AS, gereja-gereja orang Bhutan Nepal bertumbuh karena mereka bertemu di gedung-gedung gereja yang jemaat lokalnya sedang sekarat atau mengalami penurunan drastis.

“Kekristenan adalah iman yang bersifat misi yang sangat unggul karena agama ini lahir untuk melakukan perjalanan,” kata George.

Gereja menentang ketidakadilan

Secara global, jumlah orang yang hidup dalam kemiskinan ekstrem telah menurun dari dua miliar pada tahun 1990 menjadi satu miliar pada tahun 2019, menurut Bank Dunia. Laporan Lausanne menghubungkan tren ini dengan pentingnya misi integral, yang tidak hanya menjawab kebutuhan rohani seseorang melainkan juga kebutuhan fisik, sosial, dan ekonomi.

Hak asasi manusia lebih terlindungi dibandingkan dengan abad-abad sebelumnya. Namun pembatasan pemerintah terhadap agama telah meningkat secara global. Afrika Utara, Timur Tengah, dan Asia merupakan kawasan dengan persentase tertinggi dalam hal penggunaan kekerasan oleh pemerintah terhadap kelompok-kelompok agama, menurut Pew.

Saat ini, diperkirakan 40 juta orang menjadi korban berbagai bentuk perbudakan modern, yang meliputi kerja paksa, eksploitasi seksual, dan pernikahan yang tidak diinginkan. Wanita dan anak perempuan terkena dampak secara tidak proporsional, mencakup 70 persen korban eksploitasi dan 99 persen korban dalam industri seks.

“Meskipun gereja menyuarakan dukungannya kepada kaum tertindas dalam beberapa hal tertentu, namun dalam banyak kasus gereja membatasi dirinya pada sebatas pernyataan-pernyataan dari para pemimpinnya dan tidak mewujudkannya dalam tindakan,” tulis Christie Samuel, Jocabed Solano, dan Jenny Yang dalam esai laporan Lausanne. Mereka mendesak gereja untuk “mengambil peran kenabiannya dengan bekerja lebih cepat dalam mengecam ketidakadilan, membebaskan mereka yang tertindas, dan bangkit melawan kebebasan yang tak terbatas dari para penindas.”

Kecerdasan buatan menghadirkan baik jebakan maupun kemungkinan

Perubahan besar lain yang perlu diperhatikan oleh komunitas misi adalah bagaimana internet mengubah setiap aspek kehidupan manusia. Laporan tersebut menyatakan bahwa “peningkatan media digital berpotensi sama transformatifnya terhadap keterlibatan dengan Kitab Suci seperti kemunculan mesin cetak di Eropa Modern Awal.”

Dengan sekitar 60 persen dunia yang terhubung ke internet, ada peluang baru bagi aplikasi Alkitab yang memungkinkan orang untuk dengan mudah membaca dan mendengar Alkitab dalam bahasa mereka sendiri. Aplikasi Alkitab juga menyediakan cara baru bagi orang-orang untuk mengakses Alkitab, terutama di negara-negara yang memiliki masalah keamanan. Perangkat lunak penerjemahan, alat kolaborasi daring, dan pengumpulan sumber daya secara massal juga telah mempercepat proses penerjemahan Alkitab.

Pada saat yang sama, kemajuan teknologi juga menimbulkan tantangan bagi gereja, khususnya seputar kecerdasan buatan (AI) dan apa artinya menjadi manusia.

“Proklamasi Injil bukan sekadar soal transfer informasi, tetapi lebih merupakan transformasi pribadi seutuhnya melalui kuasa Roh Kudus,” tulis para penulis esai laporan tentang AI. Mereka menambahkan bahwa “banyak yang berusaha memanfaatkan kekuatan yang luar biasa dari alat AI dalam menyebarkan pesan Injil kepada semua orang, suku, dan bangsa.”

Para penulis mengakui bahwa Tuhan menggunakan alat-alat tersebut untuk membantu gereja, tetapi memperingatkan bahwa penggunaannya harus “dipandu oleh sifat unik kemanusiaan dan pengakuan bahwa mesin pada dasarnya berbeda dari manusia.”

Diterjemahkan oleh Mellie Cynthia.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, Instagram, atau Whatsapp.

Pastors

Ketika Pelayanan Melukai Keluarga Anda

Nasihat yang berasal dari pengalaman sulit untuk menyeimbangkan antara keluarga dan pekerjaan Tuhan.

A chalk drawing of a family all holding hands
Leadership Journal September 26, 2024
Prixel Creative / Lightstock

Selama sepuluh tahun pertama pelayanan, saya adalah seorang pendeta yang hebat dan suami yang sangat buruk. Saya mengabaikan istri saya. Saya serahkan tanggung jawab membesarkan anak-anak saya kepada pengasuh anak. Saya memimpin gereja dengan baik, dan jemaatnya bertumbuh dengan jumlah 100 orang per tahun, tetapi saya tidak hadir sebagai pemimpin di rumah saya sendiri.

Pelayanan saya merintangi pernikahan saya. Ini adalah cerita saya. Belajarlah dari kesalahan-kesalahan besar yang pernah saya lakukan.

Pilihan

Saya ingat suatu malam Jumat yang hujan, sekitar pukul sepuluh, saat putri saya berusia lima tahun. Istri saya pergi untuk mengantar beberapa remaja pulang setelah menghadiri pertemuan kelompok kecil di rumah kami. Seorang penatua gereja dijadwalkan untuk menjemput saya dan membawa saya ke retret gereja. Saat dia tiba, istri saya belum ada di rumah. Dia meminta saya pergi karena orang-orang sedang menunggu saya. Saya dibutuhkan di retret itu. Jadi, saya bisa menunggu istri saya pulang, atau saya bisa meninggalkan putri saya sendirian untuk waktu yang singkat.

Akan tetapi, saya salah memilih. Saya memberikan Vanessa selimut kesayangannya, memutar video VeggieTales, mencium dia, lalu berangkat pergi. Tak lama kemudian, badai petir melanda. Petir, guntur, pohon-pohon bergoyang keras, angin menderu, hujan deras menerpa jendela. Istri saya terjebak di jalanan selama satu jam dengan pohon tumbang di depannya. Putri saya berada sendirian di rumah. Lampu padam semakin menambah kerumitan masalahnya. Alih-alih dipeluk ayahnya dan diberi tahu bahwa semuanya akan baik-baik saja, malam itu putri saya malah sendirian di sebuah rumah yang besar, kosong, dan menakutkan. Sementara itu, ayahnya sedang memenuhi “tanggung jawab pelayanannya.”

Pelayanan sudah cukup sulit, tanpa tambahan tekanan dari masalah di rumah. Banyak pemimpin dan pendeta memiliki masalah yang riil dalam keluarga mereka yang diabaikan, dikesampingkan, atau dilupakan. Masalah-masalah pribadi hampir selalu kembali memengaruhi kinerja di depan umum, biasanya pada saat yang paling buruk. Monster rahasia merusak pelayanan publik. Berikut ini adalah beberapa solusi praktis yang telah membantu saya; mungkin dapat membantu Anda juga.

Menggembalakan Rumah Tangga Saya Terlebih Dahulu

Salah satu kesalahan yang saya lakukan adalah menggunakan keluarga saya untuk mencapai tujuan pelayanan pribadi. Ini lebih tentang saya dan apa yang saya ingin lakukan di gereja, daripada tentang mereka. Sekarang, saya percaya pentingnya melibatkan keluarga dalam pelayanan sesuai dengan karunia mereka, tetapi saya harus belajar untuk memberi semangat tanpa menuntut. Libatkanlah keluarga Anda sesuai dengan karunia mereka, bukan sesuai keinginan pribadi Anda. Hargai kata “Tidak” dari mereka.

Ketika saya ditugaskan di sebuah gereja yang baru, saya memastikan bahwa saya telah meninjau kembali harapan-harapan saya mengenai anak-anak saya. Saya menyampaikan kepada majelis gereja sesuatu seperti ini: “Anak-anak pendeta hanyalah anak-anak. Mereka tidak memiliki kekuatan supranatural dan tidak seharusnya diharapkan untuk berperilaku seperti orang Kristen yang super. Jangan menuntut mereka terlalu keras. Kasihilah mereka. Bimbinglah mereka. “Buatlah mereka ingin menjadi orang Kristen saat mereka dewasa, dengan cara Anda memperlakukan orang tua mereka.” Saya diberkati karena memiliki gereja-gereja yang mengasihi dan mendukung anak-anak saya, serta menciptakan suatu gambaran anugerah dan penerimaan yang bertahan hingga hari ini. Sayangnya, hal ini tidak selalu terjadi dalam banyak pelayanan, tetapi Anda dapat membuat banyak kemajuan dengan membicarakan hal itu sejak dini dan sesering mungkin dengan gereja Anda.

Berikut adalah tiga prinsip yang menjadi pedoman saya dalam mengasuh anak-anak saya:

  1. Anak-anak adalah buku untuk dibaca, bukan ditulis. Tugas saya adalah menemukan bagaimana Tuhan telah membentuk mereka dan mengeluarkan bagian yang terbaik yang sudah ada di dalam diri mereka, bukan memaksa mereka melakukan sesuatu yang bukan diri mereka. Saya dapat melakukan ini hanya dengan menghabiskan banyak waktu bersama mereka. Ini bukan berarti saya menerima yang biasa-biasa saja atau tidak mendorong mereka untuk menjadi yang terbaik. Ini berarti bahwa mereka tahu kami mengharapkan hal-hal yang besar dari mereka, tetapi kami akan tetap mengasihi mereka sekalipun mereka tidak mencapai potensi mereka sepenuhnya. Bagi saya, itulah yang Tuhan lakukan terhadap kita. Itu disebut anugerah.
  2. Hadiah terbesar yang dapat saya berikan kepada anak-anak saya adalah mencintai ibu mereka dengan baik. Jadi saya akan melakukan segala langkah yang diperlukan agar mereka dapat melihat bahwa saya melakukan hal itu, meskipun mereka mungkin merasa malu saat saya mencium istri saya di depan umum. Orang tua saya tidak pernah bertengkar di depan anak-anaknya. Saya yakin mereka ingin melindungi kami anak-anaknya, tetapi mereka akhirnya tidak mengajari kami cara menyelesaikan perselisihan. Saya ingin anak-anak saya melihat bahwa Anda bisa saja tidak sependapat dengan seseorang tanpa melepaskan tangan orang tersebut.
  3. Saya menentukan pertempuran saya. Saya akan membuat batasan-batasan yang jelas, tetapi saya juga akan sangat berhati-hati agar tidak memperbesar masalah-masalah yang kecil. Saya tidak akan membuat anak-anak saya merasa kurang rohani hanya karena mereka memilih cara berpakaian atau pola makanan yang berbeda dari saya. Tuhan memberi kita sepuluh hukum Taurat, bukan 10.000.

Pelayanan Keluarga

Keluarga saya adalah pelayanan saya. Bukan berarti saya menjadi malas atau lupa bahwa saya juga punya pekerjaan pelayanan, tetapi dalam kasus yang jarang terjadi, jika saya harus memilih, maka saya akan memilih keluarga saya. Saya pernah melewatkan rapat untuk menonton putri atau putra saya bertanding olahraga. Tahun depan, anak-anak saya akan masuk sekolah asrama. Saya dan istri akan berkendara selama 1,5 jam untuk melihat mereka bertanding. Mereka bersama kami hanya dalam waktu singkat, jadi kami akan berkorban. Saya mendapati bahwa jika Anda memilih hal yang terpenting, Tuhan akan mengurus hal yang mendesak. Fakta penting: Saat saya memutuskan menjadi ayah dan suami yang sesungguhnya, gereja saya justru semakin bertumbuh.

Suatu kali, putri saya bertanding dalam turnamen basket selama dua hari. Karena tim mereka hampir tidak pernah menang, saya menjadwalkan pertemuan pada hari Senin pukul 7 malam di sebuah gereja. Masalahnya, mereka mulai menang. Mereka menang di hari Minggu. Mereka menang juga di Senin pagi dan siang. Kemudian mereka dijadwalkan bertanding untuk kejuaraan pada pukul 4 sore, jadi saya menghadapi dilema. Jika saya tetap tinggal untuk pertandingan itu, saya akan terlambat datang ke rapat. Saya berada satu jam dari rumah saya, di mana saya perlu berganti pakaian, bercukur, dan mandi, lalu berkendara satu jam lagi ke gereja di tengah kemacetan lalu lintas pada jam sibuk. Ketika putri saya bertanya pada siang hari apakah saya akan hadir, saya menjawab, “Ya,” tetapi pergulatan batin pun dimulai. Jadi, saya mengajukan pertanyaan apakah saya harus tinggal atau menggunakan pertanyaan filter yang biasa saya gunakan: Apakah ini terpenting atau mendesak? Apakah ini baik atau yang terbaik? Apakah ini permanen atau sementara?

Saya memilih untuk tetap tinggal. Faktor penentunya adalah pertanyaan yang saya ajukan kepada diri sendiri: Dalam 20 tahun lagi, apakah putri saya akan mengingat ayahnya pernah menghadiri pertandingannya atau akankah saya merasa menyesal karena meninggalkannya sekali lagi, dan menghadiri pertemuan yang bahkan tidak akan saya ingat? Timnya menang. Saya menyetir, mandi, berganti pakaian, melanggar batas kecepatan, dan tiba dengan waktu tersisa 15 menit. Pelajaran berharga telah dipelajari.

Sebagai direktur pelayanan, saya sering punya kesempatan untuk berbicara kepada para pendeta. Salah satu tren menggelisahkan yang saya lihat adalah banyaknya pendeta yang dengan sukarela mengakui bahwa mereka mengabaikan keluarga mereka karena tuntutan pekerjaan pelayanan.

Namun tidak semua pendeta terhilang. Baru-baru ini saya mendapat kehormatan berbicara dengan para calon pendeta yang akan ditahbiskan. Kisah salah satu kandidat menarik perhatian saya. Dia telah didekati oleh seorang pensiunan pendeta dan diberi beberapa nasihat yang tidak begitu bijaksana. Pendeta itu mengatakan kepadanya bahwa pekerjaan Tuhan adalah yang utama, dan jika ia harus mengabaikan keluarganya, ya, itu memang harus terjadi. Saya senang mendengar kandidat tersebut mengatakan bahwa itu bukan niatnya. Perbedaan utama dari kebanyakan profesi lainnya adalah bahwa dalam pelayanan, Anda bekerja “untuk Tuhan.” Dalam pikiran Anda, lebih mudah untuk membenarkan pengabaian terhadap keluarga karena, bagaimanapun juga, pekerjaan Anda memiliki konsekuensi yang kekal. Salah satu tantangan menjadi seorang pendeta adalah tidak pernah memiliki garis akhir. Anda adalah seorang pendeta 24/7. Bahkan saat berlibur maupun saat berolahraga. Oleh karena itu, bersikaplah sungguh-sungguh terhadap hal-hal berikut ini:

  • Berikan ruang pada keluarga Anda.
  • Hormati jam malam dan hari libur.
  • Tekankan pentingnya mengambil satu hari libur.

Memang ada keadaan darurat yang tidak dapat dihindari, tetapi menanggapi orang yang menelepon 20 kali setiap minggu dengan “krisis” yang berbeda, tentu hal itu tidak dapat disebut sebagai “keadaan darurat.”

Jika Anda tidak berhati-hati atau tidak mengaturnya dengan baik, pekerjaan pelayanan Anda dapat menguasai hidup Anda dan menggeser area lain yang sama pentingnya. Istri saya pernah berkata kepada saya: “Sayang, kita selalu mengadakan retret akhir pekan bagi keluarga-keluarga dan menyampaikan khotbah-khotbah tentang keluarga. Jadi, mengapa kita tidak ikut retret saja? Bukan untuk berkhotbah, tetapi untuk belajar dan bertumbuh.” Ide yang bagus. Saya pun mendaftar retreat akhir pekan di Family Life Weekend to Remember. Tanpa anak-anak. Tanpa tanggung jawab. Tanpa persiapan khotbah. Tidak ada yang perlu diperbaiki, dipresentasikan, atau disiapkan. Hanya 72 jam pengayaan pernikahan.

Dua keputusan penting pun dihasilkan di akhir pekan itu. Salah satunya adalah meningkatkan frekuensi kencan kami. Kami melakukannya sebulan sekali secara rutin, lalu meningkatkannya menjadi seminggu sekali. Yang kedua adalah berpuasa untuk anak-anak kami seminggu sekali. Anak remaja (semua anak-anak, sebenarnya) memerlukan segala doa yang bisa mereka dapatkan.

Jangan lupakan apa yang benar-benar penting. Setelah anak-anak pergi dan pekerjaan pelayanan gereja berakhir, semoga Anda masih memiliki pasangan Anda. Perbaikilah pernikahan Anda terlebih dahulu. Suatu keyakinan yang jelas menjumpai saya ketika duduk di sebuah seminar. Tuhan menyadarkan saya bahwa saya lebih banyak berdoa untuk mempelai-Nya daripada untuk mempelai saya sendiri. Kehidupan doa kami kini telah membaik. Penting bagi saya untuk berdoa untuk dan bersama pasangan saya.

Kesimpulan

Pada akhirnya, betapapun Anda mungkin tidak ingin memikirkan hal ini, gereja telah bertahan lama tanpa Anda dan akan tetap bertahan meski Anda tidak ada. Sebaliknya, keluarga Anda tidak dapat bertahan hidup tanpa Anda. Keluarga Anda lebih membutuhkan Anda daripada gereja Anda. Ingatlah selalu kalimat ini. Saya telah mempelajarinya dengan cara yang sangat sulit.

Roger Hernandez adalah Direktur Pelayanan & Penginjilan untuk Konferensi Southern Union Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh. Artikel ini pertama kali diterbitkan dalam edisi Februari 2014 dari Ministry,® International Journal for Pastors, www.MinistryMagazine.org. Digunakan dengan izin.

Diterjemahkan oleh Mellie Cynthia.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, TwitterInstagram, atau Whatsapp.

News

Kongres Lausanne Keempat Merangkul Para Pemimpin Muda, Umat Kristen ‘Marketplace’, dan Teknologi

Lebih dari 5.000 orang Injili yang berasal dari 200 negara lebih, berkumpul di Korea Selatan untuk merayakan dan menyusun strategi tentang penginjilan.

Pada 24 September 2024, para panelis berbagi tentang pengaruh Gerakan Lausanne terhadap pelayanan mereka.

Christianity Today September 26, 2024
GOY

Steve Oh dapat menelusuri warisan Kristen di keluarganya hingga ke misionaris Protestan yang tiba di Korea pada tahun 1800-an.

“Keluarga saya telah diberkati oleh gerakan misionaris global,” kata Oh, seorang pendeta Korea-Australia yang memimpin Sydney Living Hope Community Church.

Minggu ini, Oh menjadi salah satu dari 5.200 orang Kristen yang berasal dari 200 negara lebih, yang berkumpul di Incheon, Korea Selatan, untuk Kongres Lausanne keempat. Pertemuan ini menjadi suatu “momen lingkaran penuh,” yang memperingati buah-buah penginjilan global, baik secara pribadi maupun korporat dalam setengah abad terakhir.

Lima puluh tahun setelah Billy Graham dan John Stott membuat sejarah dengan mengumpulkan 2.700 penginjil dari 150 negara, para pemimpin gerakan Lausanne percaya bahwa kolaborasi ini dapat berlanjut lebih jauh lagi.

“Empat kata paling berbahaya di gereja global saat ini adalah, ‘Saya tidak membutuhkan Anda,’” kata direktur eksekutif global dan CEO Gerakan Lausanne, Michael Oh (tidak ada hubungannya dengan Steve Oh). Sebagai sesama rekan diaspora Korea, Oh mengenakan hanbok (pakaian tradisional Korea) saat menyampaikan sambutannya di acara pembukaan pada hari Minggu.

Dalam 15 tahun sejak Lausanne menyelenggarakan Kongres terakhirnya di Cape Town, Afrika Selatan, gerakan ini telah berupaya untuk memperluas siapa saja yang diikutsertakan sebagai mitra penting dalam melaksanakan Amanat Agung Tuhan. Gerakan ini menyelenggarakan acara-acara untuk para pemimpin di bawah usia 40 tahun di Jakarta pada tahun 2016, dan untuk orang Kristen “lokapasar” (marketplace), atau mereka yang tidak bekerja dalam pelayanan profesional, di Manila pada tahun 2019.

Sejak acara perdananya pada tahun 1974, Lausanne telah memperdalam kerja sama di antara kaum Injili di seluruh dunia, kata para pemimpin yang diwawancarai CT di lokasi selama Kongres Lausanne 4. Karena gerakan ini menaruh perhatian pada pengembangan pemimpin muda dan perluasan jaringannya, gerakan ini telah merilis laporan besar-besaran tentang Keadaan Amanat Agung dan Pernyataan Seoul, dua dokumen yang menegaskan kembali komitmen gerakan ini untuk melayani sebagai pemimpin yang memikirkan penginjilan dan teologi.

Menjelang acara tersebut, Lausanne mulai dengan menantang gereja-gereja lokal untuk mengadopsi sikap kerja sama.

Banyak jemaat Korea secara historis bergumul untuk bekerja sama; pada tahun 2014, World Evangelical Alliance membatalkan pertemuan akbarnya yang dijadwalkan di ibu kota Korea Selatan karena perpecahan di antara kaum Injili di negara itu.

Akan tetapi, pada awal proses perencanaan Kongres Lausanne tahun ini, Gereja Onnuri, salah satu jemaat Presbiterian terbesar di Korea, menyatukan lebih dari 430 gereja untuk berdoa. Sekitar 200 gereja mulai mengkhotbahkan kitab Kisah Para Rasul secara serentak. Banyak yang mengumpulkan dana untuk mencukupi biaya konferensi. Sekitar 4.000 orang Kristen setempat saat ini juga berdoa untuk acara tersebut.

Gereja Korea memberikan kontribusi finansial yang signifikan untuk pusat konvensi, makanan, transportasi, dan biaya produksi.

Membangun kepercayaan di antara para pemimpin Kristen Korea tidaklah mudah, menurut Yoo Kisung, seorang penyelenggara lokal yang memimpin Good Shepherd Church di Seoul. Namun, ia menyadari bahwa persiapan ini merupakan suatu kesempatan untuk berefleksi dan menginspirasi generasi berikutnya: “Kaum muda yang melayani bersama Lausanne adalah para pemimpin masa depan di gereja Korea.”

Para pemimpin Lausanne yang hadir dalam acara tersebut, seperti Menchit Wong, seorang anggota dewan pengurus dari Filipina, juga menekankan dampak secara generasional.

“Sekarang setelah saya jauh lebih senior, tugas saya adalah memperhatikan para pemimpin yang lebih muda untuk mengambil peran dalam membawa anak-anak kepada Yesus,” katanya.

Kongres Seoul memiliki persentase tertinggi sepanjang masa untuk delegasi perempuan (29%) dan delegasi yang berusia di bawah 40 tahun (16%). Lebih dari 1.450 peserta yang hadir bekerja di luar pelayanan penuh waktu. Pada hari Selasa, kongres ini mengadakan acara makan malam untuk para pemimpin muda yang memenuhi balai riung (ballroom) pusat konvensi yang sangat besar, dan di akhir minggu ini, Lausanne akan menyelenggarakan upacara pengutusan bagi para peserta yang berasal dari lokapasar (28%).

Meskipun penyelenggara Kongres Lausanne 4 pada awalnya mengupayakan agar delegasi dari Amerika Utara berjumlah sekitar 5 persen dari keseluruhan delegasi yang hadir secara langsung, namun pada akhirnya delegasi yang berasal di wilayah tersebut mewakili 25,5 persen dari total peserta. (Statistik Lausanne didasarkan pada tempat tinggal delegasi.) Bersama dengan orang Eropa (13%), orang Barat mewakili 38,5% dari total delegasi.

Sekitar sepertiga (36,9%) delegasi tinggal di negara-negara Asia, dibandingkan dengan 12,8% di Afrika dan 7,7% di Amerika Latin. Perwakilan yang tinggal di Oseania berjumlah 3 persen dan mereka yang tinggal di Karibia berjumlah 1,1 persen.

Menghabiskan waktu seminggu bersama orang-orang yang beragam dan berasal dari berbagai wilayah ini mengingatkan Casely B. Essamuah, warga Ghana yang tinggal di AS dan merupakan sekretaris Global Christian Forum, bahwa “gereja lebih hebat dan lebih besar serta lebih luas daripada denominasi atau perkumpulan-perkumpulan kita.”

“Ketika Anda datang ke sini, Anda pasti akan terinspirasi ketika melihat apa yang sedang Tuhan lakukan di seluruh dunia,” katanya. “Hati Anda juga hancur karena penganiayaan yang dialami orang Kristen lainnya, dan hal ini memengaruhi kehidupan doamu. Anda bertemu orang-orang dan dapat berjejaring dengan mereka demi kebaikan yang lebih besar bagi gereja global.”

Mendengar orang-orang Kristen dari seluruh dunia menceritakan secara langsung tentang penganiayaan dan kasih karunia Tuhan adalah pengalaman yang unik, kata Christian Maureira, direktur dan profesor di Martin Bucer Seminary di Chili. “Mendengar apa yang Tuhan lakukan di Pakistan, Malaysia, Eropa, di dunia muslim … sungguh sangat berdampak.”

Bagi Claudia Charlot, dekan bisnis di Université Emmaüs di Cap-Haïtien, Haiti, konferensi tersebut telah memampukan dia untuk bisa terhubung dengan para misionaris Asia dari One Mission Society, organisasi yang mendirikan sekolah di tempat dia bekerja.

“Saya tidak akan pernah bertemu orang-orang itu tanpa Lausanne,” katanya.

Setiap kongres Lausanne sebelumnya telah merilis dokumen penginjilan yang penting: Perjanjian Lausanne (1974), Manifesto Manila (1989), dan Komitmen Cape Town (2010). Sejalan dengan tren aliteratif dari dua publikasi terbaru, Lausanne mengumumkan pada hari Minggu bahwa mereka telah merilis Pernyataan Seoul, sebuah risalah tujuh bagian yang menyatakan posisi teologis tentang Injil, Alkitab, gereja, “pribadi manusia,” pemuridan, “keluarga bangsa-bangsa”, dan teknologi.

Pernyataan Seoul “dirancang untuk mengisi beberapa kesenjangan, menjadi suplemen dalam tujuh topik utama yang belum cukup kami pikirkan atau renungkan atau tuliskan dalam Gerakan Lausanne,” kata David Bennett, direktur muda Lausanne global.

“Kami tidak mencoba membuat dokumen keempat yang nantinya akan menggantikan atau menjadikan tiga dokumen sebelumnya tidak berlaku lagi,” imbuhnya.

Pernyataan tersebut—yang terdiri dari 97 poin dan 13.000 kata—diumumkan pada hari Minggu. Perilisannya mengejutkan sejumlah delegasi, yang menantikan kesempatan untuk memberikan masukan, karena kongres sebelumnya secara kolektif menghasilkan rumusan pernyataan setelah seminggu.

“Dibangun di atas sejarah yang kaya dan beragam, pernyataan @LausanneMovement ini mengandung banyak hal yang baik, dan saya bersyukur atas kejelasan teologis untuk saat ini,” tulis Ed Stetzer, direktur regional Lausanne untuk Amerika Utara di Instagram. “Namun, saya berharap ada panggilan yang lebih besar untuk memprioritaskan penginjilan.”

Setidaknya satu kelompok, Korean Evangelicals Embracing Integral Mission (KEEIM), menyelenggarakan sebuah pertemuan pada hari Selasa bagi para delegasi untuk menyampaikan keprihatinan mereka.

Beberapa bagian dari Pernyataan Seoul mengenai topik homoseksualitas diubah setelah dirilis, demikian laporan dari Christian Daily International.

Para pemimpin Kristen Korea menyuarakan keberatan mereka terhadap versi aslinya, terutama dalam hal penggambaran bahwa “banyak gereja lokal dan komunitas Kristen telah melakukan kesalahan, meskipun sebagian besar gereja lokal dan komunitas Kristen tidak melakukannya.”

Dalam paragraf ke-69, alih-alih menjelaskan bagaimana orang Kristen yang memiliki ketertarikan terhadap sesama jenis menghadapi tantangan “di banyak gereja lokal karena ketidaktahuan dan prasangka,” sekarang disebutkan bahwa hal ini terjadi “bahkan di dalam komunitas Kristen.” Alih-alih mengatakan gereja bertobat atas “kegagalannya,” kini kalimatnya mengatakan bahwa gereja bertobat atas “kurangnya kasih kita.”

Kata “setia,” yang digunakan untuk menggambarkan orang percaya yang mengalami ketertarikan sesama jenis, juga dihapus pada paragraf berikutnya. Penyuntingan ini dimaksudkan untuk dilakukan sebelum Pernyataan Seoul dipublikasikan, kata juru bicara Lausanne pada hari Selasa.

Ivor Poobalan, rektor Colombo Theological Seminary di Sri Lanka, dan Victor Nakah, direktur internasional Mission to the World untuk Afrika sub-Sahara, bersama-sama memimpin kelompok kerja teologi Lausanne, yang menghabiskan waktu sekitar 18 bulan untuk menyusun pernyataan tersebut.

Menurut Bennett, mereka yang menyusun dokumen tersebut bertanya pada diri mereka sendiri:

  • Apa yang perlu dilakukan?
  • Apakah ada area-area yang memenuhi kerinduan Allah bagi bangsa-bangsa, kerinduan Dia bagi gereja-Nya, area-area yang belum cukup kita dengarkan dengan saksama, atau area-area di mana dunia kita yang terus berubah ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru yang belum terjawab secara lengkap dalam ketiga dokumen dasar kita?

Dokumen ini merupakan kelanjutan dari laporan Keadaan Amanat Agung yang dirilis beberapa minggu lalu. Laporan setebal 500 halaman itu menelusuri status terkini penginjilan dunia melalui data dan penelitian, dan menawarkan gagasan serta kesempatan bagi para pemimpin di berbagai wilayah untuk terus melayani secara efektif.

“Ada ratusan ribu gereja dengan ratusan juta pengikut Yesus Kristus,” tulis Poobalan dan Nakah, yang juga mengerjakan laporan ini, dalam pengantarnya. “Namun, agar berhasil melaksanakan Amanat Agung, kita memerlukan gereja yang sesuai dengan hati dan pikiran dari Amanat Agung.”

Komitmen terhadap pelayanan teologis yang mendalam ini menarik bagi Tom Lin, presiden InterVarsity Christian Fellowship yang berpusat di AS.

“Ini bisa jadi hanya satu konsep yang lahir dari Lausanne yang kemudian menyebar selama bertahun-tahun ke berbagai tempat di seluruh dunia,” katanya.

Kim Jongho dari KEEIM mempelajari dokumen-dokumen Lausanne saat ia masih menjadi mahasiswa. “Komitmen mereka terhadap misi integral memberi saya inspirasi bahwa saya bisa menjadi seorang Kristen dengan cara yang bertanggung jawab di masyarakat,” katanya. “Dokumen-dokumen itu adalah suatu tanda pengharapan bagi saya.”

Meskipun Lausanne telah menunjukkan pengaruhnya yang besar terhadap dunia penginjilan selama 50 tahun, gerakan seperti ini harus berhati-hati untuk tidak hanya bersandar pada sejarahnya sendiri, kata Ruslan Maliuta, ahli strategi jaringan untuk OneHope di Ukraina.

“Pada tahun 70-an, mengumpulkan [ribuan] orang dari seluruh dunia, itu sudah merupakan sebuah pencapaian yang luar biasa dan sangat besar,” katanya. “Itu tetap merupakan sebuah pencapaian, tetapi jaringan gereja besar dapat melakukannya. Meskipun ini masih merupakan usaha yang besar, namun hal ini bukanlah sesuatu yang menonjol.”

Sebaliknya, dalam dunia yang terus berubah, organisasi yang memiliki kemampuan untuk berkumpul pada tingkatan ini seharusnya memikirkan jenis pertemuan yang mereka selenggarakan.

“Setiap kelompok global yang signifikan, termasuk Lausanne, perlu memiliki niat yang kuat untuk menata kembali dirinya di masa sekarang ini,” kata Maliuta.

Untuk tujuan tersebut, Lausanne telah mendirikan Pusat Penemuan Digital, yang merupakan serangkaian pameran interaktif untuk membantu para pengunjung mempelajari lebih jauh tentang titik temu antara penginjilan dan teknologi. Sesi sore membahas topik-topik seperti kecerdasan buatan dan transhumanisme.

Kemudian Michael Oh, dalam pidatonya pada Selasa malam, dalam rangka memperingati ulang tahun ke-50 Lausanne, mengingatkan para delegasi bahwa gerakan tersebut “dengan penuh semangat berkomitmen pada tiga D: pemuridan (disciple-making) di dunia, pendewasaan murid (disciple-maturing) di gereja, dan digital.”

“Kita berada pada momen yang menentukan dalam tubuh Kristus,” kata Paul Okumu dari Kenya Center for Biblical Transformation. “Pada satu sisi, ada banyak kegembiraan dan perayaan tentang apa yang Tuhan lakukan. Namun di sisi lain, ada kekhawatiran luar biasa karena penganiayaan dan intoleransi agama yang akan terjadi.”

“Saya berada di sini untuk berdiri dalam solidaritas dengan gereja Injili global—merangkul keindahan dan ketangguhannya, serta ketidaksempurnaan dan kekacauannya,” kata Lisman Komaladi, yang melayani di Singapura sebagai sekretaris regional IFES Asia Timur. “Saya percaya bahwa bersama-sama, kita dapat menjadi saksi Kristus yang lebih setia lagi bagi dunia, di mana pun kita berada.”

Diterjemahkan oleh Maria Fennita S.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, TwitterInstagram, atau Whatsapp.

Theology

Saya Menemukan Penghiburan dalam Pahlawan Ilahi

Sebuah mazmur yang mencengangkan mengubah pandangan saya tentang kehadiran Allah selama masa-masa pencobaan.

Christianity Today September 25, 2024
Illustration by Scott Aasman

Dalam seri CLOSE READING ini, para pakar Alkitab merenungkan suatu bagian Alkitab dalam bidang keahlian mereka yang telah membentuk pemuridan pribadi mereka dan terus berbicara kepada mereka hingga saat ini.

Saya telah menyanyikan Mazmur sejak lama, pertama-tama di gereja saat masih kanak-kanak, kemudian sebagai pemimpin pujian sejak masa kuliah hingga sekarang. Ketika di usia muda, saya ingat bernyanyi dengan begitu keras untuk lagu-lagu penyembahan seperti “As the Deer” (Mzm. 42) karya Martin Nystrom dan “Let Everything that Has Breath” (Mzm. 150) karya Matt Redman.

Ketika saya menjadi pakar Alkitab, saya memahami Mazmur dengan cara baru, membacanya secara historis dan budaya. Sementara itu, sebagai pemimpin pujian, saya membantu menuntun orang-orang ke dalam hadirat Tuhan melalui nyanyian Mazmur. Kadang-kadang, membaca Mazmur terasa seperti percakapan dengan seorang teman dekat yang mengenal saya dengan baik.

Pada Maret 2020, saat dunia di sekeliling kita berubah karena pandemi, Mazmur 68 mendefinisikan ulang gagasan kehadiran bagi saya, sama seperti saya mengalami ketidakhadiran dengan cara-cara yang baru.

Banyak di antara kita yang bergumul berat dengan ketidakhadiran yang baru saat itu. Saya menyadari betapa saya menyepelekan pentingnya kehadiran yang berwujud, baik dalam bentuk percakapan dengan kolega dan mahasiswa di koridor-koridor universitas saya, pelukan dari seorang teman, atau nyanyian jemaat.

Pada akhir Maret 2020, saya merasakan nyeri yang aneh di dada, yang menyebabkan kejang di seluruh tulang rusuk dan punggung. Rasa sakit ini berlanjut selama hampir dua bulan. Awalnya kami pikir ini mungkin ada hubungannya dengan COVID-19, jadi saya dikarantina selama dua minggu. Setelah hasil tes saya dinyatakan negatif, saya dapat berkumpul kembali bersama keluarga. Namun meskipun saya berada di ruangan yang sama dengan mereka, selama berminggu-minggu saya bahkan tidak sanggup untuk memeluk sedikit pun; rasa sakitnya terlalu kuat. Sampai rasa sakit saya mereda dua bulan kemudian, saya merasakan kurangnya kedekatan, ketidakmampuan untuk berada dekat dengan orang lain.

Dalam pergumulan ini, Roh Kudus mengingatkan saya bahwa saat saya tidak dapat hadir secara fisik bersama orang lain, saya masih dapat merasakan kehadiran Tuhan bersama saya. Sekalipun saya tak dapat bernyanyi dengan sekuat tenaga kepada Tuhan, Dia masih dapat dekat dengan saya dalam penyembahan. Roh Kudus menyatakan hal ini kepada saya melalui Mazmur 68.

Mazmur 68 memiliki banyak hal untuk disampaikan tentang kehadiran Tuhan, terutama saat kita merasa sendirian dan terisolasi atau saat kita sangat sadar akan kebutuhan kita sendiri. Mazmur ini terletak di bagian kedua dari lima bagian yang membentuk kitab Mazmur. Bagian kedua memuat banyak mazmur Daud—baik oleh maupun tentang Daud—termasuk Mazmur 68. Mazmur ini melanjutkan tema pujian yang terdapat di Mazmur 67 dan diikuti dengan gambaran lain tentang kehadiran Tuhan dalam Mazmur 69, di mana Allah menyelamatkan Daud dari “rawa yang dalam” (ay. 3).

Para ahli memperdebatkan bagaimana Mazmur 68 ini digunakan di masa lalu: Mungkin sebagai ratapan komunal yang dinyanyikan bersama umat, himne yang dinyanyikan saat umat memasuki Bait Suci, atau mazmur kemenangan yang merayakan keberhasilan Israel mengalahkan musuh-musuhnya. Apa pun itu, Mazmur 68 berbagi dengan kita aspek-aspek dari kehidupan Daud, dengan berfokus pada bagaimana umat Tuhan bernyanyi tentang kehadiran ilahi-Nya.

Mazmur 68 adalah mazmur teofani. Gagasan tentang teofani berasal dari dua kata Yunani: Theo, yang berarti “Tuhan,” dan phainein, yang berarti “menampakkan.” Teofani adalah pengalaman kehadiran Tuhan—momen ketika Tuhan menampakkan diri! Para ahli menunjukkan bagaimana teofani dalam Mazmur 68 berhubungan dengan teofani lain di Perjanjian Lama. Tuhan menampakkan diri di saat yang dibutuhkan kepada Yakub (Kej. 28:10–22), kepada Musa (Kel. 3), dan kepada para nabi seperti Yesaya dan Yehezkiel (Yes. 6; Yeh. 1). Ketika Tuhan menampakkan diri, Ia mengungkapkan siapa Dia dan mengubah situasi yang sulit. Hal ini membantu saya melihat kehadiran Tuhan di Mazmur 68 secara berbeda.

Pertama, Allah menampakkan diri di Mazmur 68 sebagai pahlawan ilahi. Meskipun mungkin di masa kini terasa aneh jika menganggap Tuhan sedang berperang, mungkin akan bermanfaat jika kita mengingat betapa kita menghargai kuasa Tuhan di saat kita merasa tidak berdaya. Kuasa Allah sanggup membuat para musuh-Nya melarikan diri (ay. 2) dan membuat kejahatan luluh lantak (ay. 3).

Ketika saya memikirkan musuh-musuh ini sebagai kekuatan kegelapan di sekitar kita, saya mendapati Mazmur ini sangat menguatkan hati. Tuhan lebih berkuasa daripada hal yang paling saya takuti. Dia lebih berkuasa daripada kematian, penyakit, kesepian dan penderitaan.

Para ahli menunjuk pada gambaran para pahlawan ilahi di Timur Dekat kuno dan bagaimana kaitannya dengan gambaran Tuhan dalam Mazmur 68. Sebagai pahlawan ilahi, Tuhan berkendara melintasi awan-awan (ay. 5), yang mencerminkan gambaran umum dewa badai sebagai pahlawan ilahi dalam konteks dunia kuno.

Namun dalam Mazmur 68, Tuhan adalah pahlawan ilahi yang juga merupakan Pencipta dunia dan memiliki kuasa atas segala sesuatu yang diciptakan-Nya (ay. 9, 15). Tidak ada ilah lain di zaman kuno yang dapat mengklaim hal ini. Selain itu, pada zaman kuno, kereta perang (ay. 18) merupakan kemajuan teknologi terbaik untuk perang. Jadi, dalam pengertian ini, Allah adalah pahlawan ilahi yang berteknologi tinggi, yang menggunakan dunia ciptaan-Nya untuk menunjukkan kuasa-Nya.

Dalam Perjanjian Lama, kita juga melihat Allah sebagai pahlawan ilahi yang membebaskan umat-Nya dari perbudakan di Mesir, membelah lautan, dan menghancurkan musuh-musuh umat-Nya. Yoel 2 menggambarkan Hari Tuhan dengan Tuhan sebagai pahlawan ilahi yang berkuasa atas ciptaan (dalam hal ini kawanan belalang; lihat ayat 25).

Kuasa nama Tuhan berpindah dari Perjanjian Lama ke Perjanjian Baru ketika “dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi” (Flp. 2:10). Yohanes 12 mengutip Zakharia 9 dan menggambarkan Yesus sebagai pahlawan ilahi saat Ia memasuki Yerusalem. Dalam setiap kasus, pesannya jelas: “Janganlah takut kepada mereka [musuh-musuhmu], sebab TUHAN, Allahmu, Dialah yang berperang untukmu” (Ul. 3:22).

Meskipun berkuasa, Tuhan tidak seperti para pemimpin di zaman Israel kuno atau para pemimpin masa kini yang mungkin hanya menghargai atau peduli kepada orang-orang yang berkuasa dan elit.

Sebaliknya, pemazmur menunjukkan bahwa Allah melihat orang-orang yang mungkin diabaikan oleh orang lain. Ia bertindak sebagai Bapa bagi anak yatim (Mzm. 68:6). Dia Pelindung bagi para janda. Bagi mereka yang telah mengalami kehilangan, Ia rindu untuk peduli di tengah kehilangan itu.

Ketika suami saya, Jon, dan saya menempuh pendidikan doktoral secara bersamaan, saya ingat betapa berharganya kata-kata ini. Pada awal studi saya, salah seorang teman dekat saya meninggal secara tak terduga karena leukemia. Sementara itu, Jon dan saya bergumul untuk membayar tagihan-tagihan kami. Saya ingat saat itu saya merasa seperti berada di titik terendah dalam hidup dan bertanya-tanya apa yang harus saya lakukan.

Suatu malam, saya tidak tahu apa yang akan kami makan besok. Kami belum menerima gaji dan tidak memiliki cukup uang untuk membeli bahan makanan untuk beberapa hari ke depan. Saya ingat berdoa sampai larut malam agar kami mempunyai makanan yang cukup untuk memberi makan putri kecil kami, Elena. Saya berteriak, “Tuhan, kami hanya butuh beberapa buah dan sayuran, mungkin juga susu. Itu sudah cukup.”

Keesokan harinya pukul 7 pagi, saya mendengar ketukan di pintu. Itu adalah seorang wanita dari gereja kami. Dia berkata bahwa Tuhan membangunkannya dan menyuruh dia membawakan kami beberapa buah dan sayuran segar dari kiriman mingguan dia. Jasa pengiriman itu secara tidak sengaja memberinya tambahan buah-buahan dan sayuran; dia bertanya kepada Tuhan siapa yang membutuhkannya. Dia juga menambahkan sedikit susu karena dia merasa Tuhan ingin agar dia menambah jumlahnya.

Saat dia berbicara, air mata saya menetes. Tuhan peduli dengan doa saya yang sangat sederhana dan praktis. Tuhan menunjukkan pada saya bahwa bahkan saat saya merasa penderitaan saya tidak terlihat atau terdengar, Allah melihat saya. Itu adalah pelajaran yang penting untuk dipelajari: Saat Anda merasa tidak berdaya, Allah melihat Anda. Allah melihat anak yatim dan menjadi Bapa bagi mereka. Tuhan membela janda yang mungkin menjadi mangsa dari mereka yang mencari orang yang rentan untuk diserang.

Allah juga melihat kesendirian kita; Dia “memberi tempat tinggal kepada orang-orang sebatang kara” (ay. 7). Pada awal usia 20-an, saya pindah dari AS ke Kanada untuk masuk ke seminari. Meskipun saya tidak mengenal siapa pun, Tuhan menunjukkan kepada saya bahwa Dia melihat kesepian saya dengan menciptakan sebuah keluarga baru bagi saya di Kanada, yang terdiri dari teman-teman, orang tua dan kakek-nenek pengganti. Dia bahkan mengenalkan saya kepada suami saya di seminari. Bertahun-tahun kemudian, selama pandemi, Tuhan mengingatkan saya tentang setiap momen kehadiran-Nya. Ia mengingatkan saya bahwa Dialah Allah yang senantiasa memberi tempat tinggal dalam keluarga bagi orang-orang yang sebatang kara.

Namun Mazmur 68 tidak berhenti sampai di situ. Tuhan yang personal ini, yang mengetahui tempat yang paling rapuh di dalam diri kita, adalah Allah yang juga mampu membebaskan umat-Nya dari perbudakan dan menopang mereka di padang gurun melalui pemeliharaan-Nya yang ajaib.

Dia memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir dengan nyanyian (Kel. 15). Dia menurunkan hujan bagi mereka saat mereka membutuhkan air (Mzm. 68:9). Ia mengirimkan manna kepada mereka ketika mereka membutuhkan makanan; Ia “memenuhi kebutuhan orang yang tertindas” (ay. 11). Melalui tanda-tanda ini, Allah menyegarkan umat-Nya, “tanah milik-Nya yang gersang,” ketika mereka mengembara di padang gurun (ay. 10).

Inilah Tuhan Yang Mahakuasa, yang kekuasaan-Nya jauh melebihi kekuasaan raja mana pun atau bangsa mana pun (ay. 12–19). Inilah Tuhan yang menyelamatkan umat-Nya, yang “hari demi hari Ia menanggung bagi kita. Allah adalah keselamatan kita” (ay. 20).

Saat saya mengamati kehidupan saya dan beban-beban di sekeliling saya, Tuhan mengingatkan saya bahwa Dia cukup berkuasa untuk menanggungnya. Setiap kali saya melihat penyakit, kematian, dan kehancuran di sekeliling saya, Tuhan mengingatkan saya bahwa Dia memiliki kuasa untuk menghancurkan semua musuh ini, menghancurkannya hingga berkeping-keping, dan membuat kita luput dari maut (ay. 21–24).

Kemudian Mazmur 68:24-26 melakukan apa yang telah saya lakukan sepanjang hidup saya sebagai pemimpin pujian: Menuntun umat ke dalam prosesi penyembahan. Ketika Tuhan sebagai pahlawan ilahi menghancurkan para musuh yang berkomplotan melawan kedamaian dan keutuhan-Nya, kita merespons dengan pujian.

Dulu di tahun 2020, saat saya hampir tak bisa bernapas karena rasa sakit, saya ingat pernah merindukan untuk menjadi bagian dari jemaat saya lagi, menyanyikan puji-pujian bagi Tuhan dengan segenap kekuatan saya. Merespons dengan pujian merupakan naluri kita yang baik dan alamiah.

Mazmur 68:34–36 melanjutkan pujian ini dengan merujuk pada apa yang kita saksikan tentang Tuhan dalam 10 ayat pertama: Ayat-ayat ini mendorong seluruh dunia untuk menyanyikan pujian bagi Tuhan, yang berkuasa dan agung. Kuasa Allah bukan hanya atas umat Israel, melainkan atas seluruh ciptaan. Allah yang penuh kuasa dan keagungan ini—yang dahsyat dalam arti kata aslinya—juga adalah Allah yang memberikan kekuatan kepada umat-Nya dan yang mengetahui kebutuhan terdalam kita.

Membaca Mazmur 68 tidak hanya mendorong kita untuk memuji Allah yang hadir di saat kita mengalami kehilangan dan ketidakhadiran; melainkan juga mengingatkan kita akan orang-orang yang sering kali terabaikan dalam masyarakat kita: Mereka yang terpinggirkan, anak yatim, janda, orang-orang yang sebatang kara, dan orang miskin.

Kita mungkin tidak langsung menyadari siapa saja orang-orang tersebut di sekitar kita. Namun, apakah kita mengenal seorang ibu tunggal yang mungkin sedang berusaha menyeimbangkan antara pekerjaan dan anak-anaknya? Apakah kita punya teman yang kehilangan pekerjaan dan khawatir tentang apa yang akan dia lakukan selanjutnya? Apakah kita mengenal seseorang yang hidup sendiri dan merasa kesepian?

Gereja-gereja saat ini sedang mencari cara untuk menjangkau orang-orang yang membutuhkan pasca pandemi COVID-19. Bagian dari pekerjaan saya sejak 2020 adalah bersama Canadian Poverty Institute seiring kami mempelajari bagaimana gereja menanggapi pandemi, menggemakan kehadiran Tuhan seiring umat Allah hadir bagi orang-orang yang sedang bergumul. Terus peduli terhadap mereka yang menderita akibat pandemi hanyalah salah satu dari banyak cara yang dapat kita lakukan untuk membagikan kehadiran Kristus kepada mereka yang menderita di sekitar kita.

Mazmur 68 mengingatkan saya bahwa Allah melihat penderitaan saya dan penderitaan orang-orang di sekitar saya, serta dapat menyembuhkan mereka. Inilah Allah yang hadir bersama kita saat ini—yang melihat kita dalam penderitaan fisik, kesepian, kebingungan, dan kesedihan kita. Inilah Allah yang akan hadir bersama kita saat kita tidak bisa hadir secara fisik bersama orang lain, dan Tuhan yang akan hadir bersama kita saat kita dapat hadir. Inilah Tuhan yang berkuasa atas segala ciptaan, yang dapat memakai awan sebagai kereta perangnya melintasi langit dan dapat memberi kita perbekalan yang kita butuhkan.

Beth M. Stovell adalah profesor Perjanjian Lama di Ambrose University dan penulis beberapa buku termasuk The Book of the Twelve, yang ditulis bersama David J. Fuller.

Diterjemahkan oleh Maria Fennita S.

Theology

Gereja Adalah Keluarga, Bukan Acara

Alkitab menyebut sesama orang Kristen sebagai “saudara laki-laki dan perempuan,” tetapi seberapa sering kita memperlakukan mereka sebagai keluarga?

Christianity Today September 20, 2024
Source images: Getty

Seorang anak laki-laki bermain di jalan, menendangi debu tanah, dan melompati tembok. Istri saya kebetulan berjalan melewati dia bersama kelima anak kami, yang menarik perhatiannya. Dia memperhatikan dari kejauhan sebentar lalu memberanikan diri untuk berlari kecil menghampiri dan bertanya: “Kalian mau ke pesta?” Istri saya segera menjawab: “Ya, benar!” Kami menyebutnya gereja. Kalau kamu minta izin pada ibumu, kamu bisa ikut dengan kami.”

Anak kecil itu berlari pulang dan kembali beberapa menit kemudian dengan senyum lebar di wajahnya. Hari Minggu itu dia tinggal sebentar untuk minum coklat panas dan pergi sebelum kebaktian dimulai. Namun dia kembali minggu berikutnya dan minggu setelahnya. Tak lama kemudian dia membawa ibunya, saudara laki-lakinya, dan beberapa sepupunya. Delapan tahun kemudian, mereka menjadi bagian tak terpisahkan dari gereja kami.

Salah satu momen paling mengharukan pada tahun-tahun itu adalah ketika ibu dari anak laki-laki itu dibaptis. Sambil berdiri di dalam air setinggi pinggang, dia menjelaskan sedikit tentang masa kecilnya yang traumatis, tahun-tahun kehidupannya yang sulit, dan sedikit tentang perjuangannya mencoba menyatukan keluarganya. Wajahnya bersinar dan suaranya dengan jelas mengartikulasikan kasihnya kepada Allah yang telah menemukan dia dan menyambutnya.

Pemikiran yang menarik perhatian putranya adalah bahwa gereja seperti sebuah pesta di mana dia dan keluarganya diundang. Yang menyedihkan, mereka telah sering mengalami bagaimana rasanya dikucilkan, tetapi penemuan bahwa gereja bukanlah sekadar acara yang Anda datangi melainkan sebuah keluarga, telah mengubah hidup mereka. Faktanya, hal itu mengubah kehidupan seluruh gereja.

Lebih dari Sekadar Sebuah Acara

Saya telah bertemu banyak pendeta dan anggota gereja yang dapat menceritakan kisah serupa. Saat saya mengunjungi banyak gereja yang merangkul orang-orang yang sangat membutuhkan keluarga, mata saya terus-menerus terbuka bukan saja pada apa sebenarnya arti keluarga, tetapi juga pada apa sebenarnya arti gereja sebagai keluarga. Perubahan persepsi mengenai apa itu gereja, dan untuk apa gereja ada, memiliki implikasi yang besar, tidak hanya bagi pengembangan rohani pribadi kita tetapi juga bagi pemahaman kita mengenai misi, penginjilan, ibadah, keadilan, keramahtamahan, dan pemuridan.

Sayangnya, sebagian besar bahasa kita menyajikan dan memperkuat gagasan bahwa gereja adalah suatu acara di mana barang dan jasa keagamaan dibagikan. Kita lebih sering berbicara tentang “pergi ke gereja” daripada berbicara tentang “menjadi” gereja. Kita mendengar istilah seperti “mencari” gereja atau “berpindah gereja.” Beberapa orang Kristen bahkan bersedia menempuh jarak jauh untuk menghadiri gereja yang cocok bagi mereka.

Ini mungkin berasal dari abad ke-16. Sepengetahuan saya, definisi gereja yang paling sering dikutip berasal dari Pengakuan Iman Augsburg: “Gereja adalah kumpulan orang-orang kudus, yang di dalamnya Injil diajarkan dengan benar dan Sakramen-sakramen diberikan dengan benar.”

Definisi ini, yang awalnya dirumuskan selama Reformasi Protestan, secara khusus dibuat untuk mengecualikan gereja Katolik Roma. Definisi ini berani menantang ajaran sesat pada masanya, tetapi juga bersifat reaksioner dan reduksionis, menggambarkan gereja sebagai suatu peristiwa di mana orang-orang kudus berkumpul untuk mendengar khotbah Injil dan menerima sakramen.

Tambahkan warisan ini pada masyarakat modern yang konsumer, dan pola pikir gereja sebagai sebuah acara menjadi semakin sulit untuk dihindari. Menurut Roger Finke dan Rodney Stark dalam buku mereka The Churching of America, 1776–1990, gereja Amerika pada dasarnya dibentuk oleh kapitalisme pasar bebas. Hal ini juga berlaku di luar batas wilayah AS. Para pemimpin gereja sering bertindak sebagai tenaga penjualan, dan strategi penginjilan sering kali menyerupai kampanye pemasaran. Gereja-gereja akhirnya bersaing satu sama lain untuk mendapatkan jemaat, seperti halnya bisnis bersaing untuk mendapatkan pelanggan.

Anda dapat dengan mudah menemukan pendeta yang frustrasi karena ada gereja baru yang muncul di dekat gerejanya, mengeluhkan banyak jemaatnya yang masih muda atau keluarga-keluarga bergabung dengan acara terbaru di kota itu. Namun, terkadang pendeta yang sama mengakui bahwa hal ini mungkin, setidaknya sebagian, adalah masalah yang mereka buat sendiri.

Lihatlah situs web gereja mana pun dan apa yang diiklankan adalah layanan ibadah untuk kita nikmati, khotbah untuk kita dengarkan, pelayanan Sekolah Minggu untuk anak-anak kita, dan mungkin kelompok kecil yang dapat memenuhi kebutuhan lainnya. Kita mengunggah gambar gedung-gedung canggih, karya-karya inovatif kaum muda kita, dan rangkaian khotbah yang dirancang dengan baik; kita menginvestasikan waktu dan uang untuk membuat citra yang cemerlang serta identitas visual yang trendi. Ini semua memperkuat gagasan bahwa gereja-gereja kita ada terutama sebagai acara bagi konsumen kita, orang Kristen.

Metafora Generatif yang Baru

Filsuf Donald Schön menciptakan istilah “metafora generatif” untuk menggambarkan bagaimana gambaran mental memengaruhi cara kita menangani masalah. Misalnya, jika sebuah perusahaan digambarkan sebagai “terfragmentasi,” maka seorang manajer baru mungkin mencari solusi integratif, sedangkan jika digambarkan sebagai “multifaset,” maka mereka mungkin secara aktif mengejar keberagaman. Pendeskripsian, metafora, dan model konseptual dapat memiliki efek mendalam pada cara kita memahami sesuatu dan cara kita bertindak.

Ketika gereja dipahami sebagai sebuah “acara,” maka masuk akal untuk menerapkan teknik manajemen acara untuk memaksimalkan kehadiran, mendorong kunjungan berulang, dan meningkatkan kepuasan pengunjung. Tidak mengherankan jika hal-hal tersebut kini menjadi standar keberhasilan sebuah gereja, meskipun kita tidak menemukannya dalam standar keberhasilan gereja-gereja di Perjanjian Baru.

Alih-alih terlalu menekankan topik sub-Alkitab yang keliru tentang gereja sebagai suatu acara di mana barang-barang keagamaan dibagikan dalam suatu pengaturan transaksional, apa yang akan terjadi jika kita mengadopsi metafora generatif yang alkitabiah tentang gereja sebagai keluarga, yaitu “rumah tangga Allah,” sebagai pengaruh utama konsepsi dan praktik di gereja kita?

Gereja sebagai keluarga bukanlah metafora baru; tetapi, pemahaman kita tentang gereja sebagai keluarga mungkin telah menjadi sangat terbatas, sempit, dan berat sebelah sehingga perlu segera dikaji ulang. Hal ini khususnya menyentuh hati saya ketika saya berada di Kenya mendengarkan seorang Kristen dari wilayah utara negara itu memberikan kesaksiannya.

Pria ini menjadi seorang Kristen dari latar belakang muslim yang kuat, diusir dari keluarganya, dan akhirnya terpaksa melarikan diri demi keselamatan hidupnya. Dia mencari perlindungan di gereja yang menerimanya dengan tangan terbuka. Mereka memberinya tempat di sudut bangunan, dengan kasur di lantai dan makanan disediakan setiap hari.

Pria itu sangat berterima kasih atas keramah-tamahan mereka. Namun, dia mengaku, bagian tersulit dalam hari-harinya selama seminggu adalah pada Minggu pagi setelah kebaktian gereja, ketika semua orang pulang ke keluarga mereka dan makan siang, dia sendirian. Meskipun dia dipersilakan untuk tinggal di dalam gedung gereja, dia tidak benar-benar merasa diterima di dalam rumah keluarga gereja.

Gereja ini begitu dekat, namun begitu jauh dari keramah-tamahan yang menyerupai Kristus. Bangunan gereja menyediakan tempat berteduh, jemaat gereja menyediakan makanan, dan acara gereja menyediakan sakramen dan pengajaran rohani—tetapi tidak satu pun dari hal-hal ini dapat menggantikan komitmen intim seumur hidup dari sebuah keluarga.

Menjadi Keluarga Allah

Saya percaya ajaran Alkitab dan sakramen merupakan bagian penting dari kehidupan gereja, seperti halnya upacara wisuda dan drama sekolah merupakan bagian penting dari kehidupan keluarga. Namun jika saya hanya muncul pada acara-acara tertentu dalam kehidupan anak-anak saya, Anda akan bertanya-tanya orang tua macam apa saya ini. Jika saya mendefinisikan pengasuhan anak sebagai mengingat untuk hadir dan memotret anak saya ketika sedang berlomba, konser piano, dan pesta ulang tahun, Anda mungkin akan berpendapat bahwa pemahaman saya tentang pengasuhan anak bersifat reduksionis dan terbatas.

Begitu juga, kita salah memahami apa yang dimaksudkan Allah melalui gereja jika kita hanya menghadiri kebaktian hari Minggu, Pendalaman Alkitab, dan pertemuan doa, serta tidak menghiraukan ajaran Alkitab yang jelas tentang tanggung jawab keluarga yang harus diemban oleh anggota gereja, yakni untuk “saling mengasihi,” “saling menanggung beban,” “saling membangun,” dan “saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik” (Yoh. 13:34, Gal. 6:2, 1Tes. 5:11, Ibr. 10:24).

Ada banyak sekali ajaran Alkitab yang menggambarkan gereja sebagai sebuah keluarga. Misalnya, Paulus memberi instruksi kepada Timotius, sebagai seorang pemimpin muda, bahwa dia harus memperlakukan perempuan yang lebih tua seperti ibu, perempuan yang lebih muda seperti saudara perempuannya, laki-laki yang lebih tua seperti ayah, dan laki-laki yang lebih muda seperti saudara laki-lakinya (1Tim. 5:1–2). Inilah contoh khas pengajaran dan teladan Paulus. Pada akhir suratnya kepada jemaat di Roma, Paulus menyampaikan salam kepada jemaat, khususnya meminta diingat oleh “Febe, saudari kita,” dan ibu Rufus yang “bagiku adalah juga ibu” (Rm. 16:1, 13).

Ada kedalaman keintiman yang ditunjukkan dalam salam-salam ini, yang mungkin saja telah terjalin selama masa-masa penganiayaan yang biasa terjadi pada zaman itu, keterpisahan dari keluarga besar, dan juga pelayanan yang berani bagi Tuhan di masa-masa sulit dan berbahaya.

Penggunaan bahasa kekeluargaan oleh Paulus untuk menggambarkan hubungan antara orang Kristen di komunitas gereja mencerminkan pendekatan yang dilakukan Yesus. Salah satu yang terkenal adalah ketika Yesus sedang mengajar, ibu kandung serta para saudara-Nya berada di luar, menunggu untuk berbicara kepada-Nya dan Dia mengoreksi para murid-Nya dengan menyatakan bahwa anggota keluarga-Nya adalah “siapapun yang melakukan kehendak Bapa-Ku di sorga” (Mat. 12:49–50).

Yesus tidak dapat dituduh meremehkan pentingnya keluarga—di bagian lain Dia mengkritik orang Farisi yang menolak memberikan bantuan keuangan yang pantas kepada orang tua mereka, dan pada saat kematian-Nya, Dia menjadikan pemeliharaan bagi ibu-Nya sebagai prioritas. Namun, Yesus juga mengajarkan bahwa bahkan hubungan penting itu harus dilihat dalam terang keluarga kekal Allah (Luk. 14:25–27).

Menurut Yesus, mereka yang bertobat dan menjadi orang Kristen dengan membayar harga relasional yang besar akan menerima lebih banyak saudara laki-laki, saudara perempuan, orang tua, dan anak di zaman sekarang (Luk. 18:29–30). Bagaimana mungkin? Melalui keluarga alternatif di gerejalah maka kita menerima hubungan yang dapat menjadi pengganti bagi segala hubungan yang telah kita korbankan.

Ini adalah pemikiran yang sangat mengagumkan. Dan memang metafora generatif tentang gereja sebagai keluarga selalu memiliki konsekuensi yang dahsyat terhadap cara orang Kristen memahami tempat mereka di dunia.

Selamat Datang di Reuni Keluarga

Saat saya pergi ke acara kumpul keluarga, saya tidak berharap saudara perempuan saya menyediakan makanan berstandar restoran, dan saya tidak berharap anak laki-laki saya memilih daftar lagu yang bisa saya nyanyikan. Saya sudah menduga paman saya akan sedikit marah-marah, salah satu anak akan mengamuk, dan rumah akan terasa agak sempit. Meskipun mungkin ada damai dan keharmonisan—bahkan mungkin ada nyanyian gembira—di rumah tetangga saya, tidak mungkin saya akan meninggalkan keluarga saya dan pindah ke rumah sebelah. Bila gereja merupakan keluarga sejati kita, apa yang dikatakan di sini tentang berpindah-pindah gereja?

Meski demikian, saya pikir tantangannya dapat ditekan lebih jauh. Masalah dengan metafora keluarga bagi kita yang terbiasa dengan keluarga inti ala Barat adalah bahwa metafora tersebut seolah-olah menyiratkan bahwa gereja harus menjadi kelompok yang kecil dan nyaman, dengan batasan yang kuat di antara mereka yang diterima dan mereka yang tidak—sebuah komunitas yang berfokus ke dalam dan memerhatikan kebutuhannya sendiri. Namun ini bukanlah model keluarga menurut Alkitab.

Dalam konteks Timur Tengah zaman Perjanjian Baru, keluarga dapat berarti sangat luas dan dalam, mencakup beberapa generasi bahkan termasuk budak, mertua, dan tamu. Dengan perintah Alkitab yang jelas bagi umat Allah untuk menunjukkan belas kasihan kepada orang-orang yang paling terpinggirkan dan rentan dengan menyediakan perlindungan, makanan, serta merawat janda dan anak yatim piatu, hal ini pasti mematahkan kesibukan yang dianggap penting dan internal yang dimiliki oleh banyak keluarga dan gereja di Barat.

Dengan kata lain, ketika keluarga digunakan sebagai metafora generatif untuk gereja, hal ini dapat mengubah bukan saja prasangka dan harapan kita terhadap gereja, tetapi juga prasangka dan harapan kita terhadap keluarga. Keluarga yang terbuka, ramah, dan beragam dapat membawa perbedaan dalam diri semua orang yang rentan serta menjadi teladan bagi dunia yang semakin terpecah dan terisolasi, memberikan sedikit gambaran tentang Kerajaan Allah yang akan datang.

Gereja sebagai keluarga menawarkan penyeimbang yang sehat terhadap pola pikir gereja sebagai acara. Hal ini dapat menjadi penangkal bagi model partisipasi gereja yang lebih individualistis, bahkan konsumtif, yang umum terjadi saat ini. Keluarga saling menjaga satu sama lain; keluarga berkomitmen satu sama lain untuk jangka panjang. Mereka saling mendukung satu sama lain, baik dalam tragedi maupun kemenangan. Keluarga tidak membuat perhitungan tentang biaya dan manfaatnya—mereka berkomitmen dalam suka maupun duka, kaya maupun miskin.

Anak laki-laki kecil yang bermain di tengah debu itu baru saja menyelesaikan pendidikannya, meskipun di menghabiskan sebagian besar masa remajanya di panti asuhan. Namun ibunya tetaplah ibunya, dan gerejanya tetaplah gerejanya, dan ketika dia mengunjungi ibunya, dia mengunjungi gerejanya. Kami adalah rumahnya dan keluarganya, dan cara dia disambut dengan tangan terbuka pada hari Minggu pagi oleh orang-orang dari berbagai latar belakang, selalu membuat saya berpikir bahwa apa yang disebut kebaktian itu bukanlah kebaktian—tidak, itu adalah reuni, kumpul keluarga. Dalam kata-katanya, ini adalah sebuah pesta!

Krish Kandiah adalah pendiri lembaga amal untuk pengasuhan dan adopsi Home for Good dan memberi kuliah tentang keadilan, keramahtamahan, dan misi di Regents Park College, Universitas Oxford, dan Regent College Vancouver. Dia adalah penulis buku God Is Stranger: Finding God in Unexpected Places (IVP, 2018).

Diterjemahkan oleh Denny Pranolo.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, TwitterInstagram, atau Whatsapp.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube