Unduh Renungan Prapaskah
Terakhir kali saya mengambil roti dan cawan Perjamuan Kudus adalah pada hari Rabu Abu tahun 2020. Ketika itu sudah ada ketegangan di dalam ruangan, yang terakumulasi dari aktivitas politik bermuatan agama selama bertahun-tahun, dan kami baru berada di awal siklus pemilu yang akan tumpang tindih dengan pandemi, pemberontakan, dan konfrontasi nasional dengan supremasi kulit putih.
Jika Anda pernah menghadiri gereja secara teratur selama beberapa tahun terakhir, Anda mungkin tahu bagaimana rasanya menelan roti dan anggur sambil menginventarisasi hal-hal mental yang Anda benci tentang kehidupan dalam tubuh Kristus. Jika Anda belum pernah melakukannya, saya ikut senang. Namun jika Anda seperti saya, yang telah melihat hubungan Anda goyah di bawah beban balas dendam rasial yang sedang berlangsung, tamparan keras dari kehidupan selama pandemi, dan kesengsaraan budaya yang terpolarisasi secara politik, Anda mungkin memerlukan strategi untuk mempertahankan sikap doa hingga akhir ibadah.
Inilah yang sering saya lakukan: Saya melihat ke sekeliling ruangan dan membayangkan saya sedang menceritakan kembali kisah Yusuf di kitab Kejadian secara kontemporer. Yusuf dilahirkan dalam keluarga yang dipilih Tuhan, kemudian diusir dari rumah dan dijual sebagai budak akibat kecemburuan saudara-saudaranya. Ketika saya berada di gereja, mencoba meredakan amarah, saya bertanya pada diri sendiri, siapa di antara jemaat ini yang akan berperan sebagai Yusuf? Dan siapa yang akan berperan sebagai keluarganya yang berkhianat?
Karena memiliki perasaan dikecewakan oleh sebagian besar gereja Amerika, saya biasanya membayangkan diri sebagai Yusuf. Kisah sejarah saya baru-baru ini dengan keluarga Tuhan melibatkan komunitas iman yang terbelah secara ideologis, upaya konsiliasi rasial, dan perpecahan yang membakar gereja dengan hebat yang merusak relasi-relasi saya dan membuat saya melansir album perpisahan di rumah setiap Minggu pagi. Saya suka menyebut diri sebagai protagonis yang disalahpahami dalam sebuah narasi—benar dalam banyak hal—di mana orang Kristen Barat menolak panggilan untuk keadilan yang alkitabiah, meninggalkan orang percaya dengan kulit berwarna berdiri di luar lingkaran keluarga Allah tersebut.
Ini bukan satu-satunya cara saya untuk menceritakan kisah, atau satu-satunya cara agar bisa diperankan. Narasi lain di tahun-tahun yang sama ini melibatkan kerapuhan jemaat yang berjuang untuk menghadapi pandemi, kesulitan alami untuk membicarakan topik-topik yang penuh sejarah, dan sekelompok orang yang bermaksud baik namun meremehkan harga yang harus dibayar dalam memperjuangkan keadilan. Dalam narasi ini—yang juga benar—gereja bukanlah kobaran api yang besar, melainkan sebuah sumbu membara yang mencoba bertahan dari angin waktu dan budaya yang terus berubah.
Beberapa tahun terakhir pergolakan politik dan personal telah berulang kali mendorong saya untuk mendapatkan penghiburan melalui Alkitab. Saya ingin firman Tuhan mengatur pemikiran saya tentang momen budaya kita, yang biasanya berarti saya ingin kejelasan akan siapa teman dan siapa musuh. Di Amerika, di mana kita sering memakai Kitab Suci untuk membingkai politik sebagai konfrontasi apokaliptik antara yang baik dan jahat, ini adalah pendekatan umum terhadap Firman Tuhan. Sayangnya bagi kita yang suka memelihara sakit hati, pemaparan yang terlalu lama terhadap Alkitab mengacaukan kategori-kategori ini.
Semakin lama Anda berpikir tentang kehidupan Yusuf, semakin sulit untuk memisahkan karakter-karakternya—baik dalam cerita maupun kehidupan Anda sendiri—ke dalam kelompok-kelompok yang berbeda secara moral. Yusuf, yang menurut saya heroik di masa mudanya, mulai tampak jahat di usia paruh baya. Dia keluar dari pencobaannya sebagai gubernur Mesir, yang melaluinya ia bertemu kembali dengan keluarganya yang sedang mencari bantuan di masa kelaparan. Dia mengenali mereka, namun mereka tidak mengenalinya, dan dia mengambil kesempatan untuk membalas mereka.
Yusuf menyembunyikan piala peraknya di dalam sekantong gandum dan memberikannya kepada saudara-saudaranya. Seperti yang dia duga, mereka menemukannya dalam perjalanan pulang, untuk mengantisipasi tuduhan pencurian, dan ketakutan akan kehilangan nyawa mereka. Saudara-saudaranya kembali dengan merendahkan diri dan Yusuf berpura-pura tidak tergerak oleh permohonan mereka. Sekarang pahlawan dalam cerita itu tampaknya berperilaku jahat, menggunakan statusnya sebagai pejabat tinggi di kerajaan yang kejam untuk melecehkan keluarganya. Jika Anda seperti saya, yang awalnya menganggap diri sebagai Yusuf, pada titik ini Anda mungkin memikirkan kembali keputusan Anda.
Saat cerita bergerak menuju akhirnya, semakin sulit untuk mengatakan karakter mana yang seharusnya baik dan mana yang seharusnya jahat. Dalam proses pengembalian piala tersebut, saudara laki-laki Yusuf, Yehuda, menjadi orang pertama yang mengakui kesalahan seumur hidup keluarga mereka: anak yang hilang, ayah yang berduka, rumah tangga yang diliputi oleh luka selama puluhan tahun. Yusuf tidak dapat mempertahankan penguasaan dirinya dan mulai menangis, lalu ia mengungkapkan identitas aslinya. Saudara-saudaranya, yang dulu tidak berperasaan dan kejam saat remaja, telah menjadi rendah hati seiring bertambahnya usia, dan pertobatan mereka membuka kemungkinan untuk rekonsiliasi di akhir cerita.
Bagi kita yang lelah dengan berbagai kerumitan dan tantangan untuk menavigasi budaya sesaat yang membingungkan, hasil ini terasa mengecewakan. Inti dari obsesi saya dengan kisah Yusuf, sejujurnya, adalah menggunakan Alkitab untuk memberi tahu saya siapa yang harus dipersalahkan atas kegagalan yang terus-menerus terjadi dalam gereja.
Pada malam terakhir saya mengikuti Perjamuan Kudus, jemaat kami membaca bagian ayat yang biasa dibacakan pada acara tersebut: “Tuhan Yesus, pada malam waktu Ia diserahkan, mengambil roti, dan sesudah itu Ia mengucap syukur atasnya; Ia memecah-mecahkannya dan berkata, ‘Inilah tubuh-Ku, yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku!’” (1Kor. 11:23–24).
Saya mengikuti kebaktian itu dengan harapan mendapat tanda bahwa hubungan saya dapat dipulihkan dari apa yang rasanya seperti pertentangan politik dan agama yang tak tertahankan, tetapi kata-kata ini tidak terasa menghibur. Kata-kata tersebut justru membuat saya bertanya-tanya apakah Yesus mengadakan Perjamuan Kudus sebagai penyemangat atau peringatan. Siapa yang menawarkan tubuh dan darah miliknya sebagai makanan kecuali mereka yang berpikir bahwa Anda akan membutuhkan semua bantuan yang bisa Anda dapatkan?
Sebelum pergi menuju salib, Yesus memberi tahu para pengikut-Nya untuk saling mengasihi dan tinggal di dalam Dia, sebuah perintah sederhana yang mungkin mustahil untuk ditaati. Dia mengantisipasi kesulitan yang akan dialami para murid, dengan memahami bahwa keinginan yang besar untuk menjadi benar, untuk berada di pihak yang menang—keinginan besar apa pun yang menghidupkan permainan di pikiran saya—akan menggoda kita semua untuk mengiris tubuh-Nya dan sebagai gantinya, saling menganiaya. Menanggapi kelemahan kita, Dia menyajikan makanan supranatural yang dimakan oleh kita yang berusaha melakukan apa yang Dia minta. Makanan tersebut diberikan dengan harga yang sesuai dengan besarnya kebutuhan kita, memuaskan dan mengekspos kita pada saat yang bersamaan.
Pada akhir kebaktian tersebut, saya pun menangis. Tentu saja kami menyadari bahwa sulit bagi kami untuk tetap bersama; persekutuan itu didasarkan pada kenyataan bahwa tak seorang pun dari kami yang memiliki kekuatan untuk memperbaiki luka yang telah kami timbulkan bersama. Di kemudian hari, ketika relasi-relasi ini akhirnya lenyap karena konflik susulan yang terjadi di tahun 2021, saya terbangun di malam hari dan memikirkan tentang bagian yang saya perankan dalam kehancuran relasi-relasi tersebut.
Saya juga berpikir tentang apa yang terjadi setelah piala dan gandum, roti dan anggur. Bagi Yesus, ada penyaliban, dan bagi sebagian pengikut-Nya, ada kunjungan ke tempat di mana tubuh-Nya hancur. Pemeran karakter terakhir itulah yang tetap ada di benak saya setiap hari Minggu setelah saya kembali menghadiri gereja, di mana saya biasanya duduk di belakang ruang kebaktian dengan kopi dan donat di tangan, dan memakannya dengan perlahan sambil menantikan datangnya kebangkitan itu.
Yi Ning Chiu adalah penulis yang tinggal di San Francisco Bay Area. Reportase dan kritikannya pernah diterbitkan di Relevant Magazine, Teen Vogue, dan Ekstasis.
Diterjemahkan oleh Vika Rahelia.
Artikel ini merupakan bagian dari New Life Rising yang menampilkan artikel dan pendalaman Alkitab yang merefleksikan makna kematian dan kebangkitan Yesus. Terbitan khusus ini yang dapat digunakan selama masa Prapaskah, Paskah, atau kapan saja. Pelajari lebih lanjut di http://orderct.com/lent.