Mati bagi Diri yang Tak Tergantikan

Mungkin kita perlu mendengar kata-kata Yesus sebagai sebuah perintah untuk menyangkal cara-cara bawaan kita dalam menilai dan mengukur diri.

Christianity Today February 17, 2023
Image: Illustration by Bethany Cochran

Catatan untuk Pembaca: Artikel ini membahas topik tentang bunuh diri.

Kata-Nya kepada mereka semua: "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku. Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan menyelamatkannya." – Lukas 9:23-24

Unduh Renungan Prapaskah

Bagi seorang Kristen, jawaban yang jelas untuk pertanyaan “apa yang perlu mati?” adalah “diri sendiri.” Seperti yang Yesus katakan kepada para murid-Nya, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku” (Luk. 9:23). Kita cenderung mendengar hal ini sebagai perintah untuk menyangkal nafsu dan keinginan diri yang tidak terkendali, dan memang hal ini ada benarnya juga. Akan tetapi, mungkin kita perlu mendengar kata-kata Yesus dengan cara yang lebih radikal: sebagai sebuah perintah untuk menyangkal cara-cara bawaan kita dalam menilai dan mengukur diri. Dalam era teknologi yang terobsesi dengan ukuran untuk memetakan aktivitas fisik, produktivitas intelektual, kesehatan emosional, dan dampak keseluruhannya bagi manusia, diri kita pun dipandang sebagai entitas yang terukur—entitas yang nilainya dapat diukur dan dinilai apakah efektif atau tidak, berdampak atau tidak penting, sangat diperlukan atau dapat disingkirkan. Oleh karena itu, memang terdengar sangat radikal jika kita harus menyangkal diri sebagai entitas yang terukur.

Namun susunan Injil Lukas mengarahkan kita pada cara memahami kata-kata Yesus ini. Hanya beberapa ayat setelah para murid mendengar instruksi ini, mereka memperdebatkan “siapakah yang terbesar di antara mereka.” Yesus menanggapi dengan menempatkan seorang anak kecil di pangkuan-Nya dan menunjukkan sudut pandang yang berbeda tentang diri: “Yang terkecil di antara kamu sekalian, dialah yang terbesar” (Luk. 9:48). Paradoks ini, yang ada di dalam inti Kerajaan Allah, menunjukkan bahwa jika saya mati terhadap visi diri saya sendiri sebagai yang agung atau paling penting, maka saya dapat dibebaskan untuk hidup dengan setia dalam kekaguman dan rasa syukur seperti anak kecil.

Dalam bukunya Lost in the Cosmos, yang bersifat self-help dan nyeleneh, Walker Percy menawarkan sebuah eksperimen pikiran yang berkaitan dengan bunuh diri yang mungkin membantu kita merasakan bobot radikal dari perintah Yesus untuk menyangkal diri. Percy tidak menganggap remeh realitas tentang bunuh diri: kakek dan ayahnya bunuh diri, dan Percy yakin kematian ibunya dalam kecelakaan mobil juga merupakan bunuh diri. Sementara bunuh diri bisa tampak seperti penyangkalan harga diri, namun Percy membingkainya secara berbeda. Menanggapi munculnya depresi dan bunuh diri pada tahun 1980-an—masalah yang semakin mewabah dalam beberapa tahun terakhir—Percy mengajak seorang pasien yang ingin bunuh diri untuk mempertimbangkan bahwa mungkin “Anda depresi karena Anda memang memiliki segala alasan yang kuat untuk depresi…. Anda hidup di zaman yang gila—lebih gila dari biasanya, karena meskipun ada kemajuan besar dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia tidak memiliki gagasan sedikit pun tentang siapa dia atau apa yang dia lakukan.”

Resep dari Percy untuk mengatasi keputusasaan yang begitu mendalam bukanlah dengan menyangkali sekian banyak alasan keputusasaan yang valid. Sebaliknya, Percy berusaha melepaskan mitos tentang diri yang tak tergantikan. Orang yang ingin bunuh diri harus mengakui: Saya tidaklah penting. Percy mengajak pasiennya untuk membayangkan akibat bunuh diri. Dia menyebutkan kemungkinan konsekuensi dari perbuatan ini bagi anggota keluarga, sesama, dan rekan kerja. Terlepas dari disrupsi yang ditimbulkan oleh kematian, “dalam waktu yang sangat singkat, semua orang akan kembali kepada kebiasaannya sendiri seolah-olah Anda tidak pernah ada.” Dengan demikian, hasil dari eksperimen pikiran tersebut adalah: “Bagaimanapun juga, Anda bukanlah orang yang tidak tergantikan.”

Bagi Percy, kesadaran ini seharusnya mengangkat beban yang sangat besar dari pundak si pasien: “Mengapa tidak hidup saja, daripada mati? Anda bebas untuk melakukannya. Anda seperti seorang tahanan yang dibebaskan dari sel penjara hidupnya.” Semua orang mungkin masih “merasa sangat khawatir…atas status, menjaga muka, harga diri, persaingan nasional, kebosanan, kecemasan, depresi yang membuat mereka merasa butuh kelepasan terutama dalam perang dan bencana alam yang terus-menerus menimpa sesama.” Akan tetapi si mantan pelaku bunuh diri telah dibebaskan dari beban-beban diri yang terukur ini. Maksud Percy adalah bahwa nilai intrinsik hidup kita bukan berasal dari produktivitas atau efikasi atau persepsi akan pentingnya diri kita; ketika kita mati terhadap cara-cara mengukur diri seperti ini, kita dapat terbebaskan untuk menerima kehidupan sebagai anugerah yang tak terukur.

Percy menyimpulkan dengan dua sketsa yang membandingkan seorang yang tidak bunuh diri, yang masih berjuang melawan godaan untuk mengakhiri hidupnya dalam keputusasaan, dengan seorang mantan pelaku bunuh diri, yang telah mempertimbangkan kemungkinan bunuh diri dan menerima ketidakberdayaan dirinya:

Orang yang tidak bunuh diri adalah seorang penyedot perhatian yang berjalan, menghisap perhatian bersamanya dari masa lalu dan dihisap menuju perhatian terhadap dirinya di masa depan. Ia terengah-engah.

Berbeda halnya dengan si mantan pelaku bunuh diri. Ia membuka pintu depannya, duduk di tangga teras, dan tertawa. Karena dia memiliki pilihan untuk mati, dia tidak akan rugi dengan tetap hidup. Tetap hidup itu menyenangkan. Dia pergi bekerja bukan lagi sebagai sebuah tuntutan.

Percy mungkin telah keliru karena meremehkan konsekuensi sebenarnya dari kematian seseorang. Tentu saja kehilangan manusia siapa pun juga sangat dirasakan oleh anggota keluarga dan orang-orang yang dicintai, dan meskipun hidup terus berjalan, rasa kehilangan itu tidak dapat ditarik kembali. Meski demikian, poin yang lebih mendalam tetap ada: jika kita melepaskan diri yang terukur (the measurable self), kita dibebaskan untuk menerima diri yang diberikan (the given self), dan pertukaran ini memiliki implikasi yang mendalam tentang bagaimana kita hidup. Secara khusus, melepaskan diri yang terukur akan menggulingkan berhala kebesaran kita—dan bayangan cerminnya: kesia-siaan yang melumpuhkan—dan memungkinkan kita untuk hidup dengan setia tanpa mengkhawatirkan potensi dampak atau signifikansi kita.

Winter Scene in MoonlightImage: Henry Farrer / Wikimedia Commons
Winter Scene in Moonlight

Jika kita berpegang teguh pada mitos bahwa kita sangat dibutuhkan, kita—baik sebagai individu maupun institusi—akan tergoda dengan teknologi atau gerakan politik apa pun yang menjanjikan untuk memperluas jangkauan kita dan membuat kita lebih efektif. Jika kita berpikir bahwa kesuksesan bergantung pada upaya kita, kita akan beralih kepada pemikiran para pemimpin dan selebritas yang telah mencapai kehebatan nyata. Trik produktivitas apa yang mereka gunakan? Aplikasi apa yang memungkinkan mereka memaksimalkan jangkauan mereka? Strategi politik apa yang mereka ikuti? Cita-cita untuk menjadi besar dapat menghalalkan segala cara.

Pencobaan inilah yang Yesus hadapi pada awal pelayanan-Nya ketika Iblis mendatangi Dia di padang gurun. Yesus ditawarkan otoritas atas semua kerajaan dunia jika Dia mau menyembah Iblis (Luk. 4:6–7). Yesus bisa saja mencapai tujuan misi-Nya di bumi tanpa harus mengalami penderitaan dan kehinaan karena pengorbanan-Nya. Hal itu tampaknya jauh lebih efisien! Namun misi-Nya juga memerlukan kesetiaan dan kepatuhan kepada Bapa, kepatuhan yang membawa-Nya ke Getsemani dan Golgota. Selama perjalanan Prapaskah kita sendiri, kita memiliki kesempatan untuk menarik diri—berpuasa dari makanan atau media sosial atau cara lain yang selama ini kita andalkan untuk menjalani gaya hidup berdampak besar—dan merenungkan apakah sarana-sarana yang kita gunakan untuk menjadi efektif sebenarnya selaras dengan jalan Salib, jalan penyangkalan diri, jalan dari Yesus.

Sisi lain dari obsesi terhadap keberhasilan ini adalah merasuknya rasa kesia-siaan dan keputusasaan: beberapa orang atau institusi lain akan selalu tampak lebih sukses daripada kita. Dan bahkan jika kita menolak godaan untuk membandingkan diri kita dengan orang lain, masalah-masalah di zaman kita yang gila ini akan terus membayangi, membuat kita takut dengan ukurannya dan membayangi segala upaya kecil kita. Memakai istilah budaya yang menegaskan dan merayakan diri yang terukur, tidak ada tips kehidupan yang akan memungkinkan Anda untuk “memanfaatkan” aset demi “membuat perbedaan” atau “memberi dampak” pada persoalan-persoalan seperti perubahan iklim atau rasisme atau kemerosotan agama. Rasa kesia-siaan ini dapat menyebabkan keputusasaan yang melumpuhkan.

Namun jika kita mengikut Yesus dan menyangkal diri, kita mengalami kekaguman dan vitalitas seperti anak kecil, seperti yang dialami oleh mantan pelaku bunuh diri dalam buku Percy. Untuk menunjukkan sikap ini dalam kaitan dengan contoh saya sebelumnya, menyadari bahwa Anda tidak harus memperbaiki perubahan iklim akan membebaskan Anda untuk merawat kebun Anda dengan gembira. Menyadari bahwa Anda tidak perlu memberantas rasisme akan membebaskan Anda untuk mendengarkan seorang teman dari latar belakang ras yang berbeda. Menyadari bahwa Anda tidak perlu memulihkan kemerosotan moral budaya akan membebaskan Anda untuk mengundang beberapa anak di sekitar lingkungan Anda untuk ikut acara api unggun. Menyadari bahwa Anda tidak harus menyelamatkan dunia akan membebaskan Anda untuk mengasihi sesama.

Penyangkalan yang mendalam terhadap sikap menganggap diri penting akan memberi kita kepercayaan diri yang kita butuhkan untuk lebih mengejar kesetiaan daripada dampak, kepatuhan daripada keberhasilan. Standar-standar yang kontras ini sangat memengaruhi cara kita memutuskan jalur karier mana yang akan dipilih, strategi politik mana yang diikuti, teknologi mana yang diadopsi di gereja kita, dan pola hidup mana yang akan kita terapkan.

Secara inheren, tidak ada yang salah dengan menjadi pribadi yang efisien atau berpengaruh. Namun kedua hal ini secara hakiki tidaklah baik. Dan jika kita memandang pekerjaan atau institusi kita sebagai hal yang tak tergantikan, kita akan berusaha tanpa henti untuk memperluas jangkauannya. Sebaliknya, jika kita bekerja seperti mantan pelaku bunuh diri, kita akan bekerja dengan rasa syukur. Sebagaimana diingatkan melalui ritme kaum Sabbatarian, kita tidak menciptakan dunia atau menebusnya dari perbudakan; pekerjaan kita hanyalah berpartisipasi dalam pekerjaan yang telah Allah selesaikan.

Jika Yesus tidak menganggap "kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan," jika Yesus "telah mengosongkan diri-Nya sendiri," terlebih lagi kita, seberapa besar seharusnya kita melepaskan rasa menganggap diri penting (Flp. 2:6-7)? Tuhan tidak membutuhkan saya untuk mencapai tujuan-Nya. Saya benar-benar dapat digantikan. Yesus mengangkat anak kecil sebagai teladan dari sikap ini: anak kecil menjengkelkan-atau penuh kegembiraan—tidak efisien (Luk. 9:47–48; 18:15–17). Anak-anak tidak melakukan pekerjaan penting dan sering menghambat “produktivitas” orang lain. Dengan caranya sendiri, anak-anak mengingatkan kita bahwa kita perlu mati terhadap visi kita tentang kebesaran diri dan menerima Kerajaan Allah dengan rasa syukur, takjub, dan penuh sukacita seperti seorang anak kecil—atau seorang mantan pelaku bunuh diri.

Marilah kita menjalani hidup karena kita telah mati. Marilah kita merawat kebun kita, memelihara keluarga kita, mengasihi sesama kita, dan mulai bekerja karena kita telah mati terhadap diri yang terukur (the measurable self) dan menerima diri yang diberikan (the given self).

Pertanyaan refleksi



1. Apakah implikasi dari perintah Yesus untuk menerima Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil?

2. Bagaimana rasanya menerima panggilan Yesus untuk menjadi yang terkecil daripada yang terbesar?

3. Bagaimana kita bisa berbagi kegembiraan seperti mantan pelaku bunuh diri dengan mereka yang terbebani oleh kecemasan dan depresi?

“Bagi warga negara Indonesia, jika Anda berpikir untuk bunuh diri atau mengetahui seseorang yang mencoba melakukan bunuh diri, silakan hubungi [Layanan SEJIWA di nomor telepon 119 (ekstensi 8)].”

Jeff Bilbro adalah lektor kepala jurusan Bahasa Inggris di Grove City College. Buku-buku terbaru beliau di antaranya adalah Reading the Times: A Literary and Theological Inquiry into the News dan Loving God’s Wildness: The Christian Roots of Ecological Ethics in American Literature.

Diterjemahkan oleh Fanni Leets.

Artikel ini merupakan bagian dari New Life Rising yang menampilkan artikel dan pendalaman Alkitab yang merefleksikan makna kematian dan kebangkitan Yesus. Terbitan khusus ini yang dapat digunakan selama masa Prapaskah, Paskah, atau kapan saja. Pelajari lebih lanjut di http://orderct.com/lent.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Our Latest

Inkarnasi Lebih dari Sekadar Palungan

Bagaimana seorang uskup Afrika kuno memperjuangkan kisah penebusan dalam inkarnasi.

Yusuf Adalah ‘Ayah Kandung’ Yesus

Saya tidak memerlukan ikatan biologis untuk menjadi ayah dari embrio yang saya dan istri adopsi.

Cover Story

Sisi Lain dari Natal

Dibutuhkan keberanian bagi Allah untuk menanggalkan kekuasaan dan kemuliaan-Nya serta mengambil tempat bagi-Nya di antara manusia.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube