Books

Orang Kristen Seharusnya Mendorong Terwujudnya Keberagaman dan Kesetaraan

Iman mendorong kita untuk memberikan rasa memiliki yang sama kepada orang lain seperti yang telah kita terima.

Christianity Today August 29, 2022
Edits by Christianity Today / Source Image: Juan Moyano / Getty

Bagi kita yang percaya bahwa kita diselamatkan oleh iman dan bahwa kepedulian terhadap orang lain merupakan perpanjangan dari iman, kita tahu bahwa poin yang pertama harus mendahului yang berikutnya—namun sering kali lebih mudah bagi kita untuk membiarkan tugas dan kesibukan menjadi pemandu kita.

Sebagai seorang tipe tiga di Enneagram, saya sangat memahami bagaimana rasanya membiarkan pengejaran atas hasil dan pencapaian membuat kita lupa akan alasan kita memulai perjalanan ini. Tantangannya adalah ketika kita membiarkan apa dan bagaimana menggantikan mengapa, kita segera terbebani dengan melengkapi “daftar tugas” kita.

Dengan demikian, kita mengabaikan perubahan hati yang lebih mendalam, yang diperlukan untuk mengatasi kehancuran dan penderitaan yang terjadi di lingkungan, komunitas, dan masyarakat kita.

Inilah masalah yang dihadapi oleh mereka yang bekerja di area keberagaman, kesetaraan, dan inklusi (Diversity, Equity, Inclusion atau DEI) saat ini. Misalnya, sebuah artikel kepemimpinan Forbes menyajikan empat alasan mengapa program DEI gagal—semuanya terkait dengan persoalan yang berpusat pada tugas. Akan tetapi sebagai orang Kristen, kita tahu masalahnya lebih daripada itu.

Keberagaman, kesetaraan, dan inklusi seharusnya menjadi perhatian kita karena ketiganya adalah hasil dari kebenaran penting yang tertanam secara mendalam pada iman Kristen. Terlepas dari segala perbedaan kita, sesungguhnya kita semua diciptakan setara dalam gambar Allah dan menjadi milik Tuhan serta milik satu sama lain. Inilah yang menjadi alasan di balik semua yang kita lakukan—inilah bahan bakar yang membuat pelayanan penjangkauan kita terus berjalan.

Namun demikian, fokus yang benar seharusnya tidak hanya pada DEI, tetapi pada keberagaman, kesetaraan, dan kepemilikan (Diversity, Equity & Belonging atau DEB), di mana kata “inklusi” diganti dengan rasa memiliki yang lebih holistik—yang saya yakini adalah kunci penting di mana keberagaman dan kesetaraan itu berputar.

Saya percaya orang-orang Kristen berada dalam posisi terbaik untuk memajukan gerakan DEB agar dapat bertahan dalam ujian waktu dan menjadi kesaksian bagi dunia. Namun kita tidak bisa melakukan ini sampai kita sepenuhnya memahami dua realitas utama mengapa kita harus melihat dan meningkatkan derajat serta kehidupan dari mereka yang tidak seperti kita.

Pertama, kita milik Tuhan.

Selama beberapa tahun, komunitas saya telah melakukan refleksi yang mendalam untuk memahami bagaimana kami memberi keyakinan akan rasa memiliki bagi mereka yang terpanggil melayani bersama kami. Tujuan kami adalah untuk memperkenalkan orang-orang dari berbagai lapisan masyarakat dan membantu mereka tumbuh dalam iman mereka—sehingga mereka akan merasakan dan mengetahui bahwa mereka dapat berkembang dalam panggilan pribadi mereka.

Karena itu, kami berusaha meletakkan dasar yang akan menopang harapan kami dalam meningkatkan dan melibatkan mereka yang berasal dari latar belakang dan pengalaman yang beragam. Saya sangat yakin untuk melakukan hal ini karena saya percaya DEB berkaitan erat dengan Injil.

Alasannya sederhana: Kami melakukan pelayanan ini karena Kristus telah mati, sehingga setiap kita—terlepas dari segala perbedaan—dapat sekali lagi menjadi bagian dalam Kerajaan Allah. Alkitab tidak mengatakan bahwa Kristus mati untuk beberapa orang menurut hierarki tertentu (misalnya, orang kulit putih lebih banyak daripada yang bukan kulit putih, orang kaya lebih banyak daripada miskin, pria lebih banyak daripada wanita, dan lain-lain).

Dalam kebaikan-Nya, Allah menawarkan kepada kita rasa memiliki yang sejati—rasa kekeluargaan dalam komunitas dan pemahaman bahwa kita adalah milik-Nya dan tidak perlu sendirian. Adapun yang menjadi inti dari kerinduan kami adalah untuk memastikan setiap orang dapat terlihat dan terdengar. Namun hal ini bukanlah karena dorongan untuk bergabung dengan suatu momen budaya melainkan untuk menunjukkan sifat sejati Tuhan yang mengasihi semua orang, dan yang juga mengasihi keberagaman.

Tuhan ingin kita mempercayai Dia, mendekat kepada-Nya, dan menjadi bagian dari keluarga-Nya. Kita adalah anak-anak-Nya. Ketika Ia meninggalkan jejak-Nya pada diri kita, Ia menyatakan bahwa kita adalah milik-Nya.

Berapa banyak dari kita yang perlu mendengar pesan itu pada hari ini? Berapa banyak dari sesama kita yang berkulit hitam dan coklat, perempuan, cacat, miskin, serta terabaikan, yang perlu tahu bahwa mereka milik Seseorang yang berusaha untuk merangkul mereka di dalam Kristus, yang tidak menghakimi dan mengejek pribadi mereka, penampilan mereka, atau apa yang masyarakat pikirkan tentang mereka?

Tuhan mengetahui sesuatu yang tidak kita ketahui (ini mengejutkan): Perbedaan dalam diri orang lain yang kita pandang rendah adalah sebuah pengingat betapa Tuhan kita sangatlah intensional, kreatif, indah, serta memiliki tangan dan hati yang penuh keterbukaan. Kesamaan bukanlah hal yang utama dalam pengaturan Tuhan. Sebaliknya, kesamaan justru membatasi kemampuan kita untuk melihat dan menghargai keindahan penuh dari beragam mosaik ciptaan Tuhan.

Dalam The Next Evangelicalism, Soong-Chan Rah menulis, “Ketika individualisme Barat memusatkan perhatian kita pada refleksi personal dari imago Dei dalam individu, kita perlu melihat gambar Allah diungkapkan sebagai refleksi bersama.” Hanya dalam keberagamanlah maka kita dapat mewujudkan keindahan sepenuhnya dari gambar Allah.

Intinya? Tangan Tuhan terbuka lebar untuk menyambut siapa saja. Sebagai orang Kristen, kita sendiri telah mengalami rasa dimiliki oleh Tuhan, dan hal ini seharusnya juga menjadi kerinduan kita agar semua orang mengalaminya—dari Tuhan dan dari umat-Nya.

Kedua, kita saling memiliki.

Kata semboyan ada karena suatu alasan. Ketika pandemi melanda pada tahun 2020, berapa banyak dari kita yang mendengar kata “poros” sampai kita berpikir akan berteriak? Namun itulah kata yang dibutuhkan pada momen tersebut. Hari ini, istilah yang sedang naik daun yang sering saya dengar belakangan ini adalah “kedekatan”—pentingnya kedekatan dalam ruang, waktu, atau relasi.

Saya percaya kita tidak akan pernah mencapai DEI dengan benar sampai kita menumbuhkan rasa kedekatan antara diri kita sendiri dan orang-orang di sekitar kita—dengan menutup kesenjangan pemahaman antara pengalaman kita dan orang-orang dari latar belakang yang berbeda (yaitu, etnis, ras, ekonomi, generasi, dll.).

Dengan risiko terdengar kontroversial, saya terkadang bertanya-tanya apakah orang percaya mengubah istilah atau ide tertentu menjadi menyeramkan hanya karena kita mencari jalan keluar yang mudah dari diskusi dan ketegangan yang sulit? Berapa banyak dari kita yang melihat percakapan ditutup segera setelah istilah seperti “CRT” (critical race theory) atau “bangkit” disampaikan?

Sebenarnya beberapa aspek teologi Amerika Barat telah gagal memperlengkapi kita untuk menyatukan ketegangan dan ketidaknyamanan. Hal ini dapat membuat kita tidak bisa menghadapi kenyataan sulit yang perlu kita alami dan rasakan dalam pengejaran akan rasa memiliki. Ini jauh lebih sulit bagi kita untuk menekan titik konflik kita dan mengeksplorasi perbedaan kita bersama-sama.

Dalam bukunya Think Again, psikolog Adam Grant menjelaskan bahwa kita sering mendengarkan pandangan “yang membuat kita merasa nyaman, dibanding gagasan yang membuat kita berpikir keras” dan “mendukung keyakinan yang nyaman ketimbang ketidaknyamanan dari keraguan.” Aduh, kalimat ini sangat tajam sekali.

Realitas Kerajaan Allah adalah bahwa kita semua saling memiliki satu sama lain dan oleh karena itu kita tidak dapat mengabaikan percakapan alot yang berusaha menghormati imago Dei dalam diri kita semua. Terlalu sering, kita hanya melihat diri kita sendiri dan orang lain sebagai individu. Akan tetapi karya Tuhan di dalam kita juga bersifat korporat dan komunal—Dia telah menempatkan kita dalam konteks sebuah keluarga di dalam tubuh Kristus.

Inilah alasan mengapa DEB penting—karena bagi Tuhan sangatlah penting jika kita semua bekerja dan hidup bersama. Ia telah menciptakan kita untuk hidup dalam komunitas satu sama lain dan mencerminkan citra-Nya di dunia ini.

Saya mengajak kita untuk merenungkan tidak hanya apa dan bagaimana keberagaman, kesetaraan, inklusi, dan kepemilikan itu, melainkan juga untuk memeriksa alasan mengapa kita perlu mengangkat nilai-nilai ini. Sebagai orang Kristen, kita harus mulai mengejar prakarsa DEB dengan berdiri teguh di atas fondasi yang telah Tuhan letakkan bagi kita.

Kita adalah umat kepunyaan-Nya dan memiliki satu sama lain—dan Tuhan menginginkan hal itu berlaku bagi semua orang, di mana pun juga. Kabar baiknya adalah bahwa Tuhan mengundang kita untuk berpartisipasi dalam membantu orang-orang di sekitar kita agar mengalami kebenaran ini dan menyadari bahwa mereka juga termasuk di dalam kerajaan-Nya.

Arthur L. Satterwhite III adalah wakil presiden dari Diversity, Belonging, and Strategy di Young Life.

Speaking Out adalah kolom opini tamu Christianity Today dan (tidak seperti tajuk rencana) tidak mewakili pendapat dari penerbit.

Diterjemahkan oleh Timothy Daun.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, Twitter, atau Instagram.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube