Jika Anda cukup sering berkhotbah, sebuah kebenaran pahit akan muncul: Anda dapat menyampaikan khotbah yang tajam, masuk akal, dan kedap secara teologis—dan tetap melihatnya memantul dari jemaat seperti bola tenis yang memantul dari dinding bata. Jemaat di bangku gereja mungkin menganggukkan kepala, tetapi hati mereka tetap tidak tersentuh. Mereka mungkin setuju secara intelektual, tetapi tidak ada gerakan yang terjadi. Tidak ada perubahan. Tidak ada pertumbuhan.
Mengapa hal ini terjadi?
Sebab meskipun pikiran terlibat, hati tetap yang memimpin. Hati, sebagaimana akhirnya ditemukan oleh para seniman dan pendeta, berbicara dalam bahasa yang hanya dapat diterjemahkan oleh seni. Kita bukan sekadar makhluk rasional yang kadang-kadang mengalami kelemahan emosi. Sebenarnya, kita adalah makhluk yang sangat emosional yang terkadang mencoba-coba menggunakan akal sehat. Sebagai seorang pengkhotbah, saya memahami bahwa untuk benar-benar mengubah perilaku pendengar saya, perubahan harus terjadi di tingkat afektif, bukan di tingkat intelektual. Inilah sebabnya mengapa semua orang gagal melakukan kebaikan yang mereka tahu seharusnya mereka lakukan, dan melakukan kesalahan yang mereka tahu salah.
Khotbah yang mentransformasi
Pertimbangkanlah perbedaan antara khotbah yang menginformasikan dan khotbah yang mentransformasi. Yang pertama berurusan dengan ide, penafsiran, dan argumen. Yang kedua berkutat dengan keindahan, misteri, dan kerentanan. Anda dapat terhubung dengan pikiran seseorang melalui kalimat yang cerdas atau kerangka yang terstruktur dengan baik. Namun untuk menjangkau hati, Anda perlu menawarkan sesuatu yang lebih—sesuatu yang hidup, sesuatu yang indah, sesuatu yang berisiko menimbulkan kerentanan. Anda membutuhkan seni.
Dalam The Artist’s Way, Julia Cameron menegaskan bahwa kreativitas bukanlah kemewahan yang diperuntukkan bagi segelintir orang terpilih, melainkan hak spiritual yang melekat. “Penolakan untuk menjadi kreatif,” tulisnya, “adalah keinginan diri sendiri dan bertentangan dengan sifat sejati kita.” Hal yang dipahami Cameron—dan hal yang harus dipelajari setiap pendeta—yaitu bahwa kreativitas adalah jalan menuju hati. Ini bukan sekadar teori. Ini adalah sesuatu yang saya alami secara langsung.
Pada masa Prapaskah yang lalu, saya mendedikasikan diri pada disiplin yang Cameron sebut “Halaman Pagi.” Ini adalah praktik harian menulis tiga halaman yang berisi pikiran kesadaran kita yang mengalir bebas setiap pagi. Pada awalnya, saya merasa sedikit memanjakan diri sendiri. Namun seiring berjalannya waktu, hal ini menjadi disiplin formasi spiritual yang mengikis perisai perlindungan diri saya dan membantu saya menemukan jiwa saya sendiri dengan cara yang segar dan kreatif. Bagi para komunikator, kita tidak dapat berharap untuk menyentuh jiwa orang lain sebelum kita bersedia bertemu dengan jiwa kita sendiri.
Kerentanan, keindahan, dan peran pengkhotbah
Seni, pada bentuk terbaiknya, adalah suatu tindakan kerentanan. Seni mengungkap kerinduan, keraguan, dan harapan sang seniman. Dengan cara yang sama, khotbah yang berani menjadi seni yang menyingkapkan hati si pengkhotbah itu sendiri. Khotbah yang semacam ini tidak puas hanya dengan menerangkan teks; khotbah ini akan berusaha mewujudkannya, mewujudkan keindahan sekaligus kengeriannya, mewujudkan harapan sekaligus dukanya. Seperti yang ditulis Rick Rubin dalam The Creative Act, “Alasan kita hidup adalah untuk mengekspresikan diri kita di dunia. Dan menciptakan karya seni mungkin merupakan metode yang paling efektif dan indah untuk melakukannya.”
Rubin mengingatkan kita bahwa kreativitas bukanlah tentang polesan atau kesempurnaan. Kreativitas adalah tentang kehadiran. Artinya, sepenuhnya terlibat pada momen tersebut, mendengarkan suara hati Anda sendiri dan memercayai bahwa apa pun yang Anda bawakan, meskipun cacat atau belum selesai, tetap berarti.
Khotbah yang terbaik bukanlah khotbah yang membuat kita terkesan dengan kecerdasan sang pengkhotbah, melainkan khotbah yang mengundang kita masuk ke dalam hati si pengkhotbah. Dalam kasus terbaik, hati itu terbenam dalam Yesus, yang dinyatakan dalam Kitab Suci. Khotbah-khotbah tersebut tidak terasa seperti ceramah, melainkan lebih seperti puisi, tidak terasa seperti argumen, melainkan lebih seperti lagu.
Rancangan Tuhan tentang keindahan
Cerita Alkitab tentang Bait Suci adalah cerita tentang seni. Ketika Allah memerintahkan pembangunan Kemah Pertemuan—dan kemudian, Bait Suci—Dia tidak sekadar menyediakan gambar rancangan dan daftar bahan-bahan. Dia menugaskan seniman, memanggil mereka sesuai nama-namanya:
Berfirmanlah TUHAN kepada Musa: “Lihat, telah Kutunjuk Bezaleel bin Uri bin Hur, dari suku Yehuda, dan telah Kupenuhi dia dengan Roh Allah, dengan keahlian dan pengertian dan pengetahuan, dalam segala macam pekerjaan, untuk membuat berbagai rancangan supaya dikerjakan dari emas, perak dan tembaga; untuk mengasah batu permata supaya ditatah; untuk mengukir kayu dan untuk bekerja dalam segala macam pekerjaan. Juga Aku telah menetapkan di sampingnya Aholiab bin Ahisamakh, dari suku Dan; dalam hati setiap orang ahli telah Kuberikan keahlian. Haruslah mereka membuat segala apa yang telah Kuperintahkan kepadamu” (Kel. 31:1–6)
Tuhan memanggil Bezaleel dan Aholiab dengan nama mereka dan memenuhi mereka dengan Roh Allah. Bukan untuk pertempuran atau kepemimpinan. Bukan untuk pengarahan atau ceramah. Namun untuk tujuan seni. Kemah Pertemuan dan Bait Suci bukan sekadar ruang fungsional; keduanya adalah karya seni, yang menggunakan emas dan sulaman, ukiran kerubim, serta batu-batuan yang berkilauan. Setiap detail dirancang untuk menggugah kekaguman, mengundang penyembahan, dan mendekatkan hati si penyembah menuju hati Tuhan.
Bait Suci lebih dari sekadar sebuah bangunan. Itu adalah penanda persimpangan antara langit dan bumi, antara yang transenden dan yang nyata. Keindahannya bukan sekadar hiasan, melainkan keindahan yang hakiki. Bangunan ini menggetarkan hati, membangkitkan kerinduan, dan mengingatkan umat Allah bahwa Dia bukan sekadar gagasan untuk dipahami, melainkan keberadaan yang harus dijumpai.
Khotbah sebagai seni yang sakral
Jika Bait Suci membutuhkan seniman, mengapa khotbah harus berbeda? Pengkhotbah tidak hanya dipanggil untuk menjelaskan misteri Allah, melainkan juga untuk mewujudkannya—untuk menciptakan khotbah-khotbah yang mana khotbah itu sendiri merupakan tindakan seni yang sakral. Ini tidak berarti setiap khotbah harus berupa pertunjukan atau setiap pengkhotbah harus menjadi penyair. Ini berarti setiap khotbah harus berani menghadirkan keindahan; harus berani menunjukkan kerentanan; harus berani berani membuka kemungkinan bahwa khotbah itu tidak hanya menginformasikan, melainkan juga mentransformasi.
Sarana-sarana sang seniman—imajinasi, metafora, cerita, keheningan—juga merupakan milik seorang pengkhotbah. Ketika kita berkhotbah dengan penuh seni, kita tidak hanya mengajak orang untuk berpikir tentang Tuhan, melainkan juga untuk mengalami Dia. Kita membantu mereka merasakan rasa rindu yang mendalam dan sensasi kegembiraan akan pengharapan. Dan kita mengundang mereka untuk membawa seluruh diri mereka—segala luka dan kekaguman mereka, segala keraguan dan kerinduan mereka—ke hadirat Allah yang hidup.
Dari kepala sampai hati
Manusia tidak hidup hanya dari pikirannya. Mereka hidup dari hati mereka—pusat hasrat, tempat harapan bergejolak dan ketakutan bersembunyi. Dalam Kitab Suci, hati lebih dari sekadar emosi. Hati adalah pusat kendali seluruh pribadi seseorang. Itulah tempat di mana kita mencintai, memaafkan, mengambil risiko, dan percaya.
Karena itulah Salomo berkata: “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan” (Ams. 4:23).
Hatilah yang menggerakkan kita untuk bertindak. Jadi, saat kita berkhotbah kepada hati orang-orang, kita tidak mengabaikan kebenaran demi perasaan—kita membidik inti keberadaan seseorang, tempat transformasi sejati dimulai.
Seperti yang ditulis James K. A. Smith dalam You Are What You Love, “Keinginan, kerinduan, dan hasrat kita merupakan inti identitas kita, sumber yang daripadanya segala tindakan dan perilaku kita mengalir.” Sebuah khotbah yang hanya berbicara kepada pikiran mungkin dapat memenangkan suatu argumen, tetapi tidak akan mengubah kehidupan. Hanya orang yang terhubung dengan hati yang bisa melakukannya.
Seni adalah jembatan antara pikiran dan hati. Itulah bahasa jiwa, musik yang menggerakkan kita ketika kata-kata saja tidak cukup. Seperti yang dikatakan Julia Cameron, “Seni membawa banyak hal ke arah cahaya. Seni menerangi kita. Seni menyorot kegelapan yang masih tersisa pada diri kita. Seni menyinari kegelapan dalam hati kita dan berkata, ‘Lihat?’”
Khotbah yang artistik melakukan hal yang sama. Khotbah semacam itu berani menyinari tempat-tempat tersembunyi, mengenali segala kerinduan dan kehilangan. Khotbah itu juga mengundang jemaat untuk tidak hanya memahami melainkan juga merasakan. Bukan sekadar setuju, melainkan juga berubah.
Khotbah, dalam bentuk terbaiknya, adalah suatu tindakan seni yang sakral. Khotbah adalah karya menciptakan keindahan dari kata-kata, mengundang jemaat ke dalam perjumpaan dengan Allah yang hidup. Khotbah adalah karya kreatif yang menghubungkan, bukan hanya dengan pikiran, melainkan juga dengan hati—pusat sejati yang daripadanya manusia hidup, bergerak, dan memiliki keberadaan.
Kita seharusnya tidak hanya puas dengan khotbah yang sekadar memberi informasi saja. Kiranya kita berani menciptakan khotbah-khotbah yang merupakan karya seni—yaitu khotbah-khotbah yang berani menghadirkan keindahan, berani menunjukkan kerentanan, dan berani membuka kemungkinan transformasi. Sebab senilah yang menyentuh hati. Hatilah, dan hanya hati, yang akan mengalirkan kehidupan sejati.
Sean Palmer adalah pendeta pengajar di Ecclesia Houston, seorang penulis, pelatih pembicara, dan penulis Speaking by the Numbers.
Diterjemahkan oleh Maria Fennita S.