Ideas

Ayah yang Setia

Laporan-laporan tentang matinya kebapaan telah sangat dibesar-besarkan. Ada banyak ayah yang baik, seperti ayah saya, yang dengan diam-diam memberkati anak-anaknya.

Christianity Today May 29, 2025
Cohen / Ostrow / Getty / Edits by CT

Masalah dengan ayah bukanlah hal baru. Masalah ini sudah ada sejak awal. Kitab Kejadian saja merupakan katalog yang luas tentang dosa-dosa para ayah, baik itu dosa Adam, Nuh, dan Lot, maupun nenek moyang orang Israel.

Bagaimana dengan ayah yang baik? Berikut ini tulisan C.S. Lewis, pada tahun 1940-an:

Kita telah belajar dari Freud dan lainnya tentang distorsi karakter dan kesalahan pemikiran yang timbul dari konflik awal seorang pria dengan ayahnya. Hal terpenting yang dapat kita ketahui tentang George MacDonald adalah bahwa seluruh hidupnya menggambarkan proses yang berlawanan. Hubungan yang hampir sempurna dengan ayahnya adalah akar yang membumi dari semua kebijaksanaannya. Dari ayahnya sendiri, katanya, dia pertama kali belajar bahwa kebapaan harus menjadi inti dari alam semesta. Dia pun dipersiapkan dengan cara yang tidak biasa untuk mengajarkan agama yang menempatkan hubungan Bapa dan Anak sebagai hubungan yang paling sentral dibandingkan dengan semua hubungan lainnya.

Dapatkan pembaruan harian dalam Bahasa Indonesia langsung di ponsel Anda! Bergabunglah dengan kanal WhatsApp kami.

Saya pertama kali membaca kata-kata ini saat remaja, ketika seorang rohaniwan kaum muda—seorang bapa rohani dengan caranya sendiri—mulai memberikan buku-buku Lewis, G.K. Chesterton, dan Dietrich Bonhoeffer kepada saya. Kutipan ini berasal dari halaman pembuka antologi MacDonald yang disunting Lewis. Tulisan-tulisan pendeta, pengkhotbah, dan novelis asal Skotlandia ini sangat penting bagi pertobatan Lewis, sedemikian pentingnya sehingga Lewis memanggilnya “guru saya.”

Lewis menulis bahwa MacDonald memiliki “hubungan yang hampir sempurna dengan ayahnya.” Tampaknya luar biasa. Namun, apakah itu unik?

Saya kira tidak. Ketiadaan peran ayah merupakan masalah yang nyata, tetapi laporan tentang matinya kebapaan telah dibesar-besarkan. Bahkan, alasan mengapa komentar Lewis berkesan bagi saya saat saya masih SMA adalah karena komentar itu menggambarkan pengalaman saya sendiri. Benar, hanya sedikit dari kita yang akan menggunakan frasa hampir sempurna untuk membicarakan ayah kita. Namun baikpenuh kasih, dan setia semuanya cocok untuk menggambarkannya. Beberapa dari kita sebenarnya ingin menjadi seperti ayah kita saat kita dewasa—bahkan setelah kita, secara teknis, sudah dewasa serta menjadi suami dan ayah.

Anda mungkin tidak menyadarinya dari cara kita memperingati Hari Ayah. Kadang-kadang Hari ayah dirayakan dengan mempermalukan para ayah atas kegagalan mereka, baik yang nyata maupun yang dibayangkan. Pada bulan Mei, tak seorang pun bisa berhenti memuji keagungan dari peran ibu. Namun begitu bulan Juni tiba, kita meluap dengan keluhan tentang kekurangan ayah masa kini. Pada waktu yang lain, dalam antusiasme kita yang wajar untuk memuji Allah sebagai Bapa yang sempurna, pembicaraan kita tentang peran ayah melayang menjadi abstrak dan cita-cita yang tidak terjangkau. Ayah-ayah yang nyata di bangku gereja tidak pernah benar-benar memenuhi standar itu; siapa yang bisa?

Maka, untuk Hari Ayah kali ini, berikut ini usulan saya: Daripada berfokus pada ayah secara umum, mari kita bicarakan ayah-ayah tertentu. Tidak ada satu pun di antara kita yang memiliki ayah yang abstrak. Para ayah yang ada di sekitar kita adalah ayah yang berwujud tiga dimensi. Benar, beberapa di antara mereka bersalah atas banyak kejahatan paternal yang sering kita alami. Namun tidak semuanya. Jadi, apa saja kebajikan khusus yang dimiliki ayah-ayah tertentu, ayah Anda atau ayah saya?

Ketika saya memikirkan ayah saya, tiga kebajikan langsung terlintas dalam benak saya.

Yang pertama berkaitan dengan berkat. Ayah adalah agen berkat. Anak-anak akan layu tanpanya; dengan berkat dari ayah, anak-anak menjelajah dunia seakan-akan dilindungi oleh perisai yang tak dapat ditembus. Bayangkan tragedi keluarga Von Erich, seperti yang digambarkan dalam film The Iron Claw: Seorang ayah dengan enam orang putra, lima di antaranya telah meninggal dunia sebelum dia, dan tiga di antaranya bunuh diri.

Rekan saya, Randy Harris (ayah rohani saya yang lain) baru-baru ini berbicara tentang apa yang disebut “kutukan” Von Erich:

Film tersebut membuat kita berpikir bahwa hal itu tidak sepenuhnya benar. Itu bukan kutukan. Yang terjadi adalah anak-anak yang mengejar berkat yang tak terjangkau dari ayah mereka yang tak pernah benar-benar datang. Dan mungkin saya sedikit tersentuh dengan perkataannya karena saya telah melayani cukup lama dengan para mahasiswa dan pendeta untuk melihat apa yang terjadi ketika seorang putra atau putri tidak mendapatkan berkat dari ayahnya. … Jika Anda seorang ayah dan belum memberikan berkat itu kepada anak Anda akhir-akhir ini, Anda mungkin perlu mempertimbangkan untuk melakukannya. Itu salah satu hal yang paling penting.

Kita tahu dari Alkitab bahwa berkat seorang ayah mempunyai makna yang sangat besar. Namun, apa sebenarnya itu? Itu bukan persetujuan atau pengakuan. Bukan pula persahabatan atau kemiripan. Tidak, berkat seorang ayah adalah perkenanannya—jawaban ya yang tanpa syarat, tanpa penyesalan, dan penuh kepastian terhadap seluruh keberadaan seseorang. Itu adalah kasihnya dalam bentuk pemberian seumur hidup, yang tak tergoyahkan oleh ancaman akan kehilangan. Itu adalah pernyataan publik yang menyatakan: “Inilah anakku yang kukasihi, kepadanyalah aku berkenan.”

Berkat yang diberikan para nenek moyang Israel dalam Alkitab merupakan momen yang terjadi satu kali seumur hidup, dan karena itu menjadi semakin rentan. Dalam kehidupan kita, berkat dari ayah bukan hanya sesaat, melainkan lebih merupakan sikap yang ditunjukkan di sepanjang masa kanak-kanak dan seterusnya. Berkat seorang ayah berkata, aku ada untukmu, apa pun yang terjadi—bahkan sekalipun yang datang, seperti dalam perumpamaan tentang anak yang hilang, adalah anak yang pernah menolaknya.

Saya tidak pernah mengalami sehari pun dalam hidup saya tanpa berkat dari ayah saya. Itu adalah keamanan tanpa batas, anugerah yang tidak ada tandingannya di dunia. Selain iman kepada Kristus, itulah hal yang paling saya harapkan untuk dapat saya berikan kepada anak-anak saya—lebih dari sekadar kebahagiaan, lebih dari sekadar kesehatan, lebih dari sekadar masa depan yang sukses. Thomas à Kempis menyebut hidup tanpa Kristus sebagai “neraka yang tak kenal ampun.” Saya tidak akan mengatakan hal yang sama tentang hidup tanpa berkat seorang ayah, tetapi budaya kita dipenuhi dengan berbagai kisah yang tidak segan-segan mengungkapkannya.

Hal ini mengingatkan saya pada kebajikan kedua dari ayah saya: Keinginan untuk memutus siklus yang merusak dan tekad untuk melindungi siklus yang memberi kehidupan.

Ayah saya tidak tumbuh dengan keinginan untuk menjadi seperti ayahnya, yang kasar, tidak dekat, dan terlalu sering mabuk. Oleh kasih karunia Allah, ayah saya masuk kuliah sebagai seorang ateis dan lulus kuliah sebagai seorang Kristen yang sudah menikah. Perjumpaan dengan Kristus berarti sebuah revolusi dalam perjalanan hidupnya sebagai seorang pria, terutama sebagai seorang suami dan ayah. Dengan pertolongan Roh, dia menjadi setia: kepada Kristus, kepada istrinya, dan akhirnya kepada ketiga putranya.

“Kesuksesan” baginya tidak diukur berdasarkan standar dunia—kenikmatan, uang, citra, atau tanda-tanda eksternal lainnya. Bagi dia, kesuksesan diukur berdasarkan kesetiaan. Bukan kesempurnaan, bukan tanpa dosa, melainkan kesetiaan. Kesetiaan yang mencakup pertobatan, yang merupakan satu-satunya jenis yang ditawarkan bagi orang Kristen.

Ada kutipan terkenal yang dikaitkan dengan Frank Clark: “Seorang ayah adalah pria yang mengharapkan putranya menjadi pria sebaik yang dia maksudkan.” Penafsiran yang pesimis akan melihat kata-kata ini sebagai elegi terhadap semua kegagalan ayah untuk menjadi apa yang seharusnya (atau yang mereka harapkan). Pembacaan yang lebih memberi harapan akan melihatnya sebagai sebuah visi tentang peran seorang ayah yang realistis—saya akan gagal—dan mengorbankan diri—saya akan berhasil jika anak saya melampaui saya. Dengan kata lain, jika anak saya menjadi ayah yang lebih baik daripada saya, dan putranya menjadi ayah yang lebih baik daripada dirinya, dan seterusnya, selamanya. Itulah yang diinginkan ayah saya.

Kebapaan sebagai sebuah peningkatan yang aspiratif, bertahap, dan lintas generasi—memastikan langkah mundur tidak pernah melampaui langkah maju—dan hal ini memerlukan tekad kuat dalam dua sisi. Pada satu sisi, itu berarti dengan tegas menolak semua sejarah, keadaan, dan godaan yang bisa membuat kesetiaan menjadi kurang memungkinkan. Pada sisi lain, itu berarti melindungi, memperbarui, dan mewarisi semua kebaikan yang telah kita terima dari orang lain atau yang kita bangun sendiri. Jenis kebapaan seperti ini menuntut kemauan yang tak tergoyahkan: Kemauan untuk mencintai, berkorban, dan kemauan untuk setia apa pun risikonya.

Ketiga dan terakhir, seorang ayah adalah seorang guru. Ayah saya jelas seorang guru. Suka atau tidak, semua ayah memberi pelajaran, dan tidak hanya melalui contoh.

Katekisasi saya terjadi di dalam mobil. Tanpa saya sadari, minivan kami bukan hanya sekadar alat transportasi untuk mengantar saya ke turnamen basket di sekitar Texas. Itu adalah sarana yang licik, legal, yang dirancang untuk menjebak saya selama berjam-jam dalam percakapan yang tidak diinginkan: Tentang Tuhan, tentang perempuan, tentang etos kerja. Tentang apa saja dan segala hal yang tidak ingin saya bicarakan. Namun, apa yang dapat saya lakukan? Sekalipun saya tidak berbicara, saya dipaksa untuk mendengarkan.

Percakapan-percakapan itu adalah benih yang, dalam beberapa kasus, butuh waktu lama untuk tumbuh, apalagi mekar. Dan tidak diragukan lagi terkadang percakapan-percakapan itu sama menyakitkannya bagi ayah saya seperti halnya bagi saya. Namun, percakapan itu jauh lebih penting daripada pelajaran-pelajaran biasa, beberapa di antaranya dilatih (seperti cara mengendarai sepeda atau melakukan lemparan bebas bola basket) dan sebagian tidak (seperti cara memperbaiki mobil atau mengerjakan lembar kerja).

“Dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka,” kata Yesus tentang para murid-Nya (Mat. 7:16). Hal yang sama berlaku untuk para ayah.

Pada Desember lalu, saudara-saudara lelaki saya dan istri-istri kami berkumpul di ruang belakang sebuah restoran di Austin bersama puluhan teman dari orang tua saya (dan yang saya maksud dengan “teman” adalah saudara-saudari seiman di dalam Kristus yang telah hidup, memimpin, bersukacita, menangis, beribadah, dan melayani bersama mereka sejak saya masih bayi). Kami berkumpul di sana untuk merayakan pensiunnya ayah saya dari perusahaan tempat dia bekerja selama lebih dari 40 tahun.

Saya dan saudara-saudara lelaki saya masing-masing berkesempatan berbicara, mencoba menjelaskan apa yang membuat ayah kami begitu baik—sebagai mentor, sebagai guru, sebagai pengikut Kristus yang setia. Bagi kami, pertanyaan itu terjawab dengan sendirinya: Pria ini hidup dengan baik karena dia menjalani kehidupan yang baik. Dia tahu apa yang penting dan berkomitmen penuh pada hal itu.

Ayah hidup dengan baik bukan saat hidupnya berjalan baik, tetapi saat dia hidup sesuai dengan kehendak Tuhan, terlepas bagaimanapun kehidupannya berjalan. Anak-anak mereka melihatnya. Saya melihatnya. Kehidupan seperti itu sendiri merupakan berkat yang dibutuhkan seorang anak; kehidupan seperti itu membuka setiap pintu yang benar dan menutup semua pintu yang salah.

Anak-anak saya memanggil dia Pop-E. Sebagai canak tertua, saya mengangkat gelas dan berkata pada seisi ruangan, Saya ingin jadi seperti Pop-E ketika saya tumbuh dewasa.

Brad East adalah lektor kepala bidang teologi di Abilene Christian University. Dia adalah penulis empat buku, termasuk The Church: A Guide to the People of God dan Letters to a Future Saint: Foundations of Faith for the Spiritually Hungry.

Diterjemahkan oleh Denny Pranolo.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, X, Instagram, atau Whatsapp.

Our Latest

Perdukunan di Indonesia

Bolehkah orang Kristen mempraktikkan ‘ilmu putih’ untuk menyembuhkan orang sakit dan mengusir setan?

News

Wafat: James Dobson, yang Mengajarkan Kaum Injili untuk Berfokus pada Keluarga

Psikolog anak ini menjawab ratusan ribu pertanyaan tentang pengasuhan anak dan mendesak umat Kristen untuk berjuang dalam “perang nilai-nilai” Amerika.

Tuhan Cemburu, tetapi Tidak Pernah Iri Hati

Kita sering memperlakukan dua kata ini sebagai sinonim. Dalam Kitab Suci, keduanya hampir bertolak belakang.

Public Theology Project

Gereja Itu Rapuh—Namun Tak Tergoyahkan

Kita mungkin sedih melihat keadaan gereja, tetapi kita tetap bisa mengasihi dan memperjuangkannya.

Mengapa Kita Sangat Ingin Mengukur Kecerdasan?

Kemampuan manusia untuk bernalar tidak sama dengan AI dalam mengumpulkan informasi.

Tetap Termotivasi dalam Pelayanan (Saat Anda Tidak Merasa Termotivasi)

Ketika pelayanan menjadi rutinitas yang membosankan, motivasi pun mengering. Namun kasih karunia Allah menghidupkan kembali apa yang tidak pernah dapat dihidupkan oleh rasa bersalah dan kerja keras.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube