Tumbuh di pulau Jawa, Indonesia, Happy Natalisa ingat saat ia diejek karena kulitnya yang gelap. Teman sekelasnya memanggil dia si hitam dan orang Papua karena ayahnya adalah orang Papua, kelompok etnis yang berasal dari provinsi paling timur Indonesia di Papua Barat.
Penampilannya memengaruhi bagaimana dia melayani di gereja. Dia lebih suka berada di belakang layar, memilih bergabung dengan pelayanan doa daripada menjadi pemimpin ibadah. Belakangan, dia menyadari bahwa ini disebabkan oleh “benih ketidakamanan.”
“Saya merasa sedih, bahkan bertanya kepada Tuhan mengapa saya lahir di Jawa, yang menyebabkan trauma di masa remaja saya,” kata Natalisa. Dia mendambakan kulit yang lebih cerah. Hanya melalui bantuan kelompok pemuridan perguruan tinggi bertahun-tahun kemudian, dia akhirnya dapat menerima warna kulitnya dan menemukan harga dirinya dalam pandangan Tuhan tentang dirinya. Namun tetap saja, rutinitas perawatan kulit harian wanita berusia 28 tahun ini mencakup sebotol kecil serum wajah berwarna merah muda yang menjanjikan kulit yang lebih terang dan cerah, dengan melindungi kulitnya dari paparan sinar matahari tropis Indonesia yang keras. Teman-temannya sekarang memuji kulitnya yang “bercahaya,” kata Natalisa dengan berseri-seri.
Seperti di banyak negara di dunia, produk pencerah kulit sangat populer di kalangan wanita Indonesia, karena sebagian besar menganggap “kulit cerah dan bercahaya” sebagai lambang kecantikan. Cara-cara perawatan kulit yang mencakup krim, losion, perawatan, atau pil—beberapa di antaranya dianggap berbahaya dan tidak efektif—telah berkembang menjadi industri bernilai miliaran dolar di seluruh dunia. Di Indonesia, pasar perawatan kulit diproyeksikan mencapai hampir 19 juta USD pada tahun 2030.
Dengan penduduk yang terdiri dari lebih dari 1.000 suku bangsa, Indonesia dibangun di atas gagasan Bhinneka Tunggal Ika, yang berarti dalam keberagaman tetap ada persatuan. Namun preferensi untuk kulit yang lebih terang, yang berakar pada kolonialisme, tetap meresap dalam masyarakat Indonesia dan dilanggengkan oleh iklan dan media.
Di tengah budaya yang mengutamakan kulit lebih terang ini, sejumlah orang Kristen Indonesia berjuang untuk melawan narasi tersebut. Melalui pelayanan wanita dan mempromosikan keragaman etnis di gereja, mereka mendefinisikan kembali kecantikan berdasarkan nilai-nilai alkitabiah.
Sejarah diskriminasi berdasarkan warna kulit di Indonesia
Standar kecantikan Indonesia saat ini dimulai pada era kolonial Belanda tahun 1600-an, yang membentuk hierarki sosial yang menempatkan mereka yang berkulit putih sebagai yang paling unggul, keturunan Tionghoa berikutnya, dan pribumi Indonesia di urutan paling bawah.
“Yang cerdas, yang berbudi luhur, dan yang patut diteladani [adalah] yang berkulit putih,” kata Esther Kuntjara, profesor ilmu bahasa dan budaya di Universitas Kristen Petra Surabaya. “Begitulah kebijakan yang diterapkan Belanda saat itu. Hal ini sudah tertanam kuat di sini.”
Bahkan setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, diskriminasi dan ketidaksetaraan berdasarkan warna kulit tetap ada melalui colorism, di mana masyarakat mengutamakan warna kulit yang lebih putih daripada yang lebih gelap. Orang dengan kulit lebih putih biasanya mendapat keuntungan di tempat kerja dan relasi mereka, sementara mereka yang berkulit lebih gelap mengalami kerugian dan prasangka sistemik.
Penggunaan model berkulit terang dalam iklan kecantikan dan kosmetik—awalnya diimpor dari AS atau Eropa, kemudian dari negara-negara Asia Timur—juga memengaruhi cara pandang orang Indonesia terhadap kecantikan, kata Agung Kurniawan, psikolog di Surabaya.
Kurangnya representasi warna kulit yang beragam di TV, film, dan media sosial juga berkontribusi pada efek paparan semata, di mana individu mengembangkan preferensi terhadap hal-hal yang yang mereka rasa familier. “Kesan bahwa kecantikan diasosiasikan dengan kulit putih sangat memengaruhi perempuan Indonesia sehingga menyebabkan maraknya produk pemutih kulit di Indonesia,” kata Kurniawan.
Saat ini, penelitian menunjukkan bahwa wanita Indonesia tidak menyukai kulit putihnya orang Amerika atau Eropa “karena [kulit] tampak putih kemerahan, seperti udang.” Warna kulit Tionghoa juga tidak disukai karena sejarah panjang diskriminasi terhadap orang Indonesia Tionghoa. Alih-alih, penjajahan Jepang di Indonesia (1942–1945) telah menyebarkan pandangan yang mendalam tentang kecantikan kulit putih khas wanita Jepang.
Bagi Helen Marlina, 32 tahun, seorang Kristen yang bekerja di sebuah perusahaan hubungan masyarakat multinasional, menggunakan produk pemutih kulit adalah investasi untuk karirnya. “Jika saya tidak memiliki kulit yang tampak cerah, saya merasa tidak cukup kredibel untuk melakukan pekerjaan saya,” kata Marlina. “Saya juga merasa bahwa masyarakat pada umumnya menganggap wanita dengan kulit lebih cerah lebih menarik dalam interaksi sosial sehari-hari.”
Sementara itu, Retno Lopis, seorang ibu rumah tangga berusia 53 tahun yang tinggal di Balikpapan, Kalimantan Timur, mengatakan bahwa ketika dia mulai mengoleskan salep pemutih kulit buatan lokal, dia mendapati kulitnya yang tadinya berminyak dan kusam dengan cepat menjadi lebih putih dan cerah. Namun dia berhenti menggunakannya karena merasa tidak nyaman dan tidak yakin dengan keamanan bahannya setelah melihat perubahan yang cepat. Meski tidak lagi menggunakan produk pemutih kulit, Lopis mengatakan dia masih percaya wanita dengan kulit yang lebih putih terlihat lebih bersih dan terawat. “Saya ingin menghilangkan pola pikir seperti itu, tetapi saya mengamati bahwa wanita dengan kulit lebih gelap cenderung terlihat kusam dan lebih tua.”
Mendidik generasi masa depan tentang kecantikan batin
Preferensi terhadap kulit putih begitu mengakar di masyarakat Indonesia, bahkan hingga saat ini, orang tua tidak menganjurkan anaknya menikah dengan orang yang berbeda etnis dengan kulit lebih gelap. Misalnya, orang Tionghoa Indonesia tidak ingin anak-anak mereka mencari pasangan dari ras lain kecuali mereka orang Barat berkulit putih, kata Kuntjara.
Ketika aktris Nana Mirdad memposting foto dirinya dan suaminya yang berkulit lebih putih di Instagram, dia menerima komentar yang mempertanyakan kecocokan mereka, dengan seorang netizen berkomentar bahwa dia harus “bersyukur” bahwa seseorang dengan kulit gelap seperti itu dapat menemukan suami berkulit putih. Di bawah gambar layar komentar tersebut, Mirdad menulis: “Jangan pernah merasa minder dengan warna kulit kita, apapun itu. Putih bukan berarti lebih baik dari sawo matang. Stop membeda-bedakan.”
Untuk mengatasi dampak negatif media dan iklan terhadap generasi muda, Kuntjara berpendapat penting bagi orang tua untuk mendidik anaknya di rumah. Ia mengatakan bahwa orang tua harus mengajarkan anak untuk tidak menilai orang berdasarkan warna kulit atau penampilan fisiknya, tetapi menilai orang lain berdasarkan hati, pola pikir, dan sikapnya. Meskipun ini mungkin tampak seperti saran yang biasa di dunia Barat, namun ini merupakan hal yang cukup baru di Indonesia.
“Ada hubungan timbal balik antara pengaruh media dan persepsi masyarakat,” katanya. “Jika masyarakat menjadi sadar bahwa konsep kulit putih hanyalah produk persepsi orang untuk kepentingan tertentu, narasinya mungkin mulai berubah.”
Orang tua Natalisa, Erina Saraswati, mencatat bahwa dalam membesarkan anak-anaknya, dia telah mengajari mereka bahwa meskipun orang lain mengejek, mereka tidak boleh menanggapi dengan tidak baik. “Saya mengatakan kepada mereka, ‘Biarkan mereka mengatakan hal-hal negatif tentang penampilan atau kulit gelapmu, tetapi ingat bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan,‘” kata Saraswati. “Jadi saya mendorong [Natalisa] untuk fokus pada keunggulannya di sekolah. Saat mereka tumbuh dan menjadi dewasa, saya juga mengajari mereka untuk membawa pengalaman ini ke dalam doa dan memaafkan mereka yang mengolok-oloknya.”
Teologi kecantikan Kristen
Susanna I. Setiawan berjuang untuk memerangi standar kecantikan yang tidak realistis di kalangan wanita Kristen melalui pelayanannya, Wanita Bijak Indonesia. Sejak tahun 2001, Wanita Bijak telah memberikan bimbingan dan pendampingan bagi perempuan, mulai dari remaja hingga dewasa, agar dapat mengalami pemulihan identitas gender sebagai ciptaan Allah. Melalui pelajaran yang berlandaskan pada Alkitab tentang keunikan seorang wanita, perannya, dan bagaimana dia bisa menjadi panutan, pelayanan ini bertujuan untuk membantu wanita menerapkan Firman Tuhan dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Organisasi ini awalnya dimulai dengan membimbing wanita di gereja lokal dan kini telah berkembang menjadi organisasi berskala nasional dengan kelompok-kelompok kecil di 91 kota di seluruh negeri serta pendalaman Alkitab secara daring yang telah menjangkau Singapura, Malaysia, Myanmar, Tiongkok, dan Belanda.
“Berawal dari kesadaran mendasar bahwa diciptakan sebagai perempuan adalah keindahan berharga yang dianugerahkan oleh Allah Yang Maha Pencipta,” kata Setiawan. “Saat seorang wanita memahami dan mengenali nilainya sendiri, dia akan menemukan kedamaian dalam dirinya dan merangkul seluruh keberadaannya.”
Wanita Bijak dimulai dengan kamp dan kelas bimbingan untuk wanita lajang dan menikah. Bimbingan kemudian diperluas untuk melayani remaja, dan sekarang mencakup kelompok khusus untuk wanita dalam berbagai tahap atau fase kehidupan: janda, ibu muda, guru, wanita dalam pelayanan, dan istri pendeta. Dalam kelas-kelas ini, Wanita Bijak menghadirkan pembicara untuk mengajarkan Alkitab dan memfasilitasi diskusi kelompok.
Dalam program pendampingan tentang kecantikan holistik, Setiawan mengatakan sebagian besar peserta bercerita bahwa mereka tidak puas dengan penampilan fisiknya. Banyak yang berpegang teguh pada standar kecantikan masyarakat tentang tubuh langsing, wajah ramping, kelopak mata ganda, dan kulit halus dan putih. Jadi Setiawan menunjuk pada Kidung Agung 1:5, “Memang hitam aku, tetapi cantik, hai putri-putri Yerusalem,” untuk menunjukkan bahwa ide kecantikan dari Allah tidak didasarkan pada warna kulit seseorang.
Di kelas Wanita Bijak, Setiawan sering memberikan catatan penting bahwa Alkitab tidak pernah menekankan penampilan fisik sebagai satu-satunya ukuran kecantikan wanita. Sebaliknya, wanita dalam Alkitab seperti Ribka, Abigail, dan Ester digambarkan cantik karena iman, sikap, karakter, dan perbuatan baiknya. Ia juga menekankan bahwa sangat penting bagi wanita untuk memiliki pemahaman yang benar tentang dirinya sendiri berdasarkan standar Firman Tuhan yang tidak berubah sehingga mereka merasa aman dan tidak mudah digoyahkan oleh ajaran dunia (Kol. 2:7–10).
Sebuah studi tahun 2016 oleh Universitas Biola mendukung poin tersebut: Dari 243 orang Kristen yang disurvei, mereka yang percaya bahwa tubuh mereka suci dan sengaja diciptakan oleh Allah cenderung merasa nyaman dengan tubuh mereka. Setiawan mencatat bahwa ketika orang Kristen menerima Yesus, Roh Kudus berdiam di dalam diri mereka, dan tubuh mereka bukan lagi milik mereka sendiri tetapi milik Allah. Oleh karena itu, “kita memperhatikan penampilan fisik kita, bukan karena hal itu menentukan harga diri kita, tetapi karena kita tahu bahwa kita sudah berharga,” ungkapnya.
Ia juga mencatat bahwa standar kecantikan berbeda-beda di setiap negara dan berubah seiring waktu, menciptakan tujuan yang terus bergeser. Daripada mengejar tren terbaru, wanita Kristen harus merawat tubuh mereka dan “menampilkan kulit yang bersih dan sehat sambil menonjolkan kecantikannya, terlepas dari warna kulit kita”.
Salah satu peserta Wanita Bijak adalah putri Setiawan sendiri, Stephani Chara. Sekarang berusia 23 tahun, Chara ingat kala ia berjuang sebagai remaja muda dengan rasa tidak aman atas kulitnya yang kecokelatan dan merasa iri pada wanita yang “lebih cantik secara alami”. Setelah bergabung dengan program Girls’ Talk yang berfokus pada remaja perempuan, dia perlahan-lahan menyadari bahwa nilai dirinya di mata Tuhan mengalahkan opini eksternal tentang apa yang indah.
“Saya akhirnya belajar bagaimana merawat diri dan kulit saya dengan lebih baik,” kata Chara. “Namun demikian, yang di luar tidak akan pernah mengubah apa yang sebenarnya sudah ada di dalam, nilai dan keberhargaan utama saya yang diberikan oleh Allah sendiri, yang telah menenun saya dengan sempurna di dalam rahim ibu saya.”
Keanekaragaman dan inklusi dalam umat Allah
Gereja juga dapat membantu mengakhiri diskriminasi atas warna kulit dengan menjadi lebih inklusif, kata Jefry Lie, pendeta muda GKBJ Kelapa Gading, sebuah gereja Baptis di Jakarta. Banyak gereja di Indonesia memisahkan diri berdasarkan etnis, seperti gereja Batak (yang mayoritas berasal dari suku Batak di Sumatera) atau gereja Tionghoa. Di gereja Lie, sekitar 90 persen beretnis Tionghoa, sedangkan 10 persen sisanya beretnis Jawa atau dari kota-kota di Indonesia Timur seperti Ambon dan Manado.
Lie sendiri adalah setengah Tionghoa dan setengah Toraja (kelompok masyarakat adat di Sulawesi Selatan), dan mendorong gereja menjadi ruang aman di mana orang dari semua etnis dan budaya dapat merasa disambut, diterima, dan dihargai. “Ketika gereja tidak dibatasi oleh warna kulit atau budaya tertentu, jemaat menjadi terbiasa dengan keberagaman, sehingga menumbuhkan wawasan yang luas dalam masyarakat tentang arti keindahan,” ujarnya.
Meskipun sebagian besar jemaatnya adalah orang Tionghoa, orang percaya non-Tionghoa menjadi beberapa pemimpin inti dan pelayan gereja, “jadi, meskipun mereka minoritas [di gereja], mereka merasa diterima,” kata Lie. Namun, mereka menghadapi tantangan karena beberapa orang di gerejanya tetap curiga terhadap orang-orang dari berbagai etnis, menganggap mereka yang berkulit gelap sebagai “kurang dari."
Dalam memimpin kaum muda gereja, Lie melihat ide-ide ini menjalar ke kalangan muda, karena generasi muda Tionghoa tidak mau bersosialisasi atau berkencan dengan non-Tionghoa.
“Saya mengajari remaja dan dewasa muda bahwa stigma seperti itu tidak datang dari Allah,” kata Lie. “Saya mendorong mereka untuk berinteraksi dengan orang-orang dari semua etnis dan yang memiliki warna kulit berbeda, baik dalam pelayanan gereja maupun dalam lingkungan sosial, sehingga mereka dapat memperluas perspektif mereka, menyadari bahwa individu dari etnis yang berbeda tidak seperti yang mereka pikirkan.”
Bagi Natalisa, keputusasaan atas kulitnya yang gelap hanya sirna melalui hubungan yang lebih dekat dengan Allah dan komunitas Kristen yang mendukung. “Saya tidak berani mengembangkan diri sampai saya menyadari nilai harga diri di mata Allah selama pemuridan di perguruan tinggi,” kenangnya. Dia bergabung dengan sebuah kelompok kecil di mana teman-temannya tidak hanya menegaskan keberhargaan dirinya dan menerimanya, melainkan juga membantu dia merangkul dirinya sendiri seperti yang Allah ciptakan.
Dengan melihat dirinya sendiri melalui perspektif alkitabiah, dia akhirnya mampu mengabaikan standar kecantikan dalam budaya. Dengan pemahaman ini, perspektifnya tentang dirinya berubah.
Dia menunjuk ke Kejadian 1:26—“Berfirmanlah Allah: Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita…’”—sebagai landasan utama yang membantu dia menerima penampilannya.
“Dari ayat ini, saya mengerti bahwa saya sudah diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, jadi mengapa saya harus mengubahnya?” kata Natalisa. “Jika Yang Mahakuasa mengatakan saya sudah sempurna saat menciptakan saya, apa lagi yang perlu diubah?”
Maria Fennita dan Ivan K. Santoso berkontribusi pada laporan ini.