Pastors

Ketakjuban yang Layak Diperjuangkan

Cara agar Allah tetap berada di pusat ibadah.

CT Pastors December 18, 2025

Apa yang akan terjadi Minggu pagi mendatang jika Allah tidak hadir? Apakah khotbah masih akan menyentuh hati dan beresonansi dengan kebenaran, jika Roh Allah tidak menerangi Kitab Suci saat dibaca dan dikhotbahkan? Bayangkan sebuah ibadah di mana tangan-tangan terangkat tetapi musik kehilangan gaungnya yang biasa, karena tidak ada Roh Kudus di sana. Ketika orang-orang pulang, apakah mereka merasa hampa?

Mungkin ibadah itu tidak akan terlihat berbeda sama sekali. Kemungkinan ibadah itu bahkan lebih mencekam daripada ancaman ketidakhadiran Allah.

Perjalanan pelayanan saya dimulai pada tahun 1999, di sebuah pertemuan di sebuah apartemen kecil. Sebagai kelompok orang percaya yang terasing, kami secara rohani tidak memiliki tempat tinggal, mencari sesuatu yang kami sebut “spiritualitas yang autentik.” Pertemuan-pertemuan sederhana itu adalah beberapa pengalaman rohani yang paling memperkaya spiritualitas dalam hidup saya.

Dapatkan pembaruan harian dalam Bahasa Indonesia langsung di ponsel Anda! Bergabunglah dengan kanal WhatsApp kami.

Kami berbicara dengan terbuka dan jujur tentang iman, keraguan, kesepian, kesedihan, juga kesehatan mental. Kami saling mendoakan dan menyanyikan himne, pujian, atau mazmur. Jarang ada pengajaran formal, tetapi kami menemukan cara untuk saling mendukung.

Setelah itu, kami dapat dengan jujur berkata, “Sesungguhnya TUHAN ada di tempat ini” (Kej. 28:16).

Dari awal yang sederhana ini muncul diskusi tentang mendirikan gereja. Setelah apartemen terasa terlalu kecil, kami akhirnya pindah ke basemen gereja tua. Pertemuan menjadi sedikit lebih formal seiring pertumbuhan kami, tetapi kesungguhan dan kesederhanaan tetap ada. Kami berdoa, bernyanyi, dan saling mendukung dalam keputusan karier, hubungan, keguguran, dan pindah rumah.

Beberapa tahun kemudian, gereja itu mulai menyerupai sebuah institusi besar. Staf terpecah dan kelelahan saat kami meluncurkan kampanye pengumpulan dana ketiga kami dalam lima tahun. Kami menghadapi atap yang bocor dan tim yang kurang tidur. Namun, kami berhasil melaksanakan ibadah dengan lancar. Kami—hampir secara harfiah—bisa melakukannya sambil tidur.

Namun, apakah panggilan altar masih menarik orang jika tanpa kehadiran Roh? Bahkan saat kami dengan mahir menutupi kekacauan di balik layar, saya bertanya-tanya apakah ibadah kami yang dirancang dengan baik ini sebanding dengan kehangatan rohani seperti yang pernah ada pada pertemuan-pertemuan awal kami?

Merenungkan pengalaman-pengalaman ini sering membuat saya memikirkan perbedaan antara hari-hari di apartemen itu dan realitas gereja yang lebih besar. Ini bukan hanya tentang menjadi muda dan idealis. Meskipun kekurangan fasilitas, kami bisa merasakan kehadiran Allah yang tak terbantahkan.

Namun, seiring berjalannya waktu, pertanyaan apakah kehadiran yang sama itu masih terasa begitu nyata dalam ibadah gereja yang jauh lebih besar dan terstruktur sering menghantui saya. Saya percaya bahwa kesederhanaan hari-hari awal pertemuan kami dan kompleksitas pertemuan kami yang lebih besar adalah ekspresi autentik dari perjalanan iman kami, tetapi jelas ada pergeseran dalam perasaan saya sendiri tentang harapan dan kemungkinan.

Alasan di balik pergeseran itu terletak pada hilangnya ketakjuban.

Ketika Iman Menjadi Fungsional

Max Weber, seorang sosiolog abad ke-20, adalah orang pertama yang menggambarkan efek modernitas sebagai keterhilangan terhadap hal-hal yang menakjubkan. Seperti yang dilihat Weber, dunia pasca-Pencerahan dan pasca-Revolusi Ilmiah telah kehilangan misteri. Seseorang mungkin naik trem, kata Weber, dan tidak tahu bagaimana cara kerja trem itu, tetapi bagi orang modern, pemahaman itu hanya sejauh perjalanan ke perpustakaan (pada zamannya) atau pencarian Google (di zaman kita). Intinya adalah bahwa pengaturan bawaan ini menguras transendensi dari setiap momen. Tidak ada misteri di dunia ini, yang ada hanya proses yang belum kita pahami.

Filsuf Kanada Charles Taylor, mengembangkan tema yang disampaikan Weber, menunjukkan bahwa modernitas membuka pintu pada skeptisisme yang meluas, terutama terhadap hal-hal supranatural. Dahulu, kepercayaan pada transendensi menjadi landasan kehidupan sehari-hari, dengan kebanyakan orang percaya kepada Tuhan serta mengakui adanya misteri dan kekuatan di luar kendali mereka. Namun, semangat zaman modern kini telah berubah.

Saat ini, sebagian besar diskursus intelektual di dunia modern beroperasi di bawah asumsi realitas tanpa Tuhan, di mana segala sesuatu dapat dijelaskan melalui cara-cara yang bersifat materi. Pemahaman kita tentang dunia telah menghilangkan misteri di balik banyak fenomena: Wabah bukan lagi hasil dari roh atau kutukan, melainkan konsekuensi dari kuman dan virus, serta cuaca buruk dapat dijelaskan oleh sistem tekanan udara, bukan perbuatan Tuhan. Sama seperti trem dalam penjelasan Weber, bahkan jika kita tidak memahami persis mekanisme yang terjadi, kita percaya ada penjelasan logis di baliknya.

Orang-orang Kristen, terutama pendeta dan pemimpin gereja, memiliki kecenderungan serupa untuk memandang kehidupan rohani melalui lensa yang sama. Kita sering membingkai pengalaman religius sebagai hasil dari proses yang dapat kita pahami dan manipulasi. Apa pun yang memicu reaksi positif dalam pelayanan, entah itu ibadah Minggu atau program pemuridan, memiliki daya pikat yang sangat kuat.

Meskipun keinginan untuk mengendalikannya dapat dimengerti, pada akhirnya hal ini membawa kita ke jalan pragmatisme dan, sayangnya, sinisme. Alih-alih mencari pertumbuhan rohani yang sejati, pertemuan gereja menjadi lebih fokus pada “momen-momen bermakna,” dengan mengandalkan musik yang menggugah atau khotbah yang menarik seperti sebuah pertunjukan. Lebih parahnya lagi, jemaat, yang haus akan transendensi, dengan mudah menerima dan bahkan menghargai pertemuan-pertemuan yang manipulatif dan digerakkan oleh emosi ini.

Penekanan pada produksi, performa, dan energi ini dapat menghasilkan pelayanan yang hampa dan tidak memenuhi standar kesehatan rohani: kedewasaan spiritual, hikmat, karakter, dan kasih. Ketika banyak gereja dan denominasi besar menghadapi dampak dari kegagalan kepemimpinan, patut dipertanyakan, bagaimana hilangnya rasa takjub kepada Tuhan menyebabkan pengabaian karakter dan perkembangan rohani para pemimpin? Dan apa harga yang dibayar gereja atas kelalaian ini?

Pembawa Obor yang Kelelahan

Membayangkan pendekatan alternatif mungkin terasa menakutkan, tetapi ini dimulai dengan mengakui keraguan yang timbul akibat hilangnya rasa takjub kepada Tuhan. Ini bukan berarti menyerah, melainkan merupakan tantangan yang harus kita hadapi dan pergumulkan. Hanya dengan demikian maka kita dapat memimpin gereja kita dengan cara yang benar-benar bergantung pada kehadiran Roh Kudus yang aktif.

Ini adalah undangan untuk beralih dari sekadar pertunjukan menuju kehadiran. Meskipun aspek praktis dari pelayanan—seperti berkhotbah, berdoa, memimpin pujian, dan perlawatan—tetap ada, kita harus belajar untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan ini dengan keterbukaan terhadap karya Allah yang misterius.

Kabar baiknya adalah jalan ini tidak diselimuti kegelapan. Kitab Suci sendiri beresonansi dengan kerinduan akan Allah ini. Kata-kata pemazmur menggemakan kerinduan kita ketika ia berseru, “Air mataku menjadi makananku siang dan malam,…  aku berjalan maju dalam kepadatan manusia, mendahului mereka melangkah ke rumah Allah dengan suara sorak-sorai dan nyanyian syukur, dalam keramaian orang-orang yang mengadakan perayaan” (Mzm. 42:4–5). Kerinduan kita yang paling sejati bukanlah untuk masa lalu yang telah lewat, melainkan untuk kehadiran Allah sendiri.

Sama seperti pemazmur mencari pembaruan dalam momen-momen kerentanan, demikian juga kita dapat menemukan jalan kembali dengan memelihara ruang persekutuan pribadi dengan Allah. Pencarian ini, baik secara individu maupun komunal, berada di pusat ibadah yang autentik dalam dunia kita yang kehilangan rasa takjub kepada Tuhan.

Membimbing orang lain menuju ketakjuban dapat terasa seperti membawa obor untuk seluruh jemaat. Beban ini menyoroti kebutuhan bagi para pendeta agar menciptakan ruang pribadi untuk pembaharuan rohani dan mengupayakan tempat-tempat kudus di mana mereka dapat melepaskan peran sebagai pemandu dan mengambil peran sebagai pencari. Ruang aman ini mungkin bukan katedral megah, melainkan kelompok kecil, persahabatan, atau bahkan momen-momen teduh di basemen gereja.

Seperti semua orang Kristen, para pemimpin gereja rentan terhadap kelelahan rohani. Perasaan ini, bukan sebagai tanda kegagalan, melainkan mencerminkan pergumulan yang dihadapi oleh banyak nabi dan orang kudus di sepanjang sejarah. Menyadari keadaan ini adalah langkah yang menyelaraskan Anda dengan mereka yang berani mencari Allah meski di tengah keraguan. Hal yang sama berlaku untuk jemaat Anda. Kelelahan dan hilangnya rasa takjub akan Tuhan  tidak mengurangi iman atau menandakan kurang rohani; sebaliknya, keduanya adalah peluang bagi pemimpin dan jemaat untuk mencari pemahaman dan pembaruan.

Meskipun tidak ada formula ajaib untuk berjumpa dengan Allah, namun secara aktif mencari Dia adalah napas kehidupan iman. Menyerah pada sinisme dan stagnasi berarti melewatkan kesempatan untuk mengalami Dia. Namun, hati yang terbuka dan roh yang rentan dapat membuka pintu untuk menemukan kembali sukacita yang kita rindukan. Dalam pengejaran yang intensional inilah bara api keterpesonaan dihidupkan kembali—tidak hanya untuk diri kita sendiri, melainkan juga bagi komunitas di mana kita dipanggil untuk memimpin.

Kematian Sang Pahlawan

Banyak rohaniwan dipandang sebagai pahlawan dalam narasi gereja mereka oleh jemaat, mentor, dan rekan-rekan mereka. Mereka menyampaikan khotbah yang menginspirasi, menawarkan nasihat bijak, dan bertindak sebagai pemandu. Memainkan peran itu bisa memberi kepuasan emosional untuk sementara waktu, tetapi pada akhirnya mulai terasa melelahkan—karena ketika gereja memandang Anda sebagai pahlawan, mungkin akan tiba saatnya mereka mulai bertanya-tanya mengapa Anda belum menyelesaikan segala masalah mereka, dan tekanan itu dapat membebani jiwa Anda.

Sebaliknya, para rohaniwan perlu menulis ulang narasi tersebut. Meskipun Yesus tanpa diragukan lagi adalah pahlawan utama, namun membingkai narasi itu semata-mata pada tingkat teologis tidak akan memberdayakan gereja untuk mengatasi sinisme dan hilangnya ketakjuban. Kuncinya terletak pada membuang paradigma pahlawan dan membantu jemaat memahami peran mereka sendiri sebagai protagonis dalam perjalanan rohani mereka. Para rohaniwan, pemimpin, dan mentor dapat menerangi keindahan perjalanan ini dan menawarkan panduan untuk melewati hambatan dan tantangan, tetapi mereka tidak dapat mengambil atau menggantikan langkah individu menuju Kerajaan surga.

Secara praktis, ini berarti mengundang jemaat untuk hidup dalam spiritualitas yang nyata dan bersemangat. Ini berarti membekali mereka dengan disiplin rohani sehingga mereka dapat belajar berdoa, berpuasa, dan mendengarkan Roh Allah dalam keheningan dan kesendirian. Ini berarti memberdayakan mereka dengan sarana-sarana dan mengutus mereka ke padang gurun. Ini berarti menerima perasaan ragu dan hilangnya ketakjuban mereka serta mengundang mereka untuk mengejar Allah melalui hal itu.

Sebagai rohaniwan, ini juga berarti mematikan kesombongan diri. Alih-alih mengejar visi megah tentang “menjangkau kota” atau “mengubah dunia,” bagaimana jika kita menyambut momen-momen kehadiran yang tenang? Berada di samping ranjang rumah sakit, merayakan kegembiraan dan kesedihan hidup, dan mendorong anggota gereja untuk melayani komunitas mereka dengan cara-cara yang praktis—ini adalah tindakan yang benar-benar penting. Apa yang akan terjadi jika kita menghargai air mata yang mengalir dan makanan yang disajikan lebih daripada kursi yang terisi dan uang yang terkumpul?

Tentu saja, tidak ada yang bisa menjamin perjumpaan yang mendalam dengan Tuhan. Akan tetapi, itulah intinya: Kita perlu bertumbuh agar terbiasa dengan praktik-praktik yang bergantung pada Allah untuk hadir secara aktif.

Hanya dengan belajar memperhatikan kehadiran Allah di dunia yang rusak dan terluka ini, maka kita dapat menemukan rasa transendensi saat kita berkumpul. Dengan demikian, kita tidak lagi datang sebagai individu yang merindukan sesuatu di luar diri, melainkan sebagai orang yang telah menyaksikan kehadiran Allah dalam berbagai cara. Dengan demikian, kita dapat berkumpul untuk berbagi kesaksian-kesaksian itu melalui ibadah.

Bagaimana jika kita menukar tepuk tangan yang meriah dengan doa lirih bersama-sama di apartemen yang remang-remang? Bukan doa yang dipentaskan dengan mesin asap dan khotbah yang dipoles, tetapi doa yang rentan, yang mengingatkan kita kepada hari-hari awal ketika kita berkumpul bersama, mencari spiritualitas yang autentik. Semoga bara api kita menjadi kobaran api yang menghangatkan, tidak hanya diri kita sendiri, tetapi juga dunia.

Untuk diberi tahu tentang terjemahan baru dalam Bahasa Indonesia, ikuti kami melalui email, Facebook, X, Instagram, atau Whatsapp.

Our Latest

Ringkasan Penelitian: 6 Poin Penting tentang Manfaat Bersyukur

Stefani McDade

Semakin banyak akademisi yang mempelajari praktik mengucap syukur. Inilah yang mereka sampaikan.

Bersyukur Mengubah Keinginan Kita

Kent Dunnington dan Ben Wayman

Orang Kristen menyembah Pemberi yang aneh, yang mengaruniakan pemberian-pemberian yang aneh dengan cara yang aneh.

Air mata Natal

Jonah Sage

Kehidupan Yesus dimulai dan diakhiri dengan air mata, supaya melalui kebangkitan, hari-hari kita yang penuh air mata akan dihitung.

Tak peduli betapa pun gelapnya

Russ Ramsey

Betapa pun gelapnya dunia ini, kita dikenal dan diperhatikan oleh Allah yang menciptakan kita dengan begitu ajaib dan mengetahui kebutuhan kita yang terdalam.

Undangan untuk percaya

Barnabas Piper

Ketika seorang peragu yang sedang bergumul lalu membawa keraguannya kepada Yesus dan meminta pertolongan, Yesus tidak menolak atau menghakimi dia atas pergumulannya.

Jadilah Harapan

Chad Bird

Seberapa pun ganasnya raungan kesedihan di tengah malam, duka itu akan merintih dalam kekalahan kala fajar mulai merekah dalam tawa.

Apple PodcastsDown ArrowDown ArrowDown Arrowarrow_left_altLeft ArrowLeft ArrowRight ArrowRight ArrowRight Arrowarrow_up_altUp ArrowUp ArrowAvailable at Amazoncaret-downCloseCloseEmailEmailExpandExpandExternalExternalFacebookfacebook-squareGiftGiftGooglegoogleGoogle KeephamburgerInstagraminstagram-squareLinkLinklinkedin-squareListenListenListenChristianity TodayCT Creative Studio Logologo_orgMegaphoneMenuMenupausePinterestPlayPlayPocketPodcastRSSRSSSaveSaveSaveSearchSearchsearchSpotifyStitcherTelegramTable of ContentsTable of Contentstwitter-squareWhatsAppXYouTubeYouTube